BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :"

Transkripsi

1 BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN V.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Gangguan koordinasi motorik lebih besar pada kelompok tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja yang diberi paparan MSG dengan dosis 3,5 mg/grbb dibandingkan dengan yang diberi paparan MSG dengan dosis yang lebih rendah. 2. Jumlah sel Purkinje cerebellum lebih sedikit pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja yang diberi paparan MSG dengan dosis 3,5 mg/grbb dibandingkan dengan yang diberi paparan MSG dengan dosis yang lebih rendah. 3. Koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja menunjukkan hubungan yang bermakna. V.2. Saran 1. Untuk mengetahui efek apoptosis terhadap penurunan jumlah sel Purkinje cerebellum, perlu dilakukan penelitian menggunakan kultur sel Purkinje cerebellum. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme penyakit-penyakit yang ditimbulkan akibat eksitatorik glutamat dengan menggunakan tikus yang dipaparkan MSG sebagai model penelitian. 58

2 V.3. Ringkasan 1. Latar Belakang Monosodium glutamat telah dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai penguat rasa makanan. Penambahan MSG akan membuat rasa makanan menjadi lebih lezat. Masyarakat Indonesia rata-rata mengkonsumsi MSG sekitar 0,6 gr/kgbb (Prawirohardjono et al., 2000; Ardyanto, 2004). Secara umum, konsumsi MSG bisa mencapai 10 gr/hari, terlebih lagi pada masakan-masakan di restoran China. Sedangkan konsentrasi aman yang diperbolehkan untuk dikonsumsi maksimal adalah 120 mg/kgbb/hari (Collison et al., 2009). Keuntungan dan kerugian penggunaan MSG masih dipelajari oleh beberapa peneliti. Dari penelitian Yanamoto et al. (2009), didapatkan hasil bahwa MSG memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan sebagai penambah nafsu makan pada usia lanjut. Namun tidak sedikit peneliti yang mengatakan bahwa penggunaan MSG memiliki banyak efek negatif yang gejalanya dapat dirasakan oleh manusia kurang lebih 10 menit sampai 2 jam setelah diberi paparan MSG seperti kelemahan, pusing, berkeringat, dan lain-lain. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Xiong et al., (2009) yang menyebutkan bahwa MSG akan menyebabkan sel neuron membengkak dan mengalami kematian. Glutamat merupakan neurotransmiter terbanyak di otak, yang sifatnya eksitatorik, yang penting dalam perkembangan sistem saraf, perkembangan plastisitas sinaps, proses pembelajaran dan memori (Smith, 2000; Wang & Qin, 2010; Onaolopo & Onaolopo, 2011). Namun, penggunaan MSG yang berlebihan akan membuat

3 glutamat menjadi zat toksin yang dapat menyebabkan kematian sel neuron melalui mekanisme aktivasi reseptor asam amino eksitatorik secara berlebihan (Blaylock, 1997; Smith, 2000; Balazs et al., 2006). Otak merupakan organ yang paling rentan terhadap eksitotoksin seperti MSG (Blaylock, 1997; Singth et al., 2003). Neurotoksin seperti MSG memungkinkan menjadi penyebab munculnya efek negatif pada cerebellum. Pada penggunaan jangka panjang, MSG ini dapat menyebabkan kerusakan pada pembentukan perilaku, fungsi motorik dan kognitif (Kiss et al., 2005), terutama pada usia remaja karena perkembangan sinaps dan sirkuit otak masih berlangsung (Blaylocks, 1997). Dilaporkan bahwa pemberian MSG dengan dosis 3 gr dan 6 gr pada tikus Wistar dewasa, secara histologi menunjukkan adanya kerusakan dan kematian sel Purkinje cerebellum yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi koordinasi motorik (Eweka & Om Iniabohs, 2008). Aminuddin et al. (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak bawang putih terhadap jumlah sel Purkinje dan koordinasi motorik tikus Wistar yang diberi paparan MSG intraperitoneal dengan dosis 4 mg/grbb. Pada pemberian MSG 4 mg/grbb(i.p) menyebabkan tikus menjadi hiperaktif dan mengalami kejang, kemudian 50% tikus mengalami kematian 60 menit setelah pemberian MSG. Dosis 4 mg/grbb ini termasuk dalam dosis tinggi yang dapat menyebabkan kematian sel saraf secara akut (Blaylock, 1997). Kemudian dilakukan penurunan dosis MSG menjadi 2 mg/grbb (i.p), berat badan tikus berangsur-angsur mengalami penurunan, jumlah sel Purkinje berbeda secara signifikan pada kelompok perlakuan (kelompok yang diberi paparan MSG dan

4 ekstrak bawang putih) dan kelompok kontrol positif (kelompok yang diberi paparan MSG), sedangkan jumlah sel Purkinje antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif (kelompok yang diberi 0,9% NaCl) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Analisis pada koordinasi motorik antar kelompok menunjukkan hasil tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif, baik berdasarkan jumlah jatuh maupun lama bertahan di atas alat uji tabung putar. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dosis MSG yang dapat menimbulkan efek neurotoksik khususnya pada perubahan jumlah sel Purkinje cerebellum dan gangguan koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja. 2. Landasan Teori Monosodium glutamat (MSG) adalah natrium dari asam glutamat (glutamic acid) dan memiliki rumus bangun C 5 H 6 NO 4 NaH 2 O (Freeman, 2006). MSG berupa bubuk kristal putih yang akan berdisosiasi menjadi sodium sebagai kation dan glutamat sebagai anion (Onaolopo & Onaolopo, 2011). MSG memiliki kekuatan mempertegas citra rasa beberapa makanan (Winarno, 1986; Ault, 2004; Aminuddin et al, 2014). Secara normal, glutamat banyak ditemukan di alam, glutamat juga terdapat di tubuh manusia dan tanaman, baik dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai protein (Santoso, 1989). Glutamat merupakan neurotransmiter terbanyak di otak, yang besifat eksitatorik. Glutamat secara endogen dibentuk dari asam amino glutamin yang diubah

5 menjadi glutamat oleh sel glia di otak. Glutamat ini sangat penting untuk perkembangan sistem saraf, perkembangan plastisitas sinaps, proses pembelajaran dan memori (Smith, 2000 ; Wang & Qin, 2010). Namun apabila jumlahnya berlebih, dapat menjadikan glutamat sebagai eksitotoksin endogen yang dapat menimbulkan kematian sel neuron dan sel glia (Blaylock, 1997; Singh et al., 2003; Balazs, et al., 2006). Glutamat berinteraksi dengan dua tipe reseptor membran yaitu ionotropik dan metabotropik, yang masing-masing berpasangan dengan kanal ion dan protein G. Bila berikatan dengan glutamat, reseptor ionotropik akan memicu ion natrium dan atau ion kalsium masuk, dan ion kalium keluar, sedangkan aktivasi reseptor metabotropik akan merubah kadar camp dan melepas Ca 2+ dari tempat penyimpanannya di dalam sel (Wang & Qin, 2010). Peningkatan aktivitas reseptor glutamat, khususnya pada reseptor NMDA akan menyebabkan peningkatan influks Ca 2+ intrasel yang akan memicu aktivasi jalur fisiologis dan patologis intraseluler (Lau & Tymianski, 2010). Pemberian MSG dalam dosis yang berlebih dan dalam jangka waktu yang panjang, akan menyebabkan stres oksidatif yang dapat berupa stres retikulum endoplasma, disfungsi mitokondria, lisosom menjadi tidak stabil, dan protein kinase C akan teraktivasi. Kerusakan oksidatif pada sel dapat diikuti dengan pembentukan radikal bebas dan akan menyebabkan autofagi, apoptosis atau nekrosis, dan akibatnya terjadi kematian sel neuron (Lau & Tymianski, 2010). Otak merupakan bagian yang paling rentan terhadap eksitotoksisitas. Neurotoksin seperti MSG memungkinkan menjadi penyebab munculnya efek negatif

6 pada cerebellum. Pada penggunaan jangka panjang, MSG ini dapat menyebabkan kerusakan pada fungsi motorik dan kognitif (Kiss et al., 2005). Pada bagian cerebellum, terdapat sejumlah sel yang berperan dalam koordinasi gerakan motorik. Sel Purkinje yang terdapat pada cerebellum merupakan sel dengan jumlah paling banyak. Sel Purkinje ini memberikan output utama dari cortex cerebelli. 3. Metode Penelitian Penelitian merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test group design untuk penghitungan jumlah sel Purkinje cerebellum dan pre-post test group design untuk pengukuran koordinasi motorik menggunakan uji tabung putar (rotarod). Seluruh prosedur penelitian, telah mendapatkan rekomendasi dan persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dengan nomor : KE/FK/81/EC. Dua puluh empat ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan usia 4-5 minggu dengan kisaran berat badan gr dibagi dalam 4 kelompok (C = kelompok kontrol; T 2,5 = MSG 2,5 mg/grbb + NaCl 0,9% (i.p); T 3,0 = MSG 3,0 mg/grbb + NaCl 0,9% (i.p); T 3,5 = MSG 3,5 mg/grbb + NaCl 0,9% (i.p)). Seluruh tikus diadaptasikan selama 7 hari, ditempatkan dalam kandang dengan siklus gelap-terang 12 jam. Selama perlakuan, tikus diberi makan dan minum secara ad libitum. Monosodium glutamat yang dipaparkan berasal dari monosodium glutamat yang dijual bebas di pasar dengan konsentrasi 99+% MSG (PT. Sasa Inti). Dosis MSG yang diberikan yaitu 2,5 mg/grbb, 3,0 mg/grbb, dan 3,5 mg/grbb yang diarutkan

7 dalam 2 ml NaCl 0,9% untuk setiap dosis MSG. Sediaan ini dibuat segar setiap hari sebelum perlakuan dimulai agar tidak terjadi kristalisasi. Larutan MSG kemudian di paparkan secara intraperitoneal selama 10 hari berturut-turut. Pada kelompok kontrol, hanya diinjeksikan 2 ml NaCl 0,9%. Koordinasi motorik tikus, dilakukan dengan uji rotarod berdasarkan modifikasi beberapa protokol uji. Pada uji ini, akan dinilai dengan dua parameter yaitu lamanya tikus berada di atas tabung putar (waktu latens) dan jumlah jatuh. Uji koordinasi motorik dilakukan pada hari ke-8, hari ke-19, dan hari ke-39. Pada setiap uji yang dilakukan, tikus diuji sebanyak 3 kali tanpa diawali periode latihan dengan lama uji masing-masing 3 menit. Jarak antar tiap sesi ujian adalah ±30-60 menit. Data yang digunakan untuk waktu latens diambil dari dua waktu terlama tikus berada di atas tabung putar untuk tiap sesi tes, kemudian dibuat rata-rata dan selanjutnya disajikan dalam bentuk prosentase terhadap lama uji yang dipergunakan untuk analisis data. Jumlah jatuh tikus merupakan rata-rata total jatuh selama 3 menit pada 3 sesi uji yang dilakukan. Pada hari ke-40, tikus dibius menggunakan ketamin 0,15 cc/100grbb untuk dilakukan pengambilan cerebellum melalui perfusi transkardial, kemudian difiksasi menggunakan PBS-Formaldehid 4% sampai masuk ke jaringan otak. Setelah otak tikus terfiksasi, tulang tengkorak tikus dibuka sampai terlihat bagian yang akan diambil (otak) kemudian pisahkan cerebellum dari bagian otak yang lainnya. Cerebellum ditimbang dan dimasukkan kedalam wadah berisi PBS-Formaldehid 4%.

8 Pengambilan sampel dari cerebellum, dilakukan dengan metode fraksionator fisik untuk memperkecil organ sampel, dimana pada penelitian ini menggunakan tiga tahap fraksi. Untuk mendapatkan fraksi pertama (f1), seluruh cerebellum dipotong sagital dengan ketebalan ±2-3 mm dan hasil potongannya diurutkan sesuai dengan urutannya, kemudian diambil secara random sistematis 1 nomor dari 2 nomor (f1=2). Hasil randomisasi potongan pertama (f1) dipotong lagi yang lebih kecil, disusun kembali dan dilanjutkan dengan pengambilan sampel secara random sistematis 1 nomor dari 3 nomor (f2=3). Hasil randomisasi tahap kedua (f2), diproses menjadi blok parafin. Setelah menjadi blok parafin, sampel diiris menggunakan mikrotom dengan ketebalan 6 µm dan diambil secara random sistematis 1 nomor dari 20 nomor (f3=20). Selanjutnya preparat diwarnai dengan menggunakan toluidine blue. Preparat histologi yang telah diwarnai, diperiksa dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa obyektif 40x dan lensa okuler 10x. Pada perhitungan jumlah sel Purkinje cerebellum, yang dijadikan unit hitung adalah nukleolus (n) yang terlihat. Estimasi jumlah total sel Purkinje (N) dihitung dengan menggunakan rumus : N = f1 x f2 x f3 x n. Data hasil penelitian, dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 19 (IBM Company). Variabel penelitian ini menggunakan skala numerik yang disajikan dalam bentuk rerata ± Standar Error of Mean (SEM). Sebelum uji statistik, dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk karena jumlah sampel yang digunakan kurang dari 50 (Dahlan, 2011). Data yang terdistribusi normal, diuji dengan statistik parametrik. Data jumlah jatuh pada uji koordinasi motorik

9 terdistribusi tidak normal, sebagai syarat uji hipotesis variabel numerik, maka untuk normalitas data dilakukan proses transformasi menggunakan rumus aritmatika fungsi X(t) = akar(x + 0,5). Selanjutnya, dilakukan uji Levene untuk mengetahui homogenitas data. Analisis one way ANOVA digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan rerata jumlah sel Purkinje cerebellum antar kelompok, kemudian dilanjutkan dengan uji multiple comparison post-hoc. Sedangkan untuk menguji perbedaan jumlah jatuh dan lama bertahan di atas tabung putar pada hari ke-8, hari ke-19, dan hari ke-39 digunakan uji two way ANOVA. 4. Hasil Penelitian Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa berat badan tikus sebelum perlakuan antara 110,8 gr sampai 116,7 gr dan setelah perlakuan 211,6 gr sampai 222,6 gr. Distribusi data berat badan menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk (Lampiran 1) didapatkan data terdistribusi normal dengan p>0,05. Uji homogenitas menunjukkan p (sebelum perlakuan) = 0,669 dan p (setelah perlakuan) = 0,847, dengan demikian dapat dikatakan bahwa variansi data berat badan subjek penelitian adalah sama. Pada hasil analisis uji t, terdapat peningkatan yang bermakna pada berat badan sebelum dan setelah diberi perlakuan pada seluruh kelompok dengan nilai signifikansi p<0,05. Pada uji one way ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada peningkatan berat badan antar kelompok, baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh kelompok menunjukkan peningkatan

10 berat badan, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa MSG menyebabkan peningkatan berat badan. Koordinasi motorik dinilai dengan mengukur jumlah jatuh dan lama bertahan tikus di atas tabung putar. dari hasil penelitian, didapatkan hasil bahwa data tidak terdistribusi normal, sehingga untuk menormalkan data harus dilakukan transformasi dengan menggunakan rumus X(t) = akar(x + 0,5). karena ada beberapa data yang nilainya nol, setelah ditransformasi dan dilakukan uji normalitas data memiliki distribusi normal dengan nilai p>0,05 dan memiliki variansi data yang homogen (p>0,05). Pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa jumlah jatuh tikus pada uji koordinasi motorik pada hari ke-8 dan hari ke-19 berbeda bermakna dengan hari ke- 39. Hasil analisis statistik two way ANOVA pada jumlah jatuh bahwa jumlah jatuh pada uji koordinasi motorik antar kelompok C, T2.5, T3.0 dan T3.5 menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pada analisis post hoc Tukey HSD menggambarkan bahwa kelompok C, T2,5 dan T3,0 berbeda bermakna dengan kelompok T3,5. Hasil analisis statistik two way ANOVA prosentase lama bertahan tikus diatas tabung putar, antar hari percobaan menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna dan juga menggambarkan bahwa antar kelompok C, T2.5, T3.0 dan T3.5 menunjukkan perbedaan yang bermakna. Berdasarkan interaksi kelompok dan hari percobaan menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p=0,906 (p>0,05). Pada analisis post hoc Tukey HSD menggambarkan bahwa kelompok C berbeda bermakna dengan kelompok T3,5.

11 Berat cerebellum rata-rata tiap kelompok adalah antara 268,5 ± 13,8 mg sampai 295,3 ± 5,2 mg. Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk (Lampiran 5) menunjukkan data terdistribusi normal. Uji one way ANOVA (Tabel 5), menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna berat cerebellum antar kelompok (p=0,221). Estimasi jumlah sel Purkinje cerebellum dihitung berdasarkan jumlah nucleolus yang terlihat (Bedi et al., 1992; Gundersen, 1986; Miki et al. 1999) (Gambar 11). Untuk mengurangi subjektivitas perhitungan sel Purkinje cerebellum dilakukan oleh peneliti dan pembanding, hasilnya dapat diterima karena selisih perhitungannya <5% (Lampiran 6). Dari hasil perhitungan, didapatkan rerata jumlah sel Purkinje cerebellum paling sedikit yaitu pada kelompok T 3,5 ( ± 6.200) dan yang paling banyak pada kelompok C ( ± 6.200). Uji multiple comparison post-hoc LSD jumlah sel Purkinje cerebellum (Tabel 6) menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok C, T 2,5, T 3,0 dengan kelompok T 3,5. Sedangkan antara kelompok C dengan T 2,5 dan T 3,0 serta kelompok T 2,5 dengan T 3,0 menunjukkan hasil statistik yang tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya dosis MSG yang diberikan, akan membuat jumlah sel Purkinje cerebellum semakin sedikit. Hasil uji korelasi Pearson antara berat cerebellum dan jumlah sel Purkinje menunjukkan hubungan dengan kekuatan sedang (0,40-0,599) dengan nilai r = 0,571 dan nilai p=0,002 (p<0,05). Analisis regresi linier antara jumlah sel Purkinje cerebellum dengan berat cerebellum secara statistik didapatkan persamaan jumlah sel

12 Purkinje (y) = 399,635 x berat cerebellum. Hal ini berarti semakin berat cerebellum, maka akan semakin banyak jumlah sel Purkinje. Jumlah sel Purkinje cerebellum dengan jumlah jatuh dan lama bertahan di atas tabung putar (p<0,05) menunjukkan hubungan yang bermakna. Nilai r untuk hubungan antara jumlah sel Purkinje cerebellum dengan jumlah jatuh tikus sebesar (-) 0,342 menunjukkan hubungan negatif dengan kekuatan lemah (0,20-0,399), sedangkan nilai r untuk hubungan jumlah sel Purkinje cerebellum dengan lama bertahan di atas tabung putar sebesar 0,416 yang menunjukkan hubungan positif dengan kekuatan sedang (0,40-0,599) (Sugiyono, 2006). Peningkatan berat badan terjadi pada seluruh kelompok baik itu pada kelompok kontrol (C) maupun kelompok yang diberi paparan MSG (T 2,5; T 3,0; dan T 3,5). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Tordoff et al. (2012) yang menyatakan bahwa MSG tidak mempengaruhi berat badan, asupan energi, atau komposisi tubuh. Kondoh & Torii (2011) juga menyatakan bahwa MSG dapat menurunkan asupan kalori, berat badan dan kadar leptin dalam darah. Penelitian yang dilakukan oleh Markus (2011) menyatakan bahwa MSG tidak meningkatkan berat badan apabila dikonsumsi dalam dosis yang wajar (0,5-1 gram sehari atau 0,2-0,8% dari volume makanan) dan tidak disertai dengan konsumsi garam yang berlebihan. Namun, pernyataan ini berbeda dengan pernyataan Yanamoto et al. (2009), Egbuonu et al.(2010) dan He et al. (2011) yang menyatakan bahwa konsumsi MSG memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan berat badan. Konsumsi MSG yang

13 lebih banyak, akan menghasilkan leptin yang lebih banyak, leptin ini merupakan hormon yang mengatur nafsu makan dan metabolisme (He et al., 2011). Monosodium glutamat merupakan penyedap makanan yang dapat menembus sawar darah otak melalui organ sirkumventrikuler dan dapat menimbulkan eksitotoksisitas yaitu kerusakan sel saraf akibat aktivitas berlebih pada reseptor glutamat (Blaylock, 1997). Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik pada sistem saraf pusat manusia, yang memiliki peranan penting pada proses fisiologi dan patologis (Mattson, 2008). Koordinasi motorik merupakan bagian dari kemampuan sensorimotor yang mencerminkan fungsi yang selaras dari bagian tubuh yang terlibat dalam gerakan. Pada sistem saraf, cerebellum merupakan salah satu bagian otak yang berperan dalam pengaturan koordinasi motorik (Grillner, 2008). Hasil pengukuran koordinasi motorik sebelum dan sesudah perlakuan dianalisis dengan mengukur jumlah jatuh dan lama bertahan tikus di atas tabung putar. Gangguan fungsi koordinasi motorik dipengaruhi oleh dosis MSG yang diberikan, semakin tinggi dosis maka akan semakin berat kerusakan sel Purkinje cerebellum yang akibatnya akan menyebabkan gangguan pengaturan dan koordinasi motorik (Eweka & Om Iniabohs, 2007). Selain dosis MSG, peningkatan berat badan juga menyebabkan tikus lebih sering terjatuh saat berada di atas tabung putar. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Partadiredja et al. (2011) serta Suryanti et al. (2014) yang menyatakan bahwa semakin besar berat badan tikus, maka

14 tikus akan lebih sering jatuh saat dilakukan uji tabung putar dan kemampuan koordinasi motorik tikus dipengaruhi oleh berat badan (Brown et al, 2002). Monosodium glutamat dapat menimbulkan kerusakan pada sel saraf seperti pembengkakan sel, kerusakan mitokondria, kerusakan dendrit, nekrosis, dan apoptosis (Mattson et al., 1988; Greenwood, 2007; Wang & Qin, 2010). Mattson et al. (1988) menjelaskan bahwa kerusakan pada sel saraf sangat bervariasi tergantung pada kadar glutamat. Otak yang terpapar MSG dengan dosis tinggi akan mengalami nekrosis, sedangkan paparan MSG dosis rendah akan menyebabkan apoptosis (Singh et al., 2003). Nekrosis merupakan perubaan patologis sel yang disebabkan oleh toksin, panas atau trauma. Sedangkan apoptosis merupakan perubahan bentuk ataupun kematian sel yang terprogram yang dimediasi oleh faktor intrinsik atau mekanisme aktivasi (Faber et al., 1981; Eweka & Om Iniabohs, 2007; Adibaje et al., 2011.). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa jumlah sel Purkinje antar kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna dimana kelompok T 3,5 yang diberi MSG dengan dosis 3,5 mg/grbb memiliki jumlah sel Pukinje cerebellum yang paling sedikit ( ± 6.200) dan yang paling banyak pada kelompok C ( ± 6.200). Korbo et.al. (1993) dan Miki et al. (1999) menyatakan bahwa jumlah sel Purkinje cerebellum pada tikus Wistar jantan remaja diperkirakan berjumlah Perbedaan jumlah ini kemungkinan dapat disebabkan oleh karena metode perhitungan estimasi jumlah sel yang berbeda. Kematian sel Purkinje cerebellum, kemungkinan disebabkan oleh sifat eksitotoksisitas MSG yang menyebabkan reseptor glutamat teraktivasi (Lau &

15 Tymianski, 2010). Kemampuan glutamat untuk merusak neuron diduga dimediasi oleh interaksinya dengan reseptor glutamat yang berujung pada peningkatan ion kalsium intraseluler (Balazs et al.,2006). Pajanan berlebihan terhadap neurotransmiter glutamat memicu terjadinya overstimulasi reseptor membran dan berujung pada kerusakan sel (Abbas et al., 2011). Mekanisme yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel Purkinje cerebellum adalah kematian sel (apoptosis). Farombi dan Onyema (2006) menemukan MSG dapat menyebabkan stres oksidatif pada otak, yang dibuktikan dengan penurunan glutathione s transferase (GST) setelah pemberian MSG pada tikus sebanyak 4mg/grBB. Otak sangat rentan teradap radikal bebas karena banyak mengandung Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) (Singh et al., 2003). Salah satu akibat dari stres oksidatif pada sel otak termasuk sel Purkinje adalah kegagalan mitokondria sel dalam melakukan deregulasi keseimbangan Ca 2+ di dalam sitosol akibat peningkatan influks Ca 2+. Peningkatan influks Ca 2+ ini disebabkan karena adanya peningkatan stimulus terhadap reseptor glutamat (Rahman, 2003; Singh et al., 2003). Glutamat yang berlebihan akan menginduksi terjadinya kematian sel karena autofagi. Mekanisme ini melibatkan lisosom. Lisosom tidak terkontrol dalam melepaskan isinya ke dalam sitoplasma dan menimbulkan nekrosis (Wang & Qin, 2010). Hubungan antara koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje, menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p<0,05. Sel Purkinje merupakan sel yang utama dan memiliki jumlah yang paling banyak pada cerebellum. Sel Purkinje ini adalah satu-satunya sel output korteks cerebellum. Sel Purkinje menerima input dari

16 saraf yang bersifat eksitasi dari mossy fibers (melalui sel granul dan parallel fibers) dan dari neuron-neuron nucleus olivarius inferior (melalui climbing fibers) (Gordon & Ghez, 1995). Sel Purkinje cerebellum ini juga memodulasi output cerebellum, yang bertanggungjawab dalam aspek pembelajaran motorik dari fungsi cerebellum. Pemberian MSG yang merupakan eksitotoksin akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sehingga akan menurunkan jumlah sel Purkinje yang akibatnya proses penerimaan input dari mossy fibers dan climbing fibers dan modulasi output cerebellum akan terganggu. Gangguan proses ini akan menyebabkan terganggunya transmisi output dari cerebellum ke Upper Motor Neuron (UMN) sehingga menyebabkan penurunan koordinasi motorik (Purves et al., 2001) Monosodium glutamat bila larut dalam air ataupun saliva akan berdisosiasi menjadi garam bebas dan menjadi bentuk anion dari glutamat. Glutamat akan membuka channel Ca 2+ pada neuron yang terdapat taste bud sehingga memungkinkan Ca 2+ bergerak ke dalam sel dan menimbulkan depolarisasi reseptor dan potensial aksi yang sampai ke otak lalu diterjemahkan sebagai rasa lezat (Siregar, 2009). Pemberian MSG secara intraperitoneal akan memberikan efek yang berbeda apabila dibandingkan dengan pemberian secara peroral. Karena pada pemberian secara intraperitoneal, MSG tidak masuk melalui usus dan vena porta. Sedangkan pada pemberian secara peroral, MSG akan melalui usus kemudian masuk ke vena porta dan langsung ke hati yang mempunyai kemampuan untuk memetabolisme asam glutamat menjadi metabolit lain (Stegink et al., 1973).

17 Salah satu masalah yang paling penting dalam penerapan hasil penelitian MSG pada hewan dan efek pada manusia adalah perbedaan antara dosis diberikan kepada hewan dan MSG yang terkandung dalam makanan manusia sebagai penambah rasa. Dengan demikian, studi hewan lebih lanjut difokuskan pada efek MSG pada sistem saraf pusat, harus menyamakan dosis asupan manusia. Pada penelitian ini, dosis MSG 3,5 mg/grbb adalah dosis yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel Purkinje cerebellum dan gangguan koordinasi motorik. Setelah dikonversi untuk dosis manusia dengan faktor konversi 56,0 (Laurence & Bocharch, 1964) setara dengan manusia mengkonsumsi 560 mg/kgbb/hari (Lampiran 10). Penelitian pada tikus yang diberikan MSG dengan dosis 2,5 mg/grbb, koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje belum mengalami penurunan yang signifikan apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi paparan MSG. Sedangkan pada dosis 3,5 mg/grbb, koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje didapatkan hasil yang paling rendah apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol (C), kelompok T 2,5, ataupun kelompok T 3,0. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerusakannya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Eweka dan Om Iniabohs (2007) yang mendapatkan gambaran histologis sel Purkinje cerebellum yang rusak akibat pemberian MSG dengan tingkat kerusakan sebanding dengan peningkatan dosis yang diberikan. Batas aman konsumsi MSG maksimal adalah 120 mg/kgbb/hari (Collison et al, 2009). Kadar asam glutamat dalam darah akan meningkat setelah konsumsi 30 mg/kgbb/hari. Bila masih dalam batas terkendali, peningkatan kadar ini akan

18 menurun kembali ke kadar normal atau seperti kadar semula dalam waktu 3 jam. Peningkatan yang signifikan baru akan tampak pada konsumsi 150 mg/kgbb/hari dan tersaji dalam makanan berkuah (Walker & Lupien, 2000). Jenis makanan yang mengandung MSG, seringkali tidak disebutkan kadarnya dalam suatu makanan kemasan yang dijual dipasar. Jika melihat kadar MSG dalam mie instan, snack, ataupun jajanan yang dijual mungkin kandungan MSG dalam makanan tersebut telah melewati batas aman konsumsi MSG. Banyak nama lain yang sebenarnya juga mengandung MSG seperti penyedap rasa, hydrolyzed protein, yeast food, natural flavoring, modified starch, textured protein, autolyzed yeast, seasoned salt, soy protein dan istilah lain yang akibatnya kadar glutamat yang sesungguhnya sering kali tidak seperti yang dicantumkan (Ardyanto, 2004). Pada otak, terdapat asam amino glutamat yang berfungsi sebagai neurotransmiter untuk menghantarkan rangsang antar neuron. Tetapi apabila terakumulasi di sinaps akan bersifat eksitotoksik bagi otak. Pada konsumsi MSG, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan terikat di usus, dan selebihnya akan dilepaskan dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan menembus sawar darah otak dan terikat oleh reseptornya. Asam glutamat bebas dipertahankan dalam jumlah yang aman. Pada kondisi normal, glutamat di ekstraseluler dan di celah sinaps dipertahankan pada 6 µm/l (Chao, 2010). Asam glutamat bebas ini bersifat eksitotoksik sehingga dihipotesiskan akan merusak neuron otak bila sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar rendah (Danbolt, 2001; Suarez et

19 al, 2002; Lipovac et al, 2003). Proses ini sering dikaitkan dengan neuropatologi kerusakan otak (Danbolt, 2001; Dalcin et al, 2007). 5. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa : a. Gangguan koordinasi motorik lebih besar pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja yang diberi paparan MSG dengan dosis 3,5 mg/grbb dibandingkan dengan yang diberi paparan MSG dengan dosis yang lebih rendah. b. Jumlah sel Purkinje cerebellum lebih sedikit pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja yang diberi paparan MSG dengan dosis 3,5 mg/grbb dibandingkan dengan yang diberi paparan MSG dengan dosis yang lebih rendah. c. Koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan remaja menunjukkan hubungan yang bermakna.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Perkembangan zaman berdampak pada perubahan pola makan yang lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Perkembangan zaman berdampak pada perubahan pola makan yang lebih banyak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan zaman berdampak pada perubahan pola makan yang lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan makanan yang diawetkan yang saat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Pemberian monosodium glutamate (MSG ) per oral selama 30 hari hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Monosodium glutamat (MSG) merupakan penguat rasa yang penggunaannya cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan olahan. Luasnya penggunaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. faktor keturunan. Faktor-faktor tersebut dapat beraksi sendiri ataupun saling

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. faktor keturunan. Faktor-faktor tersebut dapat beraksi sendiri ataupun saling 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Proses patologis sering terjadi sebagai bentuk adaptasi tubuh akibat pengaruh lingkungan yang abnormal. Terdapat beberapa agen yang berbahaya bagi tubuh,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, postest only control group design. Postes untuk menganalisis perubahan jumlah purkinje pada pada lapisan ganglionar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan rancangan percobaan post test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Bahan tambahan makanan (food additive) adalah bahan atau campuran

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Bahan tambahan makanan (food additive) adalah bahan atau campuran 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Bahan tambahan makanan (food additive) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku makanan, tetapi ditambahkan kedalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada

BAB III METODE PENELITIAN. design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, posttest only control group design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada korteks

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Neuron Pyramidal CA1 Hippocampus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Neuron Pyramidal CA1 Hippocampus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia dengan nomor 19/Ka.Kom.Et/70/KE/III/2016.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan pendekatan posttest only control design

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. pendekatan Pre test - Post Test Only Control Group Design. Perlakuan hewan coba dilakukan di animal house Fakultas Kedokteran

III. METODE PENELITIAN. pendekatan Pre test - Post Test Only Control Group Design. Perlakuan hewan coba dilakukan di animal house Fakultas Kedokteran 24 III. METODE PENELITIAN III.1 Jenis dan Desain Penelitian Jenis dari penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 23 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Penelitian ini mencakup bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.1.2 Ruang Lingkup Tempat Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk anionik dari asam glutamat 7. Sebagai flavour enhancer bahan ini banyak ditemukan di negara maju 8, seperti

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk anionik dari asam glutamat 7. Sebagai flavour enhancer bahan ini banyak ditemukan di negara maju 8, seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Monosodium glutamat atau yang lebih dikenal dengan sebutan MSG adalah garam natrium yang berasal dari asam glutamat merupakan asam amino non esensial yang dapat dijumpai

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Anestesiologi, Farmakologi, dan Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian yang dilakukan telah lolos kaji etik. Keterangan lolos kaji etik dikeluarkan oleh Komite Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Farmakologi. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia, Gizi dan 4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Deskripsi Subjek Penelitian Subyek penelitian ini yaitu tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar, usia 90 hari dengan berat badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Monosodium glutamate (MSG) adalah garam natrium dari asam. glutamat (glutamic acid). MSG telah dikonsumsi secara luas di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Monosodium glutamate (MSG) adalah garam natrium dari asam. glutamat (glutamic acid). MSG telah dikonsumsi secara luas di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Monosodium glutamate (MSG) adalah garam natrium dari asam glutamat (glutamic acid). MSG telah dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dari penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan pre dan post test control group design. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini adalah bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu kedokteran forensik, farmakologi dan ilmu patologi anatomi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Adaptasi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan.

BAB III METODE PENELITIAN. random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan. 34 BAB III METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan post-test only control group design. Pemilihan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain posttest control group design. Postest untuk menganalisis perubahan ukuran miokardium. B. Populasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only with control group

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium, dengan rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai sampel

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Adaptasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang THT-KL, Farmakologi, dan Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with 43 III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with randomized control group design. Pemilihan subjek penelitian untuk pengelompokan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Farmakologi. Penelitian ini termasuk dalam lingkup kelimuan Biokimia dan 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test controlled group design terhadap hewan uji. B. Populasi dan Sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Gizi dan Biokimia.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Gizi dan Biokimia. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Gizi dan Biokimia. 3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba

Lebih terperinci

BAB IV METODE PELAKSANAAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

BAB IV METODE PELAKSANAAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan BAB IV METODE PELAKSANAAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menyangkut bidang ilmu biokimia, ilmu gizi, dan patologi anatomi 4.2 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan pre dan post-test design. Pre-test pada penelitian ini adalah

III. METODE PENELITIAN. menggunakan pre dan post-test design. Pre-test pada penelitian ini adalah III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental murni, dengan menggunakan pre dan post-test design. Pre-test pada penelitian ini adalah pengukuran kadar LDL

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya ilmu Biokimia dan Farmakologi. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya ilmu Biokimia dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah eskperimental

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah eskperimental BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah eskperimental laboratorik dengan rancangan penelitian pre test & post test control group design

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam

1. PENDAHULUAN. penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monosodium Glutamat (MSG) sudah lama digunakan diseluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam amino (Geha et al., 2000), dikarenakan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Lingkup Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Histologi Universitas Diponegoro, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuwan : Anestesiologi 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang 3. Ruang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. 1.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu

BAB IV METODE PENELITIAN. 1.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu 26 BAB IV METODE PENELITIAN 1.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berkaitan dengan Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, dan Toksikologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Pemeliharaan hewan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1)

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan eksperimental murni, dengan rancanganpost-test control

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan eksperimental murni, dengan rancanganpost-test control 22 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan eksperimental murni, dengan rancanganpost-test control group design. Pada jenis penelitian ini, pre-test tidak dilakukan karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) divisi Alergi-Imunologi dan Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, dan Fisika Kedokteran. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. pendekatan Post Test Only Control Group Design dan metode Rancangan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. pendekatan Post Test Only Control Group Design dan metode Rancangan 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design dan metode Rancangan Acak Lengkap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian dan Farmakologi. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian a. Pemeliharaan dan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat : Laboratorium Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etanol disebut juga etil alkohol atau alkohol yang merupakan sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, dan tak berwarna. Etanol merupakan jenis alkohol yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat : -Laboratorium Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian paparan ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) pada mencit galur DDY selama 90 hari adalah sebagai berikut. 4.1.1 Deskripsi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest - posttest control group design (Campbell & Stanly, 1996). Skema

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr.

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup Ilmu dibidang Obstetri dan Ginekologi dan Histologi 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu dan lokasi penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. pembuatan pakan. Analisis kadar malondialdehida serum dilakukan di

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. pembuatan pakan. Analisis kadar malondialdehida serum dilakukan di BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah mengajukan izin kelayakan penelitian ke Komite Etik FK UII dengan nomor protokol 12/Ka.Kom.Et/70/KE/XII/2015. Hasil penelitian terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan pada hewan uji secara in vivo. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Uji dan

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan pada hewan uji secara in vivo. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Uji dan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental laboratoris murni yang dilakukan pada hewan uji secara in vivo. B. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian eksperimental. Penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan pengadaan

Lebih terperinci

SARI KURMA (PHOENIX DACTYLIFERA) SEBAGAI SUPLEMEN NUTRISI UNTUK MENAMBAH KADAR HAEMOGLOBIN PADA TIKUS PUTIH BETINA (RATUS NORVEGICUS)

SARI KURMA (PHOENIX DACTYLIFERA) SEBAGAI SUPLEMEN NUTRISI UNTUK MENAMBAH KADAR HAEMOGLOBIN PADA TIKUS PUTIH BETINA (RATUS NORVEGICUS) SARI KURMA (PHOENIX DACTYLIFERA) SEBAGAI SUPLEMEN NUTRISI UNTUK MENAMBAH KADAR HAEMOGLOBIN PADA TIKUS PUTIH BETINA (RATUS NORVEGICUS) Setyo mahanani Nugroho 1, Masruroh 2, Lenna Maydianasari 3 setyomahanani@gmail.com

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan Fisika kedokteran. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat 1. Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Bidang ilmu yang tercakup dalam penelitian ini adalah Biologi, Farmakologi, dan Kimia. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design. Desain ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorik dengan rancangan penelitian pretest and posttest with control

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorik dengan rancangan penelitian pretest and posttest with control BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Design Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah studi eksperimental laboratorik dengan rancangan penelitian pretest and posttest with control group

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design. Melibatkan dua kelompok subyek, dimana salah satu kelompok

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan menggunakan pre test-post test control group design (Pocock,2008). P0 O1 O5 P1 O2 O6 P S R

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN 54 BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan 28 ekor tikus strain Sprague Dawley dengan pakan standart diaklimatisasi selama 1 minggu, kemudian diinduksi 1,2- dimethylhidrazine dengan dosis 30

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 26 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini adalah bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode post test group only design. Menggunakan tikus putih jantan galur Sprague dawley berumur

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Anestesiologi. proposal disetujui.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Anestesiologi. proposal disetujui. 1 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Anestesiologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian - Tempat penelitian : Laboratorium Biologi Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Biokimia. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Fluorida adalah salah satu senyawa kimia yang terbukti dapat

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Fluorida adalah salah satu senyawa kimia yang terbukti dapat BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Fluorida adalah salah satu senyawa kimia yang terbukti dapat menyebabkan masalah kesehatan yang disebut fluorosis. Fluorosis merupakan gangguan degeneratif yang diakibatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. RAL (Rancangan Acak Lengkap), dengan menggunakan 2 faktor (macam diet dan

BAB III METODE PENELITIAN. RAL (Rancangan Acak Lengkap), dengan menggunakan 2 faktor (macam diet dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental laboratorium. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan RAL (Rancangan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV METODA PENELITIAN. designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang

BAB IV METODA PENELITIAN. designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang BAB IV METODA PENELITIAN IV.1. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik ( true experiment designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium yang dilakukan dengan hewan uji secara in vivo. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium yang dilakukan dengan hewan uji secara in vivo. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental murni laboratorium yang dilakukan dengan hewan uji secara in vivo. B. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi. BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi. 4.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang. BAB III METODE PENELITIAN 3.3 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. 3.1.2

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Histologi, Mikrobiologi, dan Farmakologi.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Histologi, Mikrobiologi, dan Farmakologi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini meliputi bidang Histologi, Mikrobiologi, dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk menganalisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. rancangan acak lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. rancangan acak lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan rancangan acak lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri dari 4

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji dengan posttest only control group design B. Subjek Penelitian Hewan uji yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eskperimental laboratorik dengan rancangan pre test and post test with control

BAB III METODE PENELITIAN. eskperimental laboratorik dengan rancangan pre test and post test with control BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian eskperimental laboratorik dengan rancangan pre test and post test with control group

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Sistematika pembahasan dilakukan pada masing-masing variabel meliputi

BAB 5 PEMBAHASAN. Sistematika pembahasan dilakukan pada masing-masing variabel meliputi BAB 5 PEMBAHASAN Sistematika pembahasan dilakukan pada masing-masing variabel meliputi kadar SGOT dan SGPT yang diukur dengan metode fotometri dan dinyatakan dalam satuan U/l. Sebelumnya akan disampaikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen murni dengan menggunakan design Pretest postest with control group

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dan menggunakan

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dan menggunakan III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dan menggunakan rancangan acak lengkap dengan Posttest Only Control Group Design. Dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test control group

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test control group BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test control group design. B. Subyek Penelitian

Lebih terperinci