PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA (WPPNRI 712) ARIS BUDIARTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA (WPPNRI 712) ARIS BUDIARTO"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA (WPPNRI 712) ARIS BUDIARTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perikanan Rajungan dengan Pendekatan Ekosistem di Perairan Laut Jawa (WPPNRI 712) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Aris Budiarto NIM. C

4

5 RINGKASAN ARIS BUDIARTO. Pengelolaan Perikanan Rajungan dengan Pendekatan Ekosistem di Perairan Laut Jawa (WPPNRI 712). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan MUKHLIS KAMAL. Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 31/2004 tentang Perikanan yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 45/2009. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka (Nontji, 1993). Rajungan di Perairan Laut Jawa (WPPNRI 712) merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan yang bernilai ekonomis penting dengan dibuktikan oleh besarnya permintaan dan harga rajungan yang relative tinggi. Pesatnya perkembangan perusahaan eksportir rajungan dengan bahan baku bersumber dari hasil tangkapan nelayan mengakibatkan bertambahnya frekuensi dan jumlah penangkapan rajungan dari para nelayan skala kecil, sehingga dikhawatirkan berdampak pada pengurangan stok rajungan di perairan (over fishing). Berkurangnya stok rajungan selain diakibatkan oleh jumlah armada perikanan rajungan yang semakin bertambah, juga diduga sebagai akibat pola penangkapan yang tidak memperhatikan fase-fase biologis rajungan serta penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Belum optimalnya sosialisasi dan pengawasan pemerintah terhadap regulasi yang mengatur tentang ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap menyebabkan nelayan masih menangkap rajungan yang berukuran dibawah ukuran yang diperbolehkan (berukuran < 10 cm) ataupun menangkap rajungan yang sedang bertelur. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Rajungan di WPPNRI 712 disusun dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 7 ayat 1 UU nomor 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan yang bertujuan sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712. Kata kunci: pengelolaan perikanan, ecosystem approach to fisheries magagement, integrasi, rajungan, over-fishing, perairan Laut Jawa

6 SUMMARY ARIS BUDIARTO. Blue Swimming Crab Fisheries Management with Ecosystem Approach in the Java Sea waters (FMA 712). Guided by LUKY ADRIANTO and MUKHLIS KAMAL. Fisheries management is a duty as it has been mandated by the Law of the Republic of Indonesia No. 31/2004 on Fisheries which was reaffirmed in the improvement of the law, namely the Law of the Republic of Indonesia No. 45/2009. Naturally, the management of fishery systems can not be separated from the three-dimensional integral with each other, namely (1) the dimensions of fishery resources and their ecosystems; (2) dimensions utilization of fishery resources for socio-economic importance; and (3) the dimensions of fisheries policy itself (Charles, 2001). Associated with the three-dimensional, fisheries management is yet to consider the balance of the three, in which the interests of utilization for the socio-economic welfare of society is greater than it with eg ecosystem health. In this context, integrated approach through an ecosystem approach to fisheries management becomes very important. Java Sea waters (Fisheries Management Area 712) is one of the main live crab habitat which is also the main blue swimming crab (BSC) production centers in Indonesia. FMA 712 has the characteristics of BSC fishery management problems is lower stock of crabs and the high number of fishing fleet. This study was aims to determine the condition of BSC fishery management in Java Sea waters, which developed based on performance indicators of ecosystem approach (EAFM). The six EAFM indicators used as the basis for analysis (1) Fisheries Resources; (2) Habitat and Ecosystem; (3) Fishing Technology; (4) Social; (5) Economic; and (6) Institutional. The results of each research domain indicates that the value of the composite score EAFM classified as category medium in the range of The entire aggregate assessment results obtained domain scores density values ranging between Domain which has high density is the domain of social and institutional domains of 54.7 and 55.9 in the medium category. Domain habitat / ecosystem and the economic domain has a score of 36.5 and 20.7 with less category. For domain domain fish resources and fishing techniques have a score of 6.3 and 16.3 with the bad category. The overall of EAFM indicators ranged between Indicating that the management of BSC in FMA 712 under poor to moderate category. Recommendations of this study is to carry out repairs BSC fishery management gradually to perform five steps management; minimum legal size for capture, open closed fishing season, control gear and fishing areas, protection and rehabilitation of habitat and implement restoking. BSC Fisheries Management Plan in FMA 712 are arranged in order to support the policy of management of fish resources as mandated in Article 7 paragraph 1 of Law No. 31 of 2004 as amended by Act No. 45 of 2009 on Fisheries which aims as the direction and guidance in the BSC fishery management plan implementation in FMA 712. Keyword: Blue Swimming Crab, domains, indicators, EAFM, FMA 712

7

8 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA (WPP-NRI 712) ARIS BUDIARTO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc

11

12 PRAKATA Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-nya tesis penelitian yang berjudul Pengelolaan Perikanan Rajungan Dengan Pendekatan Ekosistem Di Perairan Laut Jawa (WPP-NRI 712) dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2013 di Perairan Laut Jawa dengan didukung oleh Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI) Semarang dan Asosiasi Pengusaha Rajungan Indonesia (APRI). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku komisi pembimbing, Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc selaku penguji luar serta kepada Bapak Dr. Ir. Zulhamsyah Imran, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi atas masukan dan arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Zarochman Kusdi, M.Si dari BBPI Semarang dan Bapak Ari Prabawa, S.Pi, M.Si dari APRI, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian rajungan di Perairan Laut Jawa. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Bapak Sulaeman, MS dan Ibunda Painah, istri tercinta Desy Anggrahini, ananda Fatih Izyan Ghaisani dan Fadel Izyan Alghazali serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Hanya kepada Allah SWT kita patut berserah. Semoga segala amal ibadah kita senantiasa mendapat ridho-nya dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amiin.. Bogor, Agustus 2015 Aris Budiarto

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 2 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Ruang Lingkup Penelitian 4 Kerangka Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Konsep dan Definisi EAFM 5 Urgensi Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan 6 Implementasi Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan 7 Pengembangan Indikator Bagi Implementasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem 10 Rajungan (Portunus pelagicus) 11 3 METODE 17 Ruang Lingkup Wilayah Studi 17 Indikator Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan 18 Metode Pengambilan Sampel / Contoh 27 Metode Analisis Data 28 4 KONDISI PERIKANAN RAJUNGAN DI WPPNRI Estimasi Potensi dan Status Sumberdaya Ikan di WPPNRI Keragaan Perikanan Rajungan di WPPNRI EVALUASI PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN INDIKATOR EAFM DI WPPNRI Batasan Indikator, Densitas dan Domain 41 Hasil Penilaian Indikator EAFM Perikanan Rajungan di WPPNRI Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) 50 6 KESIMPULAN 58 DAFTAR PUSTAKA 59 LAMPIRAN 64 RIWAYAT HIDUP 75 vi vi vii

14 DAFTAR TABEL Perbedaan Conventional Approach dengan Ecosystem Approach 9 Indikator, metodologi sampling dan kriteria penilaian domain sumberdaya ikan 19 Indikator, metodologi dan kriteria penilaian domain habitat dan ekosistem 20 Indikator, metodologi dan kriteria penilaian domain Teknik Penangkapan 22 Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain Sosial 23 Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain Ekonomi 24 Indikator, metodologi sampling, dan kriteria penilaian domain Kelembagaan 26 Metode pengambilan contoh multi-stage proportional sampling 28 Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model 29 Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan pada WPPNRI Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan pada WPPNRI Data perhitungan CPUE Rajungan di Pantura Jawa Tahun Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (LM) Rajungan di Laut Jawa (Ernawati, 2015) 38 Ukuran Pertama Kali Tertangkap (Lc) Rajungan (Ernawati, 2015) 38 Batasan Nilai Skor Indikator EAFM 41 Batasan Nilai Skor Densitas EAFM 42 Batasan Skor Nilai Domain dan Agregat 42 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Sumberdaya Ikan di WPPNRI Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Teknik Penangkapan di WPPNRI Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Sosial di WPPNRI Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Ekonomi di WPPNRI Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Ekonomi di WPPNRI Skor Rata-rata Indikator dan Nilai Komposit Domain EAFM 49 Nilai Agregat setiap Domain Indikator EAFM di WPPNRI Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Sumberdaya Ikan 51 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Habitat dan Ekosistem 51 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Teknis Penangkapan 52 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Sosial 53 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Ekonomi 54

15 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Kelembagaan 55 DAFTAR GAMBAR Interaksi dan Proses Antar Komponen Perikanan (Gracia and Cochrane, 2005) 3 Kerangka Pemikiran Penelitian 5 Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan (Gracia and Cochrane, 2005) 6 Proses Implementasi EAFM (Diadopsi dari FAO, 2003) 8 Diagram Proses Evaluasi dan Adaptasi EAFM (FAO, 2003) 9 Proses Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem di Indonesia (Modifikasi dari FAO, 2003) 11 Ciri morfologi rajungan (P. pelagicus): (a) Jantan dan (b) Betina; 13 Bentuk Abdomen Rajungan Jantan (kiri), Betina (tengah) dan Betina Bertelur (kanan). (Mexfish, 1999) 13 Karakteristik Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) (Zairion, 2015) 13 Siklus Hidup Portunus pelagicus (Zairion, 2015) 15 Daerah Tangkapan Rajungan Utama di Indonesia 17 Lokasi Penelitian Penulis-BPPI dan APRI-P4KSI di WPPNRI Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014) 30 Peta Perairan WPPNRI Produksi Rajungan Nasional, Tahun Nilai Produksi Rajungan Nasional Tahun Produksi Rajungan per WPP Tahun Produksi Rajungan di WPPNRI 712 Tahun Produksi Rajungan di WPPNRI 712 per Provinsi Tahun Trend Hasil Tangkapan, Upaya dan Hasil Tangkapan per Upaya (CPUE) di Perairan Laut Jawa 36 Hubungan CPUE dengan Upaya Penangkapan 37 Hubungan Hasil Tangkapan dengan Upaya Penangkapan 37 Komposisi Hasil Tangkapan Arad (atas), Gillnet (tengah) dan Garuk (bawah) di Cirebon Tahun 2014 (Sumiono, 2015) 40 Kobe Plot Perbaikan Perikanan Rajungan di WPPNRI DAFTAR LAMPIRAN Data Perikanan Tangkap Rajungan Tahun Produksi Perikanan Rajungan di 11 WPP Tahun Produksi, Effort, CpUE, MSY Rajungan Tahun (diolah oleh tim APRI) 66 Keragaan Domain Sumberdaya Ikan 67 Keragaan Domain Habitat dan Ekosistem 68 Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan 69

16 Keragaan Domain Sosial 70 Keragaan Domain Ekonomi 71 Keragaan Domain Kelembagaan 72 Rencana Perbaikan Pengelolaan Perikanan Rajungan di WPP 712 Jangka Pendek, Menengah dan Panjang 73

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 31/2004 tentang Perikanan yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pada pantai dengan dasar pasir, dasar/substrat pasir lumpur, dan juga pada laut terbuka. Hewan ini pada umumnya ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap bubu dan jaring rajungan (gillnet). FAO pada tahun 2011 menyebutkan bahwa volume produksi rajungan Indonesia pada periode tahun 1970 sampai dengan tahun 2008 terjadi fluktuasi. Peningkatan produksi secara signifikan terjadi antara tahun 1970 sampai dengan 2004 diikuti dengan penurunan pada di tahun 2004 dan tahun 2005 dan meningkat kembali pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008 produksi rajungan Indonesia mencapai ton dan memberi kontribusi 20% dari produksi secara global di dunia dan merupakan penghasil rajungan nomor dua setelah Cina. Tingginya permintaan ekspor rajungan mendorong harga rajungan semakin tinggi, sehingga memicu nelayan untuk meningkatkan eksploitasi sumberdaya tersebut. Kondisi ini memacu peningkatan upaya penangkapan rajungan yang berakibat intensitas penangkapan terhadap rajungan semakin tinggi. Tingginya intensitas penangkapan dapat mengakibatkan upaya penangkapan yang berlebih. Penangkapan yang berlebihan merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi alami dari rajungan. Oleh karena itu dikhawatirkan upaya

18 2 berlebih ini akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya rajungan. Wilayah perairan Laut Jawa memiliki karakteristik permasalahan dalam pengelolaan perikanan rajungan yaitu sumberdaya rajungan yang semakin terbatas dan jumlah armada penangkapan yang relative terus bertambah. Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya tangkap lebih (over fishing) tehadap sumberdaya rajungan. Terjadinya over fishing selain diakibatkan oleh jumlah armada perikanan rajungan yang tinggi, juga diduga sebagai akibat pola penangkapan yang tidak memperhatikan fase-fase biologis rajungan serta penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Penyebab hal tersebut di atas diantaranya adalah pengetahuan nelayan tentang cara menjaga kelestarian sumberdaya rajungan yang masih sangat minim, sehingga mereka tidak mengetahui cara penangkapan dan penanganan rajungan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perumusan Masalah Rajungan telah menjadi komoditas ekspor utama dalam sektor perikanan di Indonesia sejak tahun 1994 yang dibuktikan dengan tingginya permintaan pasar dari luar negeri khususnya dari negara Amerika Serikat. Ekspor rajungan Indonesia pertama kali ke Amerika Serikat pada tahun 1994 dilakukan oleh PT. Phillips Seafood. Sebelum tahun 1994, harga/nilai ekonomis rajungan relatif rendah karena hanya dikonsumsi secara lokal dengan harga yang relatif murah. Rajungan hasil tangkapan para nelayan umumnya dijual pada para pengumpul (bakul). Para pengumpul ini menjual rajungannya kepada para bandar besar yang merupakan agen pembelian dari perusahaan-perusahaan besar (eksportir) rajungan. Oleh karena itu produksi rajungan sering tidak tercatat oleh petugas dari Dinas Perikanan setempat. Tidak adanya data produksi ini mengakibatkan sulitnya mengetahui besar produksi yang dihasilkan. Di lain pihak, pasar yang luas dan harga yang tinggi ini menjadi pemicu berkembangnya perikanan rajungan. Rajungan banyak tersebar di beberapa tempat disepanjang pantai di Indonesia yang ditangkap dengan berbagai alat tangkap yang bersifat aktif maupun pasif dengan hasil tangkapan yang selektif maupun tidak selektif dalam hal ukuran panjang, berat maupun kualitas mutunya. Sebagai komoditas eksport, guna memenuhi kebutuhan permintaan rajungan yang tinggi mengakibatkan aktifitas penangkapan meningkat, melihat kondisi tersebut timbul kekhawatiran akan keberlanjutan industri rajungan dikarenakan ketersediaan sumberdaya rajungan yang mengalami penurunan. Selain itu ada indikasi bahwa hasil tangkapan rajungan menjadi hasil tangkapan buangan (dischart) dari beberapa alat tangkap yang tidak mentargetkan rajungan sebagai tangkapan utama. Tingginya dinamika dalam pengelolaan rajungan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan rajungan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya rajungan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari kompleksitas sumberdaya rajungan sehingga membuat pendekatan terpadu

19 3 berbasis ekosistem menjadi sangat penting. Gambar 1 berikut ini menyajikan model sederhana dari interaksi antar komponen dalam ekosistem yang mendorong pentingnya penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM). Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan ekosistem menjadi sangat penting. Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan perikanan. Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam. EAFM merupakan pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada (conventional management). Proses yang terjadi pada conventional management digambarkan melalui garis tebal, sedangkan pengembangan dari pengelolaan konvensional tersebut melalui EAFM digambarkan melalui garis putus-putus. Sebagai contoh, pada pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara parsial bagaimana ekstraksi dari sumberdaya ikan yang didorong oleh permintaan pasar. Dalam konteks EAFM, maka ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula dinamika pengaruh dari tingkat survival habitat yang mensupport kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri seperti dijelaskan dalam gambar 1. Gambar 1 Interaksi dan Proses Antar Komponen Perikanan (Gracia and Cochrane, 2005) Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai rumusan dari permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi terkini pengelolaan perikanan rajungan di Perairan Laut Jawa?

20 4 2. Bagaimana strategi pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712 berdasarkan pendekatan ekosistem (EAFM)? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan ekosistem di Perairan Laut Jawa, adalah: a. Menganalisa kondisi terkini mengenai pengelolaan perikanan rajungan. b. Menyusun strategi pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712 berdasarkan hasil penilaian indikator EAFM Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan ekosistem di Perairan Laut Jawa adalah: Menjadi referensi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah khususnya yang memanfaatkan rajungan di Perairan Laut Jawa dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan perikanan rajungan secara berkelanjutan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal, yaitu a. Jenis sumberdaya ikan yang menjadi fokus Utama dari penelitian ini adalah Rajungan (Blue Swimming Crab). b. Lokasi penelitian sebagai sampel perikanan rajungan Laut Jawa adalah pada Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kabupaten Demak dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah) yang merupakan sentra penghasil rajungan. Kerangka Penelitian Dalam upaya mengelola sumberdaya pesisir dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip kelestarian habitat dan ekosistem, diperlukan pengetahuan yang baik tentang potensi sumberdaya alam (hayati dan non-hayati), kondisi lingkungan perairan, keadaan sosial, ekonomi, dan jenis budaya masyarakat yang terdapat di kawasan yang akan dikelola. Salah satu aspek pengelolaan yang penting di kaji agar pengelolaan sumberdaya dapat dilaksanakan dengan baik adalah pengetahuan akan konektivitas antara beberapa komponen dalam ekosistem (termasuk manusia) yang bersifat saling mempengaruhi satu sama lain. Berpijak dari permasalahan dalam pengelolaan perikanan rajungan di Perairan Laut Jawa yaitu terjadinya penurunan produksi hasil tangkapan dan adanya indikasi overfishing dalam perikanan rajungan, maka perlu kiranya dilakukan pengkajian penilaian terhadap indikator ekosistem yang terkait dalam pengelolaan perikanan rajungan. Ada 6 (enam) domain indikator yang akan diteliti dan dianalisa guna mengetahui tingkat pengelolaan perikanan rajungan yang sudah dilakukan yaitu sumberdaya ikan, habitat, teknis penangkapan, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Selengkapnya kerangka pemikiran penelitian digambarkan pada Gambar 2 berikut ini.

21 5 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Definisi EAFM FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).

22 6 Sedangkan Pikitch, et.al (2004) dalam Adrianto (2010) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah arahan baru pengelolaan perikanan di mana prioritas pengelolaan dimulai dari ekosistem dan bukan spesies target. Dengan demikian kunci dari pemahaman EAFM adalah perhatian terhadap konektivitas antar komponen ekosistem (termasuk manusia) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh spesies target sebagai obyek dari pengelolaan perikanan (Adrianto et al, 2010). Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan,k hususnya menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (fisheries management functions) (Adrianto et al, 2010). Urgensi Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakteristik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan. Dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting. Gambar 3 menyajikan model sederhana dari interaksi antar komponen dalam ekosistem yang mendorong pentingnya penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM). (+) (+-) (-) (+-) Gambar 3 Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan (Gracia and Cochrane, 2005)

23 7 Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa interaksi antar ekosistem dan sumberdaya ikan serta komponen sosial ekonomi dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses sistem perikanan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan ekosistem menjadi sangat penting. Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan sumberdaya ikan. Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam. Pada Gambar 3 juga dijelaskan bahwa EAFM sesungguhnya bukan hal yang baru. EAFM merupakan pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada (conventional management). Dalam Gambar 3, proses yang terjadi pada adalah bagaimana pertimbangan untuk mengelola ekosistem sebagai wadah sumberdaya ikan dapat ditingkatkan (ditandai dengan tanda (+)) sambil melakukan pendekatan optimal untuk penangkapan ikan (catch dengan tanda (+-)), dengan mengoptimalkan permintaan konsumen (demand consumers, +-) serta pengurangan upaya tangkap (fishing effort, -). Pada pada pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara parsial bagaimana ekstraksi dari sumberdaya ikan yang didorong oleh permintaan pasar. Dalam konteks EAFM, maka ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula dinamika pengaruh dari tingkat survival habitat yang mensupport kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri. Implementasi Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan Menurut Gracia and Cochrane (2005), sama dengan pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitikberatkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif. Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih menitikberatkan pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada rencana kebijakan (policy plan). Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi yang berlaku secara umum baik di level nasional maupun internasional misalnya pengurangan non-targeted fish dan by-catch practices; penanggulangan pencemaran perairan; pengurangan resiko terhadap nelayan dan sumberdaya ikan; penetapan kawasan konservasi, fish refugia site approach, dan lain sebagainya. Menurut Cochrane (2002), rencana strategi tersebut paling tidak juga memuat instrument aturan main dan perangkat

24 8 pengelolaan input dan output control yang disusun berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri. Secara diagramatik, proses implementasi EAFM dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. Continuous improved management measures EAFM Initiatives and activities Gambar 4 Proses Implementasi EAFM (Diadopsi dari FAO, 2003) Sedangkan rencana pengelolaan (management plan) menitikberatkan pada rencana aktivitas dan aksi yang lebih detil termasuk di dalamnya terkait dengan aktivitas stakeholders, rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah ditetapkan dalam rencana strategis. Dalam rencana pengelolaan, mekanisme monitoring dan pengawasan berbasis partisipasi stakeholders juga ditetapkan. Secara konsepsual, mekanisme monitoring dan control terhadap implementasi EAFM disajikan pada Gambar 5. Pengelolaan perikanan biasa (konvesional) yang selama ini telah banyak dilakukan, hanya memfokuskan pada spesies target (komoditas / komponen ekonomi) tanpa melihat interaksi atau hubungan antara suatu komponen dengan komponen lainnya dalam ekosistem. Dalam penjelasan singkat dapat dijelaskan bahwasanya pengelolaan perikanan konvensional memandang spesies target itu independen terhadap ekosistem perairan dan komponen lain di dalamnya. Sementara EAFM adalah menitikberatkan pada pentingnya konektivitas antara spesies target dengan komponen ekosistem (termasuk manusia) yang bersifat saling mempengaruhi. Patut ditekankan bahwasanya EAFM bertujuan menyempurnakan/melengkapi pengelolaan perikanan konvensional yang

25 9 selama ini sudah dilaksanakan dan bukan menggantikannya. Perbedaan antara pengelolaan perikanan conventional dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Gambar 5 Diagram Proses Evaluasi dan Adaptasi EAFM (FAO, 2003) Tabel 1 Perbedaan Conventional Approach dengan Ecosystem Approach Conventional Approach Few Objective Sectoral Target / Non Target Species Stock / Fishery Scale Predictive Scientific Knowledge Prescriptions Top-Down Corporate Ecosystem Approach Multiple Objective Integrated, Cross Sectoral Biodiversity & Environment Multiple (nested) Scales Adaptive Extended Knowledge Incentives Interactive / Participatory Public / Transparant Sumber : (Adrianto, 2010)

26 10 Pengembangan Indikator Bagi Implementasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Menurut Hart Environmental Data (1998) dalam Adrianto (2007), indikator ditetapkan untuk beberapa tujuan penting yaitu mengukur kemajuan, menjelaskan keberlanjutan dari sebuah sistem, memberikan pembelajaran kepada stakeholders, mampu memotivasi (motivating), memfokuskan diri pada aksi dan mampu menunjukkan keterkaitan antar indikator (showing linkages). Dalam konteks manajemen perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari komanajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders; (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view; dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan (Hart Environmental Data, 1998 dalam Adrianto (2007)). Sementara itu, menurut Pomeroy and Rivera-Guieb (2006) dalam Adrianto (2007), indikator yang baik adalah indikator yang memenuhi kriteria sebagai berikut: Dapat diukur : mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif; Tepat : didefinisikan sama oleh seluruh stakeholders Konsisten : tidak berubah dari waktu ke waktu Sensitif : secara proporsional berubah sebagai respon dari perubahan aktual Proses berikutnya adalah pemilihan metode untuk mengukur indikator tersebut. Beberapa syarat yang harus diperhatikan adalah bahwa metode tersebut sebaiknya (1) akurat dan reliabel, artinya tingkat kesalahan yang ditimbulkan dari koleksi data dapat diminimalisir; (2) biaya efektif, artinya sejauh mana metode ini akan menghasilkan pengukuran indikator yang baik dengan biaya yang rendah; (3) kelayakan, artinya apakah ada unsur masyarakat yang dapat melakukan metode pengukuran indikator; dan (4) ketepatan, artinya sejauh mana metode yang dipilih sesuai dengan konteks perencanaan dan pengelolaan perikanan. Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem (Degnbol 2004; Garcia and Cochrane, 2005; Gaichas, 2008). Dalam pengembangan indikator bagi pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures- State-Impact-Response) seperti yang ditawarkan oleh Turner (2000) untuk konteks pengelolaan pesisir atau yang lebih sederhana dalam konteks hanya Pressures-State-Impact oleh Jennings (2005), Adrianto (2007) dalam konteks pengelolaan perikanan. Secara simultan, masing-masing indikator untuk aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan mencakup 6 domain, yaitu: Domain Habitat, Sumberdaya Ikan, Teknologi Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan.

27 11 Tingkat Global Prinsip-prinsip pengelolaan perikanan global yang disepakati (CCRF:10) Institutional Design Indikator dan nilainilai referens Monitoring dan Evaluasi Prinsip dan tujuan pengelolaan perikanan Implemention of EAFM plan Implementasi Perencanaan EAFM Tingkat Nasional Prioritas dan Isu Kewilayahan (konteks ekosistem) Proses Manajemen Mendefinisikan kembali tujuan pengelolaan perikanan dalam konteks EAFM Perencanaan EAFM dan mekanisme kelembagaannya (RPP) Gambar 6 Proses Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem di Indonesia (Modifikasi dari FAO, 2003) Rajungan (Portunus pelagicus) Klasifikasi Rajungan Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Rajungan dicirikan dengan karapas yang relatif lebih panjang dan memiliki duri cangkang yang lebih panjang dibandingkan dengan kepiting bakau. Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria Divisi : Eucelomata Section : Prostomia Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub Ordo : Reptantia Seksi : Brachyura Sub Seksi : Brachyrhyncha Famili : Portunidae Sub Famili : Portuninae Genus : Portunus Species : Portunus pelagicus

28 12 Morfologi Rajungan Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit (cheliped), sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan. Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air sehingga tergolong kedalam Swimming Crab (Portunidae). Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa rajungan mempunyai karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka (anterolateral) karapas terdapat 9 (sembilan) buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri anterolateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-lateral memiliki ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan berbentuk segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina berbentuk segitiga yang lebih lebar dan membulat (Schmitt, 1973). Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki sepasang kaki belakang yang berfungsi sebagai kaki renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki tekstur yang kasar, karapas melebar dan datar; sembilan gerigi disetiap sisinya; dan gigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk. Karapasnya tersebut umumnya berbintik biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu (Kailola et al. (1993) diacu dalam Kangas (2000)). Karapas pada Portunus pelagicus merupakan lapisan keras (skeleton) yang menutupi organ internal yang terdiri dari kepala, thorax dan insang. Pada bagian belakang terdapat bagian mulut dan abdomen. Insang merupakan struktur lunak yang terdapat di dalam karapas. Matanya yang menonjol di depan karapas berbentuk tangkai yang pendek. Beberapa ciri untuk membedakan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) adalah warna bintik, ukuran dan warna capit dan apron atau bentuk abdomen. Karapas betina berbintik warna abu-abu atau cokelat. Capitnya berwarna abu-abu atau cokelat dan lebih pendek dari jantan. Karapas jantan berwarna biru terang, dengan capit berwarna biru. Apron jantan berbentuk T. Pada betina muda yang belum dewasa, apron berbentuk segitiga atau triangular dan melapisi badan, sedangkan pada betina dewasa, apron ini membundar secara melebar atau hampir semi-circular dan bebas dari ventral cangkang (FishSA, 2000).Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercakbercak putih terang, sedangkan pada betina memiliki warna karapas kehijauhijauan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram (Nontji, 1993). Rajungan menggunakan capitnya untuk mempertahankan diri (Abyss, 2001). Gambar 7 menunjukkan perbedaan karapas rajungan (Portunus pelagicus) jantan dan betina.

29 13 Gambar 7 Ciri morfologi rajungan (P. pelagicus): (a) Jantan dan (b) Betina; Lingkaran warna merah adalah 4 gigi pada frontal margin dan tiga duri pada merus cheliped. (Zairion, 2015). Juwana dan Romimohtarto (2000) mengatakan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang memanjang, kokoh, dan berduri. Rajungan yang ditangkap di perairan pantai umumnya mempunyai kisaran lebar karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100 gram, sedangkan rajungan yang ditangkap pada perairan yang lebih dalam mempunyai kisaran lebar karapas cm dengan berat rata-rata ±150 gram. Gambar 8 Bentuk Abdomen Rajungan Jantan (kiri), Betina (tengah) dan Betina Bertelur (kanan). (Mexfish, 1999) Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit (molting). Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus tumbuh. Jika rajungan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit sehingga kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit memiliki karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesame jenisnya (Nontji, 2007). Gambar 9 Karakteristik Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) (Zairion, 2015)

30 14 Habitat Rajungan Rajungan dapat hidup di berbagai ragam habitat mulai dari tambak, perairan pantai hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman mencapai 60 m. Substrat dasar perairan berlumpur, berpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga hingga padang lamun. Biasanya rajungan hidup di dasar perairan, tetapi sesekali dapat juga terlihat berada dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus. Rajungan dapat merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal (pasang surut) sampai pada lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah pasir dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti kebanyakan penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai tempat mencari makan (feeding place) dan pergi ke laut untuk memijah. Rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam dibanding jantan. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah. Perubahan salinitas dan suhu di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu biota (Nontji (1986); Moosa dan Juwana (1996); Williams (1982) dan Edgar (1990) diacu dalam Kangas (2000). Daur Hidup Menurut Nontji (2007) seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Larva rajungan yang baru menetas (zoea) memiliki bentuk yang lebih mirip udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini terdiri dari 4 tingkat dan kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang berbeda. Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah mulai mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai melebar, kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian pada tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap rajungan muda (Nontji, 2007). Nontji (2007) mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton, berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2000) menambahkan bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang sangat kecil sekali dan berenangrenang lemah dalam air laut sebagai plankton. Pada tahap ini larva rajungan bersifat planktonik pemakan plankton. Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Ukuran saat kematangan terjadi dapat berubah terhadap derajat garis lintang atau lokasi dan antar individu di lokasi manapun. Betina terkecil Portunus pelagicus yang telah diobservasi memiliki moult/pergantian kulit yang cukup umur di Peel-Harvey Estuary adalah 89 mm CW, sedangkan di Leschenault Estuary ukuran terkecil adalah 94 mm CW Smith (1982), Campbell & Fielder (1986), Sukumaran & Neelakantan (1996) dan Potter et al. (1998) diacu dalam Kangas (2000). Karapas rajungan yang dapat berkembang hingga 21 cm dan mereka dapat berukuran hingga seberat 1 kg (Abyss, 2001).

31 15 Gambar 10 Siklus Hidup Portunus pelagicus (Zairion, 2015) Rajungan jantan dan betina mempunyai laju pertumbuhan yang cepat karena nilai K lebih dari satu (Sparre dan Venema 1999). Laju pertumbuhan yang cepat menunjukkan rajungan memiliki umur yang relatif pendek. Berdasarkan kurva pertumbuhan, rajungan jantan maupun betina dalam mencapai lebar karapas maksimum membutuhkan waktu kurang dari 3 tahun. Rajungan jantan dalam mencapai lebar karapas maksimum membutuhkan waktu sekitar 28.5 bulan sedangkan betina 31.8 bulan. Menurut Josileen dan Menon (2007) menyatakan bahwa rata-rata umur maksimum rajungan adalah sekitar 3 tahun. Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan di Queensland berdasarkan penelitian Williams dan Lee (1980), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan memiliki ukuran tubuh minimum yaitu panjang karapas (CL) 3,7 cm. Batasan ukuran rajungan yang dianggap telah mencapai dewasa mempunyai beberapa pendapat, diantaranya adalah 9 cm CW dan 3,7 cm CL (Kumar et al. (2000) diacu dalam Suadela (2004). Tingkah Laku Rajungan Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Beberapa faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan yang mempengaruhi tingkah laku rajungan salah satunya adalah pengunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab pots. Salah satu tingkah laku (behaviour) penting dari rajungan adalah perkembangan siklus hidupnya yang terjadi di beberapa tempat. Pada fase larva dan fase pemijahan, rajungan berada di laut terbuka (off-shore) dan fase juvenile sampai dewasa berada di perairan pantai (in-shore) yaitu muara dan estuaria (Kangas, 2000). Rajungan adalah aktif tetapi saat tidak aktif, mereka mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (FishSA, 2000; Sea-ex, 2001). Rajungan akan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur, rajungan tersebut

32 16 menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan (Nontji, 2007). Susilo (1993) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam air relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan aktifitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dengan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang, sedangkan pada fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang. Menurut Thomson (1974), dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa larva rajungan betina menghabiskan waktu sepanjang malam terkubur didalam pasir. Sedangkan larva jantan aktif berenang pada malam hari. Larva rajungan sama seperti udang bersifat planktonik dan berenang bebas mengikuti arus. Kepiting dalam pertumbuhannya perlu meluruhkan cangkang luar yang keras; proses ini disebut moulting. Sesaat sebelum moulting atau pergantian cangkang, kulit di bawah cangkang keras atau eksoskeleton mengeluarkan substansi yang memisahkan hubungan antara kepiting dan cangkangnya. Lapisan tipis dari cangkang baru dikeluarkan di bawah cangkang lama. Kepiting memasukkan air agar terjadi pembelahan dalam cangkang lama pada bagian ujung dimana karapas menyatu dengan lapisan. Kepiting tersebut lalu memanjat ke belakang keluar dari cangkang lama. Kepiting harus berkembang dengan cepat untuk merenggangkan skleton baru yang mengkerut menjadi ukuran penuh sebelum mengeras. Setelah cangkang menyesuaikan terhadap ukuran barunya, kulit mengeluarkan substansi yang mengoksidasi dan mengeraskan cangkang baru, kepiting sangat rentan terhadap predasi dan akan lebih sering sembunyi (FishSA, 2000). Daerah Penyebaran Rajungan di Indonesia Rajungan ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia dengan kondisi perairan substrat pasir berlumpur dan di sekitar perairan dengan vegetasi lamun dan mangrove. Kedalaman perairan tempat rajungan ditemukan berkisar antara 0-60 m. Substrat dasar habitat sangat beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun. Menurut Surjadi (2009), terdapat 4 daerah potensial penangkapan dan produksi rajungan berdasarkan distribusinya di Indonesia, yaitu: perairan pesisir timur, baik sebelah utara maupun sebelah selatan Pulau Sumatera (dari Aceh hingga Lampung, termasuk Bangka-Belitung), perairan pesisir utara Jawa dan perairan pesisir selatan pulau Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara).

33 17 Daerah tangkapan rajungan utama di Indonesia berdasarkan produksi nasional dalam statistik perikanan tangkap (Gambar 11) untuk perairan Selat Malaka (WPPNI 571) adalah sebesar 14%, selatan Sumatera (WPPNRI 711) sebesar 21%, pantai utara Jawa (WPPNRI 712) sebesar 28%, dan Perairan Sulawesi Tenggara (WPPNRI 713) sebesar 21%. Wilayah perairan pesisir lainnya seperti: barat Sumatera (WPPNRI 572), Selat Makassar (WPPNRI 713), selatan Jawa dan Nusa Tenggara (WPPNRI 573), Maluku dan Papua (WPPNRI 714, 715, 716, 717 dan 718) hanya memberikan kontribusi sebesar 5% dari produksi rajungan di Indonesia. Beberapa daerah dengan potensi rajungan tertinggi tersebut tercatat sebagai lokasi penangkapan rajungan untuk tujuan ekspor, seperti: Bangka-Belitung, Lampung, Panimbang, Labuhan, Serang, Karawang, Cirebon, Juwana, Rembang, Demak, Pati, Madura, Barru, Maros, Makassar, dan Kendari. Gambar 11 Daerah Tangkapan Rajungan Utama di Indonesia (Sumber : Diolah dari Statistik Perikanan Tangkap DJPT, 2011b) METODE Ruang Lingkup Wilayah Studi Penelitian ini merupakan kerjasama antara Asosiasi Pengelola Rajungan Indonesia (APRI) dan Balai Besar Penangkapan Indonesia (BBPI) Semarang yang telah dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Desember 2013 pada beberapa Lokasi Rajungan di Perairan Laut Jawa (WPP-NRI 712). Pengambilan data penulis dilaksanakan di 3 lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kabupaten Demak dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah) yang merupakan sentra penghasil rajungan serta menggunakan data sekunder dari hasil penelitian rajungan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pengembangan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI) tahun 2014 di perairan Laut Jawa.

34 18 Pelaksanaan kegiatan terbagi dalam 2 proses, yaitu survei darat dan uji coba alat tangkap. Survei darat dilakukan pada 8 lokasi yaitu Tahap 1: Demak- Jepara-Rembang, Cirebon-Brebes, Pasuruan-Probolinggo, Sumenep-Gresik. Tahap 2: Rembang, Jepara, Cirebon, dan Brebes. Kegiatan uji coba alat tangkap bubu rajungan dilakukan pada 4 lokasi berbeda yaitu Demak, Jepara, Brebes, dan Cirebon. Pengumpulan data primer dilaksanakan oleh peneliti dan enumerator (onboard observer & on-port observer) di 6 (enam) lokasi seperti tersaji pada Gambar 12. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan pencatatan di pelabuhan pendaratan ikan, data statistik perikanan Kabupaten dan Provinsi, data statistic perikanan tangkap nasional dan hasil penelitian yang terkait dengan perikanan rajungan di Laut Jawa. Gambar 12 Lokasi Penelitian Penulis-BPPI dan APRI-P4KSI di WPPNRI 712 (sumber peta: Sumiono (2015) dalam paparan Seminar dan Lokakarya Perikanan Rajungan di Indonesia Kerjasama APRI dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), IPB Convention Center Bogor 25 Februari 2015) Indikator Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Terdapat 6 domain indikator EAFM yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) Domain Sumberdaya Ikan; (2) Domain Habitat Perairan; (3) Domain Teknis Penangkapan Ikan; (4) Domain Sosial; (5) Domain Ekonomi; dan (6) Domain Kelembagaan. Pada tabel 4, tabel 5, tabel 6, tabel 7, tabel 8 dan tabel 9 dibawah ini dijelaskan mengenai masing-masing indikator, metodologi/ pengumpulan data dan kriteria penilaian dari setiap domain.

35 19 Domain Sumberdaya Ikan Domain sumberdaya ikan digunakan 6 (enam) indikator, yakni: (1) Ukuran ikan, (2) Komposisi spesies, (3) Proporsi ikan yuana (juvenile) yang ditangkap, (4) Endangered species, Threatened species and Protected species (ETP), (5) Catch per unit effort (CPUE) baku, dan (6) Range collapse sumberdaya ikan. Dari 6 (enam) indikator tersebut yang menjadi main indicator atau indikator yang paling utama dengan nilai bobot kepentingan yang paling besar (40%) adalah catch per unit effort (CPUE) baku. Selanjutnya, berdasarkan besarnya nilai bobot kepentingan yang dimiliki secara berurutan adalah: Ukuran ikan (nilai bobot 20%), Proporsi ikan yuana (juvenile) yang ditangkap (nilai bobot 15%), Komposisi spesies (nilai bobot 10%), Range collapse sumberdaya ikan (nilai bobot 10%) dan Endangered species, Threatened species and Protected species (ETP) (nilai bobot 5%). Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain sumberdaya ikan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Indikator, metodologi sampling dan kriteria penilaian domain sumberdaya ikan No Indikator atribut Penjelasan 1 CPUE baku Hasil tangkapan Persatuan Upaya (Trip/kapal) 2 Ukuran Perubahan ukuran Rajungan rata2 panjang carapas rajungan 3 Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 4 Komposisi Spesies 5 Range collaps Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity) Perbandingan jenis ikan target dan non target SDI semakin jauh ditemukan 6 Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES Metodologi/ Pengumpulan data Fishlanding di TPI dan eksportir sampling, pengukuran panjang dan membandingkan rata-rata panjang selama tahun yang lalu - Sampling program secara reguler - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun Observasi, sampling dan data sekunder Survei dan wawancara - Survey dan monitoring, logbook, observasi dalam satu tahun terakhir - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun Kriteria 1 = CPUE menurun tajam (> 25%) 2 = CPUE menurun sedikit (< 25%) 3 = CPUE stabil atau meningkat 1 = Ukuran rajungan semakin Kecil 2 = ukurtan relatif tetap 3 = ukuran semakin Besar 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30-60%) 3 = sedikit (<30%) 1 = Proporsi ikan target lebih sedikit 2 = proporsi ikan target sama dengan non target 3 = Proporsi ikan non target lebih besar 1 = Fishing ground sangat jauh 2 = Fishing ground Jauh 3 = fishing ground relatif Tetap 1 = terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas; 2 = tertangkap tetapi dilepas 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap Domain Habitat dan Ekosistem Domain habitat dan ekosistem meliputi beberapa indikator yaitu; 1) kualitas perairan, 2) status lamun, 3) status mangrove, 4) status terumbu karang, 5) habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling), dan 6) perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Dari 6 (enam) indikator tersebut, kualitas perairan mempunyai bobot yang paling tinggi yaitu sebesar 25%, yang artinya indikator kualitas perairan ini

36 20 memiliki pengaruh yang besar terhadap dimensi habitat dan ekosistem ini. Indikator tentang status padang lamun (seagrass), status mangrove, status terumbu karang mempunyai bobot yang sama yaitu sebesar 15%, habitat unik/khusus mempunyai bobot sebesar 20%, sedangkan indikator pengaruh perubahan iklim berpengaruh terhadap komponen habitat sebesar 10%. Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain habitat dan ekosisten disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Indikator, metodologi dan kriteria penilaian domain habitat dan ekosistem Indikator/ No atribut 1 Kualitas perairan Penjelasan Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual menggunakan parameter dari KepMen LH 51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut Lampiran 3 Kualitas perairan dilihat dari Tingkat Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi Total Eutrofikasi menggunakan parameter klorofil a Metodologi/ Pengumpulan data Data sekunder, sampling, monitoring, Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit. Survey, monitoring dan data sekunder, Kriteria 1 = tercemar 2 = tercemar sedang 3 = tidak tercemar 1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 2 Status ekosistem Lamun Tutupan spesies lamun. Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit. 1=tutupan rendah, 30%; 2=tutupan sedang, 30 - < 60%; 3=tutupan tinggi, 60% Keanekaragaman spesies lamun. Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit. 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H <9,97 atau 1<H <3), jumlah spesies = keanekaragaman tinggi (H >9,97 atau H >3), jumlah spesies > 5 3 Status Ekosistem Mangrove Persentase tutupan Mangrove Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit 1=tutupan rendah, < 50%; 2=tutupan sedang, 50 - < 75%; 3=tutupan tinggi, 75 % 4 Status ekosistem terumbu karang Persentase kerapatan Mangrove Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) Keanekaragaman karang hidup yang didasarkan atas live form Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit Survey dan data sekunder, monitoring, Citra Satelit 1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha); 2=kerapatan sedang ( pohon/ha); 3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha) 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25 - < 50%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2=keanekaragaman sedang (3,20<H <9,97 atau 1<H <3); 3=keanekaragaman tinggi (H >9,97 atau H >3)

37 21 Tabel 3 (Lanjutan) Indikator/ No atribut 5 Habitat unik/khusus 6 Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Penjelasan Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Metodologi/ Pengumpulan data GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring Kriteria 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3=diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) Domain Teknis Penangkapan Domain teknis penangkapan ikan mempunyai 6 (enam) indikator utama, yakni: (1) Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2) Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Dari 6 (enam) indikator tersebut yang menjadi killer indicator atau indikator yang paling utama dengan nilai bobot kepentingan yang paling besar (30%) adalah metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal. Selanjutnya, berdasarkan besarnya nilai bobot kepentingan yang dimiliki secara berurutan adalah: modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan (nilai bobot 25%), fishing capacity dan effort (nilai bobot 15%), selektivitas alat tangkap penangkapan (nilai bobot 15%), kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal (nilai bobot 10%), dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan (nilai bobot 5%). Penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal yang dapat mengakibatkan secara langsung kerusakan sumberdaya ikan beserta ekosistemnya ini meliputi: penggunaan bahan dan/atau alat yang berbahaya (seperti: bom ikan, racun sianida, potassium, dan listrik) dan penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan berlaku. Modifikasi alat tangkap yang tidak

38 22 sesuai dengan peraturan akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Indikator fishing capacity merupakan nilai ratio antara fishing capacity pada tahun sebelumnya dibandingkan dengan fishing capacity pada tahun terakhir. Indikator selektivitas penangkapan merupakan prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak/kurang selektif terhadap jumlah total alat tangkap yang ada di suatu perairan tertentu. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan merupakan perbandingan antara dokumen legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Bila dokumen ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka hal ini dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain teknis penangkapan disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Indikator, metodologi dan kriteria penilaian domain Teknik Penangkapan Indikator/ No Atribut 1 Metode penangkapan ikan yang bersifat dektruktif dan illegal 2 Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 3 Fishing capacity dan effort 4 Selektivitas penangkapan 5 Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 6 Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan Penjelasan Penangkapan ikan bersifat destruktif yang dilihat dari penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI Besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas) Metodologi/ Pengumpulan data - Laporan hasil pengawas perikanan, survey - data poor fisheries: laporan dari kepolisian, interview dari nelayan/pokmaswas Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm bisa diperiksa di - survey, logbook - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan pengetahuan cara mengukur dan informasi rasio dimensi dan berat GT kapal yang ada di lapangan Sampling kepemilikan sertifikat, yang ada di unit perikanan yang dikaji Kriteria 1: frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun 2: frekunsi pelanggaran 5-10 kasus per tahun 3: frekunsi pelanggaran <5 kasus per tahun 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm ; 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1; 2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1 1: rendah, >75% 2:sedang, 50-75% 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

39 23 Domain Sosial Salah satu domain penting dalam EAFM adalah domain sosial. Seperti yang telah umum diketahui, salah satu tujuan pengelolaan perikanan adalah tujuan sosial yaitu bagaimana perikanan dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat perikanan. Domain sosial terdiri dari 3 indikator utama yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal. Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. perikanan rajungan di WPPNRI 712 tergolong cukup tinggi. Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan wilayah penangkapan (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict). Frekuensi konflik yang tinggi merupakan indikator pengelolaan perikanan yang kurang baik khususnya dari segi pengawasan dan penegakan hukum. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan. Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain sosial disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain Sosial No Indikator/atribut Penjelasan 1 Pertisipasi pemangku kepentingan Keterlibatan pemangku kepentingan 2 Konflik perikanan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector 3 Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan SDI (termasuk didalamnya TEK, traditional ecological knownledge) Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan Metodologi/ Pengumpulan data Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pemangku kepentingan Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif 1 = < 50%; 2 = %; 3 = 100 % Kriteria 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1 = tidak ada 2 = ada tapi tidak efektif 3 = ada dan efektif digunakan

40 24 Domain Ekonomi Dalam domain ekonomi terdapat 3 indikator kunci, yakni: (1) pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dengan bobot 30%, kemudian (2) rasio tabungan dengan bobot 25%, dan (3) kepemilikan aset dengan bobot 45%. Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Indikator pendapatan rumah tangga menggunakan upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama dengan UMR maka pendapatan rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan cukup baik. Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pengukuran rasio tabungan (SR) ini bertujuan untuk melihat potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya. Bila SR positif maka terdapat potensi tabungan, demikian pula sebaliknya jika SR negatif maka terdapat potensi hutang. Nilai ini dapat dimodifikasi lebih lanjut dengan membandingkan SR yang positif terhadap tingkat bunga, yaitu jika SR lebih besar dari tingkat bunga maka tingkat kesejahteraan nelayan tergolong baik, begitu pula sebaliknya. Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Aset produktif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti pertanian. Pengukuran kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya. Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain ekonomi disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain Ekonomi No Indikator/atribut Penjelasan 1 Kepemilikan asset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT, yang didapatkan dari usaha perikanan 2 Pendapatan rumah Pendapatan total tangga perikanan RTP yang dihasilkan dan UMR dari usaha RTP dan non perikanan. 3 Rasio Tabungan (Saving ratio) Menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih Metodologi/ Pengumpulan data Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP rata-rata setahun dengan mempertimbangkan musim selama lima tahun (sumber data : susenas BPS) Survei pendapatan rumah tangga perikanan dengan pendekatan sampling yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dimana pendapatan yang diukur dan dibandingkan dengan UMR adalah pendapatan individu yang berasal dari kegiatan perikanan pada unit perikanan yang dikaji Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer). Informasi bunga kredit dapat diperoleh di BI pada saat survey Kriteria 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%); 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1: < rata-rata UMR 2: = rata-rata UMR 3: > rata-rata UMR 1: < bunga kredit pinjaman 2: = bunga kredit pinjaman 3: > bunga kredit pinjaman

41 Domain Kelembagaan Domain kelembagaan mempunyai 6 (enam) indikator utama, yakni: (1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun nonformal (Alat), (2) Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (3) Mekanisme Kelembagaan, (4) Rencana pengelolaan perikanan, (5) Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, dan (6) Kapasitas pemangku kepentingan. Kepatuhan terhadap prinsip-prisip perikanan yang bertanggungjawab baik yang formal maupun berupa hukum adat, menjadi ukuran paling penting dalam menjamin keberlanjutan perikanan. Pengukuran tingkat kepatuhan ditandai dengan frekuensi pelanggaran terhadap peraturan yang terekam oleh pengawas perikanan maupun laporan pelanggaran yang ada di masyarakat berdasarkan informasi masyarakat atau tokoh adat. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam pengelolaan perikanan. Peraturan yang lengkap dan penegakan hukum menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Ukuran keberhasilan dari sebuah mekanisme kelembagaan adalah manakala dapat terimplementasi menjadi sebuah sistem dan berjalan efektif. Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan. Penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat diindikasikan dengan ada atau tidaknya mekanisme kelembagaan dalam pengelolaan perikanan. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) mutlak diperlukan sebagai standar operasional dalam melaksanakan tata kelola perikanan yang bertanggungjawab. Dengan demikian unit kegiatan dari indikator RPP adalah ada tidaknya RPP yang dimaksud dan sejauhmana RPP tersebut dijalankan. Bila pemerintah memiliki RPP untuk tiap pengelolaan perikanan dan RPP tersebut dapat di implementasikan, maka pengelolaan perikanannya dapat dianggap baik, dan sebaliknya, jika pengelolaan perikanan tidak didukung dengan RPP, maka pengelolaan perikanannya dianggap belum baik. Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam pengelolaan perikanan dapat diartikan sebagai adanya keterpaduan gerak dan langkah antar lembaga dan antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak memunculkan adanya konflik kepentingan dan benturan kebijakan. Keberhasilan pengelolaan perikanan ditentukan oleh sejauh mana terjadi sinergisitas antara lembaga pengelola perikanan dan sejauh mana terjadi sinergitas antar kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga. Kapasitas pemangku kepentingan didefinisikan sebagai upaya-upaya konstruktif dalam peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kapasitas pemangku kepentingan menentukan baik buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam pengelolaan perikanan. Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain kelembagaan disajikan dalam Tabel 7. 25

42 26 Tabel 7 Indikator, metodologi sampling, dan kriteria penilaian domain Kelembagaan No Indikator/atribut Penjelasan 1 Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun nonformal 2 Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal Metodologi/ Pengumpulan data Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya Sejauh mana kelengkapan 1) Benchmark sesuai regulasi dalam dengan Peraturan pengelolaan perikanan nasional, pemda tersedia, untuk mengatur seharusnya juga membuat praktek pemanfaatan peraturan turunannya sumberdaya ikan sesuai 2) membandingkan dengan domain EAFM, situasi sekarang dengan yaitu; regulasi terkait yang sebelumnya keberlanjutan 3) replikasi kearifan lokal sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat pengawasan, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) Kriteria Formal 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; 2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3-5 domain; 3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman

43 27 Tabel 7 (Lanjutan) No Indikator/atribut Penjelasan 3 Mekanisme pengambilan keputusan 4 Rencana pengeloaan perikanan (RPP) 5 Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 6 Kapasitas pemangku kepentingan Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem Metodologi/ Pengumpulan data Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Survey dilakukan dengan wawancara/ kuisioner terhadap: 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi Kriteria 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) Metode Pengambilan Sampel / Contoh Metode pengambilan contoh yang dilakukan dalam studi ini adalah multistage proportional sampling. Multi-stage proportional sampling adalah penggunaan berbagai metode random sampling secara bersama-sama dengan seefisien dan seefektif mungkin. Cara ini digunakan pada penelitian masalah sosial yang kompleks. Misalnya adalah dalam pengambilan sampel nelayan Jakarta mengenai masalah sosial tertentu, dengan interview langsung. Pertama pilih proses cluster sampling sebagai tahap pertama proses. Tahap berikutnya dapat dipilih stratified sampling terhadap sampel cluster. Dengan mengkombinasikan beberapa metode random sampling tersebut diharapkan hasil yang diperoleh benar-benar qualified dan bermanfaat. Dalam sampel multistage random, area yang luas, seperti wilayah pengelolaan perikanan, pertama-tama dibagi menjadi daerah yang lebih kecil (seperti provinsi), dan sampel acak dari daerah dikumpulkan. Pada tahap kedua, sampel acak dari area yang lebih kecil (seperti kabupaten/kota) diambil dari dalam

44 28 masing-masing daerah dipilih dalam tahap pertama. Kemudian, di tahap ketiga, sampel acak dari daerah bahkan lebih kecil (seperti lingkungan) yang diambil dari setiap bidang yang dipilih pada tahap kedua. Jika daerah ini cukup kecil untuk tujuan penelitian, maka peneliti mungkin berhenti pada tahap ketiga. Jika tidak, ia mungkin terus sampel dari daerah yang dipilih pada tahap ketiga, dan seterusnya, sampai daerah terkecil telah dipilih. Metode pengambilan contoh multi-stage proportional sampling yang dilakukan seperti dijelaskan dalam Tabel 8 berikut ini Tabel 8 Metode pengambilan contoh multi-stage proportional sampling No. Metode Objek Ruang Lingkup Isu Keterangan 1. Wawancara Responden adalah nelayan disetiap lokasi yang telah dipilih, dengan mempertimbangkan keterwakilan dari setiap alat tangkap yang ada di lokasi tersebut, baik alat tangkap untuk target tangkapan utama rajungan ataupun rajungan berupa bycatch. 2. Logbook Target adalah perwakilan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang mentargetkan rajungan sebagai tangkapan utama. Pengalaman responden Alat tangkap Praktek penangkapan Lokasi penangkapan Kapal Umpan Modal dan pengeluaran Komposisi tangkapan (target dan bycatch) Tren dan musim penangkapan Praktek pemasaran dan harga Rantai perdagangan Kesadaran tentang perikanan berkelanjutan Pengalaman responden Alat tangkap Praktek penangkapan Lokasi penangkapan Kapal Umpan Komposisi tangkapan (target dan bycatch) Tren dan musim penangkapan Kesadaran tentang perikanan berkelanjutan Menggunakan formulir wawancara (kuisioner) Menggunakan formulir logbook Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit dengan tahapan sebagai berikut: Tentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (habitat, sumberdaya ikan, sosial ekonomi dan kelembagaan); Kaji keragaan masing-masing WPP untuk setiap indikator yang diuji; Berikan skor (n) untuk setiap keragaan indikator pada masing-masing WPP (skor Likert berbasis ordinal 1,2,3);

45 29 Tentukan bobot berdasarkan rangking (br) untuk setiap indicator; Tentukan skor domain (sd) dari hasil coginitive mapping indicator; Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek untuk setiap WPP dengan model fungsi CAi = f (CAni.n=1,2,3..m); Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM pada masingmasing WPP dengan model fungsi sebagai berikut : C-WPPi = f (CAiy y = 1,2,3 z; z = 11); Penentuan nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Nilai Agregat Model Bendera Komposit (Flag Model) Deskripsi/ Keterangan 1-20 Buruk Kurang Sedang Baik Baik Sekali KONDISI PERIKANAN RAJUNGAN DI WPPNRI 712 Sesuai dengan UU No 31/2004 yang disempurnakan oleh UU No 45/2009 tentang Perikanan, wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan, dan atau pembudidayaan ikan meliputi 3 (tiga) karakteristik perairan yaitu (1) perairan Indonesia; (2) Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan (3) sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Dalam konteks ini, satuan wilayah pengelolaan perikanan diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan. Secara spasial, WPP di Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah yang terbentang dari perairan Selat Malaka hingga Laut Arafura seperti ditunjukkan Gambar 13.

46 30 Gambar 13 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014) WPP-NRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam 11 (sebelas) wilayah pengelolaan perikanan dengan salah satunya adalah perairan Laut Jawa (WPP-RI 712). Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, batas WPP-RI 712 sebagaimana dijelaskan dalam lampiran Permen KP No. 18/PERMEN-KP/2014 adalah seperti dijelaskan pada Gambar 14. Laut jawa merupakan wilayah perairan yang meliputi luasan Km 2. Secara morfologis dibatasi oleh tiga pulau-pulau terbesar di Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Batas sebelah barat merupakan pintu ke Laut dalam Indonesia. Kedalaman di laut Jawa sekitar 40 m dengan dasar laut yang melandai dari barat ke timur dari kedalaman 20 m ke 100 m. Pola umum musim sangat jelas, angin secara musiman berubah, demikian pula dengan arus laut; arus ke arah barat selama moonson tenggara (musim panas) dan arus timur selama monsoon barat daya (musim hujan). Gambar 14 Peta Perairan WPPNRI 712 (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014)

47 31 Estimasi Potensi dan Status Sumberdaya Ikan di WPPNRI 712 Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi sumberdaya ikan yang terdapat di perairan WPPNRI 712 ini terdiri dari 7 (tujuh) kelompok utama, sebagaimana dijelaskana pada Tabel 10. Tabel 10 Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan pada WPPNRI 712 No Kelompok Sumberdaya Ikan Potensi (ribu ton/tahun) 1 Ikan Pelagis Besar 55,0 2 Ikan Pelagis Kecil 380,0 3 Ikan Demersal 375,2 4 Udang Penaeid 11,4 5 Ikan Karang Konsumsi 9,5 6 Lobster 0,5 7 Cumi cumi 5,0 Total potensi 836,6 Pada Tabel 10 terlihat bahwa 5 (lima) kelompok sumberdaya ikan yang mendominasi perairan WPPNRI 712 adalah ikan pelagis kecil sebesar ton/tahun, ikan demersal sebesar ton/tahun, ikan pelagis besar sebesar ton/tahun, udang penaeid sebesar ton/tahun, dan ikan karang konsumsi sebesar ton/tahun. Total potensi dari kelima kelompok sumberdaya ikan ini mencapai % dari potensi semua biota air di WPPNRI 712. Tabel 11 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan pada WPPNRI 712 NO KELOMPOK SDI STATUS KETERANGAN 1 UDANG O Over Exploited 2 DEMERSAL F Fully Exploited Kurisi M Moderate Kuniran F Fully Exploited Swanggi M Moderate Beloso F Fully Exploited Kakap Merah O Over Exploited Kerapu O Over Exploited 3 PELAGIS KECIL O Over Exploited Banyar O Over Exploited Kembung O Over Exploited D. macrosoma O Over Exploited D. ruselli O Over Exploited Sumber: Kepmen KP No. 45/2011 Pada Tabel 11 terlihat bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di WPPNRI 712 sebagian besar berada pada status Over-exploited, kecuali ikan

48 32 demersal, ikan kuniran, dan ikan beloso berada pada status Fully-Exploited, serta ikan kurisi dan ikan swanggi berada pada status Moderate. Wilayah perairan WPPNRI 712 seluruhnya merupakan perairan teritorial dengan kedalaman maksimal sekitar 70 m. Kegiatan perikanan terpusat di daerah pantai utara Jawa. Berbagai alat tangkap berkembang di wilayah ini. Setidaknya terdapat 14 jenis alat tangkap yang banyak ditemukan yaitu : (1) pukat tarik (arad, cotok atau garuk); (2) pukat kantong (cantrang, payang); (3) pukat cincin; (4) jaring insang; (5) perangkap (bubu). Berbagai upaya kebijakan secara operasional dilakukan untuk mengurangi tingkat kerusakan sumberdaya ikan akibat penggunaan alat tangkap dengan mata jaring yang kecil. Namun, dalam pelaksanaanya kurang berhasil dikarenakan tingkat pengusahaan perikanan yang berkembang di WPPNRI 712 ini tanpa kendali dan sangat ramai. Hal itu berimplikasi pada penurunan stok ikan dan status perikanan berada pada kondisi overfishing. Pemanfaatan alat tangkap yang banyak dimodifikasi dan masuk dalam kategori trawl serta penggunaaan jaring insang, menjadikan status perikanan WPPNRI 712 secara umum dalam kondisi jenuh dan over exploited. Kondisi ini semakin diperparah dengan jumlah nelayan yang terkonsentrasi di wilayah pantai utara Jawa dengan peningkatan armada yang semakin meningkat tiap tahunnya. Keragaan Perikanan Rajungan di WPPNRI 712 Perkembangan Volume Produksi Rajungan Kajian terhadap data statistik perikanan menyatakan bahwa produksi rajungan nasional cenderung berfluktuasi naik-turun, namun dengan kecenderungan produksi naik. Kondisi ini terlihat dari produksi tangkapan kumulatif periode (Gambar 15). Produksi (ton) 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 14,053 22,040 19,988 30,530 21,854 18,760 26,686 30,421 38,838 35,010 43,002 42,411 39,126 52, Tahun Gambar 15 Produksi Rajungan Nasional, Tahun (Diolah dari Buku Statistik Perikanan Tangkap, 2014) Secara umum, kecenderungan produksi rajungan nasional pada periode tahun mengalami peningkatan, kemudian mengalami penurunan pada periode , yang selanjutnya diikuti dengan peningkatan kembali pada periode Namun demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada periode terjadi kecenderungan peningkatan produksi rata-

49 33 rata tiap tahunnya sekitar 11,74 %. Tingkat produksi tertinggi rajungan pada periode , terjadi pada tahun Pada tahun tersebut produksi rajungan mencapai ton. Sebaliknya, total produksi terendah sebesar ton pada tahun Nilai Produksi (x Rp ,- 1,400,000,000 1,200,000,000 1,000,000, ,000, ,000, ,000, ,000,000 - Tahun - 194,674, ,364, ,270, ,720, ,641, ,955, ,164, ,002, ,568, ,827, ,859, ,756,138 1,202,453, Gambar 16 Nilai Produksi Rajungan Nasional Tahun (Diolah dari Buku Statistik Perikanan Tangkap, 2014) Secara umum, kecenderungan naik dan turunnya nilai produksi rajungan nasional mengikuti produksi hasil tangkapan rajungan. Pada periode tahun nilai produksi mengalami peningkatan, kemudian mengalami penurunan pada periode , yang selanjutnya diikuti dengan peningkatan kembali pada periode Pada tahun 2009 sempat terjadi penurunan nilai produksi, namun demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada periode terjadi kecenderungan peningkatan nilai produksi rata-rata tiap tahunnya sekitar 15,37 %. Nilai produksi tertinggi rajungan pada periode tahun , terjadi pada tahun Pada tahun tersebut nilai produksi rajungan mencapai Sebaliknya, nilai produksi terendah sebesar ton pada tahun Produksi (ton) 20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000-11,033 13,983 4,332 14,899 5,915 7,583 5,090 15,557 5,702 18,566 10,597 6,706 6,613 2,985 2,550 2,062 2,179 2,322 2,190 2,133 2,308 2,093 2,398 1, ,255 2,670 Gambar 17 Produksi Rajungan per WPP Tahun (Diolah dari Buku Statistik Perikanan Tangkap, 2014) 19,301 16,894 3,641 18,734 11,037 9,607 7,619 7,432 7,409 6,648 6,042 1,604 1, Tahun WPPNRI 571 WPPNRI 572 WPPNRI 573 WPPNRI 711 WPPNRI 712 WPPNRI 713 WPPNRI 714 WPPNRI 715 WPPNRI 716 WPPNRI 717 WPPNRI 718

50 34 Pada Gambar 17 terlihat bahwa sejak tahun 2005 s.d 2013 WPPNRI 712 adalah penghasil utama rajungan di Indonesia, berikutnya adalah WPPNRI 711 dan WPPNRI 713. Pada Gambar 18 ditampilkan trend produksi rajungan di WPPNRI 712 mulai tahun 2000 s.d 2013 terlihat adanya fluktuasi dengan kecenderungan peningkatan produksi. 25,000 Produksi (ton) 20,000 15,000 10,000 5,137 10,525 8,784 20,041 18,566 19,301 18,734 16,437 16,894 13,983 14,899 15,557 10,571 11,033 5, Tahun Gambar 18 Produksi Rajungan di WPPNRI 712 Tahun (Diolah dari Buku Statistik Perikanan Tangkap, 2014) Secara umum, produksi rajungan di WPPNRI 712 antara tahun mengalami fluktuasi dengan kecenderungan meningkat dengan prosentase 9,08 %. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2002, 2004, 2009 dan Produksi rajungan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar ton dan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar ton. 10,000 9,334 9,000 8,642 8,507 8,435 Produksi (ton) 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 7,457 7,270 6,387 5,994 5,759 5,838 5,000 5,000 5,438 3,991 4,115 3,817 3,792 3,878 3,928 4,438 3,524 3,907 2,352 2,667 2,980 3,534 2,693 2,714 2,538 2,127 2,035 2,112 1,523 1,415 1,475 1,669 1, Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Tahun Gambar 19 Produksi Rajungan di WPPNRI 712 per Provinsi Tahun (Diolah dari Buku Statistik Perikanan Tangkap, 2014)

51 35 Pada Gambar 19 menunjukkan perkembangan produksi rajungan di WPPNRI 712 antara tahun 2000 hingga Provinsi utama penghasil rajungan di WPPNRI 712 adalah provinsi Jawa Barat, disusul Jawa Timur dan Lampung. Secara umum terlihat terjadi fluktuasi produksi rajungan pada setiap provinsi. Dalam gambar juga terlihat terjadi penurunan produksi yang tajam pada tahun 2009 untuk provinsi Jawa Barat dan Lampung. Perkembangan Upaya Penangkapan Pola umum eksploitasi perikanan yang mengalami overfished indikatornya adalah bahwa bertambahnya total upaya penangkapan (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan (catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE). Pada saat menjelang overfishing diperoleh suatu kenyataan bahwa peningkatan upaya ternyata tidak dapat lagi meningkatkan hasil tangkapan, bahkan CPUE akan mengalami penurunan secara drastis. Hasil tangkapan per unit upaya merupakan salahsatu indikator besarnya (ukuran) stok. Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkapan per unit upaya dalam menduga stok ikan, diasumsikan ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap. Dengan asumsi ini, ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat di wilayahnya, kemungkinan nelayan akan berpindah ke wilayah lain dimana masih terdapat ikan dalam jumlah yang melimpah. Mengingat bahwa sumberdaya ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) telah menjadi sasaran penangkapan sejak lama, baik sumber daya pelagis besar, pelagis kecil, demersal, dan udang, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap status stok dan tingkat pemanfaatannya melalui pemantauan secara langsung di daerah penangkapan, pengamatan on board observer dan analisis data landing. Informasi mengenai tingkat kelimpahan suatu kelompok sumberdaya dan prediksi perkembangan laju tangkap di setiap WPP tersebut dapat ditentukan melalui trend CPUE. Naikturunnya CPUE merupakan indikasi adanya faktor yang mempengaruhi stok tersebut terutama intensitas penangkapan (DJPT, 2012). Upaya penangkapan rajungan bervariasi menurut alat tangkap yang digunakan, wilayah penangkapan, dan waktu penangkapan. Berikut adalah beberapa contoh CPUE di beberapa tempat di Laut Jawa (Sumber: Kembaren et al, 2013): Kota Baru: CPUE berkisar antara 17,6-87,9 kg/unit Cirebon: Laju tangkap rajungan dengan jaring kejer 2-4 kg/1 trip (tidak musim). Pada saat musim (musim barat) mencapai kg/trip; Madura: pada saat musim rajungan para nelayan menghasilkan kurang lebih 5-20 kg/tangkapan, saat tidak musim atau musim paceklik, mereka hanya dapat menghasilkan 1 2 atau < 8 kg/tangkapan. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi dari tahun 2001 s.d tahun 2012 di Laut Jawa (WPPNRI 712) yang dianalisa oleh peneliti P4KSI dengan 3 (tiga) alat tangkap yang digunakan (bubu, gillnet dasar/kejer dan arad), dimana bubu sebagai alat tangkap standar dengan menggunakan model surplus production

52 36 menunjukkan CPUE yang berfluktuasi cenderung menurun, seperti disajikan dalam Gambar 20 di bawah ini Gambar 20 Trend Hasil Tangkapan, Upaya dan Hasil Tangkapan per Upaya (CPUE) di Perairan Laut Jawa (sumber: Sumiono (2015) dalam paparan Seminar dan Lokakarya Perikanan Rajungan di Indonesia Kerjasama APRI dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), IPB Convention Center Bogor 25 Februari 2015) Tabel 12 Data perhitungan CPUE Rajungan di Pantura Jawa Tahun Tahun Produksi Effort CPUE Alat Tangkap Fishing power index ,37 Bubu ,28 Arad ,09 Gillnet Dasar , , , , , , , , ,15 Catch Effort *10 CPUE * Sumber: Sumiono (2015) Dari Gambar 20 terlihat bahwa hasil tangkapan menunjukkan trend meningkat, namun upaya dan CPUE cenderung mengalami penurunan. Dalam

53 37 kondisi, dimana sumberdaya melimpah, maka penambahan upaya akan memberikan hasil tangkapan yang meningkat. Namun pada kondisi sumberdaya terdegradasi, maka penambahan upaya akan menurunkan tingkat pendapatan per unit usaha. Hal ini disebabkan meningkatnya persaingan antar alat tangkap yang melakukan penangkapan, dimana kapasitas sumberdaya rajungan yang terbatas dan cenderung mengalami penurunan akibat tekanan penangkapan yang terus meningkat y = e x R² = Gambar 21 Hubungan CPUE dengan Upaya Penangkapan di WPPNRI 712 Tahun (Sumiono, 2015) Hasil analisis regresi dari model produksi surplus (metode Fox) diperoleh persamaan: y = e x. Berdasarkan hasil analisa model Fox, didapatkan nilai dugaan upaya penangkapan optimum (f msy ) sebagai berikut : f msy = 1/d sehingga diperoleh hasil setara dengan alat tangkap bubu lipat Gambar 22 Hubungan Hasil Tangkapan dengan Upaya Penangkapan di WPPNRI 712 Tahun (Sumiono, 2015) Berdasarkan data produksi rajungan di Laut Jawa tahun pada didapatkan nilai dugaan hasil tangkapan maksimum lestari (maksimum sustainable yield/msy) = -(1/d)*exp (c-1) = ton. Artinya untuk dapat

54 38 memanfaatkan sumberdaya rajungan tersebut secara lestari, maka potensi sumberdaya rajungan yang boleh ditangkap adalah maksimal ton per tahun. Ukuran Rata-rata Matang Gonad (Lm) Ukuran rata-rata matang gonad pada rajungan betina (Lm) didefinisikan sebagai lebar karapas pada 50% dari semua individu betina yang telah matang kelamin. Hasil analisis dengan model fungsi logistik diperoleh Lm mm (Tabel 13). Nilai Lm tersebut lebih besar dibandingkan hasil perairan Teluk Bone sebesar mm (Kembaren et al. 2013), perairan pantai Karnataka India sekitar 80 sampai dengan 90 mm (Sukumaran dan Neelakantan 1997) dan perairan selatan Australia sebesar 58.5 mm (Xiao dan Kumar 2004). Tabel 13 Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (LM) Rajungan di Laut Jawa (Ernawati, 2015) Lokasi Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm/L50) Location Mean length at first maturity (Lm/L50) Jakarta - Cirebon Demak Rembang Sumenep Sampit Mean ± Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) identik dengan L 50% pada selektivitas alat tangkap. Sejauh ini, selektivitas telah ditentukan sebagai fungsi dari panjang/lebar. Hasil yang diperoleh dari penelitian selektifitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan yaitu bubu lipat, gillnet, arad dan garuk ditunjukkan pada Tabel 14. Diperoleh ukuran rata-rata rajungan pertama kali tertangkap adalah berkisar pada lebar karapas antara s.d mm. Tabel 14 Ukuran Pertama Kali Tertangkap (Lc) Rajungan (Ernawati, 2015) Ukuran pertama kali tertangkap (Mean Length at first capture) (Lc/L50) Location Bubu lipat (Collapsible trap) Jaring (Gill Net) Arad (Mini bottom trawl) Garuk (Dredge Net) Jakarta Cirebon Demak Rembang Sumenep Sampit Untuk kepentingan pemasaran dan menjaga kelestarian sumberdaya, maka Pemerintah telah menetapkan ukuran rajungan yang layak tangkap yaitu rajungan yang memiliki ukuran lebar karapas 100 mm atau lebih ( 100 mm), hal ini

55 39 mengacu pada Permen KP No. 01/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus Spp.). Namun Permen KP No. 1/2015 yang telah diberlakukan tersebut perlu direvisi karena menyamakan/menggeneralisasi ukuran rajungan untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sangat berbahaya bagi keberlanjutan sumberdaya rajungan pada wilayah yang nilai Lcnya masih besar/tinggi (diluar Laut Jawa). Untuk itu diusulkan agar ukuran rajungan yang layak tangkap diatur berdasarkan pada kesatuan unit stock rajungan, karena untuk setiap unit stock memiliki Lc yang berbeda. Komposisi Hasil Tangkapan Rajungan Hasil tangkapan utama yang menjadi target dalam perikanan ini adalah rajungan, namun pada kenyataannya ikut pula tertangkap beberapa jenis organisme laut lainnya yang merupakan hasil tangkapan sampingan (non target). Hal tersebut disebabkan kondisi perairan yang merupakan perairan tropis dan multispesies, yang memiliki tingkat keanekaragaman sumberdaya perairan sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakuka oleh Sumiono (2015), diketahui komposisi hasil tangkapan target dan non target pada perikanan rajungan di Cirebon sebagai berikut : Target (Rajungan) : non target (by catch) = 1: 70,2 (arad), Target (Rajungan) : non target (by catch) = 1: 1,97 (garuk), Target (Rajungan) : non target (by catch) = 1: 2.47 (gillnet) Komposisi hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap yang digunakan di Cirebon tersaji dalam Gambar 23 berikut ini. preecent (%) Portun Carybdi Loligo Sepia sp. Formio Penaeu Metap Muricid Harpios Dasyati Leiogna Johnius Lactari Arus Tetran Leiogna Sillago Sphyra Cynogl Percent (%) Pecent (%) Gambar 23 Komposisi Hasil Tangkapan Arad (atas), Gillnet (tengah) dan Garuk (bawah) di Cirebon Tahun 2014 (Sumiono, 2015)

56 40 EVALUASI PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN INDIKATOR EAFM DI WPPNRI 712 Penilaian indikator EAFM untuk perikanan rajungan di WPPNRI 712 ditetapkan berdasarkan hasil evaluasi dari indikator di semua lokasi sampling. Evaluasi diawali dengan menetapkan batasan dan kriteria EAFM untuk dapat melakukan pengelompokkan nilai yang diperoleh tersebut. Batasan Indikator, Densitas dan Domain Dalam evaluasi indikator EAFM beberapa hal yang perlu di perhatikan adalah titik acuan atau reference point dari setiap indikator maupun dari agregat indikator. Reference point dari indikator menjadi salah satu batasan dalam proses pemberian skor baik dari domain sumberdaya ikan, ekologi dan habitat, teknologi penangkapan, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Dalam pengukuran indikator dari setiap domain, batasan skor indikator yang diberikan antara 0-3. Nilai nol merupakan skor terendah, dan nilai 3 skor tertinggi. Pemberian skor dari setiap indikator ini merupakan suatu upaya untuk mengakomodasi semua nilai atribut dalam satuan yang berbeda. Dengan teknik scoring ini maka semua indikator yang ada dalam penilaian terlihat memberikan kontribusi yang seimbang. Dalam pengkajian parameter atribut perikanan rajungan di WPPNRI 712, maka pemberian skor indikator tersaji pada Tabel 15 berikut ini. Tabel 15 Batasan Nilai Skor Indikator EAFM Batasan Skor Indikator Batas Deskripsi Batas Atas Bawah 0 1,5 Rendah 1,51 2,5 Sedang 2,51 3 Tinggi Warna Dari proses pemberian skor tersebut, pada tahap awal kita bisa mengetahui kelompok parameter mana yang memberikan kontribusi terendah. Kelompok dengan kontribusi terendah (dibawah reference point) tersebut tergolong sebagai atribut dengan status rendah (merah). Begitu juga sebaliknya jika skor aktributnya lebih dari standar yang ditetapkan, maka tergolong sebagai parameter yang kontribusinya tinggi (biru). Selain skor indikator, bagian penting lain yang perlu diperhatikan pengaruhnya adalah nilai densitas. Nilai densitas didefenisikan sebagai jumlah keterkaitan dari setiap ndikator terhadap indikator lainnya. Jumlah keterkaitan ini bersifat langsung ataupun tidak langsung. Selain itu juga menunjukkan besaran pengaruh dari suatu indikator terhadap indikator lainnya. Secara umum keseluruhan indikator memberikan peluang memiliki hubungan dengan indikator lainnya kecuali dirinya sendiri. Nilai refenrece point maksimal dari skor densitas adalah (N-1). Dimana N adalah jumlah indikator yang digunakan dalam proses penilaian EAFM suatu wilayah. Dalam konteks ini, pemberikan nilai skor

57 41 densitas juga menunjukkan pengaruhnya terhadap perhitungan secara keseluruhan. Logika sederhananya adalah, bahwa setiap indikator yang memiliki keterkaitan tinggi terhadap indikator lainya, akan tergolong sebagai indikator yang memiliki densitas (peran besar) dalam ekosistem suatu kawasan. Tabel 16 Batasan Nilai Skor Densitas EAFM Kriteria Densitas Batas Bawah Batas Atas Deskripsi 0 0,9 Sangat Rendah 0,91 1,5 Rendah 1,6 2,0 Sedang 2,1 2,5 Tinggi 2,6 3,0 Sangat Tinggi Warna Penetapan batasan densitas (merah-hijau), menunjukan rendah atau tingginya konetivitas bukan menunjukkan baik atau buruk pengaruhnya. Perkalian skor atribut dan skor densitas memberikan nilai atau bobot dari setiap atribut yang ada secara keseluruhan. Hasil ini kemudian di masukan kedalam nilai agregat atribut. Nilai agregat atribut tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai dengan skala Agregat dengan nilai 100 termasuk agregat yang paling tinggi pengaruhnya di kawasan, dan yang rendah paling kurang pengaruhnya dikawasan. Hasil pembagian nilai agregat disajikan pada tabel berikut. Tabel 17 Batasan Skor Nilai Domain dan Agregat Rentang nilai Model Rendah Tinggi Bendera Deskripsi Buruk Kurang Sedang Baik Baik Sekali Nilai skor agregat tersebut kemudian dideskripsikan menjadi 5 bagian. Kelima bagian ini menggambarkan 5 tingkatan pengaruh dari domain yang dikaji. Nilai agregat domain berasal dari agregat parameter yang dievaluasi. Sementara itu agregat kawasan adalah nilai kumulatif dari nilai indikator dalam setiap domain. Hasil ini kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pengklasifikasian agregat total. Interpretasi dari nilai agregat bisa dilihat dari 2 sisi, yaitu: karena indikatornya yang rendah (dibawah reference point) atau karena konektivitasnya yang kurang. Agregat yang rendah selain itu juga bermakna bahwa pengaruh dari indikator cenderung negatif dan pengaruh parameter di kawasan tersebut juga kurang. Hasil dari nilai agregat ini kemudian dijadikan sebagai dasar untuk penetapan rekomendasi dari penilaian indikator EAFM rajungan di WPPNRI 712.

58 42 Hasil Penilaian Indikator EAFM Perikanan Rajungan di WPPNRI 712 Domain Sumberdaya Ikan Berdasarkan penelitian terhadap CPUE sumberdaya rajungan di WPPNRI 712 menunjukkan terjadi penurunan tajam dengan bertambahnya upaya penangkapan lebih dari 25% per tahun (Kembaren et al., 2013). Trend CPUE yang cenderung menurun merupakan indikasi bahwa telah terjadi penurunan stok rajungan di alam akibat upaya penangkapan yang tinggi yang juga menunjukan indikator terjadinya overfishing. Ukuran rajungan yang diukur adalah panjang carapas (carapax length) atau lebar karapas (carapax wide). Berdasarkan hasil penelitian Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) Semarang dan Asosiasi Pengusaha Rajungan Indonesia (APRI) disebutkan dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi penurunan hasil tangkapan dan penurunan rata-rata ukuran (size) individu rajungan yang tertangkap di perairan Laut Jawa (Zarochman et al., 2013). Indikator komposisi spesies digunakan untuk mengetahui komposisi spesies yang menjadi target penangkapan dan yang bukan target penangkapan atau dengan kata lain non target (bycatch). Pada perikanan rajungan di perairan Laut Jawa untuk penggunaan alat tangkap selain bubu, selektivitasnya tergolong rendah karena komposisi hasil tangkapan rajungan hanya % saja, dan rajungan yang tertangkap berukuran kecil (Zarochman et al., 2013). Rajungan yuwana (juvenile) merupakan ukuran suatu tahap dalam pertumbuhan ikan yang belum masuk kategori ukuran dewasa (mature). Menurut Ernawati (2013), masih banyak juvenile rajungan yang tertangkap dalam perikanan rajungan di Laut Jawa. Proporsi ikan rajungan yuwana yang ditangkap > 60 % (Ernawati, 2013). Indikator Endangered Species, Threatened Species, and Protected (ETP) digunakan untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap spesies ETP akibat kegiatan penangkapan dengan alat tertentu di sebuah wilayah. Untuk perikanan rajungan di Laut Jawa berdasarkan informasi dari nelayan tidak tertangkap spesies ETP. Range collapse adalah suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Sumberdaya ikan yang mengalami range collapse akan semakin sulit untuk ditangkap karena telah terjadi penyusutan secara spasial dari biomassa stok ikan yang bersangkutan. Menurut Juwana et al. (2009) menyebutkan bahwa nelayan rajungan di Laut Jawa harus melaut lebih jauh dan lebih sering daripada tahuntahun sebelumnya. Tabel 18 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Sumberdaya Ikan di WPPNRI 712 Indikator Domain Sumberdaya Ikan 1. CpUE Baku Tren ukuran ikan Proporsi ikan yuwana yang ditangkap Komposisi spesies hasil tangkapan "Range Collapse" sumberdaya ikan Spesies ETP 3.0 Nilai

59 43 Domain Habitat dan Ekosistem Indikator kualitas perairan dievaluasi dalam rangka mengetahui kualitas dan kesehatan lingkungan perairan, kekeruhan serta mengetahui tingkat percemaran perairan. Dari hasil penelitian di perairan Laut Jawa, kualitas fisik maupun kimia perairan di bawah ambang baku mutu yang ditetapkan, konsentrasi khlorofil tergolong sedang dan potensial terjadi eutropikasi. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang mempunyai berbagai fungsi diantaranya sebagai penyuplai energi baik pada zona bentik maupun pelagis, atau sering disebut sebagai daerah asuhan bagi berbagai biota laut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tutupan padang lamun di pantai utara Jawa tergolong rendah (<30%). Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis juvenil ikan, udang, kepiting, dan moluska. Kerapatan mangrove di Laut Jawa tergolong tinggi, keberadaan mangrove terdapat hampir di seluruh perairan Laut Jawa mulai dari Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ekosistem terumbu karang merupakan habitat yang sangat efisien dalam menangkap nutrien dan sinar matahari serta berfungsi sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak besar. Semakin tinggi tutupan karang hidup maka semakin baik kondisi dan produktifitas perikanan. Sedangkan keanekaragaman jenis terumbu karang merupakan indikator kesehatan lingkungan perairan. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan terumbu karang di Laut Jawa tergolong dalam kondisi buruk (rusak berat) dengan keanekaragaman terumbu karang tergolong rendah. Informasi tentang lokasi-lokasi habitat unik atau khusus seperti spawning ground, nursery ground, feeding ground, dan upwelling sangat penting dalam mendukung keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa juvenil rajungan di perairan Laut Jawa banyak terdapat di perairan dangkal dekat pantai (0-2 mil) dan di daerah mangrove dengan salinitas yang lebih rendah. Kedua daerah tersebut direkomendasikan untuk ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut untuk rajungan. Pengaruh perubahan iklim sangat mempengaruhi kondisi perairan, perubahan musim perikanan, serta degradasi terumbu karang akibat tingginya suhu permukaan laut yang menyebabkan pemutihan/bleaching. Semakin besar dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat, maka keberlanjutan sumberdaya perikanan semakin terancam, sehingga diperlukan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menekan pengaruh perubahan iklim tersebut. Tabel 19 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 712 Indikator Domain Habitat dan Ekosistem Nilai 1. Kualitas perairan Status ekosistem lamun Status ekosistem mangrove Status ekosistem terumbu karang Habitat unik/khusus Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 3.0

60 44 Domain Teknik Penangkapan Penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal yang dapat mengakibatkan secara langsung kerusakan sumberdaya ikan beserta ekosistemnya ini meliputi: penggunaan bahan dan/atau alat yang berbahaya (seperti: bom ikan, racun sianida, potassium, dan listrik) dan penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan berlaku (modifikasi alat penangkap ikan). Pada perairan WPPNRI 712 saat ini masih terdapat nelayan rajungan yang menggunakan alat tangkap yang dimodifikasi dan tidak ramah lingkungan seperti dogol, cantrang, dan arad. Indikator fishing capacity merupakan nilai ratio antara fishing capacity pada tahun sebelumnya dibandingkan dengan fishing capacity pada tahun terakhir. Bila nilai rationya dibawah 1 (satu), maka diperkirakan ada kecenderungan terjadi overcapacity yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya overfishing. Menurut Zarochman et al. (2013), kapasitas dan upaya penangkapan rajungan di WPPNRI 712 sudah berlebih (rasio kapasitas penangkapan <1). Indikator selektivitas penangkapan merupakan prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak/kurang selektif terhadap jumlah total alat tangkap yang ada di suatu perairan tertentu. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak selektif terhadap jumlah total alat tangkap yang ada di WPPNRI 712 berkisar antara 50 75% (kategori sedang). Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan merupakan perbandingan antara dokumen legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Bila dokumen ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka hal ini dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing. Dari hasil survey yang dilakukan dalam penelitian ini diketahui untuk nelayan rajungan di WPPNRI 712 mayoritas adalah nelayan kecil yang menggunakan kapal berukuran < 10 GT, dimana kewajiban mereka hanya melakukan registrasi. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Bila jumlah kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat rendah, maka dapat diperkirakan bahwa di wilayah perairan tersebut aktivitas penangkapan ikannya belum dilakukan oleh nelayan yang memahami kaidah-kaidah penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Mayoritas nelayan dan ABK kapal rajungan di WPPNRI 712 tidak mempunyai sertifikat keahlian kapal. Tabel 20 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Teknik Penangkapan di WPPNRI 712 Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) Selektivitas penangkapan Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. 1.0 Nilai

61 45 Domain Sosial Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa partisipasi pemangku kepentingan perikanan rajungan di WPPNRI 712 tergolong cukup tinggi. Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan wilayah penangkapan (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict). Pada WPPNRI 712 diketahui terjadi konflik antara nelayan yang menggunakan alat tangkap arad dan garok dengan nelayan pengguna bubu rajungan karena mempunyai fishing ground yang sama. Frekuensi konflik yang tinggi merupakan indikator pengelolaan perikanan yang kurang baik khususnya dari segi pengawasan dan penegakan hukum. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan. Pengetahuan lokal nelayan rajungan khususnya terkait lokasi daerah asuhan dan daerah pemijahan rajungan di WPPNRI 712 sudah ada, namun belum efektif digunakan untuk pengelolaan yang rajungan yang berkelanjutan. Tabel 21 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Sosial di WPPNRI 712 Indikator Domain Sosial 1. Partisipasi pemangku kepentingan Konflik perikanan Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan 2.0 Nilai Domain Ekonomi Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Indikator pendapatan rumah tangga menggunakan upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama dengan UMR maka pendapatan rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan cukup baik. Pendapatan rata-rata RTP nelayan rajungan di Laut Jawa berkisar antara ,- s.d ,- rupiah perbulan. Sementara besaran UMR 2014 untuk beberapa Provinsi di Laut Jawa berkisar antara ,- s.d ,-. Secara umum pendapatan RTP nelayan rajungan di Laut Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan UMR. Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pengukuran rasio tabungan (SR) ini bertujuan untuk melihat potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya. Bila SR positif maka terdapat potensi tabungan, demikian pula sebaliknya jika SR

62 46 negatif maka terdapat potensi hutang. Nilai ini dapat dimodifikasi lebih lanjut dengan membandingkan SR yang positif terhadap tingkat bunga, yaitu jika SR lebih besar dari tingkat bunga maka tingkat kesejahteraan nelayan tergolong baik, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini didapat angka SR yang negative yang disebabkan pendapatan rata-rata perbulan yang diterima nelayan dari hasil tangkapan rajungan lebih kecil dari pengeluaran rata-rata perbulan yang dikeluarkan untuk keperluan/kebutuhan hidup sehari-hari (potensi berhutang). Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Aset produktif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti pertanian. Pengukuran kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya. Dari hasil survey yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa untuk nelayan rajungan pengguna bubu dan gillnet, nilai asset nelayan rajungan bertambah (contoh kasus nelayan di Betahwalang-Demak). Untuk nelayan pengguna alat tangkap garook, cantrang, dan dogol nilai assetnya cenderung tetap. Tabel 22 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Ekonomi di WPPNRI 712 Indikator Domain Ekonomi 1. Kepemilikan Aset Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) Rasio Tabungan (Saving ratio) 1.0 Nilai Domain Kelembagaan Kepatuhan terhadap prinsip-prisip perikanan yang bertanggungjawab baik yang formal maupun berupa hukum adat, menjadi ukuran paling penting dalam menjamin keberlanjutan perikanan. Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini khususnya di Cirebon (Jawa Barat) dan Brebes (Jawa Tengah) terjadi pelanggaran hukum formal lebih dari 5 (lima) kali setiap tahun, kasus yang sering terjadi adalah pelanggaran jalur penangkapan ikan, dimana alat tangkap aktif seperti garook dan arad (mini trawl) melakukan penangkapan rajungan di zona I (0-2 mil). Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam pengelolaan perikanan. Peraturan yang lengkap dan penegakan hukum menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Saat ini telah terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus sp.) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, kedua peraturan ini melengkapi peraturan yang telah ada sebelumnya seperti peraturan mengenai alat tangkap, alat bantu penangkapan dan jalur penangkapan ikan.

63 47 Ukuran keberhasilan dari sebuah mekanisme kelembagaan adalah manakala dapat terimplementasi menjadi sebuah sistem dan berjalan efektif. Penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat diindikasikan dengan ada atau tidaknya mekanisme kelembagaan dalam pengelolaan perikanan. Saat ini pemerintah sedang menginisiasi pembentukan kelembagaan pengelolaan di setiap WPPNRI yang anggotanya merupakan seluruh perwakilan pemangku kepentingan di WPP tersebut. Kelembagaan pengelola WPPNRI ini diharapkan sudah terbentuk pada tahun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) mutlak diperlukan sebagai standar operasional dalam melaksanakan tata kelola perikanan yang bertanggungjawab. Dengan demikian unit kegiatan dari indikator RPP adalah ada tidaknya RPP yang dimaksud dan sejauhmana RPP tersebut dijalankan. Saat ini pemerintah bersama dengan pemangku kepentingan sudah menyusun draft RPP Rajungan yang akan digunakan sebagai pedoman dalam mengelola perikanan rajungan di Indonesia. Draft RPP Rajungan ini sedang dalam tahapan konsultasi publik dan diharapkan pada akhir tahun 2015 sudah ditanda tangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam pengelolaan perikanan dapat diartikan sebagai adanya keterpaduan gerak dan langkah antar lembaga dan antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak memunculkan adanya konflik kepentingan dan benturan kebijakan. Keberhasilan pengelolaan perikanan ditentukan oleh sejauh mana terjadi sinergisitas antara lembaga pengelola perikanan dan sejauh mana terjadi sinergitas antar kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga. Sinergitas antar lembaga terkait dalam pengelolaan rajungan di WPPNRI 712 saat ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan adanya kebijakan yang saling mendukung dan tidak bertentangan dalam pengelolaan rajungan. Kapasitas pemangku kepentingan didefinisikan sebagai upaya-upaya konstruktif dalam peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kapasitas pemangku kepentingan menentukan baik buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam pengelolaan perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Asosiasi Pengelola Rajungan Indonesia (APRI), perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) selama ini telah melakukan banyak pembinaan kepada para pelaku usaha rajungan di WPPNRI 712 antara lain di Pati, Demak dan Cirebon. Tabel 23 Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain Ekonomi di WPPNRI 712 Indikator Domain Kelembagaan 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Mekanisme pengambilan keputusan Rencana pengelolaan perikanan Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Kapasitas pemangku kepentingan 3.0 Nilai

64 48 Penilaian indikator dan densitas (komposit) dalam domain EAFM Penilaian setiap indikator dalam domain EAFM perikanan rajungan di WPPNRI 712 adalah nilai rata-rata dari keseluruhan parameter yang dikaji. Skor indikator seperti disampaikan sebelumnya berkisar antara 1-3. Dalam kontek indikator EAFM rajungan di WPPNRI 712, skor indikator yang diberikan adalah nilai rata-rata skor dari setiap lokasi sampling. Penilaian densitas adalah pengukuran tingkat konektivitas dari setiap atribut yang dikaji dalam domain EAFM. Hasil penilaian diperoleh nilai skor densitas berkisar antara Hasil perhitungan indikator dan densitas dalam setiap domain untuk perikanan rajungan di WPPNRI 712 di peroleh hasil seperti Tabel 26 sebagai berikut. Tabel 24 Skor Rata-rata Indikator dan Nilai Komposit Domain EAFM Domain Skor Indikator Deskripsi Sumberdaya Ikan 1,50 Rendah Habitat dan Ekosistem 2,00 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 1,50 Rendah Sosial 2,00 Sedang Ekonomi 2,00 Sedang Kelembagaan 2,48 Tinggi Agregat 1,9 Sedang Hasil pemberian skor dari setiap indikator yang dikaji dari domain EAFM rajungan di WPPNRI 712 berkisar antara Domain yang memiliki skor indikator yang tergolong rendah, yaitu: Sumber Daya Ikan dan Teknik Penangkapan. Artinya sebagian besar dari indikator dalam domain tersebut berada dibawah reference point. Kondisi ini dapat terjadi karena pengaruh dari teknik penangkapan yang dilakukan tidak ramah lingkungan sehingga mempengaruhi ketersediaan sumberdaya ikan. Dalam proses penyusunan rekomendasi, nilai domain yang tergolong rendah (dibawah reference point) mendapat prioritas pertama dalam upaya pengelolaannya. Domain yang memiliki konektivitas kategori sedang dalam kawasan untuk penerapan indikator EAFM rajungan di WPPNRI 712 adalah domain sosial dan kelembagaan. Domain habitat & ekosistem dan ekonomi, memiliki densitas dengan kategori kurang serta domain sumberdaya ikan dan teknik penangkapan memiliki densitas dengan kategori buruk. Secara keseluruhan (agregat), seluruh domain tergolong dalam kategori kurang. Artinya setiap indikator yang ada dalam domain EAFM belum dikelola secara baik sehingga diperoleh nilai komposit yang rendah. Nilai skor densitas yang rendah merupakan gambaran pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712 yang belum berjalan dengan baik Penilaian Aggregat Hasil evaluasi terhadap seluruh domain EAFM dari hasil perhitungan diperoleh kisaran nilai antara hal ini mengindikasikan bahwa status pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712 tergolong dalam kategori buruk sampai sedang. Secara parsial kontribusi domain Ekonomi dan Habitat &

65 49 ekosistem tergolong dalam katagori kurang. Sedangkan domain sosial dan kelembagaan tergolong dalam katagori sedang. Secara keseluruhan praktek penerapan EAFM rajungan di WPPNRI 712 tergolong dalam kategori kurang. Domain sumberdaya ikan dan teknis penangkapan merupakan doman indicator yang paling buruk. Hasil perhitungan nilai agregat selengkapnya tersaji pada Tabel 25 berikut. Tabel 25 Nilai Agregat setiap Domain Indikator EAFM di WPPNRI 712 Domain Nilai Batas Perhitungan Maksimum Nilai Domain Kelas Domain Sumberdaya Ikan ,3 Buruk Habitat & ekosistem ,5 Kurang Teknik Penangkapan Ikan ,3 Buruk Sosial ,7 Baik Ekonomi ,7 Kurang Kelembagaan ,9 Baik Rata-rata 2.761, ,0 31,7 Kurang Keterangan: 1) nilai perkalian skor atribut, densitas dan bobot (nilai skala ) 2) nilai konversi dari total nilai perhitungan (nilai dalam skala 0-100) Domain sosial dan kelembagaan merupakan domain yang bernilai paling baik dibandingkan domain yang lainnya, hal ini menunjukkan pengelolaan perikanan dari sisi kelembagaan dan sosial sudah cukup baik namun perlu untuk ditingkatkan. Sedangkan domain sumberdaya ikan dan teknis penangkapan ikan termasuk dalam kategori buruk dan menjadi prioritas untuk diperbaiki. Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) Hasil penilaian indikator EAFM dalam pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712, merupakan potret kondisi pengelolaan perikanan rajungan yang terjadi saat ini. Setelah proses pengelompokkan setiap atribut dari domain yang ada tersebut, langkah selanjutnya adalah proses penyusunan langkah taktis pengelolaan (Tactical Decision) untuk setiap indikator EAFM. Langkah taktis pengelolaan ini berupa rekomendasi rencana/kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka memperbaiki pengelolaan perikanan dari kategori buruk (merah) ke sedang (kuning), dan dari kategori sedang (kuning) ke kategori baik (hijau). Dalam pelaksanaan rencana aksi pengelolaan dilakukan secara bertahap (jangka pendek, menengah dan panjang) dengan prioritas pelaksanaan pada indikator yang berkategori buruk (merah). Tactical decision untuk setiap indikator ekosistem pada 6 (enam) domain EAFM tersaji pada tabel 26, tabel 27, tabel 28, tabel 29, tabel 30, dan tabel 31 berikut ini.

66 50 Tabel 1 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Sumberdaya Ikan Indikator Nilai Aktual Reference Indicator Skor Kriteria Skor Kriteria CPUE Baku 1 CPUE menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) Tren ukuran ikan 1 trend ukuran rata-rata rajungan yang ditangkap semakin kecil 2 CPUE menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) Langkah Taktis Pengelolaan Pengaturan/Pengendalian Upaya Penangkapan (Effort) dan pembatasan perizinan untuk penangkapan rajungan dilakukan mulai tahun ke-1 2 trend ukuran relatif tetap Perlindungan daerah pemijahan rajungan dilakukan mulai tahun ke-1 Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap Komposisi spesies hasil tangkapan "Range Collapse" sumberdaya ikan 1 Proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak sekali (> 60%) 2 Komposisi proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 1 Lokasi penangkapan rajungan semakin jauh Spesies ETP 3 tidak ada individu spesies ETP yang tertangkap 2 Proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak (30-60%) 3 Komposisi proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) Pengaturan ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap dan pengaturan selektivitas alat tangkap dilakukan mulai tahun ke-1 Menggunakan alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan untuk menangkap rajungan seperti bubu dilakukan mulai tahun ke-1 2 Lokasi penangkapan relatif tetap Pengaturan buka tutup daerah penangkapan (open-close area) dilakukan mulai tahun ke-1 3 tidak ada individu spesies ETP yang tertangkap Peningkatan kesadaran dan sosialisasi kepada nelayan agar tidak menangkap spesies ETP dilakukan mulai tahun ke-1

67 51 Tabel 2 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Habitat dan Ekosistem Indikator Nilai Aktual Reference Indikator Skor Kriteria Skor Kriteria Kualitas perairan 2 Tercemar sedang, kualitas air 3 Tercemar ringan, kualitas air dibawah baku mutu air laut, sama dengan baku mutu Status ekosistem lamun 1 tutupan rendah, 30%, keanekaragaman rendah, jumlah spesies < 3 2 tutupan sedang %, keanekaragaman sedang, jumlah spesies 3-5 Langkah Taktis Pengelolaan Pengendalian pencemaran dari sungai mulai tahun 1 Monitoring kualitas air mulai tahun ke-1 Perbaikan ekosistem lamun melalui rehabilitasi lamun mulai tahun ke-2 Status ekosistem mangrove 2 tutupan sedang, 50 - < 75%; kerapatan sedang ( pohon/ha) 3 tutupan tinggi, 75%; kerapatan tinggi ( > 1500 pohon/ha) Rehabilitasi ekosistem mangrove yang rusak mulai tahun ke-2 Status ekosistem terumbu karang 2 tutupan sedang, 25 - < 50 %; keanekaragaman sedang, 1<H <3) 3 tutupan tinggi, 50 %; keanekaragaman tinggi, > 3 Menggunakan alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan untuk menangkap rajungan seperti bubu Habitat unik/khusus 2 diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik 3 diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik Perlindungan/zonasi habitat unik menjadi kawasan konservasi Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 3 diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi 3 diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi Melakukan pengkajian pengaruh iklim di WPP 712 dan melaksanakan mitigasi terhadap dampaknya

68 52 Tabel 3 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Teknis Penangkapan Indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat dektruktif dan ilegal Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Nilai Aktual Reference Indikator Skor Kriteria Skor Kriteria 1 frekuensi pelanggaran > 10 kasus 2 frekunsi pelanggaran 5-10 per tahun kasus per tahun 1 lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm % ukuran target spesies < Lm Langkah Taktis Pengelolaan Menggurangi penggunaan alat tangkap yang merusak dan tidak ramah lingkungan mulai tahun 1 Melakukan penegakan hukum secara tegas mulai tahun 2 Penerapan Standart Nasional Indonesia untuk alat tangkap dan alat bantu penangkapan mulai tahun ke-2 Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan 1 Rasio kapasitas penangkapan < 1 2 Rasio kapasitas penangkapan = 1 Mengendalikan upaya penangkapan misalnya dengan membatasi jumlah trip dan jumlah bubu mulai tahun ke-2 Selektivitas penangkapan 2 Penggunaaan alat tangkap tidak selektif sedang, 50-75% 3 Penggunaaan alat tangkap tidak selektif rendah, >75% Penggunaan alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan mulai tahun 1 Pengaturan selektivitas alat tangkap mulai tahun 2 Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 3 kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 3 kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal Pendataan dan pemeriksaan kembali kelengkapan kapal dan izinnya mulai tahun 1 Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan 1 Kepemilikan sertifikat <50% 2 Kepemilikan sertifikat 50-75% Melakukan pelatihan kepelautan dan Pembinaan nelayan dalam penangkapan ikan

69 53 Tabel 4 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Sosial Indikator Nilai Aktual Reference Indikator Skor Kriteria Skor Kriteria Langkah Taktis Pengelolaan Partisipasi pemangku kepentingan 3 Partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan rajungan cukup tinggi (100%) 3 Partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan rajungan cukup tinggi (100%) Penguatan partisipasi masyarakat, pengembangan kelembagaan dan kapasitas masyarakat lokal mulai tahun 1 Konflik perikanan 1 Konflik antara nelayan yang menggunakan alat tangkap arad dan garok dengan nelayan pengguna bubu rajungan di beberapa lokasi di WPP 712. Konflik hampir terjadi setiap tahun. Konflik yang terjadi lebih dari 5 kali/tahun 2 Mengurangi terjadinya konflik menjadi 2-5 kali/tahun Pengawasan aturan zonasi/jalur penangkapan mulai tahun ke-2 Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan 2 Pengetahuan lokal nelayan rajungan ada, namun belum efektif digunakan untuk pengelolaan yang berkelanjutan 3 Pengetahuan lokal nelayan rajungan ada dan efektif digunakan Penguataan kelembagaan lokal dengan pendekatan ko manajemen perikanan mulai tahun ke-2

70 54 Tabel 5 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Ekonomi Indikator Nilai Aktual Reference Indikator Skor Kriteria Skor Kriteria Kepemilikan Aset 2 Untuk nelayan pengguna bubu dan gillnet, nilai asset nelayan rajungan bertambah (nelayan Betahwalang-Demak). Untuk nelayan pengguna garook, cantrang, dan dogol nilai asset tetap cenderung tetap (kurang dari 50%) 3 nilai aset bertambah (di atas 50%) Langkah Taktis Pengelolaan Pelatihan perawatan barang dan asset perikanan mulai tahun 1 Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) 3 Pendapatan rata-rata nelayan rajungan di WPP 712 adalah sktr 2-3 jt/bln sementara besaran UMP 2014 adalah Rp ,- (jawa tengah), ,- (DKI), ,- (jabar), ,- (Lampung), ,- (Banten). Secara umum penghasilan nelayan rajungan lebih dari rata2 UMR 3 Penghasilan rata-rata nelayan rajungan > ratarata UMR Peningkatan nilai tambah dari pengolahan rajungan mulai tahun 1 Pekerjaan alternative mulai tahun ke-2 Rasio Tabungan (Saving ratio) 1 Saving rate < dari bunga kredit pinjaman, pengeluaran nelayan rata-rata lebih tinggi dari rata-rata pendapatan perbulan (potensi berhutang). 2 Saving rate = bunga kredit pinjaman Pemberian pemahaman keuntungan menabung mulai tahun ke-1

71 55 Tabel 6 Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator pada Domain Kelembagaan Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab Nilai Aktual Reference Indikator Skor Kriteria Skor Kriteria 2 Pelanggaran hukum formal terjadi 3 Pelanggaran hukum formal >5 kali setiap tahun, tidak ada terjadi < 5 kali setiap tahun informasi pelanggaran terhadap dan tdk terjadi pelanggaran peraturan non formal. aturan formal Langkah Taktis Pengelolaan Penerapan prinsip prinsip pengelolaan perikanan bertanggung jawab (CCRF) dan Penerapan aturan yang berlaku mulai tahun 1 Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan 2 tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3-5 domain EAFM 3 tersedia regulasi lengkap untuk pengelolaan perikanan dari 6 domain EAFM Menyusun kebijakan dan aturan penangkapan dan lainnya mulai tahun ke-2 Mekanisme pengambilan keputusan 2 ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif, ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan 3 ada mekanisme dan berjalan efektif, ada keputusan dijalankan sepenuhnya Pelibatan stakeholder dalam pembuatan keputusan mulai tahun ke-2 Rencana pengelolaan perikanan 2 ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 3 sinergi antar lembaga berjalan baik, kebijakan saling mendukung 3 ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 3 sinergi antar lembaga berjalan baik, kebijakan saling mendukung Menetapkan draft RPP Rajungan menjadi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan an mulai tahun 1 Pelaksanaan RPP Rajungan mulai tahun 2 Penguatan kelembagaan dalam membuat kebijakan pengelolaan perikananmulai tahun 1 Kapasitas pemangku kepentingan 3 Ada dan berfungsi dengan baik 3 Ada dan berfungsi dengan baik Penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat local mulai tahun 1

72 56 Pengelolaan perikanan dilaksanakan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Tujuan utama pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan, dengan tetap menjaga ketersediaan sumberdaya, sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu pembanguna untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa mengurangi atau menghilangkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Bengen, 2005). Selanjutnya bahwa atas dasar definisi tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung 2 (dua) dimensi utama yaitu dimensi ekologi (domain sumberdaya ikan dan habitat) dan dimensi sosial ekonomi (domain penangkapan, sosial, ekonomi dan kelembagaan). Menurut Syahrir (2011), berkelanjutan secara ekologi merupakan kegiatan pengelolaan sumberdaya yang harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, mempertahankan daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya termasuk keanekeragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat berkesinambungan. Sedangkan berkelanjutan secara social ekonomi berarti bahwa kegiatan pengelolaan sumberdaya harus dapat menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya dan investasi secara efisien. Kunci utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan tersebut adalah tata kelola yang baik. Tata kelola yang baik adalah mampu menyeimbangkan (balancing) antara dimensi ekologi dan dimensi sosial ekonomi. Untuk dapat melakukan tata kelola perikanan yang baik, pemerintah wajib menyusun rencana pengelolaan perikanan yang didalamnya berisi visi dan misi ysng selaras dengan tujuan ekologi dan tujuan ekonomi dalam jangka pendek (5 tahun), jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang ( 15 tahun). Rencana strategis (tactical decision) jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dalam Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) disusun berdasarkan 2 (dua) kategori prioritas, yaitu prioritas berdasarkan nilai indikator dan prioritas berdasarkan resiko. Prioritas berdasarkan nilai indikator maksudnya adalah untuk domain/indikator yang bernilai buruk (merah) menjadi prioritas utama untuk diperbaiki, begitu juga prioritas berdasarkan resiko maksudnya adalah untuk domain yang berdampak besar dan sering terjadi (frekuensi tinggi) menjadi prioritas utama untuk rencana aksi. Dalam menyusun rencana aksi strategis perbaikan pengelolaan perikanan dibuat berdasarkan kaidah SMART yang di temukan oleh Doran (1981) yaitu : Specific/khusus - menyasar target spesifik untuk perbaikan; Measurable/terukur - mudah diukur dengan dana yang masuk akal; Assignable/tersedia - siapa yang akan melakukan kegiatan; Realistic/realistis - target yang dituju harus dapat dicapai; Time-related/tepat waktu - kapan target dapat dicapai. Pada Gambar 24 dibawah ini disajikan kobe plot rencana perbaikan pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712 untuk jangka pendek (0-5 tahun), jangka menengah (5-10 tahun) dan jangka panjang ( 15 tahun) yang merupakan gambaran pelaksanaan tactical decision untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan rajungan yang lebih baik.

73 57 Gambar 24 Kobe Plot Perbaikan Perikanan Rajungan di WPPNRI 712 KESIMPULAN 1. Kondisi terkini pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712 berdasarkan hasil analisa terhadap seluruh domain ekosistem diperoleh kisaran nilai antara 6,3 55,9. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa status pengelolaan perikanan rajungan secara umum tergolong dalam kategori kurang baik. 2. Dari enam domain ekosistem yang dianalisa diperoleh hasil untuk indikator dalam kategori buruk (dibawah reference point) adalah sumberdaya ikan dan teknis penangkapan. Hal ini disebabkan penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dan kurang ramah lingkungan yang dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan dan habitat. 3. Untuk memperbaiki pengelolaan perikanan rajungan di perairan Laut Jawa secara bertahap direkomendasikan 5 (lima) langkah aksi strategis (tactical decision) prioritas pengelolaan yaitu; pengaturan rajungan yang boleh ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, pelaksanaan program restocking rajungan serta peningkatan pemantauan/ pengawasan terhadap peraturan yang berlaku. 4. Rekomendasi rencana aksi pengelolaan hasil penilaian indikator EAFM merupakan input bagi rencana aksi pengelolaan dalam Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) rajungan yang dilaksanakan berdasarkan pada prioritas jangka pandek, jangka menengah dan jangka panjang.

74 58 DAFTAR PUSTAKA Abyss Portunus pelagicus. Download 16 April Adrianto, L Konsep Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan. Kertas Kerja disampaikan pada Workshop Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan. Bogor, September Adrianto, L. et.al. (eds) Laporan Lokakarya Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan. Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, KKP, WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Adrianto, L Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Perikanan Skala Kecil. Bappenas RI. Adrianto, L, Y. Matsuda and Y. Sakuma Assessing Local Sustainability of Fisheries System : A Participatory Qualitative System Approach to the Case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Marine Policy 29 : 9-23 pp. Elsevier Sciences Afriani, I Metode penelitian kualitatif. 30 April Makasar: Universitas Negeri Makasar. penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.html. Bengen, D.G Merajut Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Timur Indonesia Bagi Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Disajikan pada Seminar Makassar Maritime Meeting, Makassar. Charles, Anthony T Sustainable fishery system. Blackwell Scientific Publications. Oxford. UK Cochrane KL Fisheries management. In: A Fishery manager s guide books, Manegement measures and their application. Rome (IT): FAO Fisheries Technical Paper No p1-20. Campbell, G.R. and Fielder, D.R Size at Sexual Maturity and Occurrence of Ovigerous Females in Three Species of Commercially Exploited Portunid Crabs in SE Queensland. Proceedings of The Royal Society of Queensland, 97: CIESM Portunidae, Portunus pelagicus. atlas/portunus pelagicus.html. Download 3 Oktober Degnbol, P The ecosystem approach and fisheries management institutions: the noble art of addressing complexity and uncertainty with all onboard and on a budget. Proceeding IIFET Direktorat Sumberdaya Ikan-DJPT-KKP, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB Kajian Awal Keragaan Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. PKSPL IPB. Bogor. 176 hal. Effendie, M. J Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim Penangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Madura. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hal.

75 Ernawati, T Metode Pengkajian Stok dan Rekomendasika Pengelolaan Perikanan Rajungan. Makalah Workshop Pengelolaan Rajungan di Pantura Jawa. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Ernawati T Dinamika populasi dan pengkajian stok sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. 79hlm. Ernawati T Biologi dan Harvest Strategy Perikanan Rajungan Di Laut Jawa. Makalah Seminar dan Lokakarya Perikanan Rajungan di Indonesia Kerjasama APRI dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). IPB Convention Center. Bogor 25 Februari hlm. FAO Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Paper. FAO Indicator for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 08. Food and Agriculture Organization (FAO)-Roma [serial online]. [accessed : ]. FishSA Blue Swimming Crab. Download 3 April Hart, Maureen Guide to sustainable community indicators. 2nd edition. Hart Environmental Data. North Andover - USA Hartoto, D.I., L. Adrianto., D. Kaliwoski., T. Yunanda Mainstraiming Fisheries Co-Management in Indonesia. FAO Technical Papers. FAO-Roma. Gracia, S.M. and Cochrane, K.L Ecosystem Approach to Fisheries : A Review of Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences (62). Gaichas, S.K A Context of Ecosystem Based Fisheries Management : Developing Concepts of Ecosystem and Sustainability. Marine Policy (32) Gardenia, Y.T Studi Tentang Pengaruh Perbedaan Tinggi Jaring Kejer Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan ( Portunus pelagicus ) di Perairan Bondet, Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Petanian Bogor. Bogor. 83 hal. Gardenia, Y.T Studi Tentang Teknologi Penangkapan Pilihan Untuk Perikanan Rajungan Di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon. Tesis (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Petanian Bogor. Bogor. Jennings, S Indicators to support and ecosystem approach to fisheries. Fish and Fisheries 6 (3): Josileen J, Menon NG Fishery and growth parameters of the blue swimmer crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) along the Mandapam coast, India. Journal of the Marine Biological Association of India 49 (2): Juwana S Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: II. Sumber induk, pengelolaan salinitas dan ransum makanan. Dalam: Praseno DP, Atmadja WS, Supangat I., Ruyitno, Sudibjo BS, Riyono SH (eds.) Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II. Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm

76 60 Juwana S Budidaya rajungan dan kepiting di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama, Bidang Marikultur. Jakarta (ID): 14 September P2O-LIPI. 41 hlm. Juwana, S. dan Romimohtarto Rajungan, Perikanan, Budidaya dan Menu Masakan. Djambatan, Jakarta. 47 hal. Juwana S, Aziz A, Ruyitno Evaluasi Potensi Ekonomis Pemacuan Stok Rajungan di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(2): Kangas MI Synopsis of the biology and exploitation of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia. Fisheries Western Australia, Perth, Western Australia. Fisheries Research Report No Kembaren DD, Ernawati T, Suprapto Biologi dan parameter populasi rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Bone dan Sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) 18(4): Kembaren, D. Tri Ernawati, Ali Suman Stok dan Tingkat Pemanfaatan Rajungan di Perairan Utara Jawa. Makalah Workshop Pengelolaan Rajungan di Pantura Jawa. BPPL. Jakarta. Kumar, M., Ferguson, G., Xiao, Y., Hooper, G., and Venema, S Studies on Reproductive Biology and Distribution of The Blue SwimmingCrab (Portunus pelagicus) in South Australian Waters. SARDI Research Report Series No. 47. South Australia. Australia. Link. J.S Translating Ecoysstem Indictors into Decision Criteria. ICES Journal of Marine Science pp. Pomeroy, R Marine Protected Areas: an Ecosystem-Based Fisheries Management Tool. Wrack Line Vol 3 No 1. Mexfish Blue Swimming Crab. sscrab. Download 16 April Moosa, M, K., Burhanuddin dan H Razak Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulau-Pulau Seribu dalam Sumberdaya Hayati Bahari. Rangkuman Hasil Penelitian Pelita II. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. 19 hal. Moosa, M, K., dan Juwana Kepiting Suku Portunidae dari Perairan Indonesia (Decapoda, Branchyura). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 75 hal. Nontji, A Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372 hal. Nontji A Laut Nusantara. Edisi Revisi. Penerbit Gedia, Jakarta. Nitiratsuwan T, Nitithamyong C, Chiayvareesajja S, Somboonsuke B Distribution of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in Trang Province. Songklanakarin J. Sci. Technol. 32 (3): Oemarjati, B. S dan Wardhana Taksonomi Avertebrata. UI-Press. Jakarta. Pomeroy, RS dan Rivera-Guieb, R Fishery co-management: a practical handbook. International Development Research Centre, Ottawa, Canada, 232 pp Potter, I.C. de Lestang, S. And Young G.C Influence of The Dawesville Channel on The Recriutment, Distribution and Emigration of Crustaceans and Fish in The Peel-Harvey Estuary. FRDC Final Report, Project 95/042, 61 pp. Rounsefell, G.A Ecology, utilization and Management of Marine Fisheries. The C.V Mosby Company. Saint Louis.

77 Sparre, P. and S.C. Venema Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1. Manual. FAO Fish. Tech. Pap., (306/1) Rev. 1 : 376pp. Sparre P, Venema SC Introduction to tropical fisheries stock assessment, Part I: Manual. Rome (IT): FAO Fisheries technical paper 306/1, Rev p. Stephenson, W and Chambell, W The Australians Portunids (crustacea portunidae). IV. Remaining Genera. Suadela P Analisis tingkat keramahan lingkungan unit penangkapan jarring rajungan (studi kasus di Teluk Banten) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 109 hlm. Sukumaran KK, Neelakantan B. 1997a. Sex Ratio, Fecundity and Reproductive Potential in Two Marine Portunid Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Soutwest Coast India. Indian J. Fish. 26(2): b. Age and Growth in Two Marine Portunid Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Soutwest Coast India. Indian J. Fish. 44(2): c. Length-weight Relationship in Two portuni Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) from The Karnataka Coast. Indian J. Of Marine Sciences. 26: Sumiono, B Status Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus) Di Laut Jawa. Makalah Seminar dan Lokakarya Perikanan Rajungan di Indonesia Kerjasama APRI dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). IPB Convention Center. Bogor 25 Februari hlm. Surjadi, P Toward Sustainable Fisheries of Indonesia Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus). Materi seminar Save Our Crabs dengan Tema: Eksploitasi Sumber Daya Rajungan yang Berkelanjutan. Universitas Indonesia. Depok, 28 April Susilo Pengaruh Hari Bulan (Moon s cycle) Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Rajungan di Desa Tanjung Tikar, Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Sukumuran, K.K. and Neelakantan, B. 1996a. Relative Growth and Sexual Maturity in The Marine Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbts) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along The South-West Coast of India. Indian Journal of Fisheries, 43 : Sutinen JG and Soboil M. (2003).The performance of fisheries management systems and the ecosystem challenge. In: Sinclair M&Valdimarsson G (eds) Responsible fisheries in the marine ecosystem, pp Rome, Italy, and Wallingford, UK. FAO and CAB International. 61

78 62 Thomson, J. M Fish of The Ocean and Shore. Collins Sydney, London. Tim Peneliti BPPL Penelitian stok dan Pengusahaan sumberdaya udang penaeid dan krustasea lainnya di WPP Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone. Laporan Akhir. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Tim Peneliti BPPL Penelitian stok dan Pengusahaan sumberdaya udang penaeid dan krustasea lainnya di WPP Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone. Laporan Akhir. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Turner, R. Kerry Integrating natural and socio-economic science in coastal management. Journal of marine systems. 25: United Nations World Summit on Sustainable Development (WSSD) Johannesburg 2002, Plan of Implementation, Chapter IV no 30 (d). Diakses pada halaman WSSD_POI_PD/English/ POIChapter4.htm. Ward, T., Tarte, D., Hegerl, E., dan Short, K Policy Proposals and Operational Guidance for Eosystem-Based Management of Marine Capture Fisheries. World Wide Fund for Nature Australia. Williams, M.J Natural Food and Feeding in The Commercial Sand Crab P. pelagicus Linnaeus, 1766 (Crustacea: Decapoda:Portunidae) in Moreton Bay, Queensland. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 59: Zairion, Pengelolaan Berkelanjutan Perikanan Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Lampung Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. 175hlm. Zarochman, A. Purnomo, dan B. Candra Pratiwi Bubu Kubah Pintu Samping. Makalah Worshop Pengelolaan Rajungan di Pantura Jawa. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan.

79 63

80 64 LAMPIRAN

81 64 Lampiran 1 Data Perikanan Tangkap Rajungan Tahun Total Produksi Rajungan Nasional Tahun Tahun Produksi (ton) 14,053 22,040 19,988 30,530 21,854 18,760 26,686 30,421 38,838 35,010 43,002 42,411 39,126 52,369 Prosentase Kenaikan 3.47% 5.19% 4.75% 7.02% 5.15% 4.48% 6.19% 7.00% 8.82% 7.99% 9.72% 9.59% 8.88% 11.74% Nilai Produksi Rajungan Nasional Tahun Tahun Unit (Rp ,-) - 194,674, ,270, ,364, ,720, ,955, ,641, ,164, ,002, ,568, ,756, ,827, ,859,100 1,202,453,910 Prosentase Kenaikan 0.00% 2.49% 4.14% 4.76% 3.64% 4.17% 4.84% 6.16% 9.00% 8.64% 11.80% 12.51% 12.49% 15.37% Total Produksi Rajungan di WPP-NRI 712 Tahun Tahun Produksi (ton) 5,137 10,525 8,784 16,437 10,571 11,033 13,983 14,899 20,041 15,557 18,566 19,301 16,894 18,734 Prosentase Kenaikan 3.12% 5.48% 4.72% 8.07% 5.50% 5.70% 7.00% 7.40% 9.65% 7.69% 9.00% 9.32% 8.27% 9.08% Total Produksi Rajungan di WPP-NRI 712 Menurut Provinsi Tahun Tahun Lampung 192 3,991 5,759 8,642 5,994 3,817 5,000 5,000 3, ,523 1,415 7,457 8,435 Banten DKI Jakarta Jawa Barat 2,352 2, , ,693 3,792 8,507 3,928 6,387 9,334 3,524 4,115 Jawa Tengah Jawa Timur 2,127 2,035 1,475 1,669 1,409 2,112 2,538 3,534 2,714 5,438 7,270 5,838 4,438 3,907 Kalimantan Tengah ,908 1,116 1,602 1,825 1,368 1,373 1,991 2,061 1, Kalimantan Selatan , ,089 2, ,141 1,475 Prosentase Kenaikan 3.08% 5.41% 4.66% 7.97% 5.43% 5.63% 6.91% 7.30% 9.52% 7.59% 8.89% 9.21% 8.91% 9.49%

82 65 Lampiran 2 Produksi Perikanan Rajungan di 11 WPP Tahun Tahun WPPNRI 571 WPPNRI 572 WPPNRI 573 WPPNRI 711 WPPNRI 712 WPPNRI 713 WPPNRI 714 WPPNRI 715 WPPNRI 716 WPPNRI 717 WPPNRI 718 Total ,062 1, ,434 11, , , ,179 1, ,550 13,983 4,332 1, , ,322 2, ,190 14,899 5,915 1, , ,133 1, ,090 20,041 7,583 1, , ,308 1, ,702 15,557 6, ,985 35, ,093 1, ,597 18,566 6, ,398 43, ,255 2, ,619 19,301 6, ,670 42, , ,432 16,894 6,648 1, ,604 39, , ,885 7,409 18,734 9, ,368 % kenaikan 4.62% 2.19% 0.73% 7.45% 22.20% 8.05% 1.28% 0.05% 0.21% 0.03% 1.85% 52,369

83 66 Lampiran 3 Produksi, Effort, CpUE, MSY Rajungan Tahun (diolah oleh tim APRI) Tahun BSC (ton) Effort CPUE MSY Fopt C/CMSY F/Fopt Bubu Trawl Bottom gilnet Total ,199 18, ,574 50, ,081 1,929 7,965 18, ,789 18, ,574 50, ,949 3,353 7,789 18, , , ,574 50, ,247 2,851 11, , , , ,574 50, ,762 2,662 11, , , , ,574 50, ,658 2,915 6, , ,276 21, ,574 50, ,740 2,701 9,609 21, ,063 19, ,574 50, ,889 2,472 6,153 19, ,008 32, ,574 50, ,256 2,593 7,151 32, ,267 27, ,574 50, ,770 2,843 7,216 27, ,534 17, ,574 50, ,727 2,804 8,185 17, ,933 26, ,115 3,187 9,408 26, ,121 23, ,449 2,939 7,582 23,970

84 67 Lampiran 4 Keragaan Domain Sumberdaya Ikan No. Indikator/ Kondisi Pengelolaan/ Indicators Management Status 1. CPUE Baku Secara umum sumberdaya rajunga di WPPNRI 712 dari Indikator CPUE menunjukkan penurunan tajam dengan bertambahnya upaya lebih dari 25% per tahun (Kembaren et al., 2013) 2. Tren ukuran ikan Menurut Asosiasi Pengusaha Rajungan Indonesia (APRI) dalam lima tahun terakhir ini volume ekspor rajungan cenderung menurun yang diikuti oleh trend menurunnya ukuran (size) individu rajungan 3. Proporsi ikan yuwana Masih banyaknya ukuran rajungan yang tertangkap di bawah yang tertangkap ukuran dan rajungan bertelur (egg-berried female), Proporsi ikan rajungan yuwana yang ditangkap > 60 % (Ernawati, 4. Komposisi spesies hasil tangkapan 5. Range Collapse sumberdaya ikan 2013) Utk alat tangkap selain bubu, komposisi hasil tangkapan rajungan hanya % saja, dan rajungannya berukuran kecil (Zarochman et al., 2013) Menurut Juwana et al. (2009) menyebutkan bahwa rajungan di alam sudah mengalami penurunan, nelayan harus melaut lebih jauh dan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya. 6. Spesies ETP Tdk ada / jarang terjadi Species yang tergolong ETP tertangkap Nilai/ Rekomendasi/ Score Recomendation 1.0 Peningkatan/Stabil trend CPUE 1.0 Pengendalian perizinan untuk mengurangi laju tekanan penangkapan rajungan 1.0 Pengaturan ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap dan pengaturan alat tangkap melalui pelarangan ukuran mata jaring yang terlalu kecil 2.0 Menggunakan alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan untuk menangkap rajungan seperti bubu (program penggantian alat tangkap dari jaring ke bubu) 1.0 Melakukan monitoring sebaran daerah penangkapan dan Pengaturan buka tutup daerah penangkapan (open-close area) dan penerapan waktu penangkapan (open-closing time) 3.0 Peningkatan kesadaran dan sosialisasi kepada nelayan agar tidak menangkap spesies ETP

85 68 Lampiran 5 Keragaan Domain Habitat dan Ekosistem No. Indikator/ Kondisi Pengelolaan/ Indicators Management Status 1. Kualitas perairan Dari hasil penelitian di Perairan Semarang, secara keseluruhan, kualitas fisik maupun kimia di bawah ambang baku mutu yang ditetapkan (Kep Men LH No. 51/2004), konsentrasi khlorofil tergolong sedang dan potensial eutropikasi 2. Status ekosistem lamun Tutupan padang lamun di pantai utara Jawa tergolong rendah (<30%). Di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea dan Potamogetonaceae 3. Status ekosistem Kerapatan mangrove di WPP 712 tergolong tinggi, mangrove keberadaan mangrove di perairan Banten, Teluk Jakarta, Subang, Indramayu, Perairan Jawa Tengah. Persen tutupan 4. Status ekosistem terumbu karang mangrove Teluk Jakarta % (BPLHD DKI, 2012) Kondisi kerusakan Terumbu Karang di WPP 712 (42% rusak berat, 29% rusak, 23% baik dan hanya 6% sangat baik), keanekaragaman terumbu karang di WPP 712 tergolong rendah 5. Habitat unik/khusus Juvenil rajungan banyak mendominasi di perairan dangkal dan daerah mangrove dengan salinitas lebih rendah. Sementara rajungan-rajungan dewasa hidup di perairan lebih dalam (Nitiratsuwan et al., 2010). 6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Sudah diketahui bahwa ada dampak perubahan iklim, usaha strategi adaptasi dan mitigasi sudah dilakukan. Nilai/ Rekomendasi/ Score Recomendation 2.0 Pengendalian pencemaran dari sungai dan monitoring kualitas air 1.0 Perbaikan ekosistem lamun melalui rehabilitasi lamun 2.0 Rehabilitasi ekosistem mangrove yang rusak 2.0 Rehabilitasi ecosistem terumbu karang 2.0 Perlindungan/zonasi habitat unik menjadi kawasan konservasi 3.0 Melakukan pengkajian pengaruh iklim di WPP 712

86 69 Lampiran 6 Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan No. Indikator/ Indicators 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan Kondisi Pengelolaan/ Management Status Metode penangkapan destruktif sampai saat ini masih berlangsung khususnya Penggunaan alat tangkap cantrang, dogol, garok, dan trawl kurang ramah lingkungan. Frekuensi pelanggaran yang terjadi > 10 kasus pertahun Untuk alat tangkap jaring rajungan, trammel net rajungan, garok rajungan dan arad rajungan, > 50% rajungan yang tertangkap berukuran < Lm (ukuran mesh size jaring kecil sehingga banyak rajungan berukuran kecil yang belum matang gonad tertangkap. Berdasarkan penelitian Balitbang KP, BBPI Semarang dan APRI pada tahun Kapasitas dan upaya penangkapan rajungan di WPP 712 sudah berlebih. Rasio kapasitas penangkapan < 1 4. Selektivitas penangkapan Penggunaan alat tangkap jaring rajungan, trammel net rajungan, garok rajungan dan arad rajungan yang kurang selektif dalam kategori sedang yaitu berkisar antara %. 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan Kepemilikan dokumen kapal dan kesesuaiannya cukup tinggi, hanya kurang dari 30% dokumen yang tidak sesuai. Nelayan rajungan adalah nelayan kecil dgn kapal berukuran < 10 GT Mayoritas nelayan dan ABK kapal rajungan tidak mempunyai sertifikat keahlian kapal (< 50% yang memiliki sertifikat) Nilai/ Rekomendasi/ Score Recomendation 1.0 Membuat aturan penangkapan ikan dan menggurangi penggunaan alat tangkap yang merusak dan tidak ramah lingkungan dengan melakukan penegakan hukum secara tegas 1.0 Pengurangan atau pengendalian penggunaan alat penangkap ikan yang tidak selektif dan merusak habitat serta penerapan sanksi hukum bagi pengguna alat tangkap yang tidak selektif dan merusak habitat 1.0 Mengendalikan upaya penangkapan misalnya dengan membatasi jumlah trip dan jumlah bubu 2.0 Meningkatkan selektivitas alat tangkap 3.0 Pendataan dan verifikasi kelengkapan dokumen kapal dan izin serta melakukan menitoring kegiatan penangkapan 1.0 Melakukan pelatihan kepelautan dan pembinaan nelayan dalam penangkapan ikan

87 70 Lampiran 7 Keragaan Domain Sosial No. Indikator/ Kondisi Pengelolaan/ Indicators Management Status 1. Partisipasi pemangku Partisipasi pemangku kepentingan dalam kepentingan penyusunan RPP rajungan cukup tinggi, mulai dari pelaku usaha (APRI), nelayan, pengepul, miniplant, perguruan tinggi, lembaga riset, NGO dan pemerintah daerah (100%) 2. Konflik perikanan Konflik antara nelayan yang menggunakan alat tangkap arad dan garok dengan nelayan pengguna bubu rajungan di beberapa lokasi di WPP 712 karena mempunyai fishing ground yang sama (pelanggaran jalur penangkapan). Konflik hampir terjadi setiap tahun. Konflik yang terjadi lebih dari 5 kali/tahun 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan Pengetahuan lokal nelayan rajungan ada, namun belum efektif digunakan untuk pengelolaan yang berkelanjutan Nilai/ Rekomendasi/ Score Recomendation 3.0 Pelatihan Penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat lokal 1.0 Penerapan aturan penangkapan, penjualan dan sebagainya serta Melaksanakan koordinasi dengan aparat terkait dan tokoh masyarakat 2.0 Penguataan kelembagaan lokal dengan pendekatan penyusunan kebijakan lokal

88 71 Lampiran 8 Keragaan Domain Ekonomi No. Indikator/ Kondisi Pengelolaan/ Indicators Management Status 1. Kepemilikan Aset Untuk nelayan pengguna bubu dan gillnet, nilai asset nelayan rajungan bertambah (nelayan Betahwalang-Demak). Untuk nelayan pengguna garook, cantrang, dan dogol nilai asset tetap cenderung tetap (kurang dari 50%) 2. Pendapatan rumah Pendapatan rata-rata nelayan rajungan di WPP 712 tangga perikanan (RTP) adalah berkisar ,- s.d ,- perbulan sementara besaran UMR tahun 2014 adalah Rp ,- (Jawa Tengah), ,- (DKI), ,- (Jawa Barat), ,- (Lampung), ,- (Banten). Secara umum penghasilan 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) nelayan rajungan lebih dari rata2 UMR Saving rate < dari bunga kredit pinjaman, pengeluaran nelayan rata-rata lebih tinggi dari ratarata pendapatan perbulan (potensi berhutang). Nilai/ Rekomendasi/ Score Recomendation 2.0 Pelatihan perawatan barang dan asset perikanan 3.0 Peningkatan nilai tambah dan mata pencaharian alternatif 1.0 Pemberian pemahaman manfaat dan keuntungan menabung

89 72 Lampiran 9 Keragaan Domain Kelembagaan Indikator/ No. Indicators 1. Kepatuhan terhadap prinsipprinsip perikanan yang bertanggung jawab 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan 3. Mekanisme pengambilan keputusan 4. Rencana pengelolaan perikanan 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 6. Kapasitas pemangku kepentingan Kondisi Pengelolaan/ Management Status Pelanggaran hukum formal terjadi > 5 kali setiap tahun, kasus paling banyak adalah pelanggran jalur penangkapan ikan. Tidak ada informasi pelanggaran terhadap peraturan non formal. Permen 01/2015 tentang pengaturan legal size rajungan yang boleh ditangkap dan Permen 02/2015 tentang pelarangan penggunaan trawl, penegakan hukum sudah dilaksanakan namun belum dapat dilaksanakan dengan effektif Mekanisme pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan rajungan berjalan secara effektif karena diikuti oleh hampir semua stakeholders. Sudah ada kesepakatan namun belum berjalan effektif. Rencana pengelolaan perikanan rajungan saat ini sudah tersedia draft RPP nya namun belum disyahkan menjadi peraturan Menteri Sinergitas antar lembaga terkait dalam pengelolaan rajungan sudah berjalan dengan baik. Kebijakan dalam pengelolaan perikanan rajungan antar instansi saat ini sudah saling mendukung dan tidak bertentangan KKP, bersama dengan APRI, perguruan tinggi dan NGO selama ini telah melakukan banyak pembinaan kepada para pelaku usaha rajungan di Pati, Demak, Kendari dan Cirebon Nilai/ Rekomendasi/ Score Recomendation 2.0 Penerapan prinsip prinsip pengelolaan perikanan bertanggung jawab (CCRF) dan penerapan aturan yang berlaku 2.0 Menyusun kebijakan dan aturan penangkapan dan lainnya Replikasi aturan lokal 2.0 Duduk bersama melibatkan seluruh stakeholder dalam membuat suatu keputusan 2.0 Menetapkan draft RPP Rajungan menjadi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan 3.0 Penguatan kelembagaan dalam membuat kebijakan pengelolaan perikanan 3.0 Pelatihan dan penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat lokal

90 73 Lampiran 10 Rencana Perbaikan Pengelolaan Perikanan Rajungan di WPP 712 Jangka Pendek, Menengah dan Panjang Rencana Perbaikan Indikator Nilai Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Jangka pendek Jangka menengah Jangka panjang Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 Tahun 11 Tahun 12 Tahun 13 Tahun 14 Tahun 15 Domain Sumberdaya Ikan 1. CpUE Baku Tren ukuran ikan Proporsi ikan yuwana yang ditangkap Komposisi spesies hasil tangkapan "Range Collapse" sumberdaya ikan Spesies ETP 3.0 Domai Habitat dan Ekosistem 1. Kualitas perairan Status ekosistem lamun Status ekosistem mangrove Status ekosistem terumbu karang Habitat unik/khusus Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 3.0 Domain Teknik Penangkapan Ikan 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) Selektivitas penangkapan Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. 1.0

91 74 Lampiran 10 (Lanjutan) Rencana Perbaikan Indikator Nilai Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Jangka pendek Jangka menengah Jangka panjang Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 Tahun 11 Tahun 12 Tahun 13 Tahun 14 Tahun 15 Domain Sosial 1. Partisipasi pemangku kepentingan Konflik perikanan Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan Kepemilikan Aset Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) Rasio Tabungan (Saving ratio) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Mekanisme pengambilan keputusan Rencana pengelolaan perikanan Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Kapasitas pemangku kepentingan 3.0

92 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 16 April 1978 dari ayah Sulaeman MS dan ibu Painah. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 45 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan ke program pascasarjana IPB pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Penulis bekerja pada Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2006 dan ditempatkan di Jakarta. Penulis merupakan Pejabat Fungsional dengan jabatan Pengawas Perikanan Muda Bidang Penangkapan Ikan. Bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawab penulis adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Penulis adalah anggota tim penyusun draft Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (RPP WPPNRI). Hingga saat ini telah disusun 11 dokumen RPP WPP, dimana salah satunya telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yaitu dengan Kepmen KP Nomor 54 tahun 2014 tentang RPP WPPNRI 718.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Rajungan Klasifikasi lengkap dari rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Rajungan Sistematika rajungan (Stephenson dan Chambell, 1959) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria Divisi : Eucoelomata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Gebang Mekar Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak pada garis lintang 06o30 LS 07o00 LS dan garis bujur 108o40 BT.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENERAPAN PENDEKATAN EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA

PENTINGNYA PENERAPAN PENDEKATAN EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA PENTINGNYA PENERAPAN PENDEKATAN EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31 Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31 PENGARUH PERBEDAAN JENIS UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS) DENGAN BUBU LIPAT DI PERAIRAN BUNGKO, KABUPATEN CIREBON.

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 289 3469 Volume 6 Nomor 2. Desember 216 e ISSN 254 9484 Halaman : 95 13 Efektifitas Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Banten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Kejer Hasil tangkapan jaring kejer selama penelitian menunjukkan bahwa proporsi jumlah rajungan tertangkap adalah 42,07% dari total hasil

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG Catchability of Collapsible Pot Operated by Traditional Fishermen in Mayangan Village, Subang Regency

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG RACHMAD CAESARIO

PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG RACHMAD CAESARIO PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG RACHMAD CAESARIO MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP PROGRAM STUDI PEMANFAATAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot)

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 21 No. 1 Edisi April 2013 Hal 1-9 PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) Oleh: Dahri Iskandar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09 KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM :11.12.5999 KELAS : S1-SI-09 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Karya ilmiah ini berjudul BISNIS DAN BUDIDAYA

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI RURI PERWITA SARI 090302004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rusmadi 1, Henky Irawan 2, Falmi Yandri 2 Mahasiswa 1, Dosen Pembimbing 2 Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Nadia Adlina 1, *, Herry Boesono 2, Aristi Dian Purnama Fitri 2 1

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,

Lebih terperinci