II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Ekowisata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Ekowisata"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Ekowisata Kepariwisataan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun Beberapa definisi dari istilah mengenai kepariwisataan berdasarkan UU No.10 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 yaitu: - pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. - kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha. - daya tarik wisata (DTW) adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Berikut terminologi dari beberapa istilah kepariwisataan menurut DEPHUT (2006), yaitu: - pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. - wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati perjalanan, keunikan dan keindahan alam. - ekowisata adalah bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh Hector Ceballos-Lascurain, ia mendefinisikan ekowisata adalah sebagai perjalanan ke dalam area alami untuk melakukan kegiatan seperti pendidikan, menikmati pemandangan alam serta satwa dan tumbuhan liar, dan budaya (Lieberknecht et

2 al. 1999). Namun saat ini ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan ke dalam area yang masih alami untuk mengerti sejarah kebudayaan dan alam lingkungannya dengan menjaga tanpa mengubah kesatuan ekosistem yang ada di dalamnya, menciptakan pendapatan ekonomi dari mengkonservasi sumberdaya alam untuk masyarakat lokal (Ecotourism Society 1993, 1998 diacu dalam Lieberknecht et al. 1999). Darsoprajitno (2002) menyatakan bahwa wisata ekologi (ecological tourism atau ecotourism) adalah kegiatan kepariwisataan yang menggunakan hubungan manusia dengan tata alam yang telah membudaya sebagai sasarannya. Ekologi pariwisata adalah sebagai ilmunya, sedang pariwisata atau wisata ekologi adalah kegiatannya. Menurut The Ecotourism Society (1996) diacu dalam Sudarto (1999) dan Fennel (1999), ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dengan tujuan selain untuk menikmati keindahan juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usahausaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE). Dalam pengembangan pariwisata alam/ekowisata harus mengacu pada prinsip-prinsip yaitu konservasi, edukasi, ekonomi, partisipasi masyarakat dan rekreasi (DEPHUT 2006). Untuk mampu berdaya saing dengan negara lain di dunia maka penting untuk mempunyai banyak keunggulan dan menciptakan competitive advantage, keunggulan tersebut tidak hanya dilihat dari besarnya jumlah wisatawan tetapi dari kemampuan untuk memelihara sumberdaya alam dan budaya yang ada (Muntasib et al. 2008). Unsur-unsur yang dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk menentukan prioritas pengembangan meliputi: daya tarik sumberdaya alam, potensi pasar, kadar hubungan, kondisi lingkungan, pengelolaan, kondisi iklim, akomodasi, sarana dan prasarana penunjang, ketersediaan air bersih dan hubungan dengan obyek wisata lain (JICA et al. 2000).

3 2.2. Perencanaan Wisata Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui serangkaian pilihan-pilihan (Solihin 2008). Fokus pertama studi kelayakan perencanaan ekowisata adalah adanya potensi dan atraksi wisata yang dapat berkembang, namun jika tidak diperhatikan dampak negatif dari hasil kegiatan wisata maka akan merusak atraksi wisata dan reputasi dari suatu daerah wisata (Damanik & Weber 2006; Bharuna 2009). Terdapat tiga tingkatan dalam perencanaan wisata yaitu tingkat nasional, tingkat provinsi dan tingkat tapak. Perencanaan wisata minat khusus burung rangkong masuk kedalam perencanaan tingkat tapak yaitu mencakup lokasi bangunan dan fasilitas yang menunjang kegiatan wisatanya (Pratiwi 2006). Kegiatan wisata minat khusus merupakan salah satu bentuk kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan di luar kawasan konservasi dan bersifat nonkonvensional yaitu wisata bukan massal, seperti Wisata Gua Gudawang yang berada di Jasinga, Bogor (Damanik & Weber 2006; Muntasib 2007). Penyelenggaraan wisata minat khusus dilakukan dengan adanya obyek khusus/spesifikasi obyek yang ditawarkan kepada wisatawan ekowisata (ecotourist), serta dalam kegiatannya terdapat batasan pengunjung atau pengunjung yang datang tidak dalam jumlah besar dalam satu periode kunjungan (Mardiastuti et al. 1996). Kodhyat (2007) menyatakan bahwa wisata minat khusus termasuk ke dalam pariwisata modern yang bersifat konvensional, wisatawan tidak lagi tertarik pada kegiatan yang semata-mata bersifat rekreatif seperti yang sifatnya hura-hura tetapi secara khusus mempunyai minat terhadap alam dan lingkungan, kebudayaan, sejarah, masyarakat tradisional dan sebagainya. Menurut Damanik & Weber (2006) perencanaan wisata terdapat suatu penawaran, yang dapat berupa produk dan jasa. Selanjutnya, produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan produk tersebut. Produk dapat berupa gunung, goa, air terjun, satwa, sedangkan jasa berupa transport, akomodasi dan atraksi (Damanik & Weber 2006). Atraksi adalah suatu kawasan yang sudah ditata, direncanakan, dikembangkan dan mempunyai program kegiatan (Damanik

4 & Weber 2006; JICA et al. 2000). Potensi dan fakta atraksi alam harus teridentifikasi secara jelas dan spesifik, salah satu parameternya yaitu diketahui dengan jelas jenis satwa dan waktu penampakannya (Damanik & Weber 2006). Menurut Damanik & Weber (2006); DEPBUDPAR (2007) dan Pratiwi (2006) terdapat beberapa unsur yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perencanaan wisata yaitu atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Selanjutnya dijelaskan yaitu atraksi berupa alam, buatan, dan budaya yang mencakup obyek wisata (gunung, candi, satwa) dan hospitality (jasa akomodasi, tempat makan, dan sebagainya). Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata (Damanik & Weber 2006; Muntasib 2008). Ditambahkan bahwa amenitas adalah infrastruktur yang tidak terkait langsung dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan, seperti buku panduan wisata, seni pertunjukkan, telekomunikasi dan sebagainya. Terdapat beberapa unsur yang menjadi pertimbangan pengunjung untuk melakukan perjalanan yaitu biaya, daerah tujuan wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lamanya wisata, akomodasi, moda transportasi dan lainnya (Freyer 1993 diacu dalam Damanik & Weber 2006). Menurut Suwantoro (1997) terdapat lima unsur pokok yang harus mendapat perhatian dalam menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata (DTW) yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya yaitu obyek dan daya tarik wisata, prasarana wisata, sarana wisata, tata laksana/infrastruktur dan masyarakat/lingkungan.

5 2.3. Bioekologi Rangkong Taksonomi Taksonomi menurut Sukmantoro et al. (2007) pada famili Bucerotidae yaitu: Dunia (Kingdom) : Animalia Filum (Phylum) : Chordata Sub-Filum (Sub-Phylum) : Vertebrata Kelas (Class) : Aves Bangsa (Ordo) : Coraciiformes Suku (Family) : Bucerotidae Marga (Genus) : Berenicornis, Anorrhinus, Penelopides, Rhyticeros, Anthracoceros, Buceros dan Rhinoplax. Famili Bucerotidae di Indonesia mempunyai banyak nama jenis yaitu rangkong, enggang, kangkareng, dan julang. Terdapat 13 jenis rangkong di Indonesia dari 54 jenis rangkong yang ada di dunia (Kinnaird & O Brien 1997; Sukmantoro et al. 2007) Morfologi Rangkong merupakan burung berukuran besar (MacKinnon et al. 1998). Ukuran tubuh rangkong terbesar mencapai 50 kali dari besar rangkong yang terkecil dengan rata-rata ukuran berat badan yaitu dari 83 g (gram) untuk jenis Tockus hartlaubi betina, sampai g untuk jenis Bucorvus leadbeateri jantan (Kemp 1995). Paruh dari beberapa rangkong di Asia besarnya tidak proposional jika dibandingkan dengan ukuran dari kepala rangkong yaitu paruh lebih panjang dan melengkung ke bawah atau agak lurus, ditambah dengan bagian ekstra di atas kepala rangkong yang disebut casque (Poonswad 1993; Kinnaird & O Brien 1997). Pada setiap jenis rangkong perkembangan paruh dan casque merupakan indikasi dari pertambahan umur dan pengenalan jenis kelamin. Casque akan membesar mengikuti perkembangan umur yang dapat mencirikan perbedaan jenis kelamin, usia, dan dominasinya terhadap rangkong lain (King 1975; Jepson &

