STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E"

Transkripsi

1 STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : RINI NOVI MARLIANI E DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

2 RINGKASAN RINI NOVI MARLIANI. E Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Baluran. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M. Sc. F dan Ir. Agoes Sriyanto, MS. Menurut Soekmadi (2005), kawasan konservasi harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Paradigma pemanfaatan sumberdaya alam hayati seharusnya tidak hanya dibatasi pada pemanfaatan jasa hutan dan lingkungan semata, melainkan juga harus dimungkinkan pemanfaatan bentuk lain yang secara riel mampu berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa mengganggu fungsi kawasan secara keseluruhan. Dukungan terhadap keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi sangat bergantung pada keberhasilan pengelolaan dalam mengenerate manfaat bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik masyarakat pemanfaat desa penyangga Taman Nasional Baluran (TN Baluran) yang memanfaatkan sumberdaya hutan, mengidentifikasi bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemanfaat di dalam kawasan TN Baluran, mengkalkulasi manfaat nyata yang diperoleh pemanfaat dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang berada di TN Baluran serta menghitung tingkat ketergantungan pemanfaat terhadap sumberdaya hutan di dalam kawasan TN Baluran dan menganalisis harapan para pihak terhadap keberadaan TN Baluran dalam rangka meningkatkan sistem pengelolaan TN Baluran. Berdasarkan kelompok umur, persentase pemanfaat sumberdaya hutan terbesar didominasi oleh pemanfaat yang berusia tahun yaitu sebesar 84,00%. Pemanfaat sumberdaya hutan sebanyak 90,66% memiliki jumlah anggota keluarga 3-6 orang. Sebagian besar pemanfaat sumberdaya hutan berlatar belakang Sekolah Dasar (baik tamat maupun tidak tamat) sebesar 70,00%. Tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi mata pencaharian dan pendapatan yang diperoleh. Sebagian besar pemanfaat sumberdaya hutan bermata pencaharian sebagai buruh tani (59,33%). Sebanyak 46% pemanfaat sumberdaya hutan memiliki pendapatan di luar sumberdaya hutan sebesar Rp ,00 sampai Rp ,00/bulan. Rendahnya pendapatan diluar sumberdaya hutan, menyebabkan mereka lebih memilih kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan

3 sebagai pekerjaan sambilan atau bahkan pekerjaan utama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa jenis sumberdaya hutan dan persentase pemanfaat di sekitar TN Baluran antara lain kayu bakar (20,74%), rumput (18,09%), rambanan (15,16%), biji akasia (9,84%), daun gebang (8,24%), ikan (7,18%), asam (6,38%), kroto (4,52%), madu (2,93%), biji gebang/kelanting (2,66%), kemiri (2,39%), dan gadung (1,36%). Nilai pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat sekitar TN Baluran relatif cukup besar. Untuk nilai pemanfaatan per tahun dari 150 pemanfaat sumberdaya hutan dalam penelitian ini sebesar Rp ,90. Kayu bakar adalah sumberdaya hutan yang paling banyak dimanfaatkan dengan nilai pemanfaatan Rp ,10/tahun. Sedangkan tingkat ketergantungan masyarakat pemanfaat desa penyangga terhadap sumberdaya hutan TN Baluran secara umum sebesar 68,98% dan kontribusi nominal absolut paling tinggi yaitu pemanfaat berpendapatan tinggi (Rp ,00/thn). Pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran merupakan bukti ketergantungan mereka terhadap kawasan TN Baluran dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dianggap illegal oleh petugas atau pengelola TN Baluran. Ketergantungan masyarakat dan pandangan yang illegal dari pengelola atau petugas TN Baluran menimbulkan ketegangan diantara keduanya. Oleh karena itu, untuk menciptakan suatu pola hubungan yang lebih baik antara pengelola TN Baluran dengan masyarakat, dimungkinkan adanya pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan dengan cara dan mekanisme yang aman serta tanpa merusak fungsi kawasan secara keseluruhan sehingga kelestarian kawasan lebih terjamin dan kesejahteraan masyarakat pun dapat ditingkatkan.

4 STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : RINI NOVI MARLIANI E Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Baluran Nama : Rini Novi Marliani Nomor Pokok : E Menyetujui : Dosen Pembimbing I : Dosen Pembimbing II : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M. Sc. F Ir. Agoes Sriyanto, MS Tanggal : Tanggal : Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal : Tanggal Lulus : 24 Oktober 2005

6 RIWAYAT HIDUP Rini Novi Marliani, itulah nama lengkap yang diberikan kedua orang tua penulis. Penulis lahir dari seorang ayah yang bernama Yana Suryana dan seorang ibu yang bernama Istie Suhaty. Tepatnya, penulis lahir pada tanggal 26 Maret 1983 di kota Sumedang. Terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Jenjang pendidikan pertama yang dilaluinya adalah belajar di Taman Kanakkanak PGRI Cikadu pada tahun Kemudian dilanjutkan pada sekolah dasar yaitu Sekolah Dasar Negeri Cikadu pada tahun Bekal pendidikan dasar itu telah mengantarkannya ke gerbang pendidikan yang lebih tinggi yaitu SLTP Negeri 3 Situraja pada tahun 1995 dan pada tahun 1998 diterima pada SMU Negeri 1 Situraja. Pada tahun 2001, penulis berhasil diterima di perguruan tinggi sebagai mahasiswa pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikannya di perguruan tinggi tersebut, penulis pernah mengikuti P3H (Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan) di Cagar Alam Leuweung Sancang-Taman Wisata Kamojang dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Indramayu pada tahun 2004 dan pada awal tahun 2005 penulis juga mengikuti PKLP (praktek Kerja Lapang Profesi) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Dalam rangka penyelesaian pendidikan Program Sarjana ini, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Baluran.

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam, karena berkat izin-nya, kekuasaan-nya serta kasih sayang-nya karya kecil ini dapat penulis selesaikan. Skripsi yang berjudul Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Baluran ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Selama penyusunan skripsi ini tidak dapat dimungkiri banyak sekali hambatan yang penulis hadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan karya ini. Akhirnya dengan kemampuan yang terbatas dan dengan segala kekurangan, penulis masih memiliki harapan, semoga karya kecil ini bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca serta dunia pendidikan yang tak pernah lekang ditelan waktu. Bogor, November 2005 Penulis

8 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat izin- Nya, kekuasaan-nya serta kasih sayang-nya karya kecil ini dapat penulis selesaikan. Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Papa dan Mama yang senantiasa penuh kasih sayang dan doa agar penulis tetap tegar sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini serta adik tercinta, Ati Suryawati yang selalu menghibur penulis dalam suka dan duka. 2. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M. Sc. F dan Bapak Ir. Agoes Sriyanto, MS selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan kearifan serta memotivasi penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M. Sc sebagai penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M. Sc sebagai penguji wakil dari Departemen Manajemen Hutan. 4. Bapak Ir. Hendrik Siubelan, MM sebagai kepala Balai TN Baluran yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di TN Baluran yang dipimpinnya. Serta seluruh petugas baik Polisi Hutan (Polhut), Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) maupun staf lainnya di TN Baluran yang telah membantu penulis dalam memperoleh data. 5. Keluarga Bapak RM. Wiwied Widodo, S.Hut dan keluarga Ibu Siti dengan penuh kebaikannya membantu dan mengizinkan penulis untuk tinggal bersamanya selama penelitian. 6. Masyarakat Desa Wonorejo, Desa Sumberwaru, Desa Sumberanyar, Desa Bajulmati dan Desa Watukebo yang juga telah membantu penulis dalam memperoleh data. 7. Bapak dan Ibu di KPAP DKSHE, Ibu Evan, Ibu Tuti, Ibu Titin, Ibu Eti, Bapak Acu dan Teh Sri yang telah membantu penulis dalam administrasinya. 8. Seluruh mahasiswa DKSHE angkatan 38 : Yanie, Purie, Beti dan rekan-rekan lain, terimakasih atas kebersamaannya dalam suka dan duka selama ini. 9. Rekan-rekan satu daerah yang bersama-sama telah menempuh pendidikan di IPB ini : Titin dan Rinto, terimakasih atas bantuannya. 10. Ayi, terimakasih atas semua cinta, doa dan motivasinya. 11. Semua pihak lainnya yang telah banyak membantu penulis.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Permasalahan... 3 C. Tujuan Penelitian... 4 D. Manfaat Penelitian... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional... 5 B. Interaksi Masyarakat Sekitar dengan Taman Nasional... 7 C. Manfaat Sumberdaya Hutan D. Penilaian III. KONDISI LOKASI PENELITIAN A. Sejarah, Letak dan Luas Kawasan B. Aksesibilitas C. Topografi D. Iklim E. Geologi dan Tanah F. Hidrologi G. Kondisi Flora dan Fauna H. Kondisi Sosek Masyarakat Sekitar TN Baluran IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian B. Obyek Penelitian C. Kerangka Pemikiran D. Batasan Studi E. Metode Penelitian... 23

10 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pemanfaat Sumberdaya Hutan B. Jenis-jenis Sumberdaya Hutan yang dimanfaatkan C. Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan D. Persepsi Para Pihak Mengenai Pemanfaatan Sumberdaya Hutan VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 65

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Beberapa Gunung yang terdapat dalam Kawasan TN Baluran Tabel 2. Luas dan Batas-batas Desa Penyangga TN Baluran Tabel 3. Jumlah Dusun, RT dan RW di Desa Penyangga TN Baluran Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Penyangga TN Baluran Tahun Tabel 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran Tabel 6. Jenis Pekerjaan Masyarakat Penyangga TN Baluran Tabel 7. Rekapitulasi Pengumpulan Data Tabel 8. Nilai Manfaat Tiap Sumberdaya Hutan Tabel 9. Rekapitulasi Nilai Manfaat Seluruh Jenis Sumberdaya Hutan Tabel 10. Umur Pemanfaat Sumberdaya Hutan Tabel 11. Jumlah Anggota Keluarga Pemanfaat Sumberdaya Hutan Tabel 12. Tingkat Pendidikan Pemanfaat Sumberdaya Hutan Tabel 13. Mata Pencaharian Pemanfaat Sumberdaya Hutan Tabel 14. Kepemilikan Lahan Pemanfaat Sumberdaya Hutan Tabel 15. Pendapatan di Luar Sumberdaya Hutan Tabel 16. Persentase Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran Tabel 17. Tata Waktu Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dalam kawasan TN Baluran Tabel 18. Rata-rata Harga Tiap Jenis Sumberdaya Hutan TN Baluran Tabel 19. Nilai Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran Tabel 20. Persepsi Pemanfaat Sumberdaya Hutan... 57

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Gambar 2. Tahapan-tahapan untuk Mendapatkan Informasi Gambar 3. Tegakan Pohon Gebang Gambar 4. Aksi Pengambilan Daun Gebang Gambar 5. Aksi Pembuangan Lidi Daun Gebang Gambar 6. Tumpukan Kelanting di Dalam Kawasan Gambar 7. Aksi Pengambilan Biji Akasia Gambar 8. Penyelipan Biji Akasia di Jalan Raya Gambar 9. Kegiatan dalam Penyelipan Biji Akasia Gambar 10. Dampak Penyelipan (kebakaran) Gambar 11. Akasia Siap Angkut Gambar 12. Aksi Pengambilan Asam Gambar 13. Aksi Pengambilan Kayu Bakar Gambar 14. Pengikatan Kayu Bakar untuk Dijual Gambar 15. Aksi Pengambilan Rumput dengan Sepeda Gambar 16. Aksi Pengambilan Rumput dengan Cikar Gambar 17. Aksi Pengambilan Rambanan dengan Sepeda Gambar 18. Bekas Pengambilan Madu Gambar 19. Pengambilan Umpan untuk Mancing Gambar 20. Kegiatan Memancing di Sekitar Pantai TN Baluran Gambar 21. Tingkat Ketergantungan Pemanfaat Sumberdaya Hutan Desa Penyangga TN Baluran berdasarkan Kelompok Pendapatan... 56

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Karakteristik Pemanfaat Sumberdaya Hutan Lampiran 2. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di TN Baluran Lampiran 3. Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan TN Baluran Lampiran 4. Tingkatan Pendapatan Total Pemanfaat Sumberdaya Hutan Berdasarkan Kelompok Pendapatan Lampiran 5. Peta Lokasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di TN Baluran Lampiran 6. Kuisioner Penelitian... 99

14 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora maupun fauna, di dalamnya memiliki berbagai manfaat. Pemanfaatan hutan dapat dikelompokkan menjadi manfaat tangible maupun manfaat intangible. Manfaat tangible merupakan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya alam berbentuk material dan dapat dikuantifikasikan dalam nilai ekonomi seperti kayu, getah, rotan, buahbuahan, kulit dan lain sebagainya. Sedangkan manfaat intangible merupakan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya alam tetapi tidak langsung yang masih dianggap sebagai barang publik dan dinikmati semua orang seperti rekreasi, hidrologi, pendidikan, penelitian, pengaturan iklim dan sebagainya. Berbagai manfaat tersebut merupakan aset nasional yang harus dikelola dan dipertahankan sebagai suatu kawasan konservasi agar dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Sistem kawasan konservasi Indonesia, mencakup taman nasional dan jenisjenis kawasan konservasi lainnya, memberikan manfaat yang tak ternilai dan sangat penting (Merrill dan Elfian 2001). Beberapa manfaat tersebut dikategorikan oleh Dixon dan Sherman (1990) antara lain : manfaat rekreasi, perlindungan daerah aliran, proses-proses ekologis, keragaman hayati, pendidikan dan penelitian, manfaat-manfaat konsumtif, manfaat-manfaat non konsumtif serta nilai-nilai masa depan. Secara umum tujuan pengembangan taman nasional untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian alam, penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Tetapi fakta di lapangan ternyata adanya aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan, khususnya dilakukan oleh masyarakat sekitar yang tidak mungkin dihindarkan karena kehidupan masyarakat setempat sangat bergantung terhadap kawasan taman nasional. Kegiatan pemanfaatan tersebut dipersepsikan sebagai tekanan terhadap taman nasional yang dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang ada didalamnya. Seringkali pihak pengelola menetapkan kebijaksanaan yang kurang memperhatikan kepentingan masyarakat di sekitarnya dan lebih menekankan

15 aspek-aspek perlindungan kawasan. Masyarakat dilarang memasuki kawasan dan tidak boleh memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada didalamnya. Pelarangan tersebut lebih banyak didasarkan pada asumsi bahwa bila suatu sumberdaya alam di dalam kawasan lindung dimanfaatkan akan dapat menimbulkan kerusakan dan asumsi ini diperkuat oleh ketentuan peraturan-peraturan yang ada saat ini yang tidak mengizinkan pemanfaatan langsung atas sumberdaya hutan. Jika pengelolaan taman nasional diterapkan dengan peraturan yang ketat seperti itu, akan dapat menimbulkan ketegangan dengan masyarakat di sekitarnya yang selama hidupnya mempunyai ketergantungan erat dengan sumberdaya alam yang berasal dari taman nasional. Berdasarkan asumsi di atas, maka pengelolaan taman nasional perlu diubah dengan paradigma baru sehingga dalam pengelolaannya tidak saja hanya kepentingan masyarakat lebih diperhatikan tetapi masyarakat dapat memberi dukungan terhadap keberhasilan pengelolaan taman nasional. Pentingnya perubahan paradigma baru tersebut dipertegas dalam hasil Kongres Taman Nasional Se-Dunia ke-v di Durban, Afrika Selatan tahun 2003 (Soekmadi 2005), yang memandatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Menurut MacKinnon et al. (1993), bahwa keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan masyarakat sekitarnya kepada kawasan yang dilindungi. Di tempat dimana kawasan dilindungi dipandang sebagai penghalang bagi kepentingan penduduk maka penduduk setempat akan dapat menggagalkan upaya pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan. Selain itu, Soekmadi (2005) juga menyatakan bahwa kawasan konservasi harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Paradigma pemanfaatan sumberdaya alam hayati seharusnya tidak hanya dibatasi pada pemanfaatan jasa hutan dan lingkungannya semata, melainkan juga harus dimungkinkan pemanfaatan bentuk lain yang secara riel mampu berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa

16 menganggu fungsi kawasan secara keseluruhan. Dukungan terhadap keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi sangat bergantung pada keberhasilan pengelolaan dalam mengenerate manfaat bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk mengetahui seberapa manfaat nyata yang diperoleh oleh masyarakat pemanfaat sumbedaya hutan dengan keberadaan sumberdaya alam di TN Baluran, maka dilakukan studi pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran. B. Permasalahan Pada masyarakat agraris peran sumberdaya hutan utamanya dimanfaatkan untuk konsumsi langsung dan subsisten. Sedangkan pada masyarakat yang lebih modern utamanya dimanfaatkan untuk konsumsi langsung yang bersifat produktif misalnya pemanenan kayu dan non kayu dan konsumsi tidak langsung seperti fungsi estetis, fungsi hidrologis, fungsi konservasi dan sebagainya (McNelly 1992). Jumlah penduduk dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat disertai dengan kondisi sosial ekonomi yang kurang memadai telah mengakibatkan tekanan-tekanan dalam kawasan yang semakin berat terhadap sumberdaya hutan baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Kebutuhan akan sumberdaya hutan untuk memenuhi keperluan hidupnya, telah mendorong masyarakat di sekitar kawasan TN Baluran untuk memanfaatkan sumberdaya hutan dari dalam kawasan TN Baluran. Masyarakat cenderung memilih masuk kawasan hutan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada didalamnya. Pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut berupa kayu bakar, rumput, rambanan, gebang, asam, kemiri, gadung, madu, biji akasia, kroto dan ikan. Pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tentu saja dilarang oleh pengelola kawasan TN Baluran karena mereka memiliki asumsi bahwa pemanfaatan yang dilakukan masyarakat tidak memperhatikan carring capacity. Namun walaupun larangan pemanfaatan tersebut telah dilakukan, pengambilan sumberdaya hutan tetap saja terjadi.

17 C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji karakteristik masyarakat desa penyangga TN Baluran yang memanfaatkan sumberdaya hutan. 2. Mengidentifikasi bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan TN Baluran. 3. Mengkalkulasi manfaat nyata yang diperoleh masyarakat pemanfaat sumberdaya hutan dari pemanfaatannya di TN Baluran serta menghitung tingkat ketergantungan pemanfaat terhadap sumberdaya hutan di dalam kawasan TN Baluran. 4. Menganalisis harapan para pihak terhadap keberadaan TN Baluran dalam rangka meningkatkan sistem pengelolaan TN Baluran. D. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan TN Baluran guna memberikan ruang kelola atau manfaat bagi masyarakat agar lebih menjamin pengelolaan kawasan.

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Menurut Suratmo (1980) dalam Suhaeri (1994), banyak definisi yang dipakai untuk menggambarkan taman nasional. Definisi tersebut biasanya berbeda untuk satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh seperti keadaan areal, luas areal, kebutuhan perkembangan suatu populasi, latar belakang politik, keadaan masyarakat, adat istiadat dan lain sebagainya. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hutan dan ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai berikut : Taman Nasional adalah suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan taman nasional mempunyai beberapa karakteristik khas yang berbeda dengan kawasan konservasi lain. Sidang umum IUCN yang diselenggarakan di New Delhi pada tahun 1969, memberikan lima karakteristik umum taman nasional (Wiratno et al. 2004) diantaranya : 1. Areal taman nasional harus yang cukup luas. 2. Taman Nasional harus mengandung isi yang istimewa, dimana jenis-jenis vegetasi dan binatangnya, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya masih dalam keadaan utuh. 3. Terdapat sistem penjagaan dan perlindungan yang efektif, dimana satu atau beberapa ekosistem secara fisik tidak berubah karena adanya eksploitasi dan pemukiman manusia. 4. Kebijakan dan manajemen dipegang oleh badan pemerintah pusat yang mempunyai kompetensi sepenuhnya yang harus segera mengambil langkahlangkah pencegahan atau meniadakan semua bentuk gangguan atau pengrusakan terhadap ekosistem dan isi taman nasional. 5. Kemungkinan pengembangan pariwisata, dimana para pengunjung diperkenankan memasuki taman nasional dengan persyaratan-persyaratan khusus untuk kepentingan mencari inspirasi, pendidikan, kebudayaan dan rekreasi.

19 Pembangunan taman nasional ditujukan untuk menciptakan pengelolaan yang berhasil guna dan mewujudkan upaya konservasi sumberdaya alam yang berfungsi sebagai pelindung unsur ekologi dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis plasma nutfah serta pelestarian pemanfaatan penunjang kehidupan dan kesejahteraan masyarakat (Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata 1984). Menurut Hartono (1986) dalam Setiawan (1999) tujuan utama pembangunan taman nasional adalah menjaga keutuhan keterwakilan ekosistem. Keterwakilan ekosistem ini berarti melindungi ekosistem itu dari kerusakan dan merehabilitasi kembali apa yang sudah terlanjur rusak, disamping itu haruslah ada upaya menghilangkan sebab kerusakan dan menghentikan kegiatan perusakan tersebut. Adapun sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan taman nasional seperti pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata meliputi empat hal pokok, yaitu : a. Memperbaiki fungsi kawasan konservai semaksimal mungkin sesuai dengan daya dukungnya, b. Menciptakan hubungan antara konservasi dan kepentingan pembangunan melalui pengembangan budidaya pertanian dan perikanan dari aneka ragam jenis yang ada sebagai sumber plasma nutfah, c. Meningkatkan pelayanan bagi pengunjung untuk memanfaatkan taman nasional baik untuk penelitian, wisata, pengambilan gambar dan penulisan untuk publikasi maupun kegiatan lainnya, dan d. Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar taman nasional antara lain dengan menyediakan lapangan kerja, memacu terciptanya jasa angkutan dan akomodasi serta mendorong pembangunan di berbagai sektor lainnya. Menurut Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (1982) untuk menjamin berhasilnya pengelolaan taman nasional dalam usaha mencapai sasaran pokok proteksi dan kegembiraan perlu adanya ruang bagi para pengunjung dan bagi kepentingan perlindungan, alokasi demikian disebut sistem zoning. Sistem pengelolaan kawasan taman nasional dibagi beberapa zone dalam hubungannya dengan kegiatan manusia, zone tersebut adalah :

20 a. Sanctuary zone/mintakat inti, di daerah ini tidak ada kegiatan manusia dan yang hanya boleh dilakukan adalah tindakan-tindakan yang diperlukan untuk preservasi dan penelitian, b. Wilderness zone/mintakat rimba, daerah ini merupakan jalan berpemandangan indah, jalan-jalan yang melalui hutan lebat, jalan setapak dan lain-lain serta menjadi tempat berlindung yang menarik dan sederhana dan tempat yang tepat untuk melihat satwa yang menarik bagi pengunjung taman nasional, c. Intensive use zone/mintakat pemanfaatan, pada prinsipnya pengelolaannya bertujuan untuk dapat dicapai pengunjung yang banyak dan intensif, sehingga tersedia fasilitas-fasilitas bagi pengunjung, d. Zona pemanfaatan khusus, mencakup tanah yang diperlukan untuk pelayanan pengelolaan, e. Zona perbaikan, merupakan daerah yang termasuk dalam kawasan yang dilindungi, dimana seperti bekas perladangan dan penggembalaan ternak, dan f. Zona historis, termasuk kawasan prasejarah atau menunjukkan kearkeologian dan kawasan lain yang menunjukkan wajah budaya. B. Interaksi Masyarakat Sekitar dengan Taman Nasional Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi reaksi (Moen 1973, diacu dalam Firmansyah 2004). Masyarakat di sekitar taman nasional adalah sekumpulan individu, keluarga dan komunitas tradisional atau modern yang bertempat tinggal tetap atau terus menerus pada suatu areal tertentu. Areal ini berada di dalam atau berbatasan dengan suatu kawasan taman nasional yang telah berdiri atau telah diusulkan sebagai kawasan taman nasional (West dan Brechin 1995, diacu dalam Wibisono 1997). Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional relatif rendah ini merupakan faktor pendorong yang kuat untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap sumberdaya alam di taman nasional (Alikodra 1989). Pengelolaan kawasan dilindungi oleh agen spesifik mempengaruhi berbagai macam kelompok masyarakat. Kelompok tersebut meliputi masyarakat yang tinggal di dalam atau di luar kawasan, terutama sejumlah orang yang menggunakan atau memperoleh sumberdaya alam dari kawasan dilindungi, selain

21 itu juga meliputi sejumlah orang yang memiliki pengetahuan, kapasitas dan aspirasi yang berhubungan dengan pengelolaannya serta sejumlah orang yang mengenal nilai budaya, agama dan rekreasi di kawasan tersebut (Borini dan Feyerabend 1999). Berdasarkan hasil kongres Taman Nasional Se-Dunia pada tahun 2003, memandatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat tersebut akan termotivasi berperan serta untuk kepentingan pengelolaan kawasan dalam jangka panjang. Hal ini akan berimplikasi terbukanya akses bagi masyarakat terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan secara berkesinambungan (Soekmadi 2005). Menurut Phillips (2002) peraturan yang sangat tegas menyatakan bahwa tidak ada kawasan dilindungi dapat sukses dalam jangka waktu yang lama jika berlawanan dengan kondisi lokal. Selain itu juga menurut MacKinnon et al. (1993), bahwa keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitar. Di tempat dimana kawasan dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan. Beberapa penyebab terjadinya interaksi yang cukup penting antara manusia dan sumberdaya hutan (Alikodra 1985) adalah : a. Tingkat pendapatan masyarakat sekitar kawasan relatif rendah b. Tingkat pendidikannya relatif rendah c. Rata-rata pemilikan lahan yang sempit dan kurang intensif pengelolaannya d. Laju pertumbuhan penduduk yang pesat dengan kepadatan cukup tinggi Menurut MacKinnon et al. (1993), interaksi masyarakat dengan kawasan yang dilindungi dapat diarahkan pada suatu tingkat integrasi dimana keperluan masyarakat akan sumberdaya alam dapat dipenuhi tanpa mengganggu atau merusak potensi kawasan. Salah satu alternatifnya adalah membentuk daerah

22 penyangga sosial yaitu daerah penyangga yang berguna untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mereka tidak merugikan hutan tersebut. Daerah penyangga juga dapat berfungsi sebagai usaha pertanian intensif, tempat untuk mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara manusia dengan alam. Di Indonesia, setiap kawasan konservasi yang berbatasan dengan pemukiman hampir selalu mendapat tekanan dari masyarakat, baik berupa pemukiman di dalam kawasan maupun pemanfaatan potensinya. Seperti halnya, TN Baluran yang berdampingan dengan beberapa desa diantaranya Desa Wonorejo, Desa Sumberanyar dan Desa Sumberwaru pada Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo serta Desa Bajulmati dan Desa Watukebo pada kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi (Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam 1996). Selain itu, terdapat juga beberapa pemukiman di dalam kawasan TN Baluran. Hal tersebut menimbulkan kecenderungan masyarakat untuk memasuki dan mengambil kekayaan alam dari dalam taman nasional. Menurut Soekmadi 1987 dan Setianingrum 1996, interaksi yang terjadi antara masyarakat desa sekitar TN Baluran dengan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan tersebut berupa : pengambilan kayu bakar, gadung, ules, buah asam, buah kemiri, biji akasia, rotan, bambu, rumput, madu, dan nener serta penggembalaan ternak secara liar. Berdasarkan studi kasus di Desa Sumberwaru (Setianingrum 1996), jenisjenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sumberwaru dari dalam kawasan TN Baluran dan persentase pemanfaat di desa tersebut antara lain kayu bakar (20,28%), kemiri (5,63%), asem (5,63%), nener (17,46%), gadung (2,25%), bambu (3,38%), biji akasia (8,73%), rumput (17,75%), rambanan (4,23%), gebang (7,04%), ikan (3,10%), madu (1,97%) dan kerang (2,54%). Beberapa jenis sumberdaya hutan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat secara musiman dan sebagian yang lainnya dimanfaatkan sepanjang tahun. Kayu bakar dimanfaatkan masyarakat sepanjang tahun dan frekuensinya meningkat pada musim kemarau, jenis sumberdaya hutan lainnya yang dimanfaatkan sepanjang tahun yaitu gebang, bambu, rumput, rambanan, ikan, madu dan kerang. Sedangkan sumberdaya hutan yang dimanfaatkan secara musiman yaitu kemiri

23 (Oktober-November), asem (Juni-Agustus), nener (September-Januari), gadung (September-Oktober) dan biji akasia (Juni-Agustus). C. Manfaat Sumberdaya Hutan Manfaat adalah pertambahan nilai pasar hasil tanaman, ikan serta barang lain karena perbaikan kualitas lingkungan (Hufschmidt et al. 1987). Sedangkan yang dimaksud Sumberdaya hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Benda-benda hayati meliputi hasil nabati dan hewani beserta turunannya, sedangkan benda-benda non hayati berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang. Untuk jasa yang biasa diperoleh dari hutan adalah berupa jasa wisata. Keindahan dan keunikan, perburuan dan lain-lain (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Dengan demikian berdasarkan manfaatnya, jenis sumberdaya hutan dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu manfaat tangible dan manfaat intangible. Manfaat tangible merupakan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya alam berbentuk material yang dipungut dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat seperti kayu, getah, rotan, buah-buahan, kulit dan lain sebagainya. Sedangkan manfaat intangible merupakan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya alam tetapi tidak dirasakan langsung oleh masyarakat seperti rekreasi, hidrologi, pendidikan, penelitian, pengaturan iklim dan sebagainya. Keberadaan kawasan konservasi masih belum dirasakan manfaaatnya secara optimal, baik oleh masyarakat sekitar (dan di dalam kawasan), maupun bagi daerah dimana kawasan tersebut berada. Oleh karena itu, paradigma pemanfaatan sumberdaya alam hayati seharusnya tidah hanya dibatasi pada pemanfaatan jasa hutan dan lingkungannya semata, melainkan juga harus dimungkinkan pemanfaatan bentuk lain yang secara riel mampu berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa menganggu fungsi kawasan secara keseluruhan (Soekmadi 2005). Pemanfaatan kawasan taman nasional secara umum mencakup kegiatan di dalam pemanfaatan atas potensi sumberdaya alam taman nasional berupa: a) Pemanfaatan kawasan sebagai sumber plasma nutfah, untuk selanjutnya plasma nutfah tersebut dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan

24 taman nasional antara lain untuk kepentingan budidaya jamur, budidaya tanaman obat, budiadaya tanaman hias, penangkaran satwa dan lain-lain. b) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang mencakup pengambilan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi kawasan taman nasional seperti pengambilan madu, pengambilan getah, pengambilan buah, pengambilan umbi-umbian dan lain-lain. c) Pemanfaatan jasa wisata dan lingkungan yang mencakup pemanfaatan potensi wisata dan jasa lingkungan tanpa merusak fungsi kawasan taman nasional seperti pemanfaatan obyek wisata untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi alam, pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan, pemanfaatan untuk penelitian dan pendidikan, dan lain-lain. Menurut Sriyanto (2005), kegiatan pemanfaatan tradisional pada kawasan pelestarian alam adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang ada dalam kawasan elestarian alam oleh masyarakat lokal/setempat yang secara tradisional kehidupan sehari-harinya tergantung pada kawasan pelestarian alam. Oleh karena itu, kegiatan pemanfaatan tradisional pada kawasan pelestarian alam dapat dilaksanakan apabila : a. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat lokal/setempat sekitar kawasan pelestarian alam. b. Untuk memenuhi kebutuhan adat masyarakat lokal/setempat sekitar kawasan pelestarian alam. Mengingat kegiatan pemanfaatan tradisional pada kawasan pelestarian alam merupakan kegiatan yang spesifik, maka dalam pelaksanaannya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut (Sriyanto 2005) : a. Kriteria lokasi yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan tradisional b. Jenis-jenis sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemanfaatan tradisional c. Peserta, dalam hal ini masyarakat lokal/setempat yang secara tradisional berinteraksi terhadap kawasan pelestarian alam d. Tata cara pemungutan meliputi inventarisasi dan identifikasi, cara pemanfaatan tradisional serta cara pemanenannya

25 D. Penilaian Nilai adalah persepsi manusia yang merupakan harga sesuatu yang dinilai oleh setiap individu dan tergantung pada waktu dan tempat (Davis dan Johnson 1987). Sedangkan penilaian diartikan sebagai pendugaan terhadap nilai dari sesuatu, kemudian dinyatakan harganya. Jenis nilai yang dimaksudkan secara umum adalah nilai pasar. Dalam keadaan dimana tidak ada pasar sama sekali untuk komoditi-komoditi dari jenis-jenis yang akan dinilai digunakan standar lain yaitu dengan substitusi atau nilai barang penggantinya (Duerr 1960). Peran dari adanya pengelolaan taman nasional adalah mencegah hilangnya atau menambahkan nilai sumberdaya yang merupakan asetnya tersebut. Penilaian sumberdaya dapat menggunakan teknik ekonomi untuk mengatur secara kuantitatif nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan sebuah taman nasional (Merril dan Elfian 2001). Beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi dari hasil hutan diantaranya : 1. Metode Nilai Pasar Nilai pasar adalah nilai atau angka rupiah yang ditetapkan untuk transaksi atau jual beli di pasar. Nilai yang dianggap standar adalah nilai pasar, yakni harga yang ditetapkan untuk penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak lain atau keadaan kompetisi sempurna (Davis dan Johnson 1987). Harga pasar dari sebuah barang adalah cara yang paling lazim digunakan untuk menentukan nilai barang tersebut (Lowe and Lewis 1980, diacu dalam Wibisono 1997). 2. Metode Nilai Relatif Metode nilai relatif pada prinsipnya adalah menilai suatu barang yang belum ada pasarnya dengan memperbandingkannya dengan barang lain yang sudah diketahui harga pasarnya dan dalam penilaian tersebut apabila sekali suatu benda yang dinilai masyarakat/sudah diketahui harga pasarnya, maka nilai benda itupun dapat diketahui (Davis dan Johnson 1987). 3. Metode Biaya Pengadaan Metode biaya perjalanan (travel cost method) sebagai salah satu teknik penilaian manfaat secara tidak langsung, pada dasarnya adalah pendekatan untuk

26 menilai manfaat dari suatu barang dengan cara menghitung korbanan-korbanan yang dikeluarkan oleh konsumen agar dapat mengkonsumsi barang yang akan dikonsumsinya (Davis dan Johnson 1987). Dalam hal manfaat barang dan jasa hutan jika digunakan untuk konsumsi sendiri, metode biaya perjalanan dimodifikasi menjadi metode biaya pengadaan. Metode biaya pengadaan ini pada prinsipnya menghitung berapa uang yang dikorbankan untuk konsumen untuk memperoleh barang yang akan dikonsumsinya. Terdapat lima karakteristik dari kawasan konservasi yang membuat penilaian ekonomi sumberdaya menjadi sulit (Dixon and Sherman 1990) antara lain : a. Tidak ada persaingan : tidak ada kompetisi dalam mengkonsumsi jasa-jasa yang diberikan oleh kawasan konservasi. b. Tidak ada pengecualian : akses yang terbuka terhadap sumberdaya sering menyebabkan tidak adanya harga pasar terhadap sumberdaya tersebut kendati pun nilai aktualnya cukup besar. c. Manfaat mengalir ke luar kawasan : manfaat kawasan konservasi dapat menyebar ke wilayah pemukiman penduduk non-tempatan, propinsi atau negara lain, yang menyebabkan harga jasa-jasa ini di bawah nilai sesungguhnya. d. Ketidakpastian : kegagalan pasar terjadi karena informasi yang tidak lengkap atau tidak benar mengenai kelangkaan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan konservasi. Tidak dapat diperbaharui : seandainya suatu kawasan konservasi rusak, jelas akan memakan waktu berabad-abad untuk dapat mengembalikannya lagi seperti sediakala, sehingga suplai barang dan jasa menjadi tidak elastis yang menyebabkan nilai aktual dari kawasan konservasi tersebut sulit diukur.

27 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah, Letak dan Luas Kawasan Upaya penunjukan kawasan Baluran menjadi suaka margasatwa telah dirintis oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928, rintisan tersebut didasarkan kepada usulan AH. Loedeboer yang menguasai daerah tersebut yang sebelumnya daerah ini sebagai lokasi perburuan. Tahun 1937 kawasan Baluran ditetapkan sebagai suaka margasatwa dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 9 Tahun 1937 (Lembaran Negara No. 544 tahun 1937). Tujuan dijadikannya kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa pada waktu itu adalah untuk melindungi berbagai jenis satwa langka dari kepunahan. Pada tanggal 6 Maret 1980 bertepatan dengan hari Pengumuman Strategi Pelestarian Dunia, Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia sebagai taman nasional. Secara administratif pemerintahan, TN Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada 7º29'10" - 7º55'5" LS dan 114º29'20"-114º39'10" BT. Daerah ini terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati, Desa Wonorejo dan sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Klokoran, Desa Sumberwaru. Luas TN Baluran berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Maret 1997 seluas hektar, sedangkan berdasarkan S.K. Dirjen PKA Nomor : 187/Kpts-DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 zonasi Taman Nasional Baluran terdiri dari : a. Zona inti seluas Ha b. Zona rimba seluas Ha (perairan = Ha dan daratan = Ha) c. Zona pemanfaatan intensif seluas 800 Ha d. Zona pemanfaatan khusus seluas Ha e. Zona rehabilitasi seluas 783 Ha Sedangkan dari segi pengelolaan, kawasan TN Baluran dibagi menjadi tiga Seksi Konservasi Wilayah, yaitu : a. Seksi Konservasi Wilayah I Pandean, meliputi Resort Bitakol dan Perengan

28 b. Seksi Konservasi Wilayah II Bekol, meliputi Resort Bama dan Lempuyang c. Seksi Konservasi Wilayah III Karangtekok, meliputi Resort Pondok Jaran dan Labuhan Merak. B. Aksesibilitas Aksesibilitas ke dan dari TN Baluran dapat dikatakan sangat lancar, ini disebabkan adanya jalan raya antar Pulau Bali dan Banyuwangi dengan Surabaya yang melintasi kawasan. Dengan demikian TN Baluran dapat dijangkau dengan kendaraan darat dari berbagai kota-kota penting di sekitarnya. C. Topografi TN Baluran mempunyai bentuk topografi datar sampai bergunung-gunung dan mempunyai ketinggian antara 0 sampai meter di atas permukaan laut. Bentuk topografi datar sampai berombak relatif mendominasi kawasan ini. Dataran rendah di kawasan ini terletak di sepanjang pantai yang merupakan batas kawasan sebelah timur dan utara. Sedangkan di selatan dan barat mempunyai bentuk lapangan relatif bergelombang. Daerah tertinggi terletak di tengah-tengah kawasan, diantaranya Gunung Baluran (1.247 m). Daerah ini topografinya berbukit sampai bergunung. Beberapa gunung yang terdapat dalam kawasan serta ketinggiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Beberapa Gunung yang terdapat dalam Kawasan TN Baluran Tahun 1995 No Nama Gunung Tinggi (m dpl) 1 Gunung Klosot Gunung Baluran Gunung Glengseran Gunung Montor 64 5 Gunung Kakapa Gunung Priuk 211 Sumber : Rencana Pengelolaan TN Baluran (Buku I : Tahun ) D. Iklim TN Baluran beriklim monsoon dengan musim kemarau yang panjang. Musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai bulan November. Menurut Schmidt dan Fergusson, TN Baluran termasuk dalam kelas iklim tipe E dengan temperatur berkisar antara 27,2 0 C sampai 30,9 0 C, kelembaban udara 77 %, kecepatan angin

29 7 knots dan arah angin dipengaruhi oleh arus tenggara yang kuat. Pengaruhnya terlihat pada distribusi musim panas dan hujan dimana pada bulan April sampai dengan Oktober musim kemarau dan akhir bulan Oktober sampai dengan awal April musim hujan (Anonim 1995). E. Geologi dan Tanah TN Baluran didominasi oleh batuan vulkanik tua dan batuan alluvium. Batuan vulkanik tua hampir mendominasi seluruh kawasan, sedangkan batuan alluvium terletak di sepanjang pantai meliputi daerah Pandean, Tanjung Sedano, Tanjung Sumber Batok dan Tanjung Lumut. Jenis tanah yang ada di dalam kawasan TN Baluran antara lain : Andosol (5,52%), Latosol (20,23%), Mediteran merah kuning dan Grumusol (51,25%), serta aluvium (23%). Berdasarkan data yang ada, jenis tanah di TN Baluran dikelompokkan pada jenis tanah yang ada di daerah datar hingga cekung, berombak, berbukit sampai bergunung. Jenis tanah yang mempunyai penyebaran di daerah bukit adalah Andosol dan Latosol. Daerah yang lebih rendah jenis tanahnya terdiri dari Mediteran merah kuning dan Grumusol, sedangkan daerah yang paling rendah (cekung) jenis tanahnya didominasi oleh alluvium. Tanah jenis ini merupakan tanah yang kaya akan mineral, tetapi miskin akan bahan organik. Demikian juga tanah yang mempunyai kesuburan kimiawi yang tinggi tetapi kesuburan fisiknya rendah karena sebagian besar berpori dan tidak bisa menyimpan air dengan baik (tidak baik untuk tanah persawahan karena jumlah airnya tidak tercukupi). Tanah yang berwarna hitam yang menyelimuti setengah daerah dataran rendah (antara lain Bekol), ditumbuhi rumput yang sangat subur sehingga disenangi oleh satwa pemakan rumput. Namun tanah jenis ini mempunyai ciri khas mudah longsor dan sangat berlumpur pada musim penghujan. Sebaliknya bila musim kemarau sedang berlangsung, permukaan tanah menjadi pecah-pecah dengan patahan sedalam lebih kurang 80 cm dan lebar lebih kurang 10 cm. F. Hidrologi Di TN Baluran terdapat dua buah sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Bajulmati dan Sungai Klokoran. Sungai Bajulmati dan Sungai Klokoran yang

30 membentuk batas TN Baluran di sebelah Selatan dan Barat bermuara pada Pantai Utara dan Timur Pulau Jawa. Mata air yang berasal dari resapan air masuk kedalam tanah dan akhirnya muncul di permukaan tanah yang lebih rendah terdapat di Kelor, Popongan, Bama, Mesigit (daerah pantai), Teluk Air Tawar dan Tanjung Sedano. Di Kacip terdapat sumber air yang berpengaruh terhadap kehidupan satwa dan petugas TN Baluran yang bertugas di Resort Bekol dan sekitarnya, terutama pada musim kemarau (Anonim 1995). G. Kondisi Flora dan Fauna TN Baluran merupakan satu-satunya kawasan di Pulau Jawa yang memiliki padang savana alamiah. Luasnya ± Ha atau sekitar 40% dari luas kawasan. Kawasan Baluran mempunyai ekosistem yang lengkap yaitu Hutan Mangrove, Hutan Pantai, Hutan Payau/Rawa, Hutan Savana dan Hutan Musim (daratan tinggi dan dataran rendah). Tumbuhan khas Baluran adalah widoro bekol (Zizyphus rotundifolia). Tumbuhan lainnya adalah asam (Tamarindus indica), gadung (Dischorea hispida), pilang (Acacia leucophloea), kemiri (Aleuritas moluccana), kepuh (Sterculia foetida), gebang (Corypha utan), walikukun (Schoutenia ovata), mimbo (Azadirachta indica), kesambi (Schleicera oleosa), lontar (Borassus sp.) dan lainlain. Di kawasan ini terdapat sekitar 155 jenis burung yang sudah langka, antara lain walet ekor-jarum (Hirundapus caudacutus). Mamalia besar yang merupakan satwa langka adalah banteng (Bos javanicus) dan ajag (Cuon alpinus). Satwa lainnya babi hutan (Sus sp.), kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus timorensis), macan tutul (Panthera pardus), kerbau liar (Bubalus bubalis), lutung (Presbytis cristata), monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus sp), dan lain-lain. H. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran H. 1. Letak dan Luas Desa Penyangga TN Baluran TN Baluran berdekatan dengan lima desa dari dua kecamatan dan kabupaten yang berbeda antara lain Desa Wonorejo, Desa Sumberwaru, Desa Sumberanyar yang terletak di Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo. Sedangkan dua

31 desa lainnya yaitu Desa Bajulmati dan Desa Watukebo yang terletak di Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi. Tabel 2. Luas dan Batas-batas Desa Penyangga TN Baluran Batas-batas Desa No Desa Luas (km 2 ) Utara Selatan Barat Timur 1 Wonorejo 239,190 TN Baluran Sungai Bajulmati Ds.Sumberwaru Pantai Selat Bali 2 Sumberwaru 111,270 Pantai Selat Hutan dan Pantai dan Ds.Sumberanyar Madura Ds.Wonorejo Ds.Wonorejo 3 Sumberanyar 97,710 Pantai Selat Madura Kawasan Peg.Ijen Ds.Sumberejo Ds.Sumberwaru 4 Bajulmati 12,43 Ds.Wonorejo Ds.Sidodadi Ds.Bimorejo Ds.Watukebo 5 Watukebo 145,79 Kab.Situbondo Ds.Sidowangi Bondowoso Ds.Bajulmati Sumber : Monografi desa dan kecamatan yang bersangkutan Tahun 2004 H. 2. Pemerintahan Desa Penyangga TN Baluran Dilihat dari pemerintahannya, kelima desa penyangga TN Baluran memiliki dusun, Rukun Warga dan Rukun Tetangga yang jumlahnya berbeda dengan rincian sebagai berikut : Tabel 3. Jumlah Dusun, RT dan RW di Desa Penyangga TN Baluran No Desa Dusun Jumlah RW Jumlah RT 1 Wonorejo Randu Agung 1 3 Kendal 1 5 Jelun 1 11 Pandean Sumberwaru Krajan 3 7 Blangguan 1 3 Cotek 3 7 Sidomulyo Sumberanyar Sekar Putih 2 5 Curah Temu 2 5 Bindung 2 5 Nyamplung 3 7 Ranurejo 4 12 Mimbo Bajulmati Krajan 9 17 Galean 5 15 Badolan Watukebo Krajan 5 23 Maelang 4 17 Pringgondani 4 12 Pasewaran 1 2 Sumber : Monografi desa dan kecamatan yang bersangkutan Tahun 2004 H. 3. Kependudukan Jumlah penduduk di lima desa penyangga kawasan TN Baluran sebanyak orang, dengan rincian pada tabel berikut : Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Penyangga TN Baluran Tahun 2004 No. Desa Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo Jumlah Sumber : Monografi desa dan kecamatan yang bersangkutan tahun 2004

32 H. 4. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat dari lima desa penyangga TN Baluran umumnya masih tergolong rendah, sebagian besar tingkat pendidikan yang mereka miliki hanya mencapai jenjang SD. Tingkat pendidikan yang rendah dapat mencerminkan tingkat kesadaran yang rendah terhadap kelestarian alam, sehingga yang lebih diutamakan adalah pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini dapat lebih memungkinkan timbulnya kecenderungan memilih alternatif untuk mengeksploitasi potensi kawasan hutan tanpa memikirkan dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan bila eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan dan terus menerus. Tingkat pendidikan masyarakat dari lima desa penyangga TN Baluran dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran No Tingkat Pendidikan Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo 1. Belum Sekolah * ) * ) Tidak Tamat SD * ) Tamat SD SLTP SLTA Akademi Sarjana Jumlah Sumber : Monografi desa dan kecamatan yang bersangkutan tahun 2004 Keterangan : * ) Tidak ada data H. 5. Mata Pencaharian Sebagian besar masyarakat di lima desa penyangga TN Baluran bergerak pada sektor pertanian dan perkebunan yaitu sebagai petani dan buruh tani, sedangkan yang lainnya adalah karyawan, pedagang, peternak, penggembala, tukang, nelayan dan pensiunan. Dalam sektor pertanian, jumlah buruh tani yang tidak memiliki lahan cukup tinggi. Disamping itu pertanian juga dilaksanakan pada lahan kering, dan bergantung pada musim serta kondisi pengairan. Hal ini menyebabkan tingkat perambahan oleh masyarakat desa ke dalam kawasan TN Baluran pada musim kemarau cukup tinggi. Jenis-jenis tanaman yang ditanam pada lahan pertanian adalah padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, dan buah-buahan seperti mangga, pisang serta sayuran. Perkebunan yang ada terdiri dari kebun kelapa, kapuk dan kapas. Selain itu juga terdapat areal pertambakan. Berbagai sektor ini sebenarnya

33 membuka kesempatan masyarakat untuk memperoleh lapangan pekerjaan dengan harapan dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap kawasan TN Baluran. Secara lengkap mata pencaharian masyarakat desa penyangga kawasan TN Baluran dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 6. Jenis Pekerjaan Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran No Jenis Pekerjaan Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo 1. PNS ABRI Swasta Wiraswasta Petani Tukang Buruh Tani Pensiunan Nelayan Jasa Peternak Pedagang Jumlah Sumber : Monografi desa dan kecamatan yang bersangkutan tahun 2004 H. 6. Ketergantungan Masyarakat Desa Penyangga terhadap Kawasan TN Baluran Seperti telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya tingkat ketergantungan masyarakat desa sekitar kawasan TN Baluran yaitu daerah yang kering, terbatasnya lahan pertanian, perkebunan dan peternakan, lahan pertanian yang kurang produktif karena tergantung pada musim dan pengairan, pemilikan lahan pertanian per keluarga yang kecil bahkan tidak sedikit keluarga yang tidak memiliki lahan sama sekali. Faktor-faktor di atas menimbulkan kurangnya kesadaran atau minat masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang terdapat di dalam kawasan TN Baluran.

34 IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran dilakukan di TN Baluran, Jawa Timur. Daerah penyangga TN Baluran yang menjadi desa-desa penelitian mencakup Desa Wonorejo, Desa Sumberwaru, Desa Sumberanyar, Desa Bajulmati dan Desa Watukebo. Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini selama dua bulan yaitu Bulan Juli-Agustus B. Obyek Penelitian Obyek yang diteliti adalah masyarakat yang tinggal di desa penyangga TN Baluran yang memanfaatkan sumberdaya hutan. C. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini berdasarkan pada Teori Rambo. Menurut Rambo (1983) dalam Iskandar (2001), faktor-faktor sistem biofisik atau ekosistem di sekitar manusia sangat beragam bergantung pada dimana manusia itu tinggal, termasuk di dalamnya iklim, udara, air, tanah, tanaman dan binatang. Sehingga di dalam kehidupan manusia senantiasa terjadi interaksi timbal balik sistem sosial yang dipengaruhi latar belakang budaya dan sistem biofisik atau ekosistem. Hubungan timbal balik yang erat antara dua sub sistem itu dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya arus energi, materi dan informasi. Dalam penelitian ini, sistem biofisik atau ekosistem yang dimaksud adalah Taman Nasional beserta potensinya sebagai satu kesatuan ekosistem. Di dalam sistem sosial terdapat potensi sumberdaya manusia, sedangkan di dalam ekosistem taman nasional terdapat potensi sumberdaya taman nasional. Potensi sumberdaya taman nasional ini memiliki suatu nilai yang terkandung akibat adanya hubungan pemanfaatan sumberdaya taman nasional oleh masyarakat sekitar hutan. Dalam rangka memanfaatkan sumberdaya taman nasional, masyarakat juga memiliki berbagai harapan dengan keberadaan taman nasional. Sehingga dengan memperhatikan pemanfaatan tersebut menimbulkan suatu hipotesis dukungan dalam pengelolaan taman nasional yang dipengaruhi dua aspek penting yaitu

35 manfaat taman nasional dan harapan-harapan masyarakat dengan keberadaan taman nasional. Hipotesis tersebut menyatakan jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada harapan maka semakin besar juga dukungan terhadap pengelolaan taman nasional. Sebaliknya jika manfaat yang diperoleh lebih kecil daripada harapan maka semakin kecil juga dukungan terhadap pengelolaan taman nasional. Dari hipotesis dukungan tersebut akan mempengaruhi pola manajemen taman nasional sehingga menentukan tercapai atau tidaknya Sustainable Park Management. Dengan tercapainya Sustainable Park Management akan memberikan keuntungan baik terhadap sumberdaya manusia maupun sumberdaya taman nasional yaitu kelestarian sumberdaya taman nasional lebih terjamin dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Kerangka pemikiran tersebut tersaji pada gambar di bawah ini : Aliran energi, materi dan informasi Sistem sosial - Populasi - Kebutuhan - Teknologi - Struktur sosial - Ideologi Seleksi, adaptasi dan interaksi Aliran energi, materi dan informasi Ekosistem Alam (Taman Nasional) - Iklim - Tanah - Flora dan Fauna Potensi SDM Karakteristik Sosek Masyarakat Desa Sekitar Hutan Potensi Sumberdaya Taman Nasional Hubungan Pemanfaatan Hipotetik Dukungan Manfaat > Ekspektasi Dukungan Tinggi Manfaat < Ekspektasi Dukungan Rendah Pola management Sustainable Park Management Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

36 D. Batasan Studi 1. Penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat yang tinggal di desa penyangga TN Baluran. 2. Desa penyangga adalah daerah penyangga kawasan TN Baluran dimana di daerah tersebut terjadi aktivitas pemanfaaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Daerah penyangga TN Baluran tersebut mencakup Desa Wonorejo, Desa Sumberwaru, Desa Sumberanyar, Desa Bajulmati dan Desa Watukebo. 3. Responden adalah masyarakat desa penyangga kawasan TN Baluran yang memanfaatkan sumberdaya hutan dari dalam kawasan taman nasional. 4. Sumberdaya hutan adalah benda-benda hayati yang dimanfaatkan masyarakat desa penyangga TN Baluran. Sumberdaya yang dimaksud adalah kayu bakar, rambanan, rumput, gebang, madu, asam, biji akasia, kroto, ikan, kemiri, dan gadung. 5. Manfaat nyata adalah manfaat yang dapat didekati dengan nilai/harga pasar yang ditetapkan dalam transaksi jual beli di pasar. E. Metode Penelitian 1. Jenis Data Jenis data yang akan diambil terdiri dari dua jenis data yaitu data utama dan data penunjang. Data utama berupa : a. Karakteristik masyarakat pemanfaat sumberdaya hutan (umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, mata pencaharian, kepemilikan lahan dan pendapatan di luar sumberdaya hutan) b. Jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan c. Volume tingkat pemanfaat sumberdaya hutan d. Intensitas/frekuensi pengambilan/pemanfaatan sumberdaya hutan e. Lokasi pemanfaatan sumberdaya hutan di TN Baluran f. Cara pengambilan sumberdaya hutan dari kawasan TN Baluran g. Harga pasar sumberdaya hutan h. Harapan dari berbagai pihak dengan keberadaan taman nasional

37 Sedangkan data penunjang berupa : a. Kondisi umum lokasi penelitian b. Kondisi sosial ekonomi lokasi penelitian c. Peta-peta TN Baluran d. Laporan-laporan berkaitan dengan penelitian 2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Studi pustaka Studi pustaka ini dilakukan untuk mengumpulkan data penunjang dalam lokasi penelitian. b. Observasi langsung Observasi langsung dilakukan dengan mengamati sumberdaya hutan yang diperoleh di lapangan dan pengamatan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Selain itu observasi langsung ini dilakukan untuk mengetahui lokasi-lokasi pemanfaatan sumberdaya hutan dalam kawasan TN Baluran serta memetakannya di dalam peta kawasan TN Baluran. Observasi langsung dilengkapi juga dengan pengambilan dokumentasi mengenai aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan. c. Wawancara Wawancara dilakukan secara langsung, sehingga segala hal yang tidak tercantum dalam kuesioner, tapi dianggap penting dapat ditanyakan. Dalam pengumpulan data ini telah diwawancarai sebanyak 150 orang pemanfaat sumberdaya hutan yang berasal dari atau tinggal dalam desa penyangga meliputi Desa Wonorejo (41 orang), Desa Sumberwaru (36 orang), Desa Sumberanyar (32 orang), Desa Bajulmati (31 orang) dan Desa Watukebo (10 orang). Pemanfaat sumberdaya hutan tersebut diketahui dari informasi yang ditanyakan sebelumnya terhadap para informan baik itu perangkat desa, tokoh masyarakat maupun petugas TN Baluran bahkan dari pemanfaat sumberdaya hutan.

38 Tahapan-tahapan untuk memperoleh informasi mengenai jumlah pemanfaat sumberdaya hutan dalam desa penyangga digambarkan sebagai berikut di bawah ini: Informasi dari perangkat desa Informasi dari tokoh masyarakat Informasi dari petugas TN Baluran Pemanfaat sumberdaya hutan Pemanfaat sumberdaya hutan yang lainnya Gambar 2. Tahapan-tahapan untuk mendapatkan informasi Sedangkan untuk mempermudah dalam pengumpulan data maka disajikan tabel rekapitulasi pengumpulan data sebagai berikut : Tabel 7. Rekapitulasi Pengumpulan Data No Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Cara Pengumpulan Ket 1 Utama a. Karakteristik masyarakat pemanfaat sumberdaya hutan (umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, mata pencaharian, kepemilikan lahan dan pendapatan di luar sumberdaya hutan) b. Jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan (berupa apa sumberdaya hutan yang dimanfaatkan, bagian mana yang dimanfaatkan, tujuan dari pemanfaatan) c. Volume tingkat pemanfaat sumberdaya hutan (Berapa jumlah pemanfaatan per unit) d. Intensitas/frekuensi pemanfaatan sumberdaya hutan (berapa kali pemanfaatan sumberdaya hutan per minggu, pada saat kapan/musim apa pemanfaatan tersebut) e. Lokasi pemanfaatan sumberdaya hutan (dimana lokasi pemanfaatan sumberdaya hutan yang terdapat di dalam kawasan, jarak lokasi tersebut dengan tempat tingga l pemanfaat) Responden dan informan Responden dan informan, Kantor pengelola, kantor pemerintahan sektoral (desa atau kecamatan) Responden dan informan Responden dan informan Responden dan informan Wawancara terstruktur wawancara bebas dan Wawancara terstruktur dan wawancara bebas, studi pustaka Wawancara terstruktur wawancara bebas Wawancara terstruktur wawancara bebas dan dan Wawancara terstruktur dan wawancara bebas, lapangan

39 No Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Cara Pengumpulan Ket 2 Penunjang f. Cara pengambilan sumberdaya hutan dari dalam kawasan (bagaimana cara pengambilannya, adakah kerusakan yang ditimbulkan dengan adanya pemanfaatan sumberdaya hutan) g. Harga pasar sumberdaya hutan (berapa harga pasarnya/harga yang dapat diperbandingkan dengan harga pasar) h. Harapan dari berbagai pihak terhadap keberadaan TN baluran a. Kondisi umum lokasi penelitian (sejarah,letak, luas kawasan; iklim; geologi dan tanah; hidrologi; kondisi flora dan fauna) b. Kondisi sosial ekonomi lokasi penelitian (kependudukan; pendidikan dan kesehatan; mata pencaharian; penggunaan lahan; ketergantungan masyarakat pemanfaat desa penyangga terhadap kawasan TN Baluran) c. Peta-peta TN Baluran (peta kawasan TN Baluran; peta zonasi kawasan TN Baluran; peta kerawanan TN Baluran) d. Laporan-laporan yang berkaitan dengan penelitian Responden dan informan Responden dan informan Responden dan informan, Kantor pengelola, kantor pemerintahan sektoral (desa atau kecamatan) Kantor pengelola Kantor pengelola, kantor pemerintahan sektoral (desa atau kecamatan) Kantor pengelola Kantor pengelola Wawancara terstruktur dan wawancara bebas, lapangan Wawancara terstruktur wawancara bebas Wawancara terstruktur wawancara bebas dan dan Penelusuran dokumen/studi pustaka, wawancara Penelusuran dokumen/studi pustaka, wawancara, lapangan Penelusuran dokumen/studi pustaka Penelusuran dokumen/studi pustaka 3. Pengolahan Data dan Analisis Data Data-data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi dan diolah sehingga mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan dalam terminologi uang secara riel (monetary term). Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan harga pasar untuk sumberdaya hutan yang telah diketahui nilai pasarnya. Sedangkan sumberdaya hutan yang belum diketahui nilai pasarnya tetapi dapat dipertukarkan atau dibandingkan dengan barang atau jasa yang telah ada nilai pasarnya, penilaian digunakan dengan menggunakan nilai relatif. Setiap jenis sumberdaya hutan dihitung nilai rielnya dalam bentuk rupiah dari penjumlahan beberapa lokasi yang memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut. Misalnya untuk jenis A, lokasi yang memanfaatan jenis A dibagi menjadi 3 lokasi (Desa) yaitu A1, A2, dan A3. Jadi nilai riel untuk jenis A tersebut yaitu

40 penjumlahan dari nilai A1, A2, dan A3 (?A). Begitu pun untuk jenis sumberdaya hutan lainnya disajikan dalam tabel yang berbeda. Tabel 8. Nilai Manfaat Tiap Jenis Sumberdaya Hutan Jenis Sumberdaya Hutan (A) Desa 1 (A1) Desa 2 (A2) Desa 3 (A3) No Resp F H V No Resp F H V No Resp F H V dst dst dst Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaaat (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn) Catatan : V Nilai manfaaat (Rp/thn) = volume (unit) F = frekuensi (minggu) H = nilai pasar/nilai relatif (Rp) n = jumlah pemanfaat Nilai manfaat (Rp/tahun) = F x H x V x n Nilai manfaaat (Rp/thn) Berdasarkan manfaat riel tiap jenis sumberdaya hutan tersebut, kemudian dilakukan rekapitulasi manfaat riel seluruh jenis sumberdaya hutan dalam bentuk rupiah/tahun seperti tersaji pada tabel berikut: Tabel 9. Rekapitulasi Nilai Manfaat Seluruh Jenis Sumberdaya Hutan Jenis Sumberdaya Hutan Jenis A Jenis B Jenis C dst Niali Manfaat tiap jenis sumberdaya hutan (Rp/ Thn) A B C dst Nilai Manfaatl seluruh jenis sumberdaya hutan (Rp/ Thn)? ( A+B+C...+dst ) Tahap terakhir yang harus dilakukan adalah analisis data, yaitu analisis tabel yang sudah dibuat. Analisis ini dilakukan secara deskriptif yaitu suatu analisis yang memberikan penjelasan, keterangan dan gambaran tentang subyek penelitian.

41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pemanfaat Sumberdaya Hutan Karakteristik pemanfaat sumberdaya hutan pada lima desa penelitian disajikan dalam bentuk tabel (tabulasi) yang meliputi umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, mata pencaharian, kepemilikan lahan dan pendapatan di luar sumberdaya hutan. A.1. Umur Umur pemanfaat sumberdaya hutan berkisar antara tahun. Dengan kisaran umur tersebut, pemanfaat sumberdaya hutan dikelompokkan menjadi delapan kelompok umur yaitu yang berumur antara tahun, tahun, tahun, tahun, tahun tahun, tahun dan tahun. Hasil perhitungan disajikan pada tabel 10 dibawah ini. Tabel 10. Umur Pemanfaat Sumberdaya Hutan Jumlah Pemanfaat Tiap Desa Umur Desa Desa Desa Desa Desa Persen Total Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo (%) Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % ,76 2 5,56 1 3,12 3 9, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,11 1 3,12 1 3, ,00 8 5, , , , , , ,34 Jumlah , , , , , ,00 Berdasarkan kelompok umur pada tabel 10 diketahui bahwa persentase pemanfaat sumberdaya hutan terbesar didominasi oleh pemanfaat yang berusia tahun yaitu sebesar 84,00%. dari data tersebut dapat dikatakan bahwa pemanfaat sumberdaya hutan terbesar dilakukan oleh kelompok umur produktif. Tingginya jumlah pemanfaat sumberdaya hutan yang termasuk ke dalam kelompok usia produktif merupakan indikasi adanya keterbatasan lapangan pekerjaan yang mampu memberikan pendapatan memadai bagi pemanfaat sumberdaya hutan tersebut sehingga menyebabkan pemanfaatan sumberdaya hutan di TN Baluran menjadi suatu alternatif yang mampu memberikan tambahan pendapatan.

42 A. 2. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga pemanfaat sumberdaya hutan berkisar antara 2-8 orang. Data selengkapnya disajikan dalam tabel 11. Tabel 11. Jumlah Anggota Keluarga Pemanfaat Sumberdaya Hutan Jumlah Anggota Keluarga * ) Jumlah Pemanfaat Tiap Desa Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Total Persen (%) ,20 1 2, , , , , , , , , , , , , ,44 1 2,78 1 3,13 1 3, Jumlah , , , , , Keterangan : * ) termasuk kepala keluarga Sebanyak 90,66% memiliki jumlah anggota keluarga 3-6 orang. Hal ini dapat dijelaskan, semakin banyak jumlah anggota keluarga, semakin banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Akibatnya semakin banyak keluarga yang mencari tambahan penghasilan dengan mencari sumberdaya hutan. A. 3. Tingkat Pendidikan Sebagian besar pemanfaat sumberdaya hutan berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar (baik tamat maupun tidak tamat) sebesar 70,00%. Perincian selengkapnya disajikan dalam tabel 12. Tabel 12. Tingkat Pendidikan Pemanfaat Sumberdaya Hutan Tingkat Pendidikan Terakhir Jumlah Pemanfaat Tiap Desa Persen (%) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo Total Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Tidak Sekolah 5 12, , ,50 3 9, , Tidak Tamat SD 12 29, , , , , Tamat SD 18 43, , , , , Tamat SMP 4 9,76 2 5, , , , Tamat SMA 2 4,88 1 2,78 2 6,25 2 6, Jumlah , , , , , Berdasarkan tabel 12, tingkat pendidikan terakhir pemanfaat sumberdaya hutan umumnya rendah hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) bahkan ada yang tidak pernah sekolah. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut akan mempengaruhi tingkat kesadaran mengenai pentingnya fungsi perlindungan dan pelestarian alam TN Baluran.

43 Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki mengakibatkan rendahnya keterampilan untuk memasuki pasar lapangan pekerjaan secara umum yang berdampak pada sempitnya lapangan pekerjaan yang dapat mereka peroleh. Tetapi dengan mencari sumberdaya hutan tidak mensyaratkan tingkat pendidikan atau keterampilan sehingga menjadi pemanfaat sumberdaya hutan di TN Baluran merupakan pilihan mereka untuk menggantungkan kehidupannya. Berdasarkan Bishop dan Tossaint (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan formal dan pendapatan masyarakat. Bila pendidikan rendah maka pendapatannya juga akan rendah. Hal tersebut dikarenakan ketidakmampuan masyarakat yang berpendidikan rendah untuk menganalisa dan memanfaatkan informasi yang berkaitan dengan peluangpeluang untuk memperoleh serta meningkatkan penghasilan. Sementara itu, pemanfaat sumberdaya hutan dengan tingkat pendidikannya lebih tinggi (SMP dan SMA) hanya sedikit yaitu 12,00% dan 4.67%. anggota masyarakat berpendidikan lebih tinggi dan memiliki keterampilan, merasa lebih memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dibanding mencari sumberdaya hutan. A. 4. Mata Pencaharian Dalam penelitian ini, mata pencaharian pemanfaat sumberdaya hutan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu petani, buruh tani, dan wiraswasta. Petani adalah orang yang memiliki dan mengelola lahan baik itu lahan sendiri, lahan milik maupun lahan garapan. Sedangkan buruh tani tidak memiliki lahan, tidak menyewa lahan dan juga tidak menggarap lahan orang lain. Aktivitas pertanian yang dilakukan buruh tani hanya bila permintaan dari pemilik lahan. Upah bagi seorang buruh tani di daerah sekitar TN Baluran berkisar antara Rp.7.500,00 sampai Rp ,00 per hari. Kelompok pemanfaat sumberdaya hutan yang berwiraswasta meliputi pedagang, kusir, tukang pijat dan pekerja bengkel yang juga tidak memiliki lahan.

44 Tabel 13. Mata Pencaharian Pemanfaat Sumberdaya Hutan Jumlah Pemanfaat Tiap Desa Mata Desa Desa Desa Desa Desa Persen Total pencaharian Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo (%) Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Petani 13 31, , , , , Buruh Tani 22 53, , , , , Wiraswasta 6 14, , , , , Jumlah , , , , , Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar pemanfaat sumberdaya hutan bermata pencaharian sebagai buruh tani sebanyak 59,33%. Pendapatan yang diperoleh dari hasil bekerja sebagai buruh tani tidak sepadan dengan jerih payah yang dilakukan sehingga menyebabkan mereka lebih tertarik untuk memanfaatkan sumberdaya hutan yang diambil dari dalam kawasan TN Baluran. Penghasilan yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya hutan dirasakan lebih menguntungkan dibandingkan jika mereka bekerja sebagai buruh tani yang hanya dapat dilakukan pada saat musim tanam dan musim panen tiba. Sehingga tidak mengherankan bila pekerjaan memungut sumberdaya hutan dari dalam kawasan TN Baluran yang pada awalnya hanya dijadikan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan, lambat laun menjadi pekerjaan utama karena ternyata hasil yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan di luar pemanfaatan sumberdaya hutan. A. 5. Kepemilikan Lahan Terdapat suatu kecenderungan dimana kepemilikan lahan mempengaruhi tingkat pemanfaaatan sumberdaya hutan. Semakin luas kepemilikan lahan, tingkat pemanfaatan sumberdaya hutan akan semakin rendah. Data pemanfaat sumberdaya hutan berdasarkan kepemilikan lahan selengkapnya disajikan dalam tabel 14 dibawah ini. Tabel 14. Kepemilikan Lahan Pemanfaat Sumberdaya Hutan Jumlah Pemanfaat No Kepemilikan Desa Desa Desa Desa Desa Persen Total Lahan Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo (%) Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1 Memiliki Lahan 13 31, , , , , ,00 (Petani) 2 Tidak Memiliki lahan (buruh 28 68, , , , , ,00 tani dan wiraswasta Jumlah , , , , , ,00

45 Berdasarkan tabel di atas, mengindikasikan bahwa pemanfaat sumberdaya hutan yang tidak memiliki lahan sebanyak 72,00%. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pemanfaat sumberdaya hutan yang tidak memiliki lahan (buruh tani) menjadikan pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan utama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Jumlah petani sebagai pemilik lahan (milik, sewa, garapan) yang memanfaatkan sumberdaya hutan di kawasan TN Baluran mencapai 28,00%. Para petani tersebut ikut memanfaatkan sumberdaya hutan di TN Baluran pada saat musim paceklik (musim kemarau) dan saat menunggu panen. Dimana pada saat tersebut tidak ada aktivitas bertani. Mengisi waktu luang selama masa panen belum tiba dan memperoleh pendapatan tambahan adalah alasan yang dikemukakan oleh petani tersebut untuk ikut memanfaatkan sumberdaya hutan. A. 6. Pendapatan di luar Sumberdaya Hutan Pendapatan di luar sumberdaya hutan adalah pendapatan yang berasal dari aktivitas di luar pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran (non forest resources based income). Pendapatan di luar sumberdaya hutan yang dihitung berasal dari hasil pertanian bagi yang memiliki lahan atau mengelola lahan, pendapatan dari upah sebagai buruh tani bagi yang tidak memiliki lahan maupun pendapatan dari hasil kegiatan berwiraswastanya. Tabel 15. Pendapatan Pemanfaat di Luar Sumberdaya Hutan Pendapatan Jumlah Pemanfaat Tiap Desa di Luar Sumberdaya Desa Desa Desa Desa Desa Hutan Wonorejo Sumberwaru Sumberanyar Bajulmati Watukebo (Rp) Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % , , , , , , , , , , ,67 3 9, ,63 2 5, ,62 1 3, , , , , , , , ,13 3 9, , > , ,13 1 3, Total Persen (%) Jumlah , , , , , Berdasarkan tabel 15 sebanyak 46,00% pemanfaat sumberdaya hutan memiliki pendapatan di luar sumberdaya hutan sebesar Rp ,00 sampai Rp ,00 per bulan. Sebagian besar pemanfaat tersebut adalah buruh tani yang tidak memiliki lahan. Bagi buruh tani memanfaatkan sumberdaya hutan di TN Baluran adalah sumber pendapatan utama.

46 B. Jenis-jenis Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan B.1. Jenis-jenis Sumbe rdaya Hutan yang Dimanfaatkan dan Persentase Pemanfaat Ada beberapa jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran dengan persentase pemanfaat yang berbeda seperti terlihat pada tabel 16 berikut ini. Tabel 16. Persentase Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Desa Penyangga TN Baluran No Jenis Sumberdaya Hutan Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Jumlah Pemanfaat Tiap Desa Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo Total Pers en (%) 1 Asam ,38 2 Biji Akasia ,84 3 Gadung ,36 4 Gebang (Kobel) ,24 5 Ikan ,18 6 Kelanting ,66 7 Kemiri ,39 8 Kroto ,52 9 Madu ,93 10 Rambanan ,16 11 Kayu bakar ,74 12 Rumput ,09 Masyarakat memanfaatkan beberapa jenis sumberdaya hutan dengan persentase pemanfaat yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar memanfatkan lebih dari satu jenis sumberdaya hutan. Kayu bakar adalah jenis yang paling banyak dimanfaatkan pemanfaat. Besarnya persentase pemanfaat kayu bakar menandakan tingginya interaksi masyarakat dengan hutan dalam hal ini kebutuhan akan energi rumah tangga. Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran sebagian besar dilakukan secara musiman. Berikut disajikan tata waktu pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran. Tabel 17. Tata Waktu Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dalam Kawasan TN Baluran No Jenis Sumberdaya Hutan Waktu (Bulan) 1 Asam Juni-Agustus 2 Biji Akasia Juni-September 3 Gadung September-Oktober 4 Gebang Sepanjang tahun 5 Ikan Sepanjang tahun 6 Kelanting Sepanjang tahun 7 Kemiri September-November

47 No Jenis Sumberdaya Hutan Waktu (Bulan) 8 Kroto Sepanjang tahun 9 Madu Sepanjang tahun 10 Rambanan Sepanjang tahun 11 Kayu bakar Sepanjang tahun 12 Rumput Sepanjang tahun Beberapa jenis sumberdaya hutan dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran antara lain : 1. Daun Gebang (Kobel) Gebang (Corypha utan) merupakan jenis palem yang kokoh dan kuat, berbatang satu, bentuk tiang, tinggi hingga 30 meter. Tumbuhan ini banyak dijumpai di daerah atau kawasan pantai TN Baluran bahkan hampir di seluruh zonasi TN Baluran dijumpai tumbuhan gebang kecuali di zona pemanfaatan tradisional (Lihat Lampiran 5). Lokasi pemanfaatan pupus gebang oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran antara lain mulai dari Sumber Kodung, Alas Malang, Bilik, Merak, Kajang, Bama, Sirontoh, Candibang, Curah Ulin, Sirokoh, Sumiang, Dadap, Palongan, Kalikepuh, Sambikerep, Puyangan sampai ke Perengan. Gambar 3. Tegakan Pohon Gebang Daunnya yang masih muda atau lebih dikenal dengan pupus gebang (kobel) banyak dimanfaatkan untuk tali temali khususnya oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran yang berasal dari daerah Tenggiran, Desa Bajulmati. Selain itu, sebagian berasal dari Dusun Jelun, Desa Wonorejo dan daerah Karangtekok, Desa Sumberwaru. Di daerah Tenggiran terdapat empat orang pengepul (pengumpul) yang masing-masing pengepul minimal mempunyai 15 orang pelanggan (pengambil pupus gebang). Dalam satu hari masyarakat bisa memperoleh kobel 2-5 kg dari ±4 pohon gebang. Satu pohon gebang bisa menghasilkan ½ kg kobel. Pengambilan pupus

48 gebang ini dilakukan dengan beberapa cara, untuk perempuan pengambil pupus gebang biasanya memungut yang jatuh ke lantai tanah atau mengambil dari anakan gebang. Berbeda halnya dengan kaum lelaki, mereka biasanya mengambil dengan bantuan galah bambu yang dipasang pisau/sabit diujungnya. Apabila panjang galah tidak mencapai sasaran maka dilakukan pengambilan dengan memanjat pohon gebang. Dalam hal ini, untuk mempermudah memanjat, mereka membuat anak tangga yang dipaku ke pohon tersebut sebagai pegangan dan injakan kakinya. Gambar 4. Aksi Pengambilan Daun Gebang Gambar 5. Aksi Pembuangan Lidi Daun Gebang Pengambil gebang biasanya berangkat dari rumahnya sekitar pukul WIB dan pulang dari alas (hutan) sekitar pukul WIB. Jika tidak ada patroli gabungan, mereka hampir tiap hari mengambil pupus gebang dari dalam kawasan TN Baluran. Kalau pun mereka libur/tidak mencari pupus gebang, mereka memproses pupus tersebut yang telah diperolehnya. Untuk mempermudah dan memperingan dalam membawanya ke tempat tinggal, umumnya pengambil membuang dahulu lidinya di hutan. Tetapi ada juga pengambil pupus gebang yang membawa pupus tersebut tanpa dibuang lidinya terlebih dahulu. Untuk pengambil yang demikian, mereka membuang lidinya di tempat tinggalnya. Setelah daun gebang tersebut terbagi dua kemudian diserut salah satu bagian permukaannya yang cukup kuat lalu dijemur dalam ikatan-ikatan untuk mempermudah pengeringan sampai berwarna kecoklat-coklatan. Proses dari pembuangan lidi sampai penjemuran bisa menghabiskan waktu ±3 hari. Setelah itu, daun gebang siap untuk dijual. Daun tersebut dibeli oleh pengepul dengan harga Rp. 4000,00 sampai Rp. 4500,00/kg. Dengan kualitasnya yang cukup kuat untuk tali temali maka daun gebang ini biasanya dijual oleh para pengepul ke Pasuruan. Di

49 Pasuruan tali gebang tersebut diproses menjadi tampir yang selanjutnya dapat dijadikan tas, topi, tutup lampu dan kerajinan lainnya. Pengambilan gebang menimbulkan kerusakan tegakan gebang di lokasi serta kondisi habitatnya. Pada umumnya, kondisi fisik tanaman yang rusak, baik pada gebang dalam pertumbuhan awal (anakan) atau pada gebang dewasa, ditandai dengan tinggi tanaman yang tidak merata dengan tinggi rata-rata hanya 6 meter karena pertumbuhan yang terganggu. Selain itu juga, kondisi daun yang tidak normal, yaitu banyak tangkai daun yang patah atau akibat pemotongan dan pengambilan daun muda/pupus. Banyak diantaranya yang nampak mati sebelum keluar malai (tandan bunga/biji) karena pengambilan daun muda yang tanpa perhitungan. Dan sejak anakan, dimana dianggap oleh pemanfaat gebang telah menghasilkan daun muda/kobel yang secara kriteria telah memenuhi standar untuk diambil, maka tanpa peduli mereka pun mengambilnya juga. Sedangkan dari kondisi habitatnya, di lokasi tersebut nampak areal-areal terbuka yang merupakan akibat dari matinya tegakan gebang pada pertumbuhan awal. Hal ini mengurangi kerapatan dari tegakan gebang di lokasi tersebut. Penanganan yang dilakukan untuk mengendalikan kegiatan pemanfaat daun gebang tersebut diantaranya yaitu dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat akan akibat/dampak negatif dari perusakan tersebut. Di samping itu juga perlu patroli lapangan secara rutin/terpadu untuk mencegah masyarakat melakukan pengambilan bagian-bagian gebang tersebut. Upaya lainnya, yaitu dengan berupaya memberikan aktivitas ekonomi alternatif lain tanpa masuk kawasan TN Baluran. Langkah lainnya dengan pendekatan kepada para pengepul, sebagai pemilik modal, agar mengarahkan anak buahnya untuk meminimalisir pengambilan daun gebang dari dalam kawasan taman nasional dan berupaya mengatur pola pemanfaatan daun gebang dalam kawasan TN Baluran yang memenuhi kaidah kelestarian sehingga walaupun adanya pemanfaaan, tegakan gebang mempunyai tenggang waktu untuk regenerasi secara optimal. 2. Biji gebang (kelanting) Seperti telah dikemukakan sebelumnya, biji gebang atau lebih dikenal dengan kelanting juga banyak ditemukan di kawasan pantai TN Baluran meliputi

50 Sumber Kodung, Alas Malang, Bilik, Merak, Kajang, Bama, Sirontoh, Candibang, Curah Ulin, Sirokoh, Sumiang, Dadap, Palongan, Kalikepuh, Sambikerep, Puyangan sampai ke Perengan. Apabila gebang mencapai titik pertumbuhan dengan keluarnya tandan bunga berbentuk malai melebar dan kemudian menjadi biji, juga dimanfaatkan oleh masyarakat. Biji gebang atau kelanting tersebut biasanya digunakan dalam kerajinan tasbih dan sandaran jok mobil. Hampir semua pengambil kelanting di sekitar TN Baluran berasal dari Dusun Jelun, Desa Wonorejo. Di dusun tersebut hanya terdapat satu orang pengepul yang berdasarkan wawancara, pengepul tersebut mempunyai 10 orang pelanggan (pengambil kelanting) yang semuanya berasal dari Jelun. Pengepul biasanya memperoleh kg/hari dari semua pelanggannya. Gambar 6. Tumpukan kelanting di Dalam Kawasan Satu pohon gebang bisa menghasilkan 1 ton kelanting. Dalam pengambilannya, kelanting tersebut dijatuhkan dari pohonnya ke lantai tanah dengan memanjat pohon gebang yang telah dipasang anak tangga seperti halnya dalam pengambilan pupus gebang. Setelah terkumpul di bawah tegakannya maka kelanting tersebut dibiarkan ±6 bulan di tempat tersebut untuk memperingan dalam membawanya sampai ke tempat tinggal pengambil dan membantu dalam pengelupasan kulitnya. Setelah itu, baru dibawa ke pengepul untuk di selip (dibersihkan dari kulitnya) dengan menggunakan mesin penyelip dan kemudian dijemur ±3 hari. Dalam proses penyelipan 2 ton kelanting bisa diselip dalam jangka waktu 1 hari. Kelanting dijual ke pengepul dengan harga Rp. 75,00/kg. Untuk satu kali pengiriman, pengepul mengumpulkan ±2 ton dalam waktu 2 bulan. pengiriman kelanting biasanya ke daerah Jember untuk dibuat tasbih. Menurut hasil

51 wawancara, 1 kg kelanting bisa menghasilkan 6 tasbih dengan harga Rp ,00/tasbih. Kegiatan pengambilan kelanting berakibat berkurangnya persentasi regenerasi alami gebang. Apabila kegiatan ini terus berlangsung maka kondisi tegakan gebang yang telah rusak akibat dari pengambilan daun muda menjadi diperparah dengan berkurangnya potensi regenerasi gebang muda. Dari kondisi tersebut di atas, merupakan ancaman terhadap kelestarian gebang di TN Baluran. Banyaknya volume pengambilan biji gebang, serta banyaknya jumlah masayarakat pengambil mengakibatkan percepatan rusaknya tegakan gebang tersebut. Apabila kegiatan masayarakat tersebut semakin tidak terkendali, maka dalam hitungan tahun keberadaan gebang di TN Baluran semakin parah dan tidak menutup kemungkinan akan habis. Seperti halnya pada daun gebang, penanganan dalam pengambilan bijinya pun dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman, patroli lapangan secara rutin dan terpadu serta memberikan aktivitas ekonomi alternatif lain bagi masyarakat pemanfaat gebang. Selain itu penting juga adanya pengaturan dari pihak pengelola mengenai pola pemanfaatan yang memperhatikan kelestarian baik itu cara atau mekanismenya maupun pembatasan pada lokasi pengambilannya. 3. Biji Akasia Akasia nilotica sangat identik dengan TN Baluran. Pohon ini melimpah ruah dan penyebarannya pun cukup cepat di kawasan TN Baluran. Hampir di setiap zonasi dalam kawasan TN Baluran ditemui pohon akasia sehingga mempermudah masyarakat untuk mengambilnya (Lihat Lampiran 5). Lokasi-lokasi yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TN Baluran antaralain di Alas Malang, Watu Numpuk, Sumber Kodung, Bilik, Merak, Balanan, Lempuyang, Kajang, Bekol, Pal Boto, Paleran, dan di sepanjang pinggir jalan raya mendekati pos Karang Tekok. Dengan penyebaran tersebut di atas, tak heran jika masyarakat desa penyangga TN Baluran banyak yang memanfaatkan akasia dari dalam kawasan TN Baluran. Selain kayunya yang dipergunakan sebagai bahan bakar, bijinya pun dimanfaatkan untuk campuran kopi dan bisa juga dibuat kecambah untuk sayur.

52 Pada musim kemarau biji akasia sudah mulai tua dan masak antara bulan Juni- September. Pengambilan biji akasia oleh masyarakat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan memungut dari biji yang jatuh di lantai hutan maupun dengan menggunakan alat yang dapat menjangkau biji akasia di pohonnya. Pengambilan tersebut dapat menekan laju pertumbuhan akasia sejauh kegiatan pemanfaatan dilakukan tanpa merusak kawasan di sekitar lokasi pemanfaatan. Tetapi ada sebagian masyarakat untuk memanfaatkannya mereka melakukan penyelipan (penjemuran dengan membuang kulitnya untuk mendapatkan biji akasia bersih) di jalan raya untuk pos Karang Tekok (dari arah batangan). Kadang-kadang bekas dari penyelipan dibakar dipinggir jalan tersebut Gambar 7. Aksi Pengambilan Biji Akasia Gambar 8. Penyelipan Biji Akasia di Jalan Raya Pada umumnya, pengambil biji akasia yaitu kaum perempuan. Sebagian diantaranya membawa sepeda untuk mencari biji akasia ke dalam kawasan TN Baluran. Tetapi tak sedikit juga yang jalan kaki baik sendiri maupun bersama temannya. Mereka biasanya berangkat mencari biji tersebut pagi-pagi sekitar pukul WIB. Dalam sekali mencari biji akasia diperoleh 3-20 kg. Setelah terkumpul ±1 kuintal baru biji tersebut diselip di jalan ataupun di pekarangan rumahnya. Penyelipan yang dilakukan di jalan raya biasanya dimulai dari pukul WIB. Penyelipan tersebut untuk mempermudah pemanfaatan karena selain kondisinya yang panas di atas aspal juga dibantu dengan kendaraan yang menggilasnya sehingga biji-biji akasia cepat mengelupas dari kulitnya. Setelah itu, baru disapu dan ditampi. Hasil tampiannya dipisah antara kulit yang terbuang dengan biji yang sudah lepas dari kulitnya. Kemudian dianginkan supaya bersih dari kulitnya dan terakhir ditampi kembali. Setelah itu barulah biji akasia siap

53 untuk dijual. Harga biji akasia bersih mencapai Rp ,00 sampai Rp ,00 per kg. Dampak pemanfaatan akasia diduga dapat membantu pengelolaan TN Baluran. Hal ini dikaitkan dengan Akasia nelotica sebagai tumbuhan exotic yang merupakan permasalahan dalam pengelolaan TN Baluran. Dalam pengelolaannya justru dilakukan pemberantasan terhadap tanaman tersebut. Sehingga dengan adanya pemanfaatan akasia oleh masyarakat baik itu pengambilan kayunya maupun bijinya diduga akan mengurangi penyebaran akasia. Tetapi jika dalam teknik pemanfaatannya dilakukan penyelipan yang salah misalnya di jalan raya mendekati pos Karang Tekok maka hal ini memicu tumbuhnya akasia dari biji-biji sisa yang tertinggal setelah penyelipan, karena pemanfaat menyapunya ke pinggir jalan dan menampinya. Selain itu, sisa-sisa dari penyelipan tersebut dibakar sehingga menimbulkan polusi udara, musnahnya lapisan humus dan jasad renik serta mengurangi tingkat kesuburan tanah. Dampak negatif lain dari pemanfaatan akasia, semakin banyak orang yang masuk ke dalam kawasan semakin sulit pengawasannya karena memungkinkan pula mengambil sumberdaya hutan lainnya. Gambar 9. Kegiatan dalam Penyelipan Biji Akasia (Ditampi dan Dianginkan) Gambar 10. Dampak Penyelipan (Pembakaran) Berdasarkan dampak pemanfaatan akasia yang telah dikemukakan di atas, maka pengambilan biji akasia ini diperbolehkan tetapi terbatas pada lokasi-lokasi tertentu dengan teknik-teknik pemanfaaatannya lebih memperhatikan konservasi, tidak seperti kasus penyelipan yang telah dibahas.

54 Gambar 11. Akasia Siap Angkut 4. Asam (Tamarindus indica) Penyebaran pohon asam tidak merata dalam kawasan TN Baluran. Wilayah penyebarannya antara lain sepanjang jalan Batangan-Bekol, Bekol, Curah Ulin, Glingseran, Gunung Montor, Alas Malang, Jeding, Bilik, Gatel, dan daerah pondok jaran lainnya. Dengan penyebaran tersebut, maka mengundang masyarakat sekitar kawasan TN Baluran untuk memanfaatkan buah asam sebagai keperluan rumah tangga atau dijual untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau sebagai pekerjaan sampingan. Pemanfaatan ini berlangsung selama Bulan Juni-Agustus. Pada musimnya tersebut, pemanfaatan asam dapat dilakukan 2-7 kali/minggu. Dalam satu kali pengambilan biasanya diperoleh 1-2 sak asam (1 sak = 5-10 kg). Hasilnya dikumpulkan untuk dijemur kemudian dikupas sehingga didapatkan buah asam bersih yang siap dijual dengan harga Rp ,00 sampai Rp ,00/kg. Biasanya mereka mulai mengumpulkan buah asam sekitar pukul WIB selepas pekerjaaan yang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat pemanfaat asam, saat ini produksi asam di dalam kawasan TN Baluran lebih sedikit dibandingkan tahuntahun sebelumnya sehingga pemanfaat asam di desa penyangga TN Baluran pun berkurang dan harga asam saat ini menjadi naik dari ± Rp. 1300,00/kg pada tahun 2004 menjadi Rp ,00 sampai Rp ,00/kg.. Menurut pengalaman para pemanfaat asam, ketika musim asam berbuah di dalam kawasan TN Baluran biasanya mereka dikenakan karcis untuk satu kali musim asam berbuah oleh pihak TN Baluran, dengan satu karcis senilai Rp ,00 dan dibayar kolektif kepada kepala dusun. Walaupun retribusi pungutan tersebut sudah tidak berjalan lagi tapi

55 dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan cara yang pernah dilegalkan oleh pihak TN Baluran terhadap pemanfaatan asam. Pengambilan asam dapat dilakukan dengan berbagai cara memungut dari buah asam yang jatuh di sekitar tegakannya, memanjat pohonnya atau menggunakan galah. Pengambilan dengan memotong cabang atau ranting mengakibatkan menurunnya hasil yang diperoleh pada musim berikutnya karena tajuk menjadi rusak dan pertumbuhan dahan yang dipotong akan mengalami hambatan. Lain halnya apabila pengambilan dilakukan dengan cara menggunakan galah yang ujungnya diberi benda tajam bahkan dengan cara memungut di bawah tegakannya. Hal ini tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada dahan tersebut. Adanya pemanfaat buah asam dapat juga menimbulkan gangguan terhadap ketenangan satwa. Pola penyebaran satwa sering terganggu dan terhalau oleh pemanfaat buah asam pada waktu satwa beristirahat. Gambar 12. Aksi Pengambilan Asam Dalam rangka menjaga kelestarian pohon asam, sebaiknya pihak pengelola TN Baluran melakukan atau menetapkan pengaturan dalam pola pemanfaatan asam dengan cara dan mekanisme yang aman tanpa merusak kelestarian pohon tersebut. Selain itu, untuk meminimalisir gangguan terhadap ketenangan satwa dilakukan pengaturan lokasi atau zonasi pengambilan buah asam tersebut. 5. Kayu Bakar Kayu bakar yang berasal dari dalam kawasan TN Baluran diambil dari daerah Bunutan, Licin, Paleran, Pengarengan, Tlogo, Gatel, Tekok Abu, Alas Malang, Watu Numpuk, dan Lemabang untuk masyarakat pemanfaat kayu bakar

56 dari Desa Sumberwaru dan Desa Sumberanyar. Sedangkan untuk Desa Wonorejo, Bajulmati dan Watukebo, mereka mengambil kayu bakar dari daerah Kedung Bunder, Siroko, Kali Kepuh, Pal Boto, Puyangan, Curah Ulin, Perengan. Lokasilokasi tersebut sebagian besar termasuk ke dalam daerah penyangga TN Baluran (Lihat Lampiran 5). Pemanfaatan kayu bakar sebagai bahan bakar masih banyak dilakukan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran. Sebagian masyarakat tersebut mengumpulkan kayu bakar dari dalam kawasan TN Baluran untuk digunakan sendiri dan sebagian besar lainnya untuk dijual sebagai penghasilan utama maupun sebagai penghasilan tambahan. Kegiatan pemanfaatan kayu bakar dimulai pukul WIB dengan lama pemanfaatan 2-4 jam/individu dalam 2-7 kali/minggu. Jenis kayu yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat TN Baluran antara lain akasia (Acacia nelotica), walikukun (Schoutenia ovata), talok (Grewia acuminata), jati (Tectona grandis), kesambi (Scleicheira oleosa), dan asam (Tamarindus indica). Gambar 13. Aksi Pengambilan Kayu Bakar Gambar 14. Pengikatan Kayu Bakar untuk di Jual Sebagian besar dari pemanfaat kayu bakar menggunakan sepeda dan motor sebagai alat transportasi dan pengangkutan kayu bakar. Selain itu, sebagian lagi berjalan kaki dengan memikul atau menyunggi kayu tersebut, ada juga yang menggunakan truk untuk pengambilan di zona penyangga yang dikelola Perhutani. Pemanfaatan kayu bakar yang menggunakan sepeda dan motor bisa mengambil kayu dalam satu kali ke hutan ± 2-5 ikat sedangkan pemanfaat yang memikul atau menyunggi hanya mengambil ± 1-2 ikat. Pengambilan dengan menggunakan kendaraan truk di zona penyangga dilakukan secara berkelompok sekitar 4-10 orang dan dalam volume pemanfaatan ikat/truk.

57 Kayu bakar yang diperoleh oleh pemanfaat baik yang memikul, menyunggi maupun menggunakan sepeda dan motor biasanya dijual ke Pasar Galean, Pasar Asem Bagus maupun ke restoran-restoran yang membutuhkannya. Harga per ikat kayu bakar mencapai Rp ,00 sampai Rp.3.000,00. Sedangkan kayu bakar yang diangkut dengan truk biasanya langsung dijual ke Pabrik Kapur, Pabrik Batu Merah atau Pabrik Genting dengan harga Rp ,00 sampai Rp ,00/truk. Sedangkan harga beli dari para pengambil kayu di hutan mencapai Rp ,00 sampai Rp ,00/truk. Pengambilan kayu bakar yang selama ini dilakukan tidak hanya dalam bentuk mengambil ranting-ranting atau cabang-cabang pohon yang sudah kering, tetapi juga dalam bentuk menebang pohon. Pemanfaatan kayu bakar bila dilakukan dengan cara mengambil ranting-ranting tidak menimbulkan dampak yang berarti terhadap vegetasi di lokasi pemanfaatan. Namun bila pengambilan dilakukan dengan cara menebang pohon akan menimbulkan perubahan terhadap vegetasi di lokasi pemanfaatan tersebut. Pengambilan dengan cara tersebut biasanya memerlukan waktu yang lama karena kayu tersebut disimpan terlebih dahulu agar nampak seperti kayu kering pada saat pengangkutannya dari kawasan TN Baluran. Selain itu juga, dengan menebang pohon dapat menimbulkan kelangkaan jenis tegakan dan mengurangi atau menghilangkan habitat satwa. Dalam mengendalikan pengambilan kayu bakar tersebut diantaranya dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman secara intensif kepada masyarakat akan dampak dari perusakan tersebut. Disamping itu, perlu juga patroli lapangan secara rutin/terpadu. Upaya lainnya yaitu adanya koordinasi dengan Perum Perhutani terutama dalam hal pengembangan hutan untuk kayu bakar dan adanya pengaturan dari pihak TN Baluran mengenai lokasi dan mekanisme pengambilan yang memperhatikan konservasi. 6. Rumput Seperti halnya kayu rencek, lokasi pemanfaatan rumput juga antara lain di Bunutan, Licin, Alas Malang, Lemabang, Watu Numpuk, Air Tawar, Paleran, Pengarengan, Tlogo, Gatel, Tekok Abu, Puyangan, Perengan, Sumiang dan sepanjang Batangan-Bekol (Lihat Lampiran 5).

58 Pengembalaan liar di dalam kawasan TN Baluran telah memicu masyarakat di sekitarnya untuk memanfaatkan rumput sebagai pakan ternaknya. Walaupun telah menggembalakan ternaknya tiap hari ke hutan tetapi tetap saja mereka juga mengambil rumput untuk mencukupi pakannya selama di kandang. Pemanfaatan rumput umumnya dilakukan oleh masyarakat Desa Sumberwaru, Desa Wonorejo dan Desa Bajulmati. Pemanfaatan tersebut berlangsung sepanjang musim dengan intensitas pemanfaatan hampir terjadi setiap hari. Gambar 15. Aksi Pengambilan Rumput dengan Sepeda Gambar 16. Aksi Pengambilan Rumput dengan Cikar Jenis rumput yang biasa dimanfaatkan seperti lamuran (Arundellia setosa), merakan (Apluda mutica), lamuran putih (Dichantium caricosum), kolonjono (Brachiaria sp), gajah-gajahan (Scleractine punctata), jarong (Shchytarheta jamaincensis), alang-alang (Imperata cylindrica) dan padi-padian (Shorgum nitidus). Selain dipikul, pemanfaat rumput biasanya mengambil rumput dengan menggunakan sepeda. Dalam satu sepeda, rumput yang diambil bisa mencapai 1-3 ikat. Rumput tersebut jarang sekali untuk diperjualbelikan tetapi bila rumput tersebut ditukar dengan barang lain ataupun dijual maka bisa mencapai harga ± Rp ,00 sampai Rp 5.000,00/ikat. Rumput termasuk kelompok flora yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemanfaatan tradisional pada kawasan pelestarian alam (Sriyanto 2005). Tetapi walaupun demikian pengambilan rumput dalam kawasan TN Baluran menyebabkan turunnya potensi persediaan pakan satwa liar herbivor. Selain itu pengambilan rumput juga memicu pemanfaat untuk mengambil sumberdaya hutan lainnya dari dalam kawasan TN Baluran. Seperti pada jenis sumberdaya hutan yang telah dikemukakan terdahulu, dalam mengendalikan dampak tersebut

59 diperlukan pembatasan lokasi dan pengaturan cara dan mekanisme yang aman sehingga potensi sumberdaya hutan tetap lestari. 7. Rambanan Seperti halnya dengan rumput, pemanfaatan rambanan dilakukan hampir setiap hari di daerah Tekok Abu, Lemabang, Licin, Watu Numpuk, Alas Malang, Paleran, Pengarengan, Tlogo, Gatel, Puyangan, Perengan, Sumiang dan sepanjang Batangan-Bekol. Rambanan atau daun-daun muda dimanfaatkan juga oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran sebagai pakan ternak kambing. Adapun jenis-jenis yang dimanfaatkan antara lain lamtoro (Leucaena leucocephala), walikukun (Schoutenia ovata), kesambi (Scleicheira oleosa), asam (Tamarindus indica), talok (Grewia acuminata), kayu pahit (Diospyros montana), janti (Sesbania sericea). Pemanfaatan rambanan umumnya dilakukan oleh masyarakat Desa Wonorejo dan Desa Sumberwaru. Biasanya pengambilan rambanan dilakukan sembari mengambil rumput juga khususnya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki ternak sapi dan kambing. Sama halnya dengan pengambilan rumput, selain dipikul pengambil rambanan juga lebih banyak menggunakan sepeda. Sehingga dalam satu sepeda memuat 1-2 ikat rumput dan 1 ikat rambanan. Rambanan biasanya mereka gunakan untuk keperluan ternaknya sebagai pakan ternak sehingga sangat jarang ditemui masyarakat yang menjual rambanan karena TN Baluran menyediakan cukup banyak pakan ternak tersebut. Berdasarkan wawancara, seandainya rambanan tersebut mereka jual maka harga 1 ikat rambanan yaitu Rp.1.500,00 sampai Rp ,00. Gambar 17. Aksi Pengambilan Rambanan dengan Sepeda Sama halnya dengan rumput, pengambilan rambanan juga dalam kawasan TN Baluran menyebabkan turunnya potensi persediaan pakan satwa liar herbivor.

60 Selain itu pengambilan rumput juga memicu pemanfaat untuk mengambil sumberdaya hutan lainnya dari dalam kawasan TN Baluran. Oleh karena itu, dalam pengambilan rambanan juga perlu pengaturan yang sesuai dengan konservasi. 8. Madu Madu merupakan salah satu sumberdaya hutan yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran. Umumnya pemanfaatan ini dilakukan oleh masyarakat Desa Wonorejo yang berbatasan langsung dengan TN Baluran. Lokasi pemanfaatan madu di dalam kawasan TN Baluran antara lain di timurnya Rawo Jambe, Kali Kepuh, Palokan, Curah Ulin, Glingseran, Gunung Lengker, Bekol. Pemanfaatan madu biasanya dilakukan pada musim tumbuhan berbunga antara Bulan Juni sampai Bulan Agustus. Berdasarkan wawancara, pada musimnya hampir tiap hari sebagian masyarakat mencari madu ke dalam kawasan TN Baluran. Berdasarkan wawancara, dalam sehari pencari madu bisa mendapatkan madu 2-3 botol. Tetapi adakalanya juga dalam sehari tersebut mereka tidak mendapatkan madu sama sekali. Pengambilan madu menggunakan asap untuk mengusir lebahnya. Setelah didapat madu tersebut kemudian diperas, disaring untuk diambil airnya dan dimasukkan ke botol. Satu botol madu dijual dengan harga Rp ,00 sampai Rp ,00. Gambar 18. Bekas Pengambilan Madu Pengambilan madu juga memicu pemanfaat untuk mengambil sumberdaya hutan lainnya yang dikhawatirkan merusak kelestarian potensi sumberdaya hutan. Selain itu, karena dalam pengambilannya menggunakan asap sebagai pengusir lebah maka tidak menutup kemungkinan juga terjadinya kebakaran hutan. Sehingga untuk menghindari hal yang demikian, pembinaan daerah penyangga

61 sangatlah penting. Salah satu cara pembinaan pemanfaat madu yaitu adanya budidaya lebah madu di luar kawasan TN Baluran khusunya di desa penyangga dimana bibitnya berasal dari kawasan TN Baluran. Sehingga dengan cara ini dapat mengurangi atau mungkin menghentikan frekuensi masuknya pengambil madu ke dalam kawasan TN Baluran karena mereka telah memiliki pekerjaan budidaya lebah madu sebagai kegiatan pembinaan desa penyangga yang dikembangkan di luar kawasan TN Baluran. 9. Kroto/angkrang Kroto adalah telur semut rangrang. Penyebaran kroto cukup merata dan cukup banyak di TN Baluran, karena itu pemanfaatannya pun dilakukan sepanjang tahun. Sumberdaya hutan ini dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran sebagai makanan burung. Bagi masyarakat Desa Wonorejo biasanya mereka mengambil kroto di timurnya Perkebunan Kapuk dan Curah Ulin. Dalam pengambilan kroto, semut rangrangnya tidak di ambil tetapi hanya telurnya. Telurnya diusahakan terhindar/terpisah dari semut rangrang atau dengan kata lain semut rangrangnya diusir terlebih dahulu sehingga didapatkan telur yang bersih dari semutnya. Dalam pengambilan ini, ada yang menggunakan bantuan galah untuk kroto yang berada di atas pohon. Pada umumnya, masyarakat menjual kroto dengan harga per ons yaitu Rp 1.500,00 sampai Rp 2.000,00. Sejauh ini pengambilan kroto masih dalam batas-batas yang wajar tanpa menimbulkan dampak yang berarti terhadap vegetasi di sekitarnya. Tetapi walaupun demikian, hendaklah diantisipasi oleh pengelola TN Baluran karena tidak menutup kemungkinan pemanfaat kroto untuk mengambil sumberdaya hutan lainnya yang tidak memperhatikan aspek kelestarian. 10. Kemiri (Aleurites moluccana) Lokasi pemanfaatan kemiri oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran berada di Sakesah, Biduri, Lembah Kacip dan Gunung Baluran. Pada umumnya masyarakat mengambil kemiri, selain untuk dikonsumsi sendiri sebagai bumbu dapur, mereka juga menjualnya ke pengepul. Pemanfaat kemiri biasanya berasal dari Daerah Blangguan dan Sekar Putih. Sebagian lagi ada yang berasal Dari Watukebo. Untuk mengambil kemiri, mereka

62 harus menempuh jarak ± km sehingga mereka harus menginap di dalam kawasan 3-6 hari. Pada umumnya, mereka mencari kemiri secara berkelompok. Pemanfaatan kemiri dilakukan secara musiman pada Bulan September sampai dengan Bulan November. Berdasarkan wawancara dengan pemanfaat kemiri, bila musim kemiri telah tiba mereka dapat memperoleh biji kemiri dalam sekali pengambilan ke kawasan TN Baluran. Satu kilogram memuat ± 400 biji kemiri. Umumnya pengambilan buah kemiri dilakukan seperti pengambilan asam dengan cara mulung yaitu memungut buah kemiri yang jatuh namun ada pula yang memanjat dan memotong cabangnya agar diperoleh hasil yang lebih banyak. Kemudian kulit luarnya dibersihkan dan biji yang masih bertempurung dikeringkan. Setelah itu barulah kemiri siap untuk dijual ke pengepul/juragannya dengan harga mencapai Rp 4.800,00/kg. Pemungutan buah kemiri dengan mulung mungkin tidak terlalu menimbulkan masalah namun pengambilan dengan memotong dahan, merupakan masalah tersendiri untuk kawasan. Memotong dahan berarti merusak bentuk tajuk yang akan menimbulkan hambatan untuk berbuah pada musim berikutnya. Oleh karena itu, untuk mengendalikan masalah tersebut, hendaklah diperhatikan cara dan mekanisme pengambilannya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian. 11. Gadung (Dischorea hispida) Gadung (Dischorea hispida) merupakan tumbuhan liana yang menghasilkan umbi dan biasanya hanya tumbuh pada daerah stoney streambed. Umbinya dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat desa penyangga TN Baluran. Lokasi pengambilan umbi tersebut meliputi lereng Gunung Baluran antara lain wilayah Glingseran, Kacip, Gunung Priuk, Talpat, Gunung Klosot, Biduri, Gunung Kembar, Mandilis. Pada umumnya lokasi-lokasi tersebut termasuk zona inti kawasan TN Baluran (Lihat Lampiran 5). Untuk mencapai ke lokasi tersebut, pemanfaat gadung harus menempuh jarak yang cukup jauh ± km. Dalam pemanfaatan gadung, masyarakat biasanya menginap di dalam kawasan selama 2-3 hari. Mereka biasa mengambil umbinya dari kawasan TN Baluran pada Bulan September sampai Bulan Oktober. Bila sulur gadung sudah kering merupakan pertanda bahwa gadung bisa diambil. Gadung diambil dengan

63 cara menggali menggunakan alat seperti buding, parang dan pisau (untuk mengiris). Hasil yang diperoleh oleh pemanfaat gadung dalam sekali pengambilan rata-rata 1 pikul tiap individu. Satu pikul gadung kira-kira kg. Gadung digunakan oleh masyarakat sekitar TN Baluran untuk dikonsumsi sendiri sebagai persediaan pangan di musim kemarau dan sebagai bahan baku pembuatan kripik. Selain dikonsumsi, ada pula yang dijual ke pengepul dengan harga Rp 2.500,00/kg dalam keadaan yang telah kering setelah direndam dalam air yang mengalir, direbus, dipotong-potong dan dijemur. Pengambilan gadung berpotensi merusak kelestariannya karena yang diambil adalah umbinya, sehingga akan mematikan tumbuhan gadung tersebut. Seperti dikemukakan di atas, pengambilan gadung tersebut banyak dijumpai di lokasi-lokasi yang termasuk zona inti. Hal ini merupakan permasalahan karena pemanfaatan gadung telah masuk ke zona yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia. Sehingga untuk mengendalikan masalah tersebut perlu penyuluhan dan pemahaman serta pengaturan batasan lokasi dan mekanisme pengambilannya agar kebutuhan masyarakat terpenuhi dan hutannya pun tetap lestari. 13. Ikan Ikan juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran khususnya masyarakat Desa Wonorejo, Sumberwaru dan Sumberanyar. Setelah pemanfaatan nener punah, mereka banyak beralih dengan mengambil ikan karena harga ikan lebih menguntungkan daripada harga nener yang menurun drastis. Lokasi pemanfaatan ikan dilakukan di sepanjang garis pantai TN Baluran seperti pantai popongan, Sirontoh, Sekilor, Bama, Kajang, Bilik, Merak, dan Gatel. Gambar 19. Pengambilan Umpan untuk Mancing Gambar 20. Kegiatan Memancing di sekitar Pantai TN Baluran

64 Pada umumnya pemanfaatan ikan hanya dilakukan sebagai pekerjaan sampingan dan hobi saja. Dalam pengambilan ikan, ada sebagian masyarakat yang menggunakan perahu dan sebagian lagi hanya menyusuri pantai dengan berjalan kaki. Dalam satu kali pemanfaatan biasanya diperoleh 2-6 kg. Ikan-ikan tersebut biasanya dikonsumsi sendiri tetapi ada sebagian masyarakat yang biasa juga menjualnya dengan harga berkisar Rp 3.000,00 sampai Rp ,00/kg. Pengambilan ikan di sekitar TN Baluran dikhawatirkan dapat merusak ekosistem laut jika dalam pengambilannya menggunakan peralatan yang dilarang. Selain itu, juga dengan pengambilan ikan di sekitar TN Baluran akan memicu pengambilan batu karang dan biota laut lainnya. Oleh karena itu, patroli lapangan tetap dilakukan agar pemanfaat ikan dalam pengambilannya tidak menggunakan peralatan yang dilarang serta melakukan pengawasan dari kemungkinankemungkinan yang akan memicu pemanfaat untuk mengambil sumberdaya hutan dan biota laut lainnya tanpa memperhatikan aspek kelestarian. B.2. Potensi Kerusakan Akibat Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Berdasarkan sumberdaya hutan dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar TN Baluran, dapat diketahui sejauh mana kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran. Secara kualitatif potensi kerusakan tersebut didasarkan pada beberapa kriteria antara lain : (a) Lokasi pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran; (b) Jenis-jenis sumberdaya hutan TN Baluran yang dimanfaatkan; dan (c) Cara pengambilan sumberdaya hutan TN Baluran. (1) Lokasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan TN Baluran Menurut Sriyanto (2005), lokasi yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan tradisional pada kawasan pelestarian alam adalah lokasi yang telah ditetapkan sebagai zona/blok pemanfaatan tradisional. Pada kenyataannya, pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran tidak hanya dilakukan di zona pemanfaatan tradisional tetapi juga dilakukan di zona rimba dan zona rehabilitasi bahkan pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran telah memasuki zona inti kawasan TN Baluran. Tentu saja jika pemanfaatan sumberdaya hutan telah

65 memasuki zona inti maka kemungkinan akan menggangu kehidupan dan pertumbuhan satwa/tumbuhan utama kawasan pelestarian alam tersebut. (2) Jenis-jenis Sumberdaya Hutan TN Baluran yang Dimanfaatkan Flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan tradisional adalah (Sriyanto 2005) : Flora (a) Bagian-bagian dari tumbuhan yang apabila diambil tidak mematikan tumbuhan tersebut. Adapun bagian tumbuhan adalah daun, buah, biji dan getah; (b) Plasma nutfah yang dapat digunakan untuk menunjang budidaya seperti tumbuhan obat dan tanaman hias (termasuk anggrek); (c) Rotan, bambu dan rumput. Fauna (a) Jenis-jenis satwa yang tidak dilindungi oleh pemerintah RI maupun dunia internasional; (b) Jenis-jenis tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat lokal/setempat; Dalam pemanfaatan tradisional ini termasuk untuk memenuhi kebutuhan protein hewani baik berupa daging, telur maupun bagian-bagiannya. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, ada beberapa sumberdaya hutan (flora) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran diantaranya pemanfaatan yang dilakukan apabila diambil bagian-bagian dari tumbuhan tidak mematikan tumbuhan tersebut seperti biji akasia, buah asam, buah kemiri. Pemanfaatan yang berupa plasma nutfah yang dapat digunakan untuk menunjang budidaya seperti madu. Selain itu, rumput dan rambanan merupakan jenis sumberdaya hutan yang juga dapat dimanfaatkan berdasarkan kriteria di atas. (3) Cara Pengambilan Sumberdaya Hutan TN Baluran Dalam pengambilan sumberdaya hutan TN Baluran masih ditemui cara-cara pengambilan yang kurang memperhatikan kaidah kelestarian. Contohnya dalam pengambilan gebang, kayu bakar dan ikan. Pengambilan gebang menimbulkan kerusakan tegakan gebang di lokasi serta kondisi habitatnya. Walaupun gebang yang diambil adalah daunnya dan biji (sesuai kriteria point 2) tetapi pengambilannya menyebabkan tangkai daun menjadi patah akibat pemotongan serta di lokasi-lokasi pengambilan gebang nampak areal-areal terbuka yang merupakan akibat dari matinya tegakan gebang pada pertumbuhan awal.

66 Begitupun dengan pengambilan kayu bakar dengan cara menebang pohon akan menimbulkan perubahan terhadap vegetasi di lokasi pemanfaatan tersebut. Selain itu pengambilan ikan yang menggunakan peralatan yang dilarang juga akan merusak ekosistem laut. Oleh karena itu, berdasarkan kriteria-kriteria di atas maka untuk meminimalisir dan mengendalikan potensi kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran perlu memperhatikan lokasi pemanfaatannya, jenis-jenis yang dimanfaatkan dan cara pengambilannya. Dalam hal ini, perlu adanya pola pemanfaatan sumberdaya hutan dalam kawasan TN Baluran baik mengenai pengaturan batasan lokasi, cara dan mekanisme pemanfaatan yang memenuhi kaidah kelestarian, sehingga disamping hutan TN Baluran lestari masyarakatnya pun dapat sejahtera. C. Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran, sebagian besar dinilai berdasarkan harga pasar atau transaksi setempat. Beberapa sumberdaya hutan lainnya dinilai dengan nilai relatif. Penyajian data meliputi harga rata-rata tiap sumberdaya hutan, nilai pemanfaatan per tahun, proporsi nilai suatu sumberdaya hutan terhadap sumberdaya hutan lainnya. Satuan yang digunakan untuk mengetahui volume sumberdaya hutan adalah satuan pada saat sumberdaya hutan tersebut dijual. Tabel 18. Rata-rata Harga Tiap Jenis Sumberdaya Hutan TN Baluran No Jenis Sumberdaya Hutan Nilai Sumberdaya Hutan (Rp) Satuan (unit) 1 Asam 2.683,33 Kilogram 2 Biji Akasia 2.147,78 Kilogram 3 Gadung 2.444,44 Kilogram 4 Gebang 4.173,21 Kilogram 5 Ikan 4.739,05 Kilogram 6 Kelanting 75,00 Kilogram 7 Kemiri 4.411,11 Kilogram 8 Kroto 1.850,00 Ons 9 Madu ,00 Botol 10 Rambanan 2.356,11 Ikat 11 Kayu bakar 2.459,80 Ikat 12 Rumput 4.049,96 Sak Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran memiliki harga cukup tinggi dan mampu memberikan pendapatan yang cukup besar bagi pemanfaat sumberdaya hutan. Tabel di atas menunjukkan bahwa

67 madu memiliki harga jual tertinggi (Rp ,00/botol). Sementara itu, kelanting memiliki harga jual terendah yaitu hanya Rp. 75,00/kilogram. Untuk memperoleh nilai pemanfatan setiap sumberdaya hutan dalam satu tahun, penghitungan dilakukan dengan menggunakan rumus : N = H x V x F x n Dimana : N = Nilai pemanfatan suatu sumberdaya hutan per tahun H = Harga jual rata-rata sumberdaya hutan per satuan pemanfaatan V = Volume rata-rata pemanfaatan sumberdaya hutan per satu kali pemanfaatan F = Intensitas pemanfaatan sumberdaya hutan dalam satu tahun (minggu) n = Jumlah pemanfaat Untuk memperoleh proporsi pemanfaatan suatu sumberdaya hutan terhadap sumberdaya hutan lainnya digunakan rumus sebagai berikut : N P = x 100% N total Dimana : P N = Proporsi (persentase) nilai pemanfaatan suatu sumberdaya hutan terhadap sumberdaya hutan lainnya = Nilai pemanfaatan suatu sumberdaya hutan per tahun N total = Nilai total pemanfaatan seluruh sumberdaya hutan per tahun Dengan menggunakan rumus di atas diperoleh hasil seperti disajikan pada tabel 19 di bawah ini. Tabel 19. Nilai Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Desa Penyangga per Tahun No Jenis SumberdayaHutan Nilai Pemanfaatan (Rp) Proporsi (%) 1 Asam ,44 4,00 2 Biji Akasia ,32 9,57 3 Gadung ,77 0,27 4 Gebang ,05 9,03 5 Ikan ,00 6,24 6 Kelanting ,00 1,37 7 Kemiri ,16 0,57 8 Kroto ,00 1,79

68 No Jenis SumberdayaHutan Nilai Pemanfaatan (Rp) Proporsi (%) 9 Madu ,00 9,86 10 Rambanan ,78 11,08 11 Kayu bakar ,10 24,09 12 Rumput ,30 22,13 Jumlah , Kayu bakar adalah sumberdaya hutan dengan nilai pemanfaatan terbesar yaitu Rp ,10/thn. Nilai ini mencakup 24,09% dari total pemanfaatan sumberdaya hutan. Oleh karena pemilikan ternak yang cukup banyak di sekitar TN Baluran mengakibatkan rumput dan rambanan sebagai pakan ternak tersebut memiliki nilai proporsi yang cukup besar setelah kayu bakar. Rumput dengan nilai proporsi 22,13% dan rambanan dengan nilai 11,08%. Sebaliknya, madu yang memiliki jumlah pemanfaat yang sedikit (2,93%), nilai pemanfaatannya menduduki urutan keempat besar (Rp ,00/thn). Hal ini disebabkan nilai madu paling tinggi dibandingkan dengan sumberdaya hutan lainnya. Dari nilai pemanfaatan tersebut, akan diketahui tingkat ketergantungan masyarakat pemanfaat terhadap kawasan TN Baluran. Tingkat ketergantungan ini ditentukan berdasarkan nilai kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan total (Hufschmidt et al. 1987) : K r = P Ph x100% Keterangan : K r = Tingkat ketergantungan relatif (%) Ph = Pendapatan dari sumberdaya hutan (Rp/thn) P = Pendapatan total (Rp/thn) Pendapatan total diperoleh dari pendapatan di luar sumberdaya hutan dan pendapatan dari sumberdaya hutan. Pendapatan di luar sumberdaya hutan dari seluruh pemanfaat dalam penelitian ini sebesar Rp ,00/thn. Sedangkan pendapatan dari sumberdaya hutan dalam hal ini nilai manfaat sumberdaya hutan (tabel 18) sebesar Rp ,90/thn. Sehingga kontribusi relatif yang dapat diberikan dari sumberdaya hutan terhadap peningkatan pendapatan pemanfaat sumberdaya hutan secara umum dapat dikatakan cukup besar yaitu 68,98% dari total pendapatan. Sedangkan berdasarkan

69 pengelompokkan pendapatan, tingkat ketergantungan relatif pemanfaat yang berpendapatan rendah (58,97%), pemanfaat berpendapatan menengah (64,59%) dan pemanfaat berpendapatan tinggi (77,39%). Untuk menghitung kontribusi nominal absolut berdasarkan pengelompokkan pendapatan pemanfaat dihitung sebagai berikut : Keterangan : Ph K a = n K a Ph n = Kontribusi nominal absolut (Rp/thn) = Pendapatan dari sumberdaya hutan (Rp/thn) = Jumlah pemanfaat dalam satu kelompok pendapatan Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh bahwa kontribusi nominal absolut pemanfaat berpendapatan rendah (Rp ,33/thn), pemanfaat berpendapatan menengah (Rp ,67/thn) dan pemanfaat berpendapatan tinggi (Rp ,00/thn). Tingkat Ketergantungan 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% 41% 35% 23% 59% 65% 77% pendapatan rendah pendapatan menengah pendapatan tinggi Kelompok Pendapatan Total Pemanfaat Sumberdaya Hutan Non Sumberdaya Hutan Gambar 21. Tingkat Ketergantungan Pemanfaat Sumberdaya Hutan Desa Penyangga TN Baluran Berdasarkan Kelompok Pendapatan Berdasarkan gambar 21 di atas, terlihat bahwa pemanfaat berpendapatan tinggi memiliki tingkat ketergantungan paling tinggi baik secara relatif maupun secara absolut dengan pendapatan yang diperolehnya dari sumberdaya hutan lebih besar dibandingkan pendapatan di luar sumberdaya hutan sehingga untuk menangani masalah tersebut dapat dilakukan pembinaan usaha di sektor lain selain di bidang kehutanan yang memiliki trade-off pada lahan yang sama dengan kehutanan.

70 D. Persepsi Para Pihak Mengenai Pemanfaatan Sumberdaya Hutan D. 1. Persepsi Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya Hutan Persepsi masyarakat tentang TN Baluran merupakan wujud dari pemahaman mereka yang terolah menurut sejarah kedatangan dan aktivitasnya selama bertahun-tahun. Persepsi ini dipengaruhi oleh pengalaman, penilaian, kepercayaan, sikap, keadaan sosial dan ekonomi serta harapannya di masa depan. Persepsi juga melibatkan pengertian kesadaran, makna atau suatu penghargaan terhadap obyek tersebut. MacKinnon et al. (1993), menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan kawasan dilindungi banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan tersebut oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui persepsi masyarakat desa penyangga TN Baluran khususnya para pemanfaat sumberdaya hutan dalam rangka keberhasilan pengelolaan TN Baluran. Persepsi masyarakat diketahui dengan melakukan wawancara kepada pemanfaat sumberdaya hutan TN Baluran yang memiliki ketergantungan dengan kawasan tersebut. Pertanyaan diawali dengan pengetahuan tentang TN Baluran di dekat tempat tinggalnya. Pengetahuan yang dimaksud tidak dibatasi pada istilah taman nasional saja tetapi tergantung dari istilah yang diketahui. Selanjutnya menyangkut persepsi mereka tentang larangan-larangan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran. Selain itu, ditanyakan mengenai harapan-harapan mereka dengan keberadaan TN Baluran. Secara tidak langsung, persepsi masyarakat juga meliputi persepsi sumberdaya alam di dalamnya, dan tentang pengelola atau petugas-petugas taman nasional. Tabel 20. Persepsi Pemanfaat Sumberdaya Hutan No Persepsi Pemanfaat Sumberdaya Hutan Jumlah Persentase (%) 1 Pengetahuan mengenai keberadaan TN Baluran Mengenal istilah taman nasional Tidak mengenal istilah taman nasional 2 Larangan-larangan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan TN Baluran Pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan kegiatan yang tidak diperbolehkan Pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan kegiatan yang diperbolehkan 3 Harapan dengan Keberadaan TN Baluran Mengemukakan harapan Tidak mengemukakan harapan ,33 38,67 25,33 74,00 86,67 13,33

71 Sebagian besar pemanfaat sumberdaya hutan yang diwawancarai (61,33%) mengetahui adanya taman nasional tetapi mereka belum paham arti dari TN Baluran bahkan ada yang tidak mengenal istilah taman nasional. Mereka menganggap bahwa TN Baluran sebagai hutan lindung dengan pengertian fungsi perlindungan yang belum mereka ketahui. Sebanyak 74,00% pemanfaat sumberdaya hutan menyatakan bahwa kegiatan yang mereka lakukan (pemanfaatan hasil hutan TN Baluran) merupakan kegiatan yang diperbolehkan karena mereka mengambil sumberdaya hutan tanpa merusak kawasan tersebut. Larangan-larangan yang mereka ketahui dan merusak kawasan antara lain larangan untuk menebang pohon, larangan membunuh satwa atau berburu seperti rusa, banteng, burung, ayam hutan dan sebagainya serta larangan merambah hutan. Mereka mengakui hanya melakukan pemungutan sumberdaya hutan yang aman dan tidak melakukan pengrusakan apapun. Bahkan mereka berpendapat, tidak ada salahnya mengambil sumberdaya hutan yang kami butuhkan daripada dibiarkan di lantai hutan tidak bermanfaat. Sedangkan 25,33% pemanfaat sumberdaya hutan mengakui bahwa kegiatan yang mereka lakukan tersebut merupakan kegiatan yang tidak diperbolehkan. Tetapi mereka tetap melakukannya karena terbentur dengan masalah ekonomi. Mereka sangat mengantungkan hidupnya dari kawasan TN Baluran. Selain persepsi-persepsi yang telah disebutkan di atas, pemanfaat sumberdaya hutan (86,67%) mengemukakan harapannya dengan keberadaan TN Baluran. Dengan kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan, tidak mungkin masyarakat desa penyangga TN Baluran terlepas dari kawasan tersebut. Mereka sangat menggantungkan hidupnya pada kawasan TN Baluran sehingga mereka berharap bahwa kawasan TN Baluran bisa memberikan manfaat agar kesejahteraan masyarakat meningkat tanpa adanya suatu penghalang. Masyarakat berharap pengelola atau petugas TN Baluran dapat memperhatikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya pemanfaat sumberdaya hutan juga mengemukakan bahwa hubungan mereka dengan pengelola atau petugas taman nasional sangatlah kaku, para pemanfaat sumberdaya hutan memandang petugas taman nasional sebagai petugas yang disegani dan penghalang mereka untuk memasuki kawasan dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di taman nasional. Oleh karena

72 itu, mereka berharap pengelola atau petugas taman nasional dapat bersosialisasi dengan masyarakat sehingga dapat bertukar informasi mengenai pengelolaan TN Baluran. Mereka pun bersedia jika suatu saat diminta oleh pihak pengelola untuk kerjasama dalam pengembangan pengelolaan taman nasional. Karena mereka mengakui bahwa kelestarian TN Baluran merupakan tanggungjawab bersama bukan hanya petugas atau pengelola TN Baluran saja. Selain itu, masyarakat menanggapi bahwa bantuan yang pernah diberikan kepada Desa Wonorejo dan Desa Sumberwaru baik itu berupa ternak maupun bantuan dalam pengembangan usaha ekonomi yang lainnya sangatlah berarti bagi masyarakat desa penyangga TN Baluran. Pemerintah desa penyangga TN Baluran pun pada umumnya mengharapkan agar pengelola atau petugas TN Baluran memperhatikan masyarakatnya karena bagaimana pun TN Baluran berbatasan dengan kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan tersebut. Suatu kerjasama antara pemerintahan desa dengan pihak pengelola taman nasional sangatlah mereka harapkan. Pemerintahan desa berpendapat bahwa segala sesuatu yang menyangkut masyarakatnya akan lebih baik jika dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan pemerintah desa. Oleh karena itu, peran Pemda setempat dalam hal ini pemerintah desa merupakan bagian penting dalam pengelolaan TN Baluran. D. 2. Persepsi Pengelola TN Baluran Para petugas atau pengelola TN Baluran mengetahui adanya pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan masyarakat desa penyangga di dalam kawasan TN Baluran. Hal ini mereka anggap sebagai tindakan yang jelas tidak diperbolehkan. Karena dapat mengancam kelestarian dan menimbulkan kerusakan sumberdaya taman nasional. Mereka pun mengemukakan berbagai konteks kerusakan yang terjadi selama ini dengan adanya pemanfaatan sumberdaya hutan, diantaranya ekosistem dan habitat satwa menjadi rusak, menimbulkan kebakaran hutan, memicu perburuan liar, memicu pencurian dan penjarahan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu yang tidak terkendali. Dalam skala pemanfaatan yang ringan, petugas atau pengelola akan memberikan pengarahan dan peringatan terhadap pengambil sumberdaya hutan,

73 tetapi jika pemanfaatan yang dilakukan dalam skala yang berat seperti pengambil kayu rimba, pengambil daun gebang, dan pengambil yang tidak terkendali maka petugas tidak segan untuk memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi walau bagaimana pun dengan melihat kondisi masyarakat ada sebagian pelanggaran yang masih ditolerir oleh petugas misalnya untuk pengambil rumput, rambanan, kayu bakar, biji akasia, asam, ikan, kroto dan sumberdaya hutan lainnya yang dipungut secara aman tanpa merusak fungsi kawasan itu sendiri. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pihak pengelola dalam rangka mengurangi pengambilan sumberdaya hutan antara lain adanya patroli, pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat maupun pembinaan daerah penyangga. Pembinaan daerah penyangga yang selama ini pernah dilakukan diantaranya : a. Tahun 2000, adanya bantuan ternak kambing pada dua desa yaitu Desa Sumberwaru (Dusun Blangguan) dan Desa Wonorejo (Dusun Kendal). Bantuan ini ternyata tidak mengurangi pengambilan sumberdaya hutan karena untuk mendapatkan pakan ternak tersebut masih bergantung pada kawasan TN Baluran. Terlebih lagi dengan ternak tersebut volume penggembalaan justru meningkat. b. Tahun 2002, dikembangkan lagi pembinaan daerah penyangga yang tidak memicu aktivitas dalam kawasan TN Baluran yaitu pengembangan kesenian dalam bentuk bantuan peralatan musik yang diberikan kepada kelompok musik yang telah ada organisasinya dan membutuhkan bantuan dalam rangka pengembangannya. Desa yang mendapatkan bantuan tersebut yaitu Desa Sumberwaru dengan bantuan alat musik hadrah dan Desa Wonorejo dengan bantuan alat musik band. Bantuan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengembangkan budaya yang ada, sebagai wadah untuk menggalang prestasi, adanya terobosan baru bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan tingkat sosial ekonominya sehingga tidak bergantung terhadap potensi TN Baluran serta sebagai sarana promosi potensi dan manfaat TN Baluran. Pada tahun yang sama juga adanya bantuan mesin pompa air untuk Desa Sumberwaru yang diberikan kepada kelompok tani yang telah dibentuk wadah

74 organisasinya. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi aktivitas masyarakat dalam mengambil sumberdaya hutan di kawasan TN Baluran. c. Tahun 2003, jenis bantuan daerah penyangga untuk Desa Wonorejo yang diberikan berupa bantuan pembuatan gudang dan pengadaan peralatan serta bahan pembuatan pupuk bokashi serta bantuan peralatan dan bahan pengembangan usaha pembuatan keripik singkong dan tempe. Hal ini merupakan terobosan baru yang dapat dikomersilkan mengingat di desa penyangga kawasan TN Baluran banyak ternak dan tanaman singkong. Bantuan tersebut juga dapat mengurangi penggembalaan di kawasan TN Baluran dan mendukung upaya peningkatan produksi pertanian. Selain itu juga menjaring lapisan masyarakat yang pengangguran dan dapat dijadikan sebagai media promosi potensi pariwisata khususnya obyek wisata TN Baluran melalui kemasannya.

75 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pada kelompok umur, persentase pemanfaat sumberdaya hutan terbesar didominasi oleh pemanfaat dengan usia tahun yaitu sebesar 84,00%. Pemanfaat sumberdaya hutan sebanyak 90,66% memiliki jumlah anggota keluarga 3-6 orang. Sebagian besar pemanfaat sumberdaya hutan berlatar belakang Sekolah Dasar (baik tamat maupun tidak tamat) sebesar 70,00%. Pemanfaat sumberdaya hutan tertinggi bermata pencaharian sebagai buruh tani (59,33%). Sebanyak 46,00% pemanfaat sumberdaya hutan memiliki pendapatan di luar sumberdaya hutan sebesar Rp ,00 sampai Rp ,00/bulan. 2. Jenis-jenis sumberdaya hutan dan persentase pemanfaat desa penyangga TN Baluran antara lain kayu bakar (20,74%), rumput (18,09%), rambanan (15,16%), biji akasia (9,84%), daun gebang (8,24%), ikan (7,18%), asam (6,38%), kroto (4,52%), madu (2,93%), biji gebang/kelanting (2,66%), kemiri (2,39%), dan gadung (1,36%). 3. Nilai pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa penyangga TN Baluran relatif cukup besar yaitu Rp ,90/tahun. Kayu bakar adalah sumberdaya hutan yang paling banyak dimanfaatkan dengan nilai pemanfaatan Rp ,10/tahun. Sedangkan tingkat ketergantungan masyarakat pemanfaat desa penyangga terhadap sumberdaya hutan TN Baluran secara umum sebesar 68,98% dan kontribusi nominal absolut paling tinggi yaitu pemanfaat berpendapatan tinggi (Rp ,00/thn). 4. Terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan dalam kawasan TN Baluran dengan pengelola kawasan TN Baluran. Perbedaan persepsi ini sangat bertentangan dengan harapan para pihak khususnya masyarakat pemanfaat sumberdaya hutan TN Baluran. B. Saran 1. Masyarakat diberi aktivitas ekonomi alternatif terkait dengan sumberdaya yang dimanfaatkan sehingga mampu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam kawasan TN Baluran. Dalam hal ini perlu

76 adanya kajian lebih mendalam mengenai aktivitas-aktivitas ekonomi alternatif yang paling baik untuk diterapkan. 2. Adanya koordinasi dengan Perum Perhutani terutama dalam hal pengembangan hutan untuk kayu bakar, mengingat kayu bakar memiliki nilai pemanfaatan yang paling tinggi. 3. Perlu adanya pengkajian intensif terhadap kerusakan atau gangguan ekosistem yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan dalam kawasan TN Baluran serta adanya pola pemanfaatan sumberdaya hutan dalam kawasan TN Baluran yang memenuhi kaidah kelestarian. 4. Berkaitan dengan legal aspect, maka perlu adanya kajian mengenai peraturan perundangan dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan yang paling baik untuk diterapkan.

77 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Peranan Pengembangan Wisata Alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Bagi Masyarakat Sekitarnya. Makalah Penunjang dalam Rangka HAPKA Fakultas Kehutanan IPB, 3-4 September Manfaat Taman Nasional bagi Masyarakat di Sekitarnya. Media Konservasi I (3) : Anonim Pedoman Pola Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional. Bogor : Proyek Pembinaan Kelestarian Sumberdaya Alam Hayati Perkembangan Pembangunan Taman Nasional. Bogor : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta : Departemen Kehutanan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran : Buku I (Periode Tahun ). Banyuwangi : Proyek Pengembangan Taman Nasional Baluran Rancangan Pembinaan Daerah Penyangga di Taman Nasional Baluran. Banyuwangi : Proyek Pengembangan Taman Nasional Baluran Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.. Jakarta : Departemen Kehutanan. Bishop EC, Toussaint WD Introduction to Agriculture Economic Analysis. New York. Borrini FG Collaborative Management of Protected Areas (in Partnership for Protection : New Strategies for Planning and Management for Protected Areas (edited by Stolton, Sue and Nigel Dudley). London. IUCN-The World Conservation Union, Eartscan Publication Ltd. Pp: Davis LS, Johnson Forest Management. New York : Mc Graw-Hill Book Company. Dixon JA, Sherman Economic of Protected Areas : A New Look at Benefits and Cost. Washington D. C : Island Press. Duerr WA Fundamentals of Forestry Economic. New York : Mc Graw-Hill Book Company. Firmansyah I Studi Ekonomi Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus (Pinus merkusii, Jungh et De Vriese) dan Ketergantungannya Terhadap Sumberdaya Hutan di RPH Cinagara BKPH Bogor KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [Skripsi]. Bogor : IPB, Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Hufschmidt MM, James AD, Meister, Bower, Dixon Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan, Pedoman penilaian Ekonomis. (Reksohadiprojo, S. Penerjemah). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Iskandar J Manusia, Budaya dan Lingkungannya : Kajian Ekologi Manusia. Bandung : Humaniora Utama Press.

78 MacKinnon J, K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi Di Daerah Tropika (terjemahan). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. McNeely JA Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati (Kustyaningsih, Sb). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Merrill R, Elfian E Memperkuat Pendekatan Partisifatif dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Transisi dan Otonomi Daerah. Jakarta : Natural Resources Management Program. Phillips A Indigenous and Local Communities and Protected Areas: Rethinking the Relationship (in Local Communities Protected Area). Gland-Switzerland : IUCN-The World Conservation Union, Nature Bureau, UK Publication Ltd. Setianingrum SI Nilai Manfaat Hasil Hutan bagi Masyarakat Desa di Sekitar Taman Nasional Baluran (Studi Kasus di desa Sumberwaru Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo) [Skripsi]. Bogor : IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Setiawan H Kajian Tekanan Masyarakat terhadap Taman Nasional Studi Kasus Pemungutan Bambu di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. [Skripsi]. Bogor : IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Soekmadi R Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pencari Kayu Bakar di Taman Nasional Baluran [Skripsi]. Bogor : IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi. Makalah pada Workshop tentang Penguatan Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bogor : tanggal Mei Sriyanto A Pemanfaatan Tradisional di Dalam Kawasan Konservasi. Dalam Materi Pelatihan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati untuk Kepala Seksi Konservasi Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam : VII Partisipasi Masyarakat. Bogor : Balai Diklat Kehutanan Bogor- CTRC. Suhaeri Pengembangan Kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun [Tesis]. Bogor : IPB, Program Pasca Sarjana. Wibisono I Studi Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional (Studi Kasus di Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur [Skripsi]. Bogor : IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Wiratno, Daru I, Ahmad S, Ani K Berkaca di Cermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta : Forest Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan dan PILI- NGO Movement.

79

80 Lampiran 1. Karakteristik Pemanfaat Sumberdaya Hutan A. Desa Wonorejo No. Resp Umur (Tahun) Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Tingkat Pendidikan Pekerjaan Pendapatan di Luar Hasil Hutan per Bulan Luas Lahan Milik (Ha) Luas Lahan Bukan Milik (Ha) SD Petani ,50 0, tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Wiraswasta ,00 0, SD Petani ,25 0, tidak sekolah Buruh Tani ,00 0, SMP Buruh Tani ,00 0, tidak sekolah Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, tidal lulus SD Wiraswasta ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Petani ,00 0, SMA Petani ,50 0, tidak lulus SD Wiraswasta ,00 0, tidak lulus SD Petani ,00 0, tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, tidak sekolah Buruh Tani ,00 0, tidak sekolah Petani ,00 0, tidak lulus SD Petani ,00 0, tidak lulus SD Petani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SMA Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SMP Petani ,50 0, SD Buruh Tani ,00 0, tidak lulus SD Petani ,00 0, tidak lulus SD Wiraswasta ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Wiraswasta ,00 0, Tidak sekolah Petani ,00 0, tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, tidak lulus SD Wiraswasta ,00 0, SMP Petani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SMP Petani ,00 0,00

81 Lanjutan B. Desa Sumberwaru No. Resp Umur (Tahun) Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Tingkat Pendidikan Pekerjaan Pendapatan di Luar Hasil Hutan per Bulan (Rp) Luas Lahan Milik (Ha) Luas Lahan Bukan Milik (Ha) SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, Tidak sekolah Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Petani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD wiraswasta ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SD Petani ,00 0, tidak sekolah Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SMP petani ,00 1, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SD wiraswasta ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SD Petani ,00 0, Tidak sekolah Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SMP Petani ,75 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, tidak sekolah Petani ,50 0, tidak sekolah wiraswasta ,00 0, tidak sekolah Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SD Petani ,50 0, SD Wiraswasta ,00 0, SD Petani ,25 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SD Petani ,50 0, SMA Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,50 0,00

82 Lanjutan C. Desa Sumberanyar No. Resp Umur (Tahun) Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Tingkat Pendidikan Pekerjaan Pendapatan di Luar Hasil Hutan per Bulan (Rp) Luas Lahan Milik (Ha) Luas Lahan Bukan Milik (Ha) Tidak sekolah Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 1, Tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SD Petani ,00 0, Tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, Tidak lulus SD Petani , SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, SMP Petani ,50 0, Tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SMP Buruh Tani ,00 0, SMP Petani ,00 0, tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SD Wiraswasta ,00 0, tidak sekolah Petani ,50 0, SD Petani ,50 0, SMA Buruh Tani ,00 0, tidak sekolah Petani ,50 0, SD Wiraswasta ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0, Tidak lulus SD Petani ,00 0, Tidak lulus SD Petani ,50 0, SD Wiraswasta ,00 0, tidak sekolah Buruh Tani ,00 0, SMA Petani ,00 0, Tidak lulus SD Buruh Tani ,00 0, SD Wiraswasta ,00 0, SMP Petani ,50 0, SD Buruh Tani ,00 0, SD Buruh Tani ,00 0,00

83 Lanjutan D. Desa Bajulmati No. Resp Umur (Tahun) Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Tingkat Pendidikan Pekerjaan Pendapatan di Luar Hasil Hutan per Bulan (Rp) Luas Lahan Milik (Ha) Luas Lahan Bukan Milik (Ha) SD Buruh tani ,00 0, SMP Petani ,00 0, SMA Buruh tani , tidak lulus SD Petani ,00 0, SD Wiraswasta ,00 0, tidak lulus SD Petani ,00 1, SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak sekolah Buruh tani ,00 0, SMA Wiraswasta ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak sekolah petani ,50 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Wiraswasta ,00 0, SD Wiraswasta ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SMP Petani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak sekolah Buruh tani ,00 0, SMP Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SMP Buruh tani ,00 0, SMP Buruh tani ,00 0, SMP Petani ,50 0, SD Petani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0,00 0,00

84 Lanjutan E. Desa Watukebo No. Resp Umur (Tahun) Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Tingkat Pendidikan Pekerjaan Pendapatan di Luar Hasil Hutan per Bulan (Rp) Luas Lahan Milik (Ha) Luas Lahan Bukan Milik (Ha) tidak sekolah Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, SMP Petani ,00 0, SMP Wiraswasta ,00 0, SD Petani ,50 0, tidak lulus SD Buruh tani ,00 0, tidak sekolah Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0, SD Buruh tani ,00 0,00

85 Lampiran 2. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Baluran A. Desa Wonorejo No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Kroto Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Madu Sumiang Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Popongan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Popongan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Curah Ulin Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Madu Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Daun Gebang Dadap Dijual Sepanjang tahun Rumput Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Glengseran Dijual Juni-Agustus Kroto Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Madu Puyangan Dijual Sepanjang tahun Rambanan Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Popongan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Sumiang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pal Boto Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Gunung Motor Dijual Juni-Agustus Kroto Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Sambikerep Dijual Sepanjang tahun Kelanting Dadap Dijual Sepanjang tahun Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kelanting Candibang Dijual Sepanjang tahun

86 Lanjutan No. Resp. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Kroto Sumiang Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 14 Kelanting Sambikerep Dijual Sepanjang tahun Daun Gebang Palongan Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Dadap Dijual Sepanjang tahun Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Pal Boto Dijual Juni-Agustus Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Glengseran Dijual Juni-September Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 19 Biji Akasia Kajang Dijual Juni-September Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Kroto Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Pal Boto Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Biji Akasia Kajang Dijual Juni-September Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Dijual Sepanjang tahun Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Madu Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Rambanan Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Kroto Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Pal Boto Dijual Juni-September Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Pal Boto Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Candibang Dijual Sepanjang tahun Kelanting Sumiang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Palongan Dijual Sepanjang tahun ayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

87 Lanjutan No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Perengan Dijual Sepanjang tahun Kelanting Sambikerep Dijual Sepanjang tahun Madu Sumiang Dijual Sepanjang tahun Rumput Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kelanting Dadap Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kelanting Sirontoh Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Gn. Motor Dijual Juni-Agustus Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Pal Boto Dijual Juni-Agustus Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Balanan Dijual Juni-Agustus Kelanting Kali Kepuh Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kelanting Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Rambanan Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pal Boto Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kelanting Sirokoh Dijual Sepanjang tahun Rumput Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Gadung 2/bln Glengseran Dijual September-Oktober Rambanan Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Gadung 2/bln Bitakol Dijual September-Oktober Ikan Bama Dijual Sepanjang tahun Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 40 Ikan Bama Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 41 Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

88 Lanjutan B. Desa Sumberwaru No. Resp. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Madu Biduri Dijual Sepanjang tahun Rambanan Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Jeding Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September Kemiri 4/Bln Biduri Dijual September-November Kayu bakar Watu Numpuk Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Alas Malang Dijual Juni-Agustus Rambanan Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Alas Malang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Bilik Dijual Sepanjang tahun Rambanan Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Watu Numpuk Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Bilik Dijual Sepanjang tahun Rumput Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Lemabang Dijual Juni-September Gadung 3/Bln Tlogo Dijual September-Oktober Kemiri 3/Bln Biduri Dijual September-November Kayu bakar Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Biduri Dijual Juni-Agustus Rambanan Lemabang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Gadung 2/Bln Sakesah Dijual September-Oktober Kemiri 5/Bln Biduri Dijual September-November Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Biduri Dijual Juni-Agustus Kayu bakar Sumber Kodung Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Sumber Kodung Dijual Juni-September Kemiri 2/Bln Kacip Dijual September-November Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

89 Lanjutan No. Resp. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Biji Akasia Bilik Dijual Juni-September Rambanan Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Alas Malang Dijual Juni-September Kayu bakar Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Sumber Kodung Dijual Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Alas Malang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Lemabang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Biduri Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September Rumput Bilik Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Curah Asem Dijual Juni-Agustus Rambanan Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Watu Numpuk Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Merak Dijual Juni-September Rambanan Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Gadung 2/Bln Sakesah Dijual Sepanjang tahun Rambanan Paleran Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Sumber Kodung Dijual Sepanjang t ahun Rumput Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Sumber Kodung Dijual Sepanjang tahun Rambanan Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Watu Numpuk Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Bilik Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Merak Dijual Juni-September Rambanan Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Bilik Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Lemabang Dijual Sepanjang tahun Rumput Lemabang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Bilik Dijual Sepanjang tahun Rambanan Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

90 Lanjutan No. Resp. Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 26 Rambanan Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Merak Dijual Juni-September 27 Madu Sakesah Dijual Sepanjang tahun Rumput Licin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September 28 Rambanan Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Merak Dijual Juni-September 29 Rambanan Paleran Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 30 Biji Akasia Alas Malang Dijual Juni-September Kayu bakar Pengarengan Dijual Sepanjang tahun 31 Biji Akasia Merak Dijual Juni-September Rambanan Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang t ahun 32 Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September 33 Biji Akasia Merak Dijual Juni-September Rambanan Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 34 Rambanan Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 35 Ikan Bilik Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 36 Ikan Kajang Dijual Sepanjang tahun

91 Lanjutan C. Desa Sumberanyar No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September Kayu bakar Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kemiri 2/bln Biduri Dijual September-November Madu Sekesah Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Merak Dijual Juni-September Madu Biduri Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Curah Asam Dijual Juni-Agustus Rumput Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Gatel Dijual Juni-Agustus Kemiri 3/bln Sekesah Dijual September-November Rambanan Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Gadung 1x / bln Sekesah Dijual September-Oktober Kemiri 2/bln Sekesah Dijual September-November Biji Akasia Alas Malang Dijual Juni-Agustus Kayu bakar Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Hutan jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Gadung 2x / bln Tlogo Dijual September-Oktober Kayu bakar Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 10 Kayu bakar Pengarengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 11 Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Gatel Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September Rambanan Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Licin Dijual Sepanjang tahun Ikan Bilik Dijual Sepanjang tahun Rumput Bunutan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Tlogo Dijual Sepanjang tahun Asam Gatel Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Watu Numpuk Dijual Juni-September Rambanan Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Tekok Abu Dijual Sepanjang tahun 16 Ikan Merak Dijual Sepanjang tahun 17 Rambanan Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Hutan jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

92 Lanjutan No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Hutan Jati Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rambanan Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Sumber Kodung Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 20 Rumput Alas Malang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Tlogo Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Tekok Abu Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Pengarengan Dijual Sepanjang tahun Rumput Gatel Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 24 Rambanan Alas Malang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 25 Ikan Kajang Dijual Sepanjang tahun 26 Ikan Kajang Dijual Sepanjang tahun 27 Ikan Bilik Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 28 Biji Akasia Merak Dijual Juni-September 29 Biji Akasia Jeding Dijual Juni-September Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 30 Ikan Bilik Dijual Sepanjang tahun 31 Rambanan Jeding Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Biji Akasia Jeding Dijual Juni-September 32 Biji Akasia Merak Dijual Juni-September

93 Lanjutan D. Desa Bajulmati No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Daun Gebang Dadap Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Glengseran Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Curah Ulin Dijual Juni-Agustus Daun Gebang Puyangan Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Popongan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Kali Kepuh Dijual Sepanjang tahun Kroto Sumiang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Perengan Dijual Sepanjang tahun Daun Gebang Siroko Dijual Sepanjang tahun Rambanan Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Madu Puyangan Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Dijual Sepanjang tahun Biji Akasia Paleran Dijual Juni-September Daun Gebang Sambikerep Dijual Sepanjang tahun Rumput Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Asam Gn. Motor Dijual Juni-Agustus Madu Puyangan Dijual Sepanjang tahun Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Kroto Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Dijual Sepanjang tahun Asam Pal Boto Dijual Juni-Agustus Biji Akasia Bekol Dijual Juni-September Rumput Pal Boto Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 10 Asam Curah Ulin Dijual Juni-Agustus Asam Gn. Motor Dijual Juni-Agustus Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Puyangan Dijual Sepanjang tahun Kroto Perengan Dijual Sepanjang tahun Rambanan Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang t ahun Daun Gebang Puyangan Dijual Sepanjang tahun Rambanan Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Sumiang Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

94 Lanjutan No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaatkan F / mgg H / unit (Rp) V / pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Daun Gebang Candibang Dijual Sepanjang tahun Rumput Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Rambanan Glengseran Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Siroko Dijual Sepanjang tahun Rambanan Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Candibang Dijual Sepanjang tahun Rambanan Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 20 Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Perengan Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Dadap Dijual Sepanjang tahun Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 23 Daun Gebang Siroko Dijual Sepanjang tahun 24 Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 25 Daun Gebang Siroko Dijual Sepanjang tahun 26 Daun Gebang Palongan Dijual Sepanjang tahun Kemiri 3/bln Gn. Baluran Dijual September-November Kayu bakar Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kemiri 6/bln Biduri Dijual September-November Rumput Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Bama Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 30 Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 31 Ikan Popongan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

95 Lanjutan E. Desa Watukebo No. Resp Jenis Hasil Hutan yang Dimanfaakan F / mgg H / unit (Rp) V / Pemanfaatan (unit) Lokasi Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan Musim Pemanfaatan Daun Gebang Puyangan Dijual Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Kali Kepuh Dijual Sepanjang tahun Rambanan Kali Kepuh Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kayu bakar Curah Ulin Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Daun Gebang Dadap Dijual Sepanjang tahun Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 4 Ikan Bama Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 5 Ikan Kajang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 6 Ikan Popongan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Curah Ulin Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Batangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Kroto Puyangan Dijual Sepanjang tahun Kayu bakar Siroko Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Puyangan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Ikan Cemara Konsumsi sendiri Sepanjang tahun Rumput Sumiang Konsumsi sendiri Sepanjang tahun 10 Rambanan Perengan Konsumsi sendiri Sepanjang tahun

96 Lampiran 3. Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan Taman Nasional Baluran No Resp A. Nilai Manfaat Asam Asam (kg) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati F V F V F V F H No Resp H No Resp H No Resp H (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

97 Lanjutan No Resp B. Nilai Manfaat Biji Akasia Biji Akasia (kg) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati F (mgg) H V (unit) No Resp F (mgg) H V (unit) No Resp F (mgg) H V (unit) No Resp F (mgg) H V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

98 Lanjutan C. Nilai Manfaat Gadung Gadung (kg) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar No Resp F (bln) H V (unit) No Resp F (bln) H V (unit) No Resp F (bln) H 37 2/bln /bln x / bln /bln /bln x / bln /bln V (unit) Rata-rata 2/bln Rata-rata Rata-rata 1.5/bln Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

99 Lanjutan No Resp D. Nilai Manfaat Daun Gebang Daun Gebang (kg) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Bajulmati Desa Watukebo F V F V F V F H No Resp H No Resp H No Resp H (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) , , , , , , , , V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

100 Lanjutan No Resp E. Nilai Manfaat Ikan Ikan (kg) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo V No F V No F V No F V No F F (mgg) H H H H H (unit) Resp (mgg) (unit) Resp (mgg) (unit) Resp (mgg) (unit) Resp (mgg) , , , ,5 V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn)

101 Lanjutan F. Nilai Manfaat Biji Gebang (Kelanting) Biji Gebang/Kelanting (kg) Desa Wonorejo No Resp F (mgg) H V (unit) Rata-rata Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

102 Lanjutan G. Nilai Manfaat Kemiri Kemiri (kg) Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati V V No Resp F (bln) H No Resp F (bln) H No Resp F (bln) H (unit) (unit) 2 4/bln /bln /bln /bln /bln /bln /bln /bln /bln V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

103 Lanjutan No Resp H. Nilai Manfaat Kroto Kroto (ons) Desa Wonorejo Desa Bajulmati Desa Watukebo F V F V F H No Resp H No Resp (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) H V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

104 Lanjutan I. Nilai Manfaat Madu Madu (botol) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati V F V F V F No Resp F (mgg) H No Resp H No Resp H No Resp H (unit) (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) , V (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat total (Rp/thn)

105 Lanjutan J. Rambanan Rambanan (ikat) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo F V F V F V No F V F V No Resp H No Resp H No Resp H H No Resp H (mgg) (unit) (mgg) (unit) (mgg) (unit) Re sp (mgg) (unit) (mgg) (unit) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai Manfaat total (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn)

106 Lanjutan K. Kayu Bakar Jenis (ikat) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo F F F F F No Resp H V No Resp H V No Resp H V No Resp H V No Resp H V (mgg) (mgg) (mgg) (mgg) (mgg) Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai Manfaat total (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn)

107 Lanjutan No Resp L. Rumput Rumput (sak) Desa Wonorejo Desa Sumberwaru Desa Sumberanyar Desa Bajulmati Desa Watukebo F (mgg) H V No Resp F (mgg) H V No Resp F (mgg) H V No Resp F (mgg) H V No Resp Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat Nilai manfaat (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Nilai Manfaat total (Rp/thn) F (mgg) H V

108 Lampiran 4. Tingkatan Pendapatan Total Pemanfaat Sumberdaya Hutan Berdasarkan Kelompok Pendapatan Rumah Tangga No Pendapatan Pendapatan di luar SDH Pendapatan total Resp SDH (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Kelompok Pendapatan Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapat an Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Rendah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah

109 No Pendapatan Pendapatan di luar SDH Pendapatan total Resp SDH (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Kelompok Pendapatan Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah

110 No Pendapatan Pendapatan di luar SDH Pendapatan total Resp SDH (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Kelompok Pendapatan Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Menengah Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi

111 No Pendapatan Pendapatan di luar SDH Pendapatan total Resp SDH (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Kelompok Pendapatan Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Pendapatan Tinggi Catatan : No. Responden 1 41 = Pemanfaat dari Desa Wonorejo No. Responden = Pemanfaat dari Desa Sumberwaru No. Responden = Pemanfaat dari Desa Sumberanyar No. Responden = Pemanfaat dari Desa Bajulmati No. Responden = Pemanfaat dari Desa Watukebo

112 Lampiran 5. Peta Lokasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Baluran PETA LOKASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO PROPINSI JAWA TIMUR Jenis sumberdaya hutan yang

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : RINI NOVI MARLIANI E34101037 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Menurut Suratmo (1980) dalam Suhaeri (1994), banyak definisi yang dipakai untuk menggambarkan taman nasional. Definisi tersebut biasanya berbeda untuk satu negara

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah, Letak dan Luas Kawasan Upaya penunjukan kawasan Baluran menjadi suaka margasatwa telah dirintis oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928, rintisan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi DISUSUN OLEH : DYDIK SETYAWAN E

Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi DISUSUN OLEH : DYDIK SETYAWAN E i PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO PROVINSI JAWA TIMUR BULAN OKTOBER TAHUN

Lebih terperinci

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN Ambar Kristiyanto NIM. 10615010011005 http://www.ppt-to-video.com Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu taman nasional tertua

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA

STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA (Studi Kasus : Desa Horale, Desa Masihulan, Desa Air Besar, Desa Solea dan Desa Pasahari) WISYE SOUHUWAT DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik 1. Sejarah Penetapan Menurut Buku Informasi (2001), Taman Nasional Baluran ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan pengumuman Menteri Pertanian

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas

BAB II LANDASAN TEORI. komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini penulis akan menjelaskan teori-teori yang melandasi proses pengerjaan laporan kerja praktik ini. 2.1 Film Film adalah bagian dari karya cipta seni dan budaya yang merupakan

Lebih terperinci

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994). TINJAUAN PUSTAKA Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan Berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumberdaya

Lebih terperinci

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan lindung sebagai kawasan yang mempunyai manfaat untuk mengatur tata air, pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar, sumber plasma nutfah serta fungsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 8. TEKS NEGOSIASILatihan Soal 8.2

SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 8. TEKS NEGOSIASILatihan Soal 8.2 SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 8. TEKS NEGOSIASILatihan Soal 8.2 1. Cermati teks negosiasi berikut! Terima Kasih Bu Mia Kamis pagi usai pelajaran olahraga, Bu Mia, guru Kimia masuk kelas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

NO KATALOG :

NO KATALOG : NO KATALOG : 1101002.3510210 STATISTIK DAERAH KECAMATAN WONGSOREJO 2013 Katalog BPS : 1101002.3510210 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 25,7 cm x 18,2 cm : vi + Halaman Pembuat Naskah : Koordinator Statistik

Lebih terperinci

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu PO. BOX. 179 Telp./Fax Palembang

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu PO. BOX. 179 Telp./Fax Palembang PENDEKATAN MODEL SISTEM DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN POPULASI RUSA (Cervus timorensis Mul. & Schl. 1844) DI TAMAN NASIONAL BALURAN (System Model Approach in Management Policy of Deer (Cervus timorensis

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam Banyak sekali ulah manusia yang dapat menyebabkan kepunahan terhadap Flora dan Fauna di Indonesia juga di seluruh dunia.tetapi,bukan hanya ulah manusia saja,berikut beberapa penyebab kepunahan flora dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT.

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT. STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 Statistik Daerah Kecamatan Air Dikit 214 Halaman ii STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 Nomor ISSN : - Nomor Publikasi

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA MENUJU PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MANDIRI: PENGELOLAAN BERBASIS RESORT, DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR Bidang Kegiatan : PKM Artikel Ilmiah

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PENDAHULUAN Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci