MATERI KULIAH FOLKLOR JAWA HAKIKAT FOLKLOR JAWA OLEH SUWARDI
|
|
- Hadian Cahyadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 MATERI KULIAH FOLKLOR JAWA HAKIKAT FOLKLOR JAWA OLEH SUWARDI A. Folklor Jawa sebagai Fosil Istilah folklor Jawa, tampaknya masih asing di telinga orang Jawa. Padahal orang Jawa jelas kaya folklor. Sebaliknya, kalau mendengar kata budaya, orang Jawa langsung bisa paham. Antara folklor dan budaya memang sulit dipisahkan. Jika budaya merupakan hasil karya manusia, baik yang konkrit maupun abstrak folklor tak jauh dari asumsi ini. Hal ini sekaligus meneguhkan, bahwa orang Jawa kadang-kadang tak sadar terhadap miliknya yang luhur. Sebagian orang Jawa seringkali juga tak begitu peduli terhadap miliknya. Sebagian yang lain justru amat peduli dengan istilah budaya maupun folklor. Para ahli folklor, tampak kurang bangga dengan miliknya. Umumnya, para ahli lebih suka disebut ahli budaya, karena budaya dan folklor amat mirip. Orang Jawa hanya mendapat kabar angin (sriwing-sriwing) tentang folklor Jawa. Sebagian malah tak mengenal sama sekali terhadap seluk beluk folklor. Mungkin hanya akademisi tertentu yang mengenal folklor. Jadi orang Jawa lebih apatis terhadap folklor. Hal ini patut direnungkan karena perkembangan folklor di Jawa memang belum begitu pesat dibanding negara lain, Amerika misalnya. Hampir pasti bahwa orang Jawa hanya mengenal folklor di bagian kulit-kulit saja, kendati hampir tiap hari menggunakan. Itulah sebabnya tak mustahil jika sebagian orang Jawa masih menganggap minir terhadap folklor. Bahkan ada juga yang berasumsi bahwa folklor itu sekedar kabar burung (hearsay), rumor, celoteh, yang sulit dipertanggungjawabkan. Meskipun belum banyak yang mengenal lebih jauh tentang folklor Jawa, asalkan orang Jawa masih memelihara dan mendukungnya folklor itu tetap survive. Folklor tergolong ilmu atau sebuah disiplin budaya. Folklor Jawa merupakan ilmu yang luas. Apa saja masuk di dalamnya. Boleh dinyatakan folklor Jawa merupakan ilmu keranjang sampah. Semua hal yang berbau tradisi, hampir dapat masuk ke keranjang itu. Meskipun begitu, tak berarti folklor Jawa
2 merupakan ilmu murahan. Ilmu tersebut tetap bergengsi, meskipun amat jarang orang yang menceburkan ke dalamnya. Keistimewaan folklor Jawa justru ibarat sebuah mutiara yang kaya makna. Sayangnya, seakan-akan folklor itu berada pada sebuah museum kuna yang penuh fosil-fosil. Folklor sering dianggap sebagai fosil budaya Jawa yang terlupakan. Akibatnya pemahaman orang awam terhadap folklor Jawa masih belum memadai. Dalam kaitan itu Potter (Leach, 1949:401) menyatakan bahwa folklor merupakan a lively fossil which refuses to die. Dari pendapat ini tampak bahwa folklor memang banyak menampilkan hal-hal kuna. Begitu pula kehidupan folklor Jawa, hampir selalu memaparkan persoalan-persoalan kuna. Seluk beluk kehidupan masa lalu, sering terkategorikan sebagai folklor. Namun persoalan kuna itu akan tetap lestari, enggan mati karena masih didukung oleh pengikutnya. Hal-hal yang arkais itu tetap menunjukkan daya juangnya dan bermakna bagi kehidupan pemiliknya. Jadi, di samping rentang waktu amat menentukan apakah sebuah fenomena termasuk folklor atau bukan, aspek kegunaan pun merupakan faktor penting. Folklor yang masih memiliki urgensi, akan selalu survive. Sedangkan folklor yang kurang berguna, lama-kelamaan akan ditinggalkan dan akhirnya musnah. Ini tantangan berat bagi pemerhati folklor Jawa. Sadar atau tidak, kehadiran folklor Jawa memang akan memperkaya khasanah budaya orang Jawa. Folklor Jawa akan menjadi ciri atau identitas mereka, yang membedakan dengan etnik lain. Jati diri orang Jawa itu akan memupuk jiwa kolektif. Kebanggaan kolektif atas folklor, kemungkinan akan mencitakan kerukunan. Paling tidak di antara mermeka akan tercipta kebersamaan yang luar biasa, sehingga jiwa individualis orang Jawa terminimalisir. B. Kisah Dari Mulut Ke Mulut Dalam pandangan Archer Taylor (Danandjaja, 2003:31) folklor adalah bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau adat istiadat dari praktek. Tegasnya, folklor merupakan bagian dari kebudayaan yang bersifat tradisional, tidak resmi (unofficial), dan non-institusional. Kendati terlekat sifat tradisional, tidak berarti bahwa folklor modern tidak ada. Jadi ketradisionalan hanyalah ciri khas folklor. Tradisional tidak selalu sama dengan kuna. Hal ihwal kehidupan modern pun jika telah mentradisi, kemungkinan tercakup dalam folklor. Pada dasarnya folklor merupakan wujud budaya yang diturunkan dan atau diwariskan
3 secara turun-temurun secara lisan (oral). Dalam pandangan Sweeney (1987:278) folklor memang kadang-kadang berasal dari ungkapan orang bodoh. Apalagi folklor yang merupakan bentuk tradisi lisan, jelas sering berasal dari ucapan yang kadang-kadang disalahartikan. Ucapan yang keliru, tak terduga, terpeleset, dan terkesan ngawur bisa menjadi folklor. Jadi folklor termasuk cerita-cerita mulut (tale by word of mouth). Ucapan mulut yang tersilap, mungkin sekali menjadi folklor yang menarik. Namun, pada perkembangan selanjutnya pewarisan folklor telah meluas, tidak hanya secara lisan saja, tetapi juga secara tertulis. Munculnya tradisi cetak-mencetak, telah mengubah budaya lisan ke budaya tulis. Akibatnya penyebaran folklor ke daerah lain, dapat berlangsung cepat. Melalui tulisan yang hanya diperoleh dari lisan, sepotong-sepotong, justru memperkaya varisi folklor itu sendiri. Itulah sebabnya pembauran lisan-tulis dalam folklor akhir-akhir ini amat mungkin terjadi. Folklor Jawa akan meliputi berbagai hal, seperti pengetahuan, asumsi, tingkah laku, etika, perasaan, kepercayaan, dan segala praktek-praktek kehidupan tradisional. Yang penting folklor memiliki fungsi tertentu bagi pemiliknya. Pemilik folklor kadang-kadang sadar akan miliknya dan kadang-kadang tidak disadarinya. Oleh karena, folklor bukan milik seorang individu, melainkan sebuah kolektif. Kolektif tersebut tidak terbatas ruang dan waktu, maka kadangkadang berkurang dan sebaliknya juga berkembang. Sebagai sebuah karya, folklor diciptakan oleh orang yang tidak jelas. Justru ketidakjelasan inilah yang membuat folklor semakin unik dan menarik bagi pendukungnya. Semakin tidak jelas siapa penciptanya, folklor tersebut dipandang semakin bergengsi. Dengan kata lain, folklor pun akan memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Setiap folklor memiliki pengaruh yang berbeda-beda satu dengan yang lain terhadap pemiliknya. Disadari atau tidak, memang ada folklor Indonesia. Folklor tersebut mungkin berasal dari lokal tertentu. Karena tadi memiliki makna luas dan penyebarannya merata di Indonesia, bisa jadi dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kolektif Indonesia jauh lebih besar dan kompleks jika dibandingkan dengan folklor lokal, Jawa misalnya. Folklor Indonesia ada juga ada yang menyebut folklor nusantara. Artinya, folklor yang menjadi bagian dari kebudayaan nusantara. Batasan semacam ini didasarkan pada kondisi geografis, sedangkan penamaan folklor Indonesia lebih ke aspek politis. Penamaan folklor yang lazim adalah menurut kondisi geografis. Karena itu setiap lokal
4 dapat memiliki folklor tersendiri yang berbeda satu sama lain. Perbedaan memang kadangkadang amat tipis antar folklor di sebuah wilayah. Bahkan di sana sini sering ada persamaan antar folklor pada sebuah wilayah. Persamaan dan perbedaan folklor di suatu wilayah justru akan memperkaya budaya bangsa itu sendiri. Folklor Jawa pada dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang tersebar secara turun-temurun. Di antara pemilik folklor Jawa ada yang sadar dan tidak sadar jika memiliki folklor. Sejalan dengan eksistensi budaya Jawa ada yang dinamakan budaya adiluhung, folklor pun demikian adanya. Ada folklor Jawa yang adiluhung dan sebaliknya ada yang profan. Keduanya saling dukung-mendukung, membentuk komunitas folklor. Oleh karena budaya Jawa juga ada yang bernama budaya priyayi (wong gedhe) dan budaya wong cilik, folklor pun secara tidak langsung menggambarkan segmen masyarakat tersebut. Dengan kata lain, folklor Jawa memang amat kaya. Folklor Jawa berkembang luas sejalan dengan perkembangan orang Jawa. Untuk itu, Danandjaja (1971:29) pernah menyarankan agar folklor Jawa digali lebih jauh, terutama yang telah dikumpulkan dalam buku rakyat (chapbook), seperti primbon. Dalam kaitan ini boleh dinyatakan bahwa primbon merupakan dokumentasi folklor Jawa yang memuat aneka ragam permasalahan. Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa folklor Jawa adalah segala karya tradisi yang telah diwariskan dan berguna bagi pendukungnya. Folklor Jawa pun memiliki variasi antar daerah satu dengan yang lain. Sebagai karya, folklor Jawa menjadi milik kolektif besar orang Jawa. Orang Jawa mengakui secara sadar dan atau tidak bahwa dirinya memiliki folklor. Hal ini ditunjukkan oleh sikap memiliki (handarbeni) dan ingin memelihara folklor tersebut. Orang Jawa yang sadar diri atas folklornya, akan berupaya mati-matian untuk menjaga kelestarian folklor itu. C. Ciri Pengenal Folklor Jawa Sampai saat ini, masih perlu dilacak sebenarnya apa saja yang menjadi ciri khas folklor Jawa. Paling tidak agar memudahkan pengkaji folklor, untuk mendalami sebuah fenomena dapat dimasukkan folklor atau tidak. Dalam kaitan ini, kita dapat berkiblat pada pendapat Brunvand (Hutomo, 1991:7) yang memberikan ciri folklor sebagai berikut: (1) bersifat lisan (oral), (2) bersifat tradisional, (3) keberadaannya sering memiliki varian atau versi, (4) selalu anonim, (5) cenderung memiliki formula atau rumus yang jelas.
5 Ciri-ciri tersebuti menandakan bahwa folklor memang sebuah budaya asli. Naluri klise selalu melekat pada folklor. Begitu pula folklor Jawa, tentu keaslian dan nada klise merupakan ciri kehadirannya. Sikap dan tindakan orang Jawa yang berlandaskan naluri-naluri kuna, akan melahirkan folklor yang unik. Pewarisan folklor Jawa tersebut sebagian besar juga dilisankan. Yang dimaksud lisan di sini adalah penyebarannya, dan belum tentu bentuknya. Penyebaran folklor Jawa umumnya mengandalkan budaya lisan yang kemungkinan besar kurang terstruktur. Folklor tadi juga sering anonim, tidak jelas pencipta dan perancangnya. Penerima warisan folklor tinggal menyatakan ujare (katanya) orang dahulu. Ada lagi yang menyatakan jarene mbah buyut, kata nenek moyang terdahulu. Sebenarnya, masih ada ciri folklor Jawa lain yang lebih melengkapi lima ciri di atas, antara lain: (1) mempunyai kegunaan bagi pendukungnya atau kolektifa, (2) bersifat pralogis, (3) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama, (4) mempunyai sifat polos dan spontan. Ciri (1) menekankan aspek pragmatis folklor. Sekecil apa pun, folklor itu akan ada manfaatnya bagi yang percaya. Ciri (2) memuat logika folklor kadang-kadang masih pada taraf prapemikiran. Hal ini tak berarti folklor tadi kurang beralasan, melainkan tetap ada alibi yang jelas di balik karya tersebut. Ciri (3) merujuk pada aspek pelestarian dan upaya perlindungan folkor itu. Karena menjadi milik kolektif, kalau ada apa-apa yang menyangkut folklor itu, pemiliknya rela berkorban. Ciri (4) menggambarkan proses pemunculan folklor itu sendiri. Folklor dapat hadir serta merta, tak disengaja, dan kurang disadari. Atas dasar ciri tersebut, tak mengherankan jika penampilan folklor Jawa amat khas. Ada di antara folklor yang ditampilkan dalam bentuk humor. Bahkan tidak jarang yang berbau erotis. Kombinasi antara erotik dan humor pun sering terjadi dalam folklor. Yang penting di dalamnya memuat makna yang berkesan bagi pendukungnya. Dengan demikian, secara sederhana kita dapat memilahkan mana karya folklor dan mana yang bukan. Jika karya budaya memenuhi sebagian ciri di atas tentu apa salahnya itu masuk kategori folklor. Berdasarkan ciri di atas, folklor Jawa dapat diberi ciri khas sebagai berikut: (1) disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari orang satu ke orang lain, dan secara alamiah tanpa paksaan; (2) nilai-nilai tradisi Jawa amat menonjol dalam folklor. Tradisi ditandai dengan keberulangan atau yang telah menjadi kebiasaan; (3) folklor Jawa dapat bervariasi antara satu wilayah (lokal), namun hakikatnya sama.
6 Variaisi disebabkan oleh keragaman bahasa, bentuk, dan keinginan masing-masing wilayah; (4) pencipta dan perancang folklor tidak jelas siapa dan asalnya dari mana. Namun, ada folklor Jawa yang telah dibukukan, sehingga bagi yang kurang paham seolah-olah yang mengumpulkan adalah penciptanya; (5) cenderung memiliki formula atau rumus yang tetap dan ada yang lentur. Maksudnya, ada rumus yang tak berubah-ubah sebagai patokan dan ada yang berubah-ubah tergantung kepentingan; (6) mempunyai kegunaan bagi pendukungnya atau kolektifa Jawa. Sekecil apa pun, folklor Jawa tetap ada manfaat bagi pendukungnya. Pendukung folklor Jawa dapat hanya beberapa individu yang merupakan kolektif. Pendukung juga dapat berkurang dan bertambah dari waktu ke waktu. Begitu pula aspek kegunaan, dapat berubah-ubah, seiring dengan perkembangan jaman; (7) kadang-kadang folklor Jawa mencerminkan hal-hal yang bersifat pralogis. Hal-hal yang kurang rasional akan muncul dalam folklor. Rasionalitas ini amat tergantung pola pikir masing-masing pemilik. Karena itu yang berkembang dalam benak orang Jawa lebih banyak pada unsur keyakinan; (8) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama. Masyarakat Jawa secara tak langsung merasa memiliki, sehingga mau berkorban demi pelestarian dan perkembangan folklor; (9) mempunyai sifat polos dan spontan. Maksudnya, kadang-kadang folklor Jawa hanya berasal dari orang main-main bahasa, silap dengar, dan wacana tak sadar. Ada kalanya pula merupakan ekspresi orang tolol; (10) ada yang memiliki unsur humor dan wejangan. Ciri-ciri demikian bukanlah harga mati, melainkan masih bisa berkembang. Sebaliknya, juga belum tentu seluruh folklor Jawa memuat 10 ciri tersebut. Setiap folklor boleh hanya memuat beberapa ciri khas saja. Jika di luar 10 ciri itu tak ada, tentu sebuah fenomena di Jawa ini masih perlu dipertanyakan apakah karya folklor atau bukan. Untuk mengenal ciri-ciri tersebut, pemerhati folklor harus masuk dalam wilayah folklor Jawa secara intennsif. D. Genre Folklor Jawa Genre folklor adalah keragaman folklor. Genre akan memuat aneka macam bentuk folklor. Setiap genre akan memiliki sub genre lagi yang lebih kecil. Jadi genre merupakan wadah yang memuat bermacam-macam isi folklor. Genre folklor Jawa amat beragam. Dari sekian
7 genre, dapat digolong-golongkan ke dalam lingkup yang lebih besar yang disebut bentuk folklor. Untuk mempermudah pengelompokan folklor Jawa, kiranya cukup relevan jika berkiblat pada pendapat Brunvand (Hutomo, 1991:8) bahwa secara garis besar, folklor dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) foklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore). Ketiga kelompok folklor ini dapat menampakkan dirinya ke dalam tiga wujud: (1) dalam bentuk oral dan verbal (mentifacts), (2) kinesiologik (berupa kebiasaan dan sosiofacts), dan (3) material (artefacts). Pada bagian lain, Brunvand menggolongkan folklor ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) folklor lisan, yaitu folklor yang banyak diteliti orang. Bentuk folklor lisan dari yang sederhana, yaitu ujaran rakyat (folk speech), yang bisa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan kalimat tradisional, pertanyan rakyat, mite, legende, nyanyian rakyat, dan sebagainya; (2) folklor adat kebiasaan, yang mencakup jenis folklor lisan dan non lisan. Misalkan kepercayaan rakyat, adat-istiadat, pesta, permainan rakyat; (3) folklor material, seni kriya, arsitektur, busana, makanan, dan lain-lain. Dundes (1984:28) menyajikan daftar hal-hal yang termasuk folklor, yakni: mite (myths), legenda (legends), dongeng (folktales), lelucon (jokes), peribahasa (provebs), teka-teki (riddles), nyanyian doa (chants), jimat atau guna-guna (charms), doa seperti doa sebelum makan (blessings), hinaan (insults), jawaban dengan kata-kata (retorts), celaan atau ejekan (taunts), godaan (teases), minum untuk keselamatan (toasts), serangkaian kata atau kalimat yang sulit diucapkan (tongue-twisters), salam (greeting), ungkapan berpisah (leave-teaking formulas). Di samping hal-hal di atas, dia juga memasukkan unsur folklor yang lain, yaitu: (1) pakaian rakyat (folk costume), tarian rakyat (folk dance), drama rakyat (folks drama), kesenian rakyat (folk art), kepercayaan rakyat (folk belief), obat-obatan rakyat (folk medicine), musik instrumen rakyat (folk instrumental music), nyanyian rakyat (folk songs), seperti nyanyian nina bobok, kelonan (lullabies) atau balada (ballads), ungkapan rakyat (folk speech seperti slang, tamsilan rakyat (folk simile), folk metaphot, dan nama (names) seperti julukan atau pun gelar. Lebih lanjut, juga diterakan yang tergolong folklor yaitu: puisi rakyat yang berupa epik oral sampai autograph-book verse, epitaphs (tulisan dalam nisan), corat-coret dalam kamar mandi (latrinalia), pantun jenaka (limericks), sajak dalam permaian anak (dling rhymes counting-out rhysmes, dan sajak anak-anak (mursery rhymes). Daftar yang disuguhkan
8 atau sebaliknya, karena adanya beberapa faktor: (1) seringkali pencerita hanya menerima dari mulut kemulut, sehingga suara kurang jelas. Peristiwa kesalahan dengar ini, justru akan memperkaya teks yang disampaikan, sehingga terjadi kemiripan; (2) pencerita juga sering menggunakan bahasa lokal atau dialek dan bahkan idiolek khas, sehingga perubahan dari teks asli amat mungkin terjadi; (3) pencerita kadang-kadang memunculkan kata serapan dan juga kondisi jaman, sehingga teks lisannya menjadi kaya, (4) folklor yang dipentaskan, seringkali ada penyesuaian dengan dunia panggung dan iringan, sehingga perubahan di sana sini harus dilakukan. 4. Folklor Jawa dan Antropologi Bagi sebagian antropolog akan menyebut dirinya sebagai ahli budaya Jawa, bukan sebagai ahli folklor Jawa. Para peneliti budaya di bidang antropologi sebenarnya banyak mengkaji sumber-sumber folklor. Sadar atau tidak mereka telah terjebak pada konsep folklor dan antropologi yang sulit terpisahkan. Ahli antropolog dan ahli folklor sebenarnya satu, artinya saling terkait. Kehadiran De Jong yang mencoba menggali aliran kepercayaan di Jawa, adalah bukti ada keterkaitan antara folklor dan antropologi. Tokoh ini berupaya menangkap sikap hidup orang Jawa, khususnya yang bergerak di aliran kebatinan Pangestu. Pelacakan aktivitas ini sebenarnya juga merupakan studi folklor sebagian lisan. Begitu pula munculnya pengkaji budaya Jawa asing seperti Niels Mulder, Anton Bekker, Cliffod Geertz, Mark R Woodward, Paul Sting, Robert Hefner, Franz Magnis Suseno, dan lain-lain merupakan wujud kaitan folklor dan antropologi. Terlebih lagi dengan hadirnya para antropolog seperti Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, Danandjaja, Heddy Shri Ahimsa Putra, Suripan Sadi Hutomo, Ayu Sutarto, Setya Yuwana Sudikan, dan sebagainya jelas bahwa mereka selalu memanfaatkan studi folklor. Metode kajian antropologi juga banyak dimanfaatkan oleh dunia folklor Jawa, begitu sebaliknya. Disiplin teoritik seperti evolusi, difusi, fungsionalkisme, strukturalisme Levi-Strauss, dan lain-lain sering dipakai dalam studi folklor dan antropologi. Namun demikian, di Jawa memang belum ada program khusus yang membidangi folklor Jawa di Perguruan Tinggi. Karena itu boleh dinyatakan bahwa folklor Jawa masih tergolong disiplin yang menjadi bola pimpong, yang sampai saat ini belum tegas eksistensinya. Disiplin folklor masih sering sembunyi di
9 balik bidang antropologi. Seperti halnya antropologi, folklor Jawa juga memperhatikan aset budaya lisan. Kajiankajian antropologi yang ke arah budaya primitif Jawa, sebenarnya juga merupakan studi folklor. Interpretasi-interpretasi antropologi yang banyak melakukan interdisiplin dengan sastra dan psikologi, juga sering dilakukan oleh pemerhati folklor. Kajian antropologi mitos, antropologi politik, antropologi hukum, antropologi kesehatan, dan lain-lain juga sering menjajdi wilayah folklor. Pendek kata, antropologi adalah studi tentang manusia secara komprehensif dan folklor pun demikian. Folklor merupakan representasi nilai-nilai kehidupan yang meyakinkan, kepercayaan yang survival, yang dapat dipegang oleh kolektif. Pandangan hidup Jawa yang ke arah manunggaling-kawula Gusti misalnya sering menarik minat abtropologi dan folklor. Kedua cabang ini sering berbenturan dan sekaligus melengkapi satu sama lain. Watak-watak orang Jawa yang gemar angka ganjil dan petungan, sering menjadi fokus studi kedua disiplin tersebut. Hanya saja, antropologi dan folklor sering memiliki tekanan yang berbeda. Folklor mengandalkan studi lisan, sedangkan antropologi bisa lisan dan tulis. Jika antropologi cenderung memanfafatkan studi etnografi, folklor pun tampak tak mau ketinggalan.
BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian pustaka sangat diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang tinjauan pustaka atau kajian teori yang berkaitan dengan judul penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi 1) Repustakaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih
Lebih terperinciPELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN
PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk
Lebih terperinci03FDSK. Folklore. Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si.
Modul ke: Folklore Fakultas 03FDSK Penjelasan mengenai kontrak perkuliahan yang didalamnya dijelaskan mengenai tata tertib, teknis, serta bahan untuk perkuliahan di Universitas Mercu Buana Denta Mandra
Lebih terperinciBAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran
BAB 7 Standar Kompetensi Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek Kompetensi Dasar 1. Menjelaskan keberadaan dan perkembangan tradisi lisan dalam masyarakat setempat. 2. Mengembangkan sikap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan dari berbagai etnik. Warisan kebudayaan yang disampaikan secara turun menurun dari mulut kemulut secara lisan biasa disebut
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Ada beberapa buku yang penulis pakai dalam memahami dan langsung mendukung penelitian ini, diantaranya buku yang berkaitan dengan revitalisasi yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, kita mengenal adanya siklus hidup, mulai dari dalam kandungan hingga kepada kematian. Berbagai macam peristiwa yang dilalui merupakan saat-saat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,1989:8).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian sastra lisan sangat penting untuk dilakukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan tradisi, pengembangan dan revitalisasi, melestarikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada peribahasa yang menyebutkan di mana ada asap, di sana ada api, artinya tidak ada kejadian yang tak beralasan. Hal tersebut merupakan salah satu kearifan nenek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki aneka ragam budaya yang khas pada setiap suku bangsanya. Tidak hanya bahasa daerah, pakaian adat, rumah adat
Lebih terperinciA. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap
A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Untuk mencapai ketiga aspek tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang
Lebih terperinciNILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI
NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya dengan budayanya. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain bahasa daerah,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian Ziarah merupakan istilah yang tidak asing di masyarakat. Ziarah adalah salah satu bentuk kegiatan berdoa yang identitik dengan hal yang berkaitan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendahuluan. Adapun dalam pendahuluan ini berisi tentang latar belakang,
1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab kesatu dari lima bab penulisan tesis ini akan dimulai dengan pendahuluan. Adapun dalam pendahuluan ini berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah, pertanyaan penelitian,
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Dalam penulisan sebuah karya ilmiah diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka bertujuan untuk mengetahui keauntetikan sebuah karya ilmiah. Kajian yang
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Sepanjang pengamatan peneliti, tidak ditemukan penelitian yang membahas nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan alam yang subur, tetapi juga terdiri atas berbagai suku
Lebih terperinciPERANCANGAN KOMUNIKASI VISUAL TRANSFORMASI MEDIA CERITA RAKYAT INDONESIA SEBAGAI PENGENALAN WARISAN BUDAYA NUSANTARA
PERANCANGAN KOMUNIKASI VISUAL TRANSFORMASI MEDIA CERITA RAKYAT INDONESIA SEBAGAI PENGENALAN WARISAN BUDAYA NUSANTARA Rizky Imania Putri Siswandari 1, Muh. Ariffudin Islam 2, Khamadi 3 Jurusan Desain Komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabhanti Watulea merupakan tradisi lisan masyarakat Watulea di Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Kabhanti Watulea adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,
Lebih terperinciSeminar Nasional dan Launching ADOBSI 463
SUMBANGAN CERITA RAKYAT DI WILAYAH MADIUN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Eni Winarsih IKIP PGRI Madiun Abstrak Cerita rakyat adalah ragam cerita yang berkembang dalam masyarakat. Cerita rakyat disebarkan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (blackberry massanger), telepon, maupun jejaring sosial lainnya. Semua itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini, media komunikasi tradisional cenderung banyak yang terlupakan dibandingkan dengan media teknologi komunikasi
Lebih terperinciPENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1
Subdit PEBT PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL Dra. Dewi Indrawati MA 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ke dalam tiga kelompok berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan, sebagian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ragam kebudayaan di Indonesia yang dapat menunjukan identitas budaya pemiliknya ialah folklor. Menurut Danandjaja (1984:2), folklor didefinisikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dananjaya (dalam Purwadi 2009:1) menyatakan bahwa kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti
Lebih terperinciARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA
Modul ke: 03 Primi Fakultas FTPD ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA Vernakular dalam Arsitektur Tradisional Artiningrum Program Studi Teknik Arsitektur Tradisi berasal dari bahasa Latin: traditio, yang berarti
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan
BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Tapanuli Tengah dikenal dengan sebutan Negeri Wisata Sejuta Pesona. Julukan ini diberikan kepada Kabupaten Tapanuli Tengah dikarenakan dibeberapa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap negara memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan juga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan juga menunjukan identitas suatu bangsa. Kebudayaan ini yang biasanya berkembang dari masa ke masa
Lebih terperinci1.1 Mob Papua dalam Penelitian Sastra Lisan
Bab I Pendahuluan 1.1 Mob Papua dalam Penelitian Sastra Lisan Bagian ini memuat alasan ilmiah penulis untuk mengkaji mob Papua sebagai bagian dari karya sastra lisan. Kajian karya sastra lisan berarti
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Dapat dikatakan dalam suatu bagian daerah Indonesia memiliki kebudayaan dan kesenian khas
Lebih terperinci2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI
1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pengakuan keesaan Tuhan dalam mantra Sahadat Sunda pengakuan keislaman sebagai mana dari kata Sahadat itu sendiri. Sahadat diucapkan dengan lisan dan di yakini dengan
Lebih terperinciTARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang terletak di bagian selatan pulau Sumatera, dengan ibukotanya adalah Palembang. Provinsi Sumatera Selatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. etnis memiliki cerita rakyat dan folklore yang berbeda-beda, bahkan setiap etnis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia meupakan Negara yang kaya akan kebudayaan dan Indonesia juga merpakan Negara yang multikultural yang masih menjunjung tinggi nilainilai pancasila. Terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang unik pula. Selain itu, di setiap daerah tersebut memiliki suatu cerita atau
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang luas, beragam suku tersebar di berbagai wilayah, dan memiliki sumber daya manusia yang unik pula.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore. Dari dua kata
5 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Folklor Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore. Dari dua kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes (Danandjaja, 2007: 1-2), folk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan generasi mudah kita terjebak dalam koptasi budaya luar. Salah kapra dalam memanfaatkan teknologi membuat generasi
Lebih terperinciPada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan penelitian (4) mamfaat penelitian. A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra pada umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk lisan dan bentuk tulisan. Sastra yang berbentuk lisan seperti mantra, bidal, pantun, gurindam, syair,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dina Astrimiati, 2014 MOTIF HUKUMAN PADA LEGENDA GUNUNG PINANG KECAMATAN KRAMATWATU KABUPATEN SERANG, BANTEN
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Legenda bagian dari folklor merupakan bentuk refleksi dari kehidupan masyarakat yang membesarkan cerita tersebut. Umumnya memiliki kegunaan sebagai alat pendidik,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lebih teratur dan mempunyai prinsip-prinsip yang kuat. Mengingat tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya merupakan cerminan dari suatu bangsa, bangsa yang menjunjung tinggi kebudayaan pastilah akan selalu dihormati oleh negara lainnya. Budaya yang terdapat dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berpikir manusia dalam rangka menghadapi masalah kehidupan sehari-hari.
6 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sastra merupakan sebuah refleksi kehidupan manusia dengan berbagai dimensi yang ada. Sastra mempunyai nilai keindahan, sehingga mempunyai peranan penting dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengetahui bagaimana persoalan-persoalan kebudayaan yang ada. Kebiasaan
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan pada hakikatnya merupakan wujud dari upaya manusia dalam menanggapi lingkungan secara aktif. Aktif yang dimaksud adalah aktif mengetahui bagaimana persoalan-persoalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rempah-rempah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan manusia di dunia. Kehidupan masyarakat Indonesia pun sangat dekat dengan beragam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal bahwa tradisi lisan masih hidup di berbagai suku bangsa di Indonesia. Tradisi lisan sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis, letak Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. Indonesia yang terkenal dengan banyak pulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terus menerus mengenai takdirnya di atas bumi yang kemudian dapat dinikmati
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah ekspressi perasaan, pikiran dan pergumulan manusia yang terus menerus mengenai takdirnya di atas bumi yang kemudian dapat dinikmati manusia
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Masyarakat Kabupaten Brebes mayoritas beragama Islam, kekayaan folklor yang dimiliki daerah tersebut adalah CRJP. Tokoh Jaka Poleng bekerja sebagai pengurus kuda bupati K.A.Arya
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai kesenian gambang kromong, namun sedikit yang menyentuh makna dan fungsi yang ada dalam nyanyian gambang kromong. Salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebudayaan antik (antiquarian) Inggris memperkenalkan istilah folklor ke dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Folklor merupakan khazanah sastra lama. Salah satu jenis folklor adalah cerita rakyat. Awalnya cerita rakyat merupakan cerita lisan yang dapat dikategorikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau sering disebut kebudayaan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan
1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara dengan latar belakang budaya yang majemuk. mulai dari kehidupan masyarakat, sampai pada kehidupan budayanya. Terutama pada budaya keseniannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kenyataannya pada saat ini, perkembangan praktik-praktik pengobatan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pengobatan modern telah berkembang pesat di masa sekarang ini dan telah menyentuh hampir semua lapisan masyarakat seiring dengan majunya ilmu pengetahuan,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat para ahli, emperisme (pengalaman
Lebih terperinciPERTEMUAN 5 Pengertian Kebudayaan MK ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA
PERTEMUAN 5 Pengertian Kebudayaan MK ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA 1. Pandangan Masyarakat Sehari-hari Manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan yang pesat saat ini. Film juga telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain
Lebih terperinciBAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual
BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Ritual Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Violeta Inayah Pama, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki berbagai kebudayaan. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri karena adanya bukti-bukti berupa tradisi dan peninggalan-peninggalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku tersebut memiliki nilai budaya yang dapat membedakan ciri yang satu dengan yang lainnya.
Lebih terperinciDalam Acara ORIENSTASI STUDI DAN PENGENALAN KAMPUS BAGI MAHASISWA BARU TAHUN AKADEMIK 2016/2017. Drs. Suprijatna
Dalam Acara ORIENSTASI STUDI DAN PENGENALAN KAMPUS BAGI MAHASISWA BARU TAHUN AKADEMIK 2016/2017 Drs. Suprijatna 1. Pendidikan harus merupakan aset atau modal kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerita rakyat atau folklor adalah adatistiadat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai banyak provinsi. Setiap provinsi memiliki budaya yang beraneka ragam. Bahasa, pakaian adat, senjata daerah, rumah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan berbangsa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu nilai dan pikiran yang hidup pada sebuah masyarakat, dan dalam suatu nilai, dan pikiran ini berkembang sejumlah
Lebih terperinci2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Atik Rahmaniyar, 2015
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan karakter secara eksplisit maupun implisit telah terbentuk dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan. Melalui pendidikan karakter diharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan hal-hal di luar karya sastra. Faktor sejarah dan lingkungan ikut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan karya imajinatif yang mempunyai hubungan erat dengan hal-hal di luar karya sastra. Faktor sejarah dan lingkungan ikut membentuk karya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. antaranya yaitu: Asparaga, Batuda a, Batuda a Pantai, Bilato, Biluhu, Boliyohuto,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu tetangga dari kota Gorontalo yang berdiri sendiri. Selain itu, Kabupaten ini adalah salah satu Kabupaten yang kaya akan budayanya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak Usia Dini adalah anak yang berada pada rentang usia dari 0 sampai dengan usia 8 tahun (Solehudin, 1997 : 23). Dan usia ini juga disebut dengan golden
Lebih terperinci2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki jenis yang beragam. Keanekaragaman jenis kesenian tradisional itu dalam perkembangannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahasa. Seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang terwujud dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keindahan dalam karya sastra dibangun oleh seni kata atau seni bahasa. Seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang terwujud dari ekspresi jiwa pengarang.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan salah satu seni budaya Indonesia yang sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia sejak beberapa abad lalu. Batik menjadi salah satu jenis seni kriya yang
Lebih terperinciMUSEUM BUDAYA DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keanekaragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam masyarakatnya yang majemuk, tentunya masyarakat Indonesia juga memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nasionalisme adalah rasa cinta dan bangga terhadap tanah air. Lebih khusus lagi, nasionalisme adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORETIS. Sastra lisan merupakan kesusasteraan yang mencakup ekspresi
BAB II LANDASAN TEORETIS A. Pengertian Sastra Lisan Sastra lisan merupakan kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hingga sekarang. Folklor termasuk dalam suatu kebudayaan turun-temurun yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak folklor yang telah berkembang dari dulu hingga sekarang. Folklor termasuk dalam suatu kebudayaan turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi dialihkan oleh Kerajaan Sunda/Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang. Artinya, Kerajaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa
Lebih terperinci