6 Ounsted 1997 diacu dalam Kumara 2006). Ukuran paruh dan casque pada rangkong jantan dewasa lebih besar dibandingkan dengan casque pada betina dewasa, dan bentuknya lebih memukau seperti pada jenis Buceros rhinoceros (Kemp 1991; 1995). Selanjutnya dijelaskan bahwa paruh pada rangkong mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk membawa makanan, berkelahi, membersihkan bulu dan membuat plester pada sarang. Rangkong memiliki beraneka ragam warna pada bulu dan warna yang mencolok pada paruh dan casque. Kemp (1991) mengatakan bahwa pola warna pada bulu bervariasi yaitu hitam, putih, abu-abu, atau coklat, dengan beberapa warna tertentu pada jambul yaitu pada Anorrhinus galeritus, atau bulu ekor yang panjang pada Buceros vigil. Pada kulit rangkong yang terbuka dan area mata mempunyai warna cerah, yaitu merah, kuning, biru, dan hijau. Namun Poonswad (1993) mengatakan bahwa warna dasar pada bulu rangkong yaitu hitam, putih atau abu-abu Penyebaran dan Habitat Rangkong tersebar di Afrika, Asia, dan wilayah Australasian, termasuk di dalamnya yaitu Indonesia sampai Papua Nugini (Kinnaird & O Brien 1997; MacKinnon et al. 1998). Terdapat sembilan jenis rangkong di kawasan Harapan Rainforest dari sembilan jenis rangkong yang tersebar di Pulau Sumatera (MacKinnon et al. 1998). Sembilan jenis yang berada di Harapan Rainforest yaitu Enggang jambul Berenicornis comatus, Enggang klihingan Anorrhinus galeritus, Julang jambul-hitam Aceros corrugatus, Julang emas Rhyticeros undulatus, Kangkareng hitam Anthracoceros malayanus, Kangkareng perut-putih Anthracoceros albirostris, Enggang cula Buceros rhinoceros, Enggang papan Buceros bicornis dan Rangkong gading Rhinoplax vigil (Zetra 2008). Gambaran jenis burung rangkong ditampilkan pada Gambar 1. Tabel 1 merupakan daftar dari tigabelas jenis rangkong yang terdapat di Indonesia.

7 Tabel 1 Penyebaran dan status IUCN dan CITES 13 Jenis Famili Bucerotidae yang terdapat di Indonesia (Kusmantoro et al. 2007; Zetra 2008). No. Nama Ilmiah Nama Inggris Nama Indonesia Daerah Status Penyebaran IUCN CITES UU 1. Berenicornis comatus* White-crowned Enggang jambul S K NT II AB Hornbill 2. Anorrhinus galeritus* Bushy-crested Enggang S K NT II AB Hornbill klihingan 3. Penelopides exarhatus Sulawesi Hornbill Kangkareng Sl LC II AB sulawesi 4. Aceros corrugatus* Wrinkled Julang jambulhitam S K NT II AB Hornbill 5. Aceros cassidix Knobbed Hornbill Julang sulawesi Sl LC II AB 6. Rhyticeros undulatus* Wreathed Julang emas S K J LC II AB Hornbill 7. Rhyticeros plicatus Blyth's Hornbill Julang irian M IJ LC II AB 8. Rhyticeros everitti Sumba Hornbill Julang sumba NT (Sumba) VU II AB 9. Anthracoceros Black Hornbill Kangkareng S K NT II AB malayanus* hitam 10. Anthracoceros Oriental Peid Kangkareng S K J LC II AB albirostris* Hornbill perut-putih 11. Buceros rhinoceros* Rhinoceros Enggang cula S K J NT II AB Hornbill 12. Buceros bicornis* Great Hornbill Enggang papan S NT I AB 13. Rhinoplax vigil* Helmeted Rangkong gading S K NT I AB Hornbill Catatan : Daerah Penyebaran: S: Sumatera; K: Kalimantan; J:Jawa, Sl: Sulawesi; NT: Nusa Tenggara; M: Maluku; IJ: Irian Jaya. Keterangan status : IUCN; NR: Near Threatened (mendekati terancam); VU: Vulnerable (terancam), LC: Least Concern (kurang perhatian). CITES; I (spesies tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan secara Internasional), II (spesies yang pemanfaatannya perlu pengawasan Internasional, kemungkinan terancam punah). UU; A (UU No. 5 tahun 1990), B (PP No. 7 tahun 1999). * Jenis yang ada di Harapan Rainforest. Penyebaran terkait dengan teritori dan wilayah jelajah. Menurut Kemp (1991) beberapa rangkong hidup menetap bersama pasangannya (monogamous) di dalam wilayah teritorinya (pertahanan), dengan luas jangkauan mulai dari 10 ha sampai 100 km 2. Selanjutnya dijelaskan bahwa jenis rangkong yang hidup di hutan hujan tropis marga (genus) Aceros juga dapat melakukan migrasi menyeberang laut antar pulau sebagai aktivitas hariannya untuk mencari pakan. Pada penelitian Noerfahmy (2008) ukuran kelompok Annorhinus galeritus pada areal penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Provinsi Lampung tidak memiliki hubungan dengan daerah jelajahnya, sebagai contoh yaitu pada suatu kelompok terdapat jumlah dua individu memiliki luas daerah jelajah 72,27 ha sedangkan kelompok lain terdapat jumlah tujuh

