DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ."

Transkripsi

1 L1 BIAYA "ENTERTAINMENT" DAN SEJENISNYA (SERI PPh UMUM 18) Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 27/PJ.22/1986, Tgl Lampiran: 86PJ22_SE27.htm DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ.22/1986 TENTANG BIAYA "ENTERTAINMENT" DAN SEJENISNYA (SERI PPh UMUM 18) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Berkenaan dengan banyaknya pertanyaan mengenai biaya "entertainment", representasi, jamuan tamu dan sejenisnya yang dapat dikurangkan dari penghasilan, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan(formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil). 3. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, sejak tahun pajak 1986 agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif seperti terlampir yang berisi : a. Nomor urut. b. Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. c. - Nama tempat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. - Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. - Jenis "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. - Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. d. Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas berisi : - Nama - Posisi - Nama perusahaan - Jenis usaha. 4. Apabila petugas pajak yang melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan tahun 1984 dan 1985 menemukan pos biaya "entertainment" dan sejenisnya, maka kepada Wajib Pajak seyogyanya dimintakan daftar nominatif seperti tersebut di atas untuk membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut benar-benar telah dikeluarkan dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan. Demikianlah untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd Drs. SALAMUN A.T.

2 L2 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI DAN PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU SERTA YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEMBERI KERJA Keputusan Menteri Keuangan No. 466/KMK.04/2000, Tgl KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 466/KMK.04/2000 TENTANG PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI DAN PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU SERTA YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEMBERI KERJA Menimbang : MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984); 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); 3. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000; Menetapkan : MEMUTUSKAN : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI DAN PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU SERTA YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEMBERI KERJA. Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan : Pasal 1 a. Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai adalah makanan dan minuman yang disediakan oleh pemberi kerja bagi seluruh pegawai secara bersama-sama termasuk dewan direksi dan dewan komisaris di tempat kerja. b. Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.

3 L3 Pasal 2 (1) Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan. (2) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, adalah sarana dan fasilitas di lokasi bekerja untuk : a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya; b. pelayanan kesehatan; c. pendidikan bagi pegawai dan keluarganya; d. pengangkutan bagi pegawai dan keluarganya; e. olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating dan pacuan kuda; sepanjang fasilitas dan sarana tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri. (3) Pengeluaran untuk pembangunan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun Pasal 3 Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Pasal 4 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 5 Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 633/KMK.04/1994 dinyatakan tidak berlaku. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari Pasal 6 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Nopember 2000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd PRIJADI PRAPTOSUHARDJO

4 L4 PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA Peraturan Menteri Keuangan No. 609/PMK.03/2004, Tgl Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 609/PMK.03/2004 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara pada bulan Desember 2004, merupakan bencana nasional yang menimbulkan korban manusia dan material yang sangat besar sehingga memerlukan dana yang sangat besar serta penanganan yang sangat cepat; b. bahwa dalam rangka menangani bencana nasional tersebut, diperlukan partisipasi/kepedulian seluruh masyarakat khususnya para pengusaha dan Wajib Pajak lainnya sebagai wujud kebersamaan dan persatuan bangsa Indonesia berupa pemberian sumbangan kepada para korban bencana alam dimaksud; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf b, diperlukan suatu kebijakan Pemerintah sehingga sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak dalam rangka bantuan kemanusiaan dimaksuddapat dibiayakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (LembagaNegara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3981); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055); 4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004; Menetapkan : MEMUTUSKAN : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA. Pasal 1 Sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak dalam rangka bantuan kemanusiaan bencana dalam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang terjadi pada bulan Desember 2004 dapat dibiayakan. Pasal 2 Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

5 L5 Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2004 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JUSUF ANWAR

6 L6 PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA Peraturan Pemerintah No. 131 TAHUN 2000, Tgl Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); 4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); Menetapkan : MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA. Pasal 1 (1) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. (2) Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. (3) Dengan memperhatikan perkembangan moneter, Menteri Keuangan dapat menetapkan pengenaan Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia selain sebagaimana ditentukan dalam ayat (1). (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. (5) Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat mengajukan permohonan restitusi atas pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan restitusi diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

7 L7 Pasal 2 Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut : a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. b. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri. Pasal 3 (1) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dilakukan terhadap : a. bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank lndonesia tersebut tidak melebihi Rp ,00(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; b. bunga data diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia; c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah dan atau Gubernur Bank Indonesia, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Pasal 4 (1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Bank Indonesia wajib memotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan Dana Pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut. Pasal 5 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 6 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1994 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3582) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

8 L8 INDONESIA INDONESIA, Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2000 A.n. PRESIDEN REPUBLIK WAKIL PRESIDEN REPUBLIK ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI UMUM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 236 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA Dalam rangka pembiayaan Negara guna pelaksanaan pembangunan yang semakin meningkat, peran serta seluruh lapisan masyarakat dalam ikut memikul pembiayaan pembangunan perlu terus ditingkatkan melalui pelaksanaan Undang-undang perpajakan yang makin mantap. Disamping itu, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, dana yang dihimpun oleh bank melalui piranti pengerahan dana dalam bentuk deposito, tabungan dan Sertifikat Bank Indonesia telah semakin berkembang, sehingga pengenaan pajak atas bunga dan diskonto perludiamankan dan disesuaikan. Walaupun demikian terhadap deposito dan tabungan kecil tetap perlu dikecualikan pengenaannya guna melindungi para penabung kecil yang pada umumnya masih berpenghasilan rendah. Sejalan dengan pemikiran di atas, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu mengatur kembali ketentuan tentang pengenaan pajak atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, badan, lembaga, atau organisasi berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia dikenakan pemotongan pajak Penghasilan sebagai berikut : a. Dibebaskan dari pemotongan Pajak Penghasilan sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp ,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; b. Dikenakan Pajak Penghasilan final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, dalam hal jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut lebih dari Rp ,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Atas penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia wajib dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen). Perlu ditegaskan bahwa setoran pelunasan Ongkos Naik Haji adalah bukan merupakan deposito atau tabungan. Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya ditambah dengan bunga dan atau diskonto tersebut tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, atas pajak yang telah dipotong dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

9 L9 Walaupun bank dan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan pada saat membeli Sertifikat Bank Indonesia dari Bank Indonesia atau dari bank yang ditunjuk dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan, namun apabila bank atau dana pensiun tersebut menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain, atas diskonto yang berupa selisih nominal dengan harga jualnya harus dipotong Pajak Penghasilan oleh bank atau dana pensiun tersebut. Dalam hal yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga atau diskonto tersebut adalah Wajib Pajak luar negeri, diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) atau tarif lain sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Yang dimaksud dengan deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank. Sedangkan yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank. Termasuk dalam pengertian deposito dan tabungan seperti tersebut di atas adalah deposito dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. Ayat (1) dan Ayat (2) Pemotongan Pajak Penghasilan yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan termasuk jasa giro serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, penghasilan tersebut tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dalam pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Demikian pula Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Ayat (3) Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan sebagai alat kebijaksanaan moneter, oleh karena itu selaras dengan perkembangan moneter, pengenaan pajak atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia dapat ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ayat (4), Ayat (5) dan Ayat (6) Dalam hal seluruh penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri termasuk bunga dan diskonto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, Pajak Penghasilan yang telah dipotong dapat diminta kembali dengan mengajukan permohonan pengembalian (restitusi). Pengembalian pajak yang telah dipotong tersebut dilakukan melalui prosedur restitusi sederhana yang ketentuannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 2 Atas penghasilan berupa bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dalam negeri serta bentuk usaha tetap dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan final sebesar 20% (dua persen) dari jumlah bruto, dalam hal jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut lebih dari Rp ,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. Pada prinsipnya, Wajib Pajak luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh di Indonesia sebesar 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku dan bersifat final. Wajib Pajak luar negeri yang melakukan usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atas penghasilannya dipotong Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam huruf a Pasal ini dan bersifat final.

10 L10 Pasal 3 Ayat (1) Walaupun penghasilan berupa bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh bank di Indonesia dan cabang bank luar negeri di Indonesia tidak dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, tetapi penghasilan tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun Untuk melindungi para deposan dan penabung kecil, atas bunga tabungan yang diterima atau diperoleh para penabung kecil tersebut tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan, sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp ,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. Demikian pula atas bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan serta bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan. Cukup jelas Pasal 4 Ayat (2) Ayat (1) Dengan ketentuan ini, bank termasuk Bank Indonesia wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Selain wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto yang dibayarkan atau terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), bank-bank tersebut juga wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri yang beroperasi di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2). Ayat (2) Dalam hal bank atau dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lainyang bukan bank atau kepada dana pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia dimaksud, yaitu berupa selisih antara nilai nominal Sertifikat Bank Indonesia dengan harga jualnya, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh bank atau dana pensiun penjual. Sedangkan pihak lain tersebut apabila kemudian menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia, maka selisih antara nilai nominal dengan harga jualnya merupakan keuntungan karena pengalihan harta yang tidak perlu dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, namun demikian keuntungan tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh keuntungan tersebut. Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4039

11 L11 JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1 HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 170/PJ./2002, Tgl Lampiran: 02PJ_KEP170.htm KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 170/PJ./2002 TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 Menimbang : DIREKTUR JENDERAL PAJAK, a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PajakPenghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; b. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan; c. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 telah diatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan kembali Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 255; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4057); Menetapkan : MEMUTUSKAN : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN Pasal 1 (1) Dalam keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. (2)Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang, akandikenakan atas seluruh nilai kontrak.

12 L12 Pasal 2 Penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah: a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996; b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pasal 3 Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996, adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 4 Jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 5 Pada saat mulai berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2002 DIREKTUR JENDERAL, ttd HADI POERNOMO

13 L13 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-170/PJ/2002 TANGGAL : 28 Maret 2002 JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA TEKNIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTAN DAN JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 NO. JENIS PENGHASILAN/ JASA PERKIRAAN PENGHASILAN NETO a. Jasa profesi. b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi. c. Jasa akuntansi dan pembukuan. d. Jasa penilai. e. Jasa aktuaris. a. Jasa teknik dan jasa manajemen b. Jasa perancang/ desain: - Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; - Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan; - Jasa perancang alat-alat transportasi/ kendaraan; - Jasa perancang iklan/ logo; - Jasa perancang alat kemasan. c. Jasa instalasi/ pemasangan: - Jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup dan pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; - jasa instalasi/ pemasangan peralatan; d. Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan: - Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel - Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan peralatan; - Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan alat-alat transportasi/ kendaraan; - Jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang Penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap. Jasa penunjang di bidang penambangan migas. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing. Jasa pengolahan/ pembuangan limbah. Jasa Pengolahan/pembuangan limbah Jasa maklon. Jasa rekruitmen/ penyediaan tenaga kerja. Jasa perantara. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI. Jasa kustodian/ penyimpanan/ penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 3. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. 13 1/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 4. a. Jasa perencanaan konstruksi. b. Jasa pengawasan konstruksi. 26 2/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

14 L14 5. a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan. b. Jasa Catering. c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Jasa Pengolahan/pembuangan limbah Jasa maklon. Jasa rekruitmen/ penyediaan tenaga kerja. Jasa perantara. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI. Jasa kustodian/ penyimpanan/ penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 3. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas/ AC/ TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/ sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. 13 1/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN a. Jasa perencanaan konstruksi. b. Jasa pengawasan konstruksi. a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan. b. Jasa Catering. c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 26 2/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

15 L15 Daftar pertanyaan yang ditujukan kepada PT PRIMA SINDO 1. Berapa jumlah karyawan yang bekerja pada PT PRIMA SINDO? Jawab : Ada 28 orang karyawan. 2. Apakah perusahaan menggunakan jasa konsultan pajak dalam menghitung pajaknya? Jika iya dipilih berdasarkan apa? Pengalaman,skill,ikut pendidikan formalitas atau apa? Jawab : Ya, berdasarkan skill. 3. Apakah perusahaan memiliki orang yang bekerja di bagian pajak? Jika ya, Apakah mereka yang bekerja di bagian pajak semua background pendidikannya dari akuntansi( pajak ) atau tidak? Apakah mereka memiliki sertifikat bravet? A/B? Jawab : Tidak. 4. Biasanya tanggal berapa perusahaan menyetorkan pajaknya? Jawab : Pokoknya tidak sampai terlambat dalam membayar pajak. 5. Pernah tidak perusahaan telat dalam membayar pajaknya? Jawab : Tidak Pernah. 6. Apakah perusahaan pernah mengalami kerugian dalam 5 tahun terakhir ini? Jawab : Belum. 7. Metode penyusutan apa yang digunakan oleh perusahaan? Jawab : Metode Garis Lurus. 8. Perusahaan menggolongkan umur aktiva bagaimana? Jawab : Bangunan 20 tahun, Kendaraan 4 5 tahun, Peralatan Kantor 4 5 tahun, Komputer 4 5 tahun. 9. Apakah perusahaan pernah ada biaya menjamu tamu dari luar dan dalam negeri? Ada buktinya tidak? Menbuat daftar nominatif? Jawab : Pernah, Tidak membuat daftar nominatif.

16 L Apakah perusahaan pernah mengeluarkan biaya entertainment? Ada buktinya? Jawab : Pernah, Tidak. 11. Apakah ada natura yang diberikan perusahaan kepada para karyawannya? Biasanya berupa apa? Jawab : Pemberian Kendaraan Bermotor. 12. PPh 21 karyawan ditanggung siapa? Perusahaan/ karyawan? Jawab : Perusahaan. 13. Apakah terima orang yang ingin magang? Jawab : Tidak. 14. Apakah perusahaan pernah melakukan revaluasi? Apa yang direvaluasi? Jawab : Tidak. 15. Pernah tidak perusahaan melakukan pergeseran laba antara induk dan anak perusahaan? Jawab : Tidak pernah. 16. Apakah perusahaan pernah melakukan leasing? Jawab : Pernah. 17. Apakah perusahaan memberikan proteksi berupa asuransi kepada para karyawannya? Ditanggung oleh siapa kantor/ karyawan? Jawab : Tidak. 18. Tax Planning yang udah digunakan oleh perusahaan apa ya? Jawab : Tidak tahu, semua diserahkan kepada konsultan pajak. 19. Apakah perusahaan menggunakan pihak ke tiga seperti jasa konsultan, dan apakah perusahaan sudah memotong PPh 23? Jawab : Ya, Belum memotong.

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, L 1 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 466/KMK.04/2000 TENTANG PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI DAN PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1994 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1994 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,S.H. (Waluyo, 2000 : 2), pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,S.H. (Waluyo, 2000 : 2), pajak 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak Penghasilan 1. Defenisi Pajak Menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,S.H. (Waluyo, 2000 : 2), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang (yang dapat

Lebih terperinci

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 A. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa dan penghasilan lain atas

Lebih terperinci

LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-170/PJ/2002 TANGGAL : 28 Maret 2002

LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-170/PJ/2002 TANGGAL : 28 Maret 2002 LAMPIRAN I ATAS BERUPA SEWA DAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI SEWA DAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK YANG BERSIFAT FINAL BERDASARKAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Penghasilan 1) Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha

Lebih terperinci

NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO

NO. JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP- 305/PJ/2001 TANGGAL : 18 April 2001 PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA

Lebih terperinci

BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23. Jenis Penghasilan. Jumlah Penghasilan Bruto

BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23. Jenis Penghasilan. Jumlah Penghasilan Bruto Lampiran I Perturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-42/PJ/2008 Tanggal : 20 Oktober 2008 Lembar ke-1 untuk : Wajib Pajak Lembar ke-2 untuk : Kantor Pelayanan Pajak Lembar ke-3 untuk : Pemotong Pajak

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN

BAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN BAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN Α. KETENTUAN UMUM Di Indonesia, pajak dipungut berdasarkan pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua

Lebih terperinci

BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 16 BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Pajak Pajak menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 yang berbunyi : "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 1991 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT BANK INDONESIA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Subjek Pajak PPh Pasal 23

Subjek Pajak PPh Pasal 23 DASAR HUKUM PPh 23 PP 94 tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh Dalam tahun Berjalan PMK 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa lain SE-35/PJ./2010 tentang Pengertian Sewa

Lebih terperinci

83/PMK.03/2009 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DA

83/PMK.03/2009 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DA 83/PMK.03/2009 PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DA Contributed by Administrator Wednesday, 22 April 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN LAINNYA

BAB IV KETENTUAN LAINNYA BAB IV KETENTUAN LAINNYA A. PENYUSUTAN 1. Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna

Lebih terperinci

PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK

PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 46 TAHUN 1996 Tanggal: 8 JULI 1996 (JAKARTA) Tentang:

Lebih terperinci

2. Undang - undanz Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Bank Indonesia;

2. Undang - undanz Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Bank Indonesia; HEF'UBUK PI- [_ '.:) I D L 1'1 INDONCSIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA' NOMOR 131 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSlTO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN. Pajak merupakan kewajiban rakyat untuk memberikan sebagian harta

BAB II BAHAN RUJUKAN. Pajak merupakan kewajiban rakyat untuk memberikan sebagian harta BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Secara Umum Pajak mempunyai peran sangat penting bagi negara, baik sebagai sumber penerimaan dalam negeri maupun sebagai penyelaras kegiatan ekonomi pada masa yang akan datang,

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah

Lebih terperinci

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NONOR 46 TAHUN 1996 (46/1996) TENTANG TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK. PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26 Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26 Pertemuan 5 41 P5.1 Teori Pajak Penghasilan 23, 25, 26 & Pasal 4 ayat 2 A. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak 1. Definisi Pajak Secara umum ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli antara lain : a. Menurut Rochmat Soemitro (Suandy,2008:2) : Pajak

Lebih terperinci

LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-70/ PJ. / 2007 TANGGAL : 9 April 2007

LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-70/ PJ. / 2007 TANGGAL : 9 April 2007 LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-70/ PJ. / 2007 TANGGAL : 9 April 2007 PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS IMBALAN JASA TEKNIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTASI DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-178/PJ./2006 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-178/PJ./2006 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-178/PJ./2006 TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG

Lebih terperinci

LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-176/PJ/2000 TANGGAL : 26 JUNI 2000

LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : KEP-176/PJ/2000 TANGGAL : 26 JUNI 2000 LAMPIRAN I PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pajak merupakan salah satu perwujudan dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2013: 1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Rerangka Teori dan Literatur II.1.1 II.1.1.1 Bank Pengertian Bank Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank adalah badan usaha yang

Lebih terperinci

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO IV.I Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. PRIMA SINDO Di dalam prakteknya, ada perbedaan perhitungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Beban dan Pendapatan Perusahaan Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan koreksi fiskal atas laporan laba rugi perusahaan sesuai dengan undang-undang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI BAB IV PEMBAHASAN IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI Di dalam prakteknya, ada perbedaan perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan menurut ketentuan peraturan perpajakan.

Lebih terperinci

I Daftar dan Tarif Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 ayat (2) 1. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI Dasar Hukum : PP No. 131 Tahun 2000 Pengecualian: a. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS Perbedaan antara perlakuan akuntansi dan pajak dalam pengakuan pendapatan dan beban akan mengakibatkan perbedaan laba

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 549/KMK.04/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 549/KMK.04/2000 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 549/KMK.04/2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH OLEH BADAN-BADAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara laporan keuangan komersial dengan peraturan perpajakan. Hal

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM IV.1. Evaluasi Pelaksanaan PPh Badan PT LAM Sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan, Indonesia Faks: (021) 520 5310 - Email: Website: http://www.djpp.depkumham.go.id

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung Dalam menghitung laporan laba rugi perusahaan, terdapat perbedaan antara laporan laba rugi berdasarkan peraturan yang sesuai

Lebih terperinci

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE PASAL 04 AYAT 02 1. Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya a. Obyek PPh Final adalah bunga deposito, bunga tabungan lainnya dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). b. Besar tarif pemotongan adalah 20%

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1989 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO BERJANGKA, SERTIFIKAT DEPOSITO DAN TABUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pajak

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Perhitungan Laba Rugi Secara Komersial Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 UMUM Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 disusun dalam struktur yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia,

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang: Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b dan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT.

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. UB Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban

Lebih terperinci

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL A. Adanya Pengeluaran atau Beban yang Tidak Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto akan Dilakukan KOREKSI FISKAL POSITIF. 1. Pembagian laba dengan

Lebih terperinci

S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002)

S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002) S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002) Contributed by Administrator Thursday, 22 December 2005 Pusat Peraturan Pajak Online PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE-13/PJ.42/2002)

Lebih terperinci

PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA

PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA Lampiran I PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA No JENIS PENGHASILAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO (1) (2) (3) 1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan

Lebih terperinci

Landasan Hukum: Pasal 23 UU PPh PMK No. 244/ PMK.03/ 2008

Landasan Hukum: Pasal 23 UU PPh PMK No. 244/ PMK.03/ 2008 Landasan Hukum: Pasal 23 UU PPh PMK No. 244/ PMK.03/ 2008 AGENDA Pengantar Definisi Obyek PPh 23 Pemugut PPh 23 Perhitungan PPh 23 atas jasa, sewa, bunga. SPT PPh 23 Jurnal pembayaran jasa, penerimaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 138 TAHUN 2000 (138/2000) TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Pajak Menurut Para Ahli

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Pajak Menurut Para Ahli BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Pajak Menurut Para Ahli Dibawah ini adalah beberapa pengertian pajak menurut para ahli, diantaranya: 1. Menurut P.J.A Adriani (2005), Pajak adalah Iuran kepada Negara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DALAM BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH SERTA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN MENTERI

Lebih terperinci

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE BAB IV EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE IV.1. Evaluasi Jenis-jenis Biaya yang Terdapat dalam Laporan Keuangan Perusahaan Penulis

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV BAB IV BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV BAB IV BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/KMK.04/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/KMK.04/2000 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/KMK.04/2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH OLEH BENDAHARAWAN

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari Pengetahuan atas ketentuan perpajakan yang benar, sangat mutlak diperlukan oleh Wajib Pajak karena dengan pengetahuan itu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, PT APP sebagai pemberi kerja wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisa, pembahasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh penulis untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan

Lebih terperinci

Catatan: - Untuk Point 1, 3, 4 dan 5 dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 20% (Dua puluh persen).

Catatan: - Untuk Point 1, 3, 4 dan 5 dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 20% (Dua puluh persen). DAFTAR TARIF WAJIB POTONG PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 BAGI BENDAHARA PENGELUARAN 1 Keterangan SSP untuk Pemotong PPh Pasal 21 - Diisi Identitas dan NPWP Bendahara NO. URAIAN Golongan PPh MAP Kode

Lebih terperinci

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT BAB IV EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT Setelah dievaluasi biaya dan penghasilan dalam laporan laba rugi komersial terdapat perbedaan pengakuan biaya dan

Lebih terperinci

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 220/PJ.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 220/PJ. L 1 PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAAN Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 220/PJ./2002, Tgl. 18-04-2002 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN Pada prinsipnya terdapat perbedaan perhitungan penghasilan dan beban menurut Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Lebih terperinci

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk IV.1 Laba Rugi Secara Komersial Keuntungan (laba) atau kerugian adalah salah satu tolak ukur

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Singkat PT. Kencana Megah Logistik PT. Kencana Megah Logistik didirikan oleh Ibu Anggrek Meice pada tahun 2005 dan mulai menjalankan bisnis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

Bab1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. industri perbankan. Perkembangan ini dapat dilihat dari sisi volume usaha,

Bab1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. industri perbankan. Perkembangan ini dapat dilihat dari sisi volume usaha, Bab1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dari industri perbankan. Perkembangan ini dapat dilihat dari sisi volume usaha, mobilisasi

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERA TURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.010/2016 TENT ANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 51/KMK.04/2001 TENTANG PEMOTONGAN

Lebih terperinci

KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018

KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018 KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018 KEWAJIBAN PAJAK ATAS DANA HIBAH PENELITIAN Walau telah berbasis keluaran, namun kewajiban perpajakan atas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Abdurrahman (2002) bank sebelumnya memiliki kewajiban sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Abdurrahman (2002) bank sebelumnya memiliki kewajiban sebagai BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Bank dan Kewajibanya Menurut Abdurrahman (2002) bank sebelumnya memiliki kewajiban sebagai agent of development, pemerintah dalam hal ini khususnya departemen keuangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Perpajakan Bagi Koperasi

Perpajakan Bagi Koperasi Perpajakan Bagi Koperasi Pendahuluan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan ditegaskan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. No.33, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS Pada laporan rugi laba yang telah dibuat oleh PT TGS yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2003 menunjukkan adanya unsur penjualan yang telah berhasil

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 149 TAHUN 2000 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA

Lebih terperinci

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23 dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23 Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan Oleh Subur Harahap, SE, Ak, MM, CFP Partner SUHA Planner Financial Consulting

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk BAB IV PEMBAHASAN Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk meningkatkan efisien PT.KBI, penulis akan menguraikan perencanaan pajak yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dengan Undang-undang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN,

Lebih terperinci

244/PMK.03/2008 JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-

244/PMK.03/2008 JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG- 244/PMK.03/2008 JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG- Contributed by Administrator Wednesday, 31 December 2008 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-213/PJ/2001 Tanggal : 15 Maret 2001

Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-213/PJ/2001 Tanggal : 15 Maret 2001 Lampiran I Nomor : Lampiran : 1 (satu) set Perihal : Permohonan Penetapan Sebagai Daerah Terpencil Kepada Yth. Kepala Kantor Wilayah Berkenaan dengan investasi perusahaan kami: Nama : NPWP : Alamat Kantor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (2002:1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (2002:1) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Secara Umum 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (2002:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci