BAB I. Pesatnya perkembangan teknologi saat ini menyebabkan batas-batas antar

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. Pesatnya perkembangan teknologi saat ini menyebabkan batas-batas antar"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pesatnya perkembangan teknologi saat ini menyebabkan batas-batas antar manusia secara mudah mampu ditembus. Hampir setiap orang mampu melihat kejadian di belahan bumi lain dan menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara mereka baik dari sisi ekonomi, sosial, ras, budaya, norma, maupun ideologi. Keadaan ini juga semakin membuka kemungkinan setiap manusia untuk menyadari bahwa setiap hukum, aturan, norma, budaya, maupun penjelasan terhadap perilaku manusia pada suatu budaya memiliki sisi keasliannya dan kesesuaian masing-masing sehingga tidak lagi mampu dipahami secara lengkap dengan teori-teori sosial yang bersifat umum atau universal yang selama ini telah dikenal (Astiyanto, 2012; Naisbitt, 1994). Sebuah teori sosial sebagai alat penjelas tidak terlepas dari perspektif yang mengandung asumsi, nilai, dan gagasan tempat teori tersebut terbentuk. Sebuah teori yang bersifat lokal justru mampu menguat ketika sebuah teori umum semakin ditekankan untuk menganalisis segala fenomena lintas konteks. Paradoks ini mengindikasikan bahwa semakin teori umum mencoba menjelaskan semua konteks kehidupan manusia, semakin terlihat kekurangan-kekurangannya sehingga semakin dibutuhkan teori yang bersifat kontekstual yang lebih tepat dalam menjelaskan. Hal tersebut sebagaimana dapat dilihat dari contoh keadaan di Indonesia pada tahun 1998-an ketika penetapan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang hal tersebut justru menguatkan peran bahasa Indonesia sebagai 1

2 2 bahasa kesatuan, meskipun bahasa Indonesia tersebut pada akhirnya juga menjadi ancaman bagi tidak diperhatikannya bahasa-bahasa lokal yang mencerminkan sisi keunikan setiap etnis budaya di Indonesia (Astiyanto, 2012; Mulyana, 2013; Naisbitt, 1994). Kasus lain yang berbeda terkait dengan teori-teori sosial yang ada saat ini khususnya di bidang ilmu psikologi yang masih berorientasi sekedar membantu sistem kapitalis yang ada untuk menundukkan agar manusia bahagia bekerja pada pihak-pihak tertentu dan belum sampai pada penekanan pentingnya diri manusia terbebas dari belenggu keinginan-keinginannya yang tidak pernah puas dan melupakan nilai-nilai kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan sesuai budaya tempat menjalani kehidupan (Jatman, 1985). Permasalahan di atas juga diperkuat dengan adanya pandangan bahwa benda adalah sumber kesenangan dan kesedihan manusia dan tidak memperhatikan bahwa kesenangan dan kesedihan manusia sebenarnya tergantung pada pemahaman manusia terhadap penyebab dan dampak dari keinginan-keinginan yang dimilikinya (Jatman, 1985; Suryomentaram, 1990). Teori-teori sosial yang digunakan untuk menganalisis permasalahan Indonesia saat ini masih cenderung mengacu pada teori Barat sehingga sebuah permasalahan sering kali kurang kaya akan eksplorasi dan penjelasan dari berbagai sudut pandang. Teori psikodinamika tersusun atas pengalaman-pengalaman subjek perorangan pasien Sigmund Freud. Teori psikologi humanistik dibangun dari pengalaman-pengalaman individu (klien) Carl Rogers yang terjadi di negara maju, Amerika Serikat, yang memiliki teknologi dan budaya kompetisi individual yang lebih kuat daripada budaya komunal masyarakat Indonesia (Jatman, 1985; Sobur,

3 3 2013). Sedangkan teori psikodinamika menekankan dasar analisis kepribadian manusia dari id yang senantiasa mengejar kesenangan belaka dan norma masyarakat dipandang sebagai seperangkat kesepakatan agar penyaluran id diterima secara komunal. Semisal, jika seseorang memiliki dorongan (id) seksual, maka masyarakat menciptakan norma masyarakat tentang pernikahan demi dibolehkannya penyaluran hasrat seksual tersebut. Teori humanistik menekankan pentingnya sisi kreativitas manusia dalam mengeksplorasi dirinya, sedangkan teori humanistik terlahir di negara maju, Amerika Serikat, yang telah unggul dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya sekaligus menekankan pentingnya persaingan dan pencapaian individu. Kedua teori di atas berbeda dengan teori Kawruh Jiwa Suryomentaram yang menempatkan norma masyarakat sebagai hal yang harus dipatuhi bersama dan bukan sekedar sebagai aturan yang dibuat manusia untuk memudahkan tersalurkannya keinginan-keinginan (id). Norma adalah acuan penilaian perilaku dalam Kawruh Jiwa Suryomentaram karena norma akan menjadikan berbagai kepentingan individu yang ada di dalamnya tetap berjalan selaras tanpa saling merugikan atau mengganggu. Kawruh Jiwa Suryomentaram juga merupakan suatu teori yang lahir di Indonesia sehingga bersifat lebih kontekstual untuk diterapkan dalam menganalisis dinamika masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya (Adimassana, 1986; Jatman, 1985; Suryomentaram, 1989). Kawruh Jiwa Suryomentaram mengasumsikan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat pengawas yang mampu dididik dan dilatih sepanjang hidup

4 4 manusia yang akan menjadikan keinginan-keinginan (id) menurut teori Freud yang awalnya sebagai subjek pengendali diri manusia menjadi objek yang mampu dikendalikan dan setiap manusia haruslah berperilaku sosial secara baik tanpa mengabaikan lingkungan sekitarnya. Penekanan terhadap hal ini yang menjadikan Kawruh Jiwa Suryomentaram mampu menutup celah kekurangan baik dari teori psikoanalisis yang menekankan id (keinginan) manusia sebagai dasar utama manusia berperilaku maupun teori humanistik yang terbentuk di negara maju yang menekankan persaingan dan pencapaian individual (Jatman, 1985; Suryomentaram, 1989). Meskipun begitu, Kawruh Jiwa Suryomentaram memiliki kesamaan dengan psikoanalisis yang menekankan id yang senantiasa mencari kesenangan sebagaimana konsep raos aku kramadangsa dan memiliki kesamaan dengan teori humanistik yang tidak sekedar menjelaskan kenyataan dalam kehidupan, melainkan juga etika dan kebijaksanaan hidup yang seharusnya dicapai manusia (Jatman, 1985). Kawruh Jiwa Suryomentaram tersusun dari kegelisahan Suryomentaram terhadap pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Suryomentaram memulai proses mengkritisi pemikiran terhadap pengalaman-pengalaman yang dirasakannya ini melalui diskusi dengan rekan-rekannya dalam Perkumpulan malam Selasa Kliwon. dikenal sebagai Junggring Saloka. Junggring Saloka adalah perkumpulan yang berfungsi sebagai sarana diskusi yang dilakukan Suryomentaram dan rekan-rekannya yang mencoba mengkritisi pemikiran tentang makna kehidupan (Jatman, 1985; Suryomentaram, 1989). Kawruh Jiwa Suryomentaram menitikberatkan terbentuknya ekspresi emosi yang baik dalam

5 5 menyikapi keinginan dan keadaan sosial yanga ada. Manusia dalam berperilaku baik secara sosial tidak akan memiliki kehidupan yang berbeda jauh dari masyarakatnya hanya demi memenuhi keinginan diri sendiri (Suryomentaram, 1989). Manusia sepanjang perjalanan hidupnya senantiasa mengalami rasa senang jika keinginan-keinginannya terpenuhi dan bersedih jika keinginannya tidak terpenuhi. Prioritas keinginan yang ingin terpenuhi yang ditandai oleh emosi susah atau senang adalah beragam pada setiap orang, waktu, dan keadaan. Intinya adalah manusia pasti mengalami rasa senang, bahagia, gembira, lega, bangga yang pasti mulur jika keinginannya terpenuhi dan rasa susah, sedih, takut, kecewa yang pasti mungkret jika keinginannya tidak terpenuhi. Ambillah contoh misalnya seseorang remaja yang memiliki baju baru ketika lebaran dan sudah terpenuhi keinginannya tersebut akan menjadi sedih dan belum lega karena belum memiliki jam tangan baru. Begitu pun sebaliknya, seseorang yang terpaksa memakan makanan dengan lauk seadanya setidaknya akan merasa senang dan lega karena dirinya sudah bisa makan dan tidak kelaparan yang berarti mulur (Suryomentaram, 1989). Manusia bukanlah suatu masalah yang akan secara tuntas dipecahkan, melainkan suatu misteri yang tidak mungkin disebutkan ciri dan sifatnya secara tuntas. Oleh karena itu, harus dipahami dan dihayati (Astiyanto, 2012). Dinamika kehidupan manusia tersebut yang ditampakkan dalam sikap dan perilaku keseharian tidak terlepas dari pada pengalaman-pengalaman terpenuhi atau

6 6 tidaknya keinginan-keinginannya di usia-usia yang sebelumnya (Adimassana, 1986). Suryomentaram (1990) menjabarkan tahap-tahap kehidupan manusia adalah sebagai berikut : 1. Tahap merasakan, tetapi belum bisa bertindak (Dimensi I). Tahap ini disebut sebagai juru cathet. Tahap ini digambarkan oleh kehidupan bayi yang mampu merasakan, tetapi belum mampu bertindak. Misalnya adalah ketika bayi digigit nyamuk merasakan gatal, tetapi belum mampu menggaruknya sehingga bayi hanya akan menangis. Manusia pada tahap ini hidupnya masih bagaikan tumbuhan sebab secara pasif menerima rangsangan-rangsangan dari lingkungan, namun belum mampu berbuat dan berpikir, dan kemampuannya hanya senantiasa membuat kumpulan cathetan (kumpulan pengalamanpengalaman) yang dialaminya yang juga akan berpengaruh pada perilakunya di usia selanjutnya. 2. Tahap keingintahuan tanpa diiringi pengetahuan dan konsekuensi (Dimensi II). Tahap ini meliputi terbentuknya kelompok cathetancathetan dalam diri manusia. Pada tahap ini seorang anak memiliki rasa ingin tahu, tetapi belum disertai dengan pemahaman pengetahuan dan konsekuensinya. Contohnya adalah anak-anak yang merasa senang pada nyala api lalu mendekatinya dan memegang api yang akhirnya menyebabkan tangannya melepuh. Anak tersebut merasa senang dan antusias ketika melihat api sehingga muncul keinginan yang berarti

7 7 mulur, tetapi setelah memegang dan akhirnya kesakitan, maka dirinya pun merasa kecewa, takut, kaget, dan sakit dan tidak memiliki keinginan lagi untuk memegang api yang berarti mungkret. Tahapan ini mencerminkan bahwa manusia telah memiliki pikiran, kehendak, dan perasaan untuk mengetahui suatu hal, tetapi masih belum diiringi pemahaman terhadap akibat yang akan dirasakan. Pengalaman memegang api tersebut akan berkembang menjadi salah satu cathetan yang dimiliki oleh seseorang. Cathetan-cathetan tersebut akan mengelompok menjadi 11 cathetan, yaitu harta benda (semat), kehormatan (drajat), kekuasaan (kramat), keluarga, golongan, bangsa, jenis, kepintaran, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup (raos gesang). 3. Tahap memahami pemuas kebutuhan dan cara pemenuhannya (Dimensi III). Manusia dalam tahap dikendalikan oleh raos aku kramadangsa. Raos aku kramadangsa adalah struktur kepribadian manusia yang bersentuhan dengan realitas dan senantiasa berusaha ingin memenuhi keinginan-keinginan setiap cathetan. Raos aku kramadangsa menjadi budak bagi 11 cathetan yang ada pada Dimensi II sehingga raos aku kramadangsa menjadikan manusia senantiasa merasakan, memikirkan, dan menginginkan sesuatu demi memenuhi keinginan setiap cathetan tersebut. Raos aku kramadangsa adalah diri manusia yang sifatnya egosentris. Jika seseorang bernama Suto, maka Aku Raos aku kramadangsa ini bisa diganti Aku Si Suto.

8 8 Raos aku kramadangsa tidak bisa diwakilkan dan tidak mau disalahkan; yang akan merasa senang, bahagia, bangga yang berarti mulur jika berhasil memenuhi keinginan-keinginan cathetan dan merasa sedih, susah, kecewa yang berarti mungkret jika gagal memenuhi keinginan-keinginan cathetan. Tahapan ini terjadi pada masa remaja, dewasa, atau bahkan pada saat seseorang sudah menjadi tua. 4. Tahap manusia sehat seutuhnya (Dimensi IV). Tahap ini disebut dengan istilah Manungso Tanpa Tenger. Tenger adalah cela dalam bahasa Jawa. Tenger tersebut dalam konsep Kawruh Jiwa Suryomenaram adalah cathetan-cathetan manusia yang terdiri dari 11 cathetan yang akan menjadikan manusia akan menilai orang lain berdasarkan harta benda (semat), kehormatan (drajat), kekuasaan (kramat), keluarga, golongan, bangsa, jenis, kepintaran, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup (raos gesang). Sebaliknya, Manungso Tanpa Tenger adalah manusia yang mampu elastis terhadap keinginan-keinginan yang dimilikinya yang berarti akan merasa senang jika keinginannya terpenuhi dan akan menerima keadaan jika keinginannya tidak terpenuhi sebab dirinya memahami bahwa memang begitulah kehidupan. Tahapan ini ditandai oleh 6 Sa, yaitu sabutuhe (sebatas waktu munculnya kebutuhan), sakarepe (sebatas jika keinginannya tidak melanggar hak orang lain), sapenake (sebatas kemampuan dirinya), samesthine (sebatas cara pemenuhan yang tidak

9 9 melanggar norma masyarakat), sacukupe (sebatas kecukupan kebutuhannya), dan sabenere (sebatas kebutuhan yang sebenarnya dibutuhkan). Contohnya adalah manusia kaya yang telah mampu menilai bahwa orang miskin pun akan mengalami kesenangan dalam kehidupannya sehingga ia tidak terpaku menilai kemiskinan sebagai suatu kehinaan karena jika seseorang masih menilai bahwa kemiskinan adalah kehinaan, maka sebenarnya perasaan tersebut masih tercampuri rasa ingin kaya dan rasa takut miskin. Manusia yang telah mencapai tahap ini telah memahami bahwa dalam kehidupan pasti akan mengalami kesusahan dan kesenangan yang silih berganti. Manusia pada tahap ini memahami bahwa sifat dasar keinginan adalah senantiasa merasa celaka, sedih, susah, kecewa, tertekan, yang berarti mungkret jika keinginannya tidak terpenuhi dan begitu pun sebaliknya, senantiasa akan merasa bahagia, bangga, bahagia, dan mulur jika keinginannya terpenuhi. Manusia pada tahap dimensi IV memahami bahwa sifat dasar manusia adalah senantiasa menyukai dan mendambakan kesenangankesenangan yang berarti mendambakan keadaan yang senantiasa menimbulkan rasa mulur dan membenci kesusahan-kesusahan yang berarti membenci keadaan yang menimbulkan rasa mungkret. Manusia pada tahap ini juga memahami bahwa sumber kesenangan dan kesusahan sejati bukanlah berasal dari benda, melainkan dari

10 10 kemampuan dirinya sendiri dalam mengetahui dan memahami keinginan-keinginannya. Pada tahap dimensi IV, Raos aku kramadangsa tidak lagi sebagai subjek aktif yang mengendalikan, melainkan sebagai objek pasif sehingga mampu diamati, dipahami, dan diawasi. Cathetan-cathetan keinginan manusia (raos aku kramadangsa) yang mulai muncul pada Dimensi II mengelompok menjadi 11 kategori. Sebelas cathetan tersebut adalah (1) kekayaan, yakni kelompok cathetan yang meliputi rumah, baju, benda-benda lain yang merupakan kepemilikan yang ditandai sebagai harta bendaku yang kalau diambil, seseorang akan marah, namun kalau ditambah akan merasa senang, lega, bangga, bahagia, mulur; (2) kehormatan, yakni cathetan yang berisikan cara-cara memberikan hormat. Salaman, disapa, berjongkok, disanjung, membungkukkan badan, dll. Sifat cathetan kehormatan ini jika dituruti akan senang dan jika tidak diikuti akan merasa marah, sedih, kecewa, tertekan, mungkret. Isinya seperti jabatan bupati akan dihormati, jabatan raja akan disanjung, rajanya dari para raja akan disembah; (3) kekuasaan, yaitu cathetan yang berisikan kekuasaan terhadap hal yang dimiliki. Misalnya kekuasaannya terhadap kepemilikan barang. Seseorang semisal memagari rumahnya dan jika ada orang lain yang masuk ke rumahnya tanpa izin, dirinya akan merasa marah, kecewa, susah, mungkret karena kekuasaannya diganggu; (4) keluarga, yakni cathetan yang berisikan mengenai ayahku, adikku, ibuku, suamiku, dll. sifat cathetan ini adalah jika diganggu akan merasa marah, sedih, kecewa, tertekan, mungkret dan jika dibantu akan merasa senang, bangga, lega, mulur; (5)

11 11 golongan, yakni cathetan kelompok yang mana seseorang berada di dalamnya baik memilih atau karena keadaan sejak lahir. Golongan meliputi kelompok partai, priyayi, orang kaya, agama tertentu, dll. Cara masuk ke dalam golongan meliputi dua cara, yaitu tidak sengaja dan sengaja. Cara masuk golongan secara tidak sengaja semisal seseorang karena kemelaratannya masuk ke dalam golongan masyarakat ekonomi lemah dan sengaja jika seseorang karena ideologi yang ia anut masuk ke partai politik berideologi yang sama dengan dirinya. Sifat cathetan golongan sama, yaitu jika dipuji akan merasa bahagia, senang, bangga, mulur dan sebaliknya merasa marah, sedih, kecewa, mungkret apabila diejek, dihina; (6) kebangsaan, yakni cathetan yang berisi keberadaan manusia yang bukan atas kehendaknya menjadi bagian masyarakat dalam sebuah negara. Sifat cathetan kebangsaan adalah jika dicela akan merasa marah, kecewa, sedih, kesal, mungkret dan jika disanjung akan merasa senang, bangga, bahagia, mulur; (7) jenis, yakni cathetan tentang sifat yang dirasakan saat bertemu orang lain sebagai sesama manusia dan dengan hewan atau tumbuhan sebagai sesama makhluk hidup. Jika cathetan ini dipuji, maka akan merasa senang, lega, bangga, bahagia, dan jika diganggu maka akan merasa marah, sedih, kecewa, mungkret. Misalnya seseorang akan menolong ketika ada orang lain yang sedang dikejar hewan buas yang perilaku tersebut muncul karena rasa sebagai sesama manusia; (8) kepandaian, yakni cathetan yang berisi kepandaian yang dimiliki manusia dan merupakan keunggulan kompetensi atau pencapaian pada dirinya, misalnya kemampuan menari, memprogram komputer, melukis, dan lain-lain; sifat cathetan ini sama dengan cathetan-cathetan lain yang akan mulur jika dipuji dan mungkret jika

12 12 dihina atau diganggu. (9) kebatinan, yakni cathetan yang mengungkapkan hal-hal yang dirasakan mengenai diri sendiri dan lingkungan. Cathetan kebatinan berisi tentang keyakinan akan kepercayaan atau hakikat suatu hal; (10) ilmu pengetahuan, yakni cathetan yang berisi pengetahuan dan ilmu dalam berbagai hal. Sifatnya sama dengan cathetan lain yang jika dipuji akan merasa senang, bangga, bahagia, dan mulur dan jika dicela akan merasa marah, susah, sedih, kecewa, dan mungkret; dan (11) rasa hidup (raos gesang), yakni cathetan yang berisi pengalaman untuk memenuhi kebutuhan raga atau kebutuhan melestarikan jenis yang meliputi pakaian, makanan, dan tempat tinggal dan pengalaman untuk memahami perilaku makhluk lain. Rasa hidup ini juga terdapat pada tumbuhan dan hewan yang ditandai oleh kemauan bertahan hidup dan melestarikan jenis (Suryomentaram, 1990). Teori Bronfenbrenner menyatakan bahwa budaya adalah suatu makrosistem yang jangkauannya berada paling jauh dari individu karena hal utama yang diterima individu adalah nilai-nilai keluarga tanpa harus terlalu memperhatikan nilai atau norma masyarakat sehingga lebih permisif terhadap keputusan-keputusan individu, meskipun keputusan tersebut tidak sesuai nilai atau norma masyarakat. Sedangkan Kawruh Jiwa Suryomentaram menjelaskan bahwa budaya (nilai, norma, kebiasaan, dan aturan masyarakat) akan mempengaruhi secara langsung kehidupan manusia sejak lahir sehingga akan menjadi acuan bahwa dalam bersikap dan berperilaku seorang individu harusnya tidak mengabaikan nilai, norma, dan aturan sosial masyarakat ketika berusaha

13 13 memenuhi keinginan-keinginan yang dimilikinya (Fiest & Fiest, 2008; Santrock, 2003). Keberadaan kemampuan mulur mungkret jika ditinjau dari teori psikologi yang sudah ada (teori psikologi dari budaya Barat) sekilas hampir sama dengan konsep personal adjustment atau kemampuan penyesuaian diri. Schneider (Fiest & Fiest, 2008) berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat berarti sebagai adaptasi, penyesuaian diri sebagai konformitas, dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan diri. Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi, tetapi adaptasi umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik seperti seseorang mencari kehangatan ketika merasa kedinginan. Sedangkan penyesuaian diri sebagai konformitas menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat dari lingkungannya untuk selalu mengikuti perilaku kelompok, meskipun konformitas adalah suatu hal yang wajar terjadi secara natural pada manusia. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan diri masih mengarah pada tataran kemampuan penguasaan manusia sebatas kognitif. Konsep penyesuaian diri berarti telah ada dalam mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram yang juga telah memasukkan kemampuan penyesuaian diri secara fisik sebagai dorongan bertahan hidup dalam cathetan rasa hidup (raos gesang) dan menitikberatkan dinamika di dalam diri sebagai sesuatu yang lebih luas karena meliputi pengelolaan jiwa individu yang bersangkutan (raos), etis karena tidak membiarkan manusia berperilaku yang sebenarnya wajar, tetapi merugikan, dan bijaksana karena menitikberatkan pemaknaan terhadap keadaan yang dialami individu yang bersangkutan (Jatman, 1985).

14 14 Erikson dalam Fiest & Fiest (2008) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa internalisasi nilai-nilai oleh seorang remaja karena pada masa ini seorang remaja akan banyak mengeksplorasi diri secara mendalam yang berarti masa yang mana manusia berkembang dan tumbuh berbagai macam keinginankeinginan. Remaja akan begitu banyak memperoleh berbagai nilai, terlebih ketika teknologi saat ini memungkinkan remaja menerima secara cepat dan mudah berbagai nilai lintas budaya termasuk nilai-nilai budaya Barat. Nilai budaya Barat ini pun juga dominan diterima oleh remaja di Indonesia sehingga memudahkan pergeseran bahkan pergantian nilai-nilai budaya remaja Indonesia sehingga semakin tidak mengenali nilai-nilai budayanya. Keadaan ini juga ditambah dengan keadaan minimnya usaha internalisasi nilai-nilai budaya Indonesia di jenjang pendidikan (Astiyanto, 2012; Sadhvi, 2013). Keadaan remaja yang masih belum matang bisa ditemui oleh peneliti ketika melakukan pengambilan data. Beberapa remaja siswa MAN 1 Yogyakarta mendatangi salah satu rekan penelitian dan menanyakan perihal alasan kelasnya tidak turut serta dimintai data. Hal tersebut dilakukan siswa yang bersangkutan karena menginginkan hadiah yang diberikan peneliti. Hal ini berarti bahwa adanya hadiah setelah mengisi kuesioner telah memantik keinginan di dalam diri siswa untuk memenuhi keinginan dirinya. Hadiah tersebut memunculkan keinginan di dalam diri remaja yang berarti mulur yang akan merasa senang apabila diberi dan ketika siswa mengetahui bahwa kelasnya ternyata tetap tidak akan diminta mengisi kuesioner yang berarti tidak akan memperoleh hadiah, maka siswa tersebut menganggap keinginannya tidak terpenuhi yang berarti mungkret yang

15 15 bisa ditunjukkan melalui rasa kecewa. Selain itu, penelitian Mulyana (2013) memaparkan bahwa keadaan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa remaja diukur standar penyesuaian dirinya sebagai manusia dari kepemilikannya terhadap benda-benda seperti handphone atau sepeda motor yang tak lain adalah wujud dari cathetan semat, prestasi berupa rangking di kelas atau perolehan medali yang tak lain adalah cathetan drajat, dan banyak sedikitnya teman yang bisa dipengaruhinya yang tak lain adalah cathetan kramat. Hal tersebut menandakan bahwa dalam kenyataan sehari-hari remaja khususnya siswa sekolah menengah atas menunjukkan adanya fenomena tentang kemampuan dan dinamika mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram. Tuntutan-tuntutan prestasi tersebut menjadi prioritas dalam berbagai jenjang pendidikan yang berdampak terhadap diperlakukannya pendidikan karakter hanya sebagai pilihan tambahan atau sekedar alternatif sehingga melahirkan generasi Indonesia yang kalau pun cerdas, tetapi miskin moralitas dan kering kepeduliannya terhadap masyarakat. Masa remaja adalah masa eksplorasi yang ditandai oleh berkembangnya keinginan-keinginan yang dimilikinya sebagai seorang manusia sehingga menjadi fenomena yang menarik dan penting untuk dipahami secara kontekstual berdasarkan teori yang lahir dalam konteks yang sama dengan remaja tersebut (Jatman, 1985; Santrock, 2003; Suryomentaram, 1989).

16 16 B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman dan menampakkan ke permukaan tentang keberadaan kemampuan dan dinamika mulur-mungkret pada remaja tengah di MAN 1 Yogyakarta. C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian yang bertemakan keberadaan dan dinamika kemampuan mulurmungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram pada masa remaja ini diharapkan memberi manfaat berupa : 1. Manfaat Teori Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman dan penjelasan terkait dengan pemahaman terhadap dinamika kemampuan mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram. Hal itu diharapkan dapat menjadi data dan bukti empiris atas konsep mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram serta memberi perluasan wacana pemahaman yang terkait psikologi budaya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pemahaman bagi subjek penelitian untuk memahami dinamika mulur mungkret yang dialami remaja tengah.

17 17 b. Bagi guru/pendidik Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar penyusunan kebijakan model pendampingan terhadap siswa. c. Bagi Penelitian Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan akan dijadikan referensi dalam kajian yang menganalisis keberadaan dan dinamika kemampuan mulur mungkret Kawruh Jiwa Suryomentaram dengan subjek atau konteks yang berbeda.

BAB I PENDAHULUAN. (Santrock, 1995). Masa remaja, menurut Monks, dkk berlangsung antara usia 12-21

BAB I PENDAHULUAN. (Santrock, 1995). Masa remaja, menurut Monks, dkk berlangsung antara usia 12-21 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja yang sedang bertumbuh-kembang mempunyai kondisi yang dinamis. Banyak hal yang terkait dengan dinamika tersebut. Di satu sisi remaja sedang mencari jati

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Setelah menyajikan data hasil lapangan dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi,maka peneliti melakuikan analisis data. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh suatu hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merantau merupakan salah satu fenomena sosial yang memiliki dampak luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong seseorang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perkembangan (developmental) merupakan bagian dari masalah psikologi. Masalah ini menitik beratkan pada pemahaman dan proses dasar serta dinamika perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri pada orang lain. Seorang anak memerlukan waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada 144 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian secara mendalam peneliti membahas mengenai self

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana guru mengajar, berperilaku dan bersikap memiliki pengaruh terhadap siswanya (Syah, 2006). Biasanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga mempunyai sifat konstruktif dalam hidup manusia. Karena itulah kita dituntut untuk mampu mengadakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi akademik merupakan salah satu hasil yang dimunculkan oleh adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi akademik merupakan salah satu hasil yang dimunculkan oleh adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prestasi akademik merupakan salah satu hasil yang dimunculkan oleh adanya kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pendidikan. Prestasi akademik merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.

Lebih terperinci

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina PENDAHULUAN Pendidikan anak usia dini yang menjadi pondasi bagi pendidikan selanjutnya sudah seharusnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia menjadi penunjang keberlangsungan hidup manusia. Manusia dengan akal budinya

Lebih terperinci

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA MANUSIA MAKHLUK BUDAYA: HAKEKAT MANUSIA Manusia Makhluk ciptaan Tuhan, terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai kesatuan utuh. Manusia merupakan makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi dan modernisasi yang sedang berjalan saat ini, banyak terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Dengan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Manusia mengalami perkembangan sejak bayi, masa kanak- kanak,

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI I. Pengertian Dan Karakteristik Anak Usia Dini Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang

Lebih terperinci

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro KEMITRAAN SEKOLAH Workshop Strategi Pengembangan Mutu Sekolah Bagi Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah diselenggarakan Prodi S2 Manajemen Pendidikan dan S3 Ilmu Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

PSIKOLOGI BELAJAR DAPAT MEMBANTU PARA GURU MEMBANGUN MOTIVASI DAN MINAT BELAJAR SISWA Oleh Drs. Rusli, M.Si. Abstrak

PSIKOLOGI BELAJAR DAPAT MEMBANTU PARA GURU MEMBANGUN MOTIVASI DAN MINAT BELAJAR SISWA Oleh Drs. Rusli, M.Si. Abstrak PSIKOLOGI BELAJAR DAPAT MEMBANTU PARA GURU MEMBANGUN MOTIVASI DAN MINAT BELAJAR SISWA Oleh Drs. Rusli, M.Si Abstrak Tulisan ini menjelaskan tentang peran sekaligus posisi psikologi belajar dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia agar mampu mandiri, menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Anak adalah sumber daya bagi bangsa juga sebagai penentu masa depan dan penerus bangsa, sehingga dianggap penting bagi suatu negara untuk mengatur hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan remaja di perkotaan saat ini menunjukkan rendahnya kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya kepedulian remaja tergambar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk. menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk. menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pelaksanaan model konseling kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Secara uji statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan berlanjut menjadi orang tua merupakan proses yang dilalui oleh setiap manusia secara berkesinambungan dalam hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini.

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini. BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak kandungnya ditengah-tengah masyarakat dianggap tidak lazim oleh mereka. Keretakan dalam hubungan rumah tangga sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas bangsa, karena dengan pendidikan dapat meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Memaafkan 1. Definisi Pengalaman Memaafkan Memaafkan merupakan sebuah konsep dimana terdapat pelaku dan korban yang berada dalam sebuah konflik dan sedang berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa perkembangan dimana manusia berada pada rentan umur 12 hingga 21 tahun. Masa transisi dari kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Indonesia ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Indonesia ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Indonesia ada 3.878.652 siswa (http://www.depkominfo.go.id) yang tersebar di 34 propinsi pada tahun 2009. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Hurlock (1980:10) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu cita-cita besar dari kebijakan sistem pendidikan nasional saat ini adalah dapat terjadinya revolusi mental terhadap bangsa ini. Mengingat kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Batik merupakan salah satu hasil kebudayaan lokal Indonesia yang telah menjadi sebuah ikon bahkan kebanggaan negara, yang pada tanggal 2 Oktober 2009 telah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laku. Mulai dari kandungan sampai beranjak dewasa sampai tua manusia

BAB I PENDAHULUAN. laku. Mulai dari kandungan sampai beranjak dewasa sampai tua manusia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas adalah dunia pendidikan. Pendidikan memiliki tujuan untuk mencerdaskan, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya suatu periode khusus dan periode sulit, dimana pada tahun-tahun awal. masa dewasa banyak merasakan kesulitan sehingga mereka

BAB I PENDAHULUAN. adanya suatu periode khusus dan periode sulit, dimana pada tahun-tahun awal. masa dewasa banyak merasakan kesulitan sehingga mereka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sedang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Menurut Hurlock, masa dewasa awal dimulai pada umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Usia Dini 1. Keterampilan Sosial Anak usia dini merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan imajinasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sepanjang hayat (Long Life Education), merupakan kalimat yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sepanjang hayat (Long Life Education), merupakan kalimat yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan sepanjang hayat (Long Life Education), merupakan kalimat yang telah sejak lama dikenal sejak dahulu sampai saat ini. Pentingnya pendidikan dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

Definisi Karakter. Pengertian Karakter Menurut Para Ahli. 1. Maxwell

Definisi Karakter. Pengertian Karakter Menurut Para Ahli. 1. Maxwell Definisi Karakter Pengertian Karakter Menurut Para Ahli 1. Maxwell Menurut Maxwell, karakter jauh lebih baik dari sekedar perkataan. Lebih dari itu, karakter merupakan sebuah pilihan yang menentukan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan mengenai kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis, didapatkan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas. 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam Bab berikut dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan dan pertanyaan penelitian, tujuan peneltian dan manfaat penelitian. A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa yang penuh dengan dinamika. Dikatakan demikian karena memang masa remaja adalah masa yang sedang dalam tahap pertumbuhan. Ini

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas 10FEB Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si Program Studi MANAJEMEN PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar Dan Pembelajaran Menurut Hamalik (2001:28), belajar adalah Sesuatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

Lebih terperinci

Prinsip Tempat Kerja yang Saling Menghormati

Prinsip Tempat Kerja yang Saling Menghormati Prinsip Tempat Kerja yang Saling Menghormati Pernyataan Prinsip: Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan hormat di tempat kerja 3M. Dihormati berarti diperlakukan secara jujur dan profesional dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Belajar dan Pembelajaran 2.1.1 Pengertian Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar merupakan proses perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan

Lebih terperinci

NILAI ANAK BAGI ORANG TUA DAN DAMPAK TERHADAP PENGASUHAN

NILAI ANAK BAGI ORANG TUA DAN DAMPAK TERHADAP PENGASUHAN NILAI ANAK BAGI ORANG TUA DAN DAMPAK TERHADAP PENGASUHAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : DESI DWI WULANDARI F 100 050 064 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan akhlak mulia adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 20

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan akhlak mulia adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 20 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembinaan akhlak mulia adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 ayat 1. Pasal tersebut menyatakan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengertian nilai dengan nilai social. 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

MANAJEMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2004 (STUDI KASUS DI KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH GUBUG) TESIS

MANAJEMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2004 (STUDI KASUS DI KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH GUBUG) TESIS MANAJEMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2004 (STUDI KASUS DI KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH GUBUG) TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Nur Asia F 100 020 212 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) menjadi sebuah proses belajar bahasa yang berada pada fase paling penting bagi penguasaan bahasa siswa, karena siswa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS 5 2.1 Pengertian Perilaku BAB II KAJIAN TEORITIS Perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dari luar oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya interaksi antara individu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Adapun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hakikatnya pengalaman emosional akan selalu mengalir dan berkelanjutan dalam

BAB II KAJIAN TEORI. hakikatnya pengalaman emosional akan selalu mengalir dan berkelanjutan dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional 2.1.1 Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional sangat penting dalam kehidupan karena pada hakikatnya pengalaman emosional akan selalu mengalir dan

Lebih terperinci