ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN"

Transkripsi

1 ISSN JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Vol. 2 No.2, Juli 2005 Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta, Indonesia J.Analisis. Keb.Hut Vol.2 No.2 Hlm Jakarta Juli 2005 ISSN

2 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan ISSN Vol. 2 No. 2, Juli 2005 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan adalah media resmi publikasi ilmiah yang diterbitkan oleh Badan Litbang Kehutanan secara periodik empat bulanan yang mencakup berbagai tulisan hasil penelitian ataupun telaahan mengenai kebijakan kehutanan atau bahan masukan bagi kebijakan kehutanan. Penanggung jawab (Editorial in chief) : Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dewan Redaksi (Editoral Board) : Ketua (Chairman), merangkap anggota : Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS Anggota (Members) : 1. Dr. Ir. Djaban Tinambunan, MS 2. Dr. Ir. Sunaryo, M.Sc 3. Dr. Ir. Yeti Rusli, M.Sc 4. Dr. Ir. Agus Setyarso, M.Sc Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) : Ketua (Chairman) : Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasi Hutan Anggota (Members) : 1. Dr. Ir. Pipin Permadi, M.Sc 2. Ina Winarni, S.Hut., M.Si 3. Ir. Nani Cahyani 4. Mahfudz, SE 5. M. Firdaus, S.Sos Diterbitkan oleh (Published by) : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Alamat : Sub Bagian Data dan Informasi Sekretariat Badan Litbang Kehutanan Gd. Manggala Wanabakti Blok VII Lt. 4 Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Indonesia Telepon : (021) Fax : (021) Website : sim@forda.org;edo-m@dephut.go.id

3 ISSN JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Vol. 2 No. 2, Juli 2005 Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta, Indonesia J. Analisis Keb. Hut. Vol. 2 No. 2 Hlm Jakarta Juli 2005 ISSN

4 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN VOL. 2 NO. 2, Juli 2005 ISSN DAFTAR ISI (CONTENTS) PENGGUNAAN ALAT DAN MESIN BESAR-BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN : KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN UPAYA MENGOPTIMALKANNYA (The Use of Large Machineries and Equipment in Forest Development : Advantages, Disadvantages and Optimization Efforts) Djaban Tinambunan dan Yuniawati... ANALISA KEBIJAKAN SKEMA KREDIT DAN PEMBIAYAAN USAHA TANI HUTAN (An Analysis on Credit Scheme and Funding Policy of Smallholder Private Forests) Hariyatno Dwiprabowo... ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG : KEMUNGKINAN PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN LINDUNG (Policy Analysis on Protected Forest Management : The Possibilities to Tap Pire Resim in Protection) Subarudi, Ngaloken Gintings dan Suwardi Sumadiwangsa... KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT DI TAMAN NASIONAL KUTAI, KALIMANTAN TIMUR (Diversity of Medicinal Plant Species in Kutai National Park, East Kalimantan) Noorhidayah dan Kade Sidiyasa... PERMASALAHAN ASPEK HIDROLOGIS HUTAN TUSAM DAN UPAYA MENGATASINYA (Problem of Pine Forest Hydrological Aspects and Their Possible Solutions) Ag. Pudjiharta

5 PENGGUNAAN ALAT DAN MESIN BESAR-BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN : KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN UPAYA MENGOPTIMALKANNYA (The Use of Large Machineries and Equipment in Forest Development : Advantages, Disadvantages and Optimization Efforts) Oleh / By : Djaban Tinambunan & Yuniawati ABSTRACT Machineries and equipment having power 50 HP or more are categorized as large machineries and equipment. Most of machineries and equipment used in forest development in Indonesia have the power more than 50 HP and, therefore, are belonging to large machineries and equipment group. The use of large machineries and equipment in forest development in Indonesia has brought many advantages as well as disadvantages. In the future, in optimizing that use, it is necessary to critically analyse various aspect of large machineries and equipment operations such as technical, economic, social, environment, institution and human resources aspects, and then to manage the operations professionally. Decision makers and practitioners in forestry development are required to master all aspect mentioned above and practice them in real operations in the field so that forest development could be running well with minimum negative impacts. Keywords : Large machineries and equipment, forest development, advantages, disadvantages and optimization efforts. ABSTRAK Alat dan mesin berkekuatan 50 HP atau lebih masuk dalam kategori alat dan mesin besar. Oleh karena sebagian besar alat dan mesin dalam pembangunan hutan (alsinhut) di Indonesia berkekuatan di atas 50 HP maka mereka pun termasuk kategori alat dan mesin yang besar. Penggunaan alsinhut yang besar-besar telah terbukti memberi banyak keuntungan, namun sekaligus juga membawa banyak kerugian yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu, untuk masa datang, upaya pengoptimalannya perlu diusahakan dengan cara melakukan analisa krisis terhadap berbagai aspek pengoperasian alsinhut besar tersebut seperti aspek-aspek teknis, ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan sumberdaya manusia dan kemudian mengelola pengoperasiannya secara profesional. Pengambil kebijakan dan pelaksana pembangunan hutan perlu memahami semua aspek pengoptimalan penggunaan alsinhut di atas dan merealisasikannya dalam praktek di lapangan agar pembangunan hutan dapat berjalan baik dengan dampak negatif yang minimal. Kata kunci : Alat dan mesin besar, pembangunan hutan, keuntungan, kerugian dan pengoptimalan. 77

6 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : I. PENDAHULUAN Pembangunan hutan di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 1970-an. Hal ini terlihat dari laju perkembangan jumlah pengusahaan hutan, luas kawasan hutan yang dikelola dan penyebaran perusahaan ke luar Pulau Jawa yang meningkat drastis. Dalam pembangunan hutan tersebut, alat dan mesin yang digunakan pun mengalami perubahan drastis dari alat-alat yang tadinya sederhana dan beroperasi secara manual ke penggunaan alat dan mesin pembangunan hutan (alsinhut) modern yang besar-besar. Alsinhut yang besar-besar memang ternyata sangat efektif dalam pembangunan hutan di luar Pulau Jawa yang umumnya prasarananya hampir tidak ada, medannya berat dan hasil hutan (kayu) yang ditangani berukuran besar-besar. Sejak awal, tampaknya para pelaksana pembangunan hutan hanya memperhitungkan aspek kebaikan alsinhut besar-besar tersebut. Perkembangan kesadaran lingkungan dan hasil penelitian di banyak negara membawa pemahaman baru bahwa alsinhut besar-besar tersebut mempunyai segi keburukan yang serius berupa kerusakan hutan dan lingkungan. Kerusakan yang ditimbulkan mempunyai dampak yang luas dan sulit untuk diperbaiki. Dalam keadaan alsinhut besar-besar yang sudah banyak tersebar di lapangan dan digunakan dalam pembangunan hutan, sedang kerusakan yang mungkin ditimbulkannya merupakan masalah serius, maka perlu dicarikan jalan tengah berupa pengoptimalan pemanfaatan alsinhut besar-besar tersebut. Dengan demikian pembangunan hutan dapat berjalan secara efektif dan kerusakan yang ditimbulkannya dapat ditekan sekecil mungkin. Dalam tulisan ini diuraikan secara singkat penggunaan alsinhut besar-besar dalam pembangunan hutan, berbagai kebaikan dan keburukannya serta upaya pengoptimalan pemanfaatannya dengan harapan agar para pengambil kebijakan dan pelaksana dapat memahami permasalahannya secara benar dan mampu mengatasinya sehingga alsinhut yang besar-besar yang telah dan akan ada dapat mendorong pembangunan kehutanana Indonesia dengan sebaikbaiknya. II. PENGERTIAN ALAT DAN MESIN BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN Mesin yang digunakan dalam pembangunan hutan di Indonesia sejak awal PELITA I terdiri dari berbagai merek, jenis dan tipe. Ukuran mesin biasanya ditentukan berdasarkan tenaganya dalam menggerakkan suatu alat yang disambungkan kepadanya. Dalam pertanian secara umum (termasuk kehutanan), tenaga mesin yang biasanya disebut traktor, digolongkan ke dalam 3 kelas (Soedjatmiko, 1974) yaitu mesin (traktor) kecil (kekuatan < 12 HP), mesin (traktor) sedang (kekuatan HP) dan mesin (traktor) besar (tenaga > 50 HP). Mesin-mesin (traktor) yang digunakan dalam pembangunan hutan di Indonesia umumnya bertenaga di atas 50 HP sehingga masuk ketegori mesin besar. Alat-alat yang didesain untuk menyertai mesin-mesin tersebut harus besar juga agar sesuai sehingga gabungan keduanya disebut alsinhut yang besar. Untuk menyalurkan tenaga mesin-mesin tersebut dalam mengerjakan sesuatu dalam pembangunan hutan, dibuat alat-alat (implement) yang besar-besar juga karena pekerjaan yang ditangani juga berat-berat seperti mendorong tanah, menarik kayu, dan sebagainya. Alat-alat tersebut disambungkan ke mesin-mesin yang besar-besar juga sehingga terbentuk alat dan mesin pembangunan hutan (alsinhut) yang besar-besar. 78

7 Penggunaan Alat dan Mesin Besar-besar Dalam... Djaban Tinambunan & Yuniawati Cara menyambung alat ke mesin ada 4 macam (Brainer et al.,1955) yaitu : (1) Trailed implement, yaitu alat yang ditarik melalui satu titik gandeng (single hitch point) dimana berat alat tidak sepenuhnya dibebankan pada mesin; (2) Semi mounted implement, yaitu alat yang digandengkan pada traktor melalui sebatang as (hinge axis ) sehingga memberikan reaksi langsung pada kemudi traktor sedangkan berat alat ketika diangkat tidak sepenuhnya dibebankan pada traktor; (3)Tractor mounted implement, yaitu alat yang digandengkan pada traktor sedemikian rupa dan dikemudikan secara langsung oleh traktor dan pada posisi alat sedang diangkat beratnya sepenuhnya dibebankan pada traktor; dan (4) Self mechanics power, yaitu mesin penggerak merupakan bagian integral dari mesin itu sendiri. Alsinhut yang biasa digunakan dewasa ini dapat dikemukakan untuk masing-masing tahap sebagai berikut : 1. Untuk penyaradan kayu digunakan mesin (traktor) berantai Komatsu D80 atau Caterpillar D7 atau merek lain sekelas itu. Komatsu D80 mempunyai tenaga 180 HP dan berat 22,7 ton, Caterpillar D7 mempunyai tenaga 225 HP dan berat 20,0 ton, sedang traktor beroda karet Caterpillar 518 mempunyai tenaga 130 HP dan berat 22,7 ton. Mesin-mesin ini di lengkapi alatalat berupa pisau (dozer blade) di depannya dan penggulung kabel (powered winch) beserta kabelnya di bagian belakangnya untuk mengikat dan menyarad kayu (Anonim, 1988 dan Anonim, tanpa tahun). 2. Untuk memuat dan membongkar kayu digunakan alsinhut seperti Zil crane loader (75 HP), Pay loader Kimco IH (80 HP), Crawler Caterpillar 977 (170 HP), Wheel loader Caterpillar 988 (325 HP) dan berbagai merek lain sekelas dengan itu (Sastrodimedjo et al.,1973; Sastrodimedjo et al.,1977; dan Sianturi dan Tinambunan, 1984). 3. Untuk pengangkutan digunakan truk biasa dengan tenaga antara HP dan daya muat 3 antara 8-20 m seperti truk-truk merek Ford Canada STW, Bedford STW, Hino, Nissan dan lainlain. Sebagian lagi menggunakan truk gandengan berukuran besar dengan tenaga bervariasi 3 dari HP dan daya muat antara m seperti merek IH Loadstar, Mercedes, Isuzu TWD, Kenworth, Nissan, Berliet, Mack dan lain-lain. 4. Untuk pembuatan jalan hutan biasanya digunakan mesin-mesin yang sekelas dengan mesin pada penyaradan yaitu kelas Komatsu D80 dan Caterpillar D7. Untuk pekerjaan yang lebih berat, sering juga digunakan Caterpillar D8 dengan tenaga 270 HP dan berat 22,2 ton. Dari informasi di atas, jelaslah bahwa alsinhut yang digunakan di Indonesia termasuk kategori alat dan mesin yang berukuran besar-besar yang harganya tinggi serta biaya pemilikan dan pengoperasiannya (owning and operating costs) persatuan waktu adalah mahal. Oleh karena itu, penggunaan alat dan mesin tersebut harus melalui tahap perencanaan yang matang dan efisiensi waktu dan produktivitas tinggi agar penggunaannya tidak rugi dan gangguan lingkungan yang ditimbulkannya berada pada tingkat minimal. III. KEUNTUNGAN PENGGUNAAN ALSINHUT BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN Berdasarkan pengamatan perkembangan pembangunan hutan di Indonesia sejak PELITA I sampai sekarang, terlihat beberapa keuntungan (advantages) penggunaan alsinhut besar dalam pembangunan hutan tersebut, antara lain : 79

8 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Mampu menangani produk (kayu) dalam jumlah besar Produksi kayu bulat Indonesia sejak PELITA I mencapai jumlah yang sangat besar yang 3 mencapai puncaknya pada tahun 1988/1989 sebesar 28 juta m lebih (Departemen Kehutanan, 1990). Jumlah sebesar itu hanya dapat dicapai berkat penggunaan alsinhut besar-besar dalam operasi pemanenan hutan di luar Pulau Jawa. 2. Proses produksi cepat dan tepat waktu Angkutan kayu ke industri pengolahan dan ekspor mempunyai jadwal yang ketat dan mencakup volume yang besar. Keadaan seperti itu selama ini dapat dilayani dengan menggunakan alsinhut yang besar-besar. 3. Mampu menangani kayu-kayu yang besar dan panjang Kayu yang dipanen di hutan alam di luar Pulau Jawa biasanya panjang dan diameternya besar. Untuk menangani itu, mulai dari penyaradan, muat, pengangkutan sampai bongkar muatan digunakan alsinhut yang besar. 4. Mampu menghadapi medan operasi pembangunan hutan berat Kegiatan pembangunan hutan, terutama di luar Pulau Jawa, di samping medannya berat, prasarananya pada awal PELITA I belum ada. Dengan menggunakan alsinhut besar, operasi pembangunan hutan seperti membuat jalan, gorong-gorong, jembatan dan berbagai bangunan hutan lainnya dapat dilaksanakan sesuai jadwal. 5. Membuka lapangan kerja Penggunaan alsinhut dalam pembangunan hutan mampu meningkatkan kemampuan membangun tenaga kerja terdidik (skilled labour) untuk mengoperasikan berbagai alsinhut dan alat-alat pendukungnya. 6. Bisnis suku cadang dan bahan pendukung berkembang Pengoperasian banyak alsinhut membutuhkan banyak suku cadang, bahan bakar, oli dan sebagainya. Kesemuanya itu membuka kesempatan bisnis bagi masyarakat sehingga mampu meningkatkan kemampuan teknis maupun ekonominya. 7. Meningkatkan devisa negara Berkembangnya penggunaan alsinhut besar sejak PELITA I mampu meningkatkan produk kayu secara drastis untuk diekspor. Untuk itu pemerintah Indonesia mendapat devisa yang besar dari sektor kehutanan. 8. Meningkatkan keterampilan pekerja Dengan banyaknya alsinhut besar yang digunakan telah terdidik/terlatih benyak tenaga kerja Indonesia yang terampil dalam mengoperasikan, mereparasi dan memelihara alat-alat berat. Potensi ini merupakan modal penting untuk pembangunan di masa datang. 9. Pembukaan wilayah berjalan pesat Penggunaan alsinhut besar selama ini dalam operasi kehutanan telah membuka daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sebelumnya terisolir akibat tidak adanya prasarana angkutan. Sekarang ini hampir semua daerah di luar Pulau Jawa telah terbuka dan akibatnya kegiatan ekonomi 80

9 Penggunaan Alat dan Mesin Besar-besar Dalam... Djaban Tinambunan & Yuniawati berkembang sampai ke pelosok-pelosok. IV. KERUGIAN PENGGUNAAN ALSINHUT BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN Dalam pembangunan hutan di Indonesia selama ini terlihat bahwa penggunaan alsinhut besar-besar, di samping memberikan keuntungan, juga menimbulkan kerugian (disadvantages) yang besar, antara lain : 1. Biaya produksi tinggi Alsinhut yang besar mempunyai harga yang mahal, demikian juga biaya pemilikan dan pengoperasiannya tinggi. Memang diharapkan alsinhut yang besar mempunyai produktivitas besar juga untuk mengimbangi biaya tinggi di atas. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa biaya produksi alsinhut besar tetap saja tinggi. Sebagai contoh, rata-rata biaya penyaradan 3 dengan kerbau di Jambi adalah Rp 4.400/m -hm (Dulsalam dan Sukadaryati, 2001), sedang 3 penyaradan dengan traktor Caterpillar D7 juga di Jambi adalah Rp /m -hm (Sukadaryati et al., 2002). 2. Kerusakan tegakan tinggal di hutan sangat tinggi Pengoperasian alat-alat besar dalam pembangunan hutan menimbulkan kerusakan terhadap tegakan tinggal dengan skala yang cukup besar dan sebagian besar sulit atau tidak mungkin untuk diperbaiki. Hasil penelitian Suhartana (2003) menunjukkan bahwa rata-rata kerusakan tegakan tingggal yang diakibatkan penggunaan alsinhut pada kegiatan penyaradan terkendali berkisar 7,1-19,1% dan konvensional 11,8-40,4%. Thaib (1985) mengatakan kerusakan tegakan tinggal pada sistem traktor bervariasi antara 3,8-50,8% dengan rata-rata 23,9%, sedangkan Dulsalam et al., (1989) mengatakan kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan menggunakan traktor pada kerapatan lebih kecil 150 pohon/ha adalah 16 pohon/ha, untuk kerapatan pohon/ha kerusakan tegakan tinggal 28 pohon/ha dan pada kerapatan 200 pohon/ha memiliki kerusakan tegakan tinggal 39 pohon/ha. Dari beberapa hasil penelitian tersebut terlihat bahwa penggunaan traktor dalam penyaradan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal yang besar. 3. Luas keterbukaan tanah dan tajuk hutan yang tinggi Akibat penggunaan alsinhut besar di hutan alam luar Pulau Jawa keterbukaan tanah dan tajuk hutan sangat tinggi. Hal ini tentu mengganggu perkembangan pertumbuhan hutan pasca operasi alsinhut. Hasil penelitian Suhartana (2003) menunjukkan rata-rata keterbukaan tanah 11,2-139,0% pada penyaradan terkendali dan 15,2-57,5% pada penyaradan konvensional. Sedangkan Tinambunan (1998) mengatakan bahwa keterbukaan tanah pada pembuatan jalan 2 2 utama saja berkisar dari m /km dengan nilai rata-rata 19,120 m /km. Dengan asumsi 75% dari 75 HPH di Kalimantan Barat membangun jalan utama masing-masing 5 km/tahun maka penambahan keterbukaan tanah pertahun di provinsi tersebut akan mencapai 537,75 ha/tahun. 4. Erosi tanah hutan tinggi Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat penggunaan alsinhut besar-besar dalam pembangunan hutan, terjadi erosi tanah hutan dengan tingkatan yang memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil beberapa penelitian antara lain : (1) Idris (1996) melaporkan bahwa penggunaan traktor Caterpillar D7G pada kemiringan jalan sarad antara 0-8% 81

10 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : menyebabkan tanah tergeser rata-rata 0,06 m /m panjang jalan sarad atau 0,061 ton/m total erosi. Akibat penggunaan alsinhut untuk pembuatan jalan sarad masa 5 tahun sejak dibuat, erosi adalah 388 ton/ha; (2) Frederiksen (1970) pada tahun mengemukakan bahwa rata-rata kehilangan sedimen tiap tahun dari areal hutan yang ditebang secara patch-cut dengan pembangunan jalan hutan adalah 30,8 ton/ha, sedangkan di areal tebang habis tanpa pembuatan jalan hutan terjadi sedimentasi sebesar 1,2 ton/ha. 5. Pemadatan tanah hutan yang tinggi Pemadatan tanah terjadi karena adanya gaya tekan ke tanah dan getaran yang dihasilkan oleh traktor. Roda traktor bergerak di atas lapisan tanah (top soil) dan bekas roda terbentuk. Tanah dapat bergerak sebagian ke arah luar jejak roda dan sebagian lagi terpadatkan di bawah roda. Beberapa hasil penelitian mengenai pemadatan tanah hutan antara lain : (1) Hamzah (1978) dalam Manan (1994) mengatakan bahwa pada jalan sarad yang menggunakan traktor, pada 3 kedalaman 0 cm menghasilkan berat jenis isi tanah yang tinggi yaitu 1,67 gr/cm. Tingginya berat jenis isi tersebut menunjukkan telah terjadi pemadatan tanah yang tinggi pula; (2) Idris (1987) mengemukakan bahwa rata-rata pemadatan tanah sebagai akibat penyaradan dengan traktor 3 berban ulat (crawler) merek Caterpillar D7G berkekuatan 200 HP adalah 1,158 gr/cm ; (3) Rahmawati (2002) melaporkan bahwa bertambahnya lintasan traktor pada jalan sarad 3 mengakibatkan pemadatan tanah meningkat dari semula hanya 0,91 gr/cm menjadi 1,43 3 gr/cm ; dan (4) Retnowati (2004) melaporkan bahwa penyaradan dengan Caterpillar D7G mengakibatkan pemadatan tanah meningkat rata-rata berkisar 0,03-0,33 gr/cc pada kedalaman tanah 0-20 cm. Dari hasil penelitian tersebut jelas terlihat bahwa penggunaan alsinhut besarbesar menimbulkan dampak negatif berupa pemadatan tanah. 6. Pencemaran air sungai tinggi Penggunaan alsinhut besar-besar terutama untuk kegiatan pembuatan jalan sarad, dapat menyebabkan pencemaran air sungai oleh sisa limbah pemanenan hutan dan peningkatan kandungan lumpur atau sedimentasi sungai. Penelitian Megahan (1977) di Idaho dan Virginia Barat, Amerika Serikat dalam Elias (2002) menunjukkan adanya pengaruh dari kegiatan pemanenan kayu terhadap sedimentasi dan turbiditi pada air sungai. Sedimentasi di Idaho pada DAS kontrol (tidak terganggu) adalah 9,249 ton/tahun/wilayah, DAS terganggu oleh pembangunan dan penyaradan adalah ton/tahun/wilayah dan DAS terganggu oleh jalan angkutan kayu adalah ton/tahun/wilayah. Sedang turbiditi maksimum di Virginia Barat, diperoleh untuk DAS kontrol adalah 15 ppm, areal dengan tebang pilih dengan limit diameter adalah ppm dan untuk areal dengan tebang habis adalah ppm. 7. Kecelakaan pekerja banyak Pekerjaan pemanenan hutan memiliki hubungan yang saling berinteraksi antara manusia, peralatan dan lingkungan. Penggunaan alsinhut besar-besar pada pemanenan hutan sering menyebabkan kecelakaan kerja. Faktor alsinhut yang dirancang sesuai ukuran orang luar negeri yang berukuran besar umumnya posisi instrumen alat kendali tidak sesuai dengan ukuran tubuh pekerja Indonesia yang lebih kecil. Faktor ergonomi dari penggunaan alsinhut ini merupakan penyebab utama kecelakaan kerja karena penggunaan alsinhut tersebut menimbulkan beban kerja yang tinggi. Menurut Idris dan Soenarno (1988) angka frekuensi kecelakaan kerja berkisar antara 95 dan 151 kecelakaan per 1 juta jam kerja/orang/tahun menurut standar ANSI untuk 500 orang tenaga kerja. Sedangkan menurut Priyanto (2000) 82

11 Penggunaan Alat dan Mesin Besar-besar Dalam... Djaban Tinambunan & Yuniawati angka kecelakaan kerja yang terjadi pada kegiatan kehutanan di PT. Suka Jaya Makmur pada tahun cenderung naik, yaitu pada tahun 1997 sebanyak 16 kecelakaan, tahun 1998 sebesar 17 kecelakaan dan tahun 1999 sebesar 22 kecelakaan. 8. Suku cadang tergantung impor Suku cadang sebagai salah satu faktor pendukung kelancaran operasional alsinhut besar-besar memilliki peranan yang cukup besar, terutama berhubungan dengan biaya pemesanan, biaya penyimpanan, biaya kekurangan maupun sistem yang tepat digunakan untuk mengendalikan persediaan suku cadang. PT. Trakindo Utama sebagai salah satu perusahaan pemasok alat berat kehutanan beserta suku cadang merek Caterpillar yang didatangkan dari Singapura. Banyaknya volume permintaan menyebabkan out stock on hand sehingga perlu dilakukan back order. Sebelum melakukan pemesanaan ke cabang Caterpillar Singapura, maka dilakukan pengecekan terhadap Cabang PT. Trakindo Utama terdekat sehingga waktu tunggu pada suku cadang relatif lama karena tempat pemesanan yang jauh yaitu Jakarta atau cabang PT. Trakindo Utama cabang Singapura (Sugianto, 2003). 9. Penggantian alat sulit Harga pengadaan alsinhut besar sangat tinggi sehingga pengusaha banyak yang enggan mengganti alat yang sudah tua dengan alat baru. Mereka banyak yang memilih tetap menggunakan alat lama walaupun biaya perbaikan dan pemeliharaan tinggi. 10. Pencurian kayu makin marak Keberadaan alsinhut besar selama ini telah membuka daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Keterbukaan daerahdaerah tersebut karena adanya prasarana angkutan, mempermudah para pencuri hasil hutan (kayu) untuk beroperasi. Hal ini telah menjadi masalah nasional yang sampai saat ini belum bisa diatasi. V. UPAYA PENGOPTIMALAN PENGGUNAAN ALSINHUT BESAR Untuk masa datang, penggunaan alsinhut besar-besar dalam pembangunan hutan dituntut untuk memenuhi banyak persyaratan agar dapat diterima dan digunakan dalam praktek, yaitu dari segi teknis memungkinkan untuk diaplikasikan (technically possible), dari segi ekonomi dapat menguntungkan (economically feasible) dan dari segi sosial di terima oleh masyarakat (socially acceptable). Sekitar tiga dekade belakangan ini tuntutan tersebut bertambah, yaitu dari segi lingkungan harus ramah lingkungan (environmentally friendly). Dalam bidang kehutanan di Indonesia masih perlu ditambah segi kelembagaan yang harus mantap dan berwibawa dan segi sumberdaya manusia yang harus maju dan berdisiplin tinggi. A. Segi Teknis Peralatan yang digunakan dalam pembangunan hutan harus sesuai dengan ukuran kayu yang ditangani, keadaan lapangan dan tujuan penggunaan kayu. Alat yang terlalu besar akan menimbulkan pemborosan biaya, sedangkan bila terlalu kecil tidak akan mampu menangani kayu. Jenis dan tipe alat yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan akan menyulitkan operasi sehingga tidak dapat bekerja dengan baik dan menimbulkan pemborosan dan/atau kerusakan lingkungan. Tujuan penggunaan kayu yang berbeda-beda juga menuntut jenis dan tipe alat yang digunakan agar 83

12 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : kayu tidak rusak dan nilainya tidak merosot. Iklim tropis di Indonesia cukup keras terutama karena suhu dan kelembaban yang tinggi dan banyaknya binatang tropis yang mengganggu kelancaran operasi. Alat yang digunakan harus mampu beroperasi pada kondisi seperti itu sehingga tidak banyak biaya untuk perbaikan dan pemeliharaan serta alatnya tidak banyak menganggur. Masalah kelancaran penyediaan suku cadang mutlak agar operasi tidak sering terganggu. Sebaiknya industri suku cadang dikembangkan di Indonesia. Dari segi kemampuan pelayanan, alat harus mampu melayani seluruh areal hutan yang dipanen dengan mengeluarkan semua kayu yang bernilai ekonomis sehingga tidak ada kayu yang terbuang menjadi limbah (waste). Dalam hal ukuran, alat-alat pembangunan hutan haruslah sesuai dengan ukuran badan orang Indonesia agar pekerja dapat mengoperasikannya secara optimal, sehat dan tidak menimbulkan kecelakaan. Alat harus mempunyai instrumen pengaman untuk melindungi pekerja dari bahaya dari dalam alat, dari gangguan cuaca buruk dan berbagai obyek di lingkungan kerjanya. Yang juga sangat penting adalah syarat bahwa peralatan harus mudah dioperasikan, mudah diperbaiki dan dipelihara dengan biaya yang wajar. B. Segi Ekonomi Dari segi ekonomi, dituntut biaya pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan tidak terlalu mahal. Demikian juga biaya bahan bakar dan suku cadang tidak boros, pada saat diperlukan suku cadang cepat ada agar alat tidak menganggur yang dapat menimbulkan biaya tinggi. Pemasangan alat, pembongkaran, pemindahan dari satu tempat operasi ke tempat operasi lain dan pemasangan kembali di tempat baru hendaknya tidak memakan waktu lama dan biaya tinggi. C. Segi Sosial Teknologi pembangunan hutan yang digunakan di suatu lokasi operasi haruslah dari jenis dan tipe yang diterima oleh masyarakat sekitar dan bermanfaat bagi mereka. Persyaratan ini sangatlah penting di samping untuk mencegah munculnya gangguan sosial, juga untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan menikmati hasil dari suatu kegiatan yang dialkukan di daerah mereka. Untuk masa datang, hal ini makin penting karena masyarakat sudah makin kritis dan berani serta ketersediaan lapangan kerja masih jauh dari cukup. D. Segi Lingkungan Secara umum meningkatnya kesadaran mengenai dampak lingkungan dari suatu operasi atau penerapan teknologi sudah terjadi sekitar tiga dekade terakhir. Khusus untuk bidang kehutanan, terutama kegiatan pembangunan hutan, peningkatan kesadaran itu baru terjadi sekitar satu dekade terakhir yang berkembang menjadi satu formulasi dan diberi istilah Reduced Impact Logging (RIL). Inti dari RIL tersebut adalah agar setiap operasi pembangunan hutan harus direncanakan secara intensif dan implementasinya diawasi secara ketat sehingga operasi dapat berjalan efektif dengan tingkat gangguan terhadap tegakan hutan dan tanah hutan serta gangguan lainnya berada pada tingkat minimal (Dykstra, 2001; FAO, 2004). Perencanaan dimaksud di sini termasuk pemilihan jenis dan tipe alat serta perencanaan berbagai aspek terkait operasi pembangunan hutan di lapangan. Terlihat di sini tuntutan akan jenis dan tipe peralatan yang digunakan haruslah yang mempunyai dampak kerusakan terhadap hutan dan tanah yang minimal. 84

13 Penggunaan Alat dan Mesin Besar-besar Dalam... Djaban Tinambunan & Yuniawati E. Segi Kelembagaan Untuk menjamin pemilihan teknologi yang digunakan dan cara pengoperasiannya di lapangan dapat berjalan dengan benar, diperlukan adanya sistem kelembagaan yang jelas wewenangnya menangani masalah teknologi pembangunan hutan. Lembaga inilah yang menetapkan standar-standar dan peraturan perundangan dalam pengadaan, pengoperasian dan lain-lain yang perlu serta memberi sanksi atas pelanggaran yang mungkin terjadi. Lembaga ini jugalah yang terus menerus menegakkan pelaksanaan peraturan perundangan (law enforcement) dalam pembangunan hutan agar kerugian akibat gangguan kerusakan hutan dan tanah hutan, kerugian karena kesalahan penanganan produk dan sebagainya dapat dihindari atau setidaknya diminimalkan. F. Segi Sumberdaya Manusia Agar praktek pembangunan hutan di Indonesia berjalan baik, diperlukan kesadaran dan kemauan dari para penentu kebijakan akan pentingnya pelaksanaan pembangunan hutan berjalan dengan baik. Untuk tingkat pelaksana, diperlukan perencana, operator, mekanik, penyelia, manajer dan pimpinan yang ahli di bidangnya. Untuk itu diperlukan lembaga pendidikan dan pelatihan yang secara berkelanjutan membangun dan meningkatkan kemampuan SDM dan menyampaikan teknologi baru yang sesuai kepada yang memerlukan. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perlu dikembangkan lembaga kelitbangan yang kuat yang secara terusmenerus mencari perbaikan teknologi yang sudah ada dan melakukan koreksi atas kesalahan yang timbul. Salah satu tuntutan lain lagi adalah disiplin yang tinggi dari semua pihak terkait agar pembangunan hutan berjalan efektif dan efisien serta berkelanjutan. VI. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian berbagai aspek penggunaan alat dan mesin dalam pembangunan hutan di Indonesia, dapat dikemukan beberapa kesimpulan berikut : 1. Pengertian alat dan mesin besar dalam pembangunan hutan (alsinhut) adalah alat dan mesin yang mempunyai tenaga penggerak berkekuatan 50 HP atau lebih. Alsinhut di Indonesia umumnya masuk kategori tersebut. 2. Keuntungan penggunaan alsinhut besar-besar cukup banyak, antara lain : (1) mampu menangani produk (kayu) dalam jumlah besar, (2) proses produksi cepat dan tepat waktu, (3) mampu menangani kayu-kayu yang besar, panjang dan berat, (4) mampu menghadapi medan operasi pembangunan hutan yang berat, (5) membuka lapangan kerja, (6) bisnis suku cadang dan bahan pendukung berkembang, (7) meningkatkan devisa negara, (8) meningkatkan ketrampilan tenaga kerja dan (9) membuka wilayah yang tadinya tertutup. 3. Kerugian penggunaan alsinhut besar-besar juga banyak, antara lain : (1) biaya produksi tinggi, (2) kerusakan tegakan tinggal tinggi, (3) luas keterbukaan tanah dan tajuk hutan tinggi, (4) erosi tanah hutan tinggi, (5) pemadatan tanah hutan tinggi, (6) pencemaran air sungai tinggi, (7) kecelakaan pekerja tinggi, (8) suku cadang tergantung impor, (9) penggantian alat sulit dan (10) pencurian kayu marak. 85

14 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Upaya mengoptimalkan penggunaan alsinhut besar dapat dilakukan dengan cara memenuhi berbagai tuntutan persyaratan pengoperasian peralatan, antara lain dari segi teknis harus yang memungkinkan untuk dilaksanakan, dari segi ekonomi dapat menguntungkan, dari segi sosial dapat diterima, dari segi lingkungan harus ramah lingkungan, dari segi kelembagaan harus mantap dan berwibawa dan dari segi sumberdaya manusia harus maju dan berdisiplin tinggi. 5. Disarankan agar dalam menggunakan alsinhut besar-besar dalam pembangunan hutan, semua pihak terkait, baik penentu kebijakan maupun pelaksana, memahami betul semua persyaratan tersebut pada butir 4 dan merealisasikannya dalam praktek pembangunan hutan agar manfaat dari teknologi alsinhut dapat diambil sedang kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalkan. DAFTAR PUSTAKA Anonim Caterpillar Performance Handbook. Edition 19. Caterpillar Inc. Pearia, Illinois Komatsu D80 buldoser leaflet. Komatsu Ltd. Tokyo. Brainer, L.D., R.A.Kepner and D.L. Berger Principles Of farm Machinery. John Wiley and Sons, Inc. New York. Dulsalam, Sukanda dan I. Sumantri Kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan dengan traktor pada berbagai tingkat kerapatan tegakan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(6): Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan Indonesia 1990/1991. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dulsalam dan Sukadaryati Produktivitas dan biaya penyaradan kayu dengan kerbau di Jambi. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(3): Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Dykstra, D.P Reduced impact logging : concepts and issues. Paper at International Conference on the Application of Reduced Impact Logging to Advance Sustainable Forest Management, held in Kuching, Sarawak, February 26 - March 1, pp Elias Reduced impact logging. Institut Pertanian Bogor Press. Institut Pertanian Bogor. Bogor. FAO Reduced Impact Logging in Tropical Forest Mangement. Harvesting and Engineering Working Paper No. 1. Forestry Department, FAO, Rome. Frederiksen, P.W Erosion and sedimentation following road construction and timber harvest on unstable soils in three small western Oregon watersheds. USDA Forest Service Res. Paper PNW Gill, W.R Soil compaction by traffic. Agriculture Engineering 40(7):392, Idris, M.M Pengaruh penyaradan kayu dengan traktor berban ulat terhadap kerusakan tegakan tinggal, penggeseran serta pemadatan tanah hutan. Tesis Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. 86

15 Penggunaan Alat dan Mesin Besar-besar Dalam... Djaban Tinambunan & Yuniawati Idris, M.M. dan Soenarno Kecelakaan kerja dalam kegiatan eksploitasi hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(1): Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Idris, M.M Dampak penebangan dan penyaradan di hutan produksi terbatas terhadap erosi tanah, keadaan iklim mikro dan permudaan alam. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Manan, S Kerusakan lingkungan akibat pembalakan dan cara-cara menanggulanginya. Paper pada penataran Manajer Logging pada Desember 1992 di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmawati, I Pengaruh intensitas penyaradan kayu oleh traktor trehadap kepadatan tanah dan pertumbuhan Acacia mangium dan Paraserianthes falcataria. Skripsi Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Retnowati, E Dampak kegiatan penyaradan dalam sistem TPTI terhadap sifat-sifat tanah di hutan produksi alam di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(1): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sastrodimedjo, R.S., R.S. Simarmata dan Soewito Produktivitas dan biaya peralatan mekanis pada eksploitasi jenis-jenis meranti di Sumatera. Laporan No. 15. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Soedjatmiko, Masalah Penggunaan Traktor Dalam Budidaya Pertanian Di Indonesia. Kertas Kerja Dalam Seminar Penerapan Teknologi Madia Pada Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sastrodimedjo, R.S., J. Thaib, A. Sianturi dan S.R. Simarmata Produktivitas dan biaya alat eksploitasi mekanis pada beberapa permasalahan hutan di Maluku. Laporan No. 97. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Sianturi, A. dan D. Tinambunan Studi kasus pemuatan kayu bulat di empat perusahaan eksploitasi hutan di Jambi. Laporan No Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Sukadaryati, Dulsalam dan M. Sinaga kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan lahan, penggeseran tanah dan biaya pada penyaradan terkendali. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(5): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Suhartana, S Penyaradan terkendalai untuk meminimasi kerusakan hutan dan biaya di hutan alam. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI V di Bogor tanggal 30 agustus 1 September Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Sugianto, W Analisis pengendalian persediaan suku cadang oil filter dan fuel filter traktor D7G dan wheel loader 966C di PT. Trakindo Utama Kantor Cabang Samarinda dan Banjarmasin. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Thaib, J Kerusakan tegakan sisa akibat eksploitasi hutan dengan sistem traktor dan high lead. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(4): Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. 87

16 ANALISA KEBIJAKAN SKEMA KREDIT DAN PEMBIAYAAN USAHA TANI HUTAN (An Analysis on Credit Scheme And Funding Policy of Smallholder Private Forests) Oleh / By : Hariyatno Dwiprabowo ABSTRACT Credit scheme aimed to small holders of private-forests or forest farming is a major effort to carry out greening (afforestation) to produce timber and or other forest products, and to conserve land by involving community participation. Ministry of Forestry launched Private Forest Credit Scheme (KUHR) starting in 1997 and had terminated the credit scheme in 1999 due to a potential failure. Nevertheles, in the future such credit scheme should get attention as one of options to support program for forestry sector development. This study is aimed to identify factors contributing to credit scheme failure, funding alternative, and recommend improvement for future credit scheme. Study synthesized various published and unpublished reports, primary and secondary data and information, and group discussion with stakeholders i.e. banks and company involved in partnership with farmers that had been involved in the past credit scheme. Results of study reveal several findings: (1) Credit schemes should be flexibly adapted to region socio-economic conditions; (ii) Farmers' partner should be selectively chosen to ensure credit repayment; (iii) Bank role in credit chenneling should be adapted to the objective of the underlying program, and (iv) In the funding aspect, blend of funds of reforestation fund, national banks, and low rate oversea funding need to be sought. Keywords : Credit scheme, forest farm, private forest smallholders ABSTRAK Kredit usaha tani hutan merupakan suatu upaya untuk melaksanakan penghijauan pada lahan milik berupa kebun kayu dan atau aneka usaha kehutanan lain, disamping untuk tujuan konservasi melalui partisipasi masyarakat. Departemen Kehutanan menyelenggarakan Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) yang dimulai sejak tahun Kredit ini berakhir dengan dihentikannya pemberian kredit pada tahun Meskipun demikian dimasa mendatang kredit usaha bagi petani tetap perlu mendapat perhatian sebagai salah satu alternatif untuk mendukung program di sektor kehutanan.tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat faktorfaktor penyebab kegagalan kredit hutan rakyat, perbaikannya di masa mendatang, serta sumber pembiayaannya. Kajian bersifat sintesis dari berbagai sumber laporan, data primer dan sekunder, dan forum diskusi dengan pelaku kredit seperti bank dan mitra kelopok tani. Hasil kajian menunjukkan kredit usaha tani dimasa mendatang perlu memperhatikan, antara lain: (i) Pemberian paket kredit perlu disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi wilayah; (ii) Mitra kelompok tani perlu dipilih secara lebih selektif; (iii) Peranan bank dalam penyaluran kredit perlu dilihat secara lebih proporsional; (iv) Sumber pembiayaan selain berasal dari dana reboisasi, juga berasal dari perbankan nasional, dan sumber dana dari luar negeri. Kata kunci: Skema kredit, usaha tani hutan, hutan rakyat 89

17 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : I. PENDAHULUAN Pada prinsipnya berbagai skema kredit usaha tani hutan memiliki tujuan yang sama yaitu memperluas basis partisipasi masyarakat dalam reboisasi dan penghijauan nasional atas dasar kemandirian usaha dengan bantuan kredit dari pemerintah. Dengan demikian peranan pemerintahan yang selama ini dominan didalam memperbaiki lingkungan sekaligus sebagai agen utama dalam produksi barang dan jasa kehutanan dapat semakin dikurangi. Kredit usaha tani hutan (kayu) merupakan suatu upaya untuk melaksanakan penghijauan berupa kebun kayu dan aneka usaha kehutanan lain di tanah milik rakyat dengan bantuan kredit pinjaman kepada petani. Sebagai realisasi dari gagasan tersebut maka Departemen Kehutanan menyelenggarakan Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) dan Kredit Usaha Persuteraan Alam (KUPA), dan Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS). Pengembangan hutan rakyat melalui program KUHR dimulai sejak tahun 1997 dan KUK DAS sejak tahun 1996 dengan sumber pendanaan dari Dana Reboisasi Departemen Kehutanan. Pengembangan hutan rakyat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan pasokan bahan baku industri yang selama ini berasal dari hutan alam. Disamping untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu juga diharapkan dapat menangani lahan kritis yang ada di luar kawasan hutan, terutama lahan tidur milik masyarakat. Keterbatasan modal bagi petani untuk mengusahakan lahannya telah mendorong pemerintah untuk menyediakan sarana permodalan berupa KUHR melalui pola kemitraan antara petani/kelompok tani dengan pengusaha (BUMN, BUMS dan Koperasi) sebagaimana tertuang dalam SK Menhutbun No.49/Kpts-II/1997. Tujuan pemberian kredit hutan rakyat (SK Menhut: 101/kpts-V/1996) adalah :(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2) Untuk meningkatkan mutu lingkungan dan (3) Menunjang pemenuhan bahan baku industri (hasil hutan). Sasaran pelaksanaan KUHR adalah untuk mendanai kegiatan hutan rakyat yang dilaksanakan pada lahan hak milik di luar kawasan hutan dengan status pemanfaatan yang jelas dan lahan usaha II dari Transmigrasi yang direncanakan sebagai hutan rakyat (Trans HR). Sedangkan KUPA (SK Menhutbun No.50/Kpts-II/1997) adalah untuk mendanai kegiatan usaha tani persuteraan alam yang dilaksanakan pada lahan hak milik di luar kawasan hutan dengan status pemanfaatan yang jelas dan lahan usaha II dari Transmigrasi yang direncanakan usaha tani persuteraan alam. Disamping kedua skema kredit ini terdapat skema kredit lain (KUKDAS) yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama namun diselenggarakan untuk meningkatkan kondisi lahan di DAS. Oleh karena itu KUK DAS diberikan untuk bangunan konservasi/fisik, pengadaan bibit tanaman pangan atau tanaman keras seperi karet dan kopi, pengadaan saprodi atau pengadaan ternak. Dari aspek kelembagaan pelaku (stakeholders) dalam pelaksanaan kegiatan KUHR dan KUPA dari sisi fungsionil terdiri dari 4 fihak, yaitu : (1) petani dan kelompok tani, (2) mitra usaha, (3) pembina teknis di tingkat nasional, propinsi, kabupaten, dan kecamatan, dan (4) perbankan. Pelaku mempunyai keterkaitan dan sinergisme dalam mekanisme perkreditan baik dari pengajuan kredit, realisasi kredit, pelaksanaan kegiatan usaha, pembinaan teknis, dan pengawasan pelaksanaan kredit dan teknis silvikultur. Pada umumnya kredit-kredit yang bertujuan untuk penghijauan seperti KUHR, KUKDAS, KUPA, berasal dari Dana Reboisasi yang pada awalnya diperuntukan untuk penghutanan kembali pada kawasan hutan. Namun dalam perkembangannya pemanfaatannya diperluas sehingga mencakup lahan di luar kawasan hutan. Dengan menurunnya produksi kayu bulat dari hutan alam maka penerimaan DR semakin menurun padahal luas kawasan hutan yang rusak sebagai akibat 90

18 Analisa Kebijakan Skema Kredit... Hariyatno Dwiprabowo deforestasi semakin meningkat. Oleh karena itu perlu dilakukan penajaman prioritas maupun peningkatan efisiensi dalam penggunaan DR di masa mendatang. Upaya lainnya yang diperlukan adalah mencari sumber-sumber pandanaan lain yang tersedia bail di dalam dan luar negeri. Tujuan kajian kebijakan ini adalah : Melakukan penilaian (assessment) atas kredit usaha tani hutan (KUHR); Mengkaji sumber pembiayaan kredit; Memberikan rekomendasi prekreditan usaha tani hutan. II. METODOLOGI Kajian dilakukan berdasarkan metode sintesis kualitatif dari (i) Laporan-laporan kredit usaha tani baik yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan, (ii) Data primer dan sekunder serta informasi lainnya dari lapangan. Data dan informasi diperoleh melalui wawancara dengan petani dan mitra petani, dan pencatatan dari instansi terkait. Di samping bahan-bahan tersebut bahan lain diperoleh dari forum diskusi yang khusus diadakan untuk membahas kredit usaha tani hutan yang melibatkan pihak bank, perusahaan mitra yang memiliki pengalaman bermitra dengan kelompok tani dalam Kredit Usaha Hutan Rakyat dan para peneliti. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Kredit Hasil beberapa evaluasi (Sylviani, 2000; PT Forindo Bangun Konsultan, 1999) terhadap KUHR menunjukkan belum ada data pengembalian kredit di seluruh propinsi untuk hutan rakyat. Hal ini disebabkan KUHR yang mulai dilaksanakan tahun 1997 dan tempo jatuh kredit 10 tahun kemudian sehingga belum dimulai masa pengembalian kreditnya. Waktu jatuh tempo yang paling cepat berdasarkan jadwal pengembalian kredit adalah tahun Evaluasi atas implementasi lapangan di Kabupaten Sukabumi menunjukkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan kredit KUHR, yakni : (i) Penerima kredit adalah pengontrak lahan petani atau perantara, (ii) Petani memerlukan biaya yang cukup besar untuk mengurus sertifikat tanah, (3) Kondisi lapangan terutama pada lahan yang mememiliki kecuraman cukup besar memerlukan biaya tambahan untuk terasering, (iv) Beredarnya isyu bahwa kredit tidak perlu dikembalikan. Evaluasi atas KUK DAS menunjukkan tingkat pengambalian yang bervariasi dengan ratarata 49.7% berupa pokok dan bunga, yang terendah terjadi di Kabupaten Musi Rawas dengan tingkat pengembalian kredit 23.2%. Penyebab dari kegagalan tersebut dapat dikelompokkan kedalam aspek : (1) Pemasaran hasil, (2) Produksi, dan (3) Administrasi Kredit. Dari sisi pemasaran disebabkan : (i) pemilihan lokasi kurang tepat sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi, (ii) pilihan jenis tanaman kayu yang sulit dipasarkan. Dari aspek produksi disebabkan : (i) Tumpang tindih pemanfaatan lahan, dan (ii) kurang berhasilnya panen tanaman pangan dan ternak. Sedangkan dari sisi administrasi (ii) Proses penyaluran dana yang kurang lancar (Sylviani, 2002). Kredit KUHR pada berbagai lokasi dihentikan penyalurannya mulai tahun 1999 pada berbagai tahap mulai tahap II, III, atau IV. Berdasarkan evaluasi atas data-data peluncuran keredit dan mitra penerima kredit, perusahaan yang menerima kredit terlama adalah PT XIP, Sumsel, dan 91

19 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : PT BMP di Wonosobo,Jawa Tengah yakni hingga tahap V. Kedua perusahaan ini sama-sama memiliki industri pengolahan kayu dan memiliki pengalaman dalam bidang kehutanan. Evaluasi atas KUHR yang telah dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan yang berujung pada penghentian penyaluran KUHR pada berbagai wilayah tidak didasarkan atas kinerja pengembalian kredit mengingat kredit tersebut belum jatuh tempo. Keputusan penghentian tersebut lebih didasarkan pada prediksi kinerja pengembalian kredit berdasarkan indikator lapangan sebagaimana telah diuraikan di atas. Secara umum efisiensi dan efektivitas penyaluran kredit Hutan Rakyat masih rendah hal ini disebabkan oleh : (i) ketidaksesuaian dalam pelaksanaan kredit antara yang tertulis dalam SK Menhutbun dengan perjanjian kredit dan penggunaannya, (ii) adanya kesenjangan waktu pencairan kredit yang disebabkan pemindahbukuan kredit yang seharusnya kepada petani diambil alih oleh pengusaha (mitra), (iii) perubahan biaya penggunaan saprodi akibat kenaikan harga, (iv) adanya kegiatan penggunaan kredit selain untuk tanaman pokok kehutanan (seperti ternak), (v) pencairan kredit yang lambat dan peningkatan biaya produksi berpengaruh terhadap jumlah kredit dan efisiensi penggunaannya ( Forindo Bangun Konsultan, 1999). Sedangkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dan penyeluran kredit pada sutera alam secara umum lebih baik dibanding pada usaha hutan rakyat, yang ditunjukkan oleh : (i) adanya kesinergetikan antara SK Menhutbun dengan perjanjian kredit dan penggunaannya, (ii) semakin pendeknya kesenjangan waktu pencairan waktu kredit, tidak ada kegiatan yang menyalahi prosedur. B. Pola Paket Kredit Model model kredit dalam KUHR terbatas (kaku) kurang memperhatikan kebutuhan riel petani dan kondisi sosial budaya ekonomi masyarakat. Paket kredit yang diberikan untuk petani di P. Jawa dan Luar Jawa cenderung seragam. Padahal terdapat perbedaan dalam kondisi budaya dan luas pemilikan lahan pada kedua wilayah tersebut. Pada umumnya luas pemilikan lahan per keluarga di Luar Jawa (misal: Sumatera Selatan, Jambi) adalah antara 2 5 ha bahkan beberapa petani memiliki lahan dengan luas > 5 ha. Di Jawa luas pemilikan lahan jauh lebih kecil, yakni, antara 0.25 ha 1 ha, sebagian besar berada pada kisaran ha. Kemampuan petani di Luar Jawa untuk mengolah lahan maksimum 1.5 ha/petani, pada umumnya lahan ini dipilih lahan yang paling subur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan sisanya adalah lahan tidur yang tidak terawat (berupa semak belukar). Tambahan modal seperti KUHR dimanfaatkan untuk membuka lahan tidur dengan berbagai jenis tanaman (kayu, kelapa sawit, dan karet). Sebaliknya di P. Jawa seluruh lahan digarap dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tanaman kayu ditanam pada ruang-ruang marginal yang masih tersisa. Berdasarkan kondisi tersebut, hutan rakyat dengan penanaman kayu yang ekstensif lebih sesuai untuk luar P. Jawa, sedangkan di P. Jawa penanaman kayu dasarnya pohon per pohon. Oleh karena itu paket Aneka Usaha Kehutanan di P.Jawa dapat dikombinasikan dengan sejumlah pohon kayu-kayuan secara terbatas. C. Kelembagaan Kelembagaan KUHR (organisasi dan aturannya) bersifat gemuk. Pelaksanaan kegiatan KUHR dan KUPA dari sisi fungsional terdiri dari : (1) petani dan kelompok tani, (2) mitra usaha, (3) pembina teknis di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan kecamatan, dan (4) pihak perbankan. Mekanisme pelaksanaan kegiatan proyek dimulai dari tingkat pusat sampai propinsi dan kabupaten. Berdasarkan hasil evaluasi Forindo Bangun Konsultan (1999) secara umum keterkaitan antar keempat pelaku tersebut intensitas peranannya hanya pada saat persiapan proyek. Setelah melewati 92

20 Analisa Kebijakan Skema Kredit... Hariyatno Dwiprabowo fase ini, mekanisme keterkaitan peran dan fungsi dari keempat pelaku relatif berkurang bahkan cenderung tidak jalan terutama dari aspek pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan penyaluran kredit. Keterlibatan banyak instansi dalam skema KUHR untuk keperluan pembinaan cenderung meningkatkan inefisiensi berupa pemborosan waktu dan dana. Dawson (1996) dikutip dalam Wahyudi dan Sulandari (2000) menggunakan dua indikator dalam evaluasi kinerja kelembagaan yakni efektivitas dan efisiensi. Efektivitas adalah kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini dilihat dari ketepatan waktu dan jumlah penyaluran dan pengembalian kredit. Sedangkan efisiensi merupakan rasio dari nilai input dengan nilai output. Suatu sistem kelembagaan dapat disebut efisien jika setiap elemen lembaga tersebut memebrikan kontribusi netto positif terhadap sistem. Secara operasional suatu sistem kelembagaan menjadi tidak efisien jika bertindak sebagai pencari rente belaka. Hasil evaluasi terhadap pelaku memperlihatkan intensitas peranan stakeholders maksimal hanya pada saat persiapan proyek. Setelah fase ini, keterkaitan peran dan fungsi keempat pelaku berkurang dari aspek pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan penyaluran kredit (PT Forindo Bangun Konsultan, 1999). Penggunaan bank channeling perlu dievaluasi kembali karena bank penyalur pada KUHR aturan-aturannya bersifat lokal/tidak seragam dari satu propinsi ke propinsi lainnya. Sebaliknya penggunaan bank nasional yang memiliki pengalaman perkreditan untuk usaha kecil lebih memberikan jaminan kelancaran operasional. Akhir-akhir ini muncul gagasan untuk membentuk bank hijau sebagai lembaga keuangan dalam sektor kehuatanan khusunya dalam pembangunan hutan mengingat kegiatan ini memiliki karakteristik yang khusus. Di samping itu peranan bank dapat ditingkatkan menjadi pelaksana sebagaimana penyaluran kredit lainnya sehingga memiliki tanggung jawab lebih besar atas operasi kredit maupun pengembaliannya. Hal penting lainnya yang berakibat pada kegagalan KUHR adalah sasaran penerima kredit. Penerima kredit (mitra) sebagai pendamping petani ditetapkan badan hukum yang memiliki akses pasar. Kenyataan menunjukkan mitra yang memiliki akses pasar tidak berarti memiliki kemampuan untuk menjual hasil kayu dari petani dengan harga yang layak di pasar karena memiliki posisi tawar yang lemah dibandingkan industri kayu yang menerima. Ketidak jelasan mitra tersebut banyak menimbulkan penyalahgunaan kredit KUHR oleh pihak mitra. Hasil evaluasi atas data realisasi kredit KUHR dari Ditjen RRL (RLPS) menunjukkan bahwa dari seluruh kredit yang telah disalurkan pada berbagai propinsi hanya dua (2) mitra perusahaan saja yang memiliki kinerja baik, yakni, menerima kucuran kredit hingga tahap IV dan V, mitra lainnya dihentikan pada tahap II atau III. Kedua mitra perusahaan (berlokasi di Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Jawa Tengah) tersebut adalah industri kayu yang hingga kini masih beroperasi dan selama ini menerima pasokan kayu dari hutan rakyat disamping itu memiliki pengalaman kehutanan (membangun hutan rakyat). Kontrak yang dilakukan perusahaan mitra dengan petani yang dilakukan sejak awal, perjanjian penjualan kayu dengan harga pasar, serta perjanjian pembagian keuntungan merupakan cara yang efektif bagi petani. Peranan Dinas (propinsi dan kabupaten) maupun Intansi terkait lainnya, Kelompok Tani dalam Skema KUHR perlu ditinjau. Menurut Wahyudi dan Wulandari (2000) dalam kasus Sistem Perkreditan Usahatani Tebu, Kepala Desa, KUD, dan Dinas Perkebunan oleh sebagian besar petani dianggap sudah tidak diperlukan lagi. Evaluasi yang dilakukan terhadap perkreditan petani tebu menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan kepada pabrik gula (PG) sebagai mitra petani tebu memiliki kinerja yang baik. Demikian pula PIR BUN kelapa sawit dengan bentuk kemitraan Perusahaan Perkebunan dengan petani kebun dengan pola plasma-inti memiliki tingkat pengembalian kredit yang tinggi (75%). 93

21 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Skema kredit PIR BUN merupakan skema perkreditan yang berhasil dengan tingkat pengembalian hingga 75%. Kunci keberhasilan ini antara lain disebabkan oleh: (i) Unit Manajemen Usaha yang jelas; (2) Komoditas yang dihasilkan yakni kelapa sawit memiliki keterkaitan pasar yang jelas yakni pabrik-pabrik pengolah CPO. D. Peranan Bank Peranan bank selama ini baik di bidang kehutanan (KUHR, KUPA) dan pertanian (PIR-BUN) adalah sebagai bank penyalur (channeling bank). Dalam KUHR bank bertindak sebagai penyalur pinjaman Dana Reboisasi (DR). Sebagai akibat tingginya sukubunga komersial serta jangka pinjaman yang umumnya bersifat jangka pendek, sedangkan usaha hutan tanaman bidang kehutanan berjangka waktu panjang dengan tingkat pengembalian yang relatif rendah membuat pendanaan dalam bidang kehutanan memerlukan pengaturan khusus. Menurut Hasan dari Bank Mandiri (2004) untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pengaturan sebagai berikut : Blended of Funds : Pemerintah menempatkan dana di perbankan dalam bentuk deposito abadi. Bunga deposito dan dana komersial perbankan dicampur dengan proporsi tertentu sehingga diperoleh sumber pendanaan jangka panjang dan berbunga rendah; Resiko Kredit : Resiko yang muncul akibat pembiayaan ini ditanggung secara proporsional oleh pemerintah dan perbankan sesuai dengan share pembiayaannya; Equity (self financing) : Nasabah berbentuk badan usaha wajib menyediakan self financing minimal 20% dari total pembiayaan hutan tanaman; Jaminan kredit: Nasabah disyaratkan untuk menyerahkan jaminan tambahan. Fasilitas kredit investasi diberikan kepada Kelompok Tani Hutan yang memiliki kerjasama kemitraan dengan industri kehutanan untuk pembangunan hutan tanaman dan atau rehabilitasi lahan kritis menjadi Hutan Rakyat. Kredit Hutan Rakyat diberikan hanya diberikan kepada Kelompok tani yang memiliki kerjasama dengan suatu industri kehutanan atau perusahaan perdagangan hasil hutan. Sedangkan pengelolaan fasilitas kredit dilakukan oleh Industri Kehutanan yang menjadi Mitra Usaha atas nama Kelompok Tani Hutan. Ditinjau dari aspek perbankan, fungsi bank dalam perkreditan memiliki dua macam bentuk berikut. 1. Fungsi penyaluran (Channeling) Dalam fungsi ini bank hanya menyalurkan kredit dengan komisi tertentu (komisi dalam penyaluran KUHR adalah sebesar 2%). Bank secara operasional tidak melakukan fungsi pengawasan serta upaya paksa penarikan kredit, penyandang danalah yang melakukan kegiatankegiatan tersebut. Sebagian besar atau seluruh resiko kredit ditanggung oleh penyandang dana (pemerintah). Oleh sebab itu sebagai pemberi jaminan (avalis), pemerintah perlu menyimpan dana dalam jumlah yang memadai pada bank pelaksana untuk menanggung resiko kredit macet. Fungsi bank sebagai penyalur sangat sesuai untuk pelaksanaan program-program pemerintah yang tujuannya tidak semata-mata untuk tujuan komersial seperti KUHR pada waktu yang lalu. 2. Fungsi pelaksanaan (Executing) Dalam fungsi ini, bank pelaksana memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan serta pengembalian kredit, dan menanggung sebagian besar resiko atas kredit yang diberikan. Sebagai konsekuensinya sasaran (penerima) kredit perlu memenuhi persyaratan yang ditetapkan fihak bank berdasarkan analisa kredit yang berlaku. Pemerintah dapat menyertakan sebagian dana untuk 94

22 Analisa Kebijakan Skema Kredit... Hariyatno Dwiprabowo menentukan besarnya kredit dan tingkat suku bunga yang diberikan. Fungsi bank sebagai pelaksana atau executing sesuai untuk program yang memiliki tujuannya dan sasaran ekonomi yang jelas serta secara finansial dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kasus pembangunan hutan rakyat perlu lebih dipertegas unit manajamen usaha serta skala ekonominya serta komoditas yang akan dihasilkan dan ketersediaan pasarnya (keterkaitan dengan industri). Dalam konteks ini sudah selayaknya hutan rakyat dikembangkan menjadi sistem agribisnis. Dalam melaksanakan program pemerintah yang bertujuan bukan semata-mata untuk tujuan ekonomi (komersial) seperti KUHR pada waktu yang lalu, bank cenderung mengambil posisi channeling untuk menghindarkan resiko (Munandar, 2004). Menurut Hardjanto (2003) sistem usaha kayu rakyat terdiri empat sub sistem yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan, dan sub sistem pemasaran dan sub sistem kelembagaan. Keseluruhan sistem tersebut berpengaruh pada kinerja usaha kayu rakyat yang dirasakan belum optimal. Sistem agro-forest binis yang dikembangkan perlu memperhatikan keempat sub sistem agar bekerja secara optimal. E. Alternatif Skema Pembiayaan Pembiayaan untuk kehutanan sangat bervariasi tergantung pada siapa yang membiayai, untuk siapa dan apa yang dibiayai, dan berapa banyak dana yang terlibat. Terdapat mekanisme langsung dan tak langsung, secara individu dan lembaga, dan pinjaman atau hibah. Dari sisi sumber pembiayaan dapat diklasifikasikan kedalam domestik dan luar negeri, publik dan swasta. Terdapat pula kombinasi satu dengan lainnya maupun pembiayaan secara bersama satu sumber dengan lainnya. 1. Pembiayaan dalam negeri Pemerintah selama ini memegang peranan dengan menerapkan berbagai instrumen untuk memobilisasi dana dari sektor kehutanan seperti royalti, iuran, dan pajak. Pembiayaan kredit hutan rakyat selama ini bersumber dari Dana Reboisasi dari Pemerintah (Departeman Kehutanan) dengan bunga nol persen pada bank pelaksana. Menurut Repetto dan Sizer (1996) sektor kehutanan sebaiknya membiayai sendiri (self financing) dan barangkali tidak memerlukan sumber lain bagi investasi pengelolaan hutan yang berkelanjutan (INDUFOR, 1999). Jika kebijakan yang diterapkan tepat, dan rente yang potensial secara efektif dikumpulkan dan ditransfer kepada pengelola maupun pemilik hutan, tidak diperlukan sumber pembiayaan lain jika hutan dapat mencapai tingkat produktivitas minimum yang diperlukan. Dalam hal hutan yang dimiliki negara serta pengumpulan pajak dan iuran2 kehutanan, permasalahannya adalah pendapatan pemanfaatan hutan dikumpulkan oleh Menteri Keuangan, dan dana seringkali tidak secara khusus disisihkan untuk reinvestasi atau untuk memulihkan biaya pengelolaan sumber hutan dan konservasi. Investasi domestik swasta dibatasi oleh tingkat ketersediaan dana baik dari sumber lokal maupun luar. Disamping dana dari industri skala besar maupun menengah, investasi swasta dilakukan oleh petani dan penduduk sekitar hutan, perusahaan skala kecil dimana semua memobilisasi dana dan sumber daya yang lain untuk pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan. Investasi oleh masyarakat pedesaan dan organisasinya tidak selalu tercatat dengan baik sehingga peranannya cenderung diabaikan oleh statistik resmi. Chandrasekharan (1996) menunjukkan pengalaman terakhir dalam pembangunan kehutanan menunjukkan apabila sumberdaya penduduk lokal dimobilisasi secara efektif, investasi kehutanan yang sangat produktif 95

23 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : dan efektif akan terjadi pada biaya yang relatif rendah. Kebijakan yang kondusif untuk memberikan insentif yang terukur (tangible) dan dukungan yang terarah sangat penting untuk mencapai hal tersebut. Pembiayaan dalam negeri selama ini sangat tergantung pada peranan sektor kehutanan dalam ekonomi nasional, dan prakondisi yang dapat membuat investasi pengelolaan hutan menguntungkan bagi sektor swasta. 2. Official Development Assistance (ODA) a. Sumber-sumber ODA Terdapat 2 (dua) mekanisme pembiayaan internasional konvensional utama yang telah diterapkan pada masa lalu untuk menyediakan dana bagi sektor kehutanan: official development assistance (ODA), dan investasi sektor swasta. Keduanya mengambil berbagai bentuk dan saluran (channel) dan seringkali saling terkait. ODA khususnya memberikan support konservasi lingkungan, pembangunan sosial, infra struktur, capacity building, maupun menyediakan bimbingan teknisdan sumber daya lain sebagai katalisator pembangunan. Akhir-akhir ini telah berkembang keinginan untuk mensupport internalisasi eksternalitis global. Dalam kehutanan, isyu lingkungan dan sosial cenderung meningkat prioritasnya. Aliran ODA umumnya berbentuk hutang, hibah atau bantuan teknis. ODA memiliki 2 (dua) saluran utama: (i) secara bilateral dari agen donor kepada penerima; atau (ii) secara multilateral melalui badan-badan internasional yang memperoleh sumber dari badanbadan donor dan pasar keuangan internasional. b. Bank pembangunan multilateral Bantuan multilateral diberikan oleh bank pembangunan, badan-badan PBB dan organisasi khusus, dan NGO internasional. Diantara bank pembangunan multilateral (MDB), Bank Dunia selama ini merupakan pemberi dana terbesar dan kebijakannya cenderung diikuti oleh badan-badan lain. Kebijakan kehutanannya tahun 1992 telah meninggalkan pendanaan pembalakan hutan tropis primer. Dikarenakan konflik lokal maupun internasional yang berhubungan dengan penggunaan hutan, Bank Dunia dan bank pembangunan wilayah (AfDB, AsDB, dan IDB) telah mengalihkan focus-nya dari yang bersifat murni kehutanan kepada proyek-proyek terintegrasi dimana kehutanan merupakan bagian dari pembangunan pedesaan dan konservasi lingkungan. IFAD juga telah terlibat dalam pendanaan kegiatan-kegiatan kehutanan /penanaman pohon sebagai bagian dari proyekproyek pertanian. c. Badan internasional Bantuan teknis di bidang kehutanan disediakan oleh sejumlah badan-badan PBB seperti FAO, ITTO, ILO, ITC, UNDP, UNEP, UNESCO, UNIDO, WFP dan WHO. Global Environment Facility (GEF) dikelola oleh WB, UNDP dan UNEP sebagai instrumen untuk pembiayaan kehutanan. UNDP adalah saluran pendanaan utama dari PBB untuk pembangunan dan lingkungan melalui alokasi program pemerintah. Tahun 1993 UNDP sebagai tindak lanjut dari UNCED meluncurkan Forestry Capacity Program untuk membantu merumuskan dan mengimplementasikan program kehutanan nasional (NFP). Tahun 1998, UNDP meluncurkan Program on Forest (PROFOR) untuk mempromosikan SFM dan kemitraan sektor publik dan swasta yang terkait pada tingkat negara, 96

24 Analisa Kebijakan Skema Kredit... Hariyatno Dwiprabowo untuk mensupport mata pencaharian yang lestari (sustainable livelihood). ITTO memiliki focus pada promosi SFM di hutan-hutan tropis melalui intervensi dalam reforestasi dan pengelolaan hutan, industri kayu dan informasi ekonomi dan market intelligence. Badan ini membiayai proyek melalui Account khusus kemana kontribusi negara donor diberikan, termasuk sektor swasta. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan kejenuhan pendanaan ITTO dari negara donor. d. Lembaga bantuan non pemerintah Pembiayaan dari dana OPEC (Organisation for Petroleoum Exporting Countries) muncul akhir-akhir ini, bidang yang terbuka bagi pembiayaan adalah kehutanan dan pertanian. Untuk pembiayaan bidang kehutanan terdapat kegiatan timberland yakni pembelian dan reforestasi tegakan hutan (kayu). Disamping itu pembiayaan terbuka bagi kegiatan farm khususnya proyek peningkatan farm seperti irigasi dan penyiapan lahan, pembelian mesin dan peralatan, ternak, dan fasilitas ternak. Hutan rakyat memiliki peluang untuk dikembangkan pada kegiatan timberland atau farm. Besarnya sukubunga pinjaman adalah sebagai berikut: Besarnya pinjaman Suku bunga 1 US$ 5 juta 50 juta LIBOR plus 2% - 2 / 4% (masih dapat dinegosiasi) 1 US$ 50 juta 100 juta LIBOR plus 1% - 1 / 2 % US$ 100 juta keatas LIBOR plus ¾% - 1% Sumber : Opecfunds (2004) Keterangan : LIBOR adalah singkatan dari London InterBank Offered Rates yakni tingkat suku bunga untuk pinjaman jangka pendek yang ditawarkan sekelompok bank di Inggris (London). Libor seringkali dijadikan rujukan tingkat sukubunga pinjaman antar bank. Sebagai contoh, tingkat LIBOR bulan September 2004 untuk jangka 1 tahun adalah %. e. Clean Development Mechanism Dengan ratifikasi Kyoto Protocol terbuka kemungkinan mendapatkan dana tambahan untuk program penghijauan/hutan rakyat melalui penjualan karbon melalui CDM (Carbon Development Mechanism). Berbagai perusahaan swasta di luar negeri khususnya yang bergerak dalam bidang pembangkitan energi memiliki kewajiban mengurangi emisi karbon yang ditimbulkannya. Meskipun nilai karbon relatif kecil dibandingkan dengan nilai kayunya, tambahan dana ini akan menjadi insentif tambahan dalam pembangunan hutan rakyat. Mekanisme jual beli karbon yang lebih operasional perlu diupayakan guna meningkatkan aksesibilitas perusahaan yang berminat. Dalam progam KUHR di masa mendatang, penghasilan dari penjualan karbon seyogyanya merupakan insentif tambahan bagi perusahaan mitra dan kelompok tani sehingga tidak menjadi bagian dari sistem pembiayaan kredit. 97

25 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Dalam skema kredit perlu dibedakan kondisi sosial ekonomi wilayah khususnya antara petani di P. Jawa dan Luar Jawa. Untuk petani hutan di P. Jawa kredit agar difokuskan pada aneka usaha kehutanan yang arahnya pemanfaatan lahan petani secara optimal. Sedangkan di Luar Jawa difokuskan pada kayu mengingat masih luasnya lahan milik petani. Oleh karena itu pola atau paket kredit perlu dibuat lebih bervariasi. 2 Kriteria Mitra Kelompok Petani harus lebih jelas untuk menjamin pemanfaatan kredit maupun penjaminan dan pengembaliannya. Oleh karena itu sasaran penerima kredit sebaiknya ditujukan kepada industri pengguna kayu yang telah ada. 3. Kepentingan petani dalam pemanfaatan kredit dan manfaat hasilnya sebaiknya difokuskan pada terms of contract antara Perusahaan mitra dengan Klpk petani berdasarkan azas saling menguntungkan. 4. Untuk keperluan pendanaan perkreditan perlu dibentuk badan khusus di DepHut yang terlepas (independen) dari birokrasi lainnya. 5. Hutan rakyat perlu dikembangkan sebagai sistem agribisnis atau agro-forest bisnis untuk memperluas penerimaan dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dalam sistem ini unit manajemen usaha dan skala ekonomi, komoditas, serta keterkaitan dengan pasar (industri) perlu lebih diperjelas. 6. Peranan bank disesuaikan dengan tujuan program pemberian kredit. Untuk program yang semata-mata tidak sepenuhnya bertujuan komersial seperti untuk konservasi maka bank lebih sesuai untuk chanelling, sedangkan untuk program yang berorientasi ekonomi dengan perhitungan kelayakan finansial maka bank dapat berperan sebagai executing agent. 7. Sumber pembiayaan /pendanaan bagi perkreditan sebaiknya campuran dari DR, bank nasional, serta pendanaan dari Luar Negeri. Untuk pendanaan LN pemerintah sebaiknya menarik dana dari OPEC funds yang berbunga cukup rendah, dan sumber dana yang berasal dari penjualan karbon. Dengan demikian tingkat suku bunga kredit yang ditawarkan kepada petani dapat ditekan. B. Rekomendasi 1. Untuk pembuatan terms of contract antara perusahaan mitra kelompok tani hutan dan implementasinya perlu dilakukan pendampingan oleh instansi pemerintah yang berkompeten atau oleh LSM. 2. Untuk Perubahan hutan rakyat tradisional menjadi suatu sistem agro-forest binis diperlukan diperlukan peningkatan kemampuan SDM, memperkuat kelembagaan yang ada dan mengurangi hambatan-hambatan yang terjadi. 98

26 Analisa Kebijakan Skema Kredit... Hariyatno Dwiprabowo DAFTAR PUSTAKA Arifin,T.U. Hassan Pendanaan Pembangunan Kehutanan Secara Berkesinambungan. Makalah Utama. Seminar Pembangunan Hutan Tanaman.Bogor, 6 Oktober 2004.Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan.Bogor. Costa, P.M., J. Salmi, M.Simula, C. Wilson.1999.Financial Mechanisms for Sustainable Forestry.UNDP/SEED.Helsinki-Oxford. Darusman,D Mengapa Hutan Tanaman Industri Kurang Berkembang. Makalah Tanggapan.Seminar Pembangunan Hutan Tanaman.Bogor, 6 Oktober 2004.Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor. Forindo Bangun Konsultan.1999.Evaluasi Pelaksanaan Kredit Usaha Hutan Rakyat dan Usahatani Persuteraan Alam. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Hardjanto Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa.Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Irawanti, S., Sylviani,E.Syahadat, L.Indracahya Analisis Efektivitas Skim Kredit Usaha Tani Konservasi dan Hutan Rakyat.Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. Munandar, Imam Manajer Pemasaran BNI Jakarta.Konsultasi Publik Analisis Kebijakan Optimalisasi Skim Pendanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Bogor, 16 Desember Opecfunds Website Diakses pada tanggal 1 November Sarono, S Direktur PT Xylo Pratama-Jakarta. Konsultasi Publik Analisis Kebijakan Optimalisasi Skim Pendanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Bogor, 16 Desember Riyadi, Sugeng Pegawai BRI Jakarta.Konsultasi Publik Analisis Kebijakan Optimalisasi Skim Pendanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Bogor, 16 Desember Sylviani dan S.Irawanti Pola Pengembangan Hutan Rakyat Melalui Skim Kredit Hutan Rakyat dan Konservasi (Studi Kasus Sumatera Selatan). Info Sosial Ekonomi 1(1): Puslit Sosial Ekonomi Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. Wahyudi, A. dan S.Wulandari Analisis Sistem Perkreditan Usahatani Tebu.Jurnal Sosial Ekonomi 1(1): Puslit Sosial Ekonomi Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. 99

27 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : LAMPIRAN. Bagan Alir Pengajuan dan Penyaluran Kredit Usaha Hutan Rakyat Menteri Kehutanan dan Perkebunan Sekjen Dephutbun -HR RUP-HR Kanwil Dep Kehutanan & Perkebunan Dirjen RRL Bupati Kepala Daerah Tk II RP - HR Dinas PKT/Dinas Kehutanan BPD Pusat Rekomendasi Rekomendasi Rekomendasi R HR (Proposal) Usulan Kredit RT - HR MITRA USAHA PENGGUNAAN KREDIT OLEH PETANI Petani/Klpk Tani BPD Cabang Akad Kredit 100

28 ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG: KEMUNGKINAN PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN LINDUNG (Policy Analysis on Protected Forest Management : The Possibilities to Tap Pine Resin in Protection Forest) Oleh / By : Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa ABSTRACT Moratorium on pine resin extraction has been done by Perum Perhutani due to the forest status changing from production forest to protection forest (around 30%). This changing has an effect on the decreasing of resin extraction area and the prosperity of local community where the resin extraction activities became their main and secondary livelihood culturally. Therefore, the policy analysis on the possibilities to utilize protection forests for resin extraction is required. The results of analysis indicated that: (1) pine resin extraction in protection forests is categorized as one of forest utilization activities in form of non wood forest product (NWFP) extraction; (2) from legal formal aspect, the resin extraction is permitted and can be carried out only in an utilization block without logging the trees; (3) from technical aspect, the resin extraction is only allowed by using riil method that can not cause felled trees; (4) from land water conservation aspect, the resin extraction is permitted as long as taking into account the factors affecting run off and erosion, such as slope, trees crown, ground crops, soil type, rain fall, mulching, and potential landslide areas; and (5) from implementation aspect, the resin extraction can be conducted by local communities and cooperatives. This implementation is done in the frame of community based forest management (CBFM) with a proportional production sharing between Perhutani and communities. Keywords: Analysis, pine resin extraction, and protection forest management. ABSTRAK Penghentian sementara kegiatan penyadapan getah pinus oleh Perum Perhutani karena perubahan status dari hutan produksi menjadi hutan lindung (sekitar 30%). Hal ini membawa dampak kepada penurunan luas sadapan getah pinus dan sekaligus kepada kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dimana kegiatan penyadapan ini telah membudaya dan menjadi pekerjaan utama dan sampingan. Oleh karena itu kajian kebijakan tentang kemungkinan pemanfaatan hutan lindung untuk penyadapan menjadi sangat penting. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) penyadapan getah pinus di Hutan Lindung dapat dikatagorikan sebagai salah satu upaya pemanfaatan hutan dalam bentuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat setempat dengan binaan oleh Perhutani; (2) dari segi yuridis formal, penyadapan getah diperkenankan dan dapat dilakukan hanya pada blok pemanfaatan dengan tidak melakukan penebangan pohon; (3) dari segi teknis penyadapan, penyadapan getah hanya dapat dilakukan dengan metoda penyadapan sersan terbalik (riil method) yang secara teknis tidak akan menyebabkan pohon roboh/rebah; (4) dari segi konservasi tanah dan air, penyadapan getah diperkenankan sepanjang tidak mengabaikan faktor-faktor penyebab terjadinya aliran permukaan dan erosi, seperti lereng lapangan, lapisan tajuk, tanaman bawah, jenis tanah, curah hujan, serasah dan daerah-daerah yang rawan longsor; dan (5) dari segi teknis pelaksanaan, penyadapan getah dapat dilakukan oleh masyarakat atau koperasi. Hal ini tentunya dapat diwujudkan dalam kerangka PHBM dengan sistem bagi hasil yang proporsional antara Perhutani dengan masyarakat. Kata kunci: Kebijakan, penyadapan pinus, dan pengelolaan hutan lindung 101

29 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : I. PENDAHULUAN Pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) selama 20 tahun terakhir belum mengalami perkembangan yang berarti. HHBK hanya dijadikan slogan belaka tentang betapa pentingnya HHBK karena prospeknya yang cerah dan kemampuannya untuk mendukung pengelolaan hutan lestari (HHBK dipungut tanpa melalui penebangan pohon, kecuali gaharu dan rotan) (Subarudi, 2002). Perum Perhutani telah dikenal luas sebagai pelopor, pengembang, dan penghasil produk HHBK seperti, madu, lak, kopal, kayu putih, gondorukem dan terpentin. Produk gondorukem dan terpentin adalah hasil proses ekstrasi getah dari batang pohon pinus (Pinus merkusii) yang diperoleh dari kegiatan penyadapan dengan metoda koakan (quarre method) dan metoda V atau saluran (riil method) yang di Perhutani dikenal dengan metoda sersan terbalik. Produksi gondorukem dan terpentine nasional dari tahun 1993/94 sampai tahun 1998/99 adalah ton dan ton setiap tahunnya. Dalam tahun Perum Pehutani mampu memproduksi gondorukem dan terpentin rata-rata per tahun sebesar ton dan ton dengan tingkat rendemen rata-rata 68,2% untuk gondorukem dan 18,8% terpentin. Data ini menujukkan bahwa Perum Perhutani merupakan produsen tunggal untuk kedua produk tersebut (Subarudi, etal., 2001). Saat ini luas areal sadapan getah pinus di areal Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (selanjutnya disebut Perhutani) selama lima tahun terakhir terus menerus mengalami penurunan secara signifikan dari luasan ha (2000) menjadi ha (2004) dengan laju sekitar ha/tahun. Penyebab dari turunnya luas sadapan getah pinus disebabkan karena: (i) penghentian penyadapan di beberapa areal hutan produksi yang sudah tidak produktif, dan (ii) penghentian penyadapan karena perubahan status dari hutan produksi menjadi hutan lindung (sekitar 30%) sebagaimana ditetapkan dalam SK Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003, tanggal 4 Juli 2003 (Perhutani, 2004). Penurunan luas sadapan getah pinus membawa dampak kepada kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dimana kegiatan penyadapan ini telah membudaya dan menjadi pekerjaan utama dan sampingan. Jika hal ini tidak diantisipasi akan memunculkan kerawanan sosial dan pada akhirnya akan mengancam kelestarian dari pengelolaan hutan. Sejak keluarnya SK Menhut No. 195/2003 Perum Perhutani terus melaksanakan penyadapan getah pinus di areal hutan produksi. Namun di areal hutan produksi yang telah berubah menjadi hutan lindung (HL) telah dihentikan sementara (moratorium) sambil melihat kemungkinan-kemungkinan atau peluang pemanfaatan HL untuk kegiatan penyadapan bagi masyarakat setempat dari aspek yuridis formal, teknis penyadapan, dan keramahan lingkungan (environmentally friendly). Oleh karena itu kajian kebijakan pengelolaan HL untuk kegiatan penyadapan getah pinus sangat diperlukan oleh Perum Perhutani sebagai upaya memperoleh pendapatan (untuk pemeliharaan HL) dan membuka kembali lapangan kerja penyadapan sebagai upaya peningkatan penghasilan bagi para mantan penyadap getah di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan penyadapan getah pinus dan memberikan rekomendasi yuridis dan teknis dalam memanfaatkan HL untuk kegiatan penyadapan getah pinus sebagai upaya mencapai kelestarian HL dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan sasaran kajian ini adalah: 1. Menganalisis peraturan dan kebijakan dalam pengelolaan HL, khususnya pemanfaatannya untuk kegiatan penyadapan getah pinus. 102

30 Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan... Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa 2. Memberikan rekomendasi sistem penyadapan getah pinus yang tepat dari segi teknis penyadapan dan lingkungan (konservasi tanah dan air). 3. Memberikan alternatif pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dalam pelaksanaan penyadapan getah pinus di HL. II. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Pola pikir yang digunakan dalam melakukan kajian kebijakan pengelolaan HL khususnya pemanfaatannya untuk penyadapan getah pinus adalah pola diskusi-diskusi yang intensif dan aktif terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyadapan getah pinus (Focal Group Discussion). Untuk lebih jelasnya pola pikir tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. B. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan baik berupa diskusi dan wawancara langsung dengan para pihak terkait dengan pemanfataan HL (Gambar 2) maupun dari pengumpulan bahan dan literatur serta laporan yang berkaitan dengan pengelolaan HL sebagai penghasil barang dan jasa lingkungan. Lokasi Penelitian dilakukan di areal Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. 103

31 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : KESATUAN PENGELOLAAN HL (KPHL) PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI POTENSI DAN EKONOMI HUTAN LINDUNG UPAYA PEMANFAATAN HL YANG OPTIMAL TUJUAN PENGELOLAAN HL * KELESTARIAN *BERBASIS MASY * PRODUKTIVITAS BARANG/ HHBK JASA LINGKUNGAN ANALISIS KEBIJAKAN YURIDIS FORMAL TEKNIS PENYADAPAN TEKNIS LINGKUNGAN TEKNIS KERJASAMA POLA PELAKSANAAN PENYADAPAN GETAH DI HL EVALUASI PELAKSANAAN Gambar 1. Pola pikir yang digunakan dalam kajian kebijakan pengelolaan hutan lindung Figure 1. Framework used in the policy analysis on forest protection management 104

32 Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan... Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa Peninjauan lapangan untuk melihat lokasi tempat tumbuh pohon pinus yang dikelola Perhutani dilakukan pada: (1) Petak 49 a (Blok Cikole), RPH Lembang BKPH Bandung Utara, Wilayah Administratif Kabupaten Bandung, (2) Petak 24 a (Blok Cigendel), RPH Rancakalong BKPH Manglayang Timur KPH Sumedang, Wilayah Administratif Kabupaten Sumedang, (3) Petak 45 b (Blok Palintang), RPH Rancamanik BKPH Manglayang Barat KPH Bandung Utara, Wilayah Administratif Kabupaten Bandung, dan (4) Petak 3 b, RPH Rancakalong BKPH Manglayang Timur KPH Sumedang, Wilayah Administratif Kabupaten Sumedang. Gambar 2. Diskusi intensif antara anggota tim pengkajian dengan para pihak Figure 2. Intensive discussion among researchers with stakeholders C. Pengolahan Data Pengolahan data menggunakan metoda analisis kualitatif desktiptif dimana data dan informasi terkait dengan peraturan perundang-undangan, teknis penyadapan dan teknis konservasi tanah dan air dianalisa untuk menjawab kemungkinan penyadapan getah pinus di hutan lindung. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Luas Sadapan Getah Pinus Perum Perhutani Unit III Pohon pinus (Pinus merkusii et de Vries) merupakan jenis pohon lokal yang tumbuh secara alamiah di Provinsi Aceh (NAD) dan Sumatera Utara. Kemudian jenis pohon ini berhasil dikembangkan di daerah jawa dan Bali. Pinus ini tumbuh dengan baik pada lahan dengan ketinggian antara di atas permukaan laut (dpl) dan digunakan sebagai salah satu jenis pohon penghijauan yang ditanam hampir diseluruh pelosok Pulau Jawa (Soenardi, 1980). 105

33 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Saat ini luas areal sadapan getah pinus di areal Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (selanjutnya disebut Perhutani) selama lima tahun terakhir terus menerus mengalami penurunan sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa luas areal sadapan getah pinus menurun sangat signifikan dari luasan ha (2000) menjadi ha (2004) dengan laju sekitar ha/tahun. Laju penurunan luas sadapan terbesar berada di KPH Garut, Sumedang, Bandung Selatan, Sukabumi, Majalengka, Tasikmalaya, Bandung Utara dan Bogor. Tabel 1. Table 1. Luas sadapan getah pinus pada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dalam 5 tahun terakhir ( ) Total area of pine resin extraction at Perum Pehutani Unit III Jawa Barat and Banten for the last five years ( ) Luas Areal Sadapan (Ha) Dalam Tahun Kesatuan No. Pemangkuan Hutan Perubahan (ha/th) 1. Bogor Sukabumi Cianjur ,5 4. Purwakarta Bandung Utara ,5 6. Bandung Selatan Garut Tasikmalaya Ciamis ,5 10. Kuningan Majalengka Sumedang Jumlah Sumber (Source): Perhutani (2005). B. Kebijakan Umum (Peraturan Perundang-undangan) Secara umum kajian peraturan ini dilaksanakan untuk melihat peluang pemanfaatan HL untuk kegiatan penyadapan getah di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani, sehingga aspek yang dikaji lebih diarahkan kepada upaya pencapaian tujuan kajian, seperti: (i) pengertian dan penetapan kriteria HL, (ii) bentuk-bentuk pemanfaatan HL, (iii) persyaratan teknis penyadapan getah di HL, (iv) prosedur pengurusan ijin dan pemegang ijin penyadapan getah, dan (v) hak dan kewajiban pemegang ijin penyadapan getah. Adapun peraturan perundangan yang digunakan dalam kajian ini adalah: (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan, (3) PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, dan (5) PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. 1. Pengertian dan penetapan kriteria hutan lindung Hutan lindung didefiniskan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyanggaa kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (UU No. 41/1999, Pasal 1). 106

34 Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan... Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa Kreteria penetapan HL dijelaskan dalam PP No. 44/2004, Pasal 24: kawasan hutan dapat ditetapkan menjadi HL, apabila memenuhi salah satu kriteria: (1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; (2) kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % (empat puluh per seratus) atau lebih; (3) kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih diatas permukaan laut; (4) kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus); (5) kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; (6) kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. Berdasarkan kriteria penetapan HL tersebut, kebanyakan areal hutan produksi Perhutani yang berubah menjadi HL dikarenakan kawasan hutannya merupakan daerah resapan air. 2. Bentuk-bentuk pemanfaatan HL Secara umum pemanfaatan hutan dibatasi sebagai bentuk kegiatan: (i) pemanfaatan kawasan hutan, (ii) pemanfaatan jasa lingkungan, (iii) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta (iv) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya (PP 34/2002, Pasal 1). Sedangkan bentuk-bentuk pemanfaatan hutan pada HL terdiri dari tiga bidang pemanfaatan (UU 41/1999, Pasal 26; PP 34/2002, Pasal 19), yaitu: (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan; atau (3) pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemungutan HHBK di HL dapat dilaksanakan dengan mengambil HHBK yang sudah ada dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti pengambilan rotan, madu, buah dan aneka hasil hutan lainnya atau perburuan satwa liar yang tidak dilindungi yang dilaksanakan secara tradisional (PP 34/2002, Pasal 21). 3. Persyaratan teknis penyadapan getah di HL Pemanfaatan hutan (dalam hal ini pemungutan HHBK) hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan karena pembagian kawasan pada HL dibagi dalam 3 blok, yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan dan blok lainnya (PP 34/2002, Pasal 12). Persyaratan teknis perlakuan atas pemungutan HHBK disesuaikan dengan lokasi dan atau jenis usaha yang diatur untuk: (i) tidak menebang pohon, (ii) tidak mengganggu kelestarian pohon yang dipungut, dan (iii) tidak menggunakan peralatan mekanis (PP 34/2002, Pasal 24). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan penyadapan getah pinus di HL masuk dalam bentuk kegiatan pemanfaatan hutan butir 3, yaitu pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan hanya diperbolehkan di blok pemanfaatan. Oleh karena itu perlu dicari informasi tentang kriteria dan standar penetapan blok-blok pada HL sehingga Perhutani dapat lebih pasti dan yakin tentang perbedaan antara blok perlindungan dan blok pemanfaatan sebagai antisipasi klaim ataupun tuntutan dari para pemangku kepentingan (stakeholders). 4. Pemegang ijin dan prosedur pengurusan ijin penyadapan getah di HL Berkaitan dengan subyek pemegang ijin pemungutan HHBK di HL ditetapkan dalam UU No. 41/1999, Pasal 27 dan PP No. 34/2002, Pasal 36 adalah perseorangan dan koperasi. Tata cara dan 107

35 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : permohonan ijin dilakukan berdasarkan kewenangan pemberi ijin pada lokasi ijin tersebut dilaksanakan. Ketentuan lainnya dari pengurusan ijin adalah (i) ijin tersebut tidak dapat diberikan dalam areal hutan yang telah dibebani ijin pemanfaatan hutan, (ii) ijin tidak dapat dipindah tangankan tanpa persetujuan tertulis pemberi ijin, dan (iii) areal yang telah dibebani ijin pemanfaatan tidak dapat dijadikan jaminan atau dijaminkan kepada pihak lain (PP 34/2002, Pasal 22). Jangka waktu ijin pemungutan HHBK diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang yang jangka waktunya berakhir sesuai dengan ketentuan dalam jumlah, jenis, dan lokasi tertentu yang ditetapkan dalam ijin (PP 34/2002, Pasal 23 dan Pasal 50). 5. Hak dan kewajiban pemegang ijin penyadapan getah di HL Hak dan kewajiban pemegang ijin pemungutan HHBK (penyadapan getah) di HL tidak ada penjelasannya sebagaimana terjadi pada ijin-ijin usaha pemanfaatan hutan, ijin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha jasa lingkungan (UU 41/1999 Pasal 46 dan 47). Perlindungan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang hak dan untuk menangani pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikut sertakan dalam upaya perlindungan hutan (UU 41/1999 Pasal 48). Perlindungan hutan yang menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah di wilayah dan untuk kegiatan tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan (PP 45/2004, Pasal 3). C. Kebijakan Teknis 1. Teknis penyadapan Secara umum ada 3 (tiga) metode penyadapan pinus yang meliputi: (i) sistem kowakan (quarre), (ii) sistem saluran (Indian System), dan Sistem Portugis (Portugese system) (Sumantri, 1991). Produktivitas hasil getah ketiga sistem tersebut telah diteliti oleh Endom (1989) dengan hasil sebagai berikut: (i) sistem kowakan berkisar antara 3-4 gram/pohon/hari, (ii) sistem saluran rata-rata sekitar 5 gram/pohon/hari, dan (iii) sistem Portugis terlalu rendah yaitu sekitar 2,55 gram/pohon/hari. Kemungkinan dari data produktivitas ketiga metode tersebut, Perhutani merekomendasikan 2 metode saja, yaitu metode koakan (quare methods) dan metoda bentuk V (sersan terbalik) sebagaimana pedomannya yang ditetapkan dalam Keputusan Direksi Perhutani Nomor 688/KPTS/DIR/1985 dan Nomor 879/KPTS/DIR/1992. Untuk lebih jelasnya gambaran tentang kedua sistem tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 dan

36 Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan... Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa Gambar 4. Penyadapan pinus dengan sistem kowakan Figure 4. Pine resin extraction with quarre method (Sumber/source: Sumantri (1991) Gambar 5. Penyadapan pinus dengan sistem saluran Figure 5. Pine resin extraction with riil method Berdasarkan teori dan hasil pengamatan langsung di lapangan, tenyata metoda kowakan yang dilaksanakan Perhutani perlu pengawasan dan pengendalian di lapangan untuk menghindari kedalaman luka sadap (kowakan) yang akan mengakibatkan kayu tumbang. Temuan ini diperkuat dengan pernyataan Sumantri (1991) bahwa sistem kowakan yang dilaksanakan Perhutani menunjukkan hal-hal yang cukup rawan jika pengawasannya lemah karena ada kecenderungan penyadap membuat kowakan yang melebihi ukuran, terutama tingkat kedalaman kowakan yang besar sehingga merusak batang kayu. Kerusakan ini akan mengakibatkan pohon mudah tumbang saat terjadinya hujan lebat dan angin ribut. Oleh karena itu kepada Perhutani disarankan untuk menggunakan metode saluran (sersan terbalik) dalam kegiatan penyadapan getah pinus di HL karena metoda tersebut paling aman terhadap daya hidup pohon sehingga mempunyai peluang yang sangat kecil untuk membuat pohon roboh. Hal ini sejalan dengan penjelasan Sumantri (1991) bahwa sistem saluran diperkenalkan untuk mencari sistem penyadapan yang lebih baik dengan tujuan meningkatkan hasil dan tidak merusak pohon. 2. Teknis lingkungan (konservasi tanah dan air) Seperti telah diuraikan bahwa perubahan hutan produksi ke HL karena kriteria daerah tersebut merupakan resapan air. Dalam artian kawasan hutan tersebut sebagai penampung air di 109

37 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : musim hujan dan penyedia air di musim kemarau, sehingga dalam pemanfaatan kawasan HL tersebut perlu dipertimbangan kondisi dan situasi tanaman bawahnya. Secara umum besarnya aliran permukaan (run off) dan laju erosi dari suatu wilayah ditentukan oleh beberapa faktor penting, diantaranya: (1) Lereng lapangan: Semakin besar lereng suatu wilayah maka makin besar kemungkinan mendatangkan aliran permukaan yang besar. Makin besar aliran permukaan maka laju erosi juga semakin tinggi. (2) Lapisan tajuk: Makin banyak tingkat lapisan tajuk (bertingkat-tingkat) maka makin kecil energi kinetik butir curah hujan dalam memukul dan memecahkan butir tanah sehingga pori tanah tepat stabil. Hal ini menyebabkan kemampuan infiltrasi tanah di bawah tegakan yang lapisan tajuknya bertingkat-tingkat menjadi stabil dan cenderung besar, sehingga aliran permukaan dan erosi menjadi kecil. (3) Tanaman bawah: Tanaman ini dapat dipandang sebagai lapisan terbawah dari tajuk yang bertingkat. Tambah lebat tanaman bawah maka aliran permukaan dan erosi yang terdapat dibawahnya pasti kecil juga. (4) Jenis Tanah: Jenis tanah yang gembur umumnya mempunyai sifat mudah terbawa aliran permukaan sehingga erosi menjadi besar. (5) Curah Hujan: Daerah dengan intensitas curah hujannya (mm/jam) besar, maka kemungkinan aliran permukaan dan erosinya juga besar. (6) Serasah: Serasah mempunyai banyak peran dalam konservasi tanah dan air, seperti: (i) menahan pukulan butiran curah hujan sehingga partikel tanah tidak terpencar atau terganggu, (ii) kelembabannya lebih stabil sehingga pertumbuhan mikroorganisme di bawahnya menjadi lebih banyak, dan (iii) serasah yang terdekomposisi akan menjadi pupuk organik yang kemampuannya memegang air lebih besar. Hal ini tentunya akan meningkatkan daya infiltrasi tanah menjadi lebih besar dan erosi menjadi lebih kecil. Jika infiltrasi besar maka air yang jatuh di permukaan bumi menjadi lebih mudah dimanfaatkan karena fluktuasi debitnya menjadi kecil. Peranan serasah yang demikian besar telah diteliti oleh Coster (1938) di Ciparai, Bandung Selatan di mana daerah yang serasahnya dihilangkan akan mendatangkan aliran permukaan 510 kali dan laju erosinya meningkat kurang lebih 5 kali. Temuan ini diperkuat oleh Sriyani, et al. (1977) yang membuktikan bahwa jika lantai tanaman kopi terus menerus dibersihkan maka erosi selama 4 bulan dapat mencapai 9,6 ton/ha. Namun jika lantai tanaman kopi tidak dibersihkan, maka erosinya hanya mencapai 1,4 ton/ha. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah daerah yang tanahnya tidak stabil dalam artian sangat mudah longsor, jika ada sedikit perlakuan yang tidak benar (misalnya air tergenang, terjadi aliran air yang deras karena salah membuat saluran air dan sebagainya). Tanah-tanah yang rawan longsor sebenarnya sudah dipetakan oleh Direktorat Geologi di Bandung dan dapat dicarikan data dan informasinya. Kondisi seperti ini perlu diinformasikan terlebih dahulu kepada Pemerintah daerah setempat sehingga jika terjadi bencana di waktu yang akan datang dapat dipahami karena daerahnya memang sangat rentan akan longsor. Berdasarkan pertimbangan aspek konservasi tanah dan air, maka lokasi contoh penyadapan getah pinus di daerah Cikole, Palintang, dan Rancakalong tidak akan menimbulkan erosi yang besar kalau tegakan Pinusnya disadap dengan metoda rill. Namun yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya nanti adalah pembuatan jalan setapak yang tidak memotong kontur. Jalan setapak sebaiknya dibuat mengikuti garis kontur dan kalaupun terpaksa memotong kontur disarankan kelerengan jalan setapak maksimal 15 %. 110

38 Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan... Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa 3. Teknis kerjasama (kemitraan) Seiring dengan perkembangan pemerintahan (politik) dan penduduk (sosial, budaya dan ekonomi) yang terjadi sekarang, peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan menambah penghasilan dari para mantan penyadap getah semakin kecil, sehingga hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial dan pada akhirnya akan mengancam kelestarian dari pengelolaan hutan di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Keinginan Perhutani untuk kembali melakukan penyadapan getah pinus di HL perlu diwujudkan pelaksanaannya dalam rangka menjaga kelestarian hutan lindung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan UU No. 41/1999, Pasal 3 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: (a) menjamin keberadaan hutan yang cukup, (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari, (c) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal, dan (d) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pelaku penyadapan getah adalah perorangan dan koperasi di sekitar hutan. Pengertian perorangan adalah orang seorang anggota masyarakat setempat yang cakap bertindak menurut hukum dan Warga Negara Republik Indonesia. Sedangkan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (UU No. 34/2002, Pasal 1). Untuk memudahkan pelaksanaan penyadapan getah di HL, maka usaha koperasi dianggap paling tepat sebagai wadah komunikasi antar anggota masyarakat yang dtinggal di sekitar hutan sehingga Perhutani cukup berkomunikasi langsung dengan para pengurus koperasi tersebut. Jika keberadaan koperasi belum ada, maka Perhutani dapat memfasilitasi pembentukannya dengan mengundang pejabat dari kantor Departemen Koperasi setempat sebagai pihak yang berkompeten untuk melaksanakan pembentukan koperasi-koperasi di lingkungan masyarakat. Setelah koperasi terbentuk, maka Perhutani dalam menindak lanjuti dengan membuat aturan main yang jelas dan adil antara masyarakat dengan Perhutani dalam suatu pola kemitraan. Jika diperlukan dapat dibuat semacam Surat Perjanjian Kerja (SPK) yang sudah biasa dilakukan Perhutani dalam kegiatan berbasis bukan lahan dalam Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di kawasan hutan jatinya sebagaimana tercantum dalam Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001, tanggal 29 Maret IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Penyadapan getah pinus di Hutan Lindung dapat dikatagorikan sebagai salah satu upaya pemanfaatan hutan dalam bentuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat setempat dengan binaan oleh Perhutani. Dari segi yuridis formal, penyadapan getah pinus di HL diperkenankan dan dapat dilakukan hanya pada blok pemanfaatan dengan tidak melakukan penebangan pohon, tidak mengganggu kelestarian potensi pohon yang dipungut, dan tidak menggunakan peralatan mekanis (besar). 111

39 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Dari segi teknis penyadapan, penyadapan getah pinus di HL hanya dapat dilakukan dengan metoda penyadapan sersan terbalik (rill method) yang secara teknis tidak akan menyebabkan pohon roboh/rebah sebagaimana yang terjadi dengan metoda koakan (quare method). Namun pengawasan perlu diperhatikan lebih intensif oleh mandor Perhutani agar bidang sadapan (sisi terbuka) pada batang pohon pinus hanya sebesar 40 % dengan meninggalkan bidang yang tidak disadap (60 %) untuk upaya penyembuhan luka tersebut tertutup kembali. Selain itu jumlah dan konsentrasi bahan stimulan tidak berlebih agar pohon tidak menjadi mati. Dari segi konservasi tanah dan air, penyadapan getah pinus di HL diperkenankan sepanjang tidak mengabaikan faktor-faktor penyebab terjadinya aliran permukaan dan erosi, seperti lereng lapangan, lapisan tajuk, tanaman bawah, jenis tanah, curah hujan, serasah dan daerah-daerah yang rawan longsor. Hal lainnya adalah pembuatan jalan setapak hendaknya harus mengikuti garis kontur untuk menghindari adanya aliran permukaan dan erosi di jalur jalan tersebut. Dari segi teknis pelaksanaan, penyadapan getah pinus di HL dapat dilakukan oleh masyarakat atau koperasi. Hal ini tentunya dapat diwujudkan dalam kerangka PHBM dengan sistem bagi hasil yang proporsional antara Perhutani dengan masyarakat (60:40%) karena Perhutani menanggung biaya pembelian zat stimulan untuk kegiatan penyadapan. B. Rekomendasi 1. Penyadapan getah pinus di HL dapat diperkenankan dari segi yuridis, teknis penyadapan (metoda rill), dan teknis konservasi tanah dan air, terutama pada daerah-daerah yang ditinjau dan ditetapkan sebagai lokasi uji coba penyadapan rill di HL serta masuk kriteria blok pemanfaatan dalam HL. 2. Dalam pelaksanaan penyadapan getah pinus di suatu areal sangat diperlukan untuk meninggalkan pohon tanpa sadap sebanyak 10 pohon/ha sebagai kontrol untuk melihat perbedaan tumbuh antara pohon yang disadap dan tidak disadap. 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penyadapan getah pinus di HL perlu dilakukan secara efektif dan intensif untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak menyebabkan kematian atau merobohkan pohon dan tidak pula menyebabkan besarnya aliran permukaan dan erosi di sekitar lokasi penyadapan. 4. Untuk pelaksanaan penyadapan getah pinus di HL pada daerah-daerah lainnya perlu mempertimbangkan persyaratan teknis konservasi tanah dan air sebagai suatu langkah yang penting dan tepat. DAFTAR PUSTAKA Coster, C.H Bovengronsche en erosie op Java. Tectona DLXXXI: Endom, W Penyadapan Getah Pinus Dengan Sistem Portugis. Majalah Duta Rimba No /XV/1989. Perum Perhutani. Jakarta. Perum Perhutani Pedoman Penyadapan Getah Pinus Dengan Sistem Kowakan. SK Direksi Perhutani No. 688/KPTS/DIR/1985, Tanggal 8 Oktober Perum Perhutani Pedoman Penyadapan Getah Pinus Dengan Sistem Saluran (Metoda Rill). SK Direksi Perhutani No. 879/KPTS/DIR/1992, Tanggal 27 Agustus

40 Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan... Subarudi, Ngaloken Gintings, dan Suwardi Sumadiwangsa Perum Perhutani Kajian Teknis Penyadapan Getah Pinus di Hutan Lindung Dengan Sistem Saluran. Perum Pehutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Januari Soenardi, A Pembinaan dan Pengembangan Potensi Produksi Hasil Hutan Non Kayu. Prosiding Diskusi Hasil Hutan Non kayu. Jakarta, Juli Sriyani, N., H. Suprapto, H. Susanto, A.T. Lubis dan Y. Oki Wood population dynamics in Coffee Plantation Managed by Different Soil Conservation Techniques. Faculty of Agriculture, University Lampung and Faculty of Environmental Science and Technology Okayama University, Japan. Subarudi, N. Adi, B. Wiyono and D.S. Sukardi Statistical Data Collection and Analysis on Non Wood Forest Products in Indonesia. Paper Submitted to Food and Agriculture Organization (FAO). Sumantri, I Perbaikan sistem penyadapan getah pinus untuk meningkatkan hasil getah. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 7 (2): Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Sumantri, I., dan W. Endom Penyadapan getah pinus merkusii dengan menggunakan beberapa pola sadap dan tingkat konsentrasi zat perangsang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (3): Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Suryamiharja, S., dan Buharman Hasil hutan non kayu di Indonesia. Sylvatropika 1 (1):3-5. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta Subarudi, D. Sukadri, N. Adi and B. Wiyono Statistical data collection and analysis on nonwood forest products in Indonesia. Paper submitted to FAO. Unpublished. 113

41 KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT DI TAMAN NASIONAL KUTAI, KALIMANTAN TIMUR (Diversity of Medicinal Plant Species in Kutai National Park, East Kalimantan) Oleh / By : Noorhidayah & Kade Sidiyasa ABSTRACT Most of medicinal plant species found in Kutai National Park (49%) are belong to tree species, while herb which has already wellknown as important source of traditional medicines is only covered 10%. Based on which parts of the plants used as medicine, seem that the leaf has more popular, which is produced by 53 plant species, followed by bark (37 plant species) and roots or bulbs (35 plant species). Efforts of socializing and developing medicinal plant in Kutai National Park and the surroundings by involving all stake-holders, mainly local communities is important and may contributed of the succcess of conservation programme. Keywords : Medicinal plant, community, Kutai National Park, East Kalimantan ABSTRAK Sebagian besar (49%) dari tumbuhan obat yang teridentifikasi ada di kawasan Taman Nasional Kutai tersebut adalah berupa jenis pohon, sedangkan herba yang selama ini sudah banyak dikenal sebagai sumber utama produksi bahan obat-obatan tradisional hanya mencapai 10%. Dilihat dari bagian tumbuhan yang digunakan maka penggunaan daun merupakan yang terbanyak yakni dihasilkan oleh 53 jenis, diikuti oleh penggunaan kulit batang (37 jenis) dan akar atau umbi (35 jenis). Kegiatan sosialisasi dan pengembangan tumbuhan obat di kawasan Taman Nasional dan sekitarnya dengan melibatkan semua instansi terkait, terutama masyarakat setempat dapat merupakan satu upaya positif dalam mendukung program konservasi. Kata kunci : Tumbuhan berkhasiat obat, masyarakat, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur I. PENDAHULUAN Provinsi Kalimantan Timur memiliki hutan tropika basah yang luas dengan berbagai jenis flora dan fauna. Selain sebagai penghasil kayu, hutan ini juga memiliki potensi yang lain seperti rotan, gaharu, bahan obat-obatan, damar serta produk jasa. Keanekaragaman hayati juga merupakan sumber pengembangan dalam bidang pengobatan dan penemuan industri farmasi di masa mendatang. Jumlah tumbuhan berkhasiat obat di Indonesia diperkirakan sekitar jenis (Supriadi, 2001) atau sekitar (Sangat et al., 2000). 1 Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa Primata Samboja, Kalimantan Timur 115

42 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Taman Nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai kondisi ekosistem asli, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk diantaranya tumbuh-tumbuhan hutan yang memiliki khasiat obat. Upaya pengenalan terhadap jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat yang ada di suatu taman nasional dapat meningkatkan fungsi taman nasional sebagai sumber plasma nutfah. Taman Nasional Kutai merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang membentang searah garis katulistiwa mulai dari pantai di Selat Makassar sebagai batas bagian Timur ke arah barat daratan sepanjang kurang lebih 65 km. Kawasan ini di sebelah Utara di batasi oleh Sungai Sangatta dan HPH PT Porodisa dan di sebelah Selatan oleh Hutan Lindung Bontang, PT Indominco, PT Kitadin dan HPH PT Surya Hutani Jaya, sedangkan di sebelah Barat dibatasi oleh HPH PT Kiani Lestari. Secara administrasi pemerintahan, Taman Nasional Kutai dengan luas ha terletak di Kabupaten Kutai Timur ( + 80%), Kabupaten Kutai Kertanegara (+ 17,5%) dan Kota Bontang (+ 2,5%). Secara geografis Taman Nasional Kutai berada pada LU dan BT (Balai Taman Nasional Kutai, 2001). Kawasan Taman Nasional Kutai memiliki 6 tipe ekosistem, yaitu hutan dipterocarpaceae campuran, hutan ulin-meranti-kapur, vegetasi mangrove dan hutan pantai, hutan rawa air tawar, hutan krangas, serta hutan yang tergenang apabila banjir (Balai Taman Nasional Kutai, 2001). Pada berbagai tipe ekosistem tersebut tersebar berbagai jenis tumbuhan, termasuk tumbuhan berkhasiat obat. Seperti halnya taman nasional lain di Indonesia, Taman Nasional Kutai juga mempunyai berbagai permasalahan yang dapat mengancam kelestariannya. Secara umum permasalahan yang mengancam kawasan ini adalah kebakaran hutan, perambahan kawasan, penebangan liar serta pembukaan kawasan untuk pemukiman (Balai Taman Nasional Kutai, 2004). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa permasalahan yang ada di kawasan ini terkait dengan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan. Sehubungan dengan itu maka pengelolalaan hutan dengan melibatkan peran masyarakat lokal mungkin merupakan solusi yang harus dilakukan. Hal ini searah dengan program pembangunan kehutanan abad 21 yang telah mengubah orientasi ekonomi ke pengembangan sumberdaya alam dan masyarakat yang salah satu penjabarannya adalah mengubah orientasi dari hasil hutan kayu ke hasil hutan bukan kayu dan jasa serta menggeser pola pengusahaan hutan dari konglomerasi ke peningkatan peran masyarakat. Adanya upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pengembangan tumbuhan obat yang merupakan salah satu bentuk hasil hutan bukan kayu (HHBK) dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap kawasan. Dalam tulisan ini ada dua hal pokok yang ingin dikemukakan dan dibahas, yakni : (1) Keanekaragaman jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdapat di Taman Nasional Kutai dan (2) Kajian terhadap prospek pengembangan tumbuhan berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai dengan melibatkan masyarakat sekitar. II. PENGUMPULAN DATA Studi keanekaragaman tumbuhan berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai dilakukan melalui kajian literatur. Adapun literatur-literatur yang dijadikan bahan acuan antara lain adalah Rencana Strategis Pengelolaan Balai Taman Nasional Kutai (Balai Taman Nasional Kutai, 2001), Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Kutai Tahun 2003 (Balai Taman Nasional Kutai, 2004), hasil penelitian tentang tumbuhan obat di kawasan Taman Nasional Kutai antara lain 116

43 Keanekaragaman Tumbuhan berkhasiat Obat... Noorhidayah & Kade Sidiyasa Laporan Hasil Pengkajian, Pengembangan dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Mentoko Taman Nasional Kutai (Balai Taman Nasional Kutai, 1997), Laporan Kegiatan Identifikasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Sepanjang Boardwalk Sangkima Taman Nasional Kutai (Noorhidayah, 2004). Sedangkan pustaka-pustaka tentang tumbuhan obat Indonesia dan prospek pengembangannya antara lain Prosiding Pengembangan dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia (Zuhud et al., 1994), Tumbuhan Obat Indonesia (Supriadi, 2001), Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I - IV (Heyne, 1987) dan Prospek Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat Indonesia (Wahid et al., 2000). Data tentang jenis tumbuhan obat yang ada di kawasan Taman Nasional Kutai diperoleh dengan mengumpulkan data dari berbagai penelitian tumbuhan obat di Taman Nasional Kutai dan membandingkan daftar tumbuhan Taman Nasional Kutai dengan daftar tumbuhan obat Indonesia. Data tersebut kemudian dianalisa untuk mengetahui potensi dan prospek pengembangannya dengan pelibatan masyarakat sekitar taman nasional. III. POTENSI TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT DI TAMAN NASIONAL KUTAI Taman Nasional Kutai memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan berkhasiat obat yang cukup tinggi. Tumbuhan hutan yang berkhasiat obat ini berada pada berbagai tipe vegetasi baik pada ekosistem pantai, rawa maupun pada hutan hujan dataran rendah. Dari 690 jenis tumbuhan yang berada di Taman Nasional Kutai, 127 (18%) jenis merupakan tumbuhan hutan yang berkhasiat obat. Bahkan 56 jenis di antaranya telah dimanfaatkan oleh masyarakat Mentoko yang merupakan kelompok masyarakat yang bermukim di dalam Taman Nasional Kutai (Balai Taman Nasional Kutai, 1997). Pada luasan yang kecil saja, di kawasan ini terdapat cukup beragam jenis tumbuhan berkhasiat obat. Hasil penelitian Noorhidayah (2004) menunjukkan adanya 30 jenis tumbuhan berkhasiat obat di sepanjang boardwalk Sangkima (panjang jalur pengamatan 950 m dengan lebar 4 m, 2 m di sebelah kanan dan 2 m di sebelah kiri jalur). Jumlah jenis tumbuhan hutan yang berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai kurang lebih seperenam (1/6) dari keseluruhan jenis tumbuhan yang ada di Taman Nasional Kutai. Jumlah ini cukup besar dan berpotensi untuk dikembangkan. Jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan jenis tumbuhan obat di Indonesia, memang jumlah tumbuhan obat yang ada di Taman Nasional Kutai relatif kecil yaitu hanya 9% (di Indonesia terdapat 1300 jenis). Akan tetapi jika dikembangkan dengan sungguh-sungguh maka akan memberikan hasil yang nyata. Tumbuhan hutan yang berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai disajikan pada Tabel

44 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Tabel 1. Tumbuhan berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai Table 1. Medicinal plant species in Kutai National Park Jenis tumbuhan hutan Bagian yang No (Medicinal plant species) Kegunaan Digunakan Nama daerah Nama botani (Uses) (Useful parts) (Local name) (Botanical name) Pohon (Tree) 1 Benuang / Octomeles kulit pohon penawar racun binuang sumatrana daun obat luka infeksi 2 Blangun mati daun muda memperbanyak ASI akar obat impotensi dan demam 3 Tebu hitam Koordersiodendron pinnatum kulit pohon obat bengkak karena tumor dan luka infeksi daun muda obat ginjal 4 Ulin Eusideroxylon dapat menghitamkan rambut/ buah zwageri semir rambut biji * obat bengkak akar obat sariawan akar, kulit 5 Mahang Macaranga sp. batang * diare, disentr i kulit batang * berak darah, wanita bersalin daun,buah * obat murus 6 Tembulus kulit pohon menambah kekuatan laki-laki & menghancurkan batu ginjal 7 Karang munting Pouteria obat luka, gatal-gatal, bengkak buah malaccensis disengat lebah 8 Bawang hutan buah obat perut kembung karena masuk angin 9 Api-api Avicennia alba daun muda memperlancar buang air kecil getah* pencegah kehamilan 10 Tambu-tambu buah obat turun panas dan malaria 11 Bakau-bakau kulit racun ikan 12 Tengar Ceriops tagal getah obat luka infeksi kulit kayu sakit perut pd wanita, diabetes 13 Lengadai Bruguiera menghilangkan kuman yang biji/buah parviflora menempel pada kulit 14 Medang * Actinodaphne sesquipedalis buah obat bius 15 Ancar-ipah * Antiaris toxicaria Mas. daun, kulit kayu racun, diuretic 16 Gaharu, alim, Aquilaria dll * malaccensis kulit dan kayu obat asma dan sesak napas 17 Pohon salaksalak * Bruguiera gymnorrhiza 18 Tancang * Bruguiera sexangula akar, daun luka bakar 19 Pohan, walot * Brucea ja buah anti diare, obat demam, antipiretik 20 Pohpohan * Buchananiavanica arborescens daun 21 Nyanyamplungan* soulattri Burm.f. Calophyllum obat oles nyeri encok 22 Kenanga * Cananga odorata kulit kayu 23 Kenari hutan * Canarium hirsutum batang obat kudis, salep busung air, obat luar pembesaran limpa minyak rambut 118

45 Keanekaragaman Tumbuhan berkhasiat Obat... Noorhidayah & Kade Sidiyasa 24 Kenari * Canarium littorale kulit batang perut sembelit 25 Madang * Cerbera odollam pencahar, penyebab muntah 26 Kalak kunir * Cyathocalyx sumatranus 27 Segel * Dillenia excelsa daun demam, sakit kepala 28 Jenitri badak * Alaeocarpus stipularis tumbuhan obat luka-luka 29 Beringin * Ficus benjamina 30 Walen * Ficus ribes 31 Gondang, kondang ara * 32 Mangga hutan * 33 Cempaka kuning, cempaka, kanthil * Ficus variegata rimpang pelembab kulit Mangifera cf. indica Michelia champaka kulit batang, buah mentah, biji kulit batang diare, anti syphilis pengobatan pasca persalinan, penurun panas 34 Ki Putri * Podocarpus neriifolia daun rematik, sakit sendi-sendi 35 Baneten putih * Polyathia sumatrana buah minuman keras 36 Matoa * Pometia pinnata kulit batang Luka-luka bernanah 37 Ki pahang, memacu enzim pencernaan, bangkong, Pongamia biji, kulit penyebab muntah malapari * pinnata batang 38 Ki Pedas * Pseuduvaria kulit, daun, obat kudis, membersihkan bekas reticulata getah kudis 39 Bayur * Pterospermum javanicum kulit batang obat sakit perut 40 Bako rayap * Rhizophora apiculata kulit batang disentri 41 Bako jangkar * Rhizophora kulit batang, mucronata daun, akar obat setelah bersalin, diare 42 Ki berasi, Rhodamnia andong * cinerea seluruh bagian post partum 43 Kapidada * Sonneratia alba 44 Bogem, Sonneratia prepat * caseolaris Kedondong Spondias alas * pinnata akar obat luar pelancar haid 46 Maja keeling * Terminalicitrina tumbuhan, buahsakit perut, astringent, diare 47 Ketapang * Terminalia catappa biji, buah pencahar 48 Nyirih agung * Xylocarpus kulit batang, granatum biji disentri, kolera, demam 49 Balam * Bhesa sariawan, demam keras, rasa panas akar, kulit akar paniculata Arn. di daerah lambung 50 Pohon ponten Shorea ovalis daun muda menghaluskan kulit 51 Kayu ana - daun muda obat penyakit kulit 52 Balik angin Mallotus daun memperbanyak ASI puniculatus akar obat sakit perut karena masuk angin 53 Asam-asaman Santiria tomentosa daun obat malaria 119

46 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Retap Adina daun muda memperbanyak ASI polycephala kulit batang obat asma 55 Marlipas kulit pohon untuk menghangatkan perut kembung memperkuat lambung dan isi perut,mengempiskan perut yang kembung dan limpa yang membengkak, demam, memperlancar pembersihan darah wanita nifas, obat cacing, penolak demam, kencing manis, malaria, wasir, penyakit kulit, 56 Pulai 57 Sengkuang Alstonia scholaris Dracontomelon dao 58 Durian Durio zibithinus akar, kulit batang, getah, daun kulit batang akar, cairan daun, kulit buah, buah 59 Mampat Ixora sp. daun muda obat penguat, obat sepilis, - obat beriberi, mematikan kuman pada luka hewan, obat pematang bengkak, obat kencing batu, batuk berdahak, diare, disentri, kurang nafsu makan, hipertensi, anemia, rematik, gangguan haid, payudara bengkak karena bendungan ASI membantu keluarnya ari-ari pada wanita bersalin demam, sakit cantengan, pelancar haid dan penggugur (abortivum) obat ruam, kurap rawit, mengobati sembelit, obat jerawat memperbanyak asi dan meningkatkan daya tahan tubuh bayi dari penyakit menular 60 Kubung Macaranga akar, kulit gigantean batang diare, disentri 61 Mahang Macarang triloba daun, buah obat murus 62 Salam Syzygium polyanthum kulit, daun mencret, astrigen, obat sakit perut 63 Laban Vitex pinnata seluruh bagian obat malaria, demam, sakit perut Perdu (Schrub) 1 Antang burung akar obat luka infeksi 2 Putrid malu Mimosa pudica seluruh bagian obat tidur 3 Temali bini Leea rubra akar, daun obat disentri, obat penyakit yaws 4 Temali laki Leea indica 5 Bamban Donax sp. batang, daun muda cairan tangkai muda, cairan daun menyembuhkan luka, obat penasak darah, tuli pendengaran, sakit kepala menyembuhkan gigitan ular, engobati sakit mata daun, kulit Obat kumur-kumur sakit gigi dan gusi 6 Emos batang bengkak obat sakit pinggang, demam dan 7 Pasak bumi, Eurycoma akar meningkatkan vitalitas tubuh bidara pait longifolia akar * diuretik, antipiretik 8 Krehau daun obat malaria astringen, obat sakit perut, obat batuk, Blumea 9 Sembung * daun demam, malaria, sakit lambung, Balsamifera dan cacing 10 Kipare, kipacikrak, imer * Breynia cernua daun, kulit ayu obat bisul, obat disentrie 120

47 Keanekaragaman Tumbuhan berkhasiat Obat... Noorhidayah & Kade Sidiyasa 11 Terung ecokak * 12 Harendong * 13 Kemanden * 14 Kembang bugang * 15 Meniran sapi * 16 Daruju, jeruju, ciriju * Solanum torvum Melastoma malabathricum Melastoma polyanthum Cleodendron Ineme Callicarpa longifolia Lamk. Acanthus Ilicifolius L. akar, daun pinggang kaku, bengkak terpukul, sakit lambung, tidak datang bulan, batuk kronis daun luka bakar, berak darah, keputihan daun, getah akar bunga, akar akar, daun akar diare, disentri, gonorrhae keracunan ikan (hewan laut), kemasukan racun, luka-luka baru obat murus, Kolik, pembersih nifas, bengkak-bengak keras melancarkan getah bening, enyembuhkan jenis-jenis gondok, radang limpa, kanker, hepatitis, sakit lambung, asma, pembersih darah pada pecahnya bisul, obat cacing anak 17 Letup kulit batang obat wasir atau ambeien 18 Erot kulit batang menghaluskan kulit 19 Lola kulit batang menghaluskan kulit 20 Akar jerumit akar menyuburkan sperma dan sel telur 21 Akar plai akar jamu setelah persalinan untuk pencapaian kehendak/cita-cita 22 Panggil bunga menghaluskan kulit 23 Belimbing beku akar menurunkan tekanan darah tinggi 24 Akar bahau daun obat luka parah akar obat malaria memperbanyak ASI dan - meningkat 25 Mampat daun muda kan daya tahan tubuh bayi dan penyakit menular 26 Sumpal labu Mallotus sp. daun muda jamu kaum wanita dan - menghilangkan bau badan 27 Pemburu batang, daun mengusir iblis dan setan 28 Buta-buta lalat batang, daun mengusir lalat bunga obat sakit paru-paru dan TBC 29 Manta daun memperbanyak ASI akar obat diare 30 Marsesat kulit batang meningkatkan daya tahan tubuh Herba (Herb) 1 Pacing * Costus Rimpang, peluruh dahak, pencegah kehamilan, speciosus batang demam, cacar, penyubur rambut 2 Begonia * Begonia sp. 3 Alang-alang Imperata diuretic, antiperik, tekanan darah rimpang cylindrical tinggi, kencing manis, kencing batu 4 Keladi tikus Amorphophalu campulatus umbi obat sembelit penyembuh luka dalam 5 Belaran merah getah obat bisul 6 Akar murup akar menambah nafsu makan dan jamu setelah persalinan 7 Rumput batang, akar obat malaria sembung 8 Semangkok Daun obat TBC 9 Tilam pelanduk daun muda memperlancar pencernaan dan menambah kadar hemoglobin darah 10 Lirik daun memperlancar persalinan 11 Rumput beribit daun, akar obat malaria 12 Bentan dayak akar jamu setelah persalinan 13 Kuku kucing akar obat kencing manis 121

48 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Palem (Palm) 1 Aren, enau * Arenga pinnata Merr. 2 Salak Zalacca edulis biji Liana (Lianas) 1 Areuy kiasahan * 2 Santum, gambir * 3 Waliran akar benang tikus * 4 Ar.tualaleur, tuba * 5 Akar beluru 6 Akar sorong daging Tetracera scandens nira.gula, kulit pohon, buah, ak daun Uncaria gambir daun pengelat kencing manis, diabet, ambeien, sariawan, radang paru, disentri, sembelit, batu ginjal, dll mengobati anak-anak yang duburnya sering keluar gigitan ular berbisa Vitis papillosa daun menyuburkan rambut anak kecil Derris elliptica getah batang kulit batang obat luka infeksi obat influenza obat luka infeksi 7 Sirih hutan Piper sp. daun obat batuk, cuci mata, menghilangkan keputihan, bisul, dan luka 8 Kundur daun muda obat bengkak karena tumor dan luka dalam 9 Akar gendalu air batang obat cuci mata 10 Badang daun meningkatkan vitalitas tubuh 11 Akar kunyit batang akar menghancurkan batu ginjal dan obat sakit kuning 12 Akar ubar getah obat sariawan 13 Akar asam melu Air batang obat cuci mata Obat sefilis, rematik, - penyakit 14 Ulu bringu Smilax sp. akar penyakit darah, obat panas 15 Sirih Piper betle daun 16 Akar kupu - kupu Paku (Fern) Bauhinia tomentosa daun antisariawan,anti batuk, astrigen, antiseptik, obat kumur kalau mulut bengkak atau berbau busuk, menghentikan keluarnya darah, membersihkan luka-luka,rasa gatal, bisul kecil, obat keputihan, obat batuk dan suara parau, obat pendarahan hidung, menghentikan keluarnya air susu yang terlalu banyak, obat sakit gigi, obat sakit mata obat bengkak Lygodium obat digigit laba-laba hitam, 1. - akar, daun circinatum keseleo, luka oleh ikan lele 2. Kadaka Asplenium nidus daun mencuci rambut, sakit kepala Tidak diketahui habitusnya (Unrecognized life-form) 1. Tambu-tambu buah obat turun panas dan malaria Keterangan (Remark) : * Identifikasi dengan mencocokkan daftar tumbuhan Taman Nasional Kutai dengan daftar tumbuhan obat Indonesia (Identified by comparing the list of plant of Kutai National Park and list of medicinal plant of Indonesia) 122

49 Keanekaragaman Tumbuhan berkhasiat Obat... Noorhidayah & Kade Sidiyasa Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa beberapa jenis tumbuhan berkhasiat obat yang ada di Taman Nasional Kutai merupakan jenis kayu komersial, seperti pulai (Alstonia scholaris), ulin (Eusideroxylon zwageri), benuang bini (Octomeles sumatrana) dan bayur (Pterospermum javanicum). Hal ini dapat menjadi ancaman bagi kelestarian tumbuhan obat karena adanya kemungkinan eksploitasi oleh masyarakat. Upaya pelestarian sangat diperlukan untuk jenis tumbuhan obat tertentu yang tergolong langka di Indonesia. Jenis tersebut antara lain Aquilaria malaccensis (Wahid et al., 2000). Beberapa tumbuhan hutan yang berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai ternyata hampir sama jenisnya dengan jenis-jenis tumbuhan obat yang telah dimanfaatkan oleh beberapa etnis di Kalimantan Timur seperti Kutai, Apo Kayan, dan Dayak Benuaq. Jenis-jenis tersebut antara lain ulin (Eusideroxylon zwageri), laban (Vitex pinnata), salam (Syzygium polyanthum), tebu hitam (Koordersiodendron pinnatum) dan beberapa jenis tumbuhan liana. Di antara 127 jenis tumbuhan obat yang ada, terdapat jenis-jenis yang selama ini banyak dipakai dalam industri fitofarmaka dan obat tradisional. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah pulai (Alstonia scholaris), salam (Syzygium polyanthum), pasak bumi (Eurycoma longifolia), sirih (Piper betle), alang-alang (Imperata cylindrica) dan gaharu (Aquilaria malaccensis). Selain itu beberapa jenis tumbuhan diketahui memiliki kandungan kimia yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan kimia beberapa jenis tumbuhan berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai Table 2. Chemical content of some medicinal plant species in Kutai National Park No Jenis tumbuhan (Plant species) Kandungan kimia (Chemical content) 1 Pulai (Alstonia scholaris) Kulit kayu : Alkaloida ditamin, ekitamin, ekitenin, ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, ekitein, porfirin dan triterpan. Daun : pikrinin. Bunga : asam ursolat dan lupeol 2 Salam (Syzygium polyanthum) Minyak atsiri, tanin, flavonoid 3 Sirih (Piper betle) Minyak atsiri, phenol (chavicol) 4 Temali laki (Leea indica) Minyak atsiri, asam amorf 5 Bolok (Ficus ribes) Bahan penyamak 6 Kenanga (Cananga odorata) Minyak atsiri IV. KEANEKARAGAMAN HABITUS DAN BAGIAN TUMBUHAN YANG DIGUNAKAN Tumbuhan berkhasiat obat dapat berupa pohon, perdu, liana, herba dan habitus lainnya (Budiman et al., 2004). Untuk di kawasan Taman Nasional Kutai kondisinya adalah seperti disajikan pada Gambar

50 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 2 No. 2, Juli 2005 : Gambar 1. Keanekaragaman habitus tumbuhan hutan berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai Figure 1. Life form diversity of medicinal plant species in Kutai National Park Gambar 1. menyajikan bahwa keanekaragaman habitus tumbuhan obat di Taman Nasional Kutai adalah pohon 49%, perdu 23%, liana 13%, herba 10%, paku 2% dan palem 2%. Terdapat 1 jenis tumbuhan yang tidak diketahui habitusnya dan hanya teridentifikasi dalam nama lokal. Adanya keanekaragaman habitus ini merupakan hal yang menguntungkan dalam upaya pengembangannya. Tumbuhan hutan yang betkhasiat obat di Taman Nasional Kutai sebagian besar berupa pohon (49%). Hal ini menguntungkan namun disisi lain dapat pula merugikan karena ada kemungkinan bahwa apabila tumbuhan berkhasiat obat yang berupa pohon ini diperkenalkan ke masyarakat maka akan mengurangi kegiatan penebangan liar atau pencurian kayu, apalagi beberapa jenis tumbuhan berkhasiat obat tersebut merupakan jenis kayu komersial, misalnya ulin (Eusyderoxylon zwageri) (hal yang menguntungkan). Pengetahuan masyarakat tentang khasiat obat pada satu jenis pohon akan menjadi pertimbangan mereka untuk tidak menebang pohon tersebut kendati pohon tersebut memiliki nilai komersial, ini artinya mendukung program konservasi. Di sisi lain besarnya jumlah tumbuhan berkhasiat obat yang berupa pohon ini juga menjadi ancaman karena ada kemungkinan jenis-jenis tersebut akan terganggu atau punah akibat pengambilan bahan obat oleh masyarakat secara berlebihan. Hambatan lain, upaya pengembangan (budidaya) jenis pohon memerlukan waktu yang lama serta persyaratan tempat tumbuh yang tidak mudah. Bagian tumbuhan yang dapat digunakan dalam pengobatan antara lain akar, batang, kulit, daun, bunga, buah dan sarinya. Keanekaragaman bagian tumbuhan yang dimanfaatkan dalam pengobatan disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun, kemudian diikuti oleh kulit dan akar. Dari sisi konservasi, penggunaan daun untuk bahan obat dapat dikatakan tidak akan mengganggu pertumbuhan secara nyata. Berbeda jika yang digunakan adalah bagian akar, kelangsungan hidup tumbuhan dapat terganggu atau mungkin mati karena bagian akarnya diambil. 124

51 Keanekaragaman Tumbuhan berkhasiat Obat... Noorhidayah & Kade Sidiyasa (stem) (sap) Gambar 2. Keanekaragaman bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat Figure 2. Diversity of parts of the plant used as medicine V. KENDALA DAN PELUANG PENGEMBANGAN TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT DI TAMAN NASIONAL KUTAI Upaya pelestarian dan pengembangan tumbuhan hutan berkhasiat obat di Taman Nasional Kutai semestinya diposisikan sebagai sebuah upaya terpadu yang merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait. Pihak Balai Taman Nasional Kutai sendiri hendaknya menjadi pihak utama dalam kegiatan ini bekerja sama dengan instansi lain seperti : pemerintah daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pihak swasta. Dalam pengembangan tumbuhan hutan berkhasiat obat secara umum ada tiga kendala yang dihadapi. Kendala ini menyangkut faktor sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut : 1) Kurangnya informasi tentang tumbuhan hutan berkhasiat obat. Hal ini terkait dengan kurangnya inventarisasi dan penelitian, serta belum adanya pemetaan potensi dan penyebaran tumbuh-tumbuhan hutan yang berkhasiat obat. Belum tersedianya peta potensi dan sebaran tumbuhan obat ini menjadi kendala karena pengelola akan kesulitan dalam menentukan langkah-langkah pengelolaan. Data hasil penelitian tentang tumbuhan hutan yang berkhasiat obat dan prioritas jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan belum tersedia. Penelitian merupakan suatu sarana untuk kemajuan suatu ilmu atau pengetahuan yang berdampak sangat luas. Dampak yang paling menonjol adalah apabbila ditemukan sesuatu yang berguna bagi kemajuan kehidupan manusia secara umum atau bagi masyarakat di sekitar hutan pada khususnya. 2) Kerusakan habitat akibat kebakaran hutan, kegiatan perambahan dan pembukaan kawasan hutan, kegiatan wisata alam serta penggunaan kawasan untuk wisata massal (mass tourism). Adanya berbagai kegiatan di dalam kawasan hutan, terutama di daerah yang memiliki potensi 125

PENGGUNAAN ALAT DAN MESIN BESAR-BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN : KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN UPAYA MENGOPTIMALKANNYA

PENGGUNAAN ALAT DAN MESIN BESAR-BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN : KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN UPAYA MENGOPTIMALKANNYA PENGGUNAAN ALAT DAN MESIN BESAR-BESAR DALAM PEMBANGUNAN HUTAN : KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN UPAYA MENGOPTIMALKANNYA (The Use of Large Machineries and Equipment in Forest Development : Advantages, Disadvantages

Lebih terperinci

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT Pemadatan Tanah Akibat Penyaradan Kayu... (Muhdi, Elias, dan Syafi i Manan) PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT (Soil Compaction Caused

Lebih terperinci

ANALISA KEBIJAKAN SKEMA KREDIT DAN PEMBIAYAAN USAHA TANI HUTAN. (An Analysis on Credit Scheme And Funding Policy of Smallholder Private Forests)

ANALISA KEBIJAKAN SKEMA KREDIT DAN PEMBIAYAAN USAHA TANI HUTAN. (An Analysis on Credit Scheme And Funding Policy of Smallholder Private Forests) ANALISA KEBIJAKAN SKEMA KREDIT DAN PEMBIAYAAN USAHA TANI HUTAN (An Analysis on Credit Scheme And Funding Policy of Smallholder Private Forests) Oleh / By : Hariyatno Dwiprabowo ABSTRACT Credit scheme aimed

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus akan mengalami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan memudahkan

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan memudahkan TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hasil Hutan Pemanenan kayu menurut Conway (1987) adalah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan memudahkan pengeluaran kayu dari hutan ketempat

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM Muhdi, *) Abstract The objective of this research was to know the productivity skidding by tractor of Komatsu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : PENGELUARAN KAYU DENGAN SISTEM KABEL LAYANG DI HUTAN RAKYAT. Oleh: Dulsalam 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : PENGELUARAN KAYU DENGAN SISTEM KABEL LAYANG DI HUTAN RAKYAT. Oleh: Dulsalam 1) ABSTRAK PENGELUARAN KAYU DENGAN SISTEM KABEL LAYANG DI HUTAN RAKYAT Oleh: Dulsalam 1) ABSTRAK Pengeluaran kayu sistem kabel layang di hutan rakyat perlu mendapat perhatian mengingat sampai saat ini kegiatan pengeluaran

Lebih terperinci

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK : Arah kebijakan pembangunan hutan rakyat diarahkan pada wilayah-wilayah prioritas

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 PWH BAB II TINJAUAN PUSTAKA PWH adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi

Lebih terperinci

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN Kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB terus merosot dari1,5% pada 1990-an menjadi sebesar 0,67% pada tahun 2012 (Pertanian

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September ) KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN DALAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI 1) Oleh : Pratiwi 2) ABSTRAK Di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian

Lebih terperinci

MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara

MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara PENYARADAN KAYU DENGAN SISTEM KUDA-KUDA DI HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus di Areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd, Prop. Sumatera Selatan) PENDAHULUAN MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

TEKNIK PENYARADAN KAYU

TEKNIK PENYARADAN KAYU TEKNIK PENYARADAN KAYU Penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau ke pinggir jalan angkutan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengangkutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanenan Hasil Hutan Pemanenan kayu sebagai salah satu kegiatan pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon

Lebih terperinci

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA ISSN 1410-1939 DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA Nursanti Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak,

Lebih terperinci

TEKNIK PENGANGKUTAN KAYU DI HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus di Areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd, Prop.

TEKNIK PENGANGKUTAN KAYU DI HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus di Areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd, Prop. TEKNIK PENGANGKUTAN KAYU DI HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus di Areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd, Prop. Sumatera Selatan) MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan

Lebih terperinci

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008 KARYA TULIS KEBUTUHAN SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) MENUJU KEMANDIRIAN KPH Oleh : Nurdin Sulistiyono, S.Hut, MSi NIP. 132 259 567 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008 DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) The Effect of Reduced Impact Timber

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

EFISIENSI KEBUTUHAN PERALATAN PEMANENAN DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI, DI KALIMANTAN BARAT

EFISIENSI KEBUTUHAN PERALATAN PEMANENAN DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI, DI KALIMANTAN BARAT EFISIENSI KEBUTUHAN PERALATAN PEMANENAN DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI, DI KALIMANTAN BARAT Oleh/By SONA SUHARTANA 1), YUNIAWATI 1) & RAHMAT 2) 1) Peneliti Pusat Litbang Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Bogor.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN Oleh: Nunung Parlinah dan Indartik Ringkasan Informasi tentang produksi dan peredaran kayu penting untuk diketahui dalam rangka memahami mekanisme

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Oleh/By : Marolop Sinaga ABSTRACT

Oleh/By : Marolop Sinaga ABSTRACT PRODUKTIVITAS DAN BIAYA PRODUKSI PENEBANGAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PT INHUTANI II PULAU LAUT (Productivity and Cost of Felling Forest Plantation in PT Inhutani II Pulau Laut) Oleh/By : Marolop Sinaga

Lebih terperinci

Pengaruh Penyaradan Kayu Dengan Traktor Terhadap Pemadatan Tanah Di Kalimantan Barat

Pengaruh Penyaradan Kayu Dengan Traktor Terhadap Pemadatan Tanah Di Kalimantan Barat Pengaruh Penyaradan Kayu Dengan Traktor Terhadap Pemadatan Tanah Di Kalimantan Barat Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Saat ini masalah kerusakan hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (pendapatan) yang tinggi. Petani perlu memperhitungkan dengan analisis

BAB I PENDAHULUAN. (pendapatan) yang tinggi. Petani perlu memperhitungkan dengan analisis BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tanaman karet merupakan salah satu komoditi yang menduduki posisi cukup penting sebagai devisa non-migas dan menunjang pembangunan ekonomi Indonesia, sehingga memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PADA HUTAN RAKYAT/HUTAN MILIK/TANAH MILIK, AREAL TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

STANDARDISASI GERGAJI RANTAI UNTUK PENEBANGAN POHON

STANDARDISASI GERGAJI RANTAI UNTUK PENEBANGAN POHON STANDARDISASI GERGAJI RANTAI UNTUK PENEBANGAN POHON Oleh Sukanda dan Wesman Endom 1 Abstrak Penebangan pohon merupakan salah satu bagian dari kegiatan penjarangan dan pemanenan hutan. Gergaji rantai adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA Oleh : Apul Sianturi 1) Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestari merupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Selain itu,

TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Selain itu, TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hasil Hutan Pemanenan hasil hutan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang dapat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN. Menetapkan :

MEMUTUSKAN. Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK. 248/VI-BPHA/2007 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM A.N. PT.

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang sedang berjalan,

I.PENDAHULUAN Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang sedang berjalan, I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang sedang berjalan, khususnya dalam Repelita VI, sektor pertanian masih mempunyai peranan strategis, yaitu sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map)

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map) 19 IV. KONDISI UMUM 4.1 Profil Umum PT. Riau Andalan Pulp and Paper PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) adalah bagian dari Asia Pasific Resources International Holdings Limitied (APRIL) Group, perusahaan

Lebih terperinci

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2)

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan 2) ISSN 1411 67 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9, No. 1, 27, Hlm. 32-39 32 DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT.

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar HUTAN TERANCAM Indonesia Kehilangan hutan asli 72% (Walhi, 2009) Luas Hutan dan

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

B. BIDANG PEMANFAATAN

B. BIDANG PEMANFAATAN 5 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 145/Kpts-IV/88 Tanggal : 29 Februari 1988 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. PURUK CAHU JAYA KETENTUAN I. KETENTUAN II. TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hasil Hutan Conway (1982) dalam Fadhli (2005) menjelaskan bahwa pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kekayaan alam bangsa Indonesia yang menjadi aset berharga dalam mendatangkan devisa bagi negara, sehingga dapat memberi kontribusi yang

Lebih terperinci

Erosi Tanah Akibat Operasi Pemanenan Hutan (Soil Erosion Caused by Forest Harvesting Operations)

Erosi Tanah Akibat Operasi Pemanenan Hutan (Soil Erosion Caused by Forest Harvesting Operations) Erosi Tanah Akibat Operasi Pemanenan Hutan (Soil Erosion Caused by Forest Harvesting Operations) Ujang Suwarna 1*, Harnios Arief 2, dan Mohammad Ramadhon 3 1* Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kewirausahaan berperan penting dalam perekonomian bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Kewirausahaan berperan penting dalam perekonomian bangsa dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kewirausahaan berperan penting dalam perekonomian bangsa dan merupakan persoalan penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang berkembang. Menurut Ciputra

Lebih terperinci

Oleh : SOENARNO (Ketua) SUKADARYATI (Wakil Ketua) Prof.Riset DULSALAM (Pembina) HOTEL PERMATA, BOGOR MEI 2015

Oleh : SOENARNO (Ketua) SUKADARYATI (Wakil Ketua) Prof.Riset DULSALAM (Pembina) HOTEL PERMATA, BOGOR MEI 2015 Oleh : SOENARNO (Ketua) SUKADARYATI (Wakil Ketua) Prof.Riset DULSALAM (Pembina) HOTEL PERMATA, BOGOR 26-27 MEI 2015 1. Permasalahan dan pertanyaan a. ProduksiKB dan kebutuhan/ bahan baku kayu IUIPHHK b.

Lebih terperinci

Ohh/By: Sona Suhartana & Dulsalam

Ohh/By: Sona Suhartana & Dulsalam Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 14No. 9 (1996) pp. 374-381 PENEBANGAN SERENDAH MUNGKIN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI KAYU : STUDI KASUS DI DUA PERUSAHAAN HUTAN DI KALIMANTAN TIMUR (The lowest possible

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 20. Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan

KODEFIKASI RPI 20. Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan KODEFIKASI RPI 20 Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 KETEKNIKAN DAN PEMANENAN HASIL HUTAN Jakarta, Februari 2010 Disetujui Oleh:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Lahan Kritis Indonesia... 3 2. Asumsi... 6 3. Metodologi... 7 4. Hasil Pemodelan... 8 5. Referensi...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

SINTESIS RPI 20 KETEKNIKAN DAN PEMANENAN HASIL HUTAN

SINTESIS RPI 20 KETEKNIKAN DAN PEMANENAN HASIL HUTAN PEMNENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN Oleh: Dulsalam SINTESIS RPI 20 KETEKNIKAN DAN PEMANENAN HASIL HUTAN Koordinator: Dulsalam TARGET OUTPUT RPI 2010-1014 SINTESIS OUTPUT 1 Teknologi penentuan luas petak tebang

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci