EXECUTIVE SUMMARY. Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah
|
|
- Yohanes Sutedja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 EXECUTIVE SUMMARY Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah Oleh: Yuni Sudarwati, S.I.P., M.Si. Achmad Wirabrata, S.T., M.M. T. Ade Surya, S.T., M.M. Hariyadi, S.I.P., M.PP. PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2017
2 A. Pendahuluan Permasalahan pengelolaan SDA menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang akan datang. Hal ini karena SDA tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Sehingga ketika terjadi permasalahan dalam pengelolaannya secara otomatis kerugian akan dirasakan oleh manusia baik kerugian secara material maupun nonmaterial. Salah satunya adalah kerusakan SDA yang terjadi terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan. Kerusakan SDA dan lingkungan hidup yang dapat dilihat meliputi antara lain: kerusakan hutan, daerah aliran sungai (watershed), kehilangan keragaman biologi (biodiversity), erosi tanah/lahan yang berlebihan, kerusakan lahan yang dicirikan oleh meluasnya padang alang alang, kelebihan tangkapan ikan (over fishing), dan pencemaran udara yang di antaranya dapat berdimensi lokal, regional, maupun global. Idealnya, kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia dapat membuat masyarakat Indonesia sejahtera. Namun, meski banyak sekali SDA yang dikelola tetapi masyarakat Indonesia masih banyak yang kurang sejahtera dan tidak menikmati hasil kelola SDA. Indonesia seakan mengalami kutukan SDA. Berlimpahnya SDA yang dimiliki malah membuat masyarakatnya hidup dengan kemiskinan dan kurang sejahtera. Hal ini terjadi karena dengan kekayaan SDA yang dimiliki, cenderung membuat sebuah bangsa menjadi miskin, tidak produktif, cenderung malas, dan memerosotkan industri manufaktur, industri pertanian, dan pada akhirnya menurunkan ekspor pertanian. Ada dua hal yang membuat negara berkembang yang memiiki kekayaan SDA mengalami kutukan yaitu pertama, pemerintah dari negara dengan SDA berlimpah biasanya terlambat dalam memulai industrialisasi. Kedua, pemerintah cenderung mengeluarkan kebijakan yang buruk (bad policies). Kedua hal ini yang membuat
3 kekayaan SDA yang dimiliki justru menjadi kutukan bagi negara negara dengan ekonomi berbasis SDA. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan mengenai pengelolaan SDA yang ditengarai masih belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Berdasarkan permasalahan tersebut disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kebijakan dalam pengelolaan SDA selama ini? (2) Bagaimana dampak pengelolaan SDA bagi kesejahteraan dan pembangunan daerah? (3) Hal hal apa saja yang perlu dilakukan pemerintah sebagai alternatif kebijakan dalam rangka optimalisasi pengelolaan SDA? B. Metodologi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data baik data primer maupun sekunder dilakukan dengan studi pustaka, diskusi, dan wawancara. Analisis dilakukan terhadap data yang telah terkumpul. Analisis bertujuan untuk menyajikan, mendeskripsikan, menguraikan, menjelaskan, dan menjabarkan secara jelas dan sistematis data yang telah diperoleh di lapangan. Terakhir, diambil kesimpulan dan rekomendasi yang disusun dalam laporan. Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu daerah penelitian dengan pertimbangan bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain belum maksimalnya pemanfaatan SDA, di luar pengawasan pemerintah sering terjadi pemanfaatan SDA secara ilegal dan bertentangan dengan undang undang yang berlaku, seperti alih fungsi lahan dan illegal minning. Akibatnya kerugian negara dari sektor SDA ini masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, menjadi menarik untuk mengetahui bagaimana pemerintah setempat mengambil kebijakan dalam pengelolaan SDA terutama dengan besar kemungkinan terjadinya persinggungan dalam pengelolaan masing masing SDA tersebut, berikut dengan pencemaran, dan kerusakan lingkungan yang terjadi.
4 Sementara itu, penentuan lokasi Kabupaten Banyumas terkait dengan menguatnya isu pengelolaan SDA dan potensi SDA yang dimiliki relatif besar. Namun masih banyak permasalahan terkait pengelolaan SDA yang dihadapi antara tahun antara lain dalam bidang pertambangan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan kewenangan baru yang diatur dalam PP. 38 Tahun 2007, kesulitan memperoleh data laporan produksi karena kurangnya kesadaran pemrakarsa kegiatan dalam melaporkan kegiatan usaha pertambangan, kurangnya kepahaman pemrakarsa kegiatan pertambangan terhadap regulasi di bidang pertambangan, kurangnya kesadaran pemrakarsa kegiatan pertambangan dalam memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, banyaknya kegiatan penambangan tanpa izin (PETI); dan kurangnya peraturan daerah yang dapat melindungi sumber daya alam serta investasi sektor pertambangan, seperti reklamasi dan pengusaha pertambangan agar lebih mengupayakan pola pengembangan/pengusahaan pertambangan dan konservasi terhadap biaya rehabilitasi (rehabilitation cost) serta pendapatan asli daerah (PAD) atau nilai tambah (added value) yang dihasilkan. Proses penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, yaitu dimulai Februari 2017 sampai November Pada tahap penyusunan proposal didahului dengan pencarian data dan informasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Focus Group Discussion dilaksanakan pada Rabu, Jumat 19 Mei 2017 dengan orang narasumber Dr. Marwan Batubara (IRESS) dan Dr. Ir. Dodik R Nurrochmat (IPB). Penelitian pertama di Provinsi Jawa Barat dilakukan pada 24 s.d 30 Juli Adapun penelitian kedua yaitu Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah dilakukan pada 2 s.d 8 Oktober C. Pembahasan Hasil Penelitian 1) Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam merupakan landasan peraturan perundang undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam mengamanatkan untuk melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundangan yang berhubungan dengan agraria
5 dan pengelolaan sumber daya alam agar sepenuhnya dikelola demi kemakmuran rakyat. Keberadaan TAP MPR ini menjadi panduan untuk merumuskan dan kembali mensinkronisasikan berbagai peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan pengelolaan sumber daya alam kita. Sinkronisasi perlu dilakukan mengingat berbagai peraturan perundang undangan sektoral yang dikeluarkan cenderung berjalan sendiri sendiri, menciptakan sistem hukum sendiri sendiri, bahkan yang lebih parah adalah membuat benturan diantara sektor sehingga merugikan kepentingan negara secara luas. Peraturan perundangundangan yang terpisah dan cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan lain, kepentingan keberlanjutan dan konservasi misalnya, menyulitkan pengaturan dalam pengelolaan SDA selanjutnya baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di Provinsi Jawa Barat, dalam bidang pertambangan, pengelolaan pertambangan dilakukan berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebelum UU No 24 tahun 2014 terbit, pengelolaan pertambangan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Setelah kewenangan perijinan pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan berada di pemerintah provinsi, maka Pemprov Jabar melaksanakan kewenangan tersebut dengan berdasarkan aturan perundangundangan yang berlaku dan dengan melibatkan seluruh sektor yang berhubungan dengan pertambangan. Pada sektor kehutanan, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menjadi rujukan bagi pengaturan pengelolaan kawasan lindung di kabupaten/kota. Terkait sumber daya air, Perda Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air menjadi pedoman daerah dalam melakukan pengelolaan sumber daya air yang dimaksudkan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya air secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup serta berkelanjutan, untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan berdasarkan Perda Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah
6 Aliran Sungai yang menyatakan bahwa pengelolaan DAS dimaksudkan untuk menjamin kelestarian fungsi DAS sebagai sumber utama kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya secara serasi, seimbang, dan berkesinambungan melalui perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka dibentuklah Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penataan Hukum Lingkungan yang dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan, pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan pedoman bagi Kabupaten/Kota dalam penetapan Peraturan Daerah dan/atau kebijakan bidang lingkungan hidup Sektor pertambangan mineral dan batubara pada awalnya diatur berdasarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Kabupaten Banyumas. Akan tetapi dengan berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sub urusan mineral dan batubara telah diubah tidak lagi menjadi kewenangan Kabupaten/kota. Pencabutan kewenangan ini didasarkan pada Perda Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Kabupaten Banyumas. Terkait pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk mempertegas bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Hasil KLHS menjadi dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Sementara dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik, Perda Kabupaten Banyumas Nomor 11 Tahun 2011 tentang Ketenagalistrikan menjadi pedomannya.
7 Permasalahan air tanah di Kabupaten Banyumas diatur melalui Perda Kabupaten Banyumas Nomor 22 Tahun 2011 tentang Air Tanah. Perda ini bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan pemberian izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pemakaian air tanah dan pengusahaan air tanah di Daerah. 2) Implementasi Kebijakan Permasalahan pengelolaan sumber daya alam menjadi semakin kompleks karena dalam pelaksanaannya sering terjadi benturan antar sektor. Sebagai contoh di sektor kehutanan, adanya tumpang tindih kawasan peruntukan. Beberapa perusahaan tambang mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan karena terdapat perubahan peruntukan di kawasan hutan, seperti perusahaan tambang yang sesuai peraturan terbaru tiba tiba berada di kawasan hutan dari sebelumnya yang bukan kawasan hutan. Dalam pelaksanaan pengelolaan SDA di wilayah Jabar, pemprov melakukan koordinasi baik dengan pemerintah pusat, kalangan industri, maupun pemangku kepentingan lainnya. Koordinasi dengan pemerintah pusat selama ini dilakukan dalam rangka pengawasan baik kegiatan maupun perijinan pertambangan. Koordinasi dengan kalangan industri dilakukan dalam rangka penerbitan ijin pertambangan, pemerintah provinsi juga melakukan koordinasi dalam rangka pembinaan pelaksanaan penambangan yang sesuai dengan kaidah good mining pratice. Sementara koordinasi dengan pemangku kepentingan lainnya dilakukan dengan selalu melibatkan sektor lain selain di luar bidang ESDM melalui rapat tim teknis perijinan pertambangan maupun juga melalui forum BKPRD Provinsi. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemprov Jabar dalam pengelolaan SDA antara lain keterbatasan anggaran;kerangka hukum yang kurang mendukung/overlap; lemahnya sinergi/koordinasi antar pemangku kepentingan karena masih adanya ego sektoral; tidak lengkapnya data pengelolaan pertambangan yang diserahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagai pengelola pertambangan sebelumnya sebagai konsekuensi UU 23/2014; kurangnya pengetahuan masyarakat dan juga pengusaha pertambangan terhadap
8 prosedur perijinan yang benar dan juga terhadap pengelolaan pertambangan yang baik; keterbatasan kapasitas SDM; lemahnya kemauan politik daerah; lambatnya proses konsolidasi/implementasi UU 23/2014; dan kebijakan tata ruang yang belum sesuai. Di Kabupaten Banyumas masih banyak terjadi Penambangan Tanpa Ijin (PETI) atau penambangan liar yang berpotensi merusak lingkungan. Jika sebelumnya permasalahan pertambangan rakyat yang termasuk PETI diatur berdasarkan Pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 12 Tahun tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Kabupaten Banyumas, namun hingga penelitian ini dilaksanakan belum ada peraturan khusus yang mengaturnya. Kekosongan ini menyulitkan dalam penanganan permasalahan penambangan rakyat, sebagai contoh penambangan emas. Pengolahan emas pada pertambangan emas rakyat dilakukan belum sesuai dengan persyaratan persyaratan teknis pengolahan emas yang benar, pengolahan emas hanya dilakukan sesuai dengan perkembangan pengalaman lapangan penambang. Terkait emas, upaya yang telah dilakukan dalam rangka mengurangi potensi dampak adalah dengan melakukan pengujian sumber, media, biomarker, dan status kesehatan misalnya seperti risiko tremor dan lain lain. Pembangunan PLTP Baturaden dilaksanakan oleh PT Sejahtera Alam Energi (SAE), hal ini mengingat bahwa proyek ini merupakan pembangkit dari sumber energi baru dan terbarukan, membutuhkan pendanaan yang sangat besar, dan risiko konstruksi yang cukup besar. (Pasal 11 Perpres Nomor 4 Tahun 2016). Namun ternyata dalam pelaksanaan proyek mengalami sedikit hambatan dengan munculnya gejolak sosial di masyarakat terkait keruhnya air di beberapa sungai, sehingga proyek pernah diberhentikan sementara yang akan menghambat proses pembangunan PLTP Baturaden. Pemerintah Daerah seharusnya dapat mengambil diskresi dalam rangka penanganan dampak sosial yang timbul dalam pelaksanaan PIK sesuai Pasal 38 Perpres Nomor 4 Tahun ) Dampak Implementasi Kebijakan Secara legal formal, kebijakan pengelolaan SDA selama ini relatif komprehensif dari kebijakan yang berbentuk UU maupun sejumlah peraturan
9 turunan. Dari keseluruhan sektor SDA yang ada di kedua lokasi, dasar legal formal pengelolaannya dipastikan telah tersedia terutama dari sisi UU. Sejumlah peraturan turunan pun telah tersedia meskipun untuk sebagian sektor SDA belum sepenuhnya dipenuhi pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa dari sisi legal formal pengelolaan SDA telah relatif komprehensif. Persoalan dari aspek ini muncul karena munculnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dengan implikasi adanya peralihan pengelolaan sejumlah sektor SDA yang penting seperti minerba, kehutanan dan lain lain. Sementara itu, sejumlah aturan turunan tidak hanya belum semua terpenuhi berdasarkan mandat UU ini tetapi juga masih belum samanya perspektif semua daerah dalam pengelolaan SDA. Akibatnya, kompleksitas pengelolaan SDA semakin besar khususnya bagi daerah. Data menunjukkan bahwa dampak lain implementasi UU 23/2014 mencakup dampak pengelolaan SDA bagi kesejahteraan dan pembangunan daerah. Secara umum, beralihnya kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan SDA berakibat pada berkurangnya potensi pendapatan daerah. Akibatnya, situasi ini dapat berpotensi mengurangi kemampuan pembangunan daerah. Sejumlah narasumber menegaskan bahwa jika tidak ada kebijakan kompensasi, dampak pengurangan pembangunan daerah akan berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Dampak lainnya adalah lemahnya partisipasi daerah dalam pengawasan pengelolaan SDA. 3) Alternatif Kebijakan Secara umum, dampak perubahan rezim pengelolaan SDA terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masih belum kuat. Persoalan masa konsolidasi pelaksanaan aturan turunan menjadikan dampak tersebut masih harus dilihat dalam jangka waktu yang lebih lama. Pertanyaanya kebijakan alternatif apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan SDA ke depan? Secara normatif, perpindahan rezim pengelolaansda dari kabupaten/kota ke provinsi dan pusat dilatarbelakangi oleh maraknya persoalandampak pengelolaan SDA selama ini. Dengan demikian, persoalan lebih pada bagaimana tata kelola
10 pemerintahan yang baik yang lebih mendesak dilakukan daripada mengganti kerangka kebijakan yang ada. Hal ini mengimplikasikan sejumlah hal sebagai berikut. Pertama, perlunya sinergi pusat dan daerah. Untuk tujuan ini, penyatuan dan sinergi kepentingan harus diarahkan pada upaya mengoptimalkan pengelolaansda yang berkelanjutandan non egosektoral. Kedua, penguatan pengawasan dan penegakkan hukum. Untuk memperkuat upaya ini, skema kompensasi yang memadai bagi daerah akan memperkuat partisipasi daerah dalam proses pengawasan tersebut. Ketiga, perlunya penguatan fungsi kelembagaan khususnya kelembagaan pusat di daerah. Hal ini menegaskan pentingnya penguatan peran lembaga lembaga vertikal di daerah sehingga dapat secara langsung menjembatani kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Hal ini bukan berarti bahwa tidak diperlukan adanya penyempurnaan kerangka legal formal pengelolaan SDA. Agenda ini tetap perlu dilakukan dalam rangka penyempurnaan sehingga pengelolaan SDA ke depan akan semakin partisipatif, berkelanjutan dan memberikan dampak yang semakin kuat bagi upaya kesejahteraan rakyat. D. Penutup Pengelolaan SDA selama ini masih bersifat parsial dan cenderung egosektoral, baik antara pusat dan daerah maupun antar K/L. Kondisi ini diperlemah dengan keberadaan UU 23/2014, penarikan kewenangan pengelolaan SDA dari kabupaten/kota ke pusat dan provinsi. Akibatnya, partisipasi daerah dalam hal ini kabupaten/kota dalam pengawasan dan pengelolaan SDA secara umum akan lemah. Hal ini merefleksikan sebuah fenomena yang anomalistik daerah sebagai penghasil SDA tersebut. Penarikan kewenangan ini membuat panjang dan jauhnya proses perijinan, diperburuk lagi dengan kurangnya SDM yang menangani. Dampak lain bahwa kebijakan pengelolaan SDA juga belum menganut asasasas pengelolaan SDA sesuai dengan tata kelola yang baik. Akibatnya, pengelolaan SDA cenderung lebih didorong oleh pengejaran kepentingan ekonomis, jangka pendek dan bahkan, dalam batas tertentu, sangat politis.
11 Secara kuantitas, kebijakan pengelolaan SDA selama ini telah mencukupi. Hal ini berarti bahwa pengelolaan SDA telah relatif komprehensif. Persoalan muncul karena kehadiran UU No. 23 Tahun 2014 dengan implikasi adanya peralihan pengelolaan sejumlah sektor SDA yang penting seperti minerba, kehutanan dan lain lain. Sementara itu, sejumlah aturan turunan tidak hanya belum semua terpenuhi tetapi juga masih belum samanya perspektif semua daerah dalam pengelolaan SDA. Akibatnya, kompleksitas pengelolaan SDA semakin besar khususnya bagi daerah. Secara umum, beralihnya kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan SDA berakibat pada berkurangnya potensi pendapatan daerah. Akibatnya, situasi ini dapat berpotensi mengurangi kemampuan pembangunan daerah. Tanpa dibarengi dengan kebijakan kompensasi yang dampak pengurangan pembangunan daerah akan berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Dampak lainnya adalah lemahnya partisipasi daerah dalam pengawasan pengelolaan SDA. Terlepas dari penilaian ini, secara umum, dampak perubahan rezim pengelolaan SDA terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masih belum kuat. Persoalan masa konsolidasi pelaksanaan aturan turunan menjadikan dampak tersebut masih harus dilihat dalam jangka waktu yang lebih lama. Peraturan perundang undangan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, dan mewujudkan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antarsektor. Oleh karena itu, laporan ini merekomendasikan dua keperluan penting berikut: (1) penyempurnaan kerangka hukum perlu lebih partisipatoris dan melibatkan para ahli yang tidak memihak sehingga paradigma pengelolaan SDA dapat lebih diarahkan bagi terciptanya keadilan ekologis, ekonomi, dan sosial; dan (2) pengembangan kapasitas kelembagaan di daerah yang mampu berkoordinasi secara lintas sektoral, berwenang mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem pemberian izin kegiatan dan beberapa aspek pengelolaan SDA secara umum.
IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK
IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016) Oleh Hariyadi BIDANG EKONOMI DAN
Lebih terperinciKETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Lebih terperinciK E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL
LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL Oleh: Hariyadi, SIP., MPP Ari Mulianta Ginting, SE., M.SE
Lebih terperinciKETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah
Lebih terperinciBab II Perencanaan Kinerja
Bab II Perencanaan Kinerja 2.1. Visi Misi Daerah Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Gorontalo seperti tercantum dalam RPJMD Provinsi Gorontalo tahun 2012-2017 adalah Terwujudnya Percepatan Pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan terus-menerus untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Proses tersebut dilaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan
Lebih terperinciBAPPEDA Planning for a better Babel
DISAMPAIKAN PADA RAPAT PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL RKPD PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2018 PANGKALPINANG, 19 JANUARI 2017 BAPPEDA RKPD 2008 RKPD 2009 RKPD 2010 RKPD 2011 RKPD 2012 RKPD 2013 RKPD
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
Lebih terperinciKerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat
Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang
Lebih terperinciKEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN
KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang
Lebih terperinciLAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS
Kepada Yth. Bapak Bupati Bengkulu Selatan di Manna LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS I. Pendahuluan : 1. Umum. Terkait dengan peralihan kewenangan penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT
Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kawasan Pantai Utara Jakarta ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi DKI Jakarta. Areal sepanjang pantai sekitar 32 km tersebut merupakan pintu gerbang dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciPROSIDING. Review Undang-Undang Sektoral dalam Hubungannnya dengan Undang-Undang Penataan Ruang. [Konsinyering Sekretariat BKPRN Februari 2014]
PROSIDING [Konsinyering Sekretariat BKPRN 27-28 Februari 2014] S e k r e t a r i a t B K P R N Review Undang-Undang Sektoral dalam Hubungannnya dengan Undang-Undang Penataan Ruang Lingkup: UU No. 41 Tahun
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PEMANFAATAN SERTA PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN, SERTA PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN
Lebih terperinci*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciWILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi
WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinci2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. Pendahuluan
Bab I Pendahuluan LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR TAHUN 2012 TANGGAL JUNI 2012 Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima)
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,
GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang
Lebih terperinci2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA KEDAULATAN ENERGI
POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA KEDAULATAN ENERGI A. Pendahuluan Kedaulatan energi merupakan salah satu agenda prioritas dalam mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a.
Lebih terperinciKETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas
KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas I. Pendahuluan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Lebih terperinciBUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN
SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciRENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015
RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015 BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN (BAPEDAL ) Nomor : / /2014 Banda Aceh, Maret 2014 M Lampiran : 1 (satu) eks Jumadil Awal
Lebih terperinciRencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Blitar 2005-2025
BAB I PENDAHULUAN A. UMUM Di era otonomi daerah, salah satu prasyarat penting yang harus dimiliki dan disiapkan setiap daerah adalah perencanaan pembangunan. Per definisi, perencanaan sesungguhnya adalah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,
Lebih terperinciBUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO
BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Potensi tersebut sudah dikenal sejak zaman penjajahan sampai. Indonesia, prosesing mendapatkanya melalui usaha pertambangan.
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang. Riau dikenal sebagai propinsi yang kaya akan bahan tambang dan mineral. Potensi tersebut sudah dikenal sejak zaman penjajahan sampai dengan kemerdekaan. Potensi itu
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciPengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.
Pengertian Istilah bahasa inggris ; Mining law. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan biji-biji dan mineralmineral dalam tanah. (ensiklopedia indonesia). Hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan bagian dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), seperti tercantum dalam Undang- Undang Nomor
Lebih terperinciBAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI
BAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI A. Tahapan Pelaksanaan MP3EI merupakan rencana besar berjangka waktu panjang bagi pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, implementasi yang bertahap namun
Lebih terperinciSTUDI BUDGET BRIEF SEKTOR TAMBANG :
STUDI BUDGET BRIEF SEKTOR TAMBANG : Inovasi Kebijakan : Pola Redistribusi Penerimaan Sektor Pertambangan untuk mewujudkan pembangunan yang berpihak untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG
I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Lebih terperinciPENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL
PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL Ir. Iman Soedradjat, MPM DIREKTUR PENATAAN RUANG NASIONAL disampaikan pada acara: SEMINAR NASIONAL PERTIMBANGAN LINGKUNGAN DALAM PENATAAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciIMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA
IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA Oleh: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Dep. Pekerjaan Umum
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN R encana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun. RPJMD memuat visi, misi, dan program pembangunan dari Bupati
Lebih terperinciPERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Oleh: Zaqiu Rahman *
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 12 Mei 2015; disetujui: 15 Mei 2015 Keberlakuan
Lebih terperinciPayung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan
Pewarta-Indonesia, MESKI istilah undang-undang pokok tidak dikenal lagi dalam sistem dan kedudukan peraturan perundang-undangan sekarang ini, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembangunan bidang sanitasi di berbagai daerah selama ini belum menjadi prioritas, sehingga perhatian dan alokasi pendanaan pun cenderung kurang memadai. Disamping
Lebih terperinciSUMBANGAN PIHAK KETIGA PERDA KABUPATEN KONAWE SELATAN NO. 2 TAHUN
SUMBANGAN PIHAK KETIGA PERDA KABUPATEN KONAWE SELATAN NO. 2 TAHUN PERATURAN DAERAH TENTANG PENERIMAN SUMBANGAN PIHAK KETIGA KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN KONAWE SELATAN ABSTRAK : Bahwa untuk meningkatkan
Lebih terperinci2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu
No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perencanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mendukung
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KOTABARU NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN KOTABARU TAHUN 2016-2021 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang P erencanaan pembangunan
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat
Lebih terperinciPERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II
Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana
Lebih terperinciPP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)
PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:
Lebih terperinciTANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl.
TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl. HE 1 A. KONDISI KETAHANAN AIR DI SULAWESI Pulau Sulawesi memiliki luas
Lebih terperinciBUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten
Lebih terperinciPenataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan
Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Penataan Ruang Komisi Pemberantasan Korupsi - Jakarta, 13 Desember 2012 Outline I. Isu
Lebih terperinciTABEL 4.1 KETERKAITAN VISI, MISI DAN STRATEGI DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
TABEL 4. KETERKAITAN VISI, MISI DAN STRATEGI DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Visi Pengelolaan energi dan mineral yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Lebih terperinciSKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT
SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BEKASI
BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang
Lebih terperinciLAPORAN. Penelitian Individu
LAPORAN Penelitian Individu Aspek Kelembagaan dalam Penyerahan Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan di Daerah Otonomi Khusus Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh: Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn. PUSAT
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025
PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Krisis multi-dimensional yang terjadi akhir-akhir ini secara global, baik krisis
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis multi-dimensional yang terjadi akhir-akhir ini secara global, baik krisis energi, krisis pangan, krisis lingkungan, dan krisis finansial telah menjadi
Lebih terperinciHarmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Lampiran KESATU Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Bab 1. Pendahuluan Konflik perizinan dan hak terjadi atas klaim pada areal yang sama Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011
Lebih terperinciBAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN
BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi
Lebih terperinciBAB VIII INDIKASI RENCANA PROGRAM PRIORITAS YANG DISERTAI KEBUTUHAN PENDANAAN
BAB VIII INDIKASI RENCANA PROGRAM PRIORITAS YANG DISERTAI KEBUTUHAN PENDANAAN 8.1 Program Prioritas Pada bab Indikasi rencana program prioritas dalam RPJMD Provinsi Kepulauan Riau ini akan disampaikan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan
Lebih terperinciKAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif
Lebih terperinciTabel 1.1 Target RPJMN, RPJMD Provinsi dan kondisi Kota Depok. Jawa Barat. Cakupan pelayanan air limbah domestic pada tahun 2013 sebesar 67-72%
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi merupakan salah satu sektor yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan kemiskinan tingkat pendidikan, kepadatan penduduk, daerah kumuh dan akhirnya pada
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 28 Maret 2012 Kepada Nomor : 070 / 1082 / SJ Yth. 1. Gubernur Sifat : Penting 2. Bupati/Walikota Lampiran : Satu berkas di Hal : Pedoman Penyusunan Program
Lebih terperinciKAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN FERRY INDARTO, ST DINAS LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TIMUR Malang, 24 Oktober 2017 DEFINISI KLHS : RANGKAIAN ANALISIS
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2017-2027 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.
Lebih terperinci