HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR"

Transkripsi

1 HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya, dengan ini menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul: HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK, JAWA BARAT adalah benar merupakan tulisan disertasi berdasarkan hasil penelitian saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya dan telah dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Disertasi ini belum pernah diajukan kepada perguruan tinggi lain untuk memperoleh gelar akademik sejenis. Bogor, Mei 2007 Entang Iskandar B

3 ABSTRAK ENTANG ISKANDAR. Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, RANDALL C. KYES, SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan M. BISMARK. Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan salah satu spesies satwa primata yang hidup endemik di Pulau Jawa, dan telah dikategorikan sebagai kritis (critically endangered). Informasi populasi owa jawa di alam, sampai saat ini masih sangat terbatas dan bervariasi. Penelitian dilakukan untuk memperoleh keeratan hubungan antara kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dengan kepadatan owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak; memperoleh estimasi populasi owa jawa; mendapatkan suatu model estimasi populasi melalui pendekatan pohon pakan dan pohon tidur; serta memperoleh pengaruh fragmentasi habitat terhadap kepadatan populasi dan daerah jelajah owa jawa. Analisis vegetasi dilakukan di sepanjang jalur penelitian populasi di empat lokasi yang berbeda. Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh Quercus gemiliflorus Blume, Schima wallichii (DC.) Korth, Castanopsis argentea Bl., Altingia exelsa Noronha dan Antidesma tetandrum Bl. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa jawa didominasi oleh Ficus sinuata Thunb., Quercus gemiliflorus Blume, Altingia exelsa Noronha dan Castanopsis argentea Bl., sedangkan jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tidur diantaranya adalah Quercus gemiliflorus Blume, Ficus sinuata Thunb., Castanopsis argentea Bl. dan Altingia excelsa Noronha. Metode jalur (Line transect sampling) dengan panjang jalur 3,5 km dan lebar 100 m digunakan dalam mengidentifikasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak. Penelitian dilakukan di empat lokasi, mulai bulan Desember 2004 sampai September 2005, yaitu: 1) hutan primer Citarik; 2) hutan primer Cikaniki yang sebagian wilayahnya digunakan sebagai tujuan ekowisata; 3) hutan sekunder Cibeureum dan 4) hutan sekunder Cisalimar yang berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat. Rerata kepadatan kelompok owa jawa di Citarik adalah 4,0 kelompok/km 2 ; ukuran kelompok sekitar 2,6 individu dan kepadatan populasi 10,3 individu/km 2. Estimasi kepadatan kelompok di Cikaniki sekitar 3,8 kelompok/km 2 ; rerata ukuran kelompok sekitar 2,6 individu dan kepadatan populasi 9,4 individu/km 2. Di hutan sekunder Cibeureum, kepadatan kelompok sekitar 2,6 kelompok/km 2 ; rerata ukuran kelompok 2,7 individu dan kepadatan populasi sebesar 6,7 individu/km 2. Estimasi kepadatan kelompok di hutan sekunder Cisalimar adalah 3,0 kelompok/km 2 ; rerata ukuran kelompok sekitar 2,2 individu dan kepadatan populasi sebesar 6,3 individu/km 2. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hutan primer lebih dapat memenuhi kebutuhan hidup owa jawa dibandingkan hutan sekunder. Terdapat keeratan hubungan antara pohon pakan (r=0,948) dan pohon tidur (r=0,989) dengan kepadatan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun- Salak. Berdasarkan pendekatan pohon pakan dan pohon tidur tersebut, penggunaan persamaan regresi linier harus secara spesifik pada lokasi tertentu sesuai dengan tipe hutannya. Tingkat keeratan persamaan regresi linier tersebut berkisar antara 91,9-94,9%. Kata kunci: owa jawa, pohon pakan, pohon tidur, kepadatan

4 ABSTRACT ENTANG ISKANDAR. Habitat and Population of the Javan Gibbon (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) at Gunung Halimun-Salak National Park, West Java. Under supervision of HADI S. ALIKODRA, RANDALL C. KYES, SRI SUPRAPTINI MANSJOER and M. BISMARK. The Javan gibbon (Hylobates moloch) is endemic to Java, and is considered a critically endangered species. The information on the population status of the javan gibbon is limited and varied. The overall aim of this project is to generate closeness relation of food and sleeping trees densities with the density of javan gibbon; conduct critical baseline data on the status and habitat of the javan gibbon at Gunung Halimun National Park, West Java; generate estimation model of population; and to generate the effect of fragmentation to the density, and home range of the javan gibbon. Vegetation sampling was taken along the survey transect at four different locations. The vegetation was dominated by Quercus gemiliflorus Blume, Schima wallichii (DC.) Korth, Castanopsis argentea Bl., Altingia exelsa Noronha, and Antidesma tetandrum Bl. Food sources for the javan gibbon was dominated by Ficus sinuata Thunb., Quercus gemiliflorus Blume, Altingia exelsa Noronha, and Castanopsis argentea Bl. Sleeping trees was dominated by Quercus gemiliflorus Blume, Ficus sinuata Thunb., Castanopsis argentea Bl. dan Altingia excelsa Noronha. Line transect sampling was conducted during the morning along the transect (3.5 km; strip width, 100 m) in the hilly region of Gunung Halimun National Park. The survey has been conducted at four locations during December 2004 through September 2005:1) primary forest of Citarik; 2) primary forest of Cikaniki which is part of ecotourism area; 3) secondary forest of Cibeureum; 4) secondary forest of Cisalimar, represented by forest that borders an agricultural plantation. The average group density for Javan gibbon at the primary forest of Citarik was 4.0 groups/km 2, group size was estimated at 2.6 individuals, and population density was 10.3 individuals/km 2. Estimated group density at primary forest of Cikaniki was 3.8 groups/km 2. The average group size was 2.6 animals, and the population density was estimated 9.4 individuals/km 2. At secondary forest of Cibeureum, group density was estimated at 2.6 groups/km 2 ; the average group size was estimated at 2.7 animals, and population density was 6.7 individuals/km 2. Estimated group density of the Javan gibbon at the secondary forest of Cisalimar area was estimated at 3.0 groups/km 2 ; the average group size was 2.2 animals, and population density was estimated at 6.3 individuals/km 2. The population density of the Javan gibbon at the primary forest area was greater than at secondary forest. There was a close relations between food tree density and the javan gibbon density (r=0.948) at Gunung Halimun-Salak National Park, and between sleeping tree density and density of javan gibbon (r=0.989). Based on those two important trees, the estimation model of population by multiple linear regression should be specific to the locations. Closeness of the multiple regression were %. Key words: javan gibbon, food tree, sleeping tree, density

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya

6 HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Primatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Nama : Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat : Entang Iskandar NRP : B Program Studi : Primatologi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Ketua Prof. Randall C. Kyes, PhD. Anggota Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Anggota Prof. Dr. M. Bismark, Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 26 April 2007 Tanggal Lulus:

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surade, Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 19 Juni 1967 sebagai anak terakhir dari Almarhum Ayahanda Moch. Dawami dan Almarhumah Ibunda Sadiah. Pendidikan dasar dan menengah pertama diselesaikan di Surade, Sukabumi pada tahun 1983, sedangkan pendidikan menengah atas ditempuh di SMA Negeri Cibadak, Sukabumi dan diselesaikan tahun Program sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor diselesaikan pada tahun Pada tahun yang sama, penulis bekerja di Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB) sampai saat ini. Tahun 1998, penulis menyelesaikan program Magister pada Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama bekerja di PSSP LPPM IPB, penulis memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan dasar dan lanjutan dalam bidang Computerized Population Modeling dan Primate Behavioral Biology and Cognition di Washington National Primate Research Center, University of Washington, Seattle, USA. Pada saat ini, penulis diberi kepercayaan untuk mengelola Laboratorium Lapang Pulau Tinjil. Penulis menikah dengan Rachmitasari Noviana, SKH pada bulan Juli 1997, dan telah dikaruniai dua orang puteri, Dienita Aulia dan Tiara Dwina Amany.

9 PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kesabaran dan kelapangan berpikir pada saat melakukan penelitian hingga dapat diselesaikannya disertasi Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Randall C. Kyes, PhD.; Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Prof. Dr. M. Bismark sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan, pengertian dan dukungan sejak perencanaan awal penelitian sampai tulisan disertasi dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Ir. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. dan Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan tambahan wawasan pengetahuan penulis. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD., selaku Ketua Program Studi Primatologi IPB yang telah membuka kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi. Dr. drh. Joko Pamungkas, MSc., selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM IPB yang telah memberi ijin dan bantuan dana selama masa studi. Terima kasih disampaikan kepada seluruh rekan di PSSP LPPM IPB dan rekan mahasiswa di Program Studi Primatologi atas segala dukungan yang telah diberikan, serta kepada Ir. Etih Sudarnika, MSi dan Ir. Bagus MSi atas bantuan dan diskusi pada saat menganalisis data. Penulis menyampaikan pula terima kasih kepada Dr. Dwi Setyono sebagai Kepala Taman Nasional Gunung Halimun-Salak atas ijin untuk melakukan penelitian; Bayu S.Hut sebagai Kepala Resor Leuwi Waluh; Pak Jojo Suparjo, Pak Ibrahim dan Ir. Koeswandono atas segala bantuan yang telah diberikan. Selain itu, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang terlibat langsung di lapangan: Dedi Hotman, Walberto Sinaga S.Hut., Abdul Majid, Agus Surya Sumantri Amd., Dadang, Yosi, Momo, Apud, Amir, Emad dan rekan-rekan lain di TN. Gunung Halimun-Salak. Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada istri terkasih Rachmitasari Noviana, SKH atas pengertian dan dukungan yang tidak ada hentinya; anak-anakku tercinta Dienita Aulia dan Tiara Dwina Amany yang selalu menjadi penyemangat dalam penyelesaian disertasi; Ibunda Hj. Siti Hidayati

10 Purnomo dan kakak tercinta Asep Saleh Maqbul, SE. atas segala doa dan dukungannya; serta Nia dan Sari untuk semua bantuan yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih disertai doa, penulis tujukan kepada Almarhum Ayahanda Moch. Dawami dan Almarhumah Ibunda Sadiah yang semasa hidupnya selalu mendorong dan memberi motivasi untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada seluruh rekan, kerabat yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari The Rufford Small Grants for Nature Conservation dan International Primatological Society (IPS) Conservation Small Grant yang telah mendanai penelitian dari awal survei hingga akhir penelitian. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi dunia pendidikan, penelitian dan masyarakat secara umum, serta Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat pada khususnya. Bogor, Mei 2007 Penulis

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat Penelitian... 4 Hipotesis... 4 Kerangka Pemikiran... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Habitat... 6 Pohon Pakan... 9 Pohon Tidur Owa Jawa (Hylobates moloch) Klasisikasi dan Taksonomi Morfologi Status Konservasi Penyebaran Aktivitas Harian dan Pola Interaksi... Populasi... Komposisi Kelompok... Daerah Jelajah... ii iii Iv Penangkaran Model estimasi populasi. 23 Simulasi Populasi Sosial Ekonomi Masyarakat.. 24 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 25 Geografi 25 Topografi Hidrologi 26 Iklim Vegetasi 27 Satwa 28 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat...,,, 31 Bahan. 31 Alat Metode Pengumpulan Data Penentuan Lokasi. 31 Analisis Vegetasi i

12 DAFTAR ISI ( Lanjutan) Halaman Populasi Owa Jawa.. Distribusi Komposisi kelompok Daerah Jelajah dan Interaksi Kelompok Estimasi populasi Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB Model Estimasi Populasi Simulasi Populasi Analisis Data Analisis Vegetasi Komposisi dan Dominansi Jenis Populasi Owa Jawa.. 37 Distribusi Komposisi kelompok Daerah Jelajah dan Interaksi Kelompok Estimasi Populasi Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB.. 39 Model Estimasi Populasi. 39 Simulasi Populasi. 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Vegetasi Komposisi dan Dominansi Jenis Pohon Pakan Pohon Tidur Permudaan Vegetasi Populasi Owa Jawa Distribusi Owa Jawa Persentase Perjumpaan Owa Jawa Daerah Jelajah Komposisi Kelompok Estimasi Populasi Owa Jawa.. 78 Kepadatan Kelompok Ukuran Kelompok Kepadatan Populasi. 83 Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran. 89 Pakan Tingkah Laku Model Estimasi dan Simulasi Populasi Model Estimasi Populasi. Simulasi Populasi. Diskusi Umum SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Klasifikasi dan Taksonomi Genus Hylobates Populasi Owa Jawa pada beberapa lokasi di Pulau Jawa... Kepadatan Kelompok dan Populasi Owa Jawa Berdasarkan Ketinggian di atas Permukaan Laut.. Rekomendasi Ukuran Kandang Satwa Primata Berdasarkan Berat Badan Nilai INP Tertinggi Jenis Pohon di Citarik, Cikaniki, Cibeureum dan Cisalimar Menggunakan Metode Garis Berpetak Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Empat Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak... Rerata Profil Pohon Pakan pada Setiap Lokasi Penelitian... Jenis Pohon Tidur di Empat Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak... Rerata Profil Pohon Tidur di Setiap Lokasi Penelitian... Lima Jenis Vegetasi Tingkat Semai dengan INP tertinggi di setiap Lokasi Penelitian... Lima Jenis Vegetasi Tingkat Pancang dengan INP tertinggi di setiap Lokasi Penelitian... Lima Jenis Vegetasi Tingkat Tiang dengan INP tertinggi di setiap Lokasi Penelitian... Jarak Lokasi Penelitian terhadap Pemukiman dan Lahan Pertanian Terdekat serta Jarak Setiap Kelompok yang Terbentuk pada SetiapLokasi. Rerata Daerah Jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan. Rerata Daerah Jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Keamarau. Rerata Tumpang Tindih Daerah Jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan... Rerata Tumpang Tindih Daerah Jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Kemarau... Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Primer Citarik. Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Primer Cikaniki ii

14 No. DAFTAR TABEL (Lanjutan) Teks Halaman Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Sekunder Cibeureum... Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Sekunder Cisalimar... Rerata Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Keempat Lokasi Penelitian dan di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB.. Kepadatan Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Musim Kemarau. Ukuran Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Musim Kemarau... Kepadatan Populasi Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Musim Kemarau. Perbandingan Kepadatan Owa Jawa di TN. Gunung Halimun- Salak... Jenis Pakan Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB... Kandungan Protein, Karbohidrat dan Lemak Pakan Owa Jawa Berdasarkan Bahan Kering... Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Jumlah Pohon Pakan di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Kemarau... Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Jumlah Pohon Tempat Tidur di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Kemarau... Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Gabungan Jumlah Pohon Pakan dan Pohon Tempat Tidur di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Kemarau... Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Gabungan Jumlah Pohon Pakan dan Pohon Tempat Tidur pada Kedua Musim... Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Gabungan Peubah Jumlah Pohon Pakan dan Pohon Tempat Tidur pada Kedua Musim di Selurh Lokasi Penelitian

15 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman Kerangka Pemikiran Penelitian.. Habitat Owa Jawa... Persentase Penggunaan Kanopi oleh Dua Spesies Hylobates pada Hutan Terganggu dan Tidak Terganggu... Ancaman Utama terhadap Populasi Primata dan Pendekatan dalam Melindungi Ordo tersebut Penyebaran Gibbon Berdasarkan Letak Geografis Peta Lokasi Gunung Halimun Lokasi dan Jalur Penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak... Disain Metode Garis Berpetak Disain Line Transect Sampling Disain Metode Titik Pusat Kuadran Pembakaran lahan (a) untuk dijadikan perladangan (b) Jantan Dewasa di Pohon Pakan (a) dan Betina Dewasa Memanfaatkan Dahan Rindang untuk Beristirahat (b)... Habitat Owa Jawa di Citarik (a) dan Cisalimar (b)... Diameter dan Tinggi Pohon Pakan di Setiap Lokasi Penelitian... Profil Pohon Pakan di Citarik, Cikaniki, Cibeureum dan Cisalimar TN. Gunung Halimun-Salak... Kisaran Diameter dan Tinggi Pohon Tidur di Setiap Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak... Jumlah Vegetasi Tingkat Pohon, Jumlah Pohon Pakan dan Pohon Tidur di Setiap Lokasi Penelitian... Distribusi Kelompok Owa Jawa di Lokasi Penelitian TN Gunung Halimun-Salak 19. Persentase Perjumpaan Owa Jawa di TN Gunung Halimun- Salak berdasarkan Ketinggian Tempat Daerah Jelajah Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian Komposisi Kelompok Owa Jawa pada Setiap Lokasi Penelitian... Rerata Kepadatan Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian... Rerata Ukuran Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian iii

16 DAFTAR GAMBAR (Lanjutan) No. 24. Teks Rerata Kepadatan Populasi Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian... Halaman 25. Kepadatan Kelompok (a), Ukuran Kelompok (b) dan Kepadatan Populasi (c) Owa Jawa di Hutan Primer dan Sekunder TN. Gunung Halimun-Salak Aktivitas Harian Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB... Tingkah Laku Menelisik Induk Betina Owa Jawa terhadap Anak (a) dan Induk Jantan (b) di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB... Frekuensi Tingkah Laku Harian Owa Jawa Betina di Tiga Fasilitas Penangkaran... Prediksi Populasi dengan Parameter Hilangnya Habitat... Prediksi Populasi Owa Jawa dengan Parameter Perburuan... Prediksi Populasi Owa Jawa dengan Gabungan Parameter Hilangnya Habitat dan Perburuan

17 DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Halaman 1. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak... Jenis Pohon Pakan Owa Jawa... Jenis Pohon Tidur Owa Jawa di TN. Gunung Halimun- Salak Vegetasi Tingkat Semai di TN. Gunung Halimun-Salak Vegetasi Tingkat Pancang di TN. Gunung Halimun-Salak... Vegetasi Tingkat Tiang di TN. Gunung Halimun-Salak Data Penduduk Sekitar Lokasi Penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak iv

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah mamalia tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Salah satu jenis mamalia yang hidup di Indonesia adalah satwa primata, dan dari jumlah total 40 spesies satwa primata yang dapat diidentifikasi di Indonesia, 30% diantaranya merupakan spesies endemik pada wilayah tertentu di Indonesia (McNeely 1990). Terdapat sedikitnya tiga spesies satwa primata endemik berasal dari famili Hylobatidae. Hylobatidae adalah salah satu famili satwa primata yang sebagian besar spesiesnya hidup di Indonesia. Famili Hylobatidae terdiri atas sembilan spesies yang tersebar di kawasan Asia Tenggara, enam spesies diantaranya termasuk ke dalam Genus Hylobates, yaitu Hylobates agilis F. Cuvier (ungko, dark handed gibbon), Hylobates klosii Miller (siamang kerdil, kloss s gibbon), Hylobates lar Linnaeus (ungko lengan putih, white handed gibbon), Hylobates moloch Audebert (owa jawa, silvery gibbon), Hylobates muelleri Martin (kelawat, gray gibbon) dan Hylobates pileatus Gray. Dari keenam spesies ini hanya H. pileatus yang penyebarannya tidak meliputi wilayah Indonesia (Geissmann 2002; Silvery Gibbon Website 2002). Tiga dari lima spesies Genus Hylobates merupakan spesies yang hidup endemik di beberapa pulau di Indonesia. Salah satu diantara spesies tersebut adalah owa jawa yang hanya bisa diidentifikasi di Pulau Jawa, yaitu di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada saat ini, populasi spesies tersebut hanya dapat diidentifikasi di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya, seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun- Salak dan TN. Gunung Gede Pangrango. TN. Gunung Halimun-Salak memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi, beberapa diantaranya termasuk ke dalam kategori kritis. Dari 61 jenis mamalia yang hidup di TN. Gunung Halimun-Salak, empat diantaranya termasuk ke dalam ordo primata, terdiri dari tiga spesies termasuk dalam kategori monyet (monkey), yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles), surili (Presbytis comata Desmarest) dan lutung (Trachypithecus auratus Geoffroy Sain-Hilaire), serta satu spesies termasuk ke dalam kategori kera kecil (lesser apes), yakni owa jawa (H. moloch Audebert).

19 2 Seiring dengan semakin meningkatnya ancaman terhadap populasi owa yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah populasi secara nyata di alam, maka terjadi perubahan status dari kategori genting (endangered) tahun 1986, menjadi kritis (critically endangered) pada tahun 1996 dalam daftar International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Kenaikan status tersebut akibat terjadinya penurunan populasi owa jawa di alam yang cukup tajam, sedangkan Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES), owa jawa dikategorikan ke dalam Apendiks I yang berarti satwa tersebut telah terancam punah, sehingga perdagangannya harus diatur sangat ketat dan hanya diperbolehkan untuk hal-hal khusus. Kritisnya populasi owa jawa disebabkan oleh aktivitas manusia yang semakin tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan hidup yang sangat tinggi tersebut berdampak negatif secara langsung terhadap pemanfaatan hasil hutan dan lahan hutan yang tidak terkendali, sehingga mengakibatkan berkurangnya habitat secara drastis. Aktivitas yang memiliki dampak negatif secara langsung terhadap menurunnya populasi owa jawa antara lain, perusakan habitat; perburuan dan penangkapan untuk keperluan satwa peliharaan serta hilangnya koridor sebagai dampak negatif dari hilangnya habitat. Deforestasi habitat ini merupakan ancaman utama terhadap populasi owa jawa. Lebih dari 96% habitat asli owa jawa telah hilang akibat dari kerusakan yang terjadi (MacKinnon 1980), sedangkan secara spesifik, persentase hilangnya habitat di TN. Gunung Halimun-Salak pada tahun 2001 adalah 2,5% dari total luas kawasan 42,000 ha (Supriatna 2006). Habitat yang tersisa saat ini merupakan hutan-hutan terfragmentasi antara satu dengan lainnya. Akibat semakin berkurangnya habitat satwa primata, IUCN atau World Conservation Union (1996), menyatakan bahwa lebih dari sepertiga spesies primata telah dikategorikan ke dalam spesies kritis (critically endangered), genting (endangered) dan rentan (vulnerable). Selain berkurangnya luasan habitat yang berdampak negatif langsung terhadap penurunan populasi owa jawa, daya dukung habitat dan regenerasi jenis pohon yang sangat berperan dalam mendukung kelangsungan hidup owa jawa masih belum banyak diketahui. Penelitian terhadap kebutuhan utama satwa berupa sumber pakan dan tempat berlindung merupakan aspek yang berperan sangat penting terhadap upaya kelestarian satwa.

20 3 Informasi populasi owa jawa di alam sampai saat ini masih sangat terbatas dan bervariasi. Kappeler (1981) memprediksi populasi owa jawa di alam berkisar antara individu. Jumlah populasi ini menurun cukup tajam dalam kurun waktu 14 tahun menjadi individu (Asquith et al. 1995). Pada tahun 2000, owa jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies satwa primata paling terancam punah di dunia (Mittermeier et al. 2005). Penelitian terakhir tentang populasi owa jawa memprediksi jumlah satwa tersebut ada pada kisaran individu (Nijman 2004). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat variasi estimasi populasi owa jawa dalam rentang waktu 23 tahun, dengan demikian, masih sangat diperlukan penelitian populasi owa jawa secara meyeluruh pada kawasan yang dihuni owa jawa, sehingga bisa diperoleh informasi populasi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan status spesies tersebut dalam daftar IUCN maupun dalam menentukan langkah konservasi yang akan dilaksanakan. Informasi kemampuan reproduksi dan tingkah laku owa jawa di penangkaran, perlu pula diketahui sebagai pembanding kemampuan reproduksi owa jawa di alam. Informasi ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan tindakan pengelolaan di dalam suatu kawasan. Selain itu, perlu pula diketahui prediksi populasi spesies tersebut pada masa yang akan datang melalui pendekatan aspek biologi, habitat dan potensi ancaman terhadap populasi tersebut, sehingga bisa diketahui prediksi kelangsungan atau kepunahan spesies dimaksud pada kurun waktu tertentu. Tujuan Penelitian dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1) memperoleh keeratan hubungan antara kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dengan kepadatan populasi owa jawa. Berdasarkan pendekatan dua peubah tersebut dapat diperoleh suatu model estimasi populasi; 2) mendapatkan estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak berdasarkan penelitian di hutan primer dan sekunder; 3) memperoleh informasi tentang pengaruh fragmentasi terhadap kepadatan dan ukuran kelompok owa jawa; 4) memperoleh perbedaan daerah jelajah berdasarkan kondisi habitat yang dihuni.

21 4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1) informasi kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dapat digunakan dalam memprediksi kepadatan populasi owa jawa, sedangkan kepadatan populasi dapat dipakai dalam menduga populasi owa jawa. Model estimasi populasi bermanfaat dalam menduga estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak dan di kawasan lainnya; 2) informasi populasi owa jawa dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan habitat dan mengidentifikasi potensi ancaman terhadap spesies tersebut; 3) fragmentasi habitat dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tindakan pengelolaan sebagai upaya melindungi populasi owa jawa; 4) perbedaan luas daerah jelajah dapat dijadikan sebagai indikasi baiknya suatu habitat yang dihuni. Hipotesis Dalam penelitian kajian habitat dan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, dapat dikemukakan beberapa hipotesis: 1) populasi dan sebaran owa jawa di kawasan hutan pegunungan sangat erat hubungannya dengan sebaran dan kerapatan pohon pakan dan pohon tidur; 2) pergerakan owa jawa selain dipengaruhi oleh ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur, dipengaruhi pula oleh kondisi habitatnya; 3) fragmentasi habitat berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran kelompok serta kepadatan populasi owa jawa. Latar belakang penelitian dan kondisi yang menyebabkan keadaan tersebut serta penelitian yang dilakukan sebagai upaya memperoleh informasi populasi owa jawa dan potensi habitatnya, terangkum dalam kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.

22 5 Kerangka Pemikiran Populasi Owa Jawa Penurunan daya dukung habitat: terbatas pada kawasan yang dilindungi (taman nasional, cagar alam dan hutan lindung) fragmentasi konversi lahan estimasi hilangnya habitat owa jawa: 96% (MacKinnon 1980) Penurunan jumlah populasi: endemik kritis (critically endangered) appendiks I (CITES) estimasi populasi individu (Nijman 2004) Analisis vegetasi Analisis pohon pakan Analisis pohon tidur Penelitian populasi Model estimasi populasi Potensi ancaman Jumlah dan jenis vegetasi Indeks Nilai Penting Jumlah dan jenis vegetasi Indeks Nilai Penting Profil pohon Kepadatan populasi Kepadatan kelompok Ukuran populasi Karakteristik populasi Parameter daya dukung habitat Parameter populasi Model estimasi populasi Prediksi dinamika populasi Manajemen habitat Kontrol kawasan secara efektif terutama pada pohon pakan dan pohon tidur Pemberlakuan hukum secara tegas Manajemen populasi Kontrol kawasan secara rutin dan efektif terutama pada owa Pemberlakuan hukum secara tegas Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian (Modifikasi dari Bailey 1984)

23 TINJAUAN PUSTAKA Habitat Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan terhadap sumber pakan, air dan tempat berlindung (Alikodra 2002). Owa jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang keberadaannya saat ini terbatas pada kawasan taman nasional dan hutan lindung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penyebarannya terutama di Taman Nasional Gunung Halimun, Gunung Gede, TN. Ujung Kulon, Gunung Simpang, Leuweung Sancang, dan Gunung Tilu (Kappeler 1984; Nijman dan Van Ballen 1998). Secara spesifik, habitat owa jawa adalah hutan tropika, mulai dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian m di atas permukaan laut (Massicot 2001; CII 2000; Rinaldi 1999), sedangkan Rowe (1996) menyatakan bahwa habitat owa jawa adalah hutan primer dan sekunder serta hutan hujan tropika dari ketinggian setara permukaan laut sampai m dpl. Hutan hujan tropika di bawah ketinggian m dpl. merupakan habitat eksklusif bagi owa jawa (CII 2000; Kappeler 1981) karena beberapa sebab, yaitu 1) spesies tumbuhan hutan di atas ketinggian m dpl bukan merupakan sumber pakan, dan 2) banyaknya lumut yang menutupi pepohonan menyulitkan owa jawa melakukan pergerakan atau perpindahan. Rowe (1996) menyatakan bahwa pada wilayah di atas ketinggian m dpl, hanya terdapat sedikit spesies tumbuhan, dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk dimanfaatkan dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, suhu di atas m dpl. lebih rendah dibandingkan suhu di bawah ketinggian tersebut. Owa jawa adalah satwa yang benar-benar hidup arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan. Habitat yang sesuai bagi owa jawa adalah 1) hutan dengan tajuk yang relatif tertutup, 2) tajuk pohon tersebut memiliki cabang horizontal, dan 3) habitat yang memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun (Kappeler 1984). Owa jawa sangat jarang turun ke permukaan tanah, dan menggunakan sebagian besar waktunya di tajuk pohon bagian atas, sehingga kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon sebagai pelindung dan sumber pakan (Kuester 2000). Faktor utama yang membatasi penyebaran owa jawa adalah struktur ketinggian pohon

24 7 untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristik yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan spesies tersebut (Kappeler 1984a). Persentase hilangnya hutan antara tahun 1980 dan 1995 di beberapa negara di dunia antara lain: Afrika 10,5%; Amerika Latin dan Karibia 9,7%; Asia dan Oceania 6,4%, sedangkan rerata hilangnya luas hutan pada negara-negara yang memiliki primata adalah km 2 (Chapman dan Peres 2001). Di Indonesia, luas habitat owa jawa menyusut sekitar 96% dari semula memiliki habitat seluas km 2 menjadi sekitar km 2 akibat pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat (CII 2000). Prediksi hilangnya habitat di beberapa kawasan yang dihuni owa jawa menunjukkan persentase yang bervariasi: Cagar Alam Gunung Simpang, hampir kehilangan 15% (dari ha); TN. Ujung Kulon kehilangan 4% dari ha; dan TN. Gunung Halimun kehilangan 2,5% dari ha luas kawasannya (Supriatna 2006). Kerusakan habitat yang disebabkan oleh kegiatan penebangan selain menyebabkan populasi owa jawa menurun, juga menyebabkan perubahan tingkah laku pada beberapa spesies, diantaranya: 1) Lar gibbon (Hylobates lar) menunjukkan kecenderungan peningkatan tingkah laku berdiam diri dan menghindar, sedangkan tingkah laku bersuara menurun; 2) pola aktivitas pada H. Lar dan Presbytis melalophos menunjukkan peningkatan waktu istirahat dan penurunan pada aktivitas makan dan bergerak; 3) pada kedua spesies tersebut terjadi perpindahan dari kanopi atas ke bagian tengah; 4) pada saat terjadi gangguan yang sangat tinggi, aktivitas saling bersuara gibbon sering terhenti, dan tingkat bersuara tersebut akan tetap mengalami tekanan sampai beberapa tahun setelah aktivitas penebangan berhenti (Johns 1986). Akibat dari kerusakan hutan yang terjadi, maka habitat yang dapat dihuni owa jawa semakin sempit dan hanya tersisa terutama di Pulau Jawa bagian barat dan sebagian Jawa Tengah, seperti disajikan pada Gambar 2 (Nijman 2001).

25 8 Gambar 2. Habitat Owa Jawa (Nijman 2001) Gibbon lebih menyukai pohon tinggi untuk melakukan aktivitasnya. Pada kondisi hutan yang terganggu, aktivitas gibbon berubah dari kanopi bagian atas ke bagian tengah seperti ditunjukkan H. Lar dan H. Moloch pada Gambar 3. Gambar 3. Persentase Penggunaan Kanopi oleh Dua Spesies Hylobates pada Hutan Terganggu dan Tidak Terganggu (Nijman 2006) Owa jawa diketahui hanya dapat diidentifikasi pada ketinggian tertentu. Pasang (1989) mengidentifikasi kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun pada ketinggian m dpl. Walaupun sebagian peneliti menyatakan bahwa ketinggian m dpl. merupakan posisi tertinggi sebaran owa jawa, terdapat laporan yang menyatakan bahwa spesies tersebut diidentifikasi pula pada ketinggian m dpl. (Kool 1992; Nijman dan Van Balen 1998). Faktor-faktor

26 9 yang membatasi penyebaran owa jawa berdasarkan ketinggian tempat (Balai Taman Nasional Gunung Halimun 1997): 1) struktur dan kerapatan pohon membatasi perilaku pergerakan dari satu tajuk ke tajuk lain, 2) keragaman komposisi floristik yang relatif rendah menyebabkan kurangnya potensi dan keragaman pakan, dan 3) rendahnya temperatur pada malam hari. Pohon Pakan Pada dasarnya, sumber pakan satwa primata dibedakan ke dalam tiga kategori (Fleagle 1988): 1. struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang, dan materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa); 2. bagian reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang atau mentah); 3. materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun, dan bunga. Kelompok gibbon pada umumnya mengkonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi (Geissmann 2004). Persentase jenis pakan tertinggi adalah buah-buahan matang (61%), daun-daunan (38%) dan bunga (1%) (Kappeler 1984; Rowe 1996; Kuester 1999). Terdapat 125 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan gibbon sebagai sumber pakan, terdiri dari 108 jenis pohon, 14 jenis tumbuhan liana, dua jenis tumbuhan palma dan satu jenis epifit. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan adalah Dillenia excelsa (Jack) Gilg, Dracontomelon mangiferum Blume, Garcinia dioica Blume, Ficus callosa Willd., Saccopetalum horsfieldii (Benn.) Baillon ex. Pierre, Ficus variegata Blume, Eugenia polyanta Wright, Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi, Bridelia minutiflora Hook.f. dan Antidesma bunius Sprengel (Kappeler 1984). Berdasarkan hasil penelitiannya, Rinaldi (1999) menyatakan terdapat 27 jenis tumbuhan yang merupakan sumber pakan owa jawa di TN. Ujung Kulon, diantaranya adalah purut (Parartocarpus veneroso), kiara koang (Schefflera macrostachya Jacq), kiara beunyeur (Ficus callopylla Blume), dahu

27 10 (Dracontomelon puberulum Miq) dan kicalung (Diospyros hermaphroditica Bakh.). Pohon pakan dan pohon tidur merupakan bagian habitat yang memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan gibbon. Buah-buahan merupakan sumber pakan utama gibbon dibandingkan bagian lain pada pohon pakan tersebut (Whiten 1982). Walaupun demikian, gibbon diidentifikasi pula mengkonsumsi pucuk daun, tangkai muda, bunga dan beberapa hewan invertebrata (Gittins 1982). Jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berasal dari famili Leguminosae, Myrtaceae, Annonacea, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae (Chivers 2000). Spesies yang memiliki sumber pakan sama dengan owa jawa adalah dua spesies lutung (Presbytis aygula, P. cristatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing (Ratufa bicolor), kelelawar (Pteropus vampyrus) dan tiga spesies rangkong (Anthracoceros convexus, Buceros rhinoceros, Rhyticerus undulates) (Kappeler 1981). Berdasarkan kesamaan sumber pakan tersebut, di TN. Ujung Kulon, owa jawa bersaing dalam menggunakan sumber pakan dengan spesies satwa primata lain, yaitu surili (P. comata), lutung (Trachipithecus auratus), dan monyet ekor panjang (M. fascicularis) (Iskandar 2001). Pohon Tidur Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan owa jawa sebagai tempat tidur dan tempat berlindung dari predator. Pohon tidur pada sebagian satwa primata merupakan salah satu tempat yang dipertahankan dari gangguan kelompok lain dan merupakan core area dari spesies tersebut. Core area adalah lokasi tertentu di dalam daerah jelajah yang dipertahankan secara intensif terhadap gangguan kelompok lain. Pemilihan tempat untuk istirahat dan tidur dilakukan secara hati-hati sehingga diperoleh lokasi yang benar-benar cocok (Fruth dan McGrew 1998). Pada umumnya, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur adalah pohon yang cukup tinggi, rindang dan rimbun sehingga selain bisa terhindar dari predator, dapat pula digunakan untuk berlindung dari perubahan cuaca (Reichard 1998).

28 11 Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam dan Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, owa jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa, dan terakhir jantan dewasa (Reichard 1998). Rerata waktu yang digunakan Hylobates moloch di pohon tidur di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah 13,05 jam (Malone et al. 2006). Pohon tidur dan pohon yang digunakan pada saat bersuara merupakan tempat penting di dalam teritori gibbon. Terdapat banyak pohon tidur yang digunakan gibbon pada satu lokasi. Banyaknya jumlah pohon tidur tersebut berperan penting dalam mempertahankan kehangatan (Gittins 1982). Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa (Hylobates moloch) Genus Hylobates dikelompokkan ke dalam empat subgenus, yaitu Bunopithecus, Hylobates, Nomascus dan Sympalangus seperti disajikan pada Tabel 1 (Geissmann 1995). Tabel 1. Klasifikasi dan Distribusi Genus Hylobates Genus Subgenus Spesies Subspesies Penyebaran Hylobates Bunopithecus Hoolock Hoolock Assam, Bangladesh, Burma Leuconedys Burma, Yunnan Hylobates Agilis agilis albibarbis Sumatra Barat, Kalimantan?unko Malaysia, Sumatra Lar Carpenteri Thailand Entelloides Thailand, Burma Lar Semenanjung Malaysia Vestitus Sumatra Utara?yunnanensis Yunnan Moloch Jawa Barat Muelleri Abboti Kalimantan Funerius Kalimantan Mueleri Kalimantan Pileatus Thailand, Kamboja Klosii Pulau Mentawai Nomascus Concolor Concolor Vietnam, Yunann?jingdongensis Yunnan

29 12 Hainanus ssp.nov. cf.nasutus?lu Pulau Hainan Vietnam Vietnam Laos

30 13 Tabel 1. (Lanjutan) Genus Subgenus Spesies Subspesies Penyebaran leucogenys Leucogenys Laos, Vietnam, Yunnan Siki Laos, Vietnam Gabriellae Laos, Vietnam, Kamboja Symphalangus syndactylus?continentis Semenanjung Malaysia Syndactylus Sumatra Owa jawa (Hylobates moloch) dikenal pula dengan nama Javan gibbon atau Silvery gibbon, memiliki susunan taksonomi sebagai berikut (The IUCN Red List of Threatened Species 2003): ordo: Primata; famili: Hylobatidae; genus: Hylobates; spesies: Hylobates moloch (Audebert 1797), dan nama lokal: owa, wau-wau kelabu. Arti kata Hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya. Morfologi Genus Hylobates tidak memiliki ekor, kepala berukuran kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil dan pendek, dada lebar dengan rambut yang tebal dan halus (Grzimek 1972). Salah satu ciri mencolok dari Genus Hylobates adalah adanya pembengkakan pada alat kelamin betina, terutama pada Hylobates moloch, H. muelleri, H. agilis, H. Albibarbis dan H. lar. Pembengkakan pada alat kelamin betina ini tidak begitu nyata pada H. pileatus (Mootnick 2006). Owa jawa merupakan salah satu spesies dalam Genus Hylobates yang memiliki bantalan duduk (ischial callosities). Bantalan duduk tersebut tidak terdapat pada semua jenis satwa primata (Fleagle 1988). Salah satu cara untuk membedakan populasi gibbon adalah melalui perbedaan rambut. Berdasarkan perbedaan warna rambut tersebut, dapat pula digunakan untuk membedakan jenis kelamin pada spesies tertentu (Chivers 1984). Owa jawa memiliki rambut tebal berwarna abu-abu keperakaan. Rambut di atas kepala dan muka berwarna hitam, sedangkan alis berwarna putih (Massicot 2006). Jantan dan betina owa jawa memiliki rambut tebal dan berwarna abu-abu keperakan menutupi hampir seluruh tubuh. Rambut di atas kepala berwarna gelap, beberapa diantaranya memiliki warna rambut lebih gelap

31 14 pada bagian dada. Warna rambut pada bayi berwarna lebih terang dibandingkan owa jawa dewasa (Rowe 1996). CII (2000) menyatakan bahwa rambut pada bagian kepala owa jawa berwarna abu-abu kehitaman, muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu terang atau cenderung putih. Supriatna dan Wahyono (2000) menambahkan, dagu pada beberapa individu owa jawa berwarna gelap dan terdapat sedikit perbedaan warna rambut antara jantan dan betina, terutama dalam tingkatan umur. Bobot tubuh owa jawa sekitar 6 kg (Massicot 2001). Antara jantan dan betina tidak terdapat perbedaan menyolok baik dari bobot badan maupun warna rambut (Kuester 1999). Panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara cm, memiliki lengan yang panjang dan tubuh ramping. Bentuk tubuh seperti ini sangat ideal untuk melakukan pergerakan diantara tajuk pohon di dalam hutan (Kuester 2000). Owa jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967). Status Konservasi Sebagai upaya melindungi owa jawa dari kepunahan, spesies ini telah dilindungi sejak jaman penjajahan Belanda oleh Undang-undang berdasarkan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar 1931 nomor 266 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Dit. PPA 1978). Perlindungan terhadap spesies endemik ini diganti oleh Undang-Undang No. 5/1990; Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 ( nl/2006). Pada tahun 1986, owa jawa telah dimasukkan ke dalam kategori endangered species dalam daftar IUCN. Status tersebut berubah pada tahun 1996, menjadi critically endangered species (CI 2000) setelah PHVA workshop (Supritna et al. 1994). Mulai tahun , owa jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia (IUCN/CI 2000). Kategori Owa jawa dalam daftar CITES termasuk ke dalam Appendix I (Kuester 1999).

32 15 Status owa jawa saat ini dikategorikan sangat kritis (genting) berdasarkan pertimbangan: 1) pengurangan setidaknya 80% habitat layak huni atau berkurangnya kualitas habitat selama tiga generasi terakhir (45 tahun) (Supriatna et al. 1994); 2) estimasi populasi kurang dari 250 individu dewasa dan terjadi penurunan secara terus menerus ( Penyebab sangat kritisnya populasi owa jawa dan satwa lain adalah akibat aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian habitat dan satwa yang hidup di dalamnya. Pada umumnya, hampir semua habitat spesies penting di dareah penyebaran owa jawa telah musnah. Lebih dari 95% habitat owa jawa dan lutung telah rusak, dan hanya 2% daerah penyebaran alaminya yang dilindungi (Primack et al. 1998). Gambar 4 menyajikan berbagai ancaman terhadap populasi primata dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi populasi primata tersebut. Gambar 4. Ancaman Utama Terhadap Populasi Primata dan Pendekatan dalam Melindungi Ordo tersebut (Chapman dan Peres 2001). Penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi owa jawa di beberapa kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa populasi spesies tersebut masih lebih dari individu. Berdasarkan hasil penelitiannya, Nijman (2004) menyarankan peninjauan kembali atas status owa jawa dari status saat ini critically endangered species

33 16 menjadi endangered species karena pertimbangan masih cukup banyaknya populasi owa jawa di alam. Penyebaran Gibbon lebih menyukai hutan dataran rendah karena memiliki keanekaragaman dan kepadatan pohon-pohon berbuah sangat tinggi (Chivers 2000). Penyebaran owa jawa hanya terdapat di separuh P. Jawa ke arah barat. Daerah sebaran di Jawa Barat meliputi TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Salak, HL Gunung Ciremai, Gunung Papandayan, Gunung Wayang, Gunung Jayanti dan Gunung Porang. Di Jawa Tengah, owa jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, Gunung Prahu, dan Pegunungan Dieng (CII 2000; Nijmann dan Sozer 1995). Spesies gibbon tersebar menurut geografis. Sebaran ini dapat digunakan sebagai indikasi keragaman spesies tersebut selain perbedaan warna rambut. Penyebaran gibbon berdasarkan letak geografis disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Penyebaran Gibbon Berdasarkan Letak Geografis (Chivers 1984)

34 17 Owa jawa telah diidentifikasi keberadaannya pada 20 areal yang masih berhutan, terutama di Jawa Barat. Pada beberapa areal dengan populasi owa jawa sedikit, diperkirakan populasi tersebut tidak akan bertahan dalam kurun waktu lama (Massicot 2006). Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan owa jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. moloch moloch yang memiliki warna rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih terang. Menurut Geissmann (2004), owa jawa yang sebarannya di Jawa Barat adalah H. moloch moloch, sedangkan di Jawa Tengah adalah H. moloch pangoalsoni. Aktivitas Harian dan Pola Interaksi Pada saat melakukan aktivitas harian, owa jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi (Kuester 1999; Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (CII 2000). Aktivitas tersebut ada di dalam daerah jelajahnya. Pola aktivitas harian diawali dengan mengeluarkan suara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari makan (Rinaldi 2003), siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling menelisik antara jantan dan betina pasangannya, atau antara induk dan anaknya, sedangkan pada malam hari, tidur pada percabangan pohon (Cowlishaw 1996). Pergerakan dari satu cabang ke cabang lain atau dari pohon ke pohon lain dibagi ke dalam dua kecepatan, yaitu lokomosi cepat terjadi ketika menghindari predator, terdengar suara peringatan dari betina dan ketika terjadi perebutan teritori. Lokomosi lambat dilakukan pada saat menempuh jarak pendek (50-100m) dan terdiri atas bergelayutan tanpa fase melayang, berjalan dengan dua kaki (bipedal), berjalan dengan empat kaki (quadrupedal), fase melayang untuk menjangkau cabang atau pucuk pohon (Kappeler 1981). Cara bergerak owa jawa dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: 1) brankiasi; 2) berjalan dengan dua kaki (bipedal); 3) memanjat; dan 4) melompat (leaping). Aktivitas owa jawa di TN. Ujung Kulon dimulai antara jam dan 7.15 pagi tergantung kepada kondisi cuaca. Pada saat musim kemarau, aktivitas harian owa jawa dimulai pada pukul 06:00 pagi, sedangkan pada musim hujan, aktivitas

35 18 dimulai pada pukul 07:15 pagi dan beristirahat pada siang hari. Aktivitas diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan. Aktivitas makan dimulai setelah matahari terbit dan aktivitas bersuara (Rinaldi 1999, 2003). Respon gibbon pada saat ada manusia yang mendekat adalah segera menghindar, respon seperti ini bisa disertai oleh menggoyangkan cabang pohon dan bersuara. Respon lain yang mungkin muncul adalah berdiam diri dan bersembunyi. Respon bersuara biasanya terjadi apabila satwa mendeteksi kehadiran manusia pada jarak yang sangat dekat (Nijman 2006). Salah satu pola interaksi yang dilakukan owa jawa adalah bersuara (Dallman & Geismann 2001). Terdapat dua jenis suara pada owa jawa, yaitu usual dan unusual call. Usual call biasanya dikeluarkan oleh betina dewasa baik secara solo maupun duet dengan jantan dewasa atau remaja. Aktivitas ini dilakukan sebelum mengeksplorasi daerah jelajah dan teritori. Unusual call dilakukan oleh betina dewasa, jantan dan anggota kelompok ketika bertemu dengan kelompok lainnya di perbatasan teritori dan merespon adanya gangguan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, owa akan bersuara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call dengan durasi antara menit. Owa jawa dan siamang kerdil (H. klosii) tidak bersuara secara duet, melainkan suara solo (Geismann dan Nijman 1999). Pada saat bersuara ini, betina owa jawa akan lebih mendominasi (Dallmann and Geismann 2001). Suara owa jawa dapat diidentifikasi hingga jarak m (Kappeler 1981). Suara yang dapat diidentifikasi menurut CII (2000): 1) suara betina untuk menandakan teritorinya; 2) suara jantan ketika bertemu kelompok lainnya; 3) suara antar individu ketika terjadi konflik; dan 4) suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (alarm call, harassing call). Populasi Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Kappeler (1981) memperkirakan populasi owa jawa antara dan individu. Empat belas tahun kemudian, populasi owa jawa dinyatakan menurun cukup tajam menjadi individu (Asquith et al. 1995). Penurunan populasi yang cukup tajam ini disebabkan oleh rusak atau hilangnya habitat akibat meningkatnya populasi manusia yang disertai meningkatnya kebutuhan

36 19 manusia akan lahan untuk pengembangan sektor pertanian lainnya. Pada tahun 2000, Supriatna dan Wahyono menyatakan estimasi populasi owa jawa pada kisaran dan individu, bahkan diperkirakan jumlah sebenarnya bisa melebihi populasi tersebut. Peningkatan estimasi populasi tersebut dipertegas dengan hasil penelitian Nijman (2004) yang melaporkan hasil survei yang dilakukannya di Pulau Jawa dengan memprediksi populasi owa jawa berada pada kisaran individu. Tabel 2 menyajikan populasi owa jawa di beberapa lokasi di P. Jawa. Tabel 2. Populasi Owa Jawa pada beberapa lokasi di Pulau Jawa No. Lokasi Estimasi Populasi (individu) Sumber 1. TN. Gunung Gede Pangrango TN. Gunung Halimun Cagar Alam Gunung Salak Cagar ALam Gunung Simpang TN Ujung Kulon Gunung Papandayan Gunung Slamet 96 1 Keterangan: 1 = Djanubudiman et al. (2005); 2 = Rinaldi (2003); 3 = Asquith et al. (1995) Aktivitas yang berakibat secara langsung terhadap menurunnya populasi owa jawa antara lain: 1) hilangnya habitat; 2) perburuan dan penangkapan untuk keperluan hewan peliharaan; dan 3) hilangnya koridor sebagai dampak dari hilangnya habitat. Selain itu, faktor yang turut berperan semakin menurunnya populasi owa jawa adalah tingkat reproduksinya yang relatif rendah (Geissmann 1991). Kepadatan kelompok dan populasi owa jawa pada berbagai tipe habitat dan ketinggian tempat menunjukkan jumlah kelompok dan populasi berbeda. Tabel 3 menyajikan kepadatan kelompok dan kepadatan populasi owa jawa berdasarkan ketinggian dari atas permukaan laut.

37 20 Tabel 3. Kepadatan Kelompok dan Populasi Owa Jawa Berdasarkan Ketinggian di Atas Permukaan Laut (dpl.) Lokasi Ketinggian (m dpl) Kepadatan Sumber Kelompok (kelompok/km2) Populasi (individu/km2) Ujung Kulon ,9 8,3 1 Gunung Halimun ,6 9,9 2 Telaga Warna ,1-2,1 3,3-6,3 3 Gunung Dieng ,9-1,1 3,0-3,6 4 Keterangan: 1. Gurmaya et al. 1995; 2. Sugarjito et al. 1997; 3. Nijman 2004; 4. Nijman dan Van Balen 1998 individu/km 2 Kepadatan populasi owa jawa di hutan hujan dataran rendah adalah 2 dan di hutan hujan dataran tinggi 7 individu/km 2. Perbedaan kepadatan ini disebabkan habitat owa jawa lebih banyak tersebar di dataran tinggi sampai pada ketinggian m dpl (Massicot 2001). Kepadatan populasi owa jawa yang diidentifikasi di daerah Cibiuk dan Reuma Jengkol yang merupakan bagian dari kawasan TN Ujung Kulon, yaitu 9,2 individu/km 2. Rerata kepadatan kelompok pada kedua daerah di TN Ujung Kulon tersebut adalah 2,8 kelompok/km 2, dengan besar ukuran kelompok 3,3 individu. Kisaran jumlah individu yang ditemukan pada setiap identifikasi adalah 1-5 individu (Iskandar 2001), sedangkan pada tahun 1984, Kappeler melaporkan hasil penelitiannya yang memperkirakan kepadatan kelompok owa jawa di TN. Ujung Kulon sekitar 2,7 kelompok/km 2. Komposisi Kelompok Owa jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain kedua induk, terdapat 1-2 individu anak yang belum mandiri (Supriatna dan Wahyono 2000), sehingga rerata setiap kelompok berjumlah 4 individu (Kuester 1999). Pada kelompok tertentu hanya terdiri dari pasangan induk jantan dan betina (Nijman 2004). Kematangan seksual owa jawa baru dicapai pada umur 4-5 tahun, sedangkan periode kebuntingan berkisar antara hari dengan interval kelahiran 3-4 tahun (Geismann 1991). Dalam sistem monogami, keberhasilan jantan dalam bereproduksi cenderung menurun, hal ini diperkirakan karena ketersediaan niche dan penyebaran sumber pakan. Selain itu, energi

38 21 yang diperoleh dari sumber pakan digunakan untuk berpatroli dan mempertahankan teritori (Chivers 2000). MacKinnon dan MacKinnon (1984) menyatakan bahwa keuntungan kelompok dengan sistem hidup monogami dan mempertahankan teritori adalah 1) mengurangi aktivitas reproduksi yang tidak diperlukan dan meningkatkan perlindungan bagi anak-anaknya yang masih kecil; 2) mengurangi gangguan dan kompetisi dengan kelompok lain; 3) meningkatkan efisiensi dalam menemukan sumber pakan; dan 4) mengurangi kompetisi dalam perkawinan. Kekurangan kelompok populasi dengan sistem hidup monogami adalah 1) tidak fleksibel dalam penggunaan ruang; 2) perbandingan jenis kelamin tidak beragam sehingga menyebabkan berkurangnya keberhasilan reproduksi; 3) kecilnya ukuran kelompok mengurangi kemampuan berkompetisi dengan spesies lain; 4) peningkatan spesiasi merupakan bagian dari evolusi. Owa jawa yang kehilangan pasangannya, tidak akan mencari pengganti pasangan sampai akhir hayatnya. Kondisi demikian, dapat mempercepat penurunan populasi (Sudarmadji 2002). Gibbon dengan sistem hidup monogami lebih memfokuskan sumber pakannya pada pohon berbuah dengan diameter besar dan tinggi untuk menghindari persaingan dengan kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) seperti macaques dan orangutan. Lebih dari 60% waktu makannya digunakan untuk mengkonsumsi buah-buahan (Chivers 2000). Umur betina siap kawin berkisar antara 6-7 tahun (CII 2000). Pasangan owa jawa akan menghasilkan 5-6 anak selama masa reproduksinya yaitu antara tahun. Anak yang dihasilkan setiap kelahiran berjumlah satu individu, dengan lama menyusui sekitar tujuh bulan. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya adalah 40 bulan (Kuester 2000). Jantan dan betina muda menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok keluarga yang baru (Kirkwood & Stathatos 1992). Di alam, satwa yang termasuk famili Hylobatidae dapat bertahan hidup sampai usia tahun (Mommens 1998; Arazpa 2004), sedangkan di penangkaran, umumnya dapat hidup sampai umur 44 tahun. Hylobates moloch diduga dapat mencapai kisaran umur yang sama (Kuester 2000).

39 22 Daerah Jelajah Daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu. Rowe (1996) mendefinisikan daerah jelajah sebagai estimasi penggunaan lahan oleh suatu kelompok pada kurun waktu tertentu. Daerah jelajah bisa sangat berbeda dari tahun ke tahun tergantung perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, persaingan dengan kelompok lain dalam satu spesies yang sama, dan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia, seperti perburuan, penebangan pohon dan meluasnya kegiatan pertanian. Pernyataan Rowe tentang perubahan luas daerah jelajah, sama dengan yang dikemukakan Collinge (1993), bahwa luas daerah jelajah bisa berubah tergantung dari ketersediaan sumber pakan, air dan tempat berlindung. Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Ditambahkan pula, daerah jelajah harian bisa berubah setiap harinya tergantung pergerakan kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Jelajah harian (day range) adalah jarak tempuh rata-rata suatu kelompok dalam satu hari, sedangkan core area adalah areal di dalam daerah jelajah yang paling sering digunakan oleh satu kelompok (Rowe 1996). Owa jawa sangat tergantung kepada daerah jelajah yang telah dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan, owa jawa akan tetap bertahan pada wilayah yang telah dikuasai tersebut, sehingga perilaku ini menyebabkan kelangsungan hidup spesies tersebut mudah terancam jika hutan mengalami kerusakan (Geissmann 2002). Daerah jelajah gibbon bervariasi satu sama lain, H. lar di Thailand, 16 ha, H. moloch di Jawa, 17 ha, hoolock di Bangladesh, 45 ha, H. lar di Malaysia, 56 ha, sedangkan luas daerah jelajah siamang berkisar antara ha. (Chivers 2000). Luas daerah jelajah owa jawa sekitar 17 ha, luasan ini lebih sempit dari rata-rata luas daerah jelajah Genus Hylobates yaitu 34,2 ha (Nowak 1999). Genus Hylobates adalah satwa primata yang sangat mempertahankan teritori. Sekitar 75% spesies dalam genus ini mempertahankan teritori kelompoknya dari kelompok lain (Nowak 1997). Cara untuk menandai teritori pada kelompok ini adalah dengan mengeluarkan suara nyaring pada pagi hari (Leighton 1987) dalam kisaran waktu antara menit (Geissmann 2000).

40 23 Penangkaran Penangkaran merupakan suatu upaya mengembangbiakkan satwa liar yang dilakukan secara intensif di dalam kandang. Pengembangbiakkan satwa primata di dalam penangkaran mempunyai dua tujuan utama, yaitu menghasilkan satwa untuk kepentingan penelitian biomedis, serta melindungi spesies satwa yang terancam punah (De Mello 1991). Pada dasarnya, sisitem perkandangan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem perkandangan tertutup (indoor enclosures) dan sistem perkandangan terbuka (outdoor enclosures). Pada sistem perkandangan tertutup, satwa ditempatkan di dalam suatu bangunan sehingga satwa tidak terganggu oleh cuaca maupun lingkungan luar, sedangkan pada sistem perkandangan terbuka, satwa ditempatkan pada kandang terbuka yang memungkinkan adanya pengaruh dari perubahan cuaca di luar (Bismark 1984). Berdasarkan tipenya, kandang dibagi menjadi tiga bagian (Bennet 1995), yaitu: 1) kandang individual (jantan/betina) dan sering disebut kandang individual atau berpasangan; 2) individual jantan/banyak betina, biasa disebut kandang harem; 3) banyak jantan dan banyak betina, disebut juga kandang kelompok (troop). Berdasarkan lokasinya, kandang dibagi ke dalam tiga lokasi: 1) dalam ruangan, biasanya diperuntukkan bagi kandang individual atau berpasangan; 2) kandang di luar ruangan, biasanya disebut kandnag koral atau kandang lapang; 3) kandang dalam/luar, disebut runs, biasanya merupakan gabungan konsep kedua jenis kandang tersebut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada saat mendisain suatu kandang antara lain adalah: 1) memberikan kenyamanan fisik pada satwa yang sedang dikandangkan; 2) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan normal satwa; 3) pemeliharaan yang sesuai dan mampu menjaga kesehatan satwa; 4) kandang harus memenuhi syarat penelitian dan perawatan satwa (Bennet et al 1995). Pertimbangan tersebut salah satunya bertujuan mengurangi tingkat stres yang biasa terjadi pada satwa di dalam penangkaran. Ukuran kandang satwa primata berdasarkan bobot badan disajikan pada Tabel 4.

41 24 Tabel 4. Rekomendasi Ukurang Kandang Satwa Primata Berdasarkan Berat Badan Satwa Primata Berat (kg) Luas/individu Tinggi Monyet ft 2 m 2 in cm Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok 7 > Kera Kelompok Kelompok Kelompok 3 > Sumber: Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences, National Research Council (1996) Model Estimasi Populasi Model adalah suatu contoh, acuan atau pola (Badudu dan Zain 1996), Dalam studi ekologi, model merupakan formulasi yang memberikan gambaran tentang keadaan sebenarnya (real world situation). Populasi berubah-ubah sepanjang waktu, maka dengan adanya model dimungkinkan untuk mengadakan ramalan-ramalan mengenai keadaan populasi yang bersangkutan untuk waktuwaktu tertentu. Suatu model dapat diaplikasikan pada sesuatu yang bersifat sederajat atau bisa pula digunakan pada sesuatu yang bersifat beda dengan kemungkinan dilakukannya koreksi terhadap model yang sudah ada (Tarumingkeng 1994). Dalam menentukan suatu model populasi dapat dilakukan pendekatan satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi pada habitat tertentu. Dengan model, penjelasan mengenai sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif (Tarumingkeng 1994). Estimasi populasi adalah suatu upaya dalam menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam menentukan estimasi populasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi. Hasil yang diperoleh dari estimasi populasi merupakan

42 25 gambaran tentang keadaan suatu populasi pada waktu dan tempat tertentu berdasarkan faktor yang mempengaruhinya (Tarumingkeng 1994). Simulasi Populasi Simulasi adalah pekerjaan tiruan atau meniru (Echols dan Shadily 1976). Simulasi populasi adalah suatu upaya untuk mengetahui status suatu populasi pada masa yang akan datang berdasarkan pendekatan keadaan populasi saat ini, data biologi, potensi ancaman terhadap populasi tersebut dan berbagai aspek yang mempengaruhi suatu populasi. Simulasi populasi owa jawa bertujuan untuk mengetahui prediksi populasi spesies tersebut pada kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan faktorfaktor ancaman terhapat populasi owa jawa pada saat itu. Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan masyarakat (Badudu dan Zain 1996). Kondisi sosial ekonomi bisa diartikan sebagai keadaan ekonomi suatu masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan mata pencaharian masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis mata pencaharian dan kemampuan setiap individu dalam menjalani mata pencaharian tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan keadaan sosial ekonomi lingkungannya. Sosial ekonomi masyarakat hutan yang berada di lingkungan hutan, memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup secara langsung atu melalui pemanfaatan lahan hutan sebagai kawasan agroforestry. Pemanfaatan hutan yang tidak terkendali dapat mempengaruhi populasi satwa terutama melalui perburuan.

43 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi di wilyah Resor Leuwi Waluh, Kabupaten Sukabumi: Citarik ( Lintang Selatan dan Bujur Timur) pada kisaran ketinggian m di atas permukaan laut (dpl), Cibeureum ( LS dan BT) pada kisaran ketinggian m dpl. dan Cisalimar ( LS dan BT) pada kisaran ketinggian m dpl. serta satu lokasi di Resor Cikaniki, Kabupaten Bogor ( LS dan BT) pada kisaran ketinggian m dpl. Gambar 7 menyajikan lokasi dan jalur penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak. Gambar 7. Lokasi dan Jalur Penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak Penelitian tingkah laku owa jawa dilakukan di fasilitas penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM IPB) pada bulan April sampai Juli Sebagai pembanding, digunakan data sekunder owa jawa yang berasal dari Pusat Primata Schmutzer, Jakarta dan Kebun Binatang Taman Sari, Bandung.

44 31 Bahan dan Alat Bahan Satwa yang dijadikan target penelitian adalah owa jawa (Hylobates moloch) yang terdiri dari lima kelompok di Citarik dan Cikaniki, empat kelompok di Cibeureum dan tiga kelompok di Cisalimar dengan rerata setiap kelompok tiga ekor. Selain itu, diamati pula satu kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB yang terdiri dari sepasang induk dan satu bayi jantan untuk meneliti tingkah laku serta sepasang induk dan dua individu anak pada saat membandingkan kemampuan reproduksi. Bahan yang digunakan untuk kepentingan analisis vegetasi adalah alkohol 70% yang digunakan sebagai bahan pengawet daun tumbuhan terutama yang tidak dikenali nama lokalnya. Contoh daun tumbuhan dalam setiap tipe hutan dan ketinggian dianalisis di Herbarium Bogoriense, Bogor. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan lunak sebagai berikut, 1) peta lokasi disertai dengan foto land sat; 2) Global Positioning System (GPS) untuk mencatat koordinat pada saat owa jawa diidentifikasi dan melakukan analisis vegetasi; 3) ArcView GIS 3,2 untuk menganalisis data koordinat hasil pencatatan dengan GPS; 4) program Minitab 14, perangkat lunak yang digunakan untuk mendapatkan persamaan garis regresi linier; 5) progam Vortex 9.6, untuk menduga populasi pada kurun waktu tertentu di masa yang akan datang; 6) teropong binokuler; 7) kompas; 8) kamera; 9) plant press untuk membuat sampel vegetasi yang tidak diketahui nama lokal atau tidak diketahui jenisnya; dan 10) alat tulis. Metode Pengumpulan Data Penentuan Lokasi Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan survei pendahuluan dan informasi sebaran owa jawa dan tipe habitat yang disukai spesies tersebut dari penelitian sebelumnya, serta informasi dari petugas taman nasional dan masyarakat sekitar. Kriteria lain dalam penentuan lokasi penelitian adalah berdasarkan perbedaan tipe hutan, yaitu 1) hutan primer, 2) hutan sekunder, 3) hutan yang berdekatan dengan pemukiman/perkebunan, dan 4) lokasi

45 32 penelitian yang digunakan sebagai lokasi ekowisata. Luas masing-masing wilayah yang dijadikan areal penelitian adalah 35 ha, dengan kisaran ketinggian lokasi penelitian berkisar antara m di atas permukaan laut (dpl). Analisis Vegetasi Pengumpulan data vegetasi dilakukan menggunakan metode garis berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998) di hutan primer Citarik dan Cikaniki, serta hutan Cibeureum dan Cisalimar. Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga plot sampel vegetasi sehingga total plot sampel berjumlah 12 plot dengan kriteria 1) lokasi identifikasi owa jawa, dan 2) perbedaan topografi dan habitat yang mewakili lokasi penelitian. Pencatatan jenis vegetasi dilakukan pada setiap ukuran plot yang dibuat pada berbagai tingkatan: semai, pancang, tiang dan pohon. Disain Metode Garis Berpetak disajikan pada Gambar Arah jalur 20 Gambar 8. Desain Metode Garis Berpetak keterangan: plot 2 m x 2 m untuk tingkat semai (permudaan dengan tinggi mencapai 1,5 m); plot 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan berdiameter kurang dari 10 cm); plot 10 m x 10 m untuk tingkat tiang (pohon berdiameter antara cm); plot 20 m x 20 m untuk tingkat pohon (diameter batang pohon minimal 20 cm). Identifikasi pohon pakan dan pohon tidur dilakukan di sepanjang jalur penelitian populasi pada setiap lokasi penelitian. Pencatatan jenis pohon yang dimanfaatkan dilakukan pada saat identifikasi owa jawa memanfaatkan pohon pakan atau memanfaatkan pohon untuk digunakan sebagai pohon tidur.

46 33 Populasi Owa Jawa Distribusi Identifikasi distribusi owa jawa di areal penelitian dilakukan secara bersamaan saat pengamatan populasi di sepanjang jalur 3,5 km. Pencatatan dilakukan sebanyak 16 kali dan dicatat posisi koordinat setiap anggota kelompok dengan menggunakan GPS, selanjutnya data tersebut diplotkan ke dalam peta menggunakan Arch view GIS 3.2 sehingga pada akhir penelitian dapat diketahui distribusi kelompok owa jawa di setiap lokasi penelitian. Komposisi Kelompok Komposisi kelompok ditentukan berdasarkan pencatatan pada setiap pendeteksian kelompok owa jawa. Pencatatan data kelompok dilakukan setiap kali melakukan pengamatan populasi. Data yang dicatat adalah jumlah individu serta komposisi jantan dan betina berdasarkan kelas umur. Jumlah kelompok yang diidentifikasi berjumlah 17 kelompok, masing-masing lima kelompok di hutan primer Citarik dan Cikanini, empat kelompok di hutan sekunder Cibeureum dan tiga kelompok di hutan sekunder Cisalimar. Komposisi kelompok pada masing-masing lokasi penelitian dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui perbedaan jumlah dan komposisinya serta melihat kemampuan habitat setiap lokasi dalam mendukung populasi Owa Jawa. Daerah Jelajah dan Interaksi Kelompok Penentuan wilayah jelajah dilakukan dengan jalan mengikuti kelompok dari saat kelompok mulai bergerak dari pohon tidur sampai kembali ke tempat tidurnya. Aktivitas tersebut dilakukan selama delapan kali ditambah pencatatan setiap kali melakukan pengamatan populasi. Pada saat mengikuti satu kelompok tertentu, dicatat posisi koordinat diidentifikasinya anggota kelompok tersebut menggunakan GPS. Pencatatan lokasi dilakukan pada setiap jarak tertentu berkisar antara m tergantung pada keadaan topografi kawasan. Interaksi di dalam dan antar kelompok ditentukan dengan menggunakan metode scan sampling menurut Martin dan Bateson (1986).

47 34 Estimasi Populasi Estimasi populasi owa jawa ditentukan berdasarkan penelitian menggunakan line transect sampling (metode jalur) (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981). Metode line transect sampling sering digunakan di hutan tropika untuk menghitung kelimpahan relatif dan estimasi kepadatan berbagai jenis mamalia (>1 kg) (Wallace et al. 1998). Pada masingmasing lokasi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan jalur penelitian sepanjang 3,5 km dengan lebar jangkauan pandang 100 m pada kedua sisi jalur. Jarak pandang ini merupakan asumsi bahwa kemampuan maksimal daya pandang mata manusia adalah 50 m (Subekti et al. 2001). Pada setiap jalur penelitian dilakukan 16 kali ulangan dan diulangi pada musim berbeda, sehingga panjang total jalur penelitian adalah 448km. Masing-masing jalur diberi tanda pada setiap jarak 25m untuk memudahkan dalam mencatat lokasi pendeteksian. Gambar 9 menyajikan disain line transect sampling yang digunakan m m 50 m Gambar 9. Disain Line transect sampling Penelitian dimulai pada jam 6.30, pengamat berjalan perlahan sambil sesekali berhenti untuk memperhatikan dan mengamati daerah sekitar. Jika satu individu atau sekelompok owa jawa dideteksi, dicatat posisi kuadrat pendeteksian dengan menggunakan GPS, waktu deteksi, lokasi, jarak tegak lurus subyek terhadap jalur, jumlah individu dan komposisi dalam kelompok. Pencatatan jumlah dan komposisi kelompok dilakukan menggunakan metode sensus (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981), sedangkan aktivitas pada saat deteksi dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling (Martin dan Bateson 1986). Pada saat satu kelompok owa jawa diidentifikasi, pengamat akan mengidentifikasi kelompok tersebut selama maksimal 10 menit (Muoria et al. 2003).

48 35 Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB Penelitian terhadap satu kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB (PSSP LPPM IPB) dilakukan untuk mengetahui pola aktivitas setiap individu berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin satwa, serta kemampuan reproduksi sepasang induk. Penelitian aktivitas harian secara umum dan kemampuan reproduksi dilakukan menggunakan metode focal animal sampling (Altman 1974; Martin dan Bateson 1986). Model Estimasi Populasi Pengumpulan data model estimasi populasi owa jawa dilakukan melalui pendekatan pohon pakan dan pohon tidur. Identifikasi pohon pakan dan pohon tidur dilakukan pada saat melakukan penelitian populasi. Berdasarkan identifikasi tersebut dibuat plot sampel menggunakan metode titik pusat kuadran (Kusmana 1997) pada setiap lokasi identifikasi owa jawa. Jumlah plot sampel tergantung jumlah identifikasi owa jawa di setiap jalur penelitian pada masing-masing lokasi penelitian. Disain metode kuadran disajikan pada Gambar 10. pohon pakan pohon tempat tidur pohon pakan pohon tempat tidur Gambar 10. Disain Metode Titik Pusat Kuadran (Kusmana 1997) Pada metode titik pusat kuadran ini dicatat satu jenis pohon pakan atau pohon tidur yang paling dekat dengan titik pusat pada masing-masing kuadran. Data yang dikumpulkan dari pohon pakan dan pohon tidur adalah 1) jenis pohon, 2) tinggi, 3) diameter, 4) lebar tajuk, 5) jarak pohon dari jalur penelitian, dan jumlah pohon per jenis. Pohon yang dikonsumsi dan digunakan sebagai pohon tidur tetapi tidak diketahui nama daerahnya, diambil contoh daunnya untuk dianalisis di Herbarium Bogoriense, Bogor.

49 36 Simulasi Populasi Simulasi populasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Vortex 9.6 (Lacy et al. 2005). Vortex adalah perangkat lunak komputer yang mensimulasi pengaruh tekanan deterministik lingkungan dan genetik pada suatu populasi di alam. Vortex menganggap dinamika populasi sebagai rangkaian kejadian tersendiri seperti: umur pertama betina melahirkan dan umur maksimum betina tersebut masih dapat melahirkan anak (tahun), persentase kelahiran per tahun (%), tingkat kematian per tahun (%), perbandingan jenis kelamin antara anakan, dan katastrofi berdasarkan peluang yang telah ditetapkan. Peluang tersebut dijadikan sebagai variabel konstan atau acak menurut distribusi tertentu. Program Vortex mensimulasi populasi melalui serangkaian tahapan kejadian yang menggambarkan siklus hidup khusus, seperti siklus reproduksi. Sistem Vortex tidak memberikan gambaran pasti tentang suatu populasi pada kurun waktu tertentu karena input data yang dimasukkan adalah interaksi antara parameter yang berfluktuasi dan acak, dan berdasarkan pertimbangan ketidaktentuan data demografi populasi. Analisis Data Analisis Vegetasi Komposisi dan Dominansi Jenis Analisis vegetasi dilakukan untuk mendapatkan komposisi dan dominansi suatu jenis pohon pada lokasi penelitian. Selain itu, berdasarkan analisis vegetasi terebut dapat diperoleh informasi masing-masing karakteristik pohon pakan dan pohon tidur. Data vegetasi yang diperoleh berdasarkan penggunaan metode garis berpetak dianalisis dengan cara berikut ini: Kerapatan jenis ke-i (Ki) = jumlah individu jenis ke-i/luas total petak contoh Kerapatan relatif (KR) = (Ki/ Ki) x 100% Dominansi jenis ke-i (Di) = luas bidang dasar jenis ke-i/luas total petak contoh Dominansi relatif (DR) = (Di/ Di) x 100% Frekuensi jenis ke-i (Fi) = jumlah petak contoh ditemukan jenis ke-i/jumlah total petak contoh

50 37 Frekuensi relatif (FR) = (Fi/ Fi) x 100% Indeks Nilai Penting (INP) = KR + DR + FR Data pohon pakan dan pohon tidur yang diperoleh berdasarkan metode titik pusat kuadran, dianalisis menggunakan formula (Kusmana 1997). Jarak rata-rata individu pohon ke titik pengukuran: keterangan: d 1 + d 2 + +d n đ= n d = jarak individu pohon ke titik pengukuran di setiap kuadran n = banyaknya pohon đ = rata-rata unit area/jenis, yaitu rata-rata luasan permukaan tanah yang diokupasi oleh satu jenis tumbuhan Kerapatan total semua jenis (K) = unit area/(đ) 2 Kerapatan relatif suatu jenis (KR) = jumlah individu suatu jenis/jumlah individu semua jenis x 100% Kerapatan suatu jenis (KA) = KR x K/100 Dominansi suatu jenis (D) = KA x dominansi rata-rata per jenis Dominansi relatif suatu jenis (DR) = D/dominansi seluruh jenis x 100% Frekuensi suatu jenis (F) = jumlah titik ditemukannya suatu jenis/jumlah semua titik pengukuran Frekuensi Relatif (FR) = F/frekuensi semua jenis Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR Lebar tajuk = pengukuran penampang melintang tajuk (X1 dan X2) Populasi Owa Jawa Distribusi Pencatatan koordinat setiap kelompok owa jawa yang telah diidentifkasi, diplotkan ke dalam peta menggunakan Arch View GIS 2,3 sehingga bisa diketahui distribusi kelompok pada masing-masing lokasi penelitian.

51 38 Komposisi Kelompok Pada saat penentuan komposisi kelompok, dicatat jumlah total anggota kelompok, jenis kelamin dan kelas umur masing-masing individu dalam kelompok berdasarkan hasil identifikasi selama melakukan penelitian populasi. Setiap kelompok pada setiap lokasi penelitian dibedakan berdasarkan kriteria: jantan induk, betina induk, muda, dan bayi. Data komposisi kelompok yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik sehingga bisa diketahui komposisi setiap kelompok pada masing-masing lokasi penelitian. Daerah Jelajah dan Interaksi Kelompok Penentuan daerah jelajah ditentukan dengan cara memplotkan setiap koordinat yang diperoleh dari setiap anggota dalam satu kelompok owa jawa dalam satu hari ke dalam peta. Data koordinat yang dicatat dengan GPS diplotkan ke dalam peta menggunakan Arch view GIS 3,2 sehingga bisa diketahui posisi sebenarnya di dalam peta. Setiap koordinat terluar dari jelajah harian digabungkan membentuk daerah jelajah suatu kelompok pada kurun waktu tertentu. Estimasi Populasi Penentuan estimasi populasi dilakukan dengan menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan formula (Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981): keterangan: P = D x A P = Populasi D = Kepadatan populasi A = Areal yang dihuni Kepadatan populasi bisa diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang diidentifikasi dan membaginya dengan luas areal penelitian, seperti formula berikut: Jumlah individu teridentifikasi D = Total areal penelitian

52 39 Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB Data kemampuan reproduksi dan komposisi kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB dibandingkan dengan kemampuan reproduksi dan komposisi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, sedangkan pola aktivitas betina dewasa owa jawa dibandingkan dengan aktivitas betina dewasa owa jawa di dua kebun binatang yang berbeda, yaitu Pusat Primata Schmutzer, Jakarta dan KB. Taman Sari, Bandung. Pola aktivitas harian secara umum ditentukan berdasarkan persentse aktif dan istirahat kelompok owa jawa sehingga bisa diperoleh hubungannya dengan kemampuan reproduksi masingmasing kelompok. Model Estimasi Populasi Pendugaan model estimasi populasi dilakukan berdasarkan analisis hubungan peubah-peubah yang diamati, yaitu pohon pakan dan pohon tidur. Data yang diperoleh dari pengukuran pohon pakan dan pohon tidur dianalisis menggunakan perangkat lunak Minitab versi 14. Jumlah pohon pakan dan pohon tidur yang dihasilkan dari metode kuadran diolah satu persatu dengan menggabungkannya dengan jumlah owa jawa yang diidentifikasi pada setiap penelitian populasi. Pada proses tersebut, peubah dimasukkan satu persatu dengan mendahulukan peubah yang paling berpengaruh, kemudian dimasukkan peubah lain yang memiliki pengaruh yang lebih kecil. Pada tahap berikutnya, rerata pohon pakan dan pohon tidur digabungkan dengan kepadatan populasi owa jawa untuk dianalisis dengan cara yang sama. Hasil akhir analisis tersebut, dibuat berdasarkan pendekatan persamaan regresi linier sederhana dan ganda (Mattjik dan Sumertajaya 2002): keterangan: Y = ά + β 1 x β n x n Y = populasi ά = intersep β = koefisien arah x 1 x n = peubah bebas (masing-masing jumlah pohon pakan dan pohon tidur)

53 40 Simulasi Populasi Untuk menduga populasi owa jawa pada kurun waktu tertentu di masa yang akan datang, digunakan perangkat lunak Vortex versi 9,5 (Lacy et al. 2005). Berbagai parameter yang berhubungan dengan data owa jawa dimasukkan ke dalam program tersebut untuk dilakukan simulasi berdasarkan parameter yang tersedia. Mengingat sangat terbatasnya data lapangan untuk beberapa parameter yang dibutuhkan, digunakan data sekunder baik dari genus yang sama tetapi spesies berbeda, maupun dari spesies yang sama tetapi berasal dari penangkaran atau kebun binatang dengan dilakukan penyesuaian. Jika informasi yang dibutuhkan tidak tersedia di lapangan, maka dilakukan suatu pengandaian sehingga bisa diketahui dampak yang terjadi pada kurun waktu tertentu di masa yang akan datang.

54 HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Dominansi Jenis Vegetasi Analisis vegetasi di setiap lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi setiap habitat dalam mendukung kebutuhan hidup owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada setiap lokasi penelitian tersebut, selanjutnya diidentifikasi jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat 52 jenis vegetasi tingkat pohon, terdiri dari 30 jenis pohon diidentifikasi di hutan primer Citarik, 26 jenis di hutan primer Cikaniki, 19 jenis di hutan sekunder Cibeurem dan 17 jenis pohon di hutan sekunder Cisalimar. Jenis pohon yang mendominasi lokasi penelitian dan memiliki rerata Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi berturut-turut adalah, pasang batarua (Quercus gemiliflorus Blume, 19,02%); puspa (Schima wallichii (DC.) Korth, 18,79%); saninten (Castanopsis javanica Blume, 17,98%), rasamala (Altingia excelsa Noronha, 17,35%) dan kokosan monyet (Antidesma tetandrum Bl, 14,47%). Beberapa jenis pohon tersebut mendominasi lokasi penelitian tertentu, sehingga walaupun jenis tersebut dapat diidentifikasi di suatu lokasi, belum tentu menjadi jenis yang paling dominan di lokasi tersebut. Tabel 5 menyajikan lima jenis pohon yang mendominasi setiap lokasi penelitian. Tabel 5. Nilai INP Tertinggi Jenis Pohon di Citarik, Cikaniki, Cibeureum dan Cisalimar Menggunakan Metode Garis Berpetak Lokasi Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Hutan Primer Citarik 1. Pasang kapas (Lithocarpus sp.) 1,92 2,08 18,68 22,68 2. Puspa (Schima wallichii) 3,85 4,17 12,15 20,21 3. Pasang batarua 3,85 4,17 12,15 20,17 (Quercus gemiliflorus) 4. Saninten (Castanopsis javanica) 5,77 6,25 7,3 19,32 5. Kokosan monyet (Antidesma tetandrum) 5,77 4,17 7,6 17,53

55 42 Tabel 5. (Lanjutan) Lokasi Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Hutan primer Cikaniki 1. Darangdan (Ficus sinuata) 5,41 5,41 24,82 35,63 2. Mumuncangan (Ostodes paniculata) 8,11 5,41 7,27 20,78 3. Rasamala (Altingia excelsa) 5,41 5,41 8,73 19,54 4. Saninten (Castanopsis javanica) 5,41 5,41 8,39 19,20 5. Hamerang (Ficus padana) 5,41 5,41 8,06 18,87 Hutan sekunder Cibeureum 1. Puspa (Schima wallichii) 10,35 8,00 25,94 44,28 2. Darangdan (Ficus sinuatai) 6,90 8,00 17,80 32,69 3. Pasang batarua (Quercus gemiliflorus) 4. Mumuncangan (Ostodes paniculata)) 6,90 8,00 9,45 24,34 6,90 8,00 6,71 21,61 5. Kondang (Ficus variegata) 6,90 8,00 6,10 21,00 Hutan Sekunder Cisalimar 1. Daranggan (Ficus sinuata) 12,00 8,70 28,86 49,56 2. Pasang batarua (Quercus gemiliflorus) 12,00 8,70 10,88 31,58 3. Rasamala (Altingia excelsa) 8,00 8,70 9,96 26,65 4. Kondang (Ficus variegata) 8,00 8,70 7,68 24,37 5. Kokosan monyet (Antidesma tetandrum) 8,00 8,70 6,85 23,54 Keterangan: KR = Kerapatan Relatif DR = Dominansi Relatif FR = Frekuensi Relatif INP = Indeks Nilai Penting Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa besarnya rerata INP jenis pohon yang sama pada setiap lokasi penelitian menunjukkan nilai yang berbeda, karena adanya perbedaan jumlah identifikasi jenis pohon tersebut serta perbedaan jumlah total pohon pada setiap lokasi penelitian. Pasang kayang (Lithocarpus sp.) merupakan pohon yang paling mendominasi hutan primer Citarik, sedangkan di hutan primer Cikaniki dan hutan sekunder Cisalimar didominasi oleh darangdan (Ficus sinuata Thunb.) dan di hutan sekunder Cibeureum didominasi oleh puspa (Schima walichii (DC.) Korth).

56 43 Hutan primer Citarik dan Cikaniki merupakan habitat yang memiliki jumlah jenis pohon yang lebih tinggi dibandingkan habitat Cibeureum dan Cisalimar. Hal ini bisa terjadi karena selain Citarik dan Cikaniki merupakan hutan primer, habitat Citarik jauh dari lokasi pemukiman penduduk sehingga akses untuk mencapai kawasan tersebut lebih sulit dibandingkan ke lokasi lainnya, sedangkan lokasi penelitian di hutan primer Cikaniki, merupakan bagian dari program ekowisata yang dilaksanakan taman nasional, sehingga kontrol kawasan di hutan primer ini dilakukan lebih intensif. Selain itu, masyarakat sekitar Cikaniki dilibatkan dalam program ekowisata sebagai pemandu wisata atau mengelola guest house dan home stay yang sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat, sehingga gangguan yang terjadi pada kawasan relatif rendah. Hutan sekunder Cibeureum berdekatan dengan areal perkebunan masyarakat, tetapi karena lokasinya berjauhan dengan jalan utama yang digunakan sebagai perlintasan masyarakat, maka keragaman jenis pohonnya lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder Cisalimar. Selain itu, komunitas masyarakat yang tinggal paling dekat dengan lokasi penelitian Cibeureum adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya tradisional dalam berinteraksi dengan lingkungan. Keragaman jenis pohon terendah terdapat di hutan sekunder Cisalimar yang berbatasan langsung dengan areal perladangan masyarakat. Salah satu penyebab rendahnya keragaman jenis pohon di Cisalimar adalah terjadinya penyempitan luas kawasan akibat semakin meluasnya aktivitas perladangan yang mengarah ke dalam kawasan taman nasional. Selain itu, terjadi fragmentasi habitat yang menyebabkan terpecahnya habitat yang pada awalnya merupakan satu kesatuan menjadi dua habitat yang lebih kecil. Terpecahnya habitat ini secara langsung mengakibatkan penurunan luas habitat dibandingkan luasan sebelumnya. Keadaan ini, selain secara langsung mengancam habitat Cisalimar, diantaranya penurunan jumlah jenis dan kerapatan pohon, akan berpengaruh pula terhadap penurunan populasi owa jawa, karena berkurangnya sumber pakan dan hilangnya peluang interaksi dengan populasi pada habitat lainnya. Tingginya intensitas pembukaan dan pembakaran lahan di Cisalimar untuk dijadikan areal perladangan disajikan pada Gambar 11.

57 44 a b Gambar 11. Pembakaran Lahan (a) untuk Dijadikan Perladangan (b) Rendahnya keragaman pohon di Cisalimar menyebabkan kurang beragamnya pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa jawa, sehingga jumlah populasi yang dapat menghuni kawasan tersebut merupakan populasi paling rendah dibandingkan kawasan lain. Adanya gangguan berupa perusakan habitat Cisalimar sesuai dengan pernyataan Primack et al. (1998) yang menyatakan bahwa ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh kegiatan manusia adalah perusakan habitat, fragmentasi habitat, penggunaan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, introduksi spesies-spesies eksotik dan penyebaran penyakit. Ancaman terhadap keanekaragaman hayati tersebut disebabkan oleh penggunaan sumberdaya alam yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya populasi manusia. Berdasarkan jenis vegetasi yang diperoleh pada tingkat pohon di semua lokasi penelitian, maka dapat diidentifikasi jenis pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa jawa. Pohon Pakan Identifikasi sumber pakan pada seluruh lokasi penelitian diperoleh 33 jenis pohon pakan owa jawa yang dikelompokkan ke dalam 11 famili. Persentase terbesar jenis pohon pakan yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan tersebut berasal dari famili Moraceae (24,2%), Fagaceae (24,2%), Myrtaceae (12,1%), Euphorbiaceae (9,1%) dan Meliaceae (9,1%). Beberapa jenis vegetasi yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan antara lain, darangdan (Ficus sinuata Thunb.), pasang batarua (Quercus gemiliflorus Blume), rasamala (Altingia excelsa Noronha), dan saninten (Castanopsis javanica Blume). Salah satu famili

58 45 yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan di TN. Gunung Halimun-Salak diidentifikasi pula di TN. Ujung Kulon yakni Moraceae (Rinaldi 1999). Berdasarkan hasil penelitiannya, dilaporkan bahwa terdapat 27 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan di TN. Ujung Kulon, diantaranya Ficus callophylla Blume yang termasuk ke dalam famili Moraceae; Spondias pinnata, Diospyros hermahprodita Bakh. dan Pometia pinnata. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Chivers (2000) yang melaporkan bahwa jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Beberapa jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berdasarkan penelitian tersebut berasal dari famili Leguminosae, Myrtaceae, Annonacea, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae. Hasil penelitian yang sama dilaporkan Mather (1992) yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah jenis pohon dari dua famili yang paling sering dimanfaatkan sebagai sumber pakan gibbon di Kalimantan, yaitu famili Moraceae dan Euphorbiaceae. Famili jenis pohon lain yang juga dimanfaatkan adalah Leguminaceae, Myrtaceae, Annonaceae, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae. Jika dibandingkan hasil penelitian yang telah dilakukan di TN. Gunung Halimun-Salak dan beberapa lokasi lain tentang jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa jawa, dapat disimpulkan bahwa terdapat kesamaan jenis pohon dari famili yang sama yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan dalam kurun waktu 14 tahun. Sesuai dengan pola hidup owa jawa yang bersifat arboreal dan memanfaatkan strata pohon tengah dan atas, maka sumber pakan owa jawa adalah jenis vegetasi pada tingkat pohon. Hasil identifikasi jenis pohon pakan yang paling dominan dimanfaatkan owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah darangdan (Ficus sinuata, 39,28%), pasang batarua (Quercus gemiliflorus, 25,82%), rasamala (Altingi excelsa, 23,77%); saninten (Castanopsis javanica, 20,56%), dan kondang (Ficus variegata, 19,17%). Pemilihan jenis Ficus sebagai salah satu sumber pakan utama, selain jenis tersebut banyak terdapat di TN. Gunung Halimun-Salak, juga tersedia sepanjang tahun. Selain itu, sebagai salah satu strategi untuk memperkecil persaingan dengan kelompok satwa primata lain dalam penggunaan pakan, terutama dengan spesies satwa yang terdiri dari banyak jantan dan banyak betina, seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), surili (Presbytis comata) dan lutung (Trachipithecus

59 46 auratus). Ketiga spesies satwa primata ini diidentifikasi sebagai pesaing dalam pemanfaatan sumber pakan di TN. Ujung Kulon (Iskandar 2001). Jenis pohon pakan owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Empat Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak No. Nama Daerah Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Rasamala Altingia exelsa Noronha Hammamelidaceae 23,77 2. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 13,90 3. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 25,82 4. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Fagaceae 2,51 5. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 4,29 6. Tungurrut Castanosis tungurrut (Bl.) DC. Fagaceae 2,90 7. Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 16,12 8. Burununggul Castanopsis argentea (Bl.) DC. 9. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 15,13 Fagaceae 20, Kibeusi Memecylon excelsum Bl. Melastomaceae 4, Manyel leutik Medinilla exima Bl. Melastomaceae 15, Kisireum Syzygium rostratum (Bl.) Dc. Myrtaceae 2, Kupa Syzygium sp. Myrtaceae 11, Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie 15. Kopo Eugenia densiflora (Bl) Duthie 16. Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (BI.) M.A. Myrtaceae 3,25 Myrtaceae 5,59 Euphorbiaceae 11, Mumuncangan Ostodes paniculata Bl. Euphorbiaceae 16, Kokosan monyet Antidesma tetandrum Bl. Euphorbiaceae 16, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 39, Kihampelas Ficus sp. Moraceae 1, Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 10, Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 6, Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 12, Seuhang Ficus grossularioides Burm.f. 25. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Reinw. Ex Blume Moraceae 3,95 Moraceae 9,45

60 47 Tabel 6. (Lanjutan) No. Nama Daerah Nama Ilmiah Famili INP (%) 26. Kondang Ficus variegata Bl. Moraceae 19, Kakaduan Durio sp. Moraceae 2, Suren hutan Toona sureni (Blume) Merr. Meliaceae 2, Kihaji Dysoxylum alliaceum Bl. Meliaceae 1, Kecapi hutan Chisocheton divergens Meliaceae 1,33 Blume 31. Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 4, Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 8, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 8,80 Identifikasi jenis pohon pakan pada masing-masing lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis pohon pakan di hutan primer Citarik (23 jenis) dan Cikaniki (18 jenis) lebih tinggi dibandingkan di hutan sekunder Cibeureum (15 jenis) dan Cisalimar (13 jenis). Perbedaan jumlah jenis pohon pakan ini sesuai dengan hasil identifikasi pohon yang menunjukkan keragaman yang lebih tinggi pada kedua habitat primer. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Profil pohon pakan di hutan primer Citarik dan Cikaniki menggambarkan penyebaran pohon pakan yang relatif merata di sepanjang jalur pengamatan. Ukuran tajuk pohon pada kedua hutan primer tersebut lebih lebar (Citarik: 15,32±2,39 m dan 13,69±2,20 m, Cikaniki: 12,66±1,29 m dan 10,62±0,93 m) dibandingkan dua lokasi lainnya (Cibeureum: 11,56±1,42 m dan 9,26±0,99 m; Cisalimar: 10,02±1,67 m dan 9,87±1,01 m). Selain memiliki tajuk sangat lebar, tajuk pohon pakan di hutan primer Citarik dan Cikaniki saling terhubung satu sama lain sehingga memudahkan owa jawa melakukan perpindahan dari satu pohon ke pohon lain dengan cara brankiasi. Pohon pakan di hutan primer Citarik dan Cikaniki dapat diidentifikasi di sepanjang jalur pengamatan, sebaliknya, sebaran pohon pakan di hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar hanya dapat diidentifikasi pada lokasi tertentu dalam jalur pengamatan. Profil vegetasi yang digunakan sebagai pohon pakan di hutan primer Citarik memiliki ciri-ciri sebagai berikut, 1) rerata jarak pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan adalah pohon-pohon yang berjarak jauh dari jalur pengamatan atau perlintasan manusia (21,40±1,64 m). Hal ini dilakukan untuk menghindari kucing hutan yang merupakan predator owa jawa, dan menghindari interaksi dengan manusia yang memasuki kawasan; 2) rerata diameter dan tinggi

61 48 pohon pakan cukup besar dan tinggi karena disesuaikan dengan pola hidup arboreal yang memanfaatkan strata tajuk tengah dan atas dalam melakukan seluruh aktivitasnya; 3) lebar tajuk pohon pakan pada kedua sisi umumnya lebar, sehingga antara tajuk pohon satu dengan lainnya saling berhubungan, hal ini akan memudahkan owa jawa dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Gambar 12 menunjukkan owa jawa dewasa yang dapat diidentifikasi di hutan primer Citarik sedang memanfaatkan pohon pakan, dan betina dewasa bunting sedang berisitrahat di salah satu pohon yang memiliki percabangan yang rindang. a b Gambar 12. Jantan Dewasa di Pohon Pakan (a) dan Betina Dewasa Memanfaatkan Dahan Rindang untuk Beristirahat (b) Cikaniki adalah hutan primer yang masih baik kondisi habitatnya. Kawasan ini oleh pengelola TN. Gunung Halimun-Salak dijadikan sebagai lokasi ekowisata dengan beberapa obyek wisata sebagai daya tarik. Jalur yang digunakan dalam penelitian adalah jalur yang dimanfaatkan sebagai salah satu jalur ekowisata sepanjang 3,8 km, tetapi dalam penelitian ini digunakan jalur sepanjang 3,5 km, sesuai dengan panjang jalur penelitian di lokasi lainnya. Rerata jarak pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan relatif dekat dari jalur penelitan (12,79±1,34 m). Rerata jarak ini lebih dekat dibandingkan rerata jarak di hutan primer Citarik. Hal ini diduga karena intensitas masuknya wisatawan ke dalam kawasan dan menggunakan jalur penelitian cukup tinggi, sehingga menyebabkan populasi owa jawa di sepanjang jalur penelitian lebih terhabituasi dengan kehadiran manusia, dengan demikian, wisatawan tidak dianggap sebagai ancaman. Walaupun Cikaniki merupakan hutan primer, rerata ukuran diameter (37,67±20,59 cm) dan tinggi pohon pakan (19,08±7,96 m) lebih kecil dibandingkan rerata diameter dan tinggi pohon pakan di hutan primer Citarik (41,61±19,75 cm dan 21,30±6,81 m). Bervariasinya ukuran diameter pohon

62 49 pakan diduga karena adanya persaingan dalam penggunaan unsur hara di dalam kawasan. Walaupun lebar tajuk pohon di hutan primer Cikaniki lebih pendek dari hutan Citarik, tetapi masih lebih lebar dibandingkan dengan pohon pakan di kedua hutan sekunder. Hutan sekunder Cibeureum terletak sekitar satu km dari pemukiman terdekat, dan berjarak 0,5 km dari lahan pertanian masyarakat. Kawasan ini dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk mencari kayu bakar dan sebagai perlintasan menuju kawasan lain, dengan demikian, populasi owa jawa pada kawasan ini cukup terhabituasi dengan keberadaan manusia di sekitar kawasan. Hal ini ditunjukkan oleh jarak pohon pakan yang digunakan berjarak sekitar 18,88±1,61 m dari jalur pengamatan. Rerata diameter dan tinggi pohon pakan lebih kecil dibandingkan di hutan primer. Demikian pula halnya dengan rerata lebar tajuk yang memiliki ukuran lebih pendek (11,56±1,42 m) dan (9,26±0,99 m). Kondisi ini disebabkan habitat Cibeureum merupakan habitat yang kurang subur sehingga kemampuan tumbuh vegetasi di Cibeureum kurang baik. Hal ini didukung pula oleh rendahnya rerata kerapatan pohon pakan di Cibeureum (13,33 pohon/ha) dibandingkan dengan hutan primer Citarik (15,22 pohon/ha). Cisalimar adalah hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian yang dikelola secara intensif oleh masyarakat. Pada kawasan tersebut, terdapat beberapa perlintasan yang dapat digunakan masyarakat untuk menuju lahan pertanian atau perladangan lainnya. Tingginya frekuensi masyarakat memasuki habitat yang dihuni owa jawa menyebabkan jenis satwa primata ini terbiasa dengan manusia. Hal ini bisa terlihat dari jenis vegetasi yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan yang memiliki jarak paling dekat ke jalur penelitian. Ukuran diameter dan tinggi pohon di Cisalimar memiliki ukuran paling kecil dibandingkan kawasan lain. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa hutan sekunder Cisalimar merupakan kawasan dengan jenis pohon berumur lebih muda dibandingkan hutan primer. Jika ditinjau dari kerapatan pohon per hektar, hasil identifikasi menunjukkan bahwa kerapatan pohon pakan per hektar di hutan sekunder Cisalimar (13,46 pohon/ha) lebih rendah dibandingkan kerapatan pohon pakan di hutan primer Citarik (15,22 pohon/ha). Pada habitat Cisalimar, terdapat kawasan yang terfragmentasi yang mengakibatkan terputusnya ruang gerak owa jawa pada kawasan ini. Kelompok owa jawa yang ada pada satu sisi habitat tidak bisa melakukan pergerakan ke bagian habitat lain, sehingga akan menyebabkan beberapa hal: 1) kelompok

63 50 tersebut tidak bisa melebarkan daerah jelajahnya untuk mencari makan dan menemukan pohon tidur yang baru; 2) peluang untuk terbentuknya kelompok baru yang berasal dari gabungan individu dari kedua sisi habitat hilang karena tidak adanya percabangan pohon yang menghubungkan kedua habitat tersebut. Pada Gambar 13 disajikan perbedaan kualitas hutan antara hutan primer Citarik yang tidak terganggu (a) dan hutan sekunder Cisalimar yang berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat (b). a b Gambar 13. Habitat Owa Jawa di Citarik (a) dan Cisalimar (b) Fragmentasi habitat yang terjadi di hutan sekunder Cisalimar mengakibatkan rerata tajuk pohon memiliki ukuran lebih pendek sehingga tajuk pohon satu dengan lainnya tidak tersambung, sehingga lebih menyulitkan dalam pergerakan owa jawa. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan terputusnya interaksi antara satu kelompok dengan kelompok lain dan pada akhirnya akan berakibat terhadap proses reproduksi owa jawa. Karakteristik pohon pakan pada seluruh lokasi penelitian menunjukkan informasi yang berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Hal ini tergantung kepada status kawasan dan populasi owa jawa pada kawasan tersebut. Tabel 7 menyajikan karakteristik pohon pakan di empat lokasi penelitian TN. Gunung Halimun-Salak. Tabel 7. Rerata Profil Pohon Pakan pada Setiap Lokasi Penelitian Lokasi Jarak (m) Diameter (cm) Tinggi (m) Lebar tajuk (m) X Y Citarik 21.40± ,61± ,30±6,81 15,32±2,39 13,69±2,20 Cikaniki 12.79± ,67±20,59 19,08±7,96 12,66±1,29 10,62±0,93 Cibeureum 18,88±1,61 39,13±15,14 19,90±6,14 11,56±1,42 9,26±0,99 Cisalimar 10,49±1,64 33,31±9,29 16,62±2,66 10,02±1,67 9,87±1,01

64 51 Pada umumnya, owa jawa di hutan primer Citarik diidentifikasi pada jarak yang relatif jauh dari jalur penelitian. Hal ini disebabkan, populasi owa jawa di Citarik merupakan populasi yang paling jarang bertemu manusia dibandingkan ketiga habitat lain karena lokasinya yang jauh dari pemukiman maupun lahan pertanian masyarakat, sehingga owa jawa di habitat Citarik tidak terhabituasi dengan manusia. Kisaran diameter dan tinggi pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan di Citarik dan Cikaniki memiliki kisaran yang lebih lebar dibandingkan hutan sekunder Cisalimar, artinya bahwa ketersediaan pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan cukup tinggi, dimulai dari pohon berdiameter 20 cm sampai sekitar 86 cm di habitat Citarik, dan cm di habitat Cikaniki. Walaupun Cibeureum merupakan hutan sekunder, tetapi masyarakat yang hidup paling dekat dengan kawasan ini adalah sekelompok masyarakat (9 kepala keluarga) yang masih memegang dan menjalankan budaya tradisional dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya hutan masih terbatas pada kebutuhan kayu bakar dan kebutuhan sehari-hari yang masih wajar, sehingga habitat owa jawa di Cibeureum masih relatif baik. Tinggi pohon pakan pada kedua hutan primer dan hutan sekunder Cibeureum memiliki rentang yang sangat lebar. Gambar 14 menyajikan kisaran diameter dan tinggi pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan di setiap lokasi penelitian Diameter (m) Tinggi (m) Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar 10 Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Gambar 14. Kisaran Diameter dan Tinggi Pohon Pakan di Setiap Lokasi Penelitian Rentang diameter dan tinggi pohon pakan di hutan sekunder Cisalimar menunjukkan kisaran yang sempit, artinya pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan di hutan sekunder Cisalimar terbatas. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya jumlah jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan (13 jenis) dan umumnya diameter pohon pakan berkisar antara cm dan tinggi pohon berkisar antara cm. Pada Gambar 15 disajikan perbedaan profil pohon pakan pada masing-masing lokasi penelitian.

65 52 Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Gambar 15. Profil Pohon Pakan di Hutan Primer Citarik dan Cikaniki dan di Hutan Sekunder Cibeureum dan Cisalimar TN. Gunung Halimun-Salak

66 53 Seluruh jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan umumnya digunakan pula sebagai pohon tidur. Ditinjau dari segi ekonomi, jenis pohon tersebut adalah pohon yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga merupakan hal penting dalam memprioritaskan perlindungan dan pengayaan jenis-jenis pohon tersebut sebagai salah satu cara mempertahankan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak. Pohon tidur Jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tidur adalah jenis-jenis pohon yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Terdapat 15 jenis pohon tidur yang termasuk ke dalam enam famili. Jenis pohon tersebut antara lain pasang batarua (Quercus gemiliflorus Blume, 40,77%); darangdan (Ficus sinuata Thunb., 19,88%); saninten (Castanopsis javanica Blume, 17,64%) dan rasamala (Altingia exelsa Noronha, 16,47%). Tabel 8 menyajikan jenis pohon tidur yang dimanfaatkan owa jawa di lokasi penelitian. Tabel 8. Jenis Pohon Tidur di Empat Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak No. Nama Daerah Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 40,77 2. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 3,64 3. Rasamala Altingia exelsa Noronha Hammamelidaceae 16,47 4. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 6,30 5. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 17,64 6. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 15,76 7. Kokosan monyet Antidesma tetandrum Bl. Euphorbiaceae 14,47 8. Jirak Symplococ conchichinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 2,98 9. Tungurrut Castanopsis tungurrut (Bl.) DC. Fagaceae 2, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 19, Mumuncangan Ostodes paniculata Bl. Euphorbiaceae 14, Teureup Artocarpus elastica (BI.) DC. Reinw. Ex Blume 13. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd. Fagaceae 3,90 Fagaceae 4, Kihampelas Ficus sp. Moraceae 1, Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 3,19

67 54 Jenis pohon tidur yang diidentifikasi di hutan primer Citarik (11 jenis) dan Cikaniki (10 jenis) menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder Cibeureum (8 jenis) dan Cisalimar (7 jenis). Perbedaan ini disebabkan lebih baiknya kondisi habitat hutan primer karena sumber air yang melimpah dan banyaknya serasah yang akan menjadi pupuk alami pertumbuhan pohon, sehingga pertumbuhan jenis pohon di hutan primer menjadi lebih baik dibandingkan di hutan sekunder. Pohon yang digunakan sebagai pohon tidur umumnya terletak relatif jauh dari perlintasan manusia atau jalur hewan pemangsa. Rerata jarak pohon yang digunakan sebagai pohon tidur dari jalur pengamatan adalah 20,73±3,72 m. Pemilihan dan penggunaan pohon tidur merupakan salah satu cara dalam mengantisipasi adanya predator. Penggunaan pohon tidur oleh setiap spesies satwa berbeda satu sama lain baik cara maupun lama waktu yang dihabiskan setiap harinya. Rerata tinggi pohon yang digunakan sebagai pohon tidur adalah 22,02±4,36 m, dengan rerata diameter pohon 40,76± 9,57 cm. Lebar tajuk pohon yang dimanfaatkan tersebut memiliki ukuran 12,29±2,50 m dan 10,81±1,94 m. Pemilihan pohon yang tinggi dan berdiameter besar merupakan penyesuaian dengan cara hidupnya yang arboreal dan sebagai salah satu cara owa jawa dalam menghindari ancaman baik dari satwa pemangsa maupun perburuan. Strategi yang sama dilakukan black and white snub-nosed monkeys (Rhinopithecus bieti) yang hidup di Cina dalam memilih pohon tidur. Pohon yang dijadikan pohon tidur adalah pohon yang sangat tinggi (27,5±3,2 m) dengan diameter pohon setinggi dada (57,9±16,9 m) yang secara nyata lebih tinggi dari pada pohon-pohon lainnya (Cui et al. 2006). Pada umumnya, kelompok owa jawa menggunakan lebih dari satu pohon tidur sebagai upaya menghindari predator, dan akan menggunakan pohon tidur bebeda dalam kurun waktu tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reichard (1998) berdasarkan hasil penelitiannya yang mengidentifikasi respon Hylobates lar terhadap adanya predator, yaitu: 1) pemilihan pohon yang besar dan paling tinggi, terutama oleh betina dewasa bersama anak yang masih kecil dan juvenil; 2) dalam jangka panjang, penggunaan kembali pohon tidur yang sama, sangat mungkin terjadi; 3) adanya tingkah laku yang secara tidak sadar dilakukan dalam merespon resiko predator (presleep behavior). Pemilihan pohon tidur dengan tajuk yang rindang, sesuai dengan pernyataan Reichard (1998), bahwa pemilihan pohon yang

68 55 rindang dan rimbun bertujuan selain menghindari predator, juga untuk berlindung dari perubahan cuaca. Gambar 16 menunjukkan diameter dan tinggi pohon tidur yang dimanfaatkan owa jawa pada setiap lokasi penelitian Diameter (m) Tinggi (m) Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar 10 Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Gambar 16. Diameter dan Tinggi Pohon Tidur di Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak Diameter pohon tidur yang dipilih owa jawa di hutan primer Citarik menyebar dari 26 cm sampai 79 cm dengan rerata 48,73 cm, sedangkan kisaran diameter pohon tidur di hutan primer Cikaniki antara cm dengan rerata 46,60 cm. Pemilihan pohon yang besar di Citarik dan Cikaniki merupakan hal yang mungkin dilakukan karena kedua lokasi tersebut merupakan hutan primer. Pada Tabel 9 disajikan profil pohon tidur pada keempat lokasi penelitian yang memuat rerata jarak pohon tidur dari jalur penelitian, ukuran dimater dan tinggi pohon serta gambaran lebar tajuk pohon. Tabel 9. Rerata Profil Pohon Tidur di Setiap Lokasi Penelitian Lokasi Jarak (m) Diameter (cm) Tinggi (m) Lebar tajuk (m) X 1 X 2 Citarik 24,38±3,64 48,73±18,44 21,82±6,28 13,97±1,97 12,22±1,42 Cikaniki 18,33±1,51 46,60±21,14 23,10±9,37 13,21±1,81 11,16±1,65 Cibeureum 20,93±2,12 43,00±18,62 20,69±7,46 10,61±2,40 9,91±1,82 Cisalimar 17,35±1,79 37,71±10,39 16,14±2,97 9,85±1,33 8,78±1,32 Jika dibandingkan profil pohon tidur yang dimanfaatkan owa jawa di hutan primer dan hutan sekunder maka bisa dilihat bahwa rerata jarak pohon tidur yang digunakan di hutan primer (21,55±4,17 m) berada lebih jauh dari jalur pengamatan dibandingkan di hutan sekunder (19,50±2,64 m). Hal yang sama terjadi pada ukuran diameter, tinggi pohon dan lebar tajuk pohon yang digunakan. Keadaan ini bisa diartikan bahwa owa jawa di hutan primer lebih

69 56 memilih pohon yang berada jauh dari jalur yang sering digunakan perlintasan manusia atau satwa pemangsa. Sedangkan besar pohon dan rindangnya pohon tidur di hutan primer dimungkinkan terjadi karena unsur hara yang lebih mendukung perkembangan pohon. Berdasarkan hasil pengukuran profil pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tidur, bisa disimpulkan bahwa pohon yang digunakan adalah pohon yang berada jauh dari jalur penelitian, pohon yang tinggi dan memiliki ukuran diameter yang besar dengan tajuk yang rindang. Untuk melihat gambaran jumlah vegetasi tingkat pohon pada setiap lokasi penelitian dan jumlah pohon pakan serta pohon tidur, dapat dilihat pada Gambar 17. Jumlah Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Lokasi Jenis pohon Pohon pakan Pohon tidur Gambar 17. Jumlah Vegetasi Tingkat Pohon, Jumlah Pohon Pakan dan Pohon tidur di Setiap Lokasi Penelitian Pada Gambar 17 bisa dilihat bahwa terdapat hubungan erat antara jumlah vegetasi tingkat pohon pada setiap lokasi penelitian dengan jumlah pohon pakan (r=0,98) dan pohon tidur (r=0,99). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jenis pohon pada suatu kawasan, maka semakin banyak kemungkinan jenis pohon tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada suatu habitat tidak akan berarti banyak pada kelangsungan hidup owa jawa jika jenis pohon tersebut tidak terdapat pada tingkat permudaannya. Ketersediaan jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur pada berbagai tingkat permudaannya akan menggantikan peran pohon pakan dan pohon tidur yang dimanfaatkan owa jawa pada saat ini, sehingga ketersediaan kebutuhan

70 57 dasar owa jawa berupa pohon pakan dan pohon tidur akan tetap berkesinambungan. Permudaan Vegetasi Analaisis vegetasi untuk mengetahui jenis permudaan yang dapat diidentifikasi di TN. Gunung Halimun-Salak perlu dilakukan untuk melihat ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada tingkat permudaan, sehingga ketersediaan pohon yang akan berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tidur dapat diidentifkasi. Secara umum, pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tidur dapat diidentifikasi di setiap tingkat permudaan. Jenis vegetasi pada tingkat semai di seluruh lokasi penelitian, antara lain disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Lima Jenis Vegetasi Tingkat Semai dengan INP tertinggi di Setiap Lokasi Penelitian Lokasi Jenis Nama Latin Famili INP (%) Hutan Primer Hutan Primer Hutan Sekunder Citarik Bubukuan Gironniera sp. Ulamceae 26,52 Pakis beunyeur Macrothelypteris torresiana Symplocaceae 15,11 Pasang batarua Quercus gemiliflorus Fagaceae 13,45 Kibulu Discochaeta reticulata Melastomataceae 10,42 Kisireum Syzigium rostratum Myrtaceae 10,42 Cikaniki Cariang Schismatoglottis rupestris Araceae 12,95 Pakis beunyeur Macrothelypteris torresiana Symplocaceae 7,63 Hamirung Vernonia arborea Asteraceae 6,81 Bubukuan Gironniera sp. Ulamceae 6,81 Bubuay Plectocomia elongata Arecaceae 6,40 Cibeureum Tungurrut Castanosis tungurrut Fagaceae 9,48 Pasang batarua Quercus gemiliflorus Fagaceae 8,27 Elahayati Alpinia scabra Zyngiberaceae 7,64 Harendong bulu Cinnamomum javanicum Lauraceae 7,02 Rotan Calamus heteroideus Arecaceae 6,34

71 58 Tabel 10. (Lanjutan) Lokasi Jenis Nama Latin Famili INP (%) Hutan Sekunder Cisalimar Pasang batarua Quercus gemiliflorus Fagaceae 36,11 Puspa Schima wallichii Theaceae 27,78 Pakis beunyeur Macrothelypteris torresiana Symplocaceae 19,44 Jirak Symplocos cochinchinensis Symplocaceae 18,06 Rasamala Altingia excelsa Hamamelidaceae 17,59 Pada Tabel 10 bisa dilihat bahwa beberapa jenis vegetasi yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tidur dapat diidentifikasi di setiap lokasi penelitian. Jenis vegetasi tersebut diantaranya, rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), pasang batarua (Quercus gemiliflorus) dan jirak (Symplocos cochinchinensis). Beberapa jenis vegetasi pada tingkat semai tersebut, diidentifikasi pula pada tingkat pancang seperti disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Lima Jenis Vegetasi Tingkat Pancang dengan INP tertinggi di Setiap Lokasi Penelitian Lokasi Jenis Nama Latin Famili INP (%) Hutan Primer Hutan Primer Citarik Bubukuan Gironniera sp. Ulmacee 27,87 Puspa Schima wallichii Theaceae 26,30 Huru sintok Cinnamomum javanicum Lauraceae 15,86 Jirak Symplocos cochinchinensis Symplocaceae 13,81 Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 11,77 Cikaniki Bubukuan Gironniera sp. Ulmacee 37,59 Rotan Calamus heteroideus Arecaceae 15,26 Pakis beunyeur Macrothelypteris torresiana Symplocaceae 11,38 Kawoyang Prunus arborea Rosaceae 11,25 Saninten Castanopsis javanica Fagaceae 7,63

72 59 Tabel 11. (Lanjutan) Lokasi Jenis Nama Latin Famili INP (%) Hutan Sekunder Hutan Sekunder Cibeureum Kisireum Syzigium rostratum Myrtaceae 31,25 Burununggul Castanopsis argentea Fagaceae 19,27 Puspa Schima wallichii Theaceae 16,67 Darangdan Ficus sinuata Moraceae 13,54 Jirak Symplocos cochinchinensis Symplocaceae 13,02 Cisalimar Pasang batarua Quercus gemiliflorus Fagaceae 26,36 Burununggul Castanopsis argentea Fagaceae 19,69 Kisireum Syzigium rostratum Myrtaceae 18,36 Kibeusi Memecylon excelsum Melastomataceae 9,18 Puspa Schima wallichii Theaceae 7,85 Pada tingkat pancang, vegetasi dominan yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tidur lebih banyak diidentifikasi dibandingkan vegetasi pada tingkat semai. Vegetasi tersebut antara lain: rasalama (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), jirak (Symplocos cochinchinensis), kibeusi (Memecylon excelsum), dan darangdan (Ficus sinuata). Keberadaan permudaan yang akan berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tidur, dapat diidentifikasi pada tingkat pancang. Untuk melihat ketersediaan kedua faktor kunci yang dibutuhkan owa jawa pada tingkat tiang, disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Lima Jenis Vegetasi Tingkat Tiang dengan INP Tertinggi di Setiap Lokasi Penelitian Lokasi Jenis Nama Latin Famili INP (%) Hutan Primer Citarik Pasang kayang Lithocarpus teysmanii Fagaceae 19,77 Puspa Schima wallihii Theaceae 13,88 Burununggul Castanopsis argentea Fagaceae 12,82 Huru sintok Cinnamomum javanicum Lauraceae 9,88 Rasamala Altingia excelsa Hamamelidaceae 9,88

73 60 Tabel 12. (Lanjutan) Lokasi Jenis Nama Latin Famili INP (%) Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Sekunder Cikaniki Kokosan monyet Antidesma tetandrum Euphorbiaceae 23,64 Kopinango Nyssa sp. Cornaceae 19,09 Kawoyang Prunus arborea Rosaceae 19,09 Saninten Castanopsis javanica Fagaceae 14,09 Rasamala Altingia excelsa Hamamelidaceae 9,55 Cibeureum Jirak Symplocos cochinchinensis Symplocaceae 19,11 Pasang batarua Quercus gemiliflorus Fagaceae 17,56 Burununggul Castanopsis argentea Fagaceae 17,56 Puspa Schima wallichii Theaceae 13,56 Pasang kayang Lithocarpus teymanii Fagaceae 13,56 Cisalimar Pasang batarua Quercus gemiliflorus Fagaceae 19,11 Jirak Symplocos cochinchinensis Symplocaceae 17,56 Puspa Schima wallichii Theaceae 17,56 Rasamala Altingia excelsa Hamamelidaceae 13,56 Pasang kayang Lithocarpus teymanii Fagaceae 13,56 Pada tingkat tiang, seluruh vegetasi yang dapat diidentifikasi merupakan jenis vegetasi yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan dan pohon tidur. Hal ini berarti bahwa pohon yang dimanfaatkan sebagai ohon pakan dan pohon tidur menunjukkan kemampuan regenerasi yang baik, sehingga pada saat pohon pakan dan pohon tidur tidak bisa lagi dimanfaatkan owa jawa karena tua atau mati, maka vegetasi pada tingkat tiang, pancang dan semai yang akan menggantikan peranan tersebut. Secara umum, vegetasi di TN. Gunung Halimun-Salak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, karena salah satu alasannya adalah kawasan ini memiliki curah hujan yang sangat tinggi yaitu mm/tahun (Indonesian Natioanal Parks Homepage 1997). Selain itu, kawasan ini berfungsi sebagai daerah tangkapan air sehingga ketersediaan air dapat digunakan dalam mengolah makanan untuk kepentingan pertumbuhan vegetasi pada berbagai tingkat.

74 61 Berdasarkan informasi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada masing-masing lokasi penelitian, dapat ditentukan kepadatan populasi owa jawa yang mendiami setiap habitat. Kepadatan populasi owa jawa dipengaruhi pula oleh besarnya potensi ancaman yang ada pada masing-masing habitat. Populasi Owa Jawa Distribusi Owa Jawa Seluruh lokasi yang dijadikan tempat penelitian merupakan bagian dari distribusi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak. Penyebaran pada setiap jalur penelitian pada umumnya merata di sepanjang jalur. Jarak satu kelompok dengan kelompok lain pada setiap lokasi penelitian berbeda tergantung keadaan habitatnya. Semakin baik kualitas habitat, semakin banyak jumlah kelompok yang bisa didukung, sehingga jarak masing-masing kelompok yang terbentuk cenderung lebih berdekatan. Sebaliknya, jika habitat kurang mendukung, maka jumlah kelompok yang terbentuk cenderung lebih rendah dan jarak satu kelompok dengan kelompok lainnya berjauhan, karena setiap kelompok tersebut harus lebih memperluas daerah jelajah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Daerah jelajah ini akan lebih luas pada saat musim kemarau, karena owa jawa akan berusaha mencari sumber air di sungai-sungai yang mengalir melintasi kawasan taman nasional. Gambar 18 menyajikan distribusi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak. Gambar 18. Distribusi Kelompok Owa Jawa di Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak

75 62 Salah satu indikator baiknya suatu habitat adalah dengan melihat frekuensi identifikasi owa jawa pada habitat tersebut. Semakin tinggi frekuensi identifikasi, semakin tinggi kepadatan populasi, maka semakin baik kualitas suatu habitat. Indikator lain yang bisa digunakan adalah semakin pendek jarak dari satu kelompok terhadap kelompok lain, maka semakin baik kualitas habitatnya. Untuk melihat pengaruh jarak habitat dari pemukiman atau lahan pertanian masyarakat terhadap jumlah kelompok owa jawa pada habitat tersebut serta jarak antara kelompok bisa dilihat data pada Tabel 13. Tabel 13. Jarak Lokasi Penelitian terhadap Pemukiman dan Lahan Pertanian Terdekat serta Jarak Setiap Kelompok yang Terbentuk pada Setiap Lokasi Lokasi Hutan primer Citarik Hutan primer Cikaniki Hutan sekunder Cibeureum Hutan sekunder Cisalimar Pemukiman (km) Jarak dari Lahan pertanian (km) Jumlah Kelompok (kelompok) Rerata Jarak antara Kelompok (km) 4,5 3,6 5 0,2 0,8 0,6 5 0,3 1,0 0,5 4 0,3 2,5 0,3 3 0,3 Pada Tabel 13 bisa dilihat bahwa jarak habitat terhadap pemukiman atau kegiatan masyarakat berpengaruh terhadap jumlah kelompok owa jawa. Semakin jauh habitat yang dihuni owa jawa dari pemukiman penduduk, terutama dari lahan pertanian masyarakat, maka semakin tinggi jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi. Walaupun nilai korelasi antara jarak pemukiman dan jumlah kelompok owa jawa (r=0,12), serta jarak pemukiman dan lahan pertanian (r=0,59) menunjukkan nilai yang rendah, terutama antara jarak pemukiman dan jumlah kelompok owa jawa, tetapi pendekatan yang dapat dikemukakan untuk mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara jarak pemukiman dan lahan pertanian dengan jumlah kelompok owa jawa, antara lain: 1) pada habitat yang berbatasan langsung dengan pertanian masyarakat (hutan sekunder Cisalimar), luas habitat owa jawa cenderung semakin sempit karena bertambah luasnya areal pertanian masyarakat yang mengarah ke dalam kawasan, sehingga terjadi pengurangan sumber pakan dan tempat berlindung owa jawa;

76 63 2) intensitas masuknya manusia ke dalam kawasan yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian, lebih tinggi daripada kawasan yang jauh dari lahan pertanian tersebut. Hal ini menyebabkan terganggunya aktivitas harian owa jawa dalam melakukan pergerakan untuk mencari makan dan aktivitas harian lainnya; 3) terjadi fragmentasi habitat yang mengakibatkan terputusnya interaksi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga mengakibatkan hilangnya peluang untuk terbentuknya kelompok baru. Jarak populasi owa jawa yang menghuni hutan primer Citarik ke pemukiman terdekat adalah 4,5 km dan jarak ke lahan pertanian 3,6 km. Jarak ini merupakan jarak terjauh diantara keempat lokasi penelitian, sehingga faktor ini bersama-sama dengan faktor baiknya kualitas hutan primer menentukan banyaknya jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi. Pada hutan primer Cikaniki, walaupun jarak dari pemukiman lebih dekat, tetapi karena mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian tetap sebagai pemetik teh di perkebunan teh Nirmala, maka intensitas masuknya manusia ke dalam kawasan lebih rendah. Selain itu, kontrol kawasan di hutan primer Cikaniki, terutama pada jalur yang digunakan jalur penelitian, cukup intensif karena selain kontrol rutin, secara tidak langsung kontrol kawasan dilakukan bersamaan dengan kegiatan ekowisata. Setiap jalur yang digunakan untuk kegiatan penelitian memiliki kisaran ketinggian dari atas permukaan laut (dpl) yang berbeda-beda, sehingga identifikasi setiap individu owa jawa menunjukkan ketinggian bervariasi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Persentase Perjumpaan Owa Jawa Lokasi perjumpaan owa jawa berdasarkan ketinggian tempat pada keempat lokasi penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak berada pada kisaran ketinggian m dpl. Persentase tertinggi identifikasi owa jawa berada pada ketinggian m dpl. (24%) dan persentase terendah pada ketinggian m dpl. (1,3%). Terdapat kecenderungan meningkatnya persentase perjumpaan owa jawa dari mulai ketinggian 980 m dpl. (titik terendah identifkasi owa jawa pada lokasi penelitian) dan mencapai puncaknya pada kisaran ketinggian m dpl. Persentase perjumpaan cenderung menurun dan mencapai titik terendah pada ketinggian m. dpl.

77 64 Persentase perjumpaan owa jawa secara rinci berdasarkan ketinggian tempat disajikan pada Gambar 19. Persentase perjumpaan (%) Ketinggian (m dpl.) Gambar 19. Persentase Perjumpaan Owa Jawa di TN. Gunung Halimun- Salak Berdasarkan Ketinggian Tempat Berdasarkan rerata tingginya persentase perjumpaan owa jawa pada lokasi penelitian bisa disimpulkan bahwa owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak lebih menyukai hidup pada ketinggian antara m dpl., karena pada ketinggian tersebut banyak ditemukan pohon pakan dengan tajuk lebar dan rapat yang dapat digunakan pada saat melakukan pergerakan. Bentuk tajuk pohon yang lebar dan rapat dapat pula digunakan sebagai tempat berlindung dari ancaman predator. Kisaran ketinggian tersebut bisa disebut sebagai ketinggian ideal bagi owa jawa untuk hidup di TN. Gunung Halimun-Salak. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Massicot (2001) yang menyatakan bahwa owa jawa dapat hidup mulai dataran rendah sampai pada ketinggian di bawah m dpl., karena beberapa faktor: 1) kurangnya potensi dan keragaman makanan; 2) bentuk tajuk pohon yang berbeda dengan tajuk pohon di bawah ketinggian tersebut, sehingga menyulitkan untuk melakukan brankiasi; 3) rendahnya temperatur pada malam hari. Ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur serta bentuk tajuk pohon yang lebar dan rapat berpengaruh terhadap luasnya daerah jelajah suatu kelompok. Apabila suatu habitat tidak memiliki cukup pohon pakan, maka kelompok owa jawa akan meluaskan daerah jelajah untuk mencukupi kebutuhan makannya.

78 65 Daerah Jelajah Luas daerah jelajah kelompok owa jawa pada keempat lokasi penelitian berkisar antara 17,20-20,15 ha. Luasan ini diperoleh setelah memplotkan data koordinat identifikasi kelompok owa jawa dengan GPS ke dalam peta menggunakan Arch view GIS 3,2. Daerah jelajah ini terbentuk berdasarkan jelajah harian masing-masing kelompok dalam kurun waktu tertentu. Luas jelajah harian suatu kelompok bervariasi setiap hari tergantung kemampuan kelompok tersebut melakukan foraging dan ketersediaan sumberdaya alam yang dibutuhkan owa jawa pada masing-masing habitat yang dihuni. Gambar 20 menyajikan daerah jelajah owa jawa pada setiap lokasi penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak. Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Gambar 20. Daerah jelajah Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian

79 66 Terdapat perbedaan luas daerah jelajah kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak antara musim hujan dan musim kemarau. Rerata luas daerah jelajah pada musim hujan (17,10±1,86 ha) lebih sempit dibandingkan luas daerah jelajah pada musim kemarau (20,02±2,69 ha). Hal ini terjadi karena faktor ketersediaan sumber pakan dan air. Pada musim kemarau, ketersediaan buahbuahan relatif sedikit, sehingga memaksa kelompok owa jawa untuk melebarkan jelajah hariannya dalam mencari makan. Kebutuhan air pada musim tersebut bisa dipenuhi dari buah-buahan yang dikonsumsi. Berdasarkan luas daerah jelajah yang dapat diidentifikasi pada kedua musim tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa rerata daerah jelajah kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah 18,56±2,73 ha. Identifikasi luas daerah jelajah masing-masing kelompok owa jawa pada setiap lokasi penelitian menunjukkan luasan yang berbeda. Tabel 14 menyajikan rerata luas daerah jelajah kelompok owa jawa di setiap lokasi penelitian pada musim hujan. Tabel 14. Rerata Daerah jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan Lokasi Jumlah kelompok (kelompok) Rerata daerah jelajah (ha) Hutan primer Citarik 5 16,95 ± 2.61 Hutan primer Cikaniki 5 16,21 ± 1,45 Rerata hutan primer 16,58 ± 2,08 Hutan sekunder Cibeureum 4 18,11 ± 1,61 Hutan sekunder Cisalimar 3 17,11 ± 1,25 Rerata hutan sekunder 17,61 ± 1,49 Luas daerah jelajah kelompok owa jawa di hutan primer Citarik dan Cikaniki menunjukkan luasan yang lebih sempit dibandingkan daerah jelajah di hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar. Sempitnya daerah jelajah owa jawa di kedua hutan primer Citarik dan Cikaniki merupakan hal yang dimungkinkan terjadi karena pada kedua hutan primer tersebut lebih banyak terdapat sumber pakan. Idenstifikasi jumlah jenis pohon pakan menunjukkan bahwa di hutan primer Citarik diidentifikasi 23 jenis pohon pakan, sedangkan di Cisalimar hanya diidentifikasi 13 jenis. Untuk melihat perbedaan luas daerah jelajah pada musim kemarau, bisa dilihat data pada Tabel 15.

80 67 Tabel 15. Rerata Daerah jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Kemarau Lokasi Jumlah kelompok (kelompok) Rerata daerah jelajah (ha) Hutan primer Citarik 5 19,55 ± 1,35 Hutan primer Cikaniki 5 18,26 ± 2,33 Rerata hutan primer 18,91 ± 1,96 Hutan sekunder Cibeureum 4 22,19 ± 2,62 Hutan sekunder Cisalimar 3 20,06 ± 2,78 Rerata hutan sekunder 21,13 ± 2,91 Pada Tabel 15 bisa dilihat bahwa luas daerah jelajah kelompok owa jawa di hutan primer Citarik dan Cikaniki menujukkan wilayah yang lebih sempit dibandingkan hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar. Dengan demikian, daerah jelajah owa jawa pada hutan primer lebih sempit dibandingkan daerah jelajah pada hutan sekunder baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Perluasan daerah jelajah pada musim kemarau di hutan primer sebesar 12,54%, sedangkan perluasan di hutan sekunder adalah 19,99%. Berdasarkan luas daerah jelajah kelompok yang diidentifikasi, dapat disimpulkan bahwa semakin melimpah sumber pakan, maka semakin sempit daerah jelajah suatu kelompok, dan peluang terbentuknya kelompok yang lengkap semakin besar. Pada sisi lain, semakin terbatas ketersediaan sumber pakan, maka akan semakin luas daerah jelajah suatu kelompok dan semakin kecil peluang terbentuknya kelompok yang lengkap. Hal ini bisa dibuktikan dengan lebih sempitnya rerata luas daerah jelajah kelompok owa jawa di hutan primer Citarik (18,25±2,42 ha) dan Cikaniki (17,24±2,16 ha), tetapi memiliki jumlah kelompok yang lebih banyak (rerata 5 kelompok), dibandingkan dengan hutan sekunder Cibeureum (20,15±3,04 ha) dan Cisalimar (18,59±2,58 ha) yang memiliki jumlah kelompok lebih kecil (4 dan 3 kelompok). Berbedanya luas wilayah owa jawa sesuai dengan pernyataan Islam dan Feeroz (1992) yang menyatakan bahwa pergerakan gibbon dalam sehari berkisar antara m tergantung kepada musim dan ketersediaan sumber pakan. Pada saat melakukan pergerakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, satu kelompok owa jawa bisa bergerak memasuki daerah jelajah kelompok lain. Pada satwa primata yang benar-benar mempertahankan teritori, kejadian masuknya kelompok lain ke dalam wilayahnya akan dihindari, atau kalaupun

81 68 terjadi, frekuensinya sangat rendah. Luas tumpang tindih (overlap) pada suatu daerah jelajah tergantung beberapa faktor, antara lain jenis spesies dan ketersediaan sumber pakan pada wilayah tersebut. Rerata tumpang tindih daerah jelajah pada kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun pada musim hujan adalah 4,82±0,53 ha, sedangkan pada musim kemarau, tumpang tindih daerah jelajah tersebut lebih luas menjadi 6,10±1,68 ha, sehinga rerata tumpang tindih daerah jelajah kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun adalah 5,46±1,34 ha. Pada Tabel 16 disajikan tumpang tindih daerah jelajah owa jawa pada masing-masing lokasi penelitian pada musim hujan. Tabel 16. Rerata Tumpang Tindih Daerah jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan Lokasi Jumlah kelompok (kelompok) Rerata tumpang tindih daerah jelajah (ha) Hutan primer Citarik 5 5,34 ± 1,16 Hutan primer Cikaniki 5 4,18 ± 1,08 Rerata hutan primer 4,76 ±1,15 Hutan sekunder Cibeureum 4 4,60 ± 0,61 Hutan sekunder Cisalimar 3 5,14 ± 1,31 Rerata hutan sekunder 4,09 ± 1,04 Tumpang tindih daerah jelajah owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak menunjukkan keadaan yang berbeda dengan jelajah hariannya. Tumpang tindih daerah jelajah pada hutan primer dan sekunder pada musim hujan menunjukkan luas yang tidak jauh berbeda. Untuk melihat tumpang tindih daerah jelajah pada musim kamarau, disajikan data pada Pada Tabel 17. Tabel 17. Rerata Tumpang Tindih Daerah jelajah Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Kemarau Lokasi Jumlah kelompok (kelompok) Rerata tumpang tindih daerah jelajah (ha) Hutan primer Citarik 5 5,20 ± 1,15 Hutan primer Cikaniki 5 4,33 ± 1,08 Rerata hutan primer 4,68 ±1,13 Hutan sekunder Cibeureum 4 8,14 ± 0,47 Hutan sekunder CIsalimar 3 6,72 ± 1,24 Rerata hutan sekunder 7,43 ± 1,16

82 69 Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa tumpang tindih daerah jelajah pada hutan sekunder lebih luas dibandingkan hutan primer, dan jika dibandingkan dengan daerah jelajah pada musim hujan, maka terlihat penambahan luas yang nyata dibandingkan pada musim hujan (81,66%). Hal sebaliknya terjadi di hutan primer yang menunjukkan pengurangan daerah jelajah sebesar 2,09% pada musim kemarau. Luas daerah jelajah suatu kelompok selain sebagai indikator ketersediaan sumber pakan dan tempat berlindung, dapat pula dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya, sehingga membuka peluang terbentuknya kelompok baru, dengan demikian akan berpengaruh terhadap komposisi suatu kelompok. Komposisi Kelompok Dalam satu kelompok owa jawa yang menganut sistem hidup monogami, komposisi kelompok tersebut terdiri dari satu induk jantan, satu induk betina, satu individu anak yang belum dewasa dan satu individu bayi, sehingga pada kelompok yang lengkap bisa terdiri dari empat individu. Pada kelompok tertentu bisa hanya terdiri dari pasangan induk jantan dan betina atau sepasang induk dan satu anak. Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa pada keempat lokasi penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak menunjukkan komposisi yang berbeda. Secara umum, persentase kelompok yang terdiri dari sepasang induk, satu individu anak yang masih muda dan satu individu bayi memiliki persentase sebesar 35,29%, sedangkan kelompok yang terdiri dari sepasang induk dan satu individu anak memiliki persentase sebesar 52,94%, sedangkan kelompok yang hanya terdiri dari sepasang induk memiliki presentase 11,76%. Mengingat owa jawa merupakan satwa primata monogami, satu kelompok owa jawa biasa juga disebut satu keluarga. Jumlah kelompok owa jawa yang dapat diidentifikasi di hutan primer Citarik adalah lima kelompok dengan komposisi masing-masing kelompok berkisar antara tiga sampai empat individu. Tabel 18 menyajikan informasi tersebut.

83 70 Tabel 18. Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Primer Citarik Kelompok Induk Jantan (individu) Induk Betina (individu) Muda (individu) Bayi (individu) Jumlah (individu) I II III IV V Rerata (individu) Komposisi (%) 1 1 0,8 0,6 3,4 29,4 29,4 23,5 17,6 100 Komposisi kelompok owa jawa di hutan primer Citarik menggambarkan tingkat keberhasilan reproduksi yang tinggi. Keberhasilan reproduksi owa jawa di hutan primer Citarik ini ditunjukkan oleh seluruh kelompok yang diidentifikasi memiliki anak. Persentase pasangan yang memiliki anak tersebut terdiri dari pasangan yang memiliki satu individu anak sebesar 60%, dan pasangan yang memiliki dua individu anak sebesar 40%, sehingga rerata ukuran kelompok di hutan primer Citarik adalah 3,4 individu. Kemampuan reproduksi induk owa jawa di Citarik adalah 139,80%. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa satu pasang induk paling sedikit bisa menghasilkan lebih dari dua individu anak selama masa hidupnya. CII (2000) menyatakan bahwa owa jawa dapat menghasilkan 5-6 anak selama masa reproduksinya yang berkisar antara tahun. Perbandingan antara jantan dewasa, betina dewasa, muda dan anak adalah 1:1:0,8:0,6 sehingga bisa diartikan bahwa regenerasi owa jawa di hutan primer Citarik memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Keberhasilan ini karena kondisi hutan primer Citarik yang dapat memenuhi kebutuhan dasar owa jawa. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa lebih dari 90% vegetasi tingkat pohon merupakan sumber pakan owa jawa, dengan demikian kemampuan hutan primer Citarik dalam mendukung kehidupan spesies ini sangat tinggi. Selain hutan primer Citarik, hutan primer Cikaniki merupakan hutan yang masih terjaga kelestariannya, terutama pada lokasi yang dijadikan jalur penelitian (loop trail). Jalur ini digunakan untuk kegiatan ekowisata secara terbatas, sehingga sebagian wilayah Cikaniki secara berkala dilalui wisatawan dan petugas taman nasional yang secara langsung turut berperan dalam menjaga

84 71 kelestarian habitat. Selain bermanfaat sebagai kontrol kawasan, kegiatan ekowisata mempunyai dampak positif lain yaitu membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat yang menjadi pemandu wisata, harus memiliki pengetahuan umum tentang kawasan dan satwa yang dijadikan sebagai daya tarik wisatawan serta aspek lain yang berhubungan dengan kawasan. Melalui pengetahuan dan kegiatan inilah masyarakat belajar tentang arti penting suatu kawasan dan makhluk yang hidup di dalamnya. Faktor lain yang berperan dalam menjaga kelestarian habitat Cikaniki adalah sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar Cikaniki memiliki mata pencaharian tetap sebagai pekerja di perkebunan teh. Terdapat dua kampung yang berdampingan langsung dengan lokasi penelitian di Cikaniki, yaitu Citalahab Sentral dan Citalahab Bedeng. Dari total 16 kepala keluarga yang tinggal di Citalahab Sentral, 37,5% memiliki mata pencaharian sebagai buruh perkebunan; 37,5% berwiraswasta dan 25,0% memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain memiliki mata pencaharian tetap, masyarakat Citalahab Sentral turut terlibat dalam kegiatan ekowisata yang dilaksanakan taman nasional. Satu rumah dibangun khusus untuk digunakan sebagai guest house bagi pengunjung taman nasional yang pengelolaannya diatur secara bersama oleh masyarakat tersebut. Selain itu, beberapa rumah masyarakat di Citalahab Sentral difungsikan juga sebagai home stay. Bentuk keterlibatan lain adalah sebagian anggota masyarakat tersebut sewaktu-waktu memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemandu wisata. Masyarakat yang bermukim di Citalahab Bedeng tinggal di perumahan yang disediakan perusahaan perkebunan teh, oleh karena itu, 100% masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai pegawai perkebunan teh, baik sebagai pemetik, penyemprot maupun penyiang teh. Sebagian diantara mereka memiliki pekerjaaan sampingan sebagai petani dan membuka warung kebutuhan seharihari. Jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi di hutan primer Cikaniki adalah lima kelompok dengan komposisi empat kelompok terdiri dari sepasang induk dan satu anak, sedangkan satu kelompok lainnya merupakan sepasang induk dengan dua individu anak. Pada Tabel 19 disajikan jumlah dan komposisi selengkapnya.

85 72 Tabel 19. Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Primer Cikaniki Kelompok Induk Jantan (individu) Induk Betina (individu) Muda (individu) Bayi (individu) Jumlah (individu) I II III IV V Rerata (individu) Komposisi (%) 1 1 0,6 0,6 3,2 31,3 31,3 18,8 18,8 100 Kelompok owa jawa yang hidup di hutan primer Cikaniki termasuk ke dalam kelompok yang memiliki keberhasilan reproduksi tinggi, hal ini ditunjukkan oleh seluruh pasangan kelompok owa jawa di kawasan ini memiliki anak, dengan komposisi 75% kelompok memiliki satu anak, dan 25% memiliki dua anak, sehingga rerata ukuran kelompok owa jawa di Cikaniki adalah 3,2 individu per kelompok. Seperti pada kelompok owa jawa di hutan primer Citarik, tidak ada satu kelompok owa jawa di hutan primer Cikaniki yang tidak memiliki anak, sehingga bisa disimpulkan bahwa kemampuan reproduksi induk owa jawa di hutan primer Cikaniki adalah 120,13%. Rasio antara induk betina dan anak adalah 31,3%:37,6%, artinya bahwa persentase anak lebih besar dari persentase induk, dengan kata lain satu induk dapat menghasilkan lebih dari satu anak dalam satu periode waktu tertentu. Hal ini bisa disimpulkan bahwa peluang tetap terjaganya keberadaan masing-masing kelompok di Cikaniki cukup besar. Komposisi kelompok paling lengkap ditunjukkan oleh kelompok yang memiliki dua anak pada kelas umur yang berbeda. Pada saat menjelang dewasa, individu muda akan meninggalkan kelompoknya untuk membentuk kelompok baru, sedangkan bayi akan menjadi muda. Diharapkan saat terjadi perubahan tersebut, induk betina sudah kembali mengandung anak berikutnya. Proses seperti ini merupakan proses regenerasi yang baik dari suatu kelompok owa jawa sehingga kelestarian populasi spesies langka tersebut bisa tetap terjaga. Kondisi ini bisa terjadi apabila tidak terjadi gangguan eksternal yang biasanya ditimbulkan oleh aktivitas manusia, yaitu berupa gangguan terhadap habitat maupun pada satwanya secara langsung.

86 73 Gangguan secara langsung bisa berupa perburuan satwa untuk diperjualbelikan maupun untuk keperluan hewan peliharaan. Komposisi kelompok owa jawa yang cukup lengkap, dapat ditemukan pula di hutan sekunder Cibeureum. Dari total empat kelompok yang dapat diidentifikasi, tiga kelompok diantaranya (75%) merupakan komposisi lengkap, yaitu terdiri dari sepasang induk dan dua anak, sedangkan satu kelompok lainnya (25%) terdiri dari sepasang induk. Tabel 20 menyajikan jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di hutan sekunder Cibeureum. Tabel 20. Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Sekunder Cibeureum Kelompok Induk Jantan (individu) Induk Betina (individu) Muda (individu) Bayi (individu) Jumlah (individu) I II III IV Rerata (individu) Komposisi (%) 1 1 0,8 0,8 3,5 27,8 27,8 22,2 22,2 100 Jika dilihat dari jumlah kelompok yang terdiri dari empat individu, hutan sekunder Cibeureum bisa dikatakan sebagai habitat yang masih cukup baik bagi owa jawa. Terdapat satu kelompok yang hanya terdiri dari sepasang induk, hal ini diduga karena kelompok tersebut merupakan kelompok yang baru terbentuk sehingga masih membutuhkan waktu untuk berhasil dalam bereproduksi. Selain itu, walaupun jumlah kelompok lebih rendah dari kelompok yang diidentifkasi di kedua hutan primer, tetapi komposisi sebagian besar kelompok di Cibeureum merupakan kelompok dengan komposisi perbandingan jenis kelamin dan umur paling lengkap, sehingga masih besar peluang terbentuknya kelompok baru setelah tiga individu muda dari tiga kelompok tersebut menjadi dewasa dan meninggalkan kelompoknya. Secara umum, kemampuan reproduksi kelompok owa jawa di Cibeureum cukup baik karena komunitas masyarakat yang tinggal berdekatan dengan habitat Cibeureum adalah komunitas khusus, yakni komunitas pendatang dari daerah selatan Jawa Barat yang masih memegang teguh budaya tradisional dalam berinterkasi dengan lingkungan, sehingga gangguan pada habitat Cibeureum relatif kecil.

87 74 Perbandingan persentase antara induk betina dan anak menunjukkan bahwa persentase anak (44,4%) lebih besar dibandingkan induk betina (27,8%). Hal ini berarti bahwa rerata kemampuan reproduksi owa jawa di hutan sekunder Cibeureum sangat baik, sehingga bisa dikatakan bahwa kelompok owa jawa di hutan sekunder Cibeureum menunjukkan komposisi perbandingan kelas umur yang baik, dan hal ini merupakan gambaran keberhasilan reproduksinya. Daya reproduksi induk owa jawa di Cibeureum adalah 159,71%. Berdasarkan faktor tersebut, habitat Cibeureum bisa disimpulkan merupakan habitat yang masih bisa mendukung kehidupan owa jawa. Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa yang dapat diidentifikasi di hutan sekunder Cisalimar merupakan jumlah kelompok yang paling rendah dibandingkan tiga lokasi lainnya. Dari total tiga kelompok yang diidentifikasi, dua kelompok terdiri dari sepasang induk dan satu individu anak (66,7%), sedangkan satu kelompok lainnya (33,3%) merupakan sepasang induk, sehingga rerata ukuran kelompok 2,7 individu. Tabel 21 menyajikan jumlah dan komposisi kelompok selengkapnya. Tabel 21. Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Hutan Sekunder Cisalimar Kelompok Induk Jantan (individu) Induk Betina (individu) Muda (individu) Bayi (individu) Jumlah (individu) I II III Rerata (individu) Komposisi (%) 1 1 0,3 0,3 2,7 38,5 38,5 11,5 11,5 100 Berdasarkan perbandingan kelas umur dan jenis kelamin owa jawa di hutan sekunder Cisalimar menunjukkan bahwa kelestarian owa jawa dalam jangka panjang sangat dikhawatirkan, karena beberapa sebab: 1) hanya tiga kelompok owa jawa yang dapat diidentifikasi; 2) tidak terdapat satu kelompok pun yang merupakan kelompok lengkap; 3) salah satu kelompok diantaranya masih merupakan sepasang induk. Secara umum, dengan melihat komposisi kelompok yang terbentuk maka regenerasi kelompok owa jawa di hutan sekunder Cisalimar bisa disimpulkan sangat mengkhawatirkan, karena persentase anak terhadap induk betina menunjukkan nilai yang lebih kecil

88 75 (23,0%<38,5%). Kemampuan reproduksi induk owa jawa di hutan sekunder Cisalimar adalah 59,74%. Rendahnya kemampuan reproduksi owa jawa di hutan sekunder Cisalimar, diduga disebabkan habitat Cisalimar merupakan hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan perladangan masyarakat, sehingga tingkat gangguan terhadap habitat di Cisalimar lebih tinggi dibandingkan lokasi lain. Tingginya tingkat gangguan pada hutan sekunder Cisalimar akan menyebabkan perubahan tingkah laku satwa, khususnya owa jawa. Selain itu, akibat tingginya intensitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat, hutan sekunder Cisalimar terfragmentasi antara satu dengan lainnya sehingga kelompok owa jawa yang berada pada satu bagian kawasan tersebut tidak dapat berinteraksi dengan kelompok owa jawa pada bagian kawasan lain. Berdasarkan questioner dan wawancara secara langsung diperoleh informasi bahwa umumnya masyarakat Cisalimar dan masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan hutan tidak melakukan perburuan atau menebang kayu untuk keperluan komersial, tetapi masyarakat tersebut masih melakukan penebangan kayu untuk keperluan membuat rumah. Dari 65 kepala keluarga yang disurvei, 76,9% memiliki mata pencaharian sebagai petani baik di lahan garapan sendiri maupun di lahan garapan milik taman nasional; 10,2% sebagai pedagang; 9,2% sebagai buruh dan 3,1% sebagai sopir angkutan umum. Berdasarkan persentase tersebut terlihat bahwa umumnya masyarakat Cisalimar menggarap sawah atau ladang yang sebagian besar diantaranya terletak berbatasan dengan kawasan taman nasional. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah menganjurkan masyarakat untuk menanam dan memelihara jenis pohon yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan membuat rumah pada lahan kawasan yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar. Terjadinya gangguan terhadap habitat, lebih jauh akan mempengaruhi tingkah laku owa jawa, diantaranya perubahan pola waktu makan dan bergerak. Perubahan lain yang dilakukan adalah merubah penggunaan tajuk pada saat melakukan aktivitas tersebut. Pengaruh nyata dari gangguan habitat dinyatakan berdasarkan hasil penelitian Nijman (2006) yang menduga bahwa pengaruh terhadap gangguan habitat akan memperngaruhi kepadatan populasi. Jika tidak dilakukan pengontrolan secara ketat terhadap gangguan yang terjadi dikhawatirkan akan mengurangi kepadatan populasi owa jawa di Cisalimar akibat semakin meluasnya lahan yang dibuka untuk kegiatan perladangan dan menyebabkan semakin sempitnya habitat owa jawa.

89 76 Fragmentasi habitat merupakan faktor penting lain yang mengakibatkan rendahnya populasi owa jawa di Cisalimar. Terfragmentasinya habitat Cisalimar menyebabkan owa jawa tidak memiliki akses untuk melakukan pergerakan ke areal lain dalam mencari sumber pakan (foraging). Fragmentasi habitat juga mengancam keberadaan spesies dengan cara yang lain: pertama, fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Beberapa speseis mamalia, burung dan serangga di daerah pedalaman hutan tidak dapat menyeberangi daerah terbuka karena adanya bahaya dimakan pemangsa, akibatnya, banyak spesies yang tidak mengkolonisasi lagi daerah asalnya setelah populasi awalnya hilang (Lovejoy dalam Primack et al. 1998). Kedua, pengurangan daerah jelajah dari hewan asli. Pada umumnya, hewan baik sebagai individu maupun kelompok sosial, harus memiliki daerah jelajah yang cukup luas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fragmentasi habitat dapat mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih subpopulasi dalam daerahdaerah yang luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding depressian), genetic drift, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan populasi yang berukuran kecil (Primack et al. 1998). Secara umum, jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi pada seluruh lokasi penelitian berkisar antara 3-5 kelompok dengan ukuran kelompok antara 2-4 individu. Rerata kelompok pada setiap lokasi penelitian adalah empat kelompok dengan rerata ukuran kelompok berjumlah tiga individu. Gambar 21 menyajikan komposisi kelompok owa jawa di setiap lokasi penelitian. Jumlah kelompok Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Lokasi Induk+2 anak Induk+1 anak Sepasang induk Gambar 21. Komposisi Kelompok Owa Jawa pada Setiap Lokasi Penelitian

90 77 Pada Gambar 21 dapat dilihat perbedaan komposisi kelompok yang terbentuk antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Pada lokasi yang termasuk ke dalam hutan primer, baik di Citarik maupun Cikaniki, komposisi kelompok terdiri dari sepasang induk dan minimal satu anak. Perbandingan jumlah pasangan induk terhadap anak menunjukkan bahwa jumlah anak yang dihasilkan lebih besar daripada jumlah pasangan induk, yaitu 13 individu anak terhadap 10 pasang induk, sedangkan perbandingan jumlah pasangan induk dan anak di hutan sekunder di Cibeureum dan Cisalimar menunjukkan perbedaan yang sangat kecil (8 individu anak terhadap 7 pasang induk). Untuk melihat perbandingan komposisi kelompok dan kelas umur serta kemampuan reproduksi populasi owa jawa di alam, pada Tabel 22 disajikan perbandingan komposisi kelompok dan kelas umur owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak dan satu kelompok owa jawa yang ada di fasilitas penangkaran Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Tabel 22. Rerata Jumlah dan Komposisi Kelompok Owa Jawa di Empat Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak dan di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB Kelompok Induk Jantan (individu) Induk Betina (individu) Muda (individu) Bayi (individu) Jumlah (individu) Citarik 1 1 0,8 0,6 3,4 Cikaniki 1 1 0,6 0,6 3,2 Cibeureum 1 1 0,8 0,8 3,5 Cisalimar 1 1 0,3 0,3 2,7 Rerata 1 1 0,6 0,6 3,2 Komposisi 31,3 31,3 18,8 18,8 100 (%) PSSP IPB Komposisi (%) Komposisi kelompok owa jawa yang ada di fasilitas penangkaran PSSP IPB terdiri dari sepasang induk dan dua anak. Jumlah empat individu ini merupakan satu kelompok yang lengkap dan merupakan jumlah maksimal dari satu kelompok owa jawa di alam sampai satu individu yang menjelang dewasa ke luar kelompoknya untuk membentuk kelompok baru, dan digantikan oleh individu yang akan lahir. Kedua anak yang dilahirkan pasangan owa jawa merupakan kelahiran pertama bagi pasangan induk. Umur betina induk pada saat melahirkan anak pertamanya adalah sembilan tahun, lebih lambat beberapa

91 78 tahun dari rata-rata owa jawa pertama kali berkembang biak. Lebih lambatnya umur pada saat melahirkan anak pertama, karena faktor lambatnya penggabungan antara jantan dan betina yang disebabkan belum tersedianya fasilitas kandang yang memadai. Jumlah dua anak di penangkaran diperoleh dalam kurun waktu dua tahun dengan jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran yang lain 14 bulan. Interval ini jauh lebih pendek dari rata-rata interval kelahiran pada umumnya, seperti yang dilaporkan Kuester (2004) yang menyatakan bahwa jarak kelahiran owa jawa sekitar 40 bulan. Hal ini dapat terjadi karena owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP IPB memperoleh pakan dalam jumlah yang cukup dengan kandungan gizi dan protein yang tinggi. Dari 11 jenis pakan yang diberikan dalam satu kali pemberian pakan memiliki total 1114,134 gram dengan kandungan kadar air (88,76%), karbohidrat (53,87%), protein (17,17%), serat kasar (5,40%), kadar abu (4,68%) dan lemak (2,38%), sedangkan total energi yang dihasilkan adalah 4,277 kal/gr. Selain faktor memadainya pakan yang diperoleh di penangkaran, faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi owa jawa di penangkaran PSSP IPB antara lain faktor kecocokan antara pasangan, kandang yang baik ditinjau dari segi bentuk dan ukuran, pengayaan kandang (enrichment) dan minimnya interaksi dengan manusia. Keberhasilan reproduksi owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB menunjukkan bahwa kegiatan penangkaran eksitu spesies kritis ini dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor diantaranya ukuran dan kondisi kandang, pakan dan kesesuaian pasangan yang ditangkarkan. Berdasarkan identifikasi individu pada setiap kelompok dapat ditentukan kepadatan masing-masing kelompok pada setiap lokasi penelitian, sehingga bisa diperoleh estimasi populasi owa jawa dengan mempertimbangkan luas habitat yang layak dihuni owa jawa. Estimasi Populasi Owa Jawa Kepadatan Kelompok Kepadatan kelompok owa jawa pada kondisi musim yang berbeda menunjukkan keadaan yang tidak sama di setiap lokasi penelitian. Kepadatan kelompok diperoleh berdasarkan identifikasi owa jawa setiap melakukan pengamatan populasi. Kepadatan kelompok menggambarkan banyaknya kelompok owa jawa pada setiap kilometer persegi, dan hal ini bisa digunakan

92 79 untuk menduga populasi owa jawa pada lokasi tersebut. Kepadatan kelompok owa jawa pada setiap lokasi penelitian dan musim yang berbeda disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Kepadatan Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Musim Kemarau Musim Lokasi Hujan (kelp/km 2 ) Kemarau (kelp/km 2 ) Rerata (klp/km 2 ) Hutan primer Citarik 5,1 2,9 4,0 ± 1,58 Hutan primer Cikaniki 3,1 4,5 3,8 ± 0,99 Hutan sekunder Cibeureum 3,2 2,0 2,6 ± 0,85 Hutan sekunder Cisalimar 3,6 2,4 3,0 ± 0,85 Rerata 3,8 ± 0,93 3,0 ± 1,10 3,4 ± 0,66 Koefisien keragaman 24,47% 36,67% Secara umum, terjadi perbedaan kepadatan kelompok antara musim hujan dan musim kemarau. Rerata kepadatan kelompok pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Hal ini bisa terjadi karena pada musim hujan lebih banyak terdapat buah-buahan matang di sepanjang jalur penelitian sehingga frekuensi identifikasi owa jawa lebih tinggi. Pada saat musim kemarau, frekuensi identifikasi owa jawa lebih rendah karena beberapa sebab, antara lain 1) pohon pakan di sepanjang jalur penelitian berkurang. Identifikasi pohon pakan pada musim hujan sebanyak 39 jenis pohon pakan, sedangkan pada musim kemarau hanya 30 jenis pohon pakan; 2) berkurangnya jumlah buah-buahan yang matang; 3) karena kurangnya sumber pakan, maka kelompok owa jawa lebih memperluas daerah jelajahnya untuk memenuhi kebutuhan pakan dan sumber air. Respon owa jawa terhadap manusia dapat merupakan faktor penyebab tinggi atau rendahnya identifikasi owa jawa di suatu lokasi. Di hutan primer Cikaniki, kelompok owa jawa sudah cukup terhabituasi dengan manusia dibandingkan di hutan primer Citarik dan hutan sekunder Cibeureum, sehingga pada saat melakukan pengamatan, satwa tersebut tidak segera lari menghindar. Hal ini disebabkan, jalur yang digunakan untuk melakukan pengamatan populasi merupakan jalur yang digunakan kegiatan ekowisata, jadi frekuensi bertemunya owa jawa dengan manusia cukup tinggi. Faktor yang mengakibatkan lebih rendahnya kepadatan kelompok pada musim kemarau dibandingkan musim

93 80 hujan di hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar adalah, adanya kegiatan perburuan yang biasanya terjadi pada musim kemarau, sehingga kelompok owa jawa akan menjauhi jalur yang sering digunakan manusia. Pada Gambar 22 disajikan perbedaan rerata kepadatan kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak Kepadatan (kelompok/km2) Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Lokasi Gambar 22. Rerata Kepadatan Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian Rerata kepadatan kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah 3,4 kelompok/km 2. Rerata kepadatan ini lebih tinggi dibandingkan rerata kepadatan kelompok owa jawa di TN. Ujung Kulon sebesar 3,1 kelompok/km 2. Hal ini bisa disimpulkan bahwa kawasan TN. Gunung Halimun-Salak lebih mendukung kehidupan owa jawa dibandingkan TN. Ujung Kulon. Identifikasi setiap individu dalam kelompok dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ukuran masing-masing kelompok. Sebagai satwa monogami, owa jawa memiliki ukuran kelompok paling lengkap berjumlah empat individu, dan ukuran kelompok paling kecil berjumlah dua individu. Ukuran Kelompok Ukuran kelompok menunjukkan banyaknya individu di dalam suatu kelompok. Ukuran kelompok owa jawa berkisar antara dua sampai empat individu. Walaupun induk betina memiliki kemampuan untuk melahirkan anak lebih dari dua individu, tetapi ukuran kelompok maksimal akan tetap sama, karena satu individu anak yang menjelang dewasa akan ke luar kelompoknya

94 81 untuk membentuk kelompok baru. Ukuran kelompok owa jawa pada setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Ukuran Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Musim Kemarau Musim Lokasi Hujan (indiv/klp) Kemarau (indiv/klp) Rerata (indiv/klp) Hutan primer Citarik 2,6 2,6 2,6 ± 0,00 Hutan primer Cikaniki 2,7 2,4 2,6 ± 0,21 Hutan sekunder Cibeureum 2,3 3,0 2,7 ± 0,49 Hutan sekunder Cisalimar 1,9 2,4 2,2 ± 0,35 Rerata 2,4 ± 0,36 2,6 ± 0,28 2,5 ± 0,19 Koefisien keragaman 15,00% 10,77% Tidak terdapat perbedaan ukuran kelompok antara musim hujan dan musim kemarau di hutan primer Citarik, perbedaan ukuran kelompok terjadi pada tiga lokasi lainnya. Tidak adanya perbedaan ukuran kelompok antara musim hujan dan kemarau di Citarik karena sistem hidup owa jawa yang dianutnya. Jumlah empat individu dalam satu kelompok bersifat sementara, karena pada saat induk betina akan melahirkan anak berikutnya, anak yang telah menjelang dewasa akan ke luar kelompoknya untuk membentuk kelompok baru. Kelompok dengan kemampuan reproduksi yang baik dan dengan didukung oleh habitat yang baik, akan memiliki jumlah kelompok sebanyak empat individu. Di hutan primer Cikaniki, terjadi penurunan ukuran kelompok yang diidentifikasi, hal ini bisa disebabkan oleh faktor ketersediaan makanan yang relatif berkurang. Peningkatan ukuran kelompok terjadi di hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar. Hal ini disebabkan kelompok yang pada awal penelitian (musim hujan) masih terdiri dari sepasang induk dengan betina yang sedang bunting, saat diidentifikasi kembali pada musim kemarau, telah melahirkan anak, dengan demikian jumlah individu di dalam kelompok akan bertambah. Selain itu, di dua lokasi ini lebih sering diidentifikasi tapak pemangsa (kucing hutan) pada saat musim hujan, sehingga menyebabkan rendahnya identifikasi owa jawa pada saat musim tersebut. Jika dibandingkan ukuran kelompok antara hutan primer dan sekunder, maka dapat dilihat bahwa ukuran kelompok di hutan primer Citarik dan Cikaniki menunjukkan ukuran yang lebih tinggi dibandingkan di hutan sekunder

95 82 Cibeureum dan Cisalimar. Keadaan ini berhubungan dengan jumlah kerapatan pohon pakan di hutan primer Citarik (350,00 pohon/ha) dan Cikaniki (241,67 pohon/ha) yang lebih tinggi dibandingkan di hutan sekunder Cibeureum (200 pohon/ha) dan Cisalimar (175 pohon/ha). Perbedaan kerapatan pohon pakan ini menyebabkan kelompok owa jawa merubah pola jelajahnya untuk memebuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wrangham et al (2006) yang menyimpulkan bahwa perbedaan ukuran kelompok pada satwa primata dipengaruhi oleh kerapatan sumber pakan dan luas daerah jelajah primata. Adanya variasi intensitas yang merupakan akibat persaingan pada saat melakukan jelajah harian merupakan salah satu aspek yang menyebabkan terjadinya perbedaan ukuran kelompok. Gambar 23 menyajikan perbedaan ukuran kelompok pada masing-masing lokasi penelitian di TN. Gunung Halimun- Salak Ukuran kelompok (individu) Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Lokasi Gambar 23. Rerata Ukuran Kelompok Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian Rerata ukuran kelompok di TN. Gunung Halimun-Salak adalah 2,5 individu/kelompok, artinya bahwa setiap kelompok owa jawa di taman nasional ini mampu melakukan reproduksi untuk mempertahankan keberadaannya. Jika dilihat dari ukuran maksimal satu kelompok owa jawa yang terdiri dari empat individu, maka kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak menunjukkan komposisi kelompok yang melebihi persentase 50%. Identifikasi masing-masing individu pada saat melakukan penelitian dengan menggunakan jalur, dapat digunakan untuk mengetahui kepadatan populasi owa jawa pada setiap kilometer persegi, sehingga lebih jauh data tersebut dapat digunakan untuk melakukan estimasi populasi pada suatu kawasan.

96 83 Kepadatan Populasi Kepadatan populasi menggambarkan banyaknya individu dalam satu kilometer persegi. Semakin melimpah sumber pakan pada suatu kawasan, maka semakin banyak populasi pada kawasan tersebut. Tabel 25 menyajikan informasi kepadatan populasi pada setiap lokasi penelitian. Tabel 25. Kepadatan Populasi Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Musim Kemarau Musim Parameter Hujan (indiv/km 2 ) Kemarau (indiv/km 2 ) Rerata (indiv/km 2 ) Hutan primer Citarik 13,3 7,3 10,3 ± 4,24 Hutan primer Cikaniki 8,2 10,6 9,4 ± 1,70 Hutan sekunder Cibeureum 7,3 6,1 6,7 ± 0,85 Hutan sekunder Cisalimar 6,8 5,7 6,3 ± 0,78 Rerata 8,9 ± 2,99 7,4 ± 2,22 8,2 ± 1,98 Koefisien keragaman 33,60% 30,00% Kepadatan populasi owa jawa berbanding lurus dengan kepadatan kelompok. Jika kepadatan kelompok pada suatu lokasi lebih tinggi pada musim hujan, maka kepadatan populasi kelompok tersebut menunjukkan nilai yang tinggi pada musim tersebut. Kepadatan populasi owa jawa di hutan primer Citarik pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau, hal ini disebabkan rerata jumlah pohon pakan yang tersedia pada musim hujan (23 jenis) lebih banyak dibandingkan musim kemarau (19 jenis). Kebutuhan air pada saat musim hujan dipenuhi dari buah-buahan dan daun-daunan yang mengandung air. Lebih banyaknya jumlah jenis pohon pakan pada musim hujan, menyebabkan frekuensi identifikasi kelompok owa jawa pada musim hujan di sepanjang jalur penelitian lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Habitat Cikaniki merupakan hutan primer dengan kondisi hutan yang masih cukup terjaga kelestariannya. Kepadatan populasi di Cikaniki pada musim kemarau menunjukkan jumlah lebih tinggi dibandingkan musim hujan. Perbedaan ini bisa disebabkan rerata jumlah pohon pakan di Cikaniki termasuk ke dalam jumlah paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya, sehinga jika beberapa jenis pohon tidak tersedia sebagai sumber pakan, masih tersedia jenis pohon pakan

97 84 lain yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan. Pada Gambar 24 disajikan perbedaan kepadatan populasi pada setiap lokasi penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak. Kepadatan (individua/km2) Citarik Cikaniki Cibeureum Cisalimar Lokasi Gambar 24. Rerata Kepadatan Populasi Owa Jawa di Setiap Lokasi Penelitian Rerata kepadatan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah 8,2 individu/km 2. Kepadatan populasi ini lebih tinggi dari kepadatan populasi owa jawa di hutan hujan dataran tinggi sebesar 7 individu/km 2 (Massicot 2001). Jika dibandingkan dengan kepadatan populasi owa jawa secara umum di Pulau Jawa yang menunjukkan nilai 8,6 individu/km 2 di hutan pegunungan dengan ketinggian antara m dpl. (Nijman 2004), maka kepadatan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak lebih rendah 0,4 individu/km 2. Apabila dilakukan perbandingan kepadatan populasi dengan hasil penelitian Kool (1992) yang melakukan penelitian di TN. Gunung Halimun, maka terjadi penurunan sebesar 0,1 individu/km 2 dalam kurun waktu 13 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat pula dilakukan perbandingan kepadatan populasi, kepadatan kelompok dan ukuran kelompok owa jawa di hutan primer dan hutan sekunder. Hasil yang diperoleh dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa kepadatan populasi, kepadatan kelompok dan ukuran kelompok di hutan primer memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder. Tingginya setiap parameter di hutan primer disebabkan jumlah dan kerapatan pohon pakan lebih tinggi dibandingkan jumlah dan kerapatan pohon pakan di hutan sekunder, sehingga lebih mampu mendukung populasi owa jawa. Pada Gambar 25 disajikan secara jelas perbedaan tersebut.

98 Kepadatan (kelompok/km2) Hutan primer Hutan sekunder Lokasi (a) Ukuran kelompok (individu) Hutan primer Hutan sekunder Lokasi (b) 9.9 Kepadatan (individu/km2) Hutan primer 6.5 Hutan sekunder Lokasi (c) Gambar 25. Kepadatan Kelompok (a), Ukuran Kelompok (b) dan Kepadatan Populasi (c) Owa Jawa di Hutan Primer dan Sekunder TN. Gunung Halimun-Salak

99 86 Berdasarkan data dari setiap lokasi, maka diperoleh suatu rerata bahwa kepadatan kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah 3,4 kelompok/km 2 dengan kepadatan tertinggi di hutan primer Citarik yang tidak terganggu. Rerata ukuran kelompok sekitar 2,5 individu dengan kisaran jumlah anggota kelompok yang diidentifikasi antara 1-4 individu, sedangkan kepadatan populasi menunjukkan nilai 8,2 individu/km 2. Untuk melihat apakah kepadatan populasi dan kepadatan kelompok owa Jawa di TN. Gunung Halimun-Salak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu, disajikan perbandingan data hasil penelitian dengan peneliti sebelumnya, seperti dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Perbandingan Kepadatan Owa Jawa di TN. Gunung Halimun-Salak Tahun publikasi Kepadatan kelompok (kelompok/km 2 ) Kepadatan populasi (individu/km 2 ) Sumber ,6 5,6 3,4 8,9 9,9 8,2 Kool Sugarjito et al Iskandar Pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rerata angka kepadatan populasi di TN. Gunung Halimun adalah 8,2 individu/km 2. Kepadatan populasi ini menurun 0,7 individu/km 2 dibandingkan hasil penelitian Kool (1992) yang melaporkan kepadatan populasi 8,9 individu/km 2, tetapi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sugarjito (1997), maka terdapat penurunan kepadatan populasi 1,7 individu/km 2. Jika dibandingkan antara kepadatan kelompok yang telah diperoleh dengan hasil penlitian Kool (1992), maka tidak terjadi perbedaan mencolok antara keduanya, tetapi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sugarjito (1997), terjadi penurunan sebesar 2,2 individu dalam kurun waktu delapan tahun. Terjadinya penurunan kepadatan populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun- Salak disebabkan terutama oleh faktor menurunnya kualitas habitat di beberapa lokasi penelitian, diantaranya penebangan liar dan menyempitnya kawasan akibat semakin meluasnya lahan pertanian masyarakat. Keadaan ini disimpulkan berdasarkan kondisi keempat lokasi penelitian dan informasi yang diperoleh berdasarkan survei terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar atau berdekatan langsung dengan kawasan. Hutan primer Citarik adalah hutan yang paling jauh dari masyarakat sekitar, sehingga merupakan hutan yang termasuk aman dari

100 87 ancaman perusakan habitat dibandingkan lainnya. Di hutan primer Cikaniki, sebagian wilayah berdekatan langsung dengan kawasan hutan. Walaupun demikian, kepadatan populasi owa jawa di habitat ini merupakan tertinggi kedua setelah Citarik. Hal ini disebabkan kondisi hutan Cikaniki yang masih terjaga kelestariannya. Berdasarkan tata guna lahan, luas kawasan TN. Gunung Halimun-Salak adalah ha (JICA-Halimun 2005). Luas wilayah di atas m dpl. seluas ha, sedangkan dari luas hutan primer dan sekunder yang tersedia, maka habitat yang diperkirakan layak dihuni oleh owa jawa adalah ,93 ha, maka estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah individu (rerata kepadatan populasi 8,2 individu/km 2 ). Jika penghitungan estimasi populasi dilakukan secara terpisah antara hutan primer dan sekunder dengan kepadatan populasi di hutan primer (9,9 individu/km 2 ) dan sekunder (6,5 individu/km 2 ), maka estimasi populasi owa jawa adalah individu, dengan demikian, estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak berkisar antara individu. Tingginya populasi owa jawa tersebut menunjukkan bahwa TN. Gunung Halimun-Salak merupakan salah satu dari sedikit kawasan terbaik yang dapat mendukung populasi owa jawa. Jumlah ini bisa disimpulkan sesuai dengan hasil penelitian Nijman (2004) yang menyatakan bahwa populasi owa jawa di alam lebih besar dari individu. Tingginya populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak menunjukkan masih baiknya kondisi habitat di kawasan taman nasional. Walaupun demikian, perlu diperhatikan adanya potensi ancaman yang akan menyebabkan menurunnya populasi owa jawa, antara lain:1) kerusakan habitat akibat penebangan liar; 2) berkurangnya luas kawasan karena semakin meluasnya kegiatan perladagangan pada zona penyangga yang mengarah ke kawasan taman nasional; 3) perburuan; dan 4) rendahnya tingkat reproduksi owa jawa karena cara hidupnya yang monogami. Cowlishaw dan Dunbar (2000) menyatakan bahwa perburuan pada populasi primata dapat mengakibatkan perubahan struktur umur dan jenis kelamin pada populasi tersebut, perubahan tingkah laku individu dan menyebabkan perubahan struktur sosial di dalam populasi. Jika tidak dilakukan antisipasi pada ketiga faktor ini, maka bukan suatu hal tidak mungkin kalau populasi owa jawa akan menurun dalam waktu yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, diperlukan sistem kontrol yang efektif di dalam kawasan dan diberlakukan tindakan tegas pada setiap bentuk pelanggaran; manajemen kawasan yang baik terutama dalam hal

101 88 pengayaan habitat yang lebih ditekankan pada pohon pakan dan pohon tidur bagi owa jawa. Selain itu, perlunya integrasi dari berbagai bidang ilmu antara lain konservasi, ekologi dan genetik, sehingga bisa ditentukan strategi konservasi yang tepat. Dengan demikian, meskipun populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak tinggi, tetapi masih tetap diperlukan pemantauan yang berkelanjutan dan upaya-upaya konservasi lainnya untuk mempertahankan populasinya. Peran Citarik dan Cikaniki sebagai hutan primer akan sangat menentukan kelestarian owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, karena pada kedua habitat tersebut tersedia kebutuhan dasar yang dibutuhkan satwa. Kondisi habitat seperti ini sesuai dengan pernyataan Sakaguchi et al. (2003) bahwa owa jawa adalah satwa primata arboreal yang sangat tergantung pada hutan primer, dengan demikian keberadaan owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak merupakan indikator dari baiknya kondisi hutan primer dan sekaligus turut berperan dalam penyebaran biji pada ekosistem TN. Gunung Halimun-Salak. Habitat Cibeureum merupakan hutan sekunder dengan intensitas pemanfaatan oleh masyarakat yang cukup tinggi dibandingkan kedua hutan primer. Pemanfaatan tersebut meliputi pembukaan lahan untuk dijadikan perladangan, pengambilan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga maupun digunakan sebagai perlintasan menuju daerah lain. Pembukaan dan pembakaran lahan terjadi pada habitat Cisalimar dan Cibeureum yang dikhawatirkan akan semakin meluas ke dalam wilayah taman nasional. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan kepadatan populasi owa jawa di Cibeureum dan Cisalimar lebih rendah dibandingkan kedua lokasi lain. Selain aktivitas perluasan lahan perladangan dan pertanian lain yang cenderung mengarah ke dalam kawasan taman nasional, terdapat aspek lain yang sangat berpengaruh terhadap kelestarian populasi owa jawa, yaitu penebangan liar. Pada saat penelitian berlangsung, kejadian penebangan liar di dalam kawasan beberapa kali teridentifikasi. Berdasarkan permasalahan yang muncul, perlu dilakukan sistem manajemen dan pengontrolan kawasan yang lebih baik. Salah satu sistem pengelolaan hutan yang dapat dilakukan adalah dengan mengikutsertakan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan, seperti misalnya dalam kegiatan ekowisata. Jika tidak segera dilakukan penanganan terhadap masalah tersebut, maka dikhawatirkan kejadian tersebut akan menjadi masalah yang lebih besar yang berpengaruh secara langsung terhadap populasi owa jawa dan satwa

102 89 lainnya. Kegiatan penebangan liar tersebut dalam skala besar akan berpengaruh pula terhadap tingkah laku owa jawa. Johns (1986) melaporkan hasil penelitiannya tentang adanya perubahan tingkah laku pada gibbon karena adanya gangguan habitat, seperti penebangan. Hilangnya 51% pohon pada berbagai tingkatan ukuran (Johns 1988) dan pengurangan drastis ketersedian buah-buahan sebagai sumber pakan menyebabkan menurunnya waktu yang digunakan untuk aktivitas makan dan bergerak, tetapi sebaliknya meningkatkan aktivitas beristirahat. Terjadi perubahan tingkah laku H. Lar di Malaysia bagian barat pada areal yang dijadikan kawasan penebangan. Perubahan signifikan terjadi pada tingkah laku istirahat, dari sekitar 60% sebelum adanya penebangan, meningkat menjadi 80% setelah kawasan tersebut dijadikan kawasan tebangan. Berlawanan dengan kejadian peningkatan persentase istirahat, terjadi penurunan persentase tingkah laku makan, bergerak dan bersuara yang diakibatkan oleh aktivitas penebangan tersebut. Owa jawa dengan status populasi di alam sangat kritis bisa disebabkan terutama oleh kerusakan habitat. Fragmentasi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan populasi dan keberhasilan dalam reproduksi. Kondisi populasi owa jawa di alam dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya akan berbeda dengan kelompok owa jawa yang berada di suatu penangkaran. Kondisi penangkaran yang terkendali dan tidak adanya faktor ancaman, akan memberikan hasil yang berbeda. Owa Jawa di Failitas Penangkaran Penelitian owa jawa pada satu kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Mayarakat (PSSP LPPM) IPB dilakukan untuk membandingkan kemampuan reproduksi di alam dan di penangkaran dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Pakan Sebagai satwa frugivora, owa jawa lebih banyak mengkonsumsi buahbuahan dibandingkan bagian pohon atau jenis pakan lain. Jenis buah yang dikonsumsi adalah buah-buahan yang telah matang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemberian pakan owa jawa yang ditangkarkan lebih mengutamakan buah-buahan dibandingkan sayuran dan daun-daunan. Selain itu, diberikan pula

103 90 sejenis biskuit (monkey chaw) yang mengandung berbagai nutrisi yang dibutuhkan satwa. Jenis pakan yang diberikan pada setiap kali pemberian pakan untuk satu individu owa jawa disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Jenis Pakan Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB No. Jenis Pakan Jumlah pemberian/individu Berat (gr) 1. Kacang panjang 4 batang 44,67 2. Kangkung ½ ikat 170,60 3. Daun kemang 2 ikat Jeruk 2 buah Apel 1 buah 77,46 6. Wortel 1 buah 62,49 7. Jambu biji ¼ buah 45,78 8. Jeruk bali ½ bagian 31,85 9. Pisang 3 buah 290, Salak 1 buah 45, Monkey chaw 5 buah 24,74 Total 1114,13 Sumber: PSSP LPPM IPB Diantara buah-buahan yang diberikan, pisang merupakan jenis buah yang diberikan dalam jumlah yang lebih banyak mengingat pisang adalah jenis pakan yang paling disukai. Jenis pakan lain yang diberikan dalam jumlah yang cukup tinggi adalah jeruk dan kangkung. Hasil analisis proksimat pada seluruh pakan owa jawa yang disajikan pada Tabel 27 adalah, kadar air (88,76%), karbohidrat (53,87%), protein (17,17%), serat kasar (5,40%), kadar abu (4,68%) dan lemak (2,38%), sedangkan total energi yang dihasilkan sebesar 4,277 kal/gr. Berdasarkan hasil analisis proksimat tersebut diketahui bahwa persentase kandungan tertinggi di dalam jenis pakan yang diberikan untuk satu individu owa jawa adalah kadar air, diikuti karbohidrat dan protein. Di alam, owa jawa akan cenderung memilih pakan yang mengandung sumber air untuk pemenuhan kebutuhan air dalam tubuhnya. Pemilihan jenis pakan yang mengandung kadar air yang tinggi sangat bermanfaat pada saat musim kemarau. Pertimbangan yang hampir sama dilakukan di fasilitas penangkaran eksitu owa jawa, Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Jenis pakan yang diberikan kepada dua pasang owa jawa yang ditangkarkan, lebih banyak jenis buahbuahan, antara lain pisang, jagung dan tomat seperti disajikan pada Tabel 28.

104 91 Tabel 28. Kandungan Protein, Karbohidrat dan Lemak Pakan Owa Jawa Berdasarkan Bahan Kering No. Jenis Pakan Protein (kkal/gr) Karbohidrat (kkal/gr) Lemak (kkal/gr) 1. Pisang 159, ,60 85,00 2. Jagung 84,50 284,10 42,00 3. Wortel 42,90 187,40 3,90 4. Tomat 34,90 86,40 6,20 5. Bengkuang 14,30 159,30 4,20 6. Kacang panjang 12,60 77,90 2,20 7. Sawi 1,12 10,00 0,30 8. Mentimun 4,34 46,10 0,60 Total Energi 357, ,80 142,40 Sumber: Nurmasito (2003) Diantara delapan jenis pakan yang diberikan di Kebun Binatang Ragunan, pisang merupakan jenis pakan yang memiliki kandungan protein, karbohidrat dan lemak yang paling tinggi dibandingkan jenis pakan lainnya, sehingga pisang lebih sering disediakan di penangkaran eksitu owa jawa. Selain itu, karena pisang lebih banyak mengandung kadar air dan lebih disukai oleh satwa langka tersebut. Tingkah Laku Jenis tingkah laku owa jawa di alam dan penangkaran pada dasarnya memiliki kesamaan, namun, terjadi perbedaan pada frekuensi tingkah laku tertentu. Berdasarkan hasil penelitian tingkah laku harian owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB, terdapat perbedaan persentase istirahat antara dua individu dewasa di penangkaran dan H. lar di alam. Persentase istirahat di penangkaran lebih rendah 13,5% dibandingkan di alam saat belum terjadi penebangan, dan 33,5% setelah terjadi penabangan. Jenis dan frekuensi tingkah laku owa jawa di penangkaran selengkapnya disajikan pada Gambar 26.

105 Persentase (%) Istirahat Bergerak Makan Grooming Kopulasi Mengancam Bermain Tingkah Laku Induk Jantan Induk Betina Juvenil Gambar 26. Aktivitas Harian Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran PSSP LPPM IPB Pada Gambar 26 bisa dilihat bahwa terdapat kecenderungan fluktuasi frekuensi yang sama dari tiga individu owa jawa yang diamati dalam melakukan aktivitas kecuali pada tingkah laku istirahat dan bermain. Juvenil melakukan aktivitas bermain jauh lebih tinggi tetapi memiliki frekuensi istirahat paling rendah dibandingkan kedua induknya. Hal ini merupakan pola yang biasa terjadi, karena pada dasarnya anak pada kisaran umur tersebut (juvenil) lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain daripada aktivitas lain. Aktivitas pada kedua induk menunjukkan bahwa induk betina memiliki frekuensi istirahat dan menelisik (grooming) lebih tinggi dibandingkan lainnya. Tingkah laku menelisik lebih sering dilakukan pada anak dan sesekali pada induk jantan. Menelisik terhadap induk jantan bisa merupakan bagian dari tingkah laku seksual. Induk jantan lebih memiliki inisiatif dalam tingkah laku kopulasi, sehingga frekuensi tingkah laku kopulasi induk jantan lebih tinggi dibandikan induk betina. Selain itu, hanya induk jantan yang memiliki frekunesi mengancam di fasilitas penangkaran ini. Tingkah laku mengancam tersebut bukan merupakan ancaman yang sesungguhnya karena merupakan bagian dari proses belajar (learning behavior) bagi anaknya. Pada Gambar 27 disajikan aktivitas owa jawa di fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB.

106 93 a b Gambar 27. Tingkah laku Menelisik Induk Betina Owa Jawa terhadap anak (a) dan induk jantan (b) di Fasilitas Penangkaran PSSP IPB Jika dilakukan perbandingan tingkah laku antara H. Lar di alam dan H. Moloch di penangkaran, maka dapat dilihat adanya kesamaan dalam frekuensi istirahat. Kedua spesies di dua lokasi berbeda ini memiliki frekuensi istirahat lebih tinggi dibandingkan aktvititas lain, Perbedaan tingkah laku terlihat jelas pada frekuensi aktivitas bergerak dan makan. Di alam, H. Lar memiliki frekuensi pergerakan yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas makan, sedangkan di penangkaran, menunjukkan frekuensi sebaliknya. Hal ini disebabkan, di alam, H. lar harus melakukan pergerakan terlebih dahulu sebelum memperoleh makanan. Pergerakan ini akan lebih jauh pada saat musim kemarau, sedangkan di penangkaran, H. moloch tidak perlu melakukan pergerakan yang jauh untuk mencari makan karena selain sumber pakan tersebut telah tersedia, ukuran kandang pun terbatas. Dalam upaya penangkaran, selain perlu memperhatikan ukuran kandang dan jenis makanan yang diberikan, perlu pula memperhatikan aspek tingkah laku individu yang ditangkarkan, terutama individu dewasa. Tingkah laku betina dewasa sangat penting diketahui untuk melihat ketertarikan dengan pasangannya. Hal ini merupakan faktor penting bagi owa jawa mengingat spesies ini adalah spesies dengan sistem hidup monogami, sehingga ketertarikan dan kecocokan individu betina terhadap jantan atau sebaliknya merupakan faktor yang sangat penting dalam upaya menangkarkan spesies langka ini. Untuk melihat perbedaan tingkah laku betina dewasa owa jawa di tiga tempat penangkaran yang berbeda, Gambar 28 menyajikan tingkah laku owa jawa di Pusat Primata Schmutzer, Jakarta; Kebun Binatang Taman Sari, Bandung dan PSSP IPB.

107 Frekuensi (%) Istirahat Bergerak Makan Grooming Kopulasi Tingkah Laku PSSP LPPM IPB Pusat Primata Schmutzer KB. Taman Sari Gambar 28. Frekuensi Tingkah Laku Harian Owa Jawa Betina di Tiga Fasilitas Penangkaran (Sumber: Iskandar et al. 2006; Sjahfirdi 2006) Betina owa jawa Di Pusat Primata Schmutzer dan KB. Taman Sari, memiliki frekuensi istirahat lebih rendah dibandingkan bergerak, sebaliknya, betina owa jawa di PSSP LPPM IPB memiliki frekuensi istirahat jauh lebih tinggi dibandingkan aktivitas bergerak. Lebih tingginya tingkah laku bergerak di kedua kebun binatang tersebut disebabkan beberapa hal: 1) ukuran kandang di Pusat Primata Schmutzer yang jauh lebih luas sehingga memungkinkan pasangan owa jawa melakukan pergerakan yang lebih leluasa. Ukuran kandang owa jawa di fasilitas tersebut adalah 17,0 mx9,0 mx14,5 m; sedangkan ukuran kandang di KB. Taman Sari adalah 4,5 mx4,0 mx4,0 m (Sjahfirdi 2006); dan ukuran kandang di PSSP LPPM IPB adalah 8,0 mx9,0 mx4,0 m; 2) owa jawa di Pusat Primata Scmutzer dan KB. Taman Sari merupakan bagian dari fasilitas yang diperlihatkan kepada pengunjung, sehingga dengan tingginya frekuensi pengunjung akan mempengaruhi aktivitas owa jawa, sebaliknya, fasilitas penangkaran owa jawa di PSSP LPPM IPB merupakan fasilitas yang dibangun di lokasi yang memungkinkan tidak terjadinya interkasi dengan masyarakat umum, sehingga frekuensi interaksi dengan manusia sangat rendah. Teridentifikasinya tingkah laku kopulasi yang terjadi di Penangkaran PSSP LPPM IPB menunjukkan bahwa faktor yang mendukung keberhasilan suatu program penangkaran terpenuhi di fasilitas tersebut. Faktor pendukung tersebut diantaranya: 1) ketertarikan antara pasangan; 2) ukuran dan bentuk

108 95 kandang yang sesuai dengan pola pergerakan di alam; 3) pengayaan lingkungan yang dapat mendukung terjadinya pola tingkah laku sesuai di alam; 4) jenis pakan; 5) lokasi kandang; dan 6) kontrol kesehatan. Pasangan owa jawa yang ditangkarkan di PSSP LPPM IPB sejak tahun 2003, sampai saat ini telah berhasil melahirkan dua individu anak, dengan jarak kelahiran 14 bulan. Keberhasilan penangkaran ini menunjukkan terciptanya lingkungan yang nyaman baik dari aspek perkandangan, keadaan lingkungan sekitar, kecocokan pasangan maupun pakan yang diberikan. Berbagai cara dilakukan untuk melestarikan habitat dan satwa yang hidup di dalamnya, tetapi cara terbaik adalah mengikutsertakan peran masyarakat sekitar di dalam upaya pelestarian tersebut. Kegiatan penyuluhan yang menjelaskan secara sederhana arti kelestarian habitat dengan manfaat yang akan dirasakan manusia saat ini dan pada masa yang akan datang adalah salah satu cara yang dapat dilakukan. Shumaker dan Beck (2003) menyatakan bahwa langkah yang paling efektif dalam menjaga habitat dan satwa primata adalah melakukan pendekatan terhadap masyarakat sekitar dengan cara memberikan insentif ekonomi dan secara bersama memberikan pengetahuan tentang arti pentingnya konservasi. Bentuk partisipasi masyarakat dalam konservasi dapat berupa konservasi langsung dan tidak langsung. Konservasi langsung adalah upaya pencadangan suatu kawasan agar terbebas dari gangguan aktivitas manusia. Konservasi tidak langsung adalah upaya pengembangan peran mansyarakat dengan karakteristik dan tingkat daya dukung alam di tempat yang bersangkutan (Soehendra dan Zakaria dalam Primack et al. 1998). Masyarakat tradisional memiliki cara-cara tertentu dalam menjaga kelestarian alam. Kemampuan masyarakat tradisional dalam memecahkan masalah pengelolaan sumberdaya alam yang semakin terbatas dapat dikategorikan ke dalam upaya konservasi tradisional. Berdasarkan data pohon pakan dan pohon tidur yang telah diperoleh, dapat digunakan untuk mencari suatu model estimasi populasi owa jawa di alam. Dari pendekatan ini diharapkan bisa dihasilkan suatu pendekatan lain dalam menentukan estimasi populasi.

109 96 Model Estimasi dan Simulai Populasi Model Estimasi Populasi Model estimasi populasi dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari pohon pakan dan pohon tidur dengan menggunakan pendekatan garis regresi linier. Dalam proses analisisnya, data pohon pakan diolah secara bersama dengan jumlah owa jawa yang dapat diidentifikasi pada setiap musim, selanjutnya pohon tidur diolah secara bersama dengan jumlah owa jawa yang dapat diidentifikasi pada musim yang berbeda. Pengolahan data lain dilakukan dengan menggabungkan jumlah pohon pakan dan pohon tidur secara bersama dengan jumlah owa yang diidentifikasi pada setiap musim di setiap lokasi penenlitian. Pengolahan data gabungan dilakukan dengan menggunakan program Minitab Versi 14. Tabel 29 menyajikan nilai persamaan regresi linier yang diperoleh berdasarkan peubah pohon pakan dan pohon tidur pada setiap lokasi penelitian. Tabel 29. Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Jumlah Pohon Pakan di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Kemarau Musim Lokasi Persamaan Garis Linier r Populasi (individu) Ketepatan (%) Estimasi Aktual Hujan Citarik Y=1, X 0, Cikaniki Y=0,780+1,38X 0, Cibeureum Y=0,734+1,54X 0, Cisalimar Y=0,718+1,47X 0, Kemarau Citarik Y=0,489+1,82X 0, Cikaniki Y=-0,000+2,00X 0, Cibeureum Y=-0,032+1,90X 0, Cisalimar Y=-0,200+1,65X 0, Keterangan: Y = Jumlah owa jawa X = Jumlah pohon pakan Berdasarkan Tabel 29 dapat dilihat bahwa seluruh persamaan garis linier yang dihasilkan berdasarkan analisis antara jumlah owa jawa dan pohon pakan memiliki ketepatan estimasi 100%, tetapi persamaan garis linier yang memiliki nilai korelasi paling tinggi adalah hasil analisis di Cibeureum pada musim

110 97 kemarau dengan nilai r= 0,986. Untuk melihat kemungkinan lain sebagai upaya memperoleh persamaan terbaik, dilakukan analisis yang sama dengan peubah jumlah owa jawa dan jumlah pohon tidur. Tabel 30 menyajikan hasil analisis tersebut. Tabel 30. Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Jumlah Pohon tidur di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Kemarau Musim Lokasi Persamaan Garis Linier r Populasi (individu) Ketepatan (%) Estimasi Aktual Hujan Citarik Y=1,17+2,05X 0, Cikaniki Y=0,800+2,40X 0, Cibeureum Y=1,13+1,44X 0, Cisalimar Y=1,24+1,39X 0, Kemarau Citarik Y=0,321+2,25X 0, Cikaniki Y=-0,000+2,00X 0, Cibeureum Y=0,500+1,92X 0, Cisalimar Y=-0,125 +2,13X 0, Keterangan: Y = Jumlah owa jawa X = Jumlah pohon tidur Pendekatan dengan peubah jumlah owa jawa dan pohon tidur di setiap lokasi penelitian pada musim yang berbeda menunjukkan bahwa seluruh persamaan regresi linier yang diperoleh memiliki tingkat kepercayaa 100%, dengan nilai korelasi tertinggi terdapat di Cisalimar (r=0,969). Walaupun ketepatan estimasi menunjukkan nilai yang sama tinggi, tetapi terdapat perbedaan nilai korelasi tertinggi berdasarkan pendekatan peubah yang berbeda (Tabel 29 dan 30). Oleh karena itu, dilakukan analisis lain dengan cara menggabungkan jumlah pohon pakan dan pohon tidur secara bersama di setiap lokasi penelitian pada musim yang berbeda. Tabel 31 menyajikan hasil analisis tersebut.

111 98 Tabel 31. Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dan Gabungan Jumlah Pohon Pakan dan Pohon tidur di Setiap Lokasi Penelitian pada Musim Hujan dan Kemarau Musim Lokasi Persamaan Garis Linier r Populasi (individu) Ketepatan (%) Estimasi Aktual Hujan Citarik Y=0,949+1,05X 1 + 0,940X 2 Cikaniki Y=0,380+0,934X 1 +1,26X 2 Cibeureum Y=0,590+1,07X 1 + 0,702X 2 0, , , Cisalimar Y=0,833+0,955 X 1 +0,576X 2 0, Kemarau Citarik Y=0,600+2,60X 1-1,00X 2 0, Cikaniki Y=-0,000+2,00X 1 0, Cibeureum Y=-0,059+2,24X 1-0,412X 2 Cisalimar Y=-,200+0,900X 1 +1,00X 2 0, , Keterangan: Y = Jumlah owa jawa X 1 = Jumlah pohon pakan X 2 = Jumlah pohon tidur Berdasarkan analisis antara jumlah owa dan gabungan antara pohon pakan dan pohon tidur, dapat dilihat bahwa nilai korelasi yang paling tinggi diperoleh dari hasil analisis owa jawa dan gabungan pohon pakan dan pohon tidur di Cibeureum pada musim kemarau (r=0,986). Terdapat perbedaan nilai korelasi tertinggi pada setiap perlakuan analisis data. Untuk memperoleh model regresi linier yang lebih mewakili, dilakukan analisis dengan cara menggabungkan jumlah owa jawa dengan jumlah pohon pakan dan pohon tidur pada kedua musim, seperti disajikan pada Tabel 32.

112 99 Tabel 32. Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dengan Gabungan Peubah Jumlah Pohon Pakan dan Pohon tidur pada Kedua Musim Lokasi Persamaan Garis Linier r Populasi (individu) Ketepatan (%) Estimasi Aktual Citarik Y=0,712+1,14X 1 + 0,879X 2 0, Cikaniki Y=0,389+1,07X 1 + 0,862X 2 0, Cibeureum Y=0,405+1,23X 1 + 0,614X 2 0, Cisalimar Y=0,519+1,08X 1 + 0,550X 2 0, Keterangan: Y = Jumlah owa jawa X 1 = Jumlah pohon pakan X 2 = Jumlah pohon tidur Berdasarkan hasil analisis menggunakan peubah jumlah owa jawa dengan gabungan data pohon pakan dan pohon tidur serta gabungan kedua musim (Tabel 32), menunjukkan bahwa nilai korelasi tertinggi dihasilkan di Cibeureum (r=0,949). Untuk memperoleh persamaan regresi linier yang mewakili seluruh peubah dan seluruh lokasi penelitian, dilakukan analisis yang hasilnya disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Persamaan Regresi Linier Berdasarkan Hubungan Jumlah Owa Jawa dengan Gabungan Peubah Jumlah Pohon Pakan dan Pohon tidur pada Kedua Musim di Seluruh Lokasi Penelitian Lokasi Persamaan Garis Linier r Populasi (individu) Ketepatan (%) Estimasi Aktual Seluruh lokasi Y=0,461+1,14 X 1 + 0,78 X 2 0, Keterangan: Y = Jumlah owa jawa X 1 = Jumlah pohon pakan X 2 = Jumlah pohon tidur Berdasarkan berbagai pendekatan analisis yang telah dilakukan, maka persamaan regresi linier yang paling tepat untuk digunakan adalah persamaan yang memenuhi kriteria berikut: 1) memiliki nilai korelasi (r) yang tinggi; 2) menghindari asumsi bahwa semua lokasi penelitian adalah sama dan 3) memiliki ketepatan yang tingi. Dengan demikian, maka persamaan regresi linier yang paling tepat digunakan adalah persamaan yang dihasilkan dari peubah jumlah owa jawa dan gabungan peubah jumlah pohon pakan dan pohon tidur pada

113 100 kedua musim di masing-masing lokasi penelitian, seperti disajikan pada Tabel 32. Walaupun demikian, perlu dilakukan pengujian terhadap persamaan yang telah dihasilkan dengan cara melakukan penelitian terhadap potensi pohon pakan dan pohon tidur yang dimanfaatkan owa jawa dan mengaplikasikannya ke dalam persamaan tersebut. Penentuan estimasi populasi dengan berbagai metode yang telah ada bertujuan untuk mengetahui estimasi populasi owa jawa di alam. Berdasarkan estimasi tersebut, dapat diprediksi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi populasi. Untuk mengetahui prediksi populasi owa jawa pada masa yang akan datang dapat dilakukan suatu simulasi populasi dengan menggunakan data biologi owa jawa yang tersedia, estimasi populasi di alam, kemampuan reproduksi dan potensi ancaman perburuan. Simulasi Populasi Prediksi keberadaan populasi owa jawa pada masa yang akan datang dengan berbagai tekanan lingkungan dan pertimbangan data biologi serta sistem reproduksinya, dapat dilakukan dengan menggunakan program Vortex. Pendugaan populasi pada kurun waktu tertentu di masa yang akan datang dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya sangat perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran keadaan suatu populasi, sehingga bisa dilakukan tindakan pengelolaan sebagai antisipasi terhadap keadaan tersebut. Vortex mensimulasi suatu populasi berdasarkan input parameter yang dilakukan, seperti data biologi, reproduksi dan populasi di alam. Berdasarkan informasi tahun 2001, terjadi kehilangan habitat di TN. Gunung Halimun sebesar 2,5% dari total ha luas kawasan pada saat itu (Supriatna 2006). Jika besar persentase hilangnya habitat tersebut diaplikasikan pada luas kawasan saat ini dan digunakan dalam simulasi, maka hanya sedikit terjadi penurunan populasi owa jawa, seperti disajikan pada Gambar 29.

114 101 Gambar 29. Prediksi Populasi dengan Parameter Hilangnya Habitat Apabila ke dalam simulasi tersebut ditambahkan skenario perburuan pada berbagai tingkatan, maka akan dapat dilihat prediksi populasi owa jawa pada masa yang akan datang seperti disajikan pada Gambar 30. Gambar 30. Prediksi Populasi Owa Jawa dengan Parameter Perburuan Berdasarkan prediksi jumlah owa jawa yang diburu per tahun dan dengan titik awal populasi pada jumlah populasi hasil penelitian (2318 individu), menunjukkan prediksi yang berbeda. Pada keadaan tingkat perburuan 20 individu per tahun, populasi owa jawa akan tetap bertahan lebih dari 200 tahun

115 102 mendatang, tetapi pada tingkat perburuan 60 individu per tahun, populasi owa jawa akan punah sekitar 65 tahun kemudian. Keadaan lebih buruk ditunjukkan apabila tingkat perburuan berada pada angka 100 individu per tahun, maka populasi owa jawa akan punah dalam kurun waktu 30 tahun. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa populasi owa jawa akan tetap lestari jika tidak ada perburuan. Perburuan, temasuk juga pemangsaan dalam jumlah yang tidak melebihi 20 individu per tahun, masih bisa mempertahankan populasi dalam jangka waktu yang sangat panjang, dengan asumsi tidak terjadi kerusakan habitat pada kawasan yang dihuni spesies tersebut. Untuk memprediksi keberadaan populasi owa jawa akibat pengaruh gabungan perburuan dan hilangnya habitat pada kawasan taman nasional, dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31. Prediksi Populasi Owa Jawa dengan Gabungan Parameter Hilangnya Habitat dan Perburuan Pada Gambar 31 bisa dilihat bahwa populasi owa jawa akan punah dalam kurun waktu 30 tahun jika terdapat tekanan gabungan perburuan sebanyak 100 individu per tahun, dan peningkatan hilangnya habitat sebesar 20% per tahun. Jika tekanan perburuan sebanyak 60 individu per tahun dan kehilangan habitat sebesar 10% per tahun, maka populasi owa jawa akan punah dalam 50 tahun mendatang. Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa tekanan yang paling mempengaruhi keberadaan populasi owa jawa pada masa yang akan datang adalah perburuan pada tingkat lebih dari 20 individu per tahun. Jika

116 103 diasumsikan terdapat perburuan sebanyak 60 individu per tahun dan tidak terjadi kehilangan habitat di TN. Gunung Halimun-Salak, maka populasi owa jawa akan punah sekitar 60 tahun mendatang, tetapi jika terjadi kehilangan habitat sebesar 10% selain adanya perburuan sebanyak jumlah tersebut, maka populasi owa jawa akan punah sekitar 50 tahun kemudian. Apabila terjadi peningkatan perburuan menjadi 100 individu dalam setahun, maka populasi owa jawa akan punah dalam kurun waktu 40 tahun mendatang.

117 104 Diskusi Umum Owa jawa, sebagaimana makhluk hidup lainnya memerlukan habitat yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasarnya. Habitat yang cocok bagi owa jawa adalah: 1) kawasan berbukit antara m dpl. Kisaran ketinggian identifikasi owa jawa ini sesuai dengan hasil penelitian Massicot (2001) yang menyatakan bahwa owa jawa dapat diidentifkasi dari mulai dataran rendah sampai ketinggian di bawah m dpl. 2) tersedia pohon pakan dan pohon tidur yang merupakan faktor kunci bagi kelangsungan hidup owa jawa. Whiten (1982) melaporkan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada gibbon menyatakan bahwa pohon pakan dan pohon tidur merupakan bagian habitat yang memiliki peran yang sangat penting bagi kelangsungan hidup gibbon. 3) kawasan yang tidak terfragmentasi. Pada kondisi kawasan yang tidak terfragmentasi, masing-masing kelompok owa jawa bisa berinteraksi satu sama lain sehingga terbuka peluang untuk terbentuknya kelompok baru. Seluruh kawasan yang dijadikan lokasi penelitian merupakan kawasan berbukit dengan tingkat ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur berbeda. Rerata kerapatan jenis pohon pakan (14,32 pohon/ha) dan pohon tidur (16,25 pohon/ha) di hutan primer menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan rerata kerapatan jenis pohon pakan (13,40 pohon/ha) dan pohon tidur (14,44 pohon/ha) di hutan sekunder. Kisaran ketinggian identifikasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak adalah m dpl. Pada kisaran ketinggian tersebut diidentifikasi pohon pakan dan pohon tidur yang merupakan kebutuhan pokok owa jawa. Berdasarkan identifikasi pohon pakan dan pohon tidur di seluruh lokasi penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dalam setiap hektar, maka semakin tinggi kepadatan populasi owa jawa yang dapat didukung oleh habitat tersebut. Kedua hutan primer Citarik dan Cikaniki merupakan habitat yang memiliki kerapatan pohon pakan dan pohon tidur yang paling tinggi dibandingkan hutan sekunder Cibeureum dan Cisalimar, sehingga kepadatan owa jawa pada kedua hutan primer tersebut menunjukkan kepadatan yang lebih tinggi. Mengacu kepada distribusi dan daerah jelajah setiap kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, pada umumnya kelompok owa jawa berada di sekitar daerah aliran sungai, karena pada lokasi tersebut tumbuh dan berkembang vegetasi yang akan menjadi sumber pohon pakan dan pohon tidur owa jawa. Ketersediaan sumber air ini sangat berperan dalam proses

118 105 fotosintesis, sehingga proses penyediaan sumber makanan dan pemanfaatan unsur hara bagi tumbuh kembang pohon berjalan dengan baik. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kepadatan populasi owa jawa pada suatu habitat adalah fragmentasi habitat. Fragmentasi akan berpengaruh pada tumbuhan dan populasi satwa pada berbagai skala, salah satu diantaranya adalah pengurangan luas areal habitat yang merupakan dampak langsung dari terjadinya fragmentasi. Fragmentasi menyebabkan suatu habitat yang pada awalnya merupakan suatu kesatuan menjadi habitat yang tepecah-pecah dan tidak terhubung satu sama lain, sehingga bisa menyebabkan hal-hal sebagai berikut: 1) kerapatan pohon pakan dan pohon tidur berkurang seiring dengan berkurangnya luasan habitat; 2) populasi owa jawa pada satu habitat yang terfragmentasi tidak dapat menjangkau habitat lain, akibatnya selain potensi sumber pakan yang dapat dimanfaatkan berkurang, tidak terjadi interaksi antara kedua populasi yang berasal dari kedua habitat terfragmentasi tersebut. Tidak terjadinya interaksi antara kedua populasi, menutup kemungkinan terbentuknya kelompok baru yang berasal dari gabungan kedua populasi dari habitat terpisah, dengan demikian kepadatan populasi pada habitat terfragmentasi lebih rendah dibandingkan populasi pada habitat yang utuh. Berdasarkan hasil simulasi populasi terdapat indikasi bahwa populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak akan punah dalam kurun waktu 30 tahun apabila terjadi perburuan satwa tersebut sebanyak 100 individu per tahun, maka diperlukan suatu sistem pengontrolan kawasan yang ketat. Salah satu caranya adalah menambah jumlah anggota jagawana pada setiap resor, terutama pada daerah yang disinyalir rawan terhadap gangguan perburuan. Selain itu, diperlukan pemberlakuan hukum yang ketat dan tegas sebagai upaya mengurangi ancaman perburuan tersebut. Secara umum, untuk menjaga kelestarian populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak, diperlukan suatu sistem pengelolaan menyeluruh yang dapat menyentuh seluruh aspek. Salah satu program pengelolaan yang diperlukan adalah perlindungan owa jawa dan habitatnya dari ancaman kerusakan habitat. Perlindungan habitat, lebih diutamakan kepada jenis-jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Sistem pengontrolan kawasan secara efektif dan berkesinambungan disertai pemberlakuan hukum yang tegas dan konsisten terhadap penebang liar sangat perlu ditegakkan secara tegas. Selain itu, perlu terus dilakukan upaya

119 106 mengikutsertakan masyarakat sekitar kawasan dalam program konservasi yang dijalankan taman nasional, seperti pelibatan masyarakat dalam program ekowisata baik sebagai pemandu wisata maupun dalam penyediaan guest house dan home stay yang dikelola secara langsung oleh masyarakat.

120 SIMPULAN 1. Terdapat 33 jenis pohon pakan dan 15 jenis pohon tidur di TN. Gunung Halimun-Salak. Pohon pakan dan pohon tidur tersebut merupakan faktor kunci dalam menjaga kelestarian populasi owa jawa. 2. Estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak berkisar antara individu. Kepadatan populasi tertinggi diidentifikasi di hutan primer dan terendah diidentifikasi di hutan sekunder. 3. Model estimasi populasi berdasarkan pendekatan regresi linier berganda yang akan digunakan dalam menduga populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak harus spesifik pada lokasi tertetentu. Kisaran tingkat keeratan model estimasi tersebut antara 91,9-94,9%. 4. Fragmentasi habitat pada hutan sekunder menyebabkan rendahnya kepadatan populasi owa jawa pada habitat tersebut dibandingkan dengan di hutan primer. 5. Daerah jelajah pada hutan sekunder lebih luas dibandingkan di hutan primer yang disebabkan oleh rendahnya ketersediaan pohon pakan. Walaupun demikian, fragmentasi habitat yang semakin meningkat pada kawasan ini akan menyebabkan semakin negatifnya perkembangan populasi owa jawa. SARAN 1. Manajemen habitat, terutama mengeluarkan para peladang ilegal dan menanami kawasan tersebut dengan spesies asli, serta monitoring pergerakan owa jawa dan satwa lainnya perlu ditingkatkan efektifitasnya. Selain itu, perlu diberlakukan ketegasan hukum bagi para pembuka ladang liar, illegal loging dan perburuan satwa. 2. Peningkatan sosial ekonomi dan partisipasi masyarakat dalam usaha perlindungan dan pelestarian kawasan melalui program ekowisata. 3. Perlu dilakukan uji coba terhadap model estimasi yang telah dihasilkan untuk menduga populasi owa jawa sehingga dapat dilakukan penyempurnaan terhadap model estimasi populasi tersebut. Selain itu, perlu pula digunakan model pendugaan lain sebagai pembanding. 4. Penelitian populasi owa jawa secara menyeluruh di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih perlu dilakukan untuk memperoleh data dasar populasi yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan jumlah populasi owa jawa secara keseluruhan

121 104 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Altman J Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Illinois, USA: Allee Laboratory of Animal Bahavior. Anderson SH Managing Our Wildlife Resources. London: Bell & Howell Co. Arazpa Silvery Gibbon-Hylobates moloch. Greta Ape Campaign Pebruari Asquith NM Javan gibbon conservation: Why habitat protection is crucial. Tropical Biodiversity, 3, Asquith NM., Martarinza and Sinaga RM The Javan gibbon (Hylobates moloch): status and conservation recommendations. Tropical Biodiversity, 3,1-14. Badudu JS., Zain SM Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Laporan inventarisasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Resor Ciparay. Sukabumi: Balai Taman Nasional Gunung Halimun. Bennet BT, Abee CR, Henrickson R Nonhuman Primates in Biomedical Research: Biology and Management. USA: Academy Press Inc. Bismark M Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Bismark M Populasi Primata Endemik Mentawai di Kompleks Hutan Desa Tiniti, SIberut Utara. Penelitian terpadu CI, LIPI, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dan Taman Nasional Siberut. Buckland ST, Anderson DR, Burnham KP, Laake JL DISTANCE SAMPLING: Estimation Abundance of Biological Populations. London: Chapman & Hall. Chapman CA and Peres CA Primate conservation in the new millennium: the role of scientists. Evolution Anthropology 10: Chivers DJ Gibbon. Di dalam: Macdonald (ed.). The Encyclopaedia of Mammals. London, George, Allen and Unwin. Chivers DJ The swinging singing apes: fighting for food and family in fareast forest Pebruari 2005.

122 105 Collinge NC Introduction to Primate Behavior. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company. Conservation International Indonesia Javan gibbon website. conservation.or.id/javangibbon. 8 Desember Cowlishaw G Sexual selection and information content in gibbon song bouts. Ethology 102: Cowlishaw G and Dunbar R Primate Conservation Biologi. London: The University of Chicago Press. Dallmann R and Geismann T Individuality in the female songs of wild Silvery Gibbons (Hylobates moloch) on Java, Indonesia. Contributions to Zoology, 70(1). De Mello MT Breeding in captivity for the conservation primates. Di dalam Ehara et al. (ed.): Primatology Today. New York: Elsevier Science Publishers. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam Pedoman Pengelolaan Satwa Langka: Mamalia, Reptilia dan Amphibia. Jilid ke-1. Bogor: Direktorat Jenderal Kehutanan. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Guide Book: 41 National Parks in Indonesia. Indonesia: The Ministry of Forestry of Republic of Indoneisa-UNESCO-CIFOR. Echols JM dan Shadily H Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia. Fleagle JG Primate Adaptation and Evolution. New York: Academic Press. Harcout Brace and Company. Fruth B and McGrew WC Resting and nesting in primates: behavioral ecology of inactivity. Am J of Primatol, 46:3-5. Geissmann T Reassessment of age of sexual maturity in gibbons (Hylobates spp). Am J of Primatol, 23, Geissmann T Gibbon systematics and species identification. Int. Zoo. News 42: Geissmann T, Nijman V Singing behavior of the Silvery Gibbon (Hylobates moloch) in Central Java Indonesia. Primate Report 54:8-19 (Abstract). Geissmann T Javan Gibbon Rescue and Rehabilitation Center: A project report. tr.html. 29 Januari Geissmann T Taxonomy and evolution of gibbons. wiley.com. 29 Januari 2005.

123 106 Geismann T Gibbon research lab. main/. 12 Maret Gittins SP Feeding and ranging in the Agile gibbon. Folia Primatologica 38: Grzimek B Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Gurmaya KJ, Adiputra IMW, Saryatiman AB, Danardono SM dan Sibuea TTH Primate Survey, Population and Ecology: Gunung Honje Range, Ujung Kulon National Park. Departemen Kehutanan and New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade, Jakarta. Harada K et al Gunung Halimun National Park. Kabandungan. Islam MA and Feeroz MM Ecology of hoolock gibbon of Bangladesh. Primates 33: Indonesian National Parks Homepage Mount Halimun National Park. 4 Pebruari Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences, National Research Council Guide for the Care and Use of Laboratory Animals. Washington DC: National Academy Press. Iskandar E Population survey of the Javan Gibbon (Hylobates moloch) at the Ujung Kulon National Park, West Java, Indonesia. American Society of Primatologist Bulletin, 25, 3:9. Iskandar E Population and Habitat Analysis of the Javan Gibbon (Hylobates moloch) at Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia Maret IUCN IUCN red list of threatened animals. IUCN, Gland. IUCN The World s Top 25 Most Endangered Primates. IUCN/SSC Primate Specialist Group, Gland, Swirzerland. Johns AD Effects of selective logging on the behavioral ecology of West Malaysian primates. Ecology 67: Johns AD Effects of selective timber extraction on rainforest structure and composition and some consequences for frugivores and folivores. Biotropica 20: Kappeler M The Javan silvery gibbon (Hylobates lar moloch): ecology and behaviour. [Dissertation]. Basel.

124 107 Kappeler M Diet and feeding behaviour of the Moloch gibbon. Di dalam: Preuschoft H. et al (eds): Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University Press. Kappeler M. 1984a. The Gibbon in Java. Di dalam: Preuschoft H. et al (eds): Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University Press. Kirkwood J, Stathatos K Biology, Rearing and Care of Young Primates. Oxford: Oxford University Pr. Kool KM The status of endangered primates in Gunung Halimun Reserve, Indonesia. Oryx, 26(1): Kuester J Hylobates agilis. accounts/hylobates/h.agilis$narrative.html. 14 Januari Kuester J Hylobates moloch. site/accounts/hylobates_moloch.html. 14 Januari Kuester J Hylobates moloch (Silvery gibbon). ummz.umich.edu/site/ accounts/information/hylobates_moloch.html. 10 Desember Kusmana C Metode Survey Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Lacy RC, Borbat M, Pollak JP Vortex: A Stochastic Simulation of the Extinction Process. Version 9,5. Brookfield, Il: Chicago Zoological Society. Leighton D Gibbons: Territoriality and monogamy. In: Smuts B, Cheney D, Seyfarth R, Wrangham R, Struhsaker T. (ed.). Primate Societies. Chicago: University of Chicago Press. MacKinnon J, MacKinnon K Niche differentiation in a primate community. In: Chivers DJ. (ed.). Malayan forest primates: Ten years' study in tropical rain forest. New York & London: Plenum Pr. MacKinnon JR and MacKinnon KS Territoriality, monogamy and song in gibbons and tarsiers. Di dalam: Preuschoft H, Chivers DJ, Brockelman W.Y. and Creel N. (ed.). The Lesser Apes: Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh, Edinburgh University Press. Malone N, Pakpahan H, Putra WA Behavioral and ecological responses of silvery gibbons (Hylobates moloch) to severe habitat degradation in West Java, Indonesia. ASP Bulletin 30 (3): Martin P and Bateson P Measuring Behaviour: an introductory guide. London: Cambridge University Press. Massicot P Animal info-silvery gibbon. species/primate/hylomolo.htm. 14 Juni 2006.

125 108 Mather RJ A field study of hybrid gibbons in Central Kalimantan, Indonesia. University of Cambridge: Unpublished PhD. Thesis. Mattjik AA dan Sumertajaya IM Perancangan Percobaan Jilid I. Bogor: IPB Press. Mittermeier RA, Padua CV, Rylands AB, Eudey AA, Butynski TM, Ganzhorn JU, Kormos R, Aguiar JM, Walker S Primates in Peril: The World s 25 Most Endangered Primates IUCN/SSC Primate Specialist Group (PSG), International Primatological Society (IPS) and Conservation International (CI). content /press_5freleases/2005/april/primates_5fkit/top252004final_2epdf/v2/top final.pdf. 12 Januari Mommens J Lar Gibbon-Reproduction. /ibreed.htm. 18 Pebruari Mootnick AR Gibbon (Hylobatidae) species identification recommended for rescue or breeding centers. Primate Conservation, 21: Muoria PK, Karere GM, Moinde NN, Suleman MA Primate census and habitat evaluation in the Tana delta region, Kenya. Afr. J. Ecol., 41, Napier JR and Napier PH A Hand Book of Living Primates. New York: academic Press. Nijman V and Sozer R Recent observations of the Grizzled leaf monkey (Presbytis comata) and an extension of the range of the Javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java. Tropical Biodiversity, 3(1), Nijman and van Balen A faunal survey of the Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: Distribution and conservation of endemic primate taxa. Oryx 32:145. Nijman V Forest (and) Primates: conservation and ecology of the endemic primates of Java and Borneo. Kaliimantan, Tropenbos, Series 5. Nijman V Conservation of the Javan Gibbon Hylobates moloch: population estimates, local extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of Zoology, 52(1): Nijman V Effect of behavioural changes due to habitat disturbance on density estimation of rain forest vertebrates, as illustrated by gibbons (primates: hylobatidae). PDF. 21 Juni Noerdjito WA Preliminary results of IBOY in Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. symposiumabstract/woronoerdjito.pdf. 18 Pebruari Nowak RM Mammals of the World. Johns Hopkins University Press.

126 109 Nowak RM Primates of the World. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Nurmasito N Tingkah Laku Harian Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Bogor: Skripsi Jurusan Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Pertanian IPB. Pasang H Kajian Habitat Owa Abu-abu (Hylobates moloch) di Cagar Alam Gunung Halimun Propinsi Jawa Barat. Bogor: Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB Laporan hasil analisis proksimat pakan Owa Jawa di Fasilitas Penangkaran Owa Jawa PSSP LPPM IPB. Reichard U Sleeping sites, sleeping places, and presleep behavior of gibbons (Hylobates lar). Am J of Primatol, 46: Rinaldi D Food Preferences and Habitat Utilization of Javan Gibbon (Hylobates moloch) in Ujung Kulon National Park, West Java, Indonesia. Primate Report, 54(1): Rinaldi D The study of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert) in Gunung Halimun National Park (distribution, population and behavior). Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia, XI, Rodgers AR, Rempel RS, Abraham KF A GPS-based telemetry system. Wildlife Society Bulletin, 24: Rowe N The Pictorial Guide to the Living Primates. New York: Pogonian Press. Sakaguchi et al The Action Plan for the Conservation of Endangered Species in Gunung Halimun National Park (GHNP) and its Surrounding Area. Kabandungan: Gunung Halimun National Park. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (PHKA), Ministry of Forestry, Indonesia. Sawitri R, Mukhtar AS, Bismark M Studi populasi Owa (Hylobates moloch) dan upaya pelestariannya di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Bul. Pen. Hutan. 612: Siaran Pers Siaran Pers No. 782/II/PIK-1/ /informasi/humas/2003/782_03.htm. 29 Januari Silvery Gibbon Website Status of the Javan gibbon and recommendations for its survival Januari 2005.

127 110 Sjahfirdi L Assessment of reproductive biology in captive-house female javan gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797): with special emphasize on ovarian cycle determination and daily activity observation: disertasi. Universitas Indonesia. Soerianegara I, Indrawan A Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Subcommittee on Conservation of Natural Populations Techniques For the Study of Primate Population Ecology. Washington, DC: National Academy Press. Subekti K, Maryanto I, Iskandar E Populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di pinggiran sungai di Propinsi Sumatera Selatan dan Lampung dalam Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000: Konservasi Satwa Primata: Tinjauan Ekologi, Sosial Ekonomi dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Sugarjito JM, Sinaga MH, Yoneda M Survey of the distribution and density of primates in Gunung Halimun National Park, West Java. In:The inventory of national resources in Gunung Halimun National Park, Vol II. LIPI, JICA, PHPA, Bogor: Shumaker RW, Beck BB Primates in Question. Washington: Smithsonian Institution. Supriatna J, Tilson R, Gurmaya J, Manansang J, Wardoyo W, Sriyanto A, Teare A, Castle A & Seal U (Eds) Javan gibbon and Javan langur: population and habitat viability analysis report. IUCN/SSC Conservation Breedenig Specialist Group. Apple Valley, Minnesota: Supriatna J and Wahyono EH Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Supriatna J Conservation programs for the endangered javan gibbon (Hylobates moloch). Primate Conservation, 21: Tarumingkeng RC Dinamika Populasi: kajian ekologi kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. The IUCN Red List of Threatened Species Hylobates moloch. redlist.org. 10 April Wallace RB, Painter RLE, Taber AB Primate diversity, habitat preferences, and population density estimates in Noel Kempt Mercado National Park, Santa Cruz Department, Bolivia. Am J of Primatol, 46: Whitten, T Diet and feeding behaviour of Kloss gibbons on Siberut Island, Indonesia. Folia Primatologica 37:

128 111 Yayasan Ekowisata Halimun Eco-lodges in Gunung Halimun. bogor.indo.net.id/halimun/english/pages/halimun Eco-Lodges.htm. 10 April 2004.

129 Lampiran 1. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (JICA-TNGH 2005) 111

130 116 Lampiran 2. Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Lokasi Penelitian TN. Gunung Halimun-Salak Lampiran 2.1. Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Citarik No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 20,17 2. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 22,68 3. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 19,32 4. Tungurrut Castanopsis tungurrut (Bl.) DC. Fagaceae 9,77 5. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 12,50 6. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 13,08 7. Kenanga Canangium odoratum (Lam.) Hook.f. & T. Thomson Annonaceae 4,94 8. Kibima Prumnopytis amara (BI.) de Laub Podocarpaceae 4,61 9. Kecapi hutan Chisocheton divergens Blume Meliaceae 4, Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 11, Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 13, Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 6, Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 15, Walen Ficus ribes Reinw. Ex Bl. Reinw. ex Blume Moraceae 4, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 13, Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb Myristicaceae 5, Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 11, Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie Myrtaceae 8, Kisireum Syzygium rostratum (BI.) DC. Myrtaceae 8, Kopo Eugenia densiflora (BI.) Duthie Myrtaceae 4, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 17, Gadog Bischofia javanica Blume Euphorbiaceae 4, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 14, Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (BI.) M.A. Euphorbiaceae 9, Kawoyang Prunus arborea (Blume) Kalkman Rosaceae 8, Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 4, Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 20, Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 5, Kibulu Discochaeta reticulata BI. Melastomataceae 4, Bihbul Chilocarpus suaveolens Blume Apocynaceae 4,83

131 117 Lampiran 2.2. Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Cikaniki No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Reinw. Ex Blume Fagaceae 7,02 2. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Rehd. Fagaceae 8,23 3. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 19,20 4. Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 12,74 5. Kopinango Nyssa sp. Cornaceae 6,63 6. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 19,54 7. Kicamara Podocarpus imbricatus (Blume) de Laub. Podocarpaceae 7,35 8. Kihampelas Ficus sp. Moraceae 6,08 9. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 18, Seuhang Ficus grossularioides Burm.f. Moraceae 12, Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 15, Kakaduan Durio sp. Moraceae 7, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 35, Harendong badak Melastoma polyantheus Melastomataceae 6, Kibima Prumnopytis amara (BI.) de Laub (C.Presl) Kuntze Podocarpaceae 7, Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie Myrtaceae 6, Lame Alstonia scholaris (L.) R.Br. Apocynaceae 17, Kanyere Bridelia sp. Euphorbiaceae 6, Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (BI.) M.A. Euphorbiaceae 13, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 20, Manyel leutik Medinilla exima BI. Melastomaceae 9, Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 12, Hamirung Vernonia arborea Buch. Ham. Asteraceae 6, Hunyur buut Kadsura scandens Blume Magnoliaceae 6, Kihaji Dysoxylum alliaceum Bl. Meliaceae 6, Suren hutan Toona sureni (Blume) Merr. Meliaceae 6,72

132 118 Lampiran 2.3. Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Cibeureum No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 44,28 2. Pasang kapas Lithocarpus sp Fagaceae 9,93 3. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Fagaceae 8,58 4. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 16,14 5. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 21,00 6. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 24,34 7. Huru gempol Actinodaphne glomerata BI. Lauraceae 8,98 8. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 8,87 9. Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 19, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 32, Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 8, Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 9, Hamerang badak Ficus globosa BI. Moraceae 8, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 21, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 16, Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 8, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 9, Cempaka Mischelia montana BI. Magnoliaceae 9, Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 13,54

133 119 Lampiran 2.4. Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Cisalimar No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 31,58 2. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 12,40 3. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 23,15 4. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Rehd. Fagaceae 9,78 5. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 26,65 6. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 26,65 7. Kopi dengklung Nyssa javanica (BI.) Wang. Cornaceae 9,91 8. Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 11,38 9. Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 24, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 49, Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 12, Kisampang Evodia latifolia DC. Rutaceae 10, Kupa Syzygium sp. Myrtaceae 9, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiacea 23, Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 10, Manggu Leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 10, Kibima Nageia wallichiana (C. Presl) Podocarpaceae 14,34 Kuntze

134 120 Lampiran 3. Jenis Pohon Pakan Owa jawa Lampiran 3.1. Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Citarik No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 21,75 2. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 5,54 3. Tungurrut Castanopsis tungurrut (BI.) DC. Fagaceae 11,60 4. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 21,96 5. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 14,27 6. Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 14,20 7. Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 14,83 8. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 7,23 9. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 16, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 21, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 16, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 19, Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (BI.) M.A. Euphorbiaceae 11, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 23, Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 14, Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie Myrtaceae 5, Kisireum Syzygium rostratum (BI.) DC. Myrtaceae 10, Kopo Eugenia densiflora (BI.) Duthie Myrtaceae 5, Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 6, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 10, Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 5, Kecapi hutan Chisocheton divergens Blume Meliaceae 5, Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 6,39

135 121 Lampiran 3.2. Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Cikaniki No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Fagaceae 8,75 2. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Fagaceae 10,05 Rehd. 3. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 23,07 4. Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 16,12 5. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 31,73 6. Kihampelas Ficus sp. Moraceae 7,74 7. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 22,71 8. Seuhang Ficus grossularioides Burm.f. Moraceae 15,79 9. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 17, Kakaduan Durio sp. Moraceae 8, Darangdan Ficus sinuate Thunb. Moraceae 40, Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie Myrtaceae 7, Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 16, Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (BI.) M.A. Euphorbiaceae 16, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 24, Kihaji Dysoxylum alliaceum BI. Meliaceae 7, Suren hutan Toona sureni (BI.) Merr. Meliaceae 8, Manyel leutik Medinilla exima BI. Melastomataceae 15,95

136 122 Lampiran 3.3. Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Cibeureum No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 28,04 2. Pasang kapas Lithocarpus sp Fagaceae 11,61 3. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Fagaceae 10,15 4. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 49,97 5. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 22,49 6. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 18,75 7. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 10,46 8. Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 24,44 9. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 10, Darangdan Ficus sinuate Thunb. Moraceae 37, Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 10, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 25, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 19, Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 10, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 10,93

137 123 Lampiran 3.4. Jenis Pohon Pakan Owa Jawa di Cisalimar No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 31,56 2. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 14,71 3. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 27,51 4. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 28,93 5. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 12,71 6. Kupa Syzygium sp.. Myrtaceae 11,54 7. Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 37,40 8. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 58,19 9. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 14, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 13, Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 12, Manggu Leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 12, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 25,04

138 124 Lampiran 4. Jenis Pohon Tidur Owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak Lampiran 4.1. Jenis Pohon Tidur Owa Jawa di Citarik No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 26,77 2. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 4,99 3. Tungurrut Castanopsis tungurrut (BI.) DC. Fagaceae 9,77 4. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 19,32 5. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 6,34 6. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 15,02 7. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 14,15 9. Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 17, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 13, Jirak Symplocos conchinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 11,91

139 125 Lampiran 4.2. Jenis Pohon Tidur Owa Jawa di Cikaniki No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Fagaceae 7,02 2. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Rehd. Fagaceae 8,23 3. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 19,20 4. Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 12,74 5. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 19,54 6. Kihampelas Ficus sp. Moraceae 6,08 7. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 18,87 8. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 35,63 9. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 15, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 20,78

140 126 Lampiran 4.3. Jenis Pohon Tidur Owa Jawa di Cibeureum No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang kapas Lithocarpus sp Fagaceae 9,93 2. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Fagaceae 8,58 3. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 44,28 4. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 19,62 5. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 8,87 6. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 32,69 7. Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 21,61 8. Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 16,82

141 127 Lampiran 4.4. Jenis Pohon Tidur Owa Jawa di Cisalimar No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Rehd. Fagaceae 9,78 2. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 12,40 3. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 49,56 4. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 12,40 5. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 24,37 6. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 26,65 7. Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 23,54

142 128 Lampiran 5. Vegetasi Tingkat Semai di TN. Gunung Halimun-Salak Lampiran 5.1. Vegetasi Tingkat Semai di Citarik No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hammamelidaceae 4,37 2. Kuray Trema orientalis (L.) Bl. Ulmaceae 5,05 3. Teureup Arthocarpus elastica Reinw. Ex Bl. Moraceae 4,37 4. Kibulu Discochaeta reticulata Bl. Melastomataceae 10,42 5. Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 5,05 6. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 13,45 7. Bubukuan Gironniera sp. Ulmaceae 26,52 8. Kokosan monyet Antidema tetrandrum Bl. Euphorbiaceae 5,05 9. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 4, Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie Myrtaceae 4, Rotan Calamus heteroideus Bl. Araceae 9, Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 5, Bingbin Pinanga coronata (Bl. Ex Mart) Bl. Arecaceae 4, Walen Ficus ribes Reinw. Ex Bl. Moraceae 6, Pakis beunyeur Macrothelypteris torresiana Gaudich Thelypteridaceae 15, Elahayati Alpinia scabra Bl. Zyngiberaceae 8, Cangcaratan NeoNeonauclea obtusa (Bl.) Merr. Rubiaceae 5, Cempaka Michelia montana Bl. Magnoliaceae 4, Kicantung Goniothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms. 20. Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Annonaceae 9,07 Symplocaceae 5, Bubuay Plectocomia elongata Mart. ex. Bl. Arecaceae 5, Kaliandra Calliandra calothyrsus Meisn. Fabaceae 9, Darangdan Ficus sinuate Thunb. Moraceae 7, Kawoyang Prunus arborea (Bl.) Kalkm. Rosaceae 10, Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 4, Tungurrut Castanopsis tungurrut (BI.) DC. Fagaceae 7,73

143 129 Lampiran 5.2. Vegetasi Tingkat Semai di Cikaniki No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Cariang Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Z. & M Araceae 12,95 2. Burununggul Castanopsis argentea (Bl.) DC. Fagaceae 2,99 3. Pasang batu Lithocarpus elegans var. collettii (King ex. Hook.f.) H.B. Naithani & S. Biswas Fagaceae 3,40 4. Bingbin Pinanga coronata (Bl. ex Mart) Bl. Arecaceae 4,63 5. Bubukuan Gironniera sp. Ulmaceae 6,81 6. Bubuay Plectocomia elongate Mart. ex Bl. Arecaceae 6,40 7. Kopo Eugenia densiflora (Bl.) Duthie Myrtaceae 5,99 8. Kiamis Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & Kit) Regel & Herder Fabaceae 2,58 9. Kisampang Evodia latifolia DC. Rutaceae 2, Pasang parengpeng Quercus sundaica Bl. Fagaceae 2, Hamerang badak Ficus globosa BI. Moraceae 2, Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 2, Pakis beunyeur Macrothelypteris sp. Thelypteridaceae 7, Hamirung Vernonia arborea Buch. Ham. Asteraceae 6, Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Euphorbiaceae 2, Kibulu Discochaeta reticulata BI. Melastomataceae 3, Kopi nango Nyssa sp. Cornaceae 2, Suren hutan Toona sureni (BI.) Merr. Meliaceae 2, Rotan Calamus heteroideus Bl. Arecaceae 4, Hamirung Vernonia arborea Buch. Ham. Asteraceae 3, Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 2, Tali said Forrestia glabrata Hassk. Commelinaceae 2, Kibonteng Platea latifolia Bl. Icachinaceae 2, Kihaji Dysoxylum alliaceum Bl. Melaiceae 2,99 Lampiran 5.3. Vegetasi Tingkat Semai di Cibeureum No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

144 1. Tungurrut Castanopsis tungurrut (BI.) DC. Fagaceae 9,48 2. Kicantung Goniothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms. 130 (%) Annonaceae 4,45 3. Pakis beunyeur Macrothelypteris sp. Thelypteridaceae 3,82 4. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 6,34 5. Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 4,45 6. Tali said Forrestia glabrata Hassk. Commelinaceae 3,19 7. Saninten Castanopsis javanica (Bl.) DC. Fagaceae 3,19 8. Cariang Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Z. & M Araceae 4,45 9. Harendong bulu Cinnamomum javanicum Bl. Lauraceae 7, Bubukuan Gironniera sp. Ulmaceae 3, Elahayati Alpinia scabra Bl. Zyngiberaceae 7, Gompong Schefflera aromatica (Bl.) Harms. Araliaceae 3, Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 4, Rotan Calamus heteroideus Bl. Arecaceae 5, Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 8, Ipis kulit Pternandra azurea (Bl.) Burck Melastomataceae 3, Bubuay Plectocomia elongata Mart. ex Bl. Arecaceae 3, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hammamelidaceae 4,45 Lampiran 5.4. Vegetasi Tingkat Semai di Cisalimar

145 No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 17,59 2. Pasang Batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 36,11 3. Bubukuan Gironniera sp. Ulmaceae 10,19 4. Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore 131 Symplocaceae 18,06 5. Salam hutan Eugenia lineata (DC.) Duthie Myrtaceae 6,48 6. Kibulu Discochaeta reticulata Bl. Melastomataceae 6,48 7. Pakis beunyeur Macrothelypteris sp. Thelypteridaceae 19,44 8. Walen Ficus ribes Reinw. Ex Bl. Moraceae 5,09 9. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 27, Rotan Calamus heteroideus Bl. Araceae 5, Tungurrut Castanopsis tungurrut (BI.) DC. Fagaceae 5, Pasang kayang Lithocarpus teymanii (Bl.) Rehd. 13. Kicamara Podocarpus imbricatus (Blume) de Laub. Fagaceae 10,19 Podocarpaceae 5, Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 15, Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 6, Kicantung Goniothalamus macrophyllus. (Bl.) Hook.f. Thoms. Annonaceae 5,09 Lampiran 6. Vegetasi Tingkat Pancang di TN. Gunung Halimun-Salak

146 132 Lampiran 6.1. Vegetasi Tingkat Pancang di Citarik No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 5,89 2. Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 5,89 3. Huru sintok Cinnamomum javanicum Bl. Lauraceae 15,86 4. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 9,97 5. Lame Alstonia scholaris (L.) R.Br. Apocynaceae 5,89 6. Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 11,77 7. Bubukuan Gironniera sp. Ulmaceae 27,87 8. Harendong pohon Cinamomum sp. Lauraceae 5,89 9. Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 13, Huru gempol Actinodaphne glomerata BI. Lauraceae 9, Suehang Ficus grossularioides Burm.f. Moraceae 5, Kienteh Camelia sinensis (L.) O.K. Theaceae 11, Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 11, Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 26, Kopo Eugenia densiflora (BI.) Duthie Myrtaceae 7, Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 5, Tungurrut Castanopsis tungurrut (BI.) DC. Fagaceae 5, Kiseueur Antidesma tetrandrum Bl. Euphorbiaceae 5, Kilemo Litsea cubeca (Lour.) Pers. Lauraceae 5,89 Lampiran 6.2. Vegetasi Tingkat Pancang di Cikaniki

147 No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Bubukuan Gironniera sp. Ulmaceae 37,59 2. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 7,50 3. Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 11,25 4. Rotan Calamus heteroideus Bl. Araceae 15,26 5. Kalimorot Castanopsis javanica (Bl.) DC. Fagaceae 5,69 6. Tali said Forrestia glabrata Hassk. Commelinaceae 5,69 7. Pakis beunyeur Macrothelypteris sp. Thelypteridaceae 11,38 8. Huru sintok Cinnamomum javanicum Bl. Lauraceae 3,75 9. Kihampelas Ficus sp. Moraceae 4, Huru hiris Litsea brachystachya Boerl Lauraceae 4, Hunyur buut Kadsura scandens Blume Magnoliaceae 3, Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 4, Bubuay Plectocomia elongata Mart. ex Bl. 133 Arecaceae 4, Kanyere Bridelia sp. Euphorbiaceae 3, Elahayati Alpinia scabra Bl. Zyngiberaceae 3, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamanelidaceae 5, Kicantung Goniothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. Thoms. Annonaceae 4, Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 3, Kopinango Nyssa sp. Cornaceae 4, Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 3, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 3, Seuhang Ficus grossularioides Burm.f. Moraceae 4, Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 3, Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 7,63 Lampiran 6.3. Vegetasi Tingkat Pancang di Cibeureum

148 No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 5,73 2. Cangcaratan Nauclea obtusa Blume Rubiaceae 7,29 3. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 16,67 4. Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 10,42 5. Teureup Artocarpus elasticus (BI.) DC. Fagaceae 5,73 6. Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 10,42 7. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 13,54 8. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 19,27 9. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hammamelidaceae 11, Kisireum Syzygium rostratum (BI.) DC. Myrtaceae 31, Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore 134 Symplocaceae 13, Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 5, Jengjeng Albizia falcataria (L.) Fosberg Fabaceae 5, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 5, Hunyur buut Kadsura scandens Blume Magnoliaceae 7, Ipis Kulit Pternandra azurea (Bl.) Burck Melastomataceae 5, Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 11, Pasang kapas Lithocarpus sp. Fagaceae 5, Huru gempol Actinodaphne glomerata BI. Lauraceae 7,29 Lampiran 6.4. Vegetasi Tingkat Pancang di Cisalimar

149 No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Kisampang Evodia latifolia DC. Rutaceae 5,18 2. Manggu leuweung Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Crusiaceae 5,18 3. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 19,69 4. Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 9,18 5. Sulangkar Leea indica Burm.f. Leaceae 5,18 6. Huru hiris Litsea brachystachya Boerl Lauraceae 5,18 7. Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 5,18 8. Kicamara Podocarpus imbricatus (Blume) de Laub. 135 Podocarpaceae 5,18 9. Kopi dengklung Nyssa javanica (BI.) Wang. Cornaceae 6, Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 6, Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 18, Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 7, Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 26, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hammamelidacea e 5, Elahayati Alpinia scabra Bl. Zyngiberaceae 6,51

150 136 Lampiran 7. Vegetasi Tingkat Tiang di TN. Gunung Halimun-Salak Lampiran 7.1. Vegetasi Tingkat Tiang di Citarik No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 6,94 2. Burunungul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 12,82 3. Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 6,94 4. Kopi nango Nyssa sp. Cornaceae 9,88 5. Sintok Cinnamomum sintoc Blume Lauraceae 6,94 6. Kopo Eugenia densiflora (BI.) Duthie Myrtaceae 9,88 7. Pasang kayang Lithocarpus teymanii (Bl.) Rehd. Fagaceae 19,77 8. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 9,88 9. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 13, Ipis kulit Pternandra azurea (Bl.) Burck Melastomataceae 6, Manyel leutik Medinilla exima BI. Melastomataceae 6, Huru hiris Litsea javanica Bl. Lauraceae 6, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae 9, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 6, Dawolong Elaeocarpus macrophylla Bl. Elaeocarpaceae 6, Kienteh Camelia sinensis (L.) O.K. Theaceae 6, Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 6, Huru sintok Cinnamomum javanicum Bl. Lauraceae 9, Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 6, Hunyur buut Kadsura scandens Blume Magnoliaceae 6, Harendong bulu Clidermia hirta Bl. Melastomataceae 6, Kisampang Evodia latifolia DC. Rutaceae 6, Kakaduan Durio sp Moraceae 6,94

151 137 Lampiran 7.2. Vegetasi Tingkat Tiang di Cikaniki No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 19,09 2. Kopo Eugenia densiflora (Bl.) Duthie Myrtaceae 9,55 3. Kopinango Nyssa sp. Cornaceae 19,09 4. Kisireum Syzigium rostratum (Bl.) DC. Myrtaceae 9,55 5. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 9,55 6. Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 9,55 7. Kihampelas Ficus sp. Moraceae 9,55 8. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 9,55 9. Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Euphorbiaceae 23, Seuhang Ficus grossularioides Burm.f. Moraceae 9, Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamanelidaceae 9, Kalimorot Lithocarpus sp. Fagaceae 9, Kibeusi Memecylon excelsum BI. Melastomataceae 9, Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 9, Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 9, Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 14,09

152 138 Lampiran 7.3. Vegetasi Tingkat Tiang di Cibeureum No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 13,56 2. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 9,56 3. Hamerang Ficus padana Burm.f. Moraceae 9,56 4. Kaliandra Calliandra calothyrsus Meisn. Fabaceae 9,56 5. Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 9,56 6. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 17,56 7. Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 19,11 8. Huru hiris Litsea javanica Bl. Lauraceae 9,56 9. Cangcaratan Neonauclea obtusa (Bl.) Merr. Rubiaceae 9, Hamerang badak Ficus globosa BI. Moraceae 9, Kenanga Canangium odoratum (Lam.) Hook.f. & T. Thomson Anonaceae 13, Pasang Batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 17, Manyel leutik Medinilla exima BI. Melastomataceae 9, Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Rehd. Fagaceae 13, Kisireum Syzygium rostratum (BI.) DC. Myrtaceae 9, Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 9, Kidage Bruinsmia styracoides Boerl. & Koord. Styracaceae 9,56

153 139 Lampiran 7.4. Vegetasi Tingkat Tiang di Cisalimar No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) 1. Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamanelidaceae 13,56 2. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 9,56 3. Saninten Castanopsis javanica Blume Fagaceae 9,56 4. Kiara Ficus globosa Bl. Moraceae 9,56 5. Mumuncangan Ostodes paniculata BI. Euphorbiaceae 9,56 6. Jirak Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 17,56 7. Pasang batarua Quercus gemiliflorus Blume Fagaceae 19,11 8. Kondang Ficus variegata BI. Moraceae 9,56 9. Burununggul Castanopsis argentea (BI.) DC. Fagaceae 9, Kokosan monyet Antidesma tetandrum BI. Moraceae 9, Kimokla Knema cinerea (Poir) Warb. Myristicaceae 13, Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae 17, Kawoyang Prunus arborea (BI.) Kalkm. Rosaceae 9, Pasang kayang Lithocarpus teysmanii (BI.) Rehd. Fagaceae 13, Kisireum Syzygium rostratum (BI.) DC. Myrtaceae 9, Beunying Ficus septica Burm.f. Moraceae 9, Kidage Bruinsmia styracoides Boerl. & Koord. Styracaceae 9,56

154 140 Lampiran 8. Legenda Daerah Jelajah Owa Jawa di TN. Gunung Halimun-Salak Lampiran 8.1. Legenda Daerah Jelajah di Citarik dan Cikaniki

155 Lampiran 8.2. Legenda Daerah Jelajah Owa Jawa di Cibeureum dan Cisalimar 141

TINJAUAN PUSTAKA Habitat

TINJAUAN PUSTAKA Habitat TINJAUAN PUSTAKA Habitat Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan terhadap sumber pakan, air dan tempat berlindung (Alikodra 2002). Owa jawa merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KENI SULTAN PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 16, No. 3 Desember 2011 : 133 140 ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Population Analysis of Javan Gibbon (Hylobates

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.14-18. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede

Lebih terperinci

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011 JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN Volume 6/Nomor 3, Desember Media Konservasi Vol. 6, No. 3 Desember : 33-4 (Population Analysis ofjavan Gibbon (Hvlobates moloch Audebert

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang

Lebih terperinci

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.24-29. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Owa Jawa

II. TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Owa Jawa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio Ekologi Owa Jawa 2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa Terdapat sebelas jenis primata dari family Hylobatidae yang tersebar di Asia Tenggara, enam spesies diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.19-24. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI

OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI BAB II OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI 2.1 Pengetian Satwa Primata Menurut Jatna Supriatna dan Edy Hendras Wahyono (2000) Primata adalah anggota dari ordo biologi primata. Ordo atau bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 40 spesies primata dari 195 spesies jumlah primata yang ada di dunia. Owa Jawa merupakan salah satu dari 21 jenis primata endemik yang dimiliki

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat

Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No. 2 Desember 2010, p. 55-59. ISSN 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor

Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.9-13. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi (Daily behavior of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN

KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH YULIUS DUMA

KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH YULIUS DUMA KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH YULIUS DUMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 1 No. 1. September 2013 (17 22)

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 1 No. 1. September 2013 (17 22) STUDI PERILAKU MAKAN DAN ANALISIS VEGETASI PAKAN LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI (STUDY ON FEEDING BEHAVIOR AND FOOD SOURCE VEGETATION ANALYSIS OF JAVA MONKEY (Trachypithecus

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA

STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO : Penyiapan Pelepasliaran DEDE AULIA RAHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris;

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK Media Konservasi Vol. XII, No. 1 April 2007 : 1 9 PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK (Habitat Suitability Mapping of Sylvery Gibbon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber:

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber: 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) 2.1.1 Taksonomi Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2008), klasifikasi owa jawa atau Silvery

Lebih terperinci

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Karakteristik Pohon Yang Digunakan Dalam Aktivitas Harian Siamang (Symphalangus syndactylus syndactylus Rafles, 1821) di Taman Nasional Bukit Barisan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Siamang merupakan satwa liar yang termasuk dalam ordo Primata dari famili Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN (THE SIZE OF LONG-TAILED MACAQUE GROUP (Macaca fascicularis)

Lebih terperinci