BAB VI KESIMPULAN. merupakan terbentuk dari proses perkembangan pelayanan farmasi sejak sebelum

Transkripsi

1 BAB VI KESIMPULAN Stadarisasi dan modernisasi pada tenaga farmasi sejak tahun 1882 hingga 1942 merupakan terbentuk dari proses perkembangan pelayanan farmasi sejak sebelum datangnya kolonialisme hingga munculnya kolonialisme. Periode panjang tersebut menyajikan perubahan serta perkembangan tenaga farmasi sehingga dapat melihat sebuah bentuk farmasi baru di Jawa. Periode tersebut dibagi menjadi empat periode. Berikut periodisasi dalam farmasi kolonial yang dilihat dari penelitian ini: Periode pertama adalah farmasi lama pada sebelum tahun Penyebutan farmasi lama bukan berarti periode ini diluar dari ketiga periode tersebut, namun farmasi lama dan ketiga periode tersebut merupakan sebuah kesinambungan dari perkembagan farmasi di Jawa. Periode kedua adalah periode tahun an. Periode kedua ini adalah periode profesionalisasi serta strukturisasi tenaga farmasi sebagai bagian dari tenaga pemerintah. Periode ketiga adalah periode tahun Periode ketiga ini adalah periode penyelenggaraan pendidikan sebagai fasilitas pemerintah menghasilkan tenaga farmasi. Periode keempat adalah periode pelayanan farmasi baru sebagai hasil adanya periode kedua dan ketiga. Pada masa farmasi lama, sebelum tahun 1882, keadaan kesehatan masyarakat di Jawa mengalami wabah epidemi yang menewaskan banyak orang. Berbagai macam penyembuhan serta pelayanan kesehatan termasuk pelayanan farmasi menanggulangi epidemi tersebut. Tenaga farmasi yang ada pada masa ini adalah dukun dan toekang 166

2 167 rempa, toko obat Cina dan sinse serta pengobatan Eropa. Hingga tahun 1882, tingkat kematian masyarakat di Jawa berkurang, pemerinatah percaya bahwa keberhasilan memberantas penyakit dihasilkan oleh pelayanan kesehatan Eropa termasuk vaksinasi. Karakterisitk dalam periode ini adalah tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lain masih bersatu. Seperti dukun, bukan hanya sebagai dokter tetapi juga sebagai tenaga farmasi. Dalam hal ini, pelayanan farmasi masih sebatas pelengkap dari pengobatan kesehatan. Hal itu menyebabkan pemerintah mulai menata peraturan mengenai kesehatan termasuk peraturan farmasi serta tenaga farmasi. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam Staatsblad no. 97 tahun Dikeluarkannya Staatsblad no. 97 tahun 1882 membuat periode kedua dari perkembangan tenaga farmasi di Jawa. Dalam bagian keempat peraturan tersebut menerangkan wewenang peracikan obat (pelayanan farmasi). Keterangan ini diikuti oleh terlibatnya pemerintah sebagai lembaga yang mengatur siapa saja yang berhak melakukan peracikan obat. Di satu sisi ini adalah bentuk profesionalisasi tenaga farmasi, di sisi lain kebijakan ini adalah bentuk pengikatan tenaga farmasi terhadap keuasaan pemerintah. Bentuk keterikatan tenaga farmasi terhadap pemerintah ditunjukkan juga dengan masuknya tenaga farmasi dalam struktur dan sistem pelayanan kesehatan pemerintah, dalam hal ini MGD (Militaire Geneeskundige Dienst/Dinas Kesehatan Militer), BGD (Burgerlijk Geneeskundige Dienst/Dinas Kesehatan Sipil). Ini menunjukkan ada peran pemerintah dalam perkembangan tenaga farmasi di Jawa. Peran pemerintah tidak hanya sampai di sini. kebutuhan tenaga farmasi membuat pemerintah menyelenggarakan pendidikan tenaga farmasi.

3 168 Penyelenggaraan pendidikan sebagai cara mempertahankan profesionalitas tenaga farmasi sebagai tenaga kesehatan professional. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan tersebut menjadi periode ketiga bagi perkembangan tenaga farmasi di Jawa. Pendidikan farmasi di Jawa hingga tahun 1930an banyak mengalami perubahan. Perkembangan pendidikan farmasi dilandasi oleh kebutuhan pemerintah atau kebutuhan politis. Hal ini ditunjukkan oleh ketiga perkembangan dalam pendidikan tenaga farmasi. Pertama, sebelum tahun 1918 pendidikan farmasi dilakukan di Belanda, pemerintah Hindia Belanda bekerja sama dengan Universitas Utrecht mendatangkan tenaga farmasi, baik apoteker maupun asisten apoteker ke Jawa. Kedua, setelah kebutuhan akan tenaga farmasi yang semakin banyak, akhirnya pemerintah mengadakan pelatihan apothekers-bediende tahun 1918 dan ditahun 1920 berhasil menempatkan empat orang bumiputera menjadi apoteker pegawai yakni, Sawijoen, Moekarjadi, Mas Seger dan Mas Djadoeman. Ketiga, keberhasilan pelatihan apoteker pegawai menjadikan pemerintah menyelenggarakan sekolah asisten apoteker. Sebuah fasilitas pendidikan formal yang diharapkan melahirkan asisten apoteker yang tidak terikat dinas namun dapat bekerja. Sekolah asisten apoteker berlangsung hingga tahun Krisis ekonomi tahun 1930an, menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan sekolah asisten apoteker. Meskipun sekolah asisten apoteker telah ditutup, namun ujian asisten apoteker masih diselenggarakan di Batavia. Ditengah berlangsungnya sekolah asisten apoteker, perbincangan untuk membuat sekolah apoteker di Hindia Belanda, namun hingga tahun 1942 perbincangan tersebut tidak terealisasi karena biaya yang tidak

4 169 memungkinkan. Solusi dalam perbincangan ini mereka dapat mengikuti pendidikan di STOVIA dan mengambil mata kuliah apoteker. Pendidikan farmasi di Jawa membuat perubahan sejak tahun 1920 hingga 1942 sehingga menjadikan periode keempat dalam perkembangan farmasi. Periode ini adalah periode farmasi baru yang nampak pada empat aspek. Pertama, tampak pada instansi pemerintahan, dengan membuat dinas farmasi dengan seorang inspektur farmasi sebagai penanggungjawab dibawah Dinas Kesehatan Rakyat. Dinas farmasi tersbeut mengurusi pelayanan farmasi, seperti pendistribusian obat, pengawasan penjualan obat, perijinan apoteker hingga bahan-bahan makanan. Kedua, perubahan terjadi dengan munculnya tenaga farmasi baru, yakni asisten apoteker, dengan segala persaingan pekerjaan. Meskipun demikian pendapatan asisten apoteker masih jauh dibawah pendapatan apoteker sehingga menurut strata asisten apoteker masih dibawah apoteker, apalagi melihat jenjang pendidikan. Ketiga adalah penambahan fasilitas farmasi yaitu apotek. Meskipun, apotek yang bertambah adalah apotek swasta namun pemerintah berperan sebagai pengawas fasilitas umum tersebut. Bukan hanya apotek yang bertambah, pemerintah membuat kebijakan untuk memperbolehkan penjualan eceran. Penjualan eceran tersebut diberi nama depot obat. Perbedaan depot obat dengan apotek adalah barang yang dijualkan. Depot obat tidak melayani pembelian resep dokter dan obat-obat keras berlabel G, yang diperjualbelikan hanyalah obat yang datang dari pabrik sesuai dengan kemasan. Keempat, munculnya tenaga farmasi baru serta fasilitas farmasi baru, menjadikan apoteker Eropa merasa perlu membentengi diri dengan membuat sebuah organisasi profesi. Organisasi profesi

5 170 adalah wadah apoteker untuk beraspirasi dan bekerja sama dengan pemerintah. Yang menarik dari organisasi apoteker ini adalah masuknya orang-orang Cina di Jawa. Orang-orang Cina yang memiliki akses untuk belajar keluar negeri hingga menjadi apoteker serta dapat membuka apotek. Hal ini juga memperlihatkan orang Cina sudah dapat bergabung dengan orang Eropa dalam satu profesi yang sama serta tidak seperti bumiputera yang hanya menjadi golongan kedua dalam tenaga farmasi yakni asisten apoteker. Dengan demikian periodisasi perkembangan tenaga farmasi di Jawa merupakan proses terbentukknya standarisasi dan modernisasi tersebut yang dapat dilihat sebagai satu rangkaian yang tidak terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Dari proses tersebut membentuk beberapa hal sebagai karakteristik perkembangan yaitu (1) munculnya standarisasi diawali dengan adanya kebijakan profesionalisasi oleh kekuatan politik yakni kebijakan pemerintah, (2) Dalam penyelenggaraan pendidikan tenaga farmasi memang tidak hanya orang Eropa yang dapat mengikuti pendidikan tersebut, namun pendidikan yang diberikan hanya asisten apoteker yang hanya menjadi lapisan kedua dari tenaga farmasi sehingga sampai tahun 1942 apoteker yang ada di Jawa hanya Eropa dan Cina saja. Hal ini menunjukkan bahwa dalam farmasi-pun menunjukan rasisme dan subordinasi antara Eropa dan Bumiputera, (3) Pendidikan asisten apoteker yang diselenggarakan oleh pemerintah hanya sebagai pembentuk tenaga kerja baru untuk alasan mengurangi pengeluaran untuk mengdatangkan tenaga kerja dari Eropa, (4) Apotek sebagai sarana farmasi baru dibuat untuk menindustrialisasi farmasi, dibuktikan dengan lebih banyak muncul apotek swasta

6 171 daripada apotek pemerintah, (5) Kemunculan dinas farmasi dalam sistem pelayanan kesehatan rakyat hanya berperan sebagai pembuat keputusan, karena mereka lebih mengembangkan apoteker swasta sebagai tenaga farmasi yang ada di Jawa, dilihat dari peningkatan jumlah apoteker swasta dan sedikitnya apoteker pemerintah. Kelima hal tersebut, penulis artikan sebagai karakteristik dari standarisasi dan modernisasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda di Jawa sejak tahun 1882 hingga 1942.