ASOSIASI IKAN DENGAN PADANG LAMUN DI PERAIRAN KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ASOSIASI IKAN DENGAN PADANG LAMUN DI PERAIRAN KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA"

Transkripsi

1 ASOSIASI IKAN DENGAN PADANG LAMUN DI PERAIRAN KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA ANISA NOVIA SUHERMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 SUMMARY Anisa Novia Suherman. C Fish Associations with Seagrass in Karang Lebar Shallow Waters, Kepulauan Seribu, Jakarta. Under directions of Mohammad Mukhlis Kamal and Zairion. Seagrass is a complex aquatic ecosystem in trophics area with high productivity and biodiversity. This ecosystem play role of physics, chemistry, and biology. Biologically, seagrass used as spawning, feeding, and nursery ground for aquatic biota, especially fish. Seagrass is part of the coastal region where there are many human activities, such as coastal development, overfishing, boat traffic, and sand mining. One of the seagrass areas with high human activity around is Karang Lebar shallow waters, Kepulauan Seribu, Jakarta. Types of data taken in this research is primary data, including environmental parameters, condition of seagrass and fishes that live in it. Fishes caught by gill net with mesh size from cm. Sampling conducted in day and night, started from March until May 2011 with the arrest period twice a month. Observations were made at three stations of seagrass beds with different covering conditions (healthy, less healthy, and poor). Sorensen similarity index, constancy index, and fidelity index were used to determine the relationship of fish associated with seagrasses. In addition, it also used statistical tests such as Pearson correlation, biplot analysis, and Two Way ANOVA as a tool to test the truth of descriptive analysis results based on the facts as represented by data. Three seagrass species found in the observation area include Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, and Halophila ovalis. The highest cover obtained from Cymodocea rotundata. Value of total cover ranged between 26.5 % %. The highest INP of the species obtained from Cymodocea rotundata, indicate that these organisms have a great influence to the ecosystem. Fish were caught consist of 37 species and 22 genera. Total abundance was found in all three observation stations for 2287 individuals (healthy seagrass), 547 individuals (less healthy seagrass), and 889 individuals (poor seagrass). Pre-adult fish dominate at each station. While the most commonly species found are Hypoatherina temmincki, Gerres oyena, and Scolopsis lineatus. The catch composition on day and night differ in terms of abundance, type and size of the species. Adult fish were more common at night, although abundance in day were more than in the night. Based on size and species composition, healthy seagrass and less healthy seagrass functioning as nursery ground and feeding ground, while poor seagrass tend to play a role as feeding ground, especially for carnivorous fish. Change of the diversity and dominance value in the day and night allegedly due to the activity or movement of fish, which is not a permanent resident in seagrass. Referring Tomascik et al. (1997), permanent resident fish found in the observation area is Apogon margaritiphorus. Based on Sorensen similarity index, the fishes were divided into six groups of species. Constancy index ranging from 0-1, while fidelity index ranges from 0-3. Group of species 1 has a high preference on healthy and poor seagrasses, and low preference in unhealthy seagrasses. Healthy seagrass also preferred by group 6, which include Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Hemirhapus far,

3 Chrysiptera hemicyanea, and Syngnathoides biaculeatus. Groups of species that have a high preference towards less healthy habitat is group 4, with Stethojulis balteata, and Chaetodon octofasciatus. Poor seagrass habitats favored by burrowing species. Based on Two Way ANOVA, using 95% confidence interval obtained an obvious influence of different seagrass conditions on the abundance of individual. While the influence of the catch time (day-night) to the abundance of fish according to the statistic results are not significantly different. Keywords : seagrass, fish association, nursery ground, feeding ground, spawning ground.

4 RINGKASAN Anisa Novia Suherman. C Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Di bawah bimbingan Mohammad Mukhlis Kamal dan Zairion. Padang lamun merupakan suatu ekosistem perairan yang kompleks di daerah tropis dengan produktivitas dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Ekosistem ini memiliki peranan fisika, kimia, dan biologi. Secara biologis lamun adalah tempat spawning ground, nursery ground, dan feeding ground bagi biota akuatik, khususnya ikan. Padang lamun merupakan bagian dari wilayah pesisir yang mana banyak terdapat aktivitas manusia seperti pembangunan wilayah pantai, penangkapan ikan, lalu lintas kapal, dan penambangan pasir. Salah satu wilayah padang lamun dengan aktivitas manusia yang tinggi di sekitarnya adalah Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Wilayah ini dalam zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu termasuk ke dalam zona pemanfaatan untuk pemukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi padang lamun dan ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu. Jenis data yang diambil berupa data primer meliputi parameter lingkungan, kondisi lamun, serta ikan yang hidup di dalamnya. Ikan ditangkap dengan menggunakan jaring insang mesh size 0,5 3 cm. Sampling dilakukan pada siang dan malam hari pada bulan Maret Mei 2011 dengan periode waktu penangkapan dua kali dalam sebulan. Pengamatan dilakukan pada tiga stasiun padang lamun dengan kondisi penutupan yang berbeda (sehat, kurang sehat dan miskin). Analisa data yang digunakan meliputi kondisi penutupan, frekuensi, kerapatan, INP lamun, indeks keanekaragaman dan keseragaman Shanon-Wiener, indeks dominansi Simpson, kebiasaan makan, serta sebaran frekuensi panjang ikan. Untuk mengetahui hubungan asosiasi ikan dengan lamun, digunakan indeks kesamaan Sorensen, Analisis Nodul, dan Indeks Fidelitas. Selain itu digunakan pula uji statistik seperti korelasi Pearson, analisis biplot serta analisis ragam klasifikasi dua arah (Two Way Anova) sebagai alat untuk menguji kebenaran hasil analisis deskriptif berdasarkan fakta yang direpresentasikan oleh data. Tiga jenis lamun yang ditemukan di perairan Karang Lebar yakni Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Penutupan jenis tertinggi didapat dari species Cymodocea rotundata. Nilai penutupan total berkisar antara 26,5% - 82,13%. INP tertinggi sebesar diperoleh dari spesies Cymodocea rotundata menandakan bahwa biota ini memiliki pengaruh yang besar bagi ekosistem tersebut. Ikan yang ditangkap dari ketiga stasiun pengamatan terdiri dari 37 spesies dan 22 genera. Kelimpahan total yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan sebesar 2287 individu (lamun sehat), 547 individu (lamun kurang sehat), dan 889 individu (lamun miskin). Ukuran ikan yang mendominasi pada setiap stasiun adalah ukuran pra-dewasa. Sedangkan spesies yang paling banyak ditemukan adalah Hypoatherina temminckii, Gerres oyena, dan Scolopsis lineatus. Komposisi hasil tangkapan pada siang dan malam hari berbeda dalam segi jumlah, jenis dan ukuran spesies. Ikan dewasa lebih banyak ditemukan di malam hari. Berdasarkan komposisi ukuran dan jenis ikan, lamun kondisi sehat dan kurang

5 sehat berfungsi nursery dan feeding ground, sementara lamun miskin cenderung berfungsi sebagai feeding ground, terutama bagi ikan-ikan karnivora. Indeks keanekaragaman ikan yang tertinggi ditemukan pada padang lamun kondisi kurang sehat di siang hari senilai 2,3256. Perubahan nilai keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi pada siang dan malam hari diduga dikarenakan adanya aktivitas berupa pergerakan (ruaya) ikan-ikan yang bukan merupakan penghuni tetap di lamun. Mengacu Tomascik et al. (1997), ikan penghuni tetap yang ditemukan pada stasiun pengamatan adalah Apogon margaritiphorus. Berdasarkan indeks kesamaan Sorensen, ikan-ikan dibagi menjadi 6 kelompok spesies. Indeks konstansi kelompok spesies terhadap habitat berkisar antara 0-1. Sementara indeks fidelitas berkisar antara 0-3. Kelompok spesies 1 memiliki preferensi yang sedang pada lamun sehat dan miskin, serta preferensi yang rendah pada habitat lamun dengan kondisi kurang sehat. Habitat lamun sehat juga disukai oleh ikan dari kelompok 6 yang meliputi Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Hemirhampus far, Chrysiptera hemicyanea, dan Syngnathoides biaculeatus. Kelompok spesies yang memiliki preferensi tinggi terhadap habitat kurang sehat adalah kelompok spesies 4, dengan anggota Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus. Habitat lamun miskin disukai oleh kelompok spesies 2 yang beranggotakan spesies dengan kebiasaan meliang. Berdasarkan analisis Two Way Anova, pada SK 95% didapatkan pengaruh yang nyata dari perbedaan kondisi lamun terhadap kelimpahan individu. Sedangkan pengaruh waktu penangkapan (siang dan malam) terhadap kelimpahan ikan menurut hasil statistik tidak terdapat berbeda nyata. Kata kunci : padang lamun, asosiasi ikan, nursery ground, feeding ground, spawning ground.

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi penelitian yang berjudul : Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir usulan penelitian ini. Bogor, November 2011 Anisa Novia Suherman C

7 ASOSIASI IKAN DENGAN PADANG LAMUN DI PERAIRAN KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA ANISA NOVIA SUHERMAN C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 PRAKATA Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta., disusun berdasarkan hasil penelitian di Kepulauan Seribu yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2011 dan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya, Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, November 2011 Penulis

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 22 November 1989 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan ayah Endang Suherman dan Ibu Eni Karyani. Penulis menjalani pendidikan formal dari TK. Bhayangkari (1994), SDN V Banjarsari (1995), SLTPN 9 Bandung (2001), SMAN 12 Bandung (2004), dan diterima sebagai mahasiswa IPB di jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjalan perkuliahan penulis mendapatkan kesempatan menjadi Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Ekologi Perairan S-1 dan D-3 pada tahun Penulis juga berkecimpung dalam kegiatan organisasi HIMASPER sebagai anggota divisi Minat dan Bakat (2010), manager Paduan Suara Endeavour (2010), dan beberapa kepanitiaan serta seminar di dalam maupun di luar FPIK. Pada tahun 2009 hingga 2011 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa dalam tiga bidang meliputi Kewirausahaan, Gagasan Tertulis, dan Pengabdian Masyarakat. Salah satu karya penulis (kelompok) yang didanai oleh DIKTI dan berjalan di tahun 2011 adalah Desalinasi Menggunakan Metode Evaporasi untuk Mengatasi Kelangkaan Air Tawar Pada Musim Kemarau di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta.

10 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc dan Ir. Zairion, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan berupa masukan dan saran selama pelaksanaan penelitian, penyusunan skripsi, dan masa perkuliahan. 2. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, serta Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji tamu atas masukan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. Ir. Enan M Adiwilaga, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan motivasi selama menjalani perkuliahan. 4. PKSPL-IPB, khususnya Dr. Ir. Lucky Adrianto, M.Sc atas perhatian dan bantuan dalam penelitian ini. 5. Para Staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar dan Mba Yani, serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan kepada penulis. 6. Keluarga tercinta, khususnya Ayah (Endang Suherman), Ibu (Eni Karyani), serta adik (M. Reza PS) untuk dukungan, doa, semangat, kesabaran,dan kasih sayangnya yang begitu tulus kepada penulis. 7. Harun Al Rasyid S.Pi, Bapak Dahlawi serta keluarga yang telah banyak membantu proses pengambilan data di lapangan, memberikan informasi, doa, dan dukungan selama penelitian berlangsung. 8. Rekan-rekan Tim Pulau Seribu (Ari, Nugrah, Armaya, Mega, Sandi) untuk suka dan duka selama penelitian dan masa perkuliahan. 9. Teman-teman MSP 44 (Amanah, Eci, Rini, Furry, Ipul, Ekie, Dede, Arif N, Dita, Alim, Linggom, Adek), MSP 41-43, dan Ucup (ITK 43) atas doa, bantuan, dukungan, dan kerjasama selama perkuliahan hingga penelitian. 10. Sahabat Dwi Regina B (Tiara, Rini, Dewi, Pipit, Cemil, Sita) dan Teh Dede atas doa dan dukungan, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

11 xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Faktor Lingkungan Distribusi Lamun Fauna yang Berasosiasi dengan Padang Lamun Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Disain Sampling Metode Pengambilan Data Metode observasi langsung Analisis laboratorium Analisis Data Lamun Ikan Asosiasi ikan dengan lamun HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Karang Lebar Karakteristik Padang Lamun Komposisi jenis lamun berdasarkan kepadatan jenis Komposisi lamun berdasarkan penutupan jenis Komposisi lamun berdasarkan frekuensi jenis Indeks nilai penting lamun Biomassa lamun Kondisi Ikan Kelimpahan ikan secara spasial dan temporal Komposisi ukuran ikan per stasiun Bobot total ikan hasil tangkapan Komposisi per-sampling Keanekaragaman (H ), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii Kebiasaan makanan ikan xiv xv xvi

12 xiii 4.4. Hubungan Keterkaitan Lamun dengan Ikan Korelasi pearson Indeks kesamaan sorensen Indeks konstansi (C ij ), indeks fidelitas (F ij ) Analisis biplot Analisis ragam klasifikasi dua arah (two way Anova) Implikasi untuk Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 57

13 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1. Status padang lamun Parameter fisika dan kimia Kelas dominansi penutupan Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Biomassa lamun Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan Korelasi biomassa lamun terhadap ikan Korelasi kerapatan lamun terhadap ikan Indeks konstansi (C ij ) Indeks fidelitas (F ij ) Analisis Anova... 54

14 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir perumusan masalah Lokasi penelitian Teknik penempatan transek garis Petak pengambilan contoh lamun Kepadatan lamun Penutupan jenis lamun Frekuensi jenis lamun Indeks nilai penting lamun Persentase Selisih biomassa Jumlah spesies ikan Jumlah total individu Komposisi ukuran ikan Total Biomassa Ikan Hasil sampling Hasil sampling Hasil sampling Hasil sampling Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii Persentase makanan Hypoatherina temminckii Hasil analisis biplot di siang hari Hasil analisis biplot di malam hari... 52

15 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data hasil tangkapan Nilai parameter fisika dan kimia perairan pada stasiun pengamatan Baku mutu air laut untuk biota laut (KepMenLH No.51 th.2004) Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun Keadaan stasiun pengamatan Jenis-jenis lamun di Karang Lebar Ikan-ikan hasil tangkapan Data kelimpahan spesies, famili, dan biomassa ikan Data kebiasaan makan dan ukuran ikan... 76

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padang lamun (seagrass bed) adalah ekosistem yang kompleks di daerah tropis dengan produktivitas dan keanekaragaman yang cukup tinggi. Dalam cakupan wilayah yang lebih besar padang lamun termasuk ke dalam ekosistem pesisir, di samping terumbu karang dan mangrove. Ketiga ekosistem ini membentuk suatu hubungan keterkaitan untuk menopang fungsi pesisir sebagai essential habitat bagi biota akuatik. Peran lamun secara ekologi adalah sebagai habitat bagi biota akuatik (wilayah pengembalaan, wilayah pemijahan, dan tempat mencari makan), produsen primer, carbon sink, penangkap sedimen dan nutrien, serta penahan gelombang. Ekosistem ini sering dijumpai pada daerah pasang surut pinggir daratan, dekat terumbu karang, dan terkadang menyatu dengan terumbu karang (Tomascik et al. 1997). Menurut Nagelkerken et al. (2000), kelimpahan dan kekayaan jenis spesies tertinggi biasa ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi mangrove. Padang lamun memegang peranan penting dalam penyediaan stok ikan tangkapan nelayan sekitar. Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kiswara (1994) di Teluk Banten dimana penurunan 35% jumlah padang lamun berakibat langsung pada penurunan jumlah ikan muda. Pernyataan ini diperkuat oleh Kopalit (2010) yang menyatakan bahwa penutupan lamun berkorelasi sangat erat dengan kelimpahan ikan. Perairan Karang Lebar merupakan bagian dari perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu. Pada perairan dangkal ini terdapat berbagai ekosistem terumbu karang dan lamun. Padang lamun yang terdapat di Karang Lebar tersebar dalam beberapa wilayah yang mana di antara pulau dan tubir terdapat gobah. Habitat padang lamun di Karang Lebar berdekatan dengan terumbu karang dan terkadang bersatu dengan terumbu karang. Di wilayah ini, lamun membentuk suatu komunitas lamun yang homogen dan beberapa diantaranya membentuk komunitas yang terdiri dari 2-3 spesies lamun (Azkab 1991 in Tomascik et al. 1997). Ikan yang banyak ditemukan di perairan ini adalah dari famili Siganidae, Lethrinidae, dan Labridae.

17 2 Ancaman pada ekosistem lamun atau yang lebih dikenal dengan nama lokal samu-samu di daerah Karang Lebar didominasi oleh pengaruh antropogenik yang diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti penambangan pasir, pembangunan daerah pantai, dan aktivitas perahu dan kapal. Dampak yang nyata dari kegiatan ini berupa peningkatan kekeruhan perairan, yang menjadi faktor pembatas bagi kehidupan lamun. Kerusakan lamun dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan yang berasosiasi dengan lamun, diantaranya baronang (Siganidae) dan lencam (Lethrinidae). Mengingat pentingnya peranan sumberdaya lamun bagi biota yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut, maka diperlukan kajian mengenai keterkaitan lamun terhadap biota laut yang berasosiasi terutama ikan serta pengaruh lingkungan yang dapat memodifikasi keeratan hubungan tersebut Rumusan Masalah Daerah padang lamun di Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Tangkapan utama para nelayan ini berupa ikan lencam (Lethrinidae), baronang (Siganidae), dan kakatua (Lebridae). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tradisional, saat ini terjadi penurunan kelimpahan dan ukuran ikan. Penurunan kelimpahan dan ukuran ini diduga terjadi akibat adanya degradasi lingkungan, khususnya lamun. Degradasi lamun diakibatkan oleh ancaman yang berasal dari pengaruh alami dan aktivitas manusia. Ancaman yang terlihat jelas dan mendominasi degradasi lamun di perairan Karang Lebar berasal dari pengaruh antropogenik. Ancaman tersebut meliputi penambangan pasir, pembangunan daerah pantai, serta kegiatan penangkapan dan pelayaran menggunakan kapal motor yang dapat mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan. Peningkatan kekeruhan air dapat mengganggu kesehatan lamun dan fungsi lamun sebagai produsen primer. Mengacu pada Kiswara (1994), degradasi lamun yang juga terlihat nyata di wilayah Indonesia adalah degradasi lamun di Perairan Banten akibat reklamasi, pengurugan, dan perluasan wilayah industri. Kerusakan ini menyebabkan hilangnya 50 hektar padang lamun di Teluk Banten yang berimbas pada penurunan jumlah ikan muda. Tingginya aktivitas yang terjadi di kawasan ini dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan lamun seperti

18 3 yang telah terjadi di Banten, dan mengganggu fungsi fisik dan ekologis lamun. Untuk itu dirumuskan permasalahan pada Gambar 1. Ancaman Alami - gelombang pasang -angin topan -siklon -sedimen - predator Peran Lamun -habitat biota -produsen primer -penahan arus -penstabil sedimen -fiksasi karbon -sumber nutrien Ancaman Manusia -penambang pasir -pembangunan pantai -pencemaran -aktivitas perahu Degradasi Padang Lamun - struktur komunitas ikan - fungsi habitat lamun Rekomendasi Pengelolaan Lamun Gambar 1. Diagram alir perumusan masalah

19 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan penutupan lamun, serta komposisi jenis dan ukuran ikan yang berasosiasi dengan padang lamun Manfaat Penelitian ini diharapkan mampu menjadi informasi bagi pengelolaan perairan intertidal khususnya di daerah lamun Kepulauan Seribu, Jakarta.

20 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut, di wilayah perairan pesisir mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 40 meter (Kiswara 1997). Tumbuhan ini memiliki struktur morfologi yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji. Fungsi akar lamun adalah sebagai tempat penyimpanan O 2 hasil fotosintesis dan CO 2 yang digunakan untuk fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Rimpang dan akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen sehingga meningkatkan stabilitas permukaan air di bawahnya, dan saat itu air menjadi lebih jernih karena sedimen halus turun ke bawah, lalu berada diantara akar dan tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak dan arus (Hutomo and Azkab 1987). Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus. Selain itu kondisi substrat dasar, kejernihan perairan dan adanya pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis, kerapatan, dan biomassa lamun. Menurut BTNKpS (2004) in Dwintasari (2009), jenis lamun yang tumbuh di wilayah pemukiman dengan kondisi lingkungan seperti kecerahan dan substrat yang kurang baik, serta adanya masukan pencemaran biasanya memiliki rata-rata kerapatan dan biomassanya yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau yang bukan pemukiman Faktor Lingkungan Kecerahan perairan sangat penting bagi ekosistem lamun, karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Campbell et al (2006) in Munira (2010) menyatakan bahwa penyinaran matahari berkorelasi positif dengan standing crop lamun, namun jika terlalu ekstrim dapat mengganggu pertumbuhan (Waycott et al. 2007). Suhu perairan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kelarutan oksigen yang diperlukan bagi respirasi biota akuatik. Suhu optimum yang dipelukan oleh tumbuhan ini berkisar 28-30ºC. Sedangkan dalam proses fotosintesis lamun

21 6 membutuhkan suhu optimum antara 28-35ºC. Salinitas yang ideal bagi kehidupan lamun senilai ±35. Penurunan salinitas akan mengganggu proses pertumbuhan dan menurunkan laju fotosintesis (Waycott et al. 2007). Sementara itu ketebalan dan kestabilan substrat akan mempengaruhi pertumbuhan. Semakin tebal substrat maka lamun akan tumbuh baik dengan daun yang panjang dan rimbun, yang disertai dengan pengikatan dan penangkapan sedimen yang tinggi. Peranan ketebalan substrat dan stabilitas sedimen mencakup pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasukan nutrien. Arus pasang dan surut yang kuat mengakibatkan sulitnya lamun untuk menancapkan akarnya, sehingga lamun sulit berkembang biak dengan baik (Susetiono 2004 in Kopalit 2010) Distribusi Lamun Tumbuhan ini memiliki adaptasi yang memungkinkannya untuk dapat hidup di laut, antara lain : mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal di bawah permukaan air, mempunya sistem reproduksi secara vegetatif dan generatif, mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu bersaing dengan organisme lain di bawah kondisi lingkungan media air asin (Philips and Mendez 1998 in Kopalit 2010). Penyebaran lamun terbilang luas, mulai dari Arktik sampai ke Benua Afrika dan Selandia Baru. Lamun memiliki sebaran yang luas pada habitat litoral berpasir, tapi tetap mampu hidup di semua substrat, mulai dari lumpur hingga bebatuan (Nybakken 1997). Jumlah spesies lamun di seluruh dunia yang teridentifikasi adalah sebanyak 58 spesies dalam 12 genus, 4 famili, dan 2 ordo (Kuo and McComb 1989 in English et al. 1997). Sedangkan jumlah spesies lamun di Indonesia tercatat ada 12 spesies yang tersebar di beberapa perairan di Indonesia seperti, Selat Flores, Teluk Jakarta, Teluk Banten, Kepulauan Seribu, dan Kepulaun Riau (Kiswara 1997). Menurut Tomascik et al. (1997), di Kepulauan Seribu ditemukan delapan jenis spesies lamun. Spesies tersebut meliputi Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, H. minor, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Spesies yang dominan di intertidal paparan karang adalah Thalassia hemprichii dengan penutupan yang rendah, kurang dari

22 7 10%. Sedangkan di wilayah subtidal, didominasi oleh Enhalus acoroides yang biasa berkumpul dalam hamparan padang lamun monospesies (Kiswara 1992). Berdasarkan genangan air dan kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara 1997): 1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah. Contoh: Halodule pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acaroides. 2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 m. Contoh: Halodule uninervis, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron ciliatum. 3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum. Secara fisik, lamun berfungsi untuk menstabilkan dasar perairan, menangkap sedimen hasil erosi dari daratan (Kikuchi and Peres 1997 in Kiswara 1993). Lamun yang terdapat di hamparan karang juga berfungsi untuk menenggelamkan, menyangga, serta menyaring nutrien dan bahan kimia yang masuk ke lingkungan perairan (English et al. 1994). Peranan padang lamun secara biologis adalah sebagai habitat penting bagi ikan-ikan (spawning, nursery, dan feeding ground), memberikan perlindungan bagi ikan, sumber utama detritus, mendukung rantai makanan, dan juga berfungsi sebagai produsen primer. Sebagai tambahan, padang lamun juga menjadi habitat kritis bagi beberapa spesies yang terancam punah seperti Dugong dugon dan Chelonia mydas (Waycott et al. 2007) Fauna yang Berasosiasi dengan Padang Lamun Untuk suatu kejelasan, Howard et al in Tomascik et al. 1997) membagi empat kelompok fauna permanen dan transit yang ada di padang lamun, tanpa melihat alasan ekologis atau biologis tertentu, yaitu : 1. Infauna (organisme yang hidup dalam sedimen)

23 8 2. Motile epifauna (fauna motile yang berasosiasi dengan lapisan permukaan sedimen) 3. Sessile epifauna (organisme yang melekat pada salah satu bagian dari lamun), 4. Epibenthic fauna (fauna yang bergerak dalam jarak yang luas di padang lamun). Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat seperti Samudra Hindia, Samudra Pasifik, dan Mozambique membuktikan bahwa lamun berfungsi sebagai habitat untuk ikan (Kopalit 2010). Lamun yang kaya akan nutrien menjadi sumber makanan bagi ikan muda. Helai daun lamun menjadi tempat perlindungan yang ideal dari ancaman predator dan sengatan matahari serta menjadi tempat penempelan epifit yang menjadi makanan bagi beberapa ikan (Baker and Sheppard 2006). Diduga beberapa ikan muda masuk ke padang lamun saat masa planktonik hingga usia muda. Setelah ikan menjadi berukuran dewasa, lamun tidak lagi menjadi tempat yang baik untuk bersembunyi dari predator. Peranan padang lamun sebagai tempat mencari makan diperlihatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roblee dan Ziemann (1984) di Tague Bay. Sekitar 15 spesies yang ditemukannya adalah ikan nokturnal yang berpindah tempat di malam hari untuk mencari makan, dan lebih dari 87% pengunjung nokturnal didominasi oleh ikan karang. Tak hanya terbatas pada ikan nokturnal, lamun pun dijadikan sebagai feeding ground bagi juvenile ikan karang yang bermigrasi di siang hari. Dolar (1989) in Kopalit (2010) menyebutkan, keanekaragaman dan kelimpahan spesies ikan di padang lamun berhubungan dengan kelimpahan Crustacea seperti udang. Hal ini dikarenakan beberapa ikan menjadi predator penting bagi juvenile udang yang bermigrasi dari mangrove ke lamun Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun Hutomo and Martosewojo (1977) in Tomascik et al (1997) membagi asosiasi ikan dengan padang lamun menjadi empat kategori utama, yakni : 1. Penghuni penuh yang memijah dan menghabiskan sisa hidupnya di padang lamun, misalnya Apogon margaritophorus 2. Penghuni yang menghabiskan hidupnya di padang lamun selama masa juvenil hingga siklus dewasa, tetapi memijah di luar padang lamun, misalnya Halichoeres leparensis

24 9 3. Penghuni yang menghabiskan tahapan juvenilenya di padang lamun, misalnya Siganus canaliculatus 4. Penghuni berkala atau transit untuk mencari makan dan berlindung. Berdasarkan karakteristik asosiasi ikan dengan padang lamun, Bell dan Pollard (1989) in Tomascik et al. (1997) mengidentifikasi 7 karakteristik kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun, meliputi: 1. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan pada ekosistem lamun lebih tinggi daripada daerah yang berdekatan dengan substrat kosong seperti pasir, pecahan karang, dan lumpur. 2. Lamanya asosiasi ikan dan dengan ekosistem lamun berbeda setiap spesies dan stadia hidupnya. 3. Sebagian besar asosiasi ikan dengan ekosistem lamun berasal dari plankton, sehingga padang lamun merupakan wilayah yang penting bagi pembibitan spesies komersial penting. 4. Zooplankton dan Crustasea epifauna merupakan makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun. Tumbuhan, detirtal, dan komponen infauna dari jaring makanan padang lamun kurang dimanfaatkan oleh ikan. 5. Perbedaan yang jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi spesies terjadi pada sebagian besar ekosistem lamun. 6. Hubungan yang kuat terjadi antara ekosistem lamun dengan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan pada ekosistem lamun menjadi tergantung pada tipe terumbu karang, estuaria, mangrove. 7. Kumpulan ikan dari ekosistem lamun yang berbeda sering kali akan berbeda pula walaupun dua habitat tersebut berdekatan. Menurut Phillips and Mennez (1998) in Kopalit (2010), struktur komunitas lamun setidaknya terdiri dari tiga subkomponen utama yang saling terkait, yakni : komposisi tumbuhan dan hewan, susunan organisme dalam ruang dan waktu, serta hubungan timbal balik dalam komunitas dan lingkungan abiotik. Ekosistem lamun biasanya berbatasan dan berinteraksi dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove. Interaksi dari ketiga ekosistem ini meliputi lima interaksi utama berupa : fisik, nutrien, bahan organik terlarut, bahan organik tersuspensi, ruaya hewan, dan dampak manusia (Hutomo and Azkab 1987). Lamun yang berasosiasi dengan

25 10 terumbu karang diperkirakan menyumbang 12% hasil tangkapan dunia, dan menyediakan lebih dari 1/5 perikanan tangkap di negara berkembang (Fortes 1990 in Munira 2010). Pada daerah subtropis, seluruh produksi tumbuhan di padang lamun digunakan oleh invertebrata sebagai sumber energi. Sedangkan di daerah tropis, aliran energi terletak pada ikan herbivora. Ikan ini berperan sebagai agen penghubung dari produsen primer ke konsumen tingkat tinggi. Menurut Hutomo dan Azkab (1987), ikan-ikan pemakan lamun adalah ikan terumbu diurnal yang meliputi Scarrus sp., Sparisoma sp., dan famili Siganidae. Ekosistem lamun dengan kepadatan yang tinggi mampu mendukung tingginya kepadatan ikan. Tinggi rendah dan besar kecilnya ukuran daun juga mempengaruhi kemampuan lamun dalam menyokong kelimpahan ikan. Ekosistem lamun dengan vegetasi campuran (keanekaragaman tinggi) didominasi oleh lamun yang berdaun pendek, sehingga kurang mendukung kepadatan ikan dan keragaman spesies (Tomascik et al. 1997).

