PERSAMAAN AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

Transkripsi

1 PERSAMAAN AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* Bagi individu yang normal, persoalan penyesuaian diri dalam segenap aspek kehidupan tidaklah seberat individu yang mengalami kecacatan. Cacat, baik secara fisik, mental atau gabungan keduanya, maupun masalah perkembangan lainnya tentunya akan menghambat penyandangnya untuk melakukan aktivitas sehari hari serta melakukan penyesuaian sosial seperti individu normal lainnya. Pada garis besarnya, individu yang menderita tuna mempunyai kebutuhan kebutuhan yang sama dengan mereka yang normal. Tetapi karena keadaan ketunaannya tersebut, mereka lebih banyak mengalami kesukaran dalam kehidupan sehari harinya (Meichati, 2002). Berpijak pada kenyataan tersebut, maka permasalahan penyandang cacat idealnya dipandang secara menyeluruh yaitu dari faktor internal maupun faktor eksternal. World Health Oragization atau Organisasi Kesehatan Sedunia menurut (Kasim, 2005) membagi ketunaan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap. a. Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis. b. Disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. c. Handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.

2 KEBIJAKAN PENANGANAN Aksesibilitas yang minimal dan terbatas bagi individu yang mengalami tuna pada dasarnya merupakan masalah kompleks sosial yang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Pemerintah, masyarakat dan berbagai ormasnya, keluarga, lembaga pendidikan, pekerja sosial, dokter, ilmuwan, psikolog, dan semua pihak yang terkait dengan kemanusiaan. Oleh karenanya, kerjasama dari pihak pihak tersebut diatas sangat penting dilakukan untuk mengatasi permasalahan penyandang tuna baik dari sisi internal maupun eksternal. Secara internal, kontribusi tersebut berupa Program Pendampingan Rehabilitasi. Rehabilitasi tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan mereka dapat hidup secara wajar di tengah tengah masyarakat. Alasan mendasar mengapa perlu diadakan program rehabilitasi adalah bahwa mereka mengalami ketidak normalan fungsi pada bagian fisik. Ketidak normalan fungsi fisik ini dapat diusahakan untuk disembuhkan, sehingga mereka dapat menjalankan fungsinya kembali secara untuh seperti halnya individu normal lainnya atau diminimalkan sehingga meskipun terbatas mereka masih bisa memanfaatkan sisa potensi yang ada. Dan jika tidak bisa disembuhkan, atau menjadi kecacatan sepanjang hidup, maka diusahakan memaksimalkan potensi yang lain untuk sedapat mungkin digunakan. Program Pendampingan Rehabilitasi tersebut dapat dilakukan berupa : rehabilitasi medis & sosial, rehabilitasi pendidikan dan juga rehabilitasi vokasional. Selaian hal tersebut diatas, penting juga untuk mengakui bahwa faktor faktor eksternal berpengaruh pula bagi kepentingan penyandang cacat itu sendiri agar dapat berfungsi sama halnya dengan individu normal lainnya. Perhatian terhadap faktor eksternal yang berupa faktor lingkungan / sosial berangkat dari pemikiran bahwa hambatan yang berasal dari luar lingkungan yang menyebabkan ketidak mampuan penyandang cacat untuk melakukan aktivitas sehari hari, terjadi karena lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan mereka. Lingkungan disini terutama berasal dari negara dan masyarakat. Negara sebagai penjamin hukum dan persamaan

3 hak bagi warganya, perlu sekali melindungi hak hak penyandang cacat dalam berkarya dalam berbagai aspek hidup dan penghidupan. Contohnya dalam hal peluang kerja, perlu sekali meninjau kembali kebijaksanaan persyaratan kesehatan fisik / mental agar tidak digeneralisasikan ke semua bidang pekerjaan. PENUTUP Peran faktor lingkungan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang cacat memang tidak dapat diabaikan. Tetapi, di atas segalanya adalah pembimbingan dan penyadaran terhadap si penyandang cacat sendiri yang harus bangkit dan memiliki kemauan untuk maju, tentunya dengan andil keluarga sebagai pihak yang paling dekat. Tandon (Kompas, 2003) mengatakan, "the force of change is inside oneself; outsiders can only provide enabling conditions. No more". Artinya, penyandang cacat sendirilah yang harus bangkit dan mempunyai keinginan kuat untuk berkembang. Dapat disimpulkan bahwa permasalahan penyandang cacat yang berkaitan dengan aksesibilitas mereka, timbul bukan hanya karena adanya impairment yang dialaminya sebagai faktor internal, tetapi juga disebabkan pula oleh faktor lingkungan di luar kemampuan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu konsep kecatatan haruslah dipahami dengan melibatkan kedua unsur tersebut. *Psikolog / Dosen Fak. Psikologi - USM

4 REFERENSI : Achyar, Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat. Kasim, Eva Rahmi Tinjauan Terhadap Kebijakan Integrasi Sosial penyandang cacat Ke Dalam Mainstream Masyarakat.. Evakasim@yahoo.com. Kompas, Aksesibilitas Untuk Penyandang Cacat. Opini Umum, Rabu 3 Desember Meichati, Siti Kesehatan Mental. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Mitranetra Reader Club Relawan Pembaca Untuk Tuna Netra.. Mitranetra@mitranetra.or.id Notosoedridjo, Moeljono & Latipun Kesehatan Mental; Teori dan penerapannya. Malang : UMM Press.

5

6