Kata kunci: pemidanaan, tindak pidana, incest.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kata kunci: pemidanaan, tindak pidana, incest."

Transkripsi

1 ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) Nova Selina Simbolon, Tri Andrisman, Donna Raisa Monica Abstrak Anak adalah generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri diatur dalam Undang- Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berkaitan dengan adanya tindak pidana pencabulan dalam keluarga atau incest yang sebagian besar korbannya adalah anak seperti yang dilakukan oleh paman kandung sendiri. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris tentang pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana dalam Putusan Nomor 11/PID/2014/PT.TK adalah terdakwa Abun bin Nyono terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang- Undang Perlindungan Anak, selama proses peradilan baik dari tingkat penyidikan hingga tingkat eksekusi terhadap terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana dalam hal ini baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf dihubungkan dengan dengan fakta-fakta di persidangan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam Putusan 11/PID/2014/PT.TK adalah berdasarkan teori keseimbangan, pendekatan seni dan intuisi,dan ratio decendi. Saran yang diberikan penulis yaitu perlu dikaji lebih mendalam lagi terhadap pola pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga, sehingga anak yang menjadi korban mampu untuk bangkit kembali terhadap keterpurukan yang pernah dialaminya. Dan perlu meningkatkan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak. Kata kunci: pemidanaan, tindak pidana, incest.

2 ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) Nova Selina Simbolon, Tri Andrisman, Donna Raisa Monica Abstract Children are the younger generation as well as the nation's next role in ensuring the continued existence of a nation and the country itself is set in Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 about Protection of Children. The criminal offense of abuse in the family or incest that most of the victims are children like that done by the uncle of their own. The study was conducted by using a normative juridical approach and empirical juridical approach of punishment for criminal sexual abuse within the family (incest). Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the sentencing perpetrators of abuse in the family (incest) in Putusan No. 11 / PID / 2014 / PT.TK is Abun bin Nyono defendant found to have violated Article 81 paragraph (2) in Undang-Undang about Protection of Children during the judicial process both from the level of investigation to the level of execution against the defendant in a state of physical and spiritual health, and not found a reason eraser criminal in this case either a justification or excuse connected with the facts at trial. Basic consideration in imposing criminal judges to criminal sexual abuse within the family (incest) in Putusan 11 / PID / 2014 / PT.TK is based on equilibrium theory, approach art and intuition, and the ratio decendi. Advice given that the author needs to be studied more deeply on the pattern of punishment against perpetrators of abuse in the family, so that children who are victims were able to bounce back against adversity ever experienced. And the need to improve child protection movement by providing guidance and socialization of children's rights. Keywords: punishment, crime, incest.

3 I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. 1 Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah seyogyanya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam aspek kehidupan. 2 Saat ini bangsa Indonesia sedang giat membenahi permasalahan yang sangat penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari tindak pidana terhadap kesusilaan. Dalam Bab XIV dalam Buku II KUHP memuat kejahatan terhadap kesusilaan yang tersebar pada pasal 281 hingga 303 KUHP. Di dalamnya yang dimaksud dengan kesusilaan sebagian besar berkaitan dengan seksualitas. 3 Salah satu jenis kelainan seksual adalah hubungan seks yang dilakukan bersama seseorang yang masih ada hubungan darah atau yang dikenal dengan istilah incest. Sebagian besar korbannya adalah 1 Titik Triwulan Tuti, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, 2010, hlm Ibid., hlm Tri Andrisman, Delik Tertentu dalam KUHP, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm.23 anak di bawah umur, maka perlu adanya perlindungan terhadap anak. 4 Tindak pidana incest merupakan perbuatan yang tidak bermoral dimana seorang ayah terhadap puteri kandungnya sendiri mencerminkan kelainan pada aktivitas seksual si pelaku yang dikenal dengan dengan istilah incest yaitu hubungan seksual antara ayah dengan anak kandungnya, ibu dengan anak kandungnya, kakak dengan adiknya atau paman terhadap keponakan. Incest dapat diartikan hubungan seks keluarga sedarah (yang tidak boleh dinikahi). Tindak pidana incest terhadap anak sebagai korbannya merupakan salah satu masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan terutama kalangan kriminolog dan penegak hukum. 5 Salah satu contoh tindak pidana incest yaitu terjadinya pencabulan yang dilakukan seorang paman terhadap keponakannya sendiri yang masih berumur 15 tahun. Terdakwa dituntut oleh jaksa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat 2 Undang- Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 11/PID/2014.PT.TK, terdakwa oleh hakim dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan 4 Alfano Arif, Pemeriksanaan Tindak Pidana Incest, 8/4682, diakses Senin 16 Juni, WIB. 5 Wayan Artika, I Incest. Jakarta: Iterprebook.

4 bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun dan 6 bulan dan berdasarkan tuntutan di persidangan hakim menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun terhadap terdakwa. Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman memiliki kebebasan dalam menjatuhkan pidana. Pertimbangan penjatuhan hukuman pidana oleh hakim terdakwa dirasa kurang tepat karena perbuatan yang dilakukan terdakwa kepada hubungan sedarahnya yaitu keponakannya yang menyangkut masa depan dan terdakwa telah melakukan perbuatan pencabulan itu secara berulang-ulang kepada anak di bawah umur sehingga mengakibatkan kondisi psikologis anak terganggu dan ditemukan robeknya selaput dara arah jam delapan, jam sembilan, jam sepuluh dan jam dua. Menurut Pasal 429 RUU KUHP ayat 2 menyebutkan bahwa tindak pidana persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga. Ancaman pidananya antara 3 hingga 12 tahun. Jika yang menjadi korban adalah anak-anak dibawah 18 tahun, hukuman maksimalnya ditambah menjadi tiga tahun lagi. Walaupun belum berlaku tetapi dasar hukum tersebut dapat menjadi acuan dalam penjatuhan pidana kepada terdakwa. 6 6 Ibid., Adapun Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak dimana ancaman pidananya lebih berat dari pada pasal-pasal tersebut diatas yaitu paling lama 15 tahun. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 82 yang menyebutkan bahwa: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul di pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah)". 7 Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah (1)Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidan (Studi Putusan 11/Pid/2014/PT.TK) dan (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/Pid/2014/PT.TK). II. METODE PENELITIAN Pendekatan masalah yang digunakan penulis adalah yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan melalui membaca, mengkaji perundangundangan yang berlaku yang ada 7 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.70.

5 hubungannya dengan pokok bahasan serta literatur-literatur, buku-buku yang lain yang ada hubungannya dengan penelitian dan didukung dengan wawancara narasumber. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Dalam Keluarga (Incest) (Studi Putusan 11/PID/PT.TK) Menurut Barda Nawawi Arief 8, pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundangundangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Syarat pemidanaan terdiri atas perbuatan dan orang. Unsur perbuatan meliputi perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan perbuatan yang bersifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar. Unsur orang terkait dengan adanya kesalahan pelaku yang meliputi kemampuan bertanggungjawab dan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) serta tidak ada alasan pemaaf. Pemeriksaan tindak pidana di persidangan dimulai dari hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang tertutup untuk umum (Pasal 153 ayat 3 KUHAP). 8 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.23 Dalam kaitannya kasus pencabulan terhadap anak dalam lingkungan keluarga maka persidangan bersifat tertutup, mengingat korban adalah anak-anak di bawah umur dan kasus tersebut berkaitan dengan kesusilaan. Ancaman pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yaitu harus memnuhi unsurunsur sebagai berikut: a. barang siapa b. dengan sengaja c. melakukan: a. tipu muslihat, b.serangkaian kebohongan, c. membujuk. d. anak, e. melakukan persetubuhan : a. dengannya, atau b. dengan orang lain. Dalam Pasal 10 KUHP menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu: a. jenis pidana pokok meliputi: 1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda b. jenis pidana tambahan meliputi: 1. pencabutan hak-hak tertentu. 2. perampasan barangbarang tertentu. 3. pegumuman putusan hakim. Rima Septiana 9 menyatakan bahwa mengenai masalah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga, pihak kepolisian selaku penyidik bergerak sesuai dengan koridor atau aturan hukum yang berlaku. Kita masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak, pihak kepolisian 9 Hasil wawancara 16 September 2014

6 tidak melakukan tindakan di luar wewenang dan bertindak harus berpedoman pada Standar Operasionil Prosedur (SOP) dan Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) Kepolisian yang didasari oleh Undang-Undang dan peraturanperaturan lainnya. Nursiah Sianipar 10 menyatakan bahwa pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga dijatuhi sanksi atau hukum pidana. Pidana penjara dan denda yang diberikan kepada pelaku tindak pidana sudah tepat diberikan, hal ini bertujuan untuk pembinaan bagi terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana harus melihat bahwa tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata untuk membuat seseorang merasa jera dengan hukuman pidana yang dijatuhkan, melainkan agar terdakwa atau pelaku menyadari atas kejahatan yang dilakukan dan merasa sadar bahwa hukuman pidana penjara bukanlah hal yang menyenangkan. Miryando Eka Putra 11 menyatakan bahwa terkait dengan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana 10 Hasil wawancara tanggal 24 September Hasil wawancara tanggal 17 September dalam putusan 11/PID/2014/PT.TK., merupakan perwujudan dari asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis maka terhadap terdakwa Abun Bin Nyono oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa dengan menggunakan bentuk dakwaan alternatif dalam hal ini dakwaan pertama melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dakwaan kedua melanggar Pasal 284 KUHP. Hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., harus menggunakan teori tujuan pemidanaan yang tepat bagi pelaku tindak pidana pencabulan, yaitu: 1. Teori Absolut (Teori Pembalasan) Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan. Penulis berpendapat bahwa teori ini tidak tepat digunakan untuk memberikan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., karena pemidanaan bukanlah semata-mata untuk membuat pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga tersebut merasa jera dengan hukuman pidana yang dijatuhkan, ataupun untuk pembalasan atas perbuatannya. Sebaliknya, pemidanaan haruslah merupakan pembinaan bagi terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

7 2. Teori Utilitarian (Teori Relatif atau Teori Tujuan) Menurut pandangan dari teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka seperti pada teori retributive, melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang yakni pada perbaikan para pelanggar hukum (terpidana) di masa yang akan datang. Penulis berpendapat bahwa teori ini tepat digunakan untuk memberikan pemidanaan terhadap pelaku pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK)., karena pemidanaan terhadap pelaku harus dilihat dari segi manfaatnya. Dalam hal ini pemidanaan tersebut merupakan rehabilitasi dan pembinaan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan memperbaiki kualitas moral dan agar lebih baik ke depannya. 3. Teori Gabungan Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan. Penulis berpendapat bahwa teori ini juga tepat digunakan untuk memberikan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK)., apabila teori ini dilihat dari tujuan pemidanaan atau penghukuman disini dimaksudkan bukan hanya sebagai pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat penyembuh bagi pelaku kejahatan agar dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. B. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK. Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 12 Mardison 13 menyatakan bahwa dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada perkara Nomor: 12 Sudarto, Op.cit., hlm Hasil wawancara pada tanggal 22 September 2014.

8 11/PID/2014/PT.TK., dakwaan jaksa tidak dapat dikesampingkan oleh hakim sebelum menjatuhan pidana. Jika terdapat kesamaan pandangan antara jaksa dan hakim, maka hakim akan menjatuhkan pidana sama dengan tuntutan jaksa. Tetapi jika tidak terdapat kesamaan pandangan, maka hakim akan menjatuhkan pidana di bawah atau lebih ringan dari dakwaan jaksa. Sebaliknya hakim bisa menjatuhkan pidana melebihi tuntutan jaksa. Karena hakim dalam menjatuhkan pidana akan mengacu pada hal-hal yang terbukti dan berdasarkan alat bukti di pengadilan, sesuai Pasal 183 dan 184 KUHAP. Putusan hakim mempunyai posisi sentral, karena putusan tersebut mempunyai konsekuensi yang luas, baik menyangkut pelaku tindak pidana maupun masyarakat. Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal yang ada di sekitar pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK. dalam mempertimbangkan perkara ini, putusan hakim telah sesuai dengan Pasal 183 dan 184 KUHAP yaitu adanya lebih dari 2 (dua) alat bukti yang diajukan di persidangan oleh jaksa yaitu petunjuk berupa barang bukti berupa celana panjang jeans warna biru,baju kaos tanpa lengan warna kuning, celana dalam warna hijau, bh warna ungu, bh warna biru, celana dalam warna pink, kemeja warna putih serta adanya keterangan saksi dan keterangan terdakwa telah sesuai dan terbukti di persidangan. Nursiah Sianipar 14 menyatakan bahwa hakim mempunyai 14 Hasil wawancara pada tanggal 24 September pertimbangan tertentu dalam menjatuhkan berat ringannya pidana terhadap pelaku tindak pidana. Hakim berpegang pada keyakinannya, dengan pertimbangan jika pidana yang ditetapkan akan lebih efektif, dimana pelaku benarbenar insyaf dan tidak mengulangi perbuatannya dan akan berlaku secara seadil-adilnya. Nursiah Sianipar juga menambahkan bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., maka berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang cukup, terdakwa dijatuhi pidana 9 (sembilan) tahun pidana penjara dan denda sebesar Rp ,- (enam puluh juta rupiah). Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang tidak menjatuhkan vonis dengan ancaman maksimum sebagaimana pertimbangan putusan dalam hal-hal yang meringankan serta berdasarkan teori pemidanaan yang menyatakan bahwa pemidanaan bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah. Hakim akan melihat faktor yang mempengaruhi pelau tindak pidana, hal tersebut adalah watak pribadi, tekanan jiwa, motif pelaku dan keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal. Perbuatan terdakwa didakwa melanggar Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Proses peradilan pidana yang muaranya berupa putusan hakim di pengadilan sebagaimana tersebut diatas, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut

9 umum, terdakwa, saksi (korban) serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung terfokus pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa. Proses peradilan lebih berkutat pada perbuatan terdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) sebagai kebenaran yang selengkaplengkapnya dan perlindungan hak asasi manusia (protection of human right) tidak seluruhnya tercapai. Penulis juga berpendapat dilupakannya pihak korban dalam proses peradilan cenderung menjauhkan putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat. Dengan demikian apabila akan memahami suatu indak pidana menurut porsi yang sebenarnya secara dimensional, maka harus mempertimbangkan peranan korban dalam timbulnya tindak pidana. Melihat kepada uraian tersebut, maka menurut penulis, pada putusan 11/PID/PT.TK., masih belum secara optimal memenuhi rasa keadilan, karena tampaknya terdapat unsur yang belum dipertimbangkan dalam pemidanaan, yaitu korban. Demi keadilan, selayaknya pihak korban dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana. Dari hal tersebut tampak bahwa kedudukan korban cenderung terabaikan. Hal ini tidak lepas dari teori, doktrin dan peraturan perundang-undangan yang cenderung berorientasi pada pelaku daripada berorientasi pada korban. Hal ini nampak pada : 1. Pemidanaan belum memperhitungkan keterlibatan korban. Teori yang mendasari untuk mendukung dan memperhitungkan keterlibatan korban dalam penjatuhan pidana adalah teori criminal-victim relationship dari Schafer, teori tersebut intinya menjelaskan bahwa suatu tindak pidana terjadi karena antar hubungan pelaku dan korban Perlunya diterapkan restitusi selain pidana penjara. Pemberian restitusi dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban daripada hanya sekedar penjatuhan pidana bagi pelaku terutama dalam kasus korban perkosaan. Restitusi juga bermanfaat bagi negara dan pelaku. 3. Apabila restitusi terhalang, maka kompensasi dapat diberikan secara alternatif maupun kumulatif dengan restitusi kepada korban. Kompensasi berdasarkan hasil kajian beberapa pakar menunjukkan sangat bermanfaat bagi korban seperti yang dikemukakan oleh Doerner & Lab, bahwa kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang dapat dirasakan sebagai obat segala penyakti (pancea). 16 Pihak korban selayaknya perlu pula dipertimbangkan dalam pemidanaan demi rasa keadilan. Pemikiran ini perlu peneliti lontarkan untuk menjelaskan antara lain istilah pertanggungjawaban (responsibility), 15 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal a Study in Functional Responsibility. Published by Random House Inc., in New York and simultaneously intoronto, Canada: Random House of Canada Limited, 1969, hlm William G. Doerner & Steven P. Lab, 1998, Victimology, 2nd edition, Anderson Publishing co America.hlm. 156.

10 kealpaan (culpability), kesalahan (guilty), ternyata dapat pula diterapkan untuk korban. Artinya korban juga dapat diposisikan dalam pertanggungjawaban, kealpaan maupun kesalahan. Penulis menambahkan bahwa kerugian dan/atau penderitaan yang besar dan/atau berat merupakan aspek memberatkan pemidanaan terhadap pelaku, dan sebaliknya sedikit dan/atau ringannya kerugian dan/atau penderitaan korban merupakan aspek meringankan bagi pemidanaan terhadap pelaku.. Derajat kesalahan korban dalam terjadinya tindak pidana merupakan aspek yang dipertimbangkan untuk meringankan pemidanaan bagi pelaku. Semakin tinggi derajat kesalahan korban, maka semakin besar dipertimbangkan sebagai aspek yang meringankan pemidanaan terdakwa. Demikian pula dengan perilaku pelaku dalam proses peradilan pidana yang dapat dipertimbangkan sebagai aspek yang meringankan atau memberatkan pemidanaan. Setelah syarat-syarat pemidanaan terpenuhi dan aspek-aspek korban dan pelaku dipertimbangkan, maka pemidanaan dapat diputuskan. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemidanaan bagi pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK telah dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan sudah sesuai dengan jalur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Sepanjang berkaitan dan memenuhi unsur-unsur terjadinya pencabulan terhadap anak yang diatur dalam Undang-Undand Nomor 23 tahun 2002 maka Undang- Undang inilah yang digunakan dan sebaliknya apabila tidak memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 82 tersebut, maka putusan dijatuhkan berdasarkan KUHP. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana menggunakan teori absolut (teori pembalasan), teori utilitarian (teori tujuan), dan teori gabungan. 2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkaranomor: 11/PID/2014/PT.TK., yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hakim memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengarkan keteranganketerangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori ratio decidendi.

11 DAFTAR PUSTAKA Andrisman, Tri Delik Tertentu dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Doerner William G. & Steven P. Lab Victimology, 2nd edition, Anderson Publishing co America. Nawawi Arief, Barda Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Sudarto Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru. Schafer Stephen The Victim and His Criminal a Study in Functional Responsibilit Published by Random House Inc., in New York and simultaneously intoronto. Canada: Random House of Canada Limited. Wayan Artika, I Incest. Jakarta: Iterprebook. Waluyo, Bambang Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika. Tuti, Titik Triwulan Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD Jakarta Kencana: Jakarta. Waluyo, Bambang Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika.

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

ABSTRAK. ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA.

ABSTRAK. ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA. ABSTRAK ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA Oleh Andika Nafi Saputra, Tri Andrisman, Rini Fathonah Email

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum

I. PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum serta merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PIDANA YANG DIANCAM DENGAN KETENTUAN PIDANA YANG MEMILIKI KETENTUAN ANCAMAN MINIMAL KHUSUS

ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PIDANA YANG DIANCAM DENGAN KETENTUAN PIDANA YANG MEMILIKI KETENTUAN ANCAMAN MINIMAL KHUSUS 85 ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PIDANA YANG DIANCAM DENGAN KETENTUAN PIDANA YANG MEMILIKI KETENTUAN ANCAMAN MINIMAL KHUSUS Oleh : Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H. Abstract

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya kejahatankejahatan yang terjadi

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN SUMBANG (INCEST) DALAM KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BARU

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN SUMBANG (INCEST) DALAM KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BARU PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN SUMBANG (INCEST) DALAM KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BARU Oleh Nyoman Mahadhitya Putra I Wayan Sutara Djaya Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS.

ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS. ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS.) ABSTRACT : Oleh : Ida Ayu Vera Prasetya A.A. Gede Oka Parwata Bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH 1 ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK (studi kasus Pengadilan Negeri Gorontalo dengan putusan perkara nomor 226/pid.b/2011/PN.grtlo dan putusan perkara nomor 11/pid.b/2013/PN.grtlo)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang berdasar kekuasaan belaka (machtstats), oleh karena itu tata kehidupan dalam bermasyarakat,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan yang muncul dipermukaan dalam kehidupan ialah tentang kejahatan pada umumnya terutama mengenai kejahatan dan kekerasan. Masalah kejahatan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Indonesia yang pada saat ini sedang memasuki era globalisasi. Oleh karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa Indonesia khususnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. Marisa Tentang Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Setelah proses pemeriksaan dipersidangan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang

I. PENDAHULUAN. kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari kejahatan. Anak kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke- Empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai figuran,

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR Oleh: I Gusti Bagus Eka Pramana Putra I Ketut Mertha I Wayan Suardana Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA DI KOTA KOLAKA SULAWESI TENGGARA Arwin Prima Hilumallo, AM. Endah Sri Astuti *, DR. R.B Sularto Hukum Pidana ABSTRAK Di

Lebih terperinci

[

[ PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana dalam tindak pidana korupsi. Terbukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak ditinjau dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan

Lebih terperinci

BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI

BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI oleh I Gusti Ayu Christiari A.A. Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perilaku manusia di dalam masyarakat dan bernegara justru semakin kompleks. Pembangunan hukum sebagai upaya untuk

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengertian Anak 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 10 2.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Korupsi merupakan musuh bagi setiap Negara di dunia. Korupsi yang telah mengakar akan membawa konsekuensi terhambatnya pembangunan di suatu negara. Singkatnya

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N NOMOR 603/PID.SUS/2016/PT MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang mengadili perkara pidana pada tingkat banding telah menjatuhkan putusan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan pada masa kini semakin tidak menentu. Perubahan tersebut bisa menuju ke arah yang baik atau lebih baik, juga kearah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale delicht), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 430/PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR : 430/PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N NOMOR : 430/PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara perkara pidana dalam tingkat banding, telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT 38 BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT A. Faktor Penyebab Terjadi Korban 1. Faktor Internal a. Faktor Aparat Penegak Hukum Penegakan hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA Oleh Ni Putu Ari Manik Wedani Pembimbing Akademik Nyoman Satyayudha Dananjaya Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang menjadi

I. PENDAHULUAN. berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang menjadi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak sejak lahir memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang menjadi korban kekerasan

Lebih terperinci

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas V. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang No.237, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOSIAL. Perlindungan Anak. Perpu Nomor 1 Tahun 2016. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar )

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar ) PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar ) ALDILLA AYU CHANDRA NIM : 11100068 Abstrak : Penerapan sanksi hukum oleh hakim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Oleh : Ida Bagus Bayu Ardana Made Gede Subha Karma Resen Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjaga kelestarian hutan merupakan hal yang sangat penting dengan dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci