GEOLOGI DAERAH PAJENG DAN SEKITARNYA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GEOLOGI DAERAH PAJENG DAN SEKITARNYA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR"

Transkripsi

1 GEOLOGI DAERAH PAJENG DAN SEKITARNYA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR Oleh : Rizwan Arief Hasan 1), Singgih Irianto 2), dan Mohammad Syaiful 3) Abstrak Lokasi pemetaan berada di daerah Pajeng dan sekitarnya, Kecamatan Gondang, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, yang berada pada koordinat 7 23' " ' " LS dan '6.5658" ' " BT. Secara regional lokasi penelitian termasuk kedalam zona pegunungan kendeng. Formasi yang menyusun daerah dari urutan tua ke muda penelitian terdiri dari Formasi Kalibeng, Formasi Klitik, Formasi Sonde, Formasi Pucangan dan Endapan Aluvial. Terdapat Stuktur geologi yang berkembang berupa, lipatan dan patahan. Kata Kunci: Zona Pegunungan Kendeng,Lipatan dan Patahan. 1. Umum Daerah penelitian terletak ± 540 km dari Jakarta, dapat dicapai dengan menggunakan kereta api sampai Stasiun Bojonegoro dan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan roda empat atau roda dua ke Desa Pajeng. terdapatnya batuan tua yang tersingkap karena erosi yang intensif, sehingga dapat disimpulkan bahwa stadia stadia geomorfik satuan ini adalah muda menjelang dewasa. 2. Kondisi Geologi 2.1 Geomorfologi Berdasarkan klasifikasi geomorfologi secara genetik yang meliputi aspek struktur, proses dan tahapan menurut Davis dalam Thonbury (1969), geomorfologi daerah penelitian dikelompokkan menjadi tiga satuan geomorfologi, yaitu: 1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan. 2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Kaki Gunungapi 3. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial. Foto 2.1 Perbukitan memanjang dengan arah barat-timur, yang terlipat dan terpatahkan Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan Satuan geomorfologi ini merupakan perbukitan yang memanjang dengan arah umum barat-timur. Secara morfometri satuan ini mempunyai relief yang landai hingga terjal berkisar mdpl dengan kemiringan lereng berkisar Satuan geomorfologi ini dikontrol oleh struktur geologi yang berupa lipatan antiklin dan sinklin dengan arah barat-timur (Foto 2.1), dan struktur patahan berupa sesar naik dengan arah barat-timur yang membentuk gawir sesar (Foto 2.2), serta sesar mendatar mengiri dengan arah barat daya-tenggara. Berdasarkan ciri-ciri bentuk bentangalam yang menunjukan relief yang relatif landai, serta Foto 2.2 Bentuk geomorfologi perbukitan curam dengan berarah barat-timur Satuan Geomorfologi Perbukitan Kaki Gunungapi Satuan Geomorfologi ini merupakan perbukitan yang memanjang dengan arah umum barat-timur. Secara morfometri satuan geomorfologi ini mempunyai relief yang landai berkisar mdpl dengan kemiringan lereng berkisar Satuan ini dicirikan oleh bentuk perbukitan yang tidak Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 1

2 teratur, dan lebih terjal dibandingkan satuan geomorfologi yang lainnya (Foto 2.3). Berdasarkan ciri-ciri bentuk bentangalam yang menunjukan relief yang relatif tinggi hingga landai, lembah-lembah yang relatif terjal serta gradien sungai yang masih tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa stadia stadia geomorfik satuan ini adalah muda. Foto 2.3 Perbukitan kaki gunungapi Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial Satuan geomorfologi ini berupa daratan yang terbentuk oleh endapan aluvial sungai yang tersusun oleh material material lepas berupa batulempung, batugamping dan batupasir yang berukuran lempung, pasir, kerikil, kerakal, hingga bongkah. Secara morfometri satuan geomorfologi ini mempunyai relief yang datar berkisar mdpl dengan kemiringan lereng berkisar 2-5. Satuan geomorfologi ini membentuk bentangalam berupa dataran (Foto.2.4) serta gosong pasir dan tanggul alam (Foto 2.5). Foto 2.4 Dataran Aluvial, foto diambil dari arah selatan. Foto 2.5 Dataran Aluvial, foto diambil dari arah utara. Berdasarkan proses erosi dan proses sedimentasi dari rombakan batuan yang tua masih berlangsung, maka bisa diambil kesimpulan bahwa satuan geomorfologi ini termasuk kedalam stadia muda Pola Aliran dan Tipe Genetika Sungai Pola aliran sungai mencerminkan pengaruh beberapa faktor, antara lain; struktur geologi, kekerasan batuan, sudut lereng, sejarah geologi serta geomorfologi suatu daerah (Thornbury, 1969). Berdasarkan hasil interpretasi peta topografi skala 1: dan pengamatan di lapangan, maka pola aliran sungai di daerah penelitian terbagi menjadi tiga pola aliran, yaitu: A. Pola aliran rektangular merupakan pola aliran yang berkembang pada batuan yang resisten terhadap erosi, dengan pengontrol utamanya yaitu struktur berupa kekar dan sesar, sehingga arah aliran sungai mengikuti jurus dari sesar dan kekar. Pola aliran ini berkembang di Sungai Gondang dan anakanak Sungai Gondang, berada di bagian barat dan barat laut daerah penelitian. B. Pola aliran trelis merupakan pola aliran yang dikontrol oleh lipatan, dimana arah aliran sungai utama secara umum searah dengan jurus atau sumbu lipatan. Pola aliran ini berkembang di Sungai Panjeng dan anakanak Sungai Pajeng berada pada bagian timur, timur laut dan utara daerah penelitian. C. Pola aliran dendritik merupakan pola aliran yang pengontrolnya adalah batuannya sendiri, umumnya berkembang pada batuan yang homogen, sehingga membuat pola aliran seperti ranting pohon. Pola aliran ini berkembang pada anak-anak Sungai Rejoso, berada di selatan daerah penelitian. Tipe genetika sungai ditentukan berdasarkan hubungan antara arah aliran sungai dengan kedudukan lapisan batuan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tipe genetika sungai di daerah penelitian dibagi menjadi tiga jenis genetika sungai, yaitu: A. Genetika sungai konsekuen adalah sungai yang arah alirannya mengikuti arah Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 2

3 kemiringan lapisan batuan, tipe genetika sungai ini dijumpai di anak Sungai Pajeng. B. Genetika sungai obsekuen adalah sungai yang arah alirannya berlawanan dengan arah kemiringan lapisan batuan, tipe genetika sungai ini dijumpai di Sungai Pajeng pada. C. Genetika sungai subsekuen adalah Sungai yang arah alirannya searah dengan arah jurus lapisan batuan, tipe genetika sungai ini dijumpai di anak Sungai Pajeng. 2.2 Stratigrafi Berdasarkan litostratigrafi dan sandi stratigrafi Indonesia (Soejono, 1996), dengan memperhatikan ciri-ciri litologi maka stratigrafi daerah penelitian dikelompokkan menjadi lima satuan batuan dengan urutan dari yang tertua hingga termuda, yaitu: 1. Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan 2. Satuan Batuan Batugamping 3. Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung 4. Satuan Batuan Breksi 5. Satuan Endapan Aluvial Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan Penamaan satuan ini didasarkan atas hadirnya batulempung yang mendominasi, dan terdapatnya batupasir tufan yang menjadi sisipan di beberapa tempat. Kedudukan lapisan batuan ini pada umumnya berarah N60 E N90 E dan N240 E N280 E dengan kemiringan lapisan beriksar 25-85, kedudukan ini membentuk suatu perlipatan berupa sinklin dan antiklin. Secara umum satuan batuan ini tersingkap dengan kondisi lapuk hingga lapuk kuat, setempat menunjukkan perlapisan dan di beberapa tempat massif. Tebal lapisan batulempung berkisar 5 cm sampai massif, sedangkan tebal lapisan batupasir tufan 10 cm. Berdasarkan hasil rekontruksi penampang pada peta geologi, Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan mempunyai ketebalan 900 m. Satuan ini pada bagian bawahnya terdapat sisipan batupasir tufan, sedangkan pada bagian tengah hingga atas didominasi oleh perlapisan batulempung yang massif. Batupasir tufan (Foto 2.6), warna abu-abu, berbutir pasir halus, bentuk butir membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, kompak, semintasi non karbonat. Komposisi mineral, terdiri dari kuarsa, litik, tuf, feldspar. Batulempung (Foto 2.7), warna putih keabu-abuan, sementasi karbonat, agak lunak. Penentuan umur satuan ini didasarkan pada kehadiran fosil foraminifera plantonik, sedangkan penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada kehadiran fosil foraminifera bentonik. Conto batuan yang diambil terdiri dari conto Lp 36 yang mewakili bagian atas dan conto Lp 40 yang mewakili bagian bawah satuan batuan. Berdasarkan pada kisaran hidup fosil yang disusun oleh Blow (1969), dengan munculnya fosil Globorotalia tumida dan punahnya fosil Sphaeroidinela subdehicens dan terdapatnya fosil Globorotalia merotumida sebagai indeks fosil, maka umur satuan batuan tersebut berkisar Miosen Atas bagian akhir-pliosen Awal (N17 N19). Berdasarkan pada lingkungan hidup fosil yang disusun oleh (Pheleger, 1951), dengan terdapatnya fosil Epidones Margariteferus pada bagian atas satuan batuan dan terdapatnya fosil Planulina foveolata dan Melonis barleanus Williamson pada bagian bawah satuan batuan, maka lingkungan pengendapan satuan batuan ini adalah Batial Atas- Neritk Luar ( m). Foto 2.6 Singkapan Batulempung sisipan batupasir tufan Lp 76, Sungai Pajeng. Foto 2.7 Singkapan Batulempung Lp 43, Sungai Pajeng. Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan dengan satuan di bawahnya tidak dijumpai, Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 3

4 oleh karena itu satuan ini merupakan satuan yang tertua di daerah penilitian. Hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan yang ada di atasnya yaitu Satuan Batuan Batugamping adalah menjemari. Ditandai dengan kedudukan yang sama dan umur fosil yang sama. Berdasarkan ciri litologi dan umur serta lingkungan pengendapan, Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Kalibeng (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992). Dengan demikian dapat disimpulkan satuan ini sebagai Formasi Kalibeng Satuan Batuan Batugamping Penamaan satuan ini didasarkan atas hadirnya batugamping. Tersusun dari batugamping terumbu yang mendominasi, dan terdapatnya batugamping pasiran di beberapa tempat. Kedudukan lapisan batuan ini mempunyai arah umum N60 E N84 E dengan kemiringan lapisan beriksar Secara umum satuan batuan ini di daerah penelitan tersingkap dengan kondisi segar hingga lapuk sedang, beberapa tempat menunjukkan perlapisan dan setempat masif. Terdiri dari batugamping terumbu dan batugamping pasiran dengan tebal lapisan batugamping pasiran berkisar cm. Berdasarkan hasil rekontruksi penampang pada peta geologi, Satuan Batugamping mempunyai ketebalan 400 m. Satuan ini pada bagian bawahnya tediri dari batugamping pasiran dan pada bagian atasnya terdiri dari batugamping terumbu. Batugamping pasiran (Foto 2.8), abu-abu, berbutir pasir sedang, menyudut sampai menyudut tanggung, buruk, tertutup, karbonat, penyusun utama cangkang. Batugamping terumbu (Foto 2.9), abu-abu, berbutir sedang sampai kasar, menyudut, konstituen utama koral, kemas tertutup, semen karbonat Penentuan umur satuan ini didasarkan pada kehadiran fosil foraminifera plantonik, sedangkan penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada kehadiran fosil foraminifera bentonik pada conto Lp 33. Berdasarkan pada kisaran hidup fosil yang disusun oleh Blow (1969), dengan munculnya fosil Globorotalia tumida dan Globigerinoides ruber serta punahnya fosil Globoquadrina altispira, maka umur satuan batuan tersebut berkisar Pliosen Awal- Pliosen Akhir bagian awal (N18 N20). Berdasarkan pada tabel lingkungan hidup fosil yang disusun oleh Phleger (1951), dengan terdapatnya fosil Elphidium advenum Chusman sebagai fosil indeks, maka lingkungan pengendapan satuan batuan ini adalah Neritik Dalam (0 33 m). Foto 2.8 Singkapan batugamping pasiran Lp 33, anak Sungai Gondang Foto 2.9 Singkapan batugamping terumbu Lp 58, Bukit Selobang. Kedudukan stratigrafi Satuan Batuan Batugamping, dengan satuan batuan di bawahnya yaitu Satuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan Formasi Kalibeng adalah menjemari. Hal ini ditandai dengan kedudukan batuan yang sejajar dan adanya perulangan satuan dan perubahan fasies, serta kandungan fosil plantonik yang menunjukkan terdapatnya umur yang sama pada kedua satuan batuan. Hubungan stratigrafi dengan satuan yang ada di atasnya yaitu Satuan Batuan Batupasir Selangseling Batulempung adalah selaras. Ditandai dengan kedudukan yang sama dan menerus. Berdasarkan ciri litologi dan umur serta lingkungan pengendapan Satuan Batuan Batugamping di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 4

5 Klitik (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), dengan demikian satuan ini sebagai Formasi Klitik Satuan Batupasir Selang-seling Batulempung Penamaan satuan ini berdasarkan atas hadirnya perselingan batupasir dan batulempung sebagai penyusunnya. Kedudukan lapisan satuan ini umumya berarah N60 E N125 E dengan kemiringan lapisan beriksar Secara umum satuan batuan ini di daerah penelitan tersingkap dengan kondisi segar hingga lapuk, dan di beberapa tempat terdapat perlapisan. Terdiri dari batupasir dan batulempung dengan tebal lapisan batupasir cm dan tebal lapisan batulempung cm. Setempat terdapat struktur sedimen silang-siur pada batupasir. Berdasarkan hasil rekontruksi penampang pada peta geologi, Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung mempunyai ketebalan 700 m. Satuan ini pada bagian bawahnya tediri dari batupasir yang menebal dan menipis di bagian atasnya. Batulempung (Foto 2.10), warna abu-abu kecoklatan, sementasi non karbonat, tidak kompak. Batupasir (Foto 2.11), warna abu-abu, berbutir pasir halus, menyudut tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, non karbonat, kompak. Komposisi, kuarsa, litik, feldspar. Penentuan umur satuan ini didasarkan pada kehadiran fosil foraminifera plantonik, sedangkan penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada kehadiran fosil foraminifera bentonik. Conto batuan yang diambil terdiri dari conto Lp 16 yang mewakili bagian atas dan conto Lp 24 yang mewakili bagian bawah satuan batuan. Berdasarkan pada tabel kisaran hidup fosil yang disusun oleh Blow (1969), dengan punahnya fosil Globogerinoides obliquus Bolli dan fosil Pulleniatina primalis pada bagian atas satuan batuan, serta munculnya fosil Globorotalia ungulata pada bagian atas dan bawahnya satuan batuan, maka umur satuan batuan ini berkisar Pliosen Akhir bagian akhir (N21). Berdasarkan pada lingkungan hidup fosil yang disusun oleh Phleger (1951), dengan terdapatnya fosil indeks Bolimina pupoides, maka lingkungan pengendapan satuan batuan ini adalah Neritk Tengah ( m). Kedudukan stratigrafi Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung, dengan satuan batuan di bawahnya yaitu Satuan Batuan Batugamping Formasi Klitik adalah selaras. Ditandai dari kedudukan yang sama serta umur relatif yang menerus. Foto 2.10 Singkapan batupasir dan Batulempung dengan struktur sedimen silangsiur pada batupasir di LP 28, anak Sungai Rejoso. Foto 2.11 Singkapan Batupasir di Lp 30, anak Sungai Rejoso. Hubungan stratigrafi dengan satuan yang ada di atasnya yaitu Satuan Batuan Breksi adalah tidak selaras, dicirikan dari kedudukan yang berbeda. Berdasarkan ciri litologi dan umur serta lingkungan pengendapan, Satuan Batuan Batupasir Selangseling Batulempung di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Sonde (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), maka dengan demikian satuan ini sebagai Formasi Sonde Satuan Batuan Breksi Penamaan satuan ini berdasarkan terdapatnya breksi sebagai penyusunnya. Berdasarkan hasil kontur tertinggi dikurangi kontur terendah dijumpainya breksi, maka ketebalan satuan ini adalah 150 m.secara umum satuan batuan ini tersingkap dengan kondisi segar. Terdiri dari breksi dengan tebal serkisar 1-6 m. Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 5

6 Breksi, abu-abu, menyudut, ukuran fragmen 1-50 cm, terpilah buruk, kemas terbuka, semen non karbonat, komposisi; masa dasar tuf, putih keabuabuan, non karbonat, tidak kompak. Fragmen; Andesit, abu-abu, hipokristalin, euhedral, inequigranular, afanitik, pyroxene, hornblen, plagioklas, dan gelas. Penentuan umur berdasarkan hukum superposisi, dan hubungan stratigrafi dengan Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung yang ada di bawahnya. Satuan ini secara tidak selaras menutupi Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung yang berumur Pliosen Akhir (N21), dan mengalami aktifitas tektonik pada Pleistosen Awal (N22). Sehingga disimpulkan satuan batuan ini berumur Pleistosen akhir (N23). Penentuan satuan batuan ini didasarkan dari ciri litologi dan fasies gunungapi (Bogie dan Mackenzie, 1998). Berdasarkan ciri batuan di daerah penelitian yang berupa; breksi dengan fragmen andesit dan masa dasar tuf, maka disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan Satuan Batuan Breksi adalah proximal. Berdasarkan ciri litologi Satuan Batuan Breksi di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Pucangan (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), maka disimpulkan satuan ini sebagai Formasi Pucangan Satuan Endapan Aluvial Penamaan satuan ini berdasarkan atas hadirnya endapan aluvial sebagai penyusunnya, berupa tanggul alam dan gosong pasir. Mempunyai ketebalan 0,5-1 m berdasarkan pengukuran di lapangan. Tersusun oleh material yang bersifat lepas berkuran pasir hingga bongkah (Foto 2.13), berupa batuan sedimen (batulempung, batupasir dan batugamping), merupakan endapan hasil rombakan dari batuan yang berumur lebih tua di daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan di lapangan, bahwa proses erosi, transportasi dan sedimentasi masih berlangsung hingga saat ini, maka disimpulkan umur satuan ini adalah holosen. Hubungan stratigrafi Satuan Endapan Aluvial dengan satuan batuan dibawahnya adalah tidak selaras, karena dibatasi oleh bidang erosi. Foto 2.12 Singkapan Breksi Lp 8, di Bukit Rejoso. Foto 2. 1 Endapan alluvial yang berukuran pasir hingga bongkah di LP 83 Gambar 2.1 Pembagian fasies gunung api beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie dan Mackenzie, 1998). Kedudukan stratigrafi Satuan Batuan Breksi, dengan satuan batuan di bawahnya yaitu Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung Formasi Sonde adalah tidak selaras, karena terdapatnya rumpang waktu. Sedangkan hubungan stratigrafi dengan satuan diatasnya tidak selaras karena dibatasi oleh bidang erosi Kesebandingan Stratigrafi Daerah Penelitian dengan Peneliti Terdahulu Berdasarkan dari pengelompokan satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian, dapat dibandingkan hubungan stratigrafi daerah penelitian dengan peneliti terdahulu (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), dengan melihat kolom kesebandingan stratigrafi (Tabel 2.1). Satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian mulai dari yang tua ke muda adalah Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan ekivalen dengan Formasi Kalibeng, Satuan Batuan Batugamping ekivalen dengan Formasi Klitik, Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 6

7 Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung ekivalen dengan Formasi Sonde, dan Satuan Batuan Breksi ekivalen dengan Formasi Pucangan. Tabel 2. 1 Kolom kesebandingan stratigrafi peneliti terdahulu dengan daerah penelitian 2.3 Struktur Geologi Berdasarkan hasil analisa peta topografi skala 1:25.000, dan pengamatan lapangan yang meliputi pengukuran jurus dan kemiringan lapisan batuan, serta pengukuran unsur-unsur struktur geologi seperti bidang sesar, cermin sesar dan breksiasi. Maka disimpulkan terdapat indikasi struktur geologi yang berupa lipatan dan patahan di daerah penelitian. Untuk mempermudah pengenalan setiap struktur yang berkembang, penamaan setiap struktur geologi berdasarkan nama lokasi dan geografis yang terdapat di daerah penelitian Struktur Lipatan Lipatan yang terdapat di daerah penelitian adalah: A. Sinklin Gondang Penamaan sinklin ini didasarkan sumbu sinklin yang melewati Desa Gondang yang berada di bagian utara daerah penelitian, dengan sumbu yang mempunyai panjang 5 km berarah barat-timur. Kedudukan lapisan batuan pada sayap bagian utara dengan jurus 90 dan besar kemiringan 43. Sedangkan sayap bagian selatan dengan jurus dan kemiringan Sinklin ini melibatkan Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan (N17- N19). Berdasarkan kemiringan kedua sayap yang relatif sama sinklin ini diklasifikasikan sebagai sinklin simetri. B. Antklin Gondang Penamaan antiklin ini didasarkan sumbu antinklin yang melewati Desa Gondang yang berada di bagian utara daerah penelitian, dengan sumbu yang mempunyai panjang 5 km berarah barat-timur. Kedudukan lapisan batuan pada sayap bagian utara dengan jurus N E, dan besar kemiringan Sedangkan sayap bagian selatan dengan jurus dan kemiringan Antiklin ini melibatkan Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan (N17- N19). Berdasarkan kemiringan kedua sayap yang relatif sama antiklin ini diklasifikasikan sebagai antiklin simetri. C. Sinklin Pajeng Penamaan sinklin ini didasarkan sumbu sinklin yang melewati Desa Pajeng, berada di bagian timur daerah penelitian, dengan sumbu yang mempunyai panjang 2 km berarah barat-timur. Kedudukan lapisan lapisan pada sayap bagian utara dengan jurus N60 E serta besar kemiringannya 84 sedangkan sayap bagian selatan dengan jurus N E dan kemiringannya Sinklin ini melibatkan Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan (N17-N19). Berdasarkan kemiringan kedua sayap yang relatif sama, sinklin ini diklasifikasikan sebagai sinklin simetri Struktur Patahan Lipatan yang terdapat di daerah penelitian adalah: A. Sesar Naik Selobang Penamaan sesar ini berdasarkan bukti-bukti sesar yang dijumpai di sekitar bukit Selobang. Arah sesar ini memanjang dari barat-timur searah dengan arah lipatan. Adapun indikasi adanya sesar naik yang dijumpai adalah: Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 7

8 a. Bidang sesar pada batupasir dengan kedudukan, N278 E/75, dan gores garis dengan kedudukan 70, N19 E pitch 79 di LP 34, anak Sungai Gondang (Foto 2.14). b. Bidang sesar pada batupasir gampingan dengan kedudukan, N240 E/89, dan gores garis dengan kedudukan 77, N320 E pitch 80, di LP 73 di Bukit Selobang (Foto 2.15). c. Breksiasi pada batupasir gampingan dengan arah N235 E, di LP 73 di Bukit Selobang (Foto 2.16). a. Bidang sesar pada batulempung dengan kedudukan, N34 E/74, dan gores garis dengan kedudukan 5, N210 E Pitch 4 di Lp 37, Sungai Gondang (Foto 2.17). b. Breksiasi pada batulempung dengan arah N48 E di LP 62, di Sungai Gondang (Foto 2.18). c. Breksiasi pada batulempung dengan arah N35 E di LP 36 di Sungai Gondang (Foto.2.19). Gambar 2.14 Bidang sesar naik dengan kedudukan N278 E/75 (b) Gores garis dengan kedudukan 70, N19 E pitch 79 di LP 34, anak Sungai Gondang. Gambar 2.17 (a) Bidang sesar dengan kedudukan N34 E/74 (b) Gores garis pada batulempung dengan kedudukan 5, N210 E Pitch 4 di LP 37, Sungai Gondang. Gambar 2.15 (a) Gores garis dengan kedudukan 77, N320 E pitch 80, (b) Bidang sesar naik dengan kedudukan N240 E/89 di LP 73, Bukit Selobang. Gambar 2.18 Breksiasi pada batulempung dengan arah N48 E di LP 62, di Sungai Gondang. Gambar 2.16 Breksiasi dengan arah N235 E di LP 73, Bukit Selobang. A. Sesar Mendatar Mengiri Gondang Penamaan sesar ini berdasarkan bukti-bukti sesar yang dijumpai di Sungai Gondang. Arah sesar ini memanjang dari baratdaya-timurlaut. Adapun indikasi adanya sesar mendatar yang dijumpai adalah: Gambar 2.19 Breksiasi pada batulempung dengan arah N35 E di LP 36, Sungai Gondang. Berdasarkan indikasi struktur geologi yang dijumpai meliputi breksiasi, bidang sesar dan gores garis, disimpulkan bahwa sesar ini adalah Sesar Mendatar Mengiri Gondang. Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 8

9 2.3.3 Analisa Gaya Utama Dalam penentuan analisa gaya utama, digunakan model menurut Moody dan Hill (1956) untuk mengetahui hubungan antara tegasan utama dengan jenis struktur geologi yang dihasilkan. Dari model yang diusulkan Moddy dan Hill (1956), bahwa gaya utama yang bekerja pada suatu lapisan batuan, maka yang pertama kali terbentuk adalah lipatan dengan sumbu lipatan tegak lurus terhadap gaya utama. Apabila gaya terus berlangsung sampai melewati batas elastisitas batuan, maka akan terbentuk sesar naik dengan arah tegak lurus terhadap gaya utama. Kemudian bila gaya terus bekerja, maka akan terbentuk sesar mendatar yang membentuk sudut lancip sekitar 30 terhadap gaya, dan setelah gaya tersebut berhenti maka akan terbentuk sesar normal yang searah dengan arah gaya utama. Berdasarkan diagram roset dari semua kedudukan lapisan batuan yang mempunyai arah umum N70 E (Gambar 4.4), sehingga dapat disimpulkan bahwa arah gaya utama yang bekerja mempunyai arah N160 E atau berarah hampir utara-selatan. Gambar 2.2 Hubungan arah pola umum kedudukan batuan dengan arah gaya utama di daerah penelitian Urutan Pembentukan Struktur Daerah Penelitian Dalam menentukan umur struktur geologi, digunakan umur dari satuan batuan dimana struktur geologi tersebut memotong. Umur struktur geologi akan lebih muda dibanding umur satuan batuan yang terlipat maupun terpatahkan. Terdapat struktur geologi berupa perlipatan pada Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan (N17-N19), Satuan Batuan Batugamping (N18-N20) dan Satuan Batupasir Selang-seling Batulempung (N21). Sedangkan struktur patahan terdapat pada Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan (N17-N19) dan Satuan Batuan Batugamping (N18- N20), maka dengan demikian kejadian tektonik yang menyebabkan terbentuknya struktur geologi terjadi setelah Pliosen, yaitu Pleistosen Awal (N22). Dapat disimpulkan bahwa umur struktur geologi yang berkembang di daerah penelitan dimulai pada kala Pleistosen Awal (N22) yang dilanjutkan dengan diendapkannya Satuan Batuan Breksi pada Pleistosen Akhir (N23). Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian, dimulai dari N22 atau pada kala Plistosen Awal dengan arah gaya utamanya adalah N160ºE. Dilanjutkan dengan terbentuknya perlipatan berupa Sinklin Gondang, Antiklin Gondang, dan Sinklin Pajeng, yang kemudian diikuti dengan terbentuknya Sesar Naik Selobang dan Sesar Mendatar Mengiri Gondang. 2.3 Sejarah Geologi Miosen Akhir-Pliosen Akhir Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada kala Miosen Akhir (N17) diendapkan Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan Formasi Kalibeng pada lingkungan batial atas. Kemudian terjadi regresi, dan secara bersamaan pada kala Pliosen Awal (N18-N19) diendapkan Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan Formasi Kalibeng pada lingkungan neritik luar, dan Satuan Batuan Batugamping Formasi Klitik pada lingkungan neritik dalam. Sampai kala Pliosen Akhir (N20) pengendapan Satuan Batuan Batugamping masih berlangsung. Gambar 2. 3 Pengendapan Satuan Batulempung sisipan Batupasir tufan pada kala Miosen Akhir (N17) Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 9

10 Setelah terjadinya aktifitas tektonik pada Pleistosen Awal (N21), dilanjutkan dengan diendapkannya Satuan Batuan Breksi pada Plesitosen Akhir (N22). Gambar 2. 4 Pengendapan Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan dan Satuan Batugamping pada kala Pliosen Akhir (N18-N20) Pliosen Akhir Secara selaras pada kala Pliosen N21 diendapkan Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung Formasi Sonde dengan lingkungan pengendapan neritik tengah. Gambar 2. 7 Pleistosen Akhir (N23) 2.4 Holosen Seiring dengan waktu proses eksogen yaitu pelapukan terus berlangsung, kemudian membentuk sungai-sungai sehingga menghasilkan endapan aluvial sungai yang merupakan hasil rombakan dari batuan yang sebelumnya. Endapan aluvial sungai ini menutupi satuan batuan yang berada di bawahnya berupa bidang erosi. Gambar 2. 5 Pengendapan Satuan Batuan Batupasir Selang-seling Batulempung pada kala Pliosen Akhir (N21) Pleistosen Awal Pada kala Pleistosen Awal (N22) terjadi aktifitas tektonik sehingga daerah penelitian menjadi darat serta menghasilkan struktur lipatan dan patahan. Gambar 2. 6 Terjadinya perlipatan dan patahan pada kala Pleistosen Awal (N22) Pleistosen Akhir Gambar 2. 8 Kondisi geologi daerah penelitian pada kala Holosen. 3. Kesimpulan Berdasarkan hasil bahasan yang telah diuraiakan, maka geologi daerah Pajeng dan sekitarnya, Kecamatan Gondang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Geomorfologi daerah penelitian termasuk kedalam tahapan dewasa, dengan pembagian Satuan Geomorfologi Perbukilatan Lipat Patahan, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kaki Gunungapi dan Dataran Aluvial. Pola Aliran Denritik pada selatan daerah penelitian, Pola Aliran Trelis pada bagian utara serta Pola Aliran Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 10

11 Rektangular pada bagian barat laut, dengan stadia sungai muda sampai dewasa. 2. Berdasarkan pada ciri dan litologi, maka satuan batuan daerah penelitian terdiri dari Satuan Batuan Batulempung Sisipan Batupasir Tufan, Satuan Batuan Batugamping, Satuan Batuan Batupasir Tufan Selang-seling Batulempung, Satuan Batuan Breksi dan Satuan Endapan Aluvial. 3. Struktur geologi yang berkembang berupa lipatan dan patahan. Lipatan yang berkembang di daerah penelitian berupa antiklin dan sinklin berarah barat-timur. Struktur yang berkembang berupa sesar naik yang berarah barat-timur, dan sesar mendatar mengiri berarah timurlautbaratdaya, dengan arah gaya utama relatif utaraselatan. 4. Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada kala Miosen Akhir yaitu N17, sampai satuan batuan yang termuda diendapkan pada Kala Plistosen Akhir (N23). Struktur yang berkembang pada lokasi penelitian dimulai pada Kala Plistosen Awal (N22). Moody, J. D., & Hill. (1956). Wrench Fault Tectonics. Bulletin of the Geological Society. Pheleger, F. B. (1951). Ecology of Foraminifera. Nortwest Gulf of Mexico: GSA Memoir 46. Priggoprawiro, H., & Sukido. (1992). Geologi Lembar Bojonegoro. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Soejono, M. (1996). Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Thornbury, W. D. (1969). Principles of Geomorfology. New York: Jhon Willey & Sons, inc. PENULIS: 1. Rizwan Arief Hasan, S.T. Alumni (2016) Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan. 2. Ir. Singgih Irianto, M.Si. Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan. 3. Ir. Mohammad Syaiful, M.Si. Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan. DAFTAR PUSTAKA Blow, W. H., dan Postuma, J. A. (1969). Late Miosen to Recent Planktonic Foraminifera Biostratigraphy. Proceedings International Conference Planktonik Microfossil 1st, (hal ). Geneve. Bogie, I., dan Mackenzie, K. M. (1998). The Application of A Volcanic Facies Model to An Andesitic Stratovolcano Hosted Geothermal, System at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings 20 th New Zealand Geothermal Workshop, (hal ). Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan 11

GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR

GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR Oleh : Rizal Arief Hasyim 1), Singgih Irianto 2), dan Mohammad Syaiful 3) Abstrak Dalam penelitian ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Proses geomorfik adalah seluruh perubahan fisika dan kimiawi yang mempengaruhi bentuk dari suatu permukaan bumi (Thornbury, 1969). Terbentuknya

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen),

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG 3.1 GEOMORFOLOGI Metode yang dilakukan dalam analisis geomorfologi ini adalah dengan analisa peta topografi dan citra satelit, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis morfologi yang dilakukan pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur yang tercermin dalam perbedaan ketinggian,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen 3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (Lampiran B). Sampel

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Metoda yang dilakukan dalam analisis geomorfologi adalah dengan analisis citra SRTM dan analisis peta topografi, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir). Apabila diperhatikan, hasil analisis petrografi dari sayatan batupasir kasar dan sayatan matriks breksi diperoleh penamaan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi karena yang menjadi matriks pada breksi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1. Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian. Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari bagaimana bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas 3.2.4 Satuan Batupasir-Batulempung 3.2.4.1 Penyebaran Satuan Batupasir-Batulempung menempati bagian selatan daerah penelitian (Gambar 3.6), meliputi + 10% dari luas daerah penelitian (warna hijaupada peta

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Daerah penelitian ini terletak di Kecamatan Mondokan, Sragen tepatnya pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi pada lokasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Geomorfologi pada daerah penelitian diamati dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan yang kemudian diintegrasikan dengan interpretasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah penelitian secara umum tersusun atas bentang alam yang cukup kompleks yaitu, perbukitan, lembah dan dataran rendah. Interval ketinggian

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi di daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi peta topografi, citra SRTM, citra DEM,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian terdiri dari perbukitan dan lembah. Daerah perbukitan memanjang dengan arah barat-timur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm.

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. Adapun sisipan tebal konglomerat dicirikan dengan warna abu-abu kecoklatan, fragmen

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir nama Anggota Tawun Formasi Tuban. Van Bemmelen (1949 dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menggunakan nama Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang Beds. Selanjutnya, oleh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu tentang bentang alam, proses-proses yang terjadi dan pembentukannya, baik dari dalam (endogen) maupun di luar (eksogen). Geomorfologi

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN POTENSI ENDAPAN TUFF SEBAGAI BAHAN BAKU BANGUNAN. Zia Ul Fadlah Idris, Mustafa Luthfi dan Teti Syahrulyati. Abstrak

GEOLOGI DAN POTENSI ENDAPAN TUFF SEBAGAI BAHAN BAKU BANGUNAN. Zia Ul Fadlah Idris, Mustafa Luthfi dan Teti Syahrulyati. Abstrak GEOLOGI DAN POTENSI ENDAPAN TUFF SEBAGAI BAHAN BAKU BANGUNAN Studi Kasus : DAERAH PARUNG DAN SEKITARNYA, KEC. SUBANG, KAB. SUBANG. JAWA BARAT. Oleh : Zia Ul Fadlah Idris, Mustafa Luthfi dan Teti Syahrulyati

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12)

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12) Batupasir pada satuan ini memiliki ketebalan 5-100cm, berwarna abu-abu, berukuran pasir halus-kasar, tufaan, bentuk butir menyudut hingga menyudut tanggung kemas tertutup, terpilah sedang, porositas sedang,

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Penafsiran Kondisi Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah penelitian di Ds. Nglegi, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki

Lebih terperinci

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan B T Batupasir Batulanau Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan Lokasi pengamatan untuk singkapan breksi volkanik berada pada lokasi Sdm.1

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci