IDA SETYA WAHYU ATMAJA A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDA SETYA WAHYU ATMAJA A"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII LAMPUNG Oleh : IDA SETYA WAHYU ATMAJA A PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 RINGKASAN IDA SETYA WAHYU ATMAJA. Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung. (Dibawah bimbingan YAYAT HIDAYAT dan SUDARMO). Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air dan keterbatasan air sering menjadi faktor pembatas dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Teknik pengelolaan air pada areal perkebunan kelapa sawit penting dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan peresapan air ke dalam tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan cadangan air bawah tanah, sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau serta untuk memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh proses erosi tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penerapan teknik peresapan air (teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal) dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi pada areal pertanaman kelapa sawit. Penelitian dilakukan Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN VII, Natar, Lampung Selatan. Tindakan konservasi tanah dan air yang diterapkan adalah teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal (micro catchment I), tanpa perlakuan (micro catchment II) dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal (micro catchment III). Total curah hujan yang terjadi pada perlakuan teras gulud lebih besar dibanding kedua perlakuan lain. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan total overland flow dan total sedimen yang dihasilkan. Total overland flow yang terjadi pada teras gulud sebesar mm, pada perlakuan kontrol sebesar mm dan perlakuan rorak sebesar 7.30 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow dan erosi masing-masing sebesar % dan %, sedangkan rorak efektif menurunkan overland flow hingga %. Penurunan aliran permukaan yang sangat tinggi pada perlakuan rorak tidak hanya disebabkan karena keefektifan rorak dalam menghambat aliran permukaan tetapi juga disebabkan perbedaan karakteristik lahan. Tanah pada pelakuan rorak mempunyai solum yang lebih tebal dan topografi yang relatif datar.

3 SUMMARY IDA SETYA WAHYU ATMAJA. Surface Run-off and Soil Erosion Characteristic in Oil Palm Plantation with Bund Terraces and Silt Pits Treatment in Bussines Unit of Rejosari PTP Nusantara VII Lampung (Under Supervision of YAYAT HIDAYAT and SUDARMO). Oil palm is ones of a plant that require large amount of water. Water deficits often become inhibiting factor to develope oil palm plantation in dry land area. Water management in oil palm plantation area, needs to be practiced as good as possible to minimize waterloss of surface runoff in rainy season and to ensure sufficient availability of water during dry season and to reduce the impact of soil erosions. Objectives of this research was to investigate of application of bund terraces and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical mulches to reduce surface runoff and soil erosion in oil palm plantation area.the research was conducted in Oil Palm Plantation Afdeling III, Business Unit of Rejosari, PTPN VII South of Lampung. Soil and water conservation measures that applied were bund terraces accompanied with infiltration holes and vertical mulches (microcatchment I), without treatment (micro-catchment II), and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical mulches (micro-catchment III). Total rainfall occurring in bund terraces treatment was greatest than the others, but on the contrary for overland flow and sediment yields. Total overland flow occurring in bund terraces, control and silt pits treatment respectively were mm, mm and 7.30 mm. Bund terraces accompanied with infiltration holes and vertical mulches, could effectively reduced overland flow and soil erosion by % and % respectively, whereas silt pits treatment effectively reduced overland flow by %. Very high reduction in surface runoff in silt pits treatment was not only due to effectiveness of the silt pits in reducing surface runoff, but also caused by land characteristics differences especially on soil and slope steepness. Solum of the soil in silt pits treatment is deeper and the slope is relatively flat.

4 KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII LAMPUNG Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : IDA SETYA WAHYU ATMAJA A PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

5 Judul Penelitian : Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung Nama Mahasiswa : Ida Setya Wahyu Atmaja Nomor Pokok : A Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Ir. Yayat Hidayat, MSi Dr. Ir. Sudarmo, MSi NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 20 Agustus Penulis merupakan putri ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. H. Suyanto dan Hj. Enty Tuyimah. Pendidikan formal penulis dari SD sampai SMU diselesaikan di Jombang. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Jombatan IV Jombang dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP 2 Jombang. Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Darul Ulum 2 BPPT Jombang dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan Omda IKALUM (Ikatan Mahasiswa Darul Ulum) dan menjadi asisten Fisika Tanah pada tahun ajaran 2005/2006 dan 2006/2007.

7 KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohimi Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kemudahan dan atas izin-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW, atas segala perjuangan untuk mencapai sebuah kebenaran. Skripsi yang berjudul Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung merupakan bagian dari tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Direksi dan Staff Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan yang telah mendanai penelitian ini. 2. Manager dan Staff Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung beserta Sinder dan Staff Afdeling III. 3. Ir. Yayat Hidayat, MSi selaku Dosen Pembimbing I atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi. 4. Dr. Ir. Sudarmo, MSi selaku Dosen pembimbing II yang telah bersedia memberikan nasehat, kritik dan saran selama pelaksanaan penelitian.

8 5. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS yang telah memberikan dukungan dan semangat yang besar kepada penulis. 6. Staff dosen dan laboran di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah dan Air yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. 7. Papa dan Mama, Aa (Wahyu Adi Praja) dan adek (Muchtaromy Tri Yanto) yang senantiasa menemani penulis dengan doa dan semangat yang tak henti untuk sebuah kehidupan yang harus diperjuangkan. 8. (Drh) Jian Rinda Widya Pambudi yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan mengajarkan penulis tentang arti sebuah persahabatan, terima kasih atas kisah yang telah terbingkai indah 9. Hendra, Frans, Awal, Mala, Indri dan Weni. Semoga kita takkan pernah lupa dengan perjuangan yang pernah kita jalani bersama. 10. Mas Beki, Pedro, Pak Guslan, Pak Mirun dan Pak Hasan atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian. 11. Imaroh crew Bekti, Galuh, Ita dan Puji serta WJ-ers (Nadra, Lina, Ila) terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya. 12. Keluarga besar pondok Pesantren Darul Ulum IPB semoga kita tetap mampu menjaga segala amalan dan almamater yang telah diamanahkan. Alhamdulillahirrobil alamiina... Wassalamu alaikum wr.wb Bogor, Mei 2007 Penulis v

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Aliran Permukaan... 4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan... 5 Erosi Tanah... 7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Erosi... 8 Iklim... 8 Topografi... 9 Tanah... 9 Vegetasi Manusia Sedimen Teknik Konservasi Tanah dan Air Teras Gulud Rorak Mulsa Vertikal Kelapa Sawit ( Elaeis guinensis Jacq.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian... 20

10 Penentuan Lokasi penelitian Pengukuran Curah Hujan Pengukuran Debit Aliran Pengukuran Debit Sedimen KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administratif Keadaan Tanah Topografi Iklim HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva Lengkung Debit Aliran Kurva Lengkung Debit Sedimen Curah Hujan Hubungan Curah Hujan dan Overland flow Intensitas Hujan dan Debit Puncak Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Overland flow Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Erosi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Kedalaman Solum Tiap Tanah pada Setiap Microcacthment Data Curah Hujan Bulanan Periode Januari-Juni Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Masing-masing Perlakuan Hubungan Intensitas 30 Menit dan Debit Puncak pada Masing-masing Perlakuan Overland flow pada Masing-masing Perlakuan Hubungan Curah Hujan, Overland flow dan Erosi Lampiran 1. Suhu Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung ( ) Data Kelembapan Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung ( ) Data Tinggi Muka Air dan Debit Aliran Harian Data Pengukuran Sedimen Curah Hujan Harian di Lokasi Penelitian Analisis Sifat Fisik Tanah... 70

12 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Tata Letak Blok dan Peralatan pada Areal Penelitian Teras Gulud dan Rorak pada Lokasi Penelitian Weir dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang digunakan dalam Penelitian Kurva Lengkung Debit Aliran Kurva Lengkung Debit Sedimen Curah Hujan Harian (April 2006) Korelasi Antara Curah Hujan dan Overland flow pada Teras Gulud, Perlakuan Kontrol dan Rorak Intensitas Hujan dan Debit Puncak pada Berbagai Perlakuan Lampiran 1. Kurva Linier Tinggi Muka Air Peta Afdeling III... 72

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elais guinensis Jacq.) merupakan tanaman tahunan penghasil minyak nabati yang telah banyak dikembangkan di Indonesia. Areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini meningkat pesat setiap tahunnya, dan pada tahun 2004 areal perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai areal seluas 5,4 juta Ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006). Tanaman kelapa sawit umumnya dikembangkan di daerah dengan curah hujan tinggi yaitu antara mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi dkk, 2002) dan kebutuhan air tanaman ini umumnya diperoleh dari air hujan. Secara umum curah hujan di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit, akan tetapi pada beberapa wilayah distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan keterbatasan air menjadi masalah yang sering terjadi pada lahan kering termasuk kawasan pertanaman kelapa sawit. Musim kemarau yang panjang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan yang berakibat pada berkurangnya jumlah ketersediaan air yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit. Hal ini memicu terjadinya defisit air yang nyata pada areal pertanaman. Menurut Siregar (1998) defisit air yang mencapai 200 mm/tahun atau lebih pada areal pertanaman akan berpengaruh terhadap penurunan produksi kelapa sawit. Sebaliknya pada musim hujan adanya peningkatan air hujan yang jatuh menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan yang tidak proporsional selain menyebabkan terjadinya kehilangan air dengan cepat juga berpotensi menyebabkan terjadinya erosi. Khasanah dkk (2004) menjelaskan

14 2 bahwa semakin banyak air yang mengalir sebagai aliran permukaan, maka akan semakin berkurang jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah sehingga memperbesar resiko terjadinya kekeringan. Besarnya aliran permukaan yang terjadi selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses erosi yang mampu mengikis permukaan tanah sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah. Aliran permukaan dan erosi tersebut akan lebih mudah terjadi terutama pada wilayah dengan pengelolaan tanah yang tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air. Fenomena tersebut mendorong diperlukannya tindakan pengelolaan air sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman kelapa sawit. Teknik pengelolaan air tersebut ditujukan agar kelebihan air pada musim hujan dapat diresapkan secara maksimal dan disimpan dalam tanah sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau. Salah satu teknik peresapan air yang dapat diterapkan di areal pertanaman kelapa sawit adalah dengan pembuatan teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Adanya guludan diharapkan mampu menghambat aliran permukaan sedangkan saluran pada guludan berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan, sehingga memberikan kesempatan air untuk terinfiltrasi lebih banyak. Aliran permukaan yang masuk ke dalam saluran dan akhirnya meresap ke dalam tanah diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan air dalam tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan cadangan air tanah dan air bawah tanah. Selain itu adanya guludan dan saluran mampu memotong dan memperkecil panjang lereng sehingga dapat menahan dan menampung sedimen hasil erosi agar tidak hilang dari areal pertanaman (Khasanah dkk, 2004).

15 3 Pelepah dan daun kelapa sawit yang telah dipangkas dapat dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal. Mulsa vertikal yang diletakkan dalam saluran dapat meningkatkan efektivitas peresapan sehingga dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi. Menurut Suwardjo (1981) dalam Arsyad (2000) dari penelitiannya pada tanah Latosol di Citayam, Bogor dan tanah Podzolik di Lampung mendapatkan bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan aerasi tanah. Penerapan teknik peresapan air pada areal pertanaman kelapa sawit diharapkan mampu memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh aliran permukaan dan erosi. Hal ini penting dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan teknik peresapan air (teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal) dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi pada areal pertanaman kelapa sawit.

16 TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan Aliran permukaan didefinisikan sebagai bagian dari hujan yang alirannya menuju saluran-saluran sungai, danau, atau laut. Hillel (1971) menjelaskan bahwa aliran permukaan adalah bagian dari hujan yang tidak meresap ke dalam tanah dan tidak terakumulasi di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih rendah dan mengumpul dalam parit atau saluran. Aliran tersebut dapat mengalir pada permukaan tanah (overland flow) maupun melalui bawah permukaan tanah (inter flow). Aliran permukaan terjadi pada saat intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah. Schwab et al, (1981) menjelaskan bahwa aliran permukaan tidak akan terjadi sebelum proses hidrologis lainnya terpenuhi. Proses hidrologis tersebut meliputi proses infiltrasi, evaporasi, intersepsi, simpanan depresi, tambatan permukaan, dan saluran tambatan. Menurut Haridjaja dkk (1990) hujan yang jatuh di atas permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam tanah setelah ditahan oleh tajuk tanaman. Proses infiltrasi ini akan terjadi sampai kapasitas lapang terpenuhi. Apabila kapasitas lapang telah terpenuhi dan hujan masih berlangsung, maka kelebihan air hujan tersebut tetap terinfiltrasi menjadi air perkolasi dan sebagian lain akan mengisi cekungan atau simpanan depresi. Selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi maka kelebihan air akan menjadi genangan air atau tambatan permukaan dan sebelum menjadi aliran permukaan maka kelebihan air di atas akan menguap atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat kecil.

17 5 Faktor faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari rangkaian siklus hidrologi. Pada dasarnya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi jumlah dan laju alian permukaan, yaitu faktor iklim dan faktor fisiografi atau kondisi daerah aliran sungai (DAS). Secara terperinci Chow (1964) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan ke dalam dua faktor utama, yaitu (1) faktor iklim, yang meliputi presipitasi (intensitas, distribusi dan lama hujan), intersepsi (jenis, umur tanaman), evaporasi dan transpirasi, dan (2) faktor fisiografi, yang berhubungan dengan karakteristik DAS yang meliputi bentuk dan ukuran daerah aliran, kemiringan lereng, jenis tanah, dan sistem penggunaan lahan Hujan merupakan bagian dari faktor iklim yang berperan dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi. Beberapa karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan adalah tipe hujan, intensitas hujan, lama hujan, distibusi hujan, dan arah hujan (Haridjaja dkk, 1990). Pengaruh intensitas hujan mempunyai hubungan yang berbanding lurus terhadap jumlah dan laju aliran permukaan. Pada umumnya terjadi kecenderungan peningkatan jumlah aliran permukaan dengan meningkatnya intensitas hujan, tetapi hal ini juga tergantung dengan kapasitas infiltrasi tanah. Jika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi peningkatan jumlah aliran permukaan sejalan dengan peningkatan intensitas hujannya. Faktor lama hujan juga berpengaruh terhadap besarnya jumlah aliran permukaan (Sukartaatmadja, 1998). Semakin lama hujan turun, maka semakin besar aliran

18 6 permukaan yang terjadi, walaupun hal ini tergantung pada intensitas hujan dan besarnya jumlah hujan. Kecepatan aliran permukaan akan menjadi lebih besar terutama pada wilayah dengan kemiringan dan panjang lereng yang semakin besar dan tidak terputus. Sedangkan pengaruh dari faktor vegetasi terhadap aliran permukaan dapat dilihat dari kemampuannya dalam menghambat aliran permukaan dan mengurangi daya rusak air atau pukulan butir hujan yang langsung mengenai tanah. Keberadaan dari vegetasi yang tumbuh juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah, sehingga dapat menurunkan jumlah aliran permukaan. Dalam hubungannya dengan aliran permukaan tanah merupakan faktor yang menentukan besarnya kapasitas infiltrasi. Tanah pasir merupakan tanah yang mempunyai tekstur kasar dan mempunyai pori makro yang lebih besar dibandingkan tanah liat, sehingga mempunyai kemampuan infiltrasi tanah yang besar. Hal inilah yang menyebabkan mengapa tanah bertekstur pasir mempunyai kemampuan dalam menurunkan jumlah aliran permukaan. Selanjutnya Arsyad (2000) menyatakan bahwa sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuan dalam menimbulkan aliran permukaan adalah jumlah, laju, kecepatan dan gejolak aliran permukaan. Jumlah aliran permukaan merupakan jumlah air yang mengalir di permukaan untuk suatu periode hujan yang dapat dinyatakan dalam satuan tinggi air (mm) atau satuan volume air (m 3 ). Sedangkan laju aliran permukaan merupakan volume air yang mengalir pada suatu titik yang dapat dinyatakan dalam satuan m 3 detik -1 atau m 3 jam -1.

19 7 Erosi Tanah Erosi tanah didefinisikan sebagai proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian tanah di permukaan dari suatu tempat ke tempat yang lain (Arsyad, 2000). Secara alamiah permukaan bumi akan selalu mengalami proses erosi, dimana di suatu tempat terjadi proses pengikisan sedangkan di tempat yang lain terjadi penimbunan. Peristiwa alamiah ini dapat berlangsung sangat lambat dan tanpa adanya campur tangan manusia proses ini mampu membentuk suatu keseimbangan dinamis. Selanjutnya Arsyad (2000) menjelaskan bahwa proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub proses yang berbeda, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir butir primer oleh energi tumbuk butiran hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang dan penggangkutan butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2) penghancuran struktur tanah yang diikuti oleh pengangkutan butir- butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Erosi merupakan salah satu penyebab kerusakan tanah dan meningkatnya erosi tanah pada lahan kering umumnya disebabkan karena penggunaan lahan yang semakin intensif. Alibasyah (2000) mengemukakan bahwa besarnya erosi tanah di daerah tropika, termasuk Indonesia bukan hanya disebabkan oleh agroekosistemnya yang kondusif terhadap terjadinya erosi, tetapi juga karena pengelolaan tanah di daerah ini kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Erosi yang terjadi selanjutnya akan meninggalkan dampak negatif yang tidak hanya terjadi pada pada tanah dimana proses erosi terjadi tetapi juga pada

20 8 tempat akhir dimana tanah yang terangkut tersebut diendapkan (Arsyad, 2000 ). Pada areal dimana proses erosi terjadi hilangnya lapisan atas tanah yang tererosi menyebabkan terjadinya kehilangan unsur hara dan bahan organik sehingga dapat menurunkan kesuburan dan produktivitas suatu lahan. Sedangkan pada areal diluar lokasi terjadinya erosi, sedimentasi bahan bahan yang tererosi dapat mengakibatkan pendangkalan pada sungai dan saluran saluran air lainnya, sehingga dapat menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau ( Sinukaban dan Murtilaksono, 1991 ). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Erosi Asdak (2004) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses erosi merupakan gabungan dari beberapa faktor yang saling berinteraksi seperti faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor faktor tersebut dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan, yaitu : E = f ( i, r, v, t, m ) Dimana i adalah iklim, r adalah relief atau topografi, v adalah vegetasi, t adalah tanah, dan m adalah manusia. Iklim Faktor iklim yang dominan berpengaruh terhadap proses erosi adalah hujan yang mampu menyebabkan hancurnya agregat tanah. Karakteristik hujan yang menentukan besarnya kecepatan aliran permukaan dan erosi adalah besarnya curah hujan, intensitas hujan dan distibusi hujan (Baver, 1956). Bennet (1955) mengemukakan bahwa erosi yang terjadi tergantung dari sifat-sifat hujan antara lain yaitu intensitas hujan. Jumlah curah hujan rata-rata

21 9 yang tinggi dalam suatu periode kemungkinan tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitas hujannya rendah. Intensitas hujan yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 2000). Topografi Faktor topografi yang mempunyai peranan penting dalam menentukan laju erosi adalah kemiringan lereng dan panjang lereng. Faktor topografi lain yang juga berpengaruh terhadap erosi adalah keseragaman dan arah lereng (Arsyad, 2000). Kemiringan lereng mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan panjang lereng (Baver, 1959). Kemiringan lereng yang tinggi cenderung memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan sehingga memeperbesar kapasitas aliran air untuk memecah dan mengangkut bahan-bahan tanah (Sukartaatmadja, 1998). Pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang rendah atau daerah yang datar atau landai kecepatan aliran airnya akan lebih rendah dibanding pada tanah yang miring. Pengaruh panjang lereng terhadap erosi tergantung pada sifat tanah dan intensitas hujan. Umumnya erosi meningkat dengan bertambahnya panjang lereng untuk intensitas yang tinggi (Banuwa, 1994). Semakin panjang lereng cenderung menyebabkan akumulasi air permukaan sehingga kecepatan aliran permukaan menjadi lebih tinggi. Tanah Tanah merupakan produk alami yang mempunyai sifat yang heterogen. Perbedaan sifat tanah menyebabkan adanya perbedaan tingkat kepekaan erosi (erodibilitas) tanah yang terjadi. Sifat sifat tanah yang berpengaruh terhadap proses terjadinya erosi adalah (1) tekstur, (2) struktur, (3) bahan organik, (4)

22 10 kedalaman, (5) sifat lapisan bawah, dan (6) tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 2000). Tekstur merupakan perbandingan relatif butir butir primer pengikat tanah. Butir butir pengikat tanah tersebut terdiri dari pasir, debu dan liat. Pasir merupakan agregat tanah yang mudah pecah tetapi sulit ditransportasikan karena ukurannya yang relatif besar dan kuat. Tanah bertekstur pasir mempunyai kemampuan infiltrasi yang tinggi sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi. Sedangkan tanah yang bertekstur liat mampu menyebabkan aliran permukaan dan erosi karena percikan butir butir hujan yang jatuh mengakibatkan tertutupnya pori pori permukaan tanah oleh lapisan liat. Tanah yang berstruktur granular juga mampu menurunkan peluang terjadinya erosi karena sifatnya lebih terbuka dan lebih sarang sehingga mampu menyerap air lebih banyak. Adanya bahan organik yang berkaitan dengan aspek kesuburan tanah juga bepengaruh terhadap proses terjadinya erosi. Kartasapoetra (1998) dalam Dzakiroh (2005) mengemukakan bahwa bahan organik yang belum hancur yaitu berupa ranting, dan dan sebagainya yang menutupi permukaan tanah akan melindungi tanah dari kekuatan perusak butir hujan yang jatuh di permukaan tanah sehingga dapat menghambat aliran air di atas tanah. Bahan organik yang telah lapuk mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap air. Keberadaan bahan organik juga mampu memantapkan agregat tanah, sehingga dapat memperbesar daya tahan tanah terhadap pukulan butir hujan. Vegetasi Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan merupakan faktor yang dapat dikendalikan adalah faktor vegetasi. Vegetasi penutup tanaman

23 11 dapat memperlambat terjadinya proses erosi dan dapat menghambat pengangkutan partikel tanah (Arsyad, 2000). Perbedaan faktor vegetasi dalam mengendalikan erosi tergantung jenis tanaman, umur, perakaran, tajuk tanaman dan tinggi tanaman. Vegetasi dapat mempengaruhi terjadinya proses erosi karena dapat melindungi tanah dari kerusakan tanah yang disebabkan oleh percikan dan penghancuran tanah oleh butir butir hujan. Tanaman yang mempunyai akar serabut lebih efektif dalam mengendalikan proses terjadinya erosi, hal ini disebabkan karena benang benang halus pada akar serabut mampu mengikat butir butir tanah menjadi agregat tanah yang mantap. Fase pertumbuhan (umur) tanaman juga mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap proses pengendalian erosi. Pada awal pertumbuhan tanaman penutupan tajuk masih relatif terbuka, sehingga menyebabkan air hujan yang jatuh langsung menuju permukaan tanah. Hal ini dapat mempercepat terjadinya aliran permukaan karena kesempatan air untuk terinfiltrasi ke dalam tanah rendah. Tinggi tanaman juga berperan dalaam peningkatan efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi. Semakin rendah tajuk dan semakin rapat tajuk tanaman maka semakin kecil energi hujan yang sampai di permukaan tanah (Arsyad, 2000). Rahim (2003) menjelaskan bahwa vegetasi mampu mempengaruhi erosi karena adanya : (1) intersepsi hujan oleh tajuk dan absorpsi energi air hujan sehingga memperkecil erosivitasnya, (2) pengaruh terhadap limpasan permukaan, (3) peningkatan aktivitas biologi tanah, dan (4) peningkatan kecepatan kehilangan air melalui transpirasi.

24 12 Manusia Baharsyah (1994) dalam Alibasyah (2000) mengemukakan bahwa di Indonesia lahan-lahan yang rusak akibat proses erosi telah mencapai sekitar 38 juta ha. Meningkatnya erosi pada lahan kering disebabkan karena penggunaaannya yang semakin intensif. Hal ini berkaitan dengan tindakan manusia dalam proses pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah yang salah yaitu tanpa diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air dapat mempercepat proses degradasi lahan, termasuk terjadinya proses erosi. Proses erosi yang terjadi dapat menurunkan produktivitas lahan karena tanah tidak dapat melakukan fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air. Di lain pihak manusia juga dapat mencegah terjadinya erosi dengan tindakan pengelolaan sumber daya alam yang lebih memperhatikan keseimbangan antara proses pembentukan tanah dan laju erosi tanah. Sedimen Secara umum bahan tanah yang telah terangkut bersama aliran dan kemudian diendapkan disebut sebagai sedimen. Asdak (2004) mengemukakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik erosi parit, erosi permukaan maupun proses erosi lainnya. Sedimen yang terbawa bersama aliran pada umumnya merupakan produk akhir dari erosi. Sedimen yang dihasilkan dari proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran selanjutnya akan diendapkan pada suatu tempat apabila energi aliran permukaan yang mengangkut bahan tanah yang telah hancur mulai berkurang. Proses ini yang dikenal dengan proses sedimentasi. Proses sedimentasi sebagai rangkaian akhir dari proses erosi juga menyumbangkan dampak negatif pada tanah yang tererosi.

25 13 Hampir semua kerusakan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi adalah hasil dari erosi dipercepat terutama dari erosi permukaan dan erosi parit (Sukartaatmadja, 1998). Adanya transpor sedimen dari tempat yang lebih tinggi ke daerah hilir dapat menyebabkan pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi (Asdak, 2004). Sa ad (2004) mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi ditempat pengendapan adalah tertimbunnya lahan pertanian, pelumpuran dan pendangkalan waduk. Lebih lanjut Suripin (2002) mengemukakan bahwa sedimentasi mampu menimbulkan kerugian pada ekologi air sungai dan danau serta kualitas air bersih. Teknik Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah merupakan penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan tanah yang sesuai kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Usaha konservasi tanah tersebut ditujukan untuk dua hal, yaitu : (1) mencegah kerusakan tanah, dan (2) memperbaiki tanah agar dapat berproduksi optimal untuk waktu yang tidak terbatas. Konservasi air merupakan tindakan pemanfaatan air seefisien mungkin agar tetap tersedia di musim kemarau dan tidak terbuang di musim hujan. Pada dasarnya tindakan konservasi tanah merupakan bagian dari tindakan konservasi air. Metode konservasi tanah dan air dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik, dan (3) metode kimia. Kombinasi dari ke tiga metode tersebut dapat memberikan manfaat konservasi tanah dan air yang terbaik. Metode vegetatif terdiri dari : (1) penghutanan atau penghijauan,

26 14 (2) penanaman tanaman penutup tanah, (3) penanaman dalam strip, dan (4) penggunaan mulsa. Menurut Sitorus (2004) metode mekanik dalam konservasi tanah mempunyai dua fungsi, yaitu (1) memperlambat aliran permukaan, dan (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk dalam metode mekanik adalah : (1) pengolahan tanah menurut kontur, (2) pembuatan teras, (3) pembangunan saluran irigasi dan perbaikan drainase, dan (4) pembuatan waduk, dam penghambat. Sedangkan metode kimia adalah dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah. Bahan kimia tersebut secara umum disebut sebagai soil conditioner Beberapa jenis soil conditioner yang digunakan adalah Krilium dan Bitumen. Teras Gulud Teras Gulud merupakan tumpukan tanah yang dibuat memanjang mengikuti garis kontur atau memotong lereng dan di sebelah atas lereng guludan dibuat saluran yang mengikuti arah guludan. Teras Gulud dapat berfungsi dalam menghambat aliran permukaan sedangkan saluran berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan, sehingga air akan terinfiltrasi lebih lama. Erosi yang terjadi pada guludan bersaluran umumnya akan berkurang dengan bertambahnya waktu penerapan guludan bersaluran. Kelemahan dari penerapan guludan bersaluran ini adalah apabila aliran permukaan melimpah di atas guludan (overtopping) dapat merusak guludan (Lubis, 2004). Teras Gulud dapat dibuat pada tanah dengan kemiringan lereng sampai 12 persen (Arsyad, 2000). Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng,

27 15 kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Ayudyaningrum (2006) mendapatkan bahwa jarak antara teras gulud yang diperpendek dari 8 m menjadi 2 m mempunyai efektivitas dalam menekan aliran permukaan sebesar 73 % dan sebesar 95 % dalam menekan erosi jika dibandingkan dengan bedengan konvensional. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2004) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud dengan penambahan mulsa vertikal dan lubang resapan mampu menekan aliran permukaan hampir 100 %. Rorak Rorak merupakan lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan. Rorak dapat berfungsi untuk : (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah, (2) sebagai pengumpul tanah yang tererosi sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah. Noeralam dkk (2003) melaporkan bahwa air hujan yang tertampung pada rorak dapat menimbulkan aliran lateral (seepage) dan infiltrasi yang tertunda, sehingga ketersediaan air air dapat bertahan lama. Noeralam dkk (2003) juga melaporkan bahwa teknik pemanenan air berupa rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi masingmasing sebesar 6.45 cm tahun -1 dan 0.90 ton -1 ha -1 tahun dibandingkan tanah terbuka. Mulsa Vertikal Mulsa vertikal merupakan teknik penggunaan mulsa dengan cara memasukkan bagian dari sisa tanaman ke dalam rorak atau alur yang dibuat menurut kontur. Beberapa keuntungan penggunaan mulsa sebagai salah satu

28 16 teknik penerapan konservasi air diantaranya adalah : (1) memberi perlindungan terhadap permukaan tanah dari hantaman air hujan sehingga tidak merusak struktur tanah., (2) menghambat kecepatan dan volume aliran permukaan, (3) mengurangi terjadinya erosi, karena air hujan yang jatuh tidak langsung mengenai butir-butir tanah, (4) mengatur suhu dan temperatur tanah, (5) meningkatkan kandungan bahan organik, dan (6) mengendalikan tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa penggunaan mulsa dapat meningkatkan kestabilan agregat dan kimia tanah, serta mengurangi penguapan langsung dari permukaan tanah (evaporasi). Brata (1995) menjelaskan bahwa sebelum sisa tanaman yang digunakan sebagai mulsa melapuk, maka sisa tanaman tersebut dapat berfungsi untuk melindungi dinding resapan saluran dari penyumbatan oleh partikel-partikel halus yang terbawa oleh aliran permukaan dan dapat mencegah runtuhnya dinding saluran oleh pukulan butir hujan. Mulsa yang ditempatkan di dalam saluransaluran dapat berfungsi untuk menyimpan air dan memberikannya ke tanaman yang diusahakan. Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) merupakan tanaman tropis dari kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledon, ordo Palmales, dan famili Palmaceae. Tanaman ini dikenal sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang berasal dari benua Afrika. Di Indonesia tanaman ini tersebar di pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Lampung, dan Aceh), Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya.

29 17 Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah pada keinggian m di atas permukaan laut dengan curah hujan antara mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi dkk, 2002).Untuk dapat tumbuh baik tanaman kelapa sawit perlu penambahan air paling sedikit 150 mm/bulan (Umana dan Chinchilla, 1991 dalam Tim Faperta IPB-PPKS Medan, 2006). Hasil penelitian dengan lisimeter di Serawak, Malaysia menunjukkan kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit adalah 5-6 mm/hari tergantung pada umur tanaman dan cuaca. Keadaan topografi yang dianggap cukup baik untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah wilayah dengan topografi datar dan berombak sampai bergelombang dengan kemiringan ideal berkisar antara 0-25 %. Temperatur optimal yang mendukung pertumbuhan kelapa sawit adalah sebesar C dengan kelembapan optimum sebesar 80% (Harahap, 1999). Lama penyinaran matahari yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit rata-rata adalah 5-7 jam perhari. Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti tanah Latosol, Podzolik Merah Kuning, Aluvial dan lainnya. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, yang meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah. Mansjur (1980) mengemukakan bahwa tanaman kelapa sawit lebih menghendaki sifat fisik yang baik dibanding sifat kimia. Hal ini disebabkan karena kekurangan unsur tertentu dapat diatasi dengan pemupukan. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah tanah dengan ph netral, mempunyai lapisan tanah yang dalam, tidak banyak mengandung besi dan berdrainase baik (Yahya, 1990). Solum yang tebal

30 18 merupakan media yang baik bagi perkembangan akar tanaman sehinga mampu meningkatkan efisiensi penyerapan hara tanaman. Kondisi iklim juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Unsur iklim yang cukup berpengaruh adalah curah hujan, suhu, kelembapan udara dan angin. Menurut Robertson dan Fong (1977) serta Ong (1982) dalam Siregar (1998) diantara unsur iklim ternyata curah hujan merupakan penyebab utama adanya fluktuasi produksi kelapa sawit. Caliman dan Southwort (1998) dalam Wijana (2001) mengemukakan bahwa suplai air yang cukup merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi produksi kelapa sawit. Mansjur (1980) menjelaskan bahwa curah hujan yang merata sangat dikehendaki oleh tanaman kelapa sawit, sehingga keseimbangan air dalam tanah tetap terjaga dalam batas-batas tertentu. Penguapan yang terjadi pada permukaan tanah dan tajuk dapat diimbangi dan dikurangi efek negatifnya dengan besarnya curah hujan tersebut.

31 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN VII, Natar, Lampung Selatan. Daerah penelitian meliputi areal seluas ± 36.8 Ha, yang terbagi ke dalam 3 blok terpisah yaitu blok 1 (Blok 375) dengan luas 11.8 Ha, blok 2 (Blok 415) dengan luas 14.6 ha, dan blok 3 (Blok 414) dengan luas 6.3 ha. Tata letak blok-blok dan peralatan pada areal penelitian disajikan pada Gambar 1. Batas micro cacthment belum tergambar secara utuh akan tetapi dalam setiap perhitungan komponen hidrologi luas micro cacthment yang utuh sudah dipertimbangkan. Penelitian lapang dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2006, dilanjutkan dengan analisa konsentrasi sedimen yang dilakukan di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Gambar 1. Tata Letak Blok dan Peralatan pada Areal Penelitian

32 20 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan sebagai informasi dalam penelitian ini adalah : (1), material untuk pembangunan weir (2), kertas pias pencatat pulsa AWLR dan (3) suspensi sedimen. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat penakar hujan (ombrometer), current meter, sekat ukur, stopwatch, meteran, botol 600 ml, kertas saring, oven, cawan, timbangan, gelas ukur, alat tulis, komputer dengan program Excell Metode Penelitian Penentuan Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada pada tiga daerah tangkapan mikro (micro catchment) yang identik yang terletak di Blok 375, 414 dan 415. Perlakuan yang diuji adalah teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal pada micro catchment I (Blok 375), perlakuan kontrol, yaitu tanpa perlakuan teknik peresapan air pada micro catchment II (Blok 415), dan perlakuan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal pada micro catchment III (Blok 414). Teras gulud dibuat mengikuti garis kontur dengan ukuran tinggi, lebar dan kedalaman saluran masing masing ± 30 cm dan vertikal interval 80 cm. Lubang resapan dibuat di tengah-tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang 10 cm, dan kedalaman 50 cm. Sisa tanaman berupa daun dan pelepah sawit serta serasah semak dimasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran dalam teras gulud.

33 21 Rorak dibuat mengikuti garis kontur diantara tanaman kelapa sawit dengan ukuran panjang, lebar, dan kedalaman masing masing 300 cm, 50 cm dan 50 cm. Lubang resapan juga dibuat pada setiap rorak berjarak 2 m antar lubang. Di dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa tanaman berupa daun dan pelepah sawit serta serasah semak sebagai mulsa vertikal. Teras gulud dan rorak yang diterapkan pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. (a) (b) Gambar 2. Teras Gulud (a) dan Rorak (b) pada Lokasi Penelitian

34 22 Sifat sifat dan dinamika air diamati melalui stasiun pengamat yang dipasang pada setiap micro catchment. Sifat sifat dan dinamika air tersebut meliputi curah hujan, aliran permukaan, dan aliran sedimen. Pengukuran Curah Hujan Data curah hujan diperoleh dari pengukuran alat penakar hujan (ombrometer) yang dipasang pada setiap micro catchment. Penakar hujan otomatis diletakkan di dekat blok 375 (micro catchment I), sedangkan penakar hujan tipe observatorium dipasang pada blok 414 dan 415. Alat penakar hujan (ombrometer) diletakkan pada tempat yang terbuka, dimana dalam radius ± 10 m di sekitar alat merupakan areal yang kosong agar hujan yang jatuh tidak terhalang oleh tajuk tanaman. Volume air yang tertampung diukur dengan menggunakan gelas ukur. Selanjutnya volume air dalam satuan cm 3 dikonversi ke dalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan cara membagi dengan luas penampang masing masing alat penakar. Pengukuran Debit Aliran Weir yang dilengkapi dengan AWLR (Authomatic Water Level Recorder) untuk mengukur ketinggian muka air secara otomatis dan papan duga vertikal (fiskal) untuk mengukur ketinggian air secara manual dipasang pada setiap outlet micro catchment. Weir yang dilengkapi dengan AWLR yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 3.

35 23 (a) Gambar 3. Weir (a) dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) (b) yang digunakan dalam Penelitian. Data yang tercatat pada pias AWLR selanjutnya dikorelasikan dengan nilai tinggi muka air dari hasil pengukuran fiskal, dimana data hasil pencatatan AWLR sebagai absis (x) dan tinggi muka air (TMA) pada fiskal sebagai ordinat (y). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui fluktuasi ketinggian muka air yang terjadi pada areal micro catchment. Pengukuran TMA dilanjutkan dengan pengukuran laju aliran permukaan Kecepatan aliran diukur menggunakan alat ukur arus (current meter) yang berupa baling-baling yang akan berputar bila dilalui air. Pengukuran yang dilakukan yaitu penghitungan bunyi yang dihasilkan oleh current meter, dimana alat ini akan berbunyi setiap 10 kali putaran. Penampang basah dimensi weir diukur menggunakan meteran. Besarnya kecepatan aliran sungai dan penampang basah dimensi weir selanjutnya (b) digunakan sebagai dasar perhitungan debit aliran permukaan, dengan menggunakan persamaan (Arsyad, 2000) :

36 24 Q = V x A Dimana, Q adalah debit aliran (m 3 /detik), V adalah kecepatan aliran sungai (m/detik), dan A adalah luas penampang (m 2 ). Kecepatan aliran dihitung dengan persamaan : V = (0.120 x n) Dimana, V adalah besarnya kecepatan aliran (m/detik) dan n adalah jumlah putaran current meter per detik Kurva lengkung debit aliran (discharge ratting curve) didapat dengan mengkorelasikan nilai tinggi muka air (m) dengan debit aliran hasil pengukuran (L/detik) pada titik outlet, dengan menggunakan persamaan dari kurva lengkung tersebut dapat diketahui hidrograf pada setiap titik pengamatan. Volume aliran dalam waktu 10 menit diperoleh dengan cara mengkalikan debit aliran dengan waktu. Secara empiris dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : Debit aliran (m 3 /detik) x 10 menit x 60 detik Pengukuran Debit Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan bersamaan dengan pengukuran kecepatan aliran permukaan dengan menggunakan botol 600 ml. Metode yang digunakan dalam penentuan kadar sedimen adalah metode penyaringan. Sebelum dilakukan penyaringan kertas filter yang digunakan dioven terlebih dahulu pada suhu 60 0 C selama 24 jam dan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui berat kering mutlaknya. Sebelum dilakukan penyaringan sedimen dalam botol dikocok terlebih dahulu, tujuannya adalah agar suspensi sedimen dalam botol tercampur homogen.

37 (peta k 415) 25 Selanjutnya sampel sedimen disaring menggunakan kertas filter. Kertas filter yang berisi sedimen selanjutnya dioven pada suhu 60 0 C selama 24 jam. Kadar sedimen ditentukan dengan menggunakan persamaan : Cs = G / V Dimana Cs adalah besarnya kandungan sedimen (gr/l), G adalah bobot sedimen (gr), dan V adalah volume air (L). Debit sedimen diperoleh dari hasil perkalian antara kandungan sedimen dalam suatu aliran dengan debit aliran. Secara empiris debit sedimen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Qs = Cs x Q Dimana, Qs adalah debit sedimen (gr/detik), Cs adalah kandungan sedimen (gr/m 3 ), dan Q adalah debit aliran (m 3 /detik). Kurva lengkung sedimen didapat dengan mengkorelasikan data debit aliran (L/detik) dengan data debit sedimen (gr/detik), dimana data debit aliran sebagai absis (x) dan data debit sedimen sebagai ordinat (y). Dari persamaan kurva lengkung sedimen dapat dihitung debit sedimen pada nilai debit aliran yang berbeda. Volume sedimen dalam interval waktu 10 menit dapat dihitung dengan cara mengalikan debit sedimen dengan waktu. Secara empiris dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : Debit sedimen (gr/detik) x 10 menit x 60 detik

38 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administratif Secara geografi daerah penelitian terletak pada 105º BT - 105º BT dan 5º LS - 5º LS. Sedangkan secara administrasi daerah ini termasuk dalam wilayah Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Jarak Unit Usaha Rejosari dari Ibukota Propinsi 12 km, dari kota Kabupaten Lampung Selatan 70 km, dari Pelabuhan Panjang 12 km, dan dari kantor Direksi 12 km (PTP Nusantara VII, 2005). Keadaan Tanah Macam tanah pada lokasi penelitian tergolong Podzolik Merah Kuning, sedangkan berdasarkan klasifikasi Soil Taxsonomy pada tingkat sub-group termasuk Typic Kanhapludult dan Fluventic Dystropept. Tanah bertekstur liat sampai liat berpasir, dengan solum tanah cukup dalam-dalam (Tabel 1). Tabel 1. Kedalaman Solum Tiap Tanah pada Setiap Micro Catchment Luas (ha) Total Micro cacthment < 70 cm 0,7-1 m > 1 m (ha) Micro cacthment I Micro cacthment II Micro cacthment III Typic Kanhapludult termasuk ke dalam order Ultisol (Soil Survey Staff, 1992). Ultisol merupakan tanah lembab yang terbentuk di bawah iklim panas sampai tropik (Soepardi, 1983). Selanjutnya Hardjowigeno (2003) menjelaskan bahwa tanah ultisol mempunyai karakteristik berupa penimbunan liat di horizon bawah (horizon argilik), bersifat masam, dengan kejenuhan basa kurang dari 35 %.

39 27 Fluventic Dystropept termasuk dalam order Inceptisol (Soil Survey Staff, 1992). Ciri tanah ini adalah kandungan karbon organik yang berkurang dengan meningkatnya kedalaman solum tanah. Jenis tanah ini juga mempunyai penyebaran yang luas di Indonesia yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Penggunan lahan tanah Inceptisol umumnya diunakan untuk lahan pertanian khususnya perkebunan. Menurut Hardjowigeno (2003) tanah Inceptisol belum mengalami perkembangan lanjut sehingga sebagian besar tanah ini cukup subur. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, lokasi penelitian mempunyai kadar air kapasitas lapang sebesar 26 hingga 36 % dengan rataan kadar air titik layu permanen sebesar 18 sampai 26 %. Topografi Daerah penelitian berada pada ketinggian antara 75 sampai 200 meter di atas permukaan laut. Kondisi topografi daerah penelitian adalah datar hingga berombak dengan kemiringan lereng sebesar 3-8 %. Kedalaman solum daerah penelitian bervariasi antara 1 sampai 3 meter. Daerah penelitian mempunyai wilayah pelembahan yang bervariasi dimana daerah pelembahan pada blok 2 lebih luas (3.8 Ha) dibandingkan blok 1 (1.4 Ha), sedangkan blok 3 mempunyai daerah pelembahan yang paling sempit. Daerah lembah memiliki sistem drainase yang buruk dengan kedalaman solum yang dangkal dan struktur tanah yang kurang baik karena terdapat akumulasi liat sehingga tekstur tanah menjadi relatif lebih berat sehingga terjadi penggenangan, selain itu juga ditemukan lapisan kedap berupa batu pasir.

40 28 Iklim Curah hujan di daerah penelitian berkisar antara mm/tahun dengan jumlah hari hujan sebesar hari/tahun. Water deficit yang terjadi di daerah penelitian mencapai mm/tahun (PTPN VII, 2005). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung ( ) menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara maksimum bulanan di daerah penelitian berkisar antara ºC, sedangkan rata-rata suhu udara minimum bulanan berkisar antara ºC, kelembaban udara rata-rata berkisar antara % (Tabel Lampiran 1).

41 HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva Lengkung Debit Aliran Nilai pulsa AWLR, data tinggi muka air, dan debit aliran untuk masingmasing weir disajikan pada Tabel Lampiran 2. Pembacaan pulsa yang tercatat pada pias AWLR dan tinggi muka air hasil pengukuran lapang digunakan untuk menentukan kurva linier tinggi muka air (Gambar Lampiran 1). Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa nilai pulsa AWLR dan tinggi muka air mempunyai hubungan linier, dimana kenaikan pulsa AWLR akan diikuti dengan kenaikan tinggi muka air. Berdasarkan persamaan yang dihasilkan dari kurva linier tinggi muka air maka dapat diprediksi tinggi muka air secara kontinu pada masingmasing weir. Secara umum karakteristik hubungan antara nilai pulsa AWLR dan tinggi muka air sama dengan karakteristik hubungan antara tinggi muka air dan debit aliran. Hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan tinggi muka air di lapang akan diikuti oleh peningkatan debit aliran yang terjadi. Nilai tinggi muka air dan debit aliran pengukuran lapang selanjutnya digunakan untuk menentukan kurva lengkung debit aliran pada masing-masing weir (Gambar 4). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diprediksi debit aliran yang terjadi pada berbagai tinggi muka air. Debit aliran pada AWLR 4 diprediksi dengan menggunakan karakteristik hubungan debit AWLR 3 dan AWLR 4 pada berbagai tinggi muka aliran. Hal tersebut dilakukan karena alat pencatat AWLR 4 tidak berfungsi dengan baik.

42 30 Persamaan yang dihasilkan dari kurva lengkung debit aliran yang digunakan dapat disajikan dalam persamaan berikut : Q = a TMA b dimana, Q adalah debit aliran (L/detik), a dan b adalah bilangan konstanta yang dalah tinggi muka air (cm). a b Debit (L/detik) y = 0,0041x 3,2095 R 2 = 0,99 Debit (L/detik) y = 0,003x 2,9802 R 2 = 0, TMA (cm) TMA (cm) Debit (l/detik) c y = 0,0062x 2,9719 R 2 = 0, Debit Aliran AWLR 4 (L/detik) d y = 0,4149x + 2,0051 R 2 = 0, TMA (cm) Debit Aliran AWLR 3 (L/detik) e 30 Debit (L/detik) y = 0,002x 3,2485 R 2 = 0, TMA (cm) Gambar 4. Kurva Lengkung Debit Aliran AWLR 1 (a), AWLR 2 (b), AWLR 3 (c), AWLR 4 (d), dan AWLR 5 (e).

43 31 Kurva Lengkung Debit Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan bersamaan dengan pengukuran debit aliran pada beberapa ketinggian muka air. Selanjutnya contoh sedimen tersebut ditentukan kandungan sedimen dan nilai debit sedimennya (Tabel Lampiran 3). Korelasi antara debit aliran dan debit sedimen (kurva lengkung debit sedimen) disajikan pada Gambar 5. Selanjutnya persamaan yang diperoleh dari kurva lengkung debit sedimen digunakan untuk memprediksi jumlah sedimen yang dihasilkan pada setiap microcactment. a b Debit sedimen(gr/detik) y = 0,0057x 1,7734 R 2 = 0,83 Debit sedimen (gr/detik) y = 0,002x 2,0453 R 2 = 0, Debit aliran (L/detik) Debit aliran (L/detik) c d 450 2,5 Debit sedimen (gr/detik) y = 0,0122x 1,6291 R 2 = 0,97 Debit sedimen (gr/detik) 2,0 1,5 1,0 0,5 y = 0,0249x 1,2583 R 2 = 0, Debit aliran (L/detik) 0, Debit aliran (L/detik) Gambar 5. Kurva Lengkung Debit Sedimen AWLR 1 (a), AWLR 2 (b), AWLR 3 (c), AWLR 4 (d).

44 32 Secara umum persamaan yang dihasilkan dari kurva lengkung debit sedimen disajikan sebagai berikut : Qs = a Q b Dimana Qs adalah debit sedimen (gr/l), a dan b adalah bilangan konstanta yang nilainya berbeda antar AWLR, dan Q adalah debit aliran (L/detik). Curah Hujan Hasil pengamatan lapang menunjukkan adanya 88 hari hujan yang teramati pada periode Januari sampai Juni 2006 pada masing-masing micro cacthment. Data pengukuran hujan harian disajikan pada Tabel Lampiran 4 sedangkan data curah hujan bulanan pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Data Curah Hujan Bulanan Periode Januari Juni 2006 Bulan Curah Hujan (mm) Teras Gulud Kontrol Rorak Hari Hujan Januari * 16 Februari Maret April Mei Juni Jumlah Catatan : * alat tidak berfungsi dengan baik Tabel 2 menunjukkan adanya pola penurunan curah hujan pada masingmasing perlakuan pada periode musim kemarau, yaitu pada bulan Mei dan Juni. Curah hujan terbesar selama periode penelitian terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar mm pada perlakuan teras gulud dan mm pada perlakuan kontrol, akan tetapi perlakuan rorak mempunyai curah hujan yang lebih kecil dibanding kedua perlakuan lain yaitu sebesar mm. Hal ini disebabkan

45 33 adanya kerusakan alat penakar hujan sehingga hujan yang jatuh pada perlakuan rorak tidak dapat terukur dengan baik. Curah hujan terkecil untuk masing-masing perlakuan terjadi pada periode yang sama yaitu pada bulan Juni, dimana curah hujan terkecil pada teras gulud sebesar mm, perlakuan kontrol sebesar mm dan perlakuan rorak sebesar mm. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa selama periode Januari Juni 2006 perlakuan teras gulud mempunyai total curah hujan terbesar dibandingkan kedua perlakuan yang lain, yaitu sebesar mm, diikuti perlakuan kontrol sebesar mm dan rorak mempunyai jumlah curah hujan terkecil yaitu sebesar mm. Teras Gulud Kontrol Rorak Curah Hujan (mm) /04/06 03/04/06 05/04/06 07/04/06 09/04/06 11/04/06 13/04/06 15/04/06 17/04/06 Tanggal 19/04/06 21/04/06 23/04/06 25/04/06 27/04/06 29/04/06 Gambar 6. Curah Hujan Harian (April 2006) Gambar 6 menunjukkan distribusi hujan harian yang terjadi pada bulan April. Hujan yang terjadi selama bulan April terdistibusi secara merata pada ketiga perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa hujan yang terjadi pada salah satu perlakuan, juga terjadi pada kedua perlakuan yang lain. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada bulan April tetapi juga terjadi pada seluruh periode hujan selama penelitian (Januari - Juni 2006).

46 34 Hubungan Curah Hujan dan Overland flow Curah hujan merupakan penyebab terjadinya overland flow. Apabila hujan yang jatuh pada suatu areal telah melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka kelebihan air hujan tersebut akan berubah menjadi aliran air yang mengalir di permukaan (overland flow). Jumlah overland flow hasil pengukuran lapang dari 25 kejadian hujan terpilih pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Masing-masing Perlakuan Tanggal Teras Gulud Kontrol Rorak koef. koef. koef. CH OLF limpasan CH OLF limpasan CH OLF limpasan (mm) (mm) (%) (mm) (mm) (%) (mm) (mm) (%) 21/02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /06/ /06/ Jumlah Keterangan : CH : Curah Hujan OLF : Overland flow

47 35 Berdasarkan Tabel 3, curah hujan yang terjadi pada perlakuan terasa gulud berkisar antara mm sampai mm dan overland flow yang terjadi berkisar antara mm mm. Pada perlakuan teras gulud jumlah curah hujan tertinggi sebesar mm yang terjadi pada tanggal 25 Februari 2006 dan menghasilkan overland flow sebesar mm dengan nilai koefisien limpasan sebesar %. Pada musim hujan jumlah curah hujan terendah pada perlakuan teras gulud yang mampu menghasilkan overland flow adalah sebesar mm dengan jumlah overland flow sebesar 0.05 mm. Sedangkan pada periode musim kemarau jumlah curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar mm dengan jumlah aliran permukaan sebesar 0.08 mm. Karakter yang sama juga terlihat pada perlakuan kontrol dan rorak. Curah hujan tertingi yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol adalah sebesar mm dan menghasilkan aliran permukaan sebesar mm, sedangkan pada rorak curah hujan tertinggi (88.60 mm) menghasilkan aliran permukaan sebesar 2.45 mm. Memasuki periode musim kemarau terdapat perbedaan besarnya jumlah curah hujan yang mampu menimbulkan overland flow pada perlakuan kontrol dan rorak, walaupun besarnya overland flow yang dihasilkan sama yaitu 0.03 mm. Pada perlakuan kontrol curah hujan terendah yang mampu menimbulkan overland flow adalah sebesar mm yang terjadi pada tanggal 6 Juni 2006, sedangkan curah hujan terendah pada rorak hanya sebesar mm yang terjadi pada tanggal 14 Juni Hal ini disebabkan karena pada perlakuan kontrol aliran air telah terhenti sejak tanggal 9 Mei 2006, sehingga tanah memiliki kadar air yang

48 36 relatif lebih rendah. Rendahnya kadar air tanah awal tersebut menyebabkan curah hujan yang jatuh lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah untuk memenuhi kapasitas lapang dan hanya sebagian kecil dari curah hujan yang menjadi overland flow. Korelasi antara curah hujan dan overland flow yang terjadi pada masingmasing perlakuan disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 7 diperoleh bahwa aliran permukaan (overland flow) yang dihasilkan bervariasi sejalan dengan variasi curah hujan yang jatuh, dimana aliran permukaan yang dihasilkan akan meningkat dengan meningkatnya curah hujan. a b Overland flow (mm) y = 0,3149x - 6,3746 R 2 = 0,8577 Overland flow (mm) y = 0,6103x - 11,054 R 2 = 0, Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) c 3,0 Overland flow (mm) 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 y = 0,0316x - 0,473 R 2 = 0,90 0, Curah Hujan (mm) Gambar 7. Korelasi Antara Curah Hujan dan Overland flow pada Teras Gulud (a), Perlakuan Kontrol (b) dan Rorak (c). Gambar 7 juga menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan mempunyai pola hubungan curah hujan dan overland flow yang sama, dimana dari persamaan

49 37 yang dihasilkan tidak mampu mewakili besarnya curah hujan di bawah 20 mm. Hal ini berarti bahwa curah hujan di bawah 20 mm tidak terdapat kecenderungan peningkatan curah hujan yang diikuti oleh peningkatan overland flow. Walaupun pada umumnya terjadi peningkatan curah hujan yang diikuti oleh peningkatan aliran permukaan langsung (overland flow), akan tetapi terdapat beberapa faktor lain yang juga berpengaruh sehingga besarnya curah hujan tidak bisa dijadikan sebagai parameter utama dalam menentukan besarnya overland flow. Faktor lama hujan dan keadaan air tanah awal juga berpengaruh terhadap besarnya overland flow yang dihasilkan. Apabila keadaan air tanah awal rendah, maka curah hujan yang turun akan lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah sampai kapasitas lapang terpenuhi, sehingga jumlah air yang keluar sebagai aliran permukaan langsung (overland flow) menjadi lebih kecil. Hal ini dapat terjadi pada kejadian hujan dengan jumlah curah hujan rendah, dimana curah hujan yang jatuh kurang dari kapasitas infiltrasi tanah. Sebaliknya apabila curah hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka tanah akan lebih cepat mencapai keadaan jenuh. Hal ini mengakibatkan hanya sebagian kecil dari hujan yang jatuh yang akan terinfiltrasi ke dalam tanah dan selebihnya akan mengisi cekungan-cekungan di permukaan dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah overland flow. Intensitas Hujan dan Debit Puncak Hubungan antara intensitas maksimum 30 menit dan debit puncak pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 4. Peningkatan debit puncak aliran umumnya sejalan dengan peningkatan intensitas hujan, namun pada beberapa kejadian hujan faktor lama hujan juga berpengaruh terhadap debit puncak yang

50 38 terjadi. Gambaran hubungan antara intensitas hujan dan debit puncak disajikan pada Gambar 8. Tabel 4. Hubungan Intensitas 30 Menit dan Debit Puncak pada Masing-masing Perlakuan Tanggal I 30 (mm/jam) Teras Gulud Kontrol Rorak Debit Curah Debit Curah Puncak Hujan Puncak Hujan Curah Hujan Debit Puncak (mm) (L/dtk) (mm) (L/dtk) (mm) (L/dtk) 21/02/ /02/ /02/ , /02/ / 03/ /03/ /03/ /03/ /03/ / 03/ /03/2006 7, /04/ /04/ , /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /06/ /06/ Teras Gulud Kontrol Rorak Debit Puncak (L/Detik) ,86 17,42 22,19 28,79 32,28 37,05 55,54 60,04 101,7 Intensitas Hujan (mm/jam) Gambar 8. Intensitas Hujan dan Debit Puncak pada Berbagai Perlakuan

51 39 Tabel 4 menunjukkan bahwa tanggal 22 April 2006 mempunyai nilai I 30 tertinggi dan menghasilkan debit puncak terbesar diantara kejadian hujan lain. Pada kejadian hujan tersebut I 30 yang terjadi adalah sebesar mm/jam dan menghasilkan debit puncak sebesar L/detik (teras gulud), L/detik (kontrol) dan L/detik (rorak). Curah hujan terendah pada perlakuan teras gulud yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar mm dan debit puncak yang dihasilkan sebesar 4.85 mm. Pada periode musim kemarau curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar mm, yang berarti bahwa curah hujan dibawah mm tidak menghasilkan overland flow. Untuk kejadian hujan pada tanggal 11 Maret 2006, 26 Mei 2006 dan 28 Mei 2006 pada perlakuan teras gulud tidak terdapat debit puncak karena pada kejadian hujan tersebut terjadi kesalahan pengukuran. Hal ini disebabkan pada saat pengukuran laju aliran permukaan current meter tersumbat oleh serasah yang terbawa bersama aliran air, sehingga current meter berputar lebih lambat. Pada musim hujan curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol dan rorak masing-masing sebesar mm, dan mm. Pada periode musim kemarau curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol adalah sebesar mm lebih rendah dibanding perlakuan rorak (16.67 mm) dengan debit puncak yang dihasilkan masing-masing sebesar 0.76 mm dan 0.82 mm. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Overland flow Perbedaan tindakan konservasi tanah dan air yang diterapkan pada masingmasing perlakuan menghasilkan perbedaan jumlah overland flow yang dihasilkan.

52 40 Besarnya overland flow yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan perlakuan teknik konservasi disajikan pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal mampu mengurangi overland flow yang terjadi. Teknik konservasi berupa teras gulud yang dibuat searah kontur mampu memperpendek panjang lereng sehingga dapat menghambat aliran air yang mengalir di permukaan dan memberikan kesempatan air untuk meresap lebih banyak. Kemampuan teras gulud dalam menekan besarnya aliran permukaan menjadi lebih efektif dengan adanya lubang resapan dan mulsa vertikal. Saluran dan lubang resapan berfungsi untuk memperbesar permukaan resapan sehingga mampu menampung serta meresapkan lebih banyak air ke dalam tanah. Mulsa vertikal juga berfungsi untuk menurunkan jumlah aliran permukaan. Sebelum sisa tanaman yang digunakan sebagai mulsa melapuk maka sisa tanaman tersebut berfungsi untuk melindungi dinding resapan saluran dari penyumbatan partikel-partikel halus yang terangkut oleh aliran permukaan (Brata, 1995). Adanya teras gulud yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow sebesar %. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2004) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud dengan interval 1 m dan penambahan mulsa vertikal serta lubang resapan mampu menekan aliran permukaan hampir 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa teras gulud sangat efektif dalam menekan aliran permukaan.

53 41 Tabel 5. Overland flow pada Masing-masing Perlakuan CH Overland flow Rata-rata Teras Gulud Rorak Tanggal Kontrol (mm) Aktual Beda Kontrol Aktual Beda Kontrol (mm) (mm) (%) (mm) (%) 21/02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /06/ /06/ Rata-rata Overland flow terendah terjadi pada perlakuan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Rorak yang dibuat searah kontur dapat menampung curah hujan yang jatuh dan mengalir di permukaan lahan, sehingga hanya sebagian kecil air yang mengalir dan sampai ke outlet. Adanya rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow sebesar %. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Noeralam dkk (2003) menunjukkan bahwa perlakuan rorak dengan penambahan mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan sebesar 6.45 cm/tahun dibandingkan tanah terbuka, yaitu sebesar cm/tahun.

54 42 Tabel 5 menujukkan tingkat efektivitas rorak dalam menekan aliran permukaan yang lebih tinggi dibanding teras gulud. Akan tetapi hal ini tidak bisa dijadikan gambaran bahwa rorak lebih efektif dalam menekan aliran permukaan dibanding teras gulud. Hal ini disebabkan karena bentuk rorak terputus-putus sehingga masih memungkinkan air mengalir keluar dari lahan menuju outlet melalui sela-sela diantara rorak. Hal ini berbeda dengan bangunan teras gulud yang dibuat tidak terputus, sehingga air yang mengalir di permukaan tidak segera keluar dari lahan melainkan terhambat oleh adanya guludan sehingga memberikan kesempatan air untuk meresap lebih banyak. Rendahnya jumlah aliran permukaan yang dihasilkan perlakuan rorak tidak hanya disebabkan karena keefektifan rorak dalam menghambat aliran permukaan, tetapi juga disebabkan oleh perbedaan faktor fisik lahan. Tanah pada perlakuan rorak mempunyai kedalaman solum yang lebih tebal (2-3 meter) dibanding kedua perlakuan lain. Penyebab lain adalah topografi pada perlakuan rorak yang relatif datar (0-3%) dan tidak ada saluran air yang nyata kecuali pada ujung pembuangannya (outlet). Perlakuan kontrol menghasilkan overland flow yang lebih besar dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Tingginya aliran permukaan tersebut disebabkan karena tidak adanya perlakuan teknik peresapan air yang diterapkan pada perlakuan kontrol. Hal ini menyebabkan aliran air yang mengalir di permukaan lebih cepat mencapai titik pembuangan (outlet) karena tidak ada hambatan yang mampu menghambat dan menampung aliran air tersebut. Jumlah overland flow pada perlakuan kontrol menjadi bertambah besar disebabkan oleh kedalaman solum yang dangkal (kurang dari 1 meter).

55 43 Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Erosi Curah hujan merupakan faktor penyebab terjadinya aliran permukaan dan erosi. Hasil pengukuran curah hujan dan overland flow serta sedimen tererosi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 6. Tanggal Tabel 6. Hubungan Curah Hujan, Overland flow dan Erosi CH rata-rata (mm) Overland flow (mm) Kontrol Sedimen Teras Gulud Overland flow Sedimen Aktual Beda Aktual Beda Kontrol Kontrol (mm) (%) (kg/ha) (%) (kg/ha) 21/02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /06/ /06/ Rata rata Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya teknik konservasi berupa teras gulud yang dikombinasikan dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan aliran permukaan dan sedimen tererosi sebesar %. Teras gulud menyebabkan tanah yang terbawa bersama aliran air akan terhenti dan diendapkan di sekitar guludan. Adanya saluran pada bagian sisi guludan berfungsi untuk

56 44 menampung sedimen. Hal ini sejalan dengan pernyataan Khasanah dkk (2004) bahwa adanya guludan dan saluran mampu memotong dan memperkecil panjang lereng sehingga dapat menahan dan menampung sedimen hasil erosi agar tidak hilang dari areal pertanaman. Pada perlakuan kontrol karena tidak ada teknik konservasi yang diterapkan menyebabkan sedimen tererosi yang dihasilkan lebih besar. Hal ini disebabkan karena tidak ada hambatan yang mampu menahan dan menampung sedimen tererosi yang terbawa bersama aliran air yang mengalir di permukaan. Berdasarkan Tabel 6 jumlah sedimen tererosi yang dihasilkan pada perlakuan kontrol rata-rata sebesar kg/ha, sedangkan pada perlakuan teras gulud sedimen tererosi yang dihasilkan sebesar kg/ha. Nilai tersebut menunjukkan bahwa daerah penelitian mempunyai jumlah sedimen tererosi yang relatif kecil. Penyebab rendahnya nilai erosi yang terjadi adalah faktor aliran permukaan, faktor topografi dan faktor vegetasi. Aliran permukaan merupakan agen utama penyebab terjadinya proses erosi tanah. Aliran permukaan mempunyai hubungan yang sejalan dengan erosi yang dihasilkan, dimana kenaikan aliran permukaan akan diikuti dengan kenaikan sedimen tererosi yang terjadi. Daerah penelitian mempunyai jumlah aliran permukaan yang relatif rendah, hal inilah yang berakibat pada rendahya sedimen tererosi yang dihasilkan. Topografi yang terdapat pada daerah penelitian adalah datar hingga berombak dengan kemiringan yang tidak terlalu curam, yaitu antara 3-8 %. Adanya daerah datar pada perlakuan teras gulud (1.4 Ha) dan pada perlakuan kontrol (3.8 Ha) menyebabkan tanah yang terbawa bersama aliran air di

57 45 permukaan akan dideposisikan di daerah datar tersebut, sehingga hanya sebagian kecil tanah yang terangkut dan sampai ke saluran pengaliran. Hal inilah yang menyebabkan jumlah tanah yang tererosi baik pada perlakuan kontrol maupun pada perlakuan teras gulud menjadi lebih kecil. Pengaruh faktor vegetasi terhadap besarnya erosi yang terjadi dapat dilihat dari tingkat penutupan tajuk tanaman dan vegetasi penutup tanah yang terdapat pada masing-masing micro cacthment. Tanaman kelapa sawit yang berada pada daerah penelitian merupakan tanaman yang telah berumur 8-9 tahun dengan tingkat penutupan tajuk tanaman yang relatif rapat. Hal ini dapat dilihat dari jarak antar tajuk dari satu tanaman dengan tanaman yang lain cukup dekat. Tingkat penutupan tajuk tanaman yang relatif rapat menyebabkan hujan yang jatuh akan lebih banyak tertahan oleh tajuk tanaman. Selain tertahan oleh tajuk tanaman hujan yang jatuh juga dapat mengalir melalui aliran batang yang selanjutnya akan diteruskan ke permukaan tanah dengan kekuatan yang relatif kecil. Berkurangnya energi butir hujan yang sampai ke permukaan tanah akan berakibat pada berkurangnya kemampuan butir hujan dalam mendispersi tanah sehingga dapat menurunkan besarnya erosi yang terjadi. Selain penutupan tajuk tanaman adanya vegetasi penutup tanah juga berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi. Vegetasi penutup tanah pada daerah penelitian didominasi oleh tanaman rumput-rumputan dan tanaman pakupakuan. Selain kedua tanaman tersebut juga terdapat tanaman Calopogonium spp yang merupakan tanaman rumput leguminosa. Tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya dispersi air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan sehingga dapat mengurangi erosi (Arsyad, 2000).

58 46 Tanah yang terbawa bersama aliran air yang mengalir di permukaan selanjutnya akan tertahan oleh tanaman sehingga hanya sebagian kecil yang terbawa menuju saluran pengaliran. Hal ini berakibat pada kecilnya nilai erosi yang terjadi pada daerah penelitian.

59 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Jumlah overland flow yang terjadi pada perlakuan teras gulud adalah sebesar mm, perlakuan kontrol sebesar mm dan pada perlakuan rorak sebesar 7.30 mm dengan koefisien limpasan (overland flow) pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak masing-masing sebesar 0.87, 0.95 dan Teknik konservasi berupa teras gulud yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal mampu menekan overland flow dan erosi masing-masing sebesar % dan %. Bangunan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow sebesar %. 3. Teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif dalam menekan aliran permukaan dan erosi dibanding rorak. Saran Perlu dilakukan pengukuran tinggi muka air dan debit aliran terutama pada saat hujan serta perlu dilakukan pengambilan contoh sedimen tererosi pada perlakuan rorak. Teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal dapat digunakan untuk menekan aliran permukaan dan erosi di areal pertanaman kelapa sawit

60 DAFTAR PUSTAKA Alibasyah. M. R Aliran Permukaan, Erosi Tanah, dan Hasil Jagung pada Tanah Ultisol dengan Tiga Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jagung serta Efek Residunya. Jurnal Agrista. Vol. 4 (3) : Asdak, C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Arsyad. S Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Ayudyaningrum, P Pengaruh Jarak Simpanan Depresi Terhadap aliran Permukaan dan Erosi pada Tanah Latosol Darmaga. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB. Banuwa, I. S Dinamika Aliran permukaan dan Erosi akibat Tindakan Konservasi Tanah pada Andosol Pangalengan Jawa Barat. Tesis. Pascasarjana. IPB. Baver, L. D Soil Physics. John Willey and Sons, Inc. New York Brata, K. R Peningkatan Efektivitas Mulsa Vertikal sebagai Tindakan Konservasi Tanah dan Air Pada Pertanian Lahan Kering dengan Pemanfaatan Bantuan Cacing Tanah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 5 (2) : Bennet, H. H Elements of Soil Conservation. 2 nd Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York. Chow, V. T Handbook of Applied Hydrology A Compendium of Waterresources Technology. McGraw-Hill. New York. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Metadata Geologi Lembar 1110 Tanjung Karang dan Kota Agung. djgsm.esdm.go.id/metadata/geomap.djgsm (02/10/2006) Direktorat Jenderal Perkebunan Konsepsi Rencana Pengembangan Cabang Usaha Ternak Sapi pada Perkebunan Kelapa Sawit. (22/01/2007). Dzakiroh, S Pendugaan Erosi Berbasis PCRaster pada Plot Alami di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB. Fauzi, Y., Y. E Widyastuti., I. S Wibawa., R. Hartono Kelapa Sawit : Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.

61 49 Harahap, E. W Perkembangan Akar Tanaman Kelapa Sawit pada Tanah Terdegradasi di Sosa Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Disertasi. Pascasarjana. IPB. Hardjowigeno, S Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo. Jakarta. Haridjaja, O., K. Murtilaksono., Sudarmo., dan L. M. Rachman Hidrologi Pertanian. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hillel. D Soil and Water : Physical Principle and Processes. Academic Press. New York. Khasanah, Ni matul., B. Lusiana., Farida., dan M. V. Noordwijk Simulasi Limpasan Permukaan dan Kehilangan Tanah pada Berbagai Umur kebun Kopi : Studi Kasus di Sumberjaya Lampung Barat. Jurnal Agrivita. Vol. I (26) : Lubis, A Pengaruh Modifikasi Sistem Microcacthment terhadap Aliran Permukaan, Erosi serta Pertumbuhn dan Produksi Kacang Tanah pada Pertanian Lahan Kering. Skripsi. Jurusan Tanah. IPB. Mansjur, A Budidaya tanaman Panili dan Kelapa Sawit. IPB. Jakarta. Moedjimoeljanto, C Geologi dan Petrografi Batuan Kristalin Daerah Beranti dan Sekitarnya, Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung. gdl-s cmodjimoe-422 (02/10/2006) Noeralam, A., S. Arsyad., dan A. Iswandi Teknik Pengendalian Aliran Permukaan yang Efektif pada Usahatani Lahan Kering Berlereng. Jurnal Tanah dan Lingkungan. Vol. 5(1) : PTP Nusantara VII (Persero) Profil Unit Usaha Rejosari. PTPN-VII (Persero) UU Rejosari. Lampung. Rahim, S. E Pengedalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Edisi I. Bumi Aksara. Jakarta. Sa ad, N. S Kajian Pendugaan Erosi Sub Daerah Aliran Sungai Tugu Utara (Ciliwung Hulu). J. Tanah dan Lingkungan. Vol. 6(1) : Schwab, G. O., R. K. Frevert., T. W. Edminster, and K. K. Barnes Soil and Water Conservation Engineering. Third Edition. John Willey and Sons, Inc. New York.

62 50 Sinukaban, N., K. Murtilaksono Pengaruh Penggunaan Mulsa dan Pengelolaan Tanah terhadap Erosi, Aliran Permukaan dan Selektivitas Erosi pada Tanah Latosol Coklat Kemerahan Darmaga. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. I (1). Siregar, H. H Model simulasi produksi kelapa sawit berdasarkan karakteristik kekeringan kasus kebun kelapa sawit di Lampung. Tesis. Pascasarjana. IPB. Sitorus, S. R. P Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Ketiga. IPB. Bogor. Soepardi, G Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Institut Pertanian. Bogor. Soil Survey Staff Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Pertama. PPT dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sukartaatmadja, S Perlindungan Lereng dan Pengendalian Erosi Menggunakan Vegetasi Penutup. Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Suripin Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. Tim Faperta IPB-PPKS Medan Teknik Peresapan Air Bebas Aliran Permukaaan dalam Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit. IPB. Umboh, A. H Petunjuk Penggunaan Mulsa. Penebar Swadaya. Depok. Wijana, G Analisis fisiologi biokimia dan molekuler sifat toleran tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis. Jacq.) terhadap cekaman kekeringan. Disertasi. Pascasarjana. IPB. Yahya, S Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Fakutas Pertanian.IPB.Bogor.

63 Tabel Lampiran 1. Suhu Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung ) TAHUN DATA SUHU UDARA RATA-RATA MAKSIMUM BULANAN DAERAH BRANTI BULAN JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES JUMLAH MEAN DATA SUHU UDARA RATA-RATA MINIMUM BULANAN DAERAH BRANTI TAHUN BULAN JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES JUMLAH MEAN

64 Tabel Lampiran 1. Lanjutan... DATA SUHU UDARA RATA-RATA BULANAN DAERAH BRANTI TAHUN BULAN JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES JUMLAH MEAN

65 Tabel Lampiran 2. Data Kelembapan Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung ) DATA KELEMBABAN RATA-RATA BULANAN DAERAH BRANTI TAHUN BULAN JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEPT OKT NOP DES JUMLAH MEAN

66 Tabel Lampiran 3. Data Tinggi Muka Air dan Debit Aliran AWLR I Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 17/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 19/02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/

67 Tabel Lampiran 3. Lanjutan. 56 Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 10/05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/

68 57 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. AWLR II Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 13/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 07/03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /05/ /05/

69 58 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 05/05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ / 05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 25/06/ /06/ /06/ /06/ /06/

70 59 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. AWLR III Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 11/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 25/02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ / 03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/

71 60 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 22/05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/

72 61 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. AWLR IV Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 12/01/ /01/ /01/ /01/ / 01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 08/03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/

73 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. 62 Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 14/06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/

74 63 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. AWLR V Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 31/01/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 25/03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/

75 64 Tabel Lampiran 3. Lanjutan.. Tanggal Pulsa TMA Debit Aliran (cm) (L/dtk) 12/05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/

76 Tabel Lampiran 4. Data Pengukuran Sedimen AWLR I No Tanggal TMA (cm) Konsentrasi Sedimen (gr/l) Debit Aliran (L/detik) Debit Sedimen (gr/detik) 1 25/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ AWLR II Konsentrasi Sedimen (gr/l) Debit Aliran (L/detik) Debit Sedimen (gr/detik) No Tanggal TMA (cm) 1 13/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/

77 Tabel Lampiran 4. Lanjutan... AWLR III Konsentrasi Sedimen (gr/l) Debit Aliran (L/detik) Debit Sedimen (gr/detik) No Tanggal TMA (cm) 1 11/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ /02/ AWLR IV Konsentrasi Sedimen (gr/l) Debit Aliran (L/detik) Debit Sedimen (gr/detik) No Tanggal TMA (cm) 1 12/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/

78 Tabel Lampiran 5. Curah Hujan Harian di Lokasi Penelitian No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata Blok I Blok II Blok III (mm) 1 09/01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /01/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata Blok I Blok II Blok III (mm) 29 06/02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /02/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/

79 Tabel Lampiran 5. Lanjutan.. No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata Blok I Blok II Blok III (mm) 57 06/03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata (mm) Blok I Blok II Blok III 85 03/04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/

80 Tabel Lampiran 5. Lanjutan.. No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata Blok I Blok II Blok III (mm) /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /05/ /06/ /06/ /06/ /06/ Blok I Blok II Blok III (mm) /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/ /06/

81 Tabel Lampiran 5. Lanjutan.. No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata Blok I Blok II Blok III (mm) 57 06/03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /03/ /04/ /04/ /04/ /04/ Blok I Blok II Blok III (mm) 87 05/04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ / 04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /04/ /05/ /05/ /05/ /05/

82 71 Gambar Lampiran 1. Kurva Linier Tinggi Muka Air a b TMA (cm) y = 0,4175x - 32,685 R 2 = 0,84 TMA (cm) y = 0,0684x - 8,7144 R 2 = 0, Pulsa Pulsa c d y = 0,099x - 34,771 R 2 = 0, y = 0,119x - 8,9096 R 2 = 0,66 TMA (cm) 10 TMA (cm) Pulsa Pulsa e f TMA (cm) y = 0,2843x - 18,515 R 2 = 0,90 TMA (cm) y = 0,0074x + 3,8341 R 2 = 0, Pulsa Pulsa g y = 0,6437x - 48,801 R 2 = 0,70 TMA (cm) Pulsa Gambar 2. Korelasi Hubungan Pulsa AWLR dan TMA pada AWLR 1 (a), AWLR 2 (b) dan (c), AWLR 3 (d), (e), dan (f), AWLR 5 (g).

83 72 d TMA (cm) y = 0,119x - 8,9096 R 2 = 0, Pulsa g y = 0,6437x - 48,801 R 2 = 0,7001 TMA (cm) Pulsa

84 Gambar Lampiran 2. Peta Afdeling III Daerah Penelitian 72

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan. menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990).

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan. menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990). TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan Aliran permukaan adalah bagian dari hujan atau presipitasi yang alirannya menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990). Selama aliran permukaan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI PT

KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI PT KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG Oleh : SRI MALAHAYATI YUSUF A24102002 PROGRAM

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS TERAS GULUD DAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI UNIT USAHA REJOSARI, PT

EFEKTIVITAS TERAS GULUD DAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI UNIT USAHA REJOSARI, PT EFEKTIVITAS TERAS GULUD DAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI UNIT USAHA REJOSARI, PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG Oleh : ASEP SAEPUL MUSLIM A24103013

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS TERAS GULUD DAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI UNIT USAHA REJOSARI, PT

EFEKTIVITAS TERAS GULUD DAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI UNIT USAHA REJOSARI, PT EFEKTIVITAS TERAS GULUD DAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI UNIT USAHA REJOSARI, PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG Oleh : ASEP SAEPUL MUSLIM A24103013

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Oleh : ANITA RAHAYU A24104006 PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Oleh : ANITA RAHAYU A24104006 PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 1 PENGGUNAAN METODE SOIL CONSERVATION SERVICES (SCS) UNTUK MEMPREDIKSI ALIRAN PERMUKAAN PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII LAMPUNG Oleh : ANITA RAHAYU A24104006

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut TINJAUAN PUSTAKA Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian 2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menjadi panduan untuk petani dalam pengelolaan air hujan dan aliran permukaan di kebun pala untuk menekan penurunan hasil akibat kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol Tanah Latosol adalah tipe tanah yang terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi memiliki tiga proses utama, yaitu (1) pelapukan intensif yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KADAR AIR TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG

KARAKTERISTIK KADAR AIR TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG KARAKTERISTIK KADAR AIR TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG Oleh: RUDI SITANGGANG A24103001 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nitrogen tanah bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Variasi kandungan nitrogen dalam tanah terjadi akibat perubahan topografi, di samping pengaruh iklim, jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Teknik Konservasi Tanah dan Air

II. TINJAUAN PUSTAKA Teknik Konservasi Tanah dan Air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teknik Konservasi Tanah dan Air Masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak terdispersi dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan.

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI KELAPA SAWIT. Oleh MARNI A

PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI KELAPA SAWIT. Oleh MARNI A PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI KELAPA SAWIT Oleh MARNI A24104059 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN MARNI. Penerapan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2011 KONSERVASI TANAH 1. Pengertian Konservasi Tanah Penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible). Selain itu,

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible). Selain itu, TINJAUAN PUSTAKA Hutan dan Fungsinya Hutan memiliki fungsi sebagai pelindung, dalam hal ini berfungsi sebagai pengaturan tata air, pencegahan banjir, pencegahan erosi, dan pemeliharaan kesuburan tanah.

Lebih terperinci

EROSI DAN SEDIMENTASI

EROSI DAN SEDIMENTASI EROSI DAN SEDIMENTASI I. PENDAHULUAN Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Umum Embung merupakan bangunan air yang selama pelaksanaan perencanaan diperlukan berbagai bidang ilmu guna saling mendukung demi kesempurnaan hasil perencanaan. Bidang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph) KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami sifat kimia tanah. 2. Memahami vegetasi tanah. 3. Memahami

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 KONSERVASI TANAH 1. Pengertian Konservasi Tanah Penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HANTARAN HIDROLIK JENUH TANAH PADA BERBAGAI JENIS LOKASI LAHAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PTPN VII LAMPUNG

KARAKTERISTIK HANTARAN HIDROLIK JENUH TANAH PADA BERBAGAI JENIS LOKASI LAHAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PTPN VII LAMPUNG KARAKTERISTIK HANTARAN HIDROLIK JENUH TANAH PADA BERBAGAI JENIS LOKASI LAHAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PTPN VII LAMPUNG Oleh PUNGKAS SYAHADAT A24103054 PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI KELAPA SAWIT ABSTRAK

PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI KELAPA SAWIT ABSTRAK PROSIDING HITI IX YOGYAKARTA PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI KELAPA SAWIT K. Murtilaksono, E. S. Sutarta, N. H. Darlan, Sudarmo ABSTRAK Jumlah curah hujan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terjadi secara terus menerus, air

Lebih terperinci

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September ) KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN DALAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI 1) Oleh : Pratiwi 2) ABSTRAK Di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab

I. PENDAHULUAN. Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab menurunnya produktivitas suatu lahan. Degradasi lahan adalah kondisi lahan yang tidak mampu menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Degradasi Lahan Pada sistem pertanian lahan kering yang kurang efektif mengendalikan aliran permukaan dapat mempercepat kehilangan bahan organik yang sangat ringan dan mudah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan

2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari hujan yang tidak diserap tanah dan tidak tergenang di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber daya alam merupakan suatu bentuk kekayaan alam yang pemanfaatannya bersifat terbatas dan berfungsi sebagai penunjang kesejahteraan makhluk hidup khususnya manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta

TINJAUAN PUSTAKA. unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah masam yang terbentuk dari bahan bahan induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia hidup tergantung dari tanah dan sampai keadaan tertentu tanah yang baik itu juga tergantung dari manusia. Pengelolaan tanah yang kurang baik bisa mengakibatkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 8 3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lahan kebun pala milik pengurus Forum Pala Aceh di Kecamatan Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia. Dengan kata lain

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

Teknik Konservasi Waduk

Teknik Konservasi Waduk Teknik Konservasi Waduk Pendugaan Erosi Untuk memperkirakan besarnya laju erosi dalam studi ini menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) atau PUKT (Persamaan umum Kehilangan Tanah). USLE

Lebih terperinci

VIII. KONSERVASI TANAH DAN AIR

VIII. KONSERVASI TANAH DAN AIR VIII. KONSERVASI TANAH DAN AIR KONSERVASI TANAH : Penggunaan tanah sesuai dengan kelas kemampuan tanah dan memperlakukan tanah tersebut agar tidak mengalami kerusakkan. Berarti : 1. menjaga tanah agar

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) Oleh : AI MARLINA F14102084 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) 1. Cara memperbaiki tanah setelah mengalami erosi yaitu dengan cara?? Konservasi Tanah adalah penempatansetiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS di Unit Usaha REJOSARI PTPN VII LAMPUNG) Oleh Bogie Miftahur Ridwan A24104083 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS

ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI DENGAN PROGRAM AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) DI SUB DAS CIPAMINGKIS HULU, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : Wilis Juharini F14103083 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara kepulauan yang secara astronomis terletak di sekitar garis katulistiwa dan secara geografis terletak di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh. Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, semasa

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh. Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, semasa TINJAUAN PUSTAKA Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh Kabupaten Serdang Bedagai yang beribukota Sei Rampah adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan berdasarkan data sekunder DAS Brantas tahun 2009-2010 dan observasi lapang pada bulan Februari Maret 2012 di Stasiun Pengamat

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode MUSLE Metode MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) adalah modifikasi dari metode USLE (Soil Loss Equation), yaitu dengan mengganti faktor erosivitas hujan (R) dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Cibengang yang secara geografis terletak di ketinggian 1130 mdpl dengan koordinat 06º57 56,6 lintang selatan dan 107º53 23,2 bujur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Umum Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai pengangkutan, melayangnya (suspensi) atau mengendapnya material fragmental oleh air.sedimentasi merupakan akibat dari adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi tanah, di laut atau badan-

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu 3 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu Tebu (Sacharum officinarum L.) termasuk ke dalam golongan rumputrumputan (graminea) yang batangnya memiliki kandungan sukrosa yang tinggi sehinga dimanfaatkan sebagai bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa terhadap Bobot Isi Pengamatan bobot isi dilakukan setelah pemanenan tanaman kacang tanah. Pengaruh pemberian mulsa terhadap nilai bobot isi tanah disajikan

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tank Model Penerapan Tank Model dilakukan berdasarkan data harian berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai. Data-data tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai tempat terutama daerah tropis khususnya di daerah pegunungan yang nantinya akan sangat berpengaruh

Lebih terperinci

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas BAB 111 LANDASAN TEORI 3.1 Aliran Dasar Sebagian besar debit aliran pada sungai yang masih alamiah ahrannya berasal dari air tanah (mata air) dan aliran permukaan (limpasan). Dengan demikian aliran air

Lebih terperinci