PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAGING ITIK MANDALUNG MELALUI PEMBENTUKAN GALUR INDUK AGUS SUPARYANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAGING ITIK MANDALUNG MELALUI PEMBENTUKAN GALUR INDUK AGUS SUPARYANTO"

Transkripsi

1 PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAGING ITIK MANDALUNG MELALUI PEMBENTUKAN GALUR INDUK AGUS SUPARYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan : Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung melalui Pembentukan Galur Induk adalah karya saya sendiri dan belum pernah dijukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2005 Agus Suparyanto NIM:P ii

3 iii ABSTRAK AGUS SUPARYANTO. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui pembentukan galur induk. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO, PENI S. HARDJOSWORO dan L. HARDI PRASETYO. Persilangan dua galur itik lokal dengan itik Pekin dilakukan untuk menghasilkan dua calon galur induk yang berprestasi baik untuk dikawinkan dengan entog. Persilangan antara galur induk dengan entog diharapkan menghasilkan mandalung yang memiliki penampilan tubuh (performa) besar, pertumbuhan cepat dan efisien dalam penggunaan pakan. Disamping itu dilihat pula sifat pokok lainnya seperti berdada lebar dan dalam, paha yang panjang sebagai sumber utama daging itik, warna bulu penutup tubuh dan kulit putih polos yang merupakan selera konsumen. Penelitian dilakukan di Balitnak, Ciawi dengan melakukan persilangan tiga bangsa yaitu entog, itik Peking dan itik lokal untuk dapat mendapatkan itik mandalung yang memiliki citarasa dan kualitas daging baik. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama menyilangkan pejantan Peking dengan dua galur itik lokal (Alabio dan Mojosari putih) untuk membentuk calon galur induk yaitu Pekin x Alabio (PA) dan Pekin x Mojosari (PM). Tahap kedua, galur induk tersebut dikawinkan dengan entog jantan untuk mendapatkan itik mandalung, hasil persilangan entog x PA menghasilkan mandalung EPA dan entog x PM menghasilkan mandalung EPM. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa warna kerabang telur dari kedua galur induk sama-sama biru kehijauan. Koefisein keragaman bobot telur tetas PA 8.5% dan PM 10.8% dan indeks telur PA 10.7% dan PM 10.5%. Persentase telur infertil PA lebih tinggi (7.8%) dari PM (6.2%). Bobot tetas DOD PM antara jantan dan betina tidak berbeda nyata (p>0.05), tetapi DOD PA jantan nyata (p<0.05) lebih rendah dibanding betina. Pola warna PM adalah seragam putih sedangkan PA bervariasi. Pertambahan bobot badan PM mencapai puncak pada umur 9 minggu sedang PA 7 minggu. PBB pada umur di bawah 8 minggu galur induk PA lebih tinggi dari PM. Nilai FCR masa pertumbuhan untuk galur induk PM di atas 3.5 sedang galur induk PA di bawah 3. Persentase produksi telur selama satu tahun galur induk PAsebesar 69.06± 16.98% nyata (p<0.05) lebih rendah dari galur induk PM yaitu sebesar 72.19±5.65%. Hasil tahap kedua adalah sebagai berikut, rasio kelamin mandalung adalah 2:1 untuk anak jantan dan betina, baik yang terjadi pada genotipe EPA maupun EPM. Bulu punggung berwarna hitam untuk EPA adalah 71.3% dan EPM 52.7%, sedang warna putihnya sebesar 13.8% (EPA) dan 40.9% (EPM), sisanya merupakan warna lain. Bulu dada berwarna putih untuk EPA 73,6% dan EPM 88.2%. Konversi pakan (FCR) yang ditunjukkan oleh dua genotipe mandalung tidak berbeda nyata (EPM 3.0 dan EPA 3.2). Bobot potong untuk EPM berkisar antara g dan EPA antara g. Bobot otot dada tidak berbeda nyata, meskipun bobot punggung dan paha bagian atas secara statistik EPA nyata lebih tinggi dari EPM. Atas kajian di atas, direkomendasikan bahwa mandalung EPM yang dihasilkan dari calon galur induk PM cukup menjajikan untuk menunjukkan sifat kualitatif (pola warna) dan sifat kuantitatif yang diharapkan. iii

4 iv ABSTRACT AGUS SUPARYANTO. Improvement of the meat productivity of mule ducks by the establish of female line. Under the supervision of HARIMURTI MARTOJO, PENI S. HARDJOSWORO and L. HARDI PRASETYO. Crossing two strains of local duck strains with the Pekin duck was conducted to develop two candidate female lines to be crossed with the muscovy duck. The resulting interspecies hybrid is expected to produce a mule duck showing excellent body size, growth rate and feed efficiency. Also other important carcass traits such as breast width and depth, length of thighs and legs solid white plumage preferred by the consumer. The research was conducted at the Research Institute of Animal Production (RIAP), Ciawi. Two strains of local ducks were crossed with the Pekin drake and then to be crossed with the muscovy duck to produce mule ducks. The research was conducted in two phases. The first was crossing the Pekin x Alabio (PA) and Pekin x white Mojosari (PM) ducks producing two candidate female lines. The second phase was crossing the PA and PM ducks with the muscovy ducks by Artificial Insemination (AI). This will produce the EPA and EPM mule duck. The result of the first phase showed that both crosses produce light greenish blue colored eggs. The coefficient of variation for the hatching eggs of the PA was 8.5% and PM was 10.8% respectively. The eggs index was 10.7% for PA and 10.5% for PM. Infertile egg percentages for PA were higher (7.8%) than that for PM (6.2%). Weight of hatch for male and female DOD in the PM did not show significant difference (p>0.05). While in the PA male DOD was lighter significantly (p<0.05) than female. The plumage of the PA showed color pattern variation, while the PM ducks all showed a solid white plumage. The average daily gain in the PA reach a maximum at the age of 7 weeks and 9 weeks for the PM. The average weight gain under 8 weeks was higher for the PA than PM. The FCR during the growth phase under 8 weeks of age was higher than3.5 for the PM and lower 3 for the PA. Yearly laying percentage for the PA was 69.06±16.98% and it was significantly (p<0.05) lower than that for the PM wich was 72.19±5.65%. On the second phase it was found that in the mule ducks the male to female sex ratio was 2:1 for both the EPA and EPM. Black colored back feathers were found in 73.6% of the EPA and 88.2% in the EPM. The FCR for both EPA (3.2) and EPM (3) did not differ statistically. Slaughter weight for the EPA showed a range between g and for the EPM ( g). Weight of breast muscle was not significantly different between EPA and EPM, while for the back and thighs the EPA was significantly higher (p<0.05) than that of EPM. Based on the above results, it was recommended that the PM should be chosen as the candidate female line to be further developed to form stable female line. iv

5 v PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAGING ITIK MANDALUNG MELALUI PEMBENTUKAN GALUR INDUK AGUS SUPARYANTO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 v

6 vi Judul Disertasi Nama Nomor Pokok : Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung Melalui Pembentukan Galur Induk : Agus Suparyanto : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. H. Harimurti Martojo, M.Sc Ketua Prof. Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc Anggota Anggota Dr. L. Hardi Prasetyo, M.Agr Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Prof. Dr. Hj. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Ujian : 5 Oktober 2005 Tanggal Lulus : vi

7 vii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di sebuah desa kecil di Kabupaten Demak pada tanggal 10 Agustus 1957 sebagai anak keenam dari 9 bersaudra dari pasangan almarhum bapak Tjitrotaruno dengan almarhumah ibu Ngatinem. Pendidikan Akademi didapat dari Akademi Farming Semarang, lulus tahun Kemudian dilanjutkan ke Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus tahun Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa Magister Pascasarjana IPB Jurusan Ilmu Ternak, lulus tahun Pada tahun 2000 melalui beasiswa PAATP Badan Libang Pertanian, resmi diterima menjadi mahasiswa program Doktoral Pascasarjana IPB pada jurusan Ilmu Ternak. Penulis merupakan staf peneliti pada Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor dengan jabatan fungsional terakhir adalah Peneliti Madya. Selain sebagai tenaga fungsional, penulis juga berkesempatan untuk menekuni bidang administrasi sebagai Sekretaris Proyek dan Pemimpin Bagian Proyek. Selama menapaki jenjang karier maupun jenjang sekolah, penulis ikut dalam beberapa organisasi seperti ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia), WPSA (The World Poultry Science Association) dan PERIPI (Perhimpunan Ilmu Pemulian Indonesia). Penulis aktif dalam menulis artikel ilmiah yang termuat dalam Jurnal maupun artikel populer pada Majalah yang masih ada relevansi dengan disiplin ilmu yang disandang. vii

8 viii PRAKATA Segala puji syukur penulis panjatkan kehadhlirat Illahi Robbi, yang telah memberikan rahmat dan hidayat-nya sehingga atas perkenan-nya lah disertasi ini dapat diselesaikan. Meskipun masih banyak kekurangan, namun inilah yang bisa penulis bhaktikan untuk bangsa, negara dan keluarga kami. Bahasan yang diketengahkan diharapkan menjadi informasi data dasar bagi peneliti lain dan pemerhati yang ingin mengembangkan produk ini. Kami sadari adanya keterbatasan yang ada, sehingga tidak semua keperluan data akan tersaji. Justru dari pengembangan dikemudian hari akan muncul data-data otentik yang lebih valid dan mampu melengkapi data dasar ini. Dengan selesainya disertasi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Prof. Dr. Ir. Harimurti Martojo, MSc, ibu Prof. Dr. Peni S. Hardjosworo, MSc dan bapak Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, MAgr yang tiada hentinya membimbing dengan kesabarannya. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada bapak Dr. Kusuma Diwyanto selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor yang telah memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Serta Pejabat Komisi Bidang SDM Badan Litbang Pertanian beserta Staf Proyek PAATP, yang telah mempercayai penulis untuk mendapatkan beasiswa. Disamping itu tak lupa pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman peneliti maupun teman teknisi di kandang percobaan itik dan semua pihak yang tak dapat disebut satu persatu, yang telah memberikan kontribusi yang berarti bagi penyelesaian disertasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepada istri dan anak yang tercinta, terima kasih atas dukungan morilnya dan mudah-mudahan Allah Yang Maha Esa selalu memberkahi kebahagian kita bersama. Amin. Bogor, Oktober 2005 Agus Suparyanto viii

9 ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR.. xvi DAFTAR LAMPIRAN.. xviii PENDAHULUAN. 1 Latar Belakang... 1 Kerangka pemikiran... 2 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA 5 Bangsa Itik Itik Alabio... 7 Itik Mojosari... 7 Itik Pekin... 8 Persilangan Antar Genotipe Itik mandalung (mule duck) Sifat Kualitatif Warna dasar bulu itik Penurunan pola warna terhadap zuriat Pola pertumbuhan dan pendugaan non-linier Heritabilitas Produksi dan Produktivitas MATERI DAN METODE 24 Lokasi dan Materi Penelitian Penelitian Tahap Pertama Penelitian Tahap Kedua Pakan Ternak Pengamatan Tahapan Umur Fisiologi Pengamatan ukuran tubuh Pertumbuhan itik Pengamatan konversi pakan Pengamatan Produktivitas Karkas Pencatatan dan Pengolahan Data Pengumpulan data Analisis data Teknik pengelompokan telur tetas.. 30 Analisis pola warna bulu Analisis pertumbuhan Pendugaan nilai heritabilitas (h 2 ) ix

10 x Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN 35 Persilangan Pekin dengan Itik Lokal sebagai Calon Galur Induk Karakteristik Telur Tetas Warna kerabang telur Keseragaman ukuran telur tetas Pengelompokkan telur tetas berdasarkan bobot dan indeks Daya Tetas Fertilitas menurut kelompok bobot telur tetas PM dan PA Karakteristik telur yang menetas menurut selang kelompok Karakteristik telur yang menghasilkan anak Korelasi ukuran telur tetas Pola Warna Bulu Dewasa Galur Induk PM dan PA Distribusi warna bulu Distribusi warna paruh. 49 Distribusi warna kaki 50 Kombinasi warna tubuh dengan warna paruh 51 Kombinasi warna tubuh, paruh dan kaki Laju Pertumbuhan Galur Induk PM dan PA Pertambahan bobot badan (PBB) menurut bobot tetas Pertambahan bobot badan (PBB) menurut bobot telur Nilai heritabilitas bobot badan galur induk PM dan PA Perubahan ukuran morfologi galur induk PM dan PA Nilai Konversi Pakan (FCR) Galur Induk PM dan PA Performa Produksi Galur Induk PM dan PA Nilai h 2 pada beberapa sifat produksi saat pertama bertelur Produksi telur per bulan dari galur induk PM dan PA Ukuran telur galur induk PM dan PA Kurva produksi telur galur induk PM dan PA Pembentukan Mandalung Kondisi Telur Tetas Calon Mandalung. 73 Ukuran dan keseragam telur tetas Fertilitas Saat Menetas Rasio Kelamin Bobot Tetas Mortalitas Segregasi Warna Bulu Mandalung Pertumbuhan Mandalung Pertambahan bobot badan Kondisi bobot badan masa pertumbuhan x

11 xi Halaman Rataan bobot badan menurut jenis kelamin Kurva pertumbuhan menurut genotipe Pertumbuhan Morfologi Mandalung. 89 Nilai Konversi Pakan Mandalung. 91 Karkas Mandalung 93 Perbedaan bobot potong karkas menurut genotipe Pemotongan umur 8 minggu Pemotongan umur 10 minggu Pemotongan umur 12 minggu Potongan karkas SIMPULAN DAN SARAN 100 DAFTAR PUSTAKA 101 LAMPIRAN 111 xi

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Sidik ragam guna menduga nilai heritabilitas (h 2 ) dengan menggunakan pola nested Distribusi menurut kelompok bobot dan indeks telur tetas PM dan PA Kondisi telur tetas PM (n=481) dan PA (n=550) selama proses penetasan Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe PM dan PA menurut kelompok selang Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe PM dan PA menurut jenis kelamin anak Korelasi antara bobot telur dengan panjang telur, lebar telur dan bobot tetas pada genotipe PM dan PA Persentase penyebaran hasil interaksi antara warna tubuh dengan Warna paruh pada galur induk PA Persentase penyebaran hasil interaksi antara warna tubuh, paruh dan kaki pada galur induk PA Nilai heritabilitas untuk sifat bobot badan pada berbagai umur dan genotipe itik Rataan parameter morfologi itik hasil silang (PM dan PA) pada masing-masing kelompok umur (hari) Tingkat perbedaan beberapa parameter produksi saat bertelur pertama antara galur induk PM dan PA Nilai h 2 pada beberapa sifatproduksi saat bertelur pertama antara galur induk PM dan PA Rataan produksi telur bulanan itik galur induk PM dan PA Uji t-test ukuran dimensi telur dari galur induk PM dan PA Tingkat kegagalan dan keberhasilan dalam penetasan telur itik untuk menghasilkan mandalung 75 xii

13 xiii Halaman 16. Rataan bobot badan mandalung menurut umur yang dikelompokkan berdasarkan perbedaan genotipe dan jenis kelamin Rataan perubahan ukuran morfologi mandalung genotipe EPM dan EPA Penampilan karkas menurut perbedaan umur (minggu) dan genotipe mandalung Hasil uji t-test terhadap karkas antara mandalung EPM dengan EPA tanpa membedakan umur potong Hasil uji t-test terhadap karkas antara mandalung EPM dengan EPA pada umur potong 8 minggu Uji t-test nilai rataan dari beberapa sifat potongan karkas antara mandalung genotipe EPM dengan EPA Hasil uji t-test terhadap nilai rataan dari beberapa sifat potongan karkas menurut genotipe mandalung Proporsi potongan karkas terhadap bobot karkas itik mandalung EPM dan EPA.. 98 xiii

14 xiv DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola warna bulu pada galur induk PA Penyebaran pola warna bulu itik galur induk PA Penyebaran pola warna paruh orange (O), hitam (H) dan hitam-orange (HO) itik galur induk PA Penyebaran pola warna kaki itik galur induk PA Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PM ( ) dan PA (----) Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PM menurut kelompok bobot tetas : selang atas ( ) ; tengah (-- --) dan bawah ( ) Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PA menurut kelompok bobot tetas : selang atas ( ) ; tengah (-- --) dan bawah ( ) Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PM menurut kelompok bobot telur : selang atas ( ) ; tengah (-- --) dan bawah ( ) Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PA menurut kelompok bobot telur : selang atas ( ) ; tengah (-- --) dan bawah ( ) Nilai konversi pakan galur induk PM ( ) dan PA ( ) terhadap bobot badan Rataan produksi bulanan (total bobot telur) pada galur induk PM ( ) dan PA ( ) Kurva produksi mingguan (total bobot/masa telur) hasil simulasi galur induk PM ( ) dan PA ( ), dengan rataan hasil catatan kandang itik galur induk PM ( ) dan PA ( ) Kurva rataan produksi bulanan (total bobot telur) pada galur induk PM ( ) dan PA ( ) xiv

15 xv Halaman 14. Rasio jantan ( ) dan ( ) betina pada saat penetasan mandalung EPM (1), EPA (2) dan gabungan keduanya (3) Kombinasi warna dada dan punggung pada itik mandalung EPM Kombinasi warna dada dan punggung pada itik mandalung EPA Pertambahan bobot badan menurut genotipe mandalung untuk EPM (---) dan EPA ( ) Keadaan bobot badan menurut umur mandalung genotipe EPM ( ) dan EPA ( ) Kurva simulasi bobot badan mandalung antar genotipe EPM ( ) dan EPA ( ) dan gabungan ( ) Nilai FCR menurut waktu pengamatan dari mandalung genotipe EPM ( ) dan EPA ( ) xv

16 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis varian pola tersarang (NESTED) Contoh pembuatan program analisis non-linier model Gompertz dan hasil perhitungan Contoh pembuatan program analisis non-linier model WOOD dan hasil perhitungan Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa (Lanjutan) Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa (Lanjutan) Hasil analisis uji t-test bobot badan pada mandalung EPM dan EPA. 117 xvi

17 xvii xvii

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Itik-itik yang ada di Indonesia merupakan itik tipe petelur, oleh karenanya karakteristik bentuk badannya adalah ramping dan kecil sehingga perototannya (daging) rendah. Sebagai itik tipe petelur, produksi telur yang dihasilkan tergolong tinggi. Namun mengingat tuntutan akan daging itik semakin besar dan ada kecenderungan untuk terus meningkat pada beberapa daerah tertentu, peternak pun telah mecoba membuat mandalung dari hasil silang antara pejantan entog lokal (Cairina moschata) dengan itik betina lokal (Anas platyrhynchos) atau kebalikannya. Mandalung memiliki proporsi daging yang relatif lebih banyak dibanding dengan itik lokal dan citarasanya enak. Ketebalan daging dada pun masih lebih baik jika dibandingkan dengan itik Pekin yang selama ini memang sudah terkenal sebagai tipe pedaging dengan karkas yang seragam dan warna kulit yang putih bersih. Itik Pekin sebagai sumber itik berkualitas tidak dapat dipungkiri, mengingat beberapa negara cenderung mengeksploitasinya untuk kebutuhan konsumsi masyarakatnya maupun ekspor. Hal ini juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya di Jakarta permintaan akan daging itik Pekin untuk restoran besar dan hotel berbintang merupakan pangsa yang besar. Pada saat ijin impor daging itik Pekin beku diperketat, kondisi permintaan untuk restoran besar dan hotel yang cukup tinggi menimbulkan kesenjangan. Kesenjangan ini dimanfaatkan importir untuk melakukan pelanggaran dalam menjalankan usahanya. Sebagai bukti aktual surat kabar Harian Kompas (tanggal 14 Desember 2004) melaporkan adanya pemasukan daging itik Pekin beku illegal. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pangsa pasar daging itik Pekin unggul di kota besar seperti Jakarta cukup tinggi dan memiliki unsur bisnis yang cukup kuat. Masalah di lapangan menunjukkan bahwa pemberhentian ijin impor daging itik Pekin beku ternyata belum diikuti dengan penyediaan daging lokal yang kualitas produknya mendekati sebagaimana yang dimiliki oleh itik Pekin tersebut. Produk mandalung hasil peternak, pada umumnya masih beragam terutama dalam hal keseragaman bobot dan warna kulit karkas yang terkesan kotor. Kondisi warna

19 2 kulit tersebut akibat masih banyaknya pangkal bulu berwarna hitam yang masih tertinggal di dalam kulit. Disamping itu sistem perototan yang membentuk daging masih kurang tebal. Dengan demikian permasalahan yang cukup serius di atas harus segera dipecahkan, mengingat permintaan akan daging pengganti daging itik Pekin cukup mendesak. Oleh karena itu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membentuk galur induk (female line) maupun galur pejantan (male line) untuk menghasilkan mandalung berkualitas tinggi. Namun dalam penelitian ini hanya akan dilakukan upaya pembentukan galur induk, yang memiliki karakteristik tubuh medium, sifat pertumbuhannya cepat, produksi telur tinggi, warna bulu seragam putih polos. Kerangka Pemikiran. Itik Pekin sebagai itik broiler, sudah banyak dikembangkan oleh berbagai negara karena sifat pertumbuhan dan kualitas dagingnya yang baik, sehingga diminati oleh masyarakatnya. Di Indonesia daging itik Pekin masih merupakan sumber daging yang hanya mampu dijangkau oleh kalangan tertentu saja. Mengingat dagingnya masih merupakan bahan yang harus di impor, maka hanya golongan ekonomi mengengah ke atas yang menjadi konsumen utama. Mengingat performa mandalung yang ada masih kurang memuaskan, maka dengan mengambil pelajaran dari pola perkawinan yang telah diterapkan di Pusat Penelitian Itik (DRC, Duck Research Center) di Taiwan, dilaksanakan penelitian antara itik local dengan itik Pekin untuk membentuk suatu galur induk. Galur induk yang telah terbentuk melalui proses seleksi pemantapan inilah yang akan disilangkan dengan entog untuk menghasilkan mandalung yang berkualitas tinggi. Harapannya dari hasil persilangan antara galur induk dengan entog mampu menghasilkan itik mandalung sebagai itik tipe pedaging yang memiliki penampilan tubuh (performa) dengan postur tubuh yang besar, pertumbuhan cepat, efisien dalam penggunaan pakan, berdada lebar dan dalam, paha yang panjang sebagai sumber utama daging itik, warna bulu penutup tubuh seragam putih polos dan berkurangnya bau amis. 2

20 3 Untuk mendapatkan zuriat dengan warna putih maka pemilihan tetua yang memiliki warna bulu putih merupakan keharusan. Sementara untuk mendapatkan sifat pertumbuhan yang cepat maka sistem persilangan dengan salah satu bangsa yang bertipe besar akan lebih efektif dibandingkan dengan sistem seleksi. Di lain pihak, kurangnya minat peternak terhadap warna putih pada itik lokal karena disamping karena frekuensinya yang cukup kecil juga adanya dugaan bahwa produktivitas telurnya lebih rendah dari itik yang berwarna coklat. Warna bulu putih pada itik lokal juga dianggap sebagai kelompok yang tidak menunjukkan corak warna ciri suatu bangsa itik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe sebagai calon galur induk (female line) terbaik dengan karakteristik bertipe medium, pertumbuhan masa starter dan grower cepat, memiliki produksi telur yang cukup tinggi dan bulu tubuh berwarna putih polos. Dengan demikian mandalung yang terbentuk diharapkan akan memberikan hasil yang baik yaitu berbadan besar, pertumbuhan cepat, efisien dalam penggunaan pakan, penampilan karkas putih dan bersih. Manfaat Penelitian Penggunaan dua galur itik lokal (Alabio dan Mojosari putih) merupakan model yang ingin diuji untuk mendapatkan galur induk yang diinginkan. Pertimbangan penggunaan itik lokal Alabio, karena itik tersebut memiliki produktivitas yang lebih baik. Hal ini terlihat dari bobot badan itik Alabio relatif lebih besar dibandingkan dengan itik Mojosari putih, bobot telur lebih besar dan memiliki pola warna bulu lurik yang cukup uniform. Itik Mojosari putih memiliki keunggulan dalam warna bulu yang seragam putih polos. Persilangan di samping untuk mendapatkan calon galur induk tetua mandalung, juga dapat memenuhi beberapa kebutuhan informasi dasar biologis seperti : 1. Itik pedaging mandalung yang terbentuk diharapkan merupakan itik yang memiliki badan besar disertai dengan nilai efisiensi pakan baik serta laju pertumbuhan bobot badan yang cepat, sehingga dapat digunakan sebagai sumber daging alternatif yang ekonomis dan memenuhi selera konsumen. 3

21 4 2. Hasil persilangan galur induk dengan pejantan entog lokal diharapkan mampu memberikan informasi yang runut atas pola pewarisan sifat kualitatif dan informasi data teknis biologis mengenai sifat keunggulan dan kekurangan/kelemahan dari dua galur induk yang dibandingkan. 3. Informasi dasar yang disajikan diharapkan menjadi langkah awal bagi penelitian berjangka panjang, terutama strategi untuk mendapatkan keseragaman produk mandalung yang memenuhi kriteria sebagai daging itik pengganti Pekin yang memiliki komponen sumberdaya genetik lokal. Untuk menjawab permasalahan di atas maka disusun beberapa hipotesis berikut: 1. Galur induk PA (Pekin x Alabio) atau PM (Pekin x Mojosari putih) berpotensi tinggi untuk dikembangkan sebagai galur induk itik mandalung. 2. Variasi warna bulu tubuh lebih banyak dimunculkan oleh galur induk PA dibandingkan dengan PM sehingga evaluasi kearah sifat kualitatif lebih mudah dilakukan bagi galur induk PM. 3. Mandalung yang dihasilkan dari dua calon galur induk tidak berbeda dalam laju pertumbuhan, efisiensi pakan maupun bobot potong serta persentase karkasnya. 4

22 5 TINJAUAN PUSTAKA Ternak itik (Anas platyrhynchos) dan entog (Cairina moschata) walau bukan merupakan ternak asli Indonesia, namun keberadaanya sudah cukup lama sehingga masyarakat menganggap sebagai ternak lokal. Hal ini tergambar dari adanya nama galur ternak yang sesuai dengan nama daerah ternak itik tersebut berkembang. Nama yang cukup populer diantaranya itik Alabio, Tegal, Magelang, Turi, Mojosari, Bali dan masih banyak nama-nama itik lainnya yang kurang populer seperti itik Begagan dari Sumatera Selatan, Cihateup dari Tasikmalaya, Damiaking dari Tangerang, itik Medan (Iskandar et al., 1993; Prasetyo dan Susanti, 1997; Setioko et al., 1997; Tri-Yuwanta et al., 1999 dan Brahmantiyo et al., 2002). Domestikasi ternak itik sudah dimulai sejak 400 tahun yang lalu di Amerika Tengah dan Selatan, namun secara intensif baru dilakukan pada 40 tahun terakhir di beberapa negara Eropa Tengah (Niclemann dan Bilsing, 1995) Sementara negara-negara di kawasan Asia, jumlah bangsa itik adalah relatif kecil akan tetapi terdapat kecenderungan adanya laju produktivitas yang terus meningkat karena hasil utamanya yang berupa daging dan telur sangat berperan dalam penyediaan sumber protein hewani (Chen, 1999). Secara biologis, itik dan entog yang sama-sama berasal dari kelas unggas air (waterfowl), sebagian besar waktu aktivitasnya di alam banyak dihabiskan di dalam air (aquatic) baik untuk berenang maupun berburu makanan. Namun demikian Matull dan Reiter (1995) melaporkan bahwa ternak entog lebih banyak menghabiskan waktunya di darat dengan penggunaan sumber air yang lebih sedikit. Kondisi ini juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Reiter et al. (1997) bahwa baik ternak itik Pekin, entog maupun mandalung hanya mengalokasikan waktu mandi sebesar 2,1% sementara untuk merawat tubuh (preening) memiliki persentase tertinggi yaitu 11%. Sejarah awal keberadaan itik lokal di Indonesia masih merupakan hal belum terungkap. Namun Robinson (1977) menduga bahwa masuknya itik pertama kali melalui pulau Lombok baru menyebar ke pulau-pulau lainnya. Meskipun demikian dengan memperhatikan beberapa sifat fenotipe, itik lokal kita masih 5

23 6 keturunan dari itik Indian Runner (Samosir, 1983). Hasil domestikasi yang relatif panjang tersebut telah menghasilkan tipe itik sebagai penghasil telur. Catatan sejarah tentang keberadaan dan keunggulan itik lokal Indonesia, sebagaimana yang disampikan oleh Samosir (1983) cukup membesarkan hati karena pada tahun 1930 pemerintah Indonesia yang pada waktu itu masih merupakan pemerintahan jajahan Hindia Belanda mengirim beberapa ekor itik ke London untuk mengikuti pameran unggas yang diadakan di kota tersebut. Hasil pameran yang diperoleh cukup membanggakan karena itik lokal kita digunakan untuk pembaharuan standarisasi bagi itik Indian Runner. Itik Lokal Deskripsi akan galur atau bangsa itik lokal di Indonesia sulit dilakukan karena banyaknya variasi warna dan ukuran tubuh yang ada. Pengakuan akan nama galur dari masing-masing daerah dan membuat kemiripan performa itik antara daerah satu dengan derah lainnya. Fakta tersebut telah menghantar akan banyaknya nama itik yang disesuaikan dengan nama daerah, dimana ternak tersebut beradaptasi dan berkembang biak dengan baik. Konsekuensi dari pengakuan tersebut merupakan indikasi bahwa ternak itik sudah lama dipelihara dan cukup berkelanjutan (sustainable). Itik Alabio dan itik Mojosari merupakan dua dari banyak nama lokal itik yang cukup populer di Indonesia. Secara genetik memiliki jarak pertalian kekerabatan yang digambarkan melalui pohon dendrogram yang relatif jauh (Hetzel, 1985). Itik Alabio lebih seragam dibanding dengan itik Mojosari maupun galur lainnya (Prasetyo dan Susanti, 1996). Itik Alabio. Itik lokal ini berasal dari daerah di Kalimantan Selatan, dan secara fenotipe berbeda dengan galur lokal lainnya karena tingkat keseragam pola warna tubuhnya. Bahkan Naware dan Ardi (1979) mengidentikkan fenotipe yang ada pada diri itik Alabio dengan itik lokal Philipina. Adanya beberapa kesamaan sifat fenotipe dari dua galur yang secara geografis jaraknya cukup jauh diduga bahwa masuknya itik ke Kalimantan Selatan berasal dari Cina melalui Philipina. Hal ini berbeda dengan dugaan yang disampikan Robinson et al. (1977), beda 6

24 7 pendapat tersebut bukan suatu hal yang prinsip bahkan merupakan wacana yang akan memperkaya eksistensi itik lokal. Warna bulu pada itik Alabio menurut Robinson et al. (1977) adalah bercak putih di atas warna dasar coklat tua sampai kelabu. Paruh dan kakinya memiliki warna jingga. Sikap badan tampak kurang tegap, tidak sebagaimana yang ada pada itik Tegal. Rataan produksi telur itik Alabio (duck day) pada hasil pencatatan hingga minggu ke 68 menunjukkan jumlah sebesar 180 butir yang secara statistik nyata lebih tinggi dibanding dengan produksi telur itik bangsa Bali maupun Tegal (Hetzel, 1985). Menurut Setioko dan Rohaeni (2001) produksi telur mencapai kisaran antara 48-66% menurut jenis dan susunan pakan yang diberikan dengan rataan produksi tertinggi antara 67-81%. Itik Mojosari. Galur itik ini berasal dari desa Mojosari kabupaten Mojokerto, mempunyai variasi warna bulu dasar yang umum diketahui coklat tua sampai sedang dengan sedikit kombinasi putih. Warna putih polos sering muncul pada kelompoknya, namun frekuensinya kecil. Warna paruh dan kaki pada umumnya hitam, dan akan tampak lebih hitam lagi bagi itik jantan. Bentuk badan adalah langsing dengan posisi badan tegak (Prasetyo dan Susanti, 1996). Laju pertambahan bobot badan (PBB) hingga umur 8 minggu sebesar g untuk itik jantan. Sedangkan bagi anak betina PBB pada umur yang sama relatif lebih rendah yaitu g. Umur pertama bertelur ±25.08 hari dengan rataan bobot telur pertama sebesar 56.52±6.49 g (Prasetyo dan Susanti, 1997). Lebih jauh dilaporkan bahwa bobot badan pertama bertelur itik Mojosari adalah ±147.2 g. Peningkatan produksi telur hingga mencapai puncak produksi dicapai antara minggu ke-14 dan ke-17 yaitu 87.14% (Prasetyo dan Susanti, 1996). Keterangan di atas menunjukkan bahwa produksi telur itik Mojosari cukup baik, dan potensi sebagai itik petelur tidak kalah dengan jenis itik yang lainnya. Oleh karena itu layak dipakai dalam program persilangan dalam membentuk galur induk yang unggul seperti galur MA. Laporan Prasetyo dan Susanti (1997) telah membuktikan bahwa persilangan itik Mojosari dengan itik Tegal tidak 7

25 8 menunjukkan heterosis pada sifat-sifat pertumbuhan pada tahap awal (sampai dengan 8 minggu). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa jenis-jenis itik tersebut baik Mojosari maupun Tegal adalah jenis petelur sehingga tidak dapat diharapkan adanya keunggulan dalam produksi daging dengan menggunakan persilangan (Prasetyo dan Susanti, 1997). Oleh karena itu persilangan dengan galur lain yang tipe pedaging diharapkan akan lebih baik. Itik Pekin. Itik Pekin meskipun berasal dari Cina, namun Tai (1985) melaporkan bahwa Pekin yang ada di Taiwan diimpor dari Amerika pada tahun 1942, kemudian untuk tahun-tahun berikutnya dilanjutkan impor dari negara Eropa (Inggris dan Denmark) maupun Australia. Bobot badan pada umur 10 minggu mencapai 2252 g dan akan meningkat menjadi 2918 g pada umur 20 minggu. Umur pertama bertelur itik Pekin adalah 191 hari dengan produksi telur 105 butir per tahun. Hasil seleksi bobot badan itik Pekin dapat meningkatkan efisiensi pakan, yaitu adanya perubahan respon sebesar -40 g pakan setiap generasi. Artinya bahwa setiap satu kilogram bobot badan akan menghabiskan pakan lebih rendah atau berkurang 40 g dibanding dengan generasi sebelumnya (Wilson et al., 1997). Persilangan Antar Genotipe Sebagai itik tipe petelur, itik local berpenampilan bobot badan ringan sehingga produksi daging relatif rendah. Ini berbeda dengan tipe dwiguna, disamping memiliki kemampuan produksi telur cukup baik juga memiliki tubuh yang relatif lebih besar dibanding tipe petelur. Di Indonesia belum ada itik yang dianggap sebagai tipe dwi guna, mengingat itik Alabio yang memiliki badan relatif lebih besar dibanding dengan itik-itik lainnya juga belum mencerminkan sebagaimana yang dimaksud tersebut. Bahkan secara jelas Hetzel (1985) menjelaskan bahwa itik-itik yang ada di Indonesia memiliki performa yang kecil sehingga sulit untuk diperbaiki meskipun melalui seleksi yang terarah sebagai itik yang menghasilkan produksi daging yang baik. Oleh karena itu disarankan untuk menyilangkan dengan itik yang memiliki sifat pertumbuhan tinggi. 8

26 9 Lebih jauh Hetzel (1985) mengevaluasi hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan Entog jantan mampu meningkatkan bobot badan sebesar 30% dan 40% untuk masing-masing umur 8 dan 12 minggu. Sedangkan bila disilangkan dengan itik Pekin maka pada dua umur yang sama dengan di atas hasil bobot badannya meningkat 50% dan 48%. Dengan demikian silang antar genotipe antara Pekin dengan Alabio menghasilkan performa yang lebih baik, meskipun hasil tersebut tidak mengevaluasi produksi telur. Pemaparan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa itik lokal yang bila hanya disilangkan dengan entog hanya akan mendapatkan kenaikan bobot badan sebesar 30%-40% saja. Kondisi ini dirasakan juga menjadi masalah di Taiwan, yang menunjukkan bahwa silang antara itik lokal Tsaiya coklat dengan entog yang dilakukan peternak ternyata menghasilkan mule duck tipe kecil. Sementara sedikit lebih baik penampilan bobot badannya bila itik lokal Indonesia disilang dengan Pekin dengan kenaikan berkisar antara 48% hingga 50%-nya. Tetapi untuk menjadikan sebagai galur induk bagi mandalung belum menjadi skala prioritas pada saat itu. Sadar akan masalah di atas maka Lee (1998) melaporkan bahwa hasil penelitiannya di ILAN RESEARCH STATION (DUCK RESEARCH CENTER) (TLRI) pihak pemerintah Taiwan mengimpor Pekin untuk memperbaiki performa dari Tsaiya putih sehingga terbentuk itik Kaiya. Namun demikian dari kelompok Tsaiya putih sendiri masih menunjukkan keragaman tinggi, maka dengan seleksi yang ketat atas hasil perkawinan antar Tsaiya putih tersebut ternyata mampu membentuk bangsa baru diberi nama Ilan Tsaiya di tahun Itik Ilan Tsaiya ini yang kemudian disilang dengan pejantan Pekin untuk membentuk Kaiya sebagai galur induk (Lee, 1998). Mojosari putih merupakan model yang diharapkan dapat dijadikan pola yang mirip dengan cara membentuk Kaiya. Genotipe Peking Mojosari (PM) inilah yang diharapkan dapat dikembangkan sebagai galur induk mandalung yang relatif unggul, sehingga pemberdayaan sumber genetik itik lokal akan lebih terarah. Itik mandalung (mule duck). Itik mandalung merupakan hasil perkawinan antara entog jantan dengan itik betina. Avanzi dan Crawford (1993) menjelaskan 9

27 10 bahwa produk silang ini bersifat steril (infertil). Tetapi bila pejantannya itik dan betina entog maka hasil keturunannya memiliki pertumbuhan yang tidak sama. Anak jantan tumbuh lebih cepat dibanding anak betina, dan memiliki libido yang kuat serta kadang-kadang bersifat fertil. Untuk anak betina produksi telur cukup baik tetapi ukuran telurnya kecil sehingga tidak baik untuk dibuahi. Dari segi behavior atau pola tingkah laku menunjukkan bahwa itik mandalung cenderung tenang, lebih jinak dan tidak terlalu ribut atau gaduh sehingga mudah dipelihara. Kondisi ini sangat berbeda dengan itik Pekin yang cenderung nervous dan berisik (Hoffman dan Canning, 1993). Retailleau (1999) melaporkan bahwa itik mandalung memiliki sifat pertumbuhan diantara kedua tetuanya yaitu entog dan Pekin hingga umur 28 hari. Namun untuk umur hari pertumbuhan itik mandalung jantan cenderung lebih rendah dari entog. Sementara mandalung betina menunjukkan performa yang terbaiknya pada umur hari. Itik mandalung akan mencapai masak kelamin relatif lebih dini dan memberikan otot dada yang lebih besar bila dibanding dengan entog. Sementara untuk Pekin pencapaian masak kelamin juga lebih dini, tetapi pertumbuhan otot dada cenderung lebih kecil bila dibanding dengan entog (Rouvier, 1999). Tai (1985) melaporkan bahwa rataan bobot badan itik mandalung pada umur 10 minggu adalah 2.20 kg untuk hasil persilangan dua bangsa yaitu Entog dan Tsaiya, sedangkan untuk 3 bangsa yaitu Entog x Kaiya didapat rataan bobot badan itik mandalung sebesar 2.57 kg. Pada sisi lain Harahap (1993) yang mencoba menyilangkan jantan entog dengan betina itik dari ternak lokal mendapat anak keturunan F 1 yang memiliki kualitas daging yang cukup disukai oleh panelis, dengan bobot badan umur 10 minggu ± 1.7 kg (baik jantan maupun betina). Sedangkan bila pejantannya itik dan induknya entog maka bobot badan mandalung pada umur yang sama (10 minggu) untuk jantan 2 kg sedang untuk betina 1.2 kg. Proporsi jenis kelamin anak dari 224 butir telur yang ditetaskan menunjukkan bahwa 61% telur itik mandalung menetas berkelamin jantan dan 39% berkelamin betina (Dharma et al., 2001). 10

28 11 Menurut laporan Siswohardjono (1986), efisiensi pakan itik mandalung dari dua genotipe hasil silang resiprokal antara : itik jantan Alabio dengan betina entog yaitu 4.3 dan jantan Entog dengan betina Alabio sebesar 4.97, ternyata lebih baik dibanding itik lokalnya (5.45). Akan tetapi nilai efisiensi kedua mandalung tersebut nyata lebih tinggi dari nilai efisiensi pakan yang ada pada entog (3.42). Dari hasil tersebut tampak jelas bahwa tingkat efisiensi pakan itik mandalung berada diantara kedua tetuanya. Beberapa hasil penelitian yang disampaikan di atas tampak jelas bahwa silang itik lokal dengan entog tanpa memperbaiki galur induk hanya akan menghasilkan mandalung relatif kecil dengan tingkat efisiensi pakan yang rendah. Oleh karena itu hadinya galur induk sangat strategis dalam pengembangan itik mandalung yang relatif lebih efisien. Sifat Kualitatif Seleksi yang dilakukan oleh peternak itik di pedesaan biasanya tidak dilakukan dengan menggunakan produktivitas, karena sistem pencatatan produksi tidak pernah dilakukan. Peternak yang memiliki pengalaman cukup baik, melakukan seleksi didasarkan pada bentuk dan rupa secara kasat mata. Bentuk hanya dilakukan pada kondisi besar tubuh yang tentunya terkait dengan bobot badan. Sedangkan rupa ternyata lebih banyak memerlukan pertimbangan seperti proporsi setiap anggota tubuh, warna bulu tertentu yang menurut pengalaman akan memprediksikan munculnya fisat produksi yang baik pada keturunannya, bentuk kaki dan sebagainya. Semua penilaian ini diramu secara baik, dan diharapkan mampu menjadi kriteria yang menjadi keyakinan peternak untuk memilih bibit yang baik. Warna dasar bulu itik. Pewarisan warna bulu merupakan suatu kompleksitas genetik, bagian terpenting dalam interaksi inter maupun intra alel. Hal ini tidak saja terjadi pada mutasi yang terdahulu, tetapi juga melibatkan aksi gen-gen yang cenderung lebih komplek dan belum teridentifikasi. Oleh karena itu ekspresi warna bulu adalah sifat multi genik dan dipengaruhi oleh aksi gen dominan (banyak gen-gen yang berperan), epistatis dan interaksi gen (Smyth, 11

29 ). Sebagai gambaran Jaap dan Milby (1944) menjelaskan bahwa warna dasar yang penting dari Mallard hanya ada 2 yaitu warna abu-abu atau grey (G) yang umumnya merupakan varitas dari warna buff dan carier normal D, yang hasil dilusi melanin (hitam) oleh gen d terkait kelamin tersebut akan menghasilkan warna coklat lurik yang lebih terang sebagaimana yang dilihat pada pola warna bulu itik Khaki Campbell. Warna putih pada ternak unggas merupakan hasil sinergi dari derajat variasi melanin pada berbagai jaringan. Apabila kehadiran melanin mungkin saja tidak ada, atau terlalu tinggi tingkat reduksi atau bahkan hilangnya melanin tidak tergantikan sehingga fungsi melanin dalam kulit dan jaringan tidak berjalan sebagaimana mestinya akan mempengaruhi pola warna baik bulu, kulit maupun mata serta organ fenotipe lainnya. Bahkan secara ekstrim tampak bahwa tidak adanya melanin maka tidak akan terjadi pigmentasi pada bulu. Akibatnya tidak saja pada warna bulu tetapi pigmen tersebut juga tidak muncul pada organ mata. Melanin dihasilkan dari oksidasi phenol asam amino tyrosin yang dilakukan oleh ensim (Smyth, 1993). Standar warna bulu itik dan fungsi gen yang diberikan oleh Jaap dan Hollander (1954) adalah putih (c) yang berperan untuk meniadakan produksi pigmen kecuali pigment untuk mata; warna hitam (E) dengan pemunculan warna hitam pada bulu penutup tubuh; dilusi khaki (d) yang bertindak untuk merubah warna hitam menjadi coklat; pola Runner (R) secara lokal (spot) akan meniadakan pigmen pada leher, sayap dan perut; biru keabu-abuan (Bl) mengurangi produksi pigmen hitam; warna terang (li) mengurangi garis-garis pada bagian kepala; restriksi (M R ) mengurangi pigmen spot pada sayap dorsal dan dusky (m d ) berperan untuk meningkatkan pigmen hitam, membuat gelang pada leher. Terjadinya warna putih (c) resesif menurut Lancaster (1993) dikontrol oleh gen autosomal atau gen pada kromosom selain kromosom sex, anak itik akan muncul bulu putih bila gen-nya adalah homosigot. Untuk warna putih salju diduga terjadinya mutasi dari warna bulu DOD yang kuning menjadi putih salju merupakan pengaruh gen-gen yang ada. Hanya apakah gen yang bertanggung jawab tersebut adalah autosomal atau terkait kelamin, belum banyak dilaporkan. Lebih jauh review Lancaster (1993) mengungkapkan bahwa warna putih 12

30 13 komplementer terjadi karena hasil persilangan antara itik jantan putih dengan betina putih Mallard, dengan hasil progeninya memiliki bulu berwarna. Akan tetapi bulu yang berwarna tersebut saling berkomplemen dengan warna putih resesif. Gen-gen lain yang bertanggung jawab untuk penurunan sifat bulu putih adalah homosigot resesif bib (b) autosomal, menurut Campbell (1984) aksi gen ini akan memunculkan warna putih hanya pada area sayap dan dada. Lebih jauh dijelaskan bahwa itik yang memiliki gen bib (b) dicirikan dengan luasnya area bulu putih dan warna claret pada sekitar dada baik pada itik jantan maupun betina. Sementara warna putih primer (w) dapat dihasilkan dari salah satu gen atau dua-duanya yaitu white primeries (w) dan Runner (R). Kedua gen ini dalam kondisi yang homosigot resesif, karena menurut Campbell (1984) warna hitam akan muncul pada keadaan pasangan alel pada lokus yang heterosigot (B/b, W/w) atau homosigot dominan (B/B, W/W). Untuk (w) bersifat resesif dan autosomal dengan karakteristik DOD adalah white primeries dapat dilihat pada paruh, kaki, dan sayap (Lancaster 1993). Romanov et al. (1995) melaporkan bahwa itik putih di Ukraina merupakan hasil segregasi dari itik warna bulu penutup tubuh yang berwarna abu-abu (grey) dan sifat warna putih adalah resesif (gen c). Sifat lain dari itik putih Ukraina adalah warna kulit yang putih dengan pembawa gen Y atau kulit warna kuning dengan pembawa gen y+ dan warna kerabang telur putih (gen g). Pemaparan di atas tampak bahwa sifat pemunculan warna putih banyak dibawa oleh gen autosomal, namun demikian sifat gen yang resesif sangat mudah untuk terjadinya mutasi gen. Oleh karena itu galur induk mandalung yang akan dikembangkan hendaknya memiliki sifat gen resesif dengan tanpa membawa karier gen warna. Galur induk yang memenuhi harapan ini, diduga dapat diperoleh dengan melakukan seleksi yang ketat. Warna bulu penutup tubuh pada itik mandalung sangat mempengaruhi penerimaan konsumen, itik mandalung dengan warna coklat tua atau hitam akan menghasilkan karkas dengan bulu halus berwarna gelap. Kondisi ini diduga sebagai akibat adanya residu melanin dalam folikel setelah bulu dicabut (Smyth, 1993). Esensi kepentingannya bahwa penampakan karkas tersebut akan 13

31 14 memberikan kesan kotor sehingga mengurangi preferensi konsumen. Untuk menghilangkan kesan tersebut Tai et al. (1997) merintis seleksi secara berkesinambungan hasil keturunan dari 800 ekor itik Tsaiya putih yang didatangkan dari seluruh pelosok negara tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan itik Tsaiya putih yang menghasilkan mandalung berbulu putih dilakukan selama 17 tahun. Diikuti dengan mengimpor Pekin sebagaimana yang dilaporkan Lee (1998). Penurunan pola warna bulu terhadap zuriat. Program pengembangan itik putih Ukraina lebih lanjut tampak disilangkan dengan itik Pekin untuk menghasilkan galur sintetik dengan arah pola warna yang lebih memiliki prospek bagi pengembangan ternak itik (Romanov et al., 1995). Pada sisi lain Tai et al. (1997) menjelaskan bahwa hasil silang antara itik Tsaiya putih dengan pejantan Pekin (silang 2 bangsa) maupun hasil keturunannya untuk disilangkan lagi dengan jantan entog (silang 3 bangsa) ternyata frekuensi pemunculan warna putih akan semakin rendah persentasenya pada silang 3 bangsa dibanding dengan silang 2 bangsa. Oleh karena itu Hoffman dan Canning (1993) menyarankan dipilihnya itik yang membawa gen putih dominan yang mudah dikenali yaitu pada bagian muka maupun kepala memiliki belang kecil berwarna hitam. Lebih jauh Tai et al. (1997) melaporkan bahwa dengan seleksi yang intensif menunjukkan bahwa itik Pekin (L201) yang di test-cross dengan entog akan meningkatkan persentase warna putih pada mule duck dari 18.6% pada generasi ke 10 menjadi 80.1% pada generasi ke 14. Sedangkan itik Kaiya yang merupakan hasil silang betina Tsaiya putih (generasi ke 15) dengan jantan Pekin (generasi ke 13) berkisar antara % untuk kelompok warna putih solid dan % untuk kelompok warna spot hitam pada kepala dan punggung. Pola penurunan sifat bulu secara terinci dilaporkan oleh Hardjosworo et al. (2001) bahwa hasil persilangan antara entog jantan putih dengan itik betina coklat menghasilkan anak dengan warna bulu 58% hitam, 28% hitam bercak putih, 12% putih bercak hitam dan 2% berwarna putih (solid). Sedangkan itik jantan coklat yang dikawinkan dengan entog betina putih akan menghasilkan anak-anak dengan 14

32 15 warna bulu putih bercak warna sebanyak 61%, putih (solid) 36% dan hitam bercak putih 3%. Meskipun hasil tersebut diindikasikan adanya pengaruh yang kuat pada induk-induk yang memiliki warna bulu putih untuk menghasilkan keturunan dengan peluang berbulu putih lebih tinggi. Campbell et al. (1984) yang menyilangkan itik Rouens dengan pola warna Mallard terhadap itik Pekin warna putih diperoleh bahwa semua anak yang dihasilkan adalah berwarna. Hal ini dapat dimaklumi karena warna putih pada itik Pekin adalah autosomal resesif (c/c). Munculnya warna bulu hitam merupakan carier yang tidak diekspresikan pada tetuanya yaitu Pekin. Lebih jauh Jerome (1954) mempertanyakan mengapa semua progeni hasil persilangan antara angsa jantan Emden yang memiliki pola warna spot-spot dengan angsa betina Pilgrim yang berwarna solid putih keabu-abuan menghasilkan warna bulu penutup tubuh putih. Ternyata angsa dewasa galur Pilgrim yang berkelamin jantan adalah putih sedangkan untuk betina solid putih keabu-abuan. Sebagaimana diketahui bahwa single gen dilusi yang terpaut kelamin jika dikombinasikan dengan warna solid akan menghasilkan warna terang. Dengan demikian warna spot pada jantan Emden akan didilusi dengan dominan solid dan menghasilkan warna terang. Kondisi tersebut berbeda dengan Campbell et al. (1984) bahwa warna bulu hitam merupakan alel dominan atau faktor pasangan bebas pada lokus yang berbeda. Sementara munculnya warna putih pada beberapa ekor dibagian sayap dan dada dari persilangan tersebut di atas (Rouen pola Mallard dengan Pekin) dipengaruhi oleh gen putih resesif bib (b) dan putih resesif utama (w). Sifat bulu putih yang diturunkan tetua kepada anaknya menurut Carefoot (1979) dibawa oleh gen yang berasal dari tetua dengan warna bulu yang terang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk ayam dengan bulu bright Partridge yang disilangkan dengan jantan berbulu silver Pencilled telah memberikan 12 anak ayam yang semuanya berwarna. Hal ini membuktikan bahwa alel pembawa warna bulu putih yang resesif tidak terdapat pada pejantan silver Pencilled. Warna putih resesif hasil inter-se dibawa oleh bright Partridge (Carefoot, 1979). 15

33 16 Pola interaksi yang ditunjukkan oleh Fox dan Smyth (1985) antara ternak broiler putih dominan (I vs i + ) dengan putih resesif (C + vs c) akan menghasilkan anak sintetis dengan segregasi sebagai berikut : (1) I/i + C + /- fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus dan warna bulu penutup tubuh putih dengan bercak-bercak hitam. (2) I/i + c/c fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus dan warna bulu penutup tubuh putih polos tanpa adanya bercak-bercak hitam. (3) i + /i + C + /- fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus dan warna bulu penutup tubuh exhibit berpigmen penuh. (4) i + /i + c/c fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus menunjukkan variasi mulai warna putih kotor (asap) dan warna bulu penutup tubuh putih agak kekotor-kotoran (keasap-asapan). Dua pasang gen yang diketahui oleh Bihatnagar et al. (1972) bahwa yang bertanggung jawab mengontrol warna bulu paha pada ayam yaitu satu pasang alel putih (W) autosomal karena tidak munculnya xanthopyll dan warna kuning (w) karena adanya xanthopyll. Sifat kualitatif yang terkait dengan pola warna bulu tampak bahwa pada berbagai negara yang sudah maju, galur induk dengan bulu putih lebih menarik untuk dikembangkan dibanding pola warna lainnya. Mungkin pola warna putih akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan galur induk di Indonesia untuk menghasilkan itik mandalung yang berbulu putih. Pola pertumbuhan dan pendugaan non-linier. Keseragaman biologis itik dalam satu kelompok memiliki arti yang sangat penting untuk mendapatkan keseragaman yang optimal baik dalam hal pertumbuhan, waktu mulai bertelur, puncak produksi, daya tetas dan lain sebagainya. Pertambahan bobot badan (PBB) masih merupakan parameter penting yang digunakan untuk menaksir ternak, pada saat dimana PBB tinggi ada dugaan kuat bagi itik dara untuk cepat mulai bertelur. Namun Hardjosworo et al. (2001) mengingatkan bahwa masih ada cara lain yang dapat digunakan untuk menaksir kesiapan ternak dara mendekati masa bertelur atau belum yaitu dengan melihat seberapa jauh jarak tulang pubis dengan cara menidurkan ternak sehingga posisinya menjadi terlentang. Pada posisi ternak 16

34 17 berdiri perbedaan jarak tulang pubis tidak tampak nyata akibat tertekan isi perut. Semakin jauh jarak tulang pubis ternak maka dapat dipastikan bahwa ternak sudah mendekati untuk masa bertelur. Laju pertumbuhan relatif pada organ dan jaringan otot hasil penelitian Brun et al. (1995), mulai dari yang tercepat adalah sayap (7.5%) < total kedua paha paha (9.1%) < karkas (10.9%) < otot dada khususnya otot pectoralis major (12.8%) < otot dada yang meliputi juga kulit dan lemak subkutan (15.7%) < kulit dan lemak subkutan pada paha dan dada (26.8%) < lemak abdominal (84,6%). Namun untuk jenis ternak Brun et al. (1995) mendapat laju pertumbuhan relatif yang lebih cepat pada mandalung hasil silang dengan betina Pekin dan yang paling lambat adalah mandalung hasil silangan dengan betina Tsaiya. Menurut Myers (1986) pertumbuhan sigmoid yang digunakan dalam persamaan matematik model Gompertz dapat diterapkan pada berbagai situasi pertumbuhan. Sebagai catatan bahwa model ini memiliki eksponensial ganda dan memiliki 4 karekater yaitu akselerasi (sudut kecepatan pertumbuhan), titik belok dari fase cepat ke lambat atau sebaliknya, asimtot merupakan indikasi ukuran dewasa tubuh dan penurunan untuk menuju ukuran yang relatif konstan (Chamber 1993). Dengan demikian parameter A (bobot asimtot) merupakan pertumbuhan yang terbatas akan mencapai puncaknya pada saat tertentu, kemudian berjalan tetap atau bahkan menurun. Mellett dan Randall (1994) maupun Larzul et al. (1999b) menyatakan bahwa dengan pendekatan persaman non-linier model Gompertz ternyata memberikan dugaan yang cukup baik, terutama untuk melihat hubungan antara umur dengan bagian tubuh. Penggunaan persamaan model Gompertz cenderung lebih umum untuk dapat diterapkan ke dalam berbagai pertumbuhan mahluk hidup. Hal ini dapat dilihat atas laporan Shoukun et al. (1999) terhadap kurva pertumbuhan entog melaporkan hasil bahwa analisis pertumbuhan non-linier untuk periode penetasan (pertumbuhan embrio) cenderung lebih baik dengan menggunakan model Logistic, akan tetapi untuk melihat karakter pertumbuhan dengan kurva non-linier maka disarankan untuk menggunakan model Gompertz. Disamping itu Wiederhold dan Pingel (1997); Ksiazkiewicz et al. (1997) menggunakan persamaan non-linear model Gompertz pada berbagai ternak unggas air sepeti angsa, entog dan itik dari berbagai galur. 17

35 18 Secara jelas Okamoto et al. (1996) melaporkan bahwa sebelum dilakukan analisis pertumbuhan individu pada burung puyuh hasil seleksi pada umur 6 minggu maka pada analisis awal menunjukkan bahwa model Gompertz cenderung lebih baik. Hal tersebut didasarkan pada rendahnya nilai eror dan standar deviasi di atas 90% menunjukkan bobot asimtot. Bobot asimtot pada itik pejantan yang diseleksi oleh Maruyama et al. (1999) untuk mendapatkan pola pertumbuhan terbaiknya menunjukkan kisaran bobot antara 4437 g hingga 3008 g. Sementara untuk bobot karkas asimtot dicapai pada kisaran bobot 3334 g hingga 2098 g. Pendugaan pertumbuhan maksimum itik Pekin dicapai pada saat umur 16.5 hari (jantan) dan 16.3 hari (betina), entog 41.7 hari (jantan) dan 32.4 hari (betina), sedangkan pada angsa adalah 30.6 hari (jantan) dan 29.1 hari (betina) sebagaimana yang dilaporkan oleh Wiederhold dan Pingel (1997). Titik belok (inflection point) yang dicapai pada ternak angsa dengan pendekatan persamaan Richard berkisar antara hari, sedangkan pada itik dicapai umur hari (Knizetova dan Hort, 1997). Namun demikian Knizetova et al.. (1983) melaporkan adanya kelemahan dari fungsi tersebut yaitu adanya tendensi tingginya nilai deviasi, terutama pada pola pertumbuhan anak ayam sebelum mencapai umur 6 minggu. Lebih jauh Maruyama et al. (1999) menjelaskan bahwa untuk mencapai titik belok didapat pada umur berkisar antara 22.5 hari hingga 25.3 hari bagi parameter bobot badan. Adapun untuk bobot karkas, titik belok dicapai pada umur antara 25.4 hari hingga 29.6 hari. Hasil yang tidak jauh dari data di atas telah dilaporkan oleh Rouvier (1999) bahwa ternak itik akan mencapai titik belok pada umur 25.5 hari baik untuk itik betina maupun jantan. Sementara untuk ternak entog relatif lebih panjang yaitu 30 hari untuk kelamin betina dan 35 hari untuk kelamin jantan. Itik mandalung terjadi pada umur 30.3 dan 30.5 hari. Pola pertumbuhan organ itik dari 4 genotipe yaitu masing-masing Mallard, Pekin, Muscovy dan hasil persilangan Muscovy x Pekin menurut laporan Gille et al. (1999) lebih cepat dibanding laju pertumbuhan bobot badannya kecuali pada organ oesophagus. Hal ini terjadi karena pertumbuhan organ oesophagus mengikuti pola pertambahan bobot badan. Shoukun et al. (1999) telah mencoba mendalami pola pertumbuhan non-linier dengan hasil bahwa titik belok bobot badan entog jantan terjadi pada bobot 1309 g yang dicapai pada umur 41 hari 18

36 19 dengan pertumbuhan tertinggi mencapai 51 g. edangkan pada entog betina titik belok dicapai pada bobot 735 g dengan umur 32 hari serta pertumbuhan tertingginya adalah 34 g. Hasil perhitungan persamaan yang dilakukan Ksiazkiewicz et al. (1997) dapat dituliskan sebagai W(t)= *exp[-4.77*exp( *t) untuk pejantan dan W(t)= *exp[-4.79*exp( *t) untuk betina pada itik Pekin. Maksud dari notasi t memberikan pengertian untuk umur dalam hari. Nilai persamaan Gompertz yang tidak membedakan jenis kelamin Pekin diperoleh persamaan sebagai W(t)= *exp[-4.78*exp( *t). Lebih jauh Ksiazkiewicz et al. (1997) melaporkan pula bahwa untuk kondisi itik Khaki Campbell persamaan yang didapat sebagai berikut W(t)= 2285*exp[-4.63*exp( *t) untuk jantan, W(t)= 1992* exp[-4.44*exp( *t) untuk betina dan W(t)= 2122*exp[-4.52*exp( *t) yang tidak membedakan jenis kemalin. Pola pertumbuhan maksimum pada bagian dada adalah saat ternak mencapai umur 44.6 dan 42.5 hari, adapun bagian otot paha adalah 19 dan 17 hari untuk masing-masing jantan dan betina pada itik Pekin. Sedangkan pada entog dilaporkan bahwa pertumbuhan maksimum otot dada adalah 41.7 dan 32.4 hari dan otot paha 34 dan 26 hari. Sementara pada ternak angsa umur yang dicapai untuk pertumbuhan dari kedua bagian tubuh adalah 51 dan 55 hari (otot dada) dan 25 dan 24 hari (otot paha) (Wiederhold dan Pingel, 1997). Dengan melihat laju pertumbuhan, terutama PBB yang tinggi pada galur induk diharapkan memiliki kesempatan untuk bertelur lebih cepat. Sementara penggunaan model pertumbuhan non-linier merupakan alat untuk memprediksi letak titik belok. Tampak yang paling lambat adalah bagian dada yaitu di atas 40 hari, diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam sistem menejemen pakan yang lebih terarah bagi mandalung. Heritabilitas Heritabilitas (h 2 ) pada umumnya diartikan sebagai ukuran rataan nilai derajat pewarisan sifat dari tetua kepada anaknya (Bourdon, 1997). Dengan istilah yang lebih sederhana oleh Warwick et al. (1984) maupun Noor (2000) menjelaskan bahwa pengertian heritabilitas terkait antara proporsi keragaman 19

37 20 fenotipe yang dikontrol oleh gen, dan proporsi keragam itu sendiri diwariskan tetuanya kepada anaknya. Nilai heritabilitas secra teori berkisar antara 0 sampai 1, tetapi pada beberapa kasus terkadang nilai taksirannya tidak demikian adanya (Bourdon, 1997). Lebih jauh Warwick et al. (1984) menjelaskan bahwa kegunaan pendugaan nilai heritabilitas adalah untuk mengetahui besarnya laju perubahan yang dicapai akibat dari seleksi suatu sifat tertentu. Oleh karena itu pengetahuan tentang besarnya nilai heritabilitas cukup penting untuk mengembangkan seleksi dan rencana perkawinan dalam upaya memperbaiki ternak. Perhitungan nilai heritabilitas dalam arti sempit yang disimbolkan dengan h 2, peranan gen non-aditif seperti gen dominan dan epistasis tidak dimasukkan. Oleh karena itu hanya gen aditif saja, mengingat daya penurunan gen dominan dan epistatis tidak semutlak aksi gen aditif. Pertimbangan lain bahwa gen non-aditif sangat kecil dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Noor, 2000). Untuk menguji ketelitian dari nilai heritabilitas maka indikator yang paling baik adalah dengan melihat nilai standar eror (SE) (Falconer dan Makay, 1996). Pada kasus dimana nilai SE yang besar akan memberikan penafsiran yang meragukan. Namun demikian metode perhitungan juga dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai hasil akhir yang didapat. Hal yang lebih kuat lagi untuk mempertajam ketepatan hasil maka jumlah individu dalam famili merupakan kondisi yang memiliki akurasi tinggi (Falconer dan Makay, 1996). Nilai heritabilitas untuk sifat reproduksi pada umumnya rendah, hal ini dapat dibuktikan dari dilaporkan Poivey et al. (2001) bahwa jumlah telur yang mampu ditetaskan nilai h 2 =0.14±0.04 untuk itik Pekin yang diseleksi sedangkan untuk itik Pekin kontrol adalah h 2 =0.10±0.01. Nilai h 2 untuk jumlah telur yang fertil relatif cukup moderat yaitu h 2 =0.30±0.03 (seleksi) dan h 2 =0.26±0.01 (kontrol). Akan tetapi jika dihitung berdasarkan jumlah embrio yang mati maka nilai h 2 =0.06±0.01 (seleksi) dan h 2 =0.09±0.02 (kontrol). Berbeda halnya dengan bobot badan, yang cenderung memiliki nilai h 2 yang moderat hingga tinggi. Sebagaimana yang dilaporkan Clayton dan Powell (1979) bahwa untuk bobot badan umur 14 hari nilai h 2 =0.67±0.13 dan pada umur 51 hari h 2 =0.76±0.13. Nilai h 2 untuk sifat bobot badan entog Taiwan termasuk dalam 20

38 21 kategori yang rendah hingga moderat. Pada umur pengamatan 10 minggu entog jantan nilai h 2 =0.24±0.03 dan betina h 2 =0.31±0.03. Nilai h 2 yang sedikit lebih tinggi dihasilkan dari perhitungan bobot badan entog umur 18 minggu, h 2 =0.36±0.04 (jantan) dan h 2 =0.43±0.04 (betina). Lebih jauh Kosba et al. (1997) menjelaskan bahwa nilai h 2 untuk sifat bobot otot/daging dada sangat bervariasi dengan rentang mulai dari 0.01 hingga 0.71 dan ini diduga justru aksi gen non-aditif tampak sangat penting dalam pewarisan sifat ini. Hasil tersebut tampaak diikuti dengan laporan Clayton dan Powell (1979) bahwa nilai h 2 untuk sifat bobot daging dada adalah 0.51±0.12. Dengan demikian nilai h 2 yang rendah hingga sedang tampaknya akan juga terjadi pada beberapa sifat produksi dari galur induk (PA maupun PM) dan juga itik mandalung yang akan diamati. Bobot badan sebagai salah satu sifat produksi sangat relevan sebagai faktor seleksi mengingat nilai h 2 yang cukup tinggi, khususnya bobot tetas (DOD). Produksi dan Produktivitas Efek positif dari perkawinan antara entog jantan dengan itik Pekin betina adalah nilai pemotongan yang terkait dengan besarnya bobot badan dan karkas lemak yang relatif lebih rendah dibanding dengan karkas itik Pekin (Wezyk, 1999). Guy et al. (1999) melaporkan bahwa pertumbuhan itik Pekin lebih dini tetapi bobot akhirnya lebih ringan dibanding dengan mandalung (Mule duck) maupun entog. Lebih jauh dijelaskan bahwa entog memiliki sifat pertumbuhan yang cukup panjang dan mendepositkan otot dada lebih tinggi dibanding Pekin maupun mandalung. Bobot badan mandalung yang dilaporkan oleh Baeza et al. (1999), pada umur potong 8 minggu mencapai 3.55±0.21 kg (jantan) dan 3.17±0.15 kg (betina). Pada umur 10 minggu, bobot potong dicapai 4.26±0.21 (jantan) dan 4.03±0.29 kg (betina). Adapun umur potong 12 minggu, bobot badan yang didapat adalah 4.59±0.29 (jantan) dan 4.07±0.40 kg (betina). Secara statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin maupun umur potong berbeda nyata (p<0.05). Kondisi kinerja produktivitas anak itik jantan lokal (Alabio dan Mojosari) serta hasil persilangannya dari sudut pertumbuhan ternyata tidak menunjukkan 21

39 22 perbedaan yang nyata terhadap kepadatan gizi ransum. Oleh sebab itu hal ini menyebabkan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase karkas dan organ dalam (Bintang et al., 1997). Lebih jauh Bintang et al. (1997) menjelaskan bahwa oarameter yang nyata (p<0.05) dipengaruhi oleh perlakuan kepadatan gizi dari 12% protein kasar dengan energi kkal hingga kandungan protein kasar 20% dengan energi kkal adalah bobot karkas, bobot dan panjang usus, pesentase ginjal dan lemak abdomen. Hal yang menarik dari laporan Guy et al. (1993) bahwa ternak itik mempunyai proporsi daging yang lebih rendah dibanding entog maupun hasil persilangan untuk menjadi mandalung. Sementara mandalung dianggap sebagai ternak dengan proporsi daging yang tinggi, ini dibuktikan pada bobot yang sama antara mandalung dengan entog maka proporsi daging dada (pectoralis major) lebih tinggi pada mandalung (Guy et al., 1999). Hasil perbandingan umur potong dengan tanpa membedakan jenis kelamin yang dilakukan Sunari et al. (2001) memberikan hasil bahwa bobot potong mandalung umur 12 minggu nyata (p<0.01) lebih berat dibanding dengan bobot umur potong lainnya yaitu 6, 8 dan 10 minggu. Dari ketiga umur tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap bobot potong. Tetapi untuk persentase giblet yang terdiri dari hati jantung empela, limpa dan leher dari keempat umur pemotongan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk non pangan seperti kepala, kaki, usus dan lemak abdominal tampak bahwa umur potong 6 minggu nyata lebih rendah persentasenya dibanding umur lainnya. Baeza et al. (1999) membandingkan umur dan kelamin mandalung di Perancis yang diberi pakan 190 g PK/kg dengan energi MJ ME/kg untuk umur 0-8 minggu dan 160 g PK/kg dengan energi yang sama untuk umur 9 hingga 13 minggu menunjukkan bahwa proporsi bobot daging dada terhadap bobot badan pada umur potong 8 minggu sebesar 6.65±1.05% untuk jantan dan 6.69±0.44% untuk betina. Kondisi ini berbeda nyata (p<0.05) terhadap umur lainnya, tetapi tidak nyata terhadap perbedaan jenis kelamin pada umur yang sama. Dilain pihak tampak bahwa semakin tinggi serat kasar dalam pakan itik Tegal, bobot ventrikulus meningkat (Ulupi, 1993). Triyantini et al. (1997) melaporkan bahwa ternak itik yang dipelihara secara ekstensif memiliki persentase berat karkas yang lebih rendah dibanding ternak 22

40 23 lainnya seperti ayam ras maupun ayam buras, bahkan hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan Iskandar et al. (1993). Namun demikian Iskandar et al. (2000) menjelaskan bahwa semakin bertambahnya umur itik dari umur 5 menjadi 10 minggu membawa konsekuensi meningkatnya persentase bobot karkas dari 50-58% menjadi 59-62%. Sementara untuk komponen kulit mengalami penurunan dari antara 14-18% pada umur 5 minggu menjadi 12-15% pada umur 10 minggu. Setioko et al. (2002) mendapatkan hasil bahwa potongan karkas komersial pada itik mandalung adalah sebagai berikut: bobot paha relatif lebih tinggi (251 g) yang kemudian disusul dengan berat potongan bagian dada (171 g) dan potongan sayap (170 g). Iskandar et al. (1997) secara lebih detail melaporkan bahwa persentase bobot otot daging yang dapat dimakan pada masing-masing bagian potongan karkas komersial tampak bahwa bobot otot paha betis memiliki proporsi yang tertinggi yaitu antara % untuk galur lokal Tegal, Magelang, Turi, dan Mojosari. Namun untuk itik Alabio bobot otot daging dada (10.40%) relatif lebih tinggi dibanding otot paha betis (9.58%). Dengan melihat kenyataan di atas maka tampak bahwa pertumbuhan otot yang paling besar terjadi pada bagian paha dan betis bagi itik lokal diluar itik Alabio. Hal ini dapat dipahami karena habitat aslinya itik berada di air sehingga kekuatan otot paha dan betis harus lebih besar untuk memiliki kemampuan daya jelajah yang lebih tinggi dalam berburu pakan. Tampak bahwa bangsa dan lingkungan sangat berperan dalam mendukung produksi dan produktivitas mandalung. Peranan galur induk yang merupakan galur sintetis sebagaimana yang banyak dilakukan dinegara maju, berperan nyata dalam meningkatkan bobot potong mandalung. Tentunya keterkaitan antara bobot potong terhadap bobot karkas dan non-karkas juga akan berpengaruh menjadi lebih tinggi. 23

41 24 MATERI DAN METODE 1. Lokasi dan Materi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kandang percobaan itik milik Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Ternak itik maupun entog yang digunakan untuk penelitian ditempatkan dalam kandang individual (cages) maupun koloni, sesuai dengan tahapan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan observasi dan penanganan ternak sesuai dengan rancangan percobaan. Materi ternak yang digunakan adalah itik pejantan Pekin, induk Alabio, Mojosari putih dan entog pejantan lokal. Alasan dasar digunakan galur Alabio karena materinya cenderung seragam, prolifik (produksi telur tinggi), performans bobot badannya lebih besar dan karkasnya tidak memberikan kesan kuat terhadap aroma / bau amis (off-flavour). Galur Mojosari dipilih pola warna putih dengan alasan bahwa sifat penurunan fenotipik seperti warna bulu penutup tubuhnya akan lebih mendekati sifat kualitatif yang menjadi preferensi konsumen dan juga memiliki produksi telur yang cukup tinggi. Masuknya darah Pekin diharapkan dapat memperbaiki performans itik lokal sebagai tipe dwiguna yaitu disatu pihak berfungsi sebagai petelur dan dilain pihak sebagai pedaging. Sebagi calon galur induk, selain performans diharapkan juga dapat memperbaiki konversi pakan. Kehadiran pejantan entog putih pada silang tiga bangsa diharapkan akan lebih memantapkan zuriatnya untuk memiliki laju pertumbuhan tinggi. Sasaran lainnya adalah ternak mandalung memiliki perototan dibagian dada yang lebih baik serta senantiasa mendapatkan karakteristik warna bulu yang lebih banyak warna terang, sebagaimana yang diminati oleh konsumen. 2. Penelitian Tahap Pertama Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian adalah pembentukan dua genotipa itik betina sebagai calon galur induk. Untuk membentuk calon galur induk itik yang diinginkan maka akan silangkan 3 galur itik yang terdiri atas 2 galur itik lokal (Alabio dan Mojosari putih) dan satu galur itik impor (Pekin). Jumlah induk dari galur lokal masing-masing 32 ekor dengan jumlah pejantan itik Pekin 8 ekor. 24

42 25 Setiap pejantan mengawini sebanyak 4 ekor betina, dengan tehnik inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik. Frekuensi pelaksanaan IB dilakukan dua kali per minggu dengan menggunakan semen segar. Pengencer yang digunakan adalah garam fisiologis 80%, dengan perbandingan 1:1. Rentang waktu pelaksanaan berkisar 2-3 hari sekali sebagaimana yang direkomendasikan oleh Tai et al. (1985) dan Rouvier (1999). Koleksi telur tetas dimulai pada hari ketiga setelah pelaksaan IB yang pertama kali, dengan alasan bahwa fertilisasi benarbenar telah sempurna. Setiap telur yang dikoleksi diberi nomor bapak, induk, minggu ke dan hari koleksi. Lama telur dikoleksi adalah 4 minggu, dan setiap 1 minggu koleksi, telur dimasukkan ke dalam mesin pengeram. Peneropongan (candling) untuk mengetuhi telur yang bertunas atau kosong dimulai 4 hari setelah telur dimasukkan ke dalam mesin penetas. Akan diulang pada hari ke 14 dan ke 21 untuk mengetahui perkembangan embrionya. Telur yang gagal dicatat nomor dan ditimbang bobotnya. Telur berembrio dan mampu tumbuh hingga hari ke-21 di dalam inkubator, maka mulai hari ke-22 dipindah ke hatcher hingga menetas. Anak itik dari masing-masing genotipa hasil pengeraman akan ditempatkan ke kandang brooder yang sekaligus sebagai kandang pembesaran hingga umur 3-4 minggu. Kemudian anak itik akan dipindahkan ke dalam kandang koloni (liter) hingga mencapai umur yang cukup dewasa tubuh (16 minggu). Setelah mencapai umur 4 bulan itik muda ini dipindahkan ke kandang cages (individu), untuk pengamatan produksi telur harian. Jumlah masing-masing anak betina yang dipelihara minimal sebanyak ±125 ekor, namun pada saat dewasa hanya diambil sebanyak 100 ekor. Anak betina itik hasil keturunan Alabio yang disilang dengan jantan Pekin diberi nama galur induk PA, sedangkan keturunan itik Mojosari putih dengan Pekin diberi nama galur induk PM. 3. Penelitian Tahap Kedua Galur induk dari masing-masing genotipa hasil kegiatan pertama, pada saat produksi telur bulan ke 3, ternak tersebut dikawinkan dengan entog pejantan lokal untuk menghasilkan itik mandalung. Pola perkawinan yang dilakukan masih 25

43 26 mengikuti pola yang sama dengan penelitian pertama yaitu setiap 1 ekor pejantan akan mengawini 4 betina, dengan cara di IB. Jumlah mandalung yang dipelihara antara 100 hingga 125 ekor, tergantung mortalitas. Entog pejantan yang digunakan dipilih yang memiliki pola warna tubuh putih solid dengan maksud agar segregasi warna terhadap progeninya lebih banyak kearah warna terang atau bahkan kalau mungkin adalah warna bulu putih. Entog lokal dengan bulu putih didatangkan dari Bekasi, yang dijual secara bebas oleh pedagang ternak unggas. Sebelum digunakan sebagai pejantan pemacek dilakukan perbaikan pakan (gizi) selama beberapa bulan dan sekaligus dilakukan pelatihan untuk membiasakan dirinya dikoleksi spermanya. Seekor pejantan diharapkan mampu mengawini sebanyak 4-5 ekor induk terpilih. 4. Pakan Ternak Kegiatan penelitan untuk itik calon galur induk, pakan diberikan dalam bentuk jadi (pakan komersial). Besarnya jumlah pemberian pakan disesuaikan dengan tahap perkembangan itik. Pakan starter yang digunakan dari PT Gold Coin mengandung protein kasar 20-22% dan energi metabolis antara kkal/kg, akan diberikan pada anak itik mulai dari umur 0-4 minggu. Pakan diberikan adlibitum sistem penambahan jumlah pakan dilakukan dengan sistem kondisional, yaitu bila hari saat pengamatan terlihat bak pakannya kosong (habis) maka jumlah pakan untuk hari tersebut ditingkatkan, demikian sebaliknya bila masih banyak sisa maka pemberiannya untuk hari ini akan dikurangi. Kemudian dilanjutkan dengan pakan grower dengan merk dagang yang sama, dimana kandungan protein kasar dalam pakan adalah ±16% dan energi metabolis 2700 kkal/kg diberikan itik mulai umur >4 minggu sampai dengan 16 minggu. Untuk seterusnya digunakan pakan layer dengan kandungan protein kasar ±18% dan energi metabolis 2700 kkal/kg. Pencatatan sisa pakan dilakukan hingga itik calon galur induk berumur 16 minggu, yaitu dengan cara pada akhir minggu sisa pakan yang tertinggal dibak tu tempat pakan ditimbang menurut nomor pen. Pada ternak itik mandalung, jenis pakan pabrikan yang digunakan masih tetap sama, dan diberikan dalam jumlah yang tak terbatas. Pakan starter diberikan pada itik mandalung mulai dari umur 1 hari hingga anak itik mandalung mencapai 26

44 27 umur 4 minggu. Menurut Abd El_Latif dan El_Malt (2003), rekomendasi penggunaan kadar protein untuk periode starter adalah 22%. Sedangkan untuk 4 minggu berikutnya ternak tersebut diberikan pakan grower dengan kandungan protein kasar antara 18-20%. Setelah itik mandalung mencapai umur 8, 10 dan 12 minggu ternak dipotong, jumlah sisa pakan ditimbang setiap akhir minggu. 5. Pengamatan Tahapan Umur Fisiologi Berkenaan dengan perkembangan tahapan umur fisiologi ternak, maka parameter yang diamati mulai dari telur tetas hingga ternak menjadi dewasa, antara lain (1) fertilitas, (2) tingkat kematian anak pada masing-masing fase pertumbuhan (starter, grower/potong dan layer untuk induk mandalung), (3) laju pertumbuhan bobot badan, (4) efisiensi pakan yang dalam hal ini akan digunakan nilai konversi pakan (FCR), dan (5) umur pertama bertelur maupun (6) produksi telur untuk calon galur induk dan (7) produktivitas karkas. Pengamatan ukuran tubuh. Penampilan ukuran tubuh atau bentuk morfologi ternak secara eksterior, mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Untuk itulah perubahan penampilan eksterior baik itik genotipa PM dan PA akan diikuti dalam selang waktu yang tetap yaitu 2 minggu sekali. Pengukuran penampilan eksterior pada anak itik dimulai dari menetas hingga melewati masa pertumbuhan dan diakhiri sebelum masa produksi (90 hari). Pertimbangan umur ini karena ternak muda tersebut sudah harus masuk kandang cages (individu), dan pertambahan bobot badan maupun morfologinya diasumsikan tidak berpengaruh karena tingkat pertumbuhannya kecil. Pengamatan ini juga dilakukan pada itik mandalung dengan selang waktu yang sama hingga itik yang bersangkutan akan dipotong. Mengingat adanya keterbatasan tenaga maka umur pengukuran hanya dibatasi hingga mandalung mencapai umur 70 hari atau sekitar 10 minggu. Pertumbuhan itik. Guna mengetahui laju pertumbuhan maka dilakukan penimbangan secara berkala, waktu penimbangan dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi makan. Kebutuhan air minum tak terbatas dan tersedia 27

45 28 setiap saat. Untuk menjaga kebersihan kandang maka sistem kerja yang pertama dilakukan adalah membersihkan kotoran dan tempat minum. Setelah itu baru dilakukan pencatatan data produksi di kandang hingga selesai, kemudian baru diberi pakan secara teratur, dalam arti jumlah pakan selalu ditimbang dan dicatat. Penimbangan ternak induk Mandalung dilakukan seminggu sekali mulai dari menetas hingga mencapai umur 8 minggu, untuk selanjutnya dilakukan penimbangan per 2 minggu dengan pertimbangan laju pertumbuhan yang semakin berkurang. Lama penimbangan hingga itik mencapai umur 16 minggu, dengan maksud bahwa umur tersebut merupakan umur fisiologis itik untuk mencapai dewasa kelamin. Dengan memasuki umur fisiologi ternak dalam cages diharapkan tidak banyak mengalami stress. Anak itik Mandalung, penimbangan dilakukan seraca rutin seminggu sekali mulai dari menetas hingga ternak mencapai umur potong tertentu. Umur potong terdiri atas 8, 10 dan 12 minggu, hal ini dimaksudkan untuk mencari umur potong yang ekonomis dan efisien. Pertimbangan lainnya adalah pada umur mulai 8 minggu bulu penutup tubuh telah tumbuh dengan sempurna. Jadi bila saat pencabutan bulu akan mengurangi banyaknya bulu jarum yang tertinggal di dalam kulit. Bulu jarum yang hitam akan meninggalkan berkas seperti bercak pada kulit. Pengamatan konversi pakan. Nilai feed conversion ratio (FCR) akan dihitung didasarkan pada kelompok umur tertentu yaitu mulai 1, 2, 3, 4 hingga 12 minggu. Penimbangan sisa makanan akan dilakukan seminggu sekali. Nilai hasil pengurangan dari jumlah pemberian selama 1 minggu dengan sisa makanan yang tertampung diasumsikan sebagai jumlah pakan yang dikonsumsi itik selama rentang waktu tersebut. Perhitungan terhadap nilai konversi pakan adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk membentuk bobot badan hidup. Dengan kata lain bahwa secara matematis dapat dituliskan sebagi berikut: FCR = Jumlah konsumsi pakan / bobot badan Semakin tinggi nilai FCR-nya maka ternak tersebut semakin tidak efisien dalam memanfaatkan pakan, dimana pakan yang dirubah menjadi jaringan otot dan organ lainnya proporsinya relatif kecil. Demikian sebaliknya semakin rendah 28

46 29 FCR-nya ternak tersebut semakin efisien dalam merubah pakan menjadi otot dan jaringan lainnya. 6. Pengamatan Produktivitas Karkas Seluruh ternak itik mandalung dipotong dan diamati parameter produksinya. Prosedur pemotongan dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku. Pengukuran karkas itik dilakukan setelah ternak yang akan dipotong dipuasakan terlebih dahulu selama 6 jam. Sebelum dipotong itik yang bersangkutan dilakukan penimbangan bobot badan hidup. Pencabutan bulu dilakukan dengan cara basah, kemudian diikuti dengan pengeluaran organ dalam. Proses selanjutnya adalah penimbangan karkas segar, kemudian diikuti oleh bagian tubuh berupa kepala, leher, dada, punggung, paha, kaki. Pengamatan selanjutnya adalah penilaian persentase bobot karkas segar, dan juga persentase bobot potongan karkas lainnya seperti bagian dada, paha, sayap dan punggung. Setelah itu masing-masing bagian dari potongan karkas disayat untuk mengetahui bobot jaringan otot dan dihitung nilai rasionya terhadap bobot karkas segarnya. Untuk penilaian sifat kualitatif dilakukan dengan mengamati warna karkas, penampakan tinggi/rendahnya bulu yang tertinggal di jaringan kulit dan bulu halus. 7. Pencatatan dan Pengolahan Data 7.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data teknis menggunakan beberapa tolok ukur (parameter) baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Agar lebih jelasnya tehnik pengumpulan data dilapangan dari masing-masing tahap kegiatan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Parameter produksi, terdiri atas fertilitas, bobot telur, bobot tetas, dan bobot badan serta tingkat kematian anak. Jumlah pakan yang dikonsumsi menurut status fisiologis yaitu phase starter, grower untuk kedua genotipa itik dan layer hanya untuk induk mandalung. 29

47 30 2. Ukuran linier tubuh (morfologi) diantaranya adalah panjang badan, lingkar dan lebar dada, panjang sayap, panjang paha. 3. Pola warna tubuh yang akan diamati meliputi warna bulu kepala, paruh, leher, sayap, punggung, dada, paha dan kaki. 4. Parameter karkas yang akan diamati meliputi bobot badan sebelum dipotong, bobot karkas segar. Untuk bagian karkas dilakukan pengukuran terhadap potongan komersial seperti bagian dada, paha, sayap dan punggung. Sementara ukuran linier karkas yang diukur meliputi lingkar dada karkas, dalam dada, tebal dada, lebar paha dan panjang paha Analisis data Data yang terkumpul dianalisa dengan beberapa metoda, mulai dari analisis deskriptif untuk data pola warna tubuh, uji T-test untuk menguji dua nilai tengah parameter produksi maupun persamaan model non-linier, yang berfungsi untuk menduga pola pertumbuhan maupun pola produksi telur. Teknik pengelompokan telur tetas. Telur tetas hasil IB dikumpulkan setiap hari diberi nomor telur menurut kode nomor induk dan jantan dan urutan hari koleksi. Sebagai contoh telur yang dihasilkan dari induk nomor 124 dan pejantan 1001 pada minggu pertama dan hari kedua koleksi maka nomor telur adalah Data ukuran telur (bobot dan indeks) yang diperoleh dimasukkan ke dalam lembar data (spread sheet) menurut nomor bapak dan induk. Uji normalitas data dilakukan dengan Uji Kolmogorov-Smirnov, dengan menggunakan paket Minitab Release Guna mengetahui keragaman data maka dilakukan perhitungan koefisien keragaman dengan mengunakan rumus : KK = [(s x 100) / X ] %. Sering munculnya data ekstrim yang berupa pencilan maka analisis data fertilitas dan daya tetas telur tetas dilakukan dengan cara pengelompokan bobot dan bentuk telur yang ada. Khusus untuk pertumbuhan bobot badan galur induk pengelompokkan ditujukan untuk mengetahui pola laju pertumbuhan. Teknik simulasi ini diharapkan akan mendapatkan informasi biologis yang lebih baik. 30

48 31 Kriteria pembagian kelompok didasarkan pada besarnya nilai tengah (rataan) dengan kisaran satu standar deviasi. Alasan penggunaan nilai satu standar deviasi karena selang yang berada pada nilai rataan tidak terlalu ketat, sehingga aplikasi dilapangan tidak banyak telur tetas yang tersortir. Dengan demikian ada tiga kelompok yaitu terdiri atas selang bawah, tengah dan atas dengan teknik perhitungan adalah sebagai berikut : a. Selang bawah merupakan hasil perhitungan bobot dan indeks telur yang berada pada kisaran lebih kecil dari x std b. Selang tengah merupakan hasil perhitungan bobot dan indeks telur yang berada pada kisaran diantara x ± std c. Selang atas merupakan hasil perhitungan bobot dan indeks telur yang berada pada kisaran lebih besar dari x + std Sebelum dilakukan pengelompokan maka data dirunut (sort) mulai dari nilai terkecil hingga terbesar, baik terhadap bobot telur maupun indeks telur. Setelah itu dilakukan perhitungan terhadap besarnya nilai rataan dan juga nilai standar deviasi. Atas dasar kedua nilai tersebut maka dilakukan pengelompokan data mana saja yang masuk pada jenis selang yang ada. Analisis pola warna bulu. Penelusuran warna bulu pada anak itik dari menetas hingga dewasa akan diinformasikan secara deskriptif, yaitu melihat seberapa besar persentase distribusi sebaran warna dominan, warna belang atau bercak dan pola belang dari populasi yang ada. Observasi pola dasar warna bulu penutup tubuh dilakukan pada beberapa permukaan tubuh ternak yaitu area bulu leher, area bulu dada dan perut, area bulu daerah punggung, area bulu kedua sayap, serta area bulu kedua paha dan kaki. Warna belang diskoring berdasarkan masing-masing area tubuh yang diamati. Warna belang yang ada dibedakan atas dasar warna putih, hitam dan warna lainnya seperti lurik coklat dan abu-abu. Analisis pertumbuhan. Kurva pertumbuhan non-linier dimaksudkan untuk menganalisis catatan data pertambahan bobot badan maupun parameter lain yang terukur. Hal ini untuk memahami perubahan ukuran bobot badan maupun morfologi ternak dari pasca pengeraman hingga umur yang dikehendaki. 31

49 32 Disamping itu analisis ini dimaksudkan untuk menduga saat terjadinya titik belok awal pertumbuhan dan akhir pertumbuhan (bobot dewasa tubuh). Model linier umum yang digunakan dapat dituliskan ke dalam bentuk matematis sebagai berikut : dimana, ϒ ijkl = parameter bobot badan atau morfologi sebagai variabel tak bebas µ = nilai rataan umum α i = parameter bobot badan atau morfologi A sebagai variabel bebas β j = parameter bobot badan atau morfologi B sebagai variabel bebas αβ ij = hubungan antar-parameter, dan ε ijk = simpangan baku Kurva pertumbuhan non-linier yang digunakan adalah model Gompertz dengan program paket statistik SAS (1999). Prosedur eksekusi program adalah Proc NLIN. Pertimbangannya bahwa model tersebut oleh beberapa penulis seperti Ksiazkiewicz et al. (1997), Wiederhold dan Pingel (1997), Shoukun et al. (1999) maupun Larzul et al. (1999) telah dibuktikan sebagai model yang terbaik untuk analisis umur dengan bobot badan pada entog maupun itik dibanding dengan model eksponensial lainnya. Rumus matematik yang digunakan adalah sebagai berikut : ϒ ijkl = µ + α i + β j + αβ ij + ε ijk Y t = A exp (-B exp -kt ) dimana, Y t = ukuran bobot badan atau sifat morfologi pada umur t A = ukuran dewasa tubuh (asimtot) untuk bobot badan atau morfologi B = parameter skala (nilai konstanta) exp = logaritme dasar ( ) k = laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh t = satuan waktu (umur) Untuk menentukan poin atau titik belok bobot badan digunakan penduga hasil bagi antara nilai A dengan bilangan eksponensial atau [A/exp], sedangkan untuk menduga titik belok umur adalah [(lnb)/k]. Pendugaan nilai heritabilitas (h 2 ). Metode yang digunakan adalah ANOVA pola nested (tersarang), peubah yang akan dianalisis meliputi beberapa sifat 32

50 33 produksi seperti bobot badan dan ukuran dimensi telur pertama. Model matematik menurut petunjuk Becker (1975) adalah sebagai berikut: Y ijklm = µ + a i + b ij + ε ijk dimana : Y ijk = parameter produksi dari jantan i, induk j, dan anak k µ = rataan umum a i = pengaruh pejantan ke i = pengaruh induk ke j pejantan ke i b ij ε ijk = galat akibat lingkungan tak terkontrol dengan asumsi pejantan mengawini betina terjadi secara acak (random), tidak terjadi perkawinan sedarah (in breeding) dan anak dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Prosedur penghitungannya menggunakan paket program satatistik Minitab ver Tabel 1. Sidik ragam guna pendugaan nilai heritabilitas (h 2 ) dengan pola Nested Sumber ragam Db JK KT Komponen Antar Pejantan Antar induk dalam pejantan s-1 d-1 JK S JK D KT S KT D σ 2 W +k 2 σ 2 D + k 3 σ 2 S σ 2 W +k 1 σ 2 D Antar anak dalam induk sd (n-1) Total n-1 JK W KT W σ 2 W Keterangan : S = jumlah pejantan D = jumlah induk W = jumlah anak per betina Komponen ragam diduga dengan dasar perhitungan sebagai berikut: σ 2 W = KT W σ 2 D = (KT D + σ 2 W) / k 1 σ 2 S = {JK S - (KT W +k 2 σ 2 D)} / k 3 Guna mencari nilai k 1, k 2 dan k 3 digunakan rumus sebagai berikut : 2 nij k 1 = n.. / db( dams) ni. 2 2 nij nij k 2 = / db( sires) i ni. n.. 2 n. k 3 = n.. / db( sires) n.. 33

51 34 Komponen ragam induk dan pejantan digunakan untuk menduga nilai heritabilitas (h 2 ) dengan rumus sebagai berikut : h 2 S+D = 2 2 2( σ S + σ D) 2 2 σ S + σ D + σ 2 W Standar eror nilai heritabilitas dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut : s.e.h 2 2 = var( σ 2 S ) + var( σ σ var( σ 2 S 2 + σ 2 D 2 D ) k ) + 2cov( σ + σ 2 W (var( σ 2 S σ 2 D { } cov (σ 2 Sσ 2 W 2 D D) = ( k1k 3) 2 Nilai heritabilitas dan standar eror dihitung secara manual melalui alat bantu Microsoft Excel. Semua unsur yang diperlukan dalam perhitungan dimasukkan ke dalam spreadsheet, kemudian dibuat format tentang formula atau rumusan sesuai bentuk perhitungan yang dikehendaki. Dengan demikian hanya mengganti nilai dari unsur-unsur yang diperlukan akan segera muncul nilai heritabilitas pada berbagai sifat yang dicari. 2 )) ) 34

52 35 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Persilangan Pekin dengan Itik Lokal sebagai Calon Galur Induk Pembahasan tentang galur induk, lebih dititik beratkan pada performa dengan memperhatikan jastifikasi untuk tujuan seleksi jangka panjang. Hal ini terilhami dari keberhasilan pembentukan Kaiya di Taiwan (Tai, 1985) dan industri peternakan ayam yang membutuhkan waktu cukup lama yaitu antara tahun (Fairfull, et al.,1998). Penelitian awal dimaksudkan untuk data dasar yang kelak dijadikan acuan bagi para breeder atau pengguna lainnya. Calon galur induk itik genotipe PM dan PA yang terbentuk pada prinsipnya berbeda karena kedua induk (tetuanya) lokalnya memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam hal produksi telur maupun bobot badannya. Perbandingan hasil dimaksudkan untuk membuktikan bahwa asal usul ternak yang disilangkan akan berpengaruh terhadap produktivitas zuriatnya. Munculnya sifat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing genotipe akan dijadikan pertimbangan di dalam mengambil keputusan mengenai rencana penelitian jangka panjang. Penggunaan istilah calon galur induk ini dimaksudkan bahwa itik genotipe yang diuji kelak akan dijadikan sebagai galur induk kelompok awal untuk membentuk galur induk melalui pemantapan seleksi jangka panjang. Meskipun ini baru calon, namun untuk memudahkan penggunaan istilah setelah proses menetas maka anak itik dari dua genotipe akan senantiasa digunakan istilah galur induk (tanpa calon). Beberapa karakteristik yang menjadi pertimbangan dalam pembahasan adalah telur tetas, daya tetas, pola warna bulu, laju pertumbuhan dan performa produksi telur. Parameter tersebut masih terurai dalam beberapa sub-sub bab agar pemahaman sifat karakteristik untuk suatu evaluasi galur induk lebih jelas Karakteristik Telur Tetas Warna kerabang telur. Karakteristik warna kerabang telur itik Alabio betina yang dibuahi itik Pekin untuk menghasilkan PA maupun Mojosari betina putih untuk menghasilkan PM adalah biru kehijauan. Konsistensi sifat pewarisan warna kerabang telur tampak lebih kuat mengikuti pola warna kerabang telur 35

53 36 induk yaitu itik lokal sebagai tetuanya. Itik lokal Mojosari baik yang berwarna lurik coklat maupun bulu putih dan itik Alabio memiliki sifat warna kerabang telur biru kehijauan. Itik Pekin menghasilkan telur dengan warna kerabang putih. Hasil silang kedua itik lokal tersebut dengan Pekin ternyata mewariskan warna kerabang telur biru kehijauan kepada anaknya (PM dan PA). Karakteristik warna kerabang telur merupakan pola warna dominan autosom yaitu G + (Hutt, 1949) dan masih memiliki sifat liar, karena pada dasarnya warna kerabang telur itik liar adalah biru kehijauan. Akan tetapi pada itik yang telah terdomestikasi, warna kerabang telur disamping biru kehijauan juga muncul warna kerabang putih (Lancaster, 1993). Hal ini terjadi pada itik Bali putih, itik Pekin, dan itik putih Ukraina akibat domestikasi dan seleksi terhadap sifat tertentu mampu mengubah warna kerabang telur yang tadinya biru kehijauan menjadi putih dan kondisi ini ternyata dikontrol oleh gen g (Romanov et al.,1995). Keseragaman ukuran telur tetas. Penilaian terhadap keseragaman telur tetas menjadi bagian yang sangat penting, karena bentuk dan bobot telur senantiasa menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi telur tetas. Telur yang memiliki keseragaman tinggi diharapkan akan menghasilkan bobot tetas anak itik (DOD) yang lebih seragam, dan pada akhirnya diharapkan akan memiliki laju pertumbuhan yang seragam pula. Galur induk yang memiliki latar belakang bentuk dan bobot telur tetas yang seragam diharapkan akan menghasilkan itik yang baik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa koefisien keragaman (CV) bobot telur pada itik PA sebesar 8.47% dan PM adalah 10.82%. Angka ini memberikan makna bahwa kondisi bobot telur tetas PA lebih seragam dengan tingkat keragaman yang lebih rendah dibandingkan dengan telur tetas PM. Namun untuk ukuran bobot tetas dari kedua jenis telur tersebut, koefisien keragaman adalah sama besar yaitu PM (10.53%) dan PA (10.73%). Bentuk (indeks) telur tetas dari kedua genotipe, nilai keragaman yang diperoleh tidak jauh berbeda. Telur tetas PM mendapatkan nilai koefisien keragaman dari indeks telur sebesar 14.22% sedangkan untuk telur tetas PA adalah 13.75%. 36

54 37 Pengelompokan telur tetas berdasarkan bobot dan indeks. Kegiatan pengelompokan dimaksudkan untuk mengurangi keragaman telur tetas yang tersedia. Ini menjadi bagian yang sangat penting dari kegiatan pengadaan telur tetas, karena bobot dan bentuk telur senantiasa menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi telur tetas. Pengelompokan bobot telur tetas yang berada dikisaran (selang) tengah yaitu rataan ± satu standar deviasi menunjukkan bahwa telur tetas PM memiliki jumlah persentase yang lebih rendah yaitu 66.84% dibandingkan dengan persentase keseragaman bobot telur tetas PA yaitu 71.27%. Hal ini disebabkan bahwa pada telur tetas PA, induk lokal Alabio yang digunakan telah mengalami proses seleksi ukuran telur secara ketat. Sementara pada kondisi telur tetas PM, induk lokal Mojosari putih belum pernah dilakukan seleksi, karena induk yang digunakan langsung didatangkan dari peternak di daerah sentra produksi. Tabel 2. Distribusi menurut kelompok bobot dan indeks telur tetas PM dan PA Telur tetas PM (n=481 butir) Telur tetas PA (n=550 butir) Parameter bawah tengah atas bawah tengah atas (%) Bobot Telur Indeks telur Keterangan: bawah adalah nilai selang yang lebih kecil dari x -std tengah adalah nilai selang diantara x ±std atas adalah nilai selang yang lebih besar dari x +std Hasil di atas menunjukkan bahwa untuk induk Mojosari putih peranan seleksi terhadap besarnya bobot telur sangat penting, disamping jumlah produksi telur harian. Dengan cara tersebut kondisi bobot telur yang akan dieramkan dapat ditingkatkan, sehingga pada selang tengah akan diperoleh jumlah telur yang lebih tinggi persentasenya. Disamping itu sistem pengelompokan bobot telur tetas, dapat memisahkan sekitar 30% dari total jumlah telur tetas yang memiliki ukuran bobot terlalu kecil atau terlalu besar. Indeks telur tetas yang ditampilkan pada Tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa pengelompokan indeks telur tetas PA pada selang tengah lebih tinggi dibandingkan dengan indeks telur tetas PM. Besarnya persentase selang tengah indeks telur tetas PM adalah 76.29%, sedangkan pada indeks telur tetas PA adalah 95.09%. Hasil tersebut membuktikan bahwa bentuk telur tetas PA cenderung lebih 37

55 38 homogen. Kondisi yang lebih seragam ini, sebagai akibat sistem seleksi pada induk Alabio yang ketat dan terarah. Demikian sebaliknya, telur tetas PM karena induk Mojosari putih belum dilakukan seleksi maka keragaman (variasi) relatif tinggi Daya Tetas dan Bobot Tetas Kondisi telur tetas yang tidak dikelompokkan (total) bobot telur pada Tabel 3 di bawah merupakan cerminan sifat alami akan potensi reproduksi tetua yang digunakan. Simulasi dengan pengelompokan berdasarkan bobot maupun indeks telur tetas dimaksudkan untuk mengetahui lebih detail pengaruh keseragaman ukuran telur setelah dikelompokkan terhadap kemampuan fertilitas dan daya tetas dari setiap galur induk yang diuji. Nilai persentase yang diperoleh pada telur yang infertil (tak berembrio) dari kedua calon galur induk menunjukkan hasil yang tidak berbeda, yaitu PA (7.8%), dan PM (7.5%). Kondisi ini memberikan pengertian bahwa fertilitas telur tetas PM dan PA sebagai cerminan dari kemampuan itik lokal Mojosari putih dan Alabio cukup fertil dan juga tidak ada masalah terhadap kesuburan pada pejantan Pekin. Pada kondisi yang demikian ini, pembentukan galur induk dengan menyilangkan antara itik betina lokal dengan jantan Pekin memberikan harapan yang baik. Besarnya angka fertilitas untuk PM adalah 92.5% dan PA adalah 92.2% ini sejalan dengan laporan Dupuy et al. (2002) bahwa persentase fertilitas itik Pekin setelah 72 jam dalam inkubator, untuk strain A sebesar 97.4% tetapi strain B lebih rendah yaitu sebesar 78.4%. Artinya bahwa perbedaan galur hasil silang (PM dan PA) dengan galur Pekin telah menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat fertilitas. Hasil di atas lebih tinggi dari laporan Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) yaitu 79.2% untuk itik Alabio dan 75.0% untuk itik Mojosari maupun Tri- Yuwanta et al. (1999) antara 73.6% hingga 80.15% pada itik Turi yang dikelompokkan menurut pola warna bulu. Pemahaman dari perbedaan hasil ini adalah telur tetas PM dan PA merupakan hasil silang dua galur yang memiliki jarak genetik cukup jauh, sehingga dapat memunculkan sifat hybrid vigor efek hybrid vigor, terutama pada sifat dengan h 2 rendah seperti fertilitas. Sementara 38

56 39 laporan sebelumnya sebagimana yang dikemukakan di atas dengan menggunakan perkawinan antar galur murni, efek hybrid vigor-nya relatif kecil. Perkawinan dua galur yang berjarak genetik jauh sebagaimana yang terjadi pada kedua tetua PM dan PA tampaknya dapat memaksimalkan munculnya efek hybrid vigor. Pengaruh positif yang diperoleh adalah meningkatkannya kesuburan telur, sehingga telur yang bersifat infertil dapat lebih ditekan. Kejadian ini memberikan penampilan fertilititas telur tetas PM dan PA yang lebih baik jika dibandingkan dengan galur murninya. Fertilitas menurut kelompok bobot telur tetas PM dan PA. Besarnya persentase telur infertil (tak berembrio) menurut selang pengelompokan bobot telur, maka telur tetas PM selang bawah memiliki persentase infertil yang lebih besar dibanding dengan selang bobot telur lainnya. Demikian juga yang terjadi pada telur tetas PA, besarnya telur infertil pada kelompok selang bawah lebih tinggi dari yang lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan bobot telur yang akan dieramkan sebaiknya bagi telur PM bobotnya tidak boleh kurang dari 61.7 g karena nilai rataan adalah 64.9±3.2 g, sedangkan untuk telur tetas PA bobot telur yang akan dieramkan tidak boleh kurang dari 67.8 g karena nilai rataan adalah 70.4±2.6 g. Kenyataan menunjukkan bahwa telur yang memiliki tunas (berembrio) namun tidak mampu tumbuh dengan sempurna, lebih banyak ditemui pada bobot telur yang berada pada selang bawah dan atas (Tabel 3). Lebih jauh dilaporkan bahwa persentase embrio yang mati terbesar terjadi pada saat candling pertama. Artinya bahwa masa kritis bagi berkembangnya embrio dalam suatu proses pengeraman terjadi pada kurun waktu candling pertama. Terlebih hasil tersebut ditunjang dengan pendapat Samosir (1983) bahwa kematian embrio pada candling pertama dengan menggunakan sarang alas jerami 16.41% dan tanpa alas 19.08%. Candling kedua (selang 7 hari setelah candling pertama) tingkat kematian embrionya lebih rendah dari candling pertama. Sebagimana yang tampak pada Tabel 3 di atas dengan tanpa ada pengelompokan (total) tingkat kematian embrio candling kedua adalah PM 3.3% dan PA 2.9%. Selang bawah dan atas pada telur tetas PM memiliki persentase kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan 39

57 40 selang tengahnya. Akan tetapi pada telur tetas PA, selang atas memiliki persentase kematian embrio yang paling rendah dibanding dengan selang lainnya. Tabel 3. Kondisi telur tetas PM (n=481) dan PA (550) selama proses penetasan Uraian Telur tetas PM Telur tetas PA Kondisi Telur total n=481 bawah n=70 tengah n=357 atas n=54 total n=550 bawah n=80 tengah n=392 atas n=78 Rataan BT (g) (%) Telur kosong Embrio mati - Candling 1 - Candling 2 - Candling 3 Tdk menetas Menetas (11.8) (3.9) (4.3) (13.9) (5.6) (13.9) (11.5) (3.4) (2.5) (11.1) (5.6) (3.7) (20.9) (2.9) (5.1) (17.5) (3.8) (7.5) (20.0) (2.8) (4.3) (28.2) (2.6) (6.4) Keterangan: BT = bobot telur Telur kosong adalah telur infertil bawah adalah nilai selang yang lebih kecil dari x -std ; tengah adalah nilai selang diantara x ±std ; atas adalah nilai selang yang lebih besar dari x +std Kondisi yang tidak berbeda terjadi pada candling ke-3 (umur pengeraman 21 hari) kematian embrio secara total yaitu sebesar 3.6% (PM) dan 5.1% (PA). Pengaruh kelompok menunjukkan bahwa selang tengah memiliki tingkat kematian embrio yang lebih rendah dibanding selang bawah maupun atas. Hal ini disebabkan telur yang kecil memiliki luas permukaan yang relatif lebih luas sehingga proses penguapan (evaporasi) akan lebih cepat. Akibatnya embrio yang tumbuh akan mengalami evaporasi, dan cadangan makanan (putih telur) juga lebih mengeras. Tekanan laju evaporasi ini akan menyebabkan embrio cepat mati. Hasil di atas mencerminkan rendahnya tingkat kematian pada candling ke-2 dan ke-3. Dengan demikian memperkuat bukti bahwa masa kritis telur yang dieramkan hanya terjadi pada minggu awal. Kondisi tersebut sepaham dengan pendapat hasil laporan Samosir (1983) bahwa tingkat kematian embrio pada masa candling ke-2 dan ke-3 lebih rendah. Lebih jauh Parkhurst dan Mountney (1988) menjelaskan bahwa tingkat kematian embrio dimulai pada hari kedua hingga ke empat setelah telur masuk inkubator. Kemudian disusul kematian pada hari ke-19 hingga ke-21. Hal ini telah membuktikan bahwa pada candling ketiga, kematian embrionya lebih tinggi dibandingkan dengan candling kedua. Telur yang tidak menetas bagi calon galur induk PM dan PA adalah telur yang berada pada selang tengah. Hasil ini memberikan pengertian bahwa dengan 40

58 41 pengelompokan bobot telur sebesar satu standar deviasi belum mampu memberikan pengaruh yang dapat menekan besarnya persentase telur yang tidak menetas. Oleh karena itu seleksi sebesar satu standar deviasi masih dianggap kurang ketat, jika dikaitkan dengan hasil yang didapat di atas. Terjadi fenomena bahwa telur yang kecil (berada pada selang bawah) memiliki persentase tidak menetas yang lebih tinggi dibanding dengan telur pada selang atas. Hal ini disebabkan oleh karena telur kecil mengalami kesulitan dalam proses pemecahan kerabang telur. Telur dengan bobot kecil memiliki luas permukaan relatif yang lebih lebar, kemungkinan mengakibatkan proses pemanasan pada mesin pengeram yang utamanya ditujukan untuk menghangatkan embrio agar diperoleh pertumbuhan yang cepat, ternyata terlalu panas sehingga mempercepat proses evaporasi cairan telur dan kondisi embrio menjadi lemah hingga mati. Peranan keseragam bobot dan bentuk telur tetas merupakan dua faktor penting yang perlu diperhatikan dalam memilih telur untuk ditetaskan. Apalagi telur yang akan ditetaskan tersebut nantinya akan digunakan untuk galur induk, maka seleksi terhadap homogenitas merupakan persyaratan yang mutlak untuk dilakukan. Efek positif dari pengelompokan bobot telur tetas untuk mendapatkan homogenitas adalah adanya keseragaman bobot tetas DOD, sehingga diharapkan akan menghasilkan sifat pertumbuhan yang seragam. Karakteristik telur yang menetas menurut selang kelompok. Hasil uji antar galur menunjukkan bahwa peubah bobot telur, bobot tetas dan proporsi antara bobot tetas terhadap bobot telur pada anak itik calon galur induk PA nyata (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan PM. Pengelompokan bobot telur menurut selang satu standar deviasi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) dari semua parameter yang diukur, kecuali nilai proporsi yang berada pada selang bawah. Bobot tetas itik calon galur induk PA nyata (P<0.05) lebih tinggi dari PM, hal ini diakibatkan oleh pengaruh bobot telur PA yang nyata lebih besar dari bobot telur PM. Analisis statistik di dalam galur menunjukkan bahwa anak itik calon galur induk PM yang berasal dari kelompok selang bawah hingga atas 41

59 42 memberikan bobot tetas yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya bobot telur tetas menurut selang yang digunakan. Namun demikian pola ini tidak terjadi pada anak itik calon galur induk PA. Bobot telur PA yang berada pada selang tengah memiliki bobot tetas yang paling rendah, kemudian diikuti selang bawah dan terberat pada selang atas (Tabel 4). Hasil perbandingan antar genotipe menunjukkan bahwa nilai proporsi yang didapat adalah berbeda nyata (p<0.05). Lebih jauh dapat dilaporkan bahwa nilai proporsi dari galur PA secara statistik nyata (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan galur PM. Besarnya nilai proporsi pada galur PA tidak terlepas dari besarnya telur tetas dan tingginya bobot tetas yang dihasilkan oleh genotipe PA. Disini tampak adanya pengaruh dari pengelompokan bobot telur saat ditetaskan dapat mengakibatkan berubahnya nilai proporsi. Tabel 4. Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe PM dan PA menurut kelompok selang PM (n=284 butir) PA (n=348 butir) Uraian Bawah Tengah Atas Bawah Tengah Atas Bobot telur (g) Bobot tetas (g) Proporsi (%) 60.0±0.2 a 36.8±0.5 a 62.5± ±0.2 a 39.6±0.3 a 61.1±0.4 a 72.8±2.8 a 45.0±3.3 a 61.8±4.5 a 62.2±0.4 b 44.3±0.2 b 64.7± ±0.2 b 41.5±0.2 b 62.8±0.3 b 77.4±2.7 b 47.5±4.1 b 61.5±5.9 b Keterangan: *) Proporsi = bobot tetas/bobot telur x 100 Superskrip berbeda pada baris dan selang yang sama berbeda nyata (p<0.05) bawah adalah nilai selang yang lebih kecil dari X -std ; tengah adalah nilai selang diantara x ±std ; atas adalah nilai selang yang lebih besar dari x +std Hal yang menarik dari pengelompokan telur tetas tersebut bahwa DOD calon galur induk PA maupun PM (Tabel 4) adanya fenomena dengan naiknya nilai proporsi akan diikuti turun-nya selang pengelompokan yang digunakan. Kondisi ini memberi gambaran bahwa bobot telur pada selang bawah tidak selalu menghasilkan bobot tetas yang rendah. Penyebab munculnya fenomena ini sebagai akibat dari proporsi antara albumen dengan yolk sebagaimana dilaporkan Wasburn (1993) dan juga adanya kemungkinan akibat ketebalan kerabang telur (Parkhurst dan Mountney, 1988). Lebih jauh dijelaskan bahwa bobot telur yang sama tetapi ketebalan kerabang yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan besarnya kandungan isi telur. 42

60 43 Karakteristik telur yang menghasilkan anak. Ketiga peubah yang digunakan yaitu bobot telur, bobot tetas dan nilai proporsi dari calon galur induk PA lebih tinggi dibandingkan dengan PM. Keterkaitan bobot telur terhadap bobot tetas tampak dari hasil ini, yaitu telur yang memiliki bobot tetas tinggi pada PA menghasilkan bobot tetas yang tinggi pula. Perbedaan di dalam galur menunjukkan bahwa anak betina memiliki bobot tetas, bobot telur, bentuk (indeks) telur dan proporsi telur yang menetas tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan anak jantan (Tabel 5), baik bagi calon galur induk PA mapun PM. Hasil bobot tetas anak betina dibanding dengan jantan yaitu 44.5 g (PA betina) vs 43.6 g (PA jantan) dan 40.5 g (PM betina) vs 39.7 g (PM jantan). Tingginya bobot tetas tidak lepas dari rataan bobot telur tetasnya. Jadi jelas bahwa penyebab utama terjadinya perbedaan bobot tetas adalah bobot telur tetasnya. Tabel 5. Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe PM dan PA menurut jenis kelamin anak Anak Betina (n=284) Anak Jantan (n=348) Parameter Rataan± SE Min Maks Rataan±SE Min Maks Telur tetas PM : Bobot telur (g) Bobot tetas (g) Proporsi*) 65.37±0.38 a 40.54±0.35 a 62.05±0.43 a ±0.43 a 39.74±0.37 a 60.82±0.41 a Telur tetas PA: Bobot telur (g) Bobot tetas (g) Proporsi*) 70.62±0.37 a 44.53±0.31 a 63.13±0.38 a ±0.37 a 43.56±0.29 b 62.50±0.35 a Keterangan: *) Proporsi = tetas/bobot telur x 100 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05) Fenomena di atas dapat dipahami mengingat Isguzar dan Pingel (2003) melaporkan adanya korelasi positif (bertambahnya nilai parameter bebas secara proporsional akan diikuti dengan bertambahnya nilai parameter tak bebas) antara bobot telur yang ditetaskan dengan bobot tetas DOD. Korelasi tersebut sesuai dengan kondisi hasil penelitian ini, karena bobot telur yang menghasilkan anak betina lebih tinggi dari bobot telur yang menghasilkan anak jantan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam rangka pengembangan galur induk terhadap pengamatan bobot tetas jantan dan betina. 43

61 44 Korelasi ukuran telur tetas. Nilai hubungan keeratan dimaksudkan untuk memberikan petunjuk awal bahwa sebaiknya telur tetas untuk mengasilkan DOD yang baik harus memiliki bentuk dan ukuran telur yang baik. Sebagai galur induk, pemilihan bentuk dan ukuran telur tetas yang seragam harus dilakukan dengan selektif. Secara keseluruhan (uji antar galur), terbukti adanya hubungan keeratan (korelasi) yang kuat antara bobot telur dengan parameter lain yang diamati. Namun demikian terdapat pengecualian hubungan keeratan yang tidak nyata antara parameter lebar telur terhadap bobot telur pada genotipe PA. Hasil yang disajikan Tabel 6, dapat dilaporkan bahwa semua korelasi yang dihasilkan menunjukkan adanya hubungan positif antara bobot telur terhadap panjang telur, lebar telur dan bobot tetas. Maksudnya bahwa setiap terjadi perubahan satuan unit peubah bebas akan diikuti dengan berubahnya satuan unit peubah tak bebas secara proporsional. Tabel 6. Korelasi antara bobot telur dengan panjang telur, lebar telur dan bobot tetas pada genotipe PM dan PA Telur tetas PM Telur tetas PA Bobot Telur Panjang Lebar B. Tetas Panjang Lebar B. Tetas Keseluruhan Anak Betina Anak Jantan 0.410** 0.370** 0.613** 0.675** 0.631** 0.715** 0.640** 0.598** 0.689** 0.216** 0.261** 0.171* 0.193** TN 0.257** 0.582** 0.537** 0.621** Keterangan superskrip TN = tidak nyata (p>0.05) Hubungan bobot telur dengan lebar telur tetas PA dan PM pada anak jantan memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak betina maupun secara keseluruhannya (total). Demikian sebaliknya, anak betina nilai korelasi bobot telur dengan lebar telur lebih rendah dari nilai keseluruhan maupun anak jantan. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap terjadi penambahan lebar bobot telur tetas tampaknya akan diikuti dengan peningkatan ukuran bobot telur tetas, kecuali untuk anak betina PA. Berubahnya bobot telur akan mengakibatkan berubahnya secara positif dan juga secara linier terhadap panjang telur dan bobot tetasnya. Nilai hubungan keeratan antara bobot telur terhadap bobot tetas berkisar 0.5 sampai dengan 0.6. Tingkat hubungan yang bersifat positif antara panjang telur 44

62 45 terhadap bobot telur berkisaran antara 0.3 sampai dengan 0.6 untuk telur PM dan 0.1 hingga 0.2 untuk PA. Seleksi terhadap bobot telur memiliki korelasi yang cukup tinggi terhadap bobot tetas anak itik yang didapat. Demikian halnya dengan panjang dan lebar telur yang dapat dikonotasikan sebagai bentuk telur memiliki hubungan keeratan yang nyata. Keadaan ini membuktikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh peternak tradisional dengan pemilihan berdasarkan besar dan bentuk telur yang baik ternyata menghasilkan DOD yang baik pula. Kriteria DOD yang baik jika kondisi anak itik tersebut mimiliki bobot tetas baik, sehat, lincah, tidak cacat dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya Pola Warna Bulu Dewasa Galur Induk PM dan PA Hasil persilangan dari itik betina lokal Alabio dengan pejantan Pekin menjadi galur induk PA menunjukkan fenotipe yang bervariasi. Sifat kualitatif yang diekpresikan pada penampilan fenotipe seperti warna bulu, warna paruh dan warna kaki dari galur induk PA tersebut menunjukkan keragaman. Berbeda dengan galur induk genotipe PM yang merupakan hasil persilangan betina lokal Mojosari putih dengan pejantan Pekin memunculkan pola warna bulu putih polos pada zuriat. Munculnya warna putih 100% pada PM menunjukkan bahwa warna putih pada Mojosari putih diatur oleh gen resesif dalam keadaan homosigot. Keseragaman warna putih polos sebagai sifat fenotipe PM memberikan keuntungan dalam sistem seleksi yang mengarah pada sifat warna bulu. Terdapat kombinasi warna bulu putih polos dengan warna paruh pink/orange dan dengan warna kaki orange. Apabila sasaran yang dituju adalah untuk menghasilkan mandalung berbulu putih polos, maka galur induk PM sudah memenuhi salah satu syarat kualitatif.. Hardjosworo et al. (2001) memberikan petunjuk bahwa untuk mendapatkan mandalung bulu putih, harus disilangkan induk itik bulu putih dengan pejantan entog berbulu putih. Atas dasar itulah galur induk PM memiliki peluang kuat untuk menjadi induk mandalung diwaktu mendatang. Tai (1985) melaporkan bahwa konsep pengembangan itik Tsaiya putih dengan 3 jalur yaitu (1) itik Tsaiya putih untuk galur murni; (2) Tsaiya putih yang 45

63 46 disilang dengan Pekin untuk menghasilkan galur induk Kaiya; dan (3) persilangan Kaiya dengan pejantan entog untuk menghasilkan mandalung berbulu putih. Dengan demikian galur induk PM dianggap memiliki peluang yang lebih baik dari galur induk PA, mengingat warna bulu yang putih polos sebagaimana Kaiya yang dilaporkan Tai (1985). Disisi lain galur induk PA yang memiliki variasi warna bulu cukup tinggi, ternyata populasi ternak putih polos PA muncul dalam jumlah yang kecil <10% dari total anak-anaknya. Kondi ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk itik galur induk yang berbulu putih polos. Pemunculan warna bulu yang bervariasi pada galur induk PA dapat disederhanakan menjadi 3 kelompok yaitu lurik coklat, hitam belang putih dan putih polos. Karakteristik fenotipe menurut kelompoknya yaitu (1) Itik lurik coklat, terdiri atas dua tipe yaitu bergelang dileher dan yang tidak bergelang; (2) Hitam belang putih terdiri atas hitam dominan putih, hitam dengan perluasan warna putih dileher bagian depan ke arah dada depan, dan warna hitam yang dikombinasi dengan perluasan warna putih bagian dada dan mengarah ke punggung; dan (3) Warna bulu putih polos yang tidak ditampilkan. 46

64 47 1. Pola warna pada kepala, coklat tua agak gelap dengan polesan putih di atas mata dan bagian bahwah kepala. Leher lebih banyak didominasi warna coklat dan adanya gelang putih. Bagian dada dan punggung adalah coklat muda hingga tua yang mendekati warna agak gelap, warna lurik putih tertutup oleh coklat tua. Bulu sayap warna kombinasi antara coklat, putih, hitam, biru dan hijau. Ekor menyesuaikan dengan warna pada bagian dada dan punggung yaitu lurik coklat dipulas dengan warna hitam pada beberapa helai ujung ekor. 2. Secara umum itik memiliki warna bulu lurik-coklat yang cenderung mendekati gelap. Warna kepala coklat muda agak gelap dengan warna putih pada bagian atas mata, sedangkan untuk bagian bawah kepala coklat agak gelap dengan olesan sedikit warna putih. Leher bagian depan ditandai dengan sedikit bulu putih bercampur coklat agak gelap dan gelang putih tidak tampak jelas. Warna bulu dada coklat agak gelap dengan sapuan lurik putih dan punggung berwarna coklat muda dan campuran bulu putih lurik yang agak gelap. Bulu sayap warna kombinasi antara coklat, putih, hitam, biru dan hijau. Ekor menyesuaikan dengan warna pada bagian dada dan punggung. 3. Secara umum itik memiliki warna bulu hitam dengan kombinasi warna putih pada beberapa area tubuh. Warna kepala didominasi warna hitam dan adanya sedikit pulasan warna coklat tua, terutama pada bagian atas dari kepala. Leher bagian depan ditandai dengan bulu putih dengan luas area disekitar diatas tembolok. Warna bulu bagian dada dan punggung dominan hitam, terkadang timbul bercak putih. Bulu sayap warna hitam dengan kombinasi coklat, putih, biru dan hijau. Ekor menyesuaikan warna hitam, namun terkadang dikombinasi dengan warna putih pada ujung ekor. 4. Secara umum itik memiliki warna bulu hitam dengan kombinasi warna putih pada beberapa area tubuh, hampir sama dengan gambar 3 di atas tetapi sebaran warna putih sedikit lebih banyak. Warna kepala didominasi warna hitam dan tampak adanya ekpansi warna putih yang bergabung mulai dari kepala hingga leher. Leher bagian depan ditandai dengan bulu putih yang cukup meluas, mulai dari bagian bawah kepala hingga mendekati bagian dada. Warna bulu bagian dada dan punggung dominan hitam dengan kombinasi belang putih pada beberapa area. Bulu sayap warna kombinasi antara hitam, putih, biru dan hijau. Ekor memiliki warna hitam yang dikombinasi dengan warna putih. 5. Secara umum itik memiliki warna bulu hitam dengan kombinasi warna putih yang cukup luas pada beberapa area tubuh. Warna kepala kombinasi belang antara warna hitam dan putih. Sebaran warna putih, tampak terjadi ekpansi yang cukup luas dari warna putih hingga bergabung dengan bagian leher. Leher cenderung didominasi dengan bulu putih sementara warna hitam menjadi belang. Warna bulu bagian dada warna dominan putih sedang warna hitam sebagai belang, sedangkan punggung masih dominan hitam tetapi disertai belang putih. Bulu sayap warna kombinasi antara hitam, putih, biru dan hijau. Ekor memiliki warna hitam atau dapat pula disertai dengan kombinasi putih. Gambar 1. Pola warna bulu pada galur induk PA 47

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN (PHISICAL CHARACTERISTICS OF MANDALUNG HATCHING EGGS AND THE MALE AND FEMALE RATIO OF THEIR DUCKLING) Yarwin

Lebih terperinci

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN (Fertility and Hatchability of Egg of Crossbred Duck Inseminated with Muscovy

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ITIK MOJOSARI PUTIH DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA SEBAGAI ITIK PEDAGING KOMERSIAL

KARAKTERISTIK ITIK MOJOSARI PUTIH DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA SEBAGAI ITIK PEDAGING KOMERSIAL KARAKTERISTIK ITIK MOJOSARI PUTIH DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA SEBAGAI ITIK PEDAGING KOMERSIAL AGUS SUPARYANTO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor16002 ABSTRAK Itik Mojosari putih akan memiliki prospek

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING (The Growth of Starter and Grower of Alabio and Peking Reciprocal Crossbreed Ducks) TRIANA SUSANTI 1, S. SOPIYANA 1, L.H.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE 1. Lokasi dan Materi Penelitian 2. Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METODE 1. Lokasi dan Materi Penelitian 2. Penelitian Tahap Pertama 4 MATERI DAN METODE 1. Lokasi dan Materi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kandang percobaan itik milik Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Ternak itik maupun entog yang digunakan untuk penelitian

Lebih terperinci

Gambar 1. Itik Alabio

Gambar 1. Itik Alabio TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF PADA ITIK LOKAL (Anas platyrhyncos), ENTOK (Cairina moschata) DAN TIKTOK JANTAN SKRIPSI. Oleh M.

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF PADA ITIK LOKAL (Anas platyrhyncos), ENTOK (Cairina moschata) DAN TIKTOK JANTAN SKRIPSI. Oleh M. IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF PADA ITIK LOKAL (Anas platyrhyncos), ENTOK (Cairina moschata) DAN TIKTOK JANTAN SKRIPSI Oleh M. AZHAR NURUL HUDA FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan salah satu jenis ternak unggas yang dikembangkan sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur maupun daging. Sejak

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda Standar Nasional Indonesia Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

KARAKTERISTIK UKURAN KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI KARAKTERISTIK UKURAN KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI AGUS SUPARYANTO Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Persilangan itik Peking dengan lokal

Lebih terperinci

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama PEMBAHASAN UMUM Potensi pengembangan itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan. Populasi itik yang cukup besar dan penyebarannya hampir disemua provinsi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI AGUS SUPARYANTO Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Itik Peking x Alabio

Lebih terperinci

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase PERFORMA PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) PETELUR BETINA SILANGAN WARNA BULU COKLAT DAN HITAM DI PUSAT PEMBIBITAN PUYUH UNIVERSITAS PADJADJARAN GROWTH PERFORMANCE (Coturnix coturnix japonica)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda Standar Nasional Indonesia Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...i Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup...1 2 Istilah

Lebih terperinci

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif Performance of Male and Female Talang Benih Duck Growth Reared Intensively Kususiyah dan Desia Kaharuddin Jurusan

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO (Genetic Parameter Estimates of Egg Production Characteristics in Alabio Ducks) T. SUSANTI dan L.H. PRASETYO 1 Balai Penelitian Ternak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging Jurnal Peternakan Sriwijaya Vol. 4, No. 2, Desember 2015, pp. 29-34 ISSN 2303 1093 Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging Rukmiasih 1, P.R.

Lebih terperinci

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

Identifikasi Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh Itik Bali...Herbert Jumli Tarigan

Identifikasi Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh Itik Bali...Herbert Jumli Tarigan IDENTIFIKASI BOBOT BADAN DAN UKURAN UKURAN TUBUH ITIK BALI (Kasus Di Kelompok Ternak Itik Manik Sari Dusun Lepang Desa Takmung Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung Provinsi Bali) IDENTIFICATION OF

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Itik Rambon Ternak unggas yang dapat dikatakan potensial sebagai penghasil telur selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, melihat

Lebih terperinci

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO (Breeding Program of Ma Ducks in Bptu Pelaihari: Selection of Alabio Parent Stocks) A.R. SETIOKO

Lebih terperinci

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara Standar Nasional Indonesia Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi... 1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO I G.M. BUDIARSANA Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221 Bogor 16002 ABSTRAK Analisis feasibilitas merupakan metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BIOLOGIS ITIK CIHATEUP DARI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN GARUT

KAJIAN KARAKTERISTIK BIOLOGIS ITIK CIHATEUP DARI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN GARUT KAJIAN KARAKTERISTIK BIOLOGIS ITIK CIHATEUP DARI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN GARUT (Biological Characterics of Cihateup Duck of Tasikmalaya Garut Regencies) WAHYUNI AMELIA WULANDARI 1, PENI S. HARDJOSWORO

Lebih terperinci

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal L. HARDI PRASETYO dan T. SUSANTI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 (Diterima dwan redaksi 23 Juli

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa),

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), 1 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sejarah Perkembangan Itik Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), golongan terdahulunya merupakan itik liar bernama Mallard (Anas plathytynchos)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN (Performance of Duck Based on Small, Big and Mix Groups of Birth Weight) KOMARUDIN 1, RUKIMASIH 2 dan P.S. HARDJOSWORO

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) Triana Susanti, L.Hardi Prasetyo dan Brant Brahmantiyo Balai Penelitian

Lebih terperinci

DAMPAK PENGGUNAAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN TERHADAP PENAMPILAN DAN KOMPOSISI KARKAS ITIK LOKAL JANTAN

DAMPAK PENGGUNAAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN TERHADAP PENAMPILAN DAN KOMPOSISI KARKAS ITIK LOKAL JANTAN DAMPAK PENGGUNAAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DALAM PAKAN TERHADAP PENAMPILAN DAN KOMPOSISI KARKAS ITIK LOKAL JANTAN SKRIPSI ARIF WAHYUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP

PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP Pendahuluan Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap daging, pemeliharaan itik jantan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

Pengukuran Sifat Kuantitatif...Fachri Bachrul Ichsan.

Pengukuran Sifat Kuantitatif...Fachri Bachrul Ichsan. PENGUKURAN SIFAT-SIFAT KUANTITATIF Coturnix coturnix Japonica JANTAN LOKAL DAN Coturnix coturnix Japonica JANTAN LOKAL HASIL SELEKSI MEASUREMENT OF QUANTITATIVE TRAITS OF LOCAL MALE Coturnix Coturnix Japonica

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos)

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos) TINJAUAN PUSTAKA Itik (Anas platyrhynchos) Menurut Achmanu (1997), itik termasuk ke dalam unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut : kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae,

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb III. KARAKTERISTIK AYAM KUB-1 A. Sifat Kualitatif Ayam KUB-1 1. Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb Sifat-sifat kualitatif ayam KUB-1 sama dengan ayam Kampung pada umumnya yaitu mempunyai warna

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah Ayam kampung semula I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan

Lebih terperinci

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari Standar Nasional Indonesia Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2 SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998 PEMBIBITAN ITIK ALABIO DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH (HST) KALIMANTAN SELATAN ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2 1 Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan

Lebih terperinci

Karakteristik Fenotipe Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan

Karakteristik Fenotipe Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Karakteristik Fenotipe Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Suryana 1, R.R. Noor 2, P.S. Hardjosworo 2, dan L.H. Prasetyo 3 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan,

Lebih terperinci

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN WAFIATININGSIH 1, IMAM SULISTYONO 1, dan RATNA AYU SAPTATI 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam Bangkok merupakan jenis ayam lokal yang berasal dari Thailand dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena

Lebih terperinci

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal L. HARDI PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO. Box 221, Bogor 16002 (Diterima dewan redaksi 18 Desember 2006) ABSTRACT PRASETYO, L.H.

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri SNI 7557:2009 Standar Nasional Indonesia Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional SNI 7557:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii

Lebih terperinci

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2) PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2) BENNY GUNAWAN dan TIKE SARTIKA Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi 21

Lebih terperinci

Ekspresi Gen Homosigot Resesif (c/c) pada Performans Telur Pertama Itik Mojosari

Ekspresi Gen Homosigot Resesif (c/c) pada Performans Telur Pertama Itik Mojosari SUPARYANTO et al.: Ekspresi gen homosigot resesif (c/c) pada performans telur pertama itik Mojosari Ekspresi Gen Homosigot Resesif (c/c) pada Performans Telur Pertama Itik Mojosari AGUS SUPARYANTO, A.R.

Lebih terperinci

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR L.H. PRASETYO dan T. SUSANTI Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi ABSTRACT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada

Lebih terperinci

Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu

Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu JITV Vol. 16 No. 2 Th. 2011: 90-97 Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu P.R. MATITAPUTTY 1, R.R. NOOR 2, P.S. HARDJOSWORO

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama

Lebih terperinci

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara Standar Nasional Indonesia Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...1 2 Istilah dan definisi...1

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kementerian Pertanian menetapkan itik Rambon yang telah dibudidayakan dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik Tegal dengan itik

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Ciamis, Jawa Barat Kabupaten Ciamis merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki luasan sekitar 244.479 Ha. Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak

Lebih terperinci

Kurva Pertumbuhan Morfologi Itik Betina Hasil Silang antara Pekin dengan Mojosari Putih

Kurva Pertumbuhan Morfologi Itik Betina Hasil Silang antara Pekin dengan Mojosari Putih JITV Vol. 9 No. 2 Th. 24 Kurva Pertumbuhan Morfologi Itik Betina Hasil Silang antara Pekin dengan Mojosari Putih A. SUPARYANTO 1, H. MARTOJO 2, P. S. HARDJOSWORO 2 dan L.H. PRASETYO 1 1 Balai Penelitian

Lebih terperinci

PERSENTASE BAGIAN PANGAN DAN NONPANGAN ITIK MANDALUNG PADA BERBAGAI UMUR

PERSENTASE BAGIAN PANGAN DAN NONPANGAN ITIK MANDALUNG PADA BERBAGAI UMUR PERSENTASE BAGIAN PANGAN DAN NONPANGAN ITIK MANDALUNG PADA BERBAGAI UMUR (PERCENTAGE OF EDIBLE AND NON EDIBLE PARTS OF MULE DUCKS AT DIFFERENT AGES) Sunari, Rukmiasih dan Peni S. Hardjosworo Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur. 23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Itik

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Itik TINJAUAN PUSTAKA Ternak Itik Ternak itik merupakan ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial di samping ayam. Kelebihan ternak itik adalah lebih tahan dibandingkan dengan ayam ras sehingga dalam

Lebih terperinci

PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI. Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN

PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI. Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan ternak unggas yang cukup popular di masyarakat terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang mungil yang cocok untuk dimasukkan

Lebih terperinci

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN (Egg Production of MA Duck and on BPTU Pelaihari South Kalimantan) T. SUSANTI 1, A.R. SETIOKO 1, L.H. PRASETYO 1 dan SUPRIYADI 2 1 Balai Penelitian

Lebih terperinci

ClRl - CIRI FlSlK TELUR TETAS ltlk MANDALUNG DAN RASE0 JANTAN DENGAN BETINA

ClRl - CIRI FlSlK TELUR TETAS ltlk MANDALUNG DAN RASE0 JANTAN DENGAN BETINA ClRl - CIRI FlSlK TELUR TETAS ltlk MANDALUNG DAN RASE0 JANTAN DENGAN BETINA ' YANG DlHASlLKAN (PH~SICAL CHARACTERISTICS OF MANDALUNG HATCHING EGGS AND THE MALE AND FEMALE RATIO OF THEIR DUCKLING) Yanvin

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL

SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi PeternakanARMP-11 Th. 199912000 Kata kunci : Seleksi, produksi telur, itik lokal. SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL L. HARDY PRASETYo dantriana SUSANTI Balai

Lebih terperinci

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK TEGAL DAN MOJOSARI : I. AWAL PERTUMBUHAN DAN AWAL BERTELUR

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK TEGAL DAN MOJOSARI : I. AWAL PERTUMBUHAN DAN AWAL BERTELUR PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK TEGAL DAN MOJOSARI : I. AWAL PERTUMBUHAN DAN AWAL BERTELUR L. HARDI PRASETYo dan TRIANA SUSANTI Balai Penelitian Ternak P.O. Box 121, Bogor 16002, Indonesia (Diterima

Lebih terperinci

Tilatang Kamang Kabupaten Agam meliputi Nagari Koto Tangah sebanyak , Gadut dan Kapau dengan total keseluruhan sebanyak 36.

Tilatang Kamang Kabupaten Agam meliputi Nagari Koto Tangah sebanyak , Gadut dan Kapau dengan total keseluruhan sebanyak 36. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan sektor yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan. Kebutuhan masyarakat akan produkproduk peternakan akan semakin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba.

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ternak unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber daging. Selain cita rasanya yang disukai, ternak unggas harganya relatif lebih murah dibandingkan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF HETI RESNAWATI dan IDA A.K. BINTANG Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor ABSTRAK Pengembangan ternak ayam lokal sebagai penghasil daging

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asal-Usul dan Klasifikasi Domba Domba yang dijumpai saat ini merupakan hasil domestikasi yang dilakukan manusia. Pada awalnya domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama KETAREN dan PRASETYO: Pengaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang Mojosari X Alabio (MA) Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Itik Magelang dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2015 bertempat di Desa Ngrapah,

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR 20 60 MINGGU (Productivity of Alabio and Mojosari Ducks for 40 Weeks from 20-60 weeks of Age) MAIJON PURBA 1, L.H. PRASETYO 1, PENI S.

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi Itik Itik merupakan salah satu jenis unggas yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Selain sebagai alat pemenuh kebutuhan konsumsi namun juga berpotensi

Lebih terperinci

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri Standar Nasional Indonesia Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD Pinky R. P 1), E. Sudjarwo 2), and Achmanu 2) 1) Student of Animal Husbandry Faculty, University of Brawijaya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Morfologi, korelasi, performans reproduksi, itik Tegal, seleksi ABSTRACT

ABSTRAK. Kata kunci: Morfologi, korelasi, performans reproduksi, itik Tegal, seleksi ABSTRACT HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PERFORMANS REPRODUKSI ITIK TEGAL SEBAGAI DASAR SELEKSI [Relationship Between Morphology Characteristics and Reproduction Performance of "Tegal" Duck as Based

Lebih terperinci

(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS DUA BANGSA ITIK LOKAL: ALABIO DAN MOJOSARI PADA SISTEM KANDANG BATTERY DAN LITTER (PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) Maijon

Lebih terperinci

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari Standar Nasional Indonesia Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari Penerima dari RSNI ini diminta untuk menginformasikan adanya hak paten dalam dokumen ini, bila diketahui, serta memberikan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Pendahuluan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Peternakan itik lokal telah berkembang dengan cukup pesat karena minat peternak yang semakin meningkat sebagai alternatif sumber pendapatan. Khususnya hal

Lebih terperinci

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio LAMPIRAN 124 Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio Gambar 1.1 Penampilan itik Alabio jantan dewasa Gambar 1.2 Penampilan itik Alabio betina dewasa Gambar 1.3 Pengukuran

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HASIL TETAS TELUR ITIK RAMBON DAN CIHATEUP PADA LAMA PENCAMPURAN JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA

KARAKTERISTIK HASIL TETAS TELUR ITIK RAMBON DAN CIHATEUP PADA LAMA PENCAMPURAN JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA KARAKTERISTIK HASIL TETAS TELUR ITIK RAMBON DAN CIHATEUP PADA LAMA PENCAMPURAN JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA CHARACTERISTICS OF HATCHING EGGS OF RAMBON AND CIHATEUP DUCKS AT DIFFERENT MEETING DURATION

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan konsumen terhadap produk hasil ternak juga meningkat. Produk hasil ternak yang dipilih

Lebih terperinci

PENGARUH BOBOT BADAN INDUK ITIK MAGELANG GENERASI KEDUA TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI.

PENGARUH BOBOT BADAN INDUK ITIK MAGELANG GENERASI KEDUA TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI. PENGARUH BOBOT BADAN INDUK ITIK MAGELANG GENERASI KEDUA TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI Oleh JUMBRIYADI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF ITIK LOKAL DI USAHA PEMBIBITAN ER DI KOTO BARU PAYOBASUNG KECAMATAN PAYAKUMBUH TIMUR KOTA PAYAKUMBUH SKRIPSI

KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF ITIK LOKAL DI USAHA PEMBIBITAN ER DI KOTO BARU PAYOBASUNG KECAMATAN PAYAKUMBUH TIMUR KOTA PAYAKUMBUH SKRIPSI KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF ITIK LOKAL DI USAHA PEMBIBITAN ER DI KOTO BARU PAYOBASUNG KECAMATAN PAYAKUMBUH TIMUR KOTA PAYAKUMBUH SKRIPSI Oleh: CHARLLY CHARMINI ARSIH 0910611005 Diajukan Sebagai Salah Satu

Lebih terperinci

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL EFFECT OF SEX AND SLAUGHTER WEIGHT ON THE MEAT PRODUCTION OF LOCAL SHEEP Endah Subekti Staf Pengajar Fakultas Pertanian

Lebih terperinci