PENGURUSAN KEKAYAAN/PIUTANG NEGARA OLEH PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA MISBAHUL HUDA ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGURUSAN KEKAYAAN/PIUTANG NEGARA OLEH PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA MISBAHUL HUDA ABSTRAK"

Transkripsi

1 PENGURUSAN KEKAYAAN/PIUTANG NEGARA OLEH PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA MISBAHUL HUDA ABSTRAK Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkahlangkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalur di sektor perbankan, dimana badan khusus tersebut adalah BPPN. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya, sesuai Kepres No. 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan BPPN. Kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang didasarkan pada Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang bertugas mengurus Piutang Negara yang ada dan besarnya telah pasti. Adapun dalam praktik penyelesaian pengurusan kekayaan atau piutang negara eks BPPN yang terkait sita ekskekusi hak tanggungan dan sita eksekusi lainnya yakni sita BPPN berdasarkan PP No. 17 tahun 1999 oleh PUPN, terkait penyitaan PUPN terkendala karena sebelum diserahkan kepada PUPN telah dilakukan penyitaan sesuai prosedur hukum acara yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sah dan mengikat pihak ketiga. Kata kunci : Piutang Negara, BPPN, PUPN. 1

2 PENDAHULUAN Dalam kerangka pembangunan perekonomian nasional, sektor keuangan khususnya industri perbankan merupakan salah satu komponen terpenting sebagai pendukung dan penggerak laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan sektor keuangan khususnya dunia perbankan akan berpengaruh secara langsung terhadap iklim dan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kemajuan ataupun kesulitan yang dihadapi sektor perbankan, akan berdampak luas terhadap upaya pembangunan perekonomian nasional. Kegiatan usaha perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian dan perdagangan nasional. Maju mundur atau pasang surut bisnis perbankan di Indonesia berpengaruh langsung pada sektor ekonomi usaha karena hampir semua kegiatan bisnis terkait dan melibatkan perbankan. Salah satu kegiatan bank adalah menyalurkan kredit, yang diluncurkan oleh bank tersebut dapat terjadi tidak lancar sehingga menjadi kredit macet. Kebijakan sektor keuangan khususnya dunia perbankan akan berpengaruh secara langsung terhadap iklim dan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kemajuan ataupun kesulitan yang dihadapi sektor perbankan, akan berdampak luas terhadap upaya. Pembangunan perekonomian nasional. Bahwa deregulasi sektor perbankan nasional yang memacu pertumbuhan kuantitas institusi perbankan kurang diikuti dengan regulasi dan pengawasan yang ketat, sehingga mengakibatkan lemahnya kualitas industri perbankan. Gejolak moneter yang melanda dunia khususnya negara-negara di kawasan Asia, telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap kondisi moneter nasional yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Dalam keadaan demikian, kondisi industri perbankan yang kurang menjaga asas kehati-hatian tersebut, terkena imbas yang paling buruk dalam sejarah perbankan nasional. Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkah-langkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalur di sektor perbankan, dimana untuk selanjutnya badan khusus dimaksud disebut dengan BPPN. Mengingat demikian besarnya jumlah uang negara yang harus dipulihkan serta sangat strategisnya misi yang diberikan kepada BPPN tersebut, Undangundang memberikan kewenangan-kewenangan khusus yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahkan oleh Undang-undang, tindakan-tindakan yang diambil oleh BPPN dipersamakan dengan sebuah putusan pengadilan yang bersifat serta merta (uitvoerbaar verklaard bij voorraad). Hal ini tiada lain karena keadaan perekonomian nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut hanya bersifat sementara. Mengingat ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap BPPN bersifat lex specialis terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, maka penerapannya perlu dilandasi dengan azas kehati-hatian serta menjunjung tinggi azas keterbukaan. Bahkan dalam pelaksanaan tugasnya, BPPN perlu diawasi oleh lembaga lain serta diwajibkan menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri Keuangan. 2

3 Pendirian BPPN oleh Pemerintah diawali dengan kebijakan pemerintah tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum atau Program Penjaminan Pemerintah (PPP) sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 (Kepres 26/1998). Dalam Kepres tersebut ditetapkan bahwa pelaksanaan pemberian jaminan oleh pemerintah dilakukan oleh sebuah lembaga yang diteapkan oleh Kepres tersendiri. Dasar hukum pendirian BPPN selanjutnya diperkuat dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tanggal 10 Nopember 1998 Tentang Perbankan yang diatur dalam Pasal 37 A ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 17 tanggal 27 Pebruari 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan (PP 17/1999). Dalam PP 17/1999 juga ditetapkan bahwa BPPN bertugas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal 2 untuk jangka waktu tertentu sepanjang masih diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Adapun tugas pokok BPPN yaitu penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia, penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui unit pengelolaan aset, dan pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR). 1 Selanjutnya, sesuai Kepres No. 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), maka tanggal 27 Pebruari 2004 telah berakhir tugas dan dibubarkannya BPPN. Segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan. Kekayaan negara yang tidak terkait dengan perkara, penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kekayaan negara yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan penanganannya dilakukan oleh Tim Pemberesan BPPN, dan kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Landasan hukum PUPN dalam sistem Pengurusan Piutang negara adalah Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang bertugas mengurus Piutang Negara yang ada dan besarnya telah pasti. Berdasarkan ketentuan pasal 8 jo Pasal 12 Undang-undang Nomor: 49 Prp Tahun 1960, bahwa instansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara diwajibkan/ diharuskan menyerahkan piutang yang ada dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada PUPN. PUPN merupakan suatu Panitia interdepartemental yang bertugas mengurus Piutang Negara yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Pelaksanaan tugas-tugas administrasi PUPN tersebut dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang merupakan unit oparasional dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Departemen Keuangan. Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks 1 Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999, Pasal 3. 3

4 BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V. Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No. 18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang. Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan sesuai dengan azas Parate Executie, 2 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop, seperti halnya kewenangan dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR. Dalam arti PUPN melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri. 3 Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri. Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari 2 Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta: Gema Justia, 1994), hal Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal

5 penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badanbadan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan-Badan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan bank Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah sah dan mempunyai kekuatan mengikat. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang berasal dari kekayaan BPPN Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka Penelitian dibatasi pada : 5

6 1. Bagaimana penanganan kekayaan negara yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN? 2. Bagaimana langkah yuridis PUPN dalam mengefektifkan penanganan kekayaan/piutang Negara yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi Lainnya Tinjauan Literatur Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 4 Dalam suatu penelitian diperlukan suatu kerangka berfikir secara ilmiah dan dilandasi oleh pola pikir yang mengarah pada suatu pemahaman yang sama. Teori merupakan pengarah atau petunjuk dalam penentuan tujuan dan arah penelitian. Dalam pelaksanaan salah satu tugas BPPN yakni pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR), serta penagihan piutang negara berdasarkan kewenangan PUPN, tidak terlepas dari adanya jaminan kredit perbankan terutama jaminan benda tidak bergerak, penanganan kredit secara umum dan eksekusi dalam bidang perdata. Dalam rangka penulisan jurnal ini, untuk mengetahui bagaimana penanganan kekayaan negara terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN sebagai konsekuensi hukum dibubarkannya BPPN berdasarkan Kepres No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), perlu dilakukan penelitian yang diarahkan pada pembahasan sita eksekusi terhadap jaminan piutang negara eks BPPN, terkait instansi yang berbeda antara yang melakukan penyitaan sebelumnya yakni BPPN atau lembaga Peradilan dan pelaksanaan sita eksekusi tersebut telah didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya PUPN juga mempunyai kewenangan untuk melaksanaan sita eksekusi terhadap jaminan piutang negara apabila dalam jangka waktu 1x24 jam, penanggung hutang tidak melunasi hutangnya sesuai kekuatan Surat Paksa. Jaminan piutang negara berasal dari jaminan kredit bank yang dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu, seperti cara terjadinya dan sifat kebendaan yang yang dijadikan objek jaminan. Jaminan karena undang-undang adalah jaminan umum seperti hak privilege dan hak retensi yang diatur dalam Pasal 1132 dan Pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata. Sedangkan jaminan yang timbul karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia. 5 Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitam dengan tanah. Hak Tanggungan 4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1982), hal. 65. Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Depok: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Cet. Ke-1, hal Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan (Jakarta: Books Terrace & Library, 2005), hal

7 menyangkut tiga aspek, yang pertama berkaitan dengan hak jaminan atas tanah, kedua berkaitan dengan kegiatan perkreditan, ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pihak terkait. Mengenai eksekusi Hak Tanggungan, Sesuai Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT, terdapat dua kemungkinan yang pertama eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 11 UUHT ayat (2) huruf e yakni pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut lebih dahulu dari kreditur lainnya. Hal ini disebut Parate Executie. Kedua, eksekusi melalui lelang berasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) UUHT. Mengenai eksekusi Hak Tanggungan Pasal 26 UUHT menyatakan: selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi Hipotik yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 26 UUHT, yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi Hipotik yang ada dalam pasal ini adalah ketentuan sebagaimana diatur Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG. Adanya suatu titel executorial menimbulkan suatu ketentuan daya paksa 6 titel eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanann Yang Maha Esa, berlaku sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Eksekusi yang didasarkan Pasal 224 HIR/ 258 RBg merupakan eksekusi yang tunduk, patuh pada Hukum Acara Perdata dengan tata cara sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 7 Dari sisi Hukum Acara Perdata, eksekusi Hak Tanggungan dan eksekusi PUPN serta eksekusi BPPN dapat disamakan dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang didasarkan akta tertentu yang oleh Undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni adanya titel pada Sertipikat Hak Tanggungan dan pada Surat Paksa pada produk hukum PUPN atau BPPN. Sita eksekusi atau executorial beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Dalam Hukum Acara Perdata, tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam Pasal , 199 HIR atau Pasal 208, 209, 210 RBG. Dalam sita eksekusi Pengadilan, harus dilalui tata cara yakni, berdasarkan Surat Perintah pengadilan, dilaksanakan oleh Panitera atau Juru sita, pelaksanaan dibantu oleh dua orang saksi, sita eksekusi dilakukan di tempat, pembuatan berita acara eksekusi, Berita Acara sita didaftarkan pada instansi yang berwenang untuk itu dan memerintahkan kepala desa mengumumkan penyitaan di tempat mana sita eksekusi dilakukan. Dalam Peraturan PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPPN, penyitaan diatur dalam Pasal 58 s/d Pasal 63 dan lebih jauh diatur dalam peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor: 6 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam 6 Setiawan, Eksekusi Hipotik, Media Notariat, No Tahun VI, hal Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 No. 4 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal

8 restrukturisasi Dan Atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang berupa Hak atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Sita yang diperintahkan dan dijalankan PUPN adalah sah dan mengikat, oleh karena itu terhadap sita yang diperintahkan dan dijalankan PUPN berlaku sepenuhnya azas sita: dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. 8 Mengenai Penyitaan lebih jauh diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, yang mengatur antara lain bahwa Surat perintah Penyitaan diterbitkan PUPN dalam hal setelah lewat waktu 1x24 jam sejak Surat Paksa diterbitkan, Penanggung hutang tidak melunasi hutangnya pendaftaran penyitaan kepada instansi yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan. Sita eksekusi yang telah diumumkan pendafaran sitanya sesuai Pasal 198 ayat 1 HIR, sita eksekusi tersebut sudah sah dan mengikat bagi siapapun. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.06/2007 tanggal 24 Oktober 2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, dimuat definisi-definisi antara lain sebagai berikut: 1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. 2. Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, atau Badan Usaha yang modal usahanya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh atau Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara. 3. Penangung Hutang adalah badan/ atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/ orang yang menjamin Penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. 4. Penjamin Hutang adalah badan/ atau orang yang menjamin Penyelesaian Sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. 5. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia Pengurusan Piutang Negara, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang. 6. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara PUPN Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah huatang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelasaiannya, dan sanksi. 7. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat yang diterbitkan oleh PUPN, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung hutang. 8. Pencegahan adalah larangan bepergian keluar dari Wilayah Republik Indonesia. 9. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PUPN Cabang kepada Penangung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam 8 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1989), hal

9 waktu 1x24 (satu kali dua pukuh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan. 10. Barang Jaminan adalah kekayaan milik Penanggung Hutang dan/ atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan Penyelesaian hutang. 11. Harta Kekayaan Lain adalah Harta Kekayaan Milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan Penyelesaiain hutang. Selanjutnya Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN dalam Pasal 1 memberikan penjelasan umum sebagai berikut: 1. Aset Dalam Restrukturisasi adalah: a. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak Bank Dalam Penyehatan dan atau perusahaan terafiliasi Bank Dalam Penyehatan; b. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak atau yang akan dialihkan kepada BPPN; c. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak Debitur; dan atau d. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dimiliki oleh atau menjadi hak pemegang saham, direktur atau komisaris, sejauh diperlukan untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pemegang saham, direktur atau komisaris dari suatu Bank Dalam Penyehatan. 2. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perbankan, yang berbadan hukum Indonesia kecuali: a. Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih badan hukum Indonesia dan atau warga negara Indonesia dengan satu atau lebih badan hukum asing dan atau warga negara asing secara kemitraan namun tidak termasuk Bank Umum yang merupakan konversi dari lembaga keuangan bukan bank; dan b. Bank Perkreditan Rakyat. 3. Bank Dalam Penyehatan adalah Bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN guna dilakukan program penyehatan. 4. Debitur adalah setiap perorangan atau badan yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada: a. Bank Dalam Penyehatan; b. BPPN; dan atau c. Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau BPPN; Termasuk bank yang mempunyai kewajiban kepada Bank Indonesia dalam kaitan dengan Fasilitas Bank Indonesia. 5. Fasilitas Bank Indonesia adalah fasilitas surat berharga pasar uang, surat berharga pasar uang khusus, fasilitas dana talangan, fasilitas saldo debet, atau fasilitas pinjaman lain yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank. 6. Kewajiban Dalam Restrukturisasi adalah kewajiban yang tercatat dalam pembukuan (on balance sheet) dan yang tidak tercatat dalam pembukuan (off balance sheet) dari atau sehubungan dengan: a. Bank Dalam Penyehatan dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan; 9

10 b. Kekayaan milik Debitur; dan atau c. Setiap benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dimiliki oleh pemegang saham, direktur dan komisaris Bank Dalam Penyehatan tersebut sejauh diperlukan untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pemegang saham, direktur atau komisaris Bank Dalam Penyehatan. 7. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh BPPN pada Bank Dalam Penyehatan, Debitur dan atau badan hukum lain untuk sementara waktu guna memaksimalkan hasil penyelesaian dan pengelolaan Aset Dalam Restrukturisasi yang pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini. 8. Surat Penunjukan Pembeli adalah surat di bawah tangan yang dibuat oleh BPPN, yang menunjuk pembeli yang sebenarnya atas suatu barang. 9. Surat Pernyataan Pembelian Sementara adalah surat di bawah tangan yang dibuat oleh BPPN, yang menyatakan maksud BPPN untuk membeli suatu barang untuk sementara waktu sampai dengan ditunjuknya pembeli barang yang sebenarnya. 10. Undang-undang Perbankan adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun Metode Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujaan, fakta, tulisan-tulisan ilmiah kemudian dikaitkan dengan teori, untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas pokok masalah yang akan dibahas yaitu penanganan kekayaan negara yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yakni dengan mempelajari dan mengkaji asasasas hukum khususnya hukum posistif yang berasal dari bahan kepustakaan yang ada dalam peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan terutama yang berkaitan dengan hukum jaminan, penangan kredit macet, eksekusi di bidang perdata, kelembagaan BPPN dan PUPN serta mekanisme penanganan penagihan piutang oleh BPPN, penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research). Bahanbahan hukum primer, yaitu peraturang perundang-undangan tentang perikatan perdata, hukum acara perdata, dan dan peraturan pengurusan piutang negara, peraturan tetang BPPN, dan peraturan tentang lelang. Bahan hukum sekunder yaitu tulisan-tulisan para pakar, dan beberapa putusan hakim dan hasil penelitian yang telah dipublikasikan melalui jurnal-jurnal. Bahan hukum tersier yaitu kamus, artikel di koran, majalah, bahan-bahan seminar. Data primer, data sekunder, dan data tersier dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif normatif untuk menghasilkan kesimpulan dan selanjutnya, disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian dilakukan di Jakarta, 10

11 bahan-bahan hukum primer dan sekunder diperoleh dari instansi dan beberapa perpustakaan yang berlokasi di Perpustakaan Kantor Pusat DJKN, Perpustakaan Nasional Jakarta, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyelesaian Hukum Tentang Kekayaan Negara Eks Bppn Yang Terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan Dan Sita Eksekusi Lainnya Proses Penagihan Piutang Macet Oleh BPPN Dalam rangka melakukan penagihan piutang Bank Dalam Penyehatan yang sudah pasti, BPPN dapat melakukan penagihan kepada debitur dengan menerbitkan Surat Paksa. 9 Surat Paksa diterbitkan dan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang mewakili BPPN yakni Ketua BPPN dan dalam hal Ketua tidak hadir atau berhalangan seorang Wakil Ketua bertindak untuk dan atas nama serta mewakili BPPN. Dalam hal suatu piutang Bank Dalam Penyehatan adalah merupakan bagian dari piutang yang timbul dari suatu pembiayaan bersama-sama dengan bank-bank lain, BPPN dapat mewakili bank-bank tersebut terhadap debitur, tanpa mengesampingkan kewenangan BPPN untuk melakukan upaya penagihan piutang yang merupakan bagian bank Dalam Penyehatan sendiri. Penagihan piutang ini dilakukan dengan megeluarkan Surat Paksa dan melakukan tindakan hukum lain sesuai kewenangan BPPN. Penerbitan Surat Paksa apabila debitur debitur melalaikan kewajibannya membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnya dan atau dokumen lainnya, dan kepada debitur dan atau penanggung utang telah disampaikan sutu pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk membayar, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan itu oleh Bank Dalam Penyehatan, dan atau BPPN. Surat Paksa disampaikan kepada debitur dan atau penagggung utang secara langsung dengan tanda terima yang layak pada alamat sesuai Perjanjian Kredit, dokumen pemberian hk jaminan pernyataan yang telah npenanggung utang karena sebab apapun tidak diketemukan, Surat Paksa tersebut di sampaikan melalui Kantor Kepala Desa atau Kelurahan tempat kedudukan hukum atau alamat terakhir sesuai perjanjian, atau dokumen lainnya. Dalam hal debitur dan atau penanggung utang telah dinyatakan atau dalam proses pailit, salinan Surat Paksa disampaikan kepada Hakim Pengawas dan atau Kurator, dan dalam hal debitur perusahaan debitur dinyatakan bubar atau dalam likuidgiatan usaha perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian dan perdagangan nasional. Maju mundur atau pasang surut bisnis perbankan di Indonesia berpengaruh langsung pada sektor ekonomi usaha karena hampir semua kegiatan bisnis terkait dan melibatkan perbankan. Salah satu kegiatan bank adalah menyalurkan kredit, yang diluncurkan oleh bank tersebut dapat terjadi tidak lancar 9 Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN 11

12 sehingga si, salinan Surat paksa disampaikan kepada orang atau Badan yang diberi wewenang untuk melakukan pemberesan. Penyitaan dilakukan oleh Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang saksi dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh Jita Sita dan 2 (dua) orang saksi tersebut. Berita Acara Penyitaan tersebut didaftarkan pada Kantor Pendaftaran untuk dicatat oleh Pejabat Kantor Pendaftaran yang berwenang pada Kantor Pendaftaran, yang terkait tentang adanya penyitaan tersebut.. Salinan Berita Acara Penyitaan dimaksud diberitahukan kepada debitur dan Pengadilan Negeri di wilayah kekayaan milik debitur yang disita terletak. Penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh kekayaan milik debitur termasuk kekayaan milik debitur yang berada dalam penguasaan pihak ketiga. Kekayaan debitur yan tidak dapat disita adalah barang-barang bergerak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dari debitur perorangan. Atas permohonan BPPN Pengadilan Negeri dalam waktu secepatnya dapat mengeluarkan penetapan yang berisi pengangkatan atau pencabutan sita jaminan yang telah diletakan. Dengan terlebih dahulu mendengar pendapat para pihak yang berperkara. 10 Dalam hal atas kekayaan debitur telah diletakan sita eksekusi terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, atau Badan Urusan Piutang dan lelang Negara atau Kantor Pajak dan sita sita eksekusi tersebut telah terdaftar di Kantor Pendaftaran sebagaimana mestinya, BPPN sebagai pemegang piutang Negara menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, atau Badang Urusan Piutang dan Lelang Negara, atau Kantor Pajak untuk tururt serta menganbil bagian yang didahulukan atas hasil lelang eksekusi kekayaan debitur tersebut. Dalam hal debitur yang atas kekayannya telah dilaksanakan sita ekskekusi oleh BPPN dinyatakan pailit, BPPN tetap dapat melakukan tindakan hukum atas hak kebendaan tersebut dan dalam hal kekayaan debitur masuk penguasaan debitur yang dinyatakan pailit atau dalam penguasaan curator, BPPN menyampaikan salinan Surat Paksa dan tuntutan secara tertullis kepada Kurator dan Hakim Pengawas pada Pengadilan Niaga, untuk ditetapkan selaku Kreditur yang didahulukan atas bagian harta pailit. Penjualan kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan melalui pelelangan. Pembagian hasil Penjualan nya dilaksakan berdasarkan ketentuan hak memperoleh pemenuhan pembayaran lebih dulu yang berlaku atas piutang Negara, sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak manapun yang belum memperoleh kekutan hukum yang tetap tidak mencegah atau menunda tindakan hukum yang dilakukan oleh BPPN. Barang yang disita dapat dititipkan kepada debitur kecuali apabila barang dimaksud berdasarkan pertimbangan BPPN perlu disimpan di tempat lain. Debitur dilarang merubah bentuk, memindahtangankan menyewakan, menghilangkan dan atau merusak barang yang telah disita.debitur yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi pidana sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BPPN menerbitkan surat pencabutan sita atas barang yang telah dilakukan penyitaan,dalam hal utang debitur dibayar lunas yang dibuktikan dengan surat 10 Pasal 60 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN 12

13 tanda lunas yang dikeluarkan oleh BPPN atau dalam hal tercapai kesepakatan lain dengan BPPN. Kantor Pendaftaran mencatat pencabutan blokir dan atau pengangkatan sita ekekusi, atas permintaan debitur yang disertai dengan Surat Pencabutan Sita. Kewenangan BPPN yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 merupakan kewenangan public yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor: 7 tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Kewenangan tersebut telah memperoleh legitimasi dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 P/HUM/1999 yang dengan tegas telah menolak permohonan Judisial Review terhadap Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 tentang BPPN yang diajukan oleh Asosiasi Advokat Indonesia(AAI). Mengajukan Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan Upaya lain dalam rangka penagihan piutang BPPN adalah dengan mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan. Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan diajukan sebagai pelaksanaan eksekusi yang disediakan UUHT. Proses permohonan eksekusi sertpikat Hak Tanggungan (dahulu dikenal dengan grosse akta Hipotik dan akta hipotik) pada prinsipnya adalah sama.urutan dari tindakan yang dilakukan sebagai kreditur pemegang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: a. Kreditor mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. b. Setelah diajukan permohonan tersebut maka diadakan sidang pengadilan yang dihadiri oleh pemohon (kreditur) dan Termohon (debitur). Dalam siding tersebut oleh Hakim disampaikan Teguran (Aanmaning) kepada Termohon, bahwa apabila dalam waktu 8 hari yang bersangkutan harus melaksanakan pembayaran lunas pinjaman beserta bunga, ongkos-ongkos dan sebagainya, dan apabila tidak diadakan eksekusi atas jaminan kredit. c. Apabila dama waktu 8 (delapan) hari tersebut Termohon/debitur tetap membandel maka Pemohon/kreditur melanjutkan dengan mengajukan permohonan Sita eksekusi. d. Setelah menerima Penetapan Sita eksekusi maka Juru Sita Pengadilan Negeri melakasanakan sita eksekusi atas barang-barang yang Dalam jaminan. e. Pemohon/kreditur menerima Berita Acara dari Juru Sita Pengadilan Negeri. f. Kemudian pemohon/kreditur mengajukan permohonan untuk dilaksanakan pelelangan atas jaminan tersebut dan menerima penetapan lelang. g. Berdasarkan penetapan lelang, Pengadilan Negeri mengajukan permohonan untuk ditetapkan hari dan tanggal pelaksanaan lelang ke Kantor Lelang/KPKNL. Pelaksanaan lelang didahului dengan Pengumuman lelang sebanyak 2 (dua) kali berselang 2 miggu. h. Pengadilan selaku penjual menetapkan harga limit sebagai harga minimal penjualan barang objek lelang. a. uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat; dan 13

14 Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V. Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No. 18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang. Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan sesuai dengan azas Parate Executie, 11 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop, seperti halnya kewenangan dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR. Dalam arti PUPN melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta: Gema Justia, 1994), hal Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal

15 Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri. Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan- Badan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan bank. Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah sah dan mempunyai kekuatan mengikat. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN khususnya terkait masalah penyitaan terhadap jaminan, belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang 15

16 berasal dari kekayaan BPPN. Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V. Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No. 18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang. Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan sesuai dengan azas Parate Executie, 13 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop, seperti halnya kewenangan dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR. Dalam arti PUPN melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri. 14 Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan 13 Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta: Gema Justia, 1994), hal Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal

17 PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri. Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badanbadan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan-Badan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan bank Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah sah dan mempunyai kekuatan mengikat. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang berasal dari kekayaan BPPN 17

PP 17/1999, BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PP 17/1999, BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PP 17/1999, BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1999 (17/1999) Tanggal: 27 PEBRUARI 1999 (JAKARTA) Tentang: BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa melemahnya industri perbankan nasional akibat gejolak

Lebih terperinci

*36250 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 17 TAHUN 1999 (17/1999) TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL

*36250 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 17 TAHUN 1999 (17/1999) TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL Copyright (C) 2000 BPHN PP 17/1999, BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL *36250 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 17 TAHUN 1999 (17/1999) TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa melemahnya industri perbankan nasional akibat gejolak

Lebih terperinci

2014, No c. bahwa guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pencegahan dalam rangka pengurusan Piutang Negara dan tidak dilaksanakannya

2014, No c. bahwa guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pencegahan dalam rangka pengurusan Piutang Negara dan tidak dilaksanakannya No.323, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Piutang Negara. Pengurusan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 /PMK.06/2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya perekonomian suatu bangsa, menyebabkan pemanfaatan tanah menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1387, 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN. Piutang. Pengembalian. BUMN. BUMD. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168/PMK.06/2013 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

Lebih terperinci

Jakarta V. Yang diteliti oleh peneliti tersebut adalah pembentukan dan. (PT. PPA) dan Tim Koordinasi Penyelesaian Penanganan Tugas-tugas TP-

Jakarta V. Yang diteliti oleh peneliti tersebut adalah pembentukan dan. (PT. PPA) dan Tim Koordinasi Penyelesaian Penanganan Tugas-tugas TP- 12 Jakarta V. Yang diteliti oleh peneliti tersebut adalah pembentukan dan optimalisasi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pasca berakhirnya masa tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Tanggungan adalah suatu istilah baru dalam Hukum Jaminan yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.992, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Piutang Negara. Macet. Pengurusan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.40/Menhut-II/2013 TENTANG TATA

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT PERJANJIAN KREDIT Yang bertanda tangan di bawah ini : I. ------------------------------------- dalam hal ini bertindak dalam kedudukan selaku ( ------ jabatan ------- ) dari

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang Bab I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang perekonomian. Perbankan menjalankan kegiatan usahanya dengan mengadakan penghimpunan dana dan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 13 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

Menimbang : a. Mengingat : Peraturan...

Menimbang : a. Mengingat : Peraturan... 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.40/Menhut-II/2013 T E N T A N G TATA CARA PENGURUSAN PIUTANG NEGARA MACET LINGKUP KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Piutang Negara. Pengurusan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Piutang Negara. Pengurusan. Perubahan. No.86, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Piutang Negara. Pengurusan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88/PMK.06/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 428, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. PNBP. Piutang Negara. Pengurusan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.27/Menlhk/Setjen/Keu-1/2/2016

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1003, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penagihan. Bea Masuk. Cukai. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PMK 111/PMK.04/2013 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA Menimbang : MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Piutang

Lebih terperinci

Imma Indra Dewi Windajani

Imma Indra Dewi Windajani HAMBATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG YOGYAKARTA Imma Indra Dewi Windajani Abstract Many obstacles to execute mortgages by auctions on the Office of State Property

Lebih terperinci

BAB III PENANGANAN ASET KREDIT NON ATK DAN KENDALANYA DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA

BAB III PENANGANAN ASET KREDIT NON ATK DAN KENDALANYA DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA BAB III PENANGANAN ASET KREDIT NON ATK DAN KENDALANYA DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA 3.1. Penanganan Aset Kredit Non ATK Pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila

Lebih terperinci

1 of 6 18/12/ :54

1 of 6 18/12/ :54 1 of 6 18/12/2015 15:54 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 163/PMK.06/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Bank

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Mengenai Hak Tanggungan Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Tentang Hak Tanggungan PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah dibebankan pada hak atas tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian kredit macet perbankan yang terjadi pada bank-bank umum terutama pada bank umum milik pemerintah wajib di intensifkan dan harus dilaksanakan secara

Lebih terperinci

BAB III HASIL PEMBAHASAN KERJA PRAKTEK. Lelang (KPKNL) yang dimulai sejak tanggal 4 Juli sampai dengan 5 Agustus

BAB III HASIL PEMBAHASAN KERJA PRAKTEK. Lelang (KPKNL) yang dimulai sejak tanggal 4 Juli sampai dengan 5 Agustus BAB III HASIL PEMBAHASAN KERJA PRAKTEK 3.1 Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek Dalam pelaksanaan Kerja Praktek di Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang dimulai sejak tanggal 4 Juli sampai dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.06/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.06/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.06/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT.BANK PERKREDITAN RAKYAT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN TANGERANG Disusun Oleh : Nama NIM : Bambang

Lebih terperinci

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C. PROSES PELAKSANAAN SITA PENYESUAIAN TERHADAP BARANG TIDAK BERGERAK YANG DIAGUNKAN ATAU DIJAMINKAN DI BANK SWASTA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Tanggung jawab penyelesaian masalah ini tidak hanya bertumpu pada satu

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Tanggung jawab penyelesaian masalah ini tidak hanya bertumpu pada satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelesaian piutang negara macet merupakan salah satu aspek penting dari pengelolaan keuangan negara yang memerlukan perhatian khusus agar dapat terselenggara efektif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI perdata. 2 Menurut pengertian yang lazim bagi aparat Pengadilan, eksekusi adalah 1 KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1 Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI (

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi sebagai dampak krisis ekonomi global. tahun 2008 mencapai (dua belas ribu) per dollar Amerika 1).

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi sebagai dampak krisis ekonomi global. tahun 2008 mencapai (dua belas ribu) per dollar Amerika 1). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian Indonesia dalam beberapa dekade mengalami situasi yang tidak menentu. Pada tahun 1997 sistem perbankan Indonesia mengalami keterpurukan dengan adanya krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Meningkatnya pertumbuhan perekonomian menciptakan motivasi masyarakat untuk bersaing dalam kehidupan. Hal ini di landasi dengan kegiatan usaha dan pemenuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi sebagai salah satu bagian yang terpenting dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi sebagai salah satu bagian yang terpenting dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai salah satu bagian yang terpenting dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA BLOKIR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum PD BPR Bank Purworejo 1. Profil PD BPR Bank Purworejo PD BPR Bank Purworejo adalah Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat yang seluruh modalnya

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.1112, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Blokir dan Sita. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM UU.NO.4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA- BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM UU.NO.4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA- BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM UU.NO.4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA- BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH Pendahuluan : (oleh H.SARWOHADI,S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram).

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PROSEDUR PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN DAERAH PADA KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) BOGOR

PROSEDUR PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN DAERAH PADA KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) BOGOR PROSEDUR PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN DAERAH PADA KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) BOGOR Virna Dewi Kasmoni dan Rachmatullaily Universitas Ibn Khaldun Bogor ABSTRAK Piutang negara atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 46 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG DAERAH

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 46 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG DAERAH BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 46 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON, Menimbang

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

E K S E K U S I (P E R D A T A)

E K S E K U S I (P E R D A T A) E K S E K U S I (P E R D A T A) A. Apa yang dimaksud dengan Eksekusi Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. B. AZAS-AZAS EKSEKUSI

Lebih terperinci

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI. - 2 - e. bahwa dalam rangka penagihan bea masuk dan/atau cukai perlu pengaturan khusus dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH Oleh: Drs. H. MASRUM MUHAMMAD NOOR, M.H. A. DEFINISI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBUK INDONESIA SALIN AN

MENTERIKEUANGAN REPUBUK INDONESIA SALIN AN MENTERIKEUANGAN REPUBUK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PMK.06/2016 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perbankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, a. bahwa Pajak

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan 1 BAB V PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BMT Istiqomah Unit II Plosokandang selaku kreditur dalam mencatatkan objek jaminan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung.

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017

Lex Et Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017 EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR 1 Oleh: Ridel Adisetia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA DAN PELAKSANAAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam menggalakkan

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA OLEH DRS.H.SUHADAK,SH,MH MAKALAH DISAMPAIKAN PADA PELAKSANAAN BIMTEK CALON PANITERA PENGGANTI PENGADILAN TINGGI AGAMA MATARAM TANGGAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat tergantung kepada tanah

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat tergantung kepada tanah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan faktor yang penting dalam kehidupan manusia, karena dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat tergantung kepada tanah untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN LELANG ATAS JAMINAN KEBENDAAN YANG DIIKAT DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 Oleh : Susan Pricilia Suwikromo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci