S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002)
|
|
- Yohanes Sutedja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 S-1081/PJ.313/2005 PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE- 13/PJ.42/2002) Contributed by Administrator Thursday, 22 December 2005 Pusat Peraturan Pajak Online PENGENAAN TARIF ATAS JASA KONSTRUKSI (SE-13/PJ.42/2002) Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 9 September 2005 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut pada intinya dikemukakan bahwa: a. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya. Saudara mohon penegasan dari kalimat: - keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan - untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain - termasuk perawatannya b. Apabila sebagian jasa pelaksanaan konstruksi misalnya jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada sub kontraktor, bagaimana tarif Pajak Penghasilan kepada subkontraktor tersebut baik yang memiliki sertifikasi maupun yang tidak memiliki sertifikasi sebagai pengusaha jasa konstruksi, apakah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000, atau berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; c. Bagaimana pengenaan tarif atas pekerjaan jasa borongan kepada orang perseorangan (tidak memiliki NPWP) yang berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Kerja; d. Berapa besar PTKP untu upah harian, apakah disesuaikan dengan PTKP karyawan tetap yaitu WP Rp ,-/tahun, dan untuk harian menjadi Rp /hari. 2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 21 ayat (4), Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; b. Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas: 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak
2 Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; b. Pasal 1 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp ,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; c. Pasal 2 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2): a) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3 oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn; b) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3, dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a. d. Pasal 3, besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; b) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; c) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. 4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 angka 13, upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu; b. Pasal 13 ayat (1), tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp ,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu bulan takwim dan tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); c. Pasal 13 ayat (2) huruf c, untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud. 5. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2005 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.03/2002 tentang Bagian Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1, batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan
3 mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sampai dengan Rp ,00 (seratus ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan; b. Pasal 2, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp ,00 (satu juta rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan. 6. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya; b. Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% jumlah bruto tidak termasuk PPN; d. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; e. Jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 7. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain disebutkan bahwa: a. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain termasuk perawatannya; b. Usaha pelaksanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi; c. Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecetan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikan mesin dan peralatan mekanik atau elektrik serta komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual (after sales services) yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut, serta pekerjaan jasa teknik, disain interior dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi; d. Perlakuan PPh final (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) atas
4 penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Pengusaha kecil hanya berlaku sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan dapat memberikan fotokopi sertifikat kualifikasi sebagai usaha kecil yang masih berlaku dan dilegalisir dan sepanjang jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp ,00. Fotokopi sertifikat dimaksud diberikan kepada pemotong pajak atau dilampirkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam hal tidak dilakukan pemotongan pajak. Apabila salah satu persyaratan tidak dipenuhi, maka atas penghasilan dari kontrak/proyek yang tidak memenuhi persyaratan tersebut berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa: a. Dalam hal jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha konstruksi yang mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha konstruksi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 sebagai berikut: 1) atas penghasilan yang diterima pengusaha di bidang konstruksi dari jasa pelaksanaan konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa sebesar 15% X 13 1/3% atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; 2) apabila pengusaha konstruksi tersebut memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp ,00 (satu miliar), atas penghasilan yang diterima dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto. b. Apabila jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha yang tidak mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha tersebut termasuk penghasilan dari jasa lain dalam KEP-170/PJ/2002 sehingga berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c dan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% X 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Atas penghasilan bruto yang diterima pegawai harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp ,00 (seratus ribu rupiah) sehari, tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp ,00 (satu juta rupiah) sebulan dan tidak dibayarkan secara bulanan. d. Untuk mendapatkan upah harian dalam hal berupa upah borongan, yaitu dengan membagi jumlah upah borongan dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud, dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sehari setelah dikurangi Rp ,00 (seratus ribu rupiah). Demikian harap maklum. DIREKTUR, ttd HERRY SUMARDJITO Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 9 September 2005 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut pada intinya dikemukakan bahwa: a. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa yang dimaksud dengan Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian
5 kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya. Saudara mohon penegasan dari kalimat: - keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan - untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain - termasuk perawatannya b. Apabila sebagian jasa pelaksanaan konstruksi misalnya jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada sub kontraktor, bagaimana tarif Pajak Penghasilan kepada subkontraktor tersebut baik yang memiliki sertifikasi maupun yang tidak memiliki sertifikasi sebagai pengusaha jasa konstruksi, apakah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000, atau berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; c. Bagaimana pengenaan tarif atas pekerjaan jasa borongan kepada orang perseorangan (tidak memiliki NPWP) yang berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Kerja; d. Berapa besar PTKP untu upah harian, apakah disesuaikan dengan PTKP karyawan tetap yaitu WP Rp ,-/tahun, dan untuk harian menjadi Rp /hari. 2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 21 ayat (4), Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; b. Pasal 23 ayat (1) huruf c, atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas: 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan; b. Pasal 1 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp ,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; c. Pasal 2 ayat (2), atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2):
6 a) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3 oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn; b) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan Pasal 3, dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a. d. Pasal 3, besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi; b) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi; c) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. 4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 angka 13, upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu; b. Pasal 13 ayat (1), tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp ,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu bulan takwim dan tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); c. Pasal 13 ayat (2) huruf c, untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud. 5. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2005 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.03/2002 tentang Bagian Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1, batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sampai dengan Rp ,00 (seratus ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan; b. Pasal 2, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp ,00 (satu juta rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan. 6. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa: a. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian
7 jasa dan pengadaan material/barangnya; b. Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, termasuk dalam jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 40% jumlah bruto tidak termasuk PPN; d. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/ac/tv kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; e. Jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi, besarnya perkiraan penghasilan neto sebesar 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 7. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, antara lain disebutkan bahwa: a. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain termasuk perawatannya; b. Usaha pelaksanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi; c. Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecetan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikan mesin dan peralatan mekanik atau elektrik serta komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual (after sales services) yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut, serta pekerjaan jasa teknik, disain interior dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi; d. Perlakuan PPh final (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Pengusaha kecil hanya berlaku sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan dapat memberikan fotokopi sertifikat kualifikasi sebagai usaha kecil yang masih berlaku dan dilegalisir dan sepanjang jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp ,00. Fotokopi sertifikat dimaksud diberikan kepada pemotong pajak atau dilampirkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam hal tidak dilakukan pemotongan pajak. Apabila salah satu persyaratan tidak dipenuhi, maka atas penghasilan dari kontrak/proyek yang tidak memenuhi persyaratan tersebut berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa: a. Dalam hal jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha konstruksi yang mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha konstruksi tersebut berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
8 Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 sebagai berikut: 1) atas penghasilan yang diterima pengusaha di bidang konstruksi dari jasa pelaksanaan konstruksi dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa sebesar 15% X 13 1/3% atau 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; 2) apabila pengusaha konstruksi tersebut memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp ,00 (satu miliar), atas penghasilan yang diterima dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto. b. Apabila jasa pelaksanaan konstruksi berupa jasa pekerjaan elektrikal, jasa mekanikal, pekerjaan specialist (anti rayap, water proofing), pekerjaan sipil (tiang pancang, pondasi), landscap, dan interior disubkontrakkan kepada pengusaha yang tidak mempunyai sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh pengusaha tersebut termasuk penghasilan dari jasa lain dalam KEP-170/PJ/2002 sehingga berlaku ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c dan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% X 40% atau 6% (enam persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN; c. Atas penghasilan bruto yang diterima pegawai harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp ,00 (seratus ribu rupiah) sehari, tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp ,00 (satu juta rupiah) sebulan dan tidak dibayarkan secara bulanan. d. Untuk mendapatkan upah harian dalam hal berupa upah borongan, yaitu dengan membagi jumlah upah borongan dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud, dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sehari setelah dikurangi Rp ,00 (seratus ribu rupiah). Demikian harap maklum. DIREKTUR, ttd HERRY SUMARDJITO
Ruang Lingkup Jasa Konstruksi
Jasa Konstruksi Ruang Lingkup Jasa Konstruksi Layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi Layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi Layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi Definisi
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 140 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 140 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka
Lebih terperinciBAB III DASAR PENGENAAN PPh PASAL 23 DAN DASAR PENGENAAN PPN ATAS EPC PROJECT. Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang cukup berkembang di
BAB III DASAR PENGENAAN PPh PASAL 23 DAN DASAR PENGENAAN PPN ATAS EPC PROJECT A. Pengertian dan Ruang Lingkup Jasa Konstruksi A. 1 Pengertian Jasa Konstruksi Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang
Lebih terperinciKEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-02/PJ/2015 TENTANG PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PASAL 31E AYAT (1) UNDANG- UNDANG NOMOR
Lebih terperinciDasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap adalah:
PPh Pegawai Tidak Tetap Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
Lebih terperinciS-48/PJ.313/2006 KONFIRMASI PENGENAAN TARIF PPh PASAL 22 DAN PASAL 23
S-48/PJ.313/2006 KONFIRMASI PENGENAAN TARIF PPh PASAL 22 DAN PASAL 23 Contributed by Administrator Wednesday, 01 February 2006 Pusat Peraturan Pajak Online KONFIRMASI PENGENAAN TARIF PPh PASAL 22 DAN PASAL
Lebih terperinciS-1034/PJ.322/2004 PERMOHONAN PENJELASAN PENGENAAN PPN DAN PPh ATAS KERJA SAMA OPERASIONAL BIDANG PE
S-1034/PJ.322/2004 PERMOHONAN PENJELASAN PENGENAAN PPN DAN PPh ATAS KERJA SAMA OPERASIONAL BIDANG PE Contributed by Administrator Friday, 05 November 2004 Pusat Peraturan Pajak Online PERMOHONAN PENJELASAN
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan
BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN II.1. Rerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Liberti Pandiangan (2010:v) adalah salah
Lebih terperinciPAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H yang dikutip dalam buku karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat
Lebih terperinci2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 398, 2017 KEMENKEU. Pelaporan dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.03/2017 TENTANG TATA
Lebih terperinciBENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DENGAN TARIF KHUSUS YANG BERSIFAT FINAL DAN TIDAK FINAL BAB V
BAB V BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DENGAN TARIF KHUSUS YANG BERSIFAT FINAL DAN TIDAK FINAL BAB V BAB V BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/ PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DENGAN TARIF KHUSUS
Lebih terperinci2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202, 2017 KEUANGAN. PPH. Penghasilan. Diperlakukan. Dianggap. Harta Bersih. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6120) PERATURAN PEMERINTAH
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN
Lebih terperinciModul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
Lebih terperinciNama :... (1) NPWP :... (2) Alamat :... (3) Daftar Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25. Peredaran Usaha (Perdagangan) Alamat
Lampiran I Nama :... (1) NPWP :... (2) Alamat :... (3) Daftar Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25 No. NPWP tempat usaha/ gerai (outlet) KPP Lokasi Alamat Peredaran Usaha (Perdagangan) Penghasilan Penghasilan
Lebih terperinciSE-02/PJ./2006 PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA
SE-02/PJ./2006 PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA Contributed by Administrator Wednesday, 01 February 2006 Pusat Peraturan Pajak Online PEDOMAN PELAKSANAAN
Lebih terperinciMAKALAH PERPAJAKAN. Disusun Oleh : Florentina Rosalia Marseli UNIVERSITAS SRIWIJAYA
MAKALAH PERPAJAKAN Disusun Oleh : Florentina Rosalia Marseli UNIVERSITAS SRIWIJAYA Tahun 2016-2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya, pasti memiliki kebijakan
Lebih terperinciCatatan: - Untuk Point 1, 3, 4 dan 5 dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 20% (Dua puluh persen).
DAFTAR TARIF WAJIB POTONG PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 BAGI BENDAHARA PENGELUARAN 1 Keterangan SSP untuk Pemotong PPh Pasal 21 - Diisi Identitas dan NPWP Bendahara NO. URAIAN Golongan PPh MAP Kode
Lebih terperinciSPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-32/PJ/2009 Tanggal : 25 Mei 2009 Departemen Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Masa Pajak SPT Masa Pajak Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Formulir
Lebih terperinciPEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA
KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA KPP PRATAMA TIMIKA MEI 2015 DIREKTORAT JENDERAL PAJAK UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa Latar
Lebih terperinciKewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut : 1. Menyampaikan Surat
Lebih terperinciS-485/PJ.33/2005 PERMASALAHAN PEMERIKSAAN
S-485/PJ.33/2005 PERMASALAHAN PEMERIKSAAN Contributed by Administrator Wednesday, 08 June 2005 Pusat Peraturan Pajak Online PERMASALAHAN PEMERIKSAAN Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal
Lebih terperinciTanggal Terbit : 01 Februari 2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Perihal : PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) OLEH BENDAHARAWAN ATAU PENANGGUNG JAWAB PENGELOLAAN PENGGUNAAN DANA BOS
Lebih terperinciY. PEMBERITAHUAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WP ORANG PRIBADI FORMULIR TAHUN PAJAK
DEPARTEMEN KEUANGAN R I PEMBERITAHUAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WP ORANG PRIBADI ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK BERI TANDA X DALAM (KOTAK) YANG SESUAI ISI DENGAN BENAR, LENGKAP,
Lebih terperinci2017, No Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.200, 2017 EKONOMI. Pajak Penghasilan. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6118) PERATURAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang Undang No.16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
Lebih terperinciBuku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah. BAB V PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 4 AYAT (2)
109 BAB V PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 4 AYAT (2) PENGERTIAN Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan
Lebih terperinci..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,
LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 40/PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU...,...20... 1) Nomor :...
Lebih terperinciPAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2. Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa:
PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2 Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa: Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya penghasilan dari transaksi saham
Lebih terperinci..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,
LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-40/PJ./2009 TENTANG : TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU...,...20... 1) Nomor
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1993 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ.03/2007 TENTANG PENEGASAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 PIMPINAN DAN ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN
Lebih terperinciApakah Pemilik Indekos Harus Bayar Pajak Juga?
Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Apakah Pemilik Indekos Harus Bayar Pajak Juga? Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi: Account Representative Aspek Perpajakan bagi Pemilik Indekos Panduan
Lebih terperinciPER - 34/PJ/2010 BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRI
PER - 34/PJ/2010 BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRI Contributed by Administrator Tuesday, 27 July 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
Lebih terperinciYth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak. 3) Di.. 4)
LAMPIRAN I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-40/PJ./2009 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu,.....20 1) Nomor : (2)
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008 TENTANG
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN, DAN PENATAUSAHAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinci257/PMK.011/2011 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAK
257/PMK.011/2011 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAK Contributed by Administrator Wednesday, 28 December 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ.
L1 BIAYA "ENTERTAINMENT" DAN SEJENISNYA (SERI PPh UMUM 18) Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 27/PJ.22/1986, Tgl. 14-06-1986 Lampiran: 86PJ22_SE27.htm DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan bertugas memberikan layanan kesehatan kepada pasien dalam rangka membantu menyembuhkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I
BAB I PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I BAB I PENUNJUKAN BENDAHARA NEGARA SEBAGAI PEMOTONG/ PEMUNGUT PAJAK-PAJAK NEGARA 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang 1) Undang-undang
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan
BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Dari analisa yang telah dilakukan, berikut adalah kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini: 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan a. Orang pribadi yang melakukan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN
Lebih terperinciPER - 52/PJ/2009 PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASI
PER - 52/PJ/2009 PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASI Contributed by Administrator Thursday, 24 September 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan
Lebih terperinciPERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PERUBAHAN BENTUK USAHA (STUDI KASUS DI RESTORAN T)
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PERUBAHAN BENTUK USAHA (STUDI KASUS DI RESTORAN T) Lili Mariana, Yunita Anwar Universitas Bina Nusantara Jl. K. H. Syahdan No. 9 Kemanggisan/Palmerah Jakarta Barat 11480
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
Lebih terperinciLAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-32/PJ/2009 TANGGAL : 25 MEI 2009
LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-32/PJ/2009 TANGGAL : 25 MEI 2009 www.peraturanpajak.com Page : 1 info@peraturanpajak.com www.peraturanpajak.com Page : 2 info@peraturanpajak.com
Lebih terperinciMINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 A. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa dan penghasilan lain atas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN MAKSUD DAN TUJUAN
I. PENDAHULUAN Mengingat pentingnya masalah Perpajakan dalam pengelolaan Dana Pensiun, maka perlu adanya pedoman mendasar tentang Perpajakan. Peraturan Perpajakan Dana Pensiun mengacu pada Undang-undang
Lebih terperinciTINDAK LANJUT AMNESTI PAJAK
KETERANGAN PERS DITJEN PAJAK Terkait Penerbitan PP 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan TINDAK
Lebih terperinciPAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dipotong atas penghasilan penghasilan yang berasal dari modal penyerahan jasa hadiah dan penghargaan SIAPA PEMOTONG PPH Wajib Pajak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pasal 1 Undang-Undang No.16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang No.16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
Lebih terperinciSE - 11/PJ/2011 PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA
SE - 11/PJ/2011 PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA Contributed by Administrator Thursday, 20 January 2011 Pusat Peraturan Pajak Online 20 Januari 2011 SURAT
Lebih terperinciPPh Pasal 21. Maksud. Dasar Hukum. Objek Pemotongan Pemotong PPh Pasal 21. Bukan Pemotong PPh Pasal 21. Penerima Penghasilan
Maksud Objek Pemotongan Pemotong PPh Pasal 21 Bukan Pemotong PPh Pasal 21 Penerima Penghasilan PPh Pasal 21 Pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan,
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-545/PJ/2000 TENTANG PETUNJUK
Lebih terperinciSURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2 September 2013 A. Umum SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN
Lebih terperinciBAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN
BAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN Α. KETENTUAN UMUM Di Indonesia, pajak dipungut berdasarkan pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua
Lebih terperinciI. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018
I. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018 Pada tanggal 23 Januari 2018 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas
Lebih terperinciBAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 57/PJ/2009 TENTANG : PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN
Lebih terperinciPER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA
PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA Contributed by Administrator Friday, 07 August 2015 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus.
No.33, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN
Lebih terperinciPERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)
PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan), Anda harus mampu: 1.1 Memahami Definisi PPh Pasal 25, Subjek
Lebih terperinciSoal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru)
Soal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru) Tuan Wahyudi (PKP) seorang pengusaha garmen yang memiliki 5 kios di Jakarta, Bandung,
Lebih terperinciA. Dasar Hukum. Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.65755/PP/M.VIIIA/12/2015. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23. Tahun Pajak : 2008
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.65755/PP/M.VIIIA/12/2015 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23 Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah
Lebih terperinciPeraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah
Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor, tanggal 80 Tahun 2010 20 Desember 2010 Mulai berlaku : 1 Januari
Lebih terperinciPER - 32/PJ/2009 BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL
PER - 32/PJ/2009 BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL Contributed by Administrator Monday, 25 May 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi PPh Pasal 21 Menurut PER-31/PJ/2012 Pasal 1 ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat atas penghasilan berupa gaji,
Lebih terperinciKementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/
Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/2014-00 Apa yang dimaksud Emas Perhiasan? Emas perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN,
Lebih terperinciBAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
12 BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK 3.1 Bidang pelaksanaan kerja praktek Selama melaksanakan praktek kerja lapangan penulis di tempatkan di bagian pemasaran dan bagian umum. Di bagian ini pula penulis
Lebih terperinciPemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009)
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan
Lebih terperinciPerpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi
Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi Priyanto Rustadi Pengantar Bentuk penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Joint Operation dapat bermacam-macam, baik itu dari usaha, dari modal maupun
Lebih terperinciKEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Yth. 1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; 2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak; 3. Para Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Pajak Penghasilan. Jasa Kontruksi. Penyetoran. Tata Cara.
No.316, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Pajak Penghasilan. Jasa Kontruksi. Penyetoran. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 153/PMK.03/2009 TENTANG
Lebih terperinciPertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26
Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26 Pertemuan 5 41 P5.1 Teori Pajak Penghasilan 23, 25, 26 & Pasal 4 ayat 2 A. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan Menurut Undang-Undang no. 28 th. 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.169, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Ekonomi. Pajak Penghasilan. Pesangon. Langsung. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5082) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK 3.1 Pelaksanaan Kerja Praktek 3.1.1 Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek Bidang pelaksanaan kerja praktek yang dilakukan penulis yaitu divisi pajak dan asuransi, dan ditempatkan
Lebih terperinciLAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 SUSUNAN SATU NASKAH PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JEDNERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS
Lebih terperinciYth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... di...
LAMPIRAN I Nomor : Lampiran : Perihal : Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak......
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG
Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. 2011. Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 57/PJ/2009 tentang Pedoman
Lebih terperinciPERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
Lebih terperinciAKUNTANSI PERPAJAKAN KELOMPOK : IV APRIDA DEWI DEVI JUNIANTY ( ) TASLIM GOTAMI
AKUNTANSI PERPAJAKAN KELOMPOK : IV APRIDA DEWI DEVI JUNIANTY (1205151006) TASLIM GOTAMI Bpk. Petrus Gani MENGAPA PERUSAHAAN DIWAJIBKAN MELAKUKAN PEMBUKUAN??? Didasarkan pada Kitab Undang Undang Hukum Dagang
Lebih terperinciBAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN )
BAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN 1983 2008) Pajak Penghasilan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi bagi individu yang telah memiliki tambahan kemampuan ekonomis
Lebih terperinciSE - 67/PJ/2009 PENGANTAR PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-40/PJ/2009 TENTANG TATA CARA P
SE - 67/PJ/2009 PENGANTAR PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-40/PJ/2009 TENTANG TATA CARA P Contributed by Administrator Tuesday, 07 July 2009 Pusat Peraturan Pajak Online 07 Juli 2009 SURAT EDARAN
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Implementasi SKB CV. MMC Sehubungan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 CV. MMC merupakan perusahaan dalam bidang jasa konsultan bisnis yang berdiri pada tahun 2005. Perusahaan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, PT APP sebagai pemberi kerja wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN DENGAN
Lebih terperinci2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5916); Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYETOR
No.29, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. PPH. Hak atas Tanah. Bangunan. Pengalihan. Perjanjian Pengikatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 261/PMK.03/2016
Lebih terperinciBENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV
BAB IV BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV BAB IV BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Lebih terperinciLAMPIRAN I. Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak : di...
LAMPIRAN I Nomor : Lampiran : Perihal : Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak...... di... Berkenaan dengan Pasal
Lebih terperinciOleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011
Pajak Penghasilan Pasal 23 Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Sub Topik 1. UU No. 36 Tahun 2008-Pasal 23 2. Pemotong
Lebih terperinciMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 394/KMK.04/1996 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN MENTERI KEUANGAN
Lebih terperinci