DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA"

Transkripsi

1 DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA DISERTASI RAFIAN JONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA, merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Februari 2012 Rafian Joni Nrp. H

3 ABSTRACT RAFIAN JONI. Impact of Palm Oil Based Biodiesel Development on Poverty, Unemployment and Growth in Indonesia (HARIANTO, as Chairman, E. GUMBIRA SA ID and NUNUNG KUSNADI, as Members of the Advisory Committee) Crude oil price increase can disturb Indonesian macroeconomic indicators such as growth, unemployment and poverty. As the biggest crude palm oil producer in the world, Indonesia can develop palm oil based biodiesel to reduce the negative impact of crude oil price increase on growth, unemployment and poverty in Indonesia. This study aimed to analyse impact of palm oil based biodiesel development on growth, unemployment and poverty in Indonesia that combined with government policy using simultaneous equation econometric models that consist of 35 structural equations and 7 identity equations. This model used 2SLS s method. This study found that palm oil based biodiesel development can create a growth, reduce unemployment and poverty in Indonesia. Simulation may be applied to know the impact of policy on growth, unemployment and poverty in Indonesia by palm oil based biodiesel development. The result of this simulation can be used to formulate the best policy to develop palm oil based biodiesel. It shows that the export tax increase, rupiah exchange rate decrease, rise of palm oil plantation area, bank interest decrease and increase of government expenditure in agriculture, infrastructure and industry will give higher positive impact on growth, unemployment and poverty but the moratorium of palm oil plantation area expansion give a negative impact. In line with this study, if crude palm oil base biodiesel development can be synergized with the export tax increase and increase of government exppenditure in agriculture, infrastructure and industry then growth, unemployment and poverty reducing in Indonesia will be more better and qualify. Rupiah exchange rate decrease should be observed by the government carefully because its impact can reduce production of crude palm oil, palm oil plantation area and agricultural production. Export tax for crude palm oil products still can be applied in the long run but it should be allocated to support palm oil plantation productivity improvement programs. Keywords : Crude Palm Oil, Biodiesel, Growth, Unemployment, Poverty, Econometric Model

4 RINGKASAN RAFIAN JONI. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (HARIANTO, sebagai Ketua, E. GUMBIRA SA ID dan NUNUNG KUSNADI, sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Kenaikan harga minyak bumi dapat mengganggu indikator makroekonomi Indonesia seperti pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia dapat mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga minyak bumi terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang dipadukan dengan kebijakan pemerintah. Untuk mencapai tujuan ini, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri atas 35 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Model ini diduga dengan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit berdampak positif karena dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia melalui pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hasil simulasi digunakan untuk merumuskan kebijakan terbaik untuk pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kebijakan kenaikan pajak ekspor, penguatan nilai tukar Rupiah, peningkatan luas areal kebun kelapa sawit, penurunan suku bunga perbankan dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pertanian, infrastruktur dan industri memberikan dampak yang lebih positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan jumlah penduduk miskin di Indonesia dengan dampak terbaik dihasilkan oleh peningkatan produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah. Peningkatan produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kebijakan moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit berdampak negatif karena menurunkan kinerja pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan kemiskinan. Mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan kecenderungan meningkatnya harga minyak bumi maka sudah seharusnya Indonesia semakin fokus dan serius mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Sejalan dengan hasil penelitian, pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kenaikan pajak ekspor dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pertanian, infrastruktur dan industri memberikan

5 ii dampak yang semakin baik terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia maka pemerintah sebaiknya terus mendorong pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit dan meningkatkan pengeluaran pemerintah terutama untuk mendukung riset-riset pertanian dan industri hilir kelapa sawit serta peningkatan infrastruktur jalan, pembangkit tenaga listrik dan pelabuhan. Penguatan nilai tukar rupiah perlu diperhatikan secara seksama oleh pemerintah mengingat dampaknya yang dapat menurunkan ekspor minyak kelapa sawit secara signifikan, menurunkan luas perkebunan kelapa sawit, menurunkan produksi tandan buah segar kelapa sawit dan pada akhirnya menurunkan nilai produksi sektor pertanian. Penerapan pajak ekspor secara umum dapat terus diberlakukan karena tidak memberikan dampak yang negatif baik terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan maupun terhadap industri minyak kelapa sawit, industri minyak goreng sawit dan perkebunan kelapa sawit. Untuk mewujudkan asas keadilan, penerimaan hasil pungutan pajak ekspor sebaiknya digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan pengembangan industri kelapa sawit nasional terutama dalam hal peningkatan produktivitas yang masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia dan pengembangan industri hilir kelapa sawit untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih baik. Kebijakan moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit patut untuk ditinjau ulang karena berpotensi menurunkan kinerja pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Kebijakan ini juga berpotensi untuk menurunkan kinerja produksi minyak kelapa sawit nasional sehingga target produksi pada tahun 2020 yang ditetapkan sebesar juta ton tidak akan tercapai. Kebijakan ini juga dapat menurunkan produksi tandan buah segar kelapa sawit sehingga nilai produksi sektor pertanian juga ikut turun. Perluasan perkebunan kelapa sawit terutama pada lahan-lahan kritis yang didedikasikan untuk pengembangan biodiesel dari kelapa sawit layak dipertimbangkan mengingat kebijakan ini juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Perluasan lahan yang didedikasikan untuk pengembangan biodiesel, dengan dukungan insentif pemerintah secara jangka panjang dapat mengurangi potensi konflik yang mungkin terjadi terkait perebutan lahan untuk pangan atau energi. Kata kunci : Minyak Kelapa Sawit, Biodiesel, Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Kemiskinan, Model Ekonometrika

6 @ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor

7 DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA RAFIAN JONI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec Staf Pengajar Program Studi Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. (riset) Dr. Ir. Wayan Rusastra, MSc. Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) 2. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. Guru Besar pada Universitas Lampung

9 Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA : RAFIAN JONI : H : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Harianto, MS Ketua Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa id. MA.Dev Anggota Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Anggota Mengetahui: 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian : 12 Desember 2011 Tanggal Lulus :

10 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 8 Januari 1971 di Padang, sebagai anak ke-enam dari 14 bersaudara, dari pasangan Rivai Rajo Batuah (almarhum) dan Yulinar (almarhumah). Penulis beristrikan Retno Dwiwahju Harijani dengan putra-putri Raditya Bagus Wirawan dan Rivana Syahira Maharani. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S-2 di Magister Manajemen Agribisis Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Manajemen Agribisnis pada tahun Pada tahun 2007, penulis menempuh pendidikan S-3 di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pengalaman kerja profesional yang pernah dijalani penulis adalah selaku Project Engineer tahun di P.T. Hutama Prima yang merupakan sebuah perusahaan konstruksi dan rekayasa sipil yang berlokasi di Jakarta. Penulis kemudian mengikuti program Management Trainee tahun di Perum Perumnas yang merupakan sebuah perusahaan pengembangan perumahan dan permukiman milik pemerintah (Badan Usaha Milik Negara). Tahun penulis bekerja di P.T. Anugrah Jaya Agung (owner Hotel Salak The Heritage Bogor) selaku Project Coordinator dan Finance & Accounting Manager. Pada tahun 2003 penulis mendapatkan pengalaman baru melalui penugasan menjadi General Manager selama hampir satu tahun pada TAC Pertamina Buana Sadpetra Sebasa, Ltd., yang merupakan sebuah perusahaan pengelola lapangan minyak bekerja sama dengan P.T. PERTAMINA. Pada tahun penulis

11 ix kembali ditugaskan di P.T. Anugrah Jaya Agung (Hotel Salak The Heritage Bogor) selaku Chief Executive Officer (CEO) Pada tahun 2007, penulis mulai mencoba belajar menjadi pewirausaha setelah lebih dari 10 tahun menjadi karyawan. Pada tahun 2007 penulis menjadi salah satu pemegang saham P.T. Rawa Danau Ekowisata (Sempur Park Hotel- Bogor) dan membantu membangun serta mengembangkan kembali Sempur Park Hotel yang sempat terbengkalai selama hampir 10 tahun. Pada tahun penulis menjadi salah satu Direksi di P.T. Rawa Danau Ekowisata (Sempur Park Hotel-Bogor). Pada tahun 2007 sampai sekarang penulis juga menjadi salah satu pemegang saham merangkap Direktur Utama P.T. Liza Herbal International yang berlokasi di Bogor. P.T. Liza Herbal International merupakan perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pengembangan produk kesehatan berbasis herbal asli Indonesia yang dikemas dalam bentuk kapsul, teh dan minuman kesehatan. Sejak tahun 2010 sampai sekarang, penulis diangkat menjadi Direktur Utama Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Darma Putra Kertaraharja Kabupaten Kuningan. PDAU Darma Putra Kertaraharja merupakan Badan Usaha Milik Daerah Kabupaten Kuningan yang dibentuk pada tahun 2009 dan resmi beroperasi sejak tahun 2010 untuk mengembangkan berbagai macam potensi usaha mulai dari sektor pariwisata, pertanian, energi, kesehatan, industri, perdagangan, telekomunikasi dan berbagai jasa lainnya dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

12 x KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya penulisan disertasi ini. Tema yang penulis pilih adalah Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan di Indonesia. Pengembangan bahan bakar nabati terutama yang berbasis sumber daya alam unggulan Indonesia seperti biodiesel dari kelapa sawit sudah sangat mendesak dilaksanakan. Ini semakin mutlak harus dilakukan seiring dengan naiknya harga minyak bumi sebagaimana telah diperkirakan oleh para ahli. Kenaikan harga minyak bumi tidak hanya membebani anggaran pemerintah namun juga berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat. Data indikator makroekonomi menunjukkan bahwa angka kemiskinan masih relatif besar di Indonesia begitu juga jumlah pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan membuka banyak lapangan kerja ternyata belum sesuai dengan kenyataan. Kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah terutama di sektor pertanian dan industri terutama pengembangan energi terbarukan tampaknya perlu dilakukan perubahan. Penelitian ini secara khusus ingin menjawab apakah pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dipadukan dengan beberapa kebijakan pemerintah dari sisi suku bunga, investasi, pajak ekspor, nilai tukar dan pengeluaran mampu memperbaiki indikator makroekonomi Indonesia terutama dalam hal peningkatan produksi, pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan dan pengangguran. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dipadukan dengan kebijakan pemerintah yang tepat dapat memperbaiki indikator makroekonomi Indonesia terutama dalam hal pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian dan penyempurnaan hasil penelitian ini. Jika masih terdapat kesalahan yang mungkin terjadi tetap menjadi tanggung jawab penulis. Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para pembimbing, yaitu: Dr. Ir. Harianto, M.S., sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa id MADev dan Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S. masingmasing sebagai anggota komisi pembimbing. Arahan dan masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisan sangat membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas S3-EPN. Dedikasi para dosen EPN-IPB yang sangat tinggi telah menjadikan penulis mampu mengikuti perkuliahan dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan IPB yaitu Rektor IPB (Prof. Dr. Ir. Herry Sudaryanto), Dekan Sekolah Pascasarjana (Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.), dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3.

13 xi Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan kritik untuk penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Prof. (riset) Dr. Ir. Wayan. Rusastra, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan saran, masukan dan kritikan yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas S3-EPN Khusus Angkatan 3 atas dorongan dan kerjasamanya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai lembaga yang menyediakan data yang diperlukan untuk disertasi ini, yaitu BPS, Deptan, Depperin, BI, Depdag, Depnakertrans, Pertamina. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Indra, Rina Hartini dan Aan Komarudin yang telah membantu dalam masalah komputasi dan pengolahan data. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor yang telah merekomendasikan sehingga penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa dari Eka Tjipta Foundation (Yayasan Sinar Mas Group). Penulis juga menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Eka Tjipta Foundation (Yayasan Sinar Mas Group) yang telah memberikan beasiswa yang membantu biaya pendidikan penulis selama mengikuti program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini hingga selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada H. Aang Hamid Suganda, selaku Bupati Kuningan yang terus memberikan dukungan dan semangat serta perhatian agar penulis segera dapat menyelesaikan pendidikan di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istri (Retno Dwiwahju Harijani) dan putra-putri (Raditya Bagus Wirawan dan Rivana Syahira Maharani) atas kasih dan dukungan selama penulis menjalani hari-hari yang telah mengambil alokasi waktu kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan istri dan anak-anak tercinta, mustahil penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini hanya penulislah yang bertanggungjawab. Tuhan akan memberi balasan berkah yang setimpal kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis. Bogor, Februari 2012 Rafian Joni

14 D A F T A R I S I Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xvi xx xxii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Pertanian Pengangguran dan Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Peranan Energi Dalam Pembangunan Pengembangan Bahan Bakar Nabati Biodiesel dari Kelapa Sawit Tinjauan Studi Terdahulu Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Energi dan Pengembangan Bahan Bakar Nabati III. KERANGKA TEORITIS Pengukuran Kemiskinan Tingkat Pengangguran Teori Pertumbuhan Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Hubungan Produksi Biodiesel dengan Harga Minyak Bumi Biodiesel dari Kelapa Sawit Skenario Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit... 56

15 xiii Halaman 3.5 Teori Produksi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Minyak Kelapa Sawit Olein Minyak Goreng Sawit Stearin Biodiesel dari Kelapa Sawit Keterkaitan Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi IV. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Hipotesis Penelitian Sumber Data Spesifikasi Model Produk Minyak Kelapa Sawit dan Bahan Bakar Produksi dan Permintaan Indikator Ekonomi Prosedur Analisis Data Identifikasi Model Metode Pendugaan Model Validasi Model Simulasi Model V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT Produk Kelapa Sawit Minyak Kelapa Sawit Minyak Goreng Sawit Perkebunan Kelapa Sawit Bahan Bakar Biodiesel Olein dan Stearin Bahan Baku Biodiesel

16 xiv Halaman Bahan Bakar Biodiesel Bahan Bakar Diesel Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian Sebaran Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Lapangan Kerja Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Pengurangan Kemiskinan VI. DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT : HASIL ANALISIS PARSIAL Analisis Umum Model Dugaan Dugaan Parameter Persamaan Struktural Minyak Kelapa Sawit Bahan Baku Biodiesel Minyak Goreng Sawit Kelapa Sawit Bahan Bakar Diesel Produksi Nasional Permintaan Agregat Tenaga Kerja Upah Indikator Makro Ekonomi Kemiskinan VII. INDIKATOR MAKROEKONOMI : SIMULASI SKENARIO KEBIJAKAN DAN PEMBAHASAN Validasi Model Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Penguatan Nilai Tukar Rupiah 10 Persen Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Moratorium Perluasan Kebun Kelapa Sawit

17 xv Halaman 7.6 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Peningkatan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 10 Persen Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Penurunan Suku Bunga 10 Persen Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit, Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen dan Kenaikan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen Rekapitulasi Hasil Simulasi VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan dan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

18 xvi D A F T A R T A B E L Nomor Halaman 1. Kontribusi Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto dan Lapangan Kerja di Indonesia Jumlah Orang Miskin di Indonesia Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Orang Bekerja dan Pengangguran Harga Minyak Bumi dan Subsidi Bahan Bakar Kebijakan Makro Energi Nasional Indonesia Target Proporsi Penggunaan Energi Indonesia Kapasitas Produksi Terpasang Biodiesel di Indonesia Negara-Negara Potensial Sebagai Produsen Biodiesel Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia (Juta Ton) Target Produksi Bahan Bakar Hayati dan Biodiesel Sejumlah Negara Produksi Minyak Kelapa Sawit dan Kemiskinan di Indonesia Per Propinsi Tahun Dugaan Persamaan Struktural Model Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Domestik Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun

19 xvii Nomor Halaman 18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Olein Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Stearin Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Diesel Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Minyak Diesel Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Minyak Diesel Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Minyak Diesel Indonesia Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Produksi Sektor Pertanian Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Produksi Sektor Industri Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Produksi Sektor Lainnya Tahun

20 xviii Nomor Halaman 33. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Sektor Pertanian Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Sektor Industri Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penawaran Tenaga Kerja Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja Sektor Industri Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja Sektor Lainnya Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Rata-Rata Sektor Pertanian Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Rata-Rata Sektor Industri Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Rata-Rata Sektor Lain Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan di Perkotaan Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan di Perdesaan Tahun

21 xix Nomor Halaman 48. Hasil Validasi Model Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Indikator Makroekonomi Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Penguatan Nilai Tukar Rupiah 10 Persen Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Moratorium Perluasan Kebun Kelapa Sawit Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Peningkatan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 10 Persen Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Penurunan Suku Bunga 10 Persen Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit, Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen dan Kenaikan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit

22 xx D A F T A R G A M B A R Nomor Halaman 1. Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia Reaksi Transesterifikasi Untuk Biodiesel Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran Diagram Sederhana Produk Turunan dari Minyak Kelapa Sawit Dampak Penggunaan Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Biodiesel Alur Kerangka Pemikiran Konseptual Diagram Keterkaitan Antar Blok Persamaan Dalam Model Biodiesel Dari Kelapa Sawit dan Indikator Makroekonomi Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Perkembangan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit Domestik Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Kelapa Sawit Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa Perkembangan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit Perkembangan Produksi TBS Kelapa Sawit Perkembangan Harga TBS Kelapa Sawit Perkembangan Produksi Olein

23 xxi Nomor Halaman 21. Perkembangan Produksi Stearin Perkembangan Produksi Biodiesel di Indonesia Perkembangan Produksi Minyak Diesel Perkembangan Konsumsi Minyak Diesel Perkembangan Impor Minyak Diesel Perkembangan Harga Minyak Diesel Sebaran Produksi Kelapa Sawit Indonesia

24 xxii D A F T A R L A M P I R A N Nomor Halaman 1. Hasil Pendugaan Parameter Model Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit Hasil Validasi Model Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit

25 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis sehingga mendapatkan perhatian dan perlindungan yang sangat serius baik dari negaranegara berkembang maupun negara maju. Pembangunan pertanian yang umumnya dilakukan di perdesaan merupakan hal yang penting bagi suatu negara. Ini dikarenakan pertanian pada suatu negara memiliki peranan yang sangat luas seperti menghasilkan bahan pangan untuk kehidupan seluruh rakyatnya, menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja terutama bagi penduduk perdesaan, menyediakan sumber bahan baku yang diperlukan bagi sektor industri, menghasilkan sumber devisa bagi negara dalam bentuk ekspor, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan regional dan menjaga kelestarian lingkungan melalui konservasi lahan, mencegah banjir dan penyedia udara yang sehat (Todaro dan Smith, 2006). Perkembangan teknologi kemudian memungkinkan pertanian memiliki peran baru sebagai sumber energi bagi kehidupan. Pertanian mampu menyediakan energi dalam bentuk bahan bakar yang sering disebut dengan bahan bakar nabati atau biofuel untuk menggerakkan mesin dan peralatan, baik untuk rumah tangga maupun industri. Produk pertanian dalam bentuk bahan bakar nabati dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar fosil yang selama ini menjadi sumber energi utama di seluruh dunia (Raswant et al., 2008) Penggunaan produk pertanian sebagai bahan bakar nabati telah dimulai oleh Brazil tahun 1970-an pada saat terjadinya krisis minyak bumi yang berdampak

26 2 pada memburuknya perekonomian Brazil. Tingginya harga minyak bumi pada saat itu telah mendorong Brazil untuk mengembangkan bahan bakar alkohol dari tetes tebu, yang sekarang populer disebut bioetanol sebagai bahan bakar alternatif untuk substitusi bahan bakar fosil. Pengembangan bioetanol dari tetes tebu di Brazil didukung oleh ketersediaan bahan baku tanaman tebu yang melimpah dan telah menjadi komoditas ekspor utama di Brazil. Dengan biaya awal US$ 4 Milyar dan serangkaian subsidi pemerintah, sampai dengan sekarang program bahan bakar bioetanol Brazil telah menghasilkan penghematan lebih dari US$ 100 Milyar dan menjadikan Brazil sebagai negara eksportir bioetanol terbesar di dunia (Raswant et al., 2008). Besarnya dampak ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fosil terutama minyak bumi dan diilhami oleh kesuksesan Brazil dalam pengembangan bioetanol telah menyadarkan banyak negara di dunia termasuk Indonesia untuk mulai mengembangkan bahan bakar nabati. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari minyak bumi pemerintah Indonesia telah menyiapkan serangkaian kebijakan dengan menerbitkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi yang mengatur mengenai energi mulai dari penguasaan dan pengaturan sumber daya energi sampai dengan penelitian dan pengembangan energi nasional. 2. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan penggunaan energi alternatif hingga 80 persen dan

27 3 menurunkan penggunaan BBM hingga kurang dari 20 persen pada tahun Instruksi Presiden No. 1 Tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (bio fuel) sebagai Bahan Bakar Lain. 4. Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. 5. Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan di Indonesia salah satunya adalah biodiesel karena memiliki prospek yang cukup baik mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah. Bahan baku potensial yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi biodiesel di Indonesia adalah minyak kelapa sawit. Hal ini mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (APROBI, 2009). Produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2009 mencapai sekitar juta ton. Kebutuhan domestik minyak kelapa sawit Indonesia untuk produksi minyak goreng, oleokimia dan industri hilir lainnya sekitar 6.2 juta ton sementara sisanya diekspor dalam bentuk minyak kelapa sawit curah (TAMSI- DMSI, 2010). Berdasarkan data di atas, terdapat potensi minyak kelapa sawit sekitar 15.3 juta ton yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi produk turunan minyak kelapa sawit di Indonesia tanpa mengganggu pasokan untuk kebutuhan industri pangan domestik. Pemerintah juga telah memberikan dukungan pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit dalam bentuk penetapan klaster industri hilir

28 4 minyak kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produk turunan minyak kelapa sawit yang dapat dihasilkan di Indonesia (Litbang Kompas, 2010). Pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit termasuk biodiesel ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk minyak kelapa sawit bagi Indonesia, yang selama ini sebagian besar hanya dinikmati oleh negara lain. Pengembangan industri hilir kelapa sawit, termasuk biodiesel dari kelapa sawit tentu dapat meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia. Sektor pertanian Indonesia memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi perekonomian sejak tahun 1970-an. Dengan pangsa sekitar 41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) total seperti terlihat pada Tabel 1, pertanian Indonesia pada tahun 1970 mampu menyerap lapangan kerja sebesar 66.4 persen. Tabel 1. Kontribusi Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto dan Lapangan Kerja di Indonesia (%) Kontribusi Terhadap PDB Pertanian Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan Perikanan Kehutanan Pangsa Pertanian Thd Total PDB Pangsa Lapangan Kerja Pertanian Sumber : BPS, 2007 Dalam perkembangan selanjutnya, pangsa sektor pertanian terhadap total PDB Indonesia terus menurun dimana pada tahun 2002 tinggal 17.5 persen dibandingkan dengan tahun 1970 yang masih 41 persen. Bahkan pada tahun 2006 pangsa pertanian Indonesia terhadap PDB tinggal persen (BPS, 2007).

29 5 Menurunnya pangsa sektor pertanian tersebut merupakan dampak dari serangkaian kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah yang lebih berpihak pada sektor non pertanian (Todaro dan Smith, 2006). Penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB bukan berarti menjadikan sektor pertanian di Indonesia menjadi tidak penting lagi karena dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih memiliki kontribusi yang cukup penting. Pada tahun 2006 sektor pertanian Indonesia dengan pangsa yang tinggal 12.9 persen tersebut masih mampu menyerap lapangan kerja sebesar 43.3 persen dari seluruh sektor yang ada (BPS, 2007). Tabel 2. Jumlah Orang Miskin di Indonesia Tahun Sumber : BPS, 2009 Jumlah Orang Miskin (Juta Orang) Perkotaan Perdesaan Nasional Selama hampir 40 tahun pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia terutama pembangunan sektor pertanian, ternyata jumlah orang miskin

30 6 masih tetap tinggi terutama di perdesaan, tempat dimana sebagian besar kegiatan pertanian berlangsung. Data statistik seperti terlihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2009, orang miskin di perdesaan masih sebanyak juta orang sedangkan di perkotaan sebanyak juta orang sehingga total jumlah orang miskin di Indonesia adalah juta orang atau sekitar persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Ini merupakan potret angka kemiskinan yang cukup memprihatinkan di Indonesia. Selain tingginya angka kemiskinan di Indonesia, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah jumlah pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi yang di atas 5 persen sejak tahun 2004, mampu meningkatkan jumlah orang bekerja yang pada tahun 2004 masih juta orang dan pada tahun 2008 dapat ditingkatkan sehingga mencapai juta orang, bahkan menjadi juta orang pada tahun 2009 sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Orang Bekerja dan Pengangguran Periode Sumber : BPS, 2009 Pertumbuhan Ekonomi (%) Jumlah Orang Bekerja (Juta) Pengangguran Terbuka Jumlah (Juta) % Peningkatan jumlah orang yang bekerja di atas tetap belum mampu secara signifikan menurunkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia. Jumlah orang yang tidak bekerja atau pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2009 masih cukup besar yang mencapai 9.25 juta orang atau sekitar 8.14 persen dari

31 7 total angkatan kerja. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berhasil diraih selama periode masih belum cukup untuk menyerap penambahan tenaga kerja yang ada pada periode yang sama. Untuk menurunkan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran terbuka di atas, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras dan sistematis dari pemerintah, selain pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas. Upayaupaya keras dan sistematis serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan menciptakan banyak lapangan kerja sehingga semakin banyak jumlah orang yang bekerja dan mendapat pekerjaan di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan. 1.2 Rumusan Masalah Kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi terutama di negaranegara berkembang berhubungan erat dengan ketersediaan dan akses terhadap energi. Jika pasokan atau akses ke pelayanan energi berkurang maka akan terjadi kenaikan biaya yang dapat menekan perekonomian, mendorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran serta mengganggu prospek-prospek pembangunan lainnya (Nkomo, 2007). Energi, baik yang berupa penerangan, panas, tenaga mekanika atau listrik, merupakan hal pokok pada masyarakat dan memainkan peran kunci dalam perspektif pembangunan, terutama untuk negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang (Domac et al, 2005). Energi juga memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk

32 8 terlaksananya pembangunan berkelanjutan dan mendukung kegiatan-kegiatan nasional (Schubert et al., 2007). Secara global kebutuhan energi dunia diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan rata-rata 1.7 persen per tahun hingga tahun Pertumbuhan kebutuhan energi tersebut, terutama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di banyak negara, yang sekitar 90 persennya masih dipasok atau bersumber dari bahan bakar fosil (Prihandana dan Hendroko, 2007). Konsumsi energi di Indonesia sendiri juga meningkat cukup cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan populasi. Indonesia hingga saat ini juga masih tergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi fosil yang dimiliki Indonesia walaupun bervariasi (minyak bumi, gas, batu bara) namun jumlahnya terbatas. Data cadangan energi fosil dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Prihandana dan Hendroko, 2007) menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi yang terbukti tinggal sekitar 9 milyar barrel dan jika diproduksi rata-rata 500 juta barrel per tahun, cadangan tersebut diperkirakan akan habis pada tahun Gas bumi dengan potensi cadangan 182 TSCF dengan tingkat produksi 3 TSCF per tahun akan habis pada tahun Batu bara dengan cadangan sekitar 19.3 milyar TCE dan laju pemanfaatan 130 juta TCE per tahun akan habis pada tahun Indonesia sendiri masih mengalami ketimpangan dalam proporsi penggunaan energi secara nasional atau energy mix (Prihandana dan Hendroko, 2007). Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral menyatakan bahwa sekitar 63 persen kebutuhan energi Indonesia masih bergantung pada minyak bumi, sementara fasilitas produksi minyak nasional terbatas dan kapasitas produksi

33 9 secara bertahap terus mengalami penurunan. Hal inilah yang menyebabkan untuk memenuhi konsumsi energi domestik maka Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan produk minyak jadi lainnya. Indonesia yang semula merupakan salah satu negara produsen minyak bumi menjadi sangat tergantung pada pasokan minyak dari luar negeri untuk memenuhi kenaikan konsumsi energi domestiknya. Meningkatnya konsumsi minyak bumi tidak didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan penggunaan energi yang boros di Indonesia. Ini tercermin dari tingginya perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional atau elastisitas energi (Prihandana dan Hendroko, 2007). Elastisitas energi Indonesia sekitar 1.84, angka yang relatif tinggi, dibandingkan dengan elastisitas energi Jepang dan Amerika Serikat yang 0.10 dan 0.26 yang sudah terkenal sebagai negara yang efisien dalam penggunaan energi. Indonesia yang semula adalah negara pengekspor minyak bumi, sejak tahun 2000 telah resmi berubah menjadi negara pengimpor minyak bumi. Pada tahun 2003, data dari Pertamina menunjukkan impor bersih minyak bumi Indonesia mencapai juta barrel per hari. Impor bersih di atas diperkirakan akan terus meningkat dengan makin menurunnya produksi lapangan-lapangan minyak Indonesia dan meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak penduduk Indonesia, apalagi jika tidak berubahnya perilaku boros dalam penggunaan energi di Indonesia. Kenaikan harga minyak bumi internasional cukup membebani anggaran pemerintah terutama dalam hal penyediaan subsidi yang terkait dengan bahan bakar minyak. Walaupun subsidi yang terkait dengan bahan bakar minyak sempat

34 10 turun menjadi Rp Trilyun pada tahun 2005, namun pada tahun 2006 dan seterusnya, kecenderungannya terus naik sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Pada tahun 2008, dengan harga minyak bumi rata-rata US$ per barel, realisasi subsidi bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai Rp Trilyun. Suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran Indonesia. Prihandana dan Hendroko (2007) menyatakan bahwa jika harga minyak bumi berkisar pada angka US$ 60 per barrel dengan kebijakan subsidi tidak berubah maka pemerintah harus menyediakan anggaran minimal sekitar Rp. 89 Trilyun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak. Tabel 4. Harga Minyak Bumi dan Subsidi Bahan Bakar Tahun Harga Minyak Mentah Subsidi Bahan Bakar (US$/Barrel) (Rp. Trilyun) Sumber : Kementerian Keuangan RI, 2009 Besarnya beban subsidi di atas dapat menurunkan kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program pembangunan pada sektor-sektor penting lainnya seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan dasar masyarakat dan infrastruktur baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penurunan kemampuan pembiayaan program-program pembangunan tersebut menyebabkan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan optimal untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menurunkan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

35 11 Mengingat cadangan terbukti minyak bumi dunia pada tahun 2004 yang diperkirakan tinggal 1.27 trilyun barrel, maka jika tidak ada penemuan baru diperkirakan minyak bumi akan habis dalam 44.6 tahun ke depan (Prihandana dan Hendroko, 2007). Jika mengikuti hukum permintaan dan penawaran, diperkirakan harga minyak bumi dunia akan terus meningkat seiring naiknya permintaan minyak bumi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sementara penawaran relatif tetap. Leeb dalam Prihandana dan Hendroko (2007) memperkirakan harga minyak bumi dunia akan terus meningkat bahkan dapat mencapai US$ 200 per barrel. Jika harga minyak bumi mencapai US$ 200 per barrel atau lebih maka diperkirakan beban anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap penduduk miskin dan perekonomian Indonesia akan semakin besar jumlahnya. Setelah krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada tahun , harga minyak bumi cenderung terus meningkat, yang mendorong meningkatnya inflasi dan tingkat kemiskinan di Indonesia serta membuat pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Jika harga minyak bumi terus meningkat sebagaimana terlihat pada Gambar 1, dikhawatirkan kinerja indikator makroekonomi Indonesia juga akan mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan dan inflasi dikhawatirkan akan meningkat tajam sementara pertumbuhan ekonomi semakin melambat bahkan bisa kembali negatif seperti waktu krisis ekonomi pada tahun Jika hal ini terjadi maka dampaknya akan buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

36 12 Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia 60,00 120,00 50,00 100,00 40,00 30,00 80,00 Persen 20,00 10,00 60,00 US$/Barrel 0, ,00-10,00-20,00 20,00-30,00 Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Harga Minyak Bumi 0,00 Gambar 1. Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia Sumber : BPS, 2009 Untuk menurunkan dampak kenaikan harga minyak bumi terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah telah menyusun kebijakan makro energi nasional sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum, kebijakan makro energi nasional tersebut diarahkan untuk menjamin pasokan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan dan menjadi panduan pengelolaan energi nasional dalam rangka usaha-usaha untuk memenuhi ketahanan energi nasional. Kebijakan makro energi nasional di atas mengamanatkan pelaksanaan diversifikasi energi berupa pengembangan energi alternatif terutama yang dapat diperbaharui dengan potensi yang cukup besar di Indonesia, dimana salah satunya adalah bahan bakar nabati.

37 13 Tabel 5. Kebijakan Makro Energi Nasional Indonesia No. Kategori Sisi Pasokan Sisi Penggunaan 1 Kebijakan Utama Eksplorasi produksi Efisiensi Energi Konservasi energi Diversifikasi Energi Optimalisasi produksi Harga energi secara berkala berubah sesuai harga keekonomian 2 Kebijakan Pendukung Mempertimbangkan faktor lingkungan Pembangunan infrastruktur energi Kebijakan subsidi untuk rakyat miskin Skema kemitraan pemerintah dan sektor swasta Pemberdayaan masyarakat Promosi riset dan pengembangan Koordinasi antara stakeholders terkait Sumber : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009 Berdasarkan kebijakan makro energi nasional Indonesia di atas maka pemerintah kemudian menetapkan target proporsi penggunaan energi secara nasional Indonesia pada tahun 2025 dengan acuan kondisi awal pada tahun Target proporsi penggunaan energi nasional Indonesia tersebut menurunkan porsi penggunaan minyak bumi dan mendorong penggunaan sumber energi lain sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Target Proporsi Penggunaan Energi Indonesia No Energi Proporsi Penggunaan Energi 2004 Target Minyak Bumi Gas Batu Bara Bahan Bakar Nabati Geothermal Energi terbarukan lainnya (biomassa, matahari, angin, nuklir, hidro) 7 Batu Bara Cair Sumber : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009 (%) Selain geothermal, biomassa, angin, matahari dan sumber energi terbarukan lainnya, kebijakan energi nasional juga secara jelas menyatakan bahwa bahan bakar nabati sebagai salah satu sumber energi terbarukan ditargetkan mampu

38 14 memenuhi paling kurang lima persen dari total konsumsi energi nasional pada tahun Jika harga minyak bumi internasional kembali meningkat seiring pulihnya permintaan terhadap bahan bakar minyak diperkirakan permintaan akan bahan bakar nabati juga semakin besar. Ini juga didorong oleh semangat untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan menurunkan dampak pemanasan global yang semakin dirasakan akhir-akhir ini. Tabel 7. Kapasitas Produksi Terpasang Biodiesel di Indonesia No Nama Perusahaan Kapasitas Kapasitas No Nama Perusahaan (kl/thn) (kl/thn) 1 P.T. Energi Alternatif P.T. Prima Nusa Palma Energi 2 P.T. Indo Biofuels Energi P.T. Sintong Abadi P.T. Anugrah Inti Gemanusa P.T. Musim Mas P.T. Eterindo Nusa Graha P.T. Multi Kimia Inti Pelangi P.T. Eternal Buana Chemical P.T. Cemerlang Energi Industries Perkasa 6 P.T. Wilmar Bio Energi Indonesia P.T. Petro Andalan Nusantara P.T. Sumi Asih Oleo Chemical P.T. Bioenergi Pratama Jaya P.T. Darmex Biofuels P.T. Pura Agung P.T. Pelita Agung Agrindustri P.T. Pasadena Biofuels Mandiri Sumber : APROBI, 2009 Sejak pengembangan bahan bakar nabati dimulai pada tahun 2004 di Indonesia, telah berdiri banyak industri biodiesel di berbagai wilayah di Indonesia. APROBI (2009) telah mencatat sampai dengan tahun 2009, telah beroperasi 18 perusahaan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas terpasang total sekitar kiloliter/tahun seperti terlihat pada Tabel 7. Dari kapasitas produksi terpasang industri biodiesel dari kelapa sawit tersebut, baru sekitar 10 persen atau kiloliter/tahun yang terpakai. Rendahnya pemanfaatan kapasitas produksi terpasang industri biodiesel dari kelapa sawit ini disebabkan oleh hambatan harga jual biodiesel dari kelapa sawit yang tidak menguntungkan buat produsen.

39 15 Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit sebagai bagian dari pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia, beberapa tahun terakhir terkendala oleh masalah harga jual biodiesel dalam negeri yang harus bersaing dengan minyak diesel bersubsidi. Subsidi yang diberikan pemerintah pada minyak diesel (sebesar Rp2000/liter) menyebabkan harga jual biodiesel menjadi tidak kompetitif dan juga tidak feasible terutama untuk dipasarkan di dalam negeri. Pada tanggal 23 Oktober 2009, telah terbit Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu, sebagai revisi Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa biodiesel pada tahun 2009 dan 2010 diberikan subsidi jika harga biodiesel domestik lebih rendah dari indeks harga biodiesel internasional di Argus (APROBI, 2009). Ini berarti jika harga minyak bumi meningkat sehingga harga biodiesel domestik sama atau lebih besar dari indeks harga Argus maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk biodiesel dari kelapa sawit. Ini juga berarti subsidi untuk biodiesel ini bersifat sementara atau bukan realokasi subsidi yang akan memberatkan anggaran pemerintah. Terbitnya Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2009 tersebut telah memberikan insentif bagi produsen untuk kembali memproduksi biodiesel dari kelapa sawit dengan mengoptimalkan kapasitas terpasang yang sudah ada. Hasil produksi biodiesel dari kelapa sawit tersebut dapat dipasarkan tidak hanya untuk pasar domestik namun juga untuk pasar ekspor. Meningkatnya permintaan terhadap biodiesel dari kelapa sawit dan berkembangnya industri biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia akan berdampak terhadap indikator makroekonomi Indonesia. Berkembangnya biodiesel dari

40 16 kelapa sawit diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan petani di perdesaan melalui kenaikan harga tandan buah segar kelapa sawit. Kenaikan pendapatan petani dapat meningkatkan kesejahteraan para petani sehingga berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan Indonesia yang merupakan sumber bahan baku untuk biodiesel dari kelapa sawit. Pada sisi lain, pengembangan biodiesel dari kelapa sawit diperkirakan dapat menyebabkan harga domestik minyak kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng sawit mengalami kenaikan. Kenaikan harga input ini menyebabkan harga minyak goreng sawit sebagai bahan pangan mengalami kenaikan. Kenaikan harga minyak goreng sawit ini menurut Susila dan Munadi (2008) dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin terutama yang ada di perkotaan karena naiknya harga bahan pangan tersebut. Berkembangnya industri biodiesel dari kelapa sawit ini diharapkan dapat meningkatkan substitusi bahan bakar fosil terutama untuk minyak solar sehingga dapat menurunkan beban impor bahan bakar minyak. Dengan potensi bahan baku yang berlimpah, pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat juga diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor (Kennedy et al, 2002). Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dapat menurunkan beban impor, peningkatan ekspor dan meningkatkan nilai produksi sektor pertanian dan industri berdampak pada peningkatan output nasional atau pertumbuhan ekonomi yang dapat membuka banyak kesempatan kerja sehingga mampu menyerap banyak orang-orang yang tidak bekerja sehingga tingkat pengangguran berkurang. Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut :

41 17 1. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan di Indonesia? 2. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap pengangguran di Indonesia? 3. Bagaimana pengaruh pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Dari penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 2. Merumuskan implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian mengenai dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap makroekonomi Indonesia (kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan kebijakan pengembangan bahan bakar nabati, khususnya biodiesel dari kelapa sawit.

42 18 2. Sebagai bahan pertimbangan tambahan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah terkait indikator makroekonomi (kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi). 3. Sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian yang terkait dengan bahan bakar nabati selanjutnya khususnya biodiesel dari kelapa sawit. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mengkaji mengenai dampak kebijakan pengembangan bahan bakar nabati khususnya biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap indikator makroekonomi (kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) Indonesia. Studi ini mencakup wilayah agregat nasional dan komoditas dibatasi pada biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Batasan komoditas minyak kelapa sawit karena industri biodiesel yang sudah berkembang di Indonesia menggunakan minyak kelapa sawit dan minyak kelapa sawit merupakan bahan baku unggulan yang dimiliki Indonesia, dibandingkan minyak kelapa dan minyak jarak pagar (APROBI, 2009). Analisis kuantitatif menggunakan data periode Periode tersebut digunakan dengan pertimbangan ketersediaan data terutama yang terkait dengan data produksi industri hilir kelapa sawit. Analisis kuantitatif pada penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan. Keterbatasan utama dalam penelitian ini berkaitan dengan belum tersedianya data yang lengkap untuk biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia. Untuk data biodiesel dari minyak kelapa sawit, penulis menggunakan

43 19 data produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebagai indikator produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hal ini dikarenakan hanya data produksi olein dan stearin yang cukup lengkap diperoleh. Ketidaklengkapan data lainnya yang terkait dengan olein dan stearin seperti data harga olein dan stearin serta data yang terkait dengan produk hilir minyak kelapa sawit lainnya merupakan keterbatasan lain yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian ini.

44 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam perekonomian suatu negara karena sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pembangunan pertanian menjadi penting karena kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam bentuk kontribusi produk, kontribusi pasar, kontribusi faktor-faktor produksi dan kontribusi devisa (Blank, 2003). Dalam perkembangannya, Todaro dan Smith (2006) menilai peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi semakin pasif dan lebih bersifat penunjang semata. Pembangunan ekonomi diidentikkan sebagai transformasi struktural dari pembangunan yang bertumpu pada aktivitas pertanian menjadi perekonomian berbasis industri dan jasa dengan dukungan sumber tenaga kerja dan bahan pangan murah dari pertanian. Memburuknya kinerja sektor pertanian di negara-negara berkembang dipercaya karena terabaikannya sektor tersebut dalam perumusan prioritas pembangunan dari para pemimpinnya (Rickman, 2007). Sektor pertanian dalam struktur perekonomian Indonesia memiliki posisi yang cukup penting dalam hal kontribusinya terhadap PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Yudhoyono (2004) menyatakan bahwa pembangunan pertanian layak mendapatkan perhatian yang luas dalam pembangunan ekonomi ke depan, baik dalam bentuk investasi yang terus meningkat, pengembangan infrastruktur sampai pengelolaan pasar domestik. Pembangunan pertanian Indonesia berarti pembaruan penataan pertanian yang dapat memberikan

45 21 sumbangan yang nyata pada upaya mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan menurut Todaro dan Smith (2006) paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar berikut : 1. Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institusional dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil 2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya pembinaan ketenagakerjaan 3. Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah perdesaan yang bersifat padat karya non pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh pertanian. Kebijakan pembangunan pertanian yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat terutama di perdesaan harus dimulai dari perbaikan sumbersumber pokok kemajuan pertanian (Todaro dan Smith, 2006). Sumber pokok kemajuan pertanian adalah kemajuan teknologi dan inovasi, kebijakan ekonomi pemerintah yang tepat dan terbentuknya kelembagaan sosial yang menunjang. Dengan terciptanya sumber-sumber pokok kemajuan pertanian yang baik dan sesuai, pembangunan pertanian dapat membantu memperbaiki taraf hidup masyarakat terutama meningkatnya pendapatan, total produksi dan produktivitas. Sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia merupakan salah satu sektor ekonomi yang berbasis sumber daya domestik dan dikuasai oleh sebagian

46 22 besar rakyat. Pembangunan sektor pertanian dan aktivitas-aktivitas ekonomi yang banyak menggunakan produk pertanian dapat menjadi cara yang efektif dan efisien dalam membangun sumber daya alam sambil menyerap tenaga kerja di kawasan perdesaan (Yudhoyono, 2004). Islam dan Braun (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dapat memberikan stimulus pada sektor ekonomi non pertanian yang terdapat di perdesaan dan kota-kota kecil. Setiap kenaikan sebesar US$ 1 nilai tambah yang tercipta pada sektor pertanian akan dapat menghasilkan kenaikan nilai tambah pada sektor non pertanian antara US$ 0.50 US$ 1. Inilah yang menyebabkan pembangunan sektor pertanian sangat penting dilakukan dan diperhatikan dengan baik oleh setiap negara. 2.2 Pengangguran dan Kemiskinan Dua masalah utama yang sedang dihadapi oleh banyak negara berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah masalah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Orang yang menganggur atau tidak punya pekerjaan biasanya juga miskin. Orang-orang yang miskin umumnya disebabkan karena tidak punya pendapatan akibat menganggur atau tidak punya pekerjaan (Aktar et al, 2009). Pengangguran sendiri terjadi ketika pertambahan tenaga kerja baru lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Pengangguran adalah suatu situasi dimana orang-orang yang memiliki kemampuan bekerja dan juga keinginan untuk bekerja tidak memperoleh pekerjaan. Situasi tersebut disebabkan

47 23 oleh banyak faktor antara lain pertumbuhan populasi yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang tidak memadai, pekerjaan yang bersifat musiman dan lambatnya pembangunan industri. Mankiw (2007) menyatakan beberapa alasan munculnya pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara para pekerja dengan pekerjaan karena pekerja dan seluruh pekerjaan tidak identik sehingga orang yang kehilangan pekerjaan tidak segera mendapatkan pekerjaan barunya. Kedua, adanya kekakuan upah yang menyebabkan upah tidak segera menyesuaikan ketika terjadi perubahan permintaan dan penawaran tenaga kerja, sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. McEachern (2000) membedakan empat jenis pengangguran berdasarkan atas sumbernya. Ke empat jenis pengangguran tersebut adalah : (1). Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang muncul karena adanya waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan antara kualifikasi pekerja dengan pekerjaan yang tersedia. (2). Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang muncul karena keterampilan yang diminta pemberi pekerjaan tidak sesuai dengan keterampilan penganggur atau penganggur tidak berlokasi sama dengan tempat pekerjaan. (3). Pengangguran musiman, yaitu pengangguran yang timbul karena adanya perubahan permintaan dan penawaran tenaga kerja musiman. (4). Pengangguran siklikal, yaitu pengangguran yang terjadi karena fluktuasi pengangguran yang disebabkan oleh siklus bisnis. Pengangguran di Indonesia merupakan masalah yang cukup serius. Data BPS (2007) menunjukkan sebelum krisis ekonomi 1997 tingkat pengangguran umumnya di bawah 5 persen, namun setelah itu terus meningkat sampai dengan 11.2 persen pada Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia merupakan

48 24 masalah ekonomi yang perlu diperhatikan karena menyangkut pemborosan sumberdaya. Pemborosan tersebut menimbulkan kerugian yang ditanggung negara, masyarakat dan individu menyangkut biaya pemeliharaan keamanan dan stabilitas kehidupan masyarakat. Saunders (2002) menyatakan bahwa pengangguran merupakan suatu hal yang tidak baik untuk ekonomi sehingga lapangan kerja harus diletakkan pada pusat sistem kesejahteraan dan menolak kesejahteraan untuk orang-orang yang tidak ingin bekerja atau tidak ingin melibatkan diri dalam aktivitas yang diharapkan mengarah pada terciptanya pekerjaan. Pengangguran akan menjadi biaya bagi perekonomian karena secara keseluruhan barang dan jasa yang dapat diproduksi menjadi berkurang. Output yang hilang ditambah dengan kerugian ekonomis dan psikologis yang dialami individu dan keluarga merupakan biaya pengangguran (McEachern, 2000). Yudhoyono (2004) menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi dapat menimbulkan kelompok masyarakat yang pasrah total pada keadaan. Pengangguran yang persisten dapat meningkatkan jumlah orang miskin yang berlanjut pada kemiskinan struktural jika pemerintah dan lembaga terkait tidak berhasil menciptakan peluang dan kemampuan yang memadai untuk mengangkat kelompok tersebut mencapai tingkat kehidupan yang layak. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang mencapai standar hidup minimal. Kemiskinan menurut BPS (2007) ditentukan oleh kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum yang mengacu kepada kebutuhan minimum makanan sebesar 2100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan

49 25 kebutuhan dasar seseorang yang meliputi papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan rumahtangga dan individu mendasar lainnya. Nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum di atas disebut garis kemiskinan. Orang-orang yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan, disebut penduduk miskin karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Untuk standar internasional dari Bank Dunia, batas penduduk dengan kategori miskin adalah yang berpenghasilan USD 1.00 per hari untuk negara berpendapatan rendah, USD 2.00 per hari untuk negara berpendapatan sedang dan USD per hari untuk negara berpendapatan tinggi. Kemiskinan juga disebabkan oleh orang-orang yang dikelompokkan miskin tersebut dalam proses produksi terutama yang ada di perdesaan hanya menerima nilai lebih ekonomi awal yang kecil sekali (Fisher, 2005). Mereka tidak terlibat dalam proses produksi lebih lanjut karena ketiadaan modal. Para pemilik modal yang melakukan proses produksi lebih lanjutlah yang akhirnya menikmati nilai lebih ekonomi dari proses produksi di atas (Yudhoyono, 2004). Kemiskinan kadang dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan absolut (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga (Ingwe, 2009). Kemiskinan relatif diperoleh dengan membandingkan tingkat pendapatan atau keadaan seseorang atau suatu keluarga dengan keadaan masyarakat sekitarnya, dimana seseorang masih dianggap miskin jika pendapatan atau keadaannya masih jauh lebih rendah dari keadaan masyarakat sekitarnya.

50 26 Kemiskinan juga sering dihubungkan dengan kondisi wilayah. Untuk wilayah dengan sumberdaya alam yang subur, secara umum masyarakatnya dapat hidup cukup sejahtera, sebaliknya untuk wilayah yang kurang subur umumnya hidup dalam belitan kemiskinan (Gambi, 2003). Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar. Besarnya jumlah penduduk miskin, yang jika tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah menurut Yudhoyono (2004) dapat mengakibatkan : (1) besarnya beban sosial masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (3) rendahnya partisipasi aktif masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (5) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang. 2.3 Pertumbuhan Ekonomi Salah satu indikator kemajuan pembangunan pada suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari tingkat pertumbuhan penduduknya (Dalgaard et al, 2004). Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan pada periode tertentu (Mankiw, 2007). Pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian (Dollar et al, 2004). Pertumbuhan ekonomi tercapai ketika tingkat produk domestik bruto (PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Dornbusch et al. (2004) menyatakan tumbuhnya PDB riil dipengaruhi oleh tersedianya sumber

51 27 daya modal dan tenaga kerja dan efisiensi dalam penggunaan faktor produksi atau produktivitas. PDB sendiri menurut Mankiw (2007) terdiri dari empat komponen sebagai berikut : (1). Konsumsi, terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga dimana tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan disposable atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. (2). Investasi, terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan, dimana tingkat investasi dipengaruhi oleh tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi. (3). Pembelian Pemerintah, berupa barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat dan daerah yang dibiayai oleh pendapatan pemerintah dari pajak dan pinjaman. (4). Ekspor Neto, merupakan nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain yang menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri atas barang dan jasa domestik, yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik. 2.4 Peranan Energi Dalam Pembangunan Energi memiliki peranan yang besar dalam pembangunan suatu perekonomian negara. Akses terhadap pelayanan energi modern sangat penting dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan seperti penurunan kemiskinan, perbaikan pendidikan dan keberlanjutan lingkungan (USAID, 2007). Ketersediaan energi di tingkat lokal sangat penting untuk mendukung pertanian yang intensif karena pembangunan pertanian itu sendiri sangat penting dalam menurunkan kemiskinan (Raswant et al., 2008). Sektor pertanian sebagai salah satu sektor dalam perekonomian memerlukan energi pada setiap tingkat produksi

52 28 mulai dari energi untuk menjalankan mesin pertanian sampai energi untuk menjalankan sistem irigasi dan pemompaan. Energi merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan negara karena memiliki dampak langsung terhadap kualitas kehidupan manusia dan pengembangan industri (Domac et al, 2005). Pertumbuhan ekonomi atau pembangunan ekonomi suatu negara secara langsung sangat terkait dengan konsumsi energi (World Bank, 2000). Sumber-sumber energi modern juga diperlukan sehingga semakin banyak waktu yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan pendidikan, yang dapat meningkatkan jumlah angkatan kerja untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan (Schubert et al., 2007). Sektor pertanian di negara-negara dengan tingkat konsumsi energi yang lebih tinggi mampu memproduksi hasil-hasil pertanian lebih tinggi dibandingkan negara lain yang tingkat konsumsi energinya lebih rendah (FAO, 2008). Bahan bakar minyak masih merupakan sumber energi primer paling penting dalam skala global, walaupun pangsanya dalam konsumsi total telah menurun (CPB, 2003). Transportasi dan proses kimia adalah aktivitas-aktivitas yang sangat bergantung pada ketersediaan dan harga dari minyak bumi. Itulah sebabnya kekurangan pasokan menyebabkan harganya terus meningkat selama lima dekade terakhir. Untuk negara-negara pengimpor minyak bumi, kenaikan harga minyak bumi akan meningkatkan biaya produksi, menekan pertumbuhan ekonomi (khususnya jika impor barang modal dipengaruhi) dan menyebabkan perusahaan menurunkan permintaan mereka terhadap tenaga kerja (memperburuk kemiskinan), investasi dan output. Efek langsung dari harga minyak bumi yang

53 29 tinggi adalah dapat memperburuk neraca pembayaran dan meningkatkan pinjaman eksternal untuk pembiayaan kekurangan anggaran, yang mengarah pada meningkatnya rasio pembayaran hutang dan hambatan dalam pembiayaan program-program sosial sehingga dapat mengganggu aktivitas ekonomi (Nkomo, 2007). 2.5 Pengembangan Bahan Bakar Nabati Pengembangan bahan bakar nabati secara global diilhami oleh kisah sukses Brazil dalam mengembangkan etanol dari gula tebu sebagai dampak dari krisis minyak bumi sejak tahun 1973 yang telah memukul perekonomian Brazil yang pada saat itu sangat tergantung pada impor minyak bumi dan sebelumnya telah terbebani oleh hutang sehingga menderita inflasi yang tinggi dan pelemahan nilai tukar mata uang (FAO, 2008). Pemerintah Brazil kemudian meluncurkan program substitusi bahan bakar fosil dengan etanol secara resmi pada tahun 1975 dan mengintegrasikan program ini dengan pengembangan industri manufaktur mobil berteknologi hibrida bahan bakar minyak dan etanol sehingga industri bio etanol di Brazil dapat berkembang dengan baik (Amatucci dan Spers, 2008). Faktor-faktor yang mendorong kebijakan pengembangan bahan bakar nabati semakin meningkat secara global menurut ECLAC (2008) dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Faktor Energi Adanya ketergantungan terhadap impor minyak bumi dari banyak negara non produsen membuat fluktuasi harga minyak bumi dapat mengganggu perekonomian. Program bahan bakar nabati bertujuan untuk menjamin pasokan energi, mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi

54 30 dan menurunkan dampak yang terjadi akibat fluktuasi harga minyak bumi terhadap harga internasional (Vedenov et al, 2006). 2. Faktor Lingkungan Argumentasi lingkungan berpusat pada kebutuhan masyarakat global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab terjadinya pemanasan global. Penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati terutama pada sektor transportasi sejalan dengan kesepakatan dalam Protokol Kyoto (Kennedy et al, 2002). 3. Faktor Terkait Pembangunan Pertanian Pengembangan bahan bakar nabati membuka peluang baru untuk pembangunan pertanian dimana produsen dan eksportir produk pertanian di negara-negara berkembang berpotensi menghasilkan bahan bakar nabati pada harga yang bersaing dengan bahan bakar minyak (Johnson et al, 2006). Ini membuat produsen dan eksportir tersebut memiliki peluang untuk mengambil keuntungan dari perbaikan harga bahan baku, mempromosikan bahan bakar nabati dan menurunkan impor atau meningkatkan ekspor (Orden, 2002). Pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia menurut Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (2009) dilatar belakangi oleh beberapa hal berikut : 1. Besarnya subsidi bahan bakar minyak dalam anggaran negara sehingga jika terjadi kenaikan harga minyak mentah maka beban subsidi yang disiapkan akan semakin besar.

55 31 2. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh bahan bakar fosil semakin mengkhawatirkan seiring terjadinya perubahan iklim dan pemasanan global akibat efek rumah kaca. 3. Cadangan minyak mentah Indonesia semakin terbatas dan kinerja industri perminyakan Indonesia semakin menurun sementara penemuan cadangan baru belum sesuai harapan. 4. Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang cukup tinggi baik di perkotaan maupun di perdesaan serta masih banyaknya lahan-lahan kritis yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Indonesia seharusnya mampu menjadi produsen utama bahan bakar nabati karena memiliki potensi besar dalam hal sumber bahan baku, curah hujan memadai, hamparan lahan luas, dan jumlah tenaga kerja yang lebih dari cukup. Indonesia memiliki lebih dari 50 jenis tanaman penghasil minyak lemak yang dapat diubah menjadi bahan bakar biodiesel untuk substitusi solar dan lebih dari 12 jenis tanaman yang dapat dikonversi menjadi bioetanol sebagai substitusi premium (Prihandana dan Hendroko, 2007). Secara global lahan yang tersedia untuk pengembangan bahan bakar nabati sekitar 3.8 milyar ha. Untuk memenuhi sampai dengan 10 persen substitusi bahan bakar petroleum dengan bahan bakar nabati generasi pertama secara global hanya memerlukan lahan pertanian sekitar juta ha (FAO, 2008). 2.6 Biodiesel dari Kelapa Sawit Biodiesel (metil ester) dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi/transesterifikasi trigliserida. Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari suatu ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang

56 32 menyerupai hidrolisis menggunakan alkohol. Metanol lebih umum digunakan karena harganya lebih murah, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan jenis alkohol lainnya seperti etanol. O R 1 R 2 C O C OCH 2 OCH + 3 CH 3 OH katalis HOCH 2 HOCH + O 3 R C OCH 3 O R 3 C OCH 2 HOCH 2 trigliserida metanol gliserin metil ester Gambar 2 Sumber Reaksi : SBRC, Transesterifikasi 2009 Untuk Biodiesel Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan biodiesel (metil ester) maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2 disajikan reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan biodiesel (metil ester). Proses pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit termasuk proses yang sederhana dengan komposisi minyak kelapa sawit 87 persen, katalis satu persen dan alkohol 12 persen. Komposisi di atas akan menghasilkan biodiesel dari minyak kelapa sawit 86 persen, alkohol empat persen, gliserin sembilan persen dan endapan bahan anorganik satu persen (SBRC, 2009). Proses produksi biodiesel menggunakan minyak kelapa sawit (crude palm oil) sebagai bahan baku memerlukan pretreatment untuk memisahkan trigliserida dengan gum/wax dengan membubuhkan asam sitrat atau asam fosfat. Hal ini dilakukan untuk menjaga reaksi transesterifikasi yang sempurna serta

57 33 memudahkan proses pemisahan biodiesel dari gliserol. Proses selanjutnya dapat diterapkan salah satu dari proses esterifikasi atau pemisahan asam lemak. Sedangkan inti dari proses produksi biodiesel adalah proses transesterifikasi trigliserida dengan metanol menggunakan katalis basa. Biodiesel yang diproduksi merupakan senyawa ester. Seiring dengan makin berkembangnya biodiesel maka semakin banyak negara-negara yang tertarik dan telah memulai upaya-upaya untuk mengembangkan biodiesel. Johnston dan Holloway (2006) telah melakukan analisis data dari 226 negara yang potensial untuk mengkaji potensi pengembangan biodiesel berdasarkan volume produksi, biaya produksi dan daya saing ekspor. Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling potensial sebagai produsen biodiesel seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Negara-Negara Potensial Sebagai Produsen Biodiesel No. Negara Potensi Produksi (liter) Biaya Produksi (US$/liter) 1. Malaysia Indonesia Argentina Amerika Serikat Brazil Belanda Jerman Filipina Belgia Spanyol Sumber : Johnston dan Holloway, Tinjauan Studi Terdahulu Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Penelitian mengenai kemiskinan dan pengangguran sudah cukup banyak yang melakukan. Son dan Kakwani (2004) melakukan penelitian mengenai

58 34 hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan menggunakan elastisitas kemiskinan. Elastisitas kemiskinan memperkirakan persentase perubahan kemiskinan yang disebabkan oleh satu persen perubahan dalam pendapatan per kapita. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada rakyat miskin (pro poor growth) memiliki dampak yang lebih besar dalam pengurangan kemiskinan. Yudhoyono (2004) melakukan penelitian mengenai pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran melalui analisis ekonomi politik kebijakan fiskal menggunakan pendekatan model ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur memberi pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran dan kemiskinan di perkotaan sedangkan pengurangan kemiskinan di perdesaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk pertanian. Krongkaew et al. (2006) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan keterkaitannya terhadap penurunan kemiskinan di Thailand menggunakan analisa makro dan mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode di Thailand mampu menurunkan tingkat kemiskinan dari semula 32.6 persen menjadi 11.4 persen dan meningkatkan lapangan kerja yang dapat menyerap banyak pengangguran di Thailand. Selim (2006) melakukan penelitian mengenai keterkaitan kemiskinanlapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat miskin di negara Bangladesh, Bolivia dan Ethiopia mengunakan analisa deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat atau lebih sedikit

59 35 merupakan penyebab lambatnya pertumbuhan lapangan kerja di Bangladesh, Bolivia dan Ethiopia. Untuk menumbuhkan lapangan kerja diperlukan pertumbuhan pertanian, peningkatan aktivitas-aktivitas non pertanian di pedesaan, ekspor yang berbasis padat karya, pelaksanaan industrialisasi dan manufaktur, mendukung usaha kecil dan sektor informal perkotaan, pembentukan lapangan kerja untuk wanita, program infrastruktur dan jaring pengaman. Untuk mengintegrasikan rakyat miskin dalam proses pertumbuhan, yang diperlukan adalah investasi dalam modal manusia, memperbaiki akses pelayanan sosial dan peningkatan akses ke sumber daya produktif. Lisna (2007) melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah menggunakan pendekatan model ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan upah minimum dapat mempengaruhi kenaikan tingkat pengangguran, inflasi dan menurunkan GDP. Agrawal (2008) melakukan penelitian mengenai dampak pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan di Kazakhstan menggunakan analisis regresi ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan pemerintah, yang sebagian diantaranya kemudian dapat digunakan untuk membiayai program-program yang dapat menurunkan atau mengurangi kemiskinan. Aktar dan Ozturk (2009) melakukan penelitian mengenai dampak pertumbuhan ekonomi dan investasi asing langsung terhadap penurunan tingkat pengangguran di Turki menggunakan pendekatan model Vector Auto Regression (VAR) dan Kointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi asing

60 36 langsung di Turki ternyata tidak menciptakan banyak lapangan kerja baru selama periode penelitian walaupun ekspor Turki mampu menarik banyak investasi asing langsung. Model pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor tidak tepat untuk Turki karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu mengatasi masalah pengangguran yang terjadi di Turki Energi dan Pengembangan Bahan Bakar Nabati Penelitian mengenai energi dan pengembangan bahan bakar nabati diantaranya dilakukan oleh Nkomo (2007) yang melakukan penelitian mengenai keterkaitan antara penggunaan energi, kemiskinan dan pembangunan ekonomi di negara-negara komunitas pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC) menggunakan model analisis deskriptif terhadap data kuantitatif yang tersedia. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penduduk di negara-negara komunitas pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC) tidak memiliki akses ke pelayanan dan pasokan energi dasar serta pertumbuhan ekonomi yang rendah tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, memperbaiki standar hidup keluarga dan mengurangi kemiskinan. Gonsalves (2006) melakukan penelitian mengenai industri bahan bakar nabati di India menggunakan model analisis deskriptif terhadap data bahan bakar nabati yang tersedia. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan bahan bakar nabati berupa bio etanol dan bio diesel di India akan memainkan peranan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan energi India. Pengembangan bahan bakar nabati dapat menciptakan juta lapangan kerja untuk perkebunan, 36.8 juta untuk pengumpulan bibit dan memperbaiki kehidupan

61 37 sosial masyarakat dengan meningkatnya akses masyarakat pedesaan pada pelayanan energi. Peskett et al. (2007) melakukan penelitian mengenai dampak pengembangan bahan bakar nabati terhadap pertanian dan penurunan kemiskinan di negara-negara OECD menggunakan model analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan bahan bakar nabati punya potensi memiliki peran penting dalam penurunan kemiskinan melalui efek lapangan kerja, pengganda pertumbuhan yang lebih luas dan efek harga energi. Efek distribusional dari pengembangan bahan bakar nabati cukup krusial, antara produsen dan konsumen, antara negara-negara surplus dan defisit pangan/pakan/energi. Triyanto (2007) melakukan penelitian mengenai pengembangan bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit dan pengaruhnya terhadap stabilitas pasokan minyak goreng di Indonesia menggunakan metode wawancara mendalam dan focus group discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi perkembangan bisnis biodiesel dari kelapa sawit adalah faktor politik dan faktor ekonomi. Bisnis biodiesel dari kelapa sawit memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan dengan strategi yang tepat. Jika produksi biodiesel dari kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran dan dalam waktu yang relatif cepat dapat mengganggu stabilitas pasokan minyak kelapa sawit untuk minyak goreng. Susila dan Munadi (2008) melakukan penelitian mengenai dampak pengembangan biodiesel berbasis crude palm oil terhadap kemiskinan di Indonesia menggunakan gabungan model ekonometrika dan model simulasi

62 38 memanfaatkan hasil-hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel berbasis crude palm oil berpengaruh positif terhadap industri crude palm oil namun berpengaruh negatif terhadap industri minyak goreng domestik dan secara umum dapat mengurangi jumlah orang miskin walaupun relatif kecil. Arndt et al. (2008) melakukan penelitian mengenai dampak pengembangan bahan bakar nabati terhadap kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di Mozambique menggunakan model analisis computable general equilibrium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan bahan bakar nabati berupa bio etanol dan bio diesel memberikan peluang untuk meningkatkan produksi di Mozambique, mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan menurunkan kemiskinan di Mozambique. Hal yang perlu diperhatikan adalah intensitas pekerja terkait metode produksi yang digunakan, karena model mengindikasikan bahwa derajat intensitas pekerja berpotensi mempengaruhi distribusi pendapatan. Pfuderer dan Castillo (2008) melakukan penelitian mengenai dampak pengembangan bahan bakar nabati terhadap harga komoditas produk pertanian menggunakan model general equilibrium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan bakar nabati memang memberikan tekanan pada harga komoditas produk pertanian namun kenaikan harga komoditas ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Perubahan harga komoditas pertanian secara historis tidak sepenuhnya direfleksikan oleh indeks harga konsumen.

63 39 Amatucci dan Spers (2008) melakukan penelitian mengenai alternatif bahan bakar nabati yang dapat digunakan di Brazil melalui analisis dokumen dan wawancara mendalam dengan para stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman rakyat Brazil terhadap bio etanol dan bio diesel sangat berbeda signifikan. Bio etanol telah mencapai tahap matang sepanjang rantai nilainya sementara biodiesel masih rapuh dan bergantung pada inisiatif kelembagaan untuk berkembang penuh. Elbersen et al. (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan biodiesel di Brazil menggunakan model studi literatur dan wawancara para ahli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun secara tidak langsung, Brazil telah menjadi pemasok biodiesel utama melalui reekspor biodiesel kedelai Amerika Serikat ke Uni Eropa dan membangun infrastruktur dan pasar untuk biodiesel yang mereka produksi dari tanaman domestik yang ada di Brazil serta menyiapkan standar produksi biodiesel agar dapat memenuhi standar yang diterima oleh Uni Eropa. Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit juga telah dimulai di Brazil walaupun masih sangat kecil dan memerlukan pembukaan lahan perkebunan baru di lahan-lahan yang terdegradasi. Lopez dan Laan (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan bahan bakar nabati khususnya bio diesel dari minyak kelapa sawit di Malaysia menggunakan model analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit dan harga minyak bumi dan sebagian besar industri biodiesel dari kelapa sawit di Malaysia (92 lisensi) tidak beroperasi karena tinggi dan berfluktuasinya harga minyak kelapa sawit. Untuk mengembangkan industri

64 40 biodiesel dari kelapa sawit, pemerintah Malaysia memberikan subsidi dan insentif. Jika seluruh industri biodiesel dari kelapa sawit Malaysia beroperasi penuh, mereka dapat menghasilkan 2.7 juta ton per tahun dengan menggunakan 3 juta ton minyak kelapa sawit, yang sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor. Hartoyo et al. (2009) melakukan penelitian mengenai dampak perubahan permintaan crude palm oil sebagai bahan bakar alternatif (nabati) terhadap ketersediaan pangan dan kebijakan yang terkait menggunakan model ekonometrika persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak menyebabkan stabilitas ketersediaan pangan di domestik terganggu sehingga layak untuk ditingkatkan. Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di dunia juga dapat meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel sehingga menambah devisa negara. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena penelitian ini mengkaji dampak pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap beberapa indikator makroekonomi terutama pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia secara sekaligus sementara pada penelitian terdahulu hanya mengkaji dampaknya terhadap salah satu indikator terutama dampak terhadap kemiskinan. Khusus untuk kemiskinan, penelitian ini disamping melihat dampaknya secara total juga membedakan kajian dampaknya terhadap kemiskinan di perdesaan dan kemiskinan di perkotaan.

65 III. KERANGKA TEORITIS 3.1 Pengukuran Kemiskinan Banyak ukuran yang sering digunakan dalam studi empirik mengenai kemiskinan. Beberapa ukuran yang sering digunakan dalam studi empirik kemiskinan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Blackwood dan Lynch, 1994) : 1. Poverty headcount, yang mengukur besaran atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam persamaan matematis, poverty headcount, dapat ditulis : q H = (1) n dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan n adalah jumlah penduduk. Ini berarti poverty headcount adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line) terhadap jumlah penduduk. Ukuran ini juga bisa dipergunakan untuk mengetahui perubahan dalam proporsi penduduk yang hidup di dalam kemiskinan. Permasalahan dalam poverty headcount adalah ukuran ini tidak menunjukkan keparahan dari kemiskinan dan menganggap distribusi pendapatan di antara penduduk miskin bersifat homogen. 2. Poverty gap, yang menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari

66 42 kemiskinan. Dalam bentuk persamaan matematis, poverty gap dapat dinyatakan : I = z µ...(2) dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall) yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dari rata-rata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, z adalah garis kemiskinan dan µ adalah pendapatan rata-rata dari penduduk miskin. 3. Distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Ukuran ini hanya berhubungan dengan pembagian atau distribusi pendapatan di antara penduduk miskin, dan bukan di antara penduduk secara keseluruhan karena ukuran kemiskinan absolut bergantung secara eksklusif pada pendapatan dari penduduk miskin. Ketiga ukuran di atas adalah ukuran untuk kemiskinan absolut. Selain ukuran untuk kemiskinan absolut, Blackwood dan Lynch (1994) juga mengemukakan ukuran kemiskinan komposit (composite poverty measures), yang terdiri dari : 1. Sen index, yang mencoba mengatasi berbagai kekurangan pada ukuranukuran kemiskinan sebelumnya. Indeks Sen selain menggambarkan persentase penduduk miskin, juga menggambarkan luasnya kemelaratan dan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Dalam persamaan matematis, Sen index : S = H[I + (1 I) Gp]...(3)

67 43 q Σ I=1 I = (z y i /qz)...(4) dimana S adalah indeks Sen (Sen poverty index), H adalah headcount index, I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall) sebagai suatu persentase dari garis kemiskinan, y i adalah pendapatan dari rumah tangga miskin ke-i, z adalah garis kemiskinan, qz adalah jumlah rumah tangga dengan pendapatan lebih kecil dari z, H = q/n adalah poverty headcount, n adalah jumlah total rumah tangga atau penduduk, Gp adalah Gini index di antara penduduk miskin (dimana 0 Gp 1). 2. Foster-Greer-Thorbecke (FGT) index, yang merupakan indeks kemiskinan yang dikemukakan oleh Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Indeks di atas sering digunakan dalam studi empiris kemiskinan karena keunggulannya dalam mengukur kedalaman kemiskinan (depth of poverty) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Indeks Foster-Greer-Thorbecke secara matematis dapat dinyatakan : q Pα = (1/n)[Σ(g i /z) α ] untuk α 0...(5) i=1 dimana n adalah jumlah individu di dalam populasi, q adalah jumlah individu atau rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan, g i adalah poverty gap dari rumah tangga ke-i, z adalah garis kemiskinan. Jika nilai α = 0, maka Pα = headcount ratio dan persamaan (5) akan berubah menjadi : P 0 = q/n = H...(6) Indeks P 0 ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap total penduduk.

68 Tingkat Pengangguran Mankiw (2007) menyatakan bahwa pengangguran adalah masalah makroekonomi yang paling berat dan mempengaruhi manusia secara langsung. Tingkat pengangguran yang biasa dipelajari adalah tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), yang mempengaruhi gravitasi perekonomian dalam jangka panjang, dengan adanya ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja yang menyulitkan pekerja dari proses perolehan pekerjaan dengan segera. Persamaan matematis yang biasa digunakan dalam mengkaji mengenai pengangguran (Mankiw, 2007) adalah : L = E + U...(7) dimana, L adalah angkatan kerja, E adalah jumlah orang yang bekerja dan U adalah jumlah pengangguran. Tingkat pengangguran sendiri dinyatakan dengan U/L yang dapat dirumuskan menjadi : s U/L = (8) s + f dimana, s adalah tingkat pemutusan hubungan kerja dan f adalah tingkat perolehan pekerjaan. Persamaan ini menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang bertujuan menurunkan tingkat pengangguran alamiah akan menurunkan tingkat pemutusan hubungan kerja atau meningkatkan tingkat perolehan pekerjaan, begitu juga sebaliknya. Mankiw (2007) juga menyatakan beberapa alasan munculnya pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara pekerja dengan pekerjaan karena pekerja dan seluruh pekerjaan tidak identik. Hal inilah

69 45 yang menyebabkan orang yang kehilangan pekerjaan tidak segera mendapatkan pekerjaan barunya. Kedua, adanya kekakuan upah yang menyebabkan upah tidak segera menyesuaikan begitu ada perubahan penawaran dan permintaan tenaga kerja seperti terlihat pada Gambar 3. Upah riil Penawaran Jumlah pengangguran Upah riil yang kaku Permintaan Jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan Jumlah tenaga kerja yang ingin bekerja Tingkat pengangguran (persen) Gambar 3. Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran Sumber : Mankiw (2007) Begitu ada penurunan permintaan tenaga kerja misalnya, upah yang kaku menyebabkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan menjadi lebih sedikit dari jumlah tenaga kerja yang ingin bekerja sampai kemudian penawaran tenaga kerja sama dengan permintaan. Jika tidak ada kekakuan upah, begitu ada perubahan penawaran dan permintaan tenaga kerja, upah juga langsung ikut menyesuaikan sehingga tidak terjadi pengangguran. Dornbusch et al. (2004) kemudian menjelaskan hubungan antara tingkat pengangguran dan perubahan inflasi yang ditunjukkan dalam bentuk Kurva

70 46 Phillips. Kurva Phillips menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat pengangguran dan tingkat kenaikan upah nominal dimana semakin tinggi tingkat pengangguran, maka semakin rendah laju inflasi upah. Kurva Phillips menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya tingkat pengangguran. Laju inflasi upah sendiri menurut Dornbusch et al. (2004) dapat dinyatakan : W W -1 gw = (9) W -1 dimana gw adalah laju inflasi upah, W adalah tingkat upah dalam periode saat ini, W -1 adalah tingkat upah periode yang lalu. Kurva Phillips dalam bentuk modern menyatakan bahwa tingkat inflasi bergantung pada tiga faktor yaitu inflasi yang diharapkan (expected inflation), deviasi pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut juga pengangguran siklikal (cyclical unemployment) dan goncangan penawaran (supply shock). Ketiga faktor tersebut dirumuskan oleh Mankiw (2007) dalam persamaan matematis menjadi : π = π e β(u u n ) + v...(10) dimana π adalah tingkat inflasi aktual, π e adalah tingkat inflasi yang diharapkan, u adalah tingkat pengangguran aktual, u n adalah tingkat pengangguran alamiah, v adalah goncangan penawaran, (u u n ) adalah tingkat deviasi pengangguran atau cyclical unemployment dan β adalah parameter atau konstanta yang mengukur respon inflasi terhadap pengangguran siklikal. Tingkat inflasi yang diharapkan atau π e sendiri menurut Mankiw (2007) sama dengan inflasi tahun lalu atau π -1. Ini

71 47 menunjukkan bahwa inflasi dipengaruhi oleh inflasi tahun lalu, pengangguran siklis dan goncangan penawaran. 3.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Hubungan antara laju pertumbuhan ekonomi riil dengan perubahan tingkat pengangguran dikenal sebagai Hukum Okun. Menurut Hukum Okun, satu poin tambahan pengangguran akan menurunkan PDB sebesar dua persen. Hubungan ini dinyatakan dalam persamaan (11) sebagai berikut (Dornbusch et al., 2004) : Y Y * = - ω ( u u * )...(11) Y * dimana Y adalah tingkat output aktual, Y * adalah tingkat output alamiah, u adalah tingkat pengangguran aktual, u * adalah tingkat pengangguran alamiah dan ω = 2. Pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penting untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat persamaan (12) yang merupakan model pertumbuhan neoklasik yang diperluas. Dy = F( y, y*)...(12) dimana, Dy adalah laju pertumbuhan output per kapita, y adalah tingkat output per kapita sekarang dan y* adalah tingkat target output per kapita atau tingkat output per kapita jangka panjang. Dalam model neoklasik, kenaikan hasil yang semakin berkurang (the diminishing returns) pada akumulasi modal mengimplikasikan adanya suatu laju pertumbuhan ekonomi (Dy), yang berhubungan secara berkebalikan (inverse) dengan tingkat output (y), pada nilai y* tertentu. Variabel y dipengaruhi oleh

72 48 modal fisik, modal manusia dan input-input lainnya termasuk teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Nilai y* dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, jumlah penduduk dan lain sebagainya. Suatu kebijakan pemerintah berpotensi menaikkan laju pertumbuhan (Dy), yang kemudian akan secara berangsur-angsur menaikkan tingkat output per kapita (y). Ketika output naik, laju pertumbuhan (Dy) meningkat, dan peningkatan tersebut mengalami diminishing returns. Pada jangka panjang, dampak kebijakan tersebut hanya berpengaruh pada peningkatan output per kapita, sedangkan dampak terhadap laju pertumbuhan semakin mengecil hingga sama dengan nol. Teori mengenai pertumbuhan ekonomi pada awalnya dikembangkan oleh Rostow (1980) melalui teori tahapan pertumbuhan yang menyatakan bahwa perubahan dari keterbelakangan menuju kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam suatu seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara sebagai berikut : 1. Tahap pertama adalah traditional society, dimana perekonomian didominasi oleh aktivitas subsisten dimana hasil panen lebih banyak digunakan untuk konsumsi dari pada dijual. Pertanian merupakan industri yang paling penting, bersifat produksi intensif tenaga kerja dengan penggunaan modal yang terbatas. 2. Tahap kedua adalah prasyarat untuk lepas landas, yang ditandai oleh adanya perbaikan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, lapangan terbang yang dapat meningkatkan pendapatan, tabungan dan investasi serta menumbuh kembangkan banyak pelaku usaha.

73 49 3. Tahap ketiga adalah lepas landas, yang merupakan tahap peningkatan industrialisasi, dimana sebagian pekerja berpindah dari sektor pertanian ke sektor industri. 4. Tahap keempat adalah proses pematangan, yang merupakan tahap dimana perekonomian sedang melakukan diversifikasi ke area-area baru 5. Tahap kelima adalah konsumsi tinggi dari masyarakat, yang merupakan tahap dimana perekonomian disesuaikan ke arah kebutuhan konsumsi masyarakat luas. Teori pertumbuhan ekonomi berikutnya yang terkenal adalah Teori Harrod- Domar yang menyatakan bahwa investasi berperan ganda, disatu sisi meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity) dari perekonomian dan disisi lain menciptakan atau meningkatkan permintaan (demand creating) dalam perekonomian. Investasi dalam Teori Harrod-Domar merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi dianggap sebagai kekuatan sentral di balik pertumbuhan ekonomi. Kaitan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam model Harrod-Domar dapat dinyatakan sebagai berikut (Mankiw, 2007) : Misalkan tabungan (S) merupakan bagian tertentu atau s, dari pendapatan nasional (Y). Hubungan ini dapat dituliskan dalam persamaan matematis sederhana : S = sy...(13) Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang diwakili oleh K, sehingga dapat dituliskan juga dalam persamaan matematis : I = K...(14)

74 50 Karena jumlah stok modal K berhubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y sebagaimana ditunjukkan oleh rasio modal-output maka : K/Y = k atau K/ Y = k, sehingga : K = k Y...(15) Mengingat jumlah keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I) maka hubungan tersebut dapat ditulis dalam persamaan : S = I...(16) Dari persamaan (16) dengan demikian maka identitas tabungan yang merupakan persamaan modal dapat tulis : S = sy = k Y = k = I...(17) atau dapat disederhanakan menjadi : sy = k Y...(18) Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan dibagi dengan Y dan k, maka akan diperoleh persamaan : s/k = Y/Y...(19) dimana Y/Y adalah pertumbuhan ekonomi, s adalah tingkat tabungan nasional, k adalah incremental capital output ratio ( K/ Y atau I/ Y), Y adalah output nasional atau GNP, K adalah stok kapital dan I adalah investasi. Persamaan (19) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ( Y/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modal output nasional (k). Ini bisa diartikan bahwa agar suatu perekonomian dapat tumbuh, maka perekonomian itu haruslah menabung dan menginvestasikan sebesar proporsi yang tertentu dari GNP-nya (Todaro dan Smith, 2006).

75 51 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar kemudian dikembangkan menjadi Teori Pertumbuhan Solow dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Perbedaan antara Teori Harrod- Domar dengan Teori Pertumbuhan Solow adalah, jika Teori Harrod-Domar mengasumsikan skala hasil tetap (constant return to scale) dengan koefisien baku, maka Teori Pertumbuhan Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis terpisah, jika keduanya dianalisis bersamaan atau sekaligus maka Solow juga menggunakan asumsi skala hasil tetap. Model Teori Pertumbuhan Solow dalam bentuk formal dapat dituliskan dalam bentuk fungsi produksi agregat (Dornbusch et al., 2004) : Y(t) = F(K(t) α, [A(t)L(t)] 1-α )...(20) dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen serta α merupakan elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan GDP akibat penambahan satu persen modal fisik dan modal manusia). Model Pertumbuhan Solow sering disebut juga model pertumbuhan eksogen karena tingkat kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Model pertumbuhan Solow menyatakan bahwa perekonomian berbagai negara akan konvergen pada tingkat pendapatan yang sama jika negara-negara tersebut memiliki tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktivitas yang sama. Berbeda dengan Model Harrod-Domar, Model pertumbuhan Solow membolehkan substitusi antara modal dan tenaga

76 52 kerja. Dengan asumsi skala hasil konstan, jika input dinaikkan dengan jumlah yang sama maka output akan meningkat dengan jumlah yang sama, yang dapat dituliskan dalam bentuk matematis : γy = F(γK, γl)...(21) dimana γ > 0. Jika γ = 1/L maka persamaan di atas dapat dituliskan menjadi : Y/L = F(K/L, 1).....(22) atau y = f(k)...(23) sehingga penyederhanaan di atas menghasilkan fungsi produksi yang hanya berhubungan dengan satu variabel. Adanya ketidakpuasan terhadap Teori Pertumbuhan Solow mendorong munculnya Teori Pertumbuhan Baru karena adanya anggapan bahwa kinerja teori pertumbuhan neoklasik atau Solow tidak memuaskan dalam menjelaskan sumbersumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Teori neoklasik menyatakan bahwa sebagian besar sumber pertumbuhan ekonomi merupakan faktor eksogen atau proses yang sama sekali independen dari kemajuan teknologi (Todaro dan Smith, 2006). Teori Pertumbuhan Baru memberikan kerangka teoritis dalam menganalisis pertumbuhan endogen yang ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi, bukan oleh kekuatan di luar sistem. Model pertumbuhan baru menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan konsekuensi alamiah dari keseimbangan jangka panjang. Teori Pertumbuhan Baru berusaha untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang sedang diobservasi.

77 53 Teori Pertumbuhan Baru sering digambarkan dalam persamaan sederhana yaitu Y = AK (Dornbusch et al., 2004), dimana A adalah semua faktor yang mempengaruhi teknologi dan K adalah modal fisik dan modal sumberdaya manusia. Dalam persamaan ini tidak terdapat hasil yang semakin menurun (diminishing returns) atas modal, sehingga ada kemungkinan investasi modal fisik dan modal sumberdaya manusia dapat meningkatkan produktivitas, yang berbeda dengan hasil yang semakin menurun. Hasil akhir dari teori pertumbuhan endogen adalah diperolehnya pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan. 3.4 Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Hubungan Produksi Biodiesel dengan Harga Minyak Bumi Banyaknya produksi biodiesel sangat berhubungan dengan harga minyak bumi. Salah satu hubungan produksi biodiesel di Amerika Serikat (Hartoyo et al., 2009) dengan harga minyak bumi dinyatakan sebagai berikut : Ln Y = Ln P...(24) dimana Y adalah produksi biodiesel dan P adalah harga minyak mentah. Dari persamaan di atas diketahui bahwa jika harga minyak mentah meningkat 1 persen maka produksi biodiesel akan meningkat sebesar 3.12 persen. Data produksi biodiesel di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa rata-rata produksi biodiesel meningkat 60 persen per tahun. Penelitian Lopez dan Laan (2008) di Malaysia juga menunjukkan bahwa produksi biodiesel dari kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit dan harga minyak kelapa sawit sendiri juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi sehingga produksi biodiesel dari kelapa sawit juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi. Harga minyak bumi sendiri selama empat tahun terakhir sejak biodiesel dari

78 54 kelapa sawit dikembangkan di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata sebesar persen Biodiesel dari Kelapa Sawit Biodiesel secara teknologi bukanlah hal yang baru. Ketika Dr. Rudolf Diesel mengembangkan mesin diesel pertama kali tahun 1912, desainnya untuk bahan bakar minyak kacang tanah. Minyak kacang tanah merupakan bahan bakar yang aman, tidak beracun, dapat terurai secara biologis dan dapat diperbarui serta dapat digunakan dengan mudah pada mesin diesel yang tidak dimodifikasi (Boyd et al., 2004). Produksi biodiesel dari bahan baku yang sesuai dapat menghasilkan keuntungan ekonomi dan lingkungan di sejumlah negara sedang berkembang, menciptakan tambahan lapangan kerja, mengurangi beban energi impor dan membuka potensi pasar ekspor (COM, 2006). Untuk Indonesia, biodiesel yang dapat digunakan berasal dari minyak kelapa sawit karena ketersediaan lahan tanaman tersebut, kesesuaian iklim, produktivitas yang cukup baik dan jumlah produksi yang mencapai lebih dari 20 juta ton per tahun. FAO (2008) mencatat tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan biodiesel liter/ha, sementara tanaman jarak pagar hanya menghasilkan biodiesel liter/ha. Biodiesel dari kelapa sawit diproduksi menggunakan minyak kelapa sawit (crude palm oil). Minyak kelapa sawit (crude palm oil) yang dihasilkan dari tandan buah segar kelapa sawit dapat diolah menjadi tiga kelompok produk yaitu Olein, Stearin dan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate). Olein dapat diolah lagi menjadi asam lemak (fatty acid), alkohol lemak (fatty alcohol), minyak goreng dan biodiesel. Stearin dapat diolah lagi menjadi margarin, asam lemak (fatty acid),

79 55 alkohol lemak (fatty alcohol) dan biodiesel. PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) sendiri dapat diolah lagi menjadi sabun dan tepung lemak (fat powder). Dengan demikian, biodiesel dari kelapa sawit dapat dihasilkan, baik dari Olein maupun Stearin seperti terlihat pada Gambar 4. Gambar 4. Diagram Sederhana Produk Turunan dari Minyak Kelapa Sawit Sumber : SBRC, 2009 Malaysia telah memulai program pengembangan biodiesel dari kelapa sawit sejak tahun 1982 melalui riset yang dibiayai oleh iuran dari para produsen minyak kelapa sawit di Malaysia. Pabrik biodiesel komersial resmi beroperasi tahun 2006 dan pada akhir 2007 ada 92 proyek biodiesel yang telah disetujui oleh pemerintah Malaysia. Pengembangan industri biodiesel di Malaysia didukung secara penuh oleh pemerintah Malaysia melalui berbagai insentif pajak dan subsidi (Lopez dan Laan, 2008). Pengembangan bahan bakar nabati termasuk biodiesel dari kelapa sawit memberikan dampak terhadap indikator makroekonomi suatu perekonomian

80 56 terutama terkait dengan kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Raswant et al. (2008) menyatakan pengembangan bahan bakar nabati, walaupun ada kecemasan akan berdampak pada kenaikan harga pangan, dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi terutama dari perdesaan melalui tambahan aliran modal masuk, menciptakan permintaan untuk pangan dan jasa yang membuka lapangan kerja, menurunkan perpindahan dari perdesaan ke perkotaan dan menciptakan efek pengganda bagi perekonomian. Pengembangan bahan bakar nabati dapat berkontribusi pada penurunan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja karena produksi bahan bakar nabati yang padat karya dapat menciptakan lapangan kerja yang signifikan Skenario Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Trend kenaikan harga bahan bakar fosil, akibat keterbatasan sumber daya telah menarik banyak negara untuk menggunakan biodiesel sebagai salah satu bahan bakar nabati. Pada tahun 2001 sekitar 79.4 persen dari energi primer dunia masih berasal dari bahan bakar fosil dimana 44 persen diantaranya berupa bahan bakar minyak (UNDP, 2004). Kombinasi dari harga, permintaan, cadangan dan penurunan biaya produksi biodiesel telah menarik banyak negara untuk bergabung dengan trend bahan bakar nabati ini (IEA, 2006). Sielhorts et al. (2008) dari Wetlands International menyatakan bahwa terdapat dua skenario yang sering digunakan sebagai dasar dalam pengembangan bahan bakar nabati yang terjadi di seluruh dunia termasuk untuk biodiesel dari kelapa sawit. Skenario tersebut adalah sebagai berikut : 1. Skenario substitusi impor

81 57 Skenario substitusi impor digunakan berdasarkan asumsi negara-negara pengembang bahan bakar nabati akan melakukan substitusi impor bahan bakar bensin dan diesel dengan etanol dan biodiesel. Besarnya tingkat substitusi disesuaikan dengan ketersediaan lahan, investasi yang dibutuhkan dan kemampuan teknologi yang dimiliki. 2. Skenario peningkatan ekspor Skenario peningkatan ekspor digunakan berdasarkan kemampuan negaranegara pengembang bahan bakar nabati memenuhi permintaan bahan bakar nabati dari konsumen dunia. Besarnya permintaan yang dapat dipenuhi tergantung pada daya saing masing-masing produsen bahan bakar nabati. Permintaan bahan bakar nabati ini jika terpenuhi dapat menjadi tambahan nilai ekspor bagi negara bersangkutan. Pengembangan bahan bakar nabati terutama biodiesel memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan ketahanan energi nasional melalui pengurangan pengeluaran dan ketergantungan mereka terhadap sumber energi impor yang tidak stabil dan berbiaya tinggi (Raswant et al., 2008). Faktor lain yang berperan dalam pengembangan biodiesel adalah skala potensial produksi, ukuran pasar nasional dan regional, investasi infrastruktur yang diperlukan, dukungan dari rezim kebijakan, pilihan negara untuk ekspor dan harga pasar dari bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel (COM, 2006). Untuk Indonesia, Triyanto (2007) menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi dalam pengembangan biodiesel dari kelapa sawit. Pertama, bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit berkembang dengan pesat dan tidak mengganggu stabilitas pasokan bahan baku minyak goreng (55.56 persen). Kedua,

82 58 bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak berkembang (27.27 persen). Ketiga, bisnis biodiesel dari minyak kelapa sawit berkembang sangat pesat dalam waktu yang singkat, sehingga mengganggu stabilitas pasokan bahan baku minyak kelapa sawit untuk minyak goreng (17.17 persen). Untuk itu agar pengembangan biodiesel dari kelapa sawit berhasil dengan baik maka strategi yang dapat dilakukan adalah pengembangannya dilakukan bertahap, teknologi yang digunakan fleksibel untuk multi bahan baku, pembangunan industrinya terpadu dan dilakukan aliansi dengan negara maju. 3.5 Teori Produksi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi tandan buah segar kelapa sawit, jika diasumsikan terdapat tiga input yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut : Q TBS = f (X 1, X 2, X 3 )...(25) Dimana : Q TBS X 1 X 2 X 3 = Produksi tandan buah segar kelapa sawit = Jumlah input 1 yang digunakan = Jumlah input 2 yang digunakan = Jumlah input 3 yang digunakan Permintaan input untuk memproduksi tandan buah segar kelapa sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : X 1 = f (P 1, P TBS, P 2, P 3 )...(26) X 2 = f (P 2, P TBS, P 1, P 3 )...(27) X 3 = f (P 3, P TBS, P 1, P 3 )...(28) Dimana : P 1 =Harga input 1

83 59 P 2 = Harga input 2 P 3 = Harga input 3 P TBS = Harga tandan buah segar kelapa sawit Penawaran untuk tandan buah segar kelapa sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : S TBS = f (P TBS, P 1, P 2, P 3 )...(29) Dimana : S TBS P TBS = Penawaran tandan buah segar kelapa sawit = Harga tandan buah segar kelapa sawit P 1 = Harga input 1 P 2 = Harga input 2 P 3 = Harga input Minyak Kelapa Sawit Produksi minyak kelapa sawit, jika diasumsikan selain tandan buah segar kelapa sawit terdapat dua input yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut : Q CPO = f (Y 1, Y 2, Y 3 )...(30) Dimana : Q CPO = Produksi minyak kelapa sawit Y 1 Y 2 Y 3 = Jumlah TBS yang digunakan = Jumlah input 2 yang digunakan = Jumlah input 3 yang digunakan Permintaan input untuk memproduksi minyak kelapa sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : Y 1 = f (P TBS, P Y2, P Y3 )...(31) Y 2 = f (P Y2, P TBS, P Y3 )...(32) Y 3 = f (P Y3, P TBS, P Y2 )...(33) Dimana :

84 60 P TBS =Harga tandan buah segar kelapa sawit P Y2 = Harga input 2 P Y3 = Harga input 3 P TBS = Harga tandan buah segar kelapa sawit Penawaran untuk minyak kelapa sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : S CPO = f (P CPO, P TBS, P Y2, P Y3 )...(34) Dimana : S CPO P CPO P TBS = Penawaran minyak kelapa sawit = Harga minyak kelapa sawit = Harga tandan buah segar kelapa sawit P Y2 = Harga input 2 P Y3 = Harga input Olein Produksi olein, jika diasumsikan selain minyak kelapa sawit terdapat dua input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut : Q OL = f (Z 1, Z 2, Z 3 )...(35) Dimana : Q OL Z 1 Z 2 Z 3 = Produksi olein = Jumlah minyak kelapa sawit yang digunakan = Jumlah input 2 yang digunakan = Jumlah input 3 yang digunakan Permintaan input untuk memproduksi olein dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : Z 1 = f (P CPO, P Z2, P Z3 )...(36) Z 2 = f (P Z2, P CPO, P Z3 )...(37) Z 3 = f (P Z3, P CPO, P Z2 )...(38)

85 61 Dimana : P CPO =Harga minyak kelapa sawit P Z2 = Harga input 2 P Z3 = Harga input 3 Penawaran untuk olein sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : S OL = f (P OL, P CPO, P Z2, P Z3 )...(39) Dimana : S OL P OL P CPO = Penawaran olein = Harga olein = Harga minyak kelapa sawit P Z2 = Harga input 2 P Z3 = Harga input Minyak Goreng Sawit Produksi minyak goreng sawit, jika diasumsikan selain olein terdapat dua input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut : Q MG = f (V 1, V 2, V 3 )...(40) Dimana : Q MG V 1 V 2 V 3 = Produksi minyak goreng sawit = Jumlah olein yang digunakan = Jumlah input 2 yang digunakan = Jumlah input 3 yang digunakan Permintaan input untuk memproduksi minyak goreng sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : V 1 = f (P OL, P V2, P V3 )...(41) V 2 = f (P V2, P OL, P V3 )...(42) V 3 = f (P V3, P OL, P V2 )...(43)

86 62 Dimana : P OL =Harga olein P V2 = Harga input 2 P V3 = Harga input 3 Penawaran untuk minyak goreng sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : S MG = f (P MG, P OL, P V2, P V3 )...(44) Dimana : S MG P MG P OL = Penawaran minyak goreng sawit = Harga minyak goreng sawit = Harga olein P V2 = Harga input 2 P V3 = Harga input Stearin Produksi stearin, jika diasumsikan selain minyak kelapa sawit terdapat dua input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut : Q ST = f (W 1, W 2, W 3 )...(45) Dimana : Q ST W 1 W 2 W 3 = Produksi minyak goreng sawit = Jumlah minyak kelapa sawit yang digunakan = Jumlah input 2 yang digunakan = Jumlah input 3 yang digunakan Permintaan input untuk memproduksi stearin dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : W 1 = f (P CPO, P W2, P W3 )...(46) W 2 = f (P W2, P CPO, P W3 )...(47) W 3 = f (P W3, P CPO, P W2 )...(48)

87 63 Dimana : P CPO =Harga minyak kelapa sawit P W2 = Harga input 2 P W3 = Harga input 3 Penawaran untuk stearin sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : S ST = f (P ST, P CPO, P W2, P W3 )...(49) Dimana : S ST P ST P CPO = Penawaran stearin = Harga stearin = Harga minyak kelapa sawit P W2 = Harga input 2 P W3 = Harga input Biodiesel dari Kelapa Sawit Produksi biodiesel dari kelapa sawit menggunakan bahan baku dari olein dan stearin. Jika diasumsikan selain olein dan stearin terdapat input lain yang digunakan, dapat dirumuskan dengan persamaan produksi sebagai berikut : Q BIODL = f (R 1, R 2, R 3 )...(50) Dimana : Q BIODL = Produksi biodiesel dari kelapa sawit R 1 R 2 R 3 = Jumlah olein yang digunakan = Jumlah stearin yang digunakan = Jumlah input lain yang digunakan Permintaan input untuk memproduksi biodiesel dari kelapa sawit dapat dirumuskan dengan persamaan berikut : R 1 = f (P OL, P ST, P W3 )...(51) R 2 = f (P ST, P OL, P W3 )...(52) R 3 = f (P W3, P OL, P ST )...(53)

88 64 Dimana : P OL P ST P W3 = Harga olein = Harga stearin = Harga input lain Penawaran untuk biodiesel dari kelapa sawit sendiri dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : S BIODL = f (P BIODL, P OL, P ST, P W3 )...(54) Dimana : S BIODL = Penawaran biodiesel dari kelapa sawit P BIODL = Harga biodiesel P OL P ST P W3 = Harga olein = Harga stearin = Harga input lain 3.6 Keterkaitan Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Keterkaitan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap harga dan produksi tandan buah segar kelapa sawit, harga dan produksi minyak goreng sawit dan harga dan produksi olein-stearin sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat meningkatkan permintaan terhadap olein dan stearin sebagaimana terlihat pada Gambar 5a. Naiknya permintaan terhadap oleinstearin yang berdampak kepada peningkatan permintaan terhadap minyak kelapa sawit seperti terlihat pada Gambar 5b, akan menggeser kurva permintaan minyak kelapa sawit dari D CPO ke D CPO. Pergeseran ini membuat permintaan terhadap minyak kelapa sawit naik dari q 0cpo ke q 1cpo sehingga harga minyak kelapa sawit juga naik dari p 0cpo ke p 1cpo.

89 65 Perubahan permintaan dan harga dari minyak kelapa sawit berdampak pada perubahan permintaan dan harga pada komoditas tandan buah segar kelapa sawit sebagaimana terlihat pada Gambar 5c. Kenaikan permintaan terhadap minyak kelapa sawit menyebabkan kurva permintaan tandan buah segar kelapa sawit bergeser dari D 0TBS menjadi D 1TBS yang berdampak pada harga dan produksi tandan buah segar kelapa sawit dimana harga tandan buah segar kelapa sawit naik dari p 0tbs menjadi p 1tbs dan produksi tandan buah segar kelapa sawit naik dari q 0tbs menjadi q 1tbs (Pindyck and Rubinfeld, 2001). Penggunaan minyak kelapa sawit untuk bahan bakar biodiesel di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi industri hilir yang menggunakan minyak kelapa sawit terutama industri pangan seperti minyak goreng. Meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit membuat harga minyak kelapa sawit juga meningkat dari p 0cpo menjadi p 1cpo. Ini berarti harga input minyak goreng meningkat sehingga input yang digunakan berkurang dari x 0 menjadi x 1 dan output yang dihasilkan juga berkurang dari q 0 menjadi q 1 sebagaimana terlihat pada Gambar 5d dan Gambar 5e. Berkurangnya output yang dihasilkan menyebabkan kurva penawaran minyak goreng bergeser dari S 0MG menjadi S 1MG sehingga harga minyak goreng kelapa sawit naik dari p 0MG menjadi p 1MG seperti terlihat pada Gambar 5g. Perubahan yang terjadi pada produksi tandan buah segar kelapa sawit akan mempengaruhi produksi sektor pertanian karena pangsa komoditas kelapa sawit pada sektor pertanian sekitar 36 persen (BPS, 2010). Perubahan yang terjadi pada produksi olein-stearin dan produksi minyak goreng kelapa sawit karena pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit juga akan mempengaruhi produksi sektor industri karena pangsanya sekitar 8 persen (BPS, 2010).

90 Gambar 5. Dampak Penggunaan Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Biodiesel

91 Total produksi nasional biasanya dikelompokkan berdasarkan sektorsektor utama dan memiliki pangsa yang signifikan dalam perekonomian misalnya produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya. Secara keseluruhan, total produksi nasional yang terdiri dari produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya karena pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit akan berubah. Secara matematis, total produksi nasional (Mankiw, 2007) dapat ditulis : AS = GDPA + GDPI + GDPO...(55) dimana : AS = Total produksi nasional (Trilyun rupiah) GDPA = Produksi sektor pertanian (Trilyun rupiah) GDPI = Produksi sektor industri (Trilyun rupiah) GDPO = Produksi sektor lainnya (Trilyun rupiah) Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi dimana terjadi kenaikan total produksi nasional dari tahun sebelumnya (Mankiw, 2007) yang dapat ditulis : EGRO = ((AS t AS t-1 )/AS t-1 ) * 100%...(56) dimana : EGRO = Pertumbuhan ekonomi (%) AS t = Total produksi nasional (Trilyun rupiah) AS t-1 = Total produksi nasional tahun sebelumnya (Trilyun rupiah) Jika pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat meningkatkan produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya sehingga total produksi nasional menjadi lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya berarti kebijakan pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya.

92 68 Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan karena pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat membantu menurunkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di perkotaan akan berubah karena kontribusi pertumbuhan ekonomi walaupun juga terjadi perubahan harga pangan terutama harga minyak goreng dan perubahan faktor lainnya yang terkait. Jumlah penduduk miskin di perdesaan juga akan berubah karena kontribusi pertumbuhan ekonomi walaupun juga terjadi perubahan faktor-faktor lainnya yang terkait. Jika pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat meningkatkan produksi sektor pertanian, produksi sektor industri dan produksi sektor lainnya maka tercipta banyak lapangan kerja di sektor pertanian, sektor industri dan sektor lainnya sehingga terjadi peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja. Peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja jika jumlahnya lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja maka dapat menurunkan jumlah pengangguran (Mankiw, 2007) sesuai dengan persamaan berikut : UNM = SEM DEM...(57) dimana : UNM = Jumlah pengangguran (orang) SEM = Jumlah penawaran tenaga kerja (orang) DEM = Jumlah permintaan tenaga kerja (orang)

93 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap makroekonomi Indonesia (penurunan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan pertumbuhan ekonomi), digunakan banyak variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain. Variabel-variabel yang saling berkaitan tersebut menjadi dasar dalam perancangan model yang akan digunakan. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup yang berkenaan dengan minyak kelapa sawit (crude palm oil), bahan baku biodiesel olein-stearin, minyak goreng, kelapa sawit, bahan bakar diesel, upah dan ketenagakerjaan, pengangguran, kemiskinan, indeks harga, kebijakan fiskal dan moneter, permintaan dan penawaran agregat dan keseimbangan makroekonomi. Kerangka pemikiran analisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap indikator makroekonomi di Indonesia menunjukkan hubungan antar aspek-aspek dalam pengembangan industri biodiesel dari kelapa sawit terhadap perubahan kemiskinan, penurunan pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat meningkatkan permintaan terhadap minyak kelapa sawit, yang merupakan bahan baku biodiesel dari kelapa sawit sehingga berdampak pada naiknya harga minyak kelapa sawit. 2. Kenaikan permintaan dan harga minyak kelapa sawit menyebabkan permintaan terhadap tandan buah segar kelapa sawit meningkat dan harga

94 70 tandan buah segar kelapa sawit juga meningkat sehingga membantu meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit. Peningkatan kesejahteraan petani kelapa sawit, jika faktor lainnya tidak berubah atau ceteris paribus dapat menurunkan kemiskinan terutama di perdesaan. 3. Kenaikan permintaan dan harga minyak kelapa sawit sebagai dampak dari pengembangan biodiesel dari kelapa sawit juga dapat mempengaruhi harga produk pangan terutama minyak goreng, karena kenaikan harga bahan baku minyak kelapa sawit. Kenaikan harga minyak kelapa sawit menyebabkan harga minyak goreng kelapa sawit meningkat yang berdampak pada penurunan kesejahteraan konsumen. Penurunan kesejahteraan konsumen minyak goreng kelapa sawit, jika faktor lainnya tidak berubah atau ceteris paribus dapat meningkatkan kemiskinan terutama di perkotaan. 4. Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar fosil terutama bahan bakar solar sehingga dapat menurunkan konsumsi bahan bakar fosil. Penurunan konsumsi bahan bakar fosil, dapat membantu menurunkan beban impor minyak bumi dan beban subsidi yang terkait dengan dampak kenaikan harga bahan bakar fosil. 5. Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit juga dapat menjadi komoditas ekspor karena bahan baku minyak kelapa sawit yang berlimpah di Indonesia dan sebagian besar diekspor dalam bentuk minyak kelapa sawit murni sehingga meningkatkan nilai tambah produk ekspor Indonesia. 6. Penurunan beban impor minyak bumi, penurunan beban subsidi yang terkait dengan dampak kenaikan harga bahan bakar fosil dan peningkatan nilai

95 71 tambah produk ekspor dapat membantu meningkatkan nilai output Indonesia yang merupakan indikator terjadinya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 7. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sebagai dampak pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia dapat membantu menciptakan banyak lapangan kerja sehingga membantu mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT Substitusi Bahan Bakar Minyak Solar dan Peluang Ekspor Kenaikan Permintaan dan Harga CPO Peningkatan Harga Minyak Goreng Penurunan Beban Impor, Penurunan Beban Subsidi, Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Produksi Peningkatan Pendapatan Petani Peningkatan Kemiskinan Kenaikan Output Penurunan Kemiskinan Kemiskinan Total Pertumbuhan Ekonomi Penciptaan Lapangan Kerja dan Pengurangan Pengangguran Gambar 6. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual Kerangka pemikiran penelitian yang lebih jelas dan terstruktur berupa diagram dapat dilihat pada Gambar 6. Seluruh aspek-aspek yang terkait dengan

96 72 pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia akan dianalisis untuk mengkaji seberapa besar pengaruhnya terhadap indikator makroekonomi di Indonesia, terutama dalam hal pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan implikasi kebijakan yang dapat dilakukan. 4.2 Hipotesis Penelitian Dari tujuan yang telah ditetapkan, dapat diperkirakan beberapa hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu : 1. Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraan petani sehingga mengurangi kemiskinan di perdesaan. 2. Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia dapat meningkatkan harga produk pangan terutama minyak goreng yang menurunkan kesejahteraan masyarakat sehingga meningkatkan kemiskinan terutama di perkotaan. 3. Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia dapat meningkatkan produksi nasional yang berdampak pada kenaikan output atau menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja serta menurunkan pengangguran di Indonesia. 4.3 Sumber Data Penelitian ini akan menggunakan data sekunder berupa data time series tingkat nasional dari tahun Data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian

97 73 Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perdagangan, PERTAMINA, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) dan dari berbagai instansi atau asosiasi terkait lainnya. Data sekunder time series di atas akan digunakan untuk membangun model ekonometrika, untuk kemudian dilakukan pendugaan parameter berdasarkan model yang telah dibangun. 4.4 Spesifikasi Model Spesifikasi model yang dirumuskan dalam studi ini sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model makroekonomi yang terdiri dari kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan pengembangan industri biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia. Model yang dibangun adalah model persamaan simultan. Model persamaan simultan yang dirumuskan terdiri dari 12 blok persamaan yang dikelompokkan menjadi tiga blok utama yaitu blok produk minyak kelapa sawit dan bahan bakar, blok indikator ekonomi, dan blok produksi dan permintaan yang mengacu kepada Gambar 6 dan keterkaitan pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Blok produk minyak kelapa sawit dan bahan bakar terdiri dari sub blok minyak kelapa sawit, sub blok biodiesel, sub blok minyak goreng sawit, sub blok kelapa sawit, sub blok bahan bakar diesel. Blok indikator ekonomi terdiri dari sub blok tenaga kerja, sub blok pengangguran, sub blok kemiskinan dan sub blok upah. Blok produksi dan permintaan terdiri dari sub blok produksi nasional, sub blok permintaan agregat dan sub blok indikator makro ekonomi. Diagram keterkaitan antar blok persamaan dapat dilihat pada Gambar 7.

98 Gambar 7. Diagram Keterkaitan Antar Blok Persamaan Dalam Model Biodiesel dari Kelapa Sawit dan Indikator Makroekonomi 74

99 4.4.1 Produk Minyak Kelapa Sawit dan Bahan Bakar a. Minyak Kelapa Sawit Persamaan untuk blok minyak kelapa sawit terdiri dari persamaan produksi minyak kelapa sawit, konsumsi minyak kelapa sawit, harga domestik minyak kelapa sawit, harga ekspor minyak kelapa sawit dan ekspor minyak kelapa sawit. Persamaan untuk blok minyak kelapa sawit mengacu kepada persamaan hasil penelitian Hartoyo et al. (2009) dan Susila dan Munadi (2008) dengan penyesuaian yang diperlukan. Salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah menambahkan variabel produksi olein dan stearin sebagai variabel yang mempengaruhi persamaan konsumsi domestik minyak kelapa sawit. Peningkatan penggunaan olein dan stearin untuk bahan baku biodiesel dan industri hilir lainnya akan meningkatkan konsumsi domestik minyak kelapa sawit. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : QCPO t CCPO t = a 0 + a 1 DCPO t + a 2 PTBS t + a 3 CCPO t + a 4 QCPO t-1 + U 1t..(1) = b 0 + b 1 DCPO t-1 + b 2 PXPO t + b 3 PMGR t + b 4 QOL t + b 5 QST t + b 6 CCPO t-1 + U 2t...(2) DCPO t = c 0 + c 1 PXPO t + c 2 QCPO t + c 3 CCPO t + c 4 PTBS t + U 3t...(3) PXPO t = d 0 + d 1 WOIL t + d 2 XTAX t + d 3 XCPO t + d 4 DCPO t dimana : + d 5 PXPO t-1 + U 4t......(4) XCPO t = e 0 + e 1 PXPO t + e 2 ER t + e 3 XTAX t + U 5t...(5) QCPO t DCPO t PTBS t QCPO t-1 CCPO t PMGRt = Produksi CPO Indonesia (ribu ton/thn) = Harga domestik CPO (rupiah/kg) = Harga TBS kelapa sawit (rupiah/kg) = Lag produksi CPO (ribu ton/thn) = Permintaan CPO domestik (ribu ton/thn) = Harga minyak goreng sawit (rupiah/kg)

100 76 QOL t QST t CCPO t-1 PXPO t WOIL t XTAX t ER t XCPO t = Produksi olein (ribu ton/thn) = Produksi stearin (ribu ton/thn) = Lag konsumsi CPO (ribu ton/thn) = Harga ekspor CPO (US$/kg) = Harga minyak mentah internasional (US$/barel) = Pajak ekspor CPO (persen) = Nilai tukar rupiah terhadap US$ (rupiah/us$) = Ekspor CPO (ribu ton/thn) dengan dugaan parameter yang diharapkan : a 1, a 3 > 0 ; a 2 < 0 ; 0 < a 3 < 1 b 1, b 2 < 0 ; b 3, b 4, b 5 > 0 ; 0 < b 6 < 1 c 1, c 3, c 4 > 0 ; c 2 < 0 d 1, d 2, d 4 > 0 ; d 3, d 5 < 0 e 1, e 3 < 0 ; e 2 > 0. b. Olein-Stearin Bahan Baku Biodiesel Persamaan untuk blok olein-stearin bahan baku biodiesel menggunakan persamaan produksi olein dan stearin karena keterbatasan data historis yang dimiliki untuk biodiesel dari minyak kelapa sawit. Olein dan stearin adalah produk turunan minyak kelapa sawit, yang menjadi bahan baku untuk memproduksi biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia. Selain menjadi bahan baku biodiesel dari kelapa sawit, olein juga merupakan bahan baku untuk minyak goreng dan stearin merupakan bahan baku untuk margarine. Berdasarkan penelitian Hartoyo et al. (2009) yang menggunakan fungsi produksi biodiesel di Amerika Serikat sebagai landasan keterkaitan produksi biodiesel dengan harga minyak bumi dan penelitian Lopes dan Laan (2008) yang menyatakan bahwa produksi biodiesel dari kelapa sawit juga dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit dan harga minyak bumi sehingga produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari kelapa sawit diasumsikan dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit dan harga minyak bumi. Produksi olein dan stearin digunakan sebagai indikator pengembangan biodiesel dari minyak kelapa

101 77 sawit. Berdasarkan asumsi tersebut maka persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : QOL t = f 0 + f 1 DCPO t + f 2 WOIL t + f 3 QMGR t + f 4 QOL t-1 + U 6t...(6) QST t = g 0 + g 1 DCPO t + g 2 WOIL t + g 3 QMGN t + g 4 QST t-1 + U 7t...(7) dimana : QOL t DCPO t WOIL t QMGR t QOL t-1 QST t QMGN t QST t-1 = Produksi olein (ribu ton/thn) = Harga domestik CPO (rupiah/kg) = Harga minyak mentah internasional (US$/barrel) = Produksi minyak goreng sawit (ribu ton/thn) = Lag produksi olein (ribu ton/thn) = Produksi stearin (ribu ton/thn) = Produksi margarin (ribu ton/thn) = Lag produksi stearin (ribu ton/thn) dengan dugaan parameter yang diharapkan : f 1 < 0 ; f 2, f 3 > 0 ; 0 < f 4 < 1 g 1 < 0 ; g 2, g 3 > 0 ; 0 < g 4 < 1 c. Minyak Goreng Sawit Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk turunan dari kelapa sawit. Persamaan untuk blok minyak goreng sawit terdiri dari persamaan produksi minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng sawit dan harga minyak goreng sawit. Persamaan untuk blok minyak goreng sawit mengacu kepada persamaan hasil penelitian Hartoyo et al. (2009) yang dikombinasikan dengan persamaan hasil penelitian Susila dan Munadi (2008) dengan penyesuaikan yang diperlukan. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : QMGR t = h 0 + h 1 PMGR t-1 + h 2 PMGK t + h 3 QMGR t-1 + U 8t...(8) DMGR t = i 0 + i 1 PMGR t + i 2 (AS t /POP t ) + U 9t...(9) PMGR t = j 0 + j 1 DCPO t + j 2 DMGR t + j 3 PMGR t-1 + U 10t...(10) dimana :

102 78 QMGR t = Produksi minyak goreng sawit (ribu ton/thn) PMGR t = Harga minyak goreng sawit (rupiah/kg) DCPO t = Harga domestik CPO (rupiah/kg) QMGR t-1 = Lag produksi minyak goreng sawit (ribu ton/thn) DMGR t = Permintaan minyak goreng sawit (ribu ton/thn) PMGK t = Harga minyak goreng kelapa (rupiah/kg) AS t = Penawaran agregat (milyar rupiah/thn) POP t = Jumlah penduduk Indonesia (juta orang) PMGR t-1 = Lag harga minyak goreng (rupiah/kg) dengan dugaan parameter yang diharapkan : h 1, h 2 > 0 ; 0 < h 3 < 1 i 1 < 0 ; i 2 > 0 j 1, j 2 > 0 ; 0 < j 3 < 1. d. Perkebunan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman asal bahan baku untuk industri biodiesel dari kelapa sawit. Persamaan untuk blok perkebunan kelapa sawit terdiri dari persamaan luas areal kebun kelapa sawit, produksi tandan buah segar kelapa sawit dan harga tandan buah segar kelapa sawit. Persamaan untuk blok perkebunan kelapa sawit mengacu kepada persamaan hasil penelitian Hartoyo et al. (2009) dengan beberapa penyesuaian. Persamaan yang dapat diformulasikan untuk perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut : AREA t = k 0 + k 1 DCPO t-1 + k 2 QCPO t + k 3 SB t + k 4 ER t + k 5 GEIS t + U 11t... (11) QTBS t = l 0 + l 1 PTBS t + l 2 AREA t + l 3 QTBS t-1 + U 12t...(12) PTBS t = m 0 + m 1 DCPO t + m 2 QTBS t + m 3 AREA t + m 4 WP t + m 5 PTBS t-1 + U 13t...(13) dimana : AREA t SB t ER t QTBS t PTBS t = Luas areal kebun kelapa sawit (juta ha) = Suku bunga (persen/thn) = Nilai tukar rupiah terhadap US$ (rupiah/us$) = Produksi TBS (juta ton/thn) = Harga TBS (rupiah/kg)

103 79 QCPO t GEIS t QTBS t-1 DCPO t WP t PTBS t-1 = Produksi CPO (juta ton/thn) = Pengeluaran pemerintah infrastruktur (trilyun rupiah/thn) = Lag produksi tandan buah segar sawit (juta ton/thn) = Harga domestik CPO (rupiah/kg) = Upah rata-rata sektor pertanian (rupiah/bulan) = Lag harga TBS (rupiah/kg) dengan dugaan parameter yang diharapkan : k 1, k 2, k 4, k 5 > 0 ; k 3 < 0 ; l 1, l 2 > 0 ; 0 < l 3 < 1 m 1, m 4 > 0 ; m 2, m 3 < 0 ; 0 < m 3 < 1 e. Bahan Bakar Diesel Persamaan bahan bakar diesel digunakan untuk melihat keterkaitan bahan bakar diesel dengan produksi olein-stearin sebagai bahan baku biodiesel dari kelapa sawit dan penurunan impor bahan bakar diesel. Persamaan untuk blok bahan bakar diesel terdiri dari persamaan produksi minyak diesel, konsumsi minyak diesel, harga minyak diesel dan impor minyak diesel. Menurut Lopes dan Laan (2008) sejak berkembangnya biodiesel maka produksi minyak diesel selain dipengaruhi oleh harga minyak bumi juga akan dipengaruhi oleh produksi biodiesel yang dalam hal ini direpresentasikan oleh produksi olein dan stearin sebagai bahan baku. Konsumsi minyak diesel dipengaruhi oleh kebutuhan kelistrikan, industri dan transportasi serta besarnya subsidi bahan bakar. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : QDSL t = n 0 + n 1 WOIL t + n 2 MDSL t + n 3 SBDL t + n 4 QOL t + n 5 QST t + n 6 QDSL t-1 + U 14t...(14) CDSL t = o 0 + o 1 TRDL t + o 2 INDL t + o 3 ELDL t + o 4 QDSL t + o 5 GDPI t + o 6 SBDL t + o 7 CDSL t-1 + U 15t...(15) PDSL t = p 0 + p 1 WOIL t + p 2 SBDL t + p 3 INF t-1 + p 4 POP t + U 16t...(16)

104 80 MDSL t = q 0 + q 1 CDSL t + q 2 QDSL t + q 3 MDSL t-1 + U 17t...(17) dimana : QDSL t MDSL t QOL t QSTt QDSL t-1 CDSL t PDSL t TRDL t INDL t ELDL t GDPI t CDSL t-1 WOIL t SBDL t INF t-1 = Produksi minyak diesel (kilo liter/thn) = Impor minyak diesel (kilo liter/thn) = Produksi olein (ribu ton/thn) = Produksi stearin (ribu ton/thn) = Lag produksi minyak diesel (kilo liter/thn) = Konsumsi minyak diesel (kilo liter/thn) = Harga minyak diesel (rupiah/liter) = Permintaan minyak diesel untuk transportasi (kilo liter/thn) = Permintaan minyak diesel untuk industri (kilo liter/thn) = Permintaan minyak diesel untuk listrik (kilo liter/thn) = Nilai produksi sektor industri (milyar rupiah/tahun) = Lag konsumsi minyak diesel (kilo liter/thn) = Harga minyak mentah internasional (US$/barel) = Subsidi minyak diesel (rupiah/liter) = Tingkat inflasi (persen) = Lag harga minyak diesel (rupiah/liter) PDSL t-1 MDSL t-1 = Lag impor minyak diesel (kilo liter/thn) POP t = Jumlah penduduk Indonesia (juta orang) dengan dugaan parameter yang diharapkan : n 1, n 2 < 0 ; n 3, n 4, n 5 > 0 ; 0 < n 6 < 1 o 1, o 2, o 3, o 4, o 5, o 6 > 0 ; 0 < o 7 < 1 p 1, p 3, p 4 > 0 ; p 2 < 0 q 1 > 0 ; q 2 < 0 ; 0 < q 3 < Produksi dan Permintaan a. Produksi Nasional Persamaan untuk blok produksi nasional terdiri dari persamaan produksi sektor pertanian, produksi sektor industri, produksi sektor lainnya dan total produksi nasional. Persamaan untuk blok produksi nasional mengacu kepada hasil penelitian Arndt et al. (2008) dan persamaan hasil penelitian Lisna (2007) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : GDPA t = r 0 + r 1 DEMA t + r 2 INVA t + r 3 GEA t + r 4 QTBS t + U 18t...(18) GDPI t = s 0 + s 1 DEMI t + s 2 INVI t + s 3 GEI t + s 4 QMGR t + s 5 QOL t

105 81 + s 6 QST t + U 19t...(19) GDPO t = t 0 + t 1 DEML t + t 2 INVO t + t 3 GEIS t + t 4 SB t + U 20t...(20) AS t = GDPA t + GDPI t + GDPO t...(21) dimana : GDPA t DEMA t INVA t GEA t QOL t QST t QTBS t GDPI t DEMI t INVI t GEI t QMGR t DEML t INVO t GEIS t SB t AS t = Nilai produksi sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Permintaan tenaga kerja sektor pertanian (juta orang) = Investasi sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Pengeluaran pemerintah sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Produksi olein (ribu ton/thn) = Produksi stearin (ribu ton/thn) = Produksi TBS (juta ton/thn) = Nilai produksi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Permintaan tenaga kerja sektor industri (ribu orang/thn) = Investasi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Pengeluaran pemerintah sektor industri (milyar rupiah/thn) = Produksi minyak goreng sawit (juta ton/thn) = Permintaan tenaga kerja sektor lainnya (ribu orang/thn) = Nilai investasi sektor lainnya (milyar rupiah/thn) = Pengeluaran pemerintah sektor infrastruktur (milyar rph/thn) = Suku bunga (persen/tahun) = Total produksi nasional (milyar rupiah/thn) dengan dugaan parameter yang diharapkan : r 1, r 2, r 3, r 4 > 0 s 1, s 2, s 3, s 4, s 5, s 6 > 0 t 1, t 2, t 3 > 0 ; t 4 < 0 b. Permintaan Persamaan untuk blok permintaan terdiri dari persamaan konsumsi, investasi sektor pertanian, investasi sektor industri, investasi total, nilai ekspor dan nilai impor. Persamaan untuk blok permintaan ini mengacu kepada persamaan hasil penelitian Lisna (2007) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : C t = u 0 + u 1 (AS t /POP t ) + u 2 INF t + u 3 C t-1 + U 21t...(22) INVA t = v 0 + v 1 (SB t SB t-1 ) + v 2 GDPA t + v 3 WP t + v 4 INVA t-1 + U 22t...(23)

106 82 INVI t = w 0 + w 1 (SB t SB t-1 ) + w 2 GDPI t + w 3 WI t + w 4 INVI t-1 + U 23t...(24) TINV t = INVA t + INVI t + INVO t...(25) X t = x 0 + x 1 ER t + x 2 XCPO t + x 3 GDPA t + x 4 SEM t + x 5 X t-1 + U 24t...(26) M t = y 0 + y 1 AS t + y 2 MDSL t + y 3 M t-1 + U 25t...(27) dimana : C t AS t POP t INF t C t-1 INVA t SB t SB t-1 GDPA t WP t INVA t-1 INVI t GDPI t WI t INVI t-1 TINV t INVO t X t ER t X t-1 M t ER t-1 MDSLt XCPO t SEM t M t-1 = Konsumsi (milyar rupiah/thn) = Penawaran agregat (milyar rupiah/thn) = Jumlah penduduk Indonesia (juta orang) = Inflasi (persen) = Lag konsumsi (milyar rupiah/thn) = Investasi sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Suku bunga nominal (persen/thn) = Lag suku bunga nominal (persen/thn) = Produksi sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Upah rata-rata sektor pertanian (rupiah/bulan) = Lag investasi sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Investasi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Produksi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Upah rata-rata sektor industri (rupiah/bulan) = Lag investasi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Investasi total (milyar rupiah/thn) = Investasi sektor lainnya (milyar rupiah/thn) = Nilai ekspor (milyar rupiah/thn) = Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (rupiah/$us) = Lag nilai ekspor (milyar rupiah/thn) = Nilai impor (milyar rupiah/thn) = Lag nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (rupiah/$us) = Impor minyak diesel (kilo liter/thn) = Ekspor CPO (juta ton/thn) = Penawaran tenaga kerja (juta orang) = Lag nilai impor (milyar rupiah/thn) dengan dugaan parameter yang diharapkan : u 1 > 0 ; u 2 < 0 ; 0 < u 3 < 1 v 1, v 3 < 0 ; v 2 > 0 ; 0 < v 4 < 1 w 1, w 3 < 0 ; w 2 > 0 ; 0 < w 4 < 1 x 1, x 2, x 3, x 4 > 0 ; 0 < x 5 < 1 y 1, y 2 > 0 ; 0 < y 3 < 1

107 Indikator Ekonomi a. Tenaga Kerja Persamaan untuk blok tenaga kerja terdiri dari persamaan penawaran tenaga kerja, permintaan tenaga kerja sektor pertanian, permintaan tenaga kerja sektor industri, permintaan tenaga kerja sektor lainnya dan permintaan tenaga kerja total. Persamaan untuk blok tenaga kerja mengacu kepada persamaan hasil penelitian Lisna (2007) dengan penyesuaian yang diperlukan. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : dimana : SEM t = z 0 + z 1 POP t + z 2 UNM t + z 3 SEM t-1 + U 26t...(28) DEMA t = aa 0 + aa 1 WP t + aa 2 GDPA t + aa 3 DEMA t-1 + U 27t...(29) DEMI t = ab 0 + ab 1 WI t + ab 2 GDPI t + ab 3 DEMI t-1 + U 28t...(30) DEML t = ac 0 + ac 1 WL t + ac 2 GDPO t + ac 3 DEML t-1 + U 29t...(31) DEM t = DEMA t + DEMI t + DEML t...(32) SEM t = Penawaran tenaga kerja (ribu orang/thn) POP t = Jumlah penduduk Indonesia (juta orang) UNM t = Jumlah pengangguran (juta orang) SEM t-1 = Lag penawaran tenaga kerja (ribu orang/thn) DEMA t = Permintaan tenaga kerja sektor pertanian (ribu orang/thn) WP t = Upah rata-rata sektor pertanian (rupiah/thn) QTBS t = Produksi TBS (juta ton) DEMA t-1 = Lag permintaan tenaga kerja sektor pertanian (ribu orang/thn) DEMI t = Permintaan tenaga kerja sektor industri (ribu orang/thn) QCPO t = Produksi CPO (juta ton) AS t = Penawaran agregat (trilyun rupiah/thn) WI t = Upah rata-rata sektor industri (rupiah/thn) DEMI t-1 = Lag permintaan tenaga kerja sektor industri (ribu orang/thn) DEML t = Permintaan tenaga kerja sektor lainnya (ribu orang/thn) WL t = Upah rata-rata sektor lainnya (rupiah/thn) DEML t-1 = Lag DEML (ribu orang/thn) DEM t = Permintaan tenaga kerja total (ribu orang/thn) dengan dugaan parameter yang diharapkan : z 1, z 2 > 0 ; 0 < z 3 < 1 aa 1 < 0 ; aa 2 > 0 ; 0 < aa 3 < 1

108 84 ab 1 < 0 ; ab 2 > 0 ; 0 < ab 3 < 1 ac 1 < 0 ; ac 2 > 0 ; 0 < ac 3 < 1 b. Upah Persamaan untuk blok upah terdiri dari upah rata-rata sektor pertanian, upah rata-rata sektor industri dan upah rata-rata. Persamaan untuk blok upah mengacu kepada persamaan hasil penelitian Lisna (2007) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : WP t = ad 0 + ad 1 UMP t + ad 2 GDPA t + ad 3 SEM t + ad 4 WP t-1 + U 30t.(33) WI t = ae 0 + ae 1 UMI t + ae 2 GDPI t + ae 3 GEI t + ae 4 WI t-1 + U 31t...(34) WL t = af 0 + af 1 UMR t + af 2 GDPO t + af 3 WL t-1 + U 32t...(35) dimana : WP t UMP t GDPA t GDPIt GDPO t GEIt SEM t WP t-1 WI t UMI t WI t-1 WL t = Upah rata-rata sektor pertanian (rupiah/thn) = Upah minimum pertanian (rupiah/thn) = Nilai produksi sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Nilai produksi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Nilai produksi sektor lainnya (milyar rupiah/thn) = Pengeluaran pemerintah sektor industri (milyar rupiah/thn) = Penawaran tenaga kerja total (ribu orang/thn) = Lag upah rata-rata sektor pertanian (rupiah/thn) = Upah rata-rata sektor industri (rupiah/thn) = Upah minimum industri (rupiah/thn) = Lag upah rata-rata sektor industri (rupiah/thn) = Upah rata-rata (rupiah/thn) dengan dugaan parameter yang diharapkan : ad 1, ad 2 > 0 ; ad 3 < 0 ; 0 < ad 4 < 1 ae 1, ae 2, ae 3 > 0 ; 0 < ae 4 < 1 af 1, af 2 > 0 ; 0 < af 3 < 1 c. Indikator Makro Ekonomi Persamaan untuk blok indikator makro ekonomi terdiri dari persamaan indeks harga konsumen, pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Persamaan untuk indeks harga konsumen mengacu kepada persamaan hasil penelitian Lisna

109 85 (2007) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan sedangkan persamaan untuk pertumbuhan ekonomi dan inflasi merupakan persamaan identitas. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : CPI t = ag 0 + ag 1 PMGR t + ag 2 SB t-1 + ag 3 WOIL t + ag 4 CPI t-1 + U 33t...(36) EGRO t = ((AS t AS t-1 )/AS t-1 ) * 100%...(37) INF t = ((CPI t CPI t-1 )/CPI t-1 ) * 100%...(38) dimana : AS t CPI t SB t-1 WOIL t CPI t-1 EGRO t AS t-1 INF t PMGR t = Penawaran agregat (milyar rupiah/thn) = Indeks harga konsumen = Lag suku bunga (persen) = Harga minyak bumi (US$/barrel) = Lag indeks harga konsumen = Pertumbuhan ekonomi (persen) = Lag penawaran agregat (milyar rupiah/thn) = Inflasi nasional (persen) = Harga minyak goreng (rupiah/kg) dengan dugaan parameter yang diharapkan : ag 2 < 0 ; ag 1, ag 3 > 0 ; 0 < ag 4 < 1 d. Pengangguran Persamaan untuk blok pengangguran hanya terdiri dari satu persamaan identitas yaitu persamaan pengangguran yang dipengaruhi oleh penawaran tenaga kerja dikurangi dengan permintaan tenaga kerja. Persamaan yang dapat diformulasikan untuk blok pengangguran adalah sebagai berikut : UNM t = SEM t - DEM t...(39) dimana : UNM t SEM t DEM t = Jumlah pengangguran (ribu orang/thn) = Penawaran tenaga kerja total (ribu orang/thn) = Permintaan tenaga kerja total (ribu orang/thn)

110 86 e. Kemiskinan Persamaan untuk blok kemiskinan terdiri dari kemiskinan di perkotaan, kemiskinan di perdesaan dan kemiskinan total. Persamaan untuk blok kemiskinan ini mengacu kepada persamaan hasil penelitian Yudhoyono (2004) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Persamaan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut : UPOV t = ah 0 + ah 1 EGRO t + ah 2 GDPIt + ah 3 GEI t + ah 4 CPI t + ah 5 WOIL t + ah 6 WI t-1 + ah 7 UPOV t-1 + U 34t...(40) RPOV t = ai 0 + ai 1 WP t + ai 2 EGRO t + ai 3 GEA t + ai 4 UNM t + ai 5 RPOV t-1 + U 35t...(41) TPOV t = UPOV t + RPOV t...(42) dimana : UPOV t EGRO t GDPI t GEI t CPI t WOIL t UNM t UPOV t-1 RPOV t WP t GEA t RPOV t-1 TPOV t = Kemiskinan di perkotaan (ribu orang/thn) = Pertumbuhan ekonomi nasional (persen/thn) = Nilai produksi sektor industri (milyar rupiah/thn) = Belanja pemerintah di sektor industri (milyar rupiah/thn) = Indeks harga konsumen = Harga minyak bumi (US$/barrel) = Jumlah pengangguran (ribu orang/thn) = Lag kemiskinan di perkotaan (ribu orang/thn) = Kemiskinan di perdesaan (ribu orang/thn) = Tingkat upah sektor pertanian (rupiah/thn) = Belanja pemerintah sektor pertanian (milyar rupiah/thn) = Lag kemiskinan di perdesaan (ribu orang/thn) = Kemiskinan total (ribu orang) dengan dugaan parameter yang diharapkan : ah 1, ah 2, ah 3, ah 6 < 0 ; ah 4, ah 5 > 0 ; 0 < ah 7 < 1 ai 1, ai 2, ai 3 < 0 ; ai 4 > 0 ; 0 < ai 5 < 1

111 Prosedur Analisis Data Identifikasi Model Identifikasi model ditentukan berdasarkan order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Untuk mengidentifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition digunakan rumusan sebagai berikut (Koutsoyiannis, 1977): (K M) > (G 1) dimana : K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model dengan ketentuan : (K M) > (G 1) : maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified) (K M) = (G 1) : maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) (K M) < (G 1) : maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified) Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan

112 88 tersebut tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus syarat cukup yang ditentukan oleh rank condition yang menyatakan suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G 1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang dirancang terdiri dari 42 persamaan atau 42 peubah endogen (G) dan 46 peubah predetermined variables yang terdiri dari 19 peubah eksogen dan 27 lag endogenous variables. Dengan demikian total peubah dalam model (K) adalah 88 peubah, jumlah peubah dalam persamaan (M) paling banyak adalah 7 peubah. Maka berdasarkan kriteria order condition maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified Metode Pendugaan Model Dari hasil identifikasi model yang menunjukkan bahwa seluruh persamaan teridentifikasi secara berlebih (overidentified) maka metode estimasi yang tepat digunakan adalah 2SLS (Two Stages Least Squares) (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Penerapan metode 2SLS ini dapat menghasilkan estimasi yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, dibandingkan dengan model 3SLS atau model lainnya. Untuk mengetahui apakah pengaruh secara bersama-sama dari peubah penjelas signifikan atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan uji F. Sedangkan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh secara sendirisendiri dari masing-masing peubah penjelas terhadap peubah endogennya diuji

113 89 dengan menggunakan uji statistik t pada tingkat signifikansi tertentu dan uji serial korelasi menggunakan statistik d w (Durbin-Watson Statistics) Validasi Model Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang dirumuskan itu cukup layak atau valid untuk digunakan dalam menganalisis dampak kebijakan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap indikator makro ekonomi di Indonesia. Kriteria yang biasa digunakan dalam menilai layak atau valid tidaknya suatu model ekonometrik diantaranya adalah root mean square error (RMSE), root mean squares percent error (RMSPE) dan Theil inequality coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfeld, 1991), yang dapat ditulis masing-masing : 1 RMSE = Σ (Y s t Y a t ) 2 T T i-1 dimana, Y t s RMSPE = Σ [ ] adalah nilai Y t simulasi/prediksi, Y t a adalah nilai Y t aktual dan T adalah jumlah observasi dalam simulasi. 1 T i Σ (Y s t Y a t ) 2 U = T T i-1 1 T T Y t s Y t a Y t a Σ (Y t s ) Σ (Y t a ) 2 i-1 T i-1 T dimana U dapat didekomposisi menjadi : Σ (Y s t Y a t ) 2 = (Y s Y a ) 2 + (σ s σ a ) 2 + 2(1 ρ)σ s σ a N 1 2 T

114 90 dimana Y s dan Y a adalah rata-rata untuk nilai prediksi dan nilai aktual, σ s dan σ a adalah standar deviasi untuk nilai prediksi dan nilai aktual, ρ adalah koefisien korelasi. Proporsi dari U (proportions of inequality) dapat dinyatakan : (Y s Y a ) 2 U M = (1/N) Σ (Y s Y a ) 2 (σ s σ a ) 2 U S = (1/N) Σ (Y s Y a ) 2 U C 2(1 ρ) σ s σ a = (1/N) Σ (Y s Y a ) 2 dimana, U M adalah proporsi bias yang menjelaskan seberapa jauh rata-rata nilai prediksi menyimpang dari rata-rata nilai aktual dan nilai U M yang diharapkan adalah yang mendekati nol; U S adalah proporsi varians yang menjelaskan seberapa jauh variasi nilai prediksi menyimpang dari nilai variasi nilai aktual dan nilai U S yang diharapkan adalah yang mendekati nol; U C adalah proporsi kovarians yang mengukur kesalahan peramalan yang tidak sistematis (unsystematic error). Distribusi ketimpangan (U) yang ideal atas ketiga sumber tersebut adalah U M = U S = U C = 1 (Pindyck dan Rubinfeld, 1991) Simulasi Model Simulasi pada dasarnya merupakan solusi matematis (mathematical solution) dari suatu kumpulan berbagai persamaan secara simultan. Simulasi model dengan demikian merujuk kepada sekumpulan persamaan tersebut. Simulasi model dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya untuk pengujian dan

115 91 evaluasi model, analisis kebijakan historis dan untuk peramalan (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Dalam studi, simulasi terutama ditujukan untuk keperluan analisis kebijakan historis. Analisis simulasi kebijakan yang dimaksudkan untuk mengkaji dampak kebijakan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap indikator makroekonomi terutama kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk penelitian ini, mengingat data time series produksi biodiesel di Indonesia belum lengkap maka digunakan data produksi olein dan stearin yang merupakan bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebagai indikator data pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Sejak biodiesel dari minyak kelapa sawit dan industri hilir lainnya dikembangkan di Indonesia terjadi kenaikan produksi olein dan stearin sebesar persen dan persen. Jika biodiesel dari minyak kelapa sawit digunakan untuk substitusi minyak diesel domestik sebesar 5 persen maka akan dibutuhkan olein dan stearin sekitar 1.16 juta ton. Jika ekspor biodiesel dari minyak kelapa sawit meningkat sebesar dua kali lipat maka dibutuhkan olein dan stearin untuk memenuhi ekspor biodiesel dari minyak kelapa sawit sekitar 1.23 juta ton. Jika biodiesel dari minyak kelapa sawit untuk domestik dan ekspor berkembang baik maka dibutuhkan minimal tambahan sekitar 2.4 juta ton olein dan stearin atau sekitar 50.6 persen dari produksi saat ini. Berdasarkan penjelasan di atas maka simulasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

116 92 1. Kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen sebagai indikator terjadinya pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit 2. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen dan kenaikan pajak ekspor sebesar 10 persen 3. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen dan penguatan nilai tukar rupiah sebesar 10 persen (selama 4 tahun terakhir sampai dengan 2009 rupiah melemah sebesar persen) 4. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen dan kebijakan moratorium perluasan kebun kelapa sawit (perluasan area kebun kelapa sawit nol persen) 5. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen dan kenaikan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 10 persen (kenaikan luas perkebunan kelapa sawit dalam empat tahun terakhir persen) 6. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen dan penurunan suku bunga sebesar 10 persen (selisih suku bunga kredit dan SBI rata-rata masih 6-7 persen) 7. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen dan kenaikan

117 93 pengeluaran pemerintah untuk pertanian, infrastruktur dan industri sebesar 10 persen 8. Kombinasi kenaikan produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebesar 20 persen, kenaikan pajak ekspor sebesar 10 persen dan kenaikan pengeluaran pemerintah untuk pertanian, infrastruktur dan industri sebesar 10 persen Hasil simulasi ini akan digunakan untuk menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi terhadap indikator makroekonomi terutama untuk pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan terkait pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hasil analisis untuk selanjutnya digunakan untuk merumuskan implikasi kebijakan yang dapat dilakukan.

118 V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan Indonesia. Ini tercermin dari produksi minyak kelapa sawit Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti terlihat pada Gambar 8. Pada tahun 1988 produksi minyak kelapa sawit Indonesia baru mencapai 1.71 juta ton. Meningkatnya permintaan terhadap minyak kelapa sawit Indonesia terutama dari pasar internasional berpengaruh positif terhadap produksi minyak kelapa sawit yang pada tahun 2009 mencapai juta ton atau naik lebih dari 10 kali lipat dalam tempo 20 tahun. Produktivitas produksi minyak kelapa sawit Indonesia rata-rata masih 3 ton/ha/tahun. Jika produktivitas produksi minyak kelapa sawit Indonesia ini dapat ditingkatkan maka target produksi 40 juta ton pada tahun 2020 dapat dengan mudah tercapai. Gambar 8. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Perindustrian (2010)

119 95 Perkembangan produksi minyak kelapa sawit Indonesia dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi minyak kelapa sawit dunia sebagai minyak nabati seperti terlihat pada Tabel 9. Minyak kelapa sawit pada tahun 2009 telah menjadi minyak nabati utama dengan pangsa pasar 34 persen, meninggalkan minyak kedelai yang sebelumnya selalu memiliki pangsa pasar terbesar. Perkembangan ini tentu tidak terlepas dari banyaknya manfaat yang dihasilkan oleh minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Tabel 9. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia (Juta Ton) Minyak Nabati Jumlah % Jumlah % Jumlah % Minyak Kedelai Minyak Sawit Minyak Canola Minyak Bunga Matahari Minyak Inti Sawit Minyak Nabati Lain Total Sumber : World Growth (2011) Produksi minyak kelapa sawit yang mencapai juta ton ini dihasilkan dari 608 pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas produksi total ton TBS/jam. Pabrik pengolahan kelapa sawit ini tersebar di 22 propinsi dengan jumlah terbanyak (140 buah) ada di propinsi Riau. Produksi minyak kelapa sawit ini sebesar 7.97 juta ton (37.08 persen) dihasilkan oleh perkebunan rakyat, 2.49 juta ton (11.60 persen) dihasilkan oleh perkebunan negara dan juta ton (51.32 persen) dihasilkan oleh perkebunan swasta. Jika diasumsikan harga minyak kelapa sawit sebesar Rp per kg maka kontribusi minyak kelapa sawit terhadap perekonomian nasional mencapai sekitar Rp. 215 Trilyun atau sekitar empat-lima persen dari produk domestik bruto.

120 96 Untuk pasar domestik, permintaan terhadap minyak kelapa sawit juga cenderung naik namun tidak signifikan seperti terlihat pada Gambar 9. Pada tahun 1988 permintaan minyak kelapa sawit domestik sekitar 0.86 juta ton dan terus naik mencapai 4.45 juta ton pada tahun Setelah tahun 1998 permintaan minyak kelapa sawit domestik cenderung menurun bahkan mencapai hanya 1.48 juta ton pada tahun Gambar 9. Perkembangan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Sejak tahun 2005 permintaan minyak sawit domestik kembali naik lagi menjadi 5.78 juta ton pada tahun 2007 dan pada tahun 2009 permintaan minyak kelapa sawit domestik mampu mencapai 6.02 juta ton seiring berkembangnya industri hilir minyak kelapa sawit termasuk biodiesel dari kelapa sawit. Ini berarti sejak berkembangnya biodiesel dari kelapa sawit dan industri hilir lainnya sejak tahun 2006 permintaan minyak kelapa sawit domestik naik lebih dari tiga kali lipat. Perkembangan industri hilir yang masih lambat dan permintaan minyak kelapa sawit domestik yang tidak signifikan kenaikannya membuat sebagian besar produksi minyak kelapa sawit Indonesia di ekspor seperti terlihat pada Gambar

121 Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 1988 baru sekitar 0.85 juta ton. Membaiknya permintaan pasar ekspor membuat ekspor minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2009 meningkat menjadi juta ton atau naik hampir 16 kali lipat dibandingkan tahun Gambar 10. Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Perkembangan produksi minyak kelapa sawit yang meningkat drastis ini didorong oleh tingkat harga minyak kelapa sawit domestik yang semakin baik di Indonesia seperti terlihat pada Gambar 11. Gambar 11. Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit Domestik Sumber : Kementerian Perindustrian (2010)

122 98 Pada tahun 1988 harga minyak kelapa sawit domestik masih sekitar Rp. 755 per kg.pada tahun 2006 harga minyak kelapa sawit domestik naik menjadi Rp per kg dan naik lagi menjadi Rp per kg pada tahun Sejak berkembangnya biodiesel dari kelapa sawit dan industri hilir lainnya pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 harga minyak kelapa sawit domestik meningkat sebesar persen. Perkembangan harga minyak kelapa sawit domestik yang cukup baik ini sangat dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa sawit untuk pasar internasional. Harga ekspor minyak kelapa sawit juga berkembang dengan baik seperti terlihat pada Gambar 12. Pada tahun 1988 harga ekspor minyak kelapa sawit US$ 436 per ton. Pada tahun 2006, seiring mulai berkembangnya biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia harga ekspor minyak kelapa sawit naik menjadi US$ per ton dan menjadi US$ per ton pada tahun Selama periode empat tahun pertama pengembangan biodiesel di Indonesia harga ekspor minyak kelapa sawit naik sebesar persen. Gambar 12. Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Perindustrian (2010)

123 Minyak Goreng Sawit Produksi minyak goreng kelapa sawit sebagai salah satu produk turunan dari kelapa sawit juga cukup baik. Seperti terlihat pada Gambar 13, pada tahun 1988 produksi minyak goreng kelapa sawit baru mencapai 2.84 juta ton. Walaupun produksi minyak goreng kelapa sawit sempat turun menjadi 1.86 juta ton pada tahun 1993, namun untuk seterusnya produksi minyak goreng kelapa sawit terus naik menjadi 8.48 juta ton pada tahun Dalam empat tahun terakhir produksi minyak goreng kelapa sawit naik sebesar persen. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar, Indonesia mampu memproduksi minyak goreng kelapa sawit yang mencapai 8.48 juta ton dimana sekitar 4.30 juta ton untuk memenuhi kebutuhan domestik. Produksi minyak goreng sawit ini dihasilkan dari 94 unit pabrik minyak goreng yang tersebar di seluruh Indonesia dengan konsentrasi terbanyak (13 unit) ada di Propinsi Sumatera Utara. Gambar 13. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Naiknya produksi minyak goreng kelapa sawit dipengaruhi oleh permintaan domestik terhadap minyak goreng kelapa sawit yang tercatat juga

124 100 cukup baik seperti terlihat pada Gambar 14. Pada tahun 1988 permintaan domestik minyak goreng kelapa sawit mencapai 1.14 juta ton ton. Pada tahun 2009 permintaan domestik minyak goreng kelapa sawit naik menjadi 4.34 juta ton. Selisih antara produksi minyak goreng kelapa sawit dengan permintaan domestik, sebagian besar diekspor. Gambar 14. Perkembangan Permintaan Domestik Minyak Goreng Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Meningkatnya produksi minyak goreng kelapa sawit dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak goreng kelapa sawit yang juga cukup baik seperti terlihat pada Gambar 15. Gambar 15. Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Perindustrian (2010)

125 101 Pada tahun 1988 harga minyak goreng kelapa sawit berkisar Rp. 864 per kg. Pada tahun 2009 harga minyak goreng kelapa sawit naik menjadi Rp per kg. Kenaikan harga minyak goreng kelapa sawit ini dipengaruhi oleh kenaikan harga domestik minyak kelapa sawit. Gambar 16. Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Perkembangan produksi dan harga minyak goreng kelapa sawit yang baik ini dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak goreng kelapa yang merupakan produk substitusi seperti terlihat pada Gambar 16. Pada tahun 1988 harga minyak goreng kelapa berkisar di Rp. 987 per kg. Pada tahun 2009 harga minyak goreng kelapa naik menjadi Rp per kg. Harga minyak goreng kelapa ini masih jauh lebih tinggi dari harga minyak goreng kelapa sawit sehingga konsumen lebih memilih menggunakan minyak goreng kelapa sawit dibandingkan dengan minyak goreng kelapa Perkebunan Kelapa Sawit Perkembangan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan luas areal kebun kelapa sawit yang naik signifikan seperti

126 102 terlihat pada Gambar 17. Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1988 baru sekitar ha. Pada tahun 2009 luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia meningkat menjadi ha seiring dengan perkembangan komoditas kelapa sawit yang semakin baik. Gambar 17. Perkembangan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Pertanian (2010) Komposisi kepemilikan perkebunan kelapa sawit yang hektar terdiri dari perkebunan rakyat 3.20 juta hektar atau 43.7 persen, perkebunan negara 617 ribu hektar atau 8.4 persen dan perkebunan swasta 3.5 juta hektar atau 47.8 persen (Kementerian Pertanian, 2010). Gambar 18. Perkembangan Produksi TBS Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Pertanian (2010)

127 103 Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit yang naik signifikan ikut mempengaruhi produksi tandan buah segar kelapa sawit di Indonesia seperti terlihat pada Gambar 18. Pada tahun 1988 produksi tandan buah segar kelapa sawit masih 8.15 juta ton. Pada tahun 2009 produksi tandan buah segar kelapa sawit ini naik menjadi juta ton. Perkembangan produksi tandan buah segar kelapa sawit ini dipengaruhi oleh perkembangan harga tandan buah segar kelapa sawit yang cukup baik seperti terlihat pada Gambar 19. Harga tandan buah segar kelapa sawit pada tahun 1988 sekitar Rp. 377 per kg. Pada tahun 1998 waktu krisis ekonomi, harga tandan buah segar kelapa sawit sempat naik tinggi menjadi Rp per kg namun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2009 harga tandan buah segar kelapa sawit sekitar Rp per kg. Gambar 19. Perkembangan Harga TBS Kelapa Sawit Sumber : Kementerian Pertanian (2010)

128 Bahan Bakar Biodiesel Olein dan Stearin Bahan Baku Biodiesel Olein dan stearin merupakan bahan baku untuk menghasilkan biodiesel dari kelapa sawit. Produksi olein pada tahun 1988 masih sekitar 375 ribu ton dan terus naik menjadi 2.59 juta ton pada tahun Gambar 20. Perkembangan Produksi Olein Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Seiring berkembangnya biodiesel dari kelapa sawit, produksi olein meningkat drastis menjadi 3800 ribu ton pada tahun 2006 dan naik lagi menjadi 3880 ribu ton pada tahun 2009 seperti terlihat pada Gambar 20. Selama empat tahun pertama sejak biodiesel dari kelapa sawit dikembangkan, terjadi kenaikan produksi olein sebesar persen. Produksi stearin juga memiliki karakter yang mirip dengan olein. Produksi stearin pada tahun 1988 masih sekitar 83 ribu ton dan terus naik menjadi 573 ribu ton pada tahun Berkembangnya biodiesel mendorong produksi stearin meningkat menjadi 838 ribu ton pada tahun 2006 dan menjadi 856 ribu ton pada tahun 2009 seperti terlihat pada Gambar 21. Selama empat tahun pertama sejak

129 105 biodiesel dari kelapa sawit dikembangkan, terjadi kenaikan produksi stearin sebesar persen. Gambar 21. Perkembangan Produksi Stearin Sumber : Kementerian Perindustrian (2010) Bahan Bakar Biodiesel Bahan bakar biodiesel mulai berkembang dan dikembangkan secara komersial di Indonesia sejak tahun Kapasitas produksi biodiesel pada tahun 2006 masih sekitar ton seperti terlihat pada Gambar 22. Perkembangan Produksi Biodiesel di Indonesia Ton Gambar 22. Perkembangan Kapasitas Produksi Biodiesel di Indonesia Sumber : Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (2010) Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap biodiesel dari kelapa sawit maka kapasitas produksinya setiap tahun terus meningkat dari ribu ton pada tahun 2007, menjadi 1.58 juta ton pada tahun 2008 dan meningkat lagi menjadi

130 juta ton pada tahun Secara fasilitas produksi, biodiesel dari kelapa sawit sudah sangat siap untuk dikembangkan dan berkembang di Indonesia. Mengingat harga biodiesel dalam negeri tidak menguntungkan dan adanya perbedaan perlakuan subsidi sehingga produksi biodiesel Indonesia sebagian besar untuk saat ini masih ditujukan untuk pasar ekspor. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan pada tahun 2010 jumlah ekspor biodiesel Indonesia tercatat ribu ton dengan nilai US$493 juta. Secara volume sejak tahun 2006 terjadi kenaikan ekspor biodiesel sebesar persen, sementara secara nilai kenaikannya sebesar persen. Meskipun biodiesel dari kelapa sawit saat ini tidak sampai 5 persen dari produksi biodiesel dunia, permintaan biodiesel dari kelapa sawit pada masa depan cenderung meningkat mengingat semakin banyak negara yang sudah mengadopsi kebijakan yang mendorong penggunaan bahan bakar hayati dan biodiesel sebagaimana terlihat pada Tabel 10. Diperkirakan ekspor biodiesel dari kelapa sawit Indonesia akan terus mengalami peningkatan yang signifikan pada tahuntahun mendatang. Tabel 10. Target Produksi Bahan Bakar Hayati dan Biodiesel Sejumlah Negara Negara Target Status Brasil 2% pada 2008, 5% sebelum 2013 Sudah dilaksanakan Kanada 2% sebelum 2010 Menunjukkan niat China 15% bahan bakar hayati sebelum 2020 Tidak ada kebijakan nyata Uni Eropa 5.75% sebelum 2010, 10% sebelum 2020 Sudah dilaksanakan India Menyiapkan undang-undang Indonesia 2-5% sebelum 2010 Sudah diusulkan Jepang 5% pada 2009 Menyiapkan undang-undang Korea 5% Sudah dilaksanakan Malaysia 5% Sudah dilaksanakan Thailand 10% sebelum 2012 Sudah dilaksanakan Amerika Serikat 28.4 milyar liter bahan bakar hayati sebelum 2012 Sudah dilaksanakan Sumber : World Growth (2011)

131 Bahan Bakar Diesel Produksi minyak diesel dari kilang-kilang pengolahan minyak mentah Indonesia berkembang cukup baik seperti terlihat pada Gambar 23. Pada tahun 1988 produksi minyak diesel Indonesia sekitar 7.12 juta kiloliter. Gambar 23. Perkembangan Produksi Minyak Diesel Sumber : Pertamina (2010) Walaupun produksi minyak diesel pada tahun 1992 sempat turun menjadi 6.49 juta kiloliter namun produksi minyak diesel Indonesia terus naik dan mencapai puncaknya pada tahun 2004 dengan produksi mencapai juta kiloliter. Pada tahun 2009 produksi minyak diesel kembali meningkat menjadi juta kiloliter. Selama empat tahun terakhir produksi minyak diesel meningkat sebesar persen. Naiknya jumlah kendaraan bermotor dan peralatan serta mesin-mesin yang menggunakan minyak diesel membuat konsumsi minyak diesel naik signifikan di Indonesia seperti terlihat pada Gambar 24. Pada tahun 1988 konsumsi minyak diesel Indonesia baru sekitar juta kiloliter. Pada tahun 2009 konsumsinya meningkat menjadi juta kiloliter seiring bertambahnya pengguna minyak diesel. Selama empat tahun terakhir konsumsi minyak diesel meningkat sebesar persen.

132 108 Gambar 24. Perkembangan Konsumsi Minyak Diesel Sumber : Pertamina (2010) Meningkatnya konsumsi minyak diesel di Indonesia yang jauh melebihi produksi yang dihasilkan dari kilang-kilang dalam negeri membuat impor minyak diesel terus meningkat seperti terlihat pada Gambar 25. Perkembangan impor minyak diesel tergantung pada selisih produksi dan permintaan. Pada tahun 1988 impor minyak diesel masih sekitar 3.88 juta kiloliter. Impor minyak diesel mencapai puncaknya pada tahun 2005 dengan jumlah impor sebanyak juta kiloliter. Pada tahun 2009 impor minyak diesel turun menjadi 9.26 juta kiloliter. Selama empat tahun terakhir impor minyak diesel berkurang sebesar persen. Gambar 25. Perkembangan Impor Minyak Diesel Sumber : Pertamina (2010)

133 109 Harga minyak diesel pada tahun 1988 sekitar Rp. 200 per liter seperti terlihat pada Gambar 36. Seiring harga minyak mentah yang terus naik, harga minyak diesel juga terus naik dan mencapai puncaknya pada tahun 2007 dengan harga Rp per liter. Pada tahun 2009 harga minyak diesel kembali turun menjadi Rp per liter. Selama empat tahun terakhir harga minyak diesel rata naik sebesar persen. Gambar 26. Perkembangan Harga Minyak Diesel Sumber : Pertamina (2010) 5.3 Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian Sebaran Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Perkebunan kelapa sawit sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana terlihat pada Gambar 27. Dari total luas perkebunan kelapa sawit yang 7.32 juta hektar, sebagian besar berada di Sumatera dimana sebanyak 1.54 juta hektar berada di Propinsi Riau atau sekitar persen dari luas perkebunan kelapa sawit nasional dengan produksi minyak kelapa sawit mencapai 4.68 juta ton. Wilayah Kalimantan juga sedang berkembang pesat perkebunan kelapa sawitnya dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Tengah dengan luas

134 110 perkebunan kelapa sawit sebesar ribu hektar dan produksi minyak kelapa sawit sebanyak 1.38 juta ton. Diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan, wilayah Kalimantan akan mampu mengambil alih pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. NAD Luas: Ha CPO : Ton Sumatera Utara Luas: Ha CPO : Ton Sumatera Barat Luas: Ha CPO : Ton Riau Luas: Ha CPO : Ton Kalimantan Barat Luas: Ha CPO : Ton Kalimantan Tengah Luas: Ha CPO : Kalimantan Timur Luas: Ha CPO : Ton Sulawesi Tengah Luas: Ha CPO : T Papua Luas: Ha CPO : Ton Jambi Luas: Ha CPO : Ton Bengkulu Luas: Ha CPO : Ton Sumatera Selatan Luas: Ha CPO : Ton Bangka- Belitung Luas: Ha CPO : Ton Lampung Luas: Ha CPO : Ton Banten Luas: Ha CPO : Ton Kalimantan Selatan Luas: Ha CPO : Ton Jawa Barat Luas: Ha CPO : Ton Sulawesi Selatan Luas: Ha CPO : Ton Sulawesi Barat Luas: Ha CPO : Ton Papua Barat Luas: Ha CPO : Ton Gambar 27. Sebaran Produksi Kelapa Sawit Indonesia Sumber : Kementerian Pertanian, Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Lapangan Kerja Kelapa Sawit mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja. Dengan total luas perkebunan kelapa sawit 7.3 juta hektar, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor hulu mencapai 1.95 juta orang di perkebunan negara dan swasta serta 1.7 juta petani di perkebunan rakyat. Pabrik kelapa sawit yang berjumlah 470 unit mampu menyerap tenaga kerja

DAMPAK PENGEMBANGAN INDUSTRI BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT DI INDONESIA ABSTRACT

DAMPAK PENGEMBANGAN INDUSTRI BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT DI INDONESIA ABSTRACT DAMPAK PENGEMBANGAN INDUSTRI BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT DI INDONESIA IMPACT OF PALM OIL BASED BIODIESEL INDUSTRY DEVELOPMENT ON PALM OIL

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRATEGIK P.T. ANUGRAH JAYA AGUNG. Oleh : Rafian Joni

PERENCANAAN STRATEGIK P.T. ANUGRAH JAYA AGUNG. Oleh : Rafian Joni PERENCANAAN STRATEGIK P.T. ANUGRAH JAYA AGUNG Oleh : Rafian Joni PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 Jangan seorang pun di antara kamu yang memperlakukan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan, dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) menjadi negara pengimpor minyak.

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi. HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 13346.3 7.688 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk turunan kelapa sawit

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 Bacalah, dengan nama Tuhanmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H14104036 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH 1 INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA 2015-2019 DAN PELUANG MEMANFAATKAN FORUM G20 Siwi Nugraheni Abstrak Sektor energi Indonesia mengahadapi beberapa tantangan utama, yaitu kebutuhan yang lebih besar daripada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Di satu sisi konsumsi masyarakat (demand) terus meningkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, posisi penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan-batasan serta sistematika penulisan laporan yang digunakan dalam penelitian.

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ENERGI GEOTERMAL DI INDONESIA

IDENTIFIKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ENERGI GEOTERMAL DI INDONESIA IDENTIFIKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ENERGI GEOTERMAL DI INDONESIA Aan Zainal M 1), Udisubakti Ciptomulyono 2) dan I K Gunarta 3) 1) Program Studi Magister Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA Iwan Hermawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kemajuan teknologi dan industri telah memacu pertumbuhan konsumsi enerji yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa terakhir di dunia, sehingga mempengaruhi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2009 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2009 adalah salah satu publikasi tahunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan salah satu bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi. Agribisnis subsektor ini mempunyai

Lebih terperinci

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI MENUJU KEDAULATAN ENERGI DR. A. SONNY KERAF KOMISI VII DPR RI SEMINAR RENEWABLE ENERGY & SUSTAINABLE DEVELOPMENT IN INDONESIA : PAST EXPERIENCE FUTURE CHALLENGES JAKARTA, 19-20 JANUARI 2009 OUTLINE PRESENTASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA MUFID NURDIANSYAH (10.12.5170) LINGKUNGAN BISNIS ABSTRACT Prospek bisnis perkebunan kelapa sawit sangat terbuka lebar. Sebab, kelapa sawit adalah komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk 114 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cendrung berkembang

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI Oleh : Ongki Wiratno PROGRAM STUDI MAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 @ Hak cipta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup dan kontinu sangat penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA The Business and Investment Forum for Downstream Palm Oil Industry Rotterdam, Belanda, 4 September 2015 Bismillahirrohmanirrahim 1. Yang Terhormat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA. Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA. Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A 14104073 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK SAWIT INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (SUATU MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM) Oleh :

DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK SAWIT INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (SUATU MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM) Oleh : DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK SAWIT INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (SUATU MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM) Oleh : Cornelius Tjahjaprijadi 1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 I. Pendahuluan Setelah melalui perdebatan, pemerintah dan Komisi XI DPR RI akhirnya menyetujui asumsi makro dalam RAPBN 2012 yang terkait

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai tempat. penyimpanan dana, membantu pembiayaan dalam bentuk kredit, serta

I. PENDAHULUAN. keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai tempat. penyimpanan dana, membantu pembiayaan dalam bentuk kredit, serta I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Industri perbankan, khususnya bank umum, merupakan pusat dari sistem keuangan setiap negara. Bank antara lain berperan sebagai tempat penyimpanan dana, membantu pembiayaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis energi yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang bersifat non renewable disebabkan dari semakin menipisnya cadangan minyak bumi. Saat

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya Pemerintah menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar 5,1% dan 8,2% dan penurunan

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Minyak Nabati Dunia Minyak nabati (vegetable oils) dan minyak hewani (oil and fats) merupakan bagian dari minyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam perekonomian suatu negara karena sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup signifikan

Lebih terperinci

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI 1 PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA Oleh: NUNUNG KUSNADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 2 ABSTRAK NUNUNG KUSNADI.

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan Direktorat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA Oleh : Venny Syahmer PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018?

PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018? PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei 2018 1. Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018? Target produksi Perseroan untuk tahun 2018 adalah 219.000

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah konsumsi minyak bumi Indonesia sekitar 1,4 juta BOPD (Barrel Oil Per Day), sedangkan produksinya hanya sekitar 810 ribu BOPD (Barrel Oil Per Day). Kesenjangan konsumsi

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris, memiliki kekayaan alam yang sangat beragam, baik kekayaan hayati maupun non hayati, yang apabila dikelola dengan tepat, kekayaan tersebut

Lebih terperinci

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi intermediasi atau memperlancar lalu lintas

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999-2006 MUHAMMAD ILHAM RIYADH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia masih belum dapat mencapai target pembangunan di bidang energi hingga pada tahun 2015, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri masih ditopang oleh impor

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 Bismillahirrohmanirrahim Yth. Ketua Umum INAplas Yth. Para pembicara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal mengenai penelitian yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan asumsi, serta sistematika

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Nama : Budiati Nur Prastiwi NIM : 11.11.4880 Jurusan Kelas : Teknik Informatika : 11-S1TI-04 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 Abstrack Kelapa Sawit

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional.

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci