ANALISA FORMULASI KEBIJAKAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA FORMULASI KEBIJAKAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA"

Transkripsi

1 ANALISA FORMULASI KEBIJAKAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA Bambang Martin Baru Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Merdeka Madiun Abstract Studies Formulation Regulatory Policy Rural, Regional Regulation Ponorogo, No. 11 of 2000 on the Rules of the village, in the village of Coper, Jetis, Ponorogo, a backdrop of a drafting process did not consider some aspects of the potentials and challenges, as well as provide less space and opportunity to the people, so the rules villages that produced less effectively implemented for lack of response and the support of the villagers. Keywords: Policy Formulation, Regulation village PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara utamanya dalam menumbuhkan kehidupan demokratis, memperkuat kedudukan dan kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah. Sejalan dengan itu, peranan manajemen pemerintahan sangat penting dalam upaya mensukseskan pelaksanaan UU. Nomor: 32 Tahun Organisasi atau birokrasi pemerintah harus efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan pembangunan daerah. Oleh karena itu, perlu perubahan pola pikir dan pendekatan dari penekanan pada cara, prosedur dan peraturan perundang-undangan tentang bagaimana pelaksanaan suatu tugas menjadi titik pengembangan pada realisasi visi, misi dan tujuan yang harus dicapai oleh suatu tugas atau pekerjaan. Pada birokrasi pemerintah ada kecenderungan mengakumulasi kekuasaan, karena itu, harus dicegah supaya birokrasi tidak menguasai kebijaksanaan, institusi dan rakyat yang semestinya yang mendapatkan pelayanan. Dalam pemerintahan modern walaupun banyak kebutuhan masyarakat secara operasional tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat sendiri. Pemerintah harus tetap membuat keputusan tentang berbagai kebijakan yang harus dipenuhi baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah sendiri. Makin banyak ragam kebutuhan dan kepentingan masyarakat makin banyak pula kebijakan yang harus ditetapkan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengayoman dan pengaturan. Masyarakat modern yang ditandai dengan perubahan kearah perbaikan disemua aspek SOSIAL: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Volume 17 Nomor 2 September 2016; ISSN :

2 Bambang Martin Baru kehidupan masyarakat juga cenderung dituntut suatu kecepatan. Hal tersebut mendorong perubahan sikap pimpinan organisasi pemerintahan untuk melakukan penyesuaian dengan dinamika yang berkembang. Hal ini pula menuntut proses pengambilan keputusan serta pelaksanaannya. Dalam era reformasi pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan hal-hal yang bersifat institusi tetapi harus didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan didukung dengan data yang akurat. Oleh karena itu, ciri utama dari manajemen modern adalah rasional, akurat, cepat, transparan, dan mengutamakan yang optimal. Era reformasi adalah era keterbukaan, oleh karena itu manajemen modern harus transparan berarti bahwa dalam proses pengambilan keputusan baik dalam proses perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan perlu melibatkan pihak-pihak terkait termasuk di dalamnya masyarakat sebagai pemegang saham negara. Keterbukaan pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya kesadaran akan pentingnya akuntabilitas kepada masyarakat. Dalam UU. Nomor: 32 Tahun 2004 dalam rangka pelaksanaan desentralisasi mengandung pengertian bahwa kepala daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk meningkatkan efisiensi dan efek tifitas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Undang-Undang ini merefleksikan pembagian kekuasaan dibidang pemerintahan yang lebih luas kepada Daerah, memberikan kepastian sumber dana pemerintahan daerah dalam menjalankan fungsinya. AW. Widjaja, (2004) menegaskan bahwa: Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah serta proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan UU. Nomor: 32 Tahun 2004 ini, maka dituntut adanya peningkatan kemampuan daerah untuk meningkatkan kualitas dari penyelenggaraan pemerintahan dan instansi-instansi pemerintah sebagai sarana pelayanan publik serta organisasi pemerintahan Desa termasuk elemen penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, karena merupakan organisasi pemerintahan terbawah yang langsung berhubungan dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (masyarakat), yang merupakan potensi yang harus dimanfaatkan dalam pelaksanaan pembangunan Mengingat pentingnya desa dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka diperlukan peraturan daerah yang menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Ponorogo menetapkan Perda Nomor: 11 Tahun 2000 tentang peraturan desa, hal ini dikandung maksud agar pemerintah desa dalam menetapkan peraturan desa terdapat pedoman yang jelas, sehingga aspek legalitas dari peraturan desa dapat terjamin. Disamping itu, perda tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi penyelenggaraan pemerintahan desa dapat terlaksana secara demokratis dalam mengambilan peraturan desa, sehingga peraturan desa yang ditetapkan dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat KAJIAN LITERATUR. A. Formulasi Kebijakan Publik. 94 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

3 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa Kebijakan pemerintah merupakan produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada seluruh masyarakat, dengan memiliki tujuan tertentu. Hal ini seperti dikemukakan oleh Kridawati (2011), menjelaskan bahwa: Kebijakan pemerintah adalah kebijakan yang dibuat pemerintah yang mempunyai kekuatan hukum mengikat aparatur pemerintah dan masyarakat dalam rangka melaksanakan tugas umum pemerintah, pembangunan, dan kemasyarakatan guna mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan tertentu atau dalam rangka melaksanakan produk-produk keputusan atau peraturan perundangundangan yang telah ditentukan dan lazimnya dituangkan dalam bentuk keputusan formal. Kebijakan pemerintah bukan hanya dipahami sebagai apa saja yang dilakukan pemerintah, melainkan juga sesuatu yang tidak dilakukan pemerintah. Menurut Thomas R. Dye (1982) dalam Kridawati (2011), bahwa; Public policy is whatever governments choose to do or not to do.dye berpendapat sederhana bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak dilakukan. Menurutnya, kebijakan negara tidak saja harus dilaksanakan tetapi juga hal-hal yang sengaja tidak dilakukan, karena sama-sama mempunyai pengaruh terhadap publik. Kebijakan itu merupakan otoritas dari pemerintah, seperti dikemukakan oleh Making (1975) dalam Kridawati (2011), secara spesifik berpendapat bahwa; Public policies are those policies developed by government bodies and official. (Kebijakan dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah. Namun demikian dalam rangka penyusunan kebijakan harus dilandasi oleh adanya tuntutan dan dukungan dari publik, sebagaimana dikemukakan oleh Carl Freidrick dalam Wahab (2002) kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Ditegaskan bahwa kebijakan itu didasarkan pada input yang berupa tuntutan, atau dukungan yang diusulkan oleh masyarakat dan atau pemerintah itu sendiri, karena dirasakan adanya masalah-masalah sosial yang terjadi. Berdasarkan pandangan tersebut, sifat kebijakan publik dipahami sebagai arah tindakan pemerintah yang dapat diperinci ke dalam beberapa kategori yakni policy demand (tuntutan kebijakan), policy decision (keputusan kebijakan), policy statement (pernyataan kebijakan), policy output (keluaran kebijakan) dan policy outcome (hasil akhir kebijakan) (Kridawati, 2011). Anderson dalam Wahab (2002) merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan memuat adanya langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah guna menyelesaikan masalahmasalah sosial yang terjadi. Selanjutnya, Anderson dalam Irfan Islamy (2000) juga menegaskan bahwa: kebijaksanaan adalah:... apurposive course of action followed by an actors in dealing with a problem or matter of concern. (artinya... serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Dengan demikian Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 95

4 Bambang Martin Baru kebijakan itu bertitik tolak karena adanya masalah-masalah sosial, dan dapat diusulkan oleh masyarakat, atau pemerintah dengan bertujuan untuk menyelesaikan masalahmasalah yang terjadi, sehingga dalam kebijakan itu juga memuat sejumlah tindakan yang diperlukan guna mewujudkan tujuan tertentu yaitu menyelesaikan masalah-masalah yang berkembang. Horold D. Laswell dan Abraham Kaplan, dalam Irfan Islamy (2000) juga menegaskan secara simple, yaitu a project program of goals, volue and practics. (artinya... suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai praktek yang terarah). Pada prinsipnya suatu kebijakan memuat adanya tujuan atau nilai kepentingan tertentu yang ingin diwujudkan, dan digunakan untuk memecahkan suatu persoalan tertentu. Dari beberapa pendapat para pakar tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan itu mengandung beberapa unsur, antara lain: 1. Kebijakan itu berdasarkan adanya masalah-masalah sosial yang terjadi. 2. Kebijakan itu diusulkan oleh masyarakat atau pemerintah. 3. Kebijakan itu memuat langkah-langkah yang diperlukan 4. Kebijakan itu memuat tujuan-tujuan tertentu Sedangkan pengertian kebijakan publik, sebagaimana dikemukakan oleh Horald D. Laswell dan Abraham Kaplan, dalam Wahab (2002) adalah: a projected program of goals, volue and practices. Artinya suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktekpraktek yang terarah. Ditegaskan bahwa kebijaksanaan publik merupakan program pencapaian tujuan tertentu dari pemerintah, dan dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Ditambahkan oleh Thomas R. Dye dalam Irfan Islamy (2000), bahwa kebijakan publik itu didefinisikan sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pemerintah dalam hal ini yang memiliki legitimasi untuk memilih dilakukan atau tidak, apapun pilihannya maka menjadi kebijakan publik. Maka dari itu Soenarko (2000) berpendapat bahwa sekurang-kurangnya ada dua macam terkait dengan kebijakan publik, yaitu : Pertama adalah pendapat dari mereka yang memandang kebijakan publik sama dengan tindakan-tindakan pemerintah. Mereka menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pendapat kedua adalah dari para ahli yang memberi perhatian khusus pada pelaksanaan kebijaksanaan. Ahli-ahli yang sependapat dengan ini selanjutnya dapat dibagi dalam dua kubu, yaitu mereka yang memandang kebijaksanaan publik sebagai suatu keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu, dan mereka yang menganggap bahwa kebijaksanaan publik itu sebagai memiliki akibat-akibat yang dapat diramalkan. Pada akhirnya Kridawati (2011), menyimpulkan bahwa kebijakan publik pada dasarnya suatu keputusan yang dimaksudkan untuk: 1. Mengatasi permasalahan tertentu 2. Melakukan kegiatan tertentu 3. Mencapai tujuan tertentu 4. Yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Proses penyusunan kebijakan publik, biasanya diawali oleh adanya masalah yang 96 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

5 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa berkembang di masyarakat, masalah bisa berupa tuntutan dan bisa berupa dukungan. Dari masalah yang berkembang itulah menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk dapat menjadi agenda dalam penyusunan kebijakan publik (agenda setting). Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Perumusan masalah biasanya memunculkan empat kemungkinan yaitu problem solving, problem unsolving, dan problem dissolving. Hasil akhir dari perumusan masalah adalah problem solving. Artinya, masalah tersebut dapat dicarikan solusinya sehingga dapat diangkat pada tahap selanjutnya oleh para problem solver. Perumusan masalah berguna untuk membantu menentukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab, menentukan tujuan, memadukan pandangan yang bertentangan, merancang peluangpeluang (Kridawati, Lebih lanjut ditegaskan, karakteristik masalah, meliputi: 1. Interdependence: setiap masalah adalah merupakan bagian dari keseluruhan sistem masalah yang masing-masing saling tergantung satu sama lain. 2. Subyektif: walaupun suatu masalah itu obyektif, tetapi masalah tersebut diberi makna secara berbeda oleh orang yang berbeda, pada waktu yang berbeda dan ditempat yang berbeda pula. 3. Artificial: masalah adalah merupakan produk dari penilaian manusia yang harus diterima sebagai kondisi sosial yang sah dan obyektif. Oleh karenanya maka masalah-masalah tersebut dikontruksi, dipertahankan dan diubah secara sosial. 4. Dynamic: masalah yang berbeda menuntut solusi berbeda pula. Masalah dan solusi masalah senantiasa berada dalam kondisi yang berubah-ubah sehingga tidak ada masalah yang dapat diatasi dengan solusi yang sama. Menurut Kimber, Salesbury, Sandbach, Hogwood dan Gunn, ada beberapa kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan public, diantaranya: 1. Telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; 2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis; 3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. Menjangkau dampak yang amat luas; Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 97

6 Bambang Martin Baru 5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat; 6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya) (Kridawati, 2011). Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Terdapat beberapa fase dalam tahap perumusan kebijakan publik, yaitu: 1. Mengidentifikasikan alternatif: disesuaikan dengan sifat masalahnya. 2. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif. 3. Tujuannya adalah agar semakin jelas definisinya sehingga mudah untuk memilah dan mempertimbangkan ke kuatan dan kelemahannya. 4. Menilai alternatif: membutuhkan kriteria evaluasi 5. Memilih alternatif yang memuaskan (Kridawati, 2011) EF. Horrison dalam Kridawati, (2011) mengingatkan akan adanya keterbatasan dalam memilih alternatif kebijakan, yaitu: 1. Keterbatasan kognisi 2. Informasi yang tidak lengkap dan tidak sempurna 3. Keterbatasan waktu dan biaya. Kesulitan-kesulitan dalam membuat pilihan alternatif kebijakan dan cara mengatasinya, adalah: 1. Bila terdapat dua atau lebih alternatif yang sama-sama atraktifnya dan sama-sama mempunyai peluang secara fungsional untuk dapat memecahkan masalahnya, maka temukan sedetail mungkin perbedaannya dan bisa pula dengan melempar koin untuk menetapkan pilihannya. 2. Bila tidak ada satupun alternatif yang tidak memenuhi syarat pilihan, maka dua atau tiga alternatif bisa digunakan secara bersamaan atau simultan. 3. Bila terdapat hasil dan dampak penilaian yang tidak diinginkan dan berlebihan, maka perlu memperluas proses mencari alternatif lain atau kalau perlu/mungkin dengan mengubah tujuan dan sasarannya. 4. Pembuat keputusan bingung karena adanya alternatif yang sangat banyak jumlahnya, maka perlu dilakukan pengorganisasian alternatif-alternatif kedalam kelompok yang homogen dan mengintensifkan kegiatan membandingkan serta menilai masingmasing kelompok alternatif sehingga dapat dikenali mutu masing-masing alternatif tersebut. 5. Kadang-kadang tidak ada satupun alternatif yang banyak tadi bisa dipilih sehingga secara fungsional dapat dipakai 98 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

7 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa untuk memecahkan masalah, maka intensifkan usaha menemukakan dan membuat alternatif baru, atau dengan mengubah tujuan agar sesuai dengan alternatif yang tersedia. Menurut Kridawati (2011), untuk mendapatkan dan mempertajam upaya memperoleh alternatif pemecahan masalah yang baik, maka digunakan analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats). Namun Morrisey (1997) dalam Kridawati (2011) lebih menyebutnya dengan SLOT (Strength, Limitation, Opportunity, Threaths). Menurutnya, istilah kelemahan cenderung berkonotasi negatif yakni adanya ketidakberesan yang perlu diperbaiki, sedangkan keterbatasan tidak begitu berasosiasi dengan ketidakberesan. Gambar. 1 MATRIX ANALISIS SWOT Strenght Opportunity Weaknesses Threats Sumber: Kridawati, Realitas Kebijakan Publik, Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press), Malang Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisa SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities)yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru. Situasi dan kondisi lingkungan yang selalu berubah-ubah dapat mengakibatkan atau mempengaruhi organisasi, baik itu kesempatan yang menguntungkan maupun ancaman atau resiko yang merugikan. Organisasi dituntut untuk selalu bersikap tanggap dan mampu mengikuti serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu cara yang sistematis untuk menilai situasi dan kondisi di sekitar organisasi. Dari kebutuhan inilah lahir konsep analisis SWOT yang memiliki peranan penting dalam menetapkan suatu strategi organisasi. SWOT analysis merupakan cara yang sistematis didalam melakukan analisis terhadap wujud ancaman dan kesempatan Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 99

8 Bambang Martin Baru agar dapat membedakan keadaan lingkungan yang akan datang sehingga dapat ditemukan masalah yang ada. Analisis SWOT adalah untuk menentukan kekuatan organisasi dibandingkan dengan pesaingnya dan untuk mengidentifikasikan bidang-bidang dimana organisasi mungkin akan mengalami ancaman, demikian juga bidang dimana organisasi mempunyai keunggulan nyata.dari SWOT analysis, organisasi dapat menentukan strategi efektif yang sejauh mungkin memanfaatkan kesempatan yang berlandaskan pada kekuatan yang dimiliki organisasi, mengatasi ancaman yang datang dari luar, serta memperbaiki kelemahan yang ada. Menurut Morresey dalam Islamy, (2001), analisis SWOT/SLOT mengharuskan perencana untuk melihat baik faktor internal organisasi maupun eksternal dengan sudut pandang yang obyektif. Kekuatan dan kelemahan/keterbatasan merupakan faktor internal organisasi, sedangkan peluang dan ancaman adalah faktor eksternal organisasi (Kridawati: 2011). Kekuatan/Strength adalah situasi, kondisi, dan kemampuan internal organisasi yang positip/stratejik yang memungkinkan alternatif yang dipilih berfungsi efektif bagi pemecahan masalah. Sedangkan kelemahan/keterbatasan adalah situasi, kondisi, dan ketidakmampuan internal organisasi yang tidak memungkinkan alternatif yang dipilih dapat berfungsi efektif bagi pemecahan masalah. Peluang/opportunity adalah situasi, kondisi, dan faktor-faktor eksternal yang positip yang membantu atau mendukung alternatif yang dipilih dapat secara efektif berfungsi bagi pemecahan masalah. Sedangkan Threat/ancaman adalah situasi, kondisi, dan ketidakmampuan internal organisasi yang tidak memungkinkan alternatif yang dipilih dapat secara efektif berfungsi bagi pemecahan masalah. Langkah-langkah dalam analisis SWOT/ SLOT adalah: 1. Analisis faktor-faktor internal dan eksternal organisasi. 2. Identifikasi isu-isu. 3. Penentuan strategi/alternatif. 4. Merumuskan langkah-langkah pemecahan. B. Pemerintahan Desa. Berdasarkan Perda Kabupaten Ponorogo Nomor: 05 Tahun 2006, tentang Susunan dan Tata Kerja Pemerintahan Desa, yang disebut dengan pemerintahan desa, adalah: Kepala Desa dan BPD (Badan Permusyawarahan Desa). Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di desa, dilaksanakan oleh Pemerintah Desa yang terdiri dari: 1. Kepala Desa. Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk Seorang kepala desa haruslah seorang warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat, yang selanjutnya akan ditentukan dalam perda tentang tata cara pemilihan kepala Dalam pemilihan kepala desa, calon yang memperoleh suara terbanyak, ditetapkan sebagai kepala desa terpilih. Untuk desa-desa yang memiliki hak tradisional yang masih hidup dan diakui keberadaannya, pemilihan kepala desanya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum adat setempat, yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. 2. Perangkat Desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sementara itu, sekretaris desa 100 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

9 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa yang sudah ada sebelum berlaku UU.Nomor: 32 Tahun 2004 diisi oleh bukan pegawai negeri sipil, namun secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d. Urusan pemerintahan lainnya, yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada 3. Badan Permusyawaratan Desa. Badan Permusyawaratan Desa, selanjutnya disebut BPD adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa yang berfungsi menetapkan Peraturan Desa, bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Wakil yang dimaksud dalam hal ini adalah penduduk desa yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat dan tokoh masyarakat lainnya. Berdasarkan Peraturan daerah Nomor: 11 Tahun 2000, tentang Peraturan Desa, Kepala desa sebagai penyelenggara pemerintahan di tingkat paling bawah dalam sistem pemerintahan kita, kedudukan kepala desa sebagai lembaga eksekutif ditingkat Sedangkan kelengkapan kelembagaan desa lainnya seperti Badan Permusyawarahan Desa, sebagai lembaga ditingkat desa yang menjalankan fungsi legislatif. Dalam perspektif teori Trias Politika bahwa kelembagaan politik itu terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijaksanaan publik, dan legiaslatif berfungsi menyusun kebijaksanaan publik, dan yudikatif berfungsi melakukan penilaian atas kebijaksanaan publik itu. Dalam sistem pemerintahan pada umumnya, bahwa kebijaksanaan publik dapat diusulkan oleh pemerintah (eksekutif) dan dapat pula diusulkan oleh legistif. Dalam Perda Nomor: 11 Tahun 2000, pasal. 1, ayat. 8 menyebutkan bahwa: peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atas persetujuan BPD. Ini mengisyaratkan adanya perimbangan kewenangan antara Kepala Desa dengan BPD, agar terjadi kontrol sosial dalam menyusun peraturan Peraturan desa merupakan produk hukum yang bersifat mengikat seluruh warga masyarakat desa, dengan melalui persetujuan dari BPD diharapkan adanya sinkronisasi antara kepentingan pemerintah desa dengan kepentingan masyarakat Batasan-batasan penyusunan peraturan desa, dalam Perda Nomor: 11 Tahun 2000, sebagaimana Bab II, pasal. 2 disebutkan: a. Bentuk Peraturan Desa ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Daerah ini. b. Bentuk Peraturan Desa tentang perubahan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran II peraturan daerah ini. c. Peraturan desa dapat diubah paling banyak 3 (tiga( kali dan ditetapkan dengan peraturan Dari ketentuan diatas, diberikan ruang dan peluang adanya perubahan dalam peraturan Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 101

10 Bambang Martin Baru desa, apabila dipandang kurang sesuai dengan kondisi yang ada. Perubahan peraturan desa itu hanya diperkenankan paling banyak 3 (tiga) kali dilakukan.lebih lanjut dalam pasal. 3 Perda Nomor: 11 Tahun 2000 disebutkan, bahwa: a. Untuk menjaga keaslian Peraturan Desa dan Peraturan desa tentang perubahan pada setiap naskah diparaf serendahrendahnya oleh Sekretaris Desa. b. Untuk salinan dan peraturan desa ditanda tangani serendah-rendahnya oleh Sekretaris Desa. Ini menunjukkan bahwa keabsyahan atau legitimasi perubahan peraturan desa itu harus diketahui dan di tanda tangani oleh sekretaris Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar dalam pelaksanaan peraturan desa itu dari aspek legalitas dapat terjamin untuk diberlakukan dalam kehidupan masyarakat Materi dalam peraturan desa itu, menyangkut ketentuan yang berfungsi mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, dan atau mengatur perilaku kehidupan masyarakat Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan desa sangat strategis untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan, dan pembangunan Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dalam mewujudkan dan mengembangkan praktek good governance. Praktek good governance mensyaratkan adanya transparansi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Pemerintah dituntut untuk terbuka dan menjamin akses masyarakat terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijaksanaan publik. Informasi mengenai tindakan pemerintah, misalnya alasan yang melatarbelakangi tindakan, bentuk tindakan serta waktu dan cara melakukan tindakan, harus tersedia bagi masyarakat luas. Dengan memiliki akses terhadap berbagai jenis informasi semacam itu maka masyarakat dan stakeholder dapat menilai apakah pemerintah telah benar-benar mengabdi pada kepentingan masyarakat atau kepentingan pihak lain. Masyarakat dapat menilai sejauhmana keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan mereka dan menentukan sikap yang tepat dalam merespon kebijakan dari pemerintah tersebut. Sedangkan akuntabilitas dalam penvelenggaraan pelavanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa. Menurut Agus Dwiyanto, dkk, (2002) bahwa: Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilihat melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi: a. acuan pelayanan yang dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik. Indikator tersebut mencerminkan prinsip b. orientasi pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; c. tindakan yang dilakukan oleh aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat 102 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

11 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; dan d. dalam menjalankan tugas pelayanan, seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian pelayanan yang hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga kecenderungan yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya. Salah satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi adalah terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang mengarahkan aparat birokrasi i.mtuk selalu melihat ke atas. Selama iniaparat birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggung jawab kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya. Selanjutnya dalam Perda Nomor: 11 Tahun 2000Perda Nomor: 11 Tahun 2000 Bab. IV pasal. 6 bagian pertama disebutkan bahwa: Rancangan Peraturan Desa dapat berasal dari Kepala desa dan atau atas usul prakaesa BPD. Sedangkan pada bagian kedua pembahasan rancangan peraturan desa, pasal 7 disebutkan bahwa: a. Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal. 6 disampaikan kepada pimpinan BPD untuk mendapatkan pembahasan. b. Pembahasan rancangan peraturan desa dilaksanakan dalam rapat BPD. c. Rapat-rapat dalam membahas rancangan peraturan desa mengenai anggaran pendapatan dan belanja desa dilakukan dalam rapat khusus. Dalam perspektif demokrasi tata cara pengambilan keputusan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijaksanaan publik. Hal ini menyangkut legitimasi kebijakn publik yang telah ditetapkan. Untuk itu, perlu adanya komitmen bersama aturan main dalam pengambilan keputusan agar setiap hambatan atau kendala dalam pengambilan keputusan dapat dihindarkan. Banyak kasus terjadi ketika dalam pengmbilan keputusan mengalami deandlok dalam penetapan karena tidak adanya mekanisme yang jelas. Dalam Perda Nomor: 11 Tahun 2000 Bab, V pasal. 8 disebutkan, bahwa: a. Rapat BPD dalam pengambilan keputusan terhadap rancangan peraturan desa harus dihadiri oleh 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota BPD. b. Dalam anggota BPD yang hadir kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat. 1 rapat BPD dinyatakan batal. c. Apabila rapat BPD batal paling lambat 7 (tujuh) hari setelah rapat pertama Ketua BPD mengadakan rapat yang dihadiri paling sedikit ½ (setengah) dari jumlah anggota BPD. d. Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan apabila musyawarah tidak memperoleh kata sepakat maka ditempuh dengan cara pengambilan suara terbanyak (voting) BPD sebagai institusi yang mewakili kepentingan masyarakat desa, diharapkan melalui fungsi dalam ikut terlibat proses Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 103

12 Bambang Martin Baru penyusunan kebijakan desa dapat mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan dalam proses pene tapannya dipengaruhi oleh berbagai kepentingan-kepentingan anggota BPD sebagai aktor policy, namun setidak-tidaknya melalui proses pembahasan dapat secara transparan kepentingan-kepentingan dari semua pihak. Dengan mekanisme yang ditetapkan sebagaimana dalam peraturan daerah tersebut, dapat memuni kaidah-kaidah demokratisasi, yang pada ujungnya untuk kepentingan masyarakat luas. Hasil pembahasan dari BPD, selanjutnya disyahkan oleh Kepala Desa sebagai peraturan Desa, sebagaimana dalam Perda Kabupaten Ponorogo Nomor: 11 Tahun 2000, Bab. VI pasal. 9 disebutkan, bahwa: a. Rancangan Peraturan Desa yang telah disetujui BPD ditetapkan menjadi Peraturan Desa dan ditanda tangani oleh Kepala Desa. b. Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak memerlukan pengesahan Bupati. Kemudian dalam pasal. 10 disebutkan bahwa: Peraturan desa berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Desa. Sepanjang peraturan desa telah diundangkan dalam lembaran desa berarti peraturan desa tersebut, memiliki aspek legalistik dan bersifat mengikat kepada seluruh warga Bagi masyarakat yang tidak mengindahkan terhadap peraturan desa maka dapat dipaksakan dan bahkan akan mendapatkan sanksi pidana. Sedang kedudukan peraturan desa, sebagaimana dalam Bab. VII pasal. 11 disebutkan bahwa Peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan desa yang lain dan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu mendeskripsikan terkait dengan proses penyusunan peraturan Sedangkan lokasi penelitian di Desa Coper, Kecamatan jetis, Kabupaten Ponorogo. Pengambilan sumber informasi dilakukan secara Purposive Sampling, dan tehnik pengumpulan data melalui tehnik interview (wawancara), kuesioner, observasi (pengamatan), dan document (dokumentasi). Sedangkan metode analisis data menggunakan model interaktif, yaitu analisis dilakukan dalam bentuk interaksi padatiga komponen meliputi; reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyusunan Peraturan Desa. Menurut William N. Dunn (2000) dalam Kridawati (2011), bahwa: Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktifitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan, sebagai berikut: (Kridawati, 2011) 1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. 2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan 104 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

13 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa diformulasikan. 3. Perumusan alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 4. Penyusunan model. Model adalah penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain. 5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, tehnis administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain. 6. Penilaian alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektifitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan. 7. Perumusan rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya. Tahapan dalam proses penyusunan kebijakan tersebut, merupakan dasar pembahasan dalam peraturan desa, namun dalam proses penyusunan peraturan desa, berdasarkan Perda Nomor: 11 Tahun 2000 tentang Peraturan Desa, dapat diidentifikasi dalam 2 (dua) tahapan, yaitu: 1. Proses penyusunan rancangan Peraturan 2. Pembahasan rancangan Peraturan Desa, oleh BPD (Badan Permusyawarahan Desa). 1. Proses penyusunan rancangan Peraturan Perda Kabupaten Ponorogo, Nomor: 11 Tahun 2000, Bab. IV, pasal. 6 bagian pertama disebutkan bahwa: Rancangan Peraturan Desa dapat berasal dari Kepala desa dan atau atas usul prakarsa BPD. Pada umumnya rancangan peraturan desa berasal dari inisiatif Kepala Desa, sebab kepala desa sebagai pimpinan pemerintahan desa sangat berkepentingan untuk dapat menjalankan pemerintahan secara tertib, dan berjalan dengan baik. Rancangan peraturan desa, di Desa coper, Kecamatan Jetis, selalu dilakukan atas inisiatif dari kepala Dalam sistem pemerintahan pada umumnya, bahwa kebijaksanaan publik dapat diusulkan oleh pemerintah (eksekutif) dan dapat pula diusulkan oleh legistif. Dalam Perda Nomor: 11 Tahun 2000, pasal. 1, ayat. 8 menyebutkan bahwa: peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atas persetujuan BPD. Ini mengisyaratkan adanya perimbangan kewenangan antara Kepala Desa dengan BPD, agar terjadi kontrol sosial dalam menyusun peraturan Peraturan desa merupakan produk hukum yang bersifat mengikat seluruh warga masyarakat desa, dengan melalui persetujuan dari BPD diharapkan adanya sinkronisasi antara kepentingan pemerintah desa dengan kepentingan masyarakat Sebenarnya rancangan peraturan desa juga dapat diusulkan oleh BPD, namun dalam prakteknya BPD kurang menggunakan haknya dalam mengusulkan rancangan peraturan Kondisi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam peran dan fungsi BPD Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 105

14 Bambang Martin Baru sebagai lembaga representasi dari kepentingan warga, seharusnya peraturan desa itu akan lebih rasional dalam mewakili kepentingan warga desa apabila inisiatif rancangan peraturan desa itu dibuat oleh BPD. Penyusunan rancangan peraturan desa oleh kepala desa, tentunya didasarkan atas kepentingan-kepentingan warga Dalam proses penyerapan aspirasi dan kepentingan warga desa, kepala desa melakukan pertemuan dengan warga desa, yang dihadiri oleh elemen/ unsur masyarakat desa yang meliputi; LPMD, Kyai/Ulama/Tokoh-Tokoh Masyarakat, Karang Taruna, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lainnya. Proses penyerapan aspirasi dan kepentingan warga desa, di desa coper cukup proporsional untuk mengakomodasi kepentingan warga, karena kepala desa mengundang seluruh elemen masyarakat setempat. Hanya saja keaktifan warga desa dalam menyampaikan pandangannya relatif terbatas, akibatnya penyerapan aspirasi dan kepentingan warga tidak dapat terserap secara memadai oleh kepala Pada umumnya yang menyampaikan aspirasi dan kepentingan hanya terbatas pada elit-elit desa saja, sehingga aspirasi dan kepentingan elitlah yang seringkali mewarnai dalam penyerapan aspirasi warga Dalam penyerapan aspirasi tidak hanya dilakukan pertemuan sekali saja, tetapi juga lebih apabila dipandang masih harus menyesuaikan dengan keinginan warga Masukan dari warga desa tersebut, menjadi dasar bagi kepala desa untuk menyusun rancangan peraturan Dalam rangka pembahasan rancangan peraturan desa, kepala desa selalu mengajak pertemuan dengan perangkat desa untuk ikut serta dalam memberikan pertimbangan dalam rancangan peraturan Hasil pembicaraan itu selanjutnya menjadi rancangan peraturan desa, yang akan diajukan kepada BPD untuk dibahasnya. 2. Pembahasan rancangan Peraturan Desa, oleh BPD. BPD sebagai institusi yang mewakili kepentingan masyarakat desa, diharapkan melalui fungsinya dalam pembahasan rancangan peraturan desa dapat memperjuangkan kepentingan warga Tidak menutup kemungkinan dalam proses penetapannya dipengaruhi oleh berbagai kepentingan-kepentingan anggota BPD sebagai aktor policy, namun setidak-tidaknya melalui proses pembahasan dapat secara transparan kepentingan-kepentingan dari semua pihak. Dengan mekanisme yang ditetapkan sebagaimana dalam peraturan daerah tersebut, dapat memuni kaidah-kaidah demokratisasi, yang pada ujungnya untuk kepentingan masyarakat luas. Perda Kabupaten Ponorogo, Nomor: 11 Tahun 2000, mengisyaratkan bahwa BPD memiliki fungsi pembahasan rancangan peraturan desa yang diusulkan oleh kepala Pembahasan rancangan peraturan desa, diatur dalam pasal 7 disebutkan bahwa: a. Rancangan Peraturan Desa disampaikan kepada pimpinan BPD untuk mendapatkan pembahasan. b. Pembahasan rancangan peraturan desa dilaksanakan dalam rapat BPD. c. Rapat-rapat dalam membahas rancangan peraturan desa mengenai anggaran pendapatan dan belanja desa dilakukan dalam rapat khusus. Dalam proses pembahasan di tingkat BPD, setelah mendapatkan usulan kepala desa atas rancangan peraturan Dalam pembahasan rancangan peraturan desa, dilakukan dalam 106 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

15 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa rapat BPD yang dihadiri segenap anggota BPD. Dalam rangka pembahasan peraturan desa, berdasarkan Perda Kabupaten Ponorogo, Nomor: 11 Tahun 2000 Bab, V pasal. 8 disebutkan, bahwa: a. Rapat BPD dalam pengambilan keputusan terhadap rancangan peraturan desa harus dihadiri oleh 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota BPD. b. Dalam anggota BPD yang hadir kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat. 1 rapat BPD dinyatakan batal. c. Apabila rapat BPD batal paling lambat 7 (tujuh) hari setelah rapat pertama Ketua BPD mengadakan rapat yang dihadiri paling sedikit ½ (setengah) dari jumlah anggota BPD. d. Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan apabila musyawarah tidak memperoleh kata sepakat maka ditempuh dengan cara pengambilan suara terbanyak (voting). Disamping itu, sebelum dilakukan pembahasan rancangan peraturan desa, maka terlebih dahulu disusun tata tertib pembahasan yang harus disepakati bersama seluruh anggota BPD. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses penetapan peraturan desa tidak ada hambatan atau kendala yang kemungkinan dapat menimbulkan konflik sosial. Namun dalam proses pembahasan peraturan desa di tingkat BPD Desa Coper, belum ada tata tertib dalam proses pembahasannya. Dalam proses pembahasan peraturan desa, biasanya dilakukan dengan pembacaan rancangan peraturan desa oleh Ketua BPD, dan sekaligus dari setiap item substansi dalam peraturan desa dibahas. Mobilitas anggota BPD dalam proses pembahasan diharapkan dapat terjadi, agar BPD sebagai institusi yang mewakili warga desa dengan sungguh-sungguh mau memperjuangkan dari kepentingan warga desa, akan tetapi dalam proses pembahasannya kurang terjadi mobilitas usulan dari anggota BPD. Dalam rapat pembahasan rancangan peraturan desa, pada umumnya hanya dilakukan sekali sudah cukup, dan rancangan peraturan desa dapat disyahkan menjadi peraturan. Hasil pembahasan dari BPD, selanjutnya disyahkan oleh Kepala Desa sebagai peraturan Desa, sebagaimana dalam Perda Kabupaten Ponorogo Nomor: 11 Tahun 2000, Bab. VI pasal. 9 disebutkan, bahwa: a. Rancangan Peraturan Desa yang telah disetujui BPD ditetapkan menjadi Peraturan Desa dan ditanda tangani oleh Kepala Desa. b. Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak memerlukan pengesahan Bupati. Kemudian dalam pasal. 10 disebutkan bahwa: Peraturan desa berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Desa. Sepanjang peraturan desa telah diundangkan dalam lembaran desa berarti peraturan desa tersebut, memiliki aspek legalistik dan bersifat mengikat kepada seluruh warga Bagi masyarakat yang tidak mengindahkan terhadap peraturan desa maka dapat dipaksakan dan bahkan akan mendapatkan sanksi pidana. Sedang kedudukan peraturan desa, sebagaimana dalam Bab. VII pasal. 11 disebutkan bahwa Peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan desa yang lain dan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 107

16 Bambang Martin Baru B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyusunan Peraturan Desa. Menurut Kridawati (2011), untuk mendapatkan dan mempertajam upaya memperoleh alternatif pemecahan masalah yang baik, maka digunakan analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats). Namun Morrisey (1997) dalam Kridawati (2011) lebih menyebutnya dengan SLOT (Strength, Limitation, Opportunity, Threaths). Menurutnya, istilah kelemahan cenderung berkonotasi negatif yakni adanya ketidakberesan yang perlu diperbaiki, sedangkan keterbatasan tidak begitu berasosiasi dengan ketidakberesan. Kekuatan/Strength adalah situasi, kondisi, dan kemampuan internal organisasi yang positip/stratejik yang memungkinkan alternatif yang dipilih berfungsi efektif bagi pemecahan masalah. Sedangkan kelemahan/keterbatasan adalah situasi, kondisi, dan ketidakmampuan internal organisasi yang tidak memungkinkan alternatif yang dipilih dapat berfungsi efektif bagi pemecahan masalah. Peluang/opportunity adalah situasi, kondisi, dan faktor-faktor eksternal yang positip yang membantu atau mendukung alternatif yang dipilih dapat secara efektif berfungsi bagi pemecahan masalah. Sedangkan Threat/ancaman adalah situasi, kondisi, dan ketidakmampuan internal organisasi yang tidak memungkinkan alternatif yang dipilih dapat secara efektif berfungsi bagi pemecahan masalah. Atas dasar pendapat diatas, maka dalam rangka identifikasi permasalahan yang dapat digunakan dasar penyusunan peraturan desa, dapat diidentifikasi melalui analisis SWOT dengan melakukan pemetaan terhadap 4 (empat) faktor; yaitu: faktor kekuatan ( Strength), faktor kelemahan (Weaknesses), faktor peluang (Opportunities), dan faktor ancaman (Threats). 1. Faktor Kekuatan (Strenght). Pada dasarnya unsur kekuatan merupakan sebuah unsur yang menjadikan pemerintah desa memiliki kemampuan untuk mendorong tercapainyakemajuan desa, untuk memahaminya maka sebagai unsur kekuatan dimaksud meliputi: a. Letak Geografis. Desa Coper, merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, yang memiliki wilayah kurang lebih 241,360 Ha. Letak Desa Jetis sangat strategis karena dilalui jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Ponorogo dengan Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur, karena dengan dilalui jalur transportasi tersebut dapat menjadi potensi untuk mendukung kemajuan b. Penduduk Desa Coper merupakan potensi SDM. Penduduk desa coperdapat dikatakan menjadi potensi bagi kemajuan desa, dari hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS Kabupaten Ponorogo, menunjukkan jumlah penduduk desa Coper pada 2011 mencapai jiwa, yang terdiri dari jiwa laki-laki, dan jiwa wanita. Dengan jumlah penduduk yang relatif cukup besar bagi ukuran desa sangat potensi untuk mendukung kemajuan desa, sebab dengan jumlah penduduk desa tersebut dapat mendorong mobilitas penduduk semakin meningkat. c. Pendidikan Penduduk. Pendidikan penduduk desa coper, bisa dikatakan cukup memadai karena hampir sebagian besar penduduknya 108 SOSIAL, Volume 17 Nomor 2 September 2016

17 Analisa Formulasi Kebijakan Dalam Penyusunan Peraturan Desa telah mengenyam pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk ini dapat menjadi modal utama untuk memberdayakan penduduknya lebih maju, hanya mungkin masalahnya adakah keinginan dan kemauan pemerintah khususnya pemerintah desa dalam memfasilitasi untuk itu. d. Kehidupan Agama. Penduduk desa coper sebagian besar menganut agama islam, dan bahkan dapat dikatakan cukup fanatik dalam menjalankan ibadahnya. Kesederhanaan dan homogenitas agama islam menjadi sarana sosial dalam menjalin lingkungan masyarakat yang lebih kondusif, keharmonisan diantara penduduk relatif terjaga dengan baik, dan bahkan masih terasa kehidupan gotong royong diantara penduduk Sarana dan prasarana penduduk dalam menjalankan ibadahnya cukup memadai dalam sudut pandang penduduk desa, yang terdiri dari 1 bangunan masjid yang kondisi cukup baik dan bahkan menjadi sarana untuk mempersatukan penduduk dalam setiap ada permasalahan sosial. 2. Faktor kelemahan/keterbatasan: Kelemahan/keterbatasan adalah situasi, kondisi, dan ketidakmampuan internal organisasi yang tidak memungkinkan untuk mewujudkan tujuan dan maksud mendorong kemajuan Sebagai unsur kelemahan bagi kemajuan desa Coper, meliputi: a. Rendahnya SDM Kepala Desa. Kepala desa sebagai pihak yang menyusun rancangan peraturan desa, tentunya dipengaruhi pula oleh sifat-sifat pribadi seperti, kecerdasan, reputasi/ prestasi, dan motivasi. Dari aspek kecerdasan atau kemampuan, Kepala desa Coper kurang memadai sebab kemampuan atau kecerdasan dapat diidentifikasi dari pendidikan formalnya, dimana kepala desa memiliki pendidikan formal SMA/SLTA. Dan bahkan tingkat motivasi kerja Kepala desa Coper sangat rendah, seringkali terlambat hadir di kantor desa, kecuali kalau terdapat tugastugas pemerintahan yang harus segera diselesaikan. b. Rendahnya SDM BPD (Badan Permusyaratan Desa). Policy actor (Aktor Pembuat Policy) dalam peraturan desa, tidak hanya tergantung dari kepala desa sebagai aktor yang mengusulkan rancangan peraturan desa, namun dalam tahapan proses pembahasan rancangan peraturan desa juga sangat ditentukan oleh BPD sebagai institusi yang mewakili warga Rancangan peraturan yang diusulkan kepada BPD apabila tidak dapat disetujui maka rancangan peraturan desa itu tidak dapat menjadi peraturan Berdasarkan Perda Kabupaten Ponorogo Nomor: 11 Tahun 2000, disebutkan bahwa: pembahasan mengenai anggaran pendapatan dan belanja desa dilakukan dalam rapat khusus BPD. Lebih lanjut disebutkan dalam peraturan tersebut, bahwa: tatacara dalam pembahasan di BPD, dengan ketentuan sebagai berikut: ¾ Rapat BPD dalam pengambilan keputusan terhadap rancangan peraturan desa harus dihadiri oleh 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota BPD. ¾ Dalam anggota BPD yang hadir kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat. 1 rapat BPD dinyatakan batal. ¾ Apabila rapat BPD batal paling lambat 7 Volume 17 Nomor 2 September 2016, SOSIAL 109

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, dimana didalam negara kesatuan dibagi menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah negara kesatuan dengan sistem sentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA UNIT PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PPID RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PELAYANAN INFORMASI PUBLIK BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu prasyarat penting

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pembangunan yang dihadapi dewasa ini dan di masa mendatang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaruan sistem kelembagaan, peningkatan kompetensi

Lebih terperinci

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah 4 Isu Kebijakan Publik A. Pendahuluan Pada bagian ini, anda akan mempelajari konsep isu kebijakan publik dan dinamikanya dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, kita akan membagi uraian ini menjadi tiga

Lebih terperinci

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Draft 12 Desember 2004 A. PERMASALAHAN Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI SKPD Analisis Isu-isu strategis dalam perencanaan pembangunan selama 5 (lima) tahun periode

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2010 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan

Lebih terperinci

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG MUSYAWARAH DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG MUSYAWARAH DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG MUSYAWARAH DESA BAGIAN HUKUM SETDA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2015 2 BUPATI BANDUNG PROVINSI

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM Oleh: Donny Setiawan * Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH +- PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BATAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KOTA SOLOK 2017 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang :a. bahwa sesuai dengan Pasal 65 ayat (2)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang: a. bahwa Badan Permusyaratan Desa merupakan perwujudan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) UNIT PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PPID RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PELAYANAN INFORMASI PUBLIK Melayani Informasi, Memajukan Negeri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu prasyarat penting dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan disuatu Negara dapat dilakukan melalui sistem sentralisasi maupun desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi segala urusan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN SERTA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 5 TAHUN 2006 SERI : D NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2017 NOMOR 23 PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI UTARA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2017 NOMOR 23 PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI UTARA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2017 NOMOR 23 PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI UTARA NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang : a. Bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) SEKRETARIAT JENDERAL 2014 KATA PENGANTAR Sesuai dengan INPRES Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 26 TAHUN 2006 T E N T A N G PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG K E L U R A H A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 5 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN,PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, yang dilakukan oleh pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan

Lebih terperinci

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA DAN RENCANA KERJA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a. bahwa Desa memiliki hak asal usul dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT DPRD KOTA. Rencana strategis merupakan proses yang berorientasi

BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT DPRD KOTA. Rencana strategis merupakan proses yang berorientasi BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT DPRD KOTA BANDUNG Rencana strategis merupakan proses yang berorientasi hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu satu sampai lima tahun secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA

KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA BANJAR Menimbang : a. Pasal

Lebih terperinci

PRAKTEK KEKUASAAN ELIT POLITIK DALAM DEMOKRASI (SUATU STUDI KASUS PENYUSUSUNAN PERATURAN DESA OLEH BPD DESA SUM TAHUN 2015)

PRAKTEK KEKUASAAN ELIT POLITIK DALAM DEMOKRASI (SUATU STUDI KASUS PENYUSUSUNAN PERATURAN DESA OLEH BPD DESA SUM TAHUN 2015) PRAKTEK KEKUASAAN ELIT POLITIK DALAM DEMOKRASI (SUATU STUDI KASUS PENYUSUSUNAN PERATURAN DESA OLEH BPD DESA SUM TAHUN 2015) Debby Ch. Rende Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Kata Kunci : Evaluasi Kinerja, Protokol

Kata Kunci : Evaluasi Kinerja, Protokol SINOPSIS Kinerja organisasi mengisyaratkan bahwa penilaian kinerja sesungguhnya sangat penting untuk melihat sampai sejauh mana tujuan organisasi telah tercapai. Sejalan dengan sistem pemerintahan saat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, 1 BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin ketepatan dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK

DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK John Locke MENURUT PAKAR Francis Bacon Easton Pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN 2012

RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN 2012 RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN 2012 SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PERTANIAN 2011 KATA PENGANTAR Sesuai dengan INPRES Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Rencana Kerja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Pelalawan 2016 BAB. I PENDAHULUAN

Rencana Kerja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Pelalawan 2016 BAB. I PENDAHULUAN BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan unsur pelaksanaan Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada dibawah dan bertanggung jawab

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 485 TAHUN : 2000 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 151 TAHUN 2000 (151/2000) TENTANG TATACARA PEMILIHAN, PENGESAHAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Tahun 2015 merupakan tahun pertama dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 2019. Periode ini ditandai dengan fokus pembangunan pada pemantapan

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang:

Lebih terperinci

Pada hakekatnya reformasi birokrasi pemerintah merupakan proses

Pada hakekatnya reformasi birokrasi pemerintah merupakan proses B A B I P E N D A H U L UA N A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya reformasi birokrasi pemerintah merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan melalui langkah-langkah strategis

Lebih terperinci