Industri Pengolahan Kayu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Industri Pengolahan Kayu"

Transkripsi

1 Kertas Kerja No. 08 Industri Pengolahan Kayu Evolusi terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu Oktober 2004 Joint Secretariat: Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta Tel Fax

2 DAFTAR ISI I. Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Metodologi Cakupan Pembahasan 2 II. Evolusi Perizinan Industri Pengolahan Kayu Industri Pengolahan Kayu sebagai Mesin Pembangunan Ekonomi Rasionalisasi Industri Pengolahan Kayu Penurunan Kapasitas Izin Industri Pengolahan Kayu 6 III. Evolusi Kewenangan Perizinan Industri Pengolahan Kayu Kewenangan Sentralistik Desentralisasi Kewenangan Kewenangan Industri Primer Hasil Hutan Kayu 10 IV. Pembinaan Industri Pengolahan Kayu Penertiban Tata Usaha Kayu Tata Usaha Kayu Olahan Tata Usaha Ekspor Kayu Olahan Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Industri Evaluasi Kinerja Industri Pengolahan Kayu 19 V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Rekomendasi 23 Referensi 25 Lampiran 26 i

3 DAFTAR TABEL Tabel 1. Industri Pengolahan Kayu yang Terbuka bagi Penanaman Modal 6 Tabel 2. Kewenangan Perizinan Industri Pengolahan Kayu 9 Tabel 3. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu 10 ii

4 DAFTAR ISTILAH APL BKT BRIK BUMD BUMN BUMS Dirjen BPK Dirjen IHPK Dirjen PH DKB DKO DPV DR ETPIK HPH HPHH HTI IHH IMF IPHHK IPK IPKH ISL IUI IUPHHBK IUPHHK Kadishut Kakanwil Kepmen Keppres LHC LMK LOI LPI LVL PP RI Areal Penggunaan Lain Bagan Kerja Tahunan Badan Revitalisasi Industri Kehutanan Badan Usaha Milik Daerah Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Swasta Dirjen Bina Produksi Kehutanan Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan Dirjen Pengusahaan Hutan Daftar Kayu Bulat Daftar Kayu Olahan Dewan Pertimbangan Verifikasi Dana Reboisasi Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan Hak Pengusahaan Hutan Hak Pemungutan Hasil Hutan Hutan Tanaman Industri Iuran Hasil Hutan International Monetary Fund Industri Primer Hasil Hutan Kayu Izin Pemanfaatan Kayu Industri Pengolahan Kayu Hulu Izin Sah Lainnya Izin Usaha Industri Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Kepala Dinas Kehutanan Kepala Kantor Wilayah Keputusan Menteri Keputusan Presiden Laporan Hasil Cruising Laporan Mutasi Kayu Letter of Intent Lembaga Penilaian Independen Industri Laminating Lumber Veneer Peraturan Pemerintah Republik Indonesia iii

5 RKT RPBBI RPBI RPKB SAKB SAKO SKB SKSHH TDI TE TPK UU Rencana Kerja Tahunan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Rencana Pemenuhan Bahan baku Industri Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat Surat Angkutan Kayu Bulat Surat Angkutan Kayu Olahan Surat Keputusan Bersama Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Tanda Daftar Industri Tim Evaluasi Tempat Penimbunan Kayu Undang-undang iv

6 I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Industri pengolahan kayu merupakan barometer peningkatan perekonomian nasional dan faktor kunci dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor kehutanan. Praktik-praktik eksploitatif terhadap sumber daya hutan telah dilakukan sejak diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Ketentuan tentang Kehutanan. Berbagai fasilitas dan kemudahan diprioritaskan untuk mendorong tercapainya tujuan menjadikan industri pengolahan kayu sebagai primadona kontributor riil sektor non migas terhadap pembangunan ekonomi nasional. Kran ekspor kayu bulat ditutup guna menjamin ketersediaan suplai bahan baku bagi industri pengolahan kayu dalam negeri, dengan harapan Indonesia dapat mengekspor produk olahan yang bernilai tambah (value added), yang dapat bersaing dengan produk olahan luar negeri, dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Namun, fakta membuktikan bahwa tingkat konsumsi kayu bagi industri pengolahan kayu dalam negeri telah mengeruk sumber daya hutan kita tanpa memperhatikan daya dukung hutan lestari, bahkan menciptakan pemborosan bahan baku kayu, tetapi tidak pula memberikan kontribusi finansial yang proporsional jika dibandingkan dengan kerusakan hutan yang terjadi akibat praktikpraktik eksploitatif tersebut. Laporan ini memaparkan kebijakan yang terkait dengan industri pengolahan kayu sejak tahun 1967, untuk memperlihatkan evolusi yang terjadi melalui titik-titik karakteristik kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Evolusi kebijakan industri pengolahan kayu sangat terkait dengan tujuan kebijakan pemerintah di satu sisi untuk meningkatkan laju pembangunan, dan di sisi lain untuk mempertahankan sumber daya hutan melalui pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung hutan secara lestari. Kedua tujuan kebijakan tersebut merupakan suatu dilema terhadap nasib masa depan hutan kita, dan juga tidak dapat dipungkiri untuk memperhatikan nasib masa depan industri pengolahan kayu dalam negeri TUJUAN Laporan ini bertujuan untuk memaparkan evolusi kebijakan industri pengolahan kayu sejak tahun 1967 hingga tahun 2004, yang terkait dengan kewenangan perizinan industri, fasilitas dan kemudahan bagi industri pengolahan kayu, ketersediaan bahan baku industri, serta pembinaan terhadap industri pengolahan kayu METODOLOGI Laporan ini memaparkan evolusi kebijakan yang terkait dengan industri pengolahan kayu sejak tahun 1967 (masa Presiden Soeharto) hingga berakhirnya masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada tahun Sebagai tahap awal, dilakukan pengembangan matriks peraturan dan ketentuan yang berlaku (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri), yang dijadikan dasar pemaparan evolusi kebijakan yang terjadi. 1

7 1.4. CAKUPAN PEMBAHASAN Laporan ini difokuskan pada tiga cakupan pembahasan. Pertama, membahas titik-titik karakteristik yang memperlihatkan evolusi perizinan industri pengolahan kayu. Pembahasan di sini difokuskan pada peran sektor industri pengolahan kayu pada masingmasing periode evolusi. Kedua, membahas evolusi kewenangan perizinan industri pengolahan kayu, yakni dari sistem sentralistik pada masa Orde Baru, menuju desentralisasi pada era otonomi daerah, hingga kewenangan yang proporsional antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketiga, membahas evolusi kebijakan yang menyangkut pembinaan industri pengolahan kayu. Bagian ini akan membahas tiga aspek, yakni aspek penertiban tata usaha kayu, aspek pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, dan aspek evaluasi kinerja industri pengolahan kayu. Rangkaian pembahasan tersebut diakhiri dengan kesimpulan terhadap pemaparan evolusi kebijakan industri pengolahan kayu, serta rekomendasi teknis terkait bagi kebijakan industri pengolahan kayu di masa akan datang. 2

8 II. EVOLUSI PERIZINAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU 2.1. INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SEBAGAI MESIN PEMBANGUNAN EKONOMI Industri pengolahan kayu sebagai sektor hilir kehutanan dimulai ketika Soeharto berkuasa, yang diatur melalui UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Ketentuan Kehutanan. UU tersebut secara eksplisit mengarahkan pemanfaatan hutan secara intensif dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. Dalam pertimbangan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1967, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan secara intensif tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, antara lain: (a) bertambahnya kebutuhan penduduk akan peralatan rumah tangga berbahan dasar kayu, (b) makin majunya ekspor hasil hutan serta makin banyaknya permintaan dari luar negeri, (c) makin majunya industri plywood (untuk keperluan dalam negeri dan ekspor), pulp (untuk bahan baku industri dalam negeri dan bahan setengah jadi untuk diekspor), dan industri rayon (untuk bahan sandang). Dengan pertimbangan demikian, UU No. 5 Tahun 1967 serta peraturan pelaksananya mengatur secara legal pemanfaatan hutan yang berorientasi pada peningkatan pembangunan ekonomi. Atau singkatnya, orientasi pemanfaatan kayu secara intensif sebagai pendukung utama pembangunan industri pengolahan kayu menjadi karakteristik penting selama Orde Baru (Greenomics Indonesia, 2004). Arahan eksploitatif dari UU No. 5 Tahun 1967 menunjukkan industri pengolahan kayu mendapat perhatian khusus karena merupakan instrumen peningkatan ekonomi Orde Baru. Pemegang HPH diwajibkan untuk mendirikan industri pengolahan kayu, yang secara tegas diatur dalam PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan beberapa ketentuan pelaksanaannya. Bahkan, PP No. 21 Tahun 1970 menyebutkan bahwa izin HPH dapat dicabut jika pemegang HPH tidak mendirikan Industri Pengolahan Hasil Hutan, yang juga diatur lebih lanjut dalam Kepmenhut sebagai peraturan pelaksana PP No. 21 Tahun Perhatian khusus terhadap industri pengolahan kayu juga dapat dilihat pada ketentuan yang mengatur bahwa perpanjangan izin HPH hanya dapat diberikan kepada pemegang HPH yang memiliki industri pengolahan kayu dan atau memiliki keterkaitan melalui saham dengan industri kayu. Alasan ketentuan tersebut setidaknya dapat dilihat dalam pertimbangan Kepmenhut No. 027/Kpts-II/1988, yakni kelanjutan HPH sangat penting artinya bagi peningkatan ekspor non migas dan pembangunan nasional serta diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri perkayuan dalam negeri. Kepmenhut ini dicabut dengan Kepmenhut No. 245/Kpts-II/1989 yang mengatur bahwa HPH yang telah berakhir masa berlakunya dapat diperpanjang apabila memenuhi persyaratan perpanjangan HPH dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Kepmenhut tersebut mengatur ketentuan bahwa perpanjangan HPH diberikan kepada pemegang HPH yang memiliki industri pengolahan kayu dan atau mempunyai keterkaitan melalui saham dengan industri kayu. Sehingga, jelas di sini bahwa 3

9 keberadaan industri pengolahan kayu sangat menentukan keberlanjutan kegiatan usaha pemanfaatan hutan alam, mengingat industri pengolahan kayu merupakan barometer penunjang keberhasilan sektor kehutanan pada masa Orde Baru. Keterkaitan antara pemegang HPH dan pemegang izin industri pengolahan kayu berpotensi menimbulkan kerugian negara melalui manipulasi pelaporan realisasi penerimaan kayu hasil tebangan. Keppres mengenai Dana Reboisai (DR) dan Iuran Hasil Hutan (IHH) mengatur bahwa DR dan IHH dipungut melalui pengusaha izin industri pengolahan kayu. Artinya, DR dan IHH baru dipungut setelah kayu hasil tebangan diterima di lokasi industri pengolahan kayu, bukan pada saat kayu ditebang di areal konsesi HPH. Guna menghindari potensi kerugian tersebut, pemerintah mengatur bentuk pemilikan dan keterkaitan HPH dengan Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) yang mewajibkan dibuatnya Surat Pernyataan Bersama Tanggung Jawab Renteng, menyangkut kewajiban pembayaran iuran kehutanan dan kewajiban finansial lainnya. Surat pernyataan tersebut memuat: Jika perusahaan pemegang izin IPKH tidak menyetor Iuran Kehutanan yang dipungut dari pemegang HPH, maka kedua perusahaan secara bersama-sama sanggup menerima sanksi menurut ketentuan yang berlaku Jika perusahaan pemegang izin IPKH melakukan pelanggaran atas ketentuan PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, maka kedua perusahaan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama sanggup menerima sanksi menurut ketentuan yang berlaku Jika kedua perusahaan tidak membuat Surat Pernyataan Bersama Tanggung Jawab Renteng, maka semua kewajiban pembayaran dan penyetoran Iuran Kehutanan terhadap kayu bulat dan/atau bahan baku serpih yang dikirim oleh pemegang HPH kepada pemegang izin IPKH, menjadi tanggung jawab pemegang izin HPH untuk melunasinya. Sistem ekonomi konglomerasi dalam kegiatan usaha pemanfaatan hutan tidak dapat dihindarkan dengan adanya kewajiban pemegang izin HPH untuk juga memiliki izin industri pengolahan kayu. Meskipun diarahkan untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku industri sehingga mampu mengekspor produk bernilai tambah (value added), kewajiban tersebut telah menciptakan konsentrasi eksesif pada aspek pemenuhan bahan baku kayu secara maksimal tanpa memperhatikan tingkat optimalitas produksi hutan alam (Greenomics Indonesia, 2004). Setelah munculnya inisiasi pembangunan hutan tanaman industri (HTI) pada tahun 1986 melalui Kepmenhut No. 320/Kpts-II/1986, pemerintah mengatur ketentuan mengenai pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). IPK diberikan untuk melakukan penyiapan lahan HTI (land clearing). Dengan pertimbangan pengaturan kembali ketentuan dan tata cara pemanfaatan kayu dari areal hutan yang ditetapkan untuk keperluan non kehutanan dan HTI dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi di bidang kehutanan, serta terkait dengan prioritas pemerintah terhadap industri pengolahan kayu, pemerintah juga mewajibkan pemegang IPK untuk memiliki keterkaitan dengan industri. Hal ini diatur dalam Kepmenhut No. 495/Kpts-II/1989, yang menyebutkan bahwa IPK hanya dapat diberikan jika ada bukti keterkaitan sebagai pemasok kayu bulat kepada industri pengolahan kayu. Artinya, pemanfaatan kayu oleh pemegang IPK juga diarahkan untuk mensuplai kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu domestik. 4

10 2.2. RASIONALISASI PERIZINAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU Setelah lengsernya rezim Orde Baru pada Mei 1998, seluruh ketentuan tentang pemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri pengolahan kayu yang berlaku selama Orde Baru dihapuskan, terhitung per 9 September Alasan yang melatarbelakangi penghapusan ketentuan tersebut adalah adanya perkembangan kebijakan pembangunan nasional serta adanya LOI antara RI-IMF yang disepakati pada akhir Juli 1998 untuk memisahkan keterkaitan antara HPH dan industri pengolahan kayu. Sebelumnya, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan Kepmenhut No. 620/Kpts- II/1998 yang mencabut ketentuan pemilikan dan keterkaitan HPH dengan IPKH. Lengsernya Soeharto mendorong dilakukannya pembaharuan kebijakan izin konsesi dengan mengeluarkan PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi untuk menggantikan PP No. 21 Tahun PP ini secara tegas mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi segala ketentuan dan kewajiban keterkaitan HPH dengan IPKH seperti yang tertuang dalam PP No. 21 Tahun Artinya, pemegang HPH tidak lagi diwajibkan mendirikan unit industri pengolahan kayu. Tujuan dari kebijakan mencabut kewajiban tersebut adalah untuk mengurangi sistem konglomerasi di sektor usaha kayu. Sehingga, karakteristik yang muncul di sini adalah dimulainya tahap peletakan awal pembaruan anti ekonomi monopolistik dalam pengusahaan hutan. Namun, PP No. 6 Tahun 1999 terbit sebelum UU No. 41 Tahun 1999 diterbitkan, sehingga masih membawa amanat UU No. 5 Tahun 1967 yang menjadikan industri pengolahan kayu sebagai penopang perekonomian. Orientasi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap pemanfaatan sumber daya hutan sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1967 yang berorientasi pada pemanfaatan hutan secara ekstraktif. Terkait dengan kegiatan industri pengolahan kayu, UU No. 5 Tahun 1967 mengamanatkan berbagai fasilitas dan kemudahan guna menjadikan sektor industri hilir kehutanan sebagai sumber devisa negara, sedangkan UU No. 41 Tahun 1999 telah menyebutkan ketentuan bahwa pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. Artinya, UU No. 41 Tahun 1999 telah mempertimbangkan faktor menurunnya produktivitas sumber daya hutan saat ini. Setelah diterbitkannya UU No. 41 Tahun 1999 tersebut, dan sebagai peraturan pelaksana UU Otonomi Daerah, Keppres No. 96 Tahun 2000 dikeluarkan. Aspek penurunan produktivitas hutan alam sebagai pemasok bahan baku industri dituangkan dalam upaya pembenahan industri pengolahan kayu melalui Keppres tersebut, yang mengatur bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu bagi penanaman modal. Pertimbangan dikeluarkannya Keppres tersebut adalah dalam rangka untuk menghadapi perkembangan ekonomi global dan untuk lebih meningkatkan arus penanaman modal di Indonesia serta untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang kokoh. Khusus untuk industri pengolahan kayu, Keppres tersebut antara lain mensyaratkan bahwa izin baru bagi industri kayu gergajian di luar Propinsi Papua hanya akan diberikan jika menggunakan bahan baku kayu bulat yang berasal dari non hutan alam (lihat Tabel 1). Artinya, ketentuan dalam Keppres tersebut telah sejalan dengan amanat UU No. 41 Tahun 1999 bahwa pengolahan hasil hutan tidak melebihi daya dukung hutan secara lestari. 5

11 Tabel 1. Industri Pengolahan Kayu yang Terbuka bagi Penanaman Modal JENIS INDUSTRI Industri Kayu Lapis dan Rotary Veneer Industri Kayu Gergajian Sumber: Keppres No. 96 Tahun 2000 PERSYARATAN Hanya untuk Propinsi Papua Hanya untuk Propinsi Papua Di luar Propinsi Papua hanya menggunakan bahan baku kayu bulat non hutan alam (berasal dari HTI dan hutan rakyat) Rasionalisasi perizinan industri pengolahan kayu semakin ketat dilakukan sejak dikeluarkannya PP No. 34 Tahun 2002 sebagai pelaksana UU No. 41 Tahun PP tersebut merupakan titik evolusi penting dalam mengurus industri pengolahan kayu-- menggunakan istilah industri primer hasil hutan kayu (IPHHK). Industri primer hasil hutan kayu adalah jenis industri yang langsung mengolah hasil hutan kayu, yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan dan penggunaan bahan baku secara efisien yang meminimalkan limbah dan menghasilkan produk bernilai tinggi. PP No. 34 Tahun 2002 tersebut juga mengatur bahwa kapasitas izin industri primer hasil hutan kayu tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari PENURUNAN KAPASITAS IZIN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU Arahan untuk menjadikan industri pengolahan kayu sebagai instrumen penghasil devisa negara secara tidak langsung telah mengeliminir arahan untuk memperhatikan daya dukung hutan lestari, di samping lemahnya pengaturan kapasitas izin industri pengolahan kayu. Dalam praktiknya, maraknya izin-izin industri pengolahan kayu tidak lagi bisa dikendalikan, mengingat izinizin tersebut dapat pula diterbitkan oleh daerah. Belum lagi kesulitan untuk mengendalikan sumber bahan baku legal yang digunakan oleh industri pengolahan kayu. Fakta menunjukkan banyaknya industriindustri baru yang memperoleh izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dikeluarkan atas nama Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Greenomics Indonesia, 2004), di samping industri-industri pengolahan kayu skala kecil di daerah. Salah satu langkah penertiban yang dilakukan pemerintah adalah mewajibkan seluruh industri primer hasil hutan kayu yang telah memiliki izin untuk melakukan daftar ulang izin industri. Hingga Oktober 2004, pemerintah belum menerbitkan izin baru industri primer hasil hutan kayu, mengingat proses pendaftaran ulang tersebut belum selesai. Di samping melakukan penertiban terhadap izin-izin industri yang sudah ada, faktor menurunnya pasokan bahan baku industri pengolahan kayu juga mendorong pemerintah mengambil kebijakan untuk menurunkan kapasitas izin industri pengolahan kayu. Mekanisme penurunan kapasitas izin industri pengolahan kayu tersebut dilakukan melalui penilaian pada saat pengajuan permohonan izin industri pengolahan kayu dan penilaian atas kinerja industri pengolahan kayu yang sudah mendapatkan izin usaha industri. Pengaturan penurunan kapasitas izin industri dilaksanakan dengan mempertimbangkan kriteria pemenuhan bahan baku, kriteria kapasitas terpasang dan kapasitas izin, dan kriteria efisiensi penggunaan bahan baku. Pengaturan penurunan kapasitas izin industri merupakan bentuk pengaturan terhadap industri primer hasil hutan kayu yang terkait dengan kebijakan penurunan secara bertahap jatah produksi hasil hutan kayu secara nasional yang berasal dari hutan alam produksi serta kebijakan restrukturisasi industri primer hasil hutan. Bentuk kebijakan tersebut dinilai cukup adil sebagai upaya 6

12 mendorong pengelolaan industri primer hasil hutan kayu yang lebih profesional. Sebagai tindak lanjut dari PP No. 34 Tahun 2002, Menteri Kehutanan mengeluarkan Kepmenhut No. 300/Kpts-II/2003 tentang Pendaftaran Ulang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu. Arahan kebijakan Kepmenhut tersebut yakni untuk mengidentifikasi jumlah, sebaran, kapasitas izin dan kapasitas terpasang, perizinan, kondisi operasi, dan aset dari seluruh IPHHK yang diterbitkan izinnya dalam rangka restrukturisasi industri kehutanan. Pendaftaran ulang industri pengolahan kayu dan hasil penilaian kinerja industri tersebut dapat juga menjadi dasar pertimbangan dilakukannya penurunan kapasitas izin industri pengolahan kayu dari kapasiitas izin sebelumnya. Kinerja buruk pengelolaan industri pengolahan kayu juga menjadi pertimbangan penurunan kapasitas izin industri pengolahan. 7

13 III. EVOLUSI KEWENANGAN PERIZINAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU 3.1. KEWENANGAN SENTRALISTIK Pada masa Orde Baru, kewenangan perizinan industri pengolahan kayu dikuasai oleh pemerintah pusat (sentralistik), di bawah kewenangan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Upaya mempercepat tumbuhnya industri pengolahan kayu juga didukung dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentralistik tersebut ditegaskan dalam PP No. 17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri berada di tangan Presiden yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian (pada tahun 1986 masih ada pemisahan antara Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan)), serta tanggung jawab menteri-menteri lain sesuai dengan bidangnya. Namun, PP tersebut tidak secara khusus mengatur kewenangan yang terkait dengan industri pengolahan kayu. PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No. 13 Tahun 1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa Izin Usaha Industri merupakan kewenangan Menteri Perindustrian. Bentuk perizinan industri yang menjadi kewenangan Departemen Perindustrian tersebut terdiri dari Izin Tetap dan Izin Perluasan. Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha dan produksi dari industri pengolahan kayu. Selain pembinaan juga dilakukan pengawasan terhadap perusahaan industri yang telah mendapatkan Izin Usaha Industri. Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan melimpahkan kewenangan perizinan di bidang industri dan perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenangan tersebut dituangkan dalam Kepmenperindag No. 255/MPP/Kep/7/1997. Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri pengolahan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan (Greenomics Indonesia, 2004). Meskipun fakta membuktikan bahwa industri pengolahan kayu belum juga mampu memberikan kontribusi yang proporsional terhadap penerimaan negara, jika dibandingkan dengan kerusakan hutan yang ditimbulkan. Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jenderal Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam pemberian izin, kewenangan menolak permohonan, pemberian peringatan, pembekuan dan pencabutan izin industri. Sentralisasi perizinan industri pengolahan kayu sangat membatasi kewenangan daerah bahkan peran yang diberikan sangat kurang memadai DESENTRALISASI KEWENANGAN Lengsernya rezim Orde Baru melahirkan era otonomi daerah, yang juga berdampak pada dimulainya proses desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri pengolahan 8

14 kayu. Pelimpahan sebagian urusan dan kewenangan pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri pengolahan kayu. Pada Oktober 1999, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangan pemberian izin bidang industri dan perdagangan kepada Kabupaten/Kota dan Propinsi. Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin. Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya berdasarkan nilai investasi perusahaan industri yang bersangkutan, tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu sendiri. Pemberian izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada perorangan, perusahaan, persekutuan atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberian perizinan industri pengolahan kayu tersebut mencakup Industri Penggergajian kayu, Industri Pengawet Kayu, Industri Kayu Lapis, Industri Kayu Lapis Laminasi termasuk Decorative Plywood, Industri Panel Kayu Lainnya, Industri Veneer dan Industri Moulding dan Komponen Bahan Bangunan. Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri pengolahan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah pusat berperan dalam bidang pembinaan industri. Kewenangan pembinaan berada pada Direktrur Jenderal Industri Kimia, Agro dan hasil Hutan untuk perusahaan industri dengan nilai investasi di atas Rp 1 milyar. Sedangkan untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan Rp 1 milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jenderal Industri Kecil dan Dagang Kecil. Tabel 2. Kewenangan Perizinan Industri Pengolahan Kayu KEWENANGAN IZIN YANG DIBERIKAN NILAI INVESTASI PERUSAHAAN INDUSTRI Kakandepperindag Kabupaten/Kota TDI (Tanda Daftar Industri) Sampai dengan Rp 200 juta IUI (Izin Usaha Industri) Di atas Rp 200 juta s.d. Rp 1 milyar Kakanwil Depperindag Propinsi IUI (Izin Usaha Industri) Di atas Rp 1 milyar Keterangan: Kewenangan perizinan tersebut mencakup izin Industri Penggergajian Kayu, Industri Pengawet Kayu, Industri Kayu Lapis, Industri Kayu Lapis Laminasi, termasuk Decorative Plywood, Industri Panel Kayu lainnya, Industri Veneer, dan Industri Moulding dan Komponen Bahan Bangunan Lainnya). Besarnya nilai investasi perusahaan industri tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sumber: Kepmenperindag No. 590/MPP/Kep/10/1999 9

15 3.3. KEWENANGAN INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU Pelimpahan kewenangan perizinan industri pengolahan kayu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah masih belum memperhatikan aspek kelestarian sumber daya hutan. Sehingga, perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah menjadi tidak terkendali, tanpa memperhatikan daya dukung hutan lestari, dan hanya berorientasi kepada pemanfaatakan industri pengolahan kayu sebagai barometer peningkatan perekonomian daerah. Artinya, orientasi eksploitatif yang dulu terjadi ketika perizinan industri pengolahan kayu merupakan kewenangan pemerintah pusat, kembali terulang ketika kewenangan tersebut berada pada pemerintah daerah. Evolusi penting yang terkait dengan kewenangan perizinan industri pengolahan kayu yakni sejak diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksana UU No. 41 Tahun PP tersebut memberi kewenangan kepada Menteri Kehutanan dalam hal pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri primer hasil hutan-- yang sebelumnya merupakan kewenangan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Industri primer hasil hutan kayu adalah industri hulu hasil hutan kayu, yang mengolah kayu bulat dan atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. PP tersebut mengatur ketentuan bahwa perizinan industri primer hasil hutan kayu merupakan kewenangan Menteri Kehutanan, yang meliputi industri: (a) pengolahan kayu bulat menjadi kayu gergajian dan (b) pengolahan kayu bulat menjadi serpih kayu (chip wood), veneer, kayu lapis (plywood), Laminating Veneer Lumber (LVL). Sedangkan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan jenis-jenis industri hasil hutan lainnya masih menjadi kewenangan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Karakteristik menarik di sini adalah adanya pelimpahan kewenangan dari Menteri Kehutanan kepada Gubernur. Permohonan izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi di atas m³ per tahun diajukan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Gubernur. Sedangkan permohonan izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan m³ per tahun diajukan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan dan Bupati/Walikota. Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003 sebagai peraturan pelaksana PP No. 34 Tahun 2002 mengatur ketentuan bahwa kewenangan Gubernur tersebut hanya dapat berlaku sah jika seizin Menteri Kehutanan, khusus yang terkait dengan ketersediaan bahan baku. Namun, Menteri Kehutanan juga harus memperhatikan rekomendasi Gubernur dan Bupati/Walikota serta hasil penilaian Dirjen Bina Produksi Kehutanan. Artinya, ketentuan ini menunjukkan perlunya inisiasi koordinasi tiga pihak antara Menteri Kehutanan, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Tabel 3. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan PP No. 34 Tahun 2002 JENIS IZIN KAPASITAS PRODUKSI (M 3 ) PEMBERI IZIN Izin prinsip industri penggergajian kayu s. d Gubernur Gubernur Izin prinsip industri veneer, plywood, Laminated s. d Gubernur Lumber Veneer (LVL), dan Serpihan Kayu (chip > Menteri Kehutanan wood) Izin usaha industri penggergajian kayu, veneer, s. d Gubernur plywood, Laminated Lumber Veneer (LVL), dan > Menteri Kehutanan Serpihan Kayu (chip wood) > Menteri Kehutanan 10

16 Izin Usaha Industri dan izin perluasan Industri Primer Hasil Hutan Kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMN, BUMD, dan BUMS. Sementara Izin Usaha Industri Penggergajian Kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan m³ per tahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Industri penggergajian kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan m 3 per tahun hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Masa berlakunya izin industri primer hasil hutan kayu tidak dibatasi. Artinya, izin tersebut berlaku selama industri yang bersangkutan beroperasi. Meskipun masa berlakunya izin industri primer hasil hutan kayu tidak diatur, namun PP No. 34 Tahun 2002 telah mengatur ketentuan bahwa evaluasi terhadap industri primer hasil hutan kayu dilakukan paling kurang 3 tahun sekali. Sehingga, karakteristik evolusi di sini adalah dilakukannya evaluasi terhadap industri primer hasil hutan kayu. 11

17 IV. PEMBINAAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU 4.1. PENERTIBAN TATA USAHA KAYU TATA USAHA KAYU OLAHAN Dalam rangka lebih meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara, pemerintah mengeluarkan kebijakan peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui instrumen tata usaha kayu. Pada tahun 1990, sebagai tindak lanjut ketentuan-ketentuan tentang DR dan IHH, Menteri Kehutanan menerbitkan Kepmenhut No. 402/Kpts- IV/1990 tentang Tata Usaha Kayu untuk mulai melakukan penertiban tata usaha kayu. Kepmenhut tersebut mengatur bahwa: Pengusaha Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) setiap menerima kayu bulat dan atau bahan baku serpih wajib melaporkan kepada instansi kehutanan daerah setempat untuk dilakukan pemeriksaan dan pengetokan atau penandaan atas kayu bulat dan atau bahan baku serpih yang diterima di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) industri yang bersangkutan dan dibuatkan berita acara pemeriksaan. Pejabat instansi kehutanan daerah setempat setiap bulannya membuat Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat (RPKB) berdasarkan BAP. Pengusaha IPKH setiap bulan juga wajib membuat Laporan Mutasi Kayu (LMK) yang memuat laporan perolehan, penggunaan dan persediaan kayu bulat dan atau bahan baku serpih serta laporan produksi, penjualan, pemakaian sendiri, dan persediaan kayu olahan. Setiap kayu olahan yang diangkut dari IPKH wajib disertai dokumen SAKO (Surat Angkutan Kayu Olahan) yang dibuat oleh petugas perusahaan yang ditunjuk oleh pimpinan perusahaan (self-assessment). Ketentuan dalam Kepmenhut No. 402/Kpts- IV/1990 tersebut diperbaharui melalui Kepmenhut No. 525/Kpts-II/1991 yang menambahkan aturan bahwa setiap kayu olahan yang diangkut baik dari IPKH ataupun selain dari IPKH, wajib disertai dokumen SAKO yang dibuat oleh petugas perusahaan yang ditunjuk oleh pimpinan perusahaan yang bersangkutan (masih tetap menerapkