FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009"

Transkripsi

1 TINDAK PIDANA PENGGELAPAN YANG DILAKUKAN PEJABAT NOTARIS DIKAITKAN DENGAN SUMPAH JABATAN NOTARIS (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan 2601/Pid.B/2003/ PN.Mdn) S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: ERWIN HARRIS RAHMAN NIM: DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan nabi muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam. Skripsi ini berjudul: Tindak Pidana Penggelapan yang Dilakukan oleh Pejabat Notaris Dikaitkan Dengan Sumpah Jabatan Notaris. Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

3 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU. 4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU. 5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU. 6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum sebagai Penasehat Akademik dan Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis. 8. M. Nuh, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU atas perhatian dan bimbingan Bapak kepada penulis selama penulisan skripsi. 9. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. 10. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU. 11. Ayahanda dan ibunda yang tercinta, sembah sujud ananda haturkan atas curahan dan belaian kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik ananda hingga ananda

4 dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, serta seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini. 12. Buat teman-temanku yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, kalian akan selalu dihatiku. 13. Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Medan 05 Desember 2009 Erwin Harris Rahman

5 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Permasalahan... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4 D. Keaslian Penulisan... 5 E. Tinjauan Kepustakaan... 5 F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KENOTARIATAN DAN PENGGELAPAN A. Sejarah notariat B. Notaris sebagai pejabat umum C. Peraturan tentang Notaris dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia D. Pengaturan tentang Penggelapan dalam Peraturan Hukum Pidana Indonesia E. Unsur-unsur Penggelapan BAB III KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS A. Sumpah Jabatan dan Rahasia Jabatan Notaris B. Kode Etik Notaris... 47

6 BAB IV TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PEJABAT NOTARIS DIKAITKAN DENGAN SUMPAH JABATAN NOTARIS A. Tindak Pidana Penggelapan Notaris dalam Perspektif Sumpah Jabatan Notaris B. Kasus C. Analisa kasus BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA... 72

7 ABSTRAKSI Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang berwenang membuat akta otentik tertentu, tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris yang terjebak dalam tindak pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2601/Pid.B/2003/ PN.Mdn menggambarkan bahwa notaris sebagai salah satu pejabat negara telah melakuan tindak pidana penggelapan biaya pengurusan perlaihan/ balik nama sertifikat Hak Guna Bangunan dan pengurusan biaya pajak atas peralihan tersebut. Berbeda dengan tindak pidana yang umumnya dilakukan oleh masyarakat biasa pada umumnya, notaris yang melakukan tindak pidana terkait dengan pemalsuan akta otentik tertentu dipandang sangat ironi, sebab jabatan yang disandang merupakan jabatan yang diberikan oleh negara melalui serangkaian sumpah jabatan yang mengukuhkan status mereka sebagai pejabat negara. Permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai Bagaimana kedudukan pejabat notaris dalam Undang-undang tentang Jabatan Notaris dan Bagaimana tindak pidana penggelapan yang dilakukan notaris dikaitkan dengan sumpah jabatan notaris. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Seorang notaris dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat yang disegani, namun saat ini kedudukannya agak disalahmengerti oleh kebanyakan orang. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh tindakan dan perilaku para notaris itu sendiri. Tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat notaris merupakan tindakan yang sangat melanggar sumpah jabatan notaris. Dalam sumpah jabatannya, notaris telah bersumpah akan menjalankan secara amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak. Tindak pidana penggelapan merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang jabatan notaris, sehingga tindak pidana tersebut dapat dianggap telah melanggar sumpah jabatan yang pada waktu pelantikan diucapkan oleh semua pejabat notaris.

8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu jabatan yang lebih dari sekedar suatu profesi karena notaris adalah suatu jabatan umum yang selain sebagai seseorang yang membuat akta otentik, dia berperan pula sebagai penasehat hukum, penemu hukum, dan penyuluh hukum dalam hal-hal yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya tersebut. Eksistensi Notaris sebagai Pejabat Umum didasarkan atas Undang-undang Jabatan Notaris, yakni Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 yang menetapkan rambu-rambu bagi gerak langkah seorang notaris. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, di dalamnya menyatakan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pejabat Umum 1 dalam menjalankan tugas jabatannya mengemban amanat yang berasal dari dua sumber, yaitu: 1. anggota masyarakat yang menjadi klien notaris, menghendaki agar notaris membuatkan akta otentik yang berkepentingan; 2. amanat berupa perintah dari undang-undang secara tidak langsung kepada notaris, agar untuk perbuatan hukum itu dituangkan dan dinyatakan dengan akta otentik, hal ini mengandung makna bahwa notaris terikat dan 1 Rachmat Setyawan dalam

9 berkewajiban untuk menaati peraturan yang mensyaratkan untuk sahnya sebagai akta otentik. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dilihat bahwa notaris dalam melaksanakan jabatannya selaku Pejabat Umum mengandung beberapa kemungkinan, yaitu membuat akta otentik dalam hal adanya permintaan dari masyarakat sebagai klien untuk membuat pembuktian bagi perbuatan yang mereka lakukan, serta membuat akta otentik sebagai perintah atau amanat dari perundangundangan. Kedua kemungkinan tersebut kemudian mewajibkan notaris untuk melakukan tugas dan wewenangnya dalam pembuatan akta otentik, seperti halnya yang disebutkan dalam Pasal 1 UUJN. Dua kemungkinan ini membawa konsekuensi bahwa ada dua kepentingan yang diemban oleh notaris selaku pejabat umum, yaitu kepentingan masyarakat sebagai klien dan kepentingan negara sebagai institusi sah yang operasionalnya diselenggarakan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan. Dua kepentingan yang disebutkan tersebut merupakan kepentingan yang jauh lebih penting dan harus lebih diperhatikan daripada hanya mempersoalkan masalah tugas notaris secara teknis dan teoritis. Adanya beberapa kepentingan tersebut mengharuskan seorang Notaris selaku pejabat umum mempunyai dedikasi yang tinggi dengan pekerjaannya dan tentu saja harus mengerti dan bijaksana menyikapi beberapa kepentingan tadi dengan bijaksana. Seperti halnya telah ditegaskan dalam Pasal 1 UUJN mengenai Notaris sebagai satu-satunya pejabat umum, jelas terlihat bahwa notaris merupakan suatu jabatan yang bersangkutan dengan masalah hukum (ranah hukum). Selain sebagai pembuat akta otentik, pada aliran Eropa-Kontinental yang memakai hukum latin,

10 notaris juga mempunyai kompetensi sebagai seorang penasehat hukum yang memberikan nasehat-nasehat hukum pada klien yang datang kepadanya pada saat minta dibuatkan akte atau sekedar datang hanya untuk berkonsultasi mengenai masalah hukum yang berkenaan dengan masalah kenotariatan ataupun hukum secara umum. Berbeda halnya dengan Notaris pada aliran anglo saxon yang hanya mempunyai peranan murni sebagai pembuat akta otentik, tanpa mempunyai peranan yang lain berkenaan dengan tugas dan wewenangnya untuk membuat akta otentik. Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang berwenang membuat akta otentik tertentu, tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris yang terjebak dalam tindak pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2601/Pid.B/2003/ PN.Mdn menggambarkan bahwa notaris sebagai salah satu pejabat negara telah melakuan tindak pidana penggelapan biaya pengurusan perlaihan/ balik nama sertifikat Hak Guna Bangunan dan pengurusan biaya pajak atas peralihan tersebut. Berbeda dengan tindak pidana yang umumnya dilakukan oleh masyarakat biasa pada umumnya, notaris yang melakukan tindak pidana terkait dengan pemalsuan akta otentik tertentu dipandang sangat ironi, sebab jabatan yang disandang merupakan jabatan yang diberikan oleh negara melalui serangkaian sumpah jabatan yang mengukuhkan status mereka sebagai pejabat negara. Oleh karena hal tersebut di atas, tulisan ini mengangkat persoalan tindak pidana yang dilakukan notaris tersebut ke dalam sebuah judul skripsi, yakni: Tindak Pidana Penggelapan yang Dilakukan oleh Pejabat Notaris Dikaitkan Dengan Sumpah Jabatan Notaris.

11 B. Permasalahan 1. Bagaimana kedudukan pejabat notaris dalam Undang-undang tentang Jabatan Notaris? 2. Bagaimana tindak pidana penggelapan yang dilakukan notaris dikaitkan dengan sumpah jabatan notaris? C. Tujuan dan manfaat Penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik di Indonesia. b. Untuk mengetahui tindak pidana penggelapan yang dilakukan notaris dikaitkan dengan sumpah jabatan notaris. 2. Manfaat a. Secara Teoritis Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana umumnya. b. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang tindak pidana penggelapan yang dilakukan notaris dikaitkan dengan sumpah jabatan notaris. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat

12 dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Tindak Pidana Penggelapan yang Dilakukan oleh Pejabat Notaris Dikaitkan Dengan Sumpah Jabatan Notaris (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2601/Pid.B/2003/ PN.Mdn). belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak pidana Penggelapan Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan

13 sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. 2 Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum, alasan mengapa strafbaar feit itu harus dirumuskan karena: a. Untuk adanya suatu strafbar feit itu diisyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan undangundang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam mitu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undangundang; 2 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 181.

14 c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling. 3 Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,- 4 Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan member kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sanga tmerugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan: Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu karena ada 3 Ibid, hal R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1994, hal. 258.

15 hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat. 5 Dalam MvT mengenai pembentukan pasal 372 menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas sesuatu benda yang ada. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda. 6 Kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagi indikatornya ialah dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. 7 Ciri khusus kejahatan penggelapan ini jika dibandingkan dengan pencurian adalah terletak pada unsur beradanya benda dalam kekuasaan sebagai mencuri atas benda milik orang lain telah berada dalam kekuasaan sendiri. Penggelapan sebagai suatu kejahatan diatur dalam Bab XXIV pasal 372 sampai dengan pasal 377 KUHP. Kejahatan ini dalam KUHP untuk Bumi Putra berdasarkan Stb No. 82 disebut merusak kepercayaan jika dilakukan bukan oleh seorang penjahat. 5 R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Diserta Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal Ibid, hal. 77.

16 Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan yang dilakukan. Dalam hal kejahatan penggelapan hampir sama dengan kejahatan pencurian, ada beberapa unsur yang sama. Demikian pula perlu diperhatikan bahwa jangan sampai ada kekeliruan tentang hukum, tegasnya jika disangka ada penggelapan harus diteliti dahulu, oleh karna dapat terjadi bahwa yang disankga itu sebenarnya adalah suatu jual beli. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan bunyi pasal 372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu b. Benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian c. Benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan dengan jalan suatu kejahatan d. Memiliki benda itu harus tanpa hak Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan Dengan melihat cara perbuatan dilakukan, maka dapat dibagi kejahatan penggelapan dalam beberapa jenis, yaitu: a. Penggelapan dalam bentuk pokok 8 Ibid, hal. 82.

17 Kejahatan penggelapan ini diatur dalam pasal 372 KUHP sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Benda yang menjadi objek kejahatan ini tidak ditentukan jumlah atau harganya. b. Penggelapan ringan (lichte verduistering) Dikatakan penggelapan ringan, bila objek dari kejahatan bukan dari hewan atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp. 250, tentunya harga ini tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian, dalam praktek disesuaikan dengan kondisi sekarang dan tergantung dari pertimbangan hakim. Kejahatan ini diatur dalam pasal 373 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp Pasal 373 KUHP menentukan bahwa: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372 yang digelapkan bukan hawan dan harganya tidak lebih dari Rp. 250 dihukum, karena penggelapan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 900,-. c. Penggelapan dengan pemberatan Kejahatan ini diancam dengan hukuman yang lebih berat, yaitu selamalamanya 5 tahun. Unsur pokok yang berakibat adanya pemberatan adalah karena hubungan pekerjaan, jabatan atau menerima upah. Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa: Penggelapan yang dilakukan oleh pemegang benda itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya, atau karena ia mendapat upah, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun

18 Kejahatan ini juga diatur dalam pasal 375 KUHP, pasal tersebut berbunyi: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu, atau wali, curator, pengurus, orang yang menjalankan wasiat atau mengurus balai harta derma, tentang sesuatu benda yang ada dalam tangannya karena jabatan tersebut, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. d. Penggelapan di kalangan keluarga Penggelapan dalam keluarga diatur dalam pasal 376 KUHP. Sebagaimana disinggung sepintas lalu, bahwa kejahatan penggelapan adalah delik aduan relatif, artinya delik atau kejahatan ini adalah kejahatan bukan delik aduan, tetapi jika dilakukan oleh dan di kalangan keluarga, maka menjadi delik aduan. Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam keluarga, maka dapat menjadi: a. Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya (pasal 376 ayat 1). b. Tindak pidana aduan, tanpa adanya pengaduan, baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya tidak dapat dilakukan penuntutan (pasal 376 ayat 2). 9 9 Ibid, hal. 95.

19 F. Metode Penelitian Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya. 10 Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 11 selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan. 12 Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu di antaranya: 13 a. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap 10 Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, hal Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Press, Jakarta, 2006, hal. 7.

20 b. memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui c. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Sifat dan Jenis Penelitian Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dalam: 14 a. Penelitian hukum normatif b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif. 15 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided 14 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, 1994, hal. 105.

21 by the judge through judicial process) 16. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. 17 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 18 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumbersumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumendokumen terkait dan beberapa buku mengenai tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh notaris dikaitkan dengan sumpah jabatan notaris. 16 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2006, hal J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, 2003, hal Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, 2007, hal. 57.

22 2. Sumber Data Materi dalam skripsi ini diambil dari sekunder, yakni: a. Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 19 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh notaris dikaitkan dengan sumpah jabatannya, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan Hukum Tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang 19 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 19.

23 digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: 20 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian. b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian. 4. Alat Pengumpulan Data Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal 20 Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63.

24 dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh pejabat notaris. 5. Analisa data Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang kenotariatan dan penggelapan, yang mengulas tentang sejarah notaris, notaris sebagai pejabat umum, Pengaturan tentang notaris dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Pengaturan

25 tentang penggelapan dalam peraturan hukum pidana Indonesia, dan unsur-unsur penggelapan. BAB III : Bab ini akan membahas tentang kedudukan notaris sebagai pejabat umum dalam Undang-undang Jabatan Notaris, yang memuat tentang Sumpah jabatan dan rahasia jabatan dan kode etik notaris. BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang tindak pidana penggelapan pejabat notaris dikaitkan dengan sumpah jabatan notaris, yang mengulas tentang Tindak pidana penggelapan notaris dalam perspektif sumpah jabatan notaris, deskripsi kasus dan analisa kasus. BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

26 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KENOTARIATAN DAN PENGGELAPAN A. Sejarah Notariat Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius, majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja. 21 Fungsi notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada saat ini. Pada akhir abad kelima sebutan notarii diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat, yang sekarang dikenal sebagai stenografen. Pejabat-pejabat yang dinamakan notarii tersebut merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik. Yang melayani publik dinamakan tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya. Pada dasarnya fungsi tabelliones mirip dengan fungsi Notaris pada masa sekarang, hanya saja akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, CDSBL, 2003, hal Ibid 23 Ibid, hal. 32.

27 Selain tabelliones terdapat juga pejabat lain yang dinamakan tabularii yang bertugas memegang dan mengerjakan buku-buku keuangan kota serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi kota. Tabularii juga ditugaskan menyimpan surat-surat dan berwenang membuat akta. Tabularii berhak menyatakan secara tertulis terhadap tindakan-tindakan hukum yang ada dari para pihak yang membutuhkan jasanya. 24 Tabularii merupakan saingan berat bagi para tabelliones. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) 25 di Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral di Jacatra (sekarang Jakarta) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris. Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, sekretaris dari College van Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta, diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia. 26 Dalam akta pengangkatannya sebagai Notaris, secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yaitu menjalankan tugas jabatannya di Jakarta demi kepentingan publik dan berkewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen-dokumen dan akta-akta yang dibuatnya. Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris College van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, 24 Ibid 25 5 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1996, hal Ibid

28 antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari aktaakta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. 27 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang Notaris dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atauminutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar. 28 Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). 29 Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: Segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang dasar ini. Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan 27 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982, hal Ibid, hal Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. 2, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 2.

29 tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948, Tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman. 30 Tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh Wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat- Papua sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya. 31 Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda. 32 Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan bahwa, dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang 30 Ibid 31 Ibid 32 Ibid

30 diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3)- (Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk Notaris Indonesia. 33 Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 merupakan Notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan Pasal 3 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Ketentuan pengangkatan Notaris oleh Gubernur Jenderal, oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 telah dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan juga mencabut Pasal 62, 62a dan 63 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). 33 Ibid

31 Tahun 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi: 1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860: 3) 34 sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); 4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. Dijelaskan dalam Penjelasan UUJN bagian Umum, UUJN merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undangundang yang mengatur tentang Jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu 34 Habib Adjie penyebutan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860: 3) ada kesalahan, karena pada tahun 1860 wilayah Indonesia masih disebut Nederlands Indie, seharusnya masih disebut Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Reglemen tersebut menjadi Reglemen Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun1954, selanjutnya biasa disebut Peraturan Jabatan Notaris atau PJN merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Ibid. hal. 4

32 unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undang- undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia dan berdasarkan Pasal 92 UUJN, dinyatakan UUJN tersebut langsung berlaku, yaitu mulai tanggal 6 Oktober Salah satu contoh unifikasi substansi UUJN yang harus dilakukan oleh para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN mengenai kewajiban mengirimkan daftar akta wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Pengiriman daftar akta wasiat ini, sebelumnya hanya dilakukan oleh para Notaris untuk Warga Negara Indonesia yang selama ini dikualifikasikan tunduk atau baginya berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan berlakunya UUJN ini, maka pengkualifikasian seperti itu tidak berlaku lagi. Siapapun yang membuat wasiat di hadapan Notaris, maka Notaris wajib melaporkannya ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan wajib pula untuk meminta surat keterangan dari Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengenai ada wasiat atau tidak ada wasiat atas nama seseorang. Kewajiban seperti ini berlaku atau dilakukan oleh Notaris, jika pembuatan bukti sebagai ahli waris dibuat di hadapan Notaris.

33 B. Notaris sebagai Pejabat Umum 1. Jabatan notaris Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini. 35 Istilah Pejabat Umum merupakan terjemah dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN 36 dan Pasal 1868 KUHPerdata. 37 Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan: 38 Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan: Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. 35 Pasal 1 angka 1 UUJN 36 Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. Lihat G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hal Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, G.H.S. Lumban Tobing, op.cit.

34 Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris. 39 Baik PJN maupun UUJN tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum. Sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris, tetapi ada juga pejabat lain misalnya: Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain selain Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja. Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang Habib Adjie, op.cit., hal Ibid., hal. 28.

35 Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. 41 Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagainotaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. 42 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai suatu Jabatan Publik mempunyai karakteristik: 43 a. Sebagai jabatan; Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan Notaris sebagai Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan 41 Ibid., hal Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN. 43 Habib Adjie, op.cit., hal

36 atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu; Setiap wewenang yang diberikan kepada Jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Dalam UUJN Wewenang Notaris dicantumkan dalam Pasal 15. c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah; Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 1. Bersifat mandiri (autonomous); 2. Tidak memihak siapa-pun (impartial); 3. Tidak tergantung kepada siapa-pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;

37 Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya-atau dapat memberikan pelayanan Cuma-Cuma untuk mereka yang tidak mampu. e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. 2. Syarat, kewajiban dan larangan bagi notaris Notaris dengan segala fungsi dan kewenangannya dalam rangka pelayanan di bidang hukum, dituntut untuk memiliki kecakapan teknis di bidangnya, dedikasi tinggi, wawasan pengetahuan yang luas disertai integritas moral. Untuk itu ditetapkan berbagai ketentuan mengenai syarat-syarat, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang wajib dilaksanakan dan dipenuhi Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Pasal 3 UUJN menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah: a. warga negara Indonesia;

38 b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani; e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyat-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN, yang selengkapnya berbunyi: a. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: 1. bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; 2. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; 3. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; 4. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; 5. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan

BAB I PENDAHULUAN. otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Pejabat Umum merupakan terjemaah dari istilah Openbare

BAB I PENDAHULUAN. otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Pejabat Umum merupakan terjemaah dari istilah Openbare BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. 1 Istilah Pejabat Umum merupakan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN DIKAITKAN DENGAN KEWENANGAN NOTARIS DALAM LEGALISASI DAN WAARMERKING BERDASARKAN UU NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai negara hukum pemerintah negara

Lebih terperinci

CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH S K R I P S I Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

PENANGANAN CYBER CRIME DI SEKTOR PERBANKAN DI INDONESIA S K R I P S I PRIMA AGUSDANI PUTRA NIM:

PENANGANAN CYBER CRIME DI SEKTOR PERBANKAN DI INDONESIA S K R I P S I PRIMA AGUSDANI PUTRA NIM: PENANGANAN CYBER CRIME DI SEKTOR PERBANKAN DI INDONESIA S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: PRIMA AGUSDANI PUTRA NIM: 030200016

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: PANGERAN

Lebih terperinci

S K R I P S I ANDIKA

S K R I P S I ANDIKA 1 TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIFF HUKUMM PIDANAA ISLAM DAN HUKUM POSITIF S K R I P S I Diajukan untukk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Upaya notaris..., Tammy Angelina Wenas-Kumontoy, FH UI, Baru van Hoeve,2007),hal.449. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Upaya notaris..., Tammy Angelina Wenas-Kumontoy, FH UI, Baru van Hoeve,2007),hal.449. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangannya dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Figur itu juga harus seseorang yang tanda tangannya serta

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kehadiran notaris sebagai pejabat publik adalah jawaban dari kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum atas setiap perikatan yang dilakukan, berkaitan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Notaris bertindak sebagai pelayan masyarakat sebagai pejabat yang diangkat oleh pemerintah yang memperoleh kewenangan secara atributif dari Negara untuk melayani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan dalam membuat suatu alat bukti tertulis yang bersifat autentik dari

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan dalam membuat suatu alat bukti tertulis yang bersifat autentik dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Notaris merupakan pejabat umum yang kedudukannya sangat dibutuhkan dalam membuat suatu alat bukti tertulis yang bersifat autentik dari suatu perbuatan hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN DANA NASABAH DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM SYARIAH (Studi pada KSU Syariah Mitra Amaliyah)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN DANA NASABAH DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM SYARIAH (Studi pada KSU Syariah Mitra Amaliyah) TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN DANA NASABAH DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM SYARIAH (Studi pada KSU Syariah Mitra Amaliyah) S K R I P S I Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang Notaris harus memiliki integritas dan bertindak

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN SKRIPSI Diajukan guna melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : HERDHENY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat timbul dari

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat timbul dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

Lebih terperinci

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan BAB I 1. Latar Belakang Masalah Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan jaminan kepastian atas transaksi bisnis yang dilakukan para pihak, sifat otentik atas akta yang dibuat oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya melakukan kegiatan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya melakukan kegiatan sehari-hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupan sehari-harinya melakukan kegiatan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mencari pekerjaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia peraturan mengenai notaris dicantumkan dalam Reglement op het

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia peraturan mengenai notaris dicantumkan dalam Reglement op het BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga kenotariatan telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarah yang termuat dalam beberapa buku saat ini. Di Indonesia

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:Rajawali, 1982), hlm. 23.

BAB I PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:Rajawali, 1982), hlm. 23. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. 1 Jan Pietterszoon Coen pada waktu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis

Lebih terperinci

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS A. Kedudukan Notaris Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Cakupan pembagunan nasional ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otentik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. otentik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Keberadaan lembaga Notariat di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan akan alat bukti otentik yang sangat diperlukan, guna menjamin kepastian hukum serta kepentingan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada alam demokratis seperti sekarang ini, manusia semakin erat dan semakin membutuhkan jasa hukum antara lain jasa hukum yang dilakukan oleh notaris. Dalam

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017 PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN DAN TUGAS KEWAJIBAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS 1 Oleh: Sri Susanti Mokodongan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang jabatan notaris.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok akan berusaha agar tatanan kehidupan masyarakat seimbang dan menciptakan suasana tertib, damai, dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip dari negara hukum tersebut antara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip dari negara hukum tersebut antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serorang professional bekerja karena integritas moral, intelektual, dan profesional

BAB 1 PENDAHULUAN. serorang professional bekerja karena integritas moral, intelektual, dan profesional BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertanggungjawabaan profesional adalah pertanggungjawabaan kepada diri sendiri dan masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri berarti serorang professional

Lebih terperinci

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan Email: admin@legalitas.org Go Back Tentang Kami Forum Diskusi FAQ Web Mail. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS 1 (satu) bulan ~ Notaris tidak membuat akta Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Notaris tidak membuat akta, Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bernegara yang didasarkan kepada aturan hukum untuk menjamin. pemerintah Belanda pada masa penjajahan.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bernegara yang didasarkan kepada aturan hukum untuk menjamin. pemerintah Belanda pada masa penjajahan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut dengan UUD 1945 telah menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Syarat negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan dalam sektor ekonomi adalah pengembangan pasar modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar modal, merupakan suatu

Lebih terperinci

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris; 59 dengan mencari unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan dari Notaris itu sendiri. Hal itu dimaksudkan agar dapat dipertanggungjawabkan baik secara kelembagaan maupun dalam kapasitas Notaris sebagai subyek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Hukum mengatur hubungan antara individu yang satu dengan yang lain ataupun

Lebih terperinci

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN 28 BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN A. Karakter Yuridis Akta Notaris Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari : a. Bukti tulisan;

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015 KAJIAN YURIDIS PELANGGARAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 1 Oleh : Cicilia R. S. L. Tirajoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003), hal. 31. Universitas Indonesia

Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003), hal. 31. Universitas Indonesia 10 BAB 2 KEWENANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA IKRAR WAKAF TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF 2.1 Notaris dan Akta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sistem hukum. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hal yang sangat diperlukan adalah ditegakkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) memiliki fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) memiliki fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dan ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka diperlukanlah

Lebih terperinci

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2015 KEMENKUMHAM. Anggota Majelis Pengawas. Organisasi. Pengangkatan. Penggantian. Pencabutan PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum faham terhadap pengertian, tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia, juga turut berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia, juga turut berpengaruh pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia, juga turut berpengaruh pada dunia kenotariatan. Semakin banyak masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat memerlukan kepastian hukum. Selain itu, memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang, seiring meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS A. Karakteristik Notaris Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS I. UMUM Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Notaris sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat terlebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Notaris sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat terlebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Notaris sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat terlebih lagi dalam pembuatan akta otentik yang merupakan perbuatan hukum yang diharuskan oleh peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum diungkapkan dengan sebuah asas hukum yang sangat terkenal dalam ilmu

BAB I PENDAHULUAN. hukum diungkapkan dengan sebuah asas hukum yang sangat terkenal dalam ilmu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BUKU I Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015 DAFTAR ISI 1. UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan perlindungan hukum menuntut

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya, tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya, tidak dapat lepas dari etika karena dapat menjaga martabat sebagai makhluk yang sempurna. Sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DKI JAKARTA TAHUN

Lebih terperinci