8 individu memiliki luas daerah jelajah 70,2 ha. Didapat kepadatan empat dari enam jenis rangkong yang ada di TNBBS yaitu Rhyticeros undulatus 7,24 individu/km 2, Annorhinus galeritus 3,05 individu/km 2, Buceros rhinoceros 2,13 individu/km 2, dan Rhinoplax vigil 2,06 individu/km 2 (Anggraini 1999). Definisi habitat menurut Alikodra (1980) yang diacu dalam Basyar (1998) yaitu tempat hidup satwa liar yang membentuk satu kesatuan, dapat dipergunakan untuk mencari makan, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak. Poonswad (1993) mengatakan bahwa burung adalah satwa yang kegiatannya sebagian besar bergerak (terbang) dan mempunyai area jelajah yang luas pada habitatnya, tetapi mempunyai area spesifik (tertentu) untuk bersarang, mencari makan dan istirahat. Evolusi dari suatu habitat burung dibedakan berdasarkan struktur morfologi, fungsi perilaku, dan tempat makan dan berlindung. Seluruh jenis rangkong menempati bermacam-macam habitat mulai dari padang rumput kering (steppa) sampai hutan hujan tropis (Kemp 1991). Rangkong Asia hanya mendiami hutan hujan tropis, karena hutan hujan tropis menyediakan berbagai macam sumberdaya pohon pakan dan tempat bersarang bagi rangkong (Poonswad 1993). Habitat di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS merupakan tempat bagi keberadaan rangkong, area itu meliputi habitat hutan primer yang tutupan kanopinya rapat dan hutan transisi yang merupakan peralihan kerapatan tutupan kanopi dari yang rapat ke renggang, tidak sedang mengalami gangguan penebangan pohon (Anggraini 1999). Kangkareng perut-putih termasuk jenis yang adaptif terhadap gangguan atau aktifitas manusia, sedangkan jenis Enggang cula dan Rangkong gading menyukai daerah yang jauh dari aktifitas manusia (Kumara 2006). Sedangkan menurut hasil penelitian Noor (1998) habitat kelompok burung rangkong adalah hutan alam primer (hutan hujan dataran rendah) yang banyak ditumbuhi pohonpohon penghasil pakan bagi rangkong yaitu famili Moraceae. Madrim (1990) menyatakan bahwa Kangkareng perut-putih di Taman Wisata dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat menyukai daerah bertipe vegetasi hutan sekunder tua, dan sisa hutan primer sebagai tempat mencari makan dan tempat tidur. Selanjutnya, habitat tempat makan Kangkareng perut-putih didominasi vegetasi tingkat pohon dan pohon penghasil pakan dengan

9 penutupan tajuk pohon antara 61,30% - 78,75%. Habitat tempat tidur biasanya didominasi oleh tingkat vegetasi pohon dengan penutupan tahun pohon antara 78,50% - 86,5%, tinggi pohon 20 meter (m) dengan diameter 125 centimeter (cm) dan banyak percabangan mendatar. Habitat tempat istirahat yaitu di daerah hutan yang berbatasan dengan daerah terbuka,seperti hutan tanaman, daerah ekoton antara padang rerumputan dan hutan sekunder tua. Gambar 1 Famili Bucerotidae (burung rangkong) (MacKinnon et al. 1998).

10 Perilaku Perilaku merupakan respon atau ekspresi satwa terhadap semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dalam maupun faktor dari luar. Respon satwa terhadap semua rangsangan yang terlihat dalam bentuk tingkah laku, pada dasarnya berasal dari dorongan dasar dalam diri satwa untuk tetap bertahan hidup (Suratmo 1978 diacu dalam Basyar 1998). Selain melakukan perilaku unik seperti bersarang, perilaku lain yang dapat diamati yaitu perilaku makan, istirahat, terbang dan bersuara. Berdasarkan aktivitas harian yang diamati Suryadi (1994) dan Madrim (1999), rangkong melakukan perilaku bersuara (calling), mencari makan, berjemur, bermain dan bertengger. Aktivitas harian adalah aktivitas yang dilakukan mulai dari rangkong bangun sampai siap akan tidur (Madrim 1999). A. Perilaku Makan Rangkong merupakan satwa pemakan segala (onmivorous) diantaranya yaitu pemakan buah (frugivorous) (Kemp 1995; Kinnaird & O Brien 1997; Klop 1998), dan pemakan serangga (MacKinnon et al. 1998). Kangkareng perut putih (Anthracoceros coronatus convexus) memakan buah dari jenis Ficus, serangga yang dimakan yaitu sebangsa laron dan ulat daun jati (Madrim 1990). Menurut Madrim (1999) perilaku makan adalah aktivitas rangkong mulai dari mematuk pakan sampai menelan pakan tersebut di pohon pakan. Selanjutnya, Kangkareng perut-putih mengambil makanan dengan menggunakan paruhnya. Aktivitas memakan diselingi dengan kegiatan menggosok-gosok paruhnya ke cabang pohon yang dihinggapi dan bergeser ke bagian pohon lain untuk melanjutkan makan. Terkadang Kangkareng turun ke tanah untuk mengambil pakan yang jatuh dan serangga (Madrim 1999). Penelitian Suryadi (1994) mengatakan bahwa aktivitas mencari makan adalah sebagai aktivitas terbang atau lompat dari cabang ke cabang lain dalam individu pohon yang sama untuk mendekati letak buah. Selanjutnya dijelaskan dari hasil penelitian bahwa aktivitas makan rangkong berbeda pada pagi, siang dan sore hari. Aktivitas perpindahan rangkong terjadi jika terdapat sejumlah rangkong datang atau meninggalkan pohon pakan. Pada Rangkong sulawesi

11 presentase aktivitas perpindahan tertinggi terjadi pada pagi hari saat aktivitas makan rangkong terendah (Suryadi 1994). Selain dapat dilihat atraksi rangkong dengan perilaku makan langsung di pohon, dapat juga dlihat pada saat memberikan makan ke sarang. jenis pakan dapat diketahui dari buah yang jatuh pada saat proses pemberian makan. B. Perilaku Istirahat, Terbang dan Bersuara Perilaku istirahat meliputi membersihkan bulu, berjemur, bermain dan calling, aktivitas yang kurang membutuhkan energi (Suryadi 1994). Didapat hasil penelitian Suryadi (1994) bahwa persentase aktivitas istirahat terendah terjadi pada saat aktivitas makan meningkat. Menurut Madrim (1999) suara yang dikeluarkan rangkong menandai dimulai atau berakhirnya aktivitas harian Kangkareng. Madrim (1999) kegiatan berjemur dilakukan pada pagi hari antara pukul 06:00 09:30 WIB pada bagian tajuk pohon teratas dan terluar. Selanjutnya pada pukul 15:00 16:30 WIB Kangkareng akan kembali beristirahat ke tempat tersebut. Burung rangkong dapat dikenali dari suara kepakan sayap pada saat terbang. Suara yang ditimbulkan dari kepakan sayap langsung dapat dikenali (Kinnaird & O Brien 1997). Semua jenis rangkong mempunyai suara yang keras dan terdengan sampai lebih dari satu kilometer (Kinnaird & O Brien 1997). Dijelaskan dalam penelitian Noerfahmy (2008), kelompok Enggang klihingan (Annorhinus galeritus) di TNBBS sering melakukan aktivitas calling. Selanjutnya dijelaskan bahwa calling dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Aktivitas ini dilakukan oleh setiap kelompok untuk menandakan keberadaan individu atau kelompok pada suatu lokasi, biasa dilakukan antar individu dalam kelompok atau antar kelompok satu dengan kelompok lain. Calling berfungsi sebagai hal untuk menunjukkan dominasi kelompok. Aktivitas calling dilakukan pada pagi hari dan sore hari menjelang matahari terbenam (Noerfahmy 2008). Pada saat bersarang aktivitas calling rangkong akan berkurang. Klop (1998) menyatakan bahwa jantan akan lebih banyak diam, tidak bersuara jika sudah mendekati sarang, namun jika tidak sedang musim bersarang jantan akan

12 bersuara keras jika merasa terganggu. Pada anakan Tarictic, suara yang dikeluarkan akan lebih keras dibandingkan dengan Tarictic dewasa. C. Perilaku Bersarang Sarang merupakan tempat bagi satwa dalam melakukan reproduksi dan pemeliharaan anak. Perilaku bersarang merupakan suatu kegiatan satwa untuk menjamin keberhasilan proses pengeraman dan pemeliharaan anak. Di Malaysia, musim berkembang biak Julang emas dan Enggang papan pada Januari sampai Mei (Poonswad 1993). Kangkareng perut-putih pada bulan Pebruari akhir atau awal Maret sampai Mei. Betina Kangkareng hitam mulai memasuki sarang buatan di Singapura pada bulan Januari dan Desember, dan pada Julang jambul-hitam bersarang pada bulan Maret (Poonswad 1998). Waktu bersarang burung rangkong dapat dilihat dari periode berbuah pohon pakan dan terkadang kelimpahan buah paka, dan musim penghujan (Kinnaird & O Brien 2007). Pada sarang famili Bucerotidae betina berada di dalam lubang sarang, kemudian bersama jantan menutup seluruh lubang dengan lumpur, dan membuat celah kecil untuk dapat memasukkan pakan yang dibawa oleh jantan di dalam kerongkongannya kemudian memuntahkannya kepada betina dan anakan (Kemp 1991; Kinnaird & O Brien 1997). Rangkong dapat menutupi lubangnya dengan material lumpur, kayu yang sudah lapuk dan kotorannya (Klop 1998). Hasil penelitian Klop (1998) menyatakan bahwa pada jenis Visayan Tarictic (Penelopides panini panini) di Area Konservasi Mari-it, Filipina, lubang yang pernah digunakan untuk bersarang akan digunakan kembali pada perkembangbiakan selanjutnya. Pada saat bersarang Klop (1998) menyatakan bahwa jantan Tarictic akan melakukan terbang secara diam-diam, tidak banyak megepakkan sayap, jika sudah mendekati sarang agar predator tidak mengetahui keberadaannya. Selanjutnya, sebelum jantan memberikan makanan kepada betina, jantan akan melakukan pengintaian di sekitar pohon sarang untuk pengamanan. Fungsi dari menutupi sarang yaitu untuk melindungi betina dan telur dari predator dan gangguan dari jenis rangkong lain (Kinnaird & O Brien 1997).

13 Burung rangkong yang berukuran kecil biasanya mengerami enam telur dengan masa inkubasi (incubation period) 25 hari, masa betina muncul dengan anak yang paling tua berusia 25 hari sampai pada 45 hari total perilaku bersarang. Pada rangkong yang berukuran besar mengerami dua telur dengan masa inkubasi 45 hari, kemudian meninggalkan anaknya yang berusia 30 hari dengan total 80 hari perilaku bersarang. Total waktu pengurungan pada masa bersarang rangkong yaitu 4 5 bulan. Beberapa jenis rangkong akan melakukan pergantian bulu (molting) pada masa awal bersarang (mengerami telur) kemudian akan tumbuh kembali pada saat keluar dari sarang. Poonswad (1993) menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses bersarang pada rangkong selama hari, rerata lama waktu bersarang pada Enggang papan dan Julang emas yaitu sekitar 120 hari, berikut merupakan tahapan dari proses bersarang pada rangkong yaitu : 1. Tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan ditunjukkan dengan usaha menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung, antara 1 3 minggu. 2. Tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk mengeluarkan telurnya (Kemp 1995). 3. Tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur pertama menetas, selama enam minggu, sementara pada Kangkareng perut putih selama empat minggu. 4. Tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lubang sarang ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang, selama 8 13 minggu. 5. Tahap fledging yaitu masa dari pemecahan plester sampai semua anak keluar, memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak lebih dari satu. Perilaku bersarang pada rangkong merupakan perilaku yang tidak biasa dilakukan pada kelas burung, inilah yang menjadikan rangkong menjadi burung yang istimewa. Pada saat bersarang rangkong betina terkurung di dalam lubang pohon yang ditutupi dengan lumpur, hanya terdapat lubang kecil yang berfungsi

14 untuk memasukkan makanan yang diberikan oleh rangkong jantan. Bila telur menetas rangkong betina keluar dengan membuka penutup sarang kemudian menutupnya kembali sampai anak siap keluar dari sarang (MacKinnon et al. 1998). Musim bersarang rangkong akan berbeda di setiap lokasi. Beberapa rangkong dari beberapa lokasi biasanya bersarang/berbiak pada bulan januari dan may. Menurut Margawati (1982) yang diacu dalam Kumara (2006) musim hujan merupakan suatu pendorong untuk terjadinya perkembangbiakan pada rangkong karena waktu tersebut terdapat tanah basah yang berguna untuk membangun dinding pada sarang dan pada waktu telur menetas banyak ditemukan binatang kecil dan serangga melimpah sebagai salah satu sumber makanannya. Bulan Oktober Desember masuk kedalam musim hujan. Kumara (2006) menyatakan bahwa musin kawin burung keluarga rangkong bervariasi antar jenis satu dengan yang lain, dimulai dari bulan Januari Desember Karakteristik Tempat Bersarang Semua rangkong merupakan burung yang bersarang di dalam lubang pohon atau di celah permukaan tebing yang berlubang dengan merubah sedikit (atau bahkan tidak) pada bagian dalamnya, seperti yang dilakukan kerabat dekatnya yaitu marga Upupiformes dan marga Trogoniformes (Kemp 1995; Klop 1998). Rangkong tidak membuat lubang pada pohon, mereka akan menempati lubang yang sudah ada, sarang yang dipakai oleh rangkong untuk bersarang adalah lubang hasil buatan burung pelatuk atau jenis burung lainnya (Poonswad 1993). Berdasarkan hasil penelitian dari 69 lubang sarang di Khao Yai National Park, Thailand (Poonswad 1993), pohon yang paling banyak dipakai rangkong untuk bersarang yaitu Dipterocarpus dan Eugenia. Bentuk dan ukuran masuk pada sarang sangat penting, pada beberapa rangkong menggunakan lubang yang berbentuk oval, bulat atau memanjang seperti pada rangkong papan (Buceros bicornis) memilih lubang yang bentuknya memanjang, sedangkan pada julang emas (Aceros undulatus) ukuran lubang masuknya lebih kecil (Poonswad 1993).

15 Berdasarkan hasil penelitian Puryanto (1996) didapatkan bahwa karakteristik tempat bersarang burung Julang (Rhyticeros undulatus) di Resort KSDA Glenmore, Tumpang Pitu, dan Sukamade Banyuwangi, Jawa Timur yaitu jumlah dan penyebaran sarang dipengaruhi keadaan sekitar pohon sarang. Selanjutnya beberapa parameter yang mempengaruhi pemilihan tempat bersarang rangkong adalah keadaan sekitar pohon sarang, diameter pohon, tinggi bebas cabang pohon, kelerengan tapak pohon, jarak pohon sarang dengan pohon lain dan pohon buah, luas tajuk pohon sarang, dan letak sarang dari permukaan tanah. Sedangkan parameter yang kurang mempengaruhi pemilihan tempat bersarang burung julang adalah arah lubang sarang, tinggi total pohon sarang, letak sarang pada salah satu bagian pohon, dan tinggi tapak pohon dari permukaan laut. Karakteristik tempat bersarang burung julang dicirikan oleh pohon berdiameter besar (lebih dari 60 cm), tinggi (lebih dari 20 m), bertajuk sempit, terletak pada tapak yang curam. Sarang terletak lebih dari 3,9 m dari permukaan tanah.

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut MacKinnon dkk. (2010), burung rangkong diklasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut MacKinnon dkk. (2010), burung rangkong diklasifikasikan sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Burung Rangkong Menurut MacKinnon dkk. (2010), burung rangkong diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Phylum Subphylum Class Super ordo Ordo Family : Animalia :

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9 Sebaran Perjumpaan Jenis Burung Rangkong di Lokasi Survei.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9 Sebaran Perjumpaan Jenis Burung Rangkong di Lokasi Survei. V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Burung Rangkong dan Satwa Lain di Harapan Rainforest 5.1.1. Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) A. Kondisi Burung Rangkong Pada Jalur Pengamatan Terdapat sembilan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN BURUNG RANGKONG (Bucerotidae) YANG TERDAPAT DI PEGUNUNGAN GUGOP SEBAGAI REFERENSI DALAM PEMBELAJARAN MATA KULIAH ORNITOLOGI SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN BURUNG RANGKONG (Bucerotidae) YANG TERDAPAT DI PEGUNUNGAN GUGOP SEBAGAI REFERENSI DALAM PEMBELAJARAN MATA KULIAH ORNITOLOGI SKRIPSI KEANEKARAGAMAN BURUNG RANGKONG (Bucerotidae) YANG TERDAPAT DI PEGUNUNGAN GUGOP SEBAGAI REFERENSI DALAM PEMBELAJARAN MATA KULIAH ORNITOLOGI SKRIPSI Diajukan Oleh SYAHRUL RAMADHAN NIM. 280818363 Mahasiswa

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

Kelimpahan dan Distribusi Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatera Barat

Kelimpahan dan Distribusi Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatera Barat Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Kelimpahan dan Distribusi Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatera Barat Rahma Fitry

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

Unnes Journal of Life Science

Unnes Journal of Life Science Unnes J Life Sci 2 (1) (2013) Unnes Journal of Life Science http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/unnesjlifesci POPULASI JULANG EMAS (Aceros Undulatus) DI GUNUNG UNGARAN JAWA TENGAH Yuliana Rachmawati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

KEBERADAAN BURUNG RANGKONG (Bucerotidae) DI GUNUNG BETUNG TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN)

KEBERADAAN BURUNG RANGKONG (Bucerotidae) DI GUNUNG BETUNG TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN) KEBERADAAN BURUNG RANGKONG (Bucerotidae) DI GUNUNG BETUNG TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN (THE EXISTANCE OF HORNBILLS (Bucerotidae) IN BETUNG MOUNTAIN OF TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN) Andry Setyawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

KELIMPAHAN DAN POLA DISTRIBUSI BURUNG RANGKONG (BUCEROTIDAE) DI KAWASAN PT. KENCANA SAWIT INDONESIA (KSI), SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT

KELIMPAHAN DAN POLA DISTRIBUSI BURUNG RANGKONG (BUCEROTIDAE) DI KAWASAN PT. KENCANA SAWIT INDONESIA (KSI), SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT KELIMPAHAN DAN POLA DISTRIBUSI BURUNG RANGKONG (BUCEROTIDAE) DI KAWASAN PT. KENCANA SAWIT INDONESIA (KSI), SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT Rahma Fitry Nur 1) *, Wilson Novarino 2), Jabang Nurdin 1) 1) Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis Rangkong dan Tumbuhan Pakannya di Harapan Rainforest Jambi

Keanekaragaman Jenis Rangkong dan Tumbuhan Pakannya di Harapan Rainforest Jambi Keanekaragaman Jenis Rangkong dan Tumbuhan Pakannya di Harapan Rainforest Jambi Species and Feed Diversity of Hornbill in the Harapan Rainforest, Jambi Very ANGGRIAWAN 1), Bambang HARIYADI 2), dan MUSWITA

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

POPULASI JULANG EMAS (Aceros Undulatus) DI GUNUNG UNGARAN JAWA TENGAH

POPULASI JULANG EMAS (Aceros Undulatus) DI GUNUNG UNGARAN JAWA TENGAH POPULASI JULANG EMAS (Aceros Undulatus) DI GUNUNG UNGARAN JAWA TENGAH skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi oleh Yuliana Rachmawati 4450407001 JURUSAN BIOLOGI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

HABITAT DAN PERILAKU KANGKARENG PERUT-PUTIH (Anthracoceros albirostris convexus Temm. 1832) DI RESORT ROWOBENDO TN ALAS PURWO

HABITAT DAN PERILAKU KANGKARENG PERUT-PUTIH (Anthracoceros albirostris convexus Temm. 1832) DI RESORT ROWOBENDO TN ALAS PURWO Media Konservasi Vol. 21 No. 2 Agustus 2016: 199-206 HABITAT DAN PERILAKU KANGKARENG PERUT-PUTIH (Anthracoceros albirostris convexus Temm. 1832) DI RESORT ROWOBENDO TN ALAS PURWO (Habitat and Behavior

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Pengamatan Burung di Resort Perengan Seksi Konservasi Wilayah I Pandean dalam Upaya Reinventarisasi Potensi Jenis Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Burung Pantai Menurut Mackinnon et al. (2000) dan Sukmantoro et al. (2007) klasifikasi burung pantai adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Fillum : Chordata

Lebih terperinci

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul Burung kuntul termasuk ordo Ciconiiformes dan famili Ardeidae (Mackinnon, 1993). klasifikasi Kuntul besar (Egretta alba) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri Pariwisata merupakan salah satu sektor jasa yang menjadi unggulan di tiap-tiap wilayah di dunia. Industri Pariwisata, dewasa ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

SMP NEGERI 3 MENGGALA

SMP NEGERI 3 MENGGALA SMP NEGERI 3 MENGGALA KOMPETENSI DASAR Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan dapat mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem. Untuk Kalangan Sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

Perancangan Green Map Kebun Binatang Surabaya guna. memudahkan Informasi Wisatawan BAB I PENDAHULUAN

Perancangan Green Map Kebun Binatang Surabaya guna. memudahkan Informasi Wisatawan BAB I PENDAHULUAN Perancangan Green Map Kebun Binatang Surabaya guna memudahkan Informasi Wisatawan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebun Binatang Surabaya merupakan salah satu destinasi wisata kota yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000).

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung paruh bengkok termasuk diantara kelompok jenis burung yang paling terancam punah di dunia. Sebanyak 95 dari 330 jenis paruh bengkok yang ada di Indonesia dikategorikan

Lebih terperinci