BAB I PENDAHULUAN. (BLBU SL-PTT) padi tahun 2012 di Kabupaten Barito Utara. Fokus penelitian
|
|
- Susanti Sasmita
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini menganalisis permasalahan implementasi kebijakan program Bantuan Langsung Benih Unggul Sekolah Lapang Pengelolaan-Tanaman Terpadu (BLBU SL-PTT) padi tahun 2012 di Kabupaten Barito Utara. Fokus penelitian akan menyoroti rendahnya tingkat adopsi penggunaan benih unggul padi ladang di kalangan petani penerima BLBU. Menurut keterangan Mantri Tani yang bertugas di lapangan, benih unggul padi ladang yang telah diterima oleh petani hanya 10-20% yang digunakan sebagai bahan tanam dan 80-90% sisanya dijadikan bahan konsumsi. Di sisi yang lain, bantuan benih unggul padi sawah diapreasiasi dengan baik oleh para petani, terbukti 100% benih unggul padi sawah tersebut dimanfaatkannya sebagai bahan tanam. Para petani padi ladang di Kabupaten Barito Utara lebih memilih menanam benih lokal yang menurut pengalamannya lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat. Upaya memasyarakatkan penggunaan benih unggul padi ladang di kalangan petani tradisional di wilayah Kabupaten Barito Utara mengalami banyak persoalan, salah satunya karena karakter usahataninya yang bersifat subsisten, yaitu memprioritaskan hasil usahataninya untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya sehari-hari dan cenderung mengesampingkan aspek agribisnis. Benih unggul padi merupakan salah satu hasil inovasi dalam bidang pertanian yang diperkenalkan oleh para pakar dan peneliti. Inovasi benih padi 1
2 unggul tersebut perlu disebarkan secara luas kepada para petani untuk selanjutnya dikembangkan di lapangan. Pemerintah berupaya memasyarakatkan inovasi benih varietas unggul nasional di kalangan petani melalui program BLBU yang dilakukan dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional, khususnya padi dan palawija 1. Program ini dibarengi dengan kegiatan SL-PTT sebagai media pembelajaran kepada petani yang tergabung dalam wadah kelompoktani (poktan) guna meningkatkan pengetahuannya dalam mengelola usahataninya. Salah satu kegiatan dalam SL-PTT adalah pengenalan benih unggul. Sebagaimana diketahui bahwa sejak tahun 2007 pemerintah menggelontorkan program BLBU sebagai upaya untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Pemerintah memandang bahwa saat itu secara nasional penggunaan benih unggul di kalangan petani sangat rendah, hanya mencapai 30 persen 2. Menurut Daradjat et. al. (2008), benih padi yang digunakan oleh masyarakat lebih dari 60 persen berasal dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan dari sebagian hasil panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa petani padi belum merespon benih unggul padi dengan baik. Setelah dilakukan program BLBU, data luas tanam pada tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari 75% telah ditanami dengan varietas unggul. Sampai dengan tahun 2010, varietas padi yang paling luas ditanam adalah Ciherang, IR64 dan Cigeulis (Wahyuni, 2011). 1 Perpres Nomor 14 Tahun 2011 tentang Bantuan Langsung Benih Unggul dan Pupuk 2 Bambang Budhiyanto (Direktur Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan) dalam Tabloid Agribisnis Dwimingguan Agrina, 21 JanuarI
3 Pada tahun 2007 alokasi anggaran untuk kegiatan BLBU SL-PTT tersebut sekitar Rp 1 triliun yang ditenderkan di setiap kabupaten penanam komoditas pangan (padi, jagung, dan kedelai). Bantuan benih itu tidak meng-cover seluruh kebutuhan benih nasional, namun hanya cukup untuk sekitar 20%-25% saja, tergantung komposisi komoditas, dan padi menempati porsi paling besar 3. Namun, niat mulia pemerintah untuk membantu petani meningkatkan produktivitas tanaman mereka itu berjalan kurang lancar dan banyak muncul permasalahan di lapangan saat pelaksanaan. Karena itu, pada tahun 2008 program BLBU dilikuidasi dan diganti menjadi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Melalui program BLM, kelompok-kelompok petani yang sudah termasuk dalam daftar Calon Petani/ Calon Lahan (CP/CL) dari dinas terkait mendapat kucuran dana tunai untuk membeli benih sendiri sesuai kebutuhan dengan syarat benih harus unggul dan bersertifikat. Pemasok benih padi dan kedelai terbesar saat itu adalah perusahaan benih pelat merah alias BUMN, yaitu PT. Sang Hyang Seri dan PT. Pertani, sedangkan benih jagung dipasok juga oleh perusahaan benih swasta yang bekerjasama dengan kedua BUMN itu. Tahun berikutnya, 2009, anggaran subsidi yang juga sekitar Rp 1 triliun dibagi dua, separuh-separuh, yaitu untuk dana public service obligation (PSO) yang digelontorkan Kementerian Keuangan via BUMN dan dana BLM dari Kementan. Pada 2010, anggaran dialokasikan 100% dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke BUMN. Pelimpahan dana subsidi yang sangat besar ini akhirnya mendapat sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akhirnya, pada Tabloid Agrina, 21 Januari
4 anggaran dikembalikan lagi ke Kementan. Namun, pengucurannya sama saja dengan periode sebelumnya. Pasalnya, dengan Peraturan Presiden 14/2011 tentang Bantuan Langsung Benih Unggul dan Pupuk, pemerintah menunjuk langsung BUMN untuk menyalurkan benih dan pupuk bersubsidi. Jadi, dengan anggaran dari Kementan, BUMN mendapat alokasi guna mengadakan sarana produksi yang didistribusikan kepada petani. Dinamika itu belum juga berhenti. Pada tahun 2012 silam, anggaran berada di tangan Kementan tapi alokasinya melalui tender. Proses tender berjenjang ke Jakarta; hal ini memakan waktu panjang dan berbelit. Walhasil, banyak keluhan keterlambatan sampai ke tangan petani karena berbagai hal. Belum lagi soal kualitas benih yang buruk, juga menjadi catatan tersendiri. Seiring dengan dinamika perubahan kebijakan bantuan benih tersebut di atas, upaya pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan melalui program BLBU ditunjang dengan program SL-PTT. SL-PTT adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Pada prinsipnya SL-PTT dimaksudkan sebagai media untuk mentransfer teknologi budidaya tanaman di tingkat petani. Sebagaimana diyakini banyak pakar, permasalahan subsektor tanaman pangan khususnya padi adalah masih adanya kesenjangan produktivitas ditingkat petani, dibanding potensi yang dapat dicapai 4
5 petani. Penyebabnya antara lain adalah penggunaan benih varietas unggul yang berpotensi produksi tinggi dan bersertifikat ditingkat petani masih belum optimal, penggunaan pupuk yang belum berimbang dan efisien, penggunaan pupuk organik yang belum populer 4. SL-PTT diselenggarakan dalam unit-unit kegiatan dengan luasan tertentu. Luasan ideal 1 (satu) unit SL-PTT padi sawah maupun padi lahan kering adalah 25 Ha, yang di dalamnya terdapat 1 Ha lahan Laboratorium Lapang (LL). LL merupakan areal yang terdapat dalam kawasan SL-PTT yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, temu lapang, tempat belajar dan tempat praktik penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan bersama oleh kelompok tani/petani. Biaya kegiatan LL dibantu oleh pemerintah berupa sejumlah uang untuk pembelian pupuk, papan nama/plang, biaya pertemuan kelompok, dan insentif PPL pendamping yang ditransfer melalui rekening kelompok tani (poktan). Kalau dicermati, biaya untuk kegiatan demplot dalam bentuk LL belumlah layak karena tanpa memperhitungkan komponen upah tenaga kerja (biaya persiapan lahan, pemeliharaan tanaman, dan panen). 4 Pedoman Teknis SL PTT
6 Tabel 1.1 Alokasi Dana Laboratorium Lapang SL-PTT Reguler Padi Sawah/ Padi Ladang per Unit Uraian Kuantitas Satuan Harga Satuan Jumlah (Rp) (Rp) Urea NPK Pupuk Organik Biaya Pertemuan Insentif Pendamping Papan Nama Kg Kg Kg kali kali buah 1.600, ,00 500, , , , , , , , ,00 Total ,00 Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2012 Secara konseptual kebijakan pemerintah tentang BLBU yang dibarengi dengan SL-PTT merupakan upaya yang sangat tepat dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, terutama beras yang menjadi bahan pangan pokok sebagian besar penduduk. Hal ini mengingat jumlah penduduk Indonesia sangat besar, yaitu jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun (Sensus Penduduk 2010) dan tingkat konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita/tahun (BPS, 2011). Kebutuhan beras setiap tahun semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun demikian, proses penyusunan kebijakan BLBU cenderung bersifat top-down, ditandai dengan kurang dilibatkannya petani dalam penentuan varietas benih yang akan diberikan. Usulan varietas benih yang yang diajukan oleh poktan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) hanya digunakan sebagai bahan pertimbangan saja sedangkan keputusan final ada di tangan pemerintah. Hal ini karena usulan varietas benih yang diajukan oleh poktan berbeda-beda antar daerah sehingga pemerintah kesulitan dalam menyediakan 6
7 varietas benih yang diajukan oleh poktan. Akibatnya varietas benih yang sampai ke tangan petani berbeda dengan yang diusulkan dalam RDKK. Berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa tidak semua kebijakan yang dianggap baik dan ditetapkan oleh policy maker dapat terimplementasi dengan baik di lapangan. Proses sosialisasi program kepada poktan, penentuan poktan penerima BLBU, pendistribusian benih kepada poktan hingga bagaimana kegiatan SL-PTT dilaksanakan merupakan kunci keberhasilan suatu kebijakan. Ketersediaan sumber daya penyuluh pertanian lapangan (PPL) sebagai ujung tombak di dalam pendampingan program SL-PTT juga tidak dapat diabaikan perannya di lapangan. Sebagai sebuah kebijakan publik, implementasi BLBU SL-PTT perlu dikaji secara ilmiah. Kajian mengenai implementasi kebijakan BLBU SL-PTT menarik untuk dianalisis lebih mendalam karena pelaksanaan program tersebut belum berjalan sebagaimana yang diinginkan. Kajian tentang implementasi kebijakan BLBU SL-PTT selama ini belum banyak dilakukan oleh para peneliti. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik tersebut diantaranya dilakukan oleh Rahayu (2008) berjudul Pembangunan Sektor Pertanian Melalui Peningkatan Produktivitas Padi: Studi Kasus Pemberian Bantuan Benih Padi Bermutu di Kabupaten Bantul 5. Penelitian ini mengevaluasi kebijakan BLBU SL-PTT dari sisi agroekonomis. Ada dua aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut, yaitu aspek teknis dengan cara membandingkan produktivitas tanaman sebelum dan sesudah adanya program 5 Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Volume 9, Nomor 1, April 2008:
8 bantuan benih, serta analisis dari aspek pendapatan petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bantuan benih padi hanya meningkatkan produktivitas padi di bawah 5 (lima) persen dan meningkatnya produktivitas padi tersebut dapat menambah pendapatan para petani. Jamal (2009) dalam penelitiannya berjudul Telaahan Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT): Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur 6 hanya menyoroti aspek pelaksanaan SL-PTT sebagai sebuah cara mengenalkan teknologi baru budidaya padi kepada petani. Dari hasil penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa pelaksanaan SL-PTT belum sepenuhnya didukung oleh berbagai syarat keharusan yang ada bagi terlaksananya sekolah lapang yang baik, sehingga pemahaman petani dan adopsi teknologi budidaya tanaman belum sesuai dengan yang diharapkan. Terbatasnya ketersediaan tenaga pendamping merupakan masalah utama dalam pelaksanaan SL-PTT. Penelitian yang lebih menyoroti aspek ekonomi kegiatan SL-PTT dilakukan oleh Hutapea (2012) berjudul Efisiensi Usahatani dengan Pelaksanaan Sekolah Lapang-Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi (Kasus di Desa Pagarsari Kecamatan Purwodadi Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan) 7. Pengkajian ini dilakukan untuk membandingkan efisiensi usahatani padi akibat penerapan inovasi, biaya yang dikeluarkan, produksi dan pendapatan usahatani padi yang diperoleh sebelum dan sesudah pelaksanaan SL-PTT Padi dan antara petani peserta dan bukan peserta SL-PTT Padi. Kajian ini dilakukan pada musim hujan 6 Analisis Kebijakan Pertanian Vol.7 No.4, Desember Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6 No.3 Tahun
9 2010/2011 di Desa Pagarsari Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Musi Rawas dengan menggunakan pendekatan sebelum dan sesudah penerapan teknologi serta dengan dan tanpa penerapan teknologi. Hasil kajian menunjukkan bahwa dibanding bukan petani peserta, maka petani peserta SL-PTT Padi lebih memiliki motivasi yang lebih kuat untuk mengetahui perkembangan inovasi yang dibuktikan dari lebih aktifnya mereka ikut dalam pertemuan kelompok dan belajar pada petak percontohan. Manfaat ekonomi yang diperoleh setelah mengikuti SL-PTT Padi adalah semakin menurunnya biaya pokok untuk menghasilkan gabah kering panen dari Rp 1.384,22/kg menjadi Rp 1.229,56/kg. Efisiensi ini juga dibuktikan dengan semakin meningkatnya nilai revenue/cost (R/C) dari 1,8 menjadi 2,43 dan nilai marginal benefit cost ratio (MBCR) sebesar 5,3. Dibanding dengan petani bukan peserta, maka pada musim tanam yang sama petani peserta lebih efisien dibanding bukan peserta. Biaya pokok pokok untuk menghasilkan gabah kering panen pada petani peserta Rp /kg sedangkan bukan peserta sebesar Rp 1.364,18. Nilai R/C usahatani padi petani peserta 2,44 sedangkan bukan peserta sebesar 2,20 dengan nilai MBCR sebesar 3,97. Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Marsudi (2010), berjudul Evaluasi Petani Peserta Program Sekolah Lapangan-Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Kabupaten Ngawi 8. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat perbedaan efisiensi usahatani sebelum dan sesudah pelaksanaan Program SL-PTT padi, mengkaji perbedaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi sebelum dan 8 Tesis, UPN Veteran Jawa Timur 9
10 sesudah pelaksanaan program SL-PTT padi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling terhadap kelompok tani peserta SL-PTT padi di 8 (delapan) desa dengan 160 responden. Teknis análisis yang dipakai adalah analisis deskriptif, analisis usahatani dan analisis regresi linier berganda. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan tingkat efisiensi usahatani sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi terlihat dari perbandingan R/C sebelum SL-PTT adalah sebesar 1,56, sedangkan setelah SL-PTT adalah sebesar 1,88. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi berbeda antara sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi. Penggunaan benih unggul, pestisida dan keikutsertaan petani dalam program SL-PTT berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi. Nugraha (2011) dalam penelitiannya berjudul Pengaruh Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Padi Hibrida Terhadap Pendapatan Petani 9 juga lebih banyak menyoroti kebijakan dari aspek teknis. Penelitian dilakukan di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah dengan metode survey bertujuan untuk mengetahui keuntungan usahatani padi hibrida dibanding non hibrida, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi hibrida, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam usahatani padi hibrida. Dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa usahatani padi hibrida lebih menguntungkan dengan nilai R/C 2,30 dibanding padi non hibrida yang hanya memiliki R/C 1,65. Keuntungan budidaya padi hibrida 9 Tesis, FPN UNILA Bandar Lampung 10
11 dipengaruhi oleh luas lahan dan produktivitas, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam usahatani padi hibrida adalah pendapatan, pendidikan, kehadiran PPL pemerintah, dan kehadiran penyuluh swasta. Dari beberapa penelitian terdahulu sebagaimana diuraikan di atas, terlihat bahwa kebanyakan penelitian mengenai BLBU SL-PTT hanya terfokus pada kajian ekonomi, yaitu melihat sebuah kebijakan dari aspek untung-ruginya. Penelitian-penelitian yang menyoroti BLBU SL-PTT sebagai sebuah kebijakan publik, terutama dari sisi implementasi belum banyak dibahas. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian implementasi kebijakan BLBU SL- PTT dengan lokus penelitian di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut pada tahun 2012 mendapatkan alokasi BLBU padi untuk luasan lahan Ha, terdiri dari padi ladang/gogo Ha dan padi sawah Ha. Pada sisi yang lain, komitmen Pemerintah daerah dalam menggalakkan pemasyarakatan benih padi unggul nasional di kalangan petani masih kurang. 11
12 Tabel 1.2 Sebaran Poktan Penerima BLBU SL-PTT Padi Tahun 2012 dan Persentase Benih Tertanam di Kabupaten Barito Utara Komoditas Per Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Poktan Luas Lahan (Ha) Jumlah Benih (Kg) % Benih Tertanam a. Padi Sawah Teweh Tengah* Teweh Timur Gunung Timang Montallat Sub Total a *** b. Padi Ladang Teweh Tengah Teweh Timur Gunung Timang Montallat Lahei** Gunung Purei Sub Total b *** Total a+b Sumber: Distankannak Barito Utara, 2012 * Dimekarkan menjadi Kec. Teweh Tengah, Teweh Baru, dan Teweh Selatan (Perda Kab. Barito Utara No.4/2012) ** Dimekarkan menjadi Kec Lahei dan Lahei Barat *** Keterangan Mantri Tani Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis melalui sumber internal Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan setempat, implementasi BLBU SL- PTT di lokasi tersebut kurang berhasil, ditandai dengan animo petani untuk menanam benih padi unggul padi ladang sangat rendah (tabel 1.2). Hal ini berarti bahwa proses pengenalan hingga terjadinya adopsi benih unggul padi di kalangan petani kurang berhasil. Peneliti mencoba menggali informasi lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang meyebabkan rendahnya tingkat adopsi benih unggul di lapangan melalui suatu penelitian. 12
13 B. Perumusan Masalah Mencermati apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang tersebut di atas bahwa selama ini pelaksanaan program BLBU SL-PTT di Kabupaten Barito Utara belum berjalan dengan baik, terutama ditandai rendahnya animo petani dalam mengadopsi benih unggul padi ladang bantuan pemerintah. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adalah: bagaimana proses implementasi BLBU-SL-PTT dilakukan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi adopsi benih unggul dalam program BLBU SL-PTT padi di Kabupaten Barito Utara? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian implementasi penyaluran BLBU SL-PTT ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji lebih dalam mengenai implementasi kebijakan BLBU SL-PTT di Kabupaten Barito Utara. Pemahaman terhadap hal ini dilakukan untuk melihat apakah kebijakan BLBU SLPTT telah diimplementasikan sesuai dengan policy guideline. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi benih unggul dalam program BLBU SL-PTT padi di Kabupaten Barito Utara. 13
14 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari sisi teoretis maupun praktis. 1. Manfaat teoretis, yaitu memperkaya pemahaman tentang konsep kebijakan publik terkait dengan program bantuan langsung yang diberikan kepada masyarakat. 2. Manfaat praktis, yaitu menjadi bahan pertimbangan bagi otoritas pengambil kebijakan (pemerintah) dalam membuat suatu kebijakan terkait bantuan benih sehingga dihasilkan manfaat yang nyata bagi masyarakat. 14
POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT
POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 37/Permentan/SR.130/5/2010 TENTANG PEDOMAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK TAHUN ANGGARAN
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 37/Permentan/SR.130/5/2010 TENTANG PEDOMAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK TAHUN ANGGARAN 2010 1 Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN UMUM BANTUAN
Lebih terperinciBUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG
1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciKAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU
KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU Yartiwi dan Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jalan Irian km
Lebih terperinciBUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciBUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN
Lebih terperinci3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciCatatan Kritis Atas Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Terhadap Subsidi Pemerintah Pada PT Pertani (Persero)
Catatan Kritis Atas Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Terhadap Subsidi Pemerintah Pada PT Pertani (Persero) Pendahuluan Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema Peningkatan produksi
Lebih terperinciRingkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1
Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciEVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS
EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA SURABAYA TAHUN
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Usahatani Padi di Indonesia Padi merupakan komoditi pangan utama masyarakat Indonesia. Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciSALINAN NOMOR 5/E, 2010
SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang
Lebih terperinciKAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Sahardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Padi adalah salah satu bahan makanan
Lebih terperinciBUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan
Lebih terperinciBUPATI MALANG BUPATI MALANG,
BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan
Lebih terperinciBUPATI HULU SUNGAI TENGAH
BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH
Lebih terperinciJakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP
KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian
Lebih terperinciADOPSI PETANI PADI SAWAH TERHADAP VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN ARGAMAKMUR, KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU
ADOPSI PETANI PADI SAWAH TERHADAP VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN ARGAMAKMUR, KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU Andi Ishak, Dedi Sugandi, dan Miswarti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting
Lebih terperinciWALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA
WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memegang peranan yang strategis dalam perekonomian nasional. Tujuan pembangunan pertanian adalah untuk memperbaiki taraf dan mutu hidup serta kesejahteraan
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN Oleh : Bambang Prasetyo Prajogo U. Hadi Nur K. Agustin Cut R. Adawiyah PUSAT ANALISIS
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN
Lebih terperinciPROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap
Lebih terperinciBUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015
BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIDOARJO
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian dalam arti luas meliputi pembangunan di sektor tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan untuk meningkatkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan
Lebih terperinciBUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,
PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSUSI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,
WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU
Lebih terperinciBUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,
BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk
Lebih terperinciBUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGGAMUS,
Lebih terperinciBUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS
Lebih terperinciBUPATI PENAJAM PASER UTARA
BUPATI PENAJAM 9 PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2014 DENGAN
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
1 PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SUB SEKTOR
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG
PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG
Lebih terperinciANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE
ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional karena memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun secara tidak
Lebih terperinciBUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan
Lebih terperinciBUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sektor-sektor yang berpotensi besar bagi kelangsungan perekonomian
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus mampu mengantisipasi persaingan ekonomi yang semakin ketat di segala bidang dengan menggali sektor-sektor yang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012
BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciAbstrak
Peningkatan Produktivitas dan Finansial Petani Padi Sawah dengan Penerapan Komponen Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) (Studi Kasus di Desa Kandai I Kec. Dompu Kab. Dompu) Yuliana Susanti, Hiryana
Lebih terperinci6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN UNTUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G
SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;
Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk
Lebih terperinciSEBARAN DAN POTENSI PRODUSEN BENIH PADI UNGGUL MENDUKUNG PENYEDIAAN BENIH BERMUTU DI KALIMANTAN SELATAN
SEBARAN DAN POTENSI PRODUSEN BENIH PADI UNGGUL MENDUKUNG PENYEDIAAN BENIH BERMUTU DI KALIMANTAN SELATAN Fakhrina dan Agus Hasbianto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. P.
Lebih terperinciBIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI
SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan
Lebih terperinciBUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditas pangan yang paling dominan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimana padi merupakan bahan makanan yang mudah diubah menjadi
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN
PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SIAK,
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK
Lebih terperinciKajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian
Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian PENDAHULUAN 1. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di perdesaan, Departemen Pertanian memfokuskan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016
PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016 PUSAT PENYULUHAN PERTANIAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 PEDOMAN PELAKSANAAN
Lebih terperinciBUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 03 Tahun : 2016 PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SERANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Menurut Dillon (2009), pertanian adalah sektor yang dapat memulihkan dan mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Peran terbesar sektor pertanian adalah
Lebih terperinciWALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 11 TAHUN 2014 TENTANG
WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 11 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN
Lebih terperinciBab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG
BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinci