Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Gunung Karang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Gunung Karang"

Transkripsi

1 i

2 PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI (KEHATI) GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. BADAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROPINSI BANTEN 2014 ii

3 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-nya yang tiada henti tim penyusun dapat menyelesaikan dokumen Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) dalam rangka Program Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam di Propinsi Banten. Kegiatan penyusunan profil ini terselenggara atas kerjasama selaku pemberi kegiatan dan PT TODO CONSULT selaku penyedia jasa konsultansi. Tim menyadari dokumen yang disusun ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga masukan dan saran serta koreksi yang diberikan akan menjadi sangat berarti demi penyempurnaan dokumen ini. Dalam penyusunan dokumen Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) tim penyusun mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak dalam tercapainya target kegiatan selama di lapangan dan penyelesaian dokumen tersebut. Desember, 2014 Tim Penyusun iii

4 DAFTAR ISI Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iii Daftar Tabel... v Daftar Gambar... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... I.1 B. Tujuan... I.2 C. Output... I.2 BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan... II.1 B. Lokasi Pelaksanaan... II.1 C. Alat dan Bahan... II.3 D. Metode Inventarisasi dan Identifikasi Flora... II.5 D.1. Inventarisasi Flora... II.5 D.2. Identifikasi Janis... II.7 D.3. Analisis Data... II.7 E. Metode Inventarisasi dan Identifikasi Fauna Kelompok Mamalia... II.9 E.1. Pengamatan Langsung dan Tidak Langsung... II.9 E.2. Pemasangan Camera Trap... II.10 F. Metode Inventarisasi dan Identifikasi Fauna Kelompok Burung... II.11 F.1. Pengamatan Langsung... II.11 F.2. Pemasangan Jala Kabut (Miss Neting)... II.12 G. Metode Penyusunan Profil Tutupan Lahan... II.13 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI KAJIAN A. Letak, Luas, dan Batas... III.1 B. Aksesibilitas... III.1 iv

5 C. Gambaran Umum... III.2 BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG KARANG A. Gambaran Umum Lokasi Studi Vegetasi... IV.1 B. Struktur dan Komposisi Jenis Kategori Pohon (DBH > 10 cm)... IV.1 C. Struktur dan Komposisi Jenis Pancang... IV.5 D. Struktur dan Komposisi Jenis Semai (Seddling)... IV.7 E. Kehadiran dan Keragaman Jenis Pohon... IV.9 F. Kehadiran dan Keragaman Vegetasi Pendukung... IV.13 G. Kehadiran dan Keragaman Jenis Tanaman Perkebunan... IV.16 DLHK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG KARANG of Properties LAMPIRAN A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia... V.1 B. Kehadiran Satwaliar Kelompok Burung... V.9 BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan... VI.1 B. Tata Guna Lahan dan Fungsi Kawasan... VI.4 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan... VII.1 B. Rekomendasi... VII.2 DAFTAR PUSTAKA... VIII.1 v

6 DAFTAR TABEL Tabel II-1. Tabel II-2. Tabel II-3. Tata waktu pekasanaan kegiatan survei di Gunung Karang Kabupaten Pandeglang, Banten... II.1 Alat yang digunakan beserta kegunaanya... II.3 Kategori pohon dalam kegiatan survei dan identifikasi vegetasi... II.6 Tabel IV-1. Nilai dominansi untuk kategori pohon (DBH 10 cm) di lokasi Hutan alam berdasarkan frekuensi, basal area pohon perhektar dan kerapatan pohon perhektar masing-masing jenis pohon... IV.3 Tabel IV-2. Nilai dominansi untuk kategori pancang (sapling, tinggi 2 m, DBH 10 cm) di lokasi Hutan Alam berdasarkan frekuensi, dan kerapatan pohon perhektar masing-masing jenis pohon... IV.5 Tabel IV-3. Distribusi Nilai dominansi untuk kategori Semai (seedling, tinggi 2 m) di lokasi Hutan alam gunung karang berdasarkan frekuensi, dan kerapatan pohon perhektar masing-masing jenis pohon... IV.7 Tabel IV.4. Kehadiran dan keragaman jenis tegakan di lokasi studi hutan alam... IV.9 Tabel IV-5. Kehadiran dan keragaman jenis vegetasi pendukung (herba, liana, epifit dan palm) pada lokasi studi hutan alam... IV.14 Tabel IV-6. Kehadiran dan keragaman jenis tanaman perkebunan pada lokasi studi hutan alam... IV.17 Tabel V-1. Tabel V-2. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di hutan Gunung Karang... V.2 Klasifikasi jenis mamalia berdasarkan kelas makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi... V.5 vi

7 Tabel V.3. Kehadiran jenis avifauna di kawasan hutan Gunung Karang... V.10 Tabel VI-1. Status kawasan dan luas kawasan serta wilayah administarinya berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/ VI.2 Tabel VI-2. Tata guna lahan dan fungsi kawasan berdasarkan analisis citra Landsat... VI.4 vii

8 DAFTAR GAMBAR Gambar II.1. Peta lokasi kajian keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di (skala peta untuk format A3)... II.2 Gambar II.2. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam melakukan kajian landuse dan profil biodiversiti di Gunung Karang, Pegunungan Akarsari, Banten... II.4 Gambar II.3. Desain pembuatan plot vegetasi dengan ukuran 20x100 m; petak ukur inventarisasi untuk kelas pohon 20x20 m, pancang 5x5 m, dan semai 2x2 m... II.5 Gambar II.4. Desain metode inventarisasi jenis vegetasi menggunakan metode eksplorasi. Kegiatan eksplorasi dilakukan pada kanan dan kiri dari jalur pengamatan... II.6 Gambar II.5. Gambaran kategori pohon; a) Semai, b) Pancang, dan c) Pohon... II.7 Gambar II.6. Gambar II.7. Gambar II.8. Gambar II.9. Kotoran satwa yang menandakan adanya kehadiran satwa pada wilayah kajian keanekaragaman hayati... II.9 Pemasangan Camera Trap pada batang pohon di sekitar jalur lintasan satwa... II.10 Tim melakukan pengamatan burung secara langsung menggunakan teropong (binocular)... II.11 Contoh pemasangan jala kabut (miss net) yang dibentangkan pada jalur lintasan burung... II.12 Gambar II.10. Bagan alir pemetaan landuse dan tutupan lahan kawasan, Banten... II.13 Gambar II.11. a) Survei dan mencatat data langsung kondisi terkini tutupan dan atat guna lahan lahan di lapangan dan b) GPS yang digunakan untuk menetukan kordinat masing-masing tutupan lahan yang akan di paduserasi dengan citra Landsat menggunakan software GIS... II.14 viii

9 Gambar III.1. a) Bentuk dilihat dari Kampung Pasir Angin dan b) Kondisi Kampung Pasir Angin yang ada di lereng Gn. Karang (± 688 mdpl)... III.3 Gambar III.2. a) Perjalanan tim survei biodiversity dan tutupan lahan di lokasi studi arah Kawah dan b) Kondisi sebelah kanan dan kiri jalan menuju kawah Gn. Karang berupa kebun... III.4 Gambar III.3. a) Tumpangsari merupakan pola berkebun masyarakat di lereng Gn. Karang dan perawatan tanaman pokok dengan cara penyiangan habis gulma dan b) Kondisi kebun cengkeh warga di lereng Gn. Karang... III.5 Gambar III.4. a) Kantung air di lereng Gn. Karang yang dimanfaatkan warga untuk menanam sayuran dan b) Mata air yang dimanfaatkan warga sekitar Gn. Karang untuk kebutuhan sehari-hari... III.6 Gambar III.5. a) Sayuran yang ditanam warga di lereng Gn. Karang dan b) Saung (gubuk) yang banyak dijumpai di sekitar kebun warga di Lereng Gn. Karang... III.7 Gambar III.6. Perburuan satwa liar di Gn. Karang masih berlangsung. a) Tim survei berjumpa dengan warga yang membawah burung saat menuju Gn. Karang dan b) Tim juga bertemu dengan warga yang hendak berburu di Gn. Karang... III.8 Gambar III.7. a) Perbatasan kebun warga dan hutan alam (hutan lindung) Gn. Karang (garis merah) pada ketinggihan mdpl, sekitar 800 m dari perkampungan Pasir Batu dan b) Gambaran umum tutupan tajuk hutan alam Gn. Karang... III.9 Gambar III.8. a) Jenis buah hutan jenis di Gn. Karang, buah ini merupakan jenis pakan satwa dan b) Buah herba jenis Clidemia hirta yang biasa di makan burung... III.10 Gambar III.9. a) Tempat yang biasa di pakai untuk bertapa dan b) Tim sedang beristirahat di tengah perjalanan menuju kawah Gn. Karang... III.11 ix

10 Gambar III.10. a) Struktur vegetasi hutan alam di Gn. Karang dan b) Gambaran lantai hutan di sekitar kawah Gn. Karang... III.12 Gambar III.11. a) Kawah aktif yang ada di Gn. Karang (± mdpl) dan b) Tim survei berfoto di kawah Gn. Karang... III.13 Gambar III.12. a) Perjalanan menuju Sumur Tujuh di Gn. Karang dan b) Gambaran kondisi jalur terjal yang dilalui menuju Sumur Tujuh (kawasan wisata relegi) di Gn. Karang... III.14 Gambar III.13. a) Kebun buah warga yang sudah tumbuh besar (diameter 35 cm) di lereng Gn. Karang dan b) Gambaran tajuk pohon buah milik warga Kampung Salam... III.15 Gambar III.14. a) Gambaran umum tegakan hutan alam Gn. Karang di sekitar Sumur Tujuh dan b) Struktur tutupan tajuk hutan alam Gn. Karang... III.16 Gambar III.15. a) Struktur lantai hutan Gn. Karang di sekitar Sumur Tujuh dan b) Vegetasi jenis Pandanus sp. yang banyak dijumpai di sekitar Sumur Tujuh (± mdpl)... III.17 Gambar III.16. a) Tim melakukan analisis vegetasi di lapangan dan b) Kegiatan pengukuran pohon di sekitar Sumur Tujuh Gn. Karang... III.18 Gambar III.17. a) Proses pengambilan sampel daun di lapangan yang selanjutnya akan diidentifikasi di camp dan b) Pohon jenis Schima walicii (Puspa) berdiameter ± 50 cm di sekitar jalan menuju Sumur Tujuh... III.19 Gambar III.18. a) Salah satu sumber mata air dari Sumur Tujuh (± mdpl) yang biasanya digunakan peziarah untuk melakukan ritual mandi dan b) Musholla dan lokasi camping di sekitar Sumur Tujuh... III.20 Gambar III.19. a) Tenda dome tempat istirahat tim selama penelitian berlangsung dan b) Foto tim peneliti biodiversity di Gn. Karang... III.21 x

11 Gambar III.20. a) Tim menemukan bekas penebangan pohon hutan alam di sekitar Sumur Tujuh Gn. Karang dan b) GPS (Global Positioning System) yang menunjukan titik koordinat lokasi penebangan... III.22 Gambar IV.1. Distribusi Nilai Dominansi (NPJ %) untuk Kategori Pohon (DBH 10 cm) di Kawasan Hutan Alam... IV.4 Gambar IV.2. Nilai Dominansi (SDR %) untuk Kategori Pohon tingkat pancang (sapling, tinggi 2 m, DBH 10 cm) di Kawasan Hutan Alam... IV.6 Gambar IV.3. Nilai Dominansi (SDR %) untuk Kategori Pohon tingkat semai (seddling, tinggi 2 m) di Kawasan Hutan Alam... IV.8 Gambar IV.4. Perbandingan Jumlah jenis pohon pada masing-masing Famili... IV.11 Gambar IV.5. a) Tutupan tajuk pohon hutan dan b) Pohon jenis Schima walichii (puspa) yang berdiameter 140 cm ditemukan di sekitar kawah... IV.12 Gambar IV.6. Tim melakukan identifikasi pencatatan jenis-jenis flora kelompok herba dan liana yang ada di Gn. Karang... IV.13 Gambar IV.7. Perbandingan Jumlah jenis herba, liana, epifit dan palm di lokasi studi hutan alam... IV.16 Gambar IV.8. Tanaman jenis Swietenia macrophylla (Mahoni) yang ditanam dan ditumpangsarikan dengan sayuran pada hutan tanaman rakyat... IV.17 Gambar V.1. Gambar V.2. Keragaman kelompok mamalia berdasarkan famili di kawasan... V.3 (a) jenis Arctogalidia trivirgata (hasil kamera trap); dan (b) Jenis Paguma larvata (pengamatan langsung) ditemukan di kawasan... V.4 xi

12 Gambar V.3. Gambar V.4. (a) Kehadiran satwa berdasarkan kelas makan, (b) Kehadiran satwa berdasarkan waktu aktif, dan (c) Kehadiran satwa berdasarkan stratifikasi ekologi... V.6 a) Jenis Panthera pardus (sumber informasi dan dokumentasi: warga setempat); dan b) Jenis Mydaus javanensis (pengamatan kamera trap) ditemukan di Kawasan... V.8 Gambar V.5. Gambar V.6. Gambar V.7. Jenis elang ular jari pendek (Circaetus gallicus) yang berhasil teridentifikasi dengan menggunakan kamera jarak jauh... V.12 Jenis bubut alang-alang (Centropus bengalensis) yang teridentifikasi dengan menggunakan jala kabut... V.13 Jenis cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang berhasil teridentifikasi dengan menggunakan kamera jarak jauh... V.14 Gambar VI.1. Kondisi tutupan lahan yang terdiri dari kebun, ladang, hutan campuran, dan hutan lindung... VI.1 Gambar VI.2. Peta status kawasan berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/ VI.3 Gambar VI.3. Kawasan hutan dengan tata guna lahan berupa ladang dan kebun campuran pada wilayah bagian bawah... VI.6 Gambar VI.4. Pipa-pipa untuk mengalirkan air menuju Kampung Salam di wilayah bagian selatan Gung Karang (481 mdpl)... VI.7 Gambar VI.5. a) Lereng yang ditanami jenis pisang dan cengkeh dan b) Kebun campuran yang ditanmai berbagai tanaman buah dan tanaman kayu keras (Tanaman MPTS)... VI.9 xii

13 Gambar VI.6. a) Tanaman kopi yang sudah tidak terawat dan b) Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikombinasikan dengan tanaman perkebunan... VI.10 Gambar VI.7. a) Kondisi jalan setapak menuju puncak Gunung Karang sangat rentan terhadap erosi dan b) Permukaan tanah pada kebun campuran tidak tertutupi oleh rerumputan (cover crop) memiliki tingkat erosi permukaan yang tinggi dan berpotensi menyebabkan terjadinya longsor... VI.11 Gambar VI.8. Perbatasan antara kebun campuran dengan kawasan hutan ditemukan jenis tumbuhan pakis gunung... VI.12 Gambar VI.9. Struktur dan komposisi tegakan hutan yang relatif rapat dan terdiri dari berbagai jenis tumbuhan alami terutama tumbuhan kayu keras... VI.13 Gambar VI.10. a) Tegakan pohon jenis Schima walicii b) Tegakan pohon jenis Cassuarina sp. di sekitar Sumur Tujuh Gn. Karang dan c) Tim memeluk batang pohon untuk mengukur diameter pohon tersebut jika dipeluk orang dewasa di sekitar Sumur Tujuh... VI.14 Gambar VI.11. Kawah yang masih aktif di kawasan hutan Gunung Karang berada pada ketinggian mdpl... VI.15 Gambar VI.12. a) Tutupan vegetasi di sekitar kawah didominasi pepohonan yang berdiameter 30 cm up dan b) Lantai hutan di sekitar kawah ditutupi berbagai jenis herba dan liana dengan dominasi jenis pakis... VI.16 Gambar VI.13. Kondisi tutupan lahan menurut citra Landsat liputan tahun VI.17 Gambar VI.14. Hasil analisis tutupan dan tata guna lahan Gunung Karang berdasarkan citra Landsat liputan tahun VI.18 xiii

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan lahan pertanian dan kawasan budidaya masyarakat sering kali dipenuhi dengan cara membuka kawasan hutan. meski tujuannya untuk pemenuhan kebutuhan hidup, pembukaan kawasan hutan ini akan berdampak pada menurunya fungsi dari kawasan hutan serta mengancam kelestarian potensi biodiversity di dalam kawasan tersebut. Wilayah hutan lindung yang dibuka terutama pada lereng-lereng pegunungan akan meningkatkan laju erosi permukaan dan memiliki tingkat bahaya yang tinggi bagi kawasan pemukiman mayarakat di bawahnya. merupakan kawasan hutan yang terdiri dari kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Lindung. Berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003 Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Banten, memiliki hutan lindung terluas dibanding 3 gunung pada gugusan Pegunungan Akarsari (Aseupan, Karang, Parakasak, Pulosari). berada di Kabupaten pandeglang dan Serang propinsi Banten. Pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya berupa kebun campuran (wanatani /agroforestry) oleh masyarakat di sekitar Gunung Karang berpotensi menimbulkan kerusakan tutupan lahan dan menurunkan fungsi lindung (pengatur tata air, habitat satwa, dll) dari kawasan tersebut. Kegiatan budidaya sayuran dan komoditas perkebunan seperti cengkeh dan kopi dengan cara membuka tutupan hutan pada lereng-lereng Gunung xiv

15 Karang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan terhadap potensi biodiversity baik flora maupun fauna di dalamnya. Semakin luasnya kawasan budidaya sayuran dan tanaman perkebunan menjadikan semakin berkurangnya luasan kawasan hutan yang berperan sebagai habitat flora dan fauna. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan potensi biodiversity flora dan fauna baik secara kualitas maupun kuantitas. Informasi kondisi kekinian keanekaragaman hayati dan kerusakan lahan pada wilayah akan sangat bermanfaat sebagai rona awal untuk mengetahui tinkat keragaman flora dan fauna serta kondisi tutupan lahan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan penyusunan tata ruang wilayah. Oleh karena itu, kajian penyusunan profil keanekaragaman hayati dan kerusakan lahan di kawasan merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan. B. Tujuan Adapun tujuan dari kegiatan penysunan profil landuse dan keanekaragaman hayati di adalah untuk 1. Mengetahui keanekaragaman jenis flora di kawasan, 2. Mengetahui keanekaragaman jenis fauna kelompok mamalia dan burung di kawasan, dan 3. Mengetahui kondisi kekinian tutupan lahan dan kerusakan lahan di kawasan. xv

16 C. Output Output yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah : 1. Profil flora tingkat pohon, pancang, semai, herba, dan liana di Gunung Karang, 2. Profil fauna untuk kelompok mamalia dan burung di, dan 3. Profil kerusakan lahan kawasan. xvi

17 BAB II METODE A. Waktu dan Tempat Pengambilan data untuk penyusunan profil keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di kawasan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2014 s.d 21 November 2014 (60 kerja). Tata waktu pelaksanaan kegiatan pengambilan data di kawasan ditampilkan pada tabel berikut. Tabel II-1. No Kegiatan Tata waktu pekasanaan kegiatan survei di Kabupaten Pandeglang, Banten. 1 Persiapan Kegiatan dan Perlengkapan 2 Orientasi Lapangan dan Lokasi studi 3 Survei lapangan 4 Analisis Data 5 Penulisan draft laporan 6 Diseminasi Kegiatan 7 Penulisan Laporan Akhir Juni Juli Agustus IV I II III IV I II II xvii

18 B. Lokasi Pelaksanaan Lokasi kajian keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan dilakukan di kawasan dan sekitarnya. Fokus area studi pada kawasan adalah sekitar wilayah Sumur Tujuh, Kawah, kawasan pemukiman, ladang dan lahan pertanian masyarakat, serta sepanjang jalur menuju puncak yang menjadi wilayah observasi tim. Fokus lokasi tersebut berada pada wilayah administrasi kecamatan Pandeglang dan Kecamatan Kaduhejo Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten. xviii

19 Gambar II.1. Peta lokasi kajian keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di (skala peta untuk format A3). xix

20 C. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini secara detail dapat dilihat pada Tabel II-2 dan Gambar II.2. Tabel II-2. Alat yang digunakan beserta kegunaanya. No Nama Alat/bahan Kegunaan 1 Peta kawasan survei Sebagai panduan dalam menentukan posisi plot pengamatan vegetasi 2 Parang Untuk pembuatan jalan/jalur plot 3 Kompas Untuk penentuan arah jalur survei 4 Klinometer Untuk mengukur tingkat kemiringan/kelerangan 5 Meteran (20 m) Sebagai panduan ukuran dalam pembuatan plot 6 Pita survei (merah) Untuk penanda batas/posisi plot 7 Spidol permanen Untuk penanda batas/posisi plot 8 Tally sheet Vegetasi Tabel data isian 9 Phi-band Untuk mengukur diameter pohon 10 Camera Trap Untuk menangkap gambar satwaliar kelompok mamalia terrestrial 11 Mist Net Untuk menjerat satwaliar kelompok burung 12 Monocular, Binocular Untuk pengamatan burung 13 Global Position System Untuk menandai titik koordinat wilayah target penelitian dan tracking jalur survei/plot 14 Photo Camera Untuk mendokumentasikan satwaliar yang telah dijerat/ditangkap. 15 Handling tools (Gunting, cutter, kaos tangan, dll) Alat bantu lapangan 16 Umpan ( Durian, sarden, buah-buahan, dll) 17 Baterai Lithium Sumber energy camera trap dan lampu senter 18 Buku Panduan Identifiksi Mamalia 19 Buku Panduan Identifiksi Burung 20 Buku Panduan Identifiksi Tumbuhan 21 Alat Tulis dan Tallyheet Untuk membantu mengidentifikasi fauna kelompok mamalia Untuk membantu mengidentifikasi fauna kelompok burung Untuk membantu mengidentifikasi flora kategori pohon, herba, dan liana Mencatat data yang diperoleh di lapangan xx

21 Gambar II.2. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam melakukan kajian landuse dan profil biodiversiti di, Pegunungan Akarsari, Banten. xxi

22 D. Metode Inventarisasi dan Identifikasi Flora D.1. Inventarisasi Flora Pengumpulan data atau inventarisasi jenis flora di kawasan Gunung Karang dilakukan dengan menggunakan 2 cara, yaitu : 1) metode plot vegetasi; dan 2) metode eksplorasi. Plot vegetasi yang dibuat berupa jalur berpetak dengan ukuran 20x100 meter (0,2 ha) dan terdiri atas 5 sub-plot dengan ukuran masingmasing 20x20 meter untuk inventarisasi kelas pohon. Dalam sub-plot terdapat petak yang lebih kecil dengan ukuran 5x5 meter untuk kelas pancang, dan 2x2 meter untuk kelas semai, herba, dan liana. Berikut ini adalah gambaran metode inventariasi jenis flora menggunakan metode plot vegetasi. 100 m 20 m SubPlot 1 SubPlot2 SubPlot 3 SubPlot 4 SubPlot 5 = Plot Inventarisasi Pohon (Tree, 20 m x 20 m) = Plot Inventarisasi Pancang (Sapling, 5 m x 5 m) = Plot Inventarisasi Semai (Seedling, 2 m x 2 m) 20 m Gambar II.3. Desain pembuatan plot vegetasi dengan ukuran 20x100 m; petak ukur inventarisasi untuk kelas pohon 20x20 m, pancang 5x5 m, dan semai 2x2 m. xxii

23 Metode eksplorasi digunakan untuk mengidentitikasi jenis flora terutama kelompok herba dan liana yang terdapat disepanjang jalur eksplorasi. Panjang jalur eksplorasi umunya berkisar anatara 500 m s/d m dan lebar jalur eksplorasi adalah 20 meter di kanan dan kiri jalur. Gambaran metode eksplorsi tertera pada gambar berikut. 20 m 20 m Metode Eksplorasi Jalur eksplorasi / jalan 500 m 1000 m Gambar II.4. Desain metode inventarisasi jenis vegetasi menggunakan metode eksplorasi. Kegiatan eksplorasi dilakukan pada kanan dan kiri dari jalur pengamatan. xxiii

24 Seluruh jenis yang merupakan kategori pohon dikelompokkan berdasarkan kelasnya. Kategori pohon diukur kemudian dicatat nama jenis dan familinya ke dalam talysheet. Kelas pohon dicatat nama jenis, famili, diameter (DBH) 10 cm, serta tinggi pohonnya. Sementara kelas pancang dan semai hanya dituliskan nama jenis, famili, dan jumlahnya saja. Keterangan kategori/tingkatan pohon (seedling, sapling, tree) dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel II-3. Kategori pohon dalam kegiatan survei dan identifikasi vegetasi. No Kategori Pohon Keterangan 1 Semai (Seedling) Tinggi 2 m 2 Pancang (Sapling) Tinggi 2 m DBH 10 cm 3 Pohon (Tree) DBH 10 cm Catatan : DBH = Diameter Setinggi Dada a b c Gambar II.5. Gambaran kategori pohon; a) Semai, b) Pancang, dan c) Pohon. xxiv

25 D.2. Identifikasi Jenis Identifikasi jenis flora dilakukan oleh peneliti pengenal jenis tumbuan dan pengambilan bagian dari tumbuhan khususnya daun dari jenis tumbuhan yang tidak dikenal. Daun diambil dari lapangan dan diberi label (tanda) pengenal jenis kemudian diidentifikasi dengan panduan identifikasi jenis tumbuhan. D.3. Analsis Data Data jenis flora (vegetasi) yang diperoleh dari lokasi pengamatan dianalisis untuk mendapatkan informasi dasar yang meliputi kerapatan pohon (individu/ha), frekuensi jenis, dan basal area (m 2 /ha). Dari nilai-nilai kuantitaf tersebut akan diketahui nilai penting jenis (NPJ) dari masing-masing jenis. Struktur dan komposisi jenis vegetasi diketahui berdasarkan informasi daftar jenis flora yang tercatat pada tallysheet. Nilai kerapatan (individu/ha), frekuensi dan dominansi (m 2 /ha), dan Nilai Penting Jenis (NPJ) dari masing-masing jenis tersebut dihitung dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Curtis and Otman, (1964): a) Kerapatan Jenis Kerapatan (K) Luas individu petak contoh Kerapatan suatu jenis K Relatif (KR) x100% Kerapatan total seluruh jenis b) Frekuensi F rekuensi ( F) Sub petak ditemukan suatu jenis Seluruh sub petak contoh Frekuensi suatu jenis F Relatif ( FR) x100% Frekuensi total seluruh jenis xxv

26 c) Dominansi Dominansi (D) Luas bidang dasar suatu Luas petak contoh jenis D Relatif Dominansi suatu jenis (DR) Dominansi total seluruh jenis x 100% Nilai Penting Jenis (NPJ) untuk masing-masing jenis pohon diperoleh dari hasil penjumlahan informasi dasar seperti pada rumus di atas, sehingga untuk menghitung NPJ digunakan formulasi sebagai berikut : NPJ = KR + FR + Sedangkan untuk vegetasi kategori pancang dan semai besar Nilai Penting Jenis (NPJ) diperoleh dari jumlah kerapatan relatif dan frekuensi relatifnya, sehingga formulasi NPJ pancang dan tiang adalah: NPJ = KR + FR NPJ Pohon NPJ Pancang / Semai Berdasarkan data yang teridentifikasi akan dihasilkan gambaran struktur dan komposisi vegetasi sehingga dapat dijadikan acuan untuk menganalisis kehadiran tingkat keanekaragaman jenis flora pada kawasan. xxvi

27 E. Metode Inventarisasi dan Identifikasi Fauna Kelompok Mamalia E.1. Pengamatan Langsung dan Tidak Langsung Metode transek merupakan metode pengamatan langsung yang sering digunakan untuk melihat satwa mamalia. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah mencatat semua satwa yang dijumpai sepanjang jalur menuju fokus area studi. Selain pencatatan kehadiran mamalia secara langsung, tandatanda kehadiran satwa secara tidak langsung juga dicatat, seperti tanda kehadiran berupa jejak kaki, kotoran, bekas cakaran, suara, bau, sarang, dan tanda kehadiran lainnya. Jejak kaki satwa merupakan petunjuk yang baik bagi kehadiran satwaliar di lokasi penelitian. Selain pada transek pengamatan dapat dilakukan pula pada beberapa daerah yang diperkirakan sering dikunjungi oleh satwaliar, seperti daerah tepi sungai, daerah tepi hutan, sekitar pohon pakan, maupun pada daerah yang memiliki tutupan vegetasi yang rapat. Kehadiran mamalia secara tidak langsung juga diidentifikasi berdasarkan informasi maysarakat setempat yang diperoleh melalui wawancara. xxvii

28 Gambar II.6. E.2. Kotoran satwa yang menandakan adanya kehadiran satwa pada wilayah kajian keanekaragaman hayati. Pemasangan Camera Trap Camera trap ditujukan untuk mengetahui jenis dan kehadiran mamalia pada lokasi kajian. Kamera dipasang pada jalur yang diindikasikan sebagai jalur lintasan satwa mamalia. Untuk memudahkan dan mempercepat perolehan gambar (foto), pada jalur ditempatkan umpan untuk memancing mamalia yang datang sehingga bisa terekam oleh kamera. Umpan yang digunakan adalah buahbuahan yang berbau tajam serta daging dan sarden yang juga memiliki bau amis yang tajam. Kamera dipasang dalam rentang waktu yang dianggap cukup untuk memperoleh data lapangan, dalam kajian di wilayah, kamera dipasang selama satu minggu. xxviii

29 Gambar II.7. Pemasangan Camera Trap pada batang pohon di sekitar jalur lintasan satwa. F. Metode Inventarisasi dan Identifikasi Fauna Kelompok Burung F.1. Pengamatan Langsung Pengamatan langsung dilakukan dengan mengidentifikasi burung yang hadir dalam lokasi kajian. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan teropong (binocular) dan monocular. Jenis burung yang ditemukan kemudian diidentifikasi menggunkan buku panduan lapangan (fieldguide) burung SKJB (Sumatera Kalimantan Jawa Bali). Kehadiran kelompok burung juga bisa diidentifikasi xxix

30 berdasarkan tanda jejak seperti bekas kotoran dan sarang. Selain pengamatan secara visual, kehadiran burung juga bisa diidentifikasi berdasarkan suara. Gambar II.8. Tim melakukan pengamatan burung secara langsung menggunakan teropong (binocular). xxx

31 F.2. Pemasangan Jala Kabut (Mist Neting) Jala kabut yang dipasang untuk inventrisari dan identifikasi burung di adalah sebanyak 10 (sepuluh) buah dengan ukuran 6 x 2 meter dan mata jala 35 mm. Jala kabut dipasang dengan cara dibentangkan seperti pemasangan net bulu tangkis atau bola voli, dengan dikaitkan pada sebuah tongkat yang ditancapkan ke tanah dan diikat dengan tali rafia berwarna gelap. Setiap titik pemasangan dipasang sebanyak 5 buah jala kabut dan masing-masing jala ditempatkan jarak m. Gambar II.9. Contoh pemasangan jala kabut (miss net) yang dibentangkan pada jalur lintasan burung. xxxi

32 Jala kabut dipasang pada tempat yang mudah dikenali di dalam hutan agar mempermudah pemasangan dan pembongkaran. Jala kabut dapat ditinggalkan dan dicek setiap 2 (dua) jam, pada malam hari jala kabut dilipat agar tidak menangkap satwa malam seperti kelelawar. Saat burung-burung mulai aktif bergerak pada pagi hari, jala kabut dibuka kembali. Burung-burung yang tertangkap oleh jala kabut langsung dapat diidentifikasi dan diambil dokumentasinya, setelah itu burung tersebut dilepaskan kembali. Lokasi pemasangan jala kabut bisa dipindahkan setelah 2 (dua) sampai 3 (tiga) hari, karena biasanya penangkapan di atas 3 (tiga) hari tidak lagi memberikan hasil yang signifikan. G. Metode Penyusunan Profil Tutupan Lahan Tutupan lahan di disurvei untuk mengetahui kondisi kekinianny. Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi kekinian tutupan lagan (landuse) dari kawasan tersebut digunakan dua cara, yaitu : 1) pemetaan menggunaan software GIS dan analisis berdasarkan citra satelit; dan 2) survei lapangan (groundchecking) untuk mengetahui kondisi riil di lapangan. Kedua metode ini kemudian digabungkan sehingga diperoleh data dan informasi yang akurat berdasarkan padu serasi (overlay) hasil pemetaan di lapangan dengan citra landsat yang diperoleh dari satelit. Tahapan survei tutupan lahan tersebut di gambarkan seperti pada bagan alir di bawah ini. xxxii

33 Citra lansat liputan terbaru Data penunjang: Peta BPS Peta status Kawasan Hutan Interprestasi Landuse berdasarkan rona, warna, tekstur, dan resolusi menggunakan software GIS Klasifikasi Landuse Data Survei Lapangan (ground checkig) Peta Interprestasi Landuse sementara Survei Lapangan (ground checking) Analisis dan perbaikan Peta Interprestasi Land Use sementara Peta Landuse dan tutupan lahan Gunung Aseupan - Banten Gambar II.10. Bagan alir pemetaan landuse dan tutupan lahan kawasan Gunung Karang, Banten. xxxiii

34 a b Gambar II.11. a) Survei dan mencatat data langsung kondisi terkini tutupan dan atat guna lahan lahan di lapangan dan b) GPS yang digunakan untuk menetukan kordinat masing-masing tutupan lahan yang akan di paduserasi dengan citra Landsat menggunakan software GIS. xxxiv

35 BAB III GAMBARAN UMUM A. Letak, Luas, dan Batas Secara administrasi Gunung berada pada dua kabupaten, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Berdasarkan kajian tim Ecositrop 2014, letak astronomis berada pada s/d LS dan s/d BT. Hasil analisis terhadap citra Landsat menunjukkan bahwa kawasan memiliki luas hektar (Ecositrop 2014). merupakan gunung tertinggi dibanding gunung-gunung di sekitarnya. Puncak tertinggi berada pada ketinggian mdpl. Batas-batas wilayah terdiri dari : Sebelah Utara : Kec. Ciomas Kab. Serang Sebelah Selatan : Kec. Mandalawangi, Kaduhejo, dan Kota Pandelang Kab. Pandeglang Sebelah Barat : Kec. Mandalawangi Kab. Pandeglang dan Kec. Ciomas Kab. Sebelah Timur Serang. : Kec. Cadasari dan Kota Pandeglang Kab. pandeglang B. Aksesibilitas Untuk menjangkau dari Jakarta menggunakan kendaraan roda empat (jalur darat) melewati Kota Serang menuju Kota Pandeglang Propinsi Banten. Akses terdekat menuju dari Kota Pandeglang adalah menuju arah barat laut melalui Desa Pager Batu sampai di Kampung Pasir Angin. Jalan yang dilewati merupakan jalan aspal yang rusak, namun bisa dilewati oleh xxxv

36 kendaraan roda empat. Kampung Pasir Angin merupakan pemukiman terakhir yang berada di kaki. Jalur pendakian menuju puncak Gunung Karang adalah jalan setapak yang memelwati kebun dan ladang masyarakat hingga ke wilayah hutan. Akses lain yang bisa digunakan adalah melewati Kecamatan Kaduhejo di wilayah selatan. Kampung terdekat yang berada di kaki bagian selatan adalah Kampung Salam yang juga merupakan jalur yang sering dilewati untuk menuju. C. Gambaran Umum merupakan gunung yang masih aktif yang ditandai dengan adanya kawah yang masih mengeluarkan panas dan belerang. Ekosistem mulai dari kaki gunung berupa sawah dan ladang, kemudian semakin ke atas berupa kebun campuran dan hutan tanaman. Semakin tinggi ekosisitem adalah hutan pegunungan dengan pepohonan yang masih memiliki diamater batang hingga 1,5 meter. Menurut status kawasannya, terbagi menjadi Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Lindung (HL). Areal persawahan dan ladang masyarakat hingga hutan campuran berada pada kawasan HP dan HPT. Kawasan tersebut banyak ditanami oleh berbagai jenis tanaman produksi terutama cengkeh. Jenis tanaman produksi lain yang juga ditemukan adalah kopi, melinjo, dan berbagai jenis buah-buahan seperti nangka, durian, mangga. Selain tanaman roduksi tersebut, masyarakat juga menanam jenis-jenis tanaman kayu pertukangan diantaranya mahoni, sengon, pulai, dan berbagai jenis tanaman kayu lainnya. xxxvi

37 Kondisi lantai hutan pada area budidaya (ladang dan hutan campuran) rekatif bersih dari gulma, terutama pada kawasan yang ditanam cengkeh. Kondisi tersebut memiliki potensi erosi yang cukup tinggi karena tidak adanya tumbuhan cover crop dan kondisi topografi cukup terjal. Jenis tanah pada kawasan secara umum merupakan tanah andosol yang terbentuk akibat pelapukan batuan induk andesit yang merupakan ciri khas dari tanah pegunungan pada sekitar area Gunung Berapi. Tanah tersebut memiliki kondisi yang cukup subur, namun lapian tanah relatif dangkal sehingga kemunginan tanaman budidaya akan terhambat produksinya terutama pada wilayah yang semakin menuju ke atas gunung. xxxvii

38 Gambar III.1. a) Bentuk dilihat dari Kampung Pasir Angin dan b) Kondisi Kampung Pasir Angin yang ada di lereng Gn. Karang (± 688 mdpl). xxxviii

39 Gambar III.2. a) Perjalanan tim survei biodiversity dan tutupan lahan di lokasi studi arah Kawah dan b) Kondisi sebelah kanan dan kiri jalan menuju kawah Gn. Karang berupa kebun. xxxix

40 Gambar III.3. a) Tumpangsari merupakan pola berkebun masyarakat di lereng Gn. Karang dan perawatan tanaman pokok dengan cara penyiangan habis gulma dan b) Kondisi kebun cengkeh warga di lereng Gn. Karang. xl

41 Gambar III.4. a) Kantung air di lereng Gn. Karang yang dimanfaatkan warga untuk menanam sayuran dan b) Mata air yang dimanfaatkan warga sekitar Gn. Karang untuk kebutuhan sehari-hari. xli

42 Gambar III.5. a) Sayuran yang ditanam warga di lereng Gn. Karang dan b) Saung (gubuk) yang banyak dijumpai di sekitar kebun warga di Lereng Gn. Karang. xlii

43 Gambar III.6. Perburuan satwa liar di Gn. Karang masih berlangsung. a) Tim survei berjumpa dengan warga yang membawah burung saat xliii

44 menuju Gn. Karang dan b) Tim juga bertemu dengan warga yang hendak berburu di Gn. Karang. Hutan Kebun Gambar III.7. a) Perbatasan kebun warga dan hutan alam (hutan lindung) Gn. Karang (garis merah) pada ketinggihan mdpl, sekitar 800 m xliv

45 dari perkampungan Pasir Batu dan b) Gambaran umum tutupan tajuk hutan alam Gn. Karang. xlv

46 Gambar III.8. a) Jenis buah hutan jenis di Gn. Karang, buah ini merupakan jenis pakan satwa dan b) Buah herba jenis Clidemia hirta yang biasa di makan burung. xlvi

47 Gambar III.9. a) Tempat yang biasa di pakai untuk bertapa dan b) Tim sedang beristirahat di tengah perjalanan menuju kawah Gn. Karang. xlvii

48 Gambar III.10. a) Struktur vegetasi hutan alam di Gn. Karang dan b) Gambaran lantai hutan di sekitar kawah Gn. Karang. xlviii

49 Gambar III.11. a) Kawah aktif yang ada di Gn. Karang (± mdpl) dan b) Tim survei berfoto di kawah Gn. Karang. xlix

50 Gambar III.12. a) Perjalanan menuju Sumur Tujuh di Gn. Karang dan b) Gambaran kondisi jalur terjal yang dilalui menuju Sumur Tujuh (kawasan wisata relegi) di Gn. Karang. l

51 Gambar III.13. a) Kebun buah warga yang sudah tumbuh besar (diameter 35 cm) di lereng Gn. Karang dan b) Gambaran tajuk pohon buah li

52 Gambar III.14. a) Gambaran umum tegakan hutan alam Gn. Karang di sekitar Sumur Tujuh dan b) Struktur tutupan tajuk hutan alam Gn. Karang. lii

53 Gambar III.15. a) Struktur lantai hutan Gn. Karang di sekitar Sumur Tujuh dan b) Vegetasi jenis Pandanus sp. yang banyak dijumpai di sekitar Sumur Tujuh (± mdpl). liii

54 liv

55 Gambar III.16. a) Tim melakukan analisis vegetasi di lapangan dan b) Kegiatan pengukuran pohon di sekitar Sumur Tujuh Gn. Karang. lv

56 Gambar III.17. a) Proses pengambilan sampel daun di lapangan yang selanjutnya akan diidentifikasi di camp dan b) Pohon jenis Schima walicii (Puspa) berdiameter ± 50 cm di sekitar jalan menuju Sumur Tujuh. lvi

57 Gambar III.18. a) Salah satu sumber mata air dari Sumur Tujuh (± mdpl) yang biasanya digunakan peziarah untuk melakukan ritual mandi dan b) Musholla dan lokasi camping di sekitar Sumur Tujuh. lvii

58 Gambar III.19. a) Tenda dome tempat istirahat tim selama penelitian berlangsung dan b) Foto tim peneliti biodiversity di Gn. Karang. lviii

59 Gambar III.20. a) Tim menemukan bekas penebangan pohon hutan alam di sekitar Sumur Tujuh Gn. Karang dan b) GPS (Global Positioning System) yang menunjukan titik koordinat lokasi penebangan. lix

60 BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG KARANG A. Gambaran Umum Lokasi Studi Vegetasi Kawasan hutan alam gunung karang merupakan kawasan hutan yang secara umum dapat dikelompokan kedalam tipe hutan sekunder muda. Berdasarakan hasil studi lapangan menunjukan bahwa kawasan hutan alam gunung karang sebagiannya merupakan kawasan perkebunan masyarakat yang dimana kawasan tersebut telah dimanfaatkan warga sekitar untuk di jadikan lahan perkebunan dan dijadikan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar lereng gunung karang. Berdasarkan hasil kajian ekologi melalui pendekatan analisis struktur dan komposisi vegetasinya menunjukan bahwa batas kawasan hutan alam dengan kebun masyarakat terletak pada ketinggian 1194 mdpl sekitar 800 m dari perkampungan pasir batu dan batas kebun masyarakat dengan hutan alam arah ke sumur tujuh pada ketinggian 1130 mdpl. Masyarakat sekitar lereng gunung karang sudah mulai berkebun pada ketinggian 481 mdpl yang dimana jenis tanaman yang ditanam berupa jenis tanaman sayur mayur, buah-buahan dan jenis tanaman yang memiliki nilai jual di pasaran. Pada kawasan hutan alam gunung karang banyak didominasi oleh beberapa vegetasi pionir, kategori fast growing species misalnya dari kelompok famili euphorbiaceae, moraceae dll. lx

61 B. Struktur dan Komposisi Jenis Kategori Pohon (DBH > 10 cm) Studi tentang struktur dan komposisi jenis pohon pada kawasan hutan alam gunung karang sangat penting dilakukan untuk memberikan gambaran keanekaragaman hayati jenis pohon serta kondisi penutupan vegetasi yang secara umum akan berpengaruh terhadap kondisi ekologi suatu kawasan. Nilai kualitatif struktur tegakan biasanya berhubungan erat dengan nilai-nilai diameter pohon, tinggi pohon maupun basal area atau luas bidang dasar tegakan pada suatu luasan tertentu, sementara itu komposisi jenis pohon sangat berhubungan erat dengan dominansi suatu jenis pada suatu tempat tertentu serta berhubungan erat dengan parameter yang ada di dalamnya yang meliputi frekuensi kehadiran jenis, luas bidang dasar dan kerapatan pada masing-masing plot penelitian. Dengan diketahuinya komposisi jenis pohon kita bisa menganalisis seberapa besar keterkaitannya dengan ekosistem pada suatu kawasan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu kawasan dengan komposisi jenis pohon yang lebih beragam cenderung memiliki nilai potensi biodiversity yang tinggi dan juga tingkat kehadiran satwa yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan yang miskin potensi biodiversity faunanya. Untuk mengetahui kondisi struktur dan komposisi jenis untuk kategori pohon (DBH 10 cm), maka dilakukan kegiatan identifikasi jenis pohon dan pengukuran diameter pohon setinggi dada (DBH). Pada kegiatan identifikasi dan inventarisasi tegakan pada kawasan hutan alam gunung karang, pohon dengan DBH 10 cm di kelompokkan ke dalam kategori pohon. Semua tegakan baik kategori pohon (tress, DBH 10 cm), pancang (sapling, tinggi 2 m, DBH 10 lxi

62 cm) dan kelompok semai ( seedling, tinggi 2 m) yang ditemukan di dalam plot ukuran 20 m x 100 m (0,2 Ha/plot) dilakukan proses inventarisasi dan identifikasi untuk berikutnya dilakukan analisis nilai dominansinya. Dalam kegiatan penelitian ini, nilai dominansi berdasarkan kepada jumlah kehadiran pohon (FR) dan luas bidang dasar (DR) serta density (KR) masing-masing jenis persatuan luasnya. Selain itu dilakukan identifikasi tegakan di dalam plot pengamatan, juga dilakukan kegiatan eksplorasi/identifikasi jenis pohon dan juga vegetasi pendukung (herba liana) yang berada di sekitar lokasi pengamatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui keragaman dan kehadiran vegetasi secara keseluruhan. Untuk mengetahui komposisi vegetasi tingkat pohon, pada kawasan hutan alam gunung karang masing- masing plot studi di buat ke dalam 7 subplot studi yang secara umum hasil perhitungan dominansi jenisnya dapat dilihat pada Tabel IV-1 dan Gambar IV.1. Khusus untuk struktur vegetasi pohon di kawasan hutan alam gunung karang pada plot berukuran 0.28 ha berhasil diidentifikasi sebanyak 14 jenis tegakan kategori pohon (Tabel IV-1). Dari 14 jenis tegakan kategori pohon (Tabel IV-1) tersebut termasuk dalam 10 jumlah jenis kelompok famili. Pada kawasan hutan alam Gunung karang memiliki nilai kerapatan pohon yang cukup tinggi sebesar pohon/ha. Di sisi lain tingginya nilai kerapatan pohon juga berdampak pada tingginya nilai basal area (BA) (m²/ha), berdasarkan nilai basal areanya kawasan dapat di kategorikan kepada kondisi penutupan Hutan sekunder muda dengan dominansi oleh beberapa jenis pionir cepat tumbuh. lxii

63 N o Tabel IV-1. Nilai dominansi untuk kategori pohon (DBH 10 cm) di lokasi Hutan alam berdasarkan frekuensi, basal area pohon perhektar dan kerapatan pohon perhektar masing-masing jenis pohon. Nama Jenis Family Kerapatan (pohon/ha) Frek uensi (K) (F) (D) BA (m2/ha) KR FR DR INP 1 Altingia excelsa Hamamelidaceae Canarium denticulatum Canarium dumbia Burseraceae Burseraceae Canarium sp. Burseraceae Castanopsis oviformis Fagaceae Ficus racemosa Moraceae Gironniera nervosa Homalanthus populneus Ulmaceae Euphorbiaceae Litsea tomentosa Lauraceae Nothaphoebe sp. Lauraceae Ochreinauclea maingayi Olacaceae Schima wallichii Theaceae Syzygium sp. Myrtaceae Syzygium subrotundifolium Myrtaceae Jumlah Berdasarkan nilai dominansi Pada Tabel IV-1 dan Gambar IV.1 menunjukan bahwa jenis Canarium dencticulatum merupakan jenis yang paling dominan dengan NPJ 84,40 % dan luas bidang dasar 17,37 m 2 /Ha. Selain Canarium dencticulatum, mengacu kepada Gambar IV.1 menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis dominan lainnya yaitu Schima wallichii (NPJ = 55,01 %) lxiii

64 NPJ (%) Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) dan luas bidang dasar 7.09 m²/ha, kemudian diikuti oleh Altingia excelsa (NPJ = 44,19 %) dan luas bidang dasar 7.45 m²/ha. Secara umum keberadaan hutan alam gunung karang ini menjadi penting dan strategis bagi konservasi biodiversity fauna karena areal-areal di sekeliling kawasan ini sebagian sudah terbuka untuk dijadikan lahan perkebunan masyarakat sekitar lereng gunung karang. Pada kawasan hutan alam gunung karang ini juga masih terdapat beberapa jenis flora yang sangat penting bagi sumber pakan kelompok satwa liar baik terresterial maupun kelompok arboreal. Beberapa jenis tersebut antara lain Ficus racemosa, Syzygium sp., Nothaphoebe sp. maupun Syzygium subrotundifolium. Secara umum jenis-jenis yang hadir pada plot tersebut merupakan jenis yang pada umumnya hadir di seluruh kawasan hutan tropis. 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 14 Jenis Pohon Dominan Gambar IV.1. Distribusi Nilai Dominansi (NPJ %) untuk Kategori Pohon (DBH 10 cm) di Kawasan Hutan Alam. lxiv

65 C. Struktur dan Komposisi Jenis Pancang (Sapling) Dalam upaya mengetahui potensi keanekaragaman hayati dan ekologi serta tegakan pada kawasan Hutan alam di, maka dilakukan juga identifikasi pada tingkat pancang. Studi struktur dan komposisi pohon tingkat pancang sangat diperlukan dalam rangka mengetahui dinamika populasi tegakan maupun potensi regenerasi dari proses suksesi di kawasan hutan alam Gunung Karang. Untuk kategori pancang, studi dilakukan pada plot yang sama saat proses identifikasi tingkat pohon dilakukan pada masing-masing plot studi. Analisis struktur dan komposisi pancang di kawasan Hutan alam Gunung Karang dilakukan pada 7 plot dengan ukuran (5 m x 5 m). Pada pengamatan di lokasi studi Hutan alam berhasil diidentifikasi sebanyak 5 jenis pancang yang tergolong kedalam 4 Famili. Dilihat dari keragaman jenisnya pada tingkat pancang, kawasan hutan alam gunung karang memiliki potensi keragaman jenis yang relatif rendah disebabkan telah terjadi pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan masyarakat sekitar Gunung karang. Hasil perhitungan dominansi jenis pada tingkat pancang secara detail dapat dilihat pada Tabel IV-2. Dan Gambar IV.2. berikut ; lxv

66 Tabel IV-2. Nilai dominansi untuk kategori pancang (sapling, tinggi 2 m, DBH 10 cm) di lokasi Hutan Alam berdasarkan frekuensi, dan kerapatan pohon perhektar masing-masing jenis pohon. No Nama Jenis Family Kerapatan (pohon/ha) Frekuensi KR FR SDR 1 Canarium dumbia Burseraceae Canarium sp. Burseraceae Homalanthus populneus Euphorbiaceae Litsea racemosa Lauraceae Schima wallichii Theaceae (K) Jumlah Berdasarkan pada Tabel IV-2 dan Gambar IV.2 secara umum kawasan hutan alam gunung karang merupakan kawasan dengan jumlah jenis, dan famili pohon yang relatif sedikit pada tingkat pancang. Dari hasil identifikasi diperoleh 5 jenis pancang yang termasuk ke dalam 4 famili. Secara umum diantara 5 jenis pohon kategori pancang terdapat 1 jenis pohon kategori pancang yang memiliki nilai dominansi tertinggi di kawasan hutan tersebut. Pada Tabel IV-2 dan Gambar IV.2 dapat dilihat jenis Schima wallichii mendominasi di lokasi studi hutan alam gunung karang dimana baik dilihat melalui nilai kerapatan relatif maupun nilai dominansi relatifnya memiliki nilai SDR % tertinggi sebesar % sedangkan (F) untuk 4 jenis pohon kategori pancang yaitu Canarium dumbia, Canarium sp, Homalanthus populneus, dan Litsea racemosa memiliki nilai SDR % yang seragam yaitu %. lxvi

67 SDR (%) Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Schima wallichii Canarium dumbia Canarium sp. Homalanthus populneus 5 Jenis Pancang Dominan Gambar IV.2. Nilai Dominansi (SDR %) untuk Kategori Pohon tingkat pancang (sapling, tinggi 2 m, DBH 10 cm) di Kawasan Hutan Alam. D. Struktur dan Komposisi Jenis Semai (Seedling) Litsea racemosa Pada masing-masing plot penelitian selain dilakukan perhitungan identifikasi jenis tingkat pohon dan pancang, juga dilakukan perhitungan tingkat semainya. Khusus untuk vegetasi pohon pada tingkat semai dilakukan pada 7 petak ukur (ukuran 2 m x 2 m) yang tersebar di seluruh lokasi penelitian. Secara umum kawasan Hutan alam berdasarkan struktur dan komposisi pohon pada tingkat semai (seedling) menunjukkan bahwa tingkat kerapatan semai sebesar 2500 pohon/ha. Hasil identifikasi di kawasan Hutan alam gunung karang lxvii

68 pada tingkat semai jumlah jenis yang teridentifikasi sebesar 6 jenis yang tergolong kedalam 4 Famili. Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tingkat Semai yang secara umum hasil perhitungan dominansi jenisnya dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Gambar IV.3. Tabel IV-3. Distribusi Nilai dominansi untuk kategori Semai (seedling, tinggi 2 m) di lokasi Hutan alam gunung karang berdasarkan frekuensi, dan kerapatan pohon perhektar masing-masing jenis pohon. No Nama Jenis Family Kerapatan (pohon/ha) Frekuensi KR FR SDR 1 Canarium denticulatum Burseraceae Canarium dumbia Burseraceae Canarium sp. Burseraceae Castanopsis oviformis Fagaceae Ficus magnoliifolia Moraceae Ochreinauclea maingayi Olacaceae (K) Jumlah Berdasarkan hasil analisis data vegetasi pada Tabel IV-3 dan Gambar IV.3 secara umum kawasan hutan alam gunung karang merupakan kawasan dengan jumlah jenis, dan famili pohon yang relatif sedikit pada tingkat semai. Dari hasil identifikasi diperoleh 6 jenis semai yang termasuk ke dalam 4 famili. Secara umum diantara 6 jenis pohon kategori semai terdapat 1 jenis pohon kategori semai yang memiliki nilai dominansi tertinggi di kawasan hutan tersebut. Pada Tabel IV-3 dan Gambar IV.3 dapat dilihat jenis Canarium denticulatum mendominasi di lokasi studi hutan alam gunung karang dimana (F) lxviii

69 SDR (%) Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) baik dilihat melalui nilai kerapatan relatif maupun nilai dominansi relatifnya memiliki nilai SDR % tertinggi sebesar % sedangkan untuk 4 jenis pohon kategori semai yaitu Canarium dumbia, Canarium sp, Castanopsis oviformis, Ficus magnoliifolia dan Ochreinauclea maingayi memiliki nilai SDR % yang seragam yaitu %. Hal ini cukup beralasan mengingat jenis pohon tingkat semai pada plot studi relatif sedikit sebab kawasan hutan alam gunung karang sebagian besar lahannya dijadikan areal perkebunan oleh masyarakat sekitar lereng gunung karang. 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 6 Jenis Semai Dominan Gambar IV.3. Nilai Dominansi (SDR %) untuk Kategori Pohon Tingkat Semai (seddling, tinggi 2 m) di Kawasan Hutan Alam. lxix

70 E. Kehadiran dan Keragaman Jenis Pohon Dari hasil identifikasi dan inventarisasi tegakan kategori pohon, pancang dan semai, selanjutnya dilakukan kombinasi tabulasi data masing-masing kategori untuk mendapatkan informasi kehadiran dan keragaman jenis pohon secara keseluruhan. Ditambahkan juga data dari kegiatan eksplorasi yaitu mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang ditemui diluar plot pengamatan vegetasi (plot vegetasi, 0.28 ha). Merujuk kepada hasil kombinasi seluruh data tegakan (Tabel IV.4) di peroleh informasi bahwa sedikitnya terdapat 57 jenis pohon pada lokasi penelitian hutan alam. Untuk keterangan kehadiran dan keragaman jenis secara terperinci dapat dilihat pada Tabel IV.4. berikut ini : Tabel IV.4. Kehadiran dan keragaman jenis tegakan di lokasi studi hutan alam. No Jenis Pohon Family Kategori Plot Pohon Pancang Semai 1 Altingia excelsa Hamamelidaceae + + Eksplorasi 2 Antidesma leucopodium Euphorbiaceae + 3 Barringtonia pendula Lecythidaceae + 4 Canarium denticulatum Burseraceae Canarium dumbia Burseraceae Canarium sp. Burseraceae Canarium sumatranum Burseraceae + 8 Castanopsis oviformis Fagaceae Castanopsis paucispina Fagaceae + 10 Cinnamomum sp. Lauraceae + 11 Cinnamomum sintoc Lauraceae + 12 Cleistanthus brideliifolius Euphorbiaceae + 13 Cleistanthus myrianthus Euphorbiaceae + 14 Dehaasia cuneata Lauraceae + lxx

71 Tabel IV-4. Lanjutan No Jenis Pohon Family Kategori Plot Pohon Pancang Semai Eksplorasi 15 Dichapetalum gelonides Dichapetalaceae + 16 Dichapetalum toxicarium Dichapetalaceae + 17 Diospyros buxifolia Ebenaceae + 18 Dysoxylum sp Meliaceae + 19 Eltingera sp. Zingiberaceae + 20 Ficus benjamina Moraceae + 21 Ficus magnoliifolia Moraceae Ficus oligodon Moraceae + 23 Ficus racemosa Moraceae + 24 Ficus schwarzii Moraceae + 25 Ficus semicordata Moraceae + 26 Ficus ucinata Moraceae + 27 Ficus variegata Moraceae + 28 Gironniera nervosa Ulmaceae + 29 Glochidion calospermum Euphorbiaceae + 30 Glochidion sericeum Euphorbiaceae + 31 Glochidion sp. Euphorbiaceae + 32 Gordonia sp Theaceae + 33 Homalanthus populneus Euphorbiaceae Hullettia sp. Moraceae + 35 Imperata cylindrica Poaceae + 36 Ixonanthes sp. Ixonanthaceae + 37 Lepisanthes sp Sapindaceae + 38 Lepisanthes tetraphylla Sapindaceae + 39 Litsea noronhae Lauraceae + 40 Litsea racemosa Lauraceae + 41 Litsea tomentosa Lauraceae + 42 Macaranga sp Euphorbiaceae + 43 Nothaphoebe sp. Lauraceae + 44 Noenauclea excelsa Rubiaceae + 45 Ochreinauclea maingayi Olacaceae + 46 Pandanus tectorius Pandanaceae + lxxi

72 Tabel IV-4. Lanjutan 47 Porterandia anisophylla Rubiaceae + 48 Prainea sp. Moraceae + 49 Rubiaceae sp Rubiaceae + 50 Schima wallichii Theaceae Syzygium salictoides Myrtaceae + 52 Syzygium sp. Myrtaceae Syzygium stapfianum Myrtaceae + 54 Syzygium subrotundifolium Myrtaceae + 55 Trema tomentosa Urticaceae + 56 Tristaniopsis razakiana Myrtaceae + 57 Vernonia arborea Compositae + Jumlah Jika merujuk kepada data pada Tabel IV-4 maka kehadiran keragaman jenis pohon pada lokasi studi hutan alam terdapat banyak jenis pohon yang merupakan jenis pohon pakan diantaranya jenis dari kelompok : Syzygium, Ficus, Notaphoebe, Knema, Vernonia dan jenis lainnya. Mengacu pada Gambar IV.4 kelompok famili dari jenis Moraceae merupakan jenis yang paling dominan dibandingkan jenis lainnya. Kelompok family dari jenis moraceae merupakan kelompok jenis pohon pakan bagi satwaliar yang dimana hadir cukup potensial pada kawasan hutan alam. Jenis-jenis tersebut sangat penting untuk menjaga kehadiran satwa terutama mamalia pada kawasan hutan alam. dan lxxii

73 Famili Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Zingiberaceae Urticaceae Ulmaceae Poaceae Pandanaceae Olacaceae Meliaceae Lecythidaceae Ixonanthaceae Hamamelidaceae Ebenaceae Compositae Theaceae Sapindaceae Fagaceae Dichapetalaceae Rubiaceae Burseraceae Myrtaceae Lauraceae Euphorbiaceae Moraceae Jumlah Jenis Gambar IV.4. Perbandingan Jumlah jenis pohon pada masing-masing Famili. lxxiii

74 Gambar IV.5. a) Tutupan tajuk pohon hutan dan b) Pohon jenis Schima walichii (puspa) yang berdiameter 140 cm ditemukan di sekitar kawah. lxxiv

75 F. Kehadiran dan Keragaman Vegetasi Pendukung Pada lokasi hutan alam juga dilakukan identifikasi dan inventarisasi keragaman flora vegetasi pendukung untuk melihat seberapa besar kehadiran pada tumbuhan bawah (herba),dan tumbuhan perambat (liana), pada tutupan kawasan hutan alam gunung karang. Kehadiran herba dan liana juga dapat dijadikan indikator untuk melihat tingkat keterbukaan lahan maupun tipe penutupan kawasan. Selain itu juga herba liana merupakan pakan bagi satwa herbivora, sehingga kehadirannya sangat penting dalam proses ekosisitem kawasan hutan. Sedikitnya ditemukan 46 jenis vegetasi pendukung dengan kategori herba, liana, epifit dan palm di hutan alam. Uraian seluruh jenis vegetasi pendukung yang hadir di hutan alam dapat dilihat pada Tabel IV-5. Gambar IV.6. Tim melakukan identifikasi pencatatan jenis-jenis flora kelompok herba dan liana yang ada di Gn. Karang. lxxv

76 Tabel IV-5. Kehadiran dan keragaman jenis vegetasi pendukung (herba, liana,epifit dan palm) pada lokasi studi hutan alam. No Nama Latin Family Kategori H/L/E/P 1 Alocacia sp Araceae H 2 Alpinia sp Zingiberaceae H 3 Arenga pinnata Arecaceae P 4 Asplenium nidus Aspleniaceae E 5 Bambusa sp Poaceae H 6 Begonia sp. Araceae H 7 Blumea riparia Asteraceae H 8 Callicarpa sp Verbenaceae H 9 Centrosema sp Fabaceae L 10 Clidemia hirta Melastomataceae H 11 Costus speciosus Zingiberaceae H 12 Corymborkis veratrifolia Orchidaceae H 13 Dendrocide sp Urticaceae H 14 Eltingera sp Zingiberaceae H 15 Euphatorium sp Asteraceae H 16 Ficus grosuloides Moraceae L 17 Ficus sp Moraceae L 18 Flagellaria sp Flagellariaceae L 19 Globba sp Zingiberaceae H 20 Heterongium sp Glossopteridaceae H 21 Histiopteris incisa Dennstaedtiaceae H 22 Hyptis Capitata Lamiaceae H 23 Ixora Rubiaceae H 24 Lantana camara Verbenaceae H 25 Leea indica Leeaceae H lxxvi

77 Tabel IV-5. Lanjutan. No Nama Latin Family Kategori H/L/E/P 26 Melastoma malabathricum Melastomataceae H 27 Microlepia malinensis Dennstaedtiaceae H 28 Microlepia spulurcae Dennstaedtiaceae H 29 Milkania micrantha Asteraceae L 30 Mimosa pudica Fabaceae L 31 Musa abaca Musaceae H 32 Nephrolepis sp. Oleandraceae H 33 Omphalea sp Euphorbiaceae H 34 Pandanus sp Pandanaceae H 35 Pandanus taetorius Pandanaceae H 36 Piper aduncum Piperaceae H 37 Poikilos permum sp Cecropiaceae L 38 Puspalum sp Poaceae H 39 Rubus mollucanus Rosaceae L 40 Scleria purpurescens Cyperaceae H 41 Selaginella sp Selaginellaceae H 42 Smilax modesta Smilacaceae L 43 Smilax sp Smilacaceae L 44 Solanum sp Solanaceae H 45 Timonius sp Rubiaceae H Keterangan; H = Herba, L = Liana, E = Epifit, P = Palm lxxvii

78 Mengacu pada hasil analisis vegetasi pada Tabel IV-5 dan Gambar IV.7 terdapat variasi jumlah herba, liana, epifit dan palm yang berhasil diidentifikasi. Keragaman dan kehadiran Jumlah jenis vegetasi pendukung jenis herba mendominasi di areal studi gunung karang yaitu sebanyak 34 jenis, sedangkan untuk kategori jenis Liana ditemukan sebanyak 10 jenis. Untuk kategori jenis Epifit dan palm masing-masing hanya ditemukan sebanyak 1 jenis. Kehadiran jenis Epifit dan palm yang relatif sedikit di kawasan hutan alam gunung karang dengan tipe tutupan lahan sebagian besar kawasan perkebunan cukup beralasan mengingat pada lokasi seperti ini pada umumnya sudah banyak areal yang terdegradasi sehingga jenis Epifit dan palm tumbuh relatif sedikit. Di sisi lain pada kawasan tersebut juga telah dilakukan pengelolaan yang cukup intensif oleh petani. Sementara itu banyaknya jenis herba dan liana di kawasan alam gunung karang cukup beralasan mengingat kawasan tersebut merupakan habitat yang cocok bagi pertumbuhan herba dan liana yang masih dapat tumbuh dengan baik pada kawasan hutan yang terbuka dengan tingkat intensitas cahaya matahari yang tinggi. Data hasil eksplorasi vegetasi pendukung diperoleh dari identifikasi pada jalur hutan alam yang perbandingan jenis tumbuhan berdasarkan kategori / pengelompokannya dalam kelompok herba, liana, palm dan epifit dapat dilihat pada Gambar IV.5 berikut ini. lxxviii

79 Jumlah Jenis Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Herba Liana Epifit Palm Kelompok Vegetasi Gambar IV.7. Perbandingan Jumlah jenis herba, liana, epifit dan palm di lokasi studi hutan alam. G. Kehadiran dan Keragaman Jenis Tanaman Perkebunan Pada lokasi studi di kawasan gunung karang juga dilakukan identifikasi jenis tanaman perkebunan milik masyarakat sekitar lereng gunung karang. Dari hasil analisis vegetasi pada Tabel IV-6 diperoleh data hasil identifikasi dan inventarisasi ditemukan sebanyak 14 Jenis tanaman perkebunan yang sengaja ditanam oleh masyarakat sekitar lereng gunung karang untuk dijadikan sumber mata pencaharian dan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar lereng gunung karang. Adapun uraian seluruh jenis vegetasi tanaman perkebunan yang berada di kawasan dapat dilihat pada Tabel IV-6 berikut ini : lxxix

80 Tabel IV-6. Kehadiran dan keragaman jenis tanaman perkebunan pada lokasi studi hutan alam. No Nama Daerah Nama Ilmiah Family 1 Cengkeh Syzigium aromaticum Myrtaceae 2 Nangka Artocarpus heterophyllus Moraceae 3 Kopi Coffea robusta Rubiaceae 4 Melinjo Gnetum gnemon Gnetaceae 5 Macaranga Macaranga sp. Euphorbiaceae 6 Mindi Melia azedarach Meliaceae 7 Pisang Musa abaca Musaceae 8 Rambutan Nephelium sp. Sapindaceae 9 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae 10 Petai Parkia speciosa Fabaceae 11 Alpukat Persea americana Lauraceae 12 Mahoni Swietenia mahagoni Meliaceae 13 Jambu Syzigium sp. Myrtaceae 14 Suren Toona sinensis Bombaceae lxxx

81 Gambar IV.8. Tanaman jenis Swietenia macrophylla (Mahoni) yang ditanam dan ditumpangsarikan dengan sayuran pada hutan tanaman rakyat. lxxxi

82 BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG KARANG A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia merupakan salah satu hutan lindung yang ada di Propinsi Banten. Fungsi utama hutan lindung adalah sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, pencegah erosi, pencegah banjir dan membantu mempertahankan kesuburan tanah. Kawasan diduga menyimpan potensi keanekaragamanhayati (KEHATI) yang tinggi sehingga selain berfungsi sebagai kawasan hutan lindung juga sebagai habitat satwaliar khususnya kelompok mamalia yang ada di dalamnya. Namun, saat ini perambahan dan pembukaan lahan semakin meningkat sehingga luasan habitat bagi satwaliar semakin menyempit. Saat ini, luas kawasan hutan lindung < 1000 ha dari total luas ± Kondisi ini sangat memprihatinkan karena dapat mengurangi jumlah individu maupun jumlah spesies. Satwaliar khususnya kelompok mamalia dianggap penting karena kelompok mamalia merupakan elemen penting dalam jaringan hubungan timbal balik yang kompleks. Hal ini erat kaitannya dengan peran satwaliar khususnya kelompok mamalia sebagai pengatur tumbuhnya pohon dengan cara memakan dan/atau menyebarkan biji secara selektif (Curran dan Webb, 2000). Kegiatan pengamatan satwaliar kelompok mamalia dilakukan dalam rangka mengamati kehadiran dan keragaman jenis mamalia pada kawasan Gunung Karang. Pengamatan terhadap mamalia pada lokasi studi dilakukan melalui metode yang bervariasi: (a) Pertemuan visual dan pengamatan terhadap berbagai lxxxii

83 penanda kehadiran (jejak kaki, kotoran, bekas cakaran, bunyi, suara dan sebagainya); (b) Penggunaan kamera trap yang dipasang pada tempat-tempat strategis di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Pengamatan dengan menggunakan kamera trap dilakukan dengan memasang sebanyak 7 unit kamera trap. Hasil pengamatan satwaliar kelompok mamalia pada kawasan Gunung Karang dapat dilihat pada Tabel V-1 berikut. Tabel V-1. No Nama Lokal Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di hutan. Nama Jenis Nama Ilmiah Family 1 Lutung jawa Trachypithecus auratus Cercopithecidae Pengamatan 2 Rusa timor Rusa timorensis Cervidae Jejak Metode pengamatan 3 Kijang muntjak Muntiacus muntjak Cervidae Jejak 4 Pelanduk Tragulus sp Tragulidae Kamera trap 5 Babi hutan Sus barbatus Suidae Kamera trap, pengamatan 6 Macan tutul Panthera pardus Felidae Informasi 7 Teledu sigung Mydaus javanensis Mustelidae Kamera trap 8 Tenggalung malaya Viverra tangalunga Viverridae Kamera trap 9 Musang akar Arctogalidia trivirgata Viverridae Kamera trap 10 Musang galing Paguma larvata Viverridae Kamera trap, pengamatan 11 Garangan jawa Herpestes javanicus Herpestidae Kamera trap 12 Trenggilling peusing Manis javanica Manidae Sarang 13 Bajing bergaris tiga Lariscus insignis Sciuridae Kamera trap 14 Bajing Callosciurus sp Sciuridae Pengamatan 15 Tupai Tupaia sp Tupaidae Pengamatan 16 Tikus Rattus sp Muridae Pengamatan lxxxiii

84 Berdasarkan data pada Tabel V-1 menunjukkan bahwa terdapat 16 jenis satwaliar kelompok mamalia yang berhasil teridentifikasi melalui metode yang bervariasi. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan cukup menarik karena ditemukan jenis-jenis yang secara Nasional dilindungi misalnya jenis Trachypithecus auratus dan Mydaus javanensis. Secara umum, jenis Trachypithecus auratus hidup secara berkelompok 6-20 individu. Jenis tersebut merupakan mamalia arboreal atau mamalia yang melakukan segala aktivitasnya termasuk makan di atas pohon (Nursal, 2001). Jenis Trachypithecus auratus mempunyai sifat agonistic atau mewaspadai terhadap predator, pesaing, penganggu, termasuk manusia. Hadirnya jenis Trachypithecus auratus cukup beralasan karena ditemukan pohon pakan diantaranya jenis Ficus (buah ara), Vernonea arborea, dan jenis Disoxylum sp. Material tumbuhan yang dimakan oleh jenis Trachypithecus auratus berupa pucuk daun muda. Keragaman satwaliar kelompok mamalia dilihat dari jumlah famili (suku) cukup baik karena terdapat kelompok famili pemakan tumbuhan (herbivora) dan kelompok famili pemakan daging (karnivora). Gambar V.1 menyajikan hasil pengamatan berdasarkan keragaman famili. lxxxiv

85 Jumlah Jenis Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Gambar V.1. Famili Keragaman kelompok mamalia berdasarkan famili di kawasan. Berdasarkan data pada Gambar V.1 menunjukkan bahwa terdapat 12 kelompok famili. Kelompok famili Viverridae merupakan yang terbanyak dalam hal komposisi jenis yaitu 3 jenis kelompok famili Viverridae. Namun, perbedaan komposisi jenis dalam satu family tidak signifikan atau cenderung merata. Kondisi erat hubungannya dengan pola pakan kelompok famili tersebut misalnya perilaku pakan jenis Arctogalidia trivirgata dan Paguma larvata. Secara umum, jenis Arctogalidia trivirgata dapat memakan buah-buahan dan mamalia kecil (Ario, 2010). satwa tersebut aktif cenderung aktif pada malam hari dan bergerak/beraktivitas di atas pohon. Sedangkan jenis Paguma larvata dapat ditemukan di areal perkebunan dan hutan sekunder. sumber pakan utamanya lxxxv

86 berupa buah-buahan mamalia kecil. jenis Paguma larvata cenderung aktif pada malam hari dan beraktivitas pada diantara tajuk-tajuk pohon (Arboreal). Gambar V.2. Jenis Arctogalidia trivirgata (hasil kamera trap) yang ditemukan di kawasan. lxxxvi

87 Gambar V.3. Jenis Paguma larvata (pengamatan langsung) ditemukan di kawasan. Secara umum, jenis mamalia dapat dikelompokkan berdasarkan waktu aktifnya yaitu (1) diurnal (satwa liar yang aktif pada siang hari); (2) nocturnal (satwa liar yang aktif pada malam hari); dan (3) metaturnal (satwa liar yang aktif pada siang dan malam hari). Menurut Meijaard et al. (2006), mamalia dapat dikelompokkan berdasarkan stratifikasi ekologi yaitu kelompok arboreal (hidup dipepohonan/tajuk pohon), kelompok terresterial (hidup di permukaan tanah) dan kelompok aquatik (tinggal di wilayah perairan). Selain itu, mamalia juga dapat dikelompokkan berdasarkan kelas makannya yaitu kelompok herbivore (pemakan tumbuhan), kelompok karnivore (pemakan daging/hewan lainnya) lxxxvii

88 dan kelompok omnivore (pemakan tumbuhan dan pemakan daging/hewan lainnya). Pengelompokkan mamalia pada Kawasan berdasarkan waktu aktif, stratifikasi ekologi dan kelas makannya dapat dilihat pada tabel V-2 berikut ini. Tabel V-2. Klasifikasi jenis mamalia berdasarkan kelas makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi. No Nama Ilmiah Famili Kelas Makan Waktu aktif Stratifikasi Car Her Omn Diu Noc Met Arb Ter 1 Trachypithecus auratus Cercopithecidae 2 Rusa timorensis Cervidae 3 Muntiacus muntjak Cervidae 4 Tragulus sp Tragulidae 5 Sus barbatus Suidae 6 Panthera pardus Felidae 7 Mydaus javanensis Mustelidae 8 Viverra tangalunga Viverridae 9 Arctogalidia trivirgata Viverridae 10 Paguma larvata Viverridae 11 Herpestes javanicus Herpestidae 12 Manis javanica Manidae 13 Lariscus insignis Sciuridae 14 Callosciurus sp Sciuridae 15 Tupaia sp Tupaidae 16 Rattus sp Muridae Berdasarkan data pada Tabel V-2 menunjukkan bahwa keseimbangan sistem rantai makanan pada Kawasan relatif baik karena ditemukan satwa herbivora dan karnivora. lxxxviii

89 Gambar V.4. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Karang berdasarkan kelas makan. Gambar V.5. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Karang berdasarkan waktu aktif lxxxix

90 Gambar V.6. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Karang berdasarkan stratifikasi ekologi. Berdasarkan data pada Gambar V.4 menunjukkan bahwa tingkat kehadiran jenis mamalia herbivora merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan perilaku pakan yang lain yaitu sebanyak 7 jenis mamalia. Kondisi ini dikarenakan oleh pohon pakan yang melimpah diantaranya jenis-jenis dari famili Moraceae, Lauraceae dan Myrtaceae yang paling dominan. Kehadiran pohon pakan yang melimpah nampanya menarik satwa-satwa herbivora hadir pada lokasi tersebut diantaranya jenis Tragulus sp, Rusa timorensis dan Muntiacus muntjac. Jenis-jenis tersebut merupakan pemakan buah dan sangat bergantung pada buah-buahan yang jatuh (Rayadin dkk, 2013). Kehadiran jenis Tragulus sp, Rusa timorensis dan Muntiacus muntjac nampaknya menjadi keuntungan tersendiri bagi jenis Panthera pardus. Jenis xc

91 Panthera pardus merupakan mamalia karnivora dan aktif bergerak pada siang dan malam hari. Saat ini, status jenis tersebut dilindungi oleh PP No 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Satwa tersebut diduga berkurang populasinya akibat perburuan dan berkurangnya luas habitat. Jenis Tragulus sp, Rusa timorensis dan Muntiacus muntjac tersebut merupakan mangsa utama bagi jenis Panthera perdus (Ario, 2010). Sehingga sangat beralasan jenis Panthera perdus hadir di Kawasan. Gambar V.6 menunjukkan adanya 15 jenis satwa aktif bergerak di lantai hutan (terrestrial). Selain itu, pada Tabel V-2 menunjukkan bahwa jenis-jenis terresterial cenderung aktif pada mamal hari (nocturnal) namun, beberapa jenis diantaranya dapat aktif pada siang hari. Kondisi ini berkaitan dengan adanya aktivitas manusia pada siang hari sehingga, satwa-satwa yang hadir merupakan satwa yang cenderung aktif pada malam hari misalnya jenis Mydaus javanensis. Jenis Mydaus javanensis merupakan satwa nocturnal dan melakukan aktivitasnya di lantai hutan (terresterial). Jenis tersebut terdapat di hutan yang tinggi dan hutan sekunder, namun terkadang terlihat di kebun-kebun yang berdekatan dengan hutan (Ario, 2010). Untuk bertahan hidup, umumnya jenis tersebut memakan cacing tanah dan larva tonggeret yang diperoleh dengan menggali tanah yang lembek menggunakan moncong dan cakarnya yang panjang. xci

92 Gambar V.4. Jenis Panthera pardus (sumber informasi dan dokumentasi: warga setempat). Gambar V.4. Jenis Mydaus javanensis (pengamatan kamera trap) ditemukan di Kawasan. xcii

93 B. Kehadiran Satwaliar Kelompok Burung Setiap daerah hutan menjanjikan keragaman jenis yang spesifik dalam komposisi jenis burungnya, karena sangat tergantung dari kondisi habitat yang ada seperti adanya faktor-faktor abiotik maupun biotik lainnya. Kondisi edafis sangat menentukan kualitas dari jenis tumbuhan yang hidup di atasnya dan seterusnya kondisi tegakan menentukan kondisi iklim mikro di dalam hutan, bahkan di luar hutan di sekitar kawasan. Daerah dengan kondisi tutupan vegetasi yang masih rapat umumnya sangat mudah turun hujan dari hasil evapotranspirasi daerah sekitarnya. Belum lagi tegakan seperti hutan di wilayah kawah dan sumur tujuh menyediakan beragam jenis pakan dan banyaknya jenis serangga yang juga menjadi makanan banyak jenis burungburung hutan. Penelitian ini mencoba mencatat dan merekam sebanyak mungkin jenis yang ditemukan, baik melalui metode pengamatan dan penangkapan maupun identifikasi lewat suara. Pada daerah dengan ketinggian di bawah meter dari permukaan laut seperti wilayah kawah dan sumur tujuh pada umumnya akan didapat keragaman jenis yang optimal, walaupun pada kenyataannya memperlihatkan bahwa penyebaran keanekaragaman di dalam hutan tropis juga ada kecenderungan tidak merata. B.1. Keragaman Jenis Pada dasarnya pengamatan dilakukan seharian penuh untuk masingmasing hari kerja. Namun dari kegiatan pengamatan terkonsentrasi pada dua waktu, pagi dan sore hari. Dua periode waktu tersebut merupakan waktu dimana xciii

94 kelompok burung aktif dalam melakukan aktifitasnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di jalur kawah maupun sumur tujuh ditemukan 39 jenis burung baik pengamatan dengan menggunakan mist net (jala kabut), secara langsung maupun pengamatan tidak langsung. Beberapa diantaranya yaitu walet linchi (Collocalia linchi), kacamata biasa (Zosterops palpetrosus), cinenen pisang (Orthotomus sutonus) dan Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster). Data mengenai jumlah jenis burung yang telah ditemukan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel V.3. Kehadiran jenis avifauna di kawasan hutan. Nama Jenis No Lokal Latin Famili Kelas Status Makan Nasional 1 Elang Ular Jari Pendek Circaetus gallicus Accipitridae R D 2 Raja Udang Kalung Biru Alcedo euryzona Alcedinidae Insec/Pisc D 3 Raja Udang Meninting Alcedo meninting Alcedinidae Insec/Pisc D 4 Udang Api Ceyx erithacus Alcedinidae Insec/Pisc D 5 Walet linchi Collocalia linchi Apodidae 6 Walet sarang putih Collocalia fuciphaga Apodidae 7 Layang-layang Rumah Delichon dasypus Alaudidae 8 Delimukan Zamrud Chalcophaps indica Columbidae AF TD 9 Tekukur Biasa Streptopelia chinensis Columbidae AFGI 10 Perkutut Jawa Geopelia striata Columbidae AFGI 11 Cica daun kecil Chloropsis cyanopogon Chloropseidae AFGI 12 Gagak Hutan Corvus enca Corvidae AFGI 13 Bubut Alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae AFGI 14 Bubut Besar Centropus sinensis Cuculidae AFGI 15 Cabai Jawa Dicaeum trochileum Dicaeidae AFGI/F TD 16 Srigunting Hitam Dicrurus macrocercus Dicruridae SSI 17 Bentet kelabu Lanius schach Laniidae 18 Burung madu blukar Anthreptes singalensis Nectariniidae NIF D 19 Pijantung Kecil Arachnothera longirostra Nectariniidae NI D xciv

95 Tabel V.3. Lanjutan No Lokal Nama Jenis Latin Famili Kelas Makan 20 Pijantung Besar Arachnothera robusta Nectariniidae NI 21 Kacembang Gadung Irena puella Oriolidae AFGI/F Status Nasional 22 Kepudang kuduk hitam Oriolus chinensis Oriolidae AFGI/F TD 23 Bondol Rawa Lonchura malacca Ploceidae TF TD 24 Empuloh Irang Alophoixus phaeocephalus Pycnonotidae AFGI/F 25 Cucak Kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae AFGI/F 26 Cucak kuning Pycnonotus melanicterus Pycnonotidae AFGI/F TD 27 Merbah Kaca Mata Pycnonotus erythrophthalmos Pycnonotidae AFGI/F TD 28 Cucak Kuricang Pycnonotus atriceps Pycnonotidae AFGI/F 29 Empuloh janggut Alophoixus bres Pycnonotidae AFGI/F 30 Merbah Cerukcuk Pycnonotus goavier Pycnonotidae AFGI/F 31 Paok Pancawarna Pitta guajana Pittidae 32 Cinenen Pisang Orthotomus sutonus Silviidae AFGI 33 Cinenen Jawa Orthotomus sepium Silviidae AFGI 34 Cinenen Kelabu Orthotomus ruficeps Silviidae AFGI TD 35 Cinenen Merah Orthotomus sericeus Silviidae AFGI TD 36 Pelanduk Semak Malacocinla sepiarium Timaliidae TI 37 Kucica Hutan Copsychus malabaricus Turdidae AFGI 38 Kacamata Gunung Zosterops montanus Zosteropidae 39 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Zosteropidae Keterangan : A = arboreal; F = frugivore; G = generalist; I = insectivore; N = nectivore; T = terrestrial; R = raptor; Insec = insectivore; Pisc = pisces; D = Dilindungi; TD = Tidak Dilindungi xcv

96 Berdasarkan Tabel V.3 diketahui bahwa kawasan hutan gunung karang memiliki potensi wisata berupa burung-burung yang dapat di jadikan sebagai objek kegiatan wisata bird watching. Kawasan hutan gunung karang memiliki keanekaragaman jenis burung di karenakan kawasan gunung karang memiliki sumberdaya alam yang dapat dijadikan sumber pakan oleh burung-burung tersebut, salah satunya yaitu sumber makanan yang banyak terdapat di kawasan hutan gunung karang. Sebagian besar burung-burung yang berhasil diidentifikasi merupakan pemakan serangga-serangga kecil seperti semut dan lebah serta ulat dan laba-laba (insectivore). Jumlah burung yang ditemukan di kawasan hutan kawah gunung karang lebih banyak dari pada yang ditemukan di kawasan hutan sumur tujuh. Salah satu penyebabnya yaitu karena pada jalur pendakian menuju sumur tujuh telah banyak aktifitas manusia baik itu masyarakat berladang maupun masyarakat yang datang untuk berjiarah di sumur tujuh. Selain itu, pepohonan di kawasan kawah juga cukup terbuka sehingga mudah dalam melakukan pengamatan langsung. Vegetasi yang rapat di kawah sumur tujuh membuat sulit dalam melakukan pengamatan burung walaupun banyak sekali suara burung yang terdengar. Tutupan lahan dan kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi jenis burung yang mendiami suatu kawasan. Walet linchi banyak ditemukan di Jalur kawah karena kawasan tersebut cukup terbuka sehingga memberikan kebebasan bagi walet untuk terbang, selain itu di jalur ini juga terdapat bangunan-bangunan tertentu sebagai tempat pengembangan populasinya. Semakin aman dan nyaman xcvi

97 tempatnya maka semakin bertambah pula jumlah populasinya. Begitu pula dengan burung madu sriganti yang menyukai pepohonan yang tidak terlalu rapat dan tinggi sehingga banyak ditemukan di jalur kawah. Berbeda halnya dengan burung cinenen pisang dan cincoang pisang yang lebih menyukai semak semak dan vegetasi yang rapat. Hal tersebut menyebakan burung tersebut banyak ditemukan di sumur tujuh. Terdapat satu jenis raptor yang berhasil diidentifikasi di gunung karang yaitu jenis Elang ular jari pendek (Circaetus gallicus) teramati pada saat sedang bertengger pada cabang sebatang pohon kering. Elang ular jari pendek (Circaetus gallicus) merupakan jenis raptor selalu dapat teramati selama pemantauan sedang berputar-putar di lokasi punggung gunung, terutama di atas kawasan yang masih berhutan. Mereka kemungkinan besar mengincar burung-burung yang lebih kecil atau ikan sebagai mangsanya, yang telah melimpah keberadaannya di kawasan berhutan dengan tutupan tajuk yang relatif terbuka. Tidak menutup kemungkinan juga Elang ular jari pendek memburu tikus sebagai mangsanya. Elang ular jari pendek sebagai salah satu raptor Sunda, sebenarnya termasuk jenis yang mampu bertahan hidup di fragmen hutan berukuran kecil dan seringkali diamati berada di luar bagian hutan (Meijaard dkk. 2006). xcvii

98 Gambar V.5. Jenis elang ular jari pendek (Circaetus gallicus) yang berhasil teridentifikasi dengan menggunakan kamera jarak jauh. Kompilasi hasil studi yang dilakukan oleh Meijaard dkk. (2006) menyebutkan bahwa studi mengenai pengaruh kegiatan penebangan hutan terhadap kelompok raptor (elang dan alap-alap) masih belum banyak dilakukan di Asia Tenggara. Sejumlah data mengungkapkan bahwa khususnya spesies spesialis yang hidup di bagian dalam hutan seperti kelompok elang Circaetus tidak toleran terhadap pengaruh terbukanya bentang lahan. Akan tetapi, jenisjenis tersebut masih dapat hidup di fragmen hutan berukuran kecil dan seringkali diamati berada di luar bagian hutan. Jenis-jenis avifauna dari famili Cuculidae termasuk kelompok yang teramati di kawasan hutan sumur tujuh dengan sebaran yang luas. Menurut MacKinnon, J. dkk. (2000), jenis burung dari famili ini merupakan pemakan serangga. Beberapa xcviii

99 jenis mengutamakan ulat kupu-kupu (termasuk yang berbulu) sebagai makanannya. Satu dari empat kelompok utama dari famili Cuculidae teramati di lokasi studi, yaitu kelompok bubut. Gambar V.6. Jenis bubut alang-alang (Centropus bengalensis) yang teridentifikasi dengan menggunakan jala kabut. Cucak-cucakan (Pycnonotidae) adalah suatu famili dengan jumlah jenis besar dan terkait dengan pilihan habitat yang bervariasi. Kelompok jenis ini merupakan kelompok yang sangat sering ditemui. Selain Pycnonotus goiavier, beberapa jenis yang teramati di lokasi studi diantaranya Pycnonotus atriceps (Cucak Kuricang), Pycnonotus aurigaster (cucak kutilang), Pycnonotus melanicterus (cucak kuning), Alophoixus bres (Empuloh janggut), Alophoixus phaeocephalus (Empuloh ireng) dan Pycnonotus erythrophthalmos (Merbah kaca mata). Meijaard dkk. (2006) mengungkapkan bahwa melimpahnya jenis cucak-cucakan di suatu xcix

100 habitat disebabkan oleh lebih sedikitnya jumlah pemakan buah (frugivores) utama seperti halnya pada hutan-hutan primer seperti Calyptomena viridis (Madihijau Kecil) dan Irena puella (Kacembang Gadung). Spesies generalist frugivore/insectivores ini memakan buah-buahan spesies pionir dan sepertinya memainkan peranan yang penting dalam cepatnya penyebaran jenis-jenis pionir pada hutan-hutan bekas tebangan. Gambar V.7. Jenis cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang berhasil teridentifikasi dengan menggunakan kamera jarak jauh. c

101 BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan terdiri dari hutan, hutan tanaman rakyat, belukar, lahan terbuka dan pemukiman. Mendekati ke arah puncak terdapat areal terbuka yang tampak pada citra, dan hasil groundcheck area tersebut merupakan kawah yang sampai saat ini masih aktif mengeluarkan uap panas. Analisis tutupan lahan pada citra Landsat diperoleh dari interpretasi dari Band2, Band4, dan Band5 yang ditunjukkan dengan warna yaitu Merah, Hijau, dan Biru yang merupakan warna primer dan akan berubah ketika terjadi perpaduan warna berdasarkan kondisi tutupan lahan yang diinterprtasikan oleh Band tersebut. Berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003 Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Banten, terbagi atas kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Lindung. Gunung Karang memiliki luas hektar (Ecositrop 2014). Berikut adalah gambaran umum kondisi kekinian tutupan lahan di tahun ci

102 Hutan Ladang dan kebun Gambar VI.1. Kondisi tutupan lahan yang terdiri dari kebun, ladang, hutan campuran, dan hutan lindung. memiliki luas kawasan hektar yang terbagi menjadi 3 kawasan hutan, yaitu kawasan Hutan Produksi (HP) dengan luas 59 hektar, kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan luas hektar, dan kawasan Hutan Lindung (HL) dengan luas hektar. termasuk ke dalam dua wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang Propinsi Banten. Pembagian masing-masing kawasan hutan dan luasnya menurut batas administrasi ditampilkan pada tabel berikut ini. cii

103 Tabel VI-1. Status kawasan dan luas kawasan serta wilayah administarinya berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003. No Kabupaten Status Kawasan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Hutan Lindung ,4 Pandeglang Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas ,3 Sub total ,7 2 Hutan Lindung ,3 Serang Hutan Produksi 59 1,6 Hutan Produksi Terbatas 186 5,1 Sub total ,2 Total ,0 Table VI-1, menunjukkan bahwa kawasan hutan sebagian besar berada di Kabupaten Pandeglang, yaitu dengan luas hektar (72,7 %) dan selebihnya berada d Kabupaten Serang dengan luas 976 hektar (27,2%). Kawasan Hutan Produksi (HP) tidak termasuk dalam Kabupaten Pandeglang dan hanya terdapat di Kabupaten Serang dengan luas 59 hektar (1,6%). Hutan Lindung (HL) merupakan kawasan hutan yang paling luas yanag berada di Kabupaten Pandeglang dengan luas hektar (31,4%) dan Kabupaten Serang dengan luas 731 hektar (20,3%). Kawasan HL memiliki luas lebih dari setengah dari luas total kawasan hutan. Kawasan HPT yang berada di Kabupeten Pandeglang memiliki luas hektar (41,3%) dan di Kabupaten Serang dengan luas 186 hektar (5,1%). Status kawasan dan wilayah administrasinya ditampilkan pada gambar berikut. ciii

104 Gambar VI.2. Peta status kawasan berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003. civ

105 B. Tata Guna Lahan dan Fungsi Kawasan Wilayah pemukiman masyarakat di sekitar berada di luar peta kawasan hutan. Hasil analisis terhadap tutupan lahan pada citra landsat, tata guna lahan kawasan terdiri hutan, belukar, kawah, kebun campuran, dan ladang. Hutan dan kebun campuran berada pada seluruh status dan fungsi kawasan. Kebun campuran merupakan kawasan yang paling luas dibandingkan dengan kawasan hutan. Pada kawasan Hutan Lindung (HL) terdapat kawah yang masih aktif dan merupakan areal terbuka dengan kondisi berbatu dan di sekitarya banyak ditumbuhi pepohonan dengan diameter yang cukup besar. Hasil analisis mengenai tata guna lahan dan luas masing-masing fungsi kawasan pada wilayah hutan ditampilkan pada tabel berikut (Tabel VI-2). Tabel VI-2. Tata guna lahan dan fungsi kawasan berdasarkan analisis citra Landsat. NAMA GUNUNG Gunung Karang TATAGUNA LAHAN FUNGSI KAWASAN (Ha) TOTAL HL HP HPT Ha % Hutan ,74 Belukar 3 0,09 Kawah ,30 Kebun Campuran ,83 Ladang ,03 Total ,00 Keterangan : HL : Hutan Lindung HPT : Hutan Produksi Terbatas HP : Hutan Produksi Ha : Hektar (satuan luas) cv

106 Tutupan lahan pada Tabel VI-2 tersebar pada Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Tabel tersebut menggambarkan kondisi kekikinan tata guna lahan beserta luasnya berdasarkan hasil analisis cutra dan gorundceck yang dilakukan tim. Hanya setengah dari kawasan HL berupa hutan, sementara hampir setengahnya lagi telah berubah menjadi kebun camuran dan ladang. Luas total HL adalah hektar. Hanya setengah dari HL saja yang saat ini merupakan hutan yaitu dengan luas 985 hektar, selebihnya berupa kebun campuran, ladang, dan kawah 874 hektar. Pembukaan wilayah hutan lindung oleh masyarakat memang dipertuntukkan untuk keperluan budidaya. Walalupun secara status kawasan hal ini bertentangan, egiatan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat adalah menanam berbagai jenis tanaman yang diambil buahnya. Cengkeh adalah jenis yang banyak ditanam hingga pada kawasan yang memiliki angka kelerengan yang tinggi. Namun pohon cengkeh tidak akan ditebang oleh masyarakat sehingga secara fungsi ekologi hal ini mendukung konservasi tanah dan berfungsi juga sebagai habitat satwa seperti burung untuk bersarang dan jenis satwa lainnya. Hasil analisis tata guna lahan terhadap citra Landsat kawasan Gunung Karang menunjukkan bahwa kebun campuran memiliki luas yang paling tinggi yaitu hektar atau sekitar 62,83% dari total luas kawasan hutan Gunung Karang. Luas kawasan hutan adalah senilai hektar, sekitar 1/3 dari luas total kawasan hutan atau sekitar 31,74%. Sementara cvi

107 kawasan lainnya berupa kawah, belukar, dan ladang memiliki persentase sekitar 6%. Kawasan hutan berdasarkan status hukumnya berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani KPH Banten. Berdasarkan hasil konsultasi dengan pihak yang bersangkutan, kawasan hutan telah disepakati untuk dijadikan sebagai kawasan hutan lindung seluruhnya, namun sampai saat ini kesepakatan tersebut belum dikeluarkan dalam bentuk urat keputusan menteri. Pengelolaan yang berjalan saat ini adalah pengelolaan hutan yang banyak dilakukan oleh masyarakat yang disepakati dengan pihak Perhutani dalam progam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dengan sistem bagi hasil yang telah ditentukan. Masyarakat boleh memanfaatkan lahan sebagai kawasan budidaya, namun juga tetap memperthanakan fungsi kawasan hutan dengan memanam berbagai jenis tanaman kayu hutan produksi seperti mahoni, sengon, dan sebagainya. Hasil survei lapangan di wilayah menunjukkan adanya perbedaan fungsi kawasan berdasarkan status kawasan hutan dan kondisi di lapangan. Tata guna lahan kawasan g terdiri dari hutan, kebun campuran/ agroforest, ladang, dan pemukiman yang berada di sekitar Gunung Aseupan. Gambar berikut ini menunjukkan kondisi tutupan dan tata guna lahan berdasarkan survei lapangan di. cvii

108 Gambar VI.3. Kawasan hutan dengan tata guna lahan berupa ladang dan kebun campuran pada wilayah bagian bawah Gunung Karang. Wilayah bagiana timur dan bagian selatan yang telah di survei terutama pada areal yang berdekatan dengan wilayah pemukiman masyarakat adalah lahan pertanian baik berupa ladang maupun kebun campuran. Gambar VI.3 seperti pada gambar di atas merupakan gambaran kondisi kawasan budidaya mayarakat yang masuk dalam kawasan hutan. Sumber air yang diguankan masyarakat untuk mengairi ladang dan air untuk kebutuhan rumah tangga berasal dari mata air. Sebagai contoh pada kawasan bagian selatan, banyak masyarakat yang memanfaatkan air cviii

109 dengan cara mengalirkan menuju rumah-rumah dan tempat penampungan menggunakan pipa-pipa dan selang air. Pada musim kemarau, air yang bersumber dari tetap mengalir memnuhi tempat penampungan walalupun jumlahnya tidak sebanyak saat musim penghujan. Kebutuhan masyarakat yang cukup tinggi tehadap air yang bersumber dari merupakan salah satu alasan yang penting untuk menjaga kelestarian kawasan hutan syang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar yaitu penyedia dan pengatur tata air. Gambar VI.4. Pipa-pipa untuk mengalirkan air menuju Kampung Salam di wilayah bagian selatan Gung Karang (481 mdpl). cix

110 Kebun campuran pada Kawasan Hutan Produksi banyak didominasi oleh tanaman cengkeh dan buah-buahan. Kawasan ini menjadi lokasi budidaya masyarakat yang juga menjadi salah satu penghasilan. Sebagian masyrakat sekitar bekerja sebagai petani dan menjadikan kawasan Gunung Karng sebagai lahan mata pencaharian utama, dan sebagiannya lagi berupa penhasilan tambahan. Pada kawasan kebun campuran yang berdekatan dengan batas hutan, banyak dijumpai tanaman kopi yang berumur cukup tua. Berdasarkan pengamatan di lapanga, tanaman kopi memiliki diameter batang mencapai 10 cm dan tinggi mencapai 4 meter. Kondisi ini menandakan tidak adanya perawatan intensif dan tanaman kopi cenderung dibiarkan. Hal ini didudag karena lapisan ppermukaan tanah (top soil) pada area yang semakin tinggi memiliki ketebalan semakin rendah (makin tipis), jenis tanaman kopi tidak bisa berproduksi dengan baik. Bahkan beberapa tanaman kopi banyak ditemukan dalam kondisi telah ditebang oleh masyarakat yang memandakan kopi tidak memberikan penghasilan ekonomi yang nyata. Lereng-lereng juga banyak ditanami oleh tanaman buah seperti pisang. Lereng yang ditanami buah-buahan mempunyai manfaat secara ekologi dan manfaat secara ekonomi. cx

111 a b Gambar VI.5. a) Lereng yang ditanami jenis pisang dan cengkeh dan b) Kebun campuran yang ditanmai berbagai tanaman buah dan tanaman kayu keras (Tanaman MPTS). cxi

112 Gambar VI.6. Tanaman kopi yang sudah tidak terawat di kawasan Gunung Karang cxii

113 Gambar VI.7. Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikombinasikan dengan tanaman perkebunan. Kawasan kebun campuran memiliki peran yang penting bagi masyarakat karena berkontribusi bagi penghasilan rumah tangga atau berperan dalam memenuhi bahan konsumsi. Secara ekologi, kebun campuran juga memiliki fungsi yang baik yaitu konservasi kawasan yang berkelanjutan karena jenis pohon yang di tanam menghasilkan buah dan kemungkinan kecil untuk ditebang. Di sisi lain, masyarakt mengelola tanaman pada kebun campuran tanpa membiarkan adanya gulma di bawah tajuk tanaman. Hal ini tentu juga memberikan potensi yang akan berdampak kurang baik bagi konservasi tanah dan air di pada lereng. Permukaan tanah yang gundul tanpa tumbuhan bawah penutup cxiii

114 (cover crop) berpotensi memiliki erosi yang tinggi. Lereng yang berfungsi sebagai kebun memiliki kemiringan yang cukup tinggi (mencapai 60 0 ), ditambah dengan faktor cuaca di wilayah tersebut memiliki curah hujan yang cukup tinggi, sehingga potensi adanya erosi permukaan dan longsor relatif tinggi. Pada titik tertentu juga terdapat jalan setapak yang memiliki kondisi cukup potensial menyebabkan terjadinya erosi permukaan tanah dan longsor. Jalan tersenut umumnya adalah jalan yang baru dibuat masyarakat menuju puncak yang melewati lahan kebun campuran yang dimiliki. Berikut ini adalah gambaran kondisi jalan dan permukaan tanah yang berada di bawah tajuk tanaman pada kawasan kebun campuran. Gambar VI.8. Kondisi jalan setapak menuju puncak sangat rentan terhadap erosi. cxiv

115 Gambar VI.9. Permukaan tanah pada kebun campuran tidak tertutupi oleh rerumputan (cover crop) memiliki tingkat erosi permukaan yang tinggi dan berpotensi menyebabkan terjadinya longsor. Pada saat memasuki kawasan hutan tampak jelas perbedaan vegetasi antara kebun campuran dan hutan. Ciri paling jelas adalah kondisi lantai hutan memiliki perbedaan yang siginifikan, yaitu ditumbuhi herba dan liana yang bercampur dengan anakan pohon kemudian menjadi semak belukar. Perbedaan vegetasi semakin terlihat dari struktur dan komposisi jenis vegetasi yang juga banyak dijumpai pepohonan alami dengan diameter > 10 cm dan memiliki tajuk pohon yang tinggi. Semakin tinggi dari permukaan laut, semakin banyak jenis vegetasi khas pegunungan yang dijumpai seperti tumbuhan pakis gunung. cxv

116 Gambar VI.10. Perbatasan antara kebun campuran dengan kawasan hutan ditemukan jenis tumbuhan pakis gunung. cxvi

117 Kawasan hutan banyak didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan alami. Mulai dari berbagai jenis palem-paleman (Palmae), herba, liana, hingga kelompok tumbuhan kelas pohon. Kelompok pohon yang banyak dijumpai adalah Kenari (Canarium denticulatum), Puspa (Schima walichii), Rasamala (Altingia excelsa), dan berbagai jenis pohon lainnya. Kondisi tutupan tajuk pohon masih relatif rapat terutama pada kawasan hutan yang mendekati arah puncak gunug, seperti pada kawasan di sekitar Sumur Tujuh dan kawasan di sekitar kawah. Berikut adalah gambaran kondisi hutan dan tutupan tajuknya yang masih relatif rapat. Gambar VI.11. Struktur dan komposisi tegakan hutan yang relatif rapat dan terdiri dari berbagai jenis tumbuhan alami terutama tumbuhan kayu keras. cxvii

118 Gambar VI.12. Tegakan pohon jenis Schima walicii yang ditemukan pada kawasan. cxviii

119 Gambar VI.13. Tegakan pohon jenis Cassuarina sp. di sekitar Sumur Tujuh. cxix

120 Gambar VI.14. Tim memeluk batang pohon untuk mengukur diameter pohon tersebut jika dipeluk orang dewasa di sekitar Sumur Tujuh. Kawah memiliki kisaran luas sebesar 11 hektar dan merupakan areal terbuka yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Karang. Hasil pengukuran menggunakan Global Positioning System (GPS), kawah tersebut berada pada ketinggian mdpl. Kawah aktif mengeluarkan uap panas dan belerang yang berasal dari preses pemanasan di dalamnya. Lapisan permukaan kawah berwarna abu-abu dan putih serta banyak didominasi oleh bebatuan. Jenis batuan pada hampir seluruh adalah jenis batuan andesit yang menandakan kawasan tersebur merupakan cxx

121 kawasan gunung berapi (vulcan). Kondisi vegetasi di sekitar kawah merupakan hutan yang terdiri dari pepohonan berukuran besar, tutupan vegetasi didominasi oleh pepohonan dengan diameter batang 30 cm up dan di sekitar kawah tersebut tim menemukan pohon Puspa (Schima walicii) dengan diameter batang pohon mencapai 140 cm. Lantai hutan banyak ditumbuhi oleh berbagai macam herba dan liana serta anakan pohon yang termasuk dalam kelas semai dan pancang. Pada wilayah yang relatif terbuka banyak ditemui tumbuhan sejenis pakis. Gambar VI.15. Kawah yang masih aktif di kawasan hutan berada pada ketinggian mdpl. cxxi

122 a b Gambar VI.16. a) Tutupan vegetasi di sekitar kawah didominasi pepohonan yang berdiameter 30 cm up dan b) Lantai hutan di sekitar kawah ditutupi berbagai jenis herba dan liana dengan dominasi jenis pakis. cxxii

123 Gambar VI.17. Kondisi tutupan lahan menurut citra Landsat liputan tahun cxxiii

124 Gambar VI.18. Hasil analisis tutupan dan tata guna lahan berdasarkan citra Landsat liputan tahun cxxiv

125 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian tim terhadap kondisi keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan pada kawasan hutan adalah sebagai berikut : 1. Keanekaragaman jenis flora yang teridentifikasi dengan menggunakan metode plot vegetasi di tingkat pohon terdiri dari 14 jenis dengan jenis dominan Canarium dencticulatum (NPJ= 84,40 %), Schima wallichii (NPJ = 55,01 %), dan Altingia excelsa (NPJ = 44,19 %). Sedangkan untuk tingkat pancang ditemukan 5 jenis dengan dominansi yang sama (SDR=85,71%) dan tingkat semai ditemukan 6 jenis dengan jenis dominan Canarium denticulatum dengan SDR 28,57%. 2. Kehadiran jenis flora tingkat pohon yang diperoleh dengan metode eksplorasi terdiri dari 57 jenis yang didominasi oleh family Moraceae sebanyak 10 jenis. Sedangkan kehadiran vegetasi pendukung ditemukan sebanyak 46 jenis yang terdiri dari herba 34 jenis (dominan), liana 10 jenis, palm 1 jenis, dan epifit 1 jenis. 3. Keanekaragaman jenis fauna yang ditemukan untuk kelompok mamalia terdiri dari 16 jenis yang termasuk dalam 12 famili dengan famili yang terbanyak ditemukan adalah Famili Viveridae. Jenis mamalia yang ditemukan berdasarkan kelas makan sebagian besar merupakan herbivora sebanyak 7 jenis, ominivora 5 jenis, dan karnivora 4 jenis. cxxv

126 Sedangkan menurut waktu aktifnya paling banyak mamalia merupakan jenis metaturnal dengan jumlah 10 jenis. 4. Keanekaragaman jenis burung yang teramati di kawasan hutan Gunung Karang terdiri dari 39 jenis dan yang paling mendominasi adalah famili Pycnonotodae sebanyak 7 (tujuh) jenis dan famili Silviidae sebanyak 4 (empat) jenis. Sedangkan jenis burung pemangsa yang ditemukan adalah Elang Ular Jari Pendek (Circaetus gallicus). 5. Kondisi tutupan lahan saat ini banyak mengalami perubahan. Area yang semestinya berfungsi sebagai kawasan berdasarkan SK menteri sebagian telah beralih fungsi menjadi kebunkebun yang dikelola oleh masyarakat. Secara ekologi fungsi kawasan tersebut masih terjaga dengan baik, namun terdapat lahan-lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi. Tata guna lahan di kawasan hutan Gunung Karang terdiri dari hutan, belukar, kebun campuran, ladang, dan kawah. Tata guna lahan paling dominan adalah kebun campuran dengan luas lahan hektar atau sekitar 62,83% dari total seluruh kawasan (3.585 hektar). B. Rekomendasi Rekomendasi yang bisa diberikan berdasarkan hasil kajian terhadap kenakaragaman hayati dan perubahan tutupan lahn di kawasan hutan Gunung Karang adalah sebagai berikut : cxxvi

127 1. Untuk menjamin kelestarian flora dan fauna di kawasan hutan Gunung Karang perlu dilakukan pengelolaan habiatat yang tidak merusak seperti mengurangi gangguan yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan. 2. Melalukan sosialisasi untuk tidak melakukan perburuan satwa, dan penebangan kayu terutama pada kawasan Hutan Lindung Gunung Karang. 3. Melakukan monitoring pengelolaan kebun campuran agar tidak semakin meluas ke kawasan hutan lindung. 4. Perlu dilakukan rehabilitasi lahan pada wilayah yang terbuka dan berpotensi menyebabkan erosi dan longsor. cxxvii

128 DAFTAR PUSTAKA Alikodra, Hadi S Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. IPB Press. Bogor. Amir, H Mamalia di Indonesia; Pedoman Inventarisasi Satwa. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Jendral Kehutanan. Bogor. Ario, Anton Panduan Lapangan Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Conservation International. Jakarta. Anderson, S.H Managing Our Wildlife Resources. Bell & Howel Co., Columbus. Francis, Charles M A Field Guide to The Mammals of South-East Asia. Singapore. Tian Wah Press. Meijaard, E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S, dan O Brien T Hutan pasca pemanenan; melindungi satwaliar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan. Center for International Forestry Research. Bogor. Nursal Aktifitas Harian Lutung Jawa (Trachypiihecus auratus Geoffroy 1812) di Pos Selabintana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. Skripsi. IPB. Payne, Junaidi, Charles M., Francis, Karen Phillipps dan Sri Nurani Kartikasari Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. Jakarta: Prima Centra. Rayadin et al., Laporan Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Keanekaragaman Hayati di Kawasan Pertambangan PT Jembayan cxxviii

129 Muarabara. Kerjasama Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT-Unmul) dan PT Jembayan Muarabara. Kutai Kartanegara. Rayadin, Yaya., Hendra, Nur Qomari, Ari Meididit, M., Sugihono Hanggito dan Alifianuari Pemantauan dan Monitoring Distribusi Populasi dan Keragaman Jenis Satwaliar Mamalia Pada Kawasan Reklamasi Pasca Tambang PT Kaltim Prima Coal. Monitoring dan Evaluasi Biodiversity. Ecositrop. Samarinda. cxxix

130 LAMPIRAN cxxx

131 Dokumentasi kegiatan survey biodiversity dan landuse di View dan tutupan tajuk hutannya cxxxi

132 Memanjat pohon untuk mengambil spesimen daun dan pendokumentasian kegiatan cxxxii

133 Struktur tegakan pohon hutan cxxxiii

134 Kebun Cengkeh Masyarakat dan lereng gunung yang banyak ditumbuhi belukar cxxxiv

135 Jalur terjal menuju puncak dan tanda jejak satwa yang ditemukan di sekitar jalur pendakian cxxxv

136 Persiapan lokasi dan pemasangan kamera trap beserta umpannya pada lokasi yang telah ditentukan cxxxvi

137 Jenis Viverra tangalunga dan Jenis Herpestes javanicus yang tertangkap kamera cxxxvii

138 Jenis Arctogalidia trivirgata dan jenis Sus barbatus yang tertangkap kamera trap cxxxviii

139 Pengamatan kelompok avifauna menggunakan binocullar dan pengamatan kelompok avifauna dengan menggunakan monocullar cxxxix

140 Persiapan pemasangan mist net/jala kabut sebagai jebakan kelompok avifauna dan pemasangan mist net/jala kabut cxl

141 Tim saat mendaki melalui jalur Kampung Pasir Angin dan perkebunan Cengkeh cxli

142 Tebing yang mengalami longsor dan kondisi lantai berbatu pada wilayah kawah cxlii

143 Lahan yang dijadikan perkebunan pisang dan pohon yang ditebang untuk dimanfaatkan kayunya cxliii

144 Kondisi lahan kebun campuran yang dikelola oleh masyarakat sekitar cxliv

145 Tim berkemah saat melakuakn kegiatan pengambilan data di cxlv

146 Sumur Tujuh yang terdapat di kawsan Hutan Lindung Karang dan koordinat lokasi kajian yang ditunjukkan GPS cxlvi

147 Kawah merupakan kawah aktif yang terus mengluarkan belerang dan uap panas cxlvii

148 Peta administrasi kawasan (skala peta untuk kertas ukuran A3) cxlviii

149 Peta status kawasan berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts- II/2003 (skala peta untuk kertas ukuran A3) cxlix

150 Peta tata guna lahan kawasan berdasarkan analisis citra landsat dan grounchek (skala peta untuk kertas ukuran A3) cl

151 Citra landsat kawasan liputan tahun 2014 (skala peta untuk kertas ukuran A3) cli

152 clii

153 cliii

154 cliv

155 clv

156 clvi

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Karang Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Karang Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu dan Tempat Pengambilan data untuk penyusunan profil keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di kawasan Gunung Karang dilaksanakan pada tanggal 24 Juni s/d 22 Agustus 2014

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Pulosari Pegunungan Akarsari - Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Pulosari Pegunungan Akarsari - Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Pengambilan data untuk penyusunan profil keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di kawasan Gunung Pulosari dilaksanakan pada tanggal 17 Juni s/d 15 Agustus

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PARAKASAK Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG KARANG

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG KARANG BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG KARANG A. Gambaran Umum Lokasi Studi Vegetasi Kawasan hutan alam gunung karang merupakan kawasan hutan yang secara umum dapat dikelompokan kedalam tipe hutan sekunder muda.

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Parakasak Kondisi tutupan lahan Gunung Parakasak didominasi oleh kebun campuran. Selain kebun campuran juga terdapat sawah dan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) PERTEMUAN KE SATU PRODI/JURUSAN MATA KULIAH : Pendidikan IPS KODE MATA KULIAH : PIS 243 : Pengembangan Sumber Daya JUMLAH SKS : 2 Teori : 2 Praktik : - SEMESTER :

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN TFT 2018 Document Prepared by: The Forest Trust Jl. Dr.Wahidin No 42 Semarang, Jawa Tengah Indonesia Ph +62 24 8509798 1 PENGANTAR DEFINISI Sungai adalah alur atau wadah air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Website Penjualan Handphone Dan Alat Elektronika Online, shopping chart. ii Universitas Kristen Maranata

ABSTRAK. Kata Kunci : Website Penjualan Handphone Dan Alat Elektronika Online, shopping chart. ii Universitas Kristen Maranata ABSTRAK Website Penjualan Handphone Dan Alat Elektronika Online adalah sebuah website yang dibentuk untuk melakukan pemesanan dan penjualan handphone dan alat elektronika secara online. Pelaksanaan proyek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode ObservasiPartisipatif Plot Sampling dan Transect-walkSystematicSampling yang dikombinasikan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di dua kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kawasan yang dipengaruhi oleh Samudera Hindia atau Kawasan Pantai Barat (Aceh Barat,

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan?

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? 3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? 3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? Mengukur jumlah C tersimpan di hutan dan lahan pertanian cukup mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

Daftar Isi Standarisasi Harga dan Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur

Daftar Isi Standarisasi Harga dan Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Daftar Isi 2014 1 Kata Pengantar 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, maka Buku Standarisasi Harga dan Standarisasi Sarana

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck

Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck Oleh : The Forest Trust Indonesia 2018 Kegiatan Terkait Pengukuran HCS di UM 1. HCS Inventory >>>> Sosialisasi 2. HCS Verifikasi >>>> Proses Sosialisasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

Syarat-syarat Jabatan Tunjangan Pajak Fungsi Pajak Pengertian Pajak Penghasilan Pasal

Syarat-syarat Jabatan Tunjangan Pajak Fungsi Pajak Pengertian Pajak Penghasilan Pasal ABSTRAK Kalimantan terkenal dengan hutan nya. Dan hasil dari hutan tersebut diolah dalam bentuk kayu yang digunakan untuk pembuatan kursi, meja, lemari, dan lain lain yang terbuat dari kayu. CV Citra Mahakam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan arteri primer

Lebih terperinci

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH Oleh/by MUHAMMAD HELMI Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002

STRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002 STRUKTUR VEGETASI Boy Andreas Marpaung / DKK-002 andre.marp@yahoo.com Pemahaman tentang struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan identifikasi struktur akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2011 dengan lokasi penelitian berada di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada 104 27-104 54 BT dan 5 5-5 22 LS. KPHL Batutegi meliputi sebagian kawasan Hutan Lindung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Lokasi ini dipilih secara sengaja dikarenakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan USU Tahura Desa Tongkoh Kecamatan Dolat Rayat Kabupaten Karo Provinsi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : ISO, Keamanan, SMKI. i Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata kunci : ISO, Keamanan, SMKI. i Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Analisis Keamanan Sistem Informasi merupakan hal yang penting bagi sebuah perusahaan, terutama bagi perusahaan yang memiliki sistem berskala besar dan memiliki hubungan dengan pihak luar, dimana

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci