KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN SAKSI GANTI RUGI (Politik Hukum Rancangan KUHP Baru Terhadap Kejahatan Pencurian)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN SAKSI GANTI RUGI (Politik Hukum Rancangan KUHP Baru Terhadap Kejahatan Pencurian)"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN SAKSI GANTI RUGI (Politik Hukum Rancangan KUHP Baru Terhadap Kejahatan Pencurian) Oleh : S. Sahabuddin, SH, MH. Abstrak Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak pernah berhenti dan selalu mengitari kehidupan manusia. Salah satu jenis kejahatan yang paling sering terjadi adalah pencurian yang pengaturannya sebagaimana telah diatur dalam KUHP. Namun demikian pengaturan terhadap delik pencurian tersebut tidak memberikan keadilan substantif, terutama terhadap korban. Untuk itu perlu dilakukan kebijakan baru yang mampu memberikan nilai keadilan substansial bagi korban dengan cara memunculkan kebijakan ganti rugi dalam sistem sanksi terhadap kejahatan pencurian tersebut. Key Note : Penggulangan, Kejahatan, Ganti Rugi A. Pendahuluan Bagaikan penyakit dan kematian yang selalu datang berulang, bagaikan musim yang selalu berganti dari tahun ke tahun, bagaikan matahari yang selalu terbit setiap hari, kriminalitas (kejahatan) akan selalu hadir dalam masyarakat (Bernes dan Teerers dalam I Nyoman Nurjaya, 1987 : 1). Emile Durkheim menyatakan bahwa, crime is present not only in the majority of societies of one particular species but in all society that is not contronted with the problem of criminality. It is form changes : the act thus caracterize are not the same every where : but every where and always, there have been men who have behaved in such a way as to draw upon then selves penal repression. (Emile Durkneim, 1971 : 6) Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktifitas manusia baik politik, social dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Upaya untuk menanggulangi kejahatan, yang dikenal dengan politik kriminal (criminal policy) menurut G Peter Hoinagels (Barda Nawawi Arief, 1998 : 1-2) dapat dilakukan dengan : a. penerapan hukum pidana (criminal law aplication) b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) S. Sahabuddin, SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 47

2 c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Dengan demikian penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu upaya penal (hukum Pidana) dan non penal (di luar hukum Pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi). Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat prepentif (menciptakan kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana). Penanggulangan kejahatan melalui hukum Pidana, merupakan kegiatan yang didahului dengan penentuan tindak pidana (kriminalisasi) dan penetuan sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan masyarakat. Kondisi seperti ini sering kali justru menjauhkan hukum pidana dari tujuannya, yaitu mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius, dengan harapan hukum Pidana akan mampu berfungsi melindungi kepentingan negara, korban dan pelaku tindak pidana. Sanksi Ganti kerugian, merupakan suatu sanksi yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana. Indonesia, sebagai bagian dari negara-negara didunia yang dewasa ini tengah mempersiapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru), untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diambil oper dari wet Boek van Straftrecht Belanda, sudah sepantasnya mempertimbangkan keberadaan sanksi Ganti Kerugian dalam hukum Pidana mendatang (ius constituendum). Dengan demikian diharapkan Hukum Pidana Indonesia nantinya akan dapat bermanfaat dan mampu mencapai tujuan sebagaimana dikehendaki. Dalam KUHP yang sekarang kita gunakan ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik terhadap korban, terutama korban dari kejahatan terhadap harta kekayaan (pencurian), KUHP hanya mengancam para pelaku kejahatan pencurian dengan pidana penjara atau denda tertentu sebagaimana dapat kita lihat dalam bab XII mulai pasal 362 sampai dengan pasal 367 KUHP. Ketika seseorang mengalami kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan pencurian, maka tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk mengembalikan nilai kerugian kepada korban atas perbuatan yang telah dilakukannya. 48

3 Hal ini menurut pandangan penulis kurang memberikan nilai keadilan terhadap korban, sementara pelaku hanya dihukum beberapa tahun atau membayar denda tertentu, dan setelah itu pelaku bebas menghirup udara segar tanpa terbebani oleh kewajiban membayar ganti rugi, disisi lain korban menderita kerugian yang mungkin sulit bagi ia untuk mengembalikan keadaan tersebut seperti semula. Untuk memenuhi hasrat keadilan tersebut, perlu segera dilakukan perubahan dengan melakukan kebijakan kriminalisasi berupa sanksi ganti rugi pada pelaku pencurian dalam KUHP Baru. Kenapa demikian penting? Karena negara mempunyai kewajiban memberikan kesejahteraan pada setiap warga negaranya dalam bentuk apapun (termasuk dalam bidang hukum) sebagaimana yang diatur dalam konstitusi di negara ini. Berdasarkan pertimbangan itu penulis tertarik untuk membahas masalah dengan tema kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sanksi ganti rugi sebagai politik perundang-undangan Rancangan KUHP Baru terhadap kejahatan pencurian. B. Perumusan Masalah Keterkaitan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, kiranya beberapa permasalahan berikut dapat menjadi pedoman pembahasan dalam tulisan ini. Permasalahan tersebut antara lain: 1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Sanksi Ganti Dalam Politik Perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimana Politik perundang-undangan pidana menempatkan ganti rugi yang dapat dibebankan kepada pelaku dalam KUHP yang baru? C. Pembahasan 1. Sejarah Perkembangan Sanksi Ganti Rugi Sebelum penulis membahas masalah sejarah perkembangan saksi ganti rugi dalam politik perudang-undangan di Indonesia sangatlah penting untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sanksi ganti rugi. Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. (Sudarto : 1981, 133) Jadi sanksi ganti rugi merupakan sanksi yang dibebankan kepada pelaku kejahatan yang telah menimbulkan kerugian pada korban, sanksi ini ditujukan pada harta kekayaan pelaku, bukan ditujukan pada fisik pelaku. Sanksi Ganti Kerugian, menurut schafer telah dikenal pada masa hukum Primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya personal reparation, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari- 49

4 hari (Romli Atmasasmita : 1992, 1). Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Perkembangan berikutnya adalah pengambil alihan tanggung jawab oleh suku-suku terhadap tindakan anggota-anggota suku tersebut. Keadaan ini adalah awal dari munculnya tanggung jawab yang bersifat kolektif dalam kehidupan masyarakat kesukuan. Pada masa ini konsep ganti kerugian kadang-kadang dimasukkan dalam hukum Pidana. Hukum kebiasaan di German bahkan menggunakan sanksi ganti kerugian untuk perkara pembunuhan. (Romli Atmasasmita : 1992, 1) Pada masa ini nampak ganti kerugian bukan lagi merupakan suatu kesepakatan antara korban dengan pelaku tindak pidana, tetapi adalah merupakan suatu sanksi yang ditentukan suku-suku kepada pelaku tindak pidana. Setelah munculnya negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, sanksi Ganti Kerugian tidak lagi termasuk dalam hukum pidana. Sanksi Ganti kerugian termasuk ke dalam apa yang disebut dengan the law of tort, pihak yang dirugikan (korban tindak pidana) harus mengajukan tuntutan dalam bentuk uang ataupun sesuatu yang bersifat ekonomi. Dalam hal ini telah terjadi pengambil alihan segala sesuatu yang bersifat ganti kerugian bagi korban kejahatan kepada negara. Sehingga hubungan korban dengan kejahatan merupakan suatu hubungan yang bersifat keperdataan. (Romli Atmasasmita : 1992, 2-3). Dalam hal ini segala kerugian korban dipandang sebagai kerugian negara, negaralah yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan. Dengan demikian negara tidak lagi memberikan hak pada korban kejahatan untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku kejahatan, tetapi hal itu dapat dilakukan korban melalui gugatan yang bersifat perdata. Sanksi Ganti Kerugian ini kemudian kembali diharapkan keberadaannya sebagai bagian dari hukum Pidana, Pada tahun 1887, Si Goerge Arney seorang hakim Agung dari New Zaeland dan William Tallack, telah mengusulkan untuk kembali kepada praktek pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan. Berikutnya, Raffaele Garofalo telah menulis bahwa pembayaran ganti kerugian terhadap korban merupakan masalah keadilan dan keamanan atau ketertiban sosial. Kemudian Kongres Internasional Penjara tahun 1895 di Paris maupun Kongresnya pada tahun 1900 di Brussel, mempertanyakan hak korban untuk memperoleh jaminan ganti kerugian dari pelaku tindak pidana. (Romli Atmasasmita : 1992, 4). Perhatian terhadap korban kejahatan semakin serius setelah diadakan Simposium Viktimologi I di Jerusalem pada tahun 1973, yang menghendaki seluruh negara negara di dunia memperhatikan system ganti kerugian terhadap korban kejahatan, meningkatkan secara maksimum penerapannya dan memberikan informasi mengenai hal ini pada masyarakat umum. Kemudian Draft teks dari united Nation Declaration on the Prosecutions and Assistence of Crima Victims, pada butir 4 50

5 (Part I General Principles) menetapkan secara tegas kewajiban negaranegara untuk melakukan : Reparation by the offender to the victim shall be an objective of the process of justice. Such reparation may include : (1) the return of stolen property : (2) monetary pavment for loss, damages, personal injury and psychological traume : (3) davment for pain and sufferino : (4) servis to the victim. Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap korban, telah mengajak masyarakat untuk memikirkan upaya upaya untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh korban. Ganti Kerugian oleh pelaku kejahatan terhadap korban (restitusi) dipandang sebagai sarana yang baik untuk itu. Kenyataan inilah yang telah membawa kembali sanksi Ganti Kerugian masuk ke dalam bidang hukum Pidana. Serangkai dari sejarah hukum Indonesia, maka dapat dijumpai tentang ketentuan sanksi Ganti kerugian. Baik dalam hukum Adat yang tidak tertulis, maupun dalam ketentuan ketentuan yang tertulis. Ketentuan yang tertulis dapat dijumpai dalam kitab undang undang hukum jaman kerajaan Majapahit, yaitu Kitab Agama (ada juga yang menyebut dengan nama kitab Adigama). Kitab ini memiliki pidana pokok Ganti Kerugian dengan nama Panglicawa, Putukucawa dan Pamidara, demikian pula dalam pidana tambahannya dikenal sanksi berupa uang pembeli obat yang disebut Patibajampi atau Patuku tamba. Sanksi Ganti Kerugian ini biasanya dibebankan pada pelaku kejahatan pencurian, dalam soal tatayi dan dusta yang menimbulkan korban, kelalaian yang menyebabkan matinya orang, pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, merusak milik orang lain dan sebagainya. Sedangkan mengenai sanksi uang pembeli obat dibebankan pada pelaku jika pihak korban menderita luka luka, (Slamet muljana : 1967, 20-33). Sanksi Ganti kerugian dalam hukum adat merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar karena adanya tuntutan dari pihak yang telah dirugikan. Tujuannya agar masalah yang ada terselesaikan dengan damai. Demikian pula sanksi Ganti Kerugian berupa mengadakan selamatan desa yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat. Selain Sanksi Ganti Kerugian materiil dalam hukum Adat dikenal pula sanksi Ganti kerugain yang immaterial, seperti paksaan menikah pada gadis yang telah dicemarkan, (Hilman Hadikusumah : 1984, 24-25), kenyataan diatas telah menunjukkan bahwa hukum Indonesia sejak jaman dahulu telah mengenal sanksi Ganti kerugian, yang harus dibayar oleh orang yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat kepada korban (orang yang menderita ataupun keluarga korban). Ganti kerugian ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali ataupun agar keseimbangan masyarakat pulih kembali. Masuknya bangsa penjajah ke Indonesia, membawa pula hukumnya. Perlahan - lahan hukum Adat mulai berkurang keberadaannya, terutama dalam bidang hukum Pidana. Keadaan ini benarbenar terasa setelah diberlakukannya Wet Boek van Straftrecht voor Nederland India (WvSNI). Sampai sekarang, setelah merdeka WvSNI 51

6 dengan perubahan perubahannya yang diberi nama kitab undang undang Hukum Pidana (KUHP) tetap berlaku sebagai hukum pidana positif. Keberadaan KUHP yang merupakan ambil oper dari WvS Belanda yang dibentuk pada abad ke-19, tentu saja tidak memiliki sanksi Ganti Kerugian, karena pada masa pembentukannya perhatian terhadap korban kejahatan masih lemah dan tujuan pemidanaan yang dianut adalah pembalasan (restributif). Walaupun demikian KUHP dalam ketentuan pidana Bersyarat, pada pasal 14 c menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana selain menentukan syarat umum dapat pula sekaligus menjatuhkan syarat khusus berupa ganti kerugian yang harus dipenuhi sebelum masa percobaannya berakhir, jadi tergesernya posisi hukum Adat oleh KUHP, telah menjauhkan kemungkinan korban korban kejahatan di Indonesia untuk memperoleh ganti kerugian. Terlepas dari KUHP, sebenarnya dalam hukum Pidana positif yang lain ketentuan tentang Ganti kerugian juga dikenal. Undang undang Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 34, mengatur tentang pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Dalam hal ini ganti kerugian diberikan pada negara karena negara adalah merupakan korban (collective victim). Demikian pula dalam Undang undang Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt, No. 7 tahun 1955), undang undang ini memuat kemungkinan penjatuhan pidana tata tertib kepada pelaku tindak pidana berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa jasa memperbaiki akibat akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum, sekdar hakim tidak menentukan lain. Jadi Undang undang Pidana materiil Indonesia sebenarnya sudah ada yang mengantisipasi upaya upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana walaupun dengan sangat terbatas. Keberadaan sanksi ganti kerugian yang merupakan bagian dari pidana bersyarat dalam KUHP, serta hanya untuk tindak tindak pidana tertentu saja, memperlihatkan perhatian bahwa perlindungan terhadap korban tindak pidana masih belum memuaskan. Apalagi jika dilihat dari penerapan sanksi Ganti kerugian sebagaimana diatur dalam hukum Pdana meteriil di atas, sampai saat ini belum bisa dikatakan telah memperhatikan korban dengan baik. Hal ini dikaitkan dengan penggunaannya yang sangat jarang. Minsalnya, pidana bersyarat adalah pidana yang sangat jarang di jatuhkan hakim. Walaupun dijatuhkan, sangat jarang yang disertai dengan syarat khusus mengganti kerugian, kecuali di Bali. Berdasarkan pengamatan penulis pidana bersyarat dengan syarat khusus ini sering dibebankan pada pelaku delik adat Lokika Sanggraha. Syarat khususnya sering berupa membayaran ganti kerugian desa, yaitu dengan jalan melakukan upacara Prayascita untuk membersihkan desa, atau ganti rugi immaterial yaitu harus menikahi gadis yang telah dihamilinya. Sedangkan sanksi Ganti Kerugian pada tindak pidana Korupsi, bahkan dikacaukan oleh Fatwa Mahkamah 52

7 Agung yang memasukkannya kembali ke dalam lapangan hukum perdata, melalui pernyataannya bahwa ganti kerugian dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana dengan jalan melakukan gugatan lewat proses perdata. Tetapi dengan adanya keputusan MA dalam kasus Dicky Iskandar Dinata, yang memperlihatkan bahwa sanksi Ganti Kerugian tidak lagi dilakukan melalui jalur gugatan perdata, dapat terlihat bahwa diakuinya kembali sanksi Ganti Kerugian sebagai bagian dari hukum Pidana. Adapun berkaitan dengan ketentuan sanksi ganti kerugian dalam tindak pidana Ekonomi nampaknya lebih dekat pada sanksi atministratif. Akhirnya perlindungan terhadap korban kejahatan yang sangat kurang ini diantisipasi pula oleh perancang KUHP (Baru) Indonesia, Hal ini dapat terlihat dari Konsep Rancangan Kitab Undang undang Hukum Pidana (Baru). Pada Pasal 48 ke-9, yang menyatakan dalam pemidanaan hakim harus mempertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. Konsekuen dengan pertimbangan ini maka pada pasal 67, dalam ketentuan tentang jenis-jenis pidana, sanksi ganti kerugian dimasukkan sebagai pidana tambahan. Kemudian dalam pasal 99 dinyatakan bahwa sanksi Ganti Kerugian dibayar terpidana kepada korban atau ahli waris korban dan bila pembayaran ganti kerugian tidak dilaksanakan akan berlaku ketentuan Denda. Dari penjelasan pasal 99 ini jelas dikatakan bahwa keberadaan sanksi Ganti Kerugian sebagai bagian hukum Pidana sangat diharapkan, karena akan sangat memberi bentuk pada hukum pidana Indonesia. 2. Kebijakan Politik Perundangan Pidana Sanksi Ganti Rugi Dalam KUHP Baru Sanksi Ganti Kerugian sebagaimana telah dinyatakan di atas, adalah berusaha untuk melindungi korban tindak pidana. Tetapi selain itu masih ada beberapa manfaat lain yang memberikan nilai lebih pada sanksi Ganti Kerugian bila dimasukkan ke dalam KUHP (Baru). Perlindungan terhadap korban kejahatan menjadi focus perhatian masyarakat dunia sekarang ini. Ada dua cara yang berkembang dewasa ini, yaitu Prosedural Rights Model dan Service Model. Model yang pertama menghendaki diikutsertakannya korban dalam proses peradilan, baik terlibat langsung dalam sidang pengadilan ataupun dibelakang sidang diberikan ikut mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana. Sedangkan model yang kedua adalah melayani korban tindak pidana, dengan menghilangkan atau mengurangi penderitaan korban. Model yang kedua ini biasanya menggunakan ganti rugi sebagai sarana. Dari dua cara tersebut nampaknya Service Model lebih tepat untuk dilaksanakan, karena Prosedural Rights Model akan sangat menghambat kelancaran proses peradilan yang dikehendaki yaitu cepat tepat adil dan biaya ringan. Sebaliknya dengan menerima Service Model maka harus memasukkan sanksi Ganti Kerugian ke dalam hukum Pidana. Dengan demikian jika sanksi Ganti Kerugian nantinya menjadi bagian KUHP, maka hukum Pidana Indonesia akan diterima oleh dunia internasional. Disamping itu akan menunjukan bahwa KUHP bersifat 53

8 modern, karena telah memperhatikan perbuatan, pelaku dan korban (daad-dader straftrecht dan victim). Dalam menjatuhkan pidana pada seseorang tentu harus dipertimbangkan pula tujuan pemidanaan. Ada banyak tujuan Pidana yang dikenal. Tetapi konsep Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (Baru) dalam pasal 58 ayat (1) menentukan tujuan pemidanaan adalah untuk : 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan memdatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Kemudian dilanjutkan pada ayat (2)nya bahwa: pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia Melihat kelima tujuan ini maka Sanksi ganti kerugian jelas memiliki tujuan yang lebih dekat pada upaya penyelesaian konflik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Sanksi Ganti Kerugian memang dari sejarah keberadaannya ditujukan untuk menyelesaikan konflik. Adanya ganti kerugian maka akan dianggap bahwa suatu peristiwa tidak pernah terjadi. Dengan demikian akan mengembalikan system kepercayaan korban dalam menghadapi kehidupan. Demikian pula akan membebaskan rasa bersalah terpidana yang dapat membuatnya tertekan dan justru berbahaya serta dapat merugikan dirinya atau masyarakat. Disamping itu secara psicologis dengan diterimanya uang ganti kerugian tersebut olrh korban berarti korban dapat dikatakan telah memberikan maaf pada pelaku tindak pidana tersebut. Jadi sanksi Ganti Kerugian sangat berperan sebagai jembatan perdamaian. Menghindarkan pelaku kejahatan dari sanksi pokok yang berat dan menghindarkan negara mengeluarkan dana lebih banyak untuk menanggulang kejahatan. Berkaitan dengan politik perundang-undangan, maka setiap perundang-undangan yang diciptakan harus sesuai dengan ideologi dan konstitusi suatu negara, demikian pula halnya dengan politik perundangan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Perundang-Undangan telah memberikan kerangka yang baik dengan mengharuskan setiap pembentukan perundang-undangan harus berdasarkan asas-asas yang telah ditetapkan. Demikian pula ketika kita hendak menempatkan kebijakan penempatan sanksi ganti rugi terhadap kejahatan pencurian dalam KUHP baru, tetap harus memperhatikan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Asas-asas tersebut baik yang berupa asas pembentukan perundang-undangan (asas formil dan asas materiil) 54

9 maupun asas pemberlakuan perundang-undangan itu sendiri (asas yuridis, filosofis dan sosiologis). Memperhatikan Rancangan KUHP Baru, ternyata kita telah menemukan beberapa perubahan mendasar dalam hal sistem pemberlakuan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RKUHP yang menegaskan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan(ayat 3). Kemudian pada ayat (4)nya disebutkan Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Jadi jelas ketentuan kedua ayat itu telah memberikan perimbangan dalam penegakan hukum pidana yang selama ini hanya mengandalkan asas legalitas (kepastian hukum) sebagaimana yang tetap dianut oleh RKUHP Baru dalam ayat (1). Khusus mengenai sanksi ganti rugi RKUHP Baru juga telah menganut jenis ini sebagaimana yang diatur dalam pasal 67 dan pasal 99 RKUHP. Namun demikian menurut penulis posisi sanksi ganti yang dianut dalam RKUHP baru ditempatkan sebagai pidana tambahan (bukan sebagai salah satu alternatif dalam pidana pokok), dengan posisi seperti ini maka kedudukan sanksi ganti rugi hanya sekedar tambahan saja dari pidana pokok. Jika demikian adanya, maka menurut hemat penulis RKUHP yang baru justru lebih memberatkan dan bersifat menekan, hal ini bertentangan dengan asas manusiawi dan asas keseimbangan hukum serta tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Dalam hal ini menurut penulis RKUHP Baru harus memperhatikan nilai keadilan dan kemanfaatan pidana bagi pelaku, jika suatu hukum tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan, maka hukum itu justru bertentangan dengan nilai moral dan kemanusiaan. Aristoteles menyatakan: justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right (Ahmad Ali, 2009: 217). Dengan demikian beliau ingin mengatakan bahwa keadilan itu adalah suatu tujuan yang baik, maka setiap pembuatan hukum harus dilakukan dengan benar. Kemudian ditambahkan oleh beliau dalam tulisannya Ethica Nicomachea dan Rhetorica. Beliau mengatakan hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberi kepada setiap orang apa yang berhak diterima, dan berdasarkan etika hukum bertugas hanya membuat keadilan(chainur Arrasjid, 2000: 40). Dalam Kasus pencurian yang terjadi di Indonesia rata-rata disebabkan oleh persoalan perut, meskipun ada juga pelaku-pelaku yang melakukan pencurian sebagai profesi. Namun terlepas dari persoalan penyebab kejahatan, menurut penulis hukum harus 55

10 memperhatikan keadilan dan bersifat humanis, dan itu harus diberikan kepada siapa saja, baik kepada korban pelaku dan masyarakat umum. Untuk itu posisi sanksi ganti rugi harus ditempatkan pada bagian pidana pokok (bukan pidana tambahan), jika demikian ganti rugi akan menjadi alternatif pidana, misalnya antara pidana penjara atau denda atau ganti rugi kepada korban / ahli warisnya. Jika saja RKUHP Baru mengatur norma objektif (perbuatan) yang sama tentang pencurian biasa sebagaimana yang diatur dalam pasal 362 KUHP, maka norma yang pantas dimasukkan dalam sanksinya adalah ganti rugi kepada korban sejumlah nilai yang telah dirugikan, dan dapat ditambahkan hukuman tambahan kepada pelaku, misalnya dengan menambahkan sanksi kerja sosial. Dalam hal pencurian dengan pemberatan, misalnya dengan kualifikasi adanya orang luka atau meninggal dunia dalam perbuatan tersebut, maka sanksi alternatif lain dapat dikenakan kepada pelaku. Katakan saja sanksi penjara sementara yang dikomulatifkan dengan sanksi ganti rugi atau sanksi denda. Alternatif sanksi ganti rugi dapat juga diberikan dalam hal dilakukannya penyelesaian diluar sidang pengadilan (restorative justice model) dengan cara menemukan pelaku dengan korban dan ditengahi oleh penyidik polri sebagai mediator dalam rangka menemukan solusi sanksi ganti rugi yang disepakati oleh kedua belah pihak, atau dapat juga diselesaikan oleh lembaga-lembaga adat dengan memanfaatkan kearifan lokal. Hal ini penting untuk ditegaskan dalam RKUHP Baru mengingat bunyi ketentuan pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RKUHP Baru tersebut yang telah membolehkan penggunaan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dengan syarat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa. Jika ketegasan itu diberikan oleh RKUHP Baru, maka bertambah lagi kekhasan hukum pidana nasional yang mencerminkan ideologi serta sesuai dengan konstitusi negara Indonesia, dan yang terpenting terpenuhinya nilai keadilan yang bersifat humanis. D. Penutup Dengan menempatkan sanksi ganti kerugian dalam Rancangan KUHP Baru, maka dapat dikatakan kita telah melakukan kebijakan politik perundang-undangan pidana yang sesuai dengan nilai keadilan yang bersifat humanis yang mencerminkan ideologi bangsa serta sesuai dengan konstitusi Negara Republik Indonesia. Khusus kebijakan ganti rugi sebagaimana yang telah diatur dalam Rancangan KUHP Baru, sebaiknya ditempatkan pada posisi sebagai pidana pokok (bukan pidana tambahan), sehingga ia dapat menjadi alternatif 56

11 pemidanaan selain pidana penjara kurungan ataupun denda. Terlebih lagi dalam tindak pidana pencurian biasa (ringan), sebaiknya sanksi ganti rugi benar-benar menjadi pidana tunggal yang dijatuhkan dan dapat ditambahkan dengan pidana tambahan seperti keja sosial. E. Daftar Pustaka A. Buku - Buku Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta, 2009 Arief, Barda Nawawi. Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan. Semarang. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Atmasasmita, Romli. Masalah Bantuan Terhadap Korban tindak Pidana. Jakarta. BPHN, Durkheim, Emile, Crime as a Normal Phenomenon. Dalam J. E. Sahetapy. Bacaan Kriminologi I. Pusat Studi Kriminologi Universitas Airlangga. Surabaya, Friedmann. W., Legal Theory, Terjemahan (Teori dan Filsafat Hukum), RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat. Alumni, Bandung, 1984 Maulana, Slamet., Perundang-undangan Majapahit. Jakarta. Bhratara, Nurjaya, I Nyoman, Profil Penjahat White Collar, Universitas Brawijaya. Malang, 1989 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, B. Undang -Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pembentukan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 7/Drt/ 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi Rancangan KUHP Baru, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),

PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU

PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Medan I. PENDAHULUAN Bagaikan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT To determine fault someone

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hukum pidana adalah : hukum yang mempelajari mengenai perbuatan-perbuatan apa yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Hukum pidana adalah : hukum yang mempelajari mengenai perbuatan-perbuatan apa yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana Hukum pidana adalah : hukum yang mempelajari mengenai perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum (berupa pidana) dan hukuman -hukuman apa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP. Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia

Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP. Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia FALSAFAH PENANGANAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYANGKUT TIGA HAL : 1. Sifat yang terkandung dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN Haryono* ABSTRAK Sistem hukum Indonesia adalah sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup bangsa dan Negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kelalaian dalam Kegiatan yang Mengumpulkan Massa dan Menimbulkan Korban Tinjauan adalah melihat dari jauh dari tempat

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO Oleh: I Gst Ngr Dwi Wiranata Ibrahim R. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Perbuatan kumpul kebo merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada hukum.namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual selalu berkonotasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

PENERAPAN SANKSI YANG BERKEADILAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENERAPAN SANKSI YANG BERKEADILAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENERAPAN SANKSI YANG BERKEADILAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Oleh Aditya Wisnu Mulyadi Ida Bagus Rai Djaja Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sedikit membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia dalam meningkatkan sumber daya manusia, sebagai modal dasar pembangunan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana Abstract Titles in this writing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MOH. ZAINOL ARIEF Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep sobarchamim@gmail.com ABSTRAK Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara berkembang di dunia telah melakukan pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan kehidupan manusia pada era globalisasi sekarang ini terjadi dengan

I. PENDAHULUAN. Perubahan kehidupan manusia pada era globalisasi sekarang ini terjadi dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan manusia pada era globalisasi sekarang ini terjadi dengan cepat, karena perkembangan teknologi dalam berbagai bidang kian canggihnya dan kian

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 ABD. WAHID / D 101 10 633 ABSTRAK Perkembangan ilmu dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk sosial yang artinya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai figuran,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan secara berkesinambungan bagi seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Tujuan Negara

Lebih terperinci

KESIMPULAN SEMINAR NASIONAL HARI ULANG TAHUN IKATAN HAKIM INDONESIA KE-59

KESIMPULAN SEMINAR NASIONAL HARI ULANG TAHUN IKATAN HAKIM INDONESIA KE-59 KESIMPULAN SEMINAR NASIONAL HARI ULANG TAHUN IKATAN HAKIM INDONESIA KE-59 Pada hari ini : Rabu, tanggal 25 April 2012 pada SEMINAR NASIONAL HARI ULANG TAHUN IKATAN HAKIM INDONESIA (IKAHI) ke-59 di Jakarta,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 amandemen keempat, khususnya Pasal 28 B ayat (2) berisi ketentuan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Oleh : Ida Bagus Bayu Ardana Made Gede Subha Karma Resen Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN Oleh: Rachmawati Apriliana Puspitasari Nyoman Satyayudha Dananjaya Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Economic crimes

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Hukum Pidana Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari perkataan wordt gestraf menurut Mulyanto merupakan istilah-istilah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana 43 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan ancaman kepada

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para konsumen, sebagaimana diberitakan dalam media massa, seperti penjualan makanan gorengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci