IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KABUPATEN SUBANG PROVINSI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KABUPATEN SUBANG PROVINSI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KABUPATEN SUBANG PROVINSI JAWA BARAT 1 ILHAM GEMIHARTO, 2 KISMIYATI EL KARIMAH 1 Program Studi Manajemen Komunikasi, 2 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor Ilham265@gmail.com ABSTRAK Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama di Indonesia dalam jumlah kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bahkan Indonesia sendiri menempati Perempuan dan anak menjadi kalangan yang paling rentan menjadi korban kasus tersebut. Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) merupakan salah satu payung hukum bagi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang tersebut dengan harapan bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. UU PTPPO juga mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana implementasi Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) di kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen serta teknik analisis data deskriptif, dengan informan penelitian adalah para pejabat pelaksana implementasi kebijakan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, korban Tindak Pidana Perdagangan Orang serta beberapa pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Subang melalui lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Subang belum memiliki peran yang signifikan dalam implementasi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Kata Kunci : Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU No. 21 Tahun 2007, P2TPA, Kabupaten Subang, Jawa Barat. 106

2 PENDAHULUAN Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Indonesia merupakan negara yang menjadi negara asal perdagangan orang ke luar negeri dengan tujuan Malaysia, Singapura, Brunai, Taiwan, Jepang, Hongkong dan Timur Tengah. Indonesia dinilai termasuk sumber utama perdagangan perempuan, anak-anak dan laki-laki, baik sebagai budak seks maupun korban kerja paksa. Menurut data BNP2TKI, sekitar 6,6 juta warga Indonesia menjadi pekerja migran di luar negeri, termasuk 2,9 juta pekerja di Malaysia dan 2,1 juta di Timur Tengah. Dari keseluruhan pekerja migran itu, 4,7 juta di antaranya berdokumen resmi dan 1,9 juta lainnya digolongkan sebagai pekerja tanpa dokumen. Sekitar 70 persen pekerja migran Indonesia adalah perempuan. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama di Indonesia dalam jumlah kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bahkan Indonesia sendiri menempati Perempuan dan anak menjadi kalangan yang paling rentan menjadi korban kasus tersebut. Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) merupakan salah satu payung hukum bagi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang tersebut dengan harapan bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. UU PTPPO juga mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban. Namun, dalam implementasinya undang-undang tersebut belum bisa berjalan dengan lancar dikarenakan beberapa faktor yakni, adanya kelemahan substansi dan faktor struktural. Kelemahan substansi adalah karena masih banyak celah dan kekurangan dalam pasal-pasalnya, sehingga menyebabkan para pelaku tindak pidana perdagangan orang belum mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sedangkan kendala faktor struktural yakni kurangnya pemahaman aparat hukum mengenai UU PTPPO sehingga menyebabkan bebasnya pelaku. Hal ini dikarenakan masih kurangnya sosialisasi UU TPPO terhadap aparat 107

3 hukum dan masyarakat luas sehingga belum berdampak signifikan terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Selain membuat regulasi, pemerintah juga mendirikan pusat layanan terpadu yang dibentuk oleh pemerintah atau berbasis masyarakat. Pusat layanan tersebut adalah P2TPA (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak). P2TP2A ini memiliki fungsi sebagai pusat informasi, pusat pelayanan, dan pusat pemberdayaan. Sebagai pusat informasi, P2TP2A diharapkan mampu memberikan informasi kepada perempuan dan anak dalam segala aspek diantaranya informasi pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik, kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagai pusat pelayanan, P2TP2A diharapkan dapat memberikan 5 (lima) jenis pelayanan yaitu pelayanan pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, dan pelayanan reintegrasi sosial. P2TP2A sebagai pusat layanan terpadu yang dibentuk oleh pemerintah atau berbasis masyarakat, diharapkan sebagai tempat pelayanan yang memiliki fungsi meliputi : (1) pusat informasi; (2) pusat pelayanan, dan (3) usat pemberdayaan. Sebagai pusat informasi, P2TP2A diharapkan mampu memberikan informasi kepada perempuan dan anak dalam segala aspek diantaranya informasi pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik, kekerasan terhadap perempuan dan anak dan tindak pidana perdagangan orang. Sebagai pusat pelayanan, P2TP2A diharapkan dapat memberikan 5 (lima) jenis pelayanan yaitu pelayanan pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, dan pelayanan reintegrasi sosial. Dalam menjalankan fungsi dan perannya, P2TP2A diharapkan tidak boleh tumpang tindih dengan peran lembaga layanan yang lain. Sebagai pusat pemberdayaan, P2TP2A diharapkan mampu menyediakan kegiatan pemberdayaan perempuan dan anak melalui berbagai kursus dan pelatihan di berbagai bidang. Namun kenyataannya, kondisi P2TP2A yang ada sangat beragam dengan menghadapi permasalahan yang beragam pula. Belum semua fungsi P2TP2A dapat dilaksanakan secara efektif. Fungsi P2TP2A nyatanya masih terfokus pada pemberian pelayanan penanganan kekerasan berupa konseling, pendidikan, pelatihan dan pendampingan, namun hanya sedikit melakukan fungsi pencegahan dan pemberdayaan, sehingga mempengaruhi struktur dan intensitas kerja lembaga tersebut. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana implementasi Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pertanyaan penelitian yang timbul dari rumusan masalah penelitian adalah 1) bagaimana implementasi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, dan 2) apakah faktor-faktor pendukung dan penghambat dari implementasi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. 108

4 KAJIAN PUSTAKA Diskusi mengenai perdagangan orang di Indonesia mulai bergulir pada awal tahun 2000, dipicu oleh munculnya kasus-kasus penyiksaan para perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri, baik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) maupun yang terjerumus dalam eksploitasi seksual. Sebelum terbitnya Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), perdagangan orang hanya dipahami terjadi dalam konteks pelacuran. Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur soal sanksi hukuman bagi pelaku perdagangan orang. Sayangnya pasal ini tidak maksimal membantu perempuan dan anak yang terperangkap dalam pelacuran, karena tidak ada penjelasan lengkap tentang apa yang di maksud dengan perdagangan orang. Masih ditambah adanya kontradiksi dalam beberapa undangundang mengenai batasan usia dewasa dan anak-anak. Hal lainnya, sejak dulu perempuan-perempuan Indonesia telah mencari pekerjaan di luar negeri, dan kekerasan-kekerasan yang mereka alami di tempat kerja sejauh ini sering dianggap wajar oleh masyarakat kita yang cenderung bersifat patriaki. Hal ini menyebabkan jarang ditemukan penelitian dan tulisan mengenai perdagangan orang di Indonesia sebelum tahun Sejak awal tahun 2000-an berbagai laporan mengenai eksploitasi seksual perempuan dan anak mulai bermunculan ke permukaan. Penelitian yang dilakukan oleh Farid pada tahun 2000 menjadi pelopor penelitian mengenai eksploitasi seksual anak-anak, yang berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Pada tahun 2003, Kementerian Tenaga Kerja mendapatkan temuan mengejutkan, dimana terdapat perempuan Indonesia yang dipaksa memasuki dunia pelacuran di wilayah negara bagian Sabah Malaysia. Pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia mengadopsi Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan orang-khususnya Perempuan dan Anak yang disebut juga sebagai Protokol Palermo. Sebagai tindak lanjut dari Protokol Palermo, Pemerintah Indonesia menetapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan Anak yang disahkan melalui Keputusan Presiden pada tahun RAN tersebut di antaranya mewajibkan pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan perundangan yang lebih menyeluruh dalam menanggulangi perdagangan orang, hingga lahirlah Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Protokol Palermo mendefinisikan perdagangan orang sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi di sini termasuk eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau 109

5 pengambilan organ tubuh. Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis Sementara Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) Pasal 1 ayat 1, menyatakan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini. Berdasarkan pengertian dari berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami mengandung ada 3 (tiga) unsur yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana Perdagangan Orang, yakni 1) Unsur Proses yang meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang; 2) Unsur Cara yang menjamin proses dapat terlaksana, yang meliputi ancaman, kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut; dan 3) Unsur Tujuan yang meliputi eksploitasi orang atau mengakibatkan orang tereksploitasi dengan cara-cara seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat 1 UU PTPPO. Apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (umur 18 tahun) maka unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang harus diperhatikan adalah Proses (Pergerakan), Cara, dan Tujuan (Eksploitasi). Sedangkan apabila korban adalah anak (umur 18 tahun) maka unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang harus diperhatikan adalah Proses (Pergerakan) dan Tujuan (Eksploitasi) tanpa harus memperhatikan Cara Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penjelasan unsur-unsur trafiking yang dimaksud adalah apakah ada Proses (pergerakan) seseorang menjadi korban dari tindak perdagangan orang melalui direkrut, ditransportasi, dipindahkan, ditampung, atau diterimakan ditujuan, Ya atau Tidak, sehingga seseorang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sedangkan unsur Cara apakah seseorang tersebut mengalami tindakan diancam, dipaksa dengan cara lain, diculik, menjadi korban pemalsuan, ditipu atau menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan, Ya atau Tidak, sehingga seseorang menjadi korban trafiking. Kemudian dilihat dari unsur Tujuan (Eksploitasi) apakah korban tereksploitasi seperti dalam bidang pelacuran, bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, praktek-praktek lain dari perbudakan 110

6 (misal: tugas militer paksa), atau pengambilan organ-organ tubuh, Ya atau Tidak, jika memenuhi semua unsur tersebut maka seseorang dipastikan menjadi korban perdagangan orang. Pelaku perdagangan orang diartikan sebagai seorang yang melakukan atau terlibat dan menyutujui adanya aktivitas perekrutan, transportasi, perdagangan, pengiriman, penerimaan atau penampungan atau seorang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk tujuan memperoleh keuntungan. Orang yang diperdagangkan (korban trafficking) adalah seseorang yang direktur, dibawa, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima atau disembunyikan, sebagaimana disebutkan dalam definisi trafficking pada manusia termasuk anak, baik anak tersebut mengijinkan atau tidak. Penyebab Timbulnya Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam penelitian ILO tahun 2013 di 5 (lima) provinsi di pulau Jawa ditdapatkan kesimpulan bahwa trafficking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Salah satu faktor yang besar pengaruhnya adalah karena kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Di samping diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang. Selain itu kurangnya pendidikan juga mempengaruhi. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau skill, kesempatan kerja, dan mereka lebih mudah diperdagangkan karena dengan bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. Hal kedua yang menjadi faktor penyebab timbulnya tindak pidana perdagangan orang adalah adanya perilaku gaya hidup yang konsumtif. Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih untuk kalangan remaja gaya hidup yang bermula di lingkungan sekolah atau di rumah dapat menyebabkan perilaku konsumtif yang pastinya mengarah pada halhal yang negatif. Bila seseorang tidak bisa mengimbangi gaya hidup, maka akan diikuti dengan faktor kejahatan. Selain itu, orang tua jadi faktor pendorong bagi pelaku. Gaya hidup yang konsumtif, ekonomi yang lemah dan tuntutan gaya hidup tinggi, menjadi faktor mendasar terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Seharusnya remaja dan masyarakat umum mampu mengendalikan diri untuk mengurangi gaya hidup yang konsumtif. Maraknya kasus perdagangan orang yang menimpa anak-anak remaja, untuk dijadikan pekerja seks komersial, seringkali dilatarbelakangi keinginan korban untuk memebuhi kebutuhan hidup, seperti telepon seluler (handphone) yang keren, baju yang bagus, bahkan uang banyak untuk berfoya-foya. Faktor lainnya yang juga mendorong terjadinya tindak pidana perdagangan orang, adalah faktor budaya masyarakat Indonesia. Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, 111

7 namun diakui juga bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan Bagi kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka. Selain itu budaya kepatuhan anak terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap praktek tindak pidana perdagangan orang, sehingga anak berusaha dengan berbagai cara untuk membantu ekonomi orang tuanya. Budaya lain yang menjadi faktor pendorong terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah perkawinan dini. Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap praktek tindak pidana perdagangan orang karena kerapuhan ekonomi mereka. Selain itu di dalam masyarakat masih ditemukan adanya praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman yang masih dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan. Faktor administratif juga dapat menjadi pendukung terjadinya tindak pidana perdagangan orang, yaitu tidak adanya pencatatan kelahiran. Orang tanpa identitas diri yang memadai lebih mudah menjadi mangsa pelaku tindak pidana perdagangan orang karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang diperdagangkan lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya. Faktor terakhir yang juga mendorong terjadinya tindak pidana perdagangan orang adalah masih maraknya kegiatan pungli, korupsi dan lemahnya penegakan hukum. Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang dan mengabaikan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada Kartu Tanda Pengenal (KTP), Akte Kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap tindak pidana perdagangan orang karena migrasi ilegal. METODE PENELITIAN Penelitian mengenai implementasi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat ini menggunakan metodologi kualitatif. Metode analisis penelitian ini yang digunakan adalah analisis studi kasus berdasarkan metode, data, dan triangulasi sumber. Sedangkan metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui penelitian dokumen dan penelitian lapangan berupa obsevasi dan wawancara. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi menjadi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil observasi dan wawancara dengan 10 informan penelitian di lokasi penelitian, sementara data sekunder adalah data yang diperoleh dari situs-situs berita online (website), jurnal-jurnal komunikasi, serta buku-buku yang relevan dengan penelitian ini. 112

8 Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, penelitian ini secara praktis berusaha untuk mengkaji peristiwa kehidupan yang nyata yang dialami oleh subjek penelitian ini secara holistik dan bermakna. Dalam uraian yang lebih lugas, penelitian ini berusaha untuk memberikan deskripsi dan eksplanasi terhadap implementasi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada konsep Miles & Huberman (2012: 20) yaitu interactive model yang mengklasifikasikan analisis data dalam tiga langkah, yaitu Reduksi data (Data Reduction), Penyajian data (Display Data), dan Pengujian Keabsahan Data (Verifikasi). Untuk menguji keabsahan data yang didapat sehingga benar-benar sesuai dengan tujuan dan maksud penelitian, maka peneliti menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (Moleong, 2007: 330). HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Lokasi penelitian ini mengambil lokasi yang menjadi domisili informan penelitian di Kabupaten Subang. Di wilayah yang menjadi lokasi penelitian, peneliti mewawancarai pejabat terkait, petugas pelaksana, konselor ahli, korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dipilih secara acak (random). Peneliti juga mewawancarai para tokoh masyarakat, pakar dan pemuka agama terkait. Sehingga dalam penelitian ini terdapat 10 informan penelitian, yang terdiri dari 3 (tiga) orang petugas pelaksana, 3 (tiga) orang korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, seorang pejabat terkait, seorang tokoh masyarakat, dan seorang pemuka agama. Untuk melaksanakan tahapan Triangulasi tim peneliti mewawancarai seorang pakar dan praktisi bidang Hukum Pidana Perdagangan Orang, yang dinilai menguasai permasalahan dalam penelitian ini. Profil P2TPA Kabupaten Subang sebagai Pelaksana UU No 21 Tahun 2007 Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Sinar Kasih Kabupaten Subang dibentuk pada tahun Kasus-kasus yang ditangani oleh P2TPA Kabupaten Subang meliputi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPO). Tugas pokok dari P2TPA Kabupaten Subang adalah melaksanakan sebagian tugas Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan secara cepat, tepat dan terpadu dalam upaya pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi dan perdagangan orang. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, P2TPA Kabupaten Subang, mempunyai fungsi pelaksanaan fasilitasi dan penyediaan pelayanan perlindungan perempuan dan anak dari diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang, yang bersifat darurat secara cepat 113

9 meliputi berbagai layanan yaitu informasi, rujukan medis, hukum, dan psikologis; penyelenggaraan koordinasi dan membangun jejaring kerja yang bersinergi dengan Instansi terkait di tingkat Kabupaten Subang; pelaksanaan fasilitasi dalam rangka mendorong Kabupaten/Kota untuk membentuk dan/atau memperkuat tugas dan fungsi P2TPA; dan pemantauan terhadap korban pasca penanganan P2TPA dan/atau mitra kerja. Secara struktur organisasi P2TPA Kabupaten Subang memiliki beberapa divisi pekerjaan. Divisi Kerjasama dan Kemitraan, bertugas melaksanakan koordinasi dan membangun jejaring kerja yang bersinergi melalui kerjasama dan kemitraan antara masyarakat, dan pemerintah daerah; Divisi Informasi, melaksanakan penyediaan data, informasi dan dokumentasi tentang P2TPA, sosialisasi ke seluruh kecamatan di Kabupaten Subang berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Divisi Pendampingan dan Pemulihan, yaitu melaksanakan pelayanan dan penanganan dalam upaya perlindungan perempuan dan anak, mulai dari korban datang sampai dipulangkan serta diberdayakan Implementasi UU No. 21 Tahun 2007 oleh P2TPA Kabupaten Subang Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) memberikan payung hukum bagi kaum perempuan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk dapat memperoleh keadilan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini melengkapi dasar hukum yang dipakai untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang selama ini banyak merugikan kaum perempuan. Undang-undang tersebut merubah pandangan masyarakat terhadap masalah-masalah tindak pidana perdagangan orang. Korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya tidak dapat bicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga. Ini bisa dimengerti karena selama ini kasus-kasus tersebut tidak dianggap atau diremehkan oleh masyarakat sekitarnya. Para tetangga atau saksi lainnya biasanya tidak serta merta membantu korban. Korbanlah yang banyak menanggung kerugian seperti biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari perlindungan diri atau menanggung aib. Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap perempuan dan anak perempuan di Kabupaten Subang terjadi khususnya untuk tujuan eksploitasi seksual di berbagai tempat hiburan di provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara maupun untuk dikirim ke negara tetangga Malaysia. Selain itu ada pula laporan yang diperdagangkan untuk dijadikan pengemis, serta untuk dijadikan pekerja anak di industri lokal yang berbahaya bagi keselamatan anak. Mudahnya memperoleh uang dari pelacuran dan tidak adanya pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan, membuat para korban tindak pidana perdagangan orang terperosok ke dalam lingkaran prostitusi dimana mereka kemudian menemukan kesulitan untuk melepaskan diri. Upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai faktor penghambat. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini, terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya tersebut, yaitu antara lain budaya masyarakat (culture), kebijakan pemerintah khususnya peraturan 114

10 perundang-undangan (legal substance) serta aparat penegak hukum (legal structure). Dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan laporan P2TPA Kabuaten Subang, pihak yang berwajib di Kabupaten Subang telah banyak melakukan tindakan hukum kepada para pelaku tindak pidana perdagangan orang dan memproses mereka secara hukum serta mengajukannya ke pengadilan. namun pihak kepolisian, kejaksaan, pengacara dan pengamat yang peduli terhadap masalah perdagangan orang sering mengeluhkan dengan adanya kendala di bidang perundang-undangan yang menyebabkan hukum yang diberlakukan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak cukup berat dan tidak menimbulkan efek jera bagi mereka. Memang ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat sebagian perbuatan trafficking; namun demikian, KUHP itu masih memiliki kelemahan, diantara KUHP yang secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Sementara terhadap korban orang dewasa seperti tenaga kerja Indonesia, tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh KUHP. Kelemahan lainnya lagi dari KUHP ini adalah, hanya membatasi ruang lingkup pada ekploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adopsi illegal anak dan bayi. Hal lain yang masih terkait dengan KUHP ini adalah, tentang batas usia di bawah umur tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia di bawah umur ataupun usia dewasa. Sementara itu, UU Perlindungan Anak juga tidak cukup kuat untuk melindungi anak sebagai korban perdagangan orang. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan Dan Anak (P2TPA) Kabupaten Subang melakukan upaya preventif dan kuratif guna meminimalisir kasus tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Subang. Upaya ini dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa lembaga dan dinas terkait, yaitu tim PKK Kabupaten Subang, Dharma Wanita, Polres Subang, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Subang. P2TPA berperan dalam pembentukan Tim Gugus Tugas Trafficking Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Subang yang telah dibentuk pada tahun 2014 yang lalu. Dalam prakteknya Tim ini selalu bekerjasama dan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian dan Puskesmas di setiap kecamatan sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Selain itu P2TPA terus menerus melaksanakan diseminasi informasi atau sosialisasi tentang pencegahan tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Subang. Untuk pencegahan kuratif dalam penanganan korban, P2TPA menerima laporan setiap hari kerja mulai dari Senin sampai Jumat. Saat ini P2TPA memiliki 4 (empat) orang konselor yang bertugas untuk mendampingi pelapor dan memberikan upaya penanganan dengan segera. Para konselor ini terdiri dari para konselor di bidang hukum, psikologi, religi, dan kesehatan. Mereka senantiasa siap untuk mendampingi dan memberikan upaya penanganan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. 115

11 Pada tahun 2015 P2TPA Kabupaten Subang menangani 33 kasus tindak pidana perdagangan orang,. Jumlah ini meningkat dari tahun 2014 dimana P2TPA Kabupaten Subang menangani 23 kasus tindak pidana perdagangan orang. Selain adanya pertambahan secara kuantitas, jumlah kasus yang berlanjut ke Pengadilan juga bertambah sebanyak 21 kasus. Jumlah ini merupakan peningkatan pada tahun 2014 dimana 15 kasus tindak pidana perdagangan orang berlanjut ke pengadilan. Dengan semakin bertambahnya kesadaran hukum masyarakat, maka jumlah pelaporan dan pengaduan ke P2TPA Kabupaten Subang semakin bertambah setiap tahunnya. Pelapor tidak selalu korban tindak pidana perdagangan orang, namun seringkali adalah orangtua atau kerabat korban.. Program sosialisasi dan penyuluhan keluarga yang diselenggarakan oleh P2TPA Kabupaten Subang merupakan salah satu upaya pemberdayaan hukum dan sosial masyarakat, yang diberikan kepada perempuan, mengingat pemahaman perempuan korban tindak pidana perdagangan orang akan haknya sebagai individu dan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) masih terbatas. Namun banyak dari perempuan korban tindak pidana perdagangan orang pada dasarnya menyadari bahwa mereka memiliki hak asasi untuk diperjuangkan. Korban yang datang cenderung lebih kepada mencari tempat pertolongan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Adapun terbatasnya pemahaman perempuan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang akan haknya sebagai individu. Setelah mengikuti program penyuluhan keluarga korban menjadi bertambah pengetahuannya akan HAM dan Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Pelaksanaan penyuluhan oleh P2TPA Kabupaten Subang memiliki tujuan yaitu memberikan kekuatan (empowering) kepada perempuan korban tindak pidana perdagangan orang agar lebih berdaya, maka diperlukan strategi dan pembelajaran yang tepat dalam bidang sosial dan hukum masyarakat, salah satunya adalah sosialisai mengenai HAM dan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang kepada para korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan menyampaikan materi yang berhubungan dengan hak asasi manusia dan Undang-undang TPPO, dengan menggunakan metode dan strategi yang tepat sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh sasaran program penyuluhan keluarga. Dampak yang terjadi pada perempuan korban TPPO setelah mengikuti penyuluhan dilihat dari adanya perubahan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Perubahan pada aspek kognitif diantaranya adalah bertambahnya pengetahuan mengenai pengertian HAM, dan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Karena program penyuluhan ini merupakan upaya pemberdayaan hukum dan sosial masyarakat, maka perubahan yang terjadi pada kemampuan berpikir serta berpendapat secara objektif. Materi yang diberikan dalam penyuluhan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman perempuan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang mengenai jenis-jenis HAM, pelanggaran HAM terhadap dirinya, jenis TPPO yang dialami, faktor pemicu TPPO, dan sanksi pidana bagi pelaku TPPO. Pada ranah afektif, perubahan pada perempuan korban TPPO yaitu 116

12 mereka lebih mengetahui sikap dan nilai-nilai melalui interaksi di dalam keluarga. dan lebih mengetahui mengenai sikap dan nilai yang terdapat di dalam keluarga dan masyarakat mengenai perannya sebagai seorang istri. Sementara pada aspek psikomotor, perempuan korban TPPO diharapkan mampu mengajari orang lain, sedikitnya mereka mampu membimbing atau membantu saudara atau teman terdekatnya yang juga mengalami kasus TPPO, atau jika memang mereka tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut mereka merekomendasikan untuk datang ke berbagai layanan masyarakat seperti P2TPA Kabupaten Subang. SIMPULAN Dari pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Implementasi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU-TPPO) di kabupaten Subang menjadi bagian dari tugas dan fungsi Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan Dan Anak (P2TPA) Kabupaten Subang, yang telah dibentuk sejak tahun 2011, dan merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalam penanganan kasus-kasus TPPO di Kabupaten Subang. P2TPA Kabupaten Subang masih memiliki banyak keterbatasan dalam kegiatan operasionalnya sehingga lebih fokus pada upaya pencegahan berupa penyuluhan dan sosialisasi mengenai potensi ancaman dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Meskipun demikian kegiatan penanganan serta pemulihan perempuan dan anak korban tindak pidana perdagangan orang tetap dilaksanakan meskipun dengan kondisi terbatas. Kedua, Seiring dengan meningkatkannya kesadaran kaum perempuan akan hak mereka untuk mendapatkan perlindungan hukum, jumlah kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilaporkan ke P2TPA Kabupaten Subang terus meningkat setiap tahun. Demikian pula jumlah kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berlanjut ke pengadilan semakin meningkat presentasenya. Ketiga, Pembentukan Tim Gugus Tugas Trafficking Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Subang yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi dan lembaga seperti Dinas Kesehatan, Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Agama, dan lembaga terkait lainnya turut mendukung penanganan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten Subang. Keempat, Faktor-faktor yang menghambat penanganan kasus TPPO sebagian besar disebabkan oleh masih kuatnya faktor lainnya yang menjadi akar timbulnya tindak pidana perdagangan orang seperti rendahnya kualitas hidup di pedesaan, perilaku hidup konsumtif, dan beberapa faktor budaya di masyarakat, seperti peran perempuan dan anak dalam keluarga, dan perkawinan dini. REKOMENDASI Untuk menyebarluaskan informasi mengenai Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kabupaten Subang, P2TPA Kabupaten Subang perlu melibatkan lembaga 117

13 pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi untuk menyampaikan materi yang dianggap perlu untuk diketahui oleh para siswa atau mahasiswa sesuai tingkatan usia mereka. Saluran diseminasi informasi yang digunakan untuk menyebarluaskan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) sebaiknya tidak terbatas pada media publikasi seperti poster dan selebaran, namun juga perlu dilakukan melalui media sosial dan internet. Daya jangkau media sosial yang sangat luas dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat membuat proses sosialisasi menjadi lebih mudah dan murah. Konsistensi P2TPA sebagai lembaga pelaksana Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kabupaten Subang sangat diharapkan dalam upaya meminimalisir terjadinya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten Subang. P2TPA harus terus memperbaiki manajemen organisasi dan meningkatkan jumlah konselornya, sehingga setiap kasus TPPO yang muncul dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Memang tidak mudah untuk tindak pidana perdagangan orang, karena permasalahan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan juga penanganan yang sangat komplek dengan berbagai cara melalui lintas sektoral. Berkaitan dengan hal ini diperlukan juga suatu kebijakan khusus berupa peraturan dari pemerintah untuk mendampingi Undang-undang yang ada, terkait dengan kemungkinan adanya kelemahan perundangan dalam pelakasaan penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang. DAFTAR PUSTAKA Ali, Khariroh Catatan Tahunan Jakarta: Komnas Perempuan Azriana Peta Kekerasan Perempuan Indonesia, Jakarta: Komnas Perempuan. Bastoni, Agus Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: Sinar Grafika. Denzin, Norman K. dan Guba, Egon Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Pemikiran dan Penerapannya, Penyunting: Agus Salim. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Handhyono, Suparti Human Trafficking dan Kaitannya dengan Tindak Pidana KDRT, Jurnal Ilmu Sosial, edisi tanggal 30 November Indrasari Sosialisasi Bahaya Trafficking, Jurnal Perempuan, edisi tanggal 15 Februari Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael Analisis Data Kualitatif. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Moleong, Lexy J Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya. P2TPA Kabupaten Subang, Instrumen Pemetaan P2TPA Kabupaten Subang. Sage, Jesse, and Liora Kasten, Enslaved: True stories of modern day slavery. American Anti-Slavery Group. 118

14 Wilson, Deborah G., William F. Walsh, and Sherilyn Kleuber Trafficking In Human Beings: Training And Services Among Us Law Enforcement Agencies. Police Practice & Research 7 th edition. Yentriyani, Andi Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press. 119

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan tersebut, serta belum

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KOTA PARIAMAN, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBINAAN, KOORDINASI, PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan

Lebih terperinci

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN B U K U S A K U B A G I ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Penyusun Desainer : Tim ACILS dan ICMC : Marlyne S Sihombing Dicetak oleh : MAGENTA FINE PRINTING Dikembangkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh negara pada hakikatnya memberikan dampak buruk kepada perempuan. Maraknya kasus-kasus yang terjadi terhadap perempuan seperti

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 66 TAHUN : 2013 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Pekerja Migran. Pelindungan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT

PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, ANAK, MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA PROVINSI KALIMANTAN BARAT JL. SULTAN ABDURRACHMAN NO.

Lebih terperinci

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyebutkan bahwa : Perdagangan

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut oleh masyarakat Internasional sebagai bentuk perbudakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2014

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2014 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 65 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 65 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 65 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014 WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014 T E N T A N G GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN EKSPLOTASI SEKSUAL ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.2/April/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.2/April/2015 FUNGSI BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PROVINSI SULAWESI UTARA DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG 1 Oleh : Elvira M. Dapu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH SINGGAH PADA PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK ENGKU PUTERI PROVINSI KEPULAUAN RIAU GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) DAN EKSPLOITASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style LATAR BELAKANG Perdagangan anak ( trafficking ) kurang lebih dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen,transportasi, baik di dalam maupun antar negara,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA Training HAM Lanjutan Bagi Tenaga Pendidik Akpol Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Vulnerable Groups) Hotel Horison Semarang, 15-17 Januari 2014 MAKALAH PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 78 TAHUN 2012

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 78 TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 78 TAHUN 2012 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang

Lebih terperinci

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017 Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid 14-15 November 2017 Kondisi kekerasan seksual di Indonesia Kasus kekerasan terhadap perempuan

Lebih terperinci

B A B 1 P E N D A H U L U A N. Perdagangan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan terjadi

B A B 1 P E N D A H U L U A N. Perdagangan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan terjadi B A B 1 P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Perdagangan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan terjadi hampir di seluruh belahan dunia ini, dan merupakan tindakan yang bertentangan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 7 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 11 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIANJUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa perdagangan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan human trafficking yang terjadi di Indonesia kini kondisinya sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak dalam wujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TAHUN 2016-2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN, PELAYANAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak

Lebih terperinci

UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA

UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA DR. AGUSMIDAH, SH., M.HUM PASCA SARJANA -ILMU HUKUM USU MEDAN Pendahuluan Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK, SALINAN BUPATI DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM

DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM No. 7, 2007 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem hukum dalam suatu negara, dalam hal ini negara kita, Indonesia. Suatu bentuk penerapan peraturan yang dapat

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, Menimbang : a. bahwa Kota

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak

Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak 2012 Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 2 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2014 No.48,2014 BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Bantul. Pembentukan, organisasi, tata kerja, pusat pelayanan, terpadu,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencari nafkah. Hal ini yang mendorong munculnya paktek perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mencari nafkah. Hal ini yang mendorong munculnya paktek perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis Ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 berdampak pada kehidupan ekonomi sosial masyarakat teruma negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu dampaknya

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR : 8 TAHUN 2014 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA DALAM WILAYAH PROVINSI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT,

GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang a. bahwa dalam rangka mewujudkan kesetaraan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang. ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007.

BAB I PENDAHULUAN. serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang. ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN : 2016 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN Oleh : Yulia Monita 1.

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN Oleh : Yulia Monita 1. Perlindungan Hukum, Korban, Tindak Pidana Perdagangan Korban. 160 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 Oleh : Yulia Monita 1

Lebih terperinci

BREBES, 20 AGUSTUS Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya ucapkan selamat pagi.

BREBES, 20 AGUSTUS Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya ucapkan selamat pagi. ARAHAN KEPALA BIRO BINA SOSIAL SETDA PROVINSI JAWA TENGAH PADA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) DALAM RANGKA PEMETAAN PELAKSANAAN KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TRAFFICKING TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP PENCEGAHAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK KEKERASAN

Lebih terperinci