GAMBARAN KETERSEDIAAN PANGAN, KECUKUPAN ENERGI, DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI IBU HAMIL PASCAPENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAMBARAN KETERSEDIAAN PANGAN, KECUKUPAN ENERGI, DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI IBU HAMIL PASCAPENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN"

Transkripsi

1 GAMBARAN KETERSEDIAAN PANGAN, KECUKUPAN ENERGI, DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI IBU HAMIL PASCAPENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN 2014 (DESCRIPTION OF FOOD AVAILABLE, ENERGY AND PROTEIN ADEQUACY, AND NUTRITIONAL STATUS OF PREGNANT WOMEN POST EVACUATION OF SINABUNG ERUPTION KARO DISTRICT 2014 Silvina Sri Hartati Manurung 1, Evawany Y Aritonang 2, Ernawati Nasution 3 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT Pregnant women is one of the vulnerable groups in nutritional problems because pregnancy term need a large number of nutrients. Natural disaster can affect the household food available such as the eruption of Sinabung which is cause the destruction of agricultural that give impact in the collapse of population economy. This is affect the nutritional status of pregnant women when natural disaster occurs to leave the refugee. The purpose of this research is to find out the household food available, the number of energy and protein adequacy and the nutritional status of pregnant women post Sinabung s eruption. This is a descriptive research with cross sectional design. The 33 samples of this research are the whole population in 2 nd and 3 rd trimester range. This research takes the household food availabel, the number of energy and protein adequacy, and nutritional status data were analyzed by univariate to get the frequency distributions. The research shows that most of the nutritional status of pregnant women based on Upper Arm Circle did not have a high risk in Energy Chronic Malnutrition (<23,5 cm) is about 90,9%. Pregnant women food available shows 54,5% in non adequate category and the adequacy of protein in pregnant women shows 66,7% in non adequate category. The household food available shows only 45,5% household in a good level of food available, and the rest shows the households food available are insecure because the economy of people is unstable yet caused of agriculture is not giving the crops yet. It is required for the increase of pregnant women awareness in health nutritional needed which is increased in the term of pregnancy and the centred effort from government to make sure the food available in population in case of natural disaster ( erupt ion) which is affect the collapse of agricultural and economical. Keywords: food available, energy and protein adequacy, nutritional status, post evacuation PENDAHULUAN Kehamilan merupakan masa dimana ibu hamil memerlukan berbagai unsur gizi yang lebih banyak dibanding kebutuhan wanita yang tidak hamil karena disamping untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya sendiri, berbagai zat gizi itu diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Pemenuhan kebutuhan ibu semasa hamil sangat erat kaitannya dengan keadaan gizi bayi setelah lahir (Moehji, 2005 dalam Ahmelyana 2009). Pada dasarnya, semua kebutuhan zat gizi ibu hamil meningkat dibanding kebutuhan normal (tidak hamil), namun yang sering menjadi kekurangan selama hamil adalah energi protein, mineral besi, serta asam folat. Menurut Arisman (2009), kebutuhan ibu akan protein meningkat 68% selama kehamilan, kalsium 50%, asam folat 100%, dan zat besi %. Pemenuhan kebutuhan ibu hamil yang tidak optimal akan memengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya (dapat menyebabkan pertumbuhan janin tidak 1

2 sempurna). Misalnya, ibu hamil yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK) dan anemia mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), keguguran, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, serta asfiksia intrapartum (mati dalam kandungan). Bayi yang lahir dengan berat badan rendah (BBLR) umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan. Kondisi ini juga akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan (Adriani dan Wiratmadji, 2012). Tidak terpenuhinya kebutuhan gizi ibu hamil dapat diakibatkan oleh kurangnya asupan zat gizi yang cukup dan optimal yang meningkat selama kehamilan. Kurangnya asupan zat gizi dapat disebabkan oleh adanya tabu atau pantangan terhadap makanan yang justru sangat dibutuhkan ibu hamil. Kurangnya asupan zat gizi juga dapat disebabkan oleh status sosial ekonomi serta pendidikan ibu hamil yang berpengaruh terhadap pemilihan makanan oleh ibu hamil serta daya beli terhadap pangan. Selain itu, ketersediaan pangan juga memengaruhi asupan zat gizi ibu hamil karena itu merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli (Ali, 2012). Salah satu keadaan yang memengaruhi ketersediaan pangan secara langsung adalah bencana alam, misalnya kejadian gunung meletus. Kejadian gunung meletus mengakibatkan tanaman pertanian menjadi hancur karena hangus dan terkubur dalam hujan abu vulkanik, dan simpanan bibit tanaman serta simpanan pangan keluarga mungkin hilang, terutama jika tidak ada tanda-tanda peringatan (Pan American Health Organization, 2000). Rusaknya lahan pertanian maupun perkebunan akibat tertutupi oleh debu vulkanik akan memengaruhi produksi pertanian serta perkebunan yang secara langsung berdampak pada perekonomian penduduk setempat. Secara geografis, Indonesia berada pada daerah yang rawan bencana alam, seperti kejadian gunung meletus karena merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif yang membentuk cincin sehingga disebut Cincin Api (Ring of Fire). Terdapat lebih dari 400 gunung berapi di Indonesia and 129 di antaranya termasuk gunung berapi yang masih aktif atau sekitar 13% dari gunung api aktif yang ada di dunia (Yulaelawati dan Syihab, 2008). Salah satu dari gunung api aktif tersebut adalah Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan beberapa bulan lalu mengalami erupsi sehingga mengakibatkan warga dari Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Payung, Kecamatan Tiganderket, dan Kecamatan Naman Teran mengungsi ( termasuk di dalamnya kelompok rentan lanjut usia 2411 orang, ibu hamil 232 orang, dan 1357 bayi) (Pemerintah Kabupaten Karo, 2014). Bencana alam yang diikuti dengan pengungsian menimbulkan masalah kesehatan yang diawali dari kurangnya air bersih, persediaan pangan yang tidak mencukupi di tempat pengungsian, serta keadaan tempat pengungsian yang sering tidak memenuh syarat kesehatan (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan, 2001). Hal ini dapat mengakibatkan kedaruratan dalam masalah kesehatan dan gizi, terutama mereka yang masuk dalam kelompok rentan termasuk ibu hamil (JIPG, 2008). Kurang lebih tujuh bulan lamanya ribuan penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Sinabung berada di pengungsian hidup dalam keadaan serba terbatas. Namun sebagian dari pengungsi tersebut ( pengungsi) sudah kembali ke rumah mereka masing-masing di luar radius 5 Km. Sama seperti keadaan di tempat pengungsian, mereka yang sudah pulang ke rumah masingmasing pun masih dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu masalah kesehatan dan gizi. Dampak dari keterbatasan asupan makanan yang cukup dan bergizi selama berada di tempat pengungsian akan berlanjut hingga mereka kembali ke desa masing-masing untuk memulai kembali hidup mereka (termasuk pertanian dan perkebunan) tanpa bergantung kepada para pemberi sumbangan yang membantu hidup mereka selama mengungsi. 2

3 Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana gambaran ketersediaan pangan, kecukupan energi, dan protein serta status gizi ibu hamil pascapengungsian erupsi Gunung Sinabung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pangan, status gizi, kecukupan energi, dan protein ibu hamil pascapengungsian erupsi Gunung Sinabung. Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat menjadi bahan pertimbangan khususnya kepada pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan setempat dalam rangka perbaikan status gizi masyarakat khususnya pada ibu hamil yang berada di tempat bencana atau pascabencana sehingga membantu penurunan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan sekat silang. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang telah kembali dari pengungsian korban erupsi Gunung Sinabung pada bulan Februari 2014 yang berada di Kecamatan Simpang Empat dan Kecamatan Payung, yaitu sebanyak 33 ibu hamil dengan usia kehamilan berkisar 4-9 bulan. Selanjutnya seluruh populasi dijadikan sebagai sampel (total sampling). Data yang dikumpulkan meliputi ketersediaan pangan, konsumsi energi dan protein, serta status gizi ibu hamil yang dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Sumatera Utara dengan luas wilayah 2127,25 Km 2. Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi (BPS Kabupaten Karo, 2012). Dua gunung berapi aktif (Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak) terletak di kabupaten ini sehingga rawan gempa vulkanik dan terkena dampak erupsi gunung berapi. Kecamatan Simpang Empat dan Kecamatan Payung merupakan dua kecamatan yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Sinabung. Pengungsi dari beberapa desa kedua kecamatan ini telah diizinkan kembali ke rumah masing-masing pada bulan Februari Pasca penduduk mengungsi, mereka harus memulai kehidupan dari awal, mulai dari pertanian sebagai pekerjaan utama, pelayanan kesehatan, serta transportasi dan perdagangan. Tabel 1. Distribusi Ibu Hamil Berdasarkan Karakteristik Umur, Pendidikan Terakhir, Pekerjaan, dan Trimester Kehamilan No Karakteristik N % 1 Umur (tahun) < , ,8 > ,2 2 Pendidikan Terakhir SMP 10 30,3 SMA/SMK 21 63,6 D3/S1 2 6,1 3 Pekerjaan Guru 1 3,0 Ibu Rumah Tangga 3 9,2 Petani 28 84,8 Wiraswasta 1 3,0 4 Trimester Kehamilan Trimester II 17 51,5 Trimester III 16 48,5 Jumlah ,0 Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa umur responden paling banyak berada pada golongan umur tahun yaitu sebanyak 27 orang ( 81,8%). Kelompok umur < 20 tahun terdapat 1 orang, yaitu pada usia 17 tahun yang mana merupakan usia yang sangat berisiko untuk hamil dan melahirkan. Kelompok umur > 35 tahun terdapat 5 orang, yaitu usia 36 tahun 1 orang dan 37 tahun 4 orang. Kehamilan di atas 35 tahun meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi. Pendidikan terakhir sebagian besar ibu hamil yakni sebesar 63,6% adalah SMA/SMK. Sementara itu pekerjaan utama ibu hamil yang ada di daerah penelitian sebagian besar merupakan petani yakni sebesar 84,8%. Distribusi umur kehamilan ibu hamil sebesar 51,5% pada trimester kedua dan 48,5% pada trimester ketiga. 3

4 Status Gizi Ibu Hamil Berdasarkan hasil pengukuran lingkar lengan atas ibu hamil, dapat diketahui ibu hamil yang berisiko KEK dan tidak berisiko KEK seperti pada tabel berikut ini. Tabel 2. Distribusi Status Gizi Ibu Hamil Berdasarkan Ukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) Ibu Hamil Lingkar Lengan Ibu Hamil Atas N % x Berisiko KEK 3 9,1 Tidak Berisiko 30 90,9 27,2 Cm KEK Jumlah ,0 Tabel 2. di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil memiliki status gizi yang baik, yaitu sebanyak 30 ibu hamil (90,9%) tidak berisiko KEK. Hal ini memberi gambaran bahwa pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil sebelum dan selama hamil, yaitu saat berada di pengungsian sampai kembali ke rumah masing-masing cukup baik. Banyaknya ibu hamil yang tidak berisiko KEK menunjukkan pemenuhan kecukupan pangan mereka saat berada di tempat pengungsian cukup baik. Ibu hamil yang berada pada kategori berisiko KEK (9,1%) adalah ibu hamil yang memiliki kebiasaan makan yang kurang baik yaitu belum memiliki kesadaran akan kebutuhan pangan yang meningkat selama hamil khususnya energi dan protein, sehingga tidak ada perbedaan antara konsumsi pangan sebelum hamil dan selama hamil. Salah satu ibu hamil yang berisiko KEK tersebut memiliki kebiasaan makan yang mengonsumsi makanan miskin energi dan protein serta zat gizi lainnya, seperti makanan jajanan chiki-chiki. Sehingga rasa kenyang terpenuhi, namun kebutuhan energi dan protein serta zat gizi lainnya tidak terpenuhi. Selain itu, salah satu ibu hamil tersebut juga ada yang menghilangkan makan malam diganti dengan mengonsumsi roti dan susu yang tidak dapat menutupi kebutuhan energi dan protein dari makanan yang dikonsumsi pagi dan siang hari. Para bidan di lokasi penelitian ini menyarankan agar ibu hamil mengonsumsi makanan tambahan selama hamil berupa susu dan biskuit untuk ibu hamil. Namun, mereka tidak menjelaskan bagaimana cara mengonsumsinya dengan benar sehingga kebanyakan ibu hamil mengganti sarapan pagi atau makan malam hanya dengan segelas susu dengan roti atau biskuit. Hal ini menyebabkan pemenuhan konsumsi energi dan protein sehari berkurang. Kecukupan Energi dan Protein Ibu Hamil Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 33 ibu hamil yang diwawancarai dengan menggunakan formulir food recall 24 jam, diketahui rata-rata jumlah konsumsi energi dan protein ibu hamil. Dari tabel 3 di bawah dapat dilihat bahwa konsumsi energi ibu hamil dengan kategori cukup sebanyak 15 ibu hamil (45,5%) dan kategori tidak cukup sebanyak 18 ibu hamil (54,5%) dengan ratarata konsumsi energi 2415,7 Kkal. Konsumsi protein ibu hamil yang berada pada kategori cukup sebanyak 11 ibu hamil (33,3%) dan kategori tidak cukup sebanyak 22 ibu hamil (66,7%) dengan rata-rata konsumsi protein 68 g. Tabel 3. Kecukupan Energi dan Protein Ibu Hamil Kecukupan N % x Energi Cukup Tidak Cukup Protein Cukup Tidak Cukup 11 33, ,7 Jumlah , ,5 2415, ,5 Kkal 68 g Tabel 3 di atas memberi gambaran kecukupan energi dan protein ibu hamil sebagian besar pada kategori tidak cukup yang menunjukkan masih banyak ibu hamil yang memiliki tingkat kesadaran yang rendah terhadap pemenuhan kebutuhan nutrisi selama hamil. Kebiasaan makan ibu hamil juga memengaruhi jumlah asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Beberapa ibu hamil belum mengetahui makanan apa saja yang dibutuhkan selama hamil atau kebiasaan makan seperti apa yang baik diterapkan selama hamil agar memenuhi kebutuhan. Ada juga ibu hamil yang mengurangi jumlah makanan yang mereka konsumsi pada jam makan tertentu sehingga tidak dapat menutupi 4

5 kebutuhan energi dan protein sehari. Selain itu, ada juga ibu hamil yang dari masa mudanya memiliki kebiasaan makan yang tidak baik, yaitu malas makan atau hanya makan makanan dalam jumlah yang sedikit dengan alasan tidak selera sehingga pada akhirnya tidak mencukupi kebutuhan energi dan protein sehari. Hasil penelitian di atas juga didukung oleh penelitian Prihartini, dkk (2009) yang menunjukkan rata-rata konsumsi energi maupun protein ibu hamil sangat rendah jika dibandingkan dengan rekomendasi AKG. Dimana rata-rata konsumsi energi ibu hamil trimester I sebesar 1153 kkal, trimester II 1125 kkal, dan trimester III 1111 kkal dan konsumsi protein ibu hamil trimester I 38,4 g, trimester II 36,6 g, dan trimester III 36,7 g. Tabel di bawah ini merupakan distribusi kecukupan energi dan protein berdasarkan ukuran LLA ibu hamil. Tabel 4. Kecukupan Energi dan Protein Ibu Hamil Berdasarkan Ukuran LLA Ibu Hamil LLA Berisiko Tidak Kecukupan KEK Berisiko Total KEK N % N % N % Energi Cukup 0 0, , ,0 Tidak 3 16, , ,0 Cukup Protein Cukup 0 0, , ,0 Tidak Cukup 3 13, , ,0 Tabel 4 di atas menunjukkan di antara 54,5 % ibu hamil yang cukup energi terdapat 16,7% ibu hamil yang berisiko KEK. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara pemenuhan kebutuhan energi yang kurang dengan ukuran LLA ibu hamil seperti penelitian Krisnawati (2010) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pola konsumsi dan tingkat konsumsi energi dan protein terhadap KEK pada ibu hamil (p < 0,05). Sementara penelitian Andi, dkk (2013) menunjukkan nilai korelasi positif antara konsumsi energi dan protein dengan BMI dan LLA ibu prakonsepsional, yaitu semakin besar konsumsi energi dan protein, maka akan meningkatkan BMI dan LLA Ibu. Hal ini juga didukung oleh penelitian Simarmata (2008) yang menemukan adanya hubungan yang bermakana antara pola konsumsi energi dengan kejadian KEK (p = 0,03). Tabel ini juga menunjukkan tidak ada ibu hamil yang pemenuhan energinya cukup memiliki risiko KEK. Selain itu, tabel 4 menunjukkan 13,6% ibu hamil yang tidak cukup protein memiliki risiko KEK dan tidak ada ibu hamil yang cukup energi memiliki risiko KEK. Hal ini semakin menguatkan keterkaitan risko KEK dengan pemenuhan kebutuhan protein. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Yuliantini (2004) yang menemukan hubungan yang signifikan antara konsumsi energi dan protein dengan ukuran LLA ibu hamil. Keadaan status gizi yang baik pada ibu sebelum hamil merupakan modal dasar terhadap persiapan diri untuk menghadapi masa kehamilan sampai pada proses bersalin dan menyusui. Ibu hamil dengan kondisi kesehatan dan gizi yang baik, dapat melahirkan bayi sehat. Sebaliknya ibu dengan gizi kurang akan berisiko menimbulkan masalah gizi bagi ibu maupun janin, seperti anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, terkena penyakit infeksi, partus lama, persalinan prematur, perdarahan setelah persalinan, keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan, serta berat lahir rendah (BBLR) (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Kesadaran ibu hamil akan pemenuhan kebutuhan energi serta protein yang berbeda saat hamil dan tidak hamil merupakan awal yang baik bagi pemenuhan kecukupan energi dan protein. Upaya pemberian informasi kepada ibu hamil tentang pengaturan pola makan dapat meningkatkan kesadaran ibu hamil. Selain itu, untuk mencegah dampak lanjut dari ibu hamil kekurangan gizi perlu diperhatikan secara promotif dengan memberi penyluhan gizi pada ibu dan suplementasi berbagai sumber nutrisi. Ketersediaan Pangan Rumah Tangga Saat penelitian ini dilaksanakan, sudah empat bulan lamanya ibu hamil beserta keluarga kembali dari tempat pengungsian. 5

6 Tentu lahan pertanian mereka belum dapat memberikan hasil apa-apa selama empat bulan tersebut. Sehingga masih terdapat kekhawatiran akan ketersediaan pangan rumah tangga. Di bawah ini merupakan tabel distribusi ketersediaan pangan rumah tangga. Tabel 5. Ketersediaan Pangan Rumah Tangga Ketersediaan Ibu Hamil Pangan N % Terjamin 15 45,5 Rawan Tanpa 9 27,3 Kelaparan Rawan Kelaparan 4 12,1 Tingkat Sedang Rawan Kelaparan 5 15,2 Tingkat Berat Jumlah ,0 Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ketersediaan pangan rumah tangga ibu hamil terjamin (45,5 %) dimana hal ini memberi gambaran bahwa dampak erupsi Gunung Sinabung terhadap ketersediaan pangan mereka akibat lahan pertanian yang rusak tidak begitu buruk. Sebenarnya, erupsi Gunung Sinabung sangat berdampak terhadap ketersediaan pangan mereka sebab lahan pertanian mereka rusak akibat dampak erupsi tersebut, namun dampak tersebut tidak terlihat karena pemerintah tetap memberi bantuan kepada penduduk yang telah kembali dari tempat pengungsian sampai lahan pertanian mereka menghasilkan produk kembali. Di bawah ini merupakan tabel distribusi karateristik keluarga perokok berdasarkan konsumsi protein. Tabel 6. Distribusi Konsumsi Pangan yang Dilihat dari Kecukupan Energi dan Protein Berdasarkan Ketersediaan Pangan Rumah Tangga Ibu Hamil Kecuku pan Ketersediaan Pangan Terjamin Rawan Rawan Rawan tanpa Kelapar Kelapar Kelapara an an Total n Tingkat Sedang Tingkat Berat N % N % N % N % N % Energi Cukup 6 40,0 4 26,7 2 13,3 3 20, ,0 Tidak 9 50,0 5 27,8 2 11,1 2 11, ,0 Cukup Protein Cukup 7 63,6 2 18,2 1 9,1 1 9, ,0 Tidak Cukup 8 36,4 7 31,8 3 18,2 4 18, ,0 Berdasarkan tabel 6 di atas, dapat dilihat dari 18 orang ibu hamil yang tidak cukup energi, 9 (50,0 %) diantarnya memiliki ketersediaan pangan yang terjamin, 5 (27,8 %) memiliki ketersediaan pangan yang rawan tanpa kelaparan, 2 (11,1 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat sedang, dan 2 (11,1 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat berat. Dari 15 orang ibu hamil yang cukup energi, 6 (40,0%) diantarnya memiliki ketersediaan pangan yang terjamin, 4 (26,7 %) m emiliki ketersediaan pangan yang rawan tanpa kelaparan, 2 (13,3 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat sedang, dan 3 (20,0 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat berat. Dari 22 orang ibu hamil yang tidak cukup protein, 8 (36,4 %) diantaranya memiliki ketersediaan pangan yang terjamin, 7 (31,8 %) memiliki ketersediaan pangan yang rawan tanpa kelaparan, 3 (18,2 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat sedang, dan 4 (18,2 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat berat. Dari 11 orang ibu hamil yang cukup protein, 7 (63,6 %) diantarnya memiliki ketersediaan pangan yang terjamin, 2 (18,2 %) memiliki ketersediaan pangan yang rawan tanpa kelaparan, 1 (9,1 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat sedang, dan 1 (9,1 %) diantaranya rawan kelaparan tingkat berat. Ketersediaan pangan yang melimpah bukan menjadi ukuran tidak terjadi masalah kekurangan gizi. Jika melihat hasil penelitian pada tabel 6 dari 45,5 % ibu hamil yang tercukupi kebutuhan energinya, 40,0 % diantarnya memiliki ketersediaan pangan yang terjamin, 26,7 % memiliki ketersediaan pangan yang rawan tanpa kelaparan, 13,3 % 6

7 rawan kelaparan tingkat sedang dan 20,0 % rawan kelaparan tingkat berat. Hal ini menjelaskan bahwa sekalipun ketersediaan pangan rumah tangga ibu hamil mengalami gangguan atau terdapat kehawatiran ibu hamil terhadap ketersediaan pangan rumah tangga, masih terdapat sebesar 45,5 % ibu hamil yang tercukupi kebutuhan energinya. Begitu juga dengan kebutuhan proteinnya, meskipun ketersediaan pangan rumah tangga tidak terjamin, masih terdapat 33,3% ibu hamil yang tercukupi kebutuhan proteinnya. Pada tabel 2 terdapat 3 ibu hamil yang berisiko KEK dimana 2 ibu hamil memiliki ketersediaan pangan terjamin dan 1 ibu hamil memiliki ketersediaan pangan rawan kelaparan tingkat berat. Walaupun ketersediaan pangannya terjamin dua ibu hamil tersebut tetap berisiko KEK karena pengetahuan akan kebutuhan gizi yang meningkat saat hamil masih kurang akibat informasi yang diperoleh pun sedikit atau kurang. Salah satu ibu hamil tersebut juga masih memiliki kebiasaan makan yang buruk yang hanya mengonsumsi makanan jajanan miskin zat-zat gizi sehingga tidak dapat menyumbang energi maupun protein dalam kebutuhan sehari. Agak berbeda dengan penelitian Simarmata (2008) yang menemukan adannya hubungan yang bermakana antara ketersediaan pangan (p < 0,05) dengan kejadian KEK (OR = 16,364) dan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian KEK adalah ketersediaan pangan. Penelitian ini menunjukkan 2 diantara ibu hamil yang memiliki risiko KEK memiliki ketersediaan pangan rumah tangga yang terjamin dan sisanya 1 rumah tangga ibu hamil rawan kelaparan tingkat berat. Selanjutnya, tabel 6 menunjukkan keterkaitan ketersediaan pangan dengan kecukupan energi dan protein yang memberi gambaran bahwa walaupun ketersediaan pangan rumah tangga ibu hamil terjamin, tetap saja kebutuhan energi dan proteinnya tidak tercukupi. Hal ini disebabkan karena konsumsi pangan ibu hamil yang kurang akibat pengetahuan akan kebutuhan gizi yang meningkat saat hamil masih kurang, kebiasaan makan ibu hamil juga tidak baik, adanya perilaku ibu hamil yang memperoleh makanan tambahan berupa susu dan biskuit dari tenaga kesehatan sehingga mengganti sarapan pagi atau makan malam hanya dengan segelas susu dan biskuit atau roti saja. Selain itu, terdapat ibu hamil yang berada kategori kegemukan (overweight) oleh tenaga kesehatan disarankan untuk mengurangi asupan makanan agar tidak mengalami kesulitan saat persalinan nanti akibat kegemukan. Selain itu, tabel 6 juga memberi gambaran bahwa dengan ketersediaan pangan yang rawan kelaparan tingkat berat masih terdapat ibu hamil yang cukup konsumsi energi dan proteinnya. Hal ini disebabkan karena walaupun memiliki kekhawatiran akan ketersediaan pangan rumah tangga dan tidak memiliki uang untuk membeli bahan pangan, mereka masih mendapat bantuan dari pemerintah dan masih dapat melakukan pinjaman kepada tetangga atau saudara mereka agar konsumsi pangan mereka cukup. Selain itu, kebiasaan makan mereka juga cukup baik dimana mereka tidak mengganti sarapan pagi atau makan malam dengan segelas susu dan biskuit, tetapi mereka mengonsumsi itu bersama sarapan pagi ataupun selingan antara sarapan pagi dengan makan siang. KESIMPULAN 1. Hasil pengukuran status gizi ibu hamil yang dilakukan berdasarkan ukuran LLA menunjukkan sebagian besar ibu hamil memiliki status gizi yang baik (tidak berisiko KEK), 2. Sebesar 54,5 % ibu hamil tidak tercukupi kebutuhan energinya dan sebesar 66,7 % ibu hamil tidak tercukupi kebutuhan proteinnya 3. Semua ibu hamil yang berisko KEK tidak tercukupi kebutuhan energi dan proteinnya 4. Erupsi Gunung Sinabung sangat berpengaruh terhadap pertanian masyarakat setempat, namun dengan adanya bantuan pemerintah, ketersediaan pangan mereka tercukupi. 5. Walaupun pasar tempat masyarakat membeli kebutuhan rumah tangga sudah aktif pascapengungsian erupsi Gunung Sinabung, hanya 45,5 % rumah tangga ibu hamil yang ketersediaan pangannya 7

8 terjamin, selebihnya tidak terjamin atau rawan pangan karena kondisi perekonomian masyarakat yang belum stabil akibat lahan pertanian yang belum memberikan hasil. 6. Ketersediaan pangan rumah tangga yang terjamin maupun rawan memberi pengaruh terhadap kecukupan energi dan protein ibu hamil, yaitu sebagian ibu hamil tidak tercukupi kebutuhan enrgi dan proteinnya. SARAN 1. Jika dilihat dari kecukupan energi dan protein, pola konsumsi ibu hamil masih kurang baik, karena itu perlu peningkatan pengetahuan dan kesadaran ibu hamil tentang menu seimbang dan peningkatan kebutuhan nutrisi selama hamil melalui promosi kesehatan di wilayah kerja puskesmas. 2. Jika ibu hamil diberikan makanan tambahan seperti susu, roti atau biskuit oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan, sebaiknya disertakan dengan cara mengonsumsi yang benar. 3. Diharapkan adanya upaya terpadu dari pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan penduduk apabila bencana alam serupa yang dapat melumpuhkan pertanian dan perekonomian kembali terjadi. 4. Kepada peneliti lain, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai status gizi bayi yang lahir di tempat pengungsian untuk melihat dampak asupan gizi yang didapat selama mengungsi dalam jangka waktu yang cukup lama. DAFTAR PUSTAKA Adriani, M dan Wirjatmadi, B, 2012, Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan, Kencana, Jakarta. Ahmelyana, 2009, Gambaran Status Gizi Ibu Hamil di Puskesmas Massenga Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat Tahun 2008, Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Yayasan Pendidikan Tamalatea, Makassar. Ali, A R, Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan, dilihat 9 Mei 2014 < 3/15/hubungan-status-gizi-denganketersediaan-pangan/> Arisman, 2009, Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi, Edk 2, EGC, Jakarta. Jaringan Informasi Pangan dan Gizi (JIPG). Gizi Darurat Pascatsunami, Jurnal, Volume XIV. No. 1, 2008 LEARN (Local Emergency and Assessment Response Network), 2014, Situation Report #8, LEARN. Pan American Health Organization, 2000, Natural Disasters: Protecting the Public s Health, PAHO, Washington D.C. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia, Nomor 75 Tahun Prihartini, S, Jahari, A B, Sebayang, S, & Iswidahni, 2009, Gambaran Konsumsi Makanan dan Status Anemia Ibu Hamil Sampel Penelitian Summit ( The Supplementation With Multiple Micronutrients Intervention Trial) di Lombok (Food Consumption and Anemia Status on Pregnant Women) Sample Study Summit (The Supplementation With Multiple Micronutrients Intervention Trial) in Lombok, Jurnal Puslitbang Gizi dan Makanan Balitbang Kesehatan Depkes RI. Priswanti, 2004, Hubungan Ketersediaan Pangan Keluarga dan Tingkat Konsumsi Energi Protein, Fe, Asam Folat, Vitamin B 12 dengan Kejadian Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia pada Ibu Hamil, Jurnal, Universitas Diponegoro, Semarang. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan, 2001, Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. Siagian, A (Guru Besar Ilmu Gizi FKM USU) 2014, Gizi Darurat Pengungsi Sinabung, dilihat 27 Februari 2014 < 8

9 Simarmata, M, 2008, Hubungan Pola Konsumsi, Ketersediaan Pangan, Pengetahuan Gizi, dan Status Kesehatan dengan Kejadian KEK pada Ibu Hamil di Kabupaten Simalungun 2008, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sugita, L, 2012, Tingkat Kecukupan Energi dan Protein, Tingkat Pegetahuan Gizi, Jenis Terapi Kanker, dan Status Gizi Pasien Kanker Rawat Inap di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarigan, S T (Sekretaris Komandan Tanggap Darurat) 2014, Data Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung Tanggal 5Maret 2014, dilihat 6 Maret 2014 < /gunung-sinabung/data-pengungsi/2267- data-pengungsi-bencana-erupsi-gunungsinabung-tgl-5-mar-2014> Yulaelawati, E & Syihab, U, 2008, Mencerdasi Bencana, Grasindo Anggota IKAPI, Jakarta. Yuliantini, H dan Mifbakhuddin, 2003, Hubungan antara Konsumsi Energi dan Protein dengan Status Gizi pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas I Sukoharjo, Jurnal. 9

10 KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN Sri Rezeki 1, Sori Muda 2, Rasmaliah 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, ABSTRACT Hepatitis B is a problem of global public health.who,2011 said that HBV had infected more than 350 thousand people in the world and there were people had died caused by Hepatitis B acute or cronic. To determine the characteristics of Hepatitis B patients in hospital grade II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan , conducted a research with case series design. Population and sample were 108 patients and recorded in hospital medical records. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-square test, t-test and Anova with 95% CI. Proportion based on sosiodemographics were groups of age years 14,8%,male 78,7%, Islam 85,2%, self employed 34,3%,married 64,8% and living in Medan 83,3%. Level of Bilirubin is not normal 78,7%, type Acute Hepatitis B 78,7%, level of SGOT is high 44,5%, level of SGPT is high 57,4%, average of treatment duration is 10,49 days and returned with outpatient 77,8%. There was no significant difference between sex and level of SGOT (p=0,416), There was no significant different between sex and level of SGPT (p=0,051). There was significant difference between type of Hepatitis B and level of Bilirubin (p=0,019). There was no significant difference between average of treatment duration and condition of returned (p=0,000). They can not be tested using by Chi-square test, age and type of Hepatitis B,age and level of SGOT,age and level of SGPT,also type of Hepatitis B and condition of outpatient. It s hoped the hospital grade II Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan to give advice for Hepatitis B patients acute and chronic to check up serologic and liver function regularly, to complete list of card statue about education, and it s hoped the next researcher will research about one of characterictics or some risk factors are more specific. Key words : Hepatitis B, characteristics of patient, hospital grade II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan Pendahuluan Hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang perlu penanganan serius. Hepatitis B adalah infeksi pada organ hati yang disebabkan oleh HBV (Virus Hepatitis B). Keadaan ini mengakibatkan komplikasi hati kronis seperti sirosis dan kanker hati yang dapat menyebabkan kematian. 1 HBV ditularkan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lain dari penderita Hepatitis B. Menurut WHO tahun 2011 HBV telah menginfeksi lebih dari 350 juta orang di dunia dan orang meninggal setiap tahun akibat Hepatitis B akut maupun kronis. 2 Di Asia Tenggara ditemukan kejadian Hepatitis B lebih dari 5,6% dari total populasi dengan kematian per tahun dengan prevalensi termasuk pola infeksi tinggi yaitu lebih dari 8%. 2

11 Pola infeksi HBV terbagi atas 3 (tiga) daerah endemisitas yaitu endemisitas tinggi, sedang dan rendah. Negara endemisitas tinggi yaitu Cina, Taiwan, Asia Tenggara dan Indonesia khususnya Papua dan Nusa Tenggara Timur dengan prevalensi HBV>8%, negara endemisitas sedang yaitu Laut Tengah, Asia Barat Daya dan sebagian wilayah di Indonesia dengan prevalensi HBV 2-8% dan negara endemisitas rendah yaitu Eropa Tengah, Austaralia dan Amerika Utara dengan prevalensi HBV<2%. 3 Prevalensi Hepatitis B tertinggi di sub - Sahara Afrika dan Asia Timur. 4 Menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) pada Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia tahun 2012, angka prevalensi Hepatitis B di Indonesia mencapai 4,0-20,3%. Berdasarkan hal itu, Indonesia terletak di tingkat endemisitas sedang sampai tinggi. 5 Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri atas lebih dari pulau dengan berbagai tingkat higiene dan sanitasi. Hal itu menyebabkan prevalensi infeksi HBV di Indonesia sangat bervariasi antar pulau. 6 Penyakit Hepatitis B bisa terjadi pada semua kelompok umur dan jenis kelamin. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dengan pengumpulan sampel darah dan dilakukan pemeriksaan biomedis dari rumah tangga di 294 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg sebesar 9,7% pada pria dan 9,3% pada wanita, dengan angka tertinggi pada kelompok usia tahun sebesar 11,9%. 6 Berdasarkan Survey Nasional Pernefri untuk prevelensi Hepatitis B pada pasien hemodialisis regular di 12 kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi infeksi HBV adalah sebanyak 4,5% dari pasien, Sedangkan di Kota Medan diketahui 6,05% dari 314 pasien. 7 Laporan Riskesdas Tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi Hepatitis pada tahun 2013 adalah 1,2%, dua kali lebih tinggi dibandingkan tahun Lima provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%). Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah Hepatitis B (21,8 %). 8 Hasil penelitian Friska (2007) di RSU Dr. Pirngadi Medan periode tahun terdapat 106 orang yang menderita Hepatitis B. 9 Penelitian Elizabeth (2010) di RSUD Rantau Prapat tahun terdapat penderita Hepatitis B rawat inap sebanyak 104 orang. 10 Survey Pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan terdapat penderita Hepatitis B tahun sebanyak 108 orang. Pada tahun 2010 jumlah penderita sebanyak 28 orang, tahun 2011 jumlah penderita sebanyak 29 orang, tahun 2012 jumlah penderita sebanyak 22 orang dan pada tahun 2013 jumlah penderita sebanyak 29 orang. Data kasus menunjukkan bahwa kasus penyakit Hepatitis B tetap ada. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita Hepatitis B rawat inap di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik penderita Hepatitis B di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan Tahun Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita Hepatitis B di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan Tahun Tujuan khusus penelitian ini adalah: Mengetahui distribusi proporsi penderita Hepatitis B berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, status perkawinan dan tempat tinggal), kadar Bilirubin, kadar SGOT, kadar

12 SGPT, tipe Hepatitis B, lama rawatan penderita Hepatitis B, keadaan sewaktu pulang, umur berdasarkan kadar Bilirubin pada penderita Hepatitis B, umur berdasarkan kadar SGOT pada penderita Hepatitis B, umur berdasarkan kadar SGPT pada penderita Hepatitis B, umur berdasarkan tipe Hepatitis B, jenis kelamin berdasarkan kadar SGOT pada penderita Hepatitis B, jenis kelamin berdasarkan kadar SGPT pada penderita Hepatitis B, kadar Bilirubin berdasarkan tipe Hepatitis B, lama rawatan berdasarkan tipe Hepatitis B, lama rawatan berdasarkan keadaan sewaktu pulang dan tipe Hepatitis B berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan dan instansi yang terkait dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terutama bagi penderita Hepatitis B. Sebagai bahan masukan yang berguna bagi peneliti lain yang ingin meneliti masalah Hepatitis B dan tambahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Sebagai sarana bagi pembaca dan penulis untuk menambah wawasan mengenai penyakit Hepatitis B. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan menggunakan desain case series. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan. Penelitian dimulai dari bulan Januari Agustus Populasi adalah semua data penderita Hepatitis B yang tercatat di rekam medis Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan tahun yaitu sebanyak 108 orang. Sampel adalah semua data penderita Hepatitis B yang tercatat di rekam medis Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam kelompok umur tahun sebanyak 10 orang (9,3%) dan tidak ada I/Bukit Barisan Medan tahun dan terdapat hasil pemeriksaan laboratorium dengan HBsAg positif. Besar sampel sama dengan populasi (total samping) yaitu sebanyak 108 orang. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan rekam medis penderita Hepatitis B. Data univariat dianalisis secara deskriptif dan data bivariat dianalisis dengan Chi-Square, t- test dan Anova. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi Sosiodemografi (umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, status pernikahan dan tempat tinggal) penderita Hepatitis B rawat inap dapat dilihat pada tabel 1. dan 2. : Tabel 1. Umur (tahun) Distribusi Proporsi Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Jenis Kelamin Jumlah Laki-Laki Perempuan f % f % f % ,7 1 0,9 5 4, ,6 1 0,9 6 5, ,5 10 9, , ,7 2 1, , ,0 4 3, , ,0 3 2, , ,6 1 0,9 7 6,5 >65 4 3,7 1 0,9 5 4,6 Jumlah 85 78, , ,0 Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bahwa dari 85 penderita laki-laki, proporsi penderita Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur tahun sebanyak 20 orang (18,5%) dan tidak ada penderita pada kelompok umur 0-4 tahun. Sementara itu, dari 23 penderita perempuan, proporsi penderita Hepatitis B tertinggi pada

13 penderita pada kelompok umur 0-4 tahun (0,0%). Tabel 2.Distribusi Proporsi Agama, Pekerjaan, Status Pernikahan Dan Tempat Tinggal Penderita Hepatitis B Rawat Inap Di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan Tahun Agama f % Islam 92 85,2 Kristen 16 14,8 Pekerjaan f % TNI AD 11 10,2 IRT/Istri TNI AD PNS Wiraswasta Pelajar/Mahasiswa Tidak Bekerja ,4 19,4 36,1 20,4 6,5 Status Pernikahan f % Menikah 70 64,8 Tidak menikah 35 35,2 Tempat Tinggal f % Medan 90 83,3 Luar Medan 18 16,7 Berdasarkan tabel 2. dapat dilihat bahwa proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan agama tertinggi adalah agama Islam 85,2% (92 orang) dan yang terendah adalah agama Kristen 14,8% (16 orang). Proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan pekerjaan tertinggi adalah wiraswasta 36,1% (39 orang) dan yang terendah adalah tidak bekerja 6,5% (7 orang). Proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan status pernikahan tertinggi adalah menikah 64,8% (70 orang) dan yang terendah adalah tidak menikah 6,5% (7 orang). Proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan tempat tinggal tertinggi adalah Medan 83,3% (90 orang) dan yang terendah adalah luar Medan 16,7% (18 orang). Distribusi proporsi keadaan medis penderita Hepatitis B rawat inap (kadar Bilirubin, kadar SGOT, kadar SGPT dan tipe Hepatitis B) di rumah sakit Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan tahun dapat dilihat pada tabel 3.: Tabel 3.Distribusi Proporsi Keadaan Medis Penderita Hepatitis B Rawat Inap Di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Kadar Bilirubin f % Normal 23 21,3 Tidak Normal 85 78,7 Kadar SGOT f % Normal Sedang Tinggi ,0 18,5 43,5 Kadar SGPT f % Normal Sedang ,2 20,4 Tinggi 62 57,4 Tipe Hepatitis B f % Akut Kronis ,7 21,3 Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan kadar bilirubin tertinggi adalah tidak normal 78,7% (85 orang) dan yang terendah adalah normal 21,3% (23 orang). Proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan kadar SGOT tertinggi adalah kadar SGOT tinggi 43,5% (47 orang) dan yang terendah adalah kadar SGOT sedang 18,5% (20 orang). Proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan kadar SGPT tertinggi adalah kadar SGPT tinggi 57,4% (62 orang) dan yang terendah adalah kadar SGPT sedang 20,4% (22 orang). Proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan tipe Hepaitits B tertinggi adalah akut 78,7% (85 orang) dan yang terendah adalah kronis 21,3% (23 orang). Distribusi proporsi status rawatan terdiri atas lama rawatan dan keadaan sewaktu pulang) penderita Hepatitis B rawat inap di rumah sakit Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan tahun dapat dilihat pada tabel 4 dan 5:

14 Tabel 4. Distribusi Proporsi Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Lama Rawatan di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Mean Standar Deviasi Coef of Variation Minimum Maximum Berdasarkan tabel 4. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita Hepatitis B rawat inap adalah 10,49 hari (10 hari) dan standar deviasi 4,944. Coefficient Of Variation 24,439 (>10%) artinya lama rawatan penderita Hepatitis B rawat inap bervariasi dimana lama rawatan minimum 2 hari dan maksimum 25 hari. Tabel 5. Distribusi Proporsi Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Keaadan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Berdasarkan tabel 5. dapat dilihat bahwa proporsi penderita Hepatitis B rawat inap berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan 77,8% (84 orang) dan yang terendah adalah meninggal 6,5% (7 orang). Analisis Bivariat Lama Rawatan 10,49 4,944 24, Keadaan Sewaktu Pulang f % PBJ PAPS Meninggal ,8 15,7 6,5 Jumlah ,0 Umur Berdasarkan Tipe Hepatitis B Tabel 6. Distribusi Proporsi Umur Penderita Hepatitis B Berdasarkan Tipe Hepatitis B di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/Bukit Barisan Medan Tahun Tipe Hepatitis B Akut Kronis Umur (tahun) >45 Jumlah f % f % f % f % 5 0 5, ,2 69,6 Berdasarkan tabel 6. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 85 penderita ,9 20, ,0 100,0 Hepatitis B tipe akut adalah pada kelompok umur tahun 68,2% (58 orang) dan proporsi tertinggi dari 23 penderita Hepatitis B tipe kronis adalah pada kelompok umur tahun 69,6% (16 orang). Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji Chi- Square dikarenakan terdapat 2 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. Umur Berdasarkan Kadar SGOT Tabel 7. Distribusi Proporsi Umur Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Kadar SGOT Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Kadar SGOT Normal Sedang Tinggi Berdasarkan tabel 7. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 41 penderita Hepatitis B dengan kadar SGOT normal adalah pada kelompok umur tahun 73,2% (30 orang), proporsi tertinggi dari 20 penderita Hepatitis B dengan kadar SGOT sedang adalah pada kelompok umur tahun 70,0% (14 orang) dan proporsi tertinggi dari 47 penderita Hepatitis B dengan kadar SGOT tinggi adalah pada kelompok umur tahun 63,8% (30 orang). Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji Chi- Square dikarenakan terdapat 3 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. Umur Berdasarkan Kadar SGPT Tabel 8. Distribusi Proporsi Umur Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Kadar SGPT di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Kadar SGPT Normal Sedang Tinggi Umur (tahun) >45 Jumlah f % f % f % f % 1 2, , , ,0 1 5, ,0 5 25, ,0 3 6, , , ,0 Umur (tahun) >45 Jumlah f % f % f % f % ,8 7 29, ,0 2 9, ,6 6 27, ,0 3 4, , , ,0

15 Berdasarkan tabel 8. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 24 penderita Hepatitis B dengan kadar SGPT normal adalah pada kelompok umur tahun 70,8% (17 orang), proporsi tertinggi dari 22 penderita Hepatitis B dengan kadar SGPT sedang adalah pada kelompok umur tahun 63,6% (14 orang) dan proporsi tertinggi dari 62 penderita Hepatitis B dengan kadar SGPT tinggi adalah pada kelompok umur tahun 69,4% (43 orang). Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji Chi- Square dikarenakan terdapat 3 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. Umur Berdasarkan Kadar Bilirubin Tabel 9. Distribusi Proporsi Umur Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Kadar Bilirubin di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Kadar Bilirubin Normal Tidak normal Umur (tahun) >45 Jumlah f % f % f % f % 1 4, ,9 5 21, ,0 4 4, , , ,0 Berdasarkan tabel 9. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 23 penderita Hepatitis B dengan kadar Bilirubin normal adalah pada kelompok umur tahun tahun 73,9% (17 orang), proporsi tertinggi dari 85 penderita Hepatitis B dengan kadar Bilirubin tidak normal adalah pada kelompok umur tahun 67,1% (57 orang). Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji Chi- Square dikarenakan terdapat 2 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. Jenis Kelamin Berdasarkan Kadar SGOT Tabel 10. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Kadar SGOT di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Berdasarkan table 10. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 41 penderita Hepatitis B dengan kadar SGOT normal adalah pada laki-laki 85,4% (35 orang), proporsi tertinggi dari 20 penderita Hepatitis B dengan kadar SGOT sedang adalah pada laki-laki 75,0% (15 orang) dan proporsi tertinggi dari 47 penderita Hepatitis B dengan kadar SGOT tinggi adalah pada laki-laki 74,5% (35 orang). Hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai (p=0,416), p>0,05artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin dengan kadar SGOT. Jenis Kelamin Berdasarkan Kadar SGPT Tabel 11. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Kadar SGPT di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Kadar SGPT Normal Sedang Tinggi Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah f % f % f % 23 95,8 1 4, , ,2 7 31, , , , ,0 Berdasarkan tabel 11.dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 24 penderita Hepatitis B dengan kadar SGPT normal adalah pada laki-laki 95,8% (23 orang), proporsi tertinggi dari 22 penderita Hepatitis B dengan kadar SGPT sedang adalah pada laki-laki 68,2% (15 orang) dan proporsi tertinggi dari 62 penderita Hepatitis B dengan kadar SGPT tinggi adalah pada laki-laki 75,8% (47 orang). Hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai (p=0,051), p>0,05 artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin dengan kadar SGPT. Kadar SGOT Normal Sedang Tinggi Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah f % f % f % 35 85,4 6 14, , ,0 5 25, , , , ,0

16 Kadar Bilirubin Berdasarkan Tipe Hepatitis B Tabel 12. Distribusi Proporsi Kadar Bilirubin Berdasarkan Tipe Hepatitis B Penderita Hepatitis B Rawat Inap di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Tipe Hepatitis B Berdasarkan tabel 12. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi dari 85 penderita Hepatitis B tipe akut adalah dengan kadar Bilirubin tidak normal 83,5% (71 orang), proporsi tertinggi dari 23 penderita Hepatitis B tipe kronis adalah dengan kadar Bilirubin tidak normal 60,9% (14 orang). Hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai (p=0,019), p<0,05 artinya ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe Hepatitis B dengan kadar Bilirubin. Lama Rawatan Berdasarkan Tipe Hepatitis B Tabel 13. Distribusi Proporsi Lama rawatan Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Tipe Hepatitis B di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Tipe Hepatitis B Akut Kronis Normal Kadar Bilirubin Tidak Normal Jumlah f % f % f % Akut 14 16, , ,0 Kronis 9 39, , ,0 Lama Rawatan Rata-Rata (Hari) n Mean SD 85 10,29 4, ,22 5,351 Berdasarkan tabel 13. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata pada 85 penderita Hepatitis B tipe akut adalah 10,29 hari (10 hari) dengan standar deviasi 4,842 dan lama rawatan rata-rata pada 23 penderita HepatitisB tipe kronis adalah 11,22 hari (11 hari) dengan standar deviasi 5,351. Pada uji Tests of Normality,data tersebut berdistribusi tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik Mann- Whitney diperoleh (p=0,555), p>0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan tipe Hepatitis B. Lama Rawatan Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Tabel 14. Distribusi Proporsi Lama rawatan Penderita Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal Lama Rawatan Rata-Rata (Hari) n Mean SD ,18 9,53 4,57 4,862 4,584 1,618 Jumlah ,49 4,944 Pada uji Tests of Normality, lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang dimana PBJ mempunyai nilai p=0,000, PAPS mempunyai nilai p=0,076 dan meninggal mempunyai nilai p=0,200. Nilai salah satu variabel p<0,05, artinya data tersebut berdistribusi tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik Kruskal-Wallis diperoleh (p=0,001), p<0,05 artinya ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan keadaan sewaktu pulang. Penderita Hepatitis B pulang berobat jalan secara bermakna memiliki lama rawatan yang lebih lama dibandingkan pulang atas permintaan sendiri dan meninggal. Tipe Hepatitis B Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Tabel 15. Distribusi Proporsi Tipe Hepatitis B Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Putri Hijau Medan Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal Berdasarkan tabel 15. dapat dilihat Tipe Hepatitis B Akut Kronis Jumlah f % f % f % 69 82, , , ,4 3 17, ,0 2 28,6 5 71, ,0 bahwa proporsi tertinggi dari 84 penderita Hepatitis B dalam keadaan pulang berobat jalan adalah bertipe akut 82,1% (69 orang), proporsi tertinggi dari 17 penderita Hepatitis B dalam keadaan pulang atas permintaan sendiri adalah bertipe akut 82,4% (14 orang) dan proporsi tertinggi dari 7 penderita Hepatitis B dalam keadaan sewaktu pulang meninggal adalah bertipe kronis 71,4% (5 orang).

17 Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji Chi- Square dikarenakan terdapat 2 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi penderita Hepatitis B rawat tertinggi pada kelompok umur tahun 27,8%, laki-laki 78,7%, agama Islam 85,2%, pekerjaan wiraswasta 34,3%, status menikah 64,8%, dan tinggal di Medan yaitu 83,3%. b. Proporsi kadar Bilirubin penderita Hepatitis B rawat inap tertinggi adalah tidak normal yaitu 78,7%. c. Proporsi kadar SGOT penderita Hepatitis B rawat inap tertinggi adalah kadar SGOT tinggi yaitu 44,5%. d. Proporsi kadar SGPT penderita Hepatitis B rawat inap tertinggi adalah kadar SGPT tinggi yaitu 57,4%. e. Proporsi tipe Hepatitis B pada penderita Hepatitis B rawat inap tertinggi adalah akut yaitu 78,7%. f. Lama rawatan rata-rata penderita Hepatitis B rawat inap adalah 10,49 hari. g. Proporsi keadaan sewaktu pulang penderita Hepatitis B tertinggi adalah pulang berobat jalan 77,8%. h. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe Hepatitis B dengan kadar Bilirubin (p=0,019). i. Ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan keadaan sewaktu pulang (p=0,001). j. Tidak dapat menggunakan uji Chi- Square antara umur dengan tipe Hepatitis B sebab terdapat 2 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. k. Tidak dapat menggunakan uji Chi- Square antara umur dengan kadar SGOT sebab terdapat 3 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. l. Tidak dapat menggunakan uji Chi- Square antara umur dengan kadar SGPT sebab terdapat 3 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. m. Tidak dapat menggunakan uji Chi-Square antara umur dengan kadar Bilirubin terdapat 2 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. n. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin dengan kadar SGOT (p=0,416). o. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin dengan kadar SGPT (p=0,051). p. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan ratarata dengan tipe Hepatitis B (p=0,555). q. Tidak dapat menggunakan uji Chi- Square antara tipe Hepatitis B dengan keadaan sewaktu pulang dikarenakan terdapat 2 sel (33,3%) memiliki nilai expected<5. 2. Saran a. Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan memberikan anjuran kepada penderita Hepatitis B akut melakukan pemeriksaan serologis maupun fungsi hati berkala meskipun pulang berobat jalan dan dalam masa penyembuhan untuk memantau progresivitas penyakit dalam mencegah terjadinya kronisitas Hepatitis B. b. Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/ Bukit Barisan Medan memberikan anjuran kepada penderita Hepatitis B kronik melakukan pemeriksaan berkala untuk mengetahui perjalanan penyakit dan deteksi dini komplikasi. c.diharapkan kepada orang-orang berisiko tinggi yang belum mendapatkan sebelumnya khususnya pada kelompok umur produktif untuk divaksinasi Hepatitis B serta menghindari untuk melakukan gaya hidup maupun perilaku seksual berisiko tertularnya virus Hepatitis B.

18 d.diharapkan bagi keluarga penderita Hepatitis B untuk melakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui lebih dini demi mencegah tertularnya virus Hepatitis B. e. Diharapkan pemerintah dan pihak terkait lebih proaktif mempromosikan dan memberikan pengetahuan tentang Hepatitis B kepada masyarakat serta memberikan subsidi obat Hepatitis B bagi penderita. f. Diharapkan kepada pihak rumah sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan lebih melengkapi pencatatan seperti pendidikan pasien. g. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang karakteristik salah satu atau beberapa faktor risiko Hepatitis B secara lebih spesifik. Daftar Pustaka 1. Andri S,Budiman S, Ali S, Imelda L, Anggilia S.,2010. Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C. Penerbit Sagung Seto, Jakarta. 2. WHO., Viral Hepatitis in the WHO South-East Asia Region. diunduh tanggal 29 April atitis/whocdscsrlyo20022/en/index 1.html diunduh tanggal 29 April Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Tahun Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun Diakses tanggal 7 Februari Timmreck.,2005. Suatu Pengantar Epidemiologi. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun Diakses tanggal 7 Februari Rumondang, F., 2007, Karakteristik Penderita Hepatitis B yang di Rawat Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun Skripsi Mahasiswa FKM USU. 10. Elizabeth L.,2010, Karakteristik Penderita Hepatitis B Rawat Inap di RSUD Rantau Prapat Kabupaten Labuhan Batu Tahun Skripsi Mahasiswa FKM USU. 4. Sherlock S., Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Penerbit Widya Medika, Jakarta. 5. Persatuan Peneliti Hati Indonesia. Artikel Umum: Hepatitis B PPHI, Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia, PPHI, Jakarta. diakses tanggal 7 Februari 2014.

19 GAMBARAN POLA ASUH DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI TAHUN 2014 (DESCRIPTION OF PARENTING AND NUTRITIONAL STATUS OF BABY UNDER FIVE YEARS OLD IN SMOKER FAMILIES IN BERASTAGI DISTRICT IN 2014) Dwinta Julian Sasmi 1, Etti Sudaryati 2, Fitri Ardiani 3 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT Parenting parents has significant impact on the life of children in the future. One of the growth inhibitory effect of parenting which is not oriented to the development of childern. It usually occurs in under five years old. The objective of the study was to describe the parenting and nutritional status of five under years old in smokers families in Berastagi District in This research was a descriptive crosssectional design. Data was collected by inter views and questionnaires to 100 respondents with five under year old in the region of sub-district healath centers Berastagi in March-June The results showed that the majority of mother who have five under year old in smoker families were with good parenting category, which consisted of 64% feeding practices, hygiene practices and environmental sanitation 64%, and the care of children and families in sickness 67%. The results of measurements of weight/height according to the WHO 2005 standards were in the category off at 1%, 3% risk of fat, 73% normal, 17% lean, and very skinny 6%. The results of measurements of nutritional knowledge a were in either category that was equal to71%, and the knowledge of smoking were in the good category at 68%. Counseling is required on food, nutrition and health to mothers who have five under years old in smoker families so that knowledge, parenting and a good level of consumption can be further improved and will ultimately improve the nutritional status of children. Key words : parenting, nutritional status, five under years old, smoker families PENDAHULUAN Pola asuh anak berupa sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (f i- sik dan mental), tentang status gizi, pendidikan umum, penghasilan, pengetahuan, dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat, dan sebagainya dari si ibu dan pengasuh anak (Sunarti, 2000). Pengaruh pola asuh orang tua mempunyai dampak besar pada kehidupan anak di kemudian hari. Salah satu penghambat potensi anak adalah pengaruh pola asuh yang tidak berorientasi pada perkembangan anak. Biasanya terjadi ketika anak di bawah lima tahun (Anonim, 2010). Kurangnya pengetahuan ibu tentang pemberian makanan terjadi karena banyak tradisi dan kebiasaan seperti penghentian penyusuan lebih awal dari 2 tahun, anak kecil hanya memerlukan makanan sedikit dan pantangan terhadap makanan, ini merupakan faktor penyebab masalah gizi di masyarakat (Depkes RI, 2002). Kebiasaan merokok merupakan satu perbuatan yang buruk, bukan saja kepada diri sendiri, melainkan kepada orang di sekitarnya. Diperkirakan hampir satu pertiga penduduk laki-laki di dunia mempunyai kebiasaan merokok di dalam kehidupan sehari-hari. Selain mengancam kesehatan manusia, perokok atau orang-orang di sekitarnya, asap rokok juga dapat menyebabkan masalah polusi udara (WHO 2006). Prevalensi merokok di Indonesia semakin meningkat, sebanyak 65 juta perokok atau 28% dari total populasi di Indonesia me- 1

20 rokok. Prevalensi merokok pada laki-laki, menjadikan perempuan dan anak-anak perokok pasif. Data sensus 2004 menyatakan bahwa 71% keluarga Indonesia setidaknya 1 orang perokok. Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama dengan perokok akan terpapar dengan asap rokok tersebut. Keseluruhan perokok aktif yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3% (Depkes Sumut, 2008). Berdasarkan data Riskesdas (2008), proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2% dan merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi perokok yang paling tinggi. Berastagi merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Jarak Kecamatan ini dengan pusat pemerintahan kabupaten sendiri yakni Kabanjahe adalah 10 km, dengan ibukota provinsi yakni Medan adalah 65 km. Prilaku merokok masyarakat Berastagi tidak terlepas dari kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaan. Berdasarkan penelitian Sudaryati dkk (2013), proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang be r- ketahanan sehat baik dan 45 (37,55%) rumah tangga yang tidak berketahanan sehat. Pengeluaran rokok per bulan rata-rata 26,7% dari total pendapatan keluarga, dan lebih besar dari pengeluaran non pangan yang hanya 21,9%. Faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang. Sedangkan proporsi rumah tangga perokok berdasarkan faktor lingkungan menunjukkan bahwa hanya ada 23 keluarga (19,2%) yang memiliki faktor lingkungan baik, dan sebanyak 97 keluarga (80,8%) memiliki faktor lingkungan kurang baik. Faktor pangan dan lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab masalah gizi. Ditingkat rumah tangga, keadaan gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan, baik jumlah maupun jenisnya yang cukup. Selain itu dipengaruhi juga oleh pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan, perilaku dan keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu penyebab timbulnya gizi kurang pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang memadai. Sehingga masalah gizi merupakan masalah multifaktor (Soekirman, 2000). Berdasarkan survey awal tentang capaian program gizi di Puskemas Berastagi menunjukkan bahwa dari 2710 balita terdapat 48 balita yang mengalami gizi kurang dan 1 balita mengalami gizi buruk. Penyakit Diare dan ISPA merupakan penyakit paling banyak dijumpai di wilayah kerja puskesmas. Penyakit infeksi ini dapat mengakibatkan anak mengalami gizi kurang maupun gizi buruk yang erat kaitannya dengan praktik kebersihan dan sanitasi lingkungan anak balita. Kecamatan Berastagi merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Karo, dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Ibu-ibu ikut membantu suami bekerja di ladang sehingga balita dibawa ke ladang untuk ikut dengan orang tuanya yang sedang bekerja sehingga memungkinkan pola asuh anak terutama pada pemberian makan anak kurang baik dan kebersihan anak juga kurang diperhatikan. Selain itu tidak jarang pula ditemui balita terpapar langsung dengan asap rokok, karena di daerah Berastagi kegiatan merokok dilakukan dimana saja, seperti dalam acara adat, di rumah ketika bersama keluarga, di pasar pada saat berdagang, maupun di areal pertanian ketika menyemprot pestisida. Pada umumnya balita di Kecamatan Berastagi diberi makan pagi setelah ibunya selesai menyelesaikan pekerjaan rumah. Sehingga balita sering terlambat sarapan pagi. Untuk makan siang, karena bekerja diladang mereka sering lupa untuk memberi makan balitanya tepat waktu, dan sepulang kerja mereka harus memasak terlebih dahulu sehingga balita pun terlambat makan malam. Selain itu, balita tidak diberi makanan tambahan lainnya. Sehingga ditakutkan kebutuhan nutrisi balita tidak dapat terpenuhi. 2

21 Sedangkan untuk faktor kebersihannya, karena mereka bekerja di ladang sering sekali mereka makan tanpa mencuci tangan yang benar. Begitu juga keadaan di rumah, dikarenakan suhu yang dingin keluarga jarang membuka jendela sehingga ketika ada anggota keluarga yang merokok di dalam rumah tidak terjadi pertukaran udara dengan baik. Hal ini mengakibatkan seluruh anggota keluarga di rumah khususnya balita terpapar asap rokok tersebut. Untuk pelayanan kesehatannya apabila ada anggota keluarga yang sakit khususnya balita, biasa hanya dilakukan perawatan di rumah dengan menggunakan obat-obatan tradisional dan hanya akan dibawa ke puskesmas apabila penyakitnya semakin parah. Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran pola asuh dan status gizi balita pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana pola asuh dan staus gizi balita pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran pola asuh dan status gizi balita pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi tahun Manfaat penelitian ini yaitu dapat memberikan gambaran pada masyarakat tentang pola asuh yang nantinya dapat diketahui bagaimana pola asuh yang baik untuk anak usia balita sehingga status gizi yang baik pada anak dapat tercapai; sebagai bahan masukan dan informasi bagi petugas kesehatan (puskesmas) dan aparatur Kecamatan setempat mengenai gambaran pola asuh dan status gizi balita pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi dalam melaksanakan upaya peningkatan kesehatan. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita umur 1-4 tahun yang memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) dalam keluarga perokok yang berada di Kelurahan Gundaling I dan Gundaling II yakni sebanyak 729 balita. Sedangkan sampel adalah sebagian rumah tangga yang ada di Kecamatan Berastagi yang mempunyai satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik perempuan maupun laki-laki yakni sebanyak 100 rumah tangga. Penentuan sampel menggunakan random sampling. Data primer diperoleh dari responden secara langsung melalui wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumen-dokumen rumah sakit dan berbagai hasil penelitian. Analisa data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Berastagi merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan Ibu Kota Kecamatan Berastagi. Jarak tempuh ke Kabanjahe sebagai Ibu Kota Kabupaten adalah 11 Km dan 65 Km ke Kota Medan sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Utara. Luas Kecamatan Berastagi adalah Ha, berada pada ketinggian rata-rata m diatas permukaan laut dengan temperature antar 19ºC s/d 26ºC dan kelembaban udara berkisar 79%. Kecamatan Berastagi sebagai salah satu wilayah pemerintahan yang terdiri dari 6 (enam) desa dan 4 (empat) kelurahan yang di mukimi oleh penduduk Kecamatan Berastagi dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, dimana laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Karo 75% dan selebihnya suku Toba, Nias, Jawa, Aceh, Simalungun, Keturunan Cina, Pakpak, Dairi dan lain-lain. Tabel 1. Karakteristik Balita Pada Keluarga Perokok Saat Pengumpulan Data Dasar Karakteristik N f Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Umur bulan >24 bulan Jumlah Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa pada saat pengumpulan data dasar jenis kelamin balita lebih banyak laki-laki 3

22 yaitu sebesar 52 orang (52%), dan rata -rata umur balita lebih banyak berada pada >24 bulan yaitu sebesar 64 orang (64%). Tabel di bawah ini merupakan distribusi keluarga balita pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi. Berdasarkan tabel 2 di bawah dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan terakhir ibu yakni sebanyak 11 orang (11%) bera da pada kategori rendah, sebanyak 69 orang (69%) tingkat pendidikan ibu berada pada kategori menengah, sedangkan ibu yang tingkat pendidikannya berada pada kategori tinggi yakni sebanyak 20 orang (20%). Status pekerjaan ibu yang ada di daerah penelitian sebagian besar adalah bekerja yakni sebanyak 77 orang (77%), sedangkan ibu dengan status pekerjaan tidak bekerja yakni sebesar 23 orang (23%). Sebanyak 58 keluarga (58%) memiliki tingkat pendapatan lebih besar dari upah minimum propinsi, sedangkan sebanyak 42 keluarga (48%) memiliki tingkat pendapatan lebih kecil dari upah minimum propinsi. Sementara itu sebanyak 65 keluarga (65%) memiliki jumlah anggta keluarga lebih besar dari 5, sedangkan sebanyak 35 keluarga (35%) mem i- liki jumlah anggota keluarga lebih kecil dari 5. Tabel 2. Karakteristik Keluarga Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Karakteristik n f Tingkat Pendidikan Rendah Menengah Tinggi Jumlah Status Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Jumlah Tingkat Pendapatan Keluarga >UMP < UMP Jumlah Jumlah Anggota Keluarga > < Jumlah POLA ASUH Menurut Engle (1997), Pola Asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fifik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dan anggota lainnya. Pola asuh yang akan dinyatakan dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian makanan, praktek kebersihan/higieni dan sanitasi lingkungan serta perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit. Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan menggunakan keusioner maka dapat diketahui kategori pola asuh yang baik maupun pola asuh yang buruk pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi, pola asuh tersebut dapat dilihat di dalam tabel di bawah ini. Tabel 3. Pola Asuh Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Pola Asuh N f Praktek Pemberian Makan Baik Buruk Jumlah Praktek Kebersihan/Higiene dan Sanitasi Lingkungan Baik Buruk Jumlah Perawatan Anak dan Keluarga Dalam Keadaan Sakit Baik Buruk Jumlah Dari tabel. 3 diatas menunjukkan bahwa pola asuh balita pada keluarga perokok dalam praktek pemberian makanan berada pada kategori baik sebanyak 64 keluarga (64%), sedangkan sebanyak 36 keluarga (36%) memiliki pola asuh kategori buruk. Sebagian besar ibu pada keluarga perokok memiliki praktek pemberian makanan yang baik dalam hal menyiapkan sendiri kebutuhan makan anak yaitu sebesar 100%, menu makan anak terdiri dari 4 sehat 5 sempurna yaitu sebesar 80%, menganjurkan untuk menghabiskan makanan yaitu sebesar 70%, memberi makanan tahu/tempe 2 kali seminggu yaitu 4

23 sebesar 60%, memberikan buah selama seminggu terakhir yaitu sebesar 50%, mendampingi anak pada saat makan yaitu sebesar 50 %, makanan yang diberikan pada anak bervariasi yaitu sebesar 60%, mengutamakan makanan anak dari pada anggota kelurga lainnya yaitu sebesar 80%, mendorong anak untuk bicara pada saat makan yaitu sebesar 60%, dan jika anak makan tidak berdekatan dengan anggota keluarga yang sedang merokok yaitu sebesar 70%. Hal ini menunjukkan bahwa ibu tidak hanya memperhatikan pola makan anak tetapi juga menjaga kebersihan dengan baik. Pola asuh balita pada keluarga perokok dalam praktek kebersihan/higieni dan sanitasi lingkungan berada pada kategori baik sebanyak 64 keluarga (64%), sedangkan s e- banyak 36 keluarga (36%) memiliki pola asuh kategori buruk. Sebagian besar ibu pada keluarga perokok memiliki praktek kebersihan/higieni dan sanitasi lngkungan yang baik dalam hal mengganti pakaian anak setiap hari yaitu sebesar 70%, mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan yaitu sebesar 70%, mengajarkan anak ketika BAB di jamban yaitu sebesar 80%, membersihkan gigi anak setiap hari yaitu sebesar 60%, membersihkan kuku anak secara teratur yaitu sebesar 50%, jendela atau pintu dibuka pada saat salah satu anggota keluarga merokok di dalam rumah yaitu sebesar 70%, dan pada saat merokok anggota keluarga tidak berdekatan dengan anak yaitu sebesar 75%. Pola asuh balita pada keluarga perokok dalam kategori perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit berada pada kategori baik sebanyak 67 keluarga (67%), s e- dangkan sebanyak 33 keluarga (33%) mem i- liki pola asuh kategori buruk. Sebagian besar ibu pada keluarga perokok memiliki praktek perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit yang baik dalam hal anak telah mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebesar 100%, pada saat anak sakit tidak dibiarkan berdekatan dengan salah satu anggota keluarga yang sedang merokok yaitu sebesar 60%, mendampingi anak selama sakit yaitu sebesar 80 %, membawa anak ke pelayanan kesehatan terdekat jika anak sakit yaitu sebesar 70%, ibu merawat anak pada saat saki yaitu sebesar 100% dan ibu memberikan suplemen selama anak sakit yaitu sebesar 50%. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu masih meluangkan waktu untuk memperhatikan kesehatan anak dan keluarga. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa walaupun kebanyakan status pekerjaan ibu adalah bekerja yaitu sebesar 77%, tetapi mereka masih mampu menerapkan pola asuh yang baik di dalam keluarga. Walaupun ratarata tingkat pendidikan ibu berada pada kategori menengah yaitu sebesar 69%, ibu tetap dapat lebih mudah menyerap apa yang dilihat dan didengarnya. Hal ini dapat disebabkan karena ibu sering mendapat informasi kesehatan melalui penyuluhan di posyandu di mana posyandu di lingkungan ini teratur pelaksanaannya. Faktor lain mungkin disebabkan oleh tingkat pendapatan keluarga dimana tingkat pendapatan keluarga di Kecamatan Berastagi sekitar 58% berada dalam kategori lebih besar dari UMP, sehingga ibu dapat melengkapi kebutuhan gizi anak. Jumlah anggota keluarga yang sebagian besar keluarga memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak yaitu sebesar 65%, hal ini tetap menjadikan ibu lebih mengutamakan kebutuhan anak karena sebagian besar ibu telah memahami bahwa anak sangat membutuhkan asupan gizi yang seimbang untuk tumbuh kembang anak. Selain itu aktivitas merokok salah satu anggota keluarga yaitu ayah, sering dilakukan didalam rumah dan juga berdekatan lagsung dengan anak. Hal ini membuat ibu lebih memperhatikan pola asuh anak, karena sebagian besar ibu telah memahami bahaya perokok pasif yang akan ditimbulkan pada anak ataupun keluarga lainnya. STATUS GIZI BALITA Pengukuran status gizi balita dalam penelitian ini yaitu balita berusia 1-4 tahun, diukur dengan indeks antopometri (BB/TB) berdasarkan baku WHO 2005 dalam simpangan baku ( standart deviation score = Z score), status gizi dapat dibagi enam kategori : sangat gemuk jika skor simpangan baku > 3,0 SD, gemuk jika skor simpangan baku 2,0 < Z < 3,0 SD, risiko gemuk jika skor simpangan baku 1,0 < Z < 2,0 SD, normal jika skor simpangan baku -2,0 < Z < 1,0 SD, kurus jika skor simpangan baku -3,0 < Z < -2,0 SD, san- 5

24 gat kurus jika nilai Z skor < -3,0 SD, dengan cara penibangan Berat Badan (BB) dengan menggunakan timbangan dacin dan Tinggi Badan (TB) dengan menggunakan microtoise. Hasil pengukuran status gizi balita dapat dilihat pada tabel. 3 di bawah ini. Tabel 4. Status Gizi berdasarkan Pengukuran Antopometri di Kecamatan Berastagi Tahun 2014 Status Gizi n f Gemuk 1 1 Resiko Gemuk 3 3 Normal Kurus Sangat Kurus 6 6 Jumlah Dari tabel. 4 berdasarkan pengukuran BB/TB yang disesuaikan dengan standart WHO 2005 menunjukkan bahwa balita yang memiliki status gizi gemuk sebanyak 1 orang (1%), balita yang memiliki status gizi resiko gemuk sebanyak 3 orang (3%), balita yang memiliki status gizi normal sebanyak 73 orang (73%), balita yang memiliki status gizi kurus sebanyak 17 orang (17%) dan balita yang memiliki status gizi sangat kurus sebanyak 6 orang (6%). Berdasarkan data pola asuh hasil menunjukkan bahwa pola asuh ibu pada keluarga perokok berada pada kategori baik, namun dalam kaitannya dengan status gizi masih di ditemukan balita dengan status gizi kurus dan sangat kurus. Jika dilihat dari pendapatan keluarga, maka rata-rata keluarga di Kecamatan Berastagi memiliki pendapatan diatas UMP (Rp ). Namun kaitannya dalam hal pemenuhan kebutahan makanan yang bergizi bagi anak belum sempurna, hal ini dipengaruhi oleh pengeluaran non pangan lainnya yaitu pengeluaran rokok salah satu anggota keluarga. Hasil penelitian Karo Sekali (2014) di Kecamatan Berastagi menunjukkan bahwa sebanyak 4 keluarga (4,0%) mengeluarkan uang lebih dari Rp untuk konsumsi rokok saja. Dan sebagian besar keluarga perokok yakni sebanyak 62 keluarga (6,2%) menghabiskan uang sebesar Rp untuk konsumsi rokok. Pengeluaran rokok tersebut sudah hampir sama, bahkan sebagian telah melebihi pengeluaran pangan keluarga. PENGETAHUAN IBU BALITA Pengetahuan yang akan dinyatakan dalam penelitian ini meliputi pengetahuan gizi dan pengetahuan merokok ibu balita. Tabel berikut merupakan tabel hasil pengukuran pengetahuan ibu balita pada keluarga perokok. Tabel 5. Pengetahuan Ibu Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Pengetahuan N f Ibu Balita Pengetahuan Gizi Baik Sedang Jumlah Pengetahuan Merokok Baik Sedang Jumlah Tabel. 5 diatas menunjukkan bahwa sebanyak 71 ibu (71%) memiliki pengetahuan gizi yang baik, sedangkan sebanyak 29 ibu (29%) memiliki pengetahuan gizi yang sedang. Sebagian besar ibu pada keluarga perokok memiliki pengetahuan gizi yang baik dalam hal ibu telah mengetahui manfaat gizi yang baik untuk anak yaitu sebesar 82%, mengetahui keunggulan ASI yaitu sebesar 70%, mengetahui manfaat pemberian vitamin A yaitu sebesar 65%, mengetahui manfaat garam beriodium yaitu sebesar 82% dan mengetahui tanda-tanda anak yang sehat yaitu sebesar 75%. Jika dilihat dari batasan status gizi baik, ternyata semua tingkat pengetahuan ibu dari anak-anak yang berstatus gizi baik adalah berada pada kategori baik yaitu sebanyak 77 orang, sedangkan tingkat pengetahuan ibu dari anak-anak yang berstatus gizi buruk adalah berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 23 orang. Data ini menunjukkan ada kecenderungan dengan semakin baiknya tingkat 6

25 pengetahuan ibu maka proporsi gizi baik pada anak juga akan semakin besar. Hal ini sangat berkaitan erat dengan seringnya ibu mendapatkan informasi kesehatan, di mana sumber informasi terbanyak diperoleh dari kader. Sedangkan pengetahuan merokok ibu sebanyak 69 ibu (69%) memiliki pengetahuan merokok baik, dan sebanyak 31 ibu (31%) memiliki pengetahuan merokok yang sedang. Sebagian besar ibu pada keluarga perokok memiliki pengetahuan merokok yang baik dalam hal mengetahui tentang istilah perokok pasif yaitu sebesar 80%, mengetahui bahaya menjadi perokok pasif yaitu sebesar 60%, mengetahui jika salah satu anggota keluarga merokok di dalam rumah dapat memperbesar resiko anggota keluarga menderita sakit yaitu sebesar 60%, mengetahui bahwa sebatang rokok dapat memicu terjadinya kerusakan paruparu yaitu sebesar 60%, dan mengetahui bahwa pengeluaran rokok cukup besar dari pengeluaran non pangan yaitu sebesar 60%. Hasil penelitian pada keluarga perokok yang memiliki balita di Kecamatan Berastagi maka rata-rata yang merokok adalah ayah. Perilaku merokok sering dilakukan didalam rumah setelah selesai makan atau ketika sedang santai, namun masyarakat di Keacamatan Berastagi sudah memiliki pengetahuan merokok yang baik dimana pada saat salah salah satu anggota keluaraga merokok didalam rumah mereka selalau membuka pintu atau jendela. Selain itu pada saat salah satu anggota keluarga sedang merokok maka anak tidak dibiarkan berdekatan lansung dengannya. Meskipun pengetahuan yang mereka miliki termasuk dalam kategori baik, tetapi kebudayaan dan dan faktor lingkungan akan sulit untuk diubah dan sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Sehingga Dinas Kesehatan perlu melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat ataupun pemuka-pemuka agama untuk bekerja sama mencari solusi guna menurunkan kebiasaan merokok masyarakat di Tanah Karo khususnya Kecamatan Berastagi. Karena tokoh masyarakat dan pemuka agama merupakan figur yang dihormati dan diteladani oleh masyarakat. Oleh karena itu diharapkan bahwa dengan melibatkan mereka, masyarakat akan lebih mudah untuk menerima dan melakukan hal-hal yang perlu mereka lakukan guna meningkatkan pengetahuan tentang bahaya merokok dan mengurangi kebiasaan merokok tersebut. KESIMPULAN 1. Status gizi pada balita berdasarkan BB/TB dari keluarga perokok di Kecamatan Berastagi umumnya berada pada status gizi gemuk sebanyak 1 orang (1%), balita yang memiliki status gizi resiko gemuk sebanyak 3 orang (3%), balita yang memiliki status gizi normal sebanyak 73 orang (73%), balita yang memiliki status gizi kurus sebanyak 17 orang (17%) dan balita yang memiliki status gizi sangat kurus sebanyak 6 orang (6%). 2. Pola asuh ibu pada keluarga perokok berdasarkan praktek pemberian makanan lebih banyak berada pada kategori baik yaitu sebanyak 64 orang (64%), sedangkan yang berada pada kategori buruk sebanyak 36 orang (36%). 3. Pola asuh ibu pada keluarga perokok berdasarkan praktek kebersihan/higieni dan sanitasi lingkungan lebih banyak berada pada kategori baik yaitu sebanyak 64 orang (64%), sedangkan yang berada pada kategori buruk sebanyak 36 orang (36%). 4. Pola asuh ibu pada keluarga perokok berdasarkan perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit lebih banyak berada pada kategori baik yaitu sabanyak 67 orang (67%), sedangkan yang berada pada kategori buruk sebanyak 33 orang (33%). 5. Pengetahuan gizi ibu pada keluarga perokok yang memiliki balita lebih banyak berada pada kategori baik yaitu sebanyak 71orang (71%), sedangkan yang berada pada kategori sedang sebanyak 29 orang (29%). 6. Pengetahuan merokok ibu pada keluarga perokok yang memiliki balita lebih banyak berada pada kategori baik yaitu sebanyak 69orang (69%), sedangkan yang berada pada kategori sedang sebanyak 31 orang (31%). SARAN.1. Masih ditemukan balita dengan status gizi kurus, dan sangat kurus pada keluarga pe- 7

26 rokok oleh karena itu dalam mempertahankan dan peningkatan status gizi, disarankan kepada ibu pada keluarga perokok untuk memperhatikan asupan gizi anak agar tidak ditemukan anak balita dengan status gizi kurus dan sangat kurus. 2. Perlunya penyuluhan secara merata tentang makanan, gizi dan kesehatan kepada ibuibu yang mempunyai balita pada keluarga perokok sehingga pengetahuan, pola asuh dan tingkat konsumsi yang baik bisa lebih ditingkatkan dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi balita. 3. Kepada ibu di keluarga perokok yang sudah menerapkan pola pengasuhan anak seperti praktek pemberian makan, praktek kebersihan/higieni sanitasi lingkungan serta perawatan anak dan keluarga dalam keadaan sakit yang sudah baik diharapkan agar tetap mempertahankannya. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Arisman, MB, Buku Ajar Ilmu Gizi : Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC, Jakarta. Berg A, Sayogyo, Peran Gizi Dalam Pembangunan Nasional. C.V. Rajawali, Jakarta, Depkes, RI, Pedoman Bina Tumbuh Kembang Anak. Jakarta. Depkes, RI, Modul Pelatihan Pertumbuhan Anak, Interpretasi Indikator Pertumbuhan. Bekerjasama dengan World Health Organization, Jakarta. Depkes, RI, Profil Kesehatan Indonesia Tahun Depkes RI, Jakarta. Depkes, RI Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun Jakarta. Engle, P.L, Menon, P and Haddad, L, Care and Nutrition; Concept and Measurement. International Food Policy Research Institute. Notoatmodjo, S, Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Profil, Kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara, Profil Kecamatan Berastagi. Data Dasar Profil Kecamatan Berastagi, Profil Puskesmas Berastagi. Hasil Capaian Program Gizi Puskesmas Berastagi, Soekirman, Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat. Jakarta Direktorat Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak. EGC, Jakarta. Soegeng, Santoso, Kesehatan Gizi. Renika Cipta. Sudaryati, Proporsi Rumah Tangga Perokok Berdasarkan Ketahanan Keluarga Sehat di Kecamatan Berastagi. Suharjo Perencanaan Pangan dan Gizi, Jakarta PT. Bumi Aksara. Sulistijani, A. D Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Puspa Swara, Jakarta. Supariasa, I.D.N, Bakri, B dan Fajar, I, Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. World Health Organization (WHO), Smoking Statistics, Global. re/fact_sheets/fs_ htm. [27 Maret 2014]. 8

27 9

28 ii

29 GAMBARAN POLA PERTUMBUHAN BALITA PADA KELUARGA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI TAHUN 2014 DESCRIPTION OF GROWTH OF CHILDREN UNDER FIVE YEARS IN SMOKER FAMILIES AND NON SMOKERS IN DISTRICT OF BERASTAGI IN 2014 Maria Magdalena M 1, Etti S 2, Fitri 3 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU Mariamanurung80@yahoo.com ABSTRACT Children under five years means the grow than development of rapid and highly important and as a foundation that determines the quality of the success orgeneration of the nation. Ages 0-24 months is a period of rapid growth and development, and often termed as the golden period and at the same time ascritical period. Golden period can be realized if at this time infants and children receive appropriate nutrition for optimal growth and development. The objective of this study was to describe the pattern of growth of children under five in families of smokers and non smokers in Berastagi district Karo regency. This research was a descriptive cross sectional design. Data was collected by interviews and questionnaires to help 158 respondents with children under five in the region of sub-district health centers Berastagi in March - June The results showed that, based on health status (ARI) in children under five which suffered the most number of ARI were the family that 57% of smokers and non-smokers in the family 43%. Growth of children under five based on weight forage, children under five malnutrition 84.2% of smokers in the family, good nutrition 54.3% innon-smokers and families over 100% under weight children in the family non smokers. Growth of infants based on height for age, very short 100% on a family of smokers, 64.4% short was in the family of smokers and 58.9% of normal height in the family non smokers. Growth in weight for toddler height, very skinny 89% is in the family of smokers, 73% thin nerth ere on a family of smokers, 56% of normal non-smokers there are in the family and 64% obese non-smokers in the family. It is expected to provide input to the clinic to increase public knowledge through education about the dangers of cigarette smoke which give seffect to the growth of infants to increase the awareness of parents, families and communities. It is expected that all members of the family and the community, especially the head of the family to not smoke in the house, even there searcher is hoping that the head of the family can stop the habit of smoking for the health of them selves and their family members, especially baby under five. Key words : Children under five years growth, smoker-families, non-smokers family. 1

30 PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya pembangunan manusia seutuhnya, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembinaan kesehatan anak sejak dini. Upaya pembinaan kesehatan anak diarahkan pada pembinaan kelangsungan hidup, perkembangan, perlindungan dan partisipasi anak, dengan penekanan pada upaya perkembangan anak. Pembinaan tumbuh kembang balita dan anak prasekolah merupakan kegiatan balita yang sifatnya berkelanjutan (Depkes, 2005). Masa bayi dan balita adalah masa mereka mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi bangsa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di temukan pada anak-anak di negara yang sedang berkembang (Hadi, 2004). Gangguan pertumbuhan anak di bawah lima tahun (Balita) merupakan indikator kemiskinan (Siswono, 2002). Dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2000, para pemimpin dunia sepakat bahwa proporsi anak balita kurang gizi atau anak dengan berat badan rendah merupakan salah satu indikator kemiskinan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari sekitar 25 juta balita, sebanyak 4,6 juta diantaranya menderita gizi kurang dimana berat badannya tidak memenuhi berat badan normal menurut umurnya. Ditemukan pula sebanyak 3,4 juta balita tergolong kurus dimana berat badannya kurang proporsional dengan tinggi badannya. Pada saat ini angka nasional menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang sebesar 18,4% (Depkes RI, 2009). Kesehatan yang juga mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar resiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angin apectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anakanak yang orangtuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni,2002). Penelitian terbaru Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington mengungkapkan bahwa jumlah pria perokok di Indonesia telah meningkat sebanyak dua kali lipat sejak 1980, dan prevalensi pria perokok di Indonesia tercatat sebagai kedua tertinggi di dunia (Kompas Health, Kamis 9/1/2014). Menurut penelitian ini, prevalensi kebiasaan merokok di Indonesia memperlihatkan kecenderungan peningkatan hingga Diperkirakan sebanyak 52 juta orang merokok di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah. Penyakit ISPA di Indonesia menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Penyakit tersebut juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA menyebutkan bahwa ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentasi 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI, 2008). Kematian balita karena ISPA secara nasional diperkirakan 6 orang per 1000 balita per tahun atau sekitar balita pertahun. (DepKes RI, 2002). Berdasarkan hasil laporan Riskesdas 2010, ISPA menempati prevalensi tertinggi pada balita yaitu lebih 35%. Prevalensi ISPA juga cenderung terjadi lebih tinggi pada 2

31 kelompok ibu dengan pendidikan dan tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah. Dalam Riskesdas ini dikumpulkan data ISPA ringan dan pneumonia (Riskesdas, 2007). Resiko kematian populasi balita pada keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan dan 24% di pedesaan atau 1 dari 5 kematian balita, berhubungan dengan perilaku merokok orang tua. Dengan angka kematian balita sebesar per tahun (Unicef, 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita per hari. Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara (2008) menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama dengan perokok akan terpapar dengan asap rokok tersebut. Keseluruhan perokok aktif yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3%. Berdasarkan penelitian Sudaryati (2013), proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan konsumsi pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang. Jika faktor pangan keluarga yang memiliki balita kurang maka akan menyebabkan pertumbuhan balita terhambat. Perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (1%), berat badan sangat rendah (6,3%) dan anak sangat pendek (7,0%). Studi sejenis pada pada lebih dari rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok. Berdasarkan data Riskesdas (2008), proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2% yang merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi perokok yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di Tanah Karo masih cukup tinggi. Perilaku merokok masyarakat Karo tidak terlepas dari kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kebiasaan merokok Suku Karo. Tingginya kebiasaan merokok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki anggota kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami risiko kekurangan pangan, serta dapat mempengaruhi pertumbuhan balita dikarenakan dana yang dialokasikan keluarga lebih besar untuk rokok dibandingkan asupan makanan bergizi untuk balitanya. Hal ini sangat mengkhawatirkan balita yang tinggal bersama keluarga perokok. Berdasarkan hasil dari survey penelitian, di Puskesmas Berastagi terdapat 2710 balita yang terbagi di 8 kelurahan, diantaranya masih terdapat 1 balita yang menderita gizi buruk dan 48 balita yang menderita gizi kurang. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan di kecamatan Berastagi, memberikan masukan atau sumber data bagi aparat pemerintah dan puskesmas kecamatan Berastagi agar dapat mengambil langkah tindak lanjut untuk memperbaiki dan meningkatkan pola pertumbuhan anak balita yang ada di daerah tersebut, merupakan informasi penelitian lebih lanjut yang membutuhkannya. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Cross Sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berumur 1-4 tahun dan memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) pada keluarga perokok 3

32 dan keluarga bukan perokok yang berada di Kelurahan Gundaling I dan Kelurahan Gundaling II yakni sebanyak 729 balita. Sedangkan sampel adalah sebagian balita yang ada di Kecamatan Berastagi yang tinggal bersama salah satu anggota keluarganya yang merokok baik perempuan maupun laki-laki yakni sebanyak 158 balita. Penentuan sampel menggunakan rumus kasjono (2009). Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data Primer diperoleh dengan cara pengukuran, wawancara dan pengamatan langsung kepada balita yang meliputi : 1. Karakteristik balita (Nama, Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB). 2. Data Pertumbuhan dengan cara penilaian status gizi balita diperoleh dengan cara hasil Berat Badan (BB) dan pengukuran Tinggi Badan (TB) kemudian dikonversikan dengan Standart WHO 2005/WHO MGRS melalui WHO Antro. Data sekunder diperoleh dari instansiinstansi terkait yang relevan dengan tujuan penelitian. Analisa data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Status Kesehatan (ISPA) Balita Pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik padaanak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paruparu pada saat dewasa. Semakin banyak rokokyang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002). Anak yang orang tuanya merokok akan mudah menderita penyakit gangguan pernapasan (Bustan, 2007). Tabel 1. Gambaran Status Kesehatan (ISPA) Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi. Status Kesehatan ISPA Tidak ISPA Keluarga Perokok Keluarga Bukan Perokok Total F % F % F 51 61, , , ,6 75 Total 79 50% 79 50% 158 Status Laki-laki Perempuan Jumlah Kesehatan n % n % n ISPA Tidak ISPA , , Status Kesehatan (ISPA) ISPA Tidak ISPA < 12 bulan bulan > 24 bulan Juml ah n % n % n % n ,4 14, ,1 26, ,4 58,6 Dari tabel 1 diatas tampak bahwa berdasarkan jenis kelamin balita yang menderita ISPA pada jenis kelamin laki laki lebih besar dari balita perempuan. Pada balita laki laki penderita ISPA sejumlah 45 balita (54,21%) sedangkan pada perempuan jumlah penderita ISPA ada 38 balita (45,78%). Hasil penelitian tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat Nur di Padang yang menyatakan bahwa jumlah penderita ISPA perempuan lebih besar daripada laki laki. Hal ini dikarenakan karena anak perempuan mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi untuk menderita ISPA dibanding dengan laki laki. Kemungkinan ini terjadi karena daya tahan anak laki laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan (Nur, 2009). Berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh, bahwa gambaran status kesehatan balita yang menderita ISPA lebih tinggi pada keluarga perokok yaitu sebanyak 51 balita (61,44%). Ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian ISPA balita pada keluarga perokok lebih tinggi dibandingkan pada keluarga bukan perokok yaitu sebanyak 32 balita (38,55%). Hal ini menunjukkan bahwa status merokok keluarga merupakan salah satu faktor resiko penting untuk beberapa penyakit termasuk ISPA

33 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nur (2004) yang menyatakan ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan penyakit ISPA pada balita. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Karlinda dan Warni (2012) di Bengkulu, yang menyatakan bahwa keberadaan anggota keluarga yang merokok memberi pengaruh besar terhadap kejadian ISPA pada balita. Namun berbeda pula dengan penelitian Taisir (2005) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna status kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian ISPA pada bayi dan anak balita. 2. Gambaran Pertumbuhan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun Pertumbuhan anak dapat ditentukan dengan status gizi, karena pertumbuhan berkaitan erat dengan status gizi. Status gizi anak pada penelitian ini ditentukan dengan standart terbaru yaitu baku rujukan WHO 2005/WHO MGRS dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U) dan berat badan menurut tinggi badan atau berat badan menurut panjang badan (BB/TB atau BB/PB). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Gambaran Pertumbuhan Berat Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Berat Badan Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Keluarga Keluarga Bukan Perokok Perokok Total F % F % F 16 84,2 3 15, , , Total 79 50% 79 50% 158 BB/U Laki-laki Perempuan Jumlah n % n % n % Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih BB/U Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih ,4 57, ,6 42, ISPA Tidak ISPA Jumlah n % N % n % ,4 47, ,5 52, % 100% 100% Pada tabel 2 diatas berdasarkan hasil penelitian terhadap 158 balita di Kecamatan Berastagi, diperoleh bahwa terdapat 19 balita yang gizi kurang, 138 balita yang gizi baik dan 1 balita termasuk gizi lebih. Dari 138 balita gizi baik, diantaranya paling banyak terdapat pada keluarga bukan perokok yaitu 75 balita (54,3%). Begitu juga dari 19 balita yang termasuk kategori gizi kurang, paling banyak terdapat pada keluarga perokok yaitu 16 balita (84,2%). Hal ini disebabkan karna jumlah pengeluaran untuk bahan makanan pada keluarga perokok lebih kecil dibandingkan pada keluarga perokok. Hal ini menyebabkan pengeluaran untuk bahan makanan pada keluarga perokok menjadi berkurang dan tidak menutup kemungkinan ketersediaan bahan makanan yang bergizi dalam rumah tangga berkurang. Sehingga dapat menyebabkan menurunnya status gizi balita karena asupan makanan yang berkurang. Berdasarkan dari tabel menunjukkan bahwa dari 138 balita yang termasuk kategori gizi baik, paling banyak pada balita jenis kelamin laki-laki yaitu 79 balita (57,2%). Sedangkan balita termasuk kategori gizi kurang, paling banyak pada balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu 10 balita (52,6%). Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Hiswani (2012) yang menyatakan bahwa status gizi baik tertinggi pada anak perempuan (73,8%) sedangkan balita status gizi kurang tertinggi pada anak laki-laki (32,8%). Namun dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa tidak terdapat hubungan asosiasi yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi anak balita. Ini mengindikasikan bahwa baik anak balita laki-laki maupun perempuan, keduanya mempunyai kemungkinan yang relatif sama mengalami status gizi kurang. Berdasarkan dari penelitian ini juga diperoleh bahwa dari 19 balita yang gizi kurang, terdapat 17 balita (89,47%) yang mengalami ISPA. Sedangkan dari 138 balita gizi baik, terdapat jumlah paling tinggi balita adalah balita yang tidak menderita ISPA yaitu 72 balita (52,17%). Dalam hal ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. 5

34 Penelitian ini sesuai dengan penelitian Nuryanto (2012) yang menyatakan bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA lebih banyak pada balita yang status gizinya kurang yaitu 88,9% dibandingkan balita yang status gizinya baik yaitu 48,8%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p =0,004, yang berarti terdapat hubunganantara penyakit ISPA dengan status gizi balita. Nilai OR = 8,40 artinya balita dengan status gizi kurang mempunyai peluang 8,40 kali menderita ISPA dibandingkan balita dengan status gizi baik Tabel 3. Gambaran Pertumbuhan Tinggi Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi TB Sangat Pendek Pendek Normal Keluarga Perokok Keluarga Bukan Perokok Total F % F % F % , , , , , Total 79 50% 79 50% Laki-laki Perempuan Jumlah TB/U n % N % n % Sangat Pendek Pendek Normal TB/U Sangat Pendek Pendek Normal , , Tidak ISPA Jumlah ISPA n % n % n % ,5 44, ,4 55, Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada keluarga perokok, pertumbuhan tinggi badan balitanya lebih banyak yang pendek yaitu 29 balita (64,4%) dan yang sangat pendek ada 6 balita (100%). Sedangkan untuk tinggi badan normal lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 63 balita (58,9%). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ada hubungan antara status merokok keluarga dengan pertumbuhan tinggi badan balita. Balita yang bertubuh pendek lebih banyak terdapat pada keluarga yang perokok dan balita bertubuh normal lebih banyak pada keluarga bukan perokok. Berdasarkan penelitian Semba (2 006) terhadap anak umur 0-59 bulan yang menderita malnutrisi pada keluarga miskin di daerah kumuh urban di Indonesia, dimana dapat diketahui bahwa anak dengan orang tua yang perokok memiliki resiko bertubuh pendek sebesar 1,11 kali (95% CI 1,08-1,14, P<0,0001) dan resiko bertubuh sangat pendek sebesar 1,09 kali (95% CI 1,04-1,15, P<0,001) dibanding anak dengan orang tua yang bukan perokok. Berdasarkan jenis kelamin balita diperoleh bahwa dari 107 balita yang pertumbuhan tinggi badannya termasuk kategori normal, paling banyak ada pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 58 balita (54,2%). Begitu juga dari 6 balita yang pertumbuhan tinggi badannya termasuk kategori sangat pendek, paling banyak pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 4 balita ( 67%). Untuk balita dengan kategori pendek, jumlah yang paling tinggi ada pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 26 balita (58%). Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pertumbuhan tinggi badan balita dengan jenis kelamin. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa dari 6 balita yang sangat pendek, ada 3 balita (50%) yang mengalami ISPA dan 3 balita (50%) tidak mengalami ISPA. Dari 45 balita yang pendek, ada 34 balita (75,55%) mengalami ISPA. Dan dari 107 balita yang tinggi badannya normal, jumlah paling tinggi adalah balita yang tidak mengalami ISPA yaitu 59 balita (55,14%).Dalam hal ini terlihat bahwa balita yang bertubuh pendek lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang bertubuh normal lebih banyak tidak mengalami ISPA. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa ada hubungan antara tinggi badan balita dengan kejadian ISPA. Berdasarkan Depkes RI (2004) menyatakan bahwa status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Status gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB merupakan indeks yang baik untuk menilai status gizi saatkini (sekarang), serta dapat memberikan gambaran lingkungan 6

35 yang tidak baik, kemiskinan, dan akibat tidak sehat yang menahun. Tabel 4. Gambaran Berat Badan Menurut Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Resiko Gemuk Keluarga Perokok Keluarga Bukan Perokok Total F % F % F % Total 79 50% 79 50% BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Resiko Gemuk ISPA Tidak ISPA Jumlah n % n % n % ,8 4 18, , , ,5 5 45, ,7 5 33, Dari hasil penelitian diperoleh bahwa untuk pertumbuhan BB/TB balita yang termasuk kategori sangat kurus, jumlah yang paling tinggi ada pada keluarga perokok yaitu 8 balita (89%). Untuk kategori kurus, jumlah balita yang paling banyak ada pada keluarga perokok yaitu 16 balita (73%). Sedangkan untuk kategori normal, jumlah yang paling sedikit ada pada keluarga perokok yaitu 44 balita (44%). Untuk balita yang gemuk, jumlah yang paling banyak ada pada keluarga bukan perokok yaitu 7 balita (64%) dan balita resiko gemuk paling banyak pada keluarga bukan perokok yaitu 8 balita (53%). Dari hasil ini terlihat bahwa ada hubungan antara status gizi berdasarkan BB/TB balita dengan status merokok keluarga. Tampak jelas bahwa balita yang BB/TB nya kurus lebih tinggi pada keluarga perokok dibandingkan keluarga bukan perokok. Sedangkan balita yang BB/TB nya normal, jumlah paling tinggi ada pada keluarga bukan perokok. Hasil peneitian ini sesuai dengan penelitian Dianti dan Lailatul yang dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita berdasarkan indikator BB/U (p = 0,020) dan PB/BB atau TB/BB (p = 0,004). Hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi kurang akibat belanja tembakau yang sangat menguras ketahanan panganrumah tangga. Berdasarkan hasil silang antara status kesehatan dengan pertumbuhan balita berdasarkan BB/TB menunjukkan bahwa dari 22 balita yang BB/TB nya kategori kurus, jumlah paling banyak adalah balita yang mengalami ISPA. Sedangkan dari 101 balita yang normal, terdapat jumlah paling tinggi ada balita yang tidak mengalami ISPA. Hasil ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara status gizi berdasarkan BB/TB balita dengan kejadian ISPA. Tabel 5. Gambaran Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Yang Dihisap,Umur Pertama Kali Merokok, Pengeluaran Untuk Rokok Dan Jenis Rokok Yang Dihisap Pada Keluarga Perokok Di Kecamatan Berastagi Jumlah Rokok (batang) Jumlah n % ,34% ,84% ,26% Total % Umur (tahun) Total n % ,62% ,37% Total % Pengeluaran/Minggu Jumlah n % < ,45% ,88% ,39% > ,26% Total % Jenis Rokok Jumlah n % Rokok Putih 0 0 Rokok Kretek Rokok Cerutu Hasil penelitian pada jumlah rokok yang dihisap anggota keluarga per hari menunjukkan bahwa anggota keluarga yang merokok paling banyak menghabiskan 6-12 batang rokok per harinya yaitu 69 orang (87,34%). Secara rata-rata status merokok di Kecamatan Berastagi termasuk dalam kategori perokok sedang. Sesuai dengan kategori perokok oleh Depkes, dimana kategori perokok dibagi dalam kategori perokok ringan (1 sampai 10 batang perhari), perokok sedang 11 sampai 20 batang perhari dan perokok berat lebih dari 20 batang perhari (Depkes,2009). 7

36 Untuk umur pertama kali merokok pada responden keluarga perokok di kecamatan Berastagi, paling banyak pada kelompok umur tahun yaitu 55 orang (69,62%). Sedangkan pada kelompok umur tahun hanya 24 orang (30,37%). Dari hasil ini tampak jelas bahwa mayarakat perokok di daerah Kecamatan Berastagi ratarata merokok di umur tahun. Jumlah pengeluaran per minggu yang dikeluarkan untuk membeli rokok, paling banyak dengan pengeluaran sekitar yaitu 56 orang (70,88%). Untuk pengeluaran <50000 ada 13 orang (16,45%). Sedangkan untuk pengeluaran > hanya ada 1 orang (1,26%). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa masyarakat perokok di Kecamatan Berastagi rata-rata menghabiskan dana per minggu untuk membeli rokok. Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang diisap olehperokok disebut asap utama (mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasilpembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandungkarbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kankerkadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap utama (WHO, 2008). KESIMPULAN 1. Gambaran status kesehatan balita di kecamatan Berastagi yang menderita ISPA paling banyak adalah balita pada keluarga perokok yaitu 61,44% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 38,55%. 2. Gambaran pertumbuhan balita berdasarkan indeks BB/U dengan kategori gizi kurang di Kecamatan Berastagi, jumlah paling tinggi adalah balita pada keluarga perokok yaitu 84,21% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 15,78%. Sedangkan pada kategori gizi baik, jumlah paling tinggi adalah balita pada keluarga bukan perokok yaitu 54,34% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 45,65%. 3. Gambaran pertumbuhan tinggi badan balita di kecamatan Berastagi yang termasuk dalam kategori sangat pendek hanya ada pada keluarga perokok yaitu 100%. Sedangkan untuk tinggi badan balita yang tergolong pendek, jumlah yang paling tinggi ada pada keluarga perokok yaitu 64,44% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 35,55%. Dan untuk tinggi badan balita yang tergolong normal, lebih banyak pada keluarga bukan perokok yaitu 58,87% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 41,12%. 4. Gambaran pertumbuhan balita di kecamatan Berastagi berdasarkan indeks BB/TB yang tergolong sangat kurus, paling banyak ada keluarga perokok yaitu 89% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 11%. Sedangkan pada balita yang indeks BB/TB nya tergolong kurus, jumlah yang paling tinggi ada pada keluarga perokok yaitu 73% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 27%. Untuk balita yang pertumbuhan BB/TB nya normal, lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 56% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 44%. Kategori gemuk lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 64% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 36%. Untuk balita resiko gemu lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 53% dibandingkan dengan keluarga perokok 47%. SARAN 1. Diharapkan pada Dinas Kesehatan untuk melakukan pendekatan kepada tokohtokoh masyarakat atau pun pemukapemuka agama untuk bekerja sama mencari solusi guna menurunkan kebiasaan merokok masyarakat di Kecamatan Berastagi. Memberikan penyuluhan mengenai bahaya rokok dengan disertai gambar-gambar yang menunjukkan akibat dari konsumsi rokok 8

37 dalam waktu yang cukup lama. Memberikan gambaran gizi kurang dan gizi buruk yang akan dialami oleh anak yang mengalami gangguan pertumbuhan. 2. Untuk ibu-ibu yang memiliki balita dan anggota keluarga yang merokok di Kecamatan Berastagi diharapkan agar dapat lebih memperhatikan pertumbuhan balitanya. DAFTAR PUSTAKA Dachroni, Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan Indonesia No XII. Jakarta. Dep.Kes RI Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Ditjen PPM-PLP. Jakarta. Dep.Kes RI Bahaya Perokok Pasif yang Terabaikan. [25 Maret 2014] Dep.Kes RI Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta Dep.Kes RI Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. Dep.Kes RI Perokok Pasif Mempunyai Resiko yang Lebih Besar. [ 15 Maret 2014 ]. Nur, Rizkya. 2008, Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan IMT menurut umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Depok. Pradono, J, Kristanti Ch. M, Perokok Pasif Bencana Yang Terlupakan. Buletin Penelitian Kesehatan Volume 31, No.4 Tahun 2003, Jakarta Profil Kecamatan Berastagi. Data Dasar Profil Kecamatan Berastagi Profil. Kesehatan Sumatera Utara Profil Puskesmas Berastagi. Hasil Capaian Program Gizi Puskesmas Berastagi Semba, Richard D, et al Ayah Perokok Dikaitkan dengan Malnutrisi Anak yang Meningkat pada Keluarga Miskin Pedesaan di Indonesia. dia/artikel/jurnal_phn.zip. [12 Mei 2014] Sudaryati Proporsi Rumah Tangga Perokok Berdasarkan Ketahanan Keluarga Sehat di Kecamatan Berastagi. Tjiong, Roy Rokok dan Hilangnya Sebuah Generasi rokok-dan hilangnya sebuah generasi.html. [18 Juni 2014] Trisnawati, Yuli dan Jurwani Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga. Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto. Purwokerto. 9

38 FAKTOR RESIKO YANG MENYEBABKAN KEJADIAN GIZI LEBIH PADA MAHASISWA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT USU TAHUN 2014 (THE RISK FACTOR CAUSED OVERNUTRITION TO STUDENT OF PUBLIC HEALTH FACULTY AT USU YEAR 2014 ) Tresa Kristi Damanik 1, Evawany Y Aritonang 2, Arifin Siregar 2 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU 2 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU ABSTRACT Overnutrition is a unbalance condition between intake energy and output energy. Overnutrition known as overweight or obesity. According to the healthy research database (2013), prevalence of overnutriton in Indonesia increase from 2010 to 2013 that is 10 % become 13,5%. Result of research by Lestari in Medicine Faculty USU in 2012 showed 20,1% prevalence of overweight and obesity with the risk factor namely high supply of protein, fat an carbohydrate. This research is to know the risk factor caused overnutrution to student of public health faculty at USU. Conducted research using case control design. The aim of this research is to know relathionship among genetic, pattern of consumption, and physical activity with incidence of overnutrition. The sample for this study were 64 students of years. 32 for case group and 32 for control group selected through purposive sampling technique. Univariate data namely age, sex, houselife, job of parents were analyzed descriptively and bivariate data namely genetic, pattern of consumption, and physical activity were analyzed using the chi square test with 95% CI. The data were collected by used food recall 24 hour form and physical activity form. The result of bivariate analysis showed relationship between genetic (p=0,005;or=2,006), father s nutrition status (p=0,019;or=2,003), mother s nutrition status (p = 0,001;OR=2,468), protein supply (p = 0,009), fat supply (p = 0,042), carbohydrate supply (p = 0,010) and physical activity (p = 0,045;OR=7,154) with the incidence of overnutrition. And there is no relationship between frequency of eating with the incidence of overnutrition (p=0,157) It was recommended for the students doing physical activity routinely and consume healthfull food to decrease the incidence of overnutrition Keywords: Risk Factor, overnutrition, public health PENDAHULUAN Kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Untuk memperoleh tubuh yang sehat diperlukan makanan yang sehat dan bergizi. Makanan sehat dan bergizi akan memberikan zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk menjalankan fungsi tubuh dengan normal. Pemilihan bahan makanan yang tidak baik mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam tubuh ini akan memberikan nilai status gizi seseorang yaitu gizi baik, gizi kurang dan gizi lebih (Istiany, 2013). Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal,dan gizi lebih (Almatsier, 2005). Masalah gizi merupakan masalah yang ada di tiap-tiap negara, baik negara miskin, negara berkembang, maupun negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah gizi kurang yang berhubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju yang cenderung dengan masalah gizi lebih yang berhubungan dengan penyakit degeneratif seperti hipertensi atau tekanan darah tinggi, penyakit diabetes, jantung koroner, hati dan kantung empedu. Sedangkan pada negara berkembang cenderung seperti masalah gizi 1

39 ganda yakni perpaduan masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih (Azwar, 2008). Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia mempunyai masalah gizi ganda yakni perpaduan masalah gizi kurang dan gizi lebih. Gaya hidup masyarakat yang berubah membuat permasalahan gizi mengalami perubahan baik dari segi bentuknya maupun akibat penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi ini membuat masalah gizi menjadi kompleks sehingga semakin banyak orang yang mengalami penyakit akibat dari gizi buruk dan gizi lebih (Gibney et al, 2009). Gizi lebih terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara konsumsi energi dan pengeluaran energi. Asupan energi yang kronis akan menimbulkan kenaikan berat badan lebih (overweight) dan untuk gizi lebih dengan derajat kelebihan yang berat disebut obesitas.gizi lebih dapat tirade pada siapa saja dan bisa tirade mulai dari bayi hingga usia lanjut batik pria maupun wanita. Kelompok umur yang paling banyak mengalami gizi lebih adalah kelompok remaja dan dewasa. Hal ini disebabkan karena kelompok remaja dan dewasa tidak mengalami pertumbuhan lagi sehingga kelebihan energi dan zat gizi lain akan di simpan sebagai timbunan lemak (Depkes, 1999). Selain itu, sebagian besar penyebab gizi lebih diduga oleh karena terjadinya intervensi dan modifikasi gaya hidup (lifestyle). Gizi lebih berkaitan dengan pengaruh berbagai macam faktor dan faktor tersebut antara lain faktor genetik, faktor hormon, faktor gaya hidup meliputi pola makan dan aktifitas fisik dan faktor psikososial meliputi stress dan tingkat ekonomi yang mengarah pada pendapatan (Fahey, 2004). Menurut data Riskesdas (2013), kejadian gizi lebih di Indonesia meningkat dari tahun 2010 ke tahun 2013 yaitu sebesar 10% pada tahun 2010 dan menjadi 13,5% pada tahun Kejadian gizi lebih lebih banyak terjadi pada perempuan (32,9%) dibandingkan laki-laki(19,7%). Sedangkan berdasarkan pendidikan, yang lebih banyak adalah yang telah selesai dari perguruan tinggi yaitu 15,6% pada laki-laki dan 12,7% pada perempuan. Menurut data Riskesdas (2013) di Provinsi Sumatera Utara terjadi peningkatan angka kejadian gizi lebih yaitu pada tahun 2010 sebesar 11,9% menjadi 12,2% pada tahun Menurut Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012) menunjukkan bahwa Kota Medan sendiri prevalensi gizi lebih tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia yang mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan Lestari (2012) terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mengenai obesitas menunjukkan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas mencapai 20,1%. Faktor yang domian berpengaruh terhadap kejadian obesitas adalah asupan energi, lemak, dan karbohidrat (p<0,001). Di Fakultas Kesehatan Masyarakat, menurut survei yang telah dilakukan penulis terhadap 90 mahasiswa dengan mendata tinggi badan dan berat badan kemudian menghitung IMT di dapat kejadian gizi lebih juga cukup banyak yaitu 20% (18 orang ) memiliki status gizi lebih (IMT 25). Dari uraian latar belakang diatas belum diketahui apa yang menjadi faktor resiko gizi lebih pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU pada tahun METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat analitik dengan desain case control yaitu suatu rancangan yang membandingkan kelompok kasus dan kontrol berdasarkan status paparan nya. Dimana efek di identifikasi saat ini dan faktor risiko di identifikasi pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa angkatan (S1 reguler) FKM USU. Sampel dalam penelitian ini hitung berdasarkan rumus (Sastroasmoro, 2011). Berdasarkan rumus tersebut diperoleh sampel yang berjumlah 32 untuk masingmasing kelompok kasus dan kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat untuk menegetahui distribusi dari setiap variabel independen yaitu data karakteristik mahasiswa meliputi umur, jenis kelamin, suku, status tinggal, pendidikan terkahir orangtua, pekerjaan orangtua, dan secara bivariat untuk melihat hubungan variabel 2

40 independen yaitu status gizi orangtua, kecukupan protein, lemak, karbohidrat dari makanan, dan data aktivitas fisik dengan variabel dependen yaitu gizi lebih dengan menggunakan uji Chi-Square pada 95% CI dan uji OR untuk mengetahui pengaruh. Pengumpulan data karaktersistik mahasiswa, status gizi orangtua dan aktiviras fisik menggunakan kuesioner. Data kecukupan protein, lemak dan karbohidrat dari makanan, adalam penelitian ini dilakukan dengan metode food recall 24 jam. Data status gizi orangtua dikategorikan berdasarkan IMT menjadi 2 sebagai berikut (WHO, 2006) : a. Normal : 18,5-24,9 b. Lebih : 25,0-29,9 Kecukupan protein dikategorikan dalam 3 kategori sebagai berikut (Hardinsyah&Tambunan, 2004) : a. Lebih : >15% dari total energi b. Cukup : 10-15% dari total energi c. Kurang : <15% dari total energi Kecukupan lemak dikategorikan dalam 3 kategori sebagai berikut (Soetjaningsih, 2004): a. Lebih :>30% dari total energ b. Cukup : 20-30% dari total energi c. Kurang :<20% dari total energi Kecukupan karbohidrat dikategorikan sebagai berikut (Depkes,2003) : a. Lebih :>65% dari total energi b. Cukup :50-65 dari total energi c. Kurang :<50% dari total energi Sedangkan aktivitas fisik dikategorikan menjadi 3 kategori (WHO/FAO, 2001): a. Ringan : 1,40-1,69 b. Sedang : 1,70-1,99 c. Berat : 2,00-2,40 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dilihat berdasarkan jenis kelamin, umur, status tinggal, pendidikan terakhir orang tua dan pekerjaan orang tua Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Distribusi Responden Berdasakan Karakteristik Responsen di FKM USU tahun 2014 Karakteristik Kasus Kontrol responden n % n % Umur tahun 14 43, , tahun 18 56, ,1 Jenis kelamin Laki-laki ,9 Perempuan 25 78, ,1 Suku Batak 23 71, ,9 Jawa 4 12,5 1 8,1 Melayu 1 3,1 0 0 Lain nya 4 12,5 0 0 Status tinggal Indekos 22 68, ,2 Rumah 10 31, ,6 orangtua Rumah ,2 saudara Pendidikan bapak <S , ,2 S , ,8 Pendidikan Ibu <S , ,9 S ,9 9 28,1 Pekerjaan bapak Bekerja , ,0 Tidak bekerja Pekerjaan ibu Bekerja 22 68, ,9 Tidak bekerja 10 31,2 9 28,1 Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa bahwa umur mahasiswa yang paling banyak pada kelompok kasus dan kontrol adalah tahun. Pada kelompok kasus dan kontrol, jenis kelamin laki-laki maupun perempuan sama banyak karena variabel jenis kelamin adalah variabel yang dimatching. Suku mahasiswa pada kelompok kasus dan kontrol yang paling banyak adalah suku batak. Pada kelompok kasus dan kontrol, mahasiswa paling banyak memiliki status tinggal indekos. Karakteristik orangtua meliputi pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan., 3

41 Bapak dan ibu mahasiswa pada kelompok kasus dan kontrol dominan memiliki tingkat pendidikan terakhir <S1.Variabel pekerjaan orangtua pada kelompok kasus dan kontrol dapat diketahui bahwa orangtua mahasiswa dominan bekerja. Bapak kelompok kasus dan kontrol semua nya bekerja, sedangkan ibu kelompok kasus yang bekerja sebanyak 68,85(22 orang) dan ibu kelompok kontrol yang bekerja sebanyak 71,9% (23 orang). Rata-rata berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh Terdapat perbedaan Berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh pada kelompok kasus dan kontrol. Perbedaan dari ketiga variabel tersebut dapat diketahui melalui tabel berikut: Tabel 2. Rata-rata berat badan, tinggi badan dan indeks masssa tubuh mahasiswa Variabel Kasus (Means ± SD) Berat badan 69,81 ± 8,75 Tinggi badan 161,03 ± 8,60 Indeks massa 26,88 ± tubuh 1,65 Kontrol (Means ± SD) 54,91 ± 7,3 159,41 ± 7,4 21,52 ± 1,6 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata berat badan pada kasus lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Terdapat selisih tinggi badan kelompok kasus dan kontrol sebesar 14,9 kg. Demikian juga dengan tinggi badan dijumpai rata-rata tinggi badan pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok kasus lebih tinggi 1,62 cm. Dan untuk nilai IMT, dijumpai IMT pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan selisih 5,36. Gambaran frekuensi makan berdasarkan jenis bahan makanan. Mahasiswa seluruhnya pada kelompok kontrol (100%) mengkonsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok setiap hari. Jenis laukpauk yang paling sering dikonsumsi setiap hari adalah ikan basah (25 %) dan daging (10,9%). Sebagian besar responden jarang mengkonsumsi sayuran. Untuk sayuran yang paling sering dikonsumsi responden adalah wortel (9,4%).Untuk buah- buahan yang sering dikonsumsi responden dapat dilihat pada tabel 4.8. Jenis buah-buahan yang paling sering dikonsumsi adalah pepaya (12,5%). Sedangkan untuk jenis minuman, rmahasiswa paling sering minum teh (27,5%) dan susu (26,6%). Dan untuk jenis jajanan, tidak ada diantara kedua jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh mahasiswa kelompok kontrol. Pada kelompok kasus bahan makanan pokok yang paling sering dikonsumsi adalah nasi (100%) dan mie (3,1%). Jenis lauk-pauk yang paling sering dikonsumsi pada kelompok kasus yaitu ikan basah (34,4%). Pada kelompok kasus, dapat diketahui bahwa mahasiswa tidak banyak yang selalu mengkonsumsi sayur setiap hari. Jenis sayur yang paling banyak dikonsumsi setiap hari adalah wortel (12,5%). Pada jenis buahbuahan yang paling sering dikonsumsi oleh responden juga dapat diketahui bahwa mahasiswa tidak banyak yang setiap hari mengkonsumsi buah-buahan. Buah-buahan yang paling sering dikonsumsi adalah pisang (21,9%). Jenis minuman yang paling sering dikonsumsi oleh kelompok kasus berdasarkan tabel adalah susu (21,9%) dan jenis jajanan yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswa adalah gorengan (12,5%) Gambaran keluhan kesehatan yang dialami oleh kelompok kasus Akibat dari gizi lebih adalah meningkatnya resiko mengalami penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, dislipidemia, dan lain-lain. Responden pada kelompok kasus yang mengalami gizi lebih juga telah mengalami keluhan-keluhan kesehatan yang diasumsikan akan menjadi awal terjadinya penyakitpenyakit degeneratif tersebut. Keluhankeluhan kesehatan yang dialami oleh responden pada kelompok kasus 4

42 Keluhan kesehatan yang paling banyak dialami adalah cepat lelah yaitu sebanyak 46,90% (15 orang) dan yang paling sedikit adalah mudah sesak nafas yaitu sebanyak 9,40% (3 orang). Keluhan lain nya adalah mudah merasa lapar, mudah berkeringat. Hubungan genetik dengan kejadian gizi lebih Hasil tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara genetik dengan kejadian gizi lebih berdasarkan tabel 4.10 diperoleh nilai p = 0,005 (p<0,05) artinya pada alpha 5% disimpulkan adanya hubungan bermakna antara genetic dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh genetik terhadap kejadian gizi lebih ditunjukkan dengan nilai OR 2,006. Artinya mahasiswa yang memiliki orang tua dengan status gizi lebih baik bapak atau ibu beresiko untuk mengalami gizi lebih sebesar 2 kali lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki orangtua dengan status gizi normal. Jumlah kelompok kasus yang memiliki bapak dengan status gizi lebih sebesar 50% dan ibu dengan status gizi lebih sebesar 65,6%, sedangkan untuk kelompok kontrol yang memiliki bapak dengan status gizi lebih ada sebanyak 21,9% dan ibu dengan status gizi lebih sebesar 25%. Terlihat perbedaan jumlah antara status gizi orang tua pada kelompok kasus dan kontrol Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Padmiari (2002) yang menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara status gizi orang tua dengan kejadian gizi lebih pada anak. Status gizi Ibu dapat meningkatkan kejadian gizi lebih pada anak sebesar 2.69 kali (CI 95%: ), sedangkan status gizi bapak dapat meningkatkan kejadian gizi lebih pada anak hanya sebesar 1.99 kali (CI 95%: ). Begitu juga dengan hasil penelian Loos (2002) yang menyatakan bahwa setiap anak yang mengalami obesitas (gizi lebih), % merupakan kontribusi dari keturunan. Anak yang obesitas dari kecil cenderung akan mengalami oebsitas hingga dewasa kemungkinan nya sebesar 40-70%. Menurut penelitian Simatupang (2008) menyatakan bahwa keturunan memberikan kontribusi terhadap kejadian gizi lebih Anak yang memiliki orang tua dengan status gizi lebih beresiko untuk mengalami gizi lebih sebesar 3 kali lebih besar. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Manurung (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan status gizi bapak dan status gizi ibu dengan kejadian obesitas. Hal ini diperkirakan karena orangtua telah lebih menjaga asupan gizi dari anak supaya tidak mengalami gizi lebih. Kejadian gizi lebih yang dialami anak diasumsikabukan karena faktor genetik tetapi karena asupan gizi. Hubungan frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih Hasil tabulasi silang untuk melihat hubungan frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih diperoleh nilai p sebesar 0,157 (p>0,05). artinya pada alpha 5%, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih ditunjukan dengan nilai OR sebesar (CI 95%: ). Artinya setiap mahasiwa yang memiliki frekuensi makan kurang dari 3 kali dalam sehari memiliki resiko untuk mengalami gizi lebih sebesar 2,273 kali dibandingkan dengan yang memiliki frekuensi makan sama dengan 3 kali dalam sehari Jumlah kelompok kasus yang memiliki frekuensi makan lebih kecil dari 3 kali sehari sebanyak 34,4% dan untuk kelompok kontrol sebesar 18,8%. Sedangkan untuk frekuensi makan sama dengan 3 kali sehari pada kelompok kasus terdapat sebanyak 65,6% dan kelompok kontrol 81,2%. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Simatupang (2008) yang menyatakan bahwa frekuensi makan memiliki hubungan dengan kejadian gizi lebih (p = 0,0001). Penelitian yang dipublikasikan oleh American Journal of Epidemiology meyebutkan bahwa orang yang mengkonsumsi makanan sampai tiga kali per hari beresiko mengalami gizi lebih (obesitas) 45% lebih tinggi daripada yang memiliki frekuensi makan lebih dari tiga kali sehari. Pada bangsa-bangsa yang frekuensi makannya dua kali dalam sehari lebih banyak orang yang gemuk dibandingkan bangsa 5

43 dengan frekuensi makan sebanyak tiga kali dalam sehari. Hal ini berarti bahwa frekuensi makan sering dengan jumlah yang sedikit lebih baik daripada jarang makan tetapi sekali makan dalam jumlah yang banyak (Suyono, 1986). Hubungan asupan zat gizi dengan kejadian gizi lebih Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk melihat hubungan jumlah zat gizi yang dikonsumsi dengan kejadian gizi lebih diperoleh nilai p < Zat gizi yang diteliti apakah memiliki hubungan dengan kejadian gizi lebih adalah protein, lemak dan karbohidrat. Kecukupan zat gizi ini dilihat berdasarkan kategori lebih, baik, dan kurang berdasarkan energi yang dikonsumsi. Melalui tabel 4.13 diketahui untuk asupan protein, kelompok kasus mengalami asupan yang lebih dari energi yang dikonsumsi sebesar 59,4% dan pada kelompok kontrol sebesar 21,9%. Setelah diuji statistik diperoleh nilai p sebesar (p<0.05), artinya pada alpha 5% disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara asupan protein dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh asupan protein terhadap kejadian gizi lebih tidak dapat diketahui karena tidak bisa dilakukan uji Odds Ratio karena ada 5 expected count. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Yuniarti (2009) bahwa asupan protein secara kualitas jika dikonsumsi berlebih dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan akan beresiko mengalami gizi lebih. Menurut penelitian Manurung (2009) menyatakan hal yang sama bahwa terdapat hubungan antara asupan protein dengan kejadian gizi lebih (obesitas). Asupan protein yang dikonsumsi berlebih akan menyebabkan resiko sebesar 2, 72 kali. Hal ini dapat diketahui dari frekuensi makan berdasarkan jenis bahan makanan. Untuk jenis lauk-pauk yang paling sering dikonsumsi oleh responden adalah ikan basah dan daging yang memiliki protein tinggi. Dapat diketahui juga untuk asupan lemak, jumlah kelompok kasus yang mengalami asupan lebih dari energi yang dikonsumsi sebesar 68,8% dan pada kelompok kontrol sebesar 37,5%. Setelah diuji statistik dengan uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0.042, artinya pada alpha 5% disimpulkan ada hubungan bermakna antara asupan lemak dengan kejadian gizi lebih. Analisa besar pengaruh asupan lemak terhadap kejadian gizi lebih dengan uji Odds Ratio tidak dapat dilakukan karena adanya 5 expected count. Adanya hubungan antara asupan lemak dengan kejadian gizi lebih sejalan dengan penelitian Sembiring (2011) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara perilaku makan termasuk dalam mengkonsumsi asupan lemak yang berlebihan dengan kejadian gizi lebih (p =0,040). Hal yang sama juga dikemukakan Sutiari (2007) yaitu konsumsi lemak yang berlebihan dari angka yang dianjurkan memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi lebih. Dan hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Simatupang (2008) yang menyatakan bahwa konsumsi lemak yang berlebihan dari angka yang dianjurkan memiliki resiko mengalami gizi lebih sebanyak 25 kali. Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui untuk asupan karbohidrat, jumlah kelompok kasus yang mangalami asupan lebih dari energi yang dianjurkan sebesar 18,8% dan kelompok kontrol sebesar 6,2%. Setelah diuji statistik dengan uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0,010, artinya pada alpha 5% disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh asupan karbohidrat terhadap kejadian gizi lebih dengan uji Odds Ratio tidak dapat diketahui karena adanya 5 expected count. Adanya hubungan asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Yuniarti (2009) mengemukakan bahwa secara kualitas konsumsi karbohidrat yang tidak sesuai dengan anjuran PUGS (Pesan Umum Gizi Seimbang) akan mempengaruhi terjadinya gizi lebih pada anak. Penelitian Yulni (2013) juga menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan bermakna antara asupan karbohidrat dengan resiko mengalami gizi lebih dengan nilai p = 0,011. Penelitian yang dilakukan Lestari (2012) mendukung hal ini yang menyatakan adanya hubungan bermakna 6

44 antara asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih (p = ). Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa jumlah kelompok kasus yang melakukan aktivitas ringan sebesar 96,9% dan kelompok kontrol yang melakukan aktivitas ringan sebesar 81,2% dan setelah diuji statistik dengan uji chi square untuk hubungan aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih diperoleh nilai p sebesar 0.045, artinya pada alpha 5% disimpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian gizi lebih ditunjukkan oleh nilai OR sebesar (CI 95%: ). Artinya mahasiswa yang hanya melakukan aktivitas fisik ringan memiliki resiko kali untuk mengalami gizi lebih dibandingkan dengan mahasiswa yang melakukan aktivitas sedang. Hal ini sejalan dengan penelitian Lestari (2012) menyatakan bahwa anak yang hanya melakukan aktivitas ringan memiliki peluang sebesar 23 kali dibandingkan dengan anak yang melakukan aktivitas fisik sedang. Hal yang sama diungkapkan melalui penelitian Hutahean (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik ringan (p = 0,005) memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi lebih. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Simatupang (2008) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik (p = 0,0001) memberikan kontribusi terhadap kejadian gizi lebih. Semakin ringan aktivitas yang dilakukan maka resiko untuk mengalami gizi lebih akan semakin besar. Penelitian lain yang menyatakan hal yang sama adalah yang dilakukan oleh Sutiari (2008) yang menyatakan kurang melakukan aktivitas fisik dengan tingkat asupan energi yang berlebih akan meningkatkan resiko mengalami gizi lebih. KESIMPULAN 1. Ada hubungan antara genetik dengan kejadian gizi lebih (p=0,005 ; OR=2,006). Ada hubungan status gizi bapak (p=0,019 ; OR=2,003) dan status gizi ibu (p=0,001 ; OR=2,468) dengan kejadian gizi lebih 2. Ada hubungan antara pola konsumsi yaitu frekuensi makan (p=0,024 ) dengan kejadian gizi lebih dan asupan zat gizi yaitu asupan protein (p=0,009), asupan lemak (p=0,042) dan asupan karbohidrat (p = 0,010) dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh asupan zat gizi terhadap kejadian gizi lebih tidak dapat diketahui karena adanya 5 expected count. 3. Ada hubungan antara aktivitas fisik (p=0,045 ; OR=7,154) dengan kejadian gizi lebih yaitu aktivitas fisik ringan. 4. Responden pada kelompok kasus mengalami keluhan kesehatan akibat mengalami gizi lebih. Keluhankeluhan kesehatan yang dialami adalah cepat lelah (46,9%). Mudah sesak nafas (9,4%), mudah pusing dan nyeri kepala (15,6%) dan keluhan lainnya seperti mudah lapar, mudah berkeringat (28,1%) SARAN Pihak kampus FKM USU disarankan untuk menyediakan sarana olahraga untuk mahasiswa. Diharapkan juga menambah kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Dan kepada mahasiswa disarankan supaya mengatur pola makan dan melakukan aktivitas fisik yang lebih banyak agar energi yang masuk sesuai dengan energi yang dikeluarkan DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan VII. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Depkes RI Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat Jakarta Depkes RI Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan 7

45 Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta. FAO/WHO/UNU Human Energy Requirement, Report of a joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Rome Fahey, Thomas D Fit And Well Sixth Edition Core Concepts And Labs In Physical Fitness And Wellness. McGraw Hill. Boston USA Gibney,M dkk Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Hardinsyah & Tambunan,V Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak Dan Serat Makanan. Prosiding Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta. Hutahean. G.D Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Obesitas Anak Kelas V dan VI di SD YP Shafiyyatul Amaliyyah tahun [Skrips] FK USU. Istiany,A & Rusilanti Gizi Terapan. Bandung: Remaja Rosdakarya Kementerian Kesehatan RI Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Lestari.S Faktor Risiko Penyebab Kejadian Obesitas Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun [Tesis]. Medan,FKM USU. Manurung, N.K Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Obesitas di SMU Trisakti Medan tahun [Tesis]. FKM USU Notoatmodjo,S Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Padmiari. Ida. A, Prevalensi Obesitas dan Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Resiko Terjadinya Obesitas Pada Anak SD di Kota Denpasar,Bali. Tesis Magister Gizi dan Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Sastroasmoro,S Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto. Sembiring,R.A Hubungan Perilaku Konsumsi Pangan Dan Aktivitas Fisik Dengan Gizi Lebih Pada Mahasiswa Akademi Kebidanan Sari Mutiara Medan Tahun [Skripsi].Medan, FKM USU. Simatupang,R,M Pengaruh Pola Konsumsi, Aktivitas Fisik Dan Keturunan Terhadap Kejadian Obesitas Pada Siswa Sekolah Dasar Swasta Di Kecamatan Medan Baru Kota Medan. [Tesis]. Medan. FKM USU Soetjaningsih Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahanya. Jakarta:PT. Rhineka Cipta. Sutiari Pola Makan dan Aktivitas Fisik pada Siswa Gizi Lebih di SDK Soverdi Tuban Kuta Bali. [Skripsi] Yulni Hubungan Asupan Zat Giza Makro dengan Status Gizi pada Anak SD di Wilayah Pesisir Kota Makassar tahun [Skripsi] Yuniarti Analisis Pola Makan dan Aktivitas Fisik Siswa-Siswi Gizi Lebih di SMA Labschool Kebayoran Baru Jakarta Selatan tahun [Skripsi] UIN Jakarta. World Health Organitation. 2006, Diet, nutrition and the prevention of Chronic Disease. WHO Technical Report. Geneva. 8

46 PENGUKURAN NILAI INDEKS GLIKEMIK COOKIES TEPUNG TALAS BELITUNG (Xanthosoma sagittifolium) (Measuring Glycemic Index of Cocoyam Cookies (Xanthosoma sagittifolium)) Dian Fifit Sundari 1, Albiner Siagian 2, Jumirah 3 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU dian_fifit@yahoo.com ABSTRACT One of the ways in treatment of nutritional problems is by eating through selection of setting the amount and type of carbohydrates that is appropriate to use the concept of the Glycemic Index (GI). GI is food levels according to their effect on blood glucose levels. Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) is a source of carbohydrate foods with a low glycemic index (GI = 50) and is often consumed by diabetics as a food substitute for rice. However, products of cocoyam such as cocoyam cookies have unknown glycemic index value. This study aimed to determined the glycemic index value of cocoyam cookies. This study was experimental study with 6 healthy subjects selected by purposive sampling method. Cocoyam used came from the district Hatonduhan. Measurement of glycemic index value performed by standard methods (Miller, 1996) with a food standard such as white bread. The portion of the test food and the standard food contained 50 g carbohydrate. The content of carbohydrates in cocoyam cookies was calculated by luff schroll method. GI was calculated by comparing the under kurve area of food test with food standard. Under kurve area of test food/ food standard was calculated by drawing horizontal and vertical lines thus forming wide awakes. Based on these calculations, the glycemic index value of cocoyam cocokies with white bread as a standard food is 79,9%. GI of cocoyam cookies included in high category (>70). It is recommended to further research to examine the glycemic index value of the other processed food that made from cocoyam (Xanthosoma sagittifolium). So it can add to list of foods that have an index glycemic value. Keywords : Glycemic index, cocoyam, cookies PENDAHULUAN Masalah gizi yang terjadi di Indonesia adalah masalah gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Tingginya prevalensi gizi kurang dapat menyebabkan turunnya imunitas tubuh dan meningkatnya penyakit infeksi. Sedangkan peningkatan prevalensi gizi lebih berdampak pada meningkatnya penyakit degeneratif. Salah satu cara dalam penatalaksanaan permasalahan penyakit degeneratif adalah dengan cara pengaturan makan atau diet yang dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat dengan menggunakan konsep Indeks Glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), Konsep indeks glikemik (IG) menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah setelah pangan tersebut dikonsumsi. Konsep IG berguna untuk semua orang, antara lain orang yang mengalami obesitas, diabetes, atlet, bahkan orang sehat sekalipun. Bahan pangan lokal yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah adalah Umbi-umbian salah satunya adalah talas 1

47 belitung. Talas belitung atau kimpul digunakan oleh sebagian orang sebagai salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti nasi bagi penderita diabetes. Berdasarkan data penelitian dari The University Of Sydney, nilai indeks glikemik talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) yaitu sebesar 63. Nilai indeks glikemik talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) yang dikupas dan direbus selama 30 menit yaitu sebesar 50. Talas belitung atau kimpul (Xanthosoma sagittufolium) adalah jenis umbi yang pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pengolahan umbi talas belitung yang sangat sederhana seperti direbus, dikukus, dan digoreng mengakibatkan kurangnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi talas tersebut. Talas belitung atau kimpul (Xanthosoma sagittifolium) merupakan salah satu sumber pangan lokal alternatif sumber karbohidrat serta mengandung zat gizi lain seperti protein, lemak, dan serat. Menurut Slamet (1980) dalam Gardjito, dkk. (2013), kandungan energi pada 100 g talas belitung yaitu 145 kal, karbohidrat 34,2 g, protein 1,2 g, Lemak 0,4 g dan seratnya 1,5 g. Talas belitung juga mengandung vitamin C sebesar 2 mg dan kalsium 26 mg. Talas dapat diproses dalam bentuk tepung talas yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan pembuatan cookies. Berdasarkan uji organoleptik cookies tepung talas belitung yang dilakukan oleh Indrasti (2004), kandungan kimia pada cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung yaitu kadar karbohidrat 65,51%, kadar air berkisar 2,20%, kadar abu 3,26%, kadar lemak 24,14%, dan kadar protein 6,99%. semakin tinggi kandungan tepung talas belitung dalam cookies maka semakin rendah kandungan proteinnya. Cookies dengan kandungan 40% tepung talas belitung masih dapat diterima oleh panelis dari segi rasa dan warna. Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai indeks glikemik dari olahan pangan lokal alternatif sumber karbohidrat seperti umbi talas belitung masih terbatas. Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk meneliti indeks glikemik cookies tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium). Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk Mengetahui nilai indeks glikemik produk olahan cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (xanthosoma sagittifolium). METODE Jenis, Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian ini adalah Eksperimen. Penelitian ini dilakukan dari bulan September Juli Pembuatan tepung dan cookies tepung talas belitung dilakukan di rumah peneliti, jalan bunga cempaka gang cempaka XV no 72 Medan. Pengujian zat gizi dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Pemberian pangan uji dan pangan acuan serta pengambilan darah relawan untuk dilihat kadar glukosa darahnya dilakukan di Laboratorium Gizi FKM USU. Subyek Penelitian Pemilihan subyek pada penelitian ini dengan metode purposive sampling karena alasan kemudahan dalam penelitian, yaitu 6 orang mahasiswa FKM-USU, yaitu terdiri atas 3 perempuan dan 3 laki-laki, bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi beberapa kriteria yaitu subyek berumur tahun, memiliki IMT normal antara 18,5-24,9 kg/m 2 dan sehat serta tidak memiliki riwayat DM, tidak sedang mengalami pengobatan, tidak mengalami gangguan pencernaaan, tidak menggunakan obatobatan terlarang serta tidak meminum minuman beralkohol. 2

48 Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah cookies dengan pemanfaatan tepung talas belitung (xanthosoma sagittifolium) sebesar 40%, hal ini sesuai dengan penelitian indrasti (2004). Talas belitung yang digunakan merupakan talas belitung yang tumbuh di daerah perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun. Talas yang digunakan adalah talas yang masih segar. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi: 1. Roti tawar sebagai pangan acuan, 2.bahan pembuatan cookies : tepung terigu, tepung talas belitung, mentega, kuning telur, gula, garam, baking powder,dan susu bubuk. 3. Reagen pereaksi sebagai bahan untuk analisis proksimat. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1.Peralatan pembuatan cookies : Oven kue, timbangan, pisau, baskom, loyang, blender, mixer, sendok,kompor, ayakan tepung, cetakan kue, dll. 2. Peralatan analisis proksimat: Oven, desikator, alat destilasi timbangan analit, tanur, labu erlnmeyer, alat ekstraksi soxhlet, cawan porselin, labu kjedahl, pipet tetes. 3.peralatan megukur glukosa darah: Glukometer One Touch Glucose Blood System, strip analisis glukosa, lancet, kapas, alkohol 70%. Pembuatan Cookies Tepung Talas Belitung Cookies tepung talas belitung pada penelitian ini diperoleh berdasarkan penelitian Indrasti (2004), yaitu pembuatan tepung talas belitung terlebih dahulu, kemudian dilakukan pembuatan cookies tepung talas belitung. Analisis Zat Gizi Cookies Tepung Talas Belitung Analisis komposisi zat gizi meliputi uji proksimat, yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat. Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung Penelitian ini dilaksanakan setelah memperoleh izin dari komisi etik penelitian kesehatan Fakultas Keperawatan USU (Ethical Clearance No. 167/VI/SP/2014 tanggal 24 Juni Prosedur pengukuran indeks glikemik mengacu pada Miller, dkk., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian 2004 : a. Enam orang subyek berpuasa selama ± 10 jam (kecuali air putih). Keesokan harinya Subyek yang masih dalam keadaan masih berpuasa kemudian diambil sampel darah (1-2µL) finger-prick capillary blood sample method. c. Subyek diberi pangan acuan yaitu roti tawar yang mengandung 50 gr karbohidrat. d. Sampel darah subyek diambil kembali setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit pada jam ke-2. (menit ke 15, 30, 45, 60, 90, dan ke 120). e. Satu minggu kemudian dilakukan pengujian pangan uji berupa cookies tepung talas belitung dengan prosedur yang sama. f. Data kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) diplot pada dua sumbu, waktu dalam menit (x) dan kadar glukosa darah (y). g. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan. Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan dengan membandingkan luas area dibawah kurva respon glukosa darah 3

49 terhadap pangan uji dibandingkan dengan luas area dibawah kurva respon glukosa darah terhadap pangan acuan. Pengolahan dan Analisis Data Data hasil analisis kimia cookies tepung talas belitung diolah menggunkan microsof excel Data kadar glukosa darah subyek diolah untuk mendapatkan nilai indeks glikemik. Luas area dibawah kurva dihitung secara manual dengan menarik garis horizontal dan vertical sehingga membentuk luas bangun. Luas area dibawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Cookies tepung talas belitung yang dihasilkan dalam penelitian ini bewarna kecoklatan, bertekstur renyah dan aroma cookies yang dihasilkan keluar saat pemanggangan, tercium aroma harum dari kuning telur dan margarin. Gambar 1. Cookies tepung talas belitung Kandungan zat gizi yang terdapat pada cookies tepung talas belitung yaitu sebagai berikut. Tabel.1 Komposisi Zat Gizi Cookies Tepung Talas Belitung No Komposisi Zat Jumlah Gizi per 100 gram 1 Air 4,36% b/b 2 Abu 1,97% b/b 3 Protein 8,58% b/b 4 Lemak 28,30% b/b 5 Serat Kasar 1,15% b/b 6 Karbohidrat (by Difference) 56,79% b/b Sub- Yek Pengukuran indeks glikemik pangan dilakukan dengan memberikan pangan uji dan pangan acuan setara dengan 50 gram karbohidrat kepada masing-masing subyek penelitian. Masing-masing roti tawar dan cookies tepung talas belitung yang diberikan yaitu 102,77g dan 95,22g. respon glukosa darah terhadap pemberian roti tawar dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel.2 Respon Glukosa Darah Terhadap Roti Tawar Respon Glukosa Darah Terhadap Roti Tawar ,7 110,8 123,3 127, ,7 Pemberian roti tawar menaikan kadar glukosa darah dari 87,7 mg/dl pada t.0 menjadi 127,3 mg/dl pada t.45 berarti mengalami kenaikan sebesar 39,5 mg/dl atau 45,04%. Sedangkan hasil respon glukosa darah terhadap cookies tepung talas Belitung dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel.3 Respon Glukosa Darah Terhadap Cookies Tepung Talas Belitung Subyek Respon Glukosa Darah Terhadap Pangan Uji (Cokies Tepung Talas Belitung) ,3 109,7 118,3 112,5 101,8 101,7 97,7 Ratarata Ratarata Pemberian cookies tepung talas belitung menaikan kadar glukosa darah dari 4

GAMBARAN KETERSEDIAAN PANGAN, KECUKUPAN ENERGI, DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI IBU HAMIL PASCAPENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN

GAMBARAN KETERSEDIAAN PANGAN, KECUKUPAN ENERGI, DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI IBU HAMIL PASCAPENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN GAMBARAN KETERSEDIAAN PANGAN, KECUKUPAN ENERGI, DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI IBU HAMIL PASCAPENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN 2014 (DESCRIPTION OF FOOD AVAILABLE, ENERGY AND PROTEIN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN 2010-2013 Sri Rezeki 1, Sori Muda 2, Rasmaliah 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penanganan serius, dilihat dari tingginya prevalensi kasus dan komplikasi kronis

BAB 1 PENDAHULUAN. penanganan serius, dilihat dari tingginya prevalensi kasus dan komplikasi kronis 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang perlu penanganan serius, dilihat dari tingginya prevalensi kasus dan komplikasi kronis penyakit yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RSUD RANTAU PRAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN SKRIPSI

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RSUD RANTAU PRAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN SKRIPSI KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RSUD RANTAU PRAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN 2006-2009 SKRIPSI Oleh : ELIZABETH LOLOAN PANGGABEAN NIM. 061000033 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BILU BANJARMASIN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BILU BANJARMASIN An Nadaa, Vol 1 No.2, Desember 2014, hal 72-76 ISSN 2442-4986 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BILU BANJARMASIN The Associated

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS KASSI-KASSI

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS KASSI-KASSI Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi, Juli Desember 00 HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS KASSI-KASSI A.Esse Puji ), Sri Satriani ), Nadimin

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN TERJADINYA ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS DAWE KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN TERJADINYA ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS DAWE KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN TERJADINYA ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS DAWE KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 Suranto, Sri Karyati, Sholihah Hasil penelitian sebagian besar ibu hamil yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan serius bagi negara, disebabkan insidennya semakin meningkat. Penyakit ini termasuk salah satu jenis penyakit tidak menular

Lebih terperinci

Jurnal Kesehatan Medika Saintika Volome 8 Nomor 1 jurnal.syedzasaintika.ac.id

Jurnal Kesehatan Medika Saintika Volome 8 Nomor 1  jurnal.syedzasaintika.ac.id FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK) PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS BELIMBING PADANG FACTORS RELATED TO CHRONIC ENERGY DEFICIENCY (CED) TO PREGNANT WOMAN IN BELIMBING HEALTH

Lebih terperinci

Keywords: Characteristics, Malaria Parasites Positive, RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

Keywords: Characteristics, Malaria Parasites Positive, RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. M. YUNUS KOTA BENGKULU TAHUN 2012 Dwi Putri 1, Sori Muda 2, Hiswani 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah yang masih terjadi pada wanita khusunya ibu hamil. Prevalensi anemia pada ibu hamil di seluruh dunia adalah 41,8%. Kejadian anemia diseluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang bersangkutan. Hemoglobin merupakan protein berpigmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merupakan sasaran pembangunan milenium yang telah disepakati oleh 189 negara yang tergabung dalam PBB pada tahun 2000. Konsep pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang 17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang termasuk Indonesia dan merupakan penyebab kematian ibu dan anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia yakni suatu kondisi dimana jumlah dan ukuran sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat mengganggu kapasitas darah

Lebih terperinci

PERAN PETUGAS KESEHATAN DAN KEPATUHAN IBU HAMIL MENGKONSUMSI TABLET BESI

PERAN PETUGAS KESEHATAN DAN KEPATUHAN IBU HAMIL MENGKONSUMSI TABLET BESI KESMAS, Vol.7, No.2, September 2013, pp. 55 ~ 112 ISSN: 1978-0575 83 PERAN PETUGAS KESEHATAN DAN KEPATUHAN IBU HAMIL MENGKONSUMSI TABLET BESI Lina Handayani Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad

Lebih terperinci

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan Silaen P, Zuraidah R, Larasati TA. Medical Faculty

Lebih terperinci

HUBUNGAN USIA, PARITAS DAN PEKERJAAN IBU HAMIL DENGAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH

HUBUNGAN USIA, PARITAS DAN PEKERJAAN IBU HAMIL DENGAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH HUBUNGAN USIA, PARITAS DAN PEKERJAAN IBU HAMIL DENGAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH Liza Salawati Abstrak. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN IBU SELAMA HAMIL DENGAN KEJADIAN BBLR DI RUMAH SAKIT DR. NOESMIR BATURAJA TAHUN 2014

HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN IBU SELAMA HAMIL DENGAN KEJADIAN BBLR DI RUMAH SAKIT DR. NOESMIR BATURAJA TAHUN 2014 HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN IBU SELAMA HAMIL DENGAN KEJADIAN BBLR DI RUMAH SAKIT DR. NOESMIR BATURAJA TAHUN 2014 Wachyu Amelia Dosen STIKES Al-Ma arif Baturaja Program Studi DIII Kebidanan Email: amelia.wachyu@yahoo.com

Lebih terperinci

GAMBARAN STATUS GIZI IBU HAMIL TRIMESTER I

GAMBARAN STATUS GIZI IBU HAMIL TRIMESTER I GAMBARAN STATUS GIZI IBU HAMIL TRIMESTER I 1 2 3 Ririh Setia Mulyana, Hesty Widyasih, Yuliasti Eka Purnamaningrum 1 Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jalan Mangkuyudan MJ III/30 Yogyakarta

Lebih terperinci

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN 2003 Zulhaida Lubis Posted: 7 November 2003 STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN Oleh :Zulhaida Lubis A561030051/GMK e-mail: zulhaida@.telkom.net Pendahuluan Status gizi

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI BESI PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PARSOBURAN KEC

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI BESI PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PARSOBURAN KEC FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA GIZI BESI PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PARSOBURAN KEC. HABINSARAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR TAHUN 2011 SKRIPSI OLEH: SRI AGNES NAIBAHO 071000103

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit akut, kronis dan juga kematian. Virus ini ditularkan melalui kontak dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit hati (liver) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Kerusakan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari nilai normal kelompok yang bersangkutan (WHO, 2001). Anemia merupakan kondisi

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS CIKAMPEK KABUPATEN KARAWANG

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS CIKAMPEK KABUPATEN KARAWANG FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS CIKAMPEK KABUPATEN KARAWANG Sri Rahayu Universitas Singaperbangsa Karawang 1,2 Jl. HS Ronggowaluyo Teluk Jambe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di seluruh dunia lebih dari 20 juta setiap tahunnya dilahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Di negara berkembang kejadian BBLR 16,5%, 2 kali lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

PENGARUH KEKURANGAN ENERGI KRONIS (KEK) DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL

PENGARUH KEKURANGAN ENERGI KRONIS (KEK) DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL PENGARUH KEKURANGAN ENERGI KRONIS (KEK) DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL Fidyah Aminin 1) Atika Wulandari 1) Ria Pratidina Lestari 1) 1) Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Tanjungpinang fidyahaminin@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN. Oleh: T. RIFKY M. AL FUADY Universitas Sumatera Utara

PROPOSAL PENELITIAN. Oleh: T. RIFKY M. AL FUADY Universitas Sumatera Utara PROPOSAL PENELITIAN HubunganKetahananPangan Tingkat Keluarga dengan Anemia,Kurang Energi Kronis, dan Preeklamsia pada Ibu Hamil di Kecamatan Binjai Selatan Tahun 2014 Oleh: T. RIFKY M. AL FUADY 110100346

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya meningkatkan kualitas SDM seharusnya dimulai sedini mungkin sejak janin dalam kandungan. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya

BAB I PENDAHULUAN. Masa Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL RAWAT INAP DI RS HAJI MEDAN TAHUN 2009 SKRIPSI. Oleh : JULIANTI AISYAH NIM

KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL RAWAT INAP DI RS HAJI MEDAN TAHUN 2009 SKRIPSI. Oleh : JULIANTI AISYAH NIM KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL RAWAT INAP DI RS HAJI MEDAN TAHUN 2009 SKRIPSI Oleh : JULIANTI AISYAH NIM. 061000134 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan Indonesia diselenggarakan dalam upaya mencapai visi Indonesia Sehat 2010. Tujuan pembangunan kesehatan 2005 2009 diarahkan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentingnya peningkatan berat badan yang sesuai dalam masa kehamilan sangat penting untuk mengetahui berat badan janin yang dilahirkan. Peningkatan berat badan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT VITA INSANI PEMATANGSIANTAR TAHUN

KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT VITA INSANI PEMATANGSIANTAR TAHUN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU PADA BALITA YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT VITA INSANI PEMATANGSIANTAR TAHUN 2010- Isri Rezta Prianty 1, Sori Muda 2, Rasmaliah 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru dalam periode pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu kelompok rawan kekurangan

Lebih terperinci

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia ISSN 2442-7659 InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI di Indonesia 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan

Lebih terperinci

! 1! BAB 1 PENDAHULUAN

! 1! BAB 1 PENDAHULUAN ! 1! BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa kehamilan merupakan masa yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia, karena tumbuh kembang anak ditentukan kondisinya dimasa janin dalam kandungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

GAMBARAN KEJADIAN KURANG ENERGI KRONIK DAN POLA MAKAN WANITA USIA SUBUR DI DESA PESINGGAHAN, KECAMATAN DAWAN, KLUNGKUNG

GAMBARAN KEJADIAN KURANG ENERGI KRONIK DAN POLA MAKAN WANITA USIA SUBUR DI DESA PESINGGAHAN, KECAMATAN DAWAN, KLUNGKUNG GAMBARAN KEJADIAN KURANG ENERGI KRONIK DAN POLA MAKAN WANITA USIA SUBUR DI DESA PESINGGAHAN, KECAMATAN DAWAN, KLUNGKUNG Patricia Stephanie 1, Sari Komang Ayu Kartika 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan memegang peran sangat penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA HEPATITIS B DI RUMAH SAKIT SANTO YUSUP BANDUNG TAHUN 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA HEPATITIS B DI RUMAH SAKIT SANTO YUSUP BANDUNG TAHUN 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA HEPATITIS B DI RUMAH SAKIT SANTO YUSUP BANDUNG TAHUN 2014 Jeanatasia Kurnia Sari, 2015. Pembimbing I : July Ivone, dr.,mkk.,mpd.ked dan Pembimbing II : Teresa Lucretia Maria

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi dan pangan merupakan masalah yang mendasar karena secara langsung dapat menentukan kualitas sumber daya manusia serta derajat kesehatan masyarakat. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat nasional cukup kuat. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang No.17

BAB I PENDAHULUAN. tingkat nasional cukup kuat. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang No.17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Landasan kebijakan program pangan dan gizi dalam jangka panjang di tingkat nasional cukup kuat. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang No.17 tahun 2007 tentang Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hasil analisis data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2005) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan gizi kurang pada anak usia sekolah yaitu

Lebih terperinci

ABSTRAK. HUBUNGAN UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS (LLA) DAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) IBU KEHAMILAN ATERM DENGAN DISMATURITAS BAYI LAHIR DI SEBUAH RS DI MEDAN

ABSTRAK. HUBUNGAN UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS (LLA) DAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) IBU KEHAMILAN ATERM DENGAN DISMATURITAS BAYI LAHIR DI SEBUAH RS DI MEDAN ABSTRAK HUBUNGAN UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS (LLA) DAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) IBU KEHAMILAN ATERM DENGAN DISMATURITAS BAYI LAHIR DI SEBUAH RS DI MEDAN Exaudi C.P Sipahutar, 2013 Pembimbing 1 : dr. Fenny,

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSD KOLONEL ABUNDJANI BANGKO KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI TAHUN 2009

KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSD KOLONEL ABUNDJANI BANGKO KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI TAHUN 2009 KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSD KOLONEL ABUNDJANI BANGKO KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI TAHUN 2009 SKRIPSI Oleh : VERARICA SILALAHI NIM. 061000152 FAKULTAS

Lebih terperinci

Eskalila Suryati 1 ; Asfriyati 2 ; Maya Fitria 2 ABSTRACT

Eskalila Suryati 1 ; Asfriyati 2 ; Maya Fitria 2 ABSTRACT HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU HAMIL DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI TETANUS TOKSOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAGA KECAMATAN LEMBAH SORIK MARAPI KABUPATEN MANDAILING NATAL TAHUN 2015 Eskalila Suryati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merokok adalah suatu kebiasaan yang sudah umum dan meluas di masyarakat, dan pada faktanya kebiasaan merokok susah untuk dihilangkan. Merokok telah menjadi

Lebih terperinci

III TAHUN Disusun Oleh WIWEN INDITA PROGRAM

III TAHUN Disusun Oleh WIWEN INDITA PROGRAM HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI TABLET ZAT BESI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMASS KRATON YOGYAKARTA TAHUN 2013 NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh : WIWEN INDITA NIM: 201210104329 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah stunting masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Stunting pada balita bisa berakibat rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang kesehatan terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanan yang diberikan sehari-hari harus mengandung zat gizi sesuai kebutuhan, sehingga menunjang pertumbuhan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO Dian Wahyu Laily*, Dina V. Rombot +, Benedictus S. Lampus + Abstrak Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang terjadi di

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 1336 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING KOTA MANADO Okky Kezia Kainde*, Nancy S.H Malonda*, Paul A.T Kawatu*

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global baik di negara berkembang maupun negara maju. Anemia terjadi pada semua tahap siklus kehidupan dan termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 dari laporan Kota/Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 dari laporan Kota/Kabupaten BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Angka kematian ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting dalam derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian

Lebih terperinci

kelompok rawan gizi kategori WUS,karena pada fase remaja terjadi berbagai macam perubahanperubahan

kelompok rawan gizi kategori WUS,karena pada fase remaja terjadi berbagai macam perubahanperubahan Hubungan Antara Kebiasaan Makan Dan Status Ekonomi Dengan Kejadian Kekurangan Energi Kronis (KEK) Pada Remaja Putri Usia 15-18 Tahun Di Desa Sidomukti Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang Nur Afika*)

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH PUSKESMAS WULUHAN TAHUN 2016

HUBUNGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH PUSKESMAS WULUHAN TAHUN 2016 HUBUNGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH PUSKESMAS WULUHAN TAHUN 2016 Ahmad Huda Ermawan 1, Diyan Indriyani 2, Siti Kholifah

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK) PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS HALMAHERA SEMARANG

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK) PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS HALMAHERA SEMARANG FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK) PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS HALMAHERA SEMARANG ANGGIANI NURHASNA FURQI D11.2012.01525 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PEMBIMBING : KRISWIHARSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Setiap pasangan menginginkan kehamilan berlangsung dengan baik, bayi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah masalah kesehatan masyarakat dunia yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Angka prevalensi anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANEMIA DAN KEK PADA IBU HAMIL AKHIR TRIMESTER III DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember)

HUBUNGAN ANEMIA DAN KEK PADA IBU HAMIL AKHIR TRIMESTER III DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember) HUBUNGAN ANEMIA DAN KEK PADA IBU HAMIL AKHIR TRIMESTER III DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember) SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

ABSTRAK SHERLY RACHMAWATI HERIYAWAN

ABSTRAK SHERLY RACHMAWATI HERIYAWAN SHERLY RACHMAWATI HERIYAWAN ABSTRAK HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN (FOOD SECURITY) DENGAN TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa

BAB 1 PENDAHULUAN. negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan nasional yang menimbulkan perubahan dari suatu negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa kecenderungan baru dalam

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN POLA MAKAN DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI PADA ANAK DI SEKOLAH DASAR NEGERI 3 BATUR

ABSTRAK GAMBARAN POLA MAKAN DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI PADA ANAK DI SEKOLAH DASAR NEGERI 3 BATUR ABSTRAK GAMBARAN POLA MAKAN DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI PADA ANAK DI SEKOLAH DASAR NEGERI 3 BATUR Gizi memegang peranan penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi besi, etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu hemodilusi. 1

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi besi, etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu hemodilusi. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Heatlh Organization 40% kematian ibu di Negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN USIA PERTAMA KALI PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) PADA ANAK USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBOKEN Giovanny V. Wereh*, Shirley E.S Kawengian**,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KETERATURAN MENGKONSUMSI TABLET ZAT BESI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS JETIS II BANTUL YOGYAKARTA

HUBUNGAN ANTARA KETERATURAN MENGKONSUMSI TABLET ZAT BESI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS JETIS II BANTUL YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTARA KETERATURAN MENGKONSUMSI TABLET ZAT BESI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS JETIS II BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Guna Melengkapi Sebagai Syarat Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Status gizi berhubungan dengan kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena pernikahan dini di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pernikahan banyak terjadi pada usia remaja di bawah 18 tahun. Angka pernikahan dini di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI ANTENATAL CARE DAN KETERATURAN KONSUMSI TABLET Fe DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS BILALANG KOTA KOTAMOBAGU Taufik Mamonto*, Anita Basuki*, Maureen I. Punuh*

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah gizi di Indonesia saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Salah satu masalah gizi yang dihadapi di Indonesia adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENDAPATAN, PENYAKIT INFEKSI DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS GLUGUR DARAT TAHUN 2014

HUBUNGAN PENDAPATAN, PENYAKIT INFEKSI DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS GLUGUR DARAT TAHUN 2014 HUBUNGAN PENDAPATAN, PENYAKIT INFEKSI DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS GLUGUR DARAT TAHUN 4 THE CORRELATION BETWEEN INCOME, INFECTIOUS DISEASES AND MOTHERS

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2012-31 DESEMBER 2012 Erfina Saumiandiani, 2013 : Pembimbing I : dr. Dani,M.Kes.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keduanya menyatu membentuk sel yang akan tumbuh. Lama kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. keduanya menyatu membentuk sel yang akan tumbuh. Lama kehamilan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehamilan adalah proses yang diawali dengan keluarnya sel telur matang pada saluran telur yang kemudian bertemu dengan sperma, lalu keduanya menyatu membentuk sel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asupan Gizi Ibu Hamil 1. Kebutuhan Gizi Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN KEJADIAN KURANG ENERGI KRONIK DAN POLA MAKAN WANITA USIA SUBUR DI DESA PESINGGAHAN KECAMATAN DAWAN KLUNGKUNG BALI 2014

GAMBARAN KEJADIAN KURANG ENERGI KRONIK DAN POLA MAKAN WANITA USIA SUBUR DI DESA PESINGGAHAN KECAMATAN DAWAN KLUNGKUNG BALI 2014 GAMBARAN KEJADIAN KURANG ENERGI KRONIK DAN POLA MAKAN WANITA USIA SUBUR DI DESA PESINGGAHAN KECAMATAN DAWAN KLUNGKUNG BALI 214 Patricia Stephanie 1, Sari Komang Ayu Kartika 2 1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di Negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan

Lebih terperinci

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEPATUHAN KONSUMSI TABLET FE PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEPATUHAN KONSUMSI TABLET FE PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEPATUHAN KONSUMSI TABLET FE PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: Rabiatunnisa 1610104257 PROGRAM STUDI BIDAN

Lebih terperinci

GAMBARAN STATUS GIZI IBU HAMIL PADA KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD WONOSARI TAHUN 2014

GAMBARAN STATUS GIZI IBU HAMIL PADA KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD WONOSARI TAHUN 2014 142 Media Ilmu Kesehatan Vol. 4, No. 3, Desember 2015 GAMBARAN STATUS GIZI IBU HAMIL PADA KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD WONOSARI TAHUN 2014 1 Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta Choirul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama dan jika terjadi pada anak-anak akan menjadi persoalan serius bangsa. Kekurangan zat besi mempunyai pengaruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENDERITA TUBERKULOSIS TERHADAP KETIDAKPATUHAN DALAM PENGOBATAN MENURUT SISTEM DOTS DI RSU

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENDERITA TUBERKULOSIS TERHADAP KETIDAKPATUHAN DALAM PENGOBATAN MENURUT SISTEM DOTS DI RSU ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENDERITA TUBERKULOSIS TERHADAP KETIDAKPATUHAN DALAM PENGOBATAN MENURUT SISTEM DOTS DI RSU dr. SLAMET GARUT PERIODE 1 JANUARI 2011 31 DESEMBER 2011 Novina

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN OLEH NOURMA Y LUMBAN GAOL

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN OLEH NOURMA Y LUMBAN GAOL SKRIPSI KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2007 2008 OLEH NOURMA Y LUMBAN GAOL 051000106 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja (laki-laki,

Lebih terperinci

Rizqi Mufidah *), Dina Rahayuning P **), Laksmi Widajanti **)

Rizqi Mufidah *), Dina Rahayuning P **), Laksmi Widajanti **) HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN ENERGI, TINGKAT AKTIVITAS FISIK DAN KARAKTERISTIK KELUARGA DENGAN RISIKO KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DAWE, KUDUS Rizqi Mufidah *), Dina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia

Lebih terperinci