26 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Stasiun pengamatan tersebar pada tiga titik di perairan karang lebar yang dianggap mewakili kondisi penutupan lamun berdasarkan KepMenLH No. 200 tahun Penelitian dibagi ke dalam tiga tahap yakni, tahap pertama diawali penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pengumpulan dan analisis data serta penentuan titik sampling yang dilaksanakan pada bulan Februari Tahap kedua adalah pengumpulan data dan informasi berupa studi lapang, studi literatur, dan laboratorium, pada bulan Maret hingga April Tahap terakhir adalah pengolahan data sesuai analisis data yang telah ditentukan. Analisis laboratorium dilakukan di dua tempat terpisah, meliputi Laboratorium BioMikro untuk analisis kebiasaan makan, sedangkan analisis berat kering lamun dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Peta Lokasi Penelitian Gambar 2. Lokasi penelitian

27 Disain Sampling Sampling bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian, meliputi data ikan (jenis, jumlah, ukuran, dan kebiasaan makan ikan), data lamun (jenis lamun, presentasi penutupan, kerapatan, dan biomassa lamun), serta parameter lingkungan (kecerahan, kedalaman, suhu, substrat, dan ph). Pengambilan data masing-masing parameter dilakukan pada tiga titik hamparan lamun dengan kondisi persen penutupan lamun yang berbeda. Selain itu, titik sampling juga ditentukan berdasarkan keterwakilan karakteristik lamun di daerah Karang Lebar. Penentuan lokasi pengamatan dengan penutupan yang berbeda mengacu pada Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang status kondisi ekosistem lamun. Penentuan kriteria tertera dalam Tabel 1 Tabel 1. Status padang lamun Kondisi Penutupan (%) Kaya/Sehat 60 Kurang Kaya/Kurang Sehat 30-59,9 Miskin 29,9 Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 tahun 2004 Sampling ikan dan parameter lingkungan dilaksanakan dalam interval 2 minggu selama 2 bulan. Pengamatan selama 2 bulan dilakukan agar didapatkan repetisi siklus pergantian bulan. Repetisi pergantian siklus bulan ini didasari adanya pengaruh fase bulan dalam aktivitas reproduksi ikan-ikan Siganidae (Munira 2010) yang merupakan salah satu penghuni lamun. Sampling ikan dilakukan dengan cara penangkapan langsung, sementara pengambilan data lamun dilakukan sebanyak satu kali dengan menggunakan transek garis dan transek kuadrat seperti yang disebutkan dalam English et al. (1994) Metode Pengambilan Data Pengumpulan data dalam penelitian diperoleh dengan tiga metode yang berbeda. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut : Metode observasi langsung Metode ini merupakan metode yang umum digunakan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati dan mengukur langsung objek

28 13 yang akan diamati. Data yang diambil menggunakan metode observasi ini meliputi : a. Kondisi fisika kimia perairan Data fisika dan kimia perairan diambil untuk menggambarkan kondisi lingkungan tempat pengamatan dilakukan. Parameter yang diamati beserta metode dan satuan ukurannya dituangkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Parameter fisika dan kimia perairan. No Parameter Satuan Alat/Metode*) Pengukuran FISIKA 1 Suhu ºC Termometer raksa/pemuaian In situ 2 Kedalaman M Tongkat berskala/visual In situ 3 Kecerahan M Secchi disk/visual In situ 4 Tipe Substrat - Visual In situ 5 Salinitas Ppm Refraktometer In situ KIMIA 1 ph ph universal In situ b. Lamun Data lamun yang diambil dengan metode observasi langsung adalah penutupan, jenis lamun, dan jumlah tegakan per spesies. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan sample lamun per spesies untuk analisis laboratorium. Langkahlangkah pengamatan lamun adalah sebagai berikut : (1) Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan tiga buah transek garis dengan posisi sejajar satu sama lain (Gambar 3). Posisi padang lamun yang telah ditentukan di awal dicatat dalam GPS (Geographic Positioning System) sebagai pedoman dalam sampling selanjutnya. Gambar 3. Teknik penempatan transek garis dan transek kuadrat

29 14 (2) Pada tiap transek garis ditempatkan sebuah transek kuadrat dengan ukuran 50 x 50 cm yang disekat menjadi 25 bagian dengan ukuran masing petak 10x10 cm (Gambar 4). Jarak antar transek kuadarat diseragamkan dan disesuaikan dengan luas padang lamun yang diamati. 10 cm 50 cm Gambar 4. Petak pengambilan contoh lamun (3) Dalam tiap transek kuadrat yang telah ditempatkan, dilihat jenis dan kerapatan lamun. Kerapatan diketahui dengan menghitung jumlah tegakan lamun per spesies yang sama. Selain kerapatan, dihitung pula persen penutupan lamun pada tiap transek kuadrat. Penghitungan persen penutupan lamun dapat dipermudah dengan bantuan kamera bawah air. (4) Identifikasi jenis lamun berpedoman pada CRC Reef Research Centre (2004) serta McKenzie and Yoshida (2009). Sedangkan penentuan persen penutupan lamun mengacu pada kelas dominansi yang dikembangkan Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994). Kelas dominansi tersaji dalam Tabel 3 Kelas 5 Tabel 3. Kelas dominansi penutupan Jumlah substrat yang tertutup % penutupan substrat Titik Tengah % (M) 1/2 hingga semua /4 hingga 1/ ,5 3 1/8 hingga 1/4 12, ,75 2 1/16 hingga 1/8 6,25-12,5 9,38 1 < 1/16 < 6,25 3,13 0 Absent 0 0 Sumber: Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994) (5) Pengambilan contoh lamun untuk perhitungan biomassa dilakukan pada petak yang telah ditentukan (Gambar 4). Cara yang dipaparkan dalam English et al.

30 15 (1994) ini ditujukan untuk meminimalisir kerusakan lamun akibat pencabutan tanaman. Lamun yang telah diambil kemudian dikeringkan dari air dan pasir agar berat basah dapat diketahui. Setelah ditimbang berat basah, lamun disimpan untuk penimbangan berat kering dalam skala laboratorium. Data lamun yang telah didapatkan kemudian diolah menggunakan data analisis yang ditentukan. c. Ikan Observasi langsung terhadap ikan sebagai makrofauna yang hidup di lamun dilakukan melalui cara penangkapan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 2 cm dan 0.5 cm, lengkap dengan pemberat dan pelampung. Sedangkan jaring kantung yang digunakan adalah jaring halus untuk menangkap larva atau juvenile. Pengamatan dilakukan dua kali sehari (siang dan malam, mengikuti pola pasang surut air). Hal ini dilakukan karena adanya pola dan perbedaan komposisi ikan dalam lamun pada siang dan malam hari. Penangkapan dilakukan dengan langkah-langkah berikut : (1) Padang lamun yang telah dipilih sebagai area pengamatan dilingkari menggunakan jaring insang. Pelingkupan dilakukan menggunakan bantuan kapal dan nelayan agar proses pelingkupan lebih cepat dan ikan tidak keluar dari area yang akan dilingkupi. (2) Area lamun yang telah dilingkari kemudian ditepuk bagian dalamnya. Hal ini dilakukan agar ikan yang terlingkari ketakutan dan menabrak jaring. Khusus ikan berukuran kecil (juvenile), penangkapan dilakukan dengan menggunakan jaring halus. Ikan yang telah didapat kemudian disortir berdasarkan jenis dan ukurannya untuk diidentifikasi serta diukur panjang dan bobot. Panjang ikan diukur menggunakan papan berskala, dengan ketelitian 0,1 cm. Jenis pengukuran yang dilakukan adalah panjang total, mulai dari ujung mulut hingga ke ujung ekor. Sementara bobot ikan diukur menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram. Penentuan kategori stadia ikan didasarkan pada panjang maksimum dan panjang ikan pertama kali matang gonad yang didapatkan dari Sampel ikan yang diambil untuk analisis laboratorium dimasukkan ke dalam kantong plastik bening yang telah diisi formalin 10% hingga memenuhi permukaan sampel ikan. Data hasil dicatatkan untuk diolah dengan data analisis.

31 Analisis laboratorium a. Biomassa lamun Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis atau jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu wilayah. Satuan biomassa dinyatakan dalam gram berat kering/m 2 dan gram berat basah/m 2. Menurut Fortes (1990) in Kopalit (2010), biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan kerapatan. Contoh lamun yang telah diambil di lapangan dibersihkan dari pasir dan batuan kemudian ditiriskan menggunakan kertas. Setiap lamun dipisahkan bagian akar, batang, dan daun. Bagian yang telah dipisahkan kemudian dibungkus dengan kertas alumunium foil dan dimasukan ke dalam oven dengan suhu 105º C selama 6-9 jam. Setelah pemanasan selesai, dilakukan penimbangan berat kering lamun. b. Identifikasi ikan Identifikasi ikan merupakan awal dari proses pemberian nama ilmiah suatu jenis ikan. Identifikasi awal dilakukan dengan melihat kesamaan morfologi berdasarkan ilustrasi dalam Allen (1999). Ikan sampel yang telah diawetkan diidentifikasi di laboratorium dengan melihat karakteristik morfometrik (ukuran fisik tubuh) dan meristik (bagian tubuh yang dapat dihitung). Ikan sampel diukur panjang total ikan. Sementara untuk melihat karakteristik meristik yang merupakan ciri yang unik dan mudah dipakai, digunakan buku panduan FAO (1999). c. Kebiasaan makanan Menurut Effendi (2002), kebiasaan makanan adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Analisis kebiasaan makanan ditujukan untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan, sehingga dapat diprediksi hubungan ekologi antar organisme dalam suatu perairan. Hubungan yang dilihat bisa berupa bentuk pemangsaan ataupun persaingan dalam rantai makanan. Pengamatan kebiasaan dilakukan dengan mengambil contoh ikan pada lokasi pengamatan. Ikan sampel kemudian dibedah dan dilihat isi perut (usus) dengan bantuan mikroskop. Pengamatan kebiasaan makanan ikan dalam mikroskop merupakan hasil dari pengenceran isi perut ikan. Hasil yang didapat dari analisis ini berupa jenis dan presentase kelimpahan dalam perut.

32 Analisis Data Lamun a. Kerapatan Jenis (Di) dihitung dengan rumus (Brower et al. 1998): D i RD Ni A Keterangan: Di = Jumlah individu -i (tegakan) per satuan luas Ni = Jumlah individu -i (tegakan) dalam transek kuadrat A = Luas total amatan b. Kerapatan relatif (RDi) merupakan perbandingan jumlah spesies dengan jumlah total individu seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut : i p N i 1 Keterangan: RDi Ni i n p n ij i 1 ij = Kerapatan relatif = Jumlah individu i (tegakan) dalam transek kuadrat = Jumlah total individu seluruh spesies c. Frekuensi jenis (Fi) merupakan peluang suatu jenis spesies ditemukan dalam titik contoh yang diamati, dirumuskan sebagai berikut : Keterangan: Fi Pi = Frekuensi Jenis ke-i = Jumlah petak contoh dimana spesies-i ditemukan = Jumlah total petak contoh yang akan diamati d. Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-i dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut : Keterangan: Rfi Fi p F i i 1 = Frekuensi Relatif = Frekuensi jenis ke-i = Jumlah total petak contoh yang akan diamati

33 18 e. Penutupan (C i ) adalah luas area yang tertutupi oleh spesies-i, dirumuskan sebagai berikut : C i ai A (kategori Saito and Atobe 1970 in English et al ) Keterangan: Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i Ai = Luas total penutupan spesies ke-i A = Luas total pengambilan contoh fi = Frekuensi (jumlah kotak dengan kelas dominansi yang sama) Mi = Titik tengah % spesies ke-i f. Penutupan relatif (RC i ) adalah perbandingan antara penutupan individu spesies ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis. RC i p C i 1 i C Keterangan: RC i ij C i p C ij i 1 = Penutupan relatif = Luas area yang tertutupi jenis ke-i = Penutupan seluruh spesies g. Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting (INP) berkisar antara 0-3. INP memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et al. 1998): INP RF RD RC i i i Keterangan: INP RF i RD i RC i = Indeks Nilai Penting = Frekuensi relatif = Kerapatan relatif = Penutupan relatif

34 19 h. Biomassa Lamun (gram/m 2 ) dihitung berdasarkan berat basah dan berat kering. Sebelum dilakukan penimbangan, lamun yang telah didaratkan, disortir dahulu berdasarkan jenis, kemudian ditimbang. Sampel lamun kemudian dibawa ke laboratorium untuk mengukur berat kering. Biomassa dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : Keterangan: Bi = biomassa rumput laut spesies ke-i (gram/m 2 ) Wi = jumlah total berat spesies ke-i (gram) A = total area studi (m 2 ) Ikan a. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks keragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, maka semakin beragam komunitasnya. Rumus indeks keanekaragaman Shannon (Krebs 1989) : Keterangan: H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener N = Jumlah total individu seluruh jenis n i = Jumlah individu jenis ke-i b. Indeks keseragaman Shannon-Wiener Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap jenis dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antarspesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan rumus berikut (Krebs 1989): H' E, H' max H ' max ln S Keterangan: E = Indeks Keseragaman Shannon H = Indeks keanekaragaman H max = Indeks keanekaragaman maksimum

35 20 S = Jumlah spesies c. Indeks dominansi Simpson Indeks ini digunakan untuk mengetahui jenis yang paling banyak ditemukan. Dominansi dapat diketahui dengan rumus dominansi Simpson: D Keterangan: D = Indeks dominansi Simpson n i = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu seluruh jenis Asosiasi ikan dengan lamun a. Korelasi Pearson s i 1 n i N Korelasi adalah istilah statistik yang menyatakan derajat hubungan linier searah antara dua variabel atau lebih. Salah satu teknik korelasi yang umum digunakan adalah korelasi product moment pearson. Variabel yang digunakan adalah variabel berskala interval. Analisa ini digunakan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel X dan Y serta mengetahui besarnya sumbangan variabel satu terhadap yang lainnya yang dinyatakan dalam persen. Variabel X menyatakan kondisi habitat sementara variabel Y menyatakan kondisi ikan. Kondisi meliputi biomassa dan kerapatan lamun diduga mempengaruhi biomassa, kelimpahan individu, dan kelimpahan spesies ikan dalam lamun. Kepadatan lamun merupakan faktor penentu kuantitas ikan yang ada di dalamnya. Biomassa lamun dianalogikan sebagai fungsi dari kepadatan dan penutupan lamun yang akan mempengaruhi jumlah serta biomassa ikan yang berasosiasi. Hubungan antara variabel X dan Y dinilai dari koefisien korelasi (r). Nilai korelasi terletak antara -1 hingga 1. Semakin mendekati angka -1 maka hubungan antara kondisi lamun dan kondisi ikan berkorelasi sangat erat negatif. Sedangkan semakin mendekati angka 1, kondisi lamun berkorelasi sangat erat positif. Sifat distribusi data dilihat dari nilai P-Value. Nilai P-Value > 0,05 berarti bahwa data yang didapatkan berdistribusi normal. b. Indeks Konstansi dan Indeks Fidelitas 2 Data hasil sampling dalam setiap stasiun pengamatan dikonversi menjadi data binari. Hasil data binari digunakan untuk menganalisa tingkat kekonstanan spesies

36 21 ikan pada habitat tertentu. Berdasarkan indeks konstansi dengan rumus (Boech 1977 in Aktani 1990): Keterangan : C ij = Indeks konstansi a ij = Jumlah kehadiran spesies ikan ke-i pada habitat ke-j n i = Jumlah elemen pada kelompok spesies ikan ke-i n j = Jumlah elemen pada anggota kelompok ke-j kisaran indeks konstansi adalah 0-1, dengan ketentuan: C ij = 0, berarti tidak ada satupun spesies ikan ke-i terdapat pada habitat ke-j C ij = 1, berarti spesies ikan ke-i terdapat pada habitat ke-j Dari indeks konstansi dapat dilihat tingkat kekhasan/kebenaran spesies ke- i pada habitat ke- j berdasarkan indeks fidelitas (Murphy and Edwards 1982 in Aktani 1990) berdasarkan persamaan: Keterangan : F ij = Indeks fidelitas kelompok spesies ikan ke-i pada habitat ke-j C ij = Indeks konstansi kelompok spesies ikan ke-i pada habitat ke-j Kisaran indeks fidelitas adalah sebagai berikut: F ij 2 menunjukan preferensi yang kuat antara kelompok ikan ke-i pada habitat ke-j F ij 1 menunjukan tingkat ketidaksukaan kelompok ikan ke-i pada habitat ke- j F ij = 0 menunjukan ketidaksukaan / cenderung menghindari kelompok ikan ke- i pada habitat ke- j. c. Analisis Biplot Biplot merupakan suatu alat analisis statistika yang menyediakan posisi relatif objek pengamatan dengan peubah secara simultan dalam dua dimensi. Informasi yang bisa diperoleh dari biplot adalah : hubungan antara peubah bebas, kesamaan relatif dari titik-titik data individu pengamatan, dan posisi relatif antara individu pengamatan dengan peubah. Interpretasi dari biplot adalah : 1. Panjang vektor peubah sebanding dengan keragaman peubah tersebut. Semakin panjang vektor suatu peubah maka keragaman peubah tersebut semakin tinggi. 2. Nilai cosinus sudut antara dua vektor peubah menggambarkan korelasi dua peubah. Semakin sempit sudut yang dibuat antara dua peubah maka semakin

37 22 positif tinggi korelasinya. Jika sudut yang dibuat tegak lurus maka korelasi keduanya rendah. Sedangkan jika sudut tumpul maka korelasi bersifat negatif. 3. Posisi objek yang searah dengan suatu vektor peubah diinterpretasikan sebagai besarnya nilai peubah untuk objek yang searah. Semakin dekat letak objek dengan arah yang ditunjuk oleh suatu peubah maka semakin tinggi peubah tersebut untuk objek itu. Sedangkan jika arahnya berlawanan maka nilainya rendah. 4. Kedekatan letak/posisi dua buah objek diinterpretasikan sebagai kemiripan sifat dua objek. Semakin dekat letak dua buah objek maka sifat yang ditunjukan oleh nilai-nilai peubahnya semakin mirip. d. Analisis Ragam Klasifikasi Dua Arah (Two Way Anova) Analisis ragam klasifikasi dua arah merupakan sebuah pengujian statistika dengan dua faktor yang diperhitungkan secara simultan, dimana jumlah perlakuan pada setiap faktor adalah dua atau lebih. Rancangan ini sering dikenal sebagai rancangan acak kelompok, rancangan acak lengkap faktorial, dan bujur sangkar latin. Komponen yang dianalisis dalam Anova adalah kelimpahan ikan pada tiap waktu pengambilan data (siang dan malam) serta kelimpahan pada tiap stasiun pengamatan yang berbeda kondisi penutupannya. Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh perbedaan waktu penangkapan dan kondisi penutupan lamun terhadap jumlah spesies ikan yang ada di dalamnya.

38 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Karang Lebar Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil seluas ha yang terbentang dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah utara sejauh 150 km. Wilayah Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Selat Sunda. Kepulauan Seribu resmi dijadikan sebagai Taman Nasional Laut sejak tahun 1995 dengan empat zonasi (zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan, dan zona pemukiman). Secara administratif, Kepulauan Seribu terbagi dalam dua kecamatan, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pusat pemerintahan dan aktivitas manusia yang tertinggi terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kelurahan Pulau Panggang. Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 13 pulau kecil, termasuk Pulau Semak Daun. Perairan Pulau Semak Daun adalah perairan dangkal dengan satu pulau utama dan beberapa goba di sekitarnya. Perairan Pulau Semak Daun termasuk dalam zona pemanfaatan pariwisata. Berdekatan dengan wilayah ini terdapat perairan Karang Lebar yang tidak memiliki pulau utama, sehingga lebih banyak dikenal sebagai bagian dari Perairan Semak Daun. Vegatasi lamun dan terumbu karang tersebar luas di perairan dangkal ini. Perairan Karang Lebar banyak dijadikan sebagai basis penangkapan ikan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar. Perairan Kepulauan Seribu, khususnya Kelurahan Pulau Panggang termasuk ke dalam zona pemukiman dan pemanfaatan yang rentan terhadap pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan di darat maupun kegiatan di laut. Pencemaran akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi lingkungan tempat biota tinggal. Karakteristik fisika dan kimia suatu lingkungan akan berdampak pada struktur komunitas biota yang tinggal di dalamnya, termasuk lamun dan ikan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter lingkungan seperti suhu, ph, dan kecerahan pada wilayah Perairan Karang Lebar, secara umum kondisi perairan ini masih tergolong baik (Tabel 4).

39 24 Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan. Siang malam Kondisi Lamun kedalaman kedalaman suhu ph kecerahan suhu ph (cm) (cm) Sehat % Kurang Sehat % Miskin % Kedalaman air berkisar antara cm dan kecerahan yang konstan pada tiap pengamatan, yakni 100% menunjukkan penetrasi cahaya matahari masuk hingga ke dasar perairan. Berdasarkan data, terlihat bahwa perairan Karang Lebar merupakan perairan dangkal yang jernih. Kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan lamun dan kapasitas lamun untuk berproduksi sebagai produsen utama di air. Penetrasi matahari yang baik akan memudahkan lamun untuk dapat berfotosintesis dan tumbuh. Nilai kecerahan perairan dipengaruhi oleh kecepatan arus. Arus yang stagnan dan sangat tenang pada jangka waktu yang lama akan menurunkan tingkat kecerahan perairan. Menurut Waycott et al. (2007), suhu yang diperlukan oleh lamun untuk berfotosintesis berkisar antara 28-35º C. Sedangkan untuk tumbuh, lamun memerlukan suhu optimal antara 28-30º C. Merujuk pada keterangan tersebut, hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu perairan cukup ideal untuk proses fotosintesis, namun kurang mendukung untuk proses pertumbuhan lamun. Hal ini dikarenakan suhu tertinggi yang didapatkan pada salah satu stasiun pengamatan mencapai angka 35º C, melebihi baku mutu (Lampiran 3) yang telah ditetapkan. Derajat asam (ph) pada tiga stasiun pengamatan berfluktuasi seiringan dengan suhu perairan. Pada saat arus sangat tenang dengan penyinaran matahari yang tinggi, suhu air mencapai 35ºC dan nilai ph naik menjadi 9 di sore hari. Kondisi ph yang terlalu tinggi (basa) tidak mendukung bagi pertumbuhan lamun, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Secara umum kondisi perairan yang ditunjukan oleh Tabel 4 masih tergolong baik untuk kehidupan biota laut, sesuai KepMenLH No. 51 tahun Beberapa hasil pengamatan yang berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan

40 25 dikarenakan adanya pengaruh lingkungan seperti tingginya intensitas penyinaran matahari serta arus perairan yang sangat rendah Karakteristik Padang Lamun Komposisi lamun berdasarkan kepadatan jenis Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa perairan Karang Lebar ditumbuhi oleh 3 jenis lamun yang tersebar pada 3 lokasi pengamatan yang berbeda kondisi (Gambar 5). Pada padang lamun kategori kurang sehat dan miskin ditemukan 3 spesies lamun : Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Sedangkan pada padang lamun dengan kondisi kaya hanya ditemukan 2 spesies yakni Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Spesies lamun yang ditemukan dalam pengamatan sesuai dengan delapan jenis spesies lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu menurut Tomascik et al. (1997). Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata selalu ditemukan di tiga stasiun pengamatan karena kondisi perairan yang jernih serta terbuka yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan lamun jenis ini. Akar dari kedua jenis ini bersifat kokoh sehingga mampu menyesuaikan diri dengan arus perairan yang kencang dan substrat pasir kasar. Kedua biota yang dominan ini sangat rentan terhadap adanya gangguan berupa kekeruhan perairan. Gambar 5 menggambarkan komposisi lamun di tiga stasiun amatan. kepadatan (ind/m2) Sehat Kurang Sehat Miskin Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis Gambar 5. Kepadatan lamun (individu/m 2 ) Cymodocea rotundata merupakan spesies pioner yang mendominasi lamun di wilayah intertidal. Sedangkan Thalassia hemprichii sering ditemukan mendominasi

41 26 komunitas lamun campuran. Spesies ini mampu hidup di berbagai substrat, mulai dari pasir halus hingga substrat kasar (Tomascik et al. 1997). Menurut Den Hartog (1967) in Kiswara dan Hutomo (1985), spesies yang ditemukan pada wilayah pengamatan termasuk ke dalam kategori lamun Herba dengan percabangan monopodial. Thalassia dan Cymodecea termasuk ke dalam kategori lamun Magnozosteroid yang dapat dijumpai pada berbagai habitat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral. Halophila termasuk ke dalam kategori lamun Halophilid yang dapat ditemukan hampir di semua habitat dari pasir kasar hingga lumpur yang lunak, mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 90 meter. Spesies Halophila ovalis merupakan spesies berukuran kecil yang terdapat pada dua stasiun amatan dengan jumlah kerapatan yang paling kecil (25-33%). Spesies ini merupakan spesies pioner yang cukup mendominasi di wilayah intertidal dengan bioturbasi yang tinggi. Bioturbasi merupakan pemindahan atau pengadukan sedimen dan partikel terlarut oleh flora maupun fauna. Bioturbasi dimediasi oleh fauna Annelida, Bivalva, Gastropoda, Holothurian, dan fauna lainnya melalui aktivitas meliang, ingestion dan defecation butiran sedimen, serta tempat tinggal yang ditinggalkan mengakibatkan adanya pertukaran dan aliran kimia antara kolom (Rosa and Bemvenuti 2005) Halophila ovalis terkadang ditemukan bersama dengan Cymodocea rotundata, dalam suatu komunitas lamun campuran yang terdiri dari asosiasi 2-3 spesies lamun (Tomascik et al. 1997). Biota ini tidak ditemukan pada padang lamun dengan kondisi sehat diduga karena morfologi daun yang kecil dan batang yang rapuh. Pada padang lamun sehat, kerapatan Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata yang tinggi mampu mengurangi intensitas cahaya matahari hingga ke dasar perairan, sehingga Halophila ovalis kurang cocok untuk hidup dan bertahan dalam persaingan ruang di padang lamun ini. Ketiga spesies ini memiliki kesamaan lingkungan hidup yakni pada daerah pasang surut dengan substrat pasir halus dan kedalaman perairan relatif dangkal yang memungkinkan penetrasi cahaya optimum untuk dapat berfotosintesis. Berdasarkan hasil diperoleh nilai jenis yang berbeda pada tiga stasiun amatan. Kepadatan tertinggi dan terendah pada lamun sehat mencapai angka 911 individu/m 2 dan 393 individu/m 2 dari spesies Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii.

42 27 Sedangkan pada stasiun pengamatan dengan kondisi kurang sehat, diperoleh nilai kerapatan jenis tertinggi dan terendah senilai 528 individu/m 2 dan 109 individu/m 2 dari spesies Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis. Pada stasiun amatan dengan kondisi miskin nilai kerapatan berkisar antara individu/m 2. Asosiasi lamun campuran yang yang terdiri dari 2 hingga 3 jenis spesies dijumpai pada ketiga stasiun pengamatan. Menurut Hutomo et al. (1988), asosiasi ini biasa ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada daerah berpasir yang terlindung (tidak berlumpur), stabil, dan sedimen yang hampir landai. Dengan kondisi ini, aktivitas meliang dari udang-udangan dan makroinvertebrata lain cenderung berkurang dengan meningkatnya keragaman dan kerapatan lamun Komposisi lamun berdasarkan penutupan jenis Penutupan lamun menggambarkan luasan area yang ditutupi oleh lamun jenis tertentu. Nilai penutupan dipengaruhi oleh kerapatan dan morfologi lamun sendiri. Kerapatan yang tinggi tidak selalu menunjukan nilai penutupan yang tinggi. Nilai kerapatan yang tinggi dengan morfologi daun yang lebar akan menghasilkan nilai penutupan yang tinggi (Gambar 6). Penutupan (%) Sehat Kurang Sehat Miskin Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis Gambar 6. Penutupan jenis lamun (%) Persentasi penutupan lamun tertinggi didapat dari spesies Cymodocea rotundata, kecuali pada stasiun lamun kurang sehat yang didominasi oleh Thalassia hemprichii. Nilai penutupan Thalassia hemprichii pada stasiun ini merupakan nilai yang paling tinggi dikarenakan morfologi daun Thalassia hemprichii yang lebar dan

43 28 berukuran relatif lebih besar daripada Cymodocea rotundata meskipun Thalassia hemprichii memiliki kerapatan yang lebih rendah. Kedua jenis lamun ini, terutama Thalassia hemprichii dijadikan sebagai tempat persembunyian oleh ikan berukuran kecil untuk menghindar dari predator. Selain itu, lebar daun yang cukup besar memungkinkan banyaknya epifit menempel pada lamun. Sedangkan spesies Halophila ovalis cenderung memiliki penutupan jenis yang lebih kecil dikarenakan morfologi yang lebih kecil dibandingkan jenis lainnya. Daun Halophila ovalis berbentuk bulat elips berukuran kecil dengan batang yang rapuh dan tipis Komposisi lamun berdasarkan frekuensi jenis Frekuensi jenis lamun menunjukan peluang suatu jenis lamun ditemukan dalam wilayah pengamatan. Frekuensi jenis berfluktuasi pada tiap stasiun amatan (Gambar 7). Berdasarkan hasil, frekuensi tertinggi pada tiap stasiun didominasi oleh spesies Thalassia hemprichii kecuali pada stasiun lamun sehat. Hasil yang didapatkan sesuai dengan karakteristik dari Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata sebagai spesies yang mendominasi komunitas padang lamun campuran, serta Halophila ovalis sebagai anggota bagian yang terkadang muncul diantara spesies Cymodocea rotundata. Frekuensi Sehat Kurang Sehat Miskin Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis Gambar 7. Frekuensi jenis lamun Frekuensi yang tinggi dari Thalassia hemprichii di stasiun lamun miskin tidak diikuti dengan penutupan yang tinggi pada stasiun tersebut. Hal ini dikarenakan

44 29 Thalassia hemprichii ditemukan dalam ukuran yang masih kecil, sehingga penutupan dari spesies ini kurang optimal meskipun berada dalam jumlah kehadiran yang tinggi dibanding jenis lamun lainnya Indeks nilai penting lamun Indeks nilai penting lamun adalah suatu gambaran bersarnya pengaruh atau dominansi suatu jenis lamun dalam komunitasnya. Nilai INP dipengaruhi langsung oleh kerapatan, penutupan, dan frekuensi lamun (Gambar 8). INP Sehat Kurang sehat Miskin Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis Gambar 8. Indeks nilai penting lamun Nilai INP tertinggi pada tiga stasiun amatan berkisar antara 1,76-1,34 dari spesies Cymodocea rotundata. Biota ini berpengaruh besar bagi jenis lamun lainnya di tiga stasiun amatan, dicirikan dengan frekuensi jenis yang cukup tinggi pada wilayah intertidal stasiun pengamatan. Individu ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan yang cukup signifikan, seperti halnya fauna intertidal yang mampu bertahan terhadap kondisi pasang surut air. Karena kemampuan inilah morfologi Cymodocea rotundata terkadang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain yang karakteristik lingkungannya berbeda. Kelemahan dari biota ini adalah ketidakcocokan untuk hidup di daerah dengan ketinggian air saat surut yang sangat rendah mendekati kering ( of Life.com). Thalassia hemprichii seringkali ditemukan bersama dengan Cymodocea rotundata di wilayah yang dekat dengan terumbu karang, seperti dipaparkan oleh Dwintasari (2009) dalam penelitiannya di Pulau Pramuka dan Kiswara et al. (1994) di wilayah Bali dan Lombok.

45 Biomassa lamun Biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan kerapatan lamun. Pengamatan biomassa lamun terdiri dari dua jenis, berat basah dan berat kering. Setiap bagian pengamatan dipisahkan menjadi 3 bagian yakni akar, batang, dan daun. Hasil pengamatan tersaji dalam Tabel 5. Lokasi Sehat Kurang sehat Miskin Tabel 5. Biomassa lamun Berat Basah (g/m2) Berat Kering (g/m2) akar batang daun akar batang daun 297,73 808,80 696,00 116,53 241,73 177,47 266,67 280,53 214,80 48,8 49,33 42,67 172,80 260,27 162,00 51,87 64,80 36,93 Berdasarkan hasil pengamatan berat basah, nilai tertinggi pada ketiga stasiun didominasi oleh bagian batang. Biomassa batang lebih berat dikarenakan batang/rizoma digunakan sebagai tempat menyimpan hasil fotosintesis dan unsur hara. Selisih biomassa di tiga lokasi berbeda tersaji pada Gambar 9 Persentasi Selisih Biomassa Lamun Sehat akar 14.30% daun % Persentasi Selisih Biomassa Lamun Kurang Sehat akar 37.22% daun 40.93% daun 28.33% batang 44,76% batang % Persentasi Selisih Biomassa Lamun Miskin akar 27.39% batang 44.28% Gambar 9. Persentase selisih biomassa

46 31 Biomassa lamun di bawah substrat yang lebih besar daripada biomassa lamun di atas substrat juga dikarenakan lamun banyak menyerap nutrien dari dasar perairan dibandingkan dengan kolom perairan. Berbeda dengan biomassa, produksi lamun di bawah substrat lebih kecil jika dibandingkan dengan produksi lamun di atas substrat. Biomassa dan produksi lamun dipengaruhi oleh nutrien dan cahaya (Tomascik et al. 1997). Selain itu, biomassa dan produksi lamun tergantung pada spesies dan kondisi fisika perairan seperti kecerahan, sirkulasi, kedalaman, suhu, dan angin Kondisi Ikan Kelimpahan secara spasial dan temporal Ikan merupakan salah satu fauna yang berasosiasi langsung dengan padang lamun. Kepadatan lamun yang tinggi menyokong tingginya kelimpahan ikan dan biomassanya. Keterkaitan kondisi lamun dan ikan tersaji dalam Gambar 10. Jumlah spesies siang malam sehat kurang sehat miskin Gambar 10. Jumlah Spesies Ikan Grafik di atas menggambarkan pengaruh kondisi lamun yang terhadap keragaman ikan. Jumlah spesies yang tertinggi ditemukan pada stasiun pengamatan dengan kondisi sehat. Jumlah spesies pada lamun sehat sebanyak 24 spesies di siang hari dan 18 spesies di malam hari. Perbedaan jumlah spesies ikan di siang hari dan malam hari dikarenakan pergerakan yang dilakukan oleh ikan-ikan peruaya tak menentu, dari dan ke dalam padang lamun. Beragamnya spesies ikan pada lamun dengan kondisi sehat dikarenakan kepadatan dan penutupan lamun yang mendukung bagi kehidupan ikan.

47 32 Jumlah spesies ikan pada lamun miskin di siang hari sebanyak 21 spesies, lebih banyak jika dibandingkan dengan komposisi spesies di lamun kurang sehat. Pada siang hari kedalaman air di lamun miskin lebih dangkal, sehingga ikan yang berukuran kecil dan menjadi mangsa dari ikan besar masuk ke dalam wilayah ini untuk menghindari pemangsaan yang dilakukan oleh predator berukuran besar. Ketinggian air yang surut di siang hari menyulitkan predator besar untuk masuk ke dalam perairan dangkal (Unsworth et al. 2007). Selain itu, penutupan lamun yang rendah memudahkan hewan diurnal berukuran kecil untuk mencari makan dibandingkan dengan stasiun dengan kondisi sedang yang terlindung oleh daun lamun. Ikan yang hanya ditemukan di siang hari adalah Berlainan dengan siang hari, pada malam hari jumlah spesies di lamun kurang sehat lebih banyak daripada lamun miskin. Ikan-ikan berukuran relatif kecil menjelang malam akan berpindah dari tempat yang tidak terlindung menuju ke tempat yang lebih terlindung. Ruaya ikan kecil di malam hari bertujuan untuk menghindari predasi dari hewan nokturnal bersifat karnivor. Predator-predator di malam hari bergerak masuk menuju wilayah dangkal di malam hari saat air pasang atau permukaan air menjadi lebih tinggi. Spesies yang aktif dan hanya ditemukan di malam hari meliputi Aetobatus narinari, Apogon fuscus, dan Apogon kallopterus. Selain predasi, penurunan jumlah spesies pada siang ke malam hari karena adanya ikan-ikan yang bukan merupakan penghuni tetap dari lamun. Adanya perpindahan/pergerakan dari dan ke dalam lamun dapat dilihat dari Gambar Jumlah individu siang malam 50 sehat kurang sehat miskin Gambar 11. Jumlah total individu

48 33 Lamun dengan kondisi sehat merupakan habitat yang banyak dipilih oleh biota air. Jumlah ikan yang ada di lamun sehat lebih banyak daripada yang ada pada lamun dengan kondisi kurang sehat dan miskin. Jumlah individu yang didapatkan di lamun dengan kondisi sehat sebanyak 2018 individu pada waktu penangkapan siang hari, dan 269 individu pada waktu penangkapan malam hari. Ikan-ikan hasil tangkapan di siang hari pada lamun dengan kondisi sehat didominasi oleh ikan planktivor, omnivor, dan karnivor kecil. Sedangkan pada malam hari ikan yang tertangkap adalah planktivor dan karnivor berukuran agak besar Pada malam hari, jumlah individu yang tertangkap di lamun gundul relatif sedikit, hal ini dikarenakan penutupan lamun yang minim. Sebanyak 50 individu ikan ditemukan dan didominasi golongan karnivora. Peluang predasi pada lamun dengan kondisi miskin di malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya. Pada malam hari, kedalaman air selama pengambilan contoh cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan siang hari. Keadaan ini membuat ikan nokturnal yang biasanya hidup pada kedalaman air yang lebih dalam leluasa untuk mencari makan di padang lamun, khususnya dengan kondisi penutupan minim. Hasil pengamatan ini menguatkan fungsi lamun sebagai tempat perlindungan (nursery ground) bagi ikan berukuran kecil yang cenderung memilih lamun agar dapat bersembunyi dari predator (Dollar 1991) serta tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan karnivor (Unsworth et al. 2007) Komposisi ukuran ikan per stasiun Ikan yang tertangkap pada setiap stasiun berasal dari ukuran yang berbeda dan fase hidup yang berbeda. Komposisi ukuran didominasi oleh ikan juvenil dan pra dewasa. Hasil yang didapatkan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hajisamae et al. (2006) di perairan dangkal semi tertutup pesisir pantai bagian selatan Teluk Thailand. Komposisi yang tinggi dari juvenil ikan pada lamun dengan kondisi sehat mencirikan fungsi lamun sebagai wilayah perlindungan (nursery ground). Sesuai dengan pernyataan Tomascik et al. (1997) yang menyebutkan bahwa sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun direkrut dari masa planktonik, sehingga padang lamun merupakan wilayah pembibitan yang penting bagi beberapa ikan komersial penting. Komposisi ukuran tersaji dalam Gambar 12

49 34 Lamun Sehat Lamun Kurang Sehat Dewasa 17% Juvenil 30% Dewasa 9% Juvenil 2% Pra Dewasa 53% Pra Dewasa 89% Lamun Miskin Dewasa 9% Juvenil 12% Gambar 12. Komposisi ukuran ikan Ikan pra dewasa yang banyak ditemukan dalam padang lamun sehat didominasi oleh famili Atherinidae, Labridae, dan Apogonidae. Sedangkan pada lamun kurang sehat ukuran juvenil dan pra dewasa didominasi oleh famili Gerreidae, Nemipteridae, dan Atherinidae. Juvenil ikan yang banyak ditemukan pada lamun adalah Hypoatherina temminckii dan Gerres oyena. Juvenil dari kedua spesies ini ditemukan dalam kondisi bergerombol. Spesies lain yang ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil berasal dari famili Lethrinidae, Apogonidae, dan Labridae. Juvenil ditemukan di pagi hari dalam kondisi perairan dengan suhu yang relatif rendah, intensitas penyinaran yang rendah, dan ph netral. Pra Dewasa 79% Ikan juvenil dan pra dewasa menjadikan padang lamun sebagai wilayah perlindungan dan mencari makan. Penutupan daun lamun digunakan sebagai alat untuk bersembunyi dari predator dan sengatan matahari. Sedangkan penempelan

50 35 epifit berupa Protozoa, Nematoda, Poliketa, Rotifera, dan Kopepoda pada daun lamun dimanfaatkan sebagai makanan untuk stadia juvenil dan pra dewasa dengan bukaan mulut yang masih kecil Bobot total ikan hasil tangkapan Selain jumlah jenis dan kelimpahan individu, perbedaan kondisi lamun dan juga waktu (siang-malam) berpengaruh pada biomassa ikan di dalamnya. Perbedaan biomassa ikan tersaji di Gambar 13. Bobot total (gram) Lamun Sehat Lamun kurang sehat Lamun miskin Kondisi lamun Biomassa siang Biomassa malam Gambar 13. Total Biomassa Ikan Bobot ikan hasil tangkapan di siang hari yang tertinggi berasal dari lamun kondisi sehat, dengan jumlah berat basah total senilai 8947,6 gram. Sedangkan bobot ikan hasil tangkapan di malam hari yang tertinggi didapat dari lamun kondisi kurang sehat dengan berat total 7717,6 gram. Pada siang hari ikan berlindung dan mencari makan di dalam lamun sehat, khususnya ikan yang bersifat herbivora dan omnivora. Sehingga bobot total di siang hari terkonsentrasi di stasiun ini. Sumbangan bobot terbesar dalam stasiun ini diperoleh dari spesies Hypoatherina temmincki. Spesies ini masuk ke dalam padang lamun secara bergerombol dalam suatu waktu tertentu. Keberadaan Hypoatherina temmincki dipengaruhi oleh arus dan pasang surut permukaan perairan (sea levelrise). Pada malam hari, ikan-ikan nokturnal melakukan pergerakan untuk mencari makan dan menyebar pada keseluruhan stasiun pengamatan. Ikan-ikan karnivora

51 36 berukuran besar yang mendominasi bobot total di malam hari terdiri dari famili Belonidae, Myliobatidae, dan Dasyatidae. Famili Myliobatidae tidak ditemukan di siang hari karena hewan ini diduga bersifat nokturnal. Sedangkan famili Dasyatidae dan Belonidae pada siang hari ditemukan dalam jumlah yang minim dan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan malam hari. Lamun dengan kondisi kurang sehat dan miskin cenderung dipilih ketiga karnivora berukuran besar ini karena kemudahan dalam mencari makanan di stasiun yang penutupan lamunnya lebih kecil. Karnivora yang lebih kecil seperti Apogon fuscus dan Lethrinus obsoletus memilih padang lamun sehat sebagai feeding ground di malam hari Komposisi per-sampling Komposisi famili ikan hasil tangkapan selama periode penelitian pada setiap waktu dan lokasi pengamatan disajikan dalam Gambar Pada sampling pertama (Gambar 14), kelimpahan ikan tertinggi didapat dari lamun dengan kondisi sehat. Total kelimpahan pada sampling pertama di lokasi ini mencapai 68 individu di siang hari dan 67 individu di malam hari. Kelimpahan di tiga stasiun didominasi famili Atherinidae, spesies Hypoatherina temminckii dengan ukuran 5,5-9,3 cm. Berdasarkan hasil sampling pertama, famili yang hidup tergantung pada lamun adalah Sigannidae, Labridae, dan Scaridae. Ketiga famili ini hanya ditemukan pada stasiun dengan kondisi penutupan yang baik. Famili ini memanfaatkan lamun sebagai makanan langsung ataupun fauna yang menempel pada daun lamun. Pada sampling kedua (Gambar 15), kelimpahan individu tertinggi pada siang dan malam hari diperoleh dari padang lamun dengan kondisi sehat. Kelimpahan yang diperoleh sebanyak 241 individu dari 11 famili di siang hari, dan 53 individu dari 4 famili di malam hari. Kelimpahan tertinggi di siang hari berasal dari famili Gerreidae, Nemipteridae, dan Lethrinidae yang merupakan golongan karnivor. Pada malam hari famili yang banyak ditemukan adalah Atherinidae dan Lethrinidae. Sementara itu, hasil tangkapan di lamun miskin memperlihatkan kecenderungan ikan untuk berada di wilayah tersebut hanya pada siang hari. Ikan yang ditangkap pada lamun miskin di siang hari umumnya berukuran kecil (maksimum panjang 19 cm). Ikan-ikan di stasiun ini berasal dari famili Atherinidae, Apogonidae, Labridae, dan Lethrinidae. Pada malam hari, terjadi pergantian komposisi ikan dengan ditemukannya ikan karnivora berukuran lebih besar.

52 Kelimpahan (ind) Siang Malam lainnya Terapontidae Sphyraenidae Sigannidae Nemipteridae Mullidae Monacanthidae Lutjanidae Lethrinidae Labridae Gerreidae Atherinidae Apogonidae Famili (a) Kelimpahan (ind) Apogonidae Atherinidae Gerreidae Labridae Lethrinidae Monacanthidae Mullidae Nemipteridae Scarridae Sigannidae Myliobtidae Siang Malam Dasyatidae Famili (b) Kelimpahan (ind) Atherinidae Apogonidae Gerreidae Lethrinidae Mullidae Monacanthidae Nemipteridae Siang Malam Myliobtidae Famili (c) Gambar 14. Hasil sampling 1 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin

53 38 Hasil pengambilan contoh pada periode kedua tersaji di Gambar Kelimpahan (ind) Sigannidae Scarridae Nemipteridae Mullidae Monacanthidae Terapontidae Lethrinidae Labridae Gerreidae Belonidae Atherinidae Apogonidae Siang Malam (a) Famili Kelimpahan (ind) Apogonidae Atherinidae Gerreidae Labridae Lethrinidae Terapontidae Mullidae Monacanthidae Nemipteridae Sigannidae Siang Malam Dasyatidae (b) Famili Kelimpahan (ind) lainnya Sphyraenidae Sigannidae Gobidae Memipteridae Mullidae Monacanthidae Lethrinidae Labridae Gerreidae Belonidae Atherinidae Apogonidae Siang Malam Famili (c) Gambar 15. Hasil sampling 2 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin

54 39 Hasil tangkapan yang diperoleh dari sampling ketiga tersaji dalam Gambar Kelimpahan (ind) Dasyatidae Syngnathidae Sphyraenidae Sigannidae Pomacentridae Nemipteridae Monacanthidae Terapontidae Gerreidae Belonidae Atherinidae Apogonidae Siang Malam (a) Famili Kelimpahan (ind) Lethrinidae Labridae Gerreidae Atherinidae Apogonidae Mullidae Monacanthidae Lutjanidae lainnya unidentified Dasyatidae Terapontidae Sigannidae Scarrridae Nemipteridae Siang Malam (b) Famili Kelimpahan (ind) Atherinidae Labridae Lethrinidae Terapontidae Monacanthidae Mullidae Sphyraenidae Siang Malam Dasyatidae Famili (c) Gambar 16. Hasil sampling 3 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin

55 40 Berdasarkan hasil tangkapan per sampling-3, famili Atherinidae menempati angka kelimpahan individu terbesar. Kelimpahan famili Atherinidae pada lamun sehat sebanyak 1675 individu dan 472 individu pada lamun gundul di siang hari. Famili Atherinidae tidak ditemukan di lamun sedang di siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah yang terbatas pada malam hari. Famili Atherinidae tidak ditemukan dalam padang lamun kondisi sedang di siang hari dikarenakan letak lokasi pengamatan yang lebih jauh dari rataan terumbu. Hypoatherina temminckii ditemukan dalam jumlah yang besar pada saat yang bersamaan dengan munculnya arus pasang dan surut. Penangkapan di siang hari terjadi saat permukaan air baru mulai naik, sehingga ikan Hypoatherina temminckii bergerak ke daerah yang lebih dangkal dan kaya makanan namun belum tersebar ke wilayah yang lebih jauh dari stasiun sehat dan miskin. Selain famili Atherinidae, pada stasiun pengamatan juga dijumpai ikan dari famili Labridae dan Apogonidae dalam jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan famili lainnya. Famili Dasyatidae spesies Taeniura lymma bisa ditemukan di siang dan malam hari pada kondisi habitat yang berbeda. Pada malam hari spesies ini cenderung bergerak ke wilayah lamun dengan penutupan daun lebih rendah. Famili Dasyatidae merupakan karnivora pemakan ikan-ikan berukuran lebih kecil serta krustase yang berada di dasar perairan (benthic crustaceae). Posisi mulut yang menghadap dasar perairan merupakan bentuk adaptasi yang dimiliki oleh famili ini. Dasyatidae akan lebih mudah mencari makan pada daerah yang memiliki persen penutupan lamun yang lebih rendah. Oleh karena, itu Dasyatidae banyak ditemukan pada padang lamun dengan kondisi kurang sehat. Perbedaan komposisi ikan hasil tangkapan pada periode keempat ditunjukan dalam Gambar 17. Merujuk pada gambar, kelimpahan famili di siang hari masih didominasi oleh Atherinidae. Jumlah tangkapan di siang hari pada lamun kondisi miskin lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Kelimpahan jenis frekuensi kehadiran yang tinggi dari Apogonidae sebagai karnivor berukuran kecil di lamun dengan kondisi baik menunjukan bahwa lamun berfungsi sebagai habitat hidup yang dipilih oleh biota ini. Secara umum perbedaan komposisi tangkap pada tiap sampling dipengaruhi oleh adanya aktivitas ikan-ikan, efektifitas alat tangkap dan juga kondisi perairan.

56 41 Kelimpahan (ind) Siang Malam Terapontidae Syngnathidae Sphyraenidae Siganidae Nemipteridae Mullidae Monacanthidae Hemiramphidae Gerreidae Atherinidae Apogonidae Famili (a) Kelimpahan (ind) Apogonidae Atherinidae Belonidae Gerreidae Labridae Nemipteridae Terapontidae Siang Malam Chaetodontidae Famili (b) Kelimpahan (ind) Apogonidae Belonidae Atherinidae Gerreidae Labridae Muray Lethrinidae Sigannidae Siang Malam Terapontidae Famili (c) Gambar 17. Hasil sampling 4 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin

57 Keanaekaragaman (H ), Keseragaman (E), dan Dominansi (D) Indeks keanekaragaman ditentukan oleh jumlah individu setiap jenis ikan dan total individu semua jenis ikan. Nilai ini menunjukkan tingkat kerentanan dan kestabilan ekosistem. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan tersaji dalam Tabel 6. Tabel 6. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Ikan. indeks L. Sehat L. Kurang Sehat L. Miskin siang malam siang malam siang malam H' 0,3082 1,2841 2,3256 1,0690 0,9563 2,0978 E 0,0970 0,4443 0,7763 0,3698 0,3141 0,7949 C 0,9129 0,4035 0,1363 0,6021 0,6206 0,1840 Indeks keanekaragaman tertinggi senilai 2,3256 diperoleh dari padang lamun kondisi kurang sehat di siang hari. Nilai dominansi pada stasiun ini cenderung rendah, sehingga kondisi ekosistem relatif stabil dan tekanan ekologis minim. Nilai keanekaragaman terkecil diperoleh dari padang lamun kategori sehat, sebesar 0,3082. Nilai keanekaragaman yang kecil pada habitat ini dikarenakan perbedaan jumlah individu per spesies yang tinggi. Kehadiran Hypoatherina temminckii yang melimpah ditunjukan dengan indeks dominansi yang mendekati 1. Perbedaan waktu penangkapan menghasilkan perubahan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi pada tiap stasiun pengamatan. Perubahan ini diakibatkan adanya pergerakan dari ikan-ikan penghuni berkala dan ikan nokturnal. Selain itu jumlah kelimpahan per spesies di malam hari tidak berbeda signifikan. Pada malam hari, ikan-ikan menyebar ke semua stasiun pengamatan dengan tujuan mencari makan ataupun bersembunyi Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii Famili Atherinidae adalah famili yang ditemukan dalam jumlah melimpah dan ragam ukuran yang bervariasi, mulai dari 5 11 cm. Pada sampling ketiga, H.temminckii ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan sampling lainnya karena ditangkap saat menjelang pasang dalam posisi scooling saat memasuki wilayah perairan dangkal yang dekat dengan ekosistem lain. Biota ini berperan dalam rantai makanan sebagai sumber makanan bagi ikan pelagis yang berukuran lebih besar. Distribusi ukuran panjang H. temminckii tersaji dalam Gambar 18.

58 Frekuensi (ind) ,0-11,4 10,5-10,9 10,0-10,4 9,5-9,9 9,0-9,4 8,5-8,9 8,0-8,4 7,5-7,9 7,0-7,4 6,5-6,9 6,0-6,4 5,5-5,9 5,0-5,4 S-1 S-2 S-3 S-4 Selang kelas (cm) (a) Frekuensi (ind) ,0-11,4 10,5-10,9 10,0-10,4 9,5-9,9 9,0-9,4 8,5-8,9 8,0-8,4 7,5-7,9 7,0-7,4 6,5-6,9 6,0-6,4 5,5-5,9 5,0-5,4 S-1 S_2 S-3 S-4 Selang kelas (cm) (b) Frekuensi (ind) S-1 S-2 S-3 S ,0-11,4 10,5-10,9 10,0-10,4 9,5-9,9 9,0-9,4 8,5-8,9 8,0-8,4 7,5-7,9 7,0-7,4 6,5-6,9 6,0-6,4 5,5-5,9 5,0-5,4 Selang kelas (cm) (c) Gambar 18. Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii pada lamun (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin

59 Kebiasaan Makanan Ikan Analisis kebiasaan makan ditujukan untuk mengetahui variasi makanan dari ikan di lamun tersaji dalam Gambar 19. Coscinodisc us 0.24 Rhizosolenia 0.74 Krustase 0.02 Gambar 19. Presentase makanan Hypoathernia temminckii Pengamatan dilakukan terhadap ikan dengan kelimpahan yang paling banyak yaitu ikan dari famili Atherinidae dan Apogonidae. Dilihat dari komposisi isi ususnya, ikan Hypoatherina temminckii cenderung bersifat planktivor, sesuai dengan hasil penelitian Unger and Lewis (1983). Komposisi isi usus Hypoatherina temminckii terbanyak adalah Rhizosolenia dan Coscinodiscus. Sementara itu isi usus Apogon fuscus hanya berisi Crustaceae dengan ukuran mikroskopik. Crustaceae merupakan makanan utama Apogon fuscus. Crustaceae berada dalam jumlah yang melimpah di lamun, karena tidak ditemukan lagi jenis hewan lain dalam usus ikan ini. Apogon dikategorikan sebagai ikan nokturnal yang bersifat karnivor. Berdasarkan jumlah kehadiran dan hasil kebiasaan makan Apogon fuscus, padang lamun diindikasikan sebagai wilayah pencarian makan bagi ikan ini Hubungan Keterkaitan Lamun dengan Ikan Korelasi Pearson Perbedaan kondisi habitat berupa kerapatan dan biomassa lamun berpengaruh terhadap kelimpahan individu, kelimpahan spesies dan biomassa ikan di dalamnya. Hubungan keterkaitan antara keduanya tersaji dalam Tabel 7-8. Tabel 7. Korelasi biomassa lamun terhadap ikan Kelimpahan individu Kelimpahan spesies Biomassa lamun r = 0,95 P-Value = 0,2 r = 0,93 P-Value = 0,23

60 45 Berdasarkan analisa statistik Pearson, biomassa lamun berkorelasi positif terhadap kondisi ikan di dalamnya. Menurut Azkab (2000), pengaruh biomassa lamun terhadap kelimpahan ikan akan terlihat lebih jelas daripada pengaruh biomassa lamun terhadap biomassa ikan. Biomassa yang merupakan fungsi dari morfologi dan kerapatan lamun terlihat sangat mempengaruhi kelimpahan individu dan kelimpahan spesies ikan. Semakin besar biomassa, semakin banyak ruang yang disediakan ekosistem ini untuk penempelan biota epifit maupun perlindungan ikan dari predator dan sengatan matahari. Banyaknya mikro dan makrofauna selain ikan menjadi daya tarik bagi ikan-ikan untuk masuk ke dalam habitat ini karena beragamnya makanan yang disediakan dari lamun dengan kondisi biomassa yang tinggi. Tabel 8. Korelasi kerapatan lamun terhadap ikan Kerapatan lamun Biomassa ikan Kelimpahan individu Kelimpahan spesies r = 0,54 r = 0,79 r = 0,76 P-Value = 0,63 P-Value = 0,41 P-Value = 0,44 Nilai korelasi yang didapatkan dari hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan individu dan spesies ikan yang sangat erat dicirikan nilai (r) > 0,7. Hubungan antara kerapatan lamun dengan jumlah individu dan jumlah spesies berkorelasi positif. Tingginya kerapatan lamun akan menghasilkan jumlah individu dan jumlah spesies ikan yang tinggi. Lamun yang rapat memungkinkan aktivitas makan dari golongan herbivor, planktivor, dan juga pemakan epifit. Lamun yang rapat juga menghasilkan sumbangan nutrien dan detritus yang tinggi pada ekosistem sekitarnya seperti terumbu karang. Selain faktor makanan, beberapa ikan menggunakan lamun sebagai wilayah pemijahan (spawning ground). Fungsi lamun sebagai wilayah spawning ground ditunjukan oleh kehadiran ikan hasil tangkapan yang berukuran lebih besar dan matang secara gonad, yakni Lutjanus ehrenbergii, Tylosurus gavialoides, dan Aetobatus narinari. Ketiga spesies ini hanya bisa ditemukan di malam hari Indeks kesamaan sorensen Ikan yang ditangkap pada semua stasiun pengamatan dikelompokan menjadi 6 kelompok spesies menggunakan indeks kesamaan Sorensen pada taraf 79%. Pengelompokan ditujukan untuk melihat kesamaan spesies ikan yang teramati di

61 46 seluruh stasiun pengamatan berdasarkan jumlah stasiun yang ada spesies ikan tertentu. Dengan kata lain, anggota spesies yang terbentuk dalam suatu kelompok memiliki kesamaan pemilihan habitat lamun Indeks konstansi (C ij ), indeks fidelitas (F ij ) Hasil pengelompokan spesies ikan dengan Indeks Sorensen digunakan untuk mengetahui tingkat kekonstanan dan preferensi suatu kelompok spesies untuk berada pada kondisi habitat tertentu. Kekonstanan kelompok spesies tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Indeks Konstansi (Cij) kelompok spesies ikan terhadap habitat Kelompok Spesies 1 Apogon crassipiens, Apogon cyanosoma, Apogon fuscus, Cheilodipterus quinquelineatus, Hypoatherina temminckii, Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma, Gerres oyena, Choerodon anchorago, Halichoeres argus, Halichoeres chloropterus, Lethrinus lentjan, Lethrinus obsoletus, Acreichthys tomentosus, Upeneus tragula, Scolopsis lineatus, Scarus dimidiatus, Siganus canaliculatus, Siganus virgatus, Sphyraena obtusata, Pelates quadrilineatus. 2 Amblygobius stethopthalmus, Doryrhampus dactyliophorus, Congridae Habitat Sehat Kurang sehat Miskin 1 0, Halichoeres scapularis, Lethrinus harak Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus Lutjanus ehrenbergii, Aetobatus narinari, Scolopsis margaritiferus, Scarus ghobban Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Hemirhampus far, Chrysiptera hemicyanea, Syngnathoides biaculeatus Penutupan dan kerapatan lamun menjadi kunci keberadaan kelompok spesies ikan tertentu. Hal ini terkait dengan fungsi lamun yang berbeda bagi tiap kelompok spesies ikan. Seperti yang telah diketahui, fungsi meliputi wilayah pencarian makan, pemijahan, dan wilayah asuhan bagi ikan. Beberapa ikan tidak dapat ditemukan pada stasiun pengamatan di siang hari atau di malam hari. Dengan kata lain, ikan tersebut bukan merupakan penghuni tetap lamun, melainkan penghuni berkala yang muncul di padang lamun dengan tujuan tertentu seperti mencari makan.

62 47 Kelompok spesies 1 merupakan kelompok spesies yang memiliki tingkat kekonstanan yang tinggi (C ij = 1) pada ketiga habitat. Indeks konstansi kelompok 1 pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,85-1. Kelompok ini terdiri dari 21 anggota spesies yang bisa ditemukan pada ketiga stasiun pengamatan. Anggota spesies kelompok ini meliputi Apogon crassipiens, Cheilodipterus quinquelineatus, Gerres oyena, Choerodon anchorago, Upeneus tragula, Scolopsis lineatus, Lethrinus lentjan, Acreichthys tomentosus dan Hypoatherina temminckii. Spesies ini ditemukan dalam jumlah dan frekuensi kehadiran yang cukup tinggi pada ketiga habitat. Indeks kekonstanan kelompok yang tinggi terhadap ketiga stasiun menandakan bahwa kelompok spesies ini merupakan kelompok spesies yang bersifat dinamis, atau mampu melakukan perpindahan antar stasiun dengan tujuan tertentu dari masing-masing spesiesnya. Kelompok yang memiliki kekonstanan tinggi pada habitat lamun sehat adalah kelompok 5 dan 6. Kelompok spesies 5 beranggotakan biota berukuran besar yang berada pada lamun sehat hanya di siang atau malam hari. Spesies dari kelompok 5 merupakan bukan penghuni tetap lamun, melainkan penghuni berkala atau jenis peruaya yang tiap hari bergerak masuk dan keluar padang lamun. Sementara kelompok 6 beranggotakan spesies yang sangat tergantung dengan penutupan lamun yang tinggi. Beberapa spesies dari kelompok ini merupakan penghuni tetap lamun, seperti Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, dan Syngnathoides biaculeatus. Angota spesies kelompok 5 dan 6 yang aktif pada malam hari meliputi Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Aetobatus narinari dan Lutjanus ehrenbergii. Sedangkan spesies dari kedua kelompok ini yang aktif di siang hari adalah Scarus ghobban dan Chrysiptera hemicyanea. Pada habitat kurang sehat terdapat 3 kelompok spesies dengan kekonstanan yang tinggi, meliputi kelompok 3;4; dan 5. Angota spesies dari kelompok 3 dan 4 rata-rata memiliki ukuran tubuh yang kecil. Kelompok spesies 4 hanya berada pada lamun kurang sehat yang berada dekat dengan rataan terumbu karang karena ikan dari kelompok ini termasuk jenis ikan karang dengan wilayah penjelajahan yang tidak terlalu lebar. Sementara itu masing-masing kelompok 3 dan 5 selain berada pada habitat kurang sehat juga mampu ditemukan pada habitat miskin dan sehat. Kehadiran kedua kelompok ini pada habitat dengan kondisi penutupan lamun yang

63 48 berbeda diikuti dengan waktu pergerakan antar stasiun yang juga berbeda. Kelompok 5 cenderung bergerak di malam hari, sedangkan kelompok 3 cenderung bergerak di siang hari. Kelompok dengan kekonstanan tinggi pada habitat lamun miskin adalah kelompok 1,2, dan 3. Kelompok 2 hanya ditemukan pada lamun kondisi miskin. Anggota kelompok 2 adalah spesies yang meliang dan memanfaatkan pasir dan air dangkal untuk hidup. Anggotanya meliputi Amblygobius stethopthalmus, Doryrhampus dactyliophorus, dan famili Congridae. Dengan menggunakan indeks konstansi dapat diketahui tingkat kekhasan suatu kelompok spesies terhadap habitat tertentu. Indeks fidelitas tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Indeks Fidelitas (F ij ) kelompok spesies terhadap habitat. Kelompok Spesies 1 Apogon crassipiens, Apogon cyanosoma, Apogon fuscus, Cheilodipterus quinquelineatus, Hypoatherina temminckii, Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma, Gerres oyena, Choerodon anchorago, Halichoeres argus, Halichoeres chloropterus, Lethrinus lentjan, Lethrinus obsoletus, Acreichthys tomentosus, Upeneus tragula, Scolopsis lineatus, Scarus dimidiatus, Siganus canaliculatus, Siganus virgatus, Sphyraena obtusata, Pelates quadrilineatus. 2 Amblygobius stethopthalmus, Doryrhampus dactyliophorus, Muray, Habitat Sehat Kurang sehat Miskin 1,05 0,9 1, Halichoeres scapularis, Lethrinus harak 0 1,5 1,5 4 Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus Lutjanus ehrenbergii, Aetobatus narinari, Scolopsis margaritiferus, Scarus ghobban 1,5 1,5 0 6 Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Hemirhampus far, Chrysiptera hemicyanea, Syngnathoides biaculeatus Kelompok spesies dengan indeks fidelitas tertinggi (F ij = 3) adalah kelompok 2 dengan preferansi habitat pada lamun miskin, kelompok 4 pada lamun kurang sehat, serta kelompok 6 dengan preferensi habitat pada lamun sehat. Kelompok 2 menyukai habitat lamun miskin dengan subtsrat pasir yang lebih kasar dan kedalaman air yang lebih dangkal karena anggota spesies kelompok ini hidup

64 49 dengan cara meliang dan memanfaatkan ukuran pasir yang lebih kasar untuk memudahkan ikan ini mencari makan dan berlindung sehingga tidak terlihat oleh mangsa ataupun pemangsa (Congridae dan Amblygobius stethopthalmus). Kelompok spesies 4 memiliki preferensi yang tinggi terhadap habitat kurang sehat. Habitat ini menyediakan perlindungan yang cukup baik bagi ikan karang yang termasuk dalam kelompok 4. Chaetodon octofasciatus dan Stethojulis balteata hanya ditemukan satu kali selama pengambilan data. Ikan ini diduga masuk ke dalam padang lamun untuk berlindung dari predator pada saat air surut, ataupun berlindung dari sengatan matahari. Pada saat Chaetodon octofasciatus tertangkap suhu perairan mencapai 35ºC, hal inilah yang diindikasikan menjadi alasan ikan untuk berpindah dari ekosistem terumbu karang masuk ke padang lamun. Habitat lamun kurang sehat yang letaknya berdekatan dengan ekosistem terumbu karang memiliki penutupan lamun yang cukup baik untuk menjaga suhu perairan agar tidak terlalu tinggi. Indeks fidelitas tertinggi juga dimiliki oleh kelompok spesies 6 terhadap habitat sehat. Beberapa anggota kelompok spesies ini merupakan penghuni tetap padang lamun. Apogon kallopterus dan Apogon margaritiphorus memanfaatkan padang lamun ini untuk mencari makanan berupa krustase atau invertebrata lain yang jumlahnya melimpah seiring dengan tingginya penutupan lamun. Syngnathoides biaculeatus memanfaatkan daun atau batang lamun tinggi untuk mencari makanan, adaptasi bentuk mulut menyerupai pipa memudahkan biota ini menghisap makanan yang menempel pada daun. Syngnathoides biaculeatus beristirahat dengan cara mengaitkan ujung ekor pada daun lamun. Sementara Chrysiptera hemicyanea dan Hemirhampus far memanfaatkan kelimpahan perifiton atau fitoplankton yang tinggi pada stasiun ini sebagai makanan. Merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilson (1974), bahwa lamun jenis Thalassia adalah makanan utama Hemirhampus. Habitat lamun dengan kondisi sehat juga diduga dimanfaatkan sebagai tempat pemijahan dan nursery ground bagi S. Biaculeatus yang tertangkap saat mengerami telur pada bagian perut. Selain tangkur hijau, Lutjanus ehrenbergii juga diindikasikan memanfaatkan lamun sebagai spawning ground karena ditemukan dalam kondisi matang gonad. Kelompok spesies 1 memiliki preferensi habitat yang

65 50 sedang. Ikan-ikan dari kelompok ini memiliki kesukaan yang sama pada ketiga kondisi habitat. Dengan demikian kelompok ini cenderung bersifat dinamis sehingga mampu berasosiasi dan melakukan perpindahan antar habitat untuk mencari makan, berlindung ataupun memijah. Kelompok spesies ini terdiri dari tingkat trofik yang berbeda, mulai dari konsumen 1 hingga top predator. Kelompok 1 berisikan ikanikan pemakan lamun (Siganus canaliculatus, Siganus virgatus dan), pemakan ikan (Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma, Sphyraena obtusata, Lethrinidae), pemakan perifiton, fitoplankton (Hypoatherina temminckii, Acreichthys tomentosus), pemakan krustase, gastropod, dan invertebrata lain (Halichoeres, Apogon, Upeneus tragula) Habitat lamun sehat dihindari oleh kelompok spesies 2, 3, dan 4 yang bukan penghuni tetap lamun. Kelompok 2, 3 dan 4 berisikan spesies yang berpindah dari dan menuju habitat lamun dengan kerapatan yang tidak rumbun. Pergerakan ditujukan untuk mencari makan ataupun berlindung. Pencarian makan dilakukan pada habitat kurang sehat dan miskin karena kondisi penutupan lamun yang tinggi bagi sebagian spesies menyulitkan untuk mencari makan. Padang lamun yang beragam dengan kerapatan tinggi mereduksi aktivitas meliang dari udang-udangan dan makrofauna lain seperti Amblygobius stethopthalmus. Kelompok spesies 4, 5, dan 6 lebih menghindari habitat dengan kondisi penutupan lamun yang minim. Kelompok ini lebih menyukai lamun dengan penutupan yang tinggi atau sedang, dengan kedalaman air yang lebih dalam, dan substrat yang lebih halus. Beberapa anggota dari kelompok ini adalah pemakan ikanikan serta crustacea berukuran kecil yang banyak hidup pada stasiun dengan kondisi lamun yang lebih baik. Anggota lainnya bersifat herbivor seperti Scarus ghobban yang memakan daun lamun menyukai habitat dengan kerapatan yang tinggi. Habitat lamun kurang sehat cenderung dihindari oleh kelompok spesies yang memiliki ketertarikan hanya pada lamun sehat (kelompok 6) ataupun lamun miskin saja (kelompok 2) Analisis biplot Analisa dilanjutkan dengan menggunakan analisis biplot untuk mengetahui posisi relatif dari spesies ikan. Posisi ikan dalam stasiun dan waktu tertentu menunjukan bentuk asosiasi antara ikan dengan padang lamun. Ikan cenderung

66 51 berada dan bergerak dalam suatu habitat untuk memenuhi kebutuhan makan ataupun kebutuhan perlindungan dari predasi. Hasil analisa tersaji dalam Gambar Gambar 20. Hasil analisis biplot ikan siang hari Berdasarkan hasil statistika, ikan-ikan yang berasosiasi dengan habitat sehat di siang hari adalah Hypoatherina temminckii, Stethojulis balteata, Halichoeres scapularis, Lethrinus obseletus, Scarus ghobban, Taeniura lymma, Cheilodipterus quinquelineatus, Halichoeres chloropterus, Acreichthys tomentosus, Lethrinus lentjan, Apogon kallopterus, Siganus canaliculatus, dan Apogon cyanosoma. Ikan yang berasosiasi dengan habitat ini adalah ikan golongan herbivora, planktivora, dan karnivora kecil. Scarus ghobban dan Siganus canaliculatus memilih berasosiasi dengan habitat sehat karena kedua spesies ini adalah pemakan lamun. Spesies nomor 7, yakni Hypoatherina temminckii berasosiasi cukup kuat di stasiun sehat karena kerapatan lamun yang tinggi menyediakan nutrien yang melimpah bagi plankton yang menjadi makanan H. temminckii. Karnivora dengan bukaan mulut yang kecil memanfaatkan habitat sehat yang kaya akan invertebrata dan ikan kecil untuk makan. Karnivor besar yang ditemukan di stasiun ini adalah Taeniura lymma. Karnivora berukuran

67 52 besar jarang berasosiasi dengan habitat lamun sehat karena ukuran makanan yang terlalu kecil dan juga penutupan lamun yang terlalu tinggi akan menyulitkan untuk aktivitas makan. Beberapa ikan yang berasosiasi dengan habitat sehat di siang hari adalah ikan karang seperti Scarus ghobban. Ikan-ikan yang berasosiasi kuat dengan habitat lamun kurang sehat adalah Gerres oyena (nomor 10), Apogon fuscus, Apogon crassipiens, Apogon margaritiphorus, dan Scolopsis lineatus (nomor 25). Ikan ini merupakan ikan karnivora yang pada siang hari memanfaatkan padang lamun kurang sehat untuk memudahkan mencari makan dan berlindung dari predator yang tingkatan trofiknya lebih tinggi. Ikan-ikan lainnya cenderung tidak berasosiasi dengan kuat pada ketiga stasiun. Kondisi ini diakibatkan karena ketidakhadiran spesies di siang hari dan juga disebabkan perbedaan jumlah yang signifikan antar spesies. Ikan-ikan yang tidak berasosiasi kuat merupakan ikan-ikan yang mampu beruaya masuk dan keluar padang lamun. Wilayah ruaya ikan mencakup ekosistem lain seperti terumbu karang dan perairan yang lebih dangkal di sekitar stasiun pengamatan. Asosiasi ikan dengan habitat di malam hari tersaji dalam Gambar 21. Gambar 21. Hasil analisis biplot ikan di malam hari

68 53 Menurut analisis biplot, ikan yang senang berasosiasi dengan habitat kurang sehat di malam hari adalah spesies nomor 7, yakni Hypoatherina temminckii dan spesies nomor 14, yakni Halichoeres argus. Asosiasi kedua biota dengan lamun kurang sehat didasari kebutuhan makan dan juga perlindungan dari predator di malam. Habitat sehat berisikan Apogon fuscus, Apogon cyanosoma, Gerres oyena, Scolopsis lineatus, Lethrinus lentjan, Chaerodon anchorago, Lethrinus harak, Taeniura lymma, Siganus virgatus, Apogon cyanosoma, Apogon margaritiphorus, Scolopsis lineatus, Lethrinus lentjan dan Cheilodipterus quinquelineatus. Ikan-ikan ini merupakan ikan karnivora dan omnivora yang berukuran kecil hingga besar. Pada malam hari ikan karnivora kecil berasosiasi dengan habitat sehat karena makanannya yang berupa invertebrata kecil aktif bergerak di malam hari. Habitat sehat menyediakan perlindungan dari predasi ikan karnivora besar yang naik ke perairan dangkal di malam hari. Asosiasi dengan habitat miskin di malam hari diisi spesies nomor 8, 32, dan 20, masing-masing merupakan Tylosurus gavialoides, Sphyraena obtusata, dan Lethrinus obseletus sebagai karnivora besar. Ikan berukuran besar dengan bukaan mulut yang lebar memerlukan makanan yang lebih besar yang dapat ditemukan pada lamun miskin. Apogon crassipiens dan Apogon kallopterus sebagai karnivora kecil memilih lamun dengan penutupan yang sangat minim untuk memudahkan mendapatkan mangsa di malam hari. Asosiasi ikan dengan habitatnya dipengaruhi kondisi habitat dan kepentingan ikan-ikan yang berasoisasi di dalamnya. Tingkat trofik yang banyak ditemukan dalam padang lamun yang diamati selama siang dan malam hari adalah karnivora, dengan food item ikan, crustaceae, gastropoda, dan benthic mollusk Analisis ragam klasifikasi dua arah (two way anova) Analisis ragam dilakukan terhadap dua buah perlakuan yang dihitung secara simultan. Hasil analisis tersaji dalam Tabel 11. Pada taraf kepercayaan 95%, Ftabel (4,4139) < Fhit (6,3116) maka tolak Ho atau dengan kata lain terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap ragam jenis lamun. Sementara itu tidak cukup bukti (P>0,05) untuk komponen ragam faktor waktu tangkap dan interaksinya dengan jenis lamun.

69 54 Tabel 11. Anova SK DB JK KT Fhit Ftab Kategori Kesehatan Lamun ,3116 * 4,4139 Waktu Tangkap 2 39,5 19,75 1,9477 3,5546 Interaksi 2 19,83 9,92 0,9783 Galat ,5 10,14 Total ,83 * berbeda nyata, dengan P < 0, Implikasi untuk Pengelolaan Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan, terutama melalui berbagai tindakan pengaturan dan pengkayaan yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan kesuksesan ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002). Salah satu pendekatan dalam rangka mempertahankan sustainibility sumberdaya adalah melalui pendekatan biologi. Lamun sebagai bagian dari ekosistem pesisir menjadi salah satu homerange bagi ikan-ikan di samping terumbu karang dan mangrove. Beberapa ikan ekonomis penting menjadikan padang lamun sebagai essential habitat, sehingga diperlukan pengelolaan yang tepat untuk melindungi stok ikan-ikan ini. Salah satu bentuk pengelolaan yang diharapkan mampu mempertahankan kelestarian ikan-ikan dalam padang lamun ialah dengan melakukan perlindungan terhadap habitat, dalam hal ini adalah padang lamun. Tingginya aktivitas manusia di wilayah perairan Karang Lebar yang meliputi pengambilan pasir, pengambilan batu karang, lalu lintas kapal wisata maupun kapal penangkap ikan, serta masukan limbah rumah tangga dapat mempengaruhi kesehatan padang lamun. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar mengenai pentingnya peranan lamun bagi penyediaan stok perikanan tangkap. Langkah yang bisa diambil setelah sosialisasi adalah pengawasan oleh petugas Balai Konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu terhadap bentuk-bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat lokal dalam perairan ini. Selain itu, dibutuhkan alternatif mata pencaharian lain sebagai pengganti kegiatan yang mengancam kesehatan ekosistem pesisir.

70 55 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Padang lamun di perairan Karang Lebar berada pada kategori sehat hingga miskin dengan penutupan total berkisar 26,5-82% dan merupakan komunitas padang lamun campuran yang terdiri dari 2-3 spesies lamun meliputi Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. 2. Ikan yang ditemukan berasosiasi dengan padang lamun terdiri dari 4 kategori, yakni: penghuni penuh (Apogon margaritiphorus), penghuni yang menghabiskan masa juvenil hingga dewasa di lamun namun memijah di luar lamun (genus Halichoeres), penghuni yang menghabiskan tahapan juvenil di lamun (Sigannus canaliculatus), dan juga penghuni berkala / transit untuk mencari makan dan berlindung (Belonidae dan ). 3. Fungsi utama lamun bagi ikan-ikan yang berasosiasi di dalamnya adalah sebagai feeding ground dan nursery ground. Sedangkan fungsi spawaning ground hanya ditemukan pada ikan-ikan penghuni penuh seperti (Syngnathoides biaculeatus dan Apogon margaritiphorus). Ikan yang ditemukan dalam jumlah paling banyak dan mendominasi di lamun adalah Hypoatherina temminckii. 4. Padang lamun dengan nilai penutupan yang lebih tinggi lebih disukai oleh ikan. Habitat ini menyediakan makanan dan perlindungan yang lebih baik daripada habitat lain dengan penutupan lamun yang lebih rendah. Kelimpahan dan biomassa ikan yang tertinggi diperoleh dari lamun dengan kondisi sehat. 5. Kondisi padang lamun, kondisi fisika kimia perairan, dan perbedaan waktu sampling (siang dan malam) secara ekologis berpengaruh terhadap kelimpahan individu, spesies, famili dan biomassa ikan. Namun secara stastistik, perbedaan waktu tangkap (siang dan malam) tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan individu Saran 1. Perlu dilakukan penelitian pada musim yang berbeda untuk mengetahui pengaruh musim terhadap kondisi asosiasi ikan di dalam lamun.

71 56 2. Perlu dilakukan perbandingan antara kondisi lamun yang sudah terkena pengaruh antropogenik dengan kondisi lamun yang belum terkena pengaruh antropogenik 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi kelimpahan krustase atau fauna epifitik yang dijadikan sebagai makanan ikan di dalam padang lamun. 4. Perlu digunakan alat penangkapan ikan yang berbeda yang lebih efektif untuk menangkap ikan dalam selang waktu tertentu, misal: bubu.

72 DAFTAR PUSTAKA [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations FAO Spacies Identification Guide for Fishery Purposes : The Living Marine Resources of the Western Central Pacific Vol 3-5. Roma. [Terangi] Terumbu Karang Indonesia Laporan pengamatan terumbu karang Kepulauan Seribu ( ). Jakarta. 87 hlm. Adrim M Asosiasi Ikan di Padang Lamun. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Aktani U Model Hubungan Antara Kondisi Terumbu Karang dengan Ikan Karang di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Allen G A field guide for Anglers and Divers : Marine Fishes of South East Asia. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. 292 p. Aswandy I, Azkab MH Hubungan fauna dengan padang lamun. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Azkab MH Pedoman Inventarisasi Lamun. Balai Penelitian Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Azkab MH Hubungan Fauna dengan Padang Lamun. Balai Penelitian Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Azkab MH Struktur dan Fungsi pada Komunitas Lamun. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta Baker R & Sheppard R Fisheries resources of Albatross Bay, Gulf of Carpentaria. Queensland Government. Departement of Primary Industry and Fisheries. Queensland. Brower JE, Zar JH & Ende CNV Field and laboratory methods for genera ecology. Fourth edition. McGraw-Hill Publications. Boston, USA. Coles R, McKenzie L, Campbell S, Mellors J, Waycott M, Goggin L Seagrass in Queensland Waters. CRC Reef Research Centre Ltd. Queensland, Australia. CRC Reef Research Centre Seagrasses in Queensland waters. Australian Governments Cooperative Research Centres Program. Australia.

73 58 Dolar MLL A survey on the fish and crustacean fauna of the seagrass bed in North Bais Bay, Negros Oriental, Philipines. Manila, Philipines. Dwintasari F Hubungan ekologis lamun (seagrass) terhadap kelimpahan dan keanekaragaman ikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendi I Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Jakarta. English C, Wilkinson and Baker V Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Hajisamae S, Yeesin P, and Chaimongkol S Habitat utilization by fishes in a shallow, semi enclosed estuarine bay in Southern Gulf of Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 68: Hutomo M and Azkab MH Peranan lamun di lingkungan laut dangkal. Balai Penelitian Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Irham W Keterkaitan antara ikan terumbu karang dan lamun dengan sumberdaya ikan dingkis (Siganus canaliculatus) di Perairan Pulau Abang, Kota Batam. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun Baku mutu air laut untuk biota laut. Kiswara W and Hutomo M Habitat dan sebaran geografik lamun. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta. Jakarta. Kiswara W Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau- Pulau Seribu, Jakarta. Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta. Jakarta. Kiswara W Komunitas ikan muda di padang lamun teluk banten. Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta Utara. Kiswara W Dampak perluasan kawasan industri terhadap penurunan luas padang lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.

74 59 Kiswara W, Moosa MK, Hutomo M Struktur komunitas padang lamun di pantai selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kiswara W Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. p In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi, dan ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kopalit H Kajian komunitas padang lamun sebagai fungsi habitat ikan di perairan Pantau Manokwari Papua Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Krebs CJ Ecological methodology. HarperCollins Publisher, Inc. New York. Makatipu PC Studi pendahuluan komunitas ikan di perairan padang lamun Tanjung Merah, Bitung, Sulawesi Utara. UPT Loka Konservasi Biota Laut LIPI, Bitung. Bitung. McKenzie L and Yoshida R Seagrass-watch. In: Proceedings of a Workshop for Monitoring Seagrass Habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangle Center. Sanur, Bali. 9 th May Bali: Seagrass-Watch HQ, Caims. 56pp. Munira Distribusi dan potensi stok ikan baronang (Siganus canaliculatus) di padang lamun Selat Lonthoir, Kepulauan Banda, Maluku. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nagelkerken I, van der Velde G, Gorissen MW, Meijer GJ, van t Hof T, den Hartog C Importance of mangroves, seagrass beds and shallow coral reef as a nursery for important coral reef fishes, using a visual census techniques. Academic Press. Nybakken JW Marine biology, An ecologycal approach. Fourth edition. Addison-Wesley Educational Publishers Inc. United States of America Roblee MB and Zieman JC Diel variation in the fish fauna of a tropical seagrass feeding ground. Bulletin of Marine Science, 34(3): Rosa JS and Bemvenuti CE Effects of the burrowing crab Chasmagnathus granulate (Dana) in meniofauna of estuarine intertidal habitats of Patos Lagoon Southern Brazil. Arch. Biology Technology. Brazil. Sabarini EK. Kartawijaya T Laporan Teknis : Survei ekosistem lamun dan komposisi ikan di Taman Nasional Karimunjawa tahun Wildlife Conservation Society Marine Program Indonesia. Indonesia.

75 60 Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, and Moosa MK The ecology of Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition. Unger PA, Lewis Jr M Selective Predation with respect to body size in a population of the fish Xenomelaniris venezuelae (Atherinidae). Department of Environmental, Population and Organismic Biology. University of Colorado, Boulder, Colorado. USA. Unsworth RKF, Bell JJ, Smith DJ Tidal fish connectivity of reef and sea grass habitat in the Indo-Pacific. Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom. UK. Waycott M, Collier C, McMahon K, Ralph P, McKenzie L, Udy J, and Grech A Vulnerability of seagrasses in the Great Barrier Reef to climate change. In : Climate Change and The Great Barrier Reef : a vulnerability assessment. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville, Department of The Environment and Water Resources. Australia. Wimbaningrum R Pola zonasi lamun (seagrass) dan invertebrata makrobentik yang berkoeksistensi di rataan terumbu Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. FMIPA Universitas Jember. Jember. Wiyono SE Selektifitas alat tangkap garuk di Cirebon, Jawa Barat (Species Selectivity of Garuk in Cirebon, West Java). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

76 LAMPIRAN

77 Lampiran 1. Data hasil tangkapan fno FAMILI SCIENTIFIC NAME Local name SAMPLING 1 SAMPLING 2 SAMPLING 3 SAMPLING 4 Sh KSh Ms Sh KSh Ms Sh KSh Ms Sh KSh Ms S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M 1 Apogonidae Apogon crassipiens Beseng swanggi Apogon cyanosoma Beseng kuning Apogon fuscus Beseng matabelo Apogon kallopterus Beseng putih Cheilodipterus quinquelineatus Beseng alu-alu Apogon margaritophorus Beseng merah Atherinidae Hypoatherina temminckii Renyok Belonidae Tylosurus gavialoides Cenro Dasyatidae Taeniura lymma Mengke Gerreidae Gerres oyena Kapaskapas Gobidae Amblygobius stethopthalmus Blodok Hemiramphidae Hemirhampus far Julungjulung Labridae Choerodon anchorago Jarang gigi Halichoeres argus Pelok titil Halichoeres chloropterus Pelok ijo Stethojulis balteata Es lilin Halichoeres scapularis Pelok sabun Lethrinidae Lethrinus harak Tambak tanda Lethrinus 1 19 lentjan Drapapa Lethrinus obsoletus Tambak benang

78 21 Lutjanidae Lutjanus ehrenbergi Tandatanda Monacanthidae Acreichthys tomentosus Kupaskupas Mullidae Upenus tragula Janggu Myliobatidae Aetobatus narinari Pari burung Nemipteridae Scolopsis lineatus Ikan pasir Scolopsis margaritiferus Serak Pomacentridae Chrysiptera hemicyanea Tomiang Scaridae Scarus dimidiatus Mogong iler Scarus ghobban Lapebataan Siganus 30 Siganidae canaliculatus Lingkis Siganus virgatus Kea-kea Sphyraenidae Sphyraena obtusata Barakuda Syngnathidae Syngnathoides biaculeatus Tangkur ijo Doryrhamphus dactyliophorus Tangkur merah putih Terapontidae Pelates quadrilineatus Kerongkerong Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus Bawal Congridae Moak Keterangan Sh : Lamun dengan kondisi sehat KSh : Lamun dengan kondisi kurang sehat Ms : Lamun dengan kondisi miskin S : Siang M : Malam TOTAL

79 63 Lampiran 2. Nilai parameter fisika kimia perairan pada stasiun pengamatan I. Sampling 1 (Maret 2011 bulan terang) siang malam Lamun T H waktu T H waktu ph kecerahan ph ( C) (cm) sampling ( C) (cm) sampling Sehat % Kurang sehat % Miskin % II. Sampling 2 (Maret 2011 Bulan ¾) siang Lamun T H ph kecerahan ( C) (cm) waktu sampling T ( C) ph malam H (cm) waktu sampling Sehat % Kurang sehat % Miskin % III. Sampling 3 (April 2011 bulan gelap) siang Lamun T H ph kecerahan ( C) (cm) waktu sampling T ( C) ph malam H (cm) waktu sampling Sehat % Kurang sehat % Miskin % IV. Sampling 4 (April 2011 bulan terang) siang Lamun T H ph kecerahan ( C) (cm) waktu sampling T ( C) ph malam H (cm) waktu sampling Sehat % Kurang sehat % Miskin %

80 64 Lampiran 3. Baku mutu air laut untuk biota laut (KepMen LH No.51 Tahun 2004) BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Tahun 2004 No Parameter Satuan Baku Mutu FISIKA 1. Kecerahan m Kebauan Kekeruhan Padatan tersuspensi total b Sampah Suhu c Lapisan Minyak 5 - NTU mg/l - ºC - Coral : > 5 Mangrove : - Lamun : > 3 Alami 3 < 5 Coral : 20 Mangrove : 80 Lamun : 20 Nihil 1 (4) Alami 3(c) Coral : (c) Mangrove : (c) Lamun : (c) Nihil 1(5) KIMIA ph d Salinitas e Oksigen terlarut (DO) BOD 5 Ammonia total (NH 3 -N) Fosfat (PO 4 -P) Nitrat (NO 3 -N) Sianida (CN) Sulfida (H 2 S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa fenol total PCB total (Poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak dan lemak Pestisida f TBT (Tributil tin) 7 - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l µg/l mg/l MBAS mg/l µg/l µg/l 7 8,5 (d) Alami 3 (e) Coral : (e) Mangrove : s/d 34 (e) Lamun : (e) > ,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003 0,002 0, ,01 0, Logam terlarut Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(Vl)) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0, Biologi Coliform (total) g Patogen Plankton MPN/100 ml Sel/100 ml Sel/100 ml 1000 (g) Nihil 1 Tidak bloom 6 1. RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

81 65 Catatan : 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam, dan musim) 4. Pengamatan oleh manusia (visual) 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,1 mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal. a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2ºC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 dari satuan ph e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan, dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10% konsentrasi rata-rata musiman Menteri Negara Lingkungan Hidup Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan Data dan Kelembagaan Lingkungan Hidup ttd Hoetomo, MPA. ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM.

82 66 Lampiran 4. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 200 Tahun 2004 Tanggal : 13 Oktober 2004 KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN TINGKAT KERUSAKAN LUAS AREA KERUSAKAN (%) Tinggi 50 Sedang 30 49,9 Rendah 29,9 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 200 Tahun 2004 Tanggal : 13 Oktober 2004 STATUS PADANG LAMUN KONDISI PENUTUPAN (%) BAIK KAYA / SEHAT 60 RUSAK KURANG KAYA / KURANG SEHAT 30 59,9 MISKIN 29,9 Menteri Negara Lingkungan Hidup Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan Data dan Kelembagaan Lingkungan Hidup ttd Hoetomo, MPA. ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM.

83 a 67 Lampiran 5. Keadaan stasiun pengamatan Stasiun 1. Lamun miskin Stasiun 2. Lamun kurang sehat Stasiun 3. Lamun sehat

84 68 Lampiran 6. Jenis-jenis lamun di Karang Lebar Thalassia hemprichii Halophila ovalis Cymodoceae rotundata

85 69 Lampiran 7. Ikan-ikan hasil tangkapan Famili Syngnathidae Doryrhamphus dactyliophorus Syngnathoides biaculeatus Famili Lethrinidae Lethrinus lentjan Lethrinus obsoletus Lethrinus harak

86 70 Famili Labridae Halichoeres argus Halichoeres chloropterus Choerodon anchorago Halichoeres argus Halichoeres scapularis Choerodon anchorago Stethojulis balteata Halichoeres chloropterus

87 71 Famili Mullidae Famili Gerreidae Upeneus tragula Gerres oyena Famili Siganidae Siganus virgatus Siganus canaliculatus Famili Scaridae Scarus ghobban Scarus dimidiatus

88 72 Famili Atherinidae Famili Monacanthidae Acreichthys tomentosus Hypoatherina temminckii Famili Lutjanidae Famili Gobidae Lutjanus ehrenbergii Amblygobius stethopthalmus Famili Nemipteridae Scolopsis lineatus Scolopsis margaritiferus

89 73 Famili Apogonidae Cheilodipterus quinquelineatus Famili Belonidae Apogon margaritophorus Famili Sphyraenidae Tylosurus gavialoides Famili Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus Sphyraena obtusata Famili Pomacentridae Chrysiptera hemicyanea

90 74 Famili Congridae Famili Hemiramphidae Hemirhampus far Famili Myliobatidae Famili Dasyatidae Aetobatus narinari Taeniura lymma Famili Terapontidae Pelates quadrilineatus

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. /Juni 06 (6-7) Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Saiyaf Fakhri

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Kelurahan Penyengat Kota Tanjungpinang Adi Febriadi 1), Arief Pratomo, ST, M.Si 2) and Falmi Yandri, S.Pi, M.Si 2) ADI FEBRIADI Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di perairan pantai Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah dengan tiga stasiun sampling yang ditempatkan sejajar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Dini Arifa 1, Arief Pratomo 2, Muzahar 2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun Lamun (seagrass) merupakan satu- satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut (Bengen,

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA STUDI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA Oleh: BAYU ADHI PURWITO 26020115130110 DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2013. Lokasi Penelitian adalah Teluk Banten, Banten.Teluk Banten terletak sekitar 175

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA 1 SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities. Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities Dedy Muharwin Lubis, Nur El Fajri 2, Eni Sumiarsih 2 Email : dedymuh_lubis@yahoo.com This study was

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara.

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara. Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara Suhandoko 1, Winny Retna Melani 2, Dedy Kurniawan 3 suhandoko.2001@gmail.com Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

SURVAI EKOLOGI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH KABUPATEN ALOR EKOSISTEM PADANG LAMUN. Pendahuluan

SURVAI EKOLOGI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH KABUPATEN ALOR EKOSISTEM PADANG LAMUN. Pendahuluan SURVAI EKOLOGI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH KABUPATEN ALOR EKOSISTEM PADANG LAMUN Pendahuluan Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga dan berbuah yang tumbuh di dasar perairan pantai yang memiliki

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat

1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat 1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat Lamun tumbuh di perairan dangkal terlindung pada batu yang lunak dan hidup pada habitat pantai seperti estuari. Istilah lamun pertama kali diperkenalkan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU Fiki Feryatun, Boedi Hendrarto, Niniek Widyorini Jurusan Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN Devi Triana 1, Dr. Febrianti Lestari, S.Si 2, M.Si, Susiana, S.Pi, M.Si 3 Mahasiswa 1, Dosen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU SATRYO ARIF WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta. Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 11

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60 61 Lampiran 3. Data

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci