V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Kondisi Habitat Orangutan Sumatera Rehabilitan Secara umum lokasi penelitian merupakan wilayah hutan tropis dengan topografi perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian berkisar antara 40 meter hingga 800 meter di atas permukaan laut. Namun karena sebelumnya kawasan ini merupakan bekas lahan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maka membuat sebagian besar kawasan ini menjadi areal bekas tebangan dan areal bekas ladang yang dibuka oleh masyarakat. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut maka dalam penelitian ini, pada lokasi pengamatannya dibedakan berdasarkan tipe penutupan lahannya. Tipe vegetasi yang ada dalam lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe yaitu hutan alam primer, hutan sekunder bekas tebangan, dan hutan sekunder bekas ladang (semak belukar). Perbedaan tipe hutan ini dibagi berdasarkan perbedaan struktur tegakan dan komposisi jenisnya, dimana tipe hutan alam primer adalah hutan hujan tropis yang masih belum terganggu oleh aktivitas pembalakan kayu, jenis yang dominan umumnya berasal dari suku Dipterocarpaceae; untuk tipe hutan sekunder bekas tebangan adalah kawasan hutan yang telah mengalami penebangan, yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis dari suku Euphorbiaceae; dan untuk hutan sekunder bekas ladang adalah kawasan yang telah dibuka untuk perladangan kemudian ditinggalkan pada periode berikutnya, jenis yang mendominasi umumnya berasal dari jenis-jenis pionir seperti dari genus Macaranga Struktur dan Komposisi Vegetasi a. Vegetasi Hutan Alam Primer Hutan alam primer pada plot contoh analisis vegetasi terletak sekitar 6 km dari stasiun reintroduksi orangutan sumatera Sungai Pengian dan berada dalam kawasan TNBT. Hutan alam primer memiliki vegetasi yang rapat dan beragam dengan didominasi oleh pohon pohon berdiameter besar. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada petak contoh vegetasi hutan alam primer

2 didapatkan jumlah jenis untuk tingkat pohon sebanyak 38 jenis, tingkat tiang sebanyak 12 jenis, tingkat pancang sebanyak 21 jenis dan pada tingkat semai sebanyak 25 jenis. Gambar 5. Vegetasi pohon di hutan alam primer Pada tingkat pohon didapatkan jenis pohon yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah tapus (Elateriospermum tapos) INP-nya 28,72 kemudian sihancing (Santiria rubiginosa) nilai INP-nya 28,0 selanjutnya meranti bunga (Shorea leprosula) INP-nya 23,07 dan kasai ( Pometia pinnata) nilai INP-nya 18,91. Tingkat tiang nilai INP tertinggi pada lepang kayu (INP 40,3) kemudian kuduk biawak (Santiria incurvata) INP-nya 38,78 berikutnya tapus (INP 36,43) dan kulalui (Baringtonia scortechinii) INP-nya 35,09. Tingkat pancang yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah karau (Canangium liporta) dengan INP 48,6 berikutnya kayu lintah (Ilex pletio brachieta) INP-nya 35,06 kemudian kayu minyak (Cinnamomum costata) INP-nya 24,96 dan kuduk biawak (INP 13,64). Tingkat semai dengan nilai INP tertinggi adalah karau dengan INP 42,92 selanjutanya kayu lintah INP-nya 24,1 kemudian kelumpang (Sterculia cordata) INP-nya 22,26 dan kayu minyak dengan INP 13,69. Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

3 b. Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Tebangan Hutan sekunder bekas tebangan di lokasi penelitian merupakan kawasan hutan bekas HPH dengan luasan yang paling tinggi di bandingkan dengan hutan alam primer dan hutan sekunder bekas ladang. Pada vegetasi hutan bekas tebangan masih banyak juga ditemukan pohon komersial dengan diameter yang cukup besar seperti jenis meranti, jelutung, dan kempas. Akan tetapi pada bekas jalan logging yang mendominasi adalah jenis pionir dari genus Macaranga. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan pada plot contoh vegetasi hutan sekunder bekas tebangan didapatkan jumlah jenis pada tingkat pohon sebanyak 34 jenis, tingkat tiang sebanyak 19 jenis, tingkat pancang sebanyak 35 jenis dan tingkat semai sebanyak 30 jenis. Gambar 6. Vegetasi pohon di hutan sekunder bekas tebangan Pada tingkat pohon didapatkan jenis pohon yang mempunyai nilai INP tertinggi dengan nilai 28,59 adalah meranti bunga (Shorea leprosula), selanjutnya balam (Palagium oxelanum) INP-nya 28,53 kemudian ptaling (Ochanotachys amantaceae) INP-nya 19,75 dan tapus (Elateriospermum tapos) dengan INP 19,45. Pada tingkat tiang dengan INP tertinggi adalah karau (Canangium liporta) INP-nya 35,16 berikutnya siluk (Gironniera nervosa) dengan INP 34,68 untuk selanjutnya subilurah (Aporusa elmerii) INP-nya 25,04 dan meranti batu (Parashorea lucida) INP-nya 21,86. Pada tingkat pancang yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah sebekal (Fordia johorensis) INP-nya 16,61 berikunya karau (INP 15,27) selanjutnya subilurah (INP 13,94) dan jenis lepang kayu dengan INP

4 10,3. Pada tingkat pertumbuhan semai yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah karau dengan INP 27,49 selanjutnya jenis jirak (Adina minutiflora) dan rambutan pacat masing masing dengan INP 15,34 serta berikutnya kepialan ayam (INP 13,45). Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. c. Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Ladang Habitat hutan sekunder bekas ladang dilokasi penelitian merupakan kawasan hutan yang telah ditebang sebelumnya kemudian oleh masyarakat dibuka untuk dijadikan ladang dan juga untuk ditanami karet sehingga sebagian sisa tanaman tersebut masih dapat dijumpai pada kawasan hutan ini. Hutan sekunder bekas ladang ini juga berbatasan langsung dengan ladang masyarakat yang membudidayakan tanaman seperti ketela pohon, karet, pisang. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan, didapatkan jumlah jenis pada tingkat pohon sebesar 17 jenis, tingkat tiang sebanyak 14 jenis, tingkat pancang sebanyak 20 jenis dan tingkat semai sebanyak 13 jenis. Gambar 7. Vegetasi pohon di hutan sekunder bekas ladang Pada tingkat pertumbuhan pohon didapatkan nilai INP tertinggi adalah mahang (Macaranga hypoleuca) INP-nya 108,15 kemudian genditi (INP 28,65) selanjutnya arou (Ficus drupace) INP-nya 21,58 dan medang (Litsea odorifera) dengan INP 19,41. Pada tingkat tiang dengan INP tertinggi adalah jenis mahang (INP 50,9) berikutnya gawal gawal (Dillenia Albiflos) INP-nya 33,28 kemudian

5 sulai (Canarium rostata) INP-nya 32,01 dan jengkol dengan INP 19,16. Pada tingkat pancang didapatkan nilai INP tertinggi pada sebekal (Fordia johorensis) INP-nya 43,1 kemudian deransi dengan INP 24,49 selanjutnya karau (Canangium liporta) INP-nya 22,67 dan siluk (Gironniera nervosa) dengan INP 17,91. Pada tingkat semai yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah sebekal (INP 44,57) kemudian medang INP-nya 27,9 selanjutnya karau dengan INP 23,9 dan deranti (INP 17,52). Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada lampiran Cover Hasil analisis cover pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa strata tajuk pada vegetasi hutan alam primer dan hutan sekunder bekas tebangan memiliki strata tajuk yang lengkap dan beragam dengan kanopi yang mencapai ketinggian diatas 30 m, sedangkan pada hutan sekunder bekas ladang tidak memiliki strata tajuk yang lengkap dengan ketinggian kanopi di bawah 25 m, karena pada hutan sekunder bekas ladang tingkat kerusakan habitatnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan sekunder bekas tebangan yang disebabkan oleh pembukaan ladang. Gambar 8. Profil arsitektur pohon (40 x 20 m) vegetasi hutan alam primer

6 Keterangan : 1. Lepang Kayu 2. Santiria rubiginosa 3. Shorea leprosula 4. Diallium platysepalum 5. Juhur 6. Canangium liporta 7. Neoseortechinia kengii 8. Hopea Mongrawan 9. Octomeles sumatrana 10. Mangu 11. Elateriospermum tapos 12. Gironniera nervosa 13. Parashorea lucida 14. Agrostistachys leptostachya 15. Anisoptera marginata 16. Myristica maxima 17. Dyera costulata Gambar 9. Profil arsitektur pohon (40 x 20 m) vegetasi hutan bekas tebangan Keterangan : 1. Mangu 2. Santiria costata 3. Ochanotachys amantaceae 4. Dactylocladus pinnata 5. Parashorea lucida 6. Palaquium gutta 7. Shorea acuminata 8. Kaki Nyamuk 9. Sopat 10. Mangu 11. Eugenia griffithii 12. Sindora walichianus 13. Dipterocarpus gracilis 14. Elateriospermum tapos 15. Koompassia mallacensis

7 Gambar 10. Profil arsitektur pohon (40 x 20 m) vegetasi hutan bekas ladang Keterangan : 1. Alstonia scholaris 5. Stijrax benzoin 2. Metrosideros petiolata 6. Arthocarpus elastica 3. Eugenia cimini 7. Ficus drupace 4. Macaranga hypoleuca Ketersediaan Pakan Orangutan Sumatera Rehabilitan Persentase aktifitas orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47% untuk makan, 40% untuk beristirahat, 12% untuk menjelajah, dan sisanya untuk melakukan interaksi sosial. Untuk memperoleh makanannya orangutan mencari apa saja makanan yang bisa dimakannya, karena orangutan termasuk satwa yang oportunis. Menurut Meijaard et al, (2001) dalam melakukan aktifitas makannya, orangutan umumnya memilih jenis pakan yang paling disukainya. Pada saat musim buah orangutan dapat memilih makanan yang paling disukainya untuk dimakan, tetapi pada saat tidak musim buah orangutan memakan apa saja yang dijumpainya. Makanan pokok orangutan adalah buah. Berdasarkan data dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, komposisi persentase jenis makanan orangutan adalah buah (60%), daun (25%), kulit batang (15%), serangga (10%) dan lain-lain (2%). Untuk mengetahui mengenai jenis pakan orangutan sumatera dilakukan dengan mengamati perilaku makan orangutan di dalam hutan yaitu dengan mencatat jenis tumbuhan yang dimakan dan bagian yang dimakan oleh

8 orangutan dan dilakukan juga dengan wawancara kepada staf pusat reintroduksi orangutan sumatera. Berdasarkan hasil tersebut jenis jenis pakan orangutan sumatera rehabilitan adalah seperti pada tabel 2. Tabel 2. Jenis tumbuhan pakan orangutan sumatera rehabilitan di lokasi penelitian No Nama lokal Spesies Famili 1 Bacang Hutan Mangifera foetida Anacardiaceae * 2 Tayas/ Pauh Mangifera gracilipes Anacardiaceae * 3 Kemang Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae * 4 Karau Canarium odoratum Annonaceae * Bagian tumbuhan yang dimakan Buah Daun Kulit kayu 5 Rotan manau Calamus manan Arecaceae * * * 6 Rotan Daemonorops angustifolia Arecaceae * * * 7 Susuh sawah Pothos oxyphyllus Arecaceae * * 8 Aren Arenga pinnata Arecaceae * * 9 Durian Durio zibetinus Bombacaceae * 10 Durian Hutan Durio graviolens Bombacaceae * 11 Durian burung Durio carinatus Bombacaceae * 12 Biluluk kayu Santiria rostata Burseraceae * 13 Kedondong Santiria costata Burseraceae * 14 Kuduk Biawak Santiria incurvata Burseraceae * 15 Asam Keranji Diallium platysepalum Caesalpiniaceae * 16 Keranji Siphonodon celastrinus Celastraceae * 17 Bayo Terminalia myriocarpa Combretaceae * 18 Ludai Sapium bacatum Euphorbiaceae * 19 Tampui Baccaurea bracteata Euphorbiaceae * 20 Tampui Kura-kura Baccaurea parviflora Euphorbiaceae * 21 Silima tahun Baccaurea stipulata Euphorbiaceae * 22 Rambai utan Baccaurea macrocarpa Euphorbiaceae * 23 Tapus Elatateriospermum tapos Euphorbiaceae * 24 Mempening Lithocarpus ewiychii Fagaceae * 25 Kandis Garcinia mangostacarpa Guttiferae * 26 Medang Phoebe lanceolata Lauraceae * 27 Kulalui Baringtonia scortechinii Lecythidaceae * 28 Liana kupu-kupu Sphatolobus ferrugenius Leguminosae * 29 Duku Hutan Lansium argentea Meliaceae * 30 Langsat rimba Dysoxylum lanrinum Meliaceae * 31 Bekang Dysoxylum cauliflorum Meliaceae * 32 Jengkol Archidendron pauciflorum Mimosaceae * 33 Kabau Archidendron bubalinum Mimosaceae * 34 Petai Parkia singolaris Mimosaceae * * Stem/ umbut Bunga 35 Sebekal Fordia johorensis Mimosaceae * *

9 No Nama lokal Spesies Famili Bagian tumbuhan yang dimakan Buah Daun Kulit kayu 36 Ipuh Antiaris toxicaria Moraceae * * 37 Cempedak hutan Arthocarpus kemando Moraceae * 38 Terap Arthocarpus elastica Moraceae * * 39 Grupel Arthocarpus gomezianus Moraceae * * 40 Aro Semantung Ficus oblongifolia Moraceae * 41 Arou Ficus drupace Moraceae * 42 Akar aro pencekik Ficus deltoidea Moraceae * 43 Ficus Ficus obscura Moraceae * 44 Ficus Ficus sundaica Moraceae * 45 Ficus Ficus altissima Moraceae * 46 Kepinis Sloetia elongata Moraceae * 47 Kulim Scorodocarpus borneensis Olacaceae * 48 Akar Keketen Drymoglossolum piloselloides Polypodiaceae * 49 Jirak Adina minutiflora Rubiaceae * * 50 Kelampayan Anthocephalus cadamba Rubiaceae * 51 Silanglungka Anthocepalus chinensis Rubiaceae * 52 Bidaro Dimocarpus longan Sapindaceae * 53 Kasai Pometia pinnata Sapindaceae * 54 Rambutan Nephellium lappaceum Sapindaceae * 55 Rambutan Hutan Nephellium junglandifolium Sapindaceae * 56 Poru Sandoricum spp Sapindaceae * 57 Bayur Pterospermum macrophylla Sterculiaceae * 58 Jelatang Laportea sinuata Urticaceae * Stem/ umbut Bunga Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar orangutan memakan bagian tumbuhan yang berupa buah. Jenis yang paling banyak dimakan adalah tumbuhan dari famili Moraceae dan Sapindaceae, hal ini karena pohon dari famili Moraceae dan Sapindaceae menghasilkan buah dengan rasa yang manis sehingga disukai oleh orangutan. Selain hal tersebut juga pohon jenis ficus dari famili Moraceae adalah jenis pohon yang berbuah hampir sepanjang tahun. Selain memakan tumbuhan, pada saat pengamatan juga dijumpai orangutan memakan madu dengan cara merusak sarang lebah yang menempel pada pohon kemudian mengambil madunya Kepadatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada 12 jalur pengamatan sepanjang 19,5 km yang mewakili areal seluas 41,04 ha pada tiga tipe vegetasi

10 yang berbeda ditemukan sebanyak 102 sarang orangutan rehabilitan. Pada jalur X yaitu pada tipe vegetasi hutan sekunder bekas tebangan ditemukan jumlah sarang paling tinggi yaitu 37 sarang, sedangkan pada jalur RK-AN dan Jalur AS pada tipe vegetasi hutan alam primer tidak ditemukan sarang orangutan. Untuk kepadatan sarang orangutan per jalur, kepadatan tertinggi terdapat pada jalur Ld yaitu masing-masing nilainya adalah kepadatan sarang rata-rata sebesar 15,2 sarang per hektar dan kepadatan sarang maksimum sebesar 6,7 sarang per hektar. Tabel 3. Kepadatan sarang orangutan rehabilitan pada jalur pengamatan Nama Jalur Tipe vegetasi Rata-rata jarak sarang (m) Maksimum jarak sarang (m) Jumlah sarang Panjang jalur (m) Luas Jalur (ha) Maks Ratarata Kepadatan sarang (sarang/ha) Ratarata Maks S. Pao Pao HSBT 10, ,36 7,20 2,1 1,3 Jalur H-KL2 HSBT 10, ,24 5,12 2,5 1,6 Jalur R HSBT 16, ,62 5,04 0,4 0,4 Jalur M HSBT 20, ,00 8,00 0,1 0,1 Jalur KL1 HSBT 8, ,20 4,00 0,9 0,8 S. Blantik HSBT 6, ,70 9,00 1,9 0,6 Jalur X HSBT 10, ,62 10,80 10,2 3,4 Jalur SL HSBL 5, ,95 6,29 9,8 3,0 Jalur Ld HSBL 6, ,05 2,40 15,2 6,7 Jalur YT HAP 12, ,56 2,60 1,3 0,8 Jalur RK-AN HAP 10,54 18, ,37 5,89 0,0 0,0 Jalur AS HAP 10,54 18, ,37 5,89 0,0 0,0 Jumlah ,04 72,23 2,5 1,4 Keterangan : HSBT : Hutan sekunder bekas tebangan HSBL : Hutan sekunder bekas ladang HAP : Hutan alam primer Untuk Kepadatan sarang orangutan per tipe vegetasi didapatkan hasil yaitu dengan kepadatan tertinggi terdapat pada hutan sekunder bekas ladang masingmasing nilainya adalah kepadatan sarang rata-rata sebesar 25 sarang per hektar dan kepadatan sarang maksimum adalah 9,7 sarang per hektar sedangkan kepadatan sarang terendah terdapat pada vegetasi hutan alam primer yaitu kepadatan sarang rata-rata sebesar 1,3 sarang per hektar dan kepadatan sarang maksimum adalah 0,8 sarang per hektar.

11 Tabel 4. Kepadatan sarang orangutan rehabilitan berdasarkan tipe vegetasinya Tipe Vegetasi Jumlah sarang Panjang Jalur (m) Luas Jalur (ha) Kepadatan sarang (sarang/ha) Rata-rata Maks Rata-rata Maks Hutan sekunder bekas tebangan ,74 49,16 18,1 8,1 Hutan sekunder bekas ladang ,00 8, ,7 Hutan alam primer ,31 14,38 1,3 0,8 Distribusi sarang orangutan sumatera rehabilitan di lokasi penelitian sebagian besar terdapat hutan sekunder bekas tebangan dan hutan sekunder bekas ladang, sedangkan di hutan alam primer terdapat sedikit penyebaran sarang orangutan. Sarang orangutan yang berada di hutan alam primer sudah masuk ke dalam kawasan TNBT, tetapi sebagian besar berada diluar kawasan taman nasional. Persentase distribusi sarang Hutan sekunder bekas tebangan; 63,7% Hutan alam primer; 2% Hutan sekunder bekas ladang; 34,3% Gambar 11. Persentase distribusi sarang orangutan di lokasi penelitian

12 Gambar 12. Peta distribusi sarang orangutan sumatera rehabilitan Kelas Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Sarang orangutan memilki durasi ketahanan sarang yang didasarkan atas umur sarang yang dibagi menjadi empat kelas sarang, mulai dari kelas satu yaitu sarang yang umurnya paling baru sampai kelas empat yaitu sarang yang memilki umur paling lama. Berdasarkan hasil pengamatan sarang orangutan yang ditemukan maka yang memiliki persentase paling tinggi adalah kelas sarang dua

13 dengan nilai sebesar 52,9% dan persentase terendah terdapat pada kelas sarang empat yaitu dengan nilai 5,9%. % Kelas sarang orangutan 60,0 50,0 Kelas Sarang 1 52,9 Kelas Sarang 2 40,0 Kelas Sarang 3 30,0 Kelas Sarang 4 20,0 24,5 16,7 10,0 5,9 0,0 Gambar 13. Persentase kelas sarang orangutan Posisi Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Pada umumnya posisi sarang orangutan dekat dengan puncak pohon seperti pada Gambar 9. dapat dilihat pada hasil pengamatan bahwa orangutan membangun sarang sekitar empat meter dibawah puncak pohon dan biasanya dibangun pada beberapa posisi yang berbeda pada pohon. Bentuk dasar utama sarang orangutan ini diklasifikasikan dalam empat posisi. Pada pengamatan sarang orangutan yang dilakukan didapatkan bahwa posisi sarang dua memiliki persentase paling tinggi yaitu 53,9%, akan tetapi posisi sarang empat tidak mendapat nilai yaitu 0%. Gambar 14. Sarang orangutan yang dibangun pada puncak pohon (posisi 3)

14 60,0 % Posisi sarang orangutan 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 19,6 53,9 26,5 Posisi Sarang 1 Posisi Sarang 2 Posisi Sarang 3 Posisi Sarang 4 0,0 0,0 Gambar 15. Persentase posisi sarang orangutan ,1 Tinggi (m) ,95 Tinggi Pohon Sarang Tinggi Sarang 5 0 Rata -rata tinggi pohon sarang dan tinggi sarang orangutan pada pohon Gambar 16. Perbandingan rata-rata tinggi pohon sarang dan tinggi sarang orangutan pada pohon Jenis Pohon Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terdapat 47 jenis pohon yang digunakan oleh orangutan untuk membangun sarang. Jenis pohon yang digunakan oleh orangutan untuk membangun sarang yang paling tinggi persentasenya adalah pohon Barangan dan Silanglungka dengan nilai sebesar 6,86%, sedangkan untuk selanjutnya adalah pohon Bidaro, Kasai, dan Kelampayan dengan masing masing nilainya sebesar 4,9%.

15 Tabel 5. Jenis pohon yang dipakai orangutan untuk membangun sarang. Nama lokal Spesies Famili Persentase pohon sarang (%) Barangan Castanopsis argentea Fagaceae 6,86 Silanglungka Anthocepalus chinensis Rubiaceae 6,86 Bidaro Dimocarpus longan Sapindaceae 4,90 Kasai Pometia pinnata Sapindaceae 4,90 Kelampayan Anthocephalus cadamba Rubiaceae 4,90 Genditi 3,92 Kemang Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae 3,92 Medang Litsea odorifera Lauraceae 3,92 Mersawa Anisoptera marginata Dipterocarpaceae 3,92 Poru Sandoricum spp Meliaceae 3,92 Sigendel 3, Durasi Pembuatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Orangutan untuk kenyamanan tidurnya menggunakan sarang yang dibuat dengan menyusun dahan dan ranting serta menambahkan daun daunan sebagai alasnya, sarang untuk tidur ini dibangun oleh orangutan sendiri tapi kadang kadang orangutan membangun kembali sarang yang sudah ada atau menggunakan kembali sarang yang sudah ada, baik sarang orangutan tersebut maupun sarang individu orangutan lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa rata rata durasi pembuatan sarang malam orangutan adalah 3 menit 51 detik, dengan durasi pembuatan sarang terpendek adalah 2 menit 15 detik dan durasi pembuatan sarang terpanjang adalah 5 menit 25 detik. Orangutan yang diamati tercatat paling awal membangun sarang pada pukul 16:48 WIB dan terakhir membangun sarang pada pukul 18:05 WIB. Tabel 6. Durasi pembuatan sarang malam orangutan sumatera rehabilitan Individu orangutan Kelas umur Jenis Kelamin Durasi pembuatan sarang (menit) Mona Remaja Betina 2:37 Roberta Remaja Betina 5:25 5:13 Jenggo Remaja Jantan 4:39 3:33 4:53 Caroline Anakan Betina 4:02 2:47 2:14 2:35 Cut Anakan Betina 4:08 2:30 4:26 4:47 Winto Anakan Betina 4:19 3:33

16 5.1.3 Jelajah Harian Orangutan Sumatera Rehabilitan Dari total 18 hari pengamatan yang dilakukan, dapat ditentukan bahwa rata rata jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan adalah sejauh 463,8 m per hari. Sedangkan untuk jelajah harian terpendek adalah sejauh 206 m per hari dan jelajah harian terpanjang adalah sejauh 732 m per hari. Individu orangutan yang diamati kesemuanya adalah berjenis kelamin betina dan masih anakan yaitu berumur antara 4 5 tahun. Estimasi luas jelajah orangutan sumatera rehabilitan dengan metode polygon seluas 23,159 ha dengan luas jelajah terkecil 7,407 ha dan luas jelajah terbesar 51,377 ha. Panjang jelajah seekor orangutan dalam sehari sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakannya di dalam hutan. Gambar 17. Peta luas jelajah orangutan sumatera rehabilitan

17 Panjang jelajah harian (m) Caroline Cut Winto Gambar 18. Panjang jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan Gambar 19. Peta jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan

18 5.2 PEMBAHASAN Kondisi Habitat Orangutan Sumatera Rehabilitan Secara umum kondisi habitat di lokasi penelitian masih cukup baik karena faktor faktor utama yang dibutuhkan orangutan untuk bertahan hidup masih tersedia dalam jumlah yang cukup, faktor faktor tersebut antara lain adalah ketersediaan pakan, ketersediaan air, dan cover sebagai tempat berlindung dan pergerakannya serta untuk tempat bersarang. Pada saat pengamatan dilakukan, orangutan jarang turun ke tanah untuk minum. Untuk mendapatkan air orangutan mengambil air dari lubang pohon yang berisi air yaitu dengan memasukkan tangannya ke lubang pohon, selain itu orangutan juga mendapatkan air dari buah yang dimakannya. Orangutan sebenarnya tidak terlalu membutuhkan habitat yang terlalu spesifik karena orangutan dapat bertahan hidup baik di hutan alami maupun yang sudah terganggu, asal ketersediaan pakan bagi orangutan tersedia dalam jumlah yang cukup dan berkelanjutan. Tetapi dalam ekologi alaminya orangutan membutuhkan keanekaragaman jenis pakan yang tinggi yang tidak tersedia di habitat hutan terganggu, keanekaragaman pakan dibutuhkan orangutan untuk menunjang kebutuhan pakannya sepanjang tahun karena pada beberapa jenis pohon berbuahnya pada musim tertentu saja. Selain itu, jika orangutan sakit maka orangutan akan makan bagian tumbuhan tertentu yang berfungsi untuk penyembuhan sakitnya dan tumbuhan tersebut hanya terdapat pada vegetasi dengan keanekaragaman tinggi sehingga habitat yang ideal bagi orangutan adalah di habitat hutan alami yang belum terganggu Struktur dan Komposisi Vegetasi Pada tiga tipe vegetasi hutan yang ada dilokasi penelitian yaitu hutan alam primer, bekas tebangan, dan bekas ladang ketiganya merupakan termasuk hutan dataran rendah yang berada pada ketinggian meter dpl. Secara umum ketiga tipe vegetasi merupakan hutan perbukitan dengan topografi yang curam yang memiliki kelerengan rata-rata diatas 40%, kecuali pada tipe vegetasi hutan sekunder bekas ladang yang memiliki topografi yang datar sehingga oleh

19 masyarakat digunakan untuk perladangan dan berkebun dengan ditanami jenis tanaman seperti padi, ketela pohon, dan karet. Pada tingkat pertumbuhan pohon tipe vegetasi hutan alam primer memiliki jumlah jenis tertinggi dengan 38 jenis, kemudian hutan sekunder bekas tebangan dengan jumlah jenis 34 jenis dan jumlah jenis terendah pada hutan sekunder bekas ladang dengan 17 jenis, hal ini disebabkan karena hutan alam primer vegetasinya masih belum terganggu oleh manusia sedangkan pada hutan sekunder bekas ladang memilki tingkat kerusakan paling tinggi karena untuk membuka ladang yang lebih dahulu dilakukan adalah pembersihan lahan dengan menebang semua pohon pada lahan yang akan dibuka kemudian dilakukan pembakaran untuk membersihkan sisa semak belukar dan sisa pembakaran sebagai pupuk pada tanaman. Setelah ladang ini tidak produktif lagi maka masyarakat akan membuka lagi lahan yang baru untuk berladang, setelah ladang ini ditinggal maka akan terjadi suksesi dan yang pertama tumbuh adalah semak belukar dan jenis jenis pohon pionir dari genus macaranga, sehingga pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang ini memiliki strata tajuk yang seragam dengan ketinggian tajuk kurang dari 25 meter Cover Cover merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat orangutan yang digunakan sebagai tempat berlindung dan sarana pergerakan orangutan. Struktur vegetasi hutan seperti kerapatan tutupan tajuk merupakan bentuk cover bagi orangutan terhadap sengatan sinar matahari. Strata tajuk pada vegetasi hutan alam primer dan hutan sekunder bekas tebangan secara kualitatif memiliki strata tajuk yang lengkap yaitu meliputi tajuk utama atau strata atas (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m), lapisan tajuk bawah (4-10 m) dan semak belukar. Dengan kondisi strata tajuk yang berlapis dan kerapatan hutan yang tinggi maka memudahkan orangutan dalam mencari makan dan juga pergerakannya karena untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain orangutan menggunakan dahan pohon yaitu dengan memanfaatkan berat tubuhnya.

20 Dalam pergerakannya orangutan juga banyak memanfaatkan tumbuhan liana yang menempel dan menggantung pada pohon, tumbuhan liana ini sangat banyak ditemukan pada lokasi penelitian terutama pada vegetasi hutan alam primer dan vegetasi hutan sekunder bekas tebangan tetapi sedikit ditemukan pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang disebabkan karena pohon pohon pada hutan sekunder bekas ladang tidak mempunyai struktur tajuk yang lengkap dengan sejumlah kecil pohon yang mempunyai kanopi di atas 25 meter, hal ini juga menyebabkan pada siang hari di vegetasi hutan sekunder bekas ladang terasa lebih panas jika dibandingkan dengan hutan alam primer dan bekas tebangan karena lebih banyak cahaya yang masuk pada lantai hutan. Dengan banyaknya cahaya yang masuk pada lantai hutan juga menyebabkan pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang banyak ditumbuhi oleh semak belukar dan tumbuhan bawah dengan sedikit ditumbuhi oleh semai/ anakan pohon, hal ini berbeda dengan vegetasi hutan alam primer dan bekas tebangan yang mempunyai lantai hutan yang cukup bersih dan sedikit ditumbuhi semak belukar Ketersediaan Pakan Orangutan Sumatera Rehabilitan Untuk ketersediaan pakan orangutan di lokasi reintroduksi masih cukup tersedia apalagi pada saat terjadi musim buah maka orangutan akan memilih buah yang disukainya dan apabila tidak terjadi musim buah maka orangutan akan makan apa saja makanan yang ditemuinya karena orangutan termasuk satwa yang oportunis juga. Jika sedang tidak terjadi musim buah maka masih cukup tersedia juga makanan bagi orangutan yaitu orangutan masih dapat makan buah ficus dan liana yang banyak terdapat di lokasi reintroduksi karena jenis tumbuhan ini berbuah hampir sepanjang tahun, selain itu orangutan juga makan stem atau umbut rotan pada saat tidak terjadi musim buah. Orangutan untuk memenuhi kebutuhan energinya harus makan minimal 10% dari bobot tubuhnya dan orangutan 60% komposisi makanannya berupa buah, misalnya saja jika persentase komposisi makanannya yang tertinggi adalah daun maka kebutuhan gizi orangutan akan kurang terpenuhi, karena kandungan gizi daun lebih rendah dibandingkan dengan buah.

21 5.2.2 Kepadatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Orangutan untuk setiap hari untuk mengakhiri aktivitasnya melakukan tidur pada waktu menjelang malam hari dengan terlebih dahulu membangun sarang di atas pohon, yaitu dengan mematahkan dan melipat dahan serta ranting pohon, kemudian menambahkan daun beserta rantingnya di atas kerangka sarang. Untuk bersarang orangutan tidak terlalu melakukan pemilihan tempatnyaa, apabila malam hari telah menjelang maka orangutan akan segera menghentikan aktivitasnya kemudian akan mencari pohon yang cocok untuk membangun sarang. Biasanya orangutan akan membangun sarang yang dekat dengan pohon sarang atau bahkan di pohon sarangnya, hal ini dilakukan agar keesokan harinya orangutan dapat langsung makan tanpa harus jauh mencari pakannya. Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap sarang orangutan di tiga tipe vegetasi ditemukan sebanyak 102 buah sarang orangutan dengan persentase hutan alam primer 2%, hutan sekunder bekas ladang 34,3% dan hutan sekunder bekas tebangan 63,7%. Untuk kepadatan sarang orangutan per tipe vegetasi didapatkan hasil yaitu dengan kepadatan tertinggi terdapat pada hutan sekunder bekas ladang dengan nilai kepadatan rata-rata sebesar 25 sarang per hektar, kemudian yang kedua pada vegetasi hutan sekunder bekas tebangan dengan nilai kepadatan rata-rata sebesar 18,1 sarang per hektar sedangkan kepadatan sarang terendah terdapat pada vegetasi hutan alam primer yaitu dengan kepadatan sarang rata-rata sebesar 1,3 sarang per hektar. Hal ini disebabkan karena lokasi tipe vegetasi hutan sekunder bekas ladang dan bekas tebangan jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat reintroduksi orangutan, sebab yang lain vegetasi hutan sekunder bekas ladang memiliki kepadatan orangutan tertinggi ialah lokasi ini digunakan oleh petugas pusat reintroduksi untuk menyekolahkan orangutan atau mengenalkan orangutan dengan habitat alaminya kemudian diajarkan mengenai tumbuh tumbuhan yang bisa dimakan orangutan lalu diajarkan juga cara membangun sarang orangutan, dalam menyekolahkan orangutan ini dilakukan secara bersama sama oleh beberapa individu orangutan agar orangutan yang lebih terampil dapat mengajarkan pengetahuannya kepada individu orangutan yang lain. Vegetasi pada hutan sekunder bekas ladang dan bekas tebangan memiliki topografi yang relatif

22 datar bila dibandingkan dengan hutan alam primer karena orangutan lebih menyukai tempat terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai. Lokasi pengambilan contoh pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang memiliki luasan yang kecil bila dibandingkan dengan hutan alam primer dan bekas tebangan hal ini disebabkan karena memang hanya di lokasi ini yang terdapat vegetasi hutan sekunder bekas ladang Kelas Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Sarang orangutan yang dijumpai pada saat pengamatan dilakukan mempunyai umur sarang yang bermacam macam, mulai dari sarang baru yang berumur kurang dari satu minggu sampai sarang lama yang umurnya lebih dari enam bulan. Ketahanan suatu sarang orangutan sangat bervariasi yang biasanya dipengaruhi oleh iklim (cuaca, suhu udara, kelembaban, dan angin) dan struktur bahan penyusun sarang orangutan. Misalnya suatu sarang orangutan dibangun pada saat yang sama, tetapi menggunakan jenis pohon yang berbeda dan setelah itu diamati seminggu kemudian maka mungkin saja akan mendapatkan hasil yang berbeda yaitu didapatkan nilainya kelas sarang satu dan kelas sarang dua. Hal ini karena sarang yang pertama dibangun pada pohon yang mempunyai tipe daun tebal dan tidak mudah kering akan masuk pada kelas sarang satu, sedangkan sarang yang kedua dibangun pada pohon yang tipe daunnya tipis dan cepat kering maka sarang yang kedua ini akan masuk kelas sarang dua. Sehingga dari ilustrasi tersebut maka tidaklah mudah untuk menduga suatu umur sarang orangutan yang sebenarnya. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian didapatkan bahwa yang mempunyai persentase tertinggi adalah kelas sarang dua, lalu kelas sarang tiga, kemudian kelas sarang satu, dan yang mempunyai persentase terendah ialah kelas sarang empat. Kelas sarang dua mempunyai persentase tertinggi disebabkan karena kriteria kriteria pada kelas sarang dua mempunyai cakupan yang paling besar untuk menentukan kelas sarang orangutan dibandingkan dengan kelas sarang yang lain. Untuk mengetahui apakah suatu kumpulan daun daunan itu sebuah sarang orangutan tidaklah mudah, karena bisa saja hal tersebut adalah sebuah pakis atau epifit yang menempel pada cabang

23 pohon, atau bisa juga sarang satwa lain selain orangutan (burung dan hewan pengerat) atau bahkan bisa juga hanya sebuah ranting pohon yang patah dan tersangkut pada cabang pohon. Maka untuk menghindari salah identifikasi tersebut digunakan binokuler untuk melihat lebih dekat kepada sarang yang diamati agar tidak salah dalam identifikasi. Umumnya untuk membedakan sarang orangutan dari kemungkinan yang lain ialah sarang orangutan mempunyai struktur sarang yang tersusun dari patahan atau bengkokan ranting pohon yang berfungsi sebagai kerangka sarang orangutan, kemudian ditambah dengan lapisan daun daunan pada atas kerangka, dan terakhir ditambah beberapa elemen seperti bantal pada salah satu sisinya. Menurut Wich et al, (2009) dalam membangun sarangnya, orangutan mengikuti beberapa tahapan yaitu pertama memilih pohon sarang yang digunakan untuk bersarang; kedua membuat pondasi sarang yaitu orangutan menarik beberapa ranting besar untuk dikumpulkan menjadi satu titik dibawahnya, lalu dibengkokkan ranting tersebut dan ditambah beberapa ranting, aksi ini dilakukan untuk membentuk pola seperti kupu kupu; ketiga membuat lapisan matras, setelah pondasi selesei lalu orangutan membengkokkan beberapa ranting kecil yang banyak daunnya sebagai lapisan matras; keempat mengunci sarang yang merupakan bagian terakhir dalam membangun sarang yaitu orangutan menjalin ranting saat berdiri diatas sarang; kelima menambahkan elemen khusus yaitu untuk kenyamanan sarangnya orangutan menambah beberapa fitur seperti bantal, lapisan selimut, atap, atau tempat tidur tambahan yang kedua. Dengan sedikitnya jumlah kelas sarang satu yaitu kelas sarang orangutan yang baru maka dapat diketahui bahwa jumlah orangutan yang sedang berada di sekitar lokasi penelitian pada saat dilakukan pengambilan data jumlahnya rendah. Hal ini disebabkan karena pada saat dilakukan pengambilan data musim berbuah pepohonan hutan tidak sedang terjadi sehingga orangutan lebih menyebar ke dalam hutan untuk mencari makanannya dan juga makan umbut/ stem rotan sebagai pengganti buah.

24 Posisi Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Orangutan dalam membangun sarangnya di pohon biasanya posisinya dekat dengan puncak pohon, dari hasil pengamatan didapatkan sekitar empat meter di bawah puncak pohon, hal ini dilakukan karena untuk menghindari satwa pemangsa yang ada di atas tanah seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan babi berjanggut (Sus barbatus) pada waktu orangutan sedang tidur di malam hari. Untuk posisi sarang orangutan berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan yang mempunyai persentase tertinggi ialah posisi dua yaitu posisi sarang yang berada di ujung dahan jika dilihat dari batang utama pohon hal ini dikarenakan pada ujung dahan pohon terdapat banyak cabang pohon dan bagian ujung dahan merupakan bagian pada pohon yang paling banyak dedaunannya, sehingga dengan banyaknya cabang dan dedaunan akan mempermudah orangutan dalam membangun sarang. Sedangkan untuk posisi sarang empat tidak ditemukan pada saat pengamatan, hal ini karena posisi empat merupakan posisi sarang orangutan dengan menggabungkan ujung dahan beberapa pohon sehingga bagi orangutan rehabilitan masih cukup susah untuk dilakukan. Selain itu karena sebagian besar kawasan reintroduksi merupakan areal bekas konsesi HPH, maka jarak antar pohonnya tidak terlalu rapat Jenis Pohon Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Orangutan untuk mengakhiri aktivitas hariannya dilakukan dengan tidur diatas pohon dengan sebelumnya membangun sarang terlebih dahulu. Orangutan mulai membangun sarang saat matahari mulai terbenam, biasanya orangutan juga membangun sarang tidak terlalu jauh dari pohon pakannya, hal ini dilakukan orangutan untuk mempermudah dalam aktivitasnya di keesokan harinya. Dari jumlah 47 jenis pohon sarang yang ditemukan, 19 jenis pohon merupakan pohon sumber pakan bagi orangutan tetapi sebagian besar hanya pohon buah potensial yaitu orangutan bersarang pada saat pohon tidak sedang berbuah. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui juga bahwa orangutan kadang kadang bersarang pada pohon pakannya, karena pada saat pengamatan dilakukan terlihat bahwa orangutan yang bersarang pada pohon pakannya tetap melakukan makan saat berada di sarangnya yaitu dengan memetik atau mematahkan ranting yang

25 banyak terdapat buah pakan kemudian orangutan membawa buah yang dipetiknya kedalam sarang untuk dimakan sambil orangutan berbaring di sarangnya. Tetapi menurut Sugardjito (1983) orangutan akan menghindari pohon yang sedang musim berbuah untuk bersarang karena pohon yang berbuah akan mengundang satwa lain untuk datang yang mungkin akan mengganggu orangutan atau bahkan akan memangsa orangutan saat sedang tidur, satu alasan yang logis adalah menghindari pemangsaan. Pemilihan pohon sarang orangutan juga dapat dilihat dari tipe arsitektur pohonnya, karena orangutan lebih suka membangun sarangnya pada ujung dahan pohon yang banyak terdapat ranting dan dedaunan sehingga mempermudah orangutan dalam membangun sarangnya. Contoh pada (gambar 20.) merupakan beberapa tipe arsitektur pohon oleh Halle et al, (1978) dalam Wich et al, (2009); tipe Roux dan Massart merupakan tipe arsitektur pohon yang paling banyak digunakan oleh orangutan di Tuanan, Kalimantan Tengah untuk membangun sarangnya. Gambar 20. Tipe arsitektur pohon oleh Halle et al, (1978) Durasi Pembuatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan Orangutan sumatera rehabilitan dalam tidurnya di malam hari selalu menggunakan sarang tidur di atas pohon, baik yang membangun sarang sendiri, membangun kembali sarang yang telah ada maupun hanya menggunakan kembali sarang yang telah ada. Orangutan juga membangun sarang untuk digunakan sebagai sarang istirahat pada waktu siang hari, tetapi sarang siang ini biasanya kurang kokoh jika dibandingkan dengan sarang malam dan juga tidak terdapat bantal serta elemen pendukung sarang yang lainnya, akibatnya terdapat perbedaan

26 yang cukup tinggi dalam penggunaan waktunya untuk membangun sarang (Wich et al, 2009). Tabel 7. Durasi pembuatan sarang orangutan pada beberapa lokasi penelitian (Wich et al, 2009). Lokasi Pulau - subspesies Durasi pembuatan sarang (menit) Sarang malam Sarang siang Kinabatangan Kalimantan - P. p.morio 7? Tuanan Kalimantan - P. p.wurmbii 7:28 2;55 Sebangau Kalimantan - P. p.wurmbii 8:58 2:79 Ketambe Sumatera - P. abelii 7:49 3:05 Suaq Belimbing Sumatera - P. abelii 8:09 2:19 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian didapatkan bahwa rata rata durasi pembuatan sarang malam orangutan sumatera rehabilitan ialah 3 menit 51 detik dan durasi pembuatan sarang malam terpanjang hanya 5 menit 25 detik, hal ini karena orangutan dilokasi penelitian merupakan orangutan yang belum dewasa, yaitu dengan kelas umur anakan dan remaja sehingga ukuran tubuhnya lebih kecil bila dibandingkan orangutan dewasa. Dengan semakin kecil ukuran tubuh orangutan maka sarang yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar sehingga durasi pembuatan sarangnya lebih pendek bila dibandingkan dengan orangutan yang berada di lokasi penelitian yang lain. Sebab yang lain ialah orangutan di lokasi penelitian merupakan orangutan hasil rehabilitasi, sehingga ketrampilannya juga lebih rendah bila dibandingkan dengan orangutan liar Jelajah Harian Orangutan Sumatera Rehabilitan Pergerakan harian orangutan dipengaruhi oleh ketersediaan pakannya didalam hutan terutama ketersediaan buah sebagai komposisi utama dari makanannya. Hubungan dengan kepadatan orangutan menunjukkan bahwa orangutan berkumpul pada area dimana produksi buahnya maksimum, hal ini sering ditunjukkan pada penelitian di Ketambe (Sugardjito et al, 1987) dimana terdapat sembilan ekor orangutan tertarik untuk makan buah ara atau ficus pada saat yang sama (Rijksen, 1978). Pada saat penelitian dilakukan, ditemukan juga

27 empat individu orangutan yang makan buah mangga hutan pada saat yang bersamaan. Rata rata jelajah harian orangutan dari masing masing individu adalah 465 meter yaitu antara meter. Dalam jelajah harian ini orangutan melakukannya untuk mencari makan, jika orangutan telah menemukan pohon pakan dengan jumlah yang cukup maka orangutan akan berhenti dan makan di pohon tersebut dengan waktu yang lama sampai orangutan merasa cukup kenyang, lalu akan berhenti untuk istirahat atau tidur siang dan akan dilanjutkan kembali setelah selesei beritirahat. Orangutan akan berpindah ke pohon yang lain jika buah atau materi pakan di pohon telah habis atau jika orangutan telah merasa bosan. Tabel 8. Panjang jelajah harian betina dewasa pada beberapa lokasi (dengan standar deviasi pada tanda kurung) berdasarkan Wich et al.,2009. Kinabatangan Sabangau Tuanan Tanjung Puting Gunung Palung Suaq Belimbing Ketambe Pulau dan subspesies K-morio K-wurmbii K-wurmbii K-wurmbii K-wurmbii Sumatera Sumatera Betina aktif secara seksual (471) (368) 722(293) Induk (355) 833(306) 675(282) Dari hasil penelitian jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan yang telah diperoleh, jika dibandingkan dengan lokasi penelitian orangutan di sumatera maka jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan di lokasi penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan orangutan sumatera di Suaq Belimbing dan Ketambe. Hal ini karena orangutan rehabilitan masih dalam tahap sosialisasi dan belajar sehingga kemampuan menjelajah dan mencari makannya masih kurang dibanding orangutan liar. Selain itu juga pada waktu pengambilan data dilakukan, dilokasi penelitian sedang tidak terjadi musim buah sehingga bagi orangutan yang baru direintroduksi untuk mendapatkan makanannya cukup sulit. Orangutan yang diamati merupakan orangutan yang direintroduksi dengan kurang dari enam bulan, jadi untuk menghindari kelaparan dan matinya orangutan maka pihak pengelola kadang kadang memberikan makanan tambahan berupa buah buahan budidaya seperti nanas, jeruk, jagung, dan ubi jalar. Makanan tambahan ini diberikan pada saat orangutan yang diamati sedikit memperoleh makanannya

28 di hutan dan jika orangutan yang diamati mendapatkan cukup makanan maka tidak diberikan makanan tambahan kepada orangutan yang diamati. Makanan tambahan diberikan pada sore hari menjelang orangutan membangun sarang yaitu sekitar jam 16:30 WIB sehingga pergerakan hariannya tidak terganggu oleh pemberian makanan tambahan. Tetapi dengan jika terlalu sering memberikan makanan tambahan kepada orangutan maka orangutan bisa menjadi ketergantungan pada pemberian makanan tambahan yang dapat berpengaruh juga pada hasil jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan karena orangutan sudah mengetahui dan terbiasa jika diberikan makanan tambahan pada sore hari. Makanan tambahan juga diberikan jika ketersediaan buah dalam hutan sedikit sehingga orangutan hanya makan makanan berupa daun daunan pohon dan umbut rotan yang gizinya lebih rendah jika dibandingkan dengan buah buahan hutan.

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Lampiran 2. Foto Objek Fokal Orangutan Dalam Penelitian Individu jantan dewasa Individu jantan remaja Individu betina dewasa Individu betina dewasa bersama anaknya Lampiran

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SARANG DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA REHABILITAN

DISTRIBUSI SARANG DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA REHABILITAN DISTRIBUSI SARANG DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA REHABILITAN (Pongo abelii Lesson, 1827) DI STASIUN REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA SUNGAI PENGIAN KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI HERY SUDARNO DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

Lampiran 2. Peta sebaran pohon pakan orangutan jantan dan betina dewasa (Jenggot dan Minah) berdasarkan ketinggian pohon (m dpl)

Lampiran 2. Peta sebaran pohon pakan orangutan jantan dan betina dewasa (Jenggot dan Minah) berdasarkan ketinggian pohon (m dpl) Lampiran 1. Peta sebaran pohon pakan Orangutan jantan dan betina dewasa (Jenggot dan Minah) berdasarkan kelas diameter pohon Lampiran 2. Peta sebaran pohon pakan orangutan jantan dan betina dewasa (Jenggot

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran dan Keragaman Jenis Tanaman Pada lokasi gunung parakasak, tidak dilakukan pembuatan plot vegetasi dan hanya dilakukan kegiatan eksplorasi. Terdapat

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT Species Diversity And Standing Stock In Protected Forest Area Gunung Raya Districts Ketapang

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran 1. Keadaan Geografis Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 33 Tahun 2007 dan diresmikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR A. Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan Kebakaran pada Kawasan Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada 104 27-104 54 BT dan 5 5-5 22 LS. KPHL Batutegi meliputi sebagian kawasan Hutan Lindung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA Jito Sugardjito Fauna & Flora International-IP Empat species Great Apes di dunia 1. Gorilla 2. Chimpanzee 3. Bonobo 4. Orangutan Species no.1 sampai

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

Kampus USU Medan 20155

Kampus USU Medan 20155 Analisis Karakteristik Pohon dan Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Analysis of the Trees and Nest Characteristics of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Bukit

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang, lipan, kaki seribu dan hewan mirip lainnya. Arthropoda adalah

Lebih terperinci

PENDUGAAN PRODUKTIVITAS POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) PADA KAWASAN PPOS (PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA), BUKIT LAWANG

PENDUGAAN PRODUKTIVITAS POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) PADA KAWASAN PPOS (PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA), BUKIT LAWANG PENDUGAAN PRODUKTIVITAS POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) PADA KAWASAN PPOS (PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA), BUKIT LAWANG Productivity Estimation of Sumatran Orangutan (Pongo abelii)

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan

Lebih terperinci

Pengalaman Melaksanakan Program Restorasi di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung 2007-2011

Pengalaman Melaksanakan Program Restorasi di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung 2007-2011 Pengalaman Melaksanakan Program Restorasi di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung 2007-2011 Kondisi Umum Sei Betung Hutan primer Sei Betung, memiliki keanekaragaman hayati yang

Lebih terperinci

TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN. Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan

TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN. Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan Tanggal : 29 Mei 2014 Posisi (GPS) waypoint permulaan jalur/transek : Akhir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI

BAB III KONDISI UMUM LOKASI BAB III KONDISI UMUM LOKASI 3.1 Letak Geografis dan Luas Areal Berdasarkan letak geografis, areal PT. SBK blok sungai Delang terletak pada posisi 01 24-01 59 Lintang Selatan dan 114 42-111 18 Bujur Timur,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 35 IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

KONDISI TEMPAT TUMBUH TEGAKAN ALAM Shorea leprosula, Shorea johorensis DAN Shorea smithiana. Oleh : Nilam Sari, Karmilasanti Dan Rini Handayani

KONDISI TEMPAT TUMBUH TEGAKAN ALAM Shorea leprosula, Shorea johorensis DAN Shorea smithiana. Oleh : Nilam Sari, Karmilasanti Dan Rini Handayani KONDISI TEMPAT TUMBUH TEGAKAN ALAM, DAN Shorea smithiana Oleh : Nilam Sari, Karmilasanti Dan Rini Handayani BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA SAMARINDA 203 PENDAHULUAN Pembangunan di bidang kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS. Oleh ABSTRAK

ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS. Oleh ABSTRAK ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS Oleh Rahayu Astuti 1, Merti Triyanti 2, Ivoni Susanti 3 1 Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2,3 Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau Email:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN

EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN Evaluation of Survival Plantation Try Species of Dipterocarpaceae in Carita Forest Resort Banten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman 41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis Tanaman Agroforestri Komposisi tanaman yang menjadi penyusun kebun campuran ini terdiri dari tanaman pertanian (padi, kakao, kopi, cengkeh), tanaman kayu,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Orangutan Sumatera Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu orang hutan. Orangutan Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan satu-satunya kera

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Siamang merupakan satwa liar yang termasuk dalam ordo Primata dari famili Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah dan Dasar Hukum Kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) ditunjuk untuk dijadikan sebagai lokasi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia berpotensi menjadi pemasok utama biofuel, terutama biodiesel berbasis kelapa sawit ke pasar dunia. Pada tahun 2006, Indonesia memiliki 4,1 juta

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis 33 KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Lokasi Geografis Daerah penelitian terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri berada di sebelah Tenggara dari Ibukota Kabupaten Bantul.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci