IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kajian Peraturan Pelabelan Produk Pangan IRTP Aspek-aspek peraturan pelabelan yang dikaji adalah aspek yang umumnya dilakukan oleh industri pangan seperti status kewajiban pelabelan pangan, keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan, aspek pencantuman keterangan halal, aspek pencantuman informasi nilai gizi, aspek klaim pada label terutama klaim fungsi pangan sebagai obat, dan aspek pencantuman gambar yang menyesatkan Status kewajiban pelabelan pangan Peraturan pelabelan produk pangan IRTP mengacu pada peraturan pelabelan pangan yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, SK Kepala Badan POM RI No. HK tanggal 4 Desember 2003 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Peraturan lain yang juga dijadikan sumber dalam kajian peraturan pelabelan pangan adalah PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Dalam penelitian ini juga digunakan Pedoman Pelabelan Pangan/Food Labeling yang dikeluarkan oleh CAC (Codex Alimentarius Commission) tahun 2007 sebagai sumber informasi lainnya. Food Labeling merupakan kumpulan peraturan pelabelan yang telah diterbitkan oleh CAC pada tahun-tahun sebelumnya. Masalah pelabelan pangan sudah menjadi isu global sejak lama. CAC sendiri telah menerbitkan sekumpulan peraturan pelabelan diantaranya adalah General Standard for the Labeling of Prepackaged Foods (Codex Stand ), General Standard for The Labeling of Food Additives When Sold as Such (Codex Stan ), General Standard for The Labeling of and Claims for Prepackaged Foods for Special Dietary Uses (Codex Stan ), General Guidelines on Claims (CAC/GL ), Guidelines on Nutrition Labeling (CAC/GL ), Guidelines for Use of Nutrition and Health Claims (CAC/GL ), and General Guidelines for Use of The Term Halal (CAC/GL ). Mengingat pentingnya aspek pelabelan untuk melindungi kesehatan konsumen serta melindungi hak-hak konsumen, maka Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan sekumpulan peraturan perundangan pelabelan seperti yang telah disebutkan di atas.

2 30 Dalam UU Pangan bab IV pasal 30 ayat 1 dan dalam PP Label bab II bagian pertama pasal 2 ayat 1 telah dinyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pangan di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pernyataan tentang wajibnya pelabelan pangan ini berlaku bagi semua pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, baik pangan yang diproduksi oleh industri pangan berskala besar, menengah, maupun kecil atau Industri Rumah Tangga (IRTP). Tujuan dari kewajiban pelabelan ini adalah untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak aman untuk dikonsumsi (Hariyadi P 2008) maupun untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang benar dari produk pangan sesuai yang tertera pada labelnya (UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab III pasal 4 dan Codex Stand ). Selain itu, pelabelan pangan juga dimaksudkan untuk menciptakan iklim perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab (PP No ) Aspek keterangan minimal yang harus tercantum pada label pangan. Kewajiban utama pelabelan yang harus dilakukan oleh produsen pangan adalah pencantuman keterangan minimal pada label. Penjelasan mengenai keterangan minimal berbeda-beda antara UU Pangan, PP Label, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Perbedaan/kesenjangan informasi tentang keterangan minimal dalam peraturan perundangan pelabelan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Pernyataan tentang keterangan minimal pada label dalam sumber peraturan pelabelan pangan di Indonesia No Peraturan Bab/Pasal Isi Peraturan/Keterangan 1 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan 2 PP No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan Bab IV ps. 30:2 Bab II ps. 3:2, ps. 30, ps Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih 3. Nama dan alamat produsen/importer 4. Komposisi/daftar bahan 5. Keterangan halal 6. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa 1. Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih 3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia 4. Nomor pendaftaran (bagi yang wajib mendaftarkan produknya)

3 31 3 SK Kepala Badan POM No. HK tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan Bab I poin 3 5. Komposisi/daftar bahan 6. Keterangan kedaluwarsa 7. Tanggal dan atau kode produksi 1. Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih 3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia 4. Nomor pendaftaran 5. Komposisi/daftar bahan 6. Keterangan kedaluwarsa 7. Tanggal dan atau kode produksi Tabel 7 menunjukkan bahwa antara UU Pangan, PP Pelabelan dan Pedoman Pelabelan Produk Pangan terdapat kesenjangan isi peraturan yang mengatur aspek keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan. UU Pangan mensyaratkan keterangan halal sebagai salah satu keterangan yang harus tercantum pada label pangan, namun PP Pelabelan tidak mensyaratkannya. UU Pangan tidak mensyaratkan nomor pendaftaran dan tanggal/kode produksi sebagai keterangan yang harus tercantum pada label pangan, namun PP Pelabelan mensyaratkannya dengan catatan bahwa nomor pendaftaran baru merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label jika produk pangan yang bersangkutan tergolong dalam produk yang wajib memiliki nomor pendaftaran. Ketentuan mengenai produk pangan yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran diatur dalam PP No. 28 tahun 2004 Bab V pasal 44. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan bab I poin 3 yang menyatakan bahwa nomor pendaftaran dikategorikan sebagai keterangan yang wajib dicantumkan dalam label, tanpa ada penjelasan apakah produk tertentu yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran. Padahal di dalam pendahuluan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, dijelaskan bahwa Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan merupakan pelaksanaan PP Pelabelan. Namun pada kenyataannya terdapat keterangan tentang status pencantuman nomor pendaftaran yang bertentangan dengan PP Pelabelan. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan sebagai produk hukum yang bersifat petunjuk teknis penerapan peraturan pelabelan baik dari UU Pangan maupun PP Pelabelan, seharusnya informasinya tidak bertentangan dengan UU Pangan maupun PP Pelabelan.

4 32 Kesenjangan antara UU Pangan dan PP Pelabelan masih dapat ditolelir mengingat UU Pangan lebih bersifat sebagai payung besar bagi peraturan pelabelan sehingga dapat dianggap bukan merupakan sumber peraturan yang bersifat teknis. Selain itu, UU Pangan sendiri telah menyatakan bahwa jika dipandang perlu, maka pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap wajib dicantumkan pada label atau sebaliknya, melarang keterangan tertentu untuk dicantumkan pada label (Bab IV pasal 30:3). Untuk itu, PP Pelabelan sebagai produk hukum di bawah UU Pangan dapat dijadikan sumber peraturan pelabelan yang lebih relevan. Dengan demikian materi Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan khususnya bab I poin 3 yang menjelaskan tentang keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label perlu dikaji ulang, supaya informasinya tidak bertentangan dengan PP Pelabelan dan PP No. 28 tahun Hal ini diperkuat dengan Bab IV PP Pelabelan tentang ketentuan peralihan yang menyebutkan bahwa semua peraturan perundangan tentang label dan iklan yang telah ada dan bertentangan dengan PP Pelabelan dinyatakan tidak berlaku. Penerapan pencantuman keterangan minimal pada label mengalami kendala ketika kemasan produk pangan sangat kecil sehingga tidak memungkinkan untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal yang dimaksud dalam peraturan. Contoh yang tepat mengenai produk yang demikian adalah permen. Umumnya permen yang berisi 1 pcs per kemasan dengan berat bersih kira-kira 2.8 gr, memiliki kemasan yang ukurannya kecil (kira-kira 5x3 cm). Ukuran kemasan yang kecil ini tidak memungkinkan untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal (6-7 hal) pada kemasannya. Kendala lain dalam penerapan pencantuman keterangan minimal pada label adalah jika produk pangan yang bersangkutan dijual dan dikemas langsung dihadapan konsumen dalam jumlah kecil-kecilan. Walaupun produk ini memenuhi kriteria dikemas dan dijual/diperdagangkan, sehingga menurut PP Label pasal 2 ayat 1 harus melakukan pelabelan, namun hal ini masih sulit dilakukan oleh produsen. Sebagai contoh, produk roti manis yang diproduksi dengan skala kecil dan dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli. Umumnya kemasan yang digunakan untuk produk ini adalah kardus/karton yang sederhana. Dalam kemasan ini, biasanya hanya dicantumkan nama produk, merk dagang, komposisi, dan keterangan halal. Kendala lain dalam penerapan pencantuman keterangan minimal pada label adalah ukuran kemasan yang besar karena produk dijual dalam bentuk curah,

5 33 misalnya seperti gula pasir, tepung terigu, susu bubuk dan lain-lain. Sebetulnya produk-produk ini bisa dilabel pada kemasannya. Namun jika kemasannya tidak memungkinkan, seperti dalam container atau silo, misalnya produk tepung terigu yang biasanya dijual ke pabrik-pabrik pangan berbahan dasar tepung terigu berskala besar. Mempertimbangkan kendala-kendala tersebut, pemerintah Indonesia telah memberikan batasan penerapan kewajiban pelabelan pada produk-produk pangan tertentu. Pemerintah menyatakan bahwa produk pangan yang tidak wajib melakukan pelabelan pangan adalah : 1) pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan minimal yang dimaksud dalam peraturan, 2) pangan yang dijual dan dikemas langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecilkecilan, dan 3) pangan yang dijual dalam jumlah besar/curah yaitu lebih dari 500 kg atau liter per kemasannya (PP Label bab VII pasal 63). Namun demikian produk yang ukuran kemasannya kecil sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 tersebut, tetap harus mencantumkan nama dan alamat produsen. Kebijakan pemerintah lain yang terkait dengan kewajiban pencantuman keterangan minimal adalah dibebaskannya produk pangan yang memiliki masa simpan kurang dari tujuh hari dan atau dimasukkan dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan penelitian, permohonan nomor pendaftaran atau keperluan sendiri, dibebaskan dari pendaftaran produk (PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan bab V pasal 44 th 2004). Bab VII pasal 53 tentang ketentuan peralihan menjelaskan bahwa dengan berlakunya PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 2004, maka semua ketentuan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundangan di bawah Undang-Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Penjelasan ini merevisi pernyataan keterangan minimal yang wajib dicantumkan dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan th 1999 yang diantaranya menyebutkan bahwa keterangan nomor pendaftaran harus dicantumkan dalam label. Padahal menurut PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan terdapat produk pangan, termasuk produk IRTP, yang boleh tidak memiliki nomor pendaftaran. Seharusnya produk yang tidak memiliki nomor pendaftaran seperti yang dimaksud dalam PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran karena memang tidak memiliki.

6 Pencantuman keterangan alergen pangan Penetapan keterangan minimal pada label pangan di Indonesia mengacu pada peraturan global seperti dalam General Standard for the Labeling of Prepackaged Foods (Codex Stand ). Dalam pedoman pelabelan pangan yang dipublikasikan oleh CAC tersebut disebutkan bahwa yang tergolong dalam keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label adalah : 1) nama produk, 2) komposisi, 3) isi bersih, 4) nama dan alamat produsen/importer, 5) negara asal, 6) keterangan lot sebagai riwayat produksi, 7) tanggal kedaluarsa dan instruksi penyimpanan, 8) petunjuk penggunaan jika perlu. Dalam pedoman pelabelan global tersebut dijelaskan bahwa untuk produk pangan yang mengandung alergen pangan, maka harus dijelaskan pada kemasannya tepatnya di bagian komposisi, bahwa produk pangan yang bersangkutan mengandung alergen pangan tertentu. Alergen pangan yang dimaksud adalah gluten, kerang dan hasil olahnya, telur dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, kacang tanah, kacang kedelai dan hasil olahnya, susu dan hasil olahnya, biji-bijian (pala, kelapa dsb), sulfite dalam konsentrasi lebih dari 10 mg/kg atau lebih. Jika dibandingkan dengan pedoman pelabelan pangan terkemas (CAC 1985), peraturan pelabelan di Indonesia menambahkan keterangan nomor pendaftaran sebagai salah satu keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label, khusus bagi produk pangan yang tergolong wajib memiliki nomor pendaftaran (PP Label 1969 ps. 30). Sedangkan masalah alergen pangan yang harus dinyatakan dengan jelas dalam label, tidak mendapatkan perhatian. Hal ini mungkin dikarenakan masalah alergen pangan di Indonesia belum banyak data yang mengungkapkan tentang terjadinya kasus keracunan pangan akibat mengkonsumsi alergen pangan. Sebenarnya hal ini harus diberikan perhatian oleh pemerintah Indonesia, karena di negara maju seperti Amerika Serikat, pelabelan alergen pangan sudah dituangkan dalam Undang-Undang Pelabelan Alergen dan Perlindungan Konsumen (Food Allergen Labeling and Consumer Protection Act) pada tahun Dalam era perdagangan global saat ini, produsen pangan harus mengetahui dan sebisa mungkin memenuhi persyaratan pelabelan, khususnya alergen pangan. Jika tidak, akan dijumpai penolakan produk pangan asal Indonesia yang diekspor ke negara yang memiliki aturan pelabelan alergen pangan, seperti Amerika Serikat, karena pelabelan pangannya tidak memenuhi persyaratan pelabelan alergen. Menurut data FDA yang dicatatkan melalui sistem Oasis (Operational and Administratif System for Import Support, dalam Hariyadi P 2008) pada bulan Mei, Juni, Juli 2008

7 35 berturut-turut terjadi pelonjakan kasus penolakan produk pangan asal Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan pelabelan alergen pangan. Bulan Mei terjadi 6 kasus penolakan (karena label yang salah) dari total 50 kasus penolakan, bulan Juni terjadi 8 kasus dari total 43 kasus penolakan, dan bulan Juli terjadi 5 kasus dari 41 kasus penolakan. Kasus penolakan ini dapat dihindari jika pemerintah Indonesia juga setidaknya mencantumkan pernyataan kewajiban pencantuman alergen pangan pada peraturan pelabelan pangan. Jika perlu, dapat diterbitkan Pedoman Pelabelan Alergen Pangan sehingga dapat menjadi sumber informasi yang dapat mengikat bagi produsen pangan. Selain itu, dalam rangka mendapatkan data yang akurat tentang kejadian keracunan pangan akibat alergen pangan, maka pemerintah dapat melakukan program surveilan terhadap masalah ini Pencantuman keterangan halal Pencantuman keterangan halal pada label pangan telah diatur dalam peraturan perundangan tentang pelabelan pangan, baik UU Pangan, PP Pelabelan Pangan, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Isi peraturan pencantuman keterangan halal dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Pencantuman keterangan halal pada beberapa sumber peraturan No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/keterangan Bab IV ps. 30:2 1 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan 2 PP No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan Bab IV ps. 34:1 Bab II ps. 10:1 Bab II ps 11: 1,2,3 Penjelasan ps 10:1 Keterangan halal merupakan salah satu keterangan yang harus dicantumkan pada label. Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut Pencantuman keterangan halal harus dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya Keterangan halal harus didukung dengan pernyataan halal oleh lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi oleh KAN Pencantuman keterangan halal pada label merupakan kewajiban apabila produsen menyatakan produknya halal bagi umat

8 36 No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/keterangan Islam Penjelasan ps 11:1,2 Pencantuman keterangan halal bersifat sukarela. Lembaga pemeriksa kehalalan yang dimaksud dalam pasl 11 adalah 3 SK Kepala Badan POM No. HK tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan Bab XII poin 7 Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Definisi halal 2. Keterangan halal boleh dicantumkan pada label pangan jika bahan atau pangan tidak mengandung bahan yang diharamkan dan proses menurut cara yang halal 3. Syarat pencantuman halal adalah jika telah mengikuti prosedur sertifikasi halal dan memperoleh izin pencantuman halal dari Badan POM Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan sifat pencantuman keterangan halal pada label pangan. UU Pangan menyatakan keterangan halal merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label pangan. Namun PP Pelabelan menyatakan bahwa pencantuman keterangan halal bersifat sukarela. Kesenjangan informasi pada dua sumber peraturan pelabelan ini dapat membingungkan pada tingkat pelaksanaannya. Namun demikian terdapat kesamaan diantara peraturan perundangan pelabelan tentang aspek halal, diantaranya semua sumber peraturan menyebutkan bahwa pencantuman keterangan halal harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan lebih memerinci lagi persyaratan pencantuman keterangan halal dengan mensyaratkan izin pencantuman halal dari Badan POM RI. Pengaruh kesenjangan peraturan pencantuman halal pada dua peraturan perundangan ini (UU Pangan dan PP Pelabelan) dapat diminimalisasi dengan melihat lebih jauh terhadap PP Pelabelan Bab VI tentang ketentuan peralihan. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa sejak mulai diberlakukannya PP Pelabelan maka semua peraturan perundang-undangan tentang label dan iklan yang telah ada dan bertentangan dengan PP Pelabelan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu dalam UU Pangan Bab IV pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap perlu untuk diwajibkan atau dilarang dicantumkan pada label pangan. Keterangan ini dapat dijadikan sebagai dasar bahwa ketentuan pencantuman halal yang lebih relevan adalah PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status

9 37 pencantuman keterangan halal adalah sukarela. Pencantuman keterangan halal baru dianggap wajib jika produsen IRTP menyatakan produknya halal bagi umat muslim. Pencantuman keterangan halal pada label harus disertai dengan sertifikasi halal oleh MUI, yang dilakukan bersama-sama dengan Badan POM dan Departemen Agama. Selain itu, pencantuman keterangan halal pada label harus disertai izin pencantuman halal dari Badan POM. Kewenangan Badan POM memberikan izin pencantuman keterangan halal pada label terkait dengan pengawasan label pangan. Produk pangan IRTP yang tersebar di kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga harus tunduk pada peraturan yang mengatur pencantuman keterangan halal pada label. MUI memiliki kantor cabang di ibu kota propinsi di seluruh Indonesia sehingga lebih memudahkan dan lebih mengefesiensikan biaya sertifikasi. Begitu juga dengan Badan POM dan Departemen Agama, memiliki kantor cabang di ibu kota propinsi di seluruh Indonesia. Sertifikat halal yang diterbitkan oleh MUI dapat dicabut jika produk pangan yang bersangkutan terbukti tidak halal lagi atau jika masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang lagi. Perpanjangan masa berlakunya sertifikat MUI disertai dengan audit surveilan oleh auditor LPPOM-MUI, Badan POM, dan Departemen Agama. Sistem sertifikasi dan surveilan jaminan halal ini bermanfaat bagi umat muslim sebagai konsumen produk pangan yang bersangkutan. Pernyataan halal yang tanpa disertai sertifikasi halal akan membuka peluang terjadinya penipuan (deceptive). Hal ini bertentangan dengan prinsip umum pelabelan pangan (Codex Stan ). Selain itu sertifikasi halal akan memberikan kepastian/jaminan halal bagi konsumen muslim karena audit dalam rangka sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang berkompeten di bidang kehalalan (MUI), di bidang Cara Produksi Pangan Yang Baik (Badan POM), dan persyaratan dasar halal (Departemen Agama). Hal ini sesuai dengan prinsip produksi pangan yang halal yaitu halalan toyyiban (Apriyantono et al. 2007). Selain sertifikasi didukung oleh pakar yang berkompeten, juga didukung dengan fasilitas laboratorium yang handal/terakreditasi oleh KAN, baik laboratorium pemerintah (Badan POM) maupun laboratorium swasta (LPPOM-MUI). Namun demikian sertifikasi halal juga memerlukan biaya. Besarnya biaya ditetapkan oleh MUI. Untuk sertifikasi halal produk IRTP, besarnya biaya ditentukan oleh jarak antara kantor LPPOM MUI dengan lokasi IRTP. Semakin jauh lokasi IRTP dengan kantor LPOM MUI maka biaya sertifikasi akan semakin mahal. Hal ini dapat menyebabkan produsen IRTP tidak mencantumkan keterangan halal atau tidak

10 38 mencantumkan keterangan halal sesuai peraturan. Sebaiknya pemerintah yang berkompeten di bidang halal, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, menyediakan biaya sertifikasi bagi IRTP sehingga produsen IRTP dapat mencantumkan keterangan halal pada labelnya. Bentuk pembiayaan dapat berupa subsidi, pinjaman lunak atau gratifikasi. Hal ini juga merupakan penerapan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota pasal 7 ayat 2 yang menyebutkan bahwa urusan wajib pemerintah yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota diantaranya adalah urusan kesehatan/pangan Pencantuman informasi nilai gizi Pencantuman informasi nilai gizi pada label telah diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. UU Pangan tidak mengatur pencantuman informasi nilai gizi pada label. Peraturan lain yang mengatur lebih jauh tentang tata cara pencantuman informasi nilai gizi adalah SK Kepala Badan No. HK tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label. Isi peraturan pencantuman informasi nilai gizi pada label dari beberapa sumber peraturan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Ketentuan pencantuman informasi nilai gizi pada label dalam beberapa sumber peraturan No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/keterangan 1 UU No. 7 tahun 1996 tentang - - Pangan 2 PP No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan Bab II, ps.32:1 Pasal 32 : 2 Pencantuman keterangan tentang kandungan gizi pada label wajib dilakukan bagi pangan yang menyatakan bahwa pangan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi lain yang ditambahkan. Pencantuman kandungan gizi juga wajib bagi pangan yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundangan, wajib ditambahkan vitamin, mineral dan atu zat gizi lainnya. Keterangan kandungan gizi pangan dicantumkan dengan urutan jumlah keseluruhan energi, jumlah keseluruhan lemak, lemak jenuh, kolesterol, jumlah keseluruhan karbohidrat, serat, gula, protein, vitamin dan mineral.

11 39 No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/keterangan Pasal 32 : 3 Informasi kandungan gizi wajib memuat: 1. Ukuran takaran saji 2. Jumlah sajian per kemasan 3. Kandungan energi per takaran saji 4. Kandungan protein per sajian (dalam gram) 5. Kandungan karbohidrat per sajian (dlm gram) 6. Kandungan lemak per sajian dlm gram) 7. Persentase dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan 3 SK Kepala Badan POM No. HK Bab XI 1. Suatu pangan dikatakan bergizi jika mengandung lebih dari tiga zat gizi masing-masing dalam jumlah lebih dari 10 % AKG tentang Pedoman 2. Produk yang wajib mencantumkan nilai gizi : idem PP Pelabelan Umum Pelabelan Produk Pangan 3. Kandungan zat gizi yang perlu dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan 4. Informasi yang harus dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan 5. Bentuk tabel dan tata cara penyusunan informasi nilai gizi : vertikal, linear, 4 SK Kepala Badan No. HK tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label horisontal. Bab Produk yang wajib mencantumkan nilai gizi : idem PP Pelabelan 2. Kandungan zat gizi yang perlu dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan 3. Informasi yang harus dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan 4. Hal-hal lainnya (format penulisan, informasi lain yang dapat dicantumkan, kandungan gizi susu formula) Tabel 9 menunjukkan bahwa peraturan pencantuman informasi nilai gizi telah diatur dengan baik di PP Pelabelan, Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, dan Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan. Informasi dalam sumber peraturan pencantuman informasi nilai gizi saling mendukung antara sumber peraturan yang satu dengan yang lainnya. Pencantuman informasi nilai gizi bagi produk IRTP tidak merupakan kewajiban, namun demikian jika mencantumkan

12 40 informasi nilai gizi maka harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu tata cara pencantuman informasi nilai gizi harus mengikuti peraturan yang ada yaitu PP Pelabelan Pangan, Pedoman Umum Pencantuman Produk Pangan, dan Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label. Dewasa ini pencantuman informasi nilai gizi pada label semakin banyak dillakukan oleh industri pangan baik industri besar, menengah, maupun kecil/irtp. Walaupun bukan merupakan kewajiban, namun pencantuman informasi nilai gizi seolah-olah menjadi sebuah trend/kecenderungan baru di kalangan industri pangan. Produk pangan yang disertai informasi nilai gizi pada kemasannya seolah-olah memiliki mutu yang lebih baik. Pencantuman informasi nilai gizi harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pengawasan terhadap pencantuman informasi nilai gizi pada label, khususnya produk IRTP, harus dilakukan dengan serius agar tercipta iklim perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab (PP Label 1999). Selain itu juga agar hak konsumen untuk mendapatkan produk pangan yang sesuai dengan keterangan pada label dapat dipenuhi (UU Perlindungan Konsumen). Selama ini, pengawasan terhadap label IRTP khususnya tentang pencantuman informasi nilai gizi dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan) sesuai SK Kepala Badan POM Nomor HK tanggal 30 April 2003, tentang Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP- IRT). Namun petugas yang berkompeten di bidang pengawasan pangan, termasuk pelabelan pangan, tidak mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mengawasi pencantuman informasi nilai gizi yang benar. Hal ini tercermin dari materi pelabelan yang diperoleh petugas saat mengikuti pelatihan Training of Trainer District Food Inspector maupun Penyuluh Keamanan Pangan. Sebaiknya pemerintah dalam hal ini Badan POM memberikan pelatihan penilaian label, khususnya tentang pencantuman informasi nilai gizi sehingga petugas pengawas pangan di kabupaten/kota mampu mengawasi pencantuman informasi nilai gizi pada label produk IRTP. Tersedianya petugas pengawas pangan yang berkompeten akan mendorong praktek pelabelan IRTP termasuk pencantuman informasi nilai gizi secara benar. Praktek pelabelan IRTP yang benar merupakan indikator keberhasilan pemerintah dalam menjalankan amanat UU Pangan dan peraturan perundangan pelabelan lainnya.

13 Klaim pangan berfungsi sebagai obat Semua sumber peraturan pelabelan dengan tegas melarang klaim yang menyatakan pangan dapat berfungsi sebagai obat. Fungsi pangan diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dalam masa pertumbuhan maupun dalam masa penggantian sel-sel tubuh yang rusak. Fungsi ini berbeda dengan fungsi obat, dimana fungsi obat yang utama adalah menghilangkan penyebab suatu penyakit. Cara kerja obat berbeda dengan mekanisme pencernaan makanan dalam tubuh. Oleh karena itu, dalam semua peraturan pelabelan melarang adanya klaim yang menyatakan pangan tertentu dapat berfungsi sebagamana fungsi obat seperti misalnya menngobati penyakit tekanan darah tinggi, stroke, kanker, diabetes mellitus dan jenis penyakit degeneratif lainnya. Saat ini memang berkembang produk pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di luar manfaat yg diberikan oleh za-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Produk pangan ini dikenal dengan kelompok pangan fungsional (ILSI 1996). Produk pangan fungsional berkembang karena semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pangan. Faktor lain yang turut memacu perkembangan pangan fungsional adalah berkembangnya gaya hidup sehat. Semakin banyak masyarakat yang sadar akan kesehatan, lebih baik mencegah penyakit dari pada mengobati. Contoh produk pangan fungsional adalah jus wortelnanas yang kaya akan betakaroten yang ampuh untuk mencegah terjadinya sel-sel kanker (Zakaria et al. 2006). Contoh lainnya adalah sari temulawak. Sari temulawak yang dibuat dari temulawak berimpang warna tua diketahui banyak mengandung curcumin yang berkhasiat sebagai antioksidan, antiflamasi, dan anti tumor. Selain itu temulawak juga berkhasiat untuk menghilangkan rasa nyeri dan rasa sakit karena kanker. Sari/ekstrak temulawak sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit hati, termasuk hepatitis B yang menjadi salah satu faktor risiko timbulnya kanker hati (Zakaria et al. 2006). Produk pangan IRTP lain yang tergolong pangan fungsional diantaranya adalah jahe instant. Secara ilmiah jahe telah diteliti mampu menaikkan aktifitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam mematikan targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus. Produk jahe instant dapat diklaim sebagai minuman pencegah tumor (Zakaria et al. 2006). Namun demikian pangan fungsional adalah tergolong pangan, bukan obat. Pangan fungsional harus disajikan dan dikonsumsi layaknya makanan atau minuman yang dapat dikonsumsi sehari-hari (Surat Keputusan Kepala Badan POM Nomor :

14 42 HK tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional). Pangan fungsional juga harus memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen. Jadi pangan fungsional berfungsi sebatas mencegah terjadinya penyakit tertentu. Hal ini berbeda dengan obat yang berfungsi untuk mengobati penyakit. Pelarangan klaim khasiat pangan sebagai obat bertujuan untuk mencegah terjadinya salah pengertian (misleading) konsumen dalam mengkonsumsi pangan yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan prinsip umum pelabelan pangan yang diatur dalam Codex Stan Produk pangan IRTP dapat saja termasuk dalam golongan pangan yang mengklaim berfungsi sebagai obat, misalnya jahe instant yang umumnya diklaim dapat mengobati sakit batuk, masuk angin, mual-mual (gangguan pencernaan) dan sebagainya (Zakaria et al. 2006). Produk pangan IRTP lainnya yang biasanya diklaim dapat mengobati penyakit tertentu adalah kelopak bunga rosela. Produk ini identik dengan fungsinya untuk mengobati kanker, tumor, mengatasi lemah syahwat, mengurangi panas dalam, mengatasi susah BAB, menyembuhkan sariawan, menyembuhkan penyakit hipertensi dan lain-lain. Pengawasan terhadap praktek klaim pangan sebagai obat harus dilakukan oleh pemerintah. Pengawasan terhadap produk IRTP dilakukan oleh pemerintah daerah (dinas kesehatan). Pemerintah (Badan POM) harus memfasilitasi kepada petugas pengawas pangan di kabupaten kota agar memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup dalam mengawasi praktek pelabelan, khususnya pencantuman klaim khasiat pangan sebagai obat. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi petugas pengawas pangan kabupaten kota, pemerintah (Badan POM) dapat menyelenggarakan pelatihan dan bimbingan teknis tentang pengawasan pelabelan pangan Pencantuman gambar yang menyesatkan. Pencantuman gambar yang menyesatkan telah dinyatakan dilarang dalam semua sumber peraturan pelabelan. Yang dimaksud dengan gambar yang menyesatkan adalah ketidakcocokan antara ilustrasi gambar pada label/kemasan dengan isi produk pangan yang sesungguhnya. Produk IRTP yang bisa dijadikan contoh misalnya produk yangko. Yangko merupakan makanan khas kota gede Yogyakarta. Yangko terbuat dari beras ketan sebagai bahan baku utama selain gula pasir, flavor, pewarna sintetis makanan. Namun pada kemasannya dicantumkan gambar/foto buah-buahan

15 43 yang seolah-olah memberikan kesan bahwa yangko tersebut mengandung buahbuahan alami. Padahal kenyataanya hanya menggunakan flavor dan pewarna makanan, misalnya flavor durian, flavor strawberry, flavor coklat dan lain-lain. Pencantuman gambar buah-buahan pada produk yangko tersebut dapat diartikan menipu konsumen (deceptive). Hal ini melanggar prinsip dasar pelabelan dalam Codex Stan Kajian Materi Penyuluhan IRTP Materi penyuluhan IRTP yang dikaji terdiri atas materi pelabelan pangan dan materi sanitasi. Materi penyuluhan IRTP tentang pelabelan berupa modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan beserta hand out power point presentation. Sedangkan materi penyuluhan IRTP tentang sanitasi adalah modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan. Muatan materi pelabelan dalam modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan dapat dilihat pada Tabel 10. Sedangkan muatan materi pelabelan dalam hand out power point presentation pelabelan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10 Muatan materi pelabelan dalam modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan No Aspek Materi penyuluhan Keterangan 1 Keterangan 1. Nama produk minimal 2. Berat bersih/isi bersih yang harus 3. Nama dan alamat pihak tercantum yang memproduksi atau pada label memasukkan pangan ke wilayah Indonesia 4. Komposisi/daftar bahan 5. Keterangan kedaluwarsa 6. Keterangan halal 2 3 Aspek pencantuman keterangan halal Aspek pencantuman informasi Keterangan halal dinyatakan wajib dicantumkan pada label pangan. Keterangan halal harus dapat dipertanggungjawabkan. - Keterangan minimal dalam hand out power point presentation memuat hal-hal seperti dalam PP Pelabelan kecuali Kode/Tanggal Produksi. Namun keterangan halal dan nomor pendaftaranjustru digolongkan dalam keterangan minimal. Materi penyuluhan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang persyaratan pencantuman halal sebagaimana diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan Tidak menjelaskan aturan pencantuman informasi nilai

16 44 No Aspek Materi penyuluhan Keterangan nilai gizi gizi pada label 4 Aspek klaim yang menyatakan pangan berfungsi sebagai obat - Tidak menjelaskan klaim seperti yang diatur dalam PP Pelabelan 5 6 Aspek pencantuman gambar yang menyesatkan Aspek lainnya Hanya disebutkan bahwa keterangan dalam label tidak boleh mengecoh a. Fungsi label b. Kewajiban pelabelan bagi pangan yang dikemas dan diperdagangkan c. Pelarangan mengganti keterangan kedaluwarsa d. Pidana pelanggar pelabelan e. Keterangan kedaluwarsa Tidak menjelaskan lebih detil seperti yang dijelaskan dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Aspek lain pelabelan yang diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan tidak dimuat dalam materi penyuluhan IRTP Perbandingan lebih lengkap muatan materi pelabelan antara materi penyuluhan dengan beberapa sumber peraturan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa muatan materi pelabelan dalam materi penyuluhan sangat kurang jika dibandingkan dengan materi pelabelan dalam peraturan perundangan pelabelan. Materi pelabelan dalam materi penyuluhan IRTP hanya memuat 4 hal (14.8 %) dari 27 hal yang diatur dalam peraturan pelabelan. Kurangnya muatan materi pelabelan dalam materi penyuluhan IRTP dapat mempengaruhi pengetahuan produsen IRTP yang mengikuti penyuluhan tersebut. Pada akhirnya kurangnya pengetahuan produsen IRTP akan berpengaruh terhadap pelabelan yang dilakukan oleh produsen IRTP. Seharusnya materi penyuluhan tentang pelabelan lebih dilengkapi dengan aspekaspek yang umumnya dilakukan dalam pelabelan pangan seperti aspek pencantuman halal, aspek pencantuman informasi nilai gizi, aspek pencantuman klaim pada label (klaim kesehatan, klaim alami, klaim asli, klaim kaya akan zat gizi tertentu dll), klaim khasiat sebagai obat, dan klaim tanpa Bahan Tambahan Pangan (BTP) tertentu.

17 46

18 47 Namun demikian, tidak semua aspek pelabelan dalam PP Pelabelan Pangan sesuai dengan kondisi IRTP. Sebagai contoh, aspek pencantuman informasi nilai gizi produk susu formula bayi, pencantuman keterangan tentang iradiasi pangan, pencantuman keterangan tentang rekayasa genetik da n lain-lain. Aspek-aspek tersebut tidak sesuai dengan produk pangan IRT yang dibatasi hanya produk-produ pangan yang tidak memiliki risiko tinggi (PP No. 28 tahun 2004, pasal 43 ayat 4). Oleh karena itu perlu dipikirkan perlunya pedoman pelabelan khusus mengatur tentang pelabelan pangan IRTP. Dalam pedoman ini harus memuat dengan tegas persyaratan pelabelan bagi IRTP dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh produsen IRTP. Selain itu dalam pedoman ini sebaiknya memuat contoh-contoh dalam bentuk gambar yang menarik agar lebih mudah dipahami oleh petugas penilai label kabupaten/kota maupun oleh produsen IRTP. Kajian terhadap modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan menunjukkan bahwa cakupan materi pada modul ini sudah cukup lengkap. Perbandingan cakupan materi sanitasi pada modul higiene dan sanitasi dengan cakupan materi sanitasi dari Code of Practice General Principles of Food Hygiene, CAC/RCP1-1969, Rev. 4 (2003) dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Perbandingan cakupan materi sanitasi antara modul higiene dan sanitasi dengan Code of Practice Food Hygiene Modul higiene dan sanitasi CAC/RCP rev Sanitasi pengolahan pangan 2. Sanitasi pekerja 3. Sanitasi peralatan 4. Sanitasi air 5. Sanitasi hama dan lingkungan 6. Penanganan limbah 1. Sanitasi pengolahan pangan (termasuk sanitasi air) 2. Disain dan fasilitas bangunan dan peralatan 3. Sanitasi lingkungan 4. Sanitasi pekerja 5. Sanitasi peralatan dan pemeliharaan (termasuk sanitasi hama) 6. Sanitasi transportasi Tabel 12 menunjukkan bahwa cakupan materi sanitasi dalam modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan sudah sesuai dengan cakupan materi sanitasi yang termuat dalam CAC/RCP revisi 4 tahun Untuk melihat lebih jauh muatan materi sanitasi dalam modul higiene sanitasi pengolahan pangan, maka dilakukan identifikasi terhadap muatan materi sanitasi apakah sudah memuat teori dan petunjuk praktis yang memudahkan pemilik IRTP untuk mempraktekkan kegiatan sanitasi. Hasil

19 48 identifikasi terhadap muatan materi sanitasi dalam modul higiene dan sanitasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil identifikasi terhadap muatan materi sanitasi dalam Modul Higiene dan Sanitasi Pengolahan Pangan No Aspek Sanitasi Teori Petunjuk praktis 1 Sanitasi pengolahan pangan a. Pengukuran suhu pemasakan selama pengolahan pangan b. Metode pemasakan dan aspek keamanan (pressure cooker, pendidihan, oven, penggorengan dalam minyak, pemanggangan, pemasakan, makanan beku, mempertahankan suhu tinggi, pemasakan kembali) 2 Sanitasi pekerja a. Kesehatan pekerja b. Kebersihan tangan c. Perlengkapan pekerja d. Tata tertib umum dan kebiasaan lain 3 Sanitasi peralatan a. Pembersihan dan sanitasi peralatan b. Metode pembersihan dan sanitasi peralatan (alatalat besar,alat-alat kecil,tangan pekerja,lingkungan) 4 Sanitasi air a. Air untuk pembersihan dan sanitasi b. Sumber air dan penanganannya 5 Sanitasi hama dan lingkungan a. Cara-cara pengawasan hama tikus b. Cara-cara pengawasan hama

20 Pengetahuan Responden Terhadap Pelabelan dan Sanitasi Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diwawancarai di Propinsi DI Yogyakarta meliputi : (1) Tingkat pendidikan, (2) Jabatan, (3) Jenis pangan yang diproduksi, (4) Jumlah karyawan, dan (5) Jenis Nomor Izin Edar (NIE)/nomor pendataran. Data karakteristik responden dapat dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan form kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang pengetahuan responden dapat dilihat pada Lampiran 2. Responden yang diwawancarai diutamakan pemilik IRTP. Namun jika pemilik IRTP tidak dapat diwawancarai, maka responden dapat diwakili oleh karyawan IRTP yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya proses produksi. Pemilik/karyawan yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya proses produksi dianggap memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada karyawan lain, karena biasanya pemilik/karyawan yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya produksi tersebut merupakan wakil IRTP dalam Penyuluhan Keamanan Pangan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau programm pembinaan sejenis lainnya Tingkat pendidikan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (46.0%) responden memiliki tingkat pendidikan SLTA. Selanjutnya secara berturut-turut tingkat pendidikan responden adalah SLTP (27.3%), SD (14.9%), S1 (6.8%), Diploma (3.7%) dan sisanya (1.2%) tidak diketahui tingkat pendidikannya.

21 50 Diploma 3,7% S1 6,8% Tidak diketahui 1,2% SD 14,9% SLTP 27,3% SLTA 46,0% n = 161 Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikannya. Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Propinsi Di Yogyakarta, maka proporsi jumlah responden (IRTP) berdasarkan tingkat pendidikan tersebut merupakan cermin tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Propinsi DI Yogyakarta. Data kependudukan BPS DI Yogyakarta, Pebruari 2007 menunjukkan bahwa dari penduduk usia kerja, tingkat pendidikannya didominasi oleh SLTA sebanyak 28.4%, selanjutnya SD 27.8%, SLTP 15.8%, tidak sekolah 15.0%, universitas (minimal S1) 8.0% dan diploma 4.9%. Proporsi tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Propinsi DI Yogyakarta ini cenderung sama dengan tingkat pendidikan responden (IRTP). Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) diantaranya ditentukan oleh kualitas pendidikan. Semakin baik kualitas pendidikan seseorang, maka semakin baik kualitas kerja seseorang tersebut. Kualitas pendidikan seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas materi pendidikan yang diperolehnya. Sedangkan kualitas dan kuantitas pendidikan dapat diukur dari tingkat pendidikan. Kualitas dan kuantitas pendidikan di tingkat SD tentu tidak sebaik di tingkat SMP dan seterusnya pada level yang lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan bahwa mutu SDM suatu negara ditentukan salah satunya oleh tingkat pendidikan SDM di suatu negara tersebut. Kenyataan sehari-hari yang dapat dijadikan contoh tentang hal tersebut adalah seleksi karyawan di perusahaan swasta maupun instansi pemerintah yang selalu

22 51 berusaha mencari SDM dengan kualitas lebih baik. Biasanya perusahaan/instansi pemerintah tersebut menetapkan syarat dasar diantaranya adalah tingkat pendidikan dan nilai kelulusan/indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Memang syarat tingkat pendidikan ini, tergantung dari kebutuhan tenaga kerja di tiap-tiap perusahaan/instansi pemerintah. Perbedaan tanggungjawab dan beban kerja/job description membutuhkan SDM dengan tingkat pendidikan yang berbeda juga. Namun seiring dengan tuntutan jaman dan ketatnya iklim kompetisi kerja, beban pekerjaan yang tadinya dianggap ringan dan pantas dikerjakan oleh SDM dengan tingkat pendidikan SLTA saja misalnya, sekarang sudah membutuhkan SDM dengan tingkat pendidikan sarjana atau diploma. Sarjana atau diploma dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengerjakan pekerjaan yang sama tersebut dibanding SDM dengan pendidikan SLTA. Pada akhirnya diharapkan peningkatan kualitas hasil kerja SDM, turut mempengaruhi kinerja perusahaan/instansi pemerintah. Kecenderungan ini terjadi juga di IRTP. Dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan suatu penduduk usia kerja, maka semakin banyak dijumpai pemilik IRTP yang berpendidikan sarjana/diploma. Peningkatan tingkat pendidikan pemilik IRTP diharapkan semakin meningkatkan kinerja IRTP. Namun demikian, pengalaman seseorang juga menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas kinerja seseorang. SDM yang memiliki tingkat pendidikan rendah namun memiliki pengetahuan yang baik yang diperoleh dari pengalaman kerjanya, maka kualitas kerjanya juga turut baik. Idealnya memang tingkat pendidikannya tinggi dan berlatar belakang memiliki kompetensi di bidang pangan serta memiliki pengalaman yang mendukung. Namun hal ini berbeda dengan kenyataan di lapang. IRTP dituntut untuk menghasilkan pangan yang aman, bermutu, dan layak untuk dikonsumsi (Rahayu et al. 2003). Untuk menghasilkan pangan yang aman, bermutu, dan layak dikonsumsi, diperlukan beberapa persyaratan minimal di dalam proses produksinya yang harus diketahui, dipahami dan diterapkan oleh pemilik IRTP. Pengetahuan tentang persyaratan minimal tersebut dapat diperoleh pemilik IRTP lewat program penyuluhan dalam rangka SPP-IRT. Namun tingkat pemahaman dan penerapannya berbeda-beda antar IRTP. Hal ini dapat/mungkin dipengaruhi diantaranya oleh pengalaman, keahlian, daya tangkap, kemauan/sikap/attitude dan komitmen yang dimiliki oleh pemilik IRTP. Kualitas pendidikan yang baik dipercaya dapat menghasilkan SDM dengan daya tangkap/nalar, sikap, dan komitmen yang baik.

23 52 Oleh karena itu, tingkat pendidikan SDM dipercaya dapat meningkatkan keamanan dan mutu pangan IRTP Jabatan Karakteristik responden lainnya yang diamati adalah jabatan yang dimiliki responden di IRTP yang bersangkutan. Sebanyak 83.9% responden IRTP yang diwawancarai adalah menjabat sebagai pemilik IRTP yang bersangkutan. Sedangkan responden yang menjabat sebagai karyawan/penanggungjawab adalah sebesar 16.1%. Proporsi jumlah responden berdasarkan jabatannya tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Penanggung Jawab/karyawan 16% Pemilik 83,9% n=161 Gambar 4 Proporsi jumlah responden berdasarkan jabatannya. Data tingkat pengetahuan responden dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara. Benar atau tidaknya jawaban yang diberikan oleh responden tergantung dari penguasaannya terhadap masalah pangan yang diproduksi. Diantaranya adalah masalah pelabelan dan sanitasi. Dua masalah ini menjadi bagian sehari-hari dalam kegiatan produksi pangan IRTP. Pemilik IRTP sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kegiatan produksi pangan IRTP, dianggap lebih menguasai terhadap masalah pelabelan dan sanitasi dibanding karyawannya. Hal ini dikarenakan umumnya pemilik IRTPlah yang mewakili IRTP dalam mengikuti

24 53 penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT. Sedangkan pengetahuan tentang pelabelan dan sanitasi diperoleh lewat penyuluhan tersebut, sehingga pemilik IRTP dianggap lebih menguasai masalah pelabelan dan sanitasi daripada karyawannya. Namun demikian, jika pemilik tidak dapat mengikuti penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT karena alasan tertentu maka biasanya pemilik IRTP menunjuk satu karyawannya yang dianggap paling menguasai terhadap kegiatan produksi pangan IRTP untuk menjadi peserta penyuluhan tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini responden diharapkan pemilik IRTP. Namun jika pemilik IRTP tidak dapat menjadi responden karena suatu alasan tertentu, maka sebagai gantinya adalah karyawan yang dianggap menguasai/bertanggung jawab terhadap kegiatan produksi. Dengan demikian tujuan untuk mengukur pengetahuan responden terhadap pelabelan dan sanitasi dapat tercapai tanpa bias. Adapun responden yang belum pernah mengikuti penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT dapat dijadikan sebagai pembanding terhadap pengetahuan responden yang telah mengikuti penyuluhan. Responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah pemilik IRTP. Hanya 16.1% responden yang berstatus sebagai karyawan yang bertanggung jawab dalam kegiatan produksi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dari pihak yang berkompeten sehingga dapat dipercaya kebenarannya untuk menyimpulkan tentang tingkat pengetahuan responden Jenis pangan Karakteristik responden IRTP dalam penelitian juga dibedakan dari jenis pangannya. Jenis produk yang diproduksi oleh responden IRTP dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan proporsi jumlah dan persentase responden IRTP berdasarkan jenis pangan yang diproduksi dapat dilihat pada Gambar 5. Informasi mengenai jenis pangan responden sangat penting untuk memberikan gambaran tentang tingkat risiko pangan IRTP. Tingkat risiko IRTP sendiri selain ditentukan oleh jenis pangan, juga ditentukan oleh praktek sanitasi di sarana produksi IRTP. Praktek sanitasi yang kurang tepat akan meningkatkan risiko pangan yang dihasilkannya. Kajian tentang hubungan jenis produk yang dihasilkan oleh IRTP dengan praktek sanitasi akan dijelaskan dalam praktek sanitasi.

25 54 8; 5,0% 9; 5,6% 4; 2,5% 2; 1,2% 5; 3,1% 2; 1,2% 7; 4,3% 24; 14,9% 1; 0,6% 99; 61,5% n = 161 Tepung dan hasil olahnya Biji-bijian dan umbi-umbian Minuman ringan, jus Buah dan hasil olahnya Ikan dan hasil olahnya Gula, madu, kembang gula Tidak diketahui Unggas dan hasil olahnya Bumbu Minyak goreng Gambar 5 Proporsi jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pangan yang diproduksi. Gambar 5 menunjukkan bahwa sebagian besar (99 responden atau 61.5%) memproduksi pangan yang tergolong dalam jenis tepung dan hasil olahnya. Selanjutnya berturut-turut biji-bijian dan umbi-umbian (24 responden IRTP atau 14.9%), minuman ringan (9 responden IRTP atau 5.6%), buah dan hasil olahnya (8 responden IRTP atau 5.0%), ikan dan hasil olahnya (7 responden IRTP atau 4.3%), gula, madu dan kembang gula (5 responden IRTP atau 3.1%), tidak diketahui (4 responden IRTP atau 2.5%), unggas dan hasil olahnya (2 responden IRTP atau 1.2%), bumbu (2 responden IRTP atau 1.2%), dan minyak goreng (1 responden IRTP atau 0.6%). Proporsi ini menunjukkan bahwa sebagian besar jenis pangan populasi IRTP di Propinsi DI Yogyakarta telah diwakili oleh responden. Keterwakilan populasi IRTP oleh responden berdasarkan jenis pangannya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perbandingan jumlah sampel responden IRTP terhadap populasi menurut jenis pangannya Jumlah (IRTP) Persentase No Jenis Pangan Populasi Sampel keterwakilan (%) 1 Daging dan hasil olahnya Ikan dan hasil olahnya Unggas dan hasil olahnya Sayur dan hasil olahnya Kelapa dan hasil olahnya Tepung dan hasil olahnya Minyak goreng 0 1 >100 8 Jem dan sejenisnya 0 0 0

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN UMUM Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan salah satu tujuan penting

Lebih terperinci

Advertisement of Nutrition Message in Food Product. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

Advertisement of Nutrition Message in Food Product. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Advertisement of Nutrition Message in Food Product Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tren penggunaan pesan terkait kesehatan oleh produsen semakin meningkat, sehingga memberikan konsekuensi penting

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.18,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Label dan Iklan. Pangan Olahan. Pengawasan Klaim. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan

Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 2005 Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.5.1.2569 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA PENILAIAN PRODUK PANGAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Lembaga Pemberi Kode Halal Asing yang Disahkan Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Lembaga Pemberi Kode Halal Asing yang Disahkan Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) 62 LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Lembaga Pemberi Kode Halal Asing yang Disahkan Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampiran 2. Checklist Kesesuaian Pencantuman Label I II N O JENIS PRODUK 1 2 3 4 5 6 7 8

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: 1. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.5.12.11.09955 TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah terciptanya

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne No. 887, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Klaim. Pangan Olahan. Label dan Iklan. pengawasan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Checklist Survei Pencantuman Label pada Produk Susu Formula dan Makanan Bayi

Lampiran 1. Checklist Survei Pencantuman Label pada Produk Susu Formula dan Makanan Bayi 41 Lampiran 1. Checklist Survei Pencantuman Label pada Produk Susu Formula dan Makanan Bayi I II NO Nama Produk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 a b c d a b c a b c d e f a b

Lebih terperinci

2016, No Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.792, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Label Gizi. Acuan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Produk Pangan 1. Pengertian Pangan Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya disingkat UUP, Pangan adalah segala sesuatu

Lebih terperinci

Mencermati Label dan Iklan Pangan. Purwiyatno Hariyadi

Mencermati Label dan Iklan Pangan. Purwiyatno Hariyadi Mencermati Label dan Iklan Pangan Purwiyatno Hariyadi Hanya dengan menonton televisi atau membaca surat kabar kita bisa merasakan adanya perubahan arah yang terjadi pada industri pangan. Perubahan itu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PENCANTUMAN INFORMASI KANDUNGAN GULA, GARAM, DAN LEMAK SERTA PESAN KESEHATAN UNTUK PANGAN OLAHAN DAN PANGAN SIAP SAJI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab;

a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3867) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011 SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011 DIREKTUR STANDARDISASI PRODUK PANGAN BADAN POM RI 1 Maret 2012 1 LIST PERATURAN 1. Peraturan Kepala Badan POM No.HK.03.1.23.11.11.09605 Tahun 2011

Lebih terperinci

Grup I- Label Pangan

Grup I- Label Pangan Grup I- Label Pangan Label produk pangan adalah setiap keterangan mengenai produk pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK 00.05.52.0685 TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label PENDAHULUAN Latar Belakang Label merupakan salah satu alat komunikasi untuk menyampaikan sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label yang disusun secara baik akan memudahkan konsumen

Lebih terperinci

PELABELAN DAN IKLAN PANGAN

PELABELAN DAN IKLAN PANGAN PELABELAN DAN IKLAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pengertian (1) Label

Lebih terperinci

EVALUASI PENULISAN LABEL PANGAN YANG TIDAK LENGKAP DAN IKLAN PANGAN MENYESATKAN PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2013

EVALUASI PENULISAN LABEL PANGAN YANG TIDAK LENGKAP DAN IKLAN PANGAN MENYESATKAN PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2013 JURNAL RISET MANAJEMEN Vol. 1, No. 1, Mei 2014, 78-92 EVALUASI PENULISAN LABEL PANGAN YANG TIDAK LENGKAP DAN IKLAN PANGAN MENYESATKAN PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2013

Lebih terperinci

BERITA NEGARA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.469, 2012 PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.23.04.12.2205 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN SERTIFIKAT PRODUKSI PANGAN

Lebih terperinci

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Pelabelan Produk Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Pelabelan Produk Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Pelabelan Produk Pangan Label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk tulisan, gambar atau kombinasi keduanya yang disertakan pada pangan, dimasukkan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN SAJI PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN SAJI PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN SAJI PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT) Department of Food Science and Technology Bogor Agricultural University http://itp.fateta.ipb.ac.id COURSE 4: Major national food regulation: Food Act (7/1996) Consumer Protection Act (8/1999) Food Labeling

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.5.12.11.09955 TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI Nomor 22 tahun 2009 merupakan strategi untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

InfoPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN POM RI Volume 10, No.5 September 2009 ISSN 1829-9334 INFORMASI NILAI GIZI PRODUK PANGAN Manfaat & cara pencantuman DAFTAR ISI Informasi

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 02/MEN/2010 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN PAKAN IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 02/MEN/2010 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN PAKAN IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 02/MEN/2010 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN PAKAN IKAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.710, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Minuman. Khusus. Ibu Hamil. Menyusui. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2013

Lebih terperinci

Undang-undang Pangan No. 7/1996

Undang-undang Pangan No. 7/1996 Undang-undang Pangan No. 7/1996 Legislasi -> pengaturan Dasar pengaturan : Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia Prasyarat yang harus dipenuhi : aman, bermutu bergizi, beragam dan tersedia secara cukup

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL PENGATURAN IRTP DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEAMANAN PANGAN

KEBIJAKAN NASIONAL PENGATURAN IRTP DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEAMANAN PANGAN KEBIJAKAN NASIONAL PENGATURAN IRTP DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEAMANAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT) Department of Food Science and Technology Bogor Agricultural University http://itp.fateta.ipb.ac.id Tujuan Aturan Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 55 Barangsiapa dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peringkat pertama dari sederet kebutuhan lain. Setiap individu membutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peringkat pertama dari sederet kebutuhan lain. Setiap individu membutuhkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makanan Ringan Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang menurut Maslow menduduki peringkat pertama dari sederet kebutuhan lain. Setiap individu membutuhkan sejumlah makanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Cakupan pemeriksaan sarana produksi pangan yang dilakukan oleh BB/Balai POM di 26 Propinsi, tahun 2005-2008 Untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa produk pangan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia umumnya digunakan untuk menggambarkan makanan yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan, melebihi diet sehat normal yang diperlukan bagi nutrisi manusia. Makanan Sehat "Makanan Kesehatan" dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan sebagai isi dari apa yang

Lebih terperinci

Berikut adalah beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Pedoman ini.

Berikut adalah beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Pedoman ini. Berikut adalah beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Pedoman ini. 2.1 Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMENUHAN REGULASI PELABELAN PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI BOGOR WIWIT ARIF WIJAYA

PEMENUHAN REGULASI PELABELAN PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI BOGOR WIWIT ARIF WIJAYA PEMENUHAN REGULASI PELABELAN PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI BOGOR WIWIT ARIF WIJAYA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini gaya hidup serta pola konsumsi makanan pada masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, terhadap selera produk pangan yang cenderung lebih menyukai sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi

g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi Fokus Menghindari Pencemaran dan Penurunan Mutu Produk Pemeliharaan dan Pembersihan Prosedur Pembersihan dan Sanitasi Program Pengendalian Hama (Mencegah, Pemasangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA, -1- PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM CEMARAN LOGAM BERAT DALAM PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

RAHASIA FORMULIR PENDAFTARAN PRODUK PANGAN

RAHASIA FORMULIR PENDAFTARAN PRODUK PANGAN RAHASIA FORMULIR PENDAFTARAN PRODUK PANGAN B A D A N P E N G A W A S O B A T D A N M A K A N A N R E P U B L I K I N D O N E S I A Jl. Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat Tel. 4244691 4209221 4263333

Lebih terperinci

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN Oleh: Dra. Deksa Presiana, Apt., M.Kes. Kasubdit. Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan Disampaikan Pada Acara: Praktek Kerja Profesi Apoteker Jakarta,

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN SERTIFIKAT PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA DAN SERTIFIKAT LAIK HYGIENE SANITASI JASABOGA, DEPOT AIRMINUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER TAHUN 2012

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER TAHUN 2012 RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER TAHUN 2012 Mata : Kebijakan Pangan Semester : 1 SKS : 3 (tiga) Diskripsi singkat : Mata kuliah ini berisi tentang pengaruh kebijakan regulasi harga regulasi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.295, 2014 PERINDUSTRIAN. Produk Halal. Jaminan. Bahan. Proses. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penting. Saat ini minuman dijual dalam berbagai jenis dan bentuk, serta

BAB 1 PENDAHULUAN. penting. Saat ini minuman dijual dalam berbagai jenis dan bentuk, serta BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Minuman merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling penting. Saat ini minuman dijual dalam berbagai jenis dan bentuk, serta dikemas dengan berbagai kemasan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

Farmaka Suplemen Volume 15 Nomor 3 57

Farmaka Suplemen Volume 15 Nomor 3 57 Suplemen Volume 15 Nomor 3 57 TATA CARA REGISTRASI UNTUK PANGAN OLAHAN INDUSTRI RUMAH TANGGA (PIRT) DAN MAKANAN DALAM NEGERI (MD) DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUK YANG AMAN DAN BERMUTU DI BANDUNG JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahan pangan adalah bahan yang memungkinkan manusia tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Bahan pangan adalah bahan yang memungkinkan manusia tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan pangan adalah bahan yang memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang serta mampu beraktivitas dan memelihara kondisi tubuhnya. Untuk itu bahan pangan atau biasa

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1055, 2015 BPOM. Takaran Saji. Pangan Olahan. Pengawasan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN

Lebih terperinci

tersebut dibanding produk lainnya (BPOM, 2005).

tersebut dibanding produk lainnya (BPOM, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern kali ini makanan kemasan tidak sulit untuk dijumpai. Namun terkadang label pada makanan kemasan yang akan dibeli sering luput dari perhatian konsumen.

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012 KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012 Pasal 69 Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui: a. Sanitasi Pangan; b. pengaturan terhadap bahan tambahan Pangan; c. pengaturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup setiap manusia,

I. PENDAHULUAN. karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup setiap manusia, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan manuasia akan pangan merupakan hal yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup setiap manusia, baik dipandang dari segi kualitas

Lebih terperinci

KIAT MEMILIH PRODUK HALAL

KIAT MEMILIH PRODUK HALAL Serial artikel sosialisasi halalan toyyiban PusatHalal.com Materi 5 KIAT MEMILIH PRODUK HALAL Oleh DR. Anton Apriyantono Mengkonsumsi pangan yang halal dan thoyyib (baik, sehat, bergizi dan aman) adalah

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P No.1730, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. SNI. Air Mineral Demineral. Air Mineral CAlami. Air Minum Embun. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penerapan dan penyelenggaraan gizi kerja PT. X Plant Pegangsaan. Ruang/tempat Makan yang menyatakan bahwa :

BAB V PEMBAHASAN. Penerapan dan penyelenggaraan gizi kerja PT. X Plant Pegangsaan. Ruang/tempat Makan yang menyatakan bahwa : BAB V PEMBAHASAN A. Sistem Penyelenggaraan Makan Siang Penerapan dan penyelenggaraan gizi kerja PT. X Plant Pegangsaan yang mempekerjakan 22.563 orang telah menyediakan kantin untuk tenaga kerja, hal ini

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN UMUM Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara.

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara. No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No. 1083, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. Tepung Terigu. Standar Nasional Indonesia. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/M-IND/PER/7/2015

Lebih terperinci

Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik

Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah mendorong para produsen pangan untuk melakukan berbagai macam inovasi dalam memproduksi pangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan tempe, tahu, kecap, oncom, susu, dan lain-lain. Kacangkacangan

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan tempe, tahu, kecap, oncom, susu, dan lain-lain. Kacangkacangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang-kacangan (Leguminosa), seperti kacang hijau, kacang tolo, kacang gude, kacang merah, kacang kedelai, dan kacang tanah, sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas

Lebih terperinci

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes GIZI DAUR HIDUP Rizqie Auliana, M.Kes rizqie_auliana@uny.ac.id Pengantar United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KATEGORI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KATEGORI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG KATEGORI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. PKPA Tahun 2017

Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. PKPA Tahun 2017 Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI PKPA Tahun 2017 VISI DAN MISI Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa. 1. Meningkatkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum. A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum. A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Q1 Apakah iklan pangan yang dievaluasi menggunakan kata-kata

Lebih terperinci

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM UMKM ( Usaha Mikro Kecil dan Menengah ) merupakan pelaku ekonomi nasional yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian. Karena. kegiatan

Lebih terperinci

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg No. 738, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Periklanan Pangan Olahan. Pengawasan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

2 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

2 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R No.1706, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Wajib Kemasan. Minyak Goreng. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG MINYAK GORENG WAJIB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di bidang makanan dan minuman seperti usaha membuka tempat makan (restoran/rumah makan), camilan dan kuliner

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka pangan harus tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam jenisnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI)

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

CARA PRODUKSI PANGAN YANG BAIK UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA (IRT)

CARA PRODUKSI PANGAN YANG BAIK UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA (IRT) CARA PRODUKSI PANGAN YANG BAIK UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA (IRT) BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA TUJUAN KHUSUS Memberikan

Lebih terperinci

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA Kebijakan pangan merupakan prioritas

Lebih terperinci