KEBERLANJUTAN DAMPAK PENYULUHAN GIZI TERHADAP PERILAKU GIZI IBU DAN KUALITAS PELAYANAN POSYANDU MERITA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBERLANJUTAN DAMPAK PENYULUHAN GIZI TERHADAP PERILAKU GIZI IBU DAN KUALITAS PELAYANAN POSYANDU MERITA"

Transkripsi

1 KEBERLANJUTAN DAMPAK PENYULUHAN GIZI TERHADAP PERILAKU GIZI IBU DAN KUALITAS PELAYANAN POSYANDU MERITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3

4

5 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Keberlanjutan Dampak Penyuluhan Gizi terhadap Perilaku Gizi Ibu dan Kualitas Pelayanan Posyandu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2013 Merita NIM.I

6 RINGKASAN MERITA. Keberlanjutan Dampak Penyuluhan Gizi terhadap Perilaku Gizi Ibu dan Kualitas Pelayanan Posyandu. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan HIDAYAT SYARIEF. Posyandu merupakan ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus gizi buruk di Indonesia. Secara kualitas, terdapat hambatan yang sering terjadi dalam pelaksanaan kegiatan posyandu yaitu lemahnya program Komunikasi Informasi dan Edukasi Gizi (KIE- Gizi) yang merupakan salah satu tumpuan dalam program gizi di posyandu. Disamping kualitas kader yang masih rendah karena pelatihan yang mereka terima masih kurang, juga tingkat pendidikan mereka relatif rendah sehingga kader tidak dapat memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu pengguna posyandu. Sehingga, Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah:(1) Mengidentifikasi karakteristik ibu balita dan balita di posyandu; (2) Menganalisis keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik (PSP) gizi ibu balita di posyandu; (3) Menganalisis hubungan riwayat kesehatan balita dengan status gizi balita; (4) Menganalisis hubungan peningkatan pengetahuan dan partisipasi kader di posyandu dengan kualitas pelayanan posyandu; (5) Menganalisis keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap kualitas pelayanan (service quality) posyandu dan; (6) Menganalisis keberlanjutan dari program penyuluhan gizi di posyandu. Desain dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimental. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dari Khomsan et al. (2012) yang bekerjasama dengan Nestle Foundation (NF) dengan judul a Multi-Approach Intervention to Empower Posyandu Nutrition Program to Combat Malnutrition Problem in Rural Area. Lokasi penelitian adalah desa Sukajadi dan Sukaluyu, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dilakukan pada Januari 2012 sampai September Secara acak sederhana terpilih desa Sukajadi sebagai kelompok kontrol dan desa Sukaluyu sebagai kelompok intervensi. Intervensi berupa penyuluhan gizi diberikan kepada ibu balita dan kader posyandu sebanyak 6 kali pertemuan dengan frekuensi penyuluhan sebanyak dua kali dalam 1 bulan. Pengumpulan data terdiri dari baseline (sebelum intervensi), endline (setelah intervensi), dan follow-up (empat bulan setelah endline). Data diolah serta dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excell 2007 dan inferensia menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penyuluhan gizi berpengaruh nyata terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik gizi ibu balita (p<0,05). Trend perubahan skor cenderung menurun saat follow-up, namun menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan baseline. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyuluhan gizi berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (93,3%) menyatakan keinginannya untuk tetap mengikuti/membawa anak ke posyandu hingga usia lima tahun pada saat endline. Hasil uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan rencana kunjungan ke posyandu hingga balita berusia lima tahun pada data baseline dan endline kelompok intervensi (p<0,05). Hal ini berarti penyuluhan partisipasi posyandu berupa motivasi kunjungan ke

7 posyandu mampu meningkatkan pengetahuan ibu balita tentang pentingnya posyandu sehingga keinginan ibu balita untuk tetap mengikuti posyandu semakin meningkat. Berdasarkan status kesehatan, balita pada kelompok kontrol dan intervensi memiliki riwayat penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) lebih tinggi dibandingkan demam, diare, penyakit kulit, dan lainnya (cacar dan kejang-kejang). Penyuluhan gizi dan kesehatan diberikan kepada kader dan ibu balita yang secara tidak langsung dapat merubah trend kejadian ISPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan riwayat ISPA 1 bulan terakhir pada kelompok intervensi menjadi 77,4% (1,6±0,9 kali/1 bulan terakhir) pada data endline dan 74,2% (1,0±0,8 kali/1 bulan terakhir) pada data follow up. Uji korelasi Spearman (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita dan status gizi balita indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB. Berdasarkan lima dimensi kualitas pelayanan (service quality) diketahui bahwa penyuluhan gizi yang diberikan kepada kader memberikan dampak positif terhadap kualitas pelayanan di posyandu tersebut. Akan tetapi, terdapat indikator yang masih kurang (<60%) dan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti yaitu dukungan aparat desa. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penyuluhan gizi berpengaruh nyata terhadap kualitas pelayanan posyandu (p<0,05). Meskipun persentase tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan di posyandu cenderung menurun setelah tidak dilakukan penyuluhan dan pemantauan namun hasil tersebut masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum mendapatkan penyuluhan (baseline). Hal ini berarti, penyuluhan yang diberikan kepada kader dan pengadaan fasilitas dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan berkelanjutan. Kata kunci: penyuluhan gizi, perilaku gizi, kualitas pelayanan, posyandu, keberlanjutan

8 SUMMARY MERITA. The Impact s Sustainability of Nutrition Education to Mother's Nutrition Behavior and Service Quality of Posyandu. Supervised by SITI MADANIJAH and HIDAYAT SYARIEF. Integrated Service Center Post (Posyandu) is spearheading the early detection and the first services in prevention of malnutrition in Indonesia. In terms of quality, there are barriers that often occur in the implementation of activities posyandu is weak Communication, Information, and Nutrition Education programs which is one of the cornerstone in nutrition programs at posyandu. Besides the quality of cadres that still low because of the training received still lessalso the educational levels are low, so that cadres can not given education to mothers posyandu users. Thus, the specific objective of this study were to:(1) Identified the characteristics of mother and children under five years in posyandu; (2) analyzed impact s sustainability of nutrition education to knowledge, attitudes, and practices of mothers toddler in posyandu; (3) analyzed correlations of health history and nutritional status children s under five; (4) analyzed correlations of knowledge, participation of cadres, and service quality in posyandu; (5) analyzed the impact s sustainability of nutrition education to service quality of posyandu; (6) analyzed the sustainability of nutrition education program in posyandu. The design in this study was quasi-experimental. This study is part of the researchs in collaboration with Nestle Foundation (NF) entitled A Multi- Approach Intervention to Empower Posyandu Nutrition Program to Combat Malnutrition Problem in Rural Areas (Khomsan et al. 2012). Location of the study is Sukajadi and Sukaluyu village, Tamansari District, Bogor Regency, West Java was conducted in January 2012 until September The villages were allocated simples randomly as control and intervention group. Nutrition education given to mother s toddler and cadre of posyandu was 6 times with frequency 2 times in one month. Data collection consisted of baseline (before intervention), endline (after intervention), and follow-up (four months after endline). Data was analyzed descriptively using Microsoft Excell 2007 and inferentialy using Analysis of Variance (ANOVA) by SPSS 16 softwarer. The results showed that nutritional education impacts to knowledge, attitudes, and practices of mother s toddler was significant (p<0,05). Trend change scores tend to declined at follow-up. However, these showed better than baseline. Therefore, it can be said that nutrition educatioan was sustainable. The results showed that most of the mothers toddler in intervention group (93,3%) expressed a desire to stay abreast/ bring the child to the age of five-yearold child to posyandu at the time of the endline. The ANOVA results indicated a difference in the planned visit to the posyandu to five-year-old childs at baseline and endline in the intervention group (p<0.05). This means education of participation posyandu in the form of motivational visit to posyandu was able to increased the knowledge about the importance posyandu. So, desire of mother toddler to keep abreast posyandu was increased. Based on health status, toddlers in the control group and the intervention had a history of disease respiratory infection was higher than the fever, diarrhea,

9 skin diseases, and other (smallpox and convulsions). Nutrition and health educations given to cadres and mothers toddlers whose were indirectly able to change the trend of the respiratory infection incidences. The results showed that a decline in 1-month history of respiratory infection in the intervention group to 77,4% (1,6±0,9 times/1st last month) on the endline data and 74,2% (1,0±0,8 times/1st last month) follow-up data. Spearman correlation test (baseline, endline, and follow-up data) showed a significant correlation between the history of disease and nutritional status of children under five (Weight/Age, Height/Age, and Weight/Height indicators) (p<0,05). Based on the five dimensions of service quality is known that nutrition education given to cadres have a positive impact on the service quality of posyandu. However, there had indicators which are still less (<60%) and did not show / significant improvement were the support of village officials. The result of Duncan's test showed that nutrition education significantly affect the quality of service posyandu (p<0,05). Although the percentage s mother toddlers of satisfaction levels to services quality tends to declined after education and monitoring, but the results were still in a range that is better than before get the nutrition education (baseline). This means that, given the cadre education and procurement of facilities in posyandu can improve service quality of posyandu and sustainable. Key Words: nutriton education, nutrition behavior, service quality, posyandu, sustainability

10 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

11 KEBERLANJUTAN DAMPAK PENYULUHAN GIZI TERHADAP PERILAKU GIZI IBU DAN KUALITAS PELAYANAN POSYANDU MERITA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan MS

13 Judul Tesis : Keberlanjutan Dampak Penyuluhan Gizi terhadap Perilaku Gizi Ibu dan Kualitas Pelayanan Posyandu Nama : Merita NIM : I Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS Ketua Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana drh M Rizal M Damanik MRepSc PhD Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: (12 Desember 2013) Tanggal Lulus:

14 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 hingga September 2013 ini ialah pendidikan gizi, dengan judul Keberlanjutan Dampak Penyuluhan Gizi terhadap Perilaku Gizi dan Kualitas Pelayanan Posyandu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS dan Bapak Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan, serta saran sejak mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga akhir penulisan tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti proyek penelitian yang berjudul a Multi-Approach Intervention to Empower Posyandu Nutrition Program to Combat Malnutrition Problem in Rural Areas yang didanai oleh Nestle Foundation, Switzerland. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Catur Dwi SP, Rian Diana SP, dan teman-teman mahasiswa Pascasarjana Gizi Masyarakat 2012 yang telah memberikan motivasi dan membantu penulis dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Empri (Alm), ibunda Yulidar, suami Rupi Udin SPt MSi, kakanda Aat Sudarajad SH, serta seluruh keluarga tercinta, atas segala doa, kasih sayang, dan motivasi sehingga menjadi pendorong semangat bagi penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2013 Merita

15 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Keberlanjutan (Sustainability) 3 Perilaku Gizi Ibu 4 Karakteristik Balita 7 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 10 Dimensi Kualitas Pelayanan (SERVQUAL) 13 3 KERANGKA PEMIKIRAN 14 4 METODE PENELITIAN 16 Desain, Waktu dan Lokasi Penelitian 16 Teknik Penarikan Contoh 16 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 17 Pelaksanaan Intervensi 19 Pengolahan dan Analisis Data 21 Definisi Operasional 22 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 24 Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga 25 Perilaku Gizi Ibu Balita 28 Karakteristik Balita 39 Status Gizi Balita 42 Partisipasi Ibu di Posyandu 46 Kualitas Pelayanan di Posyandu 52 6 SIMPULAN DAN SARAN 62 Simpulan 62 Saran 63 DAFTAR PUSTAKA 64 LAMPIRAN 70 RIWAYAT HIDUP 73 iv iv iv

16 DAFTAR TABEL 1 Jadwal pengumpulan data 17 2 Jenis serta cara pengumpulan data 17 3 Materi penyuluhan gizi 19 4 Waktu pelaksanaan penyuluhan gizi 21 5 Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO-NCHS 22 6 Sebaran ibu balita berdasarkan besar keluarga 25 7 Sebaran ibu balita dan suami berdasarkan jenis pekerjaan 25 8 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga 26 9 Rata-rata umur dan pendidikan ibu balita Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan gizi Sebaran ibu balita berdasarkan kategori pengetahuan gizi Sebaran ibu balita berdasarkan sikap positif terhadap pernyataan gizi Sebaran ibu balita berdasarkan kategori sikap gizi Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban sering terhadap pernyataan gizi Sebaran ibu balita berdasarkan kategori praktik gizi Sebaran balita berdasarkan karakteristik balita Sebaran balita berdasarkan riwayat penyakit satu bulan terakhir Sebaran status gizi balita (BB/U) berdasarkan kelompok umur Sebaran status gizi balita indikator TB/U berdasarkan kategori umur Sebaran status gizi balita indikator BB/TB berdasarkan kategori umur Sebaran ibu balita berdasarkan frekuensi kunjungan ke posyandu Sebaran ibu balita berdasarkan motivasi kunjungan ke posyandu Sebaran ibu balita berdasarkan pelaksanaan posyandu Sebaran ibu balita berdasarkan persepsi tentang posyandu Persepsi ibu tentang program yang perlu ditingkatkan di posyandu Tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan posyandu (%) 53 DAFTAR GAMBAR 1 Penyebab masalah gizi yang diadopsi dari kerangka UNICEF 9 2 Kerangka pemikiran keberlanjutan penyuluhan gizi terhadap perilaku gizi ibu dan kualitas pelayanan posyandu 15 3 Tahapan pemilihan desa, posyandu, dan rumah tangga yang menjadi unit percobaan 16 4 Perubahan skor pengetahuan gizi ibu 32 5 Perubahan skor sikap gizi ibu 35 6 Perubahan skor praktik gizi ibu 38 7 Tingkat kepuasan ibu balita berdasarkan kualitas pelayanan tangibles 54 8 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan kualitas pelayanan dimensi reliability 56 9 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan kualitas pelayanan dimensi responsiveness Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan dimensi assurance Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan dimensi empathy 59

17 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kelengkapan fasilitas posyandu 70 2 Dokumentasi demo masak di posyandu kelompok intervensi 71 3 Dokumentasi pelatihan kinerja posyandu kelompok intervensi 71 4 Dokumentasi penyuluhan gizi di posyandu kelompok intervensi 72

18

19 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan suatu bangsa ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Ukuran kualitas SDM dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tiga faktor utama penentu IPM yang dikembangkan UNDP adalah tingkat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat. Indikator yang digunakan untuk menentukan status gizi masyarakat adalah status gizi balita. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010, secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang (BB/U) pada balita dari 18,4% tahun 2007 menjadi 17,9% tahun Penurunan juga terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% tahun 2010 (Kemenkes RI 2010). Meskipun secara nasional data Riskesdas tahun 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi masalah gizi pada balita namun prevalensi status gizi balita (BB/U) di Jawa Barat menunjukkan bahwa terdapat 13% balita tergolong gizi kurang yang dikategorikan masalah kesehatan dengan prevalensi sedang (10-19%). Prevalensi status gizi balita (TB/U) menunjukkan bahwa sebanyak 33,7% tergolong pendek yang teridentifikasi sebagai masalah gizi dengan prevalensi tinggi (30-39%), sedangkan prevalensi status gizi berdasarkan BB/TB masih terdapat 11,0% balita tergolong kurus yang termasuk masalah gizi serius (10-14%) (Kemenkes RI 2010). Di sisi lain, prevalensi gizi buruk yang terjadi pada anak balita di Kabupaten Bogor berdasarkan BB/U sebesar 3,4%, sedangkan berdasarkan TB/U sebesar 14,8%, dan berdasarkan BB/TB sebesar 3,9% (Depkes RI 2008). Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi tersebut masih perlu diselesaikan melalui pendekatan terpadu dengan menekankan pada strategi multi-intervensi. Salah satu program pemerintah dalam menangani permasalahan gizi pada balita di Indonesia yaitu dibentuknya suatu layanan terpadu yang dikenal dengan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Posyandu merupakan ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus gizi buruk. Oleh karena itu, keberadaan posyandu diharapkan dapat mempercepat upaya perbaikan status gizi dalam menurunkan angka kematian balita serta prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia. Secara kuantitas, perkembangan jumlah posyandu sangat menggembirakan. Pada saat posyandu dicanangkan pada Tahun 1986 jumlah posyandu tercatat sebanyak posyandu, pada Tahun 2005 meningkat menjadi posyandu, dan pada Tahun 2008 menjadi posyandu. Ditinjau dari aspek kualitas masih ditemukan masalah, antara lain kelengkapan sarana dan keterampilan kader yang belum memadai. Pada kenyataannya, kualitas pelayanan kesehatan merupakan hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan dapat menjadi jaminan bagi pelanggan untuk mencapai hasil derajat kesehatan yang optimal (Kemenkes RI 2011). Di lain sisi, terdapat hambatan yang sering terjadi dalam pelaksanaan kegiatan posyandu yaitu lemahnya program Komunikasi Informasi dan Edukasi Gizi (KIE-Gizi) yang merupakan salah satu tumpuan dalam program gizi di

20 2 posyandu. Disamping kualitas kader yang masih rendah karena pelatihan yang mereka terima masih kurang juga tingkat pendidikan mereka relatif rendah sehingga kader tidak dapat memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu pengguna posyandu. Sementara itu, tingkat partisipasi ibu balita dan kader di posyandu merupakan faktor lainnya dalam menentukan tingkat keberhasilan program posyandu. Namun, masih banyak anggota masyarakat yang belum memanfaatkannya secara maksimal. Menurut Nyepi (2007), faktor yang menyebabkan tidak dapat dimanfaatkannya fasilitas kesehatan yang tersedia secara baik diantaranya yaitu jarak fasilitas kesehatan, ketidakmampuan ekonomi, fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan petugas yang tidak ramah. Pada kenyataanya, keberhasilan posyandu sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat (kader Posyandu, pengguna Posyandu, dan tokoh masyarakat), peran petugas Puskesmas dan Keluarga Berencana (KB), serta peran sektor lainnya. Menurut Marjanka et al. (2002), partisipasi ibu di posyandu sangat mempengaruhi pertumbuhan kesehatan dan status gizi anak. Dengan demikian, intervensi berupa penyuluhan gizi dan partisipasi posyandu kepada kader dan ibu balita diharapkan dapat meningkatkan Pengetahuan, Sikap, dan Praktik (PSP) serta tingkat partisipasi kader dan ibu balita di posyandu. Keberhasilan program posyandu dapat dilihat berdasarkan kualitas pelayanan (service quality) yang diberikan oleh posyandu itu sendiri. Dengan menggunakan metode lima dimensi service quality (tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy) yang dikembangkan oleh Parasuraman et al. (1996) peneliti dapat menilai tingkat kepuasan pengguna posyandu terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Hingga saat ini, beberapa studi terkait penyuluhan gizi telah menunjukkan hasil yang positif terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktik gizi, serta status gizi seseorang (Kabahenda et al. 2011; Inayati et al. 2012). Akan tetapi, belum banyak penelitian yang menganalisis bagaimana dampak penyuluhan gizi terhadap kualitas pelayanan posyandu serta keberlanjutan (sustainability) dari program penyuluhan gizi di posyandu tersebut. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap perilaku gizi ibu dan kualitas pelayanan posyandu. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kualitas pelayanan di posyandu; (2) Bagaimana perilaku gizi ibu balita; (3) Bagaimana tingkat partisipasi kader dan ibu balita di posyandu; (4) Bagaimana tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan posyandu dan; (5) Bagaimana pelaksanaan intervensi pendidikan gizi di posyandu.

21 3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap kualitas pelayanan posyandu. Tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: 1. Mengidentifikasi karakteristik ibu balita dan balita di posyandu. 2. Menganalisis keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik (PSP) gizi ibu balita di posyandu. 3. Menganalisis hubungan riwayat kesehatan balita dan status gizi balita. 4. Menganalisis hubungan peningkatan pengetahuan dan partisipasi kader di posyandu dengan kualitas pelayanan posyandu. 5. Menganalisis keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap kualitas pelayanan (service quality) posyandu. 6. Menganalisis keberlanjutan dari program penyuluhan gizi di posyandu. Manfaat Penelitian Intervensi pendidikan gizi dalam penelitian ini diharapakan menjadi tolak ukur utama sebagai salah satu upaya perbaikan status gizi dan perkembangan anak-anak di pedesaan tersebut. Penelitian ini dapat membantu program pemerintah dalam mengurangi prevalensi masalah gizi balita serta berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat di posyandu. Selain itu, analisis kualitas pelayanan yang dilakukan dapat memberikan masukan kepada kader dan pemerintah terkait realisasi program berdasarkan dimensi fisik, keandalan, ketanggapan, keterjaminan, dan perhatian. 2 TINJAUAN PUSTAKA Keberlanjutan (Sustainability) Istilah sustainability menurut Heinberg (2010) adalah terkait dengan apa yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Implikasinya, setiap keberlanjutan masyarakat yang tidak dilakukan secara berkesinambungan maka tidak dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan akan berhenti berfungsi di beberapa titik. Namun demikian, konsep ini sangat diperlukan dan harus menjadi landasan untuk semua perencanaan jangka panjang. Menurut UNICEF (2002), keberlanjutan (sustainability) adalah kapasitas yang dipertahankan hingga masa mendatang, dan juga memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa depan. Pada sustainability dibangun dasar sumber daya manusia, sumber daya alam dan ekonomi. Menciptakan keberlanjutan dalam pemrograman gizi mungkin memerlukan waktu lebih banyak. Masalah-masalah tertentu dapat diselesaikan dengan cepat program top-down, vertikal, dan hasil-terfokus. Namun, perubahan tersebut terbukti bersifat sementara dalam jangka panjang. Pada akhirnya tujuan tidak

22 4 boleh untuk menghasilkan program berkelanjutan atau proyek, melainkan untuk menciptakan dan mempertahankan proses gizi membaik (UNICEF 2002). Faktor proses sangat penting untuk kesuksesan yang berkelanjutan dan harus dinilai untuk menangkap totalitas perubahan. Proses yang paling penting berkaitan dengan sarana melalui perubahan yang terjadi dalam kekuasaan, kemampuan, dan perilaku masyarakat. Partisipasi, kepemilikan, dan pemberdayaan merupakan aspek penting dari proses tersebut dan untuk jangka panjang keberlanjutan. Jika keberlanjutan dianggap serius, maka proses memperbaiki masalah gizi harus dilihat sebagai bagian dari tujuan akhir, bukan hanya sarana (UNICEF 2002). Pengetahuan Gizi Ibu Perilaku Gizi Ibu Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Pengetahuan gizi menjadi andalan yang menentukan konsumsi pangan. Individu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan, sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan (Natoatmodjo 1993). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan praktik dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya. Pengetahuan gizi yang tidak memadai, kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik, serta pengertian yang kurang tepat mengenai kontribusi gizi dari berbagai makanan akan menimbulkan gizi salah yang dapat merugikan kecerdasan dan produktivitas (Notoatmodjo 2003). Engel et al. (1995) mendefinisikan pengetahuan sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu utama perilaku seseorang. Selanjutnya Winkel (1984) diacu dalam Khomsan et al. (2009) mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan intelektualnya. Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Di Indonesia, hal yang sama telah dilakukan sebagai upaya peningkatan pengetahuan ibu. Anwar et al. (2010) menyatakan dalam penelitiannya yang menggunakan metode intervensi pendidikan gizi melalui program gizi dan kesehatan di Posyandu menunjukkan hasil yang signifikan terhadap status gizi anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kunjungan posyandu yang lebih sering akan memiliki status gizi anak yang lebih baik. World Bank (2006) menyatakan bahwa tingginya produksi pertanian dan pendapatan yang tinggi tidak menjamin gizi baik. Meskipun status gizi 20% anak pada rumah tangga kaya lebih baik dibanding 20% anak pada keluarga miskin (Republik Dominika, Maroko, Nikaragua, Peru, dan Turki), proporsi underweight tidak berbeda pada varian pendapatan di berbagai negara (Burkina Faso, Kamboja, Ethiopia, Kazakhstan, Niger, Tanzania, dan Turkmenistan). Di India,

23 meskipun seperempat penduduk berpenghasilan menangah ke atas, 26% anak prasekolah mengalami underweight dan 64% menderita anemia. Hal ini dikarenakan ada nya faktor lain yang mempengaruhi yaitu pengetahuan ibu. Sikap Gizi Ibu Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap belum menunjukkan suatu tindakan namun menunjukkan suatu kecenderungan bertindak (Notoatmodjo 2003). Sikap mengandung komponen kepercayaan, emosi atau evaluasi, dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam pembentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peran yang penting. Pengetahuan akan mendorong untuk berpikir sehingga terbentuk suatu keyakinan atau kepercayaan tertentu. Adanya keyakinan tersebut kemudian mendorong seseorang untuk mengambil sikap atau posisi tertentu terhadap suatu objek. Khomsan (2007) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap seseorang dapat diramalkan perbuatannya. Sikap mengarahkan tindakan secara langsung. Sikap secara positif akan mondorong orang untuk menerima dan mengadopsinya menjadi tindakan (praktik), sedangkan sikap negatif cenderung menimbulkan praktik yang juga negatif semacam menghindar, menolak, atau menjauhi (Notoatmodjo 2003). Praktik Gizi Ibu Pengetahuan gizi adalah prediktor praktikgizi seseorang (Sharma, Gernand, Day 2008). Di Indonesia, Moviana (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dan praktik keluarga sadar gizi (KADARZI). Semakin baik pengetahuan gizi ibu maka semakin baik pula praktik KADARZI ibu, begitu juga sebaliknya. Ogunba (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara sikap ibu dan praktik pemberian makan anak dan status gizi anak (BB/TB) di Nigeria. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Gizi Perilaku gizi individu meliputi segala sesuatu yang menjadi pengetahuannya (knowledge), sikapnya (attitude), dan tindakannya (action).perilaku adalah suatu kegiatan organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama, yaitu respon yang merupakan faktor dalam diri seseorang (faktor internal) dan rangsangan yang merupakan faktor luar diri seseorang (faktor eksternal) seperti lingkungan baik fisik maupun non-fisik serta. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar adalah perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, dan sebagainya (Notoatmodjo 2010). Faktor eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk perilaku adalah faktor non-fisik berupa sosial budaya dimana seseorang berada seperti besar keluarga, pendapatan, dan pendidikan. 5

24 6 1. Besar Keluarga Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Menurut Suhardjo (1989), keluarga merupakan unit sosial dasar yang keberadaannya secara kelembagaan kuat dan strukturnya ditentukan oleh tradisi dan hukum walaupun hal ini sangat beragam antar budaya. Besar keluarga akan mempengaruhi status kesehatan seseorang atau keluarga. Besar keluarga akan berpengaruh terhadap pola konsumsi zat gizi anggota keluarga dan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang berpengaruh pada kesehatan anak-anak dan kesehatan ibu. Jumlah anggota keluarga yang banyak, menyebabkan perhatian ibu terhadap anakanaknya semakin berkurang dan terhadap anggota keluarga yang lain, serta perhatian ibu terhadap dirinya sendiri (Sukarni 1989). Menurut Suhardjo (1989), hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Terutama pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan terhadap kebutuhan makanan akan lebih muda apabila anggota keluarga semakin sedikit. Pangan yang tersedia untuk keluarga besar mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dari setengah anggota keluarga tersebut. Jumlah anak yang semakin sedikit akan meminimalisasi terjadinya gizi kurang. Anak-anak yang tumbuh di dalam keluarga miskin akan rawan dengan terjadinya kurang gizi diantara anggota keluarga terutama bagi anak yang paling kecil. Hal ini dapat terjadi karena biasanya dipengaruhi oleh besarnya anggota keluarga. Apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak akan berkurang (Suhardjo dkk 1988). 2. Pendapatan Perkapita Keluarga Pendapatan adalah salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi. Tingkat pendapatan tidak terlepas dari jenis pekerjaan yang dimiliki oleh anggota keluarga tersebut. Menurut Suhardjo (1989), faktor penghasilan merupakan faktor kedua yang juga dominan dalam menentukan gaya hidup keluarga maupun masyarakat suatu wilayah. Dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan suatu keluarga, daya beli harus sanggup membeli bahan pangan yang mencukupi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Keluarga dan masyarakat yang penghasilannya rendah, lebih cenderung untuk membeli bahan pangan, dan makin tinggi penghasilan seseorangmaka menurun bagian penghasilan yang digunakan untuk membeli bahan pangan atau makanan. 3. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Campbel (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi sehingga dapat

25 menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Depkes RI 1996). Karakteristik Balita Status Gizi pada Anak Balita Balita adalah salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari dua sampai dengan lima tahun, biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia bulan. Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu diberikan perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik (mental dan sosial) (Kurniasih dkk 2010). Pertumbuhan dan perkembangan balita sangat terkait dengan kondisi atau keadaan gizi balita tersebut. Keadaan gizi yang salah baik kekurangan atau pun kelebihan gizi dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi. Status berarti tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh suatu keadaan. Sedangkan gizi adalah hasil proses organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan dan fungsi organ tubuh, serta produksi energi sehingga status gizi dapat diartikan tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan gizi disatu pihak dan pengeluaran oleh organisme dipihak lain (Gibson 1990). Menurut Suhardjo (2003), status gizi merupakan keadaan kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari makanan, yang dampak fisiknya dapat diukur secara antropometri. Jus at dkk (2000) menyebutkan bahwa status gizi disebut seimbang atau gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan dan dalam bentuk gizi lebih yaitu bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih. Status gizi balita yang tidak seimbang menyebabkan pertumbuhan seorang anak akan terganggu, misalnya anak tersebut kurang gizi (underweight), kurus (wested), pendek (stunted) atau gizi lebih (overweight). Menurut Riyadi et al. (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa masalah gizi yang terjadi pada balita di kabupaten Timor Tengah Utara, provinsi Nusa Tenggara Timur adalah rendahnya informasi gizi dan kesehatan, rendahnya sikap dan pengetahuan gizi, dan rendahnya pendapatan keluarga. Penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa 45% anak usia di bawah lima tahun menderita masalah gizi kronis, dimana 10% tergolong masalah gizi akut dan 48% nya tergolong masalah gizi kurang. Temuan tersebut menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan masalah gizi pada anak usia di bawah lima tahun tersebut adalah jarak kelahiran, berat lahir, Indeks Massa Tubuh (IMT) ibu, dan pendidikan orang tua (Rayhan & Khan 2006). 7

26 8 Menurut World Bank (2006), gizi kurang biasa diasumsikan hanya disebabkan kerawanan pangan, akan tetapi data dari penelitian di berbagai negara menyatakan kecuali pada kondisi kelaparan, pangan bukanlah satu-satunya penyebab. Akan tetapi, dapat dipengaruhi faktor lain seperti pengetahuan ibu, pola asuh anak, akses layanan kesehatan, air dan sanitasi. Sebagai contoh kejadian kelaparan di negara dengan sumberdaya pangan melimpah seperti Arsi (Ethiopia) dan Iringa (Tanzania) dengan tingkat stunting mencapai 62 dan 66%. Penilaian Status Gizi Balita Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan anak balita. Oleh karena itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah melalui status gizi bayi dan balita (Notoatmodjo 2007b). Menurut Supariasa dkk (2002), status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi secara langsung meliputi antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik, sedangkan penilaian gizi secara tidak langsung meliputi survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologis. Cara yang digunakan untuk menentukan status gizi sangat tergantung pada tahapan keadaan kurang gizi. Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya. Penilaian status gizi secara antropometri secara umum berhubungan dengan ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Menurut Supariasa dkk (2002), pengukuran antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Ketidakseimbangan tersebut terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Beberapa kelebihan dari penilaian status gizi secara antropometri menurut Supariasa dkk (2002) adalah prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar; relatif tidak membutuhkan tenaga ahli; alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama; metodenya tepat dan akurat; dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau; serta dapat mengidentifikasi status gizi baik, kurang, dan buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas. Adapun beberapa kelemahan dari penilaian status gizi secara antropometri antara lain tidak sensitif untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat; adanya faktor di luar gizi seperti penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi; adanya kesalahan pada saat pengukuran sehingga dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Menurut Supariasa dkk (2002), kombinasi antara beberapa parameter disebut sebagai indeks antropometri. Adapun beberapa indeks antropometri yang sering digunakan antara lain Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda-beda. Menurut Wattelow (1973) dalam Notoatmodjo (2007a), penilaian status gizi yang dianjurkan adalah dengan menggunakan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) hanya cocok untuk

27 mengukur status gizi pada masa lalu, sedangkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) tidak atau kurang mampu membedakan antara malnutrisi akut dan malnutrisi kronik. Status gizi dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U) lebih mencerminkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, seperti terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan, atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Sebaliknya, indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) lebih menggambarkan status gizi masa lalu, sebab tinggi badan lebih menggambarkan pertumbuhan skeletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertumbuhan umur (Riyadi 2003). Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi, sebab indeks BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan pada waktu sekarang, sehingga indeks ini dijadikan sebagai indikator kekurusan (Supariasa dkk 2002). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas karena penyebabnya multi faktor, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, lingkungan, dan politik. Menurut kerangka pikir UNICEF (1990) masalah gizi berakar pada masalah sumberdaya alam, ekonomi, ideologi, politik, kemiskinan, pendidikan, dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Berikut dijelaskan lebih lengkap dalam kerangka UNICEF (1990) pada Gambar 1 di bawah ini. 9 Gambar 1 Penyebab masalah gizi yang diadopsi dari kerangka UNICEF

28 10 Penyebab masalah gizi terbagi menjadi dua yaitu, penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah kurangnya asupan gizi dan adanya penyakit. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa terdapat 22,1% anak usia 2-3 tahun dan 33,9% anak usia 4-6 tahun yang tingkat konsumsi energinya kurang dari 70% AKG. Sementara itu, anak usia 2-6 tahun memiliki tingkat konsumsi protein kurang dari 80% AKG sebanyak 16% anak usia 2-3 tahun, dan 24,8% anak usia 4-6 tahun. Asupan makanan yang bergizi cukup dari segi kuantitas dan kualitas akan mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan balita baik fisik maupun kognitifnya. Jika kekurangan asupan energi dan protein ini berlangsung sebentar maka yang terjadi adalah underweight, dan jika berlangsung lama dan terus menerus maka dapat menyebabkan stunting. Selain dari asupan makanan yang kurang, penyebab langsung terjadinya malnutrisi adalah adanya penyakit. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit ISPA untuk anak <1 tahun sebesar 35,9% dan 1-4 tahun 42,5% dan prevalensi diare anak <1 tahun sebesar 16.5% dan 1-4 tahun 16.7%. Kedua penyakit ini merupakan penyakit yang banyak diderita oleh balita. Penyebab tidak langsung masih tingginya prevalensi gizi kurang adalah kemiskinan yang mengakibatkan rendahnya akses ketersediaan pangan, pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan dan sanitasi yang kurang memadai, perawatan anak yang kurang baik, faktor ekonomi, dan politik/kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Data Riskesdas 2010 menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara prevalensi underweight, stunting dan wasting dengan tingkat pendidikan kepala keluarga dan tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita. Semakin baik tingkat pendidikan KK dan semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga maka semakin rendah prevalensi underweight, stunting dan wasting (Kemenkes 2010). Sejarah Posyandu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Pembentukan posyandu di Indonesia diawali dengan kegiatan yang telah ada yaitu berdirinya pos penimbangan anak balita yang merupakan bagian dari program usaha perbaikan gizi keluarga, kemudian ditambah kegiatan-kegiatan lainnya. Upaya perbaikan gizi di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950-an yang dimulai dengan pembentukan Panitia Perbaikan Makanan Rakyat di Jawa Tengah. Pada tahun yang hampir bersamaan juga dilakukan kegiatan serupa di berbagai negara lain, FAO dan WHO merumuskan suatu program yang dinamakan Applied Nutrtition Program (ANP) yaitu upaya yang bersifat edukatif untuk meningkatkan gizi rakyat terutama golongan rawan dengan peran serta masyarakat setempat dan dukungan dari berbagai instansi secara terkoordinasi. Tahun 1973 diadakan evaluasi kegiatan ANP dan menghasilkan berbagai rekomendasi antara lain perlunya disempurnakan kegiatan tesebut. Pada tahun itu juga melalu pertemuan berbagai instansi nama ANP dirubah menjadi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Untuk mempercepat terwujudnya masyarakat sehat, yang merupakan bagian dari kesejahteraan umum seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, Departemen Kesehatan pada tahun 1975 menetapkan kebijakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Adapun yang dimaksud dengan PKMD

29 ialah strategi pembangunan kesehatan yang menerapkan prinsip gotong royong dan swadaya masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri, melalui pengenalan dan penyelesaian masalah kesehatan yang dilakukan bersama petugas kesehatan secara lintas program dan lintas sektor terkait. Diperkenalkannya PKMD pada tahun 1975 mendahului kesepakatan internasional tentang konsep yang sama, yang dikenal dengan nama Primary Health Care (PHC), seperti yang tercantum dalam Deklarasi Alma Atta pada tahun Dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia sebagai potensi pembangunan bangsa agar dapat membangun dan menolong dirinya sendiri, merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, maka posyandu cukup strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sejak dini perlu ditingkatkan pembinaannya. Untuk meningkatkan pembinaan posyandu sebagai pelayanan KB-Kesehatan yang dikelola untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan pelayanan teknis dari perugas perlu ditumbuh kembangkan, peran serta aktif masyarakat dalam wadah LKMD. Program di posyandu meliputi program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang terdiri dari penyuluhan gizi baik secara individu maupun kelompok; program gizi yang terdiri dari penanggulangan Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, ASI ekslusif, konsumsi pangan balita, status gizi balita, suplementasi gizi (vitamin A untuk balita dan ibu nifas, pil besi, yodium); program kesehatan yang terdiri dari peningkatan Keluarga Berencana (KB), imunisasi dasar balita (BCG, DPT 1-3, Polio 1-4, Campak, Hepatitis B), TT pada ibu hamil, serta program tambahan seperti pemberantasan penyakit, polindes, pondok obat desa. Kader Posyandu Kader adalah orang dewasa, baik pria maupun wanita yang dipandang sebagai orang-orang yang memiliki kelebihan dimasyarakatnya. Kelebihan itu dapat berupa keberhasilan dalam kegiatan, keluwesan dalam hubungan kemanusiaan, status sosial ekonomi dan lain sebagianya (BKKBN 2007). Menurut Depkes (1990), ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang kader. Kriteria-kriteria itu antara lain berasal dari penduduk setempat, dipilih dan diterima oleh masyarakat setempat, dapat membaca dan menulis, beresedia dan sanggup menjadi kader sukarela, diutamakan anggota PKK atau dasawisma, mempunyai penghasilan tetap serta mampu menggerakkan masyarakat. Kader posyandu adalah tenaga pelaksana dalam UPGK terutama tingkat posyandu. Pemilihan kader posyandu dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya ditunjuk dan diangkat secara langsung oleh pamong desa, dipilih masyarakat, ditunjuk oleh petugas kesehatan atau atas keinginan sendiri. Akan tetapi diantara berbagai cara tersebut faktor keinginan sendiri ini dinilai cukup penting terkait dengan kesungguhan dan komitmennya terhadap tugas yang akan diembannya dalam periode waktu tertentu (Puspasari 2002). Peran kader posyandu secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu pada saat sebelum posyandu di buka, saat pelayanan posyandu berlangsung dan setelah pelayanan posyandu. Peran kader sebelum posyandu dibuka adalah memberitahukan kepada kelompok sasaran berupa pengumuman jadwal pelaksanaan posyandu, menyiapkan peralatan yang dibutuhkan dan melakukan pembagian tugas antar kader. Selanjutnya, peran kader pada saat pelayanan 11

30 12 posyandu sedang berlangsung dibagi menjadi lima sistem meja, yaitu meja 1 untuk pendaftaran, meja 2 untuk penimbangan, meja 3 untuk pencatatan hasil penimbangan, meja 4 untuk penyuluhan dan pemberian makanan tambahan serta meja 5 untuk pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB). Setelah pelayanan posyandu, peran kader antara lain adalah membereskan dan membersikan peralatan yang sudah digunakan, melakukan diskusi serta melakukan kunjungan rumah (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1995). Partisipasi Ibu dan Kader di Posyandu Menurut Nasdian (2003), pastisipasi merupakan proses aktif, inisiatif yang diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir masyarakat sendiri dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana masyarakat dapat mengaskan kontrol. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: (1) warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol orang lain; (2) partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak kemudian masyarakat merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Menurut Slamet (2003), partisipasi masyarakat sendiri dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatankegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Berdasarkan konsep pembangunan, Madrie (1986) membagi partisipasi menjadi enam jenis, yaitu: (1) Partisipasi dalam mau menerima dan mau memberi informasi; (2) Partisipasi dalam menyumbang pikiran; (3) Partisipasi dalam merencanakan suatu kegiatan; (4) Partisipasi dalam pelaksanaan pekerjaan; (5) Partisipasi dalam menerima hasil pembangunan dan; (6) Partisipasi dalam menilai hasil pembangunan. Adanya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu program dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah adanya kondisi yang kondusif untuk berpartisipasi. Menurut Nasdian (2003) kondisikondisi tersebut atara lain adalah: (1) masyarakat akan ikut berpartisipasi jika program dianggap mengangkat isu-isu atau aktifitas tertentu; (2) masyarat akan ikut berpartisipasi jika mereka menganggap bahwa tindakan yang mereka lakukan akna membawa perubahan; (3) perbedaan bentuk-bentuk pastisipasi harus diakui dan dihargai; (4) setiap orang harus dimungkinkan untuk berpartisipasi dan didukung dalam partisipasinya; dan (5) struktur dan proses partisipasi hendaknya tidak bersifat menjauhkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam kegiatan pembangunan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal individu. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu. Madrie (1986) menyebutkan bahwa faktor eksternal atau faktor lingkungan yang menentukan pastisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah adanya kemampuan pemimpin dalam memimpin, adanya program yang memberi peluang, sifat penetapan program, dan tersedianya lembaga penunjang dalam masyarakat, sedangkan faktor internal yang mempengaruhi partisipasi yaitu: memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan, memiliki ambisi tertentu ingin mencapai tujuan, memiliki kemauan untuk ikut kegiatan, memiliki kesempatan

31 untuk dapat ikut kegiatan, memiliki kondisi mental tertentu (emosi dan perasaan), memiliki tujuan yang ingin dicapai. Madanijah dan Triana (2007) mengelompokkan partisipasi ibu balita di posyandu menjadi empat kelompok yaitu kehadiran, keaktifan, penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS), dan upaya pengembangan Posyandu seperti bantuan dana, sarana, tenaga, dan waktu serta Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Kehadiran ibu balita sangat menentukan tingkat partisipasi ibu dalam kegiatan posyandu. Menurut Kasmita (2000), tingkat partisipasi masyarakat di suatu wilayah dapat diukur dengan melihat perbandingan antara jumlah anak balita di daerah posyandu (S) dan jumlah balita ditimbang (D) pada setiap jadwal yang ditentukan. Partisipasi ibu dalam kegiatan posyandu dapat dilihat dari keaktifan ibu dalam pelaksanaan posyandu di luar dan di dalam jadwal posyandu meliputi keikutsertaan ibu dalam penimbangan anaknya ke posyandu dan keikutsertaan ibu untuk menggerakkan masyarakat agar ikut serta dalam kegiatan posyandu. Lestari, Syamsianah, dan Mufnaety (2012) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kehadiran balita di Posyandu terhadap status gizi balita (BB/U dan BB/TB). Akan tetapi, uji statistik menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat kehadiran balita di Posyandu terhadap status gizi balita (TB/U). Dimensi Kualitas Pelayanan (SERVQUAL) Dalam penelitian ini posyandu dianggap sebagai suatu perusahaan dan pelanggan adalah pemakai jasa dari posyandu tersebut yaitu Ibu balita, Ibu hamil, WUS. Maka salah satu studi mengenai SERVQUAL oleh Parasuraman et al. (1996) dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu program sudah berjalan dengan sesuai dengan yang diharapkan atau sebaliknya. Lima dimensi kualitas pelayanan adalah sebagai berikut: 1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya. 2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi. 3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. 4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy). 13

32 14 5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoprasian bagi pelanggan. 3 KERANGKA PEMIKIRAN Posyandu merupakan ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus gizi buruk. Oleh karena itu, keberadaan posyandu diharapkan dapat mempercepat upaya perbaikan status gizi dalam menurunkan angka kematian balita serta prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Salah satu program di posyandu adalah Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan. Hal ini ditandai dengan penyuluhan gizi yang dilakukan di posyandu masih belum dapat dilakukankader dengan baikkarena kurangnya pelatihan serta pendidikan dan akses informasi kader yang rendah. Sementara itu, partisipasi ibu dan kader posyandu sangat berperan dalam tingkat keberhasilan posyandu sehingga dapat mencapai status gizi anak balita yang optimal (Sharma et al. 2011). Oleh karena itu, intervensi berupa penyuluhan gizi dan partisipasi ke posyandu dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik (PSP) gizi kader dan ibu balita (Thakur et al. 2011; Roy et al. 2007; Anwar et al. 2010), serta tingkat partisipasi kader dan ibu balita di posyandu. Di lain sisi, peningkatan PSP pada ibu balita diharapkan dapat memperbaiki konsumsi pangan sehingga tercukupinya zat gizi pada balita sehingga berhubungan dengan status gizi balita. Faktor lain yang berhubungan dengan status gizi balita dan dianalisis dalam penelitian ini adalah berat ketika lahir (Norriset al. 2012) dan riwayat penyakit balita (Khatun et al. 2013). Kualitas kader yang baik salah satunya ditandai dengan kader yang memiliki pengetahuan gizi yang baik sehingga penyuluhan gizi yang seharusnya dilakukan oleh kader kepada ibu balita dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, kualitas kader yang baik serta tingkat partisipasi kader berperan dalam tingkat keberhasilan posyandu tersebut (Sharma et al. 2011). Tingkat keberhasilan posyandu dalam penelitian ini diukur melalui tingkat kepuasan pengguna posyandu (ibu balita). Salah satu studi mengenai lima dimensi kualitas pelayanan oleh Parasuraman et al. (1996) dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu program sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau sebaliknya. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

33 15 Akses Informasi Penyuluhan Gizi - Pangan, Gizi, dan Kesehatan - Partisipasi ke posyandu Akses Informasi - Perilaku gizi ibu balita - Partisipasi ibu balita ke posyandu - Perilaku gizi kader - Partisipasi kader ke posyandu Status Gizi Balita (BB/U, TB/U, BB/TB) Riwayat penyakit Kualitas Pelayanan Posyandu (Service Quality) Keterangan: : Variabel yang dianalisis : Hubungan yang dianalisis Gambar 2 Kerangka pemikiran keberlanjutan dampak penyuluhan gizi terhadap perilaku gizi ibu dan kualitas pelayanan posyandu

34 16 4 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Lokasi Penelitian Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimental. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung oleh Khomsan et al. (2012) bekerjasama dengan Nestle Foundation (NF) dengan judul a Multi-Approach Intervention to Empower Posyandu Nutrition Program to Combat Malnutrition Problem in Rural Areas. Lokasi penelitian adalah Desa Sukajadi dan Sukaluyu, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dilakukan pada Januari 2012 sampai September Teknik Penarikan Contoh Tahapan penarikan contoh pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dipilih secara purposive sebagai lokasi kegiatan dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki karakteristik demografi wilayah perdesaan. 2. Dipilih empat desa dari Kecamatan Tamansari secara purposive dengan pertimbangan kesediaan warga untuk mengikuti penelitian dari awal hingga akhir penelitian dan pengambilan data. Secara simple random sampling terpilih satu desa sebagai kelompok kontrol dan tiga desa lainnya sebagai kelompok intervensi. Dari ketiga desa intervensi dalam penelitian payung, dilakukan pengacakan sederhana untuk menentukan satu desa intervensi sebagai lokasi penelitian. 3. Memilih masing-masing satu posyandu dari desa yang terpilih. Pemilihan posyandu berdasarkan kriteria inklusi yaitu jumlah peserta posyandu yang terbanyak sehingga dapat memenuhi jumlah sampel minimun. 4. Memilih Ibu balita (31 orang) dan kader (4 orang) sebagai responden dan 31 balita sebagai contoh dari masing-masing posyandu yang terpilih. Secara sederhana tahapan pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini: Kecamatan Taman Sari Desa Sukajadi (kontrol) Desa B (intervensi) Desa C (intervensi) Desa Sukaluyu (intervensi) Masing-masing 1 Posyandu: - 4 kader - 31 ibu balita - 31 balita Gambar 3 Tahapan pemilihan desa, posyandu, dan rumah tangga yang menjadi unit percobaan

35 17 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder meliputi jumlah kader posyandu, jumlah partisipan serta pelatihan kader posyandu. Pengumpulan data primer dilakukan dalam tiga kali periode yaitu baseline (sebelum intervensi), endline (setelah intervensi), dan follow-up yang dilakukan 4 bulan berikutnya. Data follow-up ini dilakukan pada bagian kualitas pelayanan posyandu, pengetahuan, sikap, dan praktik gizi ibu balita dan kader, konsumsi pangan balita, dan status gizi balita yang bertujuan untuk melihat keberlanjutan (sustainability) perubahan pada variabel yang diukur tersebut setelah tidak dilakukannya intervensi pendidikan gizi. Tabel 1 Jadwal pengumpulan data Jenis kegiatan Baseline data Intervensi Endline data Followup Tahun 2012 Bulan ke- Tahun 2013 Bulan ke Data primer diambil dengan cara pengamatan dan wawancara langsung menggunakan kuesioner untuk ibu balita dan kader posyandu. Data yang dikumpulkan meliputi data posyandu, kader, ibu, dan balita. Data posyandu meliputi kelengkapan fasilitas posyandu. Data kader meliputi pertanyaan kualitatif kader seperti motivasi menjadi kader, motivasi kunjungan ke posyandu dan pelaksanaan posyandu. Data ibu balita meliputi sosial ekonomi, pendapatan rumah tangga, pengeluaran, pengetahuan gizi, sikap gizi, praktik gizi, partisipasi ibu balita di posyandu (frekuensi, motivasi kunjungan ke posyandu, pelaksanaan, dan persepsi tentang posyandu). Data balita yang diambil adalah riwayat kesehatan (frekuensi sakit dan berat ketika lahir) dan status gizi balita (indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB). Tabel 2 Jenis serta cara pengumpulan data No Variabel Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan 1 Karakteristik keluarga Besar keluarga Pendidikan ibu dan ayah Pendapatan keluarga Pengeluaran keluarga Wawancara menggunakan kuesioner 2 Karakteristik balita Umur Jenis kelamin Berat ketika lahir Riwayat penyakit Wawancara dengan menggunakan kuesioner

36 18 3 Status gizi balita Berat badan Tinggi badan 4 Karakteristik ibu balita Umur Pekerjaan Pendidikan Akses Informasi Pengukuran langsung menggunakan timbangan injak dan microtoise Wawancara dengan menggunakan kuesioner 5 Pengetahuan, sikap, dan praktik (PSP) gizi ibu balita PSP terkait gizi dasar PSP terkait gizi untuk balita PSP terkait pemilihan makanan untuk balita PSP terkait sanitasi dan hygien PSP terkait keamanan pangan Wawancara dengan menggunakan kuesioner 6 Partisipasi ibu di posyandu Frekuensi kunjungan ke posyandu, motivasi kunjungan ke posyandu, pelaksanaan posyandu, dan persepsi tentang posyandu 7 Kualitas pelayanan posyandu mencakup 5 dimensi: a. Tangibles (fisik) Kemutakhiran alat Kenyamanan tempat penimbangan Penampilan kader Penampilan petugas lainnya Kemanfaatan fasilitas Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan in depth interview Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan in depth interview b. Reliability (keandalan) c. Responsiveness (ketanggapan) Jadwal pelaksanaan Ketanggapan petugas Kehandalan pelayanan Lama waktu pelayanan Pencatatan hasil pelayanan Informasi terkait layanan Kecekatan pelayanan Kesediaan membantu anggota posyandu Kecepatan merespon

37 19 d. Assurance (keterjaminan) e. Empathy (perhatian) Kemampuan memberikan konsultasi Kenyamanan pengunjung Kesabaran kader Dukungan aparat desa Perhatian kader kepada anggota posyandu Perhatian kader kepada sesama kader Pemahaman kader terhadap kebutuhan anggota posyandu Jam buka sesuai kebutuhan Pelaksanaan Intervensi Tujuan Tujuan dilakukan intervensi pendidikan gizi ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan ibu dan kader posyandu tentang pangan dan gizi sehingga secara tidak langsung dapat mengubah sikap dan praktik mereka agar bisa mempertahankan atau meningkatkan status gizi balita. Sasaran Intervensi pendidikan gizi diberikan kepada kelompok intervensi yang terdiri dari ibu yang memiliki balita dan kader yang aktif di posyandu. Materi Sebelum dilakukan intervensi penyuluhan gizi, materi penyuluhan terlebih dahulu dikembangkan berdasarkan materi pendidikan gizi sebelumnya, dari penelitian Khomsan et al. (2009) yang berjudul Nutritional Education to Improve Mother and Cadre Nutritional Knowledge and Children Nutritional Status in Indonesia. Materi pendidikan gizi yang dikembangkan berupa buku modul untuk Posyandu, power point penyuluhan, leaflet, poster, banner, dan soal pre dan postest. Materi power point dan leaflet untuk penyuluhan diambil dari buku modul. Power point dan leaflet dibuat semenarik mungkin, menggunakan gambar serta kalimat yang sederhana sehingga mudah dimengerti oleh kader dan ibu balita peserta penyuluhan gizi. Isi materi penyuluhan gizi dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Materi penyuluhan gizi Penyuluhan ke- Materi Isi Materi Durasi (menit) 1 Gizi dasar Pengertian zat gizi, kegunaan zat gizi, jenis-jenis dan fungsi zat gizi, contoh makanan sumber zat gizi, prinsip gizi seimbang, triguna makanan serta masalah-masalah akibat kelebihan dan kekurangan gizi 30-40

38 20 2 Gizi untuk balita ASI eksklusif, Inisiasi Menyusui dini (IMD), pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI), dan contoh makanan MP-ASI yang sesuai usia balita. 3 Pemilihan makanan untuk balita Cara membentuk kebiasaan makan yang baik sejak dini, tips memberikan makanan untuk balita, cara memilih dan menyajikan susu, serta tips untuk memilih makanan yang baik untuk balita 4 Sanitasi dan Hygien Sanitasi dan higiene untuk perseorangan maupun lingkungan, fasilitas rumah sehat, pengelolaan sampah, cara mencegah pencemaran dan cara mencuci tangan yang baik dan benar 5 Keamanan Pangan Pengertian keamanan pangan, jenis-jenis cemaran kimia, fisik dan biologis, cara mencegah cemaran, serta tentang bahan tambahan pangan yang aman 7 Partisipasi Posyandu Pentingnyapartisipasi masyarakat, bentuk partisipasi di posyandu, cara agar ibu balita rajin ke posyandu, upaya meningkatkan perhatian masyarakat Pemberi Materi Materi penyuluhan ini disampaikan oleh dosen dari Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor dan didampingi penulis yang merupakan bagian dari mahasiswa peneliti. Metode dan Teknik Metode yang digunakan dalam penyuluhan ini adalah metode kelompok. Teknik yang digunakan dalam penyuluhan adalah ceramah disertai diskusi dan demonstrasi. Ceramah dalam penyuluhan ini berupa penyampaian materi yang disampaikan selama menit. Di akhir sesi, dilakukan diskusi tanya jawab antara pemberi materi dan responden selama menit. Demonstrasi dalam penelitian ini berupa demo masak yang diberikan sebagai bekal pengetahuan dan melatih keterampilan mereka dalam memilih pangan yang tepat untuk dikonsumsi anak balita. Selain itu, diberikan pelatihan dalam pengisian buku register posyandu untuk meningkatkan kinerja posyandu. Waktu dan Tempat Intervensi berupa penyuluhan gizi dan partisipasi posyandu dilaksanakan di posyandu Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Intervensi ini diberikan selama 60 menit dalam satu kali pertemuan yang dilakukan selama empat bulan pada bulan Juni - Oktober 2012 dengan frekuensi penyuluhan

39 sebanyak dua kali dalam satu bulan.waktu pelaksanaan penyuluhan ditunjukkan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Waktu pelaksanaan penyuluhan gizi 21 Waktu (Minggu ke-) I II III IV V V1 Topik Gizi Dasar Gizi untuk Balita Pemilihan Makanan untuk Balita Sanitasi Dasar Keamanan Pangan Partisipasi Posyandu Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang dilakukan meliputi entry, coding, cleaning, dan analyzing. Data diolah serta dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Secara deskriptif dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excell Analisis hubungan, pengaruh, serta uji beda antara kelompok kontrol dan intervensi dianalisis secara statistik menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) melalui software SPSS 16. Data mengenai karakteristik ibu dan balita ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan tentang gizi dasar, pemilihan makanan untuk balita, kebiasaan makan balita, sanitasi, dan keamanan pangan.selanjutnya dari 10 pertanyaan tersebut diberikan skor pada masing-masing jawaban. Jawaban yang benar diberi skor 1, dan jawaban yang salah diberi skor 0, sehingga diperoleh total nilai terendah 0 dan total nilai tertinggi 10. Pengetahuan gizi ibu kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan total nilai, yaitu rendah apabila total nilai kurang dari 60%, sedang apabila total nilai yang diperoleh antara 60-80%, dan tinggi apabila total nilai lebih dari 80% (Khomsan 2000). Pengukuran sikap dilakukan dengan cara memberikan 10 pernyataan terkait sikap ibu terhadap gizi dasar, pemilihan makanan untuk balita, kebiasaan makan balita, sanitasi, dan keamanan pangan. Penilaian pada masing-masing pernyataan adalah dengan memberi skor 2 apabila setuju, diberi skor 1 apabila ragu-ragu,dan diberiskor 0 apabila tidak setuju. Selanjutnya total skor sikap ibu akan dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) sikap negatif, apabila skor <60% dari total jawaban yang benar, (2) sikap netral, apabila skor 60% - 80% dari total jawaban yang benar, serta (3) sikap positif, apabila skor >80% dari total jawaban yang benar (Khomsan 2000). Pengukuran praktik dilakukan dengan cara memberikan 10 peryataan terkait perilaku ibu tentang gizi dasar, pemilihan makanan untuk balita, kebiasaan makan balita, sanitasi, dan keamanan pangan yang dinilai dengan tiga skala yaitu sering (skor 2), kadang-kadang/jarang (skor 1), dan tidak pernah (skor 0). Selanjutnya total skor sikap ibu akan dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) praktik kurang, apabila skor <60% dari total jawaban, (2) praktik sedang, apabila skor 60% - 80% dari total jawaban, serta (3) praktik baik, apabila skor >80% dari total jawaban (Khomsan 2000).

40 22 Status gizi balita dihitung menggunakan z-skor berdasarkan indeks berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), serta berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) dengan menggunakan software antropometri Status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB dikategorikan menjadi empat menurut standar baku Kemenkes RI 2010 (Tabel 5). Tabel 5 Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO-NCHS No Indeks yang digunakan Batas Klasifikasi Pengelompokan status gizi 1 BB/U <-2 SD Gizi kurang -2 s/d+2 SD Gizi baik >+2 SD Gizi lebih 2 TB/U <-2 SD Pendek -2 s/d+2 SD Normal >+2 SD Tinggi 3 BB/TB -3 s/d <-2 SD Kurus -2 s/d +2 SD Normal >+2 SD Gemuk Sumber : Kemenkes RI 2010 Selain itu, untuk melihat apakah suatu program berjalan dengan baik atau tidak maka perlu adanya upaya untuk dapat mempertahankan kualitas dalam pelaksanaannya. Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model SEVERQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithhaml dan Berry (1998) dalam Lupiyoadi (2002). Analisis kualitas pelayanan ini sering digunakan pada bidang ilmu manajemen sosial yang bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat seperti perhotelan, restoran, rumah sakit, dan jasa pelayanan lainnya. Akan tetapi, secara resmi Kementerian Kesehatan RI belum mengeluarkan kriteria-kriteria atau pun indikator untuk pengukuran kualitas pelayanan posyandu di suatu wilayah. Sehingga, dalam penelitian ini peneliti mengacu kepada standar kualitas pelayanan yang dikembangkan oleh Parasuraman et al Selanjutnya, dimensi kualitas pelayanan tersebut dikembangkan kembali oleh Nikmawati (2010) dalam penelitiannya tentang posyandu di kecamatan Darmaga dan Ciomas Kabupaten Bogor. Analisis lima dimensi kualitas pelayanan diukur dalam empat skala yaitu sangat tidak puas (skor 0), tidak puas (skor 0), puas (skor 1), dan sangat puas (skor 1). Total skor dari jawaban tingkat kepuasan ibu balita dapat menggambarkan tingkat kepuasan ibu terhadap kualitas pelayanan posyandu. Definisi Operasional Posyandu adalah pos pelayanan terpadu di kecamatan Tamansari yang merupakan suatu sistem pelayanan dasar kesehatan. Posyandu diharapkan dapat meningkatkan keaktifanmasyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu hamil, bayi dan balita, serta Wanita Usia Subur (WUS). Keberlanjutan (sustainability) adalah ketahanan program berupa ketahanan penyuluhan gizi di posyandu dalam meningkatkankan perilaku gizi ibu dan kualitas pelayanan posyandu yang diukur melalui tindak lanjut (follow-up)

41 penyuluhan gizi pada perilaku gizi ibu dan kualitas pelayanan posyandu. Dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika perubahan skor perilaku gizi ibu dan kualitas pelayanan posyandu pada saat follow-up lebih besar dari endline atau baseline. Kualitas pelayanan adalah kualitas pelayanan posyandu yang merupakan salah satu unsur penting untuk mengukur kinerja posyandu tersebut. Lima dimensi kualitas pelayanan meliputi tangibles (bukti fisik), reliability (keandalan), responsiveness, (ketanggapan), assurance (jaminan), dan empathy (perhatian) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan. Tangibles (bukti fisik) adalah kemampuan posyandu dalam menunjukkan eksistensinya kepada pengunjung posyandu (ibu balita) dengan sarana dan prasarana di posyandu tersebut yang mencakup kemutahiran alat, kenyamanan tempat penimbangan, penampilan kader, penampilan petugas lainnya, dan kemanfaatan fasilitas. Reliability (keandalan) adalah kemampuan petugas posyandu dalam memberikan pelayanan yang akurat dan terpercaya, mencakup jadwal pelaksanaan, ketanggapan petugas, kehandalan pelayanan, lama waktu pelayanan, dan pencatatan hasil pelayanan di posyandu. Responsiveness (ketanggapan) adalah kemampuan petugas posyandu dalam memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pengunjung posyandu (ibu balita) yang meliputi penyampaian informasi terkait layanan, kecekatan pelayanan, kesediaan membantu anggota posyandu, dan kecepatan merespon pengunjung posyandu. Assurance (jaminan) adalah kemampuan petugas posyandu untuk menumbuhkan rasa percaya ibu balita terhadap pelayanan posyandu yang meliputi kemampuan memberikan konsultasi, kenyamanan pengunjung, kesabaran kader, dan dukungan aparat desa. Empathy (perhatian) adalah perhatian yang bersifat individual yang diberikan kepada pengunjung posyandu yang meliputi perhatian kader kepada anggota posyandu, perhatian kader kepada sesama kader, pemahaman kader terhadap kebutuhan anggota posyandu, dan jam buka yang sesuai kebutuhan. Penyuluhan gizi adalah penyuluhan yang berkaitan dengan pangan, gizi, dan kesehatan yang diberikan kepada ibu balita dan kader selama 3 bulan atau 5 kali pertemuan, dengan 5 topik materi penyuluhan serta penyuluhan partisipasi di posyandu yang disertai dengan pelatihan teknis kinerja posyandu. Setiap kali kegiatan dimulai dengan pre-test, penjelasan materi, diskusi, dan pos-test. Partisipasi ibu balita di Posyandu adalah keterlibatan ibu balita di posyandu pada saat balita seharusnya dibawa ke posyandu, meliputi aspek frekuensi kunjungan ke posyandu, motivasi kunjungan ke posyandu, pelaksanaan, dan persepsi tentang posyandu. Perilaku gizi ibu adalah pengetahuan, sikap, dan praktik ibu balita terhadap pangan, gizi, dan kesehatan. 23

42 24 Pengetahuan gizi ibu adalah adalah kemampuan ibu balita dalam memahami 10 pertanyaan yang berhubungan dengan gizi dasar, gizi untuk balita, pemilihan makanan untuk balita, sanitasi dasar, dan keamanan pangan baik sebelum maupun sesudah penyuluhan gizi. Sikap gizi ibu adalah respon ibu dan kader terhadap 10 penyataan terkait gizi dasar, gizi untuk balita, pemilihan makanan untuk balita, sanitasi dasar, dan keamanan pangan baik sebelum maupun sesudah penyuluhan gizi yang diukur dengan tiga skala yaitu setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju. Praktik gizi ibu adalah 10 pernyataan tindakan atau praktik ibu dan kader terkait gizi dasar, gizi untuk balita, kebiasaan makan balita, sanitasi, dan keamanan pangan baik sebelum maupun sesudah penyuluhan gizi yang diukur dengan tiga skala yaitu sering, kadang-kadang/jarang, dan tidak pernah. Balita adalah anak perempuan dan/atau laki-laki berusia 0 bulan hingga 36 bulan yang tercatat di posyandu desa Sukajadi dan desa Sukaluyu. Status gizi balita adalah keadaan gizi balita yang diukur berdasarkan standar baku WHO (2005) dengan menggunakan metode antropometri dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Taman Sari merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki luas Ha. Kecamatan Taman Sari terdiri dari 8 desa, 25 lingkungan/dusun, 91 RW, 360 RT, dengan jumlah penduduk laki-laki jiwa dan perempuan jiwa. Secara administratif, kecamatan Taman Sari mempunyai batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciomas dan Bogor Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Gunung Salak, sebelah sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenyolaya dan Kecamatan Dramaga, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk. Kecamatan Taman Sari beriklim sejuk dengan temperatur suhu rata-rata 25 0 C pada siang hari dan 30 0 C pada malam hari dengan ketinggian antara 700 meter di atas permukaan laut, yang merupakan kawasan berbukit di bawah kaki Gunung Salak. Sebagai wilayah pengembangan pertanian dan wisata, kecamatan Taman Sari memiliki produksi pertanian unggulan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, dan sayur-sayuran. Disamping itu juga sebagai sentra tanaman hias yang pemasarannya telah memasuki pangsa lokal, regional, dan macanegara. Pengembanggan lainnya adalah industri sedang berjumlah 27 buah dengan tenaga kerja 77 orang, industri kecil 400 buah dengan pekerja 1200 orang, dan home industry 74 buah degan pekerja 400 orang. Untuk pengembangan pariwisata ada Kampung Budaya Sindang Barang, Bumi Perkemahan, Curug Nangka, dan Wisata Situs yang tersebar di desa Pasireurih, Sukamantri, dan Tamansari.

43 25 Besar Keluarga Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Sebaran ibu balita berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Sebaran ibu balita berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga Kontrol Intervensi n % n % Kecil ( 4 orang) 18 58, ,5 Sedang (5-7 orang) 10 32,3 5 16,1 Besar ( 8 orang) 3 9,7 6 19,4 Total p-value 0,821 Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga yaitu kecil ( 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar ( 8 orang). Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa besar keluarga kelompok kontrol dan intervensi memiliki jumlah keluarga 4 orang dan tergolong keluarga kecil (Hurlock 1993). Hasil uji statistik (Independent Sample t-test) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan besar keluarga ibu balita pada kelompok kontrol dan intervensi (p>0,05). Studi oleh Ajao et al. (2010) di Nigeria menunjukkan bahwa rumah tangga dengan ukuran keluarga besar, kerawanan pangan dan praktik perawatan anak yang kurang memungkinkan untuk memiliki anak yang kekurangan gizi. Anakanak yang tumbuh di dalam keluarga miskin akan rawan dengan terjadinya kurang gizi diantara anggota keluarga terutama bagi anak yang paling kecil. Hal ini dapat terjadi karena biasanya dipengaruhi oleh besarnya anggota keluarga. Apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak akan berkurang (Suhardjo dkk 1988). Pekerjaan Ibu Balita dan Suami Sebagian besar jenis pekerjaan suami ibu balita kelompok kontrol (35,5%) dan intervensi (83,9%) adalah buruh non tani. Pekerjaan buruh non-tani dalam penelitian ini meliputi pengrajin sepatu dan sandal, baik untuk pria maupun wanita serta untuk anak-anak dan dewasa. Jenis pekerjaan yang mereka tekuni tidak berubah hingga pengambilan data akhir penelitian (endline). Tabel 7 Sebaran ibu balita dan suami berdasarkan jenis pekerjaan Baseline Endline Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Ibu Balita Ibu Ibu Ibu Ibu Suami Suami Suami Suami Balita Balita Balita Balita n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Tidak bekerja 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 0(0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) Petani 1 (3,2) 0 (0,0) 1 (3,2) 1 (3,2) 0 (0,0) 0 (0,0) 2 (6,5) 0 (0,0) Pedagang 2 (6,5) 3 (9,7) 2 (6,5) 2 (6,5) 4 (13,3) 5 (16,7) 2 (6,5) 4 (12,9)

44 26 Buruh tani 3 (9,7) 0 (0,0) 1(3,2) 0 (0,0) 1 (3,3) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) Buruh non tani PNS/ABRI/ Polisi 11 (35,5) 0 (0,0) 26 (83,9) 0 (0,0) 12 (40,0) 1 (3,3) 24 (77,4) 1 (3,2) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 1 (3,3) 0 (0,0) 1 (3,2) 0 (0,0) Jasa 9 (29,0) 1 (3,2) 1 (3,2) 0 (0,0) 9 (30,0) 0 (0,0) 2 (6,5) 2 (6,5) IRT 0 (0,0) 27 (87,1) 0 (0,0) 28 (90,3) 0 (0,0) 24 (80,0) 0 (0,0) 22 (71,0) Lain-Lain 5 (16,1) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 3 (10,0) 0 (0,0) 0 (0,00) 2 (6,5) Total 31 (100) 31 (100) 31 (100) 31 (100) 30 (100) 30 (100) 31 (100) 31 (100) Sementara itu, ibu balita di kedua kelompok penelitian ini sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga (IRT). Peranan IRT dalam usaha perbaikan gizi keluarga sangatlah penting. Peran ibu di dalam keluarga di antaranya sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Hasil t-test (p>0,01) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis pekerjaan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi begitupula jenis pekerjaan suami ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Menurut Suhardjo (1989), faktor pendapatan merupakan faktor kedua yang juga dominan dalam menentukan gaya hidup keluarga maupun masyarakat suatu wilayah. Sementara itu, tingkat pedapatan tidak terlepas dari jenis pekerjaan yang dimiliki oleh anggota keluaga tersebut. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga Variabel Baseline Endline Rata-rata ± Simpangan Baku Rata-rata ± Simpangan Baku p-value Pendapatan (Rp/kap/bln) Kontrol 1,107,924 ± 814,804 a 1,108,074 ± 298,912 a 0,428 Intervensi 909,354 ± 490,669 a 1,503,936 ± 1,105,476 b 0,038 Pengeluaran (Rp/kap/bln) Kontrol 780,964 ± 559,422 a 759,284 ± 685,417 a 0,560 Intervensi 750,569 ± 537,266 a 798,313 ± 784,593 a 0,256 Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA Pendapatan adalah salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi. Hasil studi menunjukkan bahwa kurangnya pendapatan rumah tangga akan membatasi kemampuan orangtua untuk mengasuh anak dengan baik. Hal ini dapat diperparah oleh banyaknya anak dalam keluarga (Reyes et al. 2004). Data baseline menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan kelompok kontrol (Rp. 1,107,924) sedikit lebih besar dibandingkan kelompok intervensi (Rp. 909,354). Akan tetapi, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada besar pendapatan kedua kelompok tersebut (p>0,05). Besar pendapatan dari

45 masing-masing kelompok dapat pula dipengaruhi oleh besaran sumbangan pendapatan dari anggota keluarga lainnya yang menetap dalam satu rumah anggota keluarga. Sementara itu, pendapatan dan pengeluaran dari ke dua kelompok tersebut relatif meningkat pada pengambilan data akhir (endline), namun rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga kelompok kontrol masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok intervensi. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan suami pada kelompok kontrol yang lebih beragam dibandingkan kelompok intervensi sehingga suami pada kelompok kontrol dapat menyumbang pemasukan kelaurga lebih besar. Akan tetapi, secara statistik tidak terdapat perbedaan pendapatan keluarga kelompok kontrol dan intervensi (p>0,05). Studi Basit et al. (2012) menunjukkan bahwakarakteristik sosio-demografi yang digunakan sebagai penentu status gizi anak di India adalah status sosial ekonomi keluarga dan pekerjaan orang tua. Hasil menunjukkan bahwa jenis pekerjaan ayah signifikan berhubungan dengan status gizi anak dimana seorang anak yang memiliki seorang ayah dengan pekerjaan buruh atau menganggur beresiko tiga kali lebih besar mengalami kekurangan gizi. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan (p<0,05) antara pendapatan dan pengeluaran keluarga di desa kontrol dan intervensi. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin besar pengeluaran yang dikeluarkan. Keluarga dan masyarakat yang penghasilannya rendah, lebih cenderung untuk membeli bahan pangan, dan makin tinggi penghasilan seseorang maka semakin menurun bagian penghasilan yang digunakan untuk membeli bahan pangan atau makanan (Suhardjo 1989). Karakteristik Ibu Karakteristik ibu dalam penelitan ini adalah umur dan pendidikan ibu. Berdasarkan Tabel 9 di bawah ini, umur ibu balita balita kelompok kontrol lebih muda (24 tahun) dibandingkan dengan kelompok intervensi (27 tahun). Akan tetapi, secara statistik pada t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,01) antara umur ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Tabel 9 Rata-rata umur dan pendidikan ibu balita Variabel Kontrol ( x ±SD) Intervensi ( x ±SD) p-value Umur Ibu (tahun) 24,5 ± 3,9 27,1 ± 7,8 0,105 Pendidikan Ibu (tahun) 6,6 ± 2,3 4,5 ± 2,0 0,000** (**) Signifikan berbeda pada taraf 1% Berdasarkan kategori umur, umur ibu balita kelompok kontrol dan intervensi masih dalam kategori usia produktif (20-40 tahun) sehingga ibu akan lebih mudah untuk berfikir dan menerima informasi serta mudah untuk mengalami perubahan perilaku (Soekidjo 2005). Menurut Kotler (2002), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam menerima informasi baru adalah umur. Semakin tua umur seseorang akan menghambat individu untuk menerima dan mengingat suatu informasi begitupula sebaliknya. Sementara itu, pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Campbel (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang 27

46 28 lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu balita di kelompokkontrol setara dengan SD kelas 6, lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi yang setara dengan SD kelas 4. Hasil tersebut juga ditandai t-test yang menunjukkan adanya perbedaan antara pendidikan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi (p<0,01). Akan tetapi, pendidikan ibu pada kedua kelompok tersebut masih tergolong pendidikan kategori rendah (Sekolah Dasar) sehingga dapat menjadi hambatan dalam menerima materi penyuluhan yang diberikan. Pada kenyataannya, tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada kehidupan di dalam keluarga, khususnya tingkat pendidikan ibu yang mempunyai pengaruh lebih besar (Hien, Sin 2008). Hal ini dikarenakan ibu mempunyai peran dan tanggung jawab lebih besar dalam praktik pengasuhan dan perawatan anak serta keluarga (Cesare, Sabates, Keith 2013; Monden, Smith 2013).Menurut Madanijah (2003), pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Pengetahuan Gizi Ibu Balita Perilaku Gizi Ibu Balita Pengetahuan gizi adalah segala bentuk informasi yang berkaitan dengan pangan dan gizi. Seseorang dapat memperoleh pengetahuan gizi melalui berbagai sumber seperti buku-buku pustaka, majalah, televisi, radio, surat kabar, dan orang lain (suami, teman, tetangga, ahli gizi, dokter, dan lain-lain) (Khomsan et al. 2009). Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban yang benar dari setiap topik penyuluhan mengenai pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10 Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan gizi Jenis Pertanyaan 1. Mengonsumsi sayuran sangat penting karena sayuran umumnya dapat menjadi sumber protein Baseline Endline Follow-up n % n % n % Kontrol 1 3, , ,3 Intervensi 2 6, , ,1 2. Susu kental manis kandungan gizinya lebih baik daripada susu bubuk/ susu cair Kontrol 19 61,3 8 26, ,7 Intervensi 12 38,7 2 6, ,3 3. Zat gizi untuk pertumbuhan disebut protein Kontrol 26 83, , ,3 Intervensi 28 90, , ,6

47 Jenis Pertanyaan 29 Baseline Endline Follow-up n % n % n % 4. Mengonsumsi daging bermanfaat untuk pertumbuhan anak Kontrol 30 96,8 7 23, ,3 Intervensi ,0 7 22, ,3 5. Anak berusia 2-3 bulan sudah boleh diberi pisang/pepaya Kontrol 19 61, ,7 6 20,0 Intervensi 19 61, ,0 7 22,6 6. Sarapan pagi tidak penting, lebih penting makan siang atau makan malam Kontrol 25 80, ,3 9 30,0 Intervensi 29 93, ,5 3 9,7 7. ASI saja (eksklusif) diberikan pada anak sampai usia 3 bulan Kontrol 17 54, ,7 9 30,0 Intervensi 12 38, , ,3 8. Susu mempunyai kandungan kalsium tinggi Kontrol , , ,0 Intervensi , , ,3 9. Tahu yang mengandung formalin akan lebih mudah basi Kontrol 18 58, , ,0 Intervensi 20 64, , ,2 10. Mencuci sayuran dengan air kran yang mengalir lebih baik daripada di baskom Kontrol 29 93, , ,3 Intervensi 30 96, , ,8 Jenis pertanyaan yang diberikan kepada ibu balita telah mecakup lima topik penyuluhan gizi yaitu pertanyaan nomor 1, 2, dan 3 untuk topik gizi dasar ; pertanyaan nomor 4, 5, dan 7 untuk topik gizi untuk balita, pertanyaan nomor 6 dan 8 untuk topik kebiasaan makan balita ; pertanyaan nomor 10 untuk topik sanitasi dasar ; dan pertanyaan nomor 9 untuk topik keamanan pangan. Dari 10 pertanyaan tersebut maka dapat diukur sebaran ibu balita dalam menjawab benar. Hasil data baseline menunjukkan bahwa semua ibu balita kelompok kontrol (100,0%) dan kelompok intervensi (100,0%) mengetahui kandungan gizi pada susu. Hal ini ditandai dengan kemampuan ibu balita menjawab dengan benar bahwa susu mengandung kalsium tinggi. Hal ini diduga karena pengetahuan mengenai susu bukan menjadi sesuatu yang awam di lapisan masyarakat baik di kota maupun di desa, mengingat sudah banyaknya produsen susu yang mengiklankan produk susu di berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak.

48 30 Pertanyaan kedua yang mampu dijawab dengan baik adalah manfaat konsumsi daging bagi anak. Hal ini ditandai dengan hampir semua ibu balita kelompok kontrol (96,8%) dan semua ibu balita kelompok intervensi (100,0%) menjawab dengan benar bahwa mengkonsumsi daging bermanfaat untuk pertumbuhan anak. Di lain sisi, masih terdapat beberapa jenis pertanyaan yang sedikit dijawab dengan benar oleh ibu balita seperti kandungan gizi pada sayuran, usia pemberian ASI ekslusif serta kandungan gizi susu kental manis. Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol (96,8%) dan intervensi (93,5%) tidak mampu menjawab dengan benar item pertanyaan tentang kandungan gizi pada sayuran. Hal ini dikarenakan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi masih sulit membedakan kelompok sayuran dan protein nabati dimana mereka masih menganggap bahwa tahu merupakan kelompok sayuran sehingga sayuran diasumsikan mengandung zat gizi protein. Akan tetapi, setelah diberikan penyuluhan gizi (endline) terjadi peningkatan pengetahuan ibu balita kelompok intervensi. Hasil tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah ibu yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tentang kandungan gizi pada sayuran (83,9%) dan usia pemberian ASI eklusif (80,6%). Hal ini berarti penyuluhan gizi topik gizi dasar dan gizi untuk balita dapat dipahami ibu balita dengan baik. Sementara itu, pada endline terdapat beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan benar atau sebaran jawaban benar menurun dari baseline. Hal ini diduga pengaruh jangka waktu pengambilan data akhir setelah penyuluhan (endline) yang cukup lama sehingga mempengaruhi kemampuan mengingat ibu balita tersebut. Sehingga, sangat dibutuhkan peran kader untuk melakukan penyuluhan berkelanjutan setiap bulannya agar pengetahuan ibu tentang gizi tetap baik. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada ibu balita terkait topik penyuluhan gizi di atas kemudian diberi skor dan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang, dan baik (Khomsan 2000). Sebaran ibu balita berdasarkan kategori pengetahuan gizi dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11 Sebaran ibu balita berdasarkan kategori pengetahuan gizi Kategori Pengetahuan Gizi Baseline Endline Follow-up Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % n % n % Kurang (<60%) 6 19,4 3 9,7 1 6,7 9 29, , ,7 Sedang (60-80%) 22 71, , , , , ,1 Baik (>80%) 3 9,7 2 6,5 15 6,7 5 16,1 2 6,7 1 3,2 Total , , , ,0 x ±SD 69,4±15,5 b 69,0±11,9 b 71,0±10,3 b 65,0±24,5 ab 63,0±13,2 ab 58,7±13,1 a Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA Tingkat pengetahuan gizi ibu balita yang baik secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap sikap dan praktik dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi anak balita yang bersangkutan. Sebagian besar ibu balita kelompok kontrol (63,3%) dan kelompok intervensi

49 (64,5%) diketahui tidak pernah mendapatkan informasi terkait pangan, gizi, dan kesehatan sebelumnya. Secara deskriptif, data baseline menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan gizi ibu pada kelompok kontrol (71,0%) dan intervensi (83,9%) tergolong sedang. Sementara itu, rata-rata skor pengetahuan gizi ibukelompok kontrol sedikit lebih tinggi dibandingkan kelolompok intervensi. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Intervensi berupa penyuluhan gizi pada ibu balita diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu kategori kurang dan sedang menjadi kategori baik karena pengetahuan gizi ibu yang baik berhubungan dengan sikap dan praktik gizi ibu yang kemudian akan berhubungan dengan perawatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Setelah diberikan penyuluhan (endline) terjadi peningkatan kategori pengetahuan gizi baik (16,1%) pada ibu balita kelompok intervensi. Meskipun demikian, rata-rata skor pengetahuan gizi ibu pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi. Hasil tersebut juga ditandai dengan rata-rata peningkatan skor pengetahuan gizi pada kelompok kontrol (ΔP 1 =3,3 poin). Akan tetapi, terjadi penurunan skor pengetahuan gizi pada kelompok intervensidengan rata-rata penurunan skor sebesar 6,7 poin (Gambar 4). Hal tersebut dikarenakan besarnya sebaran ibu dengan pengetahuan gizi kurang (29,0%) dibandingkan pengetahuan gizi baik (16,1%). Pengetahuan gizi kurang pada beberapa ibu balita di endline disebabkan penurunan sebaran ibu balita yang menjawab dengan benar beberapa pertanyaan tentang gizi seperti kandungan gizi susu kental manis, zat gizi untuk pertumbuhan, manfaat mengkonsumsi daging, sarapan pagi, kandungan gizi pada susu, dan cara mencuci sayuran. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Kecenderungan penurunan pengetahuan gizi pada masing-masing kelompok juga terjadi pada data follow-up. Berdasarkan uji Duncan, tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Berdasarkan Tabel 11 di atasdiketahui bahwa terjadi penurunan persentase ibu balita kelompok intervensi yang memiliki pengetahuan gizi baik hingga mencapai 3,2%. Hal tersebut juga ditandai dengan penurunan skor pengetahuan kelompok kontrol dan intervensi (ΔP 2 =13 poin; ΔP 2 =0,3 poin) (Gambar 4). Hal ini diduga karena ibu balita memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengingat materi penyuluhan dan keinginan ibu balita untuk membaca kembali materi yang diberikan masih cukup rendah sehingga ibu balita tidak bisa menjawab pertanyaan terkait gizi dengan benar. Menurut Mariani (2002) ketidaktahuan tentang gizi dapat mengakibatkan seseorang salah memilih bahan dan cara menyajikannya. Akan tetapi sebaliknya, ibu dengan pengetahuan gizi baik biasanya akan mempraktikkan pola makan sehat bagi anak-anaknya agar terpenuhi kebutuhan gizinya. Hasil analisis pada uji Duncan diketahui bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,01) pada baseline, endlie, dan follow-up. Hal ini dikarenakan kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan (penyuluhan gizi) sehingga perubahan tidak mempengaruhi skor pengetahuan gizi. Sementara itu, diketahui bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu 31

50 32 kelompok intervensi pada baseline tidak berbeda nyata (p>0,01) pada saat endline namun terdapat perbedaan signifikan antara tingkat pengetahuan gizi ibu kelompok intervensi pada saat baseline dan follow-up (p<0,01). Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan skor pengetahuan gizi hingga follow-up. Rataan Skor Pengetahuan Gizi ,3-4, ,3-10,3-5,5 Kontrol Intervention ΔP 1 ΔP 2 ΔP 3 Keterangan: ΔP 1 : Rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi ibu (endline terhadap baseline) ΔP 2 : Rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi ibu (follow-up terhadap endline) ΔP 3 : Rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi ibu (follow-up terhadap baseline) Gambar 4 Perubahan skor pengetahuan gizi ibu Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi kelompok kontrol dan intervensi cenderung menurun ketika dilakukan followup. Meskipun demikian, penurunan tersebut (ΔP 2 ) masih lebih baik dibandingkan baseline (ΔP 3 ). Sementara itu, dapat diketahui bahwa rata-rata penurunan skor pengetahuan gizi ibu kelompok kontrol lebih besar dibandingkan kelompok intervensi. Uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh antara penyuluhan gizi terhadap pengetahuan gizi ibu (p<0,05). Hal ini dapat dikatakan bahwa penyuluhan gizi yang diberikan kepada kelompok intervensi memberikan manfaat kepada ibu-ibu balita tersebut (Pelto et al. 2004; Abdurahmah 2012). Sikap Gizi Ibu balita Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap belum menunjukkan suatu tindakan namun menunjukkan suatu kecenderungan bertindak (Notoatmodjo 2003). Penyuluhan gizi yang diberikan kepada ibu balita diharapkan dapat menumbuhkan sikap yang lebih baik terhadap gizi. Sikap yang lebih baik (sikap positif) ditunjukkan dengan persetujuan akan sikap bahwa ibu bersedia menyediakan sayuran setiap hari untuk keluarga, memilih susu bubuk/cair untuk anak, menyediakan lauk-pauk, mengkonsumsi daging, anak usia 2-3 bulan tidak boleh diberi pisang, anak harus selalu sarapan pagi, ASI esklusif diberikan pada anak sampai usia 6 bulan, minum susu penting untuk anak, jajanan ciki-ciki kurang baik bagi anak, dan lalapan yang direbus lebih aman daripada lalapan

51 mentah. Sebaran ibu balita berdasarkan sikap positif (peryataan setuju) mengenai pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12 Sebaran ibu balita berdasarkan sikap positif terhadap pernyataan gizi Jenis Pernyataan Baseline Endline Follow-up n % n % n % 1. Saya akan menyediakan sayuran setiap hari untuk konsumsi keluarga saya Kontrol , , ,0 Intervensi 30 96, , ,0 2. Anak saya lebih baik minum susu bubuk/ susu cair daripada minum susu kental manis Kontrol 24 77, , ,7 Intervensi 18 58, , ,0 3. Menyediakan lauk Kontrol , , ,0 Intervensi 29 93, , ,8 4. Tidak setuju, anak tidak perlu mengonsumsi daging karena harganya mahal Kontrol 13 41, , ,0 Intervensi 14 45, , ,3 5. Tidak setuju, anak berusia 2-3 bulan boleh diberi pisang agar tidak rewel Kontrol 14 45, , ,3 Intervensi 14 45, , ,0 6. Anak harus selalu sarapan pagi agar kuat beraktivitas Kontrol , , ,0 Intervensi 30 96, , ,8 7. Tidak setuju, ASI saja (eksklusif) diberikan pada anak sampai usia 3 bulan Kontrol 16 51, , ,3 Intervensi 12 38, , ,3 8. Minum susu penting bagi anak untuk memperkuat tulang dan gigi Kontrol , , ,0 Intervensi 30 96, , ,0 9. Jajanan ciki-cikian kurang baik bagi anak Kontrol 22 71, , ,3 Intervensi 18 58, , ,5 10. Lalap yang direbus lebih aman daripada lalap mentah Kontrol 30 96, , ,0 Intervensi 29 93, , ,1 33

52 34 Berdasarkan Tabel 12 di atas diketahui bahwa pada baseline terdapat beberapa pernyataan yang masih mendapatkan respon tidak setuju (sikap negatif) dari ibu balita kelompok intervensi. Sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (62,3%) memberikan respon negatif terhadap pernyataan ASI Esklusif dimana ibu tersebut setuju ASI ekslusif diberikan sampai usia 3 bulan. Pada kenyataanya, ASI-ekslusif harus diberikan kepada anak sampai usia 6 bulan (WHO 1991; Ukegbu et al. 2010). Sementara itu, terdapat pernyataan lainnya yang mendapatkan sikap negatif salah satunya adalah jajanan ciki-cikian kurang baik bagi anak. Hanya sebagian kecil (58,1%) ibu balita yang setuju bahwa jajanan tersebut kurang baik. Pada kenyataannya, jajanan ciki-ciki yang terasa sangat gurih karena bumbunya dapat mengakibatkan anak-anak ketagihan dan memakannya hampir setiap hari. Padahal bumbu tersebut umumnya mengandung zat yang berbahaya seperti Mono Sodium Glutamat (MSG) yang apabila dikonsumsi berlebihan dapat mengakibatkan radang tenggorokan, gangguan otak, gangguan ginjal, dan mual (Martyn et al. 2013; Vuthithu et al. 2013) Pada endline, terjadi peningkatan sikap positif pada masing-masing pernyataan yang mendapatkan sikap negatif pada baseline. Akan tetapi, masih terdapat beberapa penyataan negatif dari ibu balita dimana ibu balita tidak setuju memberikan susu bubuk/susu cair dibandingkan susu kental manis. Hal ini dikarenakan, selain anak mereka lebih menyukai suka kental manis juga harga susu kental manis yang ekonomis dibandingkan susu bubuk. Selanjutnya, pernyataan terkait sikap gizi ibu diberi skor dan dikategorikan menjadi sikap negatif, netral, dan positif (Khomsan 2010). Sebaran ibu balita berdasarkan sikap gizi dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13 Sebaran ibu balita berdasarkan kategori sikap gizi Kategori Sikap Gizi Baseline Endline Follow-up Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % n % n % Negatif (<60%) 0 0,0 4 12,9 1 3,3 1 3,2 1 3,3 0 0,0 Netral (60-80%) 16 51, , , ,6 9 30, ,6 Positif (>80%) 15 48,4 9 29, , , , ,4 Total , ,0 x ±SD 80,6±13,7 ab 74,4±14,6 a 77,1±20,4 ab 81,0±11,5 ab 83,4±21,0 b 82,7±13,0 b Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA Tabel 13 menunjukkan bahwa sikap gizi ibu balita kelompok kontrol dan intervensi tergolong netral. Sikap netral dalam penelitian ini berupa sikap raguragu terhadap pernyataan gizi yang diberikan. Data baseline menunjukkan adanya sikap negatif pada kelompok intervensi sebesar 12,9% namun pada kelompok kontrol tidak terdapat sikap negatif terhadap pernyataan gizi yang diberikan. Hasil tersebut juga ditandai dengan rata-rata skor sikap gizi kelompok kontrol (80,6±13,7) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi (74,4±14,6). Namun, uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Uji korelasi Pearson data baseline pada kelompok kontrol dan intervensi menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan (p<0,01) antara pengetahuan dan sikap gizi ibu balita. Menurut Khomsan (2009), tingkat pengetahuan

53 seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Penyuluhan gizi yang diberikan dapat meningkatkan sikap positif terhadap gizi menjadi 45,2% dan menurunkan sikap negatif terhadap gizi menjadi 3,2%. Hal ini juga ditandai dengan rata-rata peningkatan skor sikap gizi ibu kelompok intervensi sebesar 6,6 poin (ΔS 1 ). Sementara itu, skor sikap gizi ibu kelompok kontrol menurun (ΔS 1 =1,0 poin) (Gambar 5). Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Sementara itu, uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh antara penyuluhan gizi terhadap sikap gizi ibu (p<0,05). Hasil ini juga serupa dengan studi yang dilakukan oleh Abdurahmah (2012) dimana terdapat pengaruh konseling gizi terhadap pengetahuan dan sikap ibu tentang tumbuh kembang balita. Sementara itu, hasil follow up pada kelompok intervensi menunjukkan peningkatan sebaran ibu balita dengan sikap positif terhadap gizi menjadi 50,0% dan tidak terdapat ibu balita dengan sikap gizi negatif (82,7±13,0). Hal ini berarti penyuluhan gizi yang diberikan kepada ibu balita kelompok intervensi sustainable. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). 35 Rataan Skor Sikap Gizi 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 6,6 6,3 1,8 5,3 8,4 Kontrol Intervention -2,0-1,0 ΔS 1 ΔS 2 ΔS 3 Keterangan: ΔS 1 : Rata-rata perubahan skor sikap gizi ibu (endline terhadap baseline) ΔS 2 : Rata-rata perubahan skor sikap gizi ibu (follow-up terhadap endline) ΔS 3 : Rata-rata perubahan skor sikap gizi ibu (follow-up terhadap baseline) Gambar 5 Perubahan skor sikap gizi ibu Hasil analisis pada uji Duncan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,01) sikap gizi ibu kelompok kontrol pada baseline, endline, dan follow-up. Sementara itu, diketahui bahwa sikap gizi ibu kelompok intervensi pada baseline tidak berbeda nyata (p>0,01) pada saat endline, namun terdapat perbedaan signifikan antara sikap gizi ibu kelompok intervensi pada saat baseline dan follow-up (p<0,01). Analisis korelasi Pearson pada data endline dan follow up menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0,01) antara pengetahuan dan sikap gizi ibu balita. Hal ini berarti meskipun pengetahuan ibu meningkat, namun tidak mencerminkan sikap gizi ibu balita tersebut. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yaitu penghasilan keluarga (Reyes, Hortensia 2004; Basit et al. 2012). Hal

54 36 tersebut didukung dengan salah satu hasil dalam penelitian ini bahwa masih terdapat ibu-ibu balita yang cenderung tidak setuju dengan pernyataan akan memenuhi konsumsi daging untuk anak dan keluarga meskipun harganya mahal. Oleh sebab itu, pernyataan tersebut akan mendapatkan sikap negatif dari ibu balita yang tergolong ekonomi rendah. Praktik Gizi Ibu balita Pada penelitian ini praktik gizi ibu balita diperoleh dari pernyataan yang diberikan menggunakan kuesioner yang serupa pada pengukuran pengetahuan dan sikap gizi ibu. Akan tetapi, pernyataan dimodifikasi menjadi bentuk kebiasaan sehari-hari seperti sering, kadang-kadang/jarang, dan tidak pernah. Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban sering dari setiap pernyataan gizi disajikan pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14 Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban sering terhadap pernyataan gizi Jenis Pernyataan Baseline Endline Follow-up n % n % n % 1. Anak saya mengonsumsi sayuran Kontrol 19 61, , ,0 Intervensi 17 54, , ,3 2. Saya sering dan atau kadang-kadang memberi susu kental manis untuk anak saya Kontrol 9 29,0 6 20,0 7 23,3 Intervensi 5 16, ,3 4 12,9 3. Saya menyediakan tahu/tempe untuk lauk anak saya Kontrol 26 83, , ,0 Intervensi 28 90, , ,0 4. Anak saya mengonsumsi daging (sapi/ayam) sebagai lauk-pauk Kontrol 16 51, , ,0 Intervensi 8 25, ,3 9 29,0 5. Anak saya ketika berusia 2-3 bulan tidak pernah diberi makan pisang Kontrol 21 67, , ,0 Intervensi 15 48, , ,4 6. Anak saya biasa sarapan pagi Kontrol 24 77, , ,0 Intervensi , , ,9 7. Saya memberikan ASI saja (eksklusif) sampai anak berusia 6 bulan Kontrol 4 12,9 4 13,3 4 13,3 Intervensi 2 6,5 2 6,5 2 6,5 8. Saya membiasakan anak saya minum susu sampai sekarang

55 Kontrol 20 64, , ,0 Intervensi 17 54, , ,3 9. Anak saya suka jajan ciki-cikian Kontrol 7 22,6 2 6,7 0 0,0 Intervensi 3 9,7 2 6,5 0 0,0 10. Sayuran untuk anak saya selalu dimasak, bukan disajikan sebagai lalap mentah Kontrol 23 74, , ,7 Intervensi 27 87, , ,8 Data baseline (Tabel 14) menunjukkan bahwa praktik gizi yang pada umumnya sudah diterapkan dengan baik oleh ibu balita kelompok intervensi berturut-turut yaitu sarapan pagi pada anak, menyediakan tahu/tempe sebagai lauk untuk makan anak, dan sayuran untuk anak disajikan matang/masak, sedangkan praktik gizi yang belum diterapkan dengan baik adalah ASI ekslusif, jajanan cikiciki untuk anak, memberikan susu bubuk, konsumsi daging, anak diberikan makan pisang ketika usia 2-3 bulan, membiasakan anak minum susu, dan konsumsi sayuran pada anak. Pernyataan terkait praktik gizi ibu pada masing-masing topik penyuluhan dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang, dan baik (Khomsan 2000). Sebaran ibu balita berdasarkan tingkat pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15 Sebaran ibu balita berdasarkan kategori praktik gizi Kategori Praktik Gizi Baseline Endline Follow-up Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % n % n % Kurang (<60%) 7 22, ,4 7 23, ,9 7 23, ,5 Sedang (60-80%) 22 71, , , , , ,3 Baik (>80%) 2 6,5 1 3,2 2 6,7 1 3,2 4 13,3 1 3,2 Total , ,0 x ±SD 61,3±21,3 ab 57,1±15,0 a 64,2±16,3 b 61,3±11,1 ab 65,8±17,1 b 64,5±10,4 b Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA Berdasarkan data baseline pada Tabel 15, sebagian besar ibu balita kelompok intervensi memiliki praktik gizi kategori sedang (48,4%) yang berarti sebagian besar ibu pada kelompok intervensi jarang menerapkan praktik gizi yang baik pada anak balitanya. Sementara itu, masih terdapat ibu balita yang memiliki praktik gizi yang kurang pada kelompok kontrol (22,6%) dan kelompok intervensi (48,4%). Hal ini berarti masih terdapat sebagian ibu balita kelompok tersebut yang tidak pernah menerapkan praktik gizi dengan baik pada anak balitanya. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara praktik gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Uji korelasi Pearson pada data baseline menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan siginifikan (p>0,01) antara sikap dan praktik gizi ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Namun, menurut Ogunba (2006) dalam penelitiannya 37

56 38 menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara sikap ibu dan praktik pemberian makan anak dan status gizi anak (BB/TB) di Nigeria. Salah satu temuan terkait praktik gizi ibu pada awal penelitian ini adalah sebagian besar ibu balita yang memiliki skor praktik gizi kurang merupakan ibu balita yang tidak menerapkan Air Susu Ibu-Eklusif (ASI-Ekslusif) kepada anak mereka. Sebagian besar kelompok kontrol (88,1%) dan kelompok intervensi (93,5%) tidak memberikan ASI ekslusif kepada anak mereka ketika berusia 0-6 bulan dikarenakan telah memberikan minuman cair selain ASI seperti air putih dan madu. Menurut ibu balita yang diwawancarai, madu yang diberikan kepada bayi baru lahir diwajibkan bagi bayi baru lahir agar kulit kepala dan dahi anak tidak bersisik. Kebiasaan pada sebagian besar ibu tersebut mengakibatkan mereka melewatkan peran ASI Ekslusif (Ogunba 2006; Faber & Benade 2007). Penyuluhan gizi yang diberikan menunjukkan perubahan yang positif. Hal ini ditandai dengan dengan peningkatan praktik gizi ibu balita kategori sedang pada data endline sebesar 6,4% dari baseline.hasil ini juga ditandai dengan peningkatan skor praktik gizi (ΔPR 1 ) sebesar 4,2 poin pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (ΔPR 1 =2,9 poin). Sementara itu, hasil analisis uji Duncan (data endline) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara praktik gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). 8 7,4 Rata-rata perubahan skor ,2 4,5 2,9 3,2 1,6 ΔPR 1 ΔPR 2 ΔPR 3 Kontrol Intervensi Keterangan: ΔPR 1 : Rata-rata perubahan skor praktik gizi ibu (endline terhadap baseline) ΔPR 2 : Rata-rata perubahan skor praktik gizi ibu (follow-up terhadap endline) ΔPR 3 : Rata-rata perubahan skor praktik gizi ibu (follow-up terhadap baseline) Gambar 6 Perubahan skor praktik gizi ibu Analisis pada uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara praktik gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01) pada saat followup. Berdasarkan Gambar 6 di atas, perubahan praktik gizi ibu pada ΔPR 2 (3,2 poin) lebih rendah dibandingkan dengan ΔPR 1 (4,2 poin). Akan tetapi, rata-rata skor praktik gizi follow-up (64,5±10,4) lebih tinggi dibandingkan baseline (57,1±15,0). Hasil tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan gizi sustainable pada praktik gizi ibu. Hasil analisis uji Duncan diketahui bahwa praktik gizi ibu kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,01) pada baseline, endline, dan follow-up. Sementara itu, diketahui bahwa praktik gizi ibu kelompok intervensi pada baseline tidak berbeda nyata (p>0,01) pada saat endline, namun terdapat

57 perbedaan signifikan antara praktik gizi ibu kelompok intervensi pada saat baseline dan follow-up (p<0,01). Analisis korelasi Pearson (endline dan follow-up) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0,01) antara sikap dan praktik gizi ibu. Meskipun diketahui bahwa sikap gizi ibu meningkat, namun tidak mencerminkan praktik gizi ibu balita dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya faktor lain seperti motivasi ibu balita untuk berubah menjadi lebih baik. Menurut Worsley (2002) pengetahuan gizi merupakan faktor yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk perubahan perilaku makan karena terdapat faktor lain seperti motivasi dalam diri individu tersebut. Dalam hal ini, peran kader sangat penting untuk melakukan penyuluhan gizi secara berkelanjutan sehingga ibu balita akan terus termotivasi untuk menerapkan praktik gizi dalam kehidupan sehari-hari. Studi Mbuya et al. (2013) menyimpulkan bahwa pengetahuan kader yang baik signifikan berhubungan dengan pengetahuan gizi ibu balita sehingga program edukasi gizi kepada kader dapat mendorong keberhasilan dalam meningkatkan pengetahuan ibu balita tersebut. Karakteristik Balita Balita adalah salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Karakteristik balita dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, berat ketika lahir (gram), dan riwayat penyakit satu bulan terakhir. Berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti, usia balita maksimal yang dipilih adalah 47 bulan. Hal ini dikarenakan asumsi penelitian yang berlangsung selama 12 bulan dapat mengurangi kejadian drop-out pada balita yang tidak tergolong balita (bayi lima tahun) saat pengambilan data akhir. Jenis Kelamin, Umur, dan Berat Lahir Tabel 16 di bawah ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki (20,0%) dan kelompok intervensi sebagian besar berjenis kelamin perempuan (16,0%). Sebagian besar umur balita kelompok kontrol berkisar bulan (41,9%) dengan rata-rata usia balita 18,5±9,6 bulan, sedangkan kelompok intervensi bulan (35,5%) dengan rata-rata usia balita 20,6±10,1 bulan. Hasil t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang signifikan antara umur balita kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Tabel 16 Sebaran balita berdasarkan karakteristik balita Variabel Kontrol Intervensi n % n % p-value Jenis Kelamin Laki-Laki 20 64, ,4 0,207 Perempuan 11 35, ,6 Total , ,0 Umur 5 bulan 2 6,5 1 3, bulan 6 19,4 8 25, bulan 13 41,9 8 25,8 0,130 39

58 bulan 9 29, , bulan 1 3,2 3 9, bulan 0 0,0 0 0,0 Total , ,0 Berat Lahir (gram) Rendah(<2500) 2 6,5 2 6,5 Normal ( ) 22 71, ,1 0,125 Gemuk (>4000) 7 22, ,5 Total , ,0 Menurut Phaneendra, Prakash, Sreekumaran (2001), berat lahir adalah indikator yang penting dan reliabel bagi kelangsungan hidup neonatus dan bayi, baik ditinjau dari segi pertumbuhan fisik dan perkembangan status mentalnya. Berat lahir juga dapat digunakan sebagai indikator umum untuk mengetahui status kesehatan, gizi dan sosial ekonomi dari negara maju dan negara berkembang. Dalam hal ini, berat lahir yang tidak seimbang, baik kurang atau berlebih, dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayinya. Hasil t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang signifikan antara berat lahir pada balita kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar berat bayi lahir pada kelompok kontrol dan intervensi tergolong normal (71,0%;58,1%). Akan tetapi, masih terdapat berat bayi lahir rendah (BBLR) sebesar 6,5% pada masing-masing kelompok. BBLR dapat terjadi karena akumulasi kesalahan sebelum lahir sehingga biasanya bayi akan sulit mengejar pertumbuhan hingga dewasa. Berdasarkan hasil penelitian Gillespie et al. (2003), anak BBLR cenderung mengalami obesitas dan penyakit degeneratif pada usia dewasa. Fenomena ini dikenal dengan Barker Theory atau the fetal origins of adult disease. Berdasarkan hipotesis Barker bahwa ada serangkaian tahapan yang kritis dalam perkembangan anak, jika tahapan tersebut dilalui tidak sempurna maka akibatnya akan timbul di kemudian hari saat anak dewasa dan tua (Barker 2004). Thakur et al. (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa berat badan dan panjang badan pada bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) meningkat secara signifikan oleh pendidikan gizi dan praktik menyusui. Oleh karena itu, pendidikan gizi pada ibu menyusui terbukti menjadi alat yang kuat untuk mengurangi risiko tinggi malnutrisi dan kematian bayi pada BBLR. Secara umum, berat bayi lahir rendah dan berat bayi lahir berlebih lebih besar resikonya untuk mengalami masalah. Berat lahir rendah (BBLR) atau berat <2500g menyumbang 42,5%-56,0% kematian perinatal. Sementara itu, studi lainnya menyebutkan bahwa bayi yang memiliki berat badan 4000 g (macrosomia) dapat meningkatkan risiko beberapa penyakit ketika dewasa misalnya kanker payudara pada wanita dan diabetes melitus tipe 2 (Line et al. 2007). Hasil studi menunjukkan bahwa bayi macrosomia pada kelompok intervensi (35,5%) lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol (22,6%). Riwayat Penyakit 1 Bulan Terakhir Status kesehatan balita dapat dilihat dari kejadian penyakit yang sering dialami oleh balita. Secara umum, balita pada kelompok kontrol dan intervensi

59 memiliki riwayat penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) lebih tinggi dibandingkan demam, diare, penyakit kulit, dan lainnya (cacar dan kejangkejang). Sebaran balita berdasarkan riwayat penyakit satu bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17 Sebaran balita berdasarkan riwayat penyakit satu bulan terakhir Riwayat Penyakit Satu Bulan Terakhir Kontrol Intervensi Baseline Endline Follow-up Baseline Endline Follow-up n % n % n % n % n % n % Diare 14 45, ,3 10,0 33, ,7 5 16,1 8,0 25,8 Demam 23 74, ,5 14,0 46, , ,2 18,0 58,1 ISPA (Batuk Pilek) 28 90, ,3 23,0 76, , ,4 23,0 74,2 Penyakit Kulit 0 0,0 5 16,1 3,0 10,0 3 9,7 5 16,1 4,0 12,9 Lainnya 2 6,5 1 3,2 1,0 3,3 2 6,5 1 3,2 3,0 9,7 Berdasarkan data baseline, sebaran balita yang mengalami ISPA pada kelompok kontrol lebih tinggi (90,3%) dibandingkan balita kelompok intervensi (83,9%) dengan rata-rata frekuensi sakit satu bulan terakhir pada masing-masing kelompok adalah 1,3±0,5 kali/1 bulan terakhir; 4,4±3,2 kali/1 bulan terakhir. Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang serius karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira satu dari empat kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 kali ISPA setiap tahunnya. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anakanak tersebut dapat pula memberi kecacatan sampai padamasa dewasa (Christopher et al. 2011). Sementara itu, riwayat penyakit satu bulan terakhir tertinggi kedua pada masing-masing kelompok adalah demam. Berdasarkan data baseline, sebagian besar balita kelompok kontrol dan intervensi dengan persentase yang sama (74,2%) mengalami demam. Penyakit ini merupakan jenis penyakit yang sering dialami ketika anak mengalami ISPA. Tingginya presentase kejadian ISPA dan demam dikarenakan faktor demografi wilayah yang terletak di kaki gunung sehingga iklim yang dingin dan lembab dapat memicu kejadian ISPA seperti flu dan batuk pada balita di kedua wilayah penelitian tersebut. Hasil ini diacu pada studi Confalonieri et al. (2007), dimana studi ini menunjukkan bahwaperubahan iklim dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi kesehatan seperti meningkatkan kejadian diare dan penyakit infeksi lainnya. Posyandu sebagai deteksi dini masalah gizi dan kesehatan berperan dalam mencegah kejadian masalah gizi dan penyakit balita di wilayah tersebut. Beberapa studi menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti Andean Rural Health Care (ARHC) di Bolivia, Community Health Workers (CHWs) di Sub-Saharan Afrika, Primary Health Care (PHC) di Colombia dapat meningkatkan status kesehatan balita. Melalui kader di pos pelayanan kesehatan tersebut, intervensi efektif dan relatif murah seperti penyuluhan kesehatan dapat menurunkan kejadian malaria, diare, dan pneumonia di wilayah tersebut (Perry, Shanklin, Schroeder 2003; Christopher et al. 2011; Mosquera et al. 2012). Pada penelitian ini, penyuluhan gizi dan kesehatan diberikan kepada kader dan ibu balita yang secara tidak langsung dapat merubah trend kejadian ISPA. 41

60 42 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan riwayat ISPA 1 bulan terakhir pada kelompok intervensi menjadi 77,4% (1,6±0,9 kali/1 bulan terakhir) pada data endline dan 74,2% (1,0±0,8 kali/1 bulan terakhir) pada data follow-up. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan gizi yang diberikan dapat menurunkan kejadian penyakit di suatu wilayah sehingga penyuluhan gizi dan kesehatan penting untuk dilakukan secara terus menerus oleh kader kepada ibu balita. Status Gizi Balita Status berarti tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh suatu keadaan. Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan anak balita. Oleh karena itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah melalui status gizi bayi dan balita (Notoatmodjo 2007). Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO, yaitu indeks berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil pengukuran dari masing-masing indeks tersebut selanjutnya ditentukan dengan menggunakan nilai z-score dan diklasifikasikan berdasarkan standar baku antropometri Kementrian Kesehatan tahun Status Gizi Balita Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Menurut Kemenkes (2010), indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Tabel 18 Sebaran status gizi balita (BB/U) berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur Baseline Endline Follow-up Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % n % n % <1 tahun Kurang 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Baik 7 87, ,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Lebih 1 12,5 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total ,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1-2 tahun Kurang 2 14,3 1 11,1 3 37,5 2 25,0 0 0,0 1 50,0 Baik 12 85,7 8 88,9 5 62,5 6 75, ,0 1 50,0 Lebih 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total , , ,0 2-5 tahun Kurang 0 0,0 3 23,1 1 4,5 4 17,4 4 16,0 4 13,8 Baik 9 100, , , , , ,2 Lebih 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total , , ,0

61 Data baseline (Tabel 18) menunjukkan bahwa sebagian besar kategori status gizi baik berdasarkan indikator BB/U terdapat pada balita umur 2-5 tahun kelompok kontrol (100,0%) dan balita umur <1 tahun kelompok intervensi (100,0%). Sementara itu, masih terdapat balita yang memiliki status gizi kurang pada umur 1-2 tahun (11,1%) dan umur 2-5 tahun (23,1%) pada kelompok intervensi. Setelah diberikan penyuluhan (endline) terjadi peningkatan satus gizi baik pada balita umur 2-5 tahun (82,6%). Studi sebelumnya menunjukkan bahwa upaya peningkatan pengetahuan gizi pada ibu sangat berperan dalam peningkatan status gizi balita. Studi membuktikan bahwa setelah diberikan intervensi pendidikan gizi terjadi peningkatan yang signifikan dalam frekuensi pemberian makanan tambahan pada anak kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selanjutnya, anak pada kelompok intervensi diketahui memiliki berat badan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pendidikan gizi (Roy et al. 2007). Dilain sisi, pada data endline menunjukkan bahwa sebaran balita dengan status gizi kurang (underweight) meningkat pada balita umur 1-2 tahun (25,0%). Hal ini terjadi karena pada umur tersebut, pengenalan terhadap lingkungan semakin luas sehingga jika lingkungan anak kurang sehat maka anak tersebut akan lebih mudah terkena infeksi. Uji korelasi Spearman (data baseline, endline,dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita dan status gizi indikator BB/U pada kelompok umur 1-2 tahun dan 2-5 tahun. Hasil tersebut didukung dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Studi Khatun et al. (2013), menunjukkan bahwa salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi masalah gizi kurang adalah penyakit infeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan status gizi memerlukan strategi berbasis masyarakat dan melibatkan modifikasi perilaku melalui pendidikan gizi selain memberikan pelayanan kesehatan dan gizi yang baik. Sementara itu, uji korelasi Pearson (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita kelompok intervensi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayhan and Khan (2006) menunjukkan hubungan positif antara tingkat pengetahuan gizi ibu dan status gizi anak. Ibu yang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik menyadari kesehatan anak dan merawat anaknya hingga menjadi lebih baik. Status Gizi Balita Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes 2010). Berdasarkan Tabel 19 di atas, diketahui bahwa sebaran balita tergolong pendek (stunting) tersebar pada umur 1 hingga 5 tahun baik pada periode pengambilan data baseline, endline, dan follow-up. Sebaran status gizi balita (TB/U) berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 19 di bawah ini. 43

62 44 Tabel 19 Sebaran status gizi balita indikator TB/U berdasarkan kategori umur Kelompok Umur Baseline Endline Follow-up Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % n % n % <1 tahun Pendek 2 25,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal 6 75, ,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total 8 100, ,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1-2 tahun Pendek 6 42,9 3 33,3 2 25,0 3 37,5 1 20,0 1 50,0 Normal 8 57,1 6 66,7 6 75,0 5 62,5 4 80,0 1 50,0 Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total , , , , , ,0 2-5 tahun Pendek 2 22,2 7 53,8 3 13, ,2 5 20, ,2 Normal 7 77,8 6 46, , , , ,8 Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total 9 100, , , , , ,0 Kejadian stunting pada kelompok intervensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur balita. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taufiqurrahman et al. (2009) yang menyatakan bahwa kecenderungan stunting yang meningkat, seiring dengan pertambahan umur anak, diduga sebagai komulatif kejadian yang terjadi sejak lama, karena stunting bersifat menetap. Disamping stunting yang terjadi pada usia sejak kurang dari 2 tahun, juga terjadi pada usia lebih dari 2 tahun, sehingga persentase kejadian stunting menjadi lebih besar. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 96% stunting yang terjadi pada usia 2 tahun, disebabkan oleh stunting yang terjadi pada usia anak-anak. Uji korelasi Pearson (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita kelompok intervensi. Sementara itu, uji korelasi Spearman (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita dan status gizi indikator TB/U. Menurut Soetjiningsih (2005), kejadian penyakit infeksi yang berulang tidak hanya berakibat pada menurunnya berat badan atau akan tampak pada rendahnya nilai indikator berat badan menurut umur, akan tetapi juga indikator tinggi badan menurut umur. Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa status gizi stunted disebut juga sebagai gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu cukup lama. Balita yang sering mendapat infeksi dalam waktu yang lama tidak hanya berpengaruh terhadap berat badannya akan tetapi juga berdampak pada pertumbuhan linier. Status gizi TB/U merupakan cerminan status gizi masa lampau yang menggambarkan kondisi anak pada waktu yang lalu. Timbulnya status gizi stunting tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena

63 penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Status Gizi Balita Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indikator BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), seperti terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dapat juga memberikan indikasi kegemukan. Sebaran status gizi balita (BB/TB) berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20 Sebaran status gizi balita indikator BB/TB berdasarkan kategori umur Kelompok Umur Baseline Endline Follow-up Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % n % n % <1 tahun Kurus 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal 3 37,5 7 77,8 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Gemuk 5 62,5 2 22,2 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total 8 100, ,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1-2 tahun Kurus 0 0,0 0 0,0 1 12,5 1 12,5 0 0,0 0 0,0 Normal 13 92,9 8 88,9 7 87,5 7 87, , ,0 Gemuk 1 7,1 1 11,1 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total , , , , , ,0 2-5 tahun Kurus 0 0,0 1 7,7 1 4,5 0 0,0 2 8,0 3 10,3 Normal 9 100, , , , , ,2 Gemuk 0 0,0 1 7,7 0 0,0 0 0,0 1 4,0 1 3,4 Total 9 100, , , , ,0 Data baseline (Tabel 20) menunjukkan bahwa tidak terdapat balita kategori status gizi kurus (wasting) pada kelompok umur <1 tahun dan 1-2 tahun baik kelompok kontrol maupun intervensi. Akan tetapi, terdapat balita kelompok intervensi yang tergolong kurus (1 orang) dan gemuk (1 orang) pada kelompok umur 2-5 tahun. Setelah diberikan penyuluhan (endline), hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat balita yang tergolong kurus dan gemuk pada balita umur 2-5 tahun. Hasil ini didukung oleh studi Anwar et al. (2010) yang menyimpulkan bahwa metode intervensi pendidikan gizi melalui program gizi dan kesehatan di Posyandu menunjukkan hasil yang signifikan terhadap status gizi anak. Akan tetapi, sebaran balita kurus dan gemuk meningkat pada follow-up (10,3%; 3,4%). Studi follow-up oleh Haines, Sztainer, Wall, Story (2007) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan 45

64 46 menjadi salah satu faktor penyebab obesitas saat dewasa. Kejadian obesitas pada anak merupakan tanda dari tingginya status sosial, kesuburan dan kesejahteraan. Uji korelasi Spearman (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita, pengetahuan, dan status gizi indikator BB/U. Hasil ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan (Ulfa, Neti, Ai 2008). Hal ini dikarenakan ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan dapat memperhitungkan kebutuhan gizi anak balitanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu pengetahuan yang dimiliki ibu akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anaknya. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seorang ibu mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi oleh anggota keluarga khususnya anak balita yang mengkonsumsi menu tersebut, yang nantinya berdampak positif terhadap keadaan status gizinya. Lingkungan fisik rumah (termasuk ketersediaan air bersih) yang baik mengindikasikan baiknya sosial ekonomi keluarga, yang didukung dengan pengetahuan dan perilaku gizi ibu berperan dalam menentukan status gizi anak. Partisipasi Ibu di Posyandu Partisipasi ibu dalam kegiatan posyandu dapat dilihat dari keaktifan ibu dalam pelaksanaan posyandu di luar dan di dalam jadwal posyandu meliputi keikutsertaan ibu dalam penimbangan anaknya ke posyandu dan keikutsertaan ibu untuk menggerakkan masyarakat agar ikut serta dalam kegiatan posyandu. Partisipasi ibu dalam penelitian ini meliputi frekuensi kunjungan ke posyandu, motivasi kunjungan ke posyandu, dan pelaksanaan posyandu. Frekuensi Kunjungan ke Posyandu Frekuensi kunjungan ibu balita ke posyandu ditinjau dari kunjungan dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan Tabel 21 diketahui bahwa pada awal penelitian sebagian besar ibu balita rutin mengunjungi posyandu dalam tiga bulan terakhir. Frekuensi kunjungan ibu balita kelompok intervensi lebih tinggi (90,3%) dibandingkan kelompok kontrol (67,7%). Hasil penelitian Yogiswara (2011) menunjukkan bahwa Ibu dengan partisipasi rutin sebanyak 77,5% signifikan berhubungan dengan balita status gizi baik (72,5%). Hal ini membuktikan bahwa ibu yang hadir di posyandu secara rutin maka status gizi dari balita akan baik. Tabel 21 Sebaran ibu balita berdasarkan frekuensi kunjungan ke posyandu Variabel Baseline Endline p-value Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % Kunjungan tiga bulan terakhir Ya 21 67, , , ,6 Tidak 10 32,3 3 9,7 6 20,0 6 19,4 Total , , , ,0 0,058

65 47 Rencana kunjungan ke posyandu hingga balita berusia lima tahun Ya 27 87, , , ,5 Tidak 4 12,9 3 9,7 0 0,0 2 6,5 Total , , , ,0 ( * ) Signifikan berbeda pada taraf 5% 0,027* Sementara itu, masih terdapat ibu balita yang tidak membawa anaknya ke posyandu dalam tiga bulan terakhir secara berturut-turut. Rata-rata kunjungan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi yang tidak membawa anaknya ke posyandu tiga bulan terakhir secar berturut-turut adalah 1,3±0,9 kali dan 1,0±1,0 kali. Ketidakhadiran ibu balita dalam tiga bulan terakhir dikarenakan anak takut untuk diimunisasi, anak tidak mau ditimbang, tidak tahu jadwal posyandu, malu karena anak tergolong Bayi Garis Meras (BGM), dan jarak rumah dengan posyandu yang cukup jauh. Pada kenyataanya, keberhasilan posyandu sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat yang salah satunya adalah pengguna posyandu (ibu balita). Menurut Marjanka et al. (2002), partisipasi ibu di posyandu sangat mempengaruhi pertumbuhan kesehatan dan status gizi anak. Dengan demikian, intervensi berupa penyuluhan gizi dan partisipasi posyandu kepada kader dan ibu balita diharapkan dapat meningkatkan partisipasi ibu balita di posyandu. Akan tetapi, Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa penyuluhan partisipasi posyandu yang diberikan kepada ibu balita tidak menunjukkan perubahan. Persentase ibu balita berdasarkan kunjungan tiga bulan terakhir menurun sebesar 9,7% dari baseline. Pada kenyataanya, kegiatan tumbuh kembang anak di posyandu memerlukan kehadiran ibu balita dan anaknya setiap bulan. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut akan bermakna apabila anak hadir dan ditimbang di posyandu setiap bulan. Menurut Madanijah dan Triana (2007), tingkat kehadiran ibu balita di posyandu dikategorikan menjadi baik apabila garis grafik berat badan pada KMS tidak pernah putus (hadir dan ditimbang setiap bulan di posyandu). Kunjungan ibu balita dan anaknya ke posyandu sebaiknya rutin dilakukan hingga balita berusia lma tahun. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan anak pada usia tersebut bisa dipantau dengan baik. Oleh karena itu, perlu diketahui apakah ibu balita akan tetap mengunjungi posyandu hingga balita berusia lima tahun. Berdasarkan Tabel 21 diketahui bahwa sebanyak 90,3% ibu balita kelompok intervensi menyatakan akan mengunjungi posyandu hingga balita berusia lima tahun. Sementara itu, sebanyak 9,7% ibu balita tidak akan menunjungi posyandu hingga balita berusia lima tahun dengan alasan kesibukan ibu balita, ibu malas ke posyandu, anak sudah selesai diimunisasi, dan anak tidak mau ke posyandu. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ibu balita yang belum memahami pentingnya posyandu hingga balita berusia lima tahun. Meskipun penyuluhan partisipasi posyandu tidak memberikan perubahan terhadap kunjungan ibu balita ke posyandu dalam tiga bulan terakhir, keinginan ibu untuk membawa anaknya ke posyandu hingga usia lima tahun menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (93,3%) menyatakan keinginannya untuk tetap mengikuti/membawa anak ke posyandu hingga usia lima tahun.

66 48 Hasil uji Duncan menunjukkan adanya perbedaan rencana kunjungan ke posyandu hingga balita berusia lima tahun pada data baseline dan endline kelompok intervensi (p<0,05). Hal ini berarti penyuluhan partisipasi posyandu berupa motivasi kunjungan ke posyandu mampu meningkatkan pengetahuan ibu balita tentang pentingnya posyandu sehingga keinginan ibu balita untuk tetap mengikuti posyandu semakin meningkat. Sementara itu, hal ini juga didukung oleh kader-kader posyandu yang terus berupaya mendorong ibu balita untuk rutin membawa anaknya ke posyandu hingga usia lima tahun. Kunjungan rutin ke posyandu akan memberikan manfaat lebih besar bagi balita karena dapat mencegah masalah gizi kurang dan atau mempertahankan status gizi baik. Motivasi Kunjungan ke Posyandu Menurut Notoadmojo (2010), motivasi merupakan suatu alasan seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Bentuk motivasi ibu balita diantaranya dapat dilihat dari berupa kemauan untuk mengantarkan langsung anak balita ke posyandu, dukungan anggota keluarga, dan alasan ibu mengunjungi posyandu. Tabel 22 di bawah ini menunjukkan bahwa hampir semua ibu balita kelompok kontrol (96,8%) setiap bulan secara langsung mengantarkan anaknya ke posyandu. Sementara itu, sebanyak 93,5% ibu balita kelompok intervensi juga setiap bulan secara langsung mengantarkan anaknya ke posyandu, serta ada sebanyak 6,5% ibu balita yang hanya kadang-kadang mengantarkan anaknya ke posyandu. Hal ini disebabkan alasan kesibukan ibu balita sehingga sebagai gantinya anggota keluarga lain yang mengantarkan anaknya ke posyandu, seperti tante dan nenek dari balita tersebut. Tabel 22 Sebaran ibu balita berdasarkan motivasi kunjungan ke posyandu Pertanyaan Kontrol Intervensi n % n % Ibu secara langsung mengantarkan anaknya ke posyandu Ya,setiap bulan 30 96, ,5 Kadang-kadang 0 0,0 2 6,5 Tidak 1 3,2 0 0,0 Keluarga tidak mendukung Ya 1 3,2 0 0,0 Tidak 30 96, ,0 Alasan ibu ke posyandu Agar anak sehat 20 64, ,0 Mendapatkan imunisasi/kapsul vitamin A 17 54, ,9 Agar berat badan anak terpantau 26 83, ,8 Mendapatkan KB gratis 0 0,0 0 0,0 Bisa bertemu dengan sesama warga 5 16,1 1 3,2 Mendapatkan makanan tambahan (PMT) 0 0,0 0 0,0 Mendapatkan pengetahuan gizi/kesehatan ibu anak 1 3,2 1 3,2 Disuruh kader/rt/rw 1 3,2 0 0,0 Agar anak cerdas 1 3,2 0 0,0

67 Berdasarkan dukungan keluarga, diketahui bahwa semua ibu balita kelompok intervensi (100%) mendapatkan dukungan dari anggota keluarga untuk membawa anaknya ke posyandu. Sementara itu, masih terdapat satu orang ibu balita kelompok kontrol yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga (suami). Hal ini dikarenakan suami dari ibu balita tersebut khawatir anaknya demam setelah mendapatkan imunisasi di posyandu. Pada keyataannya, demam merupakan salah satu reaksi tubuh terhadap imunisasi yang akan meningkatkan kekebalan tubuh anak. Banyak hal yang dapat mendorong ibu balita untuk mengunjungi dan membawa anaknya ke posyandu. Selain dukungan dari keluarga, alasan pertama yang paling banyak pada ibu balita kelompok kontrol adalah agar berat badan anak terpantau (83,9%). Sementara itu, sebanyak 100% ibu balita kelompok intervensi memiliki alasan agar anak sehat. Alasan tersebut bisa dikatakan sudah sesuai dengan tujuan posyandu itu sendiri. Namun, sebagian besar ibu balita masih kurang menyadari salah satu fungsi dari posyandu yaitu pelayanan untuk mendapatkan pengetahuan gizi/kesehatan ibu dan anak. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase ibu balita yang memilih alasan tersebut. Pelaksanaan Posyandu Pelaksanaan posyandu tidak terlepas dari peran serta ibu balita sebagai pengguna posyandu tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memberikan sumbangan, baik secara material maupun non material. Sumbangan material dapat berupa dana yang diberikan langsung kepada pengelola posyandu. Sebaran ibu balita berdasarkan pelaksanaan posyandu dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini. Tabel 23 Sebaran ibu balita berdasarkan pelaksanaan posyandu Baseline Endline Variabel Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi n % n % n % n % Memberikan sumbangan dana ke Posyandu Ya,setiap bulan 8 25,8 3 9,7 3 10,0 0 0,0 Kadang-Kadang 0 0,0 0 0,0 3 10,0 2 6,5 Tidak pernah 23 74, , , ,5 Memberikan bantuan PMT ke posyandu Ya,setiap bulan 1 3,2 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Kadang-Kadang 1 3,2 0 0,0 2 6,7 1 3,2 Tidak pernah 29 93, , , ,8 PMT diberikan saat penyelenggaraan posyandu Ada 24 77, , , ,8 Tidak ada 7 22, ,9 8 26,7 1 3,2 Ibu memiliki KMS Ya, dipegang ibu 26 83, , , ,5 Ya, dipegang kader 2 6,5 4 12,9 0 0,0 7 22,6 Tidak 3 9,7 2 6,5 2 6,7 4 12,9 49

68 50 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol dan intervensi tidak pernah memberikan sumbangan dana ke posyandu (74,2%;90,3%). Sementara itu, sebanyak 25,8% ibu balita kelompok kontrol dan 9,7% ibu balita kelompok intervensi menyatakan pernah memberikan sumbangan dana ke posyandu dengan rata-rata Rp.1143±476/bulan, Rp.1833±1893/bulan. Ibu balita yang tidak pernah memberikan sumbangan diduga berkaitan dengan tingkat pendapatan keluarga ibu balita yang tidak terlalu tinggi. Sehingga pendapatan keluarga hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja. Selain bantuan berupa dana, masyarakat juga bisa memberikan bantuan dalam bentuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti bubur kacang hijau, biskuit, telur, dan bubur nasi. Tabel 23 di atas menunjukkan bahwa pada data baseline seluruh ibu balita (100%) tidak pernah memberikan bantuan PMT. Sementara itu, terdapat 3,2% ibu balita kelompok kontrol yang setiap bulan memberikan bantuan PMT. Akan tetapi, data endline (Tabel 23) menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun ibu balita (kontrol dan intervensi) yang rutin setiap bulan memberikan bantuan PMT. Besarnya persentase ibu balita yang tidak pernah memberikan bantuan PMT ke posyandu diduga karena ibu balita merasa bahwa kewajiban dalam memberikan PMT tersebut adalah kader di posyandu. Salah satu kelengkapan posyandu yang harus dimiliki oleh ibu balita adalah Kartu Menuju Sehat (KMS). KMS adalah alat sederhana dan murah yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak (Depkes 2000). KMS dibagikan kepada setiap balita yang berkunjung ke posyandu. Di dalam kartu tersebut terdapat kurva yang menunjukkan pola pertumbuhan berat badan anak. Selain itu, di dalam KMS juga dicantumkan catatan-catatan imunisasi yang telah dilakukan. Oleh karena itu, KMS balita dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat bagi ibu dan keluarga untuk memantau tumbuh kembang anak agar tidak terjadi kesalahan atau ketidakseimbangan pemberian makan pada anak. Setiap ibu balita seharusnya memiliki KMS untuk anak yang dibagikan gratis oleh posyandu. Pada kenyataannya, masih terdapat ibu balita yang tidak memiliki KMS. Ketidakpunyaan KMS pada ibu balita kelompok kontrol (9,7%) lebih banyak dibandingan kelompok intervensi (6,5%). Akan tetapi, data endline menunjukkan bahwa ibu balita kelompok intervensi yang tidak memiliki KMS meningkat hingga 12,9%. Hal ini diduga karena KMS tersebut ada yang hilang atau rusak sebelum balita berusia lima tahun tanpa ada penggantian dengan KMS baru. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena ibu balita yang tidak memiliki KMS untuk anak tidak akan bisa memantau tumbuh kembang anak dengan baik. Berdasarkan data endline (Tabel 23), sebagian besar ibu balita kelompok intervensi memiliki KMS (87,1%). Namun, tidak semua KMS dipegang oleh ibu balita. Ada sebanyak 64,5% KMS yang dipegang oleh ibu itu sendiri, sedangkan sisanya 22,6% dipegang oleh kader. Ibu balita yang KMS nya dipegang oleh kader diduga karena ibu balita malas membawa KMS, ketinggalan di posyandu, dan takut hilang atau rusak. Hal ini dapat mempengaruhi ketidakpahaman ibu balita dalam membaca grafik perkembangan anak, pengetahuan gizi dan kesehatan yang ada pada KMS.

69 Persepsi Ibu Balita Tentang Posyandu Menurut Notoadmojo (2010), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Tabel 24 Sebaran ibu balita berdasarkan persepsi tentang posyandu Variabel Kontrol Intervensi n % n % Peran Posyandu Tidak Penting 0 0,0 1 3,2 Kurang penting 0 0,0 0 0,0 Penting , ,8 Total , ,0 Pelayanan Posyandu Kurang 2 6,5 5 16,1 Cukup 8 25,8 9 29,0 Baik 21 67, ,8 Total , ,0 Kelengkapan sarana posyandu Kurang lengkap 12 38, ,5 Lengkap 19 61, ,3 Total , ,0 Tabel 24 menunjukkan bahwa seluruh ibu balita kelompok kontrol (100%) memiliki persepsi akan pentingnya peran posyandu. Akan tetapi, berbeda dengan kelompok intervensi dimana masih terdapat ibu balita (3,2%) yang memiliki persepsi bahwa posyandu tidak mempunyai peranan penting. Persepsi ini muncul dari ibu balita yang memiliki anak usia 3 tahun yang beranggapan bahwa anak pada usia tersebut tidak perlu ke posyandu sehingga peranan posyandu dianggap tidak penting. Posyandu merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama. Pelayanan kesehatan dasar di posyandu adalah pelayanan kesehatan yang mencakup sekurang-kurangnya 5 (lima) kegiatan yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, gizi, dan penanggulangan diare (Kemenkes RI 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol dan intervensi menyatakan pelayananan posyandu di lokasi penelitian tergolong baik (67,7%, 54,8%). Pelaksanaan dalam kegiatan program posyandu tidak hanya didukung oleh pelayanan yang baik saja. Demi kelancaran pelaksanaan program maka posyandu harus memiliki alat dan bahan seperti alat-alat untuk penimbangan dan pelaksanaan program lainnya. Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol (61,3%) menyatakan sarana posyandu tergolong lengkap. Namun, sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (64,5%) menyatakan sarana posyandu di tempat mereka tergolong kurang lengkap. Sebaran ibu berdasarkan persepsi ibu tentang program yang perlu ditingkatkan di posyandu dapat dilihat pada Tabel 25 berikut. 51

70 52 Tabel 25 Persepsi ibu tentang program yang perlu ditingkatkan di posyandu Program posyandu Kontrol Intervensi yang masih perlu ditingkatkan n % n % Penyuluhan 28 90, ,8 PMT 29 93, ,8 Penimbangan balita 20 64, ,1 Imunisasi 15 48, ,0 Tablet besi 18 58, ,0 Penyediaan KMS 13 41, ,5 Pelayanan KB 18 58, ,9 Pemeriksaan kehamilan 17 54, ,6 kapsul vitamin A 17 54, ,0 Tabel 25 di atas menunjukkan bahwa lebih dari 90% ibu balita kelompok kontrol dan intervensi menginginkan kegiatan PMT dan penyuluhan di posyandu perlu ditingkatkan. Ibu balita menganggap kegiatan pemberian PMT dan penyuluhan ini belum dapat dilaksanakan dengan baik di posyandu. Adapun hal yang menjadi kendala dalam pemberian PMT ini dikarenakan keterbatasan dana dari Dinas Kesehatan setempat. Sementara itu, kualitas kader yang kurang memenuhi kualifikasi dan keterbatasan media atau materi untuk melakukan penyuluhan menjadi penyebab dari jarangnya dilakukan penyuluhan. Menurut Khomsan et al. (2007), penyuluhan gizi merupakan salah satu manfaat yang paling penting dirasakan ibu balita dan anak balita karena akan memberikan dampak panjang bagi perubahan pengetahuan, sikap, dan praktik menuju ke arah perbaikan asupan gizi. Secara keseluruhan, lebih dari setengah jumlah ibu balita menginginkan peningkatan pelayanan dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh posyandu. Imunisasi, pemberian tablet besi dan kapsul vitamin A, pelayanan KB, pemeriksaan kehamilan, dan penyediaan KMS juga merupakan bagian dari kegiatan di posyandu yang manfaatnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara itu, pada awal penelitian (baseline) semua kader menyatakan bahwa kegiatan posyandu yang masih perlu ditingkatkan pelaksanaannya secara berturut-turut adalah penyuluhan, pemberian PMT, penyediaan KMS, dan kapsul vitamin A, penimbangan balita, imunisasi, tablet besi, pelayanan KB, dan pemeriksaan kehamilan. Dengan demikian, untuk memenuhi keinginan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan di posyandu maka pengelola posyandu, puskesmas, Dinas Kesehatan, dan pihak-pihak lain yang terkait perlu memberikan perhatian lebih agar masyarakat dapat memperoleh pelayananan gizi dan kesehatan secara maksimal. Kualitas Pelayanan di Posyandu Kualitas kader yang baik serta tingkat partisipasi kader berperan dalam tingkat keberhasilan posyandu tersebut (Sharma et al. 2011). Tingkat keberhasilan posyandu dalam penelitian ini diukur melalui persepsi terhadap tingkat kepuasan pengguna posyandu (ibu balita).

71 Salah satu studi mengenai lima dimensi kualitas pelayanan (service quality) oleh Parasuraman et al. (1996) dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu program sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau sebaliknya. Hal tersebut sering digunakan pada bidang ilmu manajemen sosial yang bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat seperti perhotelan, restoran, rumah sakit, dan jasa pelayanan lainnya. Dalam penelitian ini posyandu dianggap sebagai suatu perusahaan dan pelanggan adalah pemakai jasa dari posyandu tersebut yaitu Ibu balita. Indikator kualitas pelayanan posyandu meliputi lima dimensi yaitu tangibles (fisik), reliability (keandalan), responsiveness (ketanggapan), assurance (keterjaminan), dan empathy (perhatian). Lima dimensi tersebut diukur berdasarkan tingkat kepuasan ibu balita terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas posyandu (kader). Menurut beberapa peneliti, kepuasan pelanggan merupakan konstruk yang berdiri sendiri dan dipengaruhi oleh kualitas layanan (Oliver 1980). Kualitas layanan juga dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan secara tidak langsung melalui kepuasan (Caruana 2002; Lupiyoadi & Hamdani 2006). Hal ini berarti kualitas layanan yang diberikan oleh posyandu melalui kader dapat mendorong ibu-ibu pengguna posyandu untuk komitmen kepada layanan yang diberikan. Pesentase tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan posyandu dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini. Tabel 26 Tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan posyandu (%) Dimensi Baseline Endline Follow-up Kualitas Pelayanan Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Fisik 65,7 63,1 72,6 90,3 78,3 87,0 Keandalan 78,3 82,6 74,0 91,6 72,0 86,0 Ketanggapan 72,0 75,7 71,7 80,0 70,5 78,3 Jaminan 65,1 63,0 63,9 70,5 65,7 65,1 Empati 73,0 73,5 71,3 80,5 71,7 75,7 x ±SD 70,8±5,5 a 71,6±8,5 a 70,7±3,9 a 82,6±8,6 b 71,6±4,5 a 78,4±8,9 a Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas pelayanan posyandu pada kelompok intervensi. Data baseline menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara tingkat kepuasan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Tingkat kepuasan ibu balita kelompok intervensi (endline) terhadap kualitas pelayanan berupa keandalan di posyandu lebih tinggi (91,6%) dibandingkan dimensi kualitas pelayanan lainnya. Sementara itu, diketahui bahwa peningkatan lima dimensi kualitas pelayanan lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil ini juga ditandai dengan uji Duncan yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,01) antara tingkat kepuasan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Berdasarkan analisis data baseline, rata-rata tingkat kepuasan ibu balita kelompok intervensi (71,6%) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (70,8%). Akan tetapi, setelah diberikan intervensi berupa penyuluhan partisipasi 53

72 54 posyandu kepada kader dan pengadaan alat-alat di posyandu hasil menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 11,0% dari baseline. Kualitas pelayanan posyandu yang baik secara tidak langsung akan mempengaruhi partisipasi ibu balita di posyandu tersebut. Berdasarkan analisis sebelumnya diketahui bahwa terjadi peningkatan keinginan ibu balita untuk membawa anaknya ke posyandu hingga umur lima tahun. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh peran kader yang memberikan motivasi kepada ibu balita. Hasil tersebut didukung oleh studi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa jika pelanggan puas dengan kualitas layanan yang diterima, mereka akan memiliki niat yang tinggi untuk kembali lagi ke penyedia layanan tersebut (Aliman & Mohamad 2012). Kualitas Pelayanan Dimensi Tangibles (Fisik) Dimensi tangibles (fisik) terdiri dari 5 indikator pernyataan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini. Berdasarkan dimensi fisik dapat dilihat bahwa trend yang terjadi pada tingkat kepuasan ibu balita terhadap layanan posyandu cenderung meningkat pada endline (90,3%) dan menunurun pada follow-up (87,0%) Tingkat Kepuasan (%) Kemutakhiran alat Kenyamanan tempat penimbangan Penampilan kader Penampilan petugas lainnya Kemanfaatan fasilitas Baseline Endline Follow-up Gambar 7 Tingkat kepuasan ibu balita berdasarkan kualitas pelayanan tangibles Kemutakhiran alat dalam hal ini diartikan apakah posyandu memiliki perlengkapan alat yang mutahir/canggih seperti penggunaan timbangan digital, timbangan khusus bayi baru lahir/belum bisa duduk dan microtoise. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 65% ibu balita sudah cukup puas dengan alat-alat yang digunakan di posyandu sebelum diberikan intervensi (pengadaan alat-alat posyandu). Pengadaan alat-alat tersebut sebaiknya menjadi perhatian karena berdasarkan SK Bupati No /85/KPTS/HUK/2006, Pokjanal Posyandu Kabupaten sebagai unsur pelaksana dalam memfasilitasi kegiatan posyandu, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati Bogor melalui Sekretaris Daerah. Secara umum bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat menuju terwujudnya pemberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam

73 pengelolaan posyandu yang berdaya guna dan berhasil guna, sehingga diharapkan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera dapat terwujud. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pengadaan alat-alat yang menunjang pelayanan posyandu dapat meningkatkan tingkat kepuasan ibu balita hingga 100%. Ibu balita menyatakan bahwa fasilitas di posyandu sudah lebih lengkap setelah mendapatkan pengadaan alat-alat oleh peneliti. Peningkatan ini tetap sustaine ketika dilakukan follow-up empat bulan berikutnya. Di lain sisi, sebanyak 35,8% ibu balita menyatakan tidak puas dengan kenyamanan tempat penimbangan. Ibu-ibu balita posyandu menyatakan bahwa tempat penimbangan belum bersih sehingga merasa tidak nyaman untuk melakukan penimbangan anaknya. Akan tetapi, setelah mendapatkan penyuluhan tingkat kepuasan ibu meningkat sebesar 41,6% dari baseline. Hal ini dikarenakan penyuluhan yang juga diberikan kepada kader dapat meningkatkan kepedulian dan kewajiban kader dalam menjaga kebersihan dan kenyamanan posyandu. Penampilan kader merupakan salah satu indikator yang diukur dalam dimensi fisik. Kader yang berpenampilan rapi merupakan suatu keharusan mengingat kader merupakan teladan di lingkungan tempat mereka tinggal. Sebagian besar (70,4%) ibu balita sudah merasa puas dengan penampilan kader yang rapi. Kader sering menggunakan pakaian seragam sehingga terlihat sopan dan rapi. Namun, setelah tidak ada kegiatan penyuluhan (follow-up) persepsi ibu terhadap penampilan kader menurun sebesar 1,7% dari baseline. Penurunan kualitas ini dikarenakan tidak ada monitoring terhadap kegiatan kader di posyandu sehingga kurangnya motivasi kader untuk berpenampilan rapi. Selain kader, penampilan petugas lainnya seperti bidan atau petugas kesehatan dipandang perlu untuk memiliki penampilan yang rapi. Tingkat kepuasan ibu balita terhadap penampilan petugas lainnya adalah 67,9%. Namun, pada data endline tingkat kepuasan meningkat hingga mencapai 100%. Peningkatan tingkat kepuasan ini tidak dipengaruhi oleh penyuluhan yang diberikan karena bidan atau petugas lainnya bukan merupakan sasaran penyuluhan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan bidan yang bertugas di posyandu tersebut lebih banyak terpapar pengetahuan/penyuluhan dibandingkan kader posyandu sehingga mengetahui bagaimana berpenampilan baik sebagai pemberi layanan. Gambar 7 di atas juga menunjukkan bahwa secara fisik alat-alat di posyandu masih dapat digunakan dengan baik. Sebagai posyandu kagetori pratama, sebanyak 76,3% ibu balita sudah merasa puas dengan fasilitas di posyandu yang dapat dimanfaatkan dengan baik meskipun belum tergolong canggih. Akan tetapi, pengadaan alat-alat di posyandu oleh peneliti memberikan dampak positif terhadap kualitas pelayanan posyandu. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 7, semua ibu balita (100%) pengguna posyandu merasa puas dengan fasilitas yang ada di posyandu. Setelah tidak dilakukan pemantauan dan penyuluhan terjadi penurunan kualitas pelayanan fisik fasilitas sebesar 4,2% dari endline. Namun, hasil tersebut masih lebih baik dibandingkan baseline. Hal ini dikarenakan ada beberapa alatalat yang rusak sehingga tidak bisa digunakan dalam kegiatan posyandu. 55

74 56 Kualitas Pelayanan Dimensi Reliability (Keandalan) Keandalan adalah kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan dengan akurat dan handal. Hasil menunjukkan bahwa kualitas pelayanan dimensi reliability (keandalan) rata-rata sebesar 82,6% sudah sesuai dengan harapan ibu balita pada saat baseline (Gambar 8). Tingkat kepuasan ibu balita terhadap jadwal pelaksanaan posyandu tergolong cukup baik (73,5%), dan meningkat sebesar 23,3% dari baseline. Dalam hal ini, jadwal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan jarang terjadi perubahan. Meskipun terjadi perubahan pada jadwal pelaksanaan posyandu, kader selalu menginformasikan sebelumnya kepada ibu balita. Sehingga, jadwal pelaksanaan posyandu setiap satu bulan sekali dinilai sudah baik oleh ibu-ibu Tingkat Kepuasan (%) Baseline Endline Follow-up 10 0 Jadwal pelaksanaan Perhatian petugas kepada ibu balita Kehandalan pelayanan Lama waktu pelayanan Pencatatan hasil pelayanan Gambar 8 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan kualitas pelayanan dimensi reliability Perhatian petugas (kader) kepada ibu balita yang menghadapi masalah dengan layanan sudah tergolong baik (80,4%). Setelah dilakukan penyuluhan, kualitas kader semakin meningkat yang ditandai dengan tingkat kepuasan ibu balita yang meningkat hingga mencapai 83,9%. Demikian juga keandalan kader dalam memberikan pelayanan dari awal hingga akhir, sebesar 82,6% ibu balita sudah menilai puas terhadap pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini, lama waktu pelayanan telah sesuai dengan jadwal telah ditentukan, rata-rata sebesar 86,0% ketepatan waktu sudah terealisasi dengan baik. Selain itu, 90,3% pencatatan hasil pelayanan sudah sangat baik dan sustaine hingga akhir penelitian (97,9%). Dalam hal ini, kader membuat catatan (administrasi)/dokumen dengan benar dan akurat seperti hasil pengukuran tinggi badan (TB), berat badan (BB), lingkar kepala di KMS. Sehingga, untuk indikator tersebut kader sudah terbiasa melakukan hal demikian disetiap pelaksanaan posyandu. Kualitas Pelayanan Dimensi Responsiveness (Ketanggapan) Berdasarkan dimensi responsiveness (ketanggapan), informasi terkait layanan masih kurang baik. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 9 bahwa sebanyak

75 58,3% ibu balita tidak puas dengan informasi yang diberikan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kader belum mampu memberikan informasi/penjelasan mengenai layanan yang diberikan seperti pentingnya penimbangan dan pengukuran anak, pencatatan KMS, dan imunisasi. Kualitas yang rendah akan menimbulkan ketidakpuasan pada pelanggan, tidak hanya pelanggan yang datang ke posyandu tersebuttetapi juga berdampak pada orang lain. Karena pelanggan yang kecewa akan bercerita paling sedikit kepada 15 orang lainnya. Dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan pilihannya kepada pesaing (Lupiyoadi & Hamdani 2006). Hal ini dapat berarti bahwa ibu balita yang tidak puas dengan layananan yang diberikan di posyandu akan lebih memilih untuk membawa anak nya ke puskesmas dibandingkan harus membawa ke posyandu. Hal ini akan semakin menjadikan peran posyandu menurun di kalangan masyarakat. Namun, setelah dilakukan penyuluhan terjadi perubahan sebesar 6,2% pada endline yang diduga karena pegetahuan gizi kader yang juga meningkat setelah diberikan penyuluhan. Hasil ini didukung dengan penelitian Elu dan Balthasar (2005) yang menyimpulkan bahwa keputusan perusahaan melakukan tindakan perbaikan pelayanan yang sistematis merupakan payung yang menentukan dalam menindaklanjuti komplain konsumen dari suatu kegagalan sehingga pada akhirnya mampu mengikat loyalitasi konsumen. 57 Tingkat Kepuasan (%) Informasi terkait layanan Kecekatan pelayanan Kesediaan membantu anggota posyandu Kecepatan merespon Baseline Endline Follow-up Gambar 9 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan kualitas pelayanan dimensi responsiveness Demikian pula pada kecekatan pelayanan kader, kesediaan kader membantu kesulitan pengunjung posyandu, dan respon cepat dari kader menunjukkan peningkatan setelah dilakukan penyuluhan. Akan tetapi, persentase tingkat kepuasan ibu balita cenderung menurun pada follow-up namun masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan dengan saat baseline. Hal ini berarti, penyuluhan yang diberikan kepada kader dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable.

76 58 Kualitas Pelayanan Dimensi Assurance (Keterjaminan) Jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan kader untuk menumbuhkan rasa percaya para pengguna posyandu terhadap layanan yang diberikan. Tingkat kepuasan ibu balita pada dimensi assurance dapat dilihat pada Gambar 10 berikut Tingkat Kepuasan (%) Baseline Endline Follow-up 10 0 Kemampuan memberikan konsultasi Kenyamanan pengunjung Kesabaran kader Dukungan aparat desa Gambar 10 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan dimensi assurance Kualitas pelayanan dimensi assurance (keterjaminan) rata-rata sebesar 63,0% sudah cukup baik. Akan tetapi, masih terdapat beberapa indikator yang tidak terealisasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan ketidakpuasan terhadap kemampuan kader dalam memberikan penyuluhan/konsultasi gizi dan kesehatan posyandu (51,6%). Hal ini disebabkan pendidikan kader yang masih tergolong rendah (SMP), kader merasa kerepotan dalam melayani ibu balita, kurangnya pelatihan dan akses informasi terkait gizi dan kesehatan sehingga kader belum mampu memberikan penyuluhan kepada ibu balita di posyandu. Pada kenyataanya, kader posyandu diharapkan dapat menjadi tenaga penggerak yang potensial karena kader lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat, khususnya dalam penyampaian pengetahuan dan pesan-pesan gizi (Penny et al. 2005; Agrawal et al. 2012). Penyuluhan gizi yang diberikan kepada kader mampu meningkatkan pengetahuan kader dengan rata-rata skor 73,3±11,5 pada baseline menjadi 79,0±14,4 pada endline. Hal ini secara tidak langsung menyebabkanterjadi peningkatan kualitas pelayanan kader dalam memberikan konsultasi pada endline sebesar 12,9% dari baseline. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pengetahun kader yang meningkat dapat meningkatkan kualitas kader dalam hal memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan di posyandu (Naidu 2009). Akan tetapi, persentase tingkat kepuasan ibu balita cenderung menurun pada follow-up (52,0%) namun masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan baseline. Hal tersebut disebabkan kader masih merasakan kerepotan dalam melayani ibu balita yang dikarenakan jumlah kader yang terbatas. Akan tetapi, penyuluhan yang diberikan kepada kader dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable.

77 Dukungan aparat desa merupakan salah satu indikator penting dalam kualitas pelayanan dimensi assurance. Gambar 10 menunjukkan bahwa dukungan aparat desa terhadap kegiatan di posyandu masih kurang. Tingkat kepuasan ibu balita pada dimensi ini hanya mencapai 47,5%. Tingkat kepuasan ibu balita dari baseline hingga follow-up cenderung tidak menunjukkan perubahan/peningkatan yang berarti. Sehingga, penting dilakukannya kerja sama yang sinergis antara petugas posyandu dan aparat desa. Kajian terkait program berbasis pelayanan kesehatan pada masyarakat juga dilakukan di Nepal oleh Sharma et al. (2011). Analisa terhadap studi tersebut memaparkan bahwa tidak terdapat satu pun program nasional dari masyarakat di Nepal yang berbasis kesehatan ibu, bayi dan anak yang menggunakan pendekatan siklus aksi masyarakat dan keterlibatan jaringan suatu komunitas. Kelompok ibu (kader) atau yang dikenal dengan istilah Female Community Health Volunteers/FCHV) perlu direvitalisasi untuk memastikan partisipasi aktif mereka dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyepakati langkah-langkah untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Kualitas Pelayanan Dimensi Empathy (Perhatian) Kualitas pelayanan dimensi empathy (perhatian) ditunjukkan dengan kemampuan kader dalam memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada ibu balita dengan berupaya memahami keinginan ibu balita sebagai konsumen.dalam hal ini, kader diharapkan memiliki pengertian, memahami kebutuhan ibu balita secara spesifik, serta memiliki waktu pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan. Tingkat kepuasan ibu balita pada dimensi empathy dapat dilihat pada Gambar 11 berikut. 59 Tingkat Kepuasan (%) Perhatian kader kepada anggota posyandu Perhatian kader kepada sesama kader Pemahaman kader terhadap kebutuhan anggota posyandu Jam buka sesuai kebutuhan Baseline Endline Follow-up Gambar 11 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan dimensi empathy Gambar 11 di atas menunjukkan bahwa rata-rata sebesar 73,5% kualitas pelayanan dimensi empathy terealisasi dengan baik. Hal ini berarti kader telah mampu memberikan perhatian kepada ibu balita. Jika terdapat ibu balita yang tidak datang ke posyandu maka kader berupaya untuk mengunjungi ibu balita

78 60 langsung ke rumah mereka. Selain itu, pemahaman kader terhadap kebutuhan ibu balita yang datang sudah tergolong baik (>80%). Uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh antara penyuluhan gizi terhadap kualitas pelayanan posyandu (p<0,05). Meskipun persentase tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan di posyandu cenderung menurun setelah tidak dilakukan penyuluhan dan pemantauan namun hasil tersebut masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum mendapatkan penyuluhan (baseline). Hal ini berarti, penyuluhan yang diberikan kepada kader dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pembinaan petugas berpengaruh terhadap kinerja kader (Puspasari 2002). Keadaan ini disebabkan karena dengan adanya pembinaan dari petugas akan menambah pengetahuan dan keterampilan kader serta akan menimbulkan kesan bahwa kader posyandu mendapat perhatian. Selain itu akan memicu kader untuk melaksanakan peran dan tugasnya dengan baik yang secara langsung akan berdampak terhadap kinerja yang dihasilkannya. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian Hayati (2001) bahwa supervisi dari petugas diperlukan untuk meningkatkan motivasi kader dalam rangka meningkatkan kemampuannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembinaan salah satunya melalui pendidikan gizi dan kesehatan serta supervisi dari petugas atau aparat yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya yaitu gizi dan kesehatan dapat meningkatkan minat serta pengetahuan kader posyandu (Haines et al. 2007; Rahman et al. 2008). Perhatian Pemerintah Perhatian pemerintah dalam hal ini dapat berupa material dan non-material. Secara material, kader menyatakan bahwa dalam 3 tahun terakhir pemerintah rutin memberikan insentif dalam menjalankan tugas sebagai kader sebesar Rp /tiga bulan untuk masing-masing posyandu. Uang yang diberikan kepada kader tersebut dianggarkan hanya untuk keperluan posyandu saja seperti pembuatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Hal tersebut sudah menunjukkan perubahan yang lebih baik dibandingkan 3 tahun sebelumnya, dimana kader menyatakan tidak menerima uang insentif tersebut. Sehingga, untuk menunjang kegiatan posyandu kader harus menunggu bantuan dari pemerintah yang tidak bisa dipastikan kapan akan diberikan serta sukarela antara sesama kader dan pengguna posyandu. Pada umumnya kader mengharapkan ada bantuan rutin sebagai imbalan dari kerja kader setiap bulan di posyandu, paling sedikit sebagai pengganti biaya transpor kader ke posyandu. Pemberian insentif kepada kader dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk penghargaan sehingga kader merasa dihargai dan akan lebih termotivasi untuk berperan aktif di posyandu. Sebagaimana dapat dipahami bahwa kader berperan sebagai tenaga sukarela sehingga membuat kader merasa tidak terikat dengan tugasnya dan dapat bekerja semaunya. Oleh karena itu pemberian insentif guna menarik minat kader dalam menjalankan tugasnya sangat berguna dan diharapkan dapat mencegah semakin menurunnya tingkat keaktifan kader serta mengurangi jumlah kader yang drop out. Pada kenyataannya, dalam pedoman World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa untuk menjamin keberlanjutan program jangka panjang, kader perlu dibayar. Wisnuwardani (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa

79 pemerintah memberikan uang sebagai insentif bagi kader menyebabkan kader bersemangat dalam bekerja dan berkompetisi. Selain itu, kader diberikan pakaian seragam agar terlihat rapi dalam melayani para pengunjung posyandu. Akan tetapi, seragam posyandu yang diberikan jarang dipakai ketika kader menjalankan tugasnya. Seragam tersebut hanya digunakan kader ketika menghadiri pertemuan/rapat di balai desa. Secara non-material, kader diberikan pelatihan untuk meningkat peran kader di posyandu. Semua kader (100%) menyatakan sudah pernah mendapatkan pelatihan seperti cara pengukuran status gizi balita, pengisian buku registrasi, dan mengisi KMS. Selain itu, penghargaan bagi kader dengan mengikuti seminarseminar kesehatan dan pelatihan serta pemberian modul-modul panduan kegiatan pelayanan kesehatan. Dengan kegiatan tersebut diharapkan kader mampu dalam memberikan pelayanan kesehatan dan aktif datang disetiap kegiatan posyandu Pelaksanaan Posyandu Pada dasarnya, kader posyandu yang selanjutnya disebut kader adalah anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu secara sukarela. Meskipun demikian, semua kader kelompok kontrol (100%) dan kelompok intervensi (100%) menyatakan ingin menjadi kader selama-lamanya. Hal ini dikarenakan kader menyadari manfaat menjadi kader seperti menambahkan pengetahuan kader tentang gizi dan kesehatan serta meningkatkan amal kebaikan dalam membantu permasalahan ibu balita di posyandu tersebut. Sehingga, secara personal dapat membangkitkan motivasi kader untuk terus menjalankan tugasnya sebagai kader. Hal ini juga ditandai dengan tingkat kehadiran kader di posyandu yang mencapai 100%. Kegiatan rutin posyandu diselenggarakan dan digerakkan oleh kader posyandu dengan bimbingan teknis dari puskesmas dan sektor terkait. Idealnya, kader bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan posyandu seperti pendaftaran (meja pertama), penimbangan (meja kedua), pengisian KMS (meja ketiga), dan penyuluhan (meja keempat). Namun, terdapat beberapa tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh kader sebelum hari buka posyandu seperti memberikan informasi jadwal pelaksanaan posyandu. Meskipun di posyandu tersebut sudah memiliki jadwal rutin setiap bulan, beberapa waktu terjadi perubahan jadwal pelaksanaan posyandu sehingga kader harus menginformasikan kembali dengan cara menemui ibu balita secara langsung ke rumah mereka. Sebelum hari buka posyandu, kader bertanggung jawab untuk menyiapkan perlengkapan posyandu dan membantu menyiapkan PMT. Selain itu, mengajak ibu-ibu untuk ikut ke posyandu juga merupakan tugas dan tangggung jawab lainnya yang harus dilakukan oleh kader. Cara kader mengajak ibu-ibu pengguna poyandu agar mau membawa anaknya ke posyandu adalah dengan cara mengunjungi langsung ibu balita tersebut ke rumahnya. Menurut pernyataan kader, terdapat kendala untuk menjalankan tugas tersebut seperti kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM). Rata-rata kader di posyandu tersebut berjumlah 4 orang. Harapannya, saat penyelenggaraan posyandu minimal jumlah kader adalah 5 (lima) orang sehingga dapat melaksanakan sistem 5 langkah posyandu. 61

80 62 Berdasarkan analisis terhadap tingkat perkembangan posyandu yang disusun oleh Kementrian Kesehatan, posyandu di wilayah tersebut masih tergolong posyandu pratama. Posyandu pratama adalah Posyandu yang belum mantap, yang ditandai oleh kegiatan bulanan Posyandu belum terlaksana secara rutin serta jumlah kader sangat terbatas yakni kurang dari 5 (lima) orang. Jumlah kader yang hanya terdiri dari 4 orang tersebut dapat menjadi penyebab tidakterlaksananya kegiatan rutin bulanan Posyandu. Selain itu, kendala yang dihadapi di posyandu tersebut adalah tidak semua kader lancar baca tulis, KMS balita sering tidak dibawa atau hilang sehingga pemantauan hasil pengukuran BB tidak terevaluasi secara berkesinambungan, pengisian buku registrasi posyandu masih belum teratur, pencatatan hasil kegiatan posyandu dicatat di buku bantu tidak langsung dicatat sehingga buku registrasi kosong, meja 4 pada posyandu tidak dimanfaatkan sebagai media penyuluhan oleh kader dikarenakan kader masih merasa kurang menguasasi materi penyuluhan dan terbatasnya jumlah kader sehingga hanya 4 meja saja yang dilaksanakan dalam pelaksanaannya. Kendala tersebut merupakan masalah yang hampir sama di setiap posyandu di Indonesia, untuk itu diperlukan kerjasama dengan berbagai sektor terkait, disamping ketekunan dan pengabdian para pengelolanya, yang kesemuanya mempunyai peranan strategis dalam menunjang keberhasilan penyelenggaraan Posyandu. Rencana tindak lanjut tentang peningkatan kapasitas kader dengan memberikan pembinaan dan penyuluhan di meja empat merupakan kegiatan KIE yang harus dilakukan secara terus menerus. Kegiatan KIE yang berkesinambungan tersebut akan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik (PSP) dari kader, dengan demikian diharapkan kader bisa menyebarkan kembali PSP yang dimiliki tersebut kepada ibu balita atau pengguna posyandu lainya seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan WUS/PUS. 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penyuluhan gizi di posyandu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada kategori pengetahuan gizi baik sebesar 9,6%, sikap positif terhadap gizi sebesar 16,2% dan menurunkan sikap negatif terhadap gizi sebesar 9,7%, serta praktik gizi ibu kategori sedang sebesar 6,4% dari baseline. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penyuluhan gizi berpengaruh nyata terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik gizi ibu balita (p<0,05). Rata-rata skor pengetahuan, sikap, dan praktik cenderung menurun saat follow-up, namun menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan baseline. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dampak penyuluhan gizi berkelanjutan (sustainable). Berdasarkan status kesehatan, balita pada kelompok kontrol dan intervensi memiliki riwayat penyakit ISPA lebih tinggi dibandingkan demam, diare, penyakit kulit, dan lainnya (cacar dan kejang-kejang). Setelah penyuluhan, terjadi penurunan riwayat ISPA satu bulan terakhir pada kelompok intervensi menjadi 77,4% (1,6±0,9 kali/1 bulan terakhir) pada data endline dan 74,2% (1,0±0,8 kali/1

81 bulan terakhir) pada data follow-up. Uji korelasi Spearman (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita dan status gizi balita indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB kelompok intervensi. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita (93,3%) menyatakan keinginannya untuk tetap mengikuti/membawa anak ke posyandu hingga usia lima tahun. Hal ini berarti bahwa materi penyuluhan berupa motivasi kunjungan ke posyandu mampu meningkatkan pengetahuan ibu balita tentang pentingnya posyandu sehingga keinginan ibu balita untuk tetap mengikuti posyandu semakin meningkat. Berdasarkan lima dimensi kualitas pelayanan (service quality), penyuluhan gizi yang diberikan kepada kader mampu meningkatkan pengetahuan kader dengan rata-rata skor pengetahuan gizi 73,3±11,5 pada baseline menjadi 79,0±14,4 pada endline. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan terjadi peningkatan kualitas pelayanan kader dalam memberikan konsultasi pada endline sebesar 12,9% dari baseline. Akan tetapi, terdapat indikator yang masih kurang (<60%) dan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti yaitu dukungan aparat desa. Meskipun persentase tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan di posyandu cenderung menurun setelah tidak dilakukan penyuluhan dan pemantauan namun hasil tersebut masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum mendapatkan penyuluhan (baseline). Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penyuluhan gizi dan pengadaan fasilitas posyandu berpengaruh nyata terhadap kualitas pelayanan posyandu (p<0,05). Hal ini berarti, penyuluhan yang diberikan kepada kader serta pengadaan fasilitas posyandu dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable. Saran Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang penyuluhan gizi sustainable untuk merubah perilaku gizi ibu balita dan kader serta kualitas pelayanan posyandu sehingga diharapkan kader dan tenaga kesehatan terkait dapat melakukan penyuluhan gizi dan kesehatan di posyandu secara berkelanjutan. Keberhasilan posyandu memerlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, baik dukungan moril (motivasi dan perhatian), materil (fasilitias dan PMT) maupun finansial (uang intensif kader). Selain itu diperlukan adanya kerjasama dengan berbagai sektor seperti LSM, LKMD, dan BKKBN, disamping ketekunan dan pengabdian para pengelolanya, yang kesemuanya mempunyai peranan strategis dalam menunjang keberhasilan penyelenggaraan posyandu. Berdasarkan sebaran data hasil analisis tingkat kepuasan ibu terhadap kualitas pelayanan posyandu, disarankan cut-off-point kualitas pelayanan yaitu <80% tergolong kurang dan 80% tergolong baik. Sementara itu, keterbatasan penelitian terkait analisis kualitas pelayanan posyandu akan menjadi bagian yang menarik untuk diteliti lebih lanjut tentang validitas lima dimensi alat ukur kualitas pelayanan posyandu di wilayah posyandu yang berbeda. Oleh karena itu, secara tidak langsung akan memberikan kontribusi kepada dinas kesehatan dalam menyusun indikator kualitas pelayanan posyandu. Sementara itu, dapat diteliti pula bagaimana perbedaan efektivitas dari penyuluhan gizi dan pengadaan fasilitas terhadap kualitas pelayanan di posyandu. 63

82 64 DAFTAR PUSTAKA Abdurahmah L Pengaruh metode diskusi kelompok fungsional terhadap pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang balita (studi kasus di Posyandu Margirahayu IV Desa Pekalongan Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga). Unnes Journal of Public Health 2(1). Agrawal PK, Agrawal S, Ahmed S, Darmstadt GL, Williams EK, Rosen HE, Kumar V, Kiran U, Ahuja RC, Srivastava VK Effect of knowledge of community health workers on essential newborn health care: a study from rural India. Health Policy Plan. 27: Ajao KO, Ojofeitimi EO, Adebayo AA, Fatusi AO, Afolabi OT Influence of family size, household food security status, and child care practices on the nutritional status of under-five children in Ile-Ife, Nigeria. Afr J Reprod Health 14(4): Aliman NK, Mohamad WN Perceptions of service quality and behavioral intentions: a mediation effect of patient satisfaction in the Private Health Care in Malaysia. International Journal of Marketing Studies 5(4). Anwar F, Khomsan A, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES High participation in the Posyandu nutrition program improved children nutritional status. Nutr Res Pract 4(3): Arisman Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Kamus Istilah Program Keluarga Berencana Nasional. Jakarta (ID):BKKBN. Barker DJP The developmental origins of adult disease. Journal of the American College of Nutrition 23(6): Basit A, Nair S, Chakraborthy KB, Darshan BB, Kamath A Risk factors for under-nutrition among children aged one to five years in Udupi taluk of Karnataka, India: a case control study. Australasian Medical Journal 5(3): Campbel K Family fog environments of children: does sosioeconomics status make a difference. Asia Pasific Journal Clinical Nutrition. Caruana A Service Loyalty the effects of service quality and the mediating role of customer satisfaction. European Journal of Marketing, 36. Cesare MD, Sabates R, Keith M. Lewin A double prevention: How maternal education can affect maternal mental health, child health and child cognitive development. Longitudinal and Life Course Studies 4(3). Christopher JB, May AL, Lewin S, and Ross DA Thirty years after Alma- Ata: a systematic review of the impact of community health workers delivering curative interventions against malaria, pneumonia and diarrhoea on child mortality and morbidity in Sub-Saharan Africa. Human Resources for Health 9:27. Confalonieri U et al Human health:climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment. Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. [Depkes] Departemen Kesehatan Pedoman Kegiatan Kader di Pos Pelayan Terpadu KB-Kesehatan. Jakarta (ID): Depkes RI.

83 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Direktorat Bina Gizi Kesehatan Keluarga Riset Kesehatan Dasar Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Direktorat Bini Gizi Masyarakat Buku Kader UPGK. Jakarta (ID): Depkes RI. Elu, Balthasar Manajemen Penanganan Komplain Konsumen di Industri Jasa. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi 13(3). Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW Perilaku Konsumen (Consumer Behaviour). FX Budianto, penerjemah. Jakarta (ID): Bumi Putra Aksara. Faber M, Benade AJS Breast-feeding, complementary feeding and nutritional status of 6-12-month-old infants in Rural Kwazulu-Natal. S Afr J Clin Nutr 20: Gibson RS Principles of Nutrition Assassment. New York (US): Oxford University Press. Gillespie S, McLachlan M, Shrimpton R Combating Malnutrition Time to Act. Washington DC: The World Bank-UNICEF. Haines A, Sanders D, Lehmann U, Rowe AK, Lawn JE, Jan S Achieving child survival goals: potential contribution of community health workers. The Lancet 369(9579): , Sztainer DM, Wall M, Story M Personal, behavioral, and environmental risk and protective factors for adolescent overweight. Int. J. Obes 15: Hayati NB Faktor-faktor kader yang berhubungan dengan cakupan penimbangan balta di Posyandu Kabupaten Padang Pariaman tahun 2010 [tesis]. Jakarta (ID): Program Pascasarjana, FKM UI. Heinberg R Foundation Concepts: What Is Sustainability?. California (US): Post Carbon Institute. Hidayat A Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Surabaya (ID): Direktorat Jenderal. Inayati DA, Scherbaum V, Purwestri RC, Wirawan NN, Suryantan J, Hartono S, Bloem MA, Pangaribuan RV, Biesalski HK, Hoffmann V Bellows CV Combined intensive nutrition education and micronutrient powder supplementation improved nutritional status of mildly wasted children on Nias Island Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr 3: Jus at I, Jahari AB, Achmadi RL, Soekirman Penyimpangan Positif Masalah KEP di Jakarta Utara dan di Pedesaan Kabupaten Bogor Jawa Barat, Prosiding WNPG VII. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kabahenda M, Mullis RM, Erhardt JG, Northro C, Nickols SY Nutrition education to improve dietary intake and micronutrient nutriture among children in less-resourced areas: A randomised controlled intervention in Kabarole District, Western Uganda. S Afr J Clin Nutr 24: Kasmita Kinerja posyandu dan status gizi anak balita di Kabupaten Pariamen Provinsi Sumatera Barat [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Riset Kesehatan Dasar Jakarta (ID): Kemenkes RI. 65

84 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia: Standar Antropometri Penelian Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Kemenkes RI Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu [Internet]. [diunduh 2013 April 15]. Tersedia pada Khatun A, Rahman S, Rahman H, Hossain S A cross sectional study on prevalence of diarrhoeal disease and nutritional status among children under 5- years of age in Kushtia, Bangladesh. Science Journal of Public Health 1(2): Khomsan A Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, IPB. Khomsan A Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan cakupan, Keefektifan, dan Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A, Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan Gizi Balita.Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Kotler P Manajemen Pemasaran Jilid ke I. Molan B, penerjemah. Jakarta (ID): Prenhallindo. Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam S Sehat dan BugarBerkat Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Gramedia. Lestari P, Syamsianah A, dan Mufnaety Hubungan tingkat kehadiran balita di posyandu dengan hasil pengukuran antropometri balita di Posyandu Balitaku Sayang RW.04 kelurahan Jangli kecamatan Tembalang kota Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang (1):1. Line R, Hanne KH, Hanne K, Lars FM, Ann T, Bent O Association between maternal weight gain and birth weight. ACOG 109(6): Lupiyoadi R, Hamdani A Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat. Madanijah S, Triana N Hubungan antara status gizi masa lalu anak dan partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian tuberculosis pada murid taman kanak-kanak. Gizi dan Pangan 2(1): Madanijah S Model pendidikan GI-PSI-SEHAT bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Madrie Beberapa faktor penentu partisipasi anggota masyarakat dalam pembangunan pedesaan [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mariani Hubungan pola asuh makan, konsumsi pangan dan status gizi anak balita [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marjanka K, Muslimatun S, West Clive E, Schultink W, Gross R, Hautvast Joseph GA Nutritional status and linear growth of Indonesians infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factor. The Journal of Nutrition 132:

85 Martyn DM, Breige A. McNulty, Anne P. Nugent and Michael J. Gibney Food additives and preschool children. Proceedings of the Nutrition Society 72: Mbuya MNN, Menon P, Habicht JP, Pelto GH, and Ruel MT Maternal knowledge after nutrition behaviorchange communication is conditional onboth health workersknowledge andknowledge-sharing efficacy in Rural Haiti. J. Nutr.doi: /jn Mohsena M, Mascie-Taylor CG, Goto R Association between socioeconomic status and childhood undernutrition in Bangladesh: acomparison of possession score and poverty index. Public Health Nutr 13(10): Monden C and Smits J Maternal education is associated with reduced female disadvantages in under-five mortality in Sub-Saharan Africa and Southern. Asia. Int. J. Epidemiol 42 (1): Mosquera PA, Hernandez J, Vega R, Martinez J, Labonte R, Sanders D, and Sebastian MS Primary health care contribution to improve health outcomes in Bogota-Colombia: a longitudinal ecological analysis. BMC Family Practice 13:84. Moviana R Kaitan antara status pekerjaan ibu, pengetahuan gizi ibu, dan perilaku keluarga sadar gizi terhadap status gizi balita [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Naidu A Factors affecting patient satisfaction and healthcare quality. Int. J. Health Care Qual. Assur 22(4): Nasdian FT Pengembangan Masyarakat. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Natoadmodjo S Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Andi Ofset Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar Jakarta (ID): Rineka Cipta a. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): Rineka Cipta b. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta (ID): Rineka Cipta Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Nikmawati EE Kinerja, intervensi pendidikan gizi dan GAP analysis program gizi & kesehatan di posyandu [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Norris, Osmond C, Gigante D, Kuzawa CW, Ramakrishnan L, Lee NR, Zea MR, Richter LM et al Size at birth, weight gain in infancy and childhood, and adult diabetes risk in five low- or middle-income country birth cohorts. Diabetes Care 35:72 79 Nyepi MS Household factors are strong indicators of children s nutritional status in children with access to primary health care in the greater Gaborone area. Scientific Research and Essay 2(2): Ogunba BO Maternal behavioural feeding practices and under-five nutrition: Implication for child development and care. Journal of Applied Sciences Research 2(12): Oliver RL A Cognitive Model of The Antecedents and Consequences of Satisfaction Decisions. Journal of Marketing Research,

86 68 Parasuraman A, Zeithalm V, Berry L SERVQUAL: A multiple item scale for measuring consumer perceptions of service quality. Journal of Retaliling. Pelto GH, Santos I, Alves, Victora C, Martines J, and Habicht JP Nutrition counseling training changes physician behavior and improves caregiver knowledge acquisition. J. Nutr134: Penny ME, Creed-Kanashiro HM, Robert RC, Narro MR, Caulfield LE, Black RE Effectiveness of an educational intervention delivered through the health services to improve nutrition in young children: a cluster-randomised controlled trial. TheLancet. 365: Perry HB, Shanklin DS, and Schroeder DG Impact of a community-based comprehensive primary healthcare programme on infant and child mortality in Bolivia Health Popul Nutr 21(4): Phaneendra RRS, Prakash KP, Sreekumaran NN Influence of prepregnancy weight, maternal height and weight gain during pregnancy on birth weight. Bahrain Med Bull 23(1): Puspasari A Faktor-faktor yang mempangaruhi kinerja posyandu di kota Sabang propinsi Nangroe Aceh Darussalam [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahman A,MalikA, SikanderS, RobertsC, CreedF Cognitive behaviour therapy-based intervention by community health workers for mothers with depression and their infants in rural Pakistan: a cluster-randomised controlled trial. The Lancet 372: Rayhan I, Khan SH Factor causing malnutrition among under five children in Bangladesh. Pakistan Journal of Nutrition 5(6): Reyes, Hortensia The family as determinant of stunting in children living in conditions of extreme poverty:a case control study. BMC Public Health 4(57). Riyadi H Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Riyadi H, Martianto D, Hastuti D,Damayanthi E, Murtilaksono K Faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi anak balita di kabupaten Timor Tengah Utara, provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Pangan 6(1): Roy SK, Jolly SP, Shafique S, Fuchs GJ, Mahmud Z, Chakraborty B, Roy S Prevention of malnutrition among young children in rural Bangladesh by a food-health-care educationalintervention: a randomized, controlled trial. Food and Nutrition Bulletin (28)4. Sharma N, Malla H,Thapa N, Aryal K, Vitrakoti R, Bhandari RM Community participation and mobilization in community-based maternal, newborn and child health programmes in Nepal. J Nepal Health Res Counc 9(19): Sharma SV, Gernand AD, Day RS Nutrition knowledge predicts eating behavior of all food groups except fruits and vegetables among adults in the Paso del Norte region: Que Sabrosa Vida. J Nutr Educ Behav 40(6): Slamet M Meningkatkan Partisipasi Maysarakat dalam Pembangunan Pedesaan.Bogor (ID): IPB Press. Smith LC, Haddad L Explaining child malnutrition in developing countries: A cross-country analysis [research report]. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute.

87 Soekidjo N Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Soetjiningsih Tumbuh Kembang Anak. Bagian Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Suhardjo dkk Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suhardjo Sosial Budaya Gizi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Sukarni M Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supariasa DN, Bakri B, Fajar I Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Taufiqurrahman, Hadi H, Julia M, Herman S Defisiensi vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita di Nusa Tenggara Barat. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 9:S84-S94. Thakur SK, Roy SK, Paul K, Khanam M, Khatun W,Sarker D Effect of nutrition education on exclusive breastfeeding for nutritional outcome of low birth weight babies. European Journal of Clinical Nutrition 5:1 6. Ukegbu, Ebenebe EU, Ukegbu PO Breastfeeding pattern, anthropometry and health status of infants attending child welfare clinics of a teaching hospital in Nigeria. S Afr J Clin Nutr 23(4): Ulfa O, Neti J, Ai M Hubungan Keaktifan Keluarga Dalam Kegiatan Posyandu dengan Status Gizi Balita di Desa Rancaeke Kulon Kecamatan Rancaekek. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. [UNICEF] United Nations Children's Fund Evaluation report:evaluation of Posyandu Revitalization.[Internet].[diunduh 2013 April 4]. Tersedia pada Successful Community Nutrition Programming: Lessons from Kenya, Tanzania, and Uganda. New York: 3 United Nations Plaza. Vuthithu H, Wakita A, Shikanai S, Iwamoto T, Wakikawa N, et al Epidemiological studies of monosodium glutamate and health. J Nutr Food Sci S10:009. doi: / S Wisnuwardani RW Insentif uang tunai dan peningkatan kinerja kader posyandu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7:1. World Bank Repositioning Nutrition as Central to Development, A strategy for Large-Scale Action. Washington DC (US): World Bank. World Health Organization Indicator for assesing breast-feeding practices. Report from an informal meeting. WHO: Geneva Global status report on noncommunicable disease 2010: Description of the global burden of NCDs, their risk factors and determinants. Washington DC: WHO. Worsley A Nutrition knowledge and food consumption: can nutrition knowledge change food behaviour?.asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 11: Yogiswara BA Hubungan antara tingkat partisipasi ibu di posyandu dengan status gizi balita [tesis]. Semarang (ID): Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. 69

88 70 Lampiran 1 Kelengkapan fasilitas posyandu Desa No Alat Jumlah Kepemilikan Cukup Kurang Harus Sukajadi 1 Dacin Sukajadi 2 Meja Sukajadi 3 Kursi Sukajadi 4 Timbangan Injak Digital Sukajadi 5 Timbangan Injak Jarum Sukajadi 6 Timbangan Bayi Sukajadi 7 Microtoise Sukajadi 8 Alat ukur TB/PB Sukajadi 9 Alat ukur LILA Sukajadi 10 Alat ukur tekanan Darah Sukajadi 11 Kotak P3K Sukajadi 12 Buku-buku Gizi Kesehatan Sukajadi 13 Buku pegangan kader Sukajadi 14 Majalah, tabloid Sukajadi 15 Poster Sukajadi 16 Leaflet Sukajadi 17 Lembar balik Sukajadi 18 Modul Sukajadi 19 Tempat sampah Sukajadi 20 Tempat cuci tangan Sukajadi 21 Lemari/rak buku Sukajadi 22 Model/Cnth makanan Sukajadi 23 Dipan/Kasur Sukaluyu 1 Dacin Sukaluyu 2 Meja Sukaluyu 3 Kursi Sukaluyu 4 Timbangan Injak Digital Sukaluyu 5 Timbangan Injak Jarum Sukaluyu 6 Timbangan Bayi Sukaluyu 7 Microtoise Sukaluyu 8 Alat ukur TB/PB Sukaluyu 9 Alat ukur LILA Sukaluyu 10 Alat ukur tekanan darah Sukaluyu 11 Kotak P3K Sukaluyu 12 Buku-buku Gizi Kesehatan Sukaluyu 13 Buku pegangan kader Sukaluyu 14 Majalah, tabloid Sukaluyu 15 Poster Sukaluyu 16 Leaflet Sukaluyu 17 Lembar balik Sukaluyu 18 Modul

89 71 Sukaluyu 19 Tempat sampah Sukaluyu 20 Tempat cuci tangan Sukaluyu 21 Lemari/rak buku Sukaluyu 22 Model/Contoh makanan Sukaluyu 23 Dipan/Kasur Lampiran 2 Dokumentasi demo masak di posyandu kelompok intervensi Lampiran 3 Dokumentasi pelatihan kinerja posyandu kelompok intervensi

90 72 Lampiran 4 Dokumentasi penyuluhan gizi di posyandu kelompok intervensi

4 METODE PENELITIAN. Kecamatan Taman Sari. Desa C (intervensi) Masing-masing 1 Posyandu: - 4 kader - 31 ibu balita - 31 balita

4 METODE PENELITIAN. Kecamatan Taman Sari. Desa C (intervensi) Masing-masing 1 Posyandu: - 4 kader - 31 ibu balita - 31 balita 16 4 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Lokasi Penelitian Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimental. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung oleh Khomsan et al. (2012) bekerjasama

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 14 5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 5 TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dimana masyarakat antara lain melalui kader-kader yang terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kekurangan Energi Kronis (KEK) 1. Pengertian Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan ibu hamil dan WUS (Wanita Usia Subur) yang kurang gizi diakibatkan oleh kekurangan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Balita (1 5 Tahun) Anak balita adalah anak yang berusia 1-5 tahun. Pada kelompok usia ini, pertumbuhan anak tidak sepesat masa bayi, tapi aktifitasnya lebih banyak (Azwar,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256.

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256. ABSTRACT ERNY ELVIANY SABARUDDIN. Study on Positive Deviance of Stunting Problems among Under five Children from Poor Family in Bogor City. Under direction of IKEU TANZIHA and YAYAT HERYATNO. The objectives

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita 6 TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. STATUS GIZI Status gizi anak pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dikonsumsi dan kesehatan anak itu sendiri. Kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Untuk mempercepat terwujudnya masyarakat sehat, yang merupakan bagian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Untuk mempercepat terwujudnya masyarakat sehat, yang merupakan bagian BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Posyandu Untuk mempercepat terwujudnya masyarakat sehat, yang merupakan bagian dari kesejahteraan umum seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, Departemen Kesehatan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak balita merupakan salah satu golongan penduduk yang rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen penting dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan.sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG Dwi Novrianda Fakultas Keperawatan Universitas Andalas e-mail: dwinov_82@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC

Lebih terperinci

Anisia Mikaela Maubere ( ); Pembimbing Utama: Dr. dr. Felix Kasim, M.Kes ABSTRAK

Anisia Mikaela Maubere ( ); Pembimbing Utama: Dr. dr. Felix Kasim, M.Kes ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU IBU YANG MEMILIKI BALITA USIA 12-59 BULAN TERHADAP KEJADIAN GIZI BURUK DI DESA GOLO WUA KECAMATAN WAE RI I KABUPATEN MANGGARAI TAHUN 2010 Anisia Mikaela Maubere

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keseimbangan antara pemasukan zat gizi dari bahan makanan yang dimakan dengan bertambahnya pertumbuhan aktifitas dan metabolisme dalam tubuh. Status

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

RANI SURAYA NIM

RANI SURAYA NIM PENGARUH PENYULUHAN DENGAN METODE CERAMAH DAN LEAFLET TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) PADA ANAK 6-24 BULAN DI DESA PANTAI GEMI KECAMATAN STABAT

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA NADIYA MAWADDAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD SUKASARI I BANDUNG PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD SUKASARI I BANDUNG PERIODE ABSTRAK GAMBARAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD SUKASARI I BANDUNG PERIODE 2006-2007 Silvia Susanti, 2008. Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : July Ivone, dr., MS.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi (KKP), dan jumlahnya

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEAKTIFAN IBU BALITA DALAM KEGIATAN POSYANDU DI POSYANDU NUSA INDAH DESA JENAR KECAMATAN JENAR KABUPATEN SRAGEN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEAKTIFAN IBU BALITA DALAM KEGIATAN POSYANDU DI POSYANDU NUSA INDAH DESA JENAR KECAMATAN JENAR KABUPATEN SRAGEN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEAKTIFAN IBU BALITA DALAM KEGIATAN POSYANDU DI POSYANDU NUSA INDAH DESA JENAR KECAMATAN JENAR KABUPATEN SRAGEN Oleh MAHARDIKA CAHYANINGRUM NIM: 030113a050 PROGRAM

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN i PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN ASRINISA RACHMADEWI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014 Klemens STIKes Prima Jambi Korespondensi penulis :kornelis.klemens@gmail.com

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus Global Scaling Up Nutrition (SUN) Movement pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Selain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak

Lebih terperinci

PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-24 BULAN

PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-24 BULAN Media Gizi Pangan, Vol. XI, Edisi, Januari Juni PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA -4 BULAN Asmarudin Pakhri ), Lydia Fanny ), St. Faridah ) ) Jurusan Gizi Politeknik

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. Disusun Oleh : TERANG AYUDANI J

ARTIKEL ILMIAH. Disusun Oleh : TERANG AYUDANI J ARTIKEL ILMIAH GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG MP-ASI DENGAN KETEPATAN WAKTU PEMBERIAN MP-ASI DAN STATUS GIZI BALITA USIA 6-24 BULAN DI POSYANDU PERMATA DESA BAKI PANDEYAN KABUPATEN SUKOHARJO Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia sekarang masih memikul banyak beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan kesehatan di masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan menurut Almatsier

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak, kemudian menjadi dewasa, dan pada siklus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit. Kelompok usia yang paling rentan yaitu usia 2-4 tahun, hal ini disebabkan karena pada usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Status gizi berhubungan dengan kecerdasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak. pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang

BAB 1 PENDAHULUAN. dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak. pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup manusia terbagi atas kualitas fisik dan kualitas non

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gizi Kurang Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING HUBUNGAN POLA ASUH IBU DAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 1336 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING KOTA MANADO Okky Kezia Kainde*, Nancy S.H Malonda*, Paul A.T Kawatu*

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh (Sri,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini

Lebih terperinci

PERBEDAAN ASUPAN GIZI DAN POLA MAKAN ANAK BALITA GIZI KURANG SEBELUM DAN SESUDAH PENDIDIKAN GIZI TESIS

PERBEDAAN ASUPAN GIZI DAN POLA MAKAN ANAK BALITA GIZI KURANG SEBELUM DAN SESUDAH PENDIDIKAN GIZI TESIS PERBEDAAN ASUPAN GIZI DAN POLA MAKAN ANAK BALITA GIZI KURANG SEBELUM DAN SESUDAH PENDIDIKAN GIZI (DI KECAMATAN KARANGPANDANG KABUPATEN KARANGANYAR) TESIS Oleh LULUK RIA RAKHMA S531108009 PROGRAM PASKA

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi 2.1.1 Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2012

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2012 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2012 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari membangun manusia seutuhnya yang diawali dengan pembinaan kesehatan anak mulai sejak dini. Pembinaan kesehatan anak sejak awal

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU YANG MEMILIKI BALITA DENGAN KUNJUNGAN KE POSYANDU

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU YANG MEMILIKI BALITA DENGAN KUNJUNGAN KE POSYANDU HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU YANG MEMILIKI BALITA DENGAN KUNJUNGAN KE POSYANDU (Studi di Desa Bagolo Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2013) Firmansyah, Eka Jurusan Kesehatan Masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Gizi merupakan penentu kualitas sumber daya manusia.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Desa Paberasan Kabupaten Sumenep. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gizi pada balita dan anak terutama pada anak pra sekolah di Indonesia merupakan masalah ganda, yaitu masih ditemukannya masalah gizi kurang dan gizi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakancg Pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (mordibity) dan angka kematian (mortality).

Lebih terperinci

TESIS. Oleh MARIA POSMA HAYATI /IKM

TESIS. Oleh MARIA POSMA HAYATI /IKM PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TESIS Oleh MARIA POSMA HAYATI 097032136/IKM

Lebih terperinci

FREKUENSI KONSELING GIZI, PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PERUBAHAN BERAT ENERGI PROTEIN (KEP) DI KLINIK GIZI PUSKESMAS KUNCIRAN, KOTA TANGERANG

FREKUENSI KONSELING GIZI, PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PERUBAHAN BERAT ENERGI PROTEIN (KEP) DI KLINIK GIZI PUSKESMAS KUNCIRAN, KOTA TANGERANG FREKUENSI KONSELING GIZI, PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PERUBAHAN BERAT BADAN BALITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) DI KLINIK GIZI PUSKESMAS KUNCIRAN, KOTA TANGERANG Tuesday, April 29, 2014 http://www.esaunggul.ac.id/article/frekuensi-konseling-gizi-pengetahuan-gizi-ibu-dan-perubahan-berat-b

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat yang di pengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi di nilaidengan ukuran atau parameer gizi.balita yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada makhluk hidup. Pertumbuhan berarti bertambah besar dalam ukuran fisik, akibat

Lebih terperinci

PREVALENSI BALITA DENGAN BERAT BADAN RENDAH DI SULAWESI UTARA PADA TAHUN 2009 Marsella Dervina Amisi*, Ester Candrawati Musa*

PREVALENSI BALITA DENGAN BERAT BADAN RENDAH DI SULAWESI UTARA PADA TAHUN 2009 Marsella Dervina Amisi*, Ester Candrawati Musa* PREVALENSI BALITA DENGAN BERAT BADAN RENDAH DI SULAWESI UTARA PADA TAHUN 29 Marsella Dervina Amisi*, Ester Candrawati Musa* * Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado ABSTRACT Children

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat nyata dalam peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari penetapan perbaikan status gizi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Titik berat dari pembangunan Bangsa Indonesia adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) ke arah peningkatan kecerdasan dan produktivitas kerja. Salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Konsumsi gizi yang baik merupakan modal utama bagi kesehatan individu yang dapat mempengaruhi status kesehatan. Individu dengan asupan gizi yang tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan gizi masih menjadi masalah yang serius. Kekurangan gizi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan gizi masih menjadi masalah yang serius. Kekurangan gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gizi masih menjadi masalah yang serius. Kekurangan gizi menjadi penyebab dari sepertiga kematian anak di dunia. Gizi buruk dan juga gizi lebih masih menjadi

Lebih terperinci

GAMBARAN KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI PUSKESMAS CARINGIN BANDUNG PERIODE SEPTEMBER 2012 SEPTEMBER 2013

GAMBARAN KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI PUSKESMAS CARINGIN BANDUNG PERIODE SEPTEMBER 2012 SEPTEMBER 2013 GAMBARAN KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI PUSKESMAS CARINGIN BANDUNG PERIODE SEPTEMBER 2012 SEPTEMBER 2013 PROFILE OF TODDLER MALNUTRITION AT PRIMARY HEALTH CENTER CARINGIN BANDUNG AT SEPTEMBER 2012

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI I. PENJELASAN UMUM Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama penyakit infeksi. Asupan gizi yang kurang akan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. terutama penyakit infeksi. Asupan gizi yang kurang akan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan dan penyakit terutama penyakit infeksi. Asupan gizi yang kurang akan menyebabkan status gizi menurun dimana keadaan ini akan

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAYANAN KUNJUNGAN BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG

GAMBARAN PELAYANAN KUNJUNGAN BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG GAMBARAN PELAYANAN KUNJUNGAN BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMOWONO KABUPATEN SEMARANG Ida Fitriya *), Purbowati,S.Gz.,M.Gizi **), dr. H. Adil Zulkarnain, Sp. OG (K) ***) *) Alumnus Program Studi D-IV

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan pola konsumsi makanan terutama energi, protein, dan zat gizi mikro. Pola konsumsi makanan harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang yang ditandai dengan indeks panjang badan dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM yang berkualitas,

Lebih terperinci

Hubungan Antara Jenis Dan Frekuensi Makan Dengan Status Gizi (Bb) Pada Anak Usia Bulan (Studi 5 Posyandu Di Desa Remen Kecamatan Jenu - Tuban)

Hubungan Antara Jenis Dan Frekuensi Makan Dengan Status Gizi (Bb) Pada Anak Usia Bulan (Studi 5 Posyandu Di Desa Remen Kecamatan Jenu - Tuban) Hubungan Antara Jenis Dan Frekuensi Makan Dengan Status Gizi (Bb) Pada Anak Usia 36 48 Bulan (Studi 5 Posyandu Di Desa Remen Kecamatan Jenu - Tuban) Relationship Between The Type And Frequency Of Eating

Lebih terperinci

ABSTRAK. Annisa Denada Rochman, Pembimbing I : Dani dr., M.Kes. Pembimbing II : Budi Widyarto Lana dr., MH.

ABSTRAK. Annisa Denada Rochman, Pembimbing I : Dani dr., M.Kes. Pembimbing II : Budi Widyarto Lana dr., MH. ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN SIKAP DAN PERILAKU IBU YANG MEMILIKI BALITA GIZI KURANG DI KELURAHAN MALEBER KOTA BANDUNG PERIODE AGUSTUS 2011 JANUARI 2012 Annisa Denada Rochman, 2012. Pembimbing I : Dani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini negara Indonesia sedang menghadapi masalah gizi ganda, yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari kemajuan jaman pada latar

Lebih terperinci

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan Silaen P, Zuraidah R, Larasati TA. Medical Faculty

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga diistilakan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan

Lebih terperinci

JURNAL ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PEMANTAUAN PERTUMBUHAN BALITA DI POSYANDU

JURNAL ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PEMANTAUAN PERTUMBUHAN BALITA DI POSYANDU JURNAL ILMU KESEHATAN MASYARAKAT VOLUME 3 Nomor 03 November 2012 Tinjauan Pustaka PEMANTAUAN PERTUMBUHAN BALITA DI POSYANDU MONITORING THE GROWTH OF INFANTS IN POSYANDU Fatmalina Febry Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah stunting masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Stunting pada balita bisa berakibat rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia

Lebih terperinci

Adapun fungsi zat gizi bagi tubuh adalah:

Adapun fungsi zat gizi bagi tubuh adalah: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan

Lebih terperinci

SUCI ARSITA SARI. R

SUCI ARSITA SARI. R ii iii iv ABSTRAK SUCI ARSITA SARI. R1115086. 2016. Pengaruh Penyuluhan Gizi terhadap Pengetahuan Ibu tentang Pola Makan Balita di Desa Sambirejo Kecamatan Mantingan Kabupaten Ngawi. Program Studi DIV

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDEXS ANTROPOMETRI BB/ U DAN BB/TB PADA POSYANDU DI WILAYAH BINAAN POLTEKKES SURAKARTA

PERBANDINGAN STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDEXS ANTROPOMETRI BB/ U DAN BB/TB PADA POSYANDU DI WILAYAH BINAAN POLTEKKES SURAKARTA PERBANDINGAN STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDEXS ANTROPOMETRI BB/ U DAN BB/TB PADA POSYANDU DI WILAYAH BINAAN POLTEKKES SURAKARTA Siti Handayani ¹, Sri Yatmihatun ², Hartono ³ Kementerian Kesehatan Politeknik

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI

ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, situasi gizi dunia menunjukkan dua kondisi yang ekstrem. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu rendah serat dan tinggi kalori,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah terciptanya

Lebih terperinci