3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat"

Transkripsi

1 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu Penelitian Penelitian struktur komunitas makrozoobentos ini dilakukan selama 2 tahun ( ) dengan uraian tahapan kegiatan dapat dilihat pada Lampiran Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung di Pulau Bone Batang, Kecamatan Ujung Tanah Kotamadya Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau Bone Batang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan kurang lebih 12 km arah barat daya kota Makassar. Sebagian besar pulau terbentuk dari hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh karang tepi (Kneer 2006; Vonk 2008). Pulau Bone Batang merupakan pulau kosong yang tidak dihuni oleh penduduk, tanpa vegetasi dan nyaris tenggelam saat pasang tertinggi sehingga hampir tampak seperti gosong ( sand bank ). Bone Batang memanjang dari arah utara-selatan dengan luas sekitar 1,80 ha. Area rataan terumbu diperkirakan mencapai luas sekitar 98,02 ha. Sebagian besar rataan terumbu yang dangkal di Pulau Bone Batang, terdapat di sisi barat dan selatan. Sebaliknya, rataan terumbu di sisi timur tergolong sempit dengan topografi yang curam dan dalam. Sedimen pasir dalam volume yang besar menumpuk di sisi utara dan selatan. Pergerakan sedimen ini sangat dinamis mengikuti pola arus dan gelombang sehingga sangat berpengaruh terhadap habitat lamun di sekitarnya. Akibat penambangan pasir secara ilegal yang dilakukan oleh nelayan dari pulau-pulau di sekitarnya, luasan Pulau Bone Batang terus menyusut. Pengamatan terakhir yang dilakukan pada bulan Agustus 2010 menunjukkan, bahwa pulau ini telah tenggelam saat pasang tertinggi. Bone Batang termasuk salah satu pulau pasir kecil tanpa vegetasi, dengan rataan terumbu dan hamparan padang lamun yang luas. Berdasarkan zona ekologi yang ditetapkan oleh Hutchinson (1945) dalam Moll (1993), Bone Batang terletak di zona ketiga atau zona tengah bagian luar dari Kepulauan Spermonde. Pengaruh daratan utama (Sulawesi) terhadap kondisi perairan di Pulau Bone Batang relatif kecil, yang ditandai dengan rendahnya kandungan bahan organik dan partikel sedimen halus (lempung/lanau) di perairan sekitar pulau tersebut (Samawi 2001).

2 18 Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Moll 1983). Pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde (termasuk Bone Batang) memiliki bentuk yang khas. Rataan terumbu yang dangkal dan luas umumnya dapat ditemukan di sisi barat dan selatan. Sebaliknya, rataan terumbu di sisi timur, tergolong curam dan dalam. Pulau-pulau ini terbentuk dari hasil endapan material kalsium karbonat. Iklim tergolong tropis yang mendapat pengaruh dari angin Muson. Pada bulan Mei-Oktober, angin yang banyak membawa hujan bergerak dari arah barat daya. Sedangkan bulan November-April, angin yang menimbulkan gelombang besar bergerak dari arah tenggara (Erftemeijer dan Herman 1994) Pembagian Stasiun Penelitian Pada penelitian ini, daerah sampling dibagi menjadi 16 stasiun berdasarkan tipe habitat lamun yang terdapat di Pulau Bone Batang (Gambar 3). Waycott et al. (2004), membagi habitat lamun di daerah Indo-Pasifik Barat (termasuk Indonesia) menjadi 6 tipe habitat, berdasarkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu: daerah intertidal, subtidal, rataan terumbu karang, perairan dalam, muara sungai dan pantai daratan utama. Tiga tipe habitat lamun pertama, yaitu: intertidal, subtidal dan rataan terumbu karang dapat ditemukan di Pulau Bone Batang.

3 19 Sedangkan tipe habitat lamun di perairan dalam (dengan kedalaman lebih dari 15 m), belum dapat dipastikan keberadaannya. Gambar 3 Pembagian stasiun penelitian di Pulau Bone Batang. Penempatan lokasi stasiun dilakukan secara selektif berdasarkan hasil observasi awal. Observasi awal secara umum dilakukan melalui pengamatan visual dengan mengelilingi pulau menggunakan speedboat pada kecepatan rendah. Kegiatan observasi yang lebih detail, dilakukan dengan cara snorkelling di daerah lamun dan rataan terumbu di sekitar pulau. Hasil observasi awal menunjukkan adanya beberapa tipe habitat lamun di Pulau Bone Batang. Lamun di Pulau Bone Batang umumnya tumbuh mengelompok (patchy), didominasi oleh komunitas campuran yang terdiri dari beberapa spesies. Vegetasi lamun yang tumbuh, tidak membentuk suatu hamparan yang utuh, karena banyak diselingi oleh daerah kosong (bare area) yang tidak ditumbuhi lamun. Daerah ini umumnya berbentuk seperti lubang-lubang besar yang didominasi substrat kerikil atau pasir kasar. Lubang ini sedikit lebih dalam dibandingkan dengan daerah di sekelilingnya yang ditumbuhi oleh lamun dan dikenal dengan sebutan blow-out. (Kneer 2006). Jenis lamun didominasi oleh Cymodocea, Halodule dan Thalassia.

4 20 Gambar 4 Stasiun utama (lamun) dan kontrol (tanpa lamun) Berdasarkan hasil observasi awal, ditetapkan 16 lokasi atau titik sebagai stasiun. Delapan stasiun pertama (stasiun 1-8) diputuskan menjadi stasiun utama yang ditempatkan pada tipe habitat yang ditumbuhi lamun. Selanjutnya, delapan stasiun berikutnya (stasiun 9-16) difungsikan sebagai stasiun kontrol yang ditempatkan di daerah kosong (bare area) yang tidak ditumbuhi lamun, di sekitar stasiun utama. Karakteristik dari masing-masing stasiun diuraikan sebagai berikut: Stasiun 1 ditempatkan di habitat lamun yang tumbuh di sekitar komunitas terumbu karang (reef). Substrat di sisi barat Pulau Bone Batang ini sebagian besar didominasi oleh karang keras. Ketebalan substrat berpasir umumnya jarang melebihi 1 meter. Stasiun 9 (kontrol) ditempatkan di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 1 (Gambar 3). Stasiun 2 terletak di habitat lamun daerah intertidal di sisi barat pulau. Posisi stasiun ini berada tidak jauh dari tepi pantai (Gambar 3). Sebuah cekungan kecil memanjang yang menyerupai kolam (tide pool) ditemukan di stasiun ini. Titik ini didominasi oleh substrat berpasir dengan ketebalan sedimen lebih dari 1 meter. Saat surut terendah, sebagian besar substrat dan komunitas lamun akan muncul ke

5 21 permukaan selama beberapa jam. Stasiun 10 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 2. Stasiun 3 berposisi di sisi timur pulau Bone Batang. Habitat lamun di daerah ini tergolong tipe habitat intertidal yang akan terekspose saat surut rendah. Stasiun ini tergolong labil karena pergerakan sedimen yang aktif sepanjang tahun. Sebagian komunitas lamun yang ada tidak akan bertahan lama, karena tertimbun oleh material pasir yang bergerak akibat terbawa arus dan gelombang. Stasiun 11 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 3. Stasiun 4 dicirikan oleh topografinya yang sangat curam. Habitat lamun termasuk tipe subtidal yang selalu berada di dalam kolom air sepanjang tahun. Daerah ini tidak pernah terekspose ke permukaan, meskipun terjadi surut terendah sekalipun. Ciri yang sangat khas dari stasiun ini adalah banyaknya kerang kapak Pinna bicolor berukuran besar yang tumbuh di dasar substrat. Stasiun 12 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 4 (Gambar 3). Stasiun 5 berada di ujung utara Pulau Bone Batang. Daerah ini dicirikan oleh pasang surut yang tinggi dengan arus gelombang yang kuat. Habitat lamun tergolong tipe intertidal yang akan terekspose ke permukaan saat surut terendah. Substrat didominasi oleh pasir dengan proporsi kerikil dan pecahan karang (rubble) yang cukup besar. Spesies lamun didominasi oleh Halodule uninervis dengan kerapatan yang tinggi. Stasiun 13 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 5 (Gambar 3). Stasiun 6 terletak di ujung selatan Pulau Bone Batang. Area ini sangat landai dan dangkal dengan hamparan substrat berpasir yang luas. Tipe habitat lamun termasuk tipe intertidal yang akan terekspose saat surut terendah. Stasiun 14 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 6. Stasiun 7 berada di sisi barat Pulau Bone Batang. Daerah di sekitar stasiun ini didominasi oleh suatu gundukan atau akumulasi pasir dengan volume yang sangat besar. Kumpulan pasir ini sifatnya labil dan dinamis, berubah-ubah bentuk mengikuti arus dan gelombang musiman yang juga berubah sepanjang tahun. Posisi stasiun, berada di daerah lamun yang landai, dengan habitat lamun tergolong tipe intertidal. Stasiun 15 (kontrol) terletak di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 7 (Gambar 3).

6 22 Stasiun 8 berada di sisi tenggara Pulau Bone Batang. Topografi daerah ini termasuk curam dan dalam. Tipe habitat lamun tergolong subtidal yang akan selalu berada di bawah permukaan air sepanjang tahun. Substrat stasiun ini didominasi oleh pasir dengan ukuran butiran yang lebih halus dibandingkan dengan stasiun lainnya. Ciri khas dari stasiun ini adalah dominannya tegakan lamun dari jenis Enhalus acoroides. Stasiun 16 (kontrol) terletak di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 8 (Gambar 3). 3.2 Alat dan Bahan Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada daftar alat dan bahan yang tertera pada Lampiran Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan bahan habis untuk mengawetkan sampel dan membuat bola gypsum, untuk mengestimasi kekuatan paparan ombak/gelombang (exposure). Bahan yang digunakan, dapat dilihat pada daftar alat dan bahan sebagaimana tertera pada Lampiran Metode Pengambilan Data (Sampling) Struktur Komunitas Lamun a. Kepadatan dan Biomassa lamun Pengambilan data kepadatan dan biomassa lamun, dilakukan menggunakan sediment corer dengan diameter 15,7 cm dan tinggi 25 cm (Gambar 5). Sampel lamun beserta sedimen yang diambil dari lapangan, kemudian dipindahkan dari kantong plastik ke sebuah baki plastik. Sebanyak 2 sendok makan sampel sedimen, diambil dari tengah-tengah sedimen yang ada di atas baki, untuk keperluan analisis struktur sedimen lebih lanjut. Setelah itu, sampel lamun dan makrozoobentos, kemudian disortir menggunakan saringan dengan ukuran mata saring 1 mm, di dalam ember berisi air laut. Sampel makrozoobentos dan lamun yang ditemukan, disimpan dalam botol sampel terpisah. Sisa sedimen yang masih terdapat di atas saringan, diletakkan di atas baki plastik dan disortir kembali untuk mencari lamun dan makrozoobentos yang masih tersisa.

7 23 Gambar 5 Sampling lamun dengan sediment corer. (Foto: Dominik Kneer). Lamun yang telah dicuci bersih kemudian dipisah-pisahkan berdasarkan jenisnya dan dihitung jumlah tegakannya. Selanjutnya, lamun dipotong menjadi 3 bagian untuk memisahkan akar, rhizome dan daunnya. Berat basah sebagai berat awal ditimbang menggunakan neraca digital. Bagian lamun tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 70⁰ C selama 72 jam atau hingga beratnya konstan. Berat kering lamun kemudian ditimbang kembali (Gambar 6). Gambar 6 Analisis sampel biomassa lamun.

8 24 b. Persentase Penutupan Lamun Pengambilan data persentase penutupan lamun dilakukan dengan frame/plot PVC berukuran 50 cm x 50 cm (Gambar 7). Estimasi persentase penutupan lamun dilakukan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Seagrass Watch (2002). Untuk mengurangi bias, pengambilan data persentase penutupan lamun dilakukan saat kondisi perairan berada dalam keadaan surut rendah. Estimasi penutupan lamun saat kondisi pasang tinggi, relatif lebih sulit dilakukan, karena posisi daun lamun yang berdiri tegak. Selain itu, posisi pengamat menjadi lebih sulit karena harus berada pada jarak yang cukup jauh dari frame yang diamati. Gambar 7 Estimasi penutupan lamun Struktur Komunitas Makrozoobentos Berdasarkan tempat hidupnya, fauna padang lamun secara umum dapat dibagi menjadi 2: fauna yang hidup di permukaan dasar substrat, di antara daun dan tegakan lamun (epifauna) dan fauna yang hidup meliang atau mengubur diri di dalam substrat (infauna). Namun, beberapa spesies makrozoobentos seperti: ikan Goby, udang mantis (Stomatopoda), udang hantu (Alpheid) dan berbagai jenis kepiting hidup di dalam substrat dengan menggali liang dan seringkali muncul ke permukaan substrat untuk mencari makan (Raz-Guzman dan Grizzle dalam Short dan Coles 2003). Penggunaan metode sensus visual seringkali tidak dapat mengamati fauna seperti ikan Goby dan udang Mantis yang akan masuk dengan cepat ke dalam liang saat merasa terancam. Pengambilan sampel infauna dengan menggunakan sediment corer juga memiliki keterbatasan karena organisme infauna yang aktif

9 25 bergerak (mobile) pada umumnya hidup di liang/lubang yang dalam (1.5-2 m) sehingga penggunaan alat tersebut tidak dapat menjangkau organisme yang ingin dikoleksi. Jenis infauna berukuran besar dan berkulit rapuh seperti bulu hati (heart urchin) juga sulit dikoleksi menggunakan sediment corer. Penggunaan sediment corer (diameter 16 cm dan tinggi 20 cm) pada penelitian yang dilakukan oleh Vonk et al. (2010) terhadap komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang memiliki keterbatasan. Alat tersebut hanya dapat menjangkau spesies infauna dengan kedalaman hingga 0,25 m, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengambil sampel infauna yang umumnya hidup di dalam substrat pada kedalaman 0,5 m 1,5 m. Jenis udang berukuran besar seperti Glypturus armatus, memiliki liang dengan kedalaman hingga 2 m (Kneer pers. comm). Demikian pula penggunaan transek permanen pada penelitian tersebut (15 m x 1 m) tidak dapat mencakup sebagian spesies makrozoobentos epifauna yang cukup umum ditemukan dan sering berpindah tempat (mobile). Meskipun metode yang digunakan Vonk et al. (2010) memiliki keterbatasan spasial dalam menjangkau spesies makro-invertebrata epifauna dan infauna, namun metode tersebut sudah tepat untuk membandingkan kelimpahan makrozoobentos berdasarkan musim dan perbedaan kondisi padang lamun yang ada di Pulau Bone Batang. Dari uraian di atas, diperlukan suatu alternatif sampling yang lebih mudah dan efektif untuk mendapatkan organisme infauna yang hidup di liang yang lebih dalam. Oleh karena itu, pada penelitian ini kami mengembangkan satu metode sampling hewan infauna dengan menggunakan terpal plastik (plastic foil). Penggunaan terpal plastik (plastic foil) sebenarnya bukanlah metode yang baru, karena pernah diterapkan untuk mempelajari populasi cacing laut Arenicola marina L. (lug worm) di daerah intertidal berlumpur Pulau Sylt, Jerman (Asmus dan Kneer pers. comm.). Namun, dari studi literatur yang telah dilakukan (Short dan Coles 2003; Global Seagrass Research Method), pengambilan sampel organisme infauna dengan metode ini belum pernah dilakukan di padang lamun, sehingga pada penelitian ini kami mencoba untuk menggunakan terpal plastik tersebut untuk pertama kalinya sebagai metode alternatif untuk melakukan sampling terhadap organisme infauna di padang lamun Pulau Bone Batang.

10 26 Pengambilan sampel dengan terpal plastik, pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk memaksa organisme infauna keluar dari liangnya. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan efek anoksik, dengan jalan memblok suplai udara menggunakan terpal plastik, agar oksigen tidak masuk ke dalam liang. Kurangnya suplai oksigen (hipoksia) akan memaksa makrozoobentos yang ada di dalam liang untuk keluar ke permukaan. Gambar 8 Skema Terpal plastik ukuran 4 x 3 m yang digunakan dalam penelitian. Gambar bawah: A. Liang keluar hewan bentos. B. Liang masuk hewan bentos. C. Liang tunggal hewan bentos. D. Liang keluar bentos yang berada di bawah terpal. E. Liang masuk hewan bentos yang berada di luar terpal.

11 27 Metode sampling ini dilakukan dengan menghamparkan terpal plastik berwarna gelap (coklat) berukuran 4 x 3 meter pada lokasi yang telah ditentukan. Terpal kemudian ditimbun pasir dengan ketebalan 1-2 cm dan dibiarkan selama 1 x 24 jam dan 2 x 24 jam. Penggunaan terpal berwarna coklat gelap bertujuan untuk menyamarkan lokasi sampling agar lebih aman saat ditinggalkan. Penimbunan pasir dilakukan lebih banyak pada tepi terpal plastik, untuk memastikan tidak adanya pertukaran oksigen dan mencegah masuknya organisme epifauna dari luar terpal. Untuk memastikan bahwa organisme infauna yang ditemukan benar-benar berasal dari bawah terpal, maka ditetapkan batasan pada terpal plastik. Terpal plastik bagian dalam (inner) ditetapkan dengan ukuran 3 x 2 m. Sedangkan bagian luar (outer) ditetapkan dengan lebar 0.5 m dari tepi terpal seperti tampak pada Gambar 8 di atas. Lokasi pemasangan terpal perlu diperhatikan dengan baik. Hal ini untuk menghindari robek atau berlubangnya terpal akibat tersayat cangkang tiram atau karang yang tajam saat dilakukan pemasangan. Daerah lamun yang didominasi oleh organisme epifauna seperti koloni bulu babi, karang, koloni kerang kapak Pinna serta daerah karang yang berbatu-batu tajam sebaiknya dihindari. Terpal plastik dipasang dan dibiarkan selama 1 x 24 jam untuk memastikan habisnya kandungan oksigen dalam liang. Saat membuka terpal, disarankan untuk menyingkap terpal tersebut dengan hati-hati, agar sampel yang berada di bawah terpal tidak berhamburan atau hilang terbawa arus. Seringkali, sampel dari terpal yang baru dibuka, akan disambar oleh ikan pemangsa yang tertarik mendekat oleh bau busuk hewan bentos yang telah mati. Sampel yang telah terkumpul kemudian diawetkan dengan campuran air laut, formalin 10% dan alkohol 70 %. Terpal yang sudah dibuka, kemudian dipasang kembali dan dibiarkan selama 1 x 24 jam (hari kedua) untuk menjebak hewan bentos hidup yang belum keluar dari liang. Selain di daerah lamun, terpal plastik juga dipasang di daerah kosong yang tidak ditumbuhi lamun. Hal ini dilakukan, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kerapatan dan komposisi jenis lamun terhadap populasi dan kelimpahan makrozoobentos infauna yang hidup di dalam sedimen. Sampel makrozoobentos yang ditemukan di daerah kontrol kemudian dibandingkan dengan sampel yang berhasil ditemukan di daerah lamun.

12 Parameter Lingkungan Analisis Struktur Sedimen Pada tiap-tiap stasiun penelitian, dilakukan pengambilan sampel sedimen sebanyak 6 kali ulangan (6 replikat) menggunakan sediment corer dengan diameter 15,7 cm dan tinggi 25 cm. Analisis struktur sedimen ini bertujuan untuk membandingkan komposisi (persentase) dari ukuran butiran sedimen yang menjadi substrat lamun pada masing-masing stasiun. Sebanyak 2 sendok makan sampel sedimen yang melekat pada rhizome lamun diambil (dicuplik) dari bagian tengah corer. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 70⁰ C, selama 14 hari hingga kering dan beratnya konstan. Setelah kering, sedimen ditimbang dan dimasukkan ke dalam seri saringan bertingkat yang digerakkan secara mekanis (JEL 200 T, J. Engelmann AG; dengan ukuran mata saringan 2000, 1000, 500, 250, 125 dan 60 µm). Gambar 9 Searah jarum jam: analisis struktur sedimen Sedimen yang telah terpisah kemudian ditimbang untuk menentukan tekstur sedimen, berdasarkan persentase berat dari butiran sedimen yang memiliki ukuran berbeda-beda. Selanjutnya sedimen dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 500⁰ C selama 4 jam untuk menentukan kadar kandungan bahan organiknya (Gambar 9). Klasifikasi struktur sedimen dilakukan berdasarkan modifikasi dari skala Wenworth yang direkomendasikan oleh Erftemeijer dan Koch (dalam Short dan

13 29 Coles 2003) yang membagi ukuran butiran sedimen substrat lamun menjadi kerikil atau gravel (> 2mm), pasir atau sand (0,063-2 mm), lanau/lumpur atau silt ( 4-63 µm) dan lempung atau clay (< 4 µm) (Lampiran 4) Paparan Ombak dan Gelombang (Water Exposure) Pengukuran pergerakan air (water exposure) dilakukan dengan bola gypsum (plaster ball), berdasarkan teknik yang dikembangkan oleh Komatsu dan Kawai (1992) dalam Short dan Coles (2003). Tujuan pengukuran pergerakan air ini adalah untuk membandingkan kekuatan arus yang mempengaruhi kondisi hidrodinamika dari masing-masing stasiun di Pulau Bone Batang. Pengukuran dilakukan dengan memasang 16 bola dari Gypsum sebesar bola tenis selama 72 jam di setiap stasiun penelitian. Pemasangan bola dilakukan pada saat surut terendah (lowest spring tide) di sekitar bulan mati atau bulan baru. Waktu tersebut dipilih, karena aktifitas pasang surut dan pergerakan massa air yang paling tinggi dalam setiap bulannya, terjadi saat bulan baru atau bulan purnama penuh. Menurut Erftemeijer dan Herman (1994), kondisi hidrodinamika atau pergerakan arus pada saat pasang tertinggi dan surut terendah memberikan pengaruh yang paling besar terhadap komunitas lamun. Dengan demikian, penempatan bola gypsum pada waktu tersebut, diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi pergerakan air dari masing-masing stasiun penelitian di Pulau Bone Batang. Pemasangan bola Gypsum ini dilakukan sebanyak 3 kali pada bulan Januari, April dan Juli Penentuan kuat lemahnya arus dari tiap-tiap stasiun penelitian, ditentukan berdasarkan rata-rata persentase penyusutan berat dari bola gypsum yang dipasang selama 3 hari atau 72 jam. Pembuatan bola gypsum diawali dengan mempersiapkan bola tenis sebagai alat cetaknya. Bola tenis terlebih dahulu dibelah 2 tepat di bagian tengah menggunakan gergaji hingga tersisa 1/3 bagian dari keliling bola. Pada bagian atas bola tenis, dibuat 3 buah lubang yang letaknya sejajar menggunakan bor listrik. Selanjutnya bagian dalam bola tenis dibersihkan. Bola tenis kemudian ditangkupkan kembali dan direkatkan menggunakan lakban/plastic tape (seperti yang digunakan untuk menjilid buku). Setelah tertangkup rapat, bola tenis siap untuk digunakan mencetak bola gypsum (Gambar 10).

14 30 Gambar 10 Searah jarum jam: pembuatan bola gypsum Bola gypsum dibuat dengan mencampurkan 250 ml bubuk gypsum (Super dental plaster tipe 6000) dengan air sebanyak 150 ml. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan cepat secara merata agar tidak mengeras. Setelah tercampur sempurna, adonan gypsum kemudian diisikan ke dalam bola tenis melalui lubang dengan menggunakan spoit. Pengisian ini harus dilakukan dengan cepat untuk menghindari mengerasnya adonan (Gambar 10). Untuk memastikan bola gypsum terbentuk bulat sempurna, maka adonan harus dimasukkan ke dalam bola tenis hingga meluap keluar dari lubang yang telah dibuat. Hal ini bertujuan agar udara yang masih terjebak di dalam bola tenis keluar seluruhnya. Kemudian pensil kayu ditancapkan ke dalam lubang bagian tengah bola tenis yang telah terisi penuh adonan gypsum sedalam 4.5 cm. Bola tenis kemudian dibiarkan selama 30 menit hingga mengeras (Gambar 10). Setelah mengeras, plaster yang melilit bola tenis dibuka, dan bola gypsum yang sudah tercetak dikeluarkan dari bola tenis dengan hati-hati agar pensil yang telah melekat pada bola gypsum tersebut tidak patah. Beberapa bagian yang menonjol dari cetakan bola gypsum seperti alur/garis yang terbentuk dari celah bola tenis, diratakan menggunakan pisau scalpel atau cutter. Untuk memastikan bola gypsum tersebut benar-benar kering, maka bola gypsum dimasukkan ke dalam oven pada suhu 70⁰ C selama 7 x 24 jam atau hingga beratnya konstan.

15 31 Gambar 11 Bola gypsum sebelum dan sesudah di pasang selama 72 jam Bola gypsum yang telah jadi kemudian dipasang pada bilah bambu yang telah diruncingkan. Pada tiap-tiap stasiun (stasiun di daerah lamun dan Stasiun kontrol), dipasang 3 buah bola gypsum yang dibiarkan selama 3 x 24 jam (72 jam). Selanjutnya, setelah terpasang selama 3 hari, bola gypsum diambil kembali dan dikeringkan oven pada suhu 70⁰C, selama 7 x 24 jam atau hingga beratnya konstan. Bola kemudian ditimbang kembali untuk menentukan besarnya kadar (persentase) penyusutan. Stasiun dengan kondisi arus yang kuat dapat dilihat dari besarnya tingkat penyusutan bola gypsum Pengukuran Kedalaman Kolom Air dan Sedimen Pengukuran kedalaman kolom air dan sedimen dilakukan secara manual dengan menggunakan meteran gulung, pipa PVC dan tongkat besi. Hasil pengukuran dibandingkan dengan tabel pasang surut yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal serta dibandingkan dengan patok permanen yang dipasang pada saat surut terendah dan pasang tertinggi sebagai reference marker. Gambar 12 Pengukuran kedalaman dan ketebalan sedimen

16 Identifikasi Sampel Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium SPICE (Science for The Protection of Indonesian Coastal Ecosystems) - Pusat Penelitian Terumbu Karang (PPTK) Universitas Hasanuddin. Identifikasi sampel dilakukan berdasarkan sumber rujukan sebagaimana tertera pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Rujukan identifikasi sampel. Kelompok Taksa Makrozoobentos Rujukan Identifikasi Moluska Matsuura et al. (2000), Fiene-Severns et al. (2004), Dharma (2005) Echinodermata Clark (1971), Cannon dan Silver (1986), Guielle et al. (1986), Massin (1999), Appeltans et al. (2008), Stohr (2009) Sipuncula Stephen dan Edmonds (1972), Cutler (1994) Crustacea Debelius (1999), Sakai (1999), Ahyong (2001) Polychaeta Fauvel (1923), Fauchald (1977), Beesley et al. (2000), Bartolomaeus (2005) Ikan Allen (2000), Matsuura et al. (2000) 3.6 Analisis Data Analisis Struktur Komunitas Lamun a. Komposisi Jenis Lamun Data komposisi jenis lamun diperoleh dari pengambilan data kerapatan lamun dari 6 replikat corer berdiameter 15,7 cm di lapangan. Nilai kerapatan dari masing-masing spesies lamun kemudian dijumlahkan dan dikelompokkan berdasarkan stasiun. Seluruh data kemudian disusun dalam bentuk tabel. b. Kerapatan Jenis Lamun Menurut Brower et al. (1998), kerapatan spesies lamun adalah jumlah total individu dalam suatu unit area atau : Ki = Ni / A Ki = Kerapatan mutlak spesies ke-i Ni = Jumlah total individu spesies ke-i A = Luas total area pengambilan contoh

17 33 c. Kerapatan Relatif Jenis Lamun Nilai kerapatan relatif lamun diperoleh dari perbandingan kerapatan mutlak spesies ke-i dengan jumlah kerapatan seluruh spesies (Brower et al. 1998). KRi = (Ki / K) KRi Ki ΣK = Kerapatan relatif spesies ke-i = Kerapatan mutlak spesies ke-i = Jumlah kerapatan mutlak seluruh spesies d. Frekuensi Jenis Lamun Frekuensi spesies lamun adalah peluang ditemukannya jenis lamun ke-i dalam suatu petak contoh dan dibandingkan dengan (Brower et al. 1998). Fi = Pi / P Fi = Frekuensi spesies ke-i Pi = Jumlah petak contoh ditemukannya spesies ke-i ΣP = Jumlah total petak contoh yang diamati e. Frekuensi Relatif Jenis Lamun Frekuensi relatif spesies lamun dinyatakan sebagai perbandingan frekuensi spesies ke-i dengan jumlah total frekuensi spesies lamun. FRi = (Fi / F) Fi Pi ΣF = Frekuensi relatif spesies ke-i = Frekuensi spesies ke-i = Jumlah total frekuensi seluruh spesies

18 34 f. Penutupan Jenis Lamun Penutupan spesies lamun diestimasi berdasarkan standar persentase penutupan yang digunakan dalam monitoring lamun oleh Seagrass Watch (Short et al. 2004). Penggunaan standar ini sangat penting untuk menghindari bias karena estimasi didasarkan pada pengamatan visual yang bersifat kualitatif atau semi kuantitatif. Persentase penutupan lamun sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti spesies lamun, kerapatan lamun dan sebaran lamun. Gambar 13 Standar penutupan lamun Seagrass Watch (Short et al. 2004). g. Penutupan Relatif Jenis Lamun Penutupan relatif spesies lamun dinyatakan sebagai perbandingan penutupan spesies ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh spesies lamun. PRi = (Pi / F) Fi = Penutupan relatif spesies ke-i Pi = Penutupan spesies ke-i ΣF = Jumlah total penutupan seluruh spesies h. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai penting (INP) diperoleh dari hasil penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan penutupan relatif dari masing-masing spesies lamun. Indeks ini umumnya dinyatakan sebagai nilai total hasil penjumlahan dalam bentuk persen (%). Indeks Nilai Penting seringkali digunakan untuk menduga peranan spesies ke-i dalam komunitas. Suatu spesies yang memiliki pengaruh atau

19 35 peran yang besar dalam komunitas, umumnya memiliki nilai INP yang tinggi. Sebaliknya, spesies yang kurang menonjol dalam komunitas umumnya memiliki nilai INP yang rendah (Brower et. al. 1998). INPi = Kri + Fri + Pri + Bri Kri = Kerapatan relatif spesies ke-i Fri = Frekuensi relatif spesies ke-i Pri = Penutupan relatif spesies ke-i Bri = Biomassa relatif spesies ke-i i. Biomassa Lamun Biomassa adalah ukuran berat atau bobot tubuh dari individu suatu spesies. Untuk lamun dan organisme makrozoobentos, nilai biomassa ini umumnya diperoleh dari hasil penimbangan suatu sampel atau bagian tubuh telah yang dikeringkan terlebih dahulu hingga beratnya konstan. Pada penelitian ini, bagianbagian lamun di bakar dalam tanur pada suhu 400 ⁰C selama 4 jam sehingga hanya menyisakan bahan organik. Nilai Biomassa dinyatakan dalam gram berat kering bebas abu (Ash Free Dry Weight atau AFDW). j. Indeks Kesamaan Bray-Curtis B = Indeks Kesamaan Bray-Curtis = 1 B B = Dissimilaritas Bray-Curtis Xij = Banyaknya individu spesies ke-i dalam setiap contoh ke j Xik = Banyaknya individu spesies ke-i dalam setiap contoh ke k n = Banyaknya spesies dalam contoh Data populasi lamun beserta distribusi spasialnya akan dianalisis dengan perangkat lunak PRIMERv6 (Clarke dan Gorley 2006). Analisis Multivariate dilakukan dengan transformasi akar kuadrat data menggunakan Indeks Bray- Curtis, sedangkan rata-rata pengelompokan titik sampling dilakukan dengan analisis hierarchical cluster dan non-metric multidimensional scaling (nmds).

20 Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos a. Komposisi Spesies Makrozoobentos Komposisi spesies ditentukan oleh banyaknya jenis makrozoobentos yang ditemukan di lokasi penelitian. Banyaknya spesies dan individu dalam tiap-tiap stasiun dijumlahkan dan disusun dalam bentuk tabel. b. Kepadatan Makrozoobentos Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas atau volume. Pada penelitian ini, kepadatan dinyatakan sebagai jumlah individu per meter persegi dan dirumuskan sebagai berikut: D = a/b D = Kepadatan individu per m 2 a = Jumlah individu makrozoobentos b = Luas area terpal (12 m 2 ). c. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Untuk menghitung nilai keanekaragaman digunakan Indeks Shannon- Wiener yang didasarkan pada Logaritma dasar 2 (Bengen 2000). ( H ) = - Pi log 2 Pi H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/n ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu Menurut Krebs (1985) dalam Magurran (1988), kategori penilaian tingkat keanekaragaman berdasarkan Indeks Shannon-Wiener adalah sebagai berikut: H 2 = Keanekaragaman Rendah 2 < H 3 = Keanekaragaman Sedang H > 3 = Keanekaragaman Tinggi

21 37 d. Indeks Keseragaman Makrozoobentos Keseimbangan penyebaran suatu spesies dalam komunitas dapat diketahui dari Indeks keseragaman (Brower et al. 1998) yang dinyatakan sebagai : ( E ) = H /H Max E = Indeks Keseragaman H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener H Max = Log 2 S S = Jumlah spesies Krebs (1985) menyatakan bahwa kategori penilaian tingkat keseragaman berdasarkan Indeks Keseragaman (E = Equitabilitas) adalah sebagai berikut : 0 < E 0,5 = Komunitas Tertekan 0,5 < E 0,75 = Komunitas Labil 0,75 < E 1 = Komunitas Stabil e. Indeks Dominansi Simpson Dominansi dari suatu spesies dalam komunitas dapat diketahui dari hasil analisis dengan menggunakan Indeks Dominansi Simpson yang dinyatakan sebagai : C = (ni/n) 2 C Ni N = Indeks Dominansi Simpson = Jumlah individu spesies ke-i = Jumlah total individu setiap spesies Kategori penilaian tingkat dominansi berdasarkan Indeks Simpson adalah sebagai berikut (Odum 1983): 0 < C 0,5 = Komunitas Tertekan 0,5 < C 0,75 = Komunitas Labil 0,75 < C 1 = Komunitas Stabil

22 38 f. Korelasi Kerapatan Lamun dengan Kepadatan Makrozoobentos Analisis Korelasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana kekuatan asosiasi atau hubungan linier antara dua variabel, dalam hal ini hubungan linier antara kerapatan lamun dengan kepadatan makrozoobentos. Analisis Korelasi ini tidak menunjukkan hubungan fungsional atau tidak membedakan antara variabel dependen dan variabel independen. Analisis Korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Korelasi Pearson-Product Moment yang dinyatakan sebagai : r = r Xi Yi N = Koefisien Korelasi = Jumlah tegakan lamun = Jumlah individu makrozoobentos = Jumlah data Nilai koefisien r berkisar antara -1 sampai dengan 1 yang menggambarkan beberapa kemungkinan bentuk hubungan antara dua variabel, yaitu (Supranto 1986 dalam Irawan 2003): r = -1, hubungan x dan y sempurna dan negatif r = 0, hubungan x dan y lemah sekali atau tidak ada hubungan r = 1, hubungan x dan y sempurna dan positif Besar kecilnya konstribusi kerapatan lamun (xi) terhadap fluktusi kepadatan makrozoobentos dapat ditentukan melalui Koefisien Determinasi: KD = r 2 KD = Indeks Dominansi Simpson r = Korelasi Pearson Product Moment

23 Sebaran Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun (Habitat) Sebaran karakteristik fisik-kimia dari padang lamun sebagai habitat bagi makrozoobentos, dapat dianalisis melalui suatu statistika multi-variabel yang disebut Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama. Principal Component Analysis (PCA) tergolong statistika deskriptif yang menggambarkan hubungan antara parameter lingkungan (fisik-kimia) dengan habitat (stasiun) dalam bentuk grafik. Matriks data (tabel) terdiri atas dua bagian, yaitu: stasiun penelitian yang ditempatkan sebagai individu statistik dalam bentuk baris dan parameter lingkungan (fisik-kimia) sebagai variabel kuantitatif yang ditempatkan dalam bentuk kolom (Bengen 2000). Data dari parameter fisik dan kimia yang dimasukkan (seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut dan kedalaman), tidak mempunyai unit pengukuran dan skala yang sama sehingga harus dinormalisasi melalui pemusatan dan pereduksian terlebih dahulu. Dengan demikian, hasil dari Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama, lebih bersifat sintetik karena berasal dari kombinasi linier dari nilai-nilai parameter inisial (Ludwig dan Reynolds 1988; Legendre dan Legendre 1998; Bengen 2000). Pemusatan merupakan salah satu proses normalisasi data yang dilakukan dengan mencari selisih antara nilai parameter inisial dengan nilai rata-rata parameter atau dapat dinyatakan sebagai: C ij = ij - i C ij = Nilai pemusatan X ij = Nilai parameter inisial X i = Nilai rata-rata parameter Proses normalisasi data selanjutnya adalah pereduksian yang dilakukan dengan membagi nilai pemusatan dengan nilai simpangan baku dari parameter yang dirumuskan sebagai:

24 40 R ij = C ij - Sd ij R ij C ij = Nilai reduksi = Nilai pemusatan Sd ij = Nilai simpangan baku parameter Pengolahan data yang dilakukan dalam Principle Component Analysis (PCA) pada dasarnya adalah dengan membandingkan jarak Euclidean antara stasiun yang satu dengan yang lain. Jarak Euclidean diperoleh dari kuadrat perbedaan antara stasiun untuk parameter fisika-kimia yang berkoresponden). Menurut Legendre dan Legendre (1998), jarak Euclidean dinyatakan dengan persamaan: (I,I ) = d I,I j = Jarak Euclidean = Dua stasiun pada baris = Parameter fisik-kimia pada kolom yang bervariasi dari 1 hingga p Parameter lingkungan dari dua buah stasiun yang diperbandingkan akan semakin mirip jika keduanya memiliki jarak Euclidean yang berdekatan. Sebaliknya, jika jarak Euclidean semakin besar/jauh, maka parameter lingkungan diantara kedua stasiun akan semakin berbeda pula. Pada penelitian ini, sebaran karakteristik fisik-kimia (parameter lingkungan) dari tiap stasiun akan di analisis dengan menggunakan perangkat lunak Statistica versi 6 (Clarke dan Gorley 2006) Sebaran Spasial Komunitas Makrozoobentos dan Asosiasinya dengan Karakteristik Habitat Sebaran spasial makrozoobentos yang berasosiasi dengan lamun pada tiaptiap stasiun penelitian (stasiun lamun dan kontrol), dapat ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan statistika multi-variabel yang disebut Analisis Korespondensi atau Correspondence Analysis (Ludwig & Reynolds 1988; Legendre & Legendre 1998; Bengen 2000).

25 41 Analisis Korespondensi mengolah suatu matriks data yang terdapat dalam sebuah tabel kontingensi yang menempatkan data spesies (makrozoobentos) sebagai baris (i) dan stasiun penelitian atau karakteristik habitat sebagai kolom (j). Analisis korespondensi bekerja dengan membandingkan jarak Khi-Kuadrat antara tiap-tiap stasiun. Jarak Khi Kuadrat dihitung dengan persamaan: (I,I ) = / d = Jarak Khi-Kuadrat I,I = Dua stasiun pada baris X i = Jumlah baris i untuk semua kolom = Jumlah kolom j untuk semua baris X j Pada penelitian ini, pengolahan data sebaran struktur komunitas Analisis Korespondensi (Correspondence Analysis) dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistica versi 6 (Clarke dan Gorley 2006).

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Pulau Bone Batang memiliki bentuk rataan terumbu yang unik. Sisi barat pulau terdiri dari rataan terumbu yang luas, landai dan dangkal. Rataan terumbu

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 13 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di perairan Pesisir Manokwari Provinsi Papua Barat, pada empat lokasi yaitu Pesisir Perairan Rendani, Wosi, Briosi dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perairan Estuari Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2016 di Muara Sungai Nipah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Nopember 2010. Sampling dilakukan setiap bulan dengan ulangan dua kali setiap bulan. Lokasi sampling

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di perairan pantai Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah dengan tiga stasiun sampling yang ditempatkan sejajar

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 pada 4 lokasi di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei. Penelitian survei yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei. Penelitian survei yaitu 41 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei. Penelitian survei yaitu menelusuri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sistematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.

BAB III METODE PENELITIAN. Sistematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sumber mata air Kuluhan dan alirannya di Desa Jabung Kecamatan Panekkan Kabupaten Magetan. Sumber mata air Kuluhan terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013. Lokasi penelitian adalah Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

II. METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 5 II. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September sampai dengan Bulan November 2013. Lokasi penelitian merupakan tiga pelabuhan yang berada di Kota Dumai

Lebih terperinci

Modul Pelatihan Teknik Analisis Kuantitatif Data *

Modul Pelatihan Teknik Analisis Kuantitatif Data * Modul Pelatihan Teknik Analisis Kuantitatif Data * Hawis H. Madduppa, S.Pi., M.Si. Bagian Hidrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta pada tiga

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu: BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Metode Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian terhadap sejumlah individu yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2013. Lokasi Penelitian adalah Teluk Banten, Banten.Teluk Banten terletak sekitar 175

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BAB III METODE PENELITIAN Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung mulai Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di Desa Ponelo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan, sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman biota laut yang tinggi. Biota laut yang tinggi

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta. Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 11

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta.

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian akan dilakukan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Juli 2015 sampai September 2015 pada saat air surut. Tempat penelitian di zona intertidal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. B.

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan selama lima bulan mulai bulan Maret hingga Juli

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan selama lima bulan mulai bulan Maret hingga Juli METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan selama lima bulan mulai bulan Maret hingga Juli 2001, di sekitar perairan hutan mangrove dan estuaria Teluk Cempi Dompu, Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan metode eksplorasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap makroalga yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Kawasan Perairan Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat Dompak Taivjung Kepulauan Riau yang merupakan daerah pengamatan dan pengambilan sampel (Lan^iran 1).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR PETA... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 bertempat di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN Lani Puspita Dosen Tetap Prodi Pendidikan Biologi UNRIKA Batam Abstrak Makroozoobenthos adalah salah satu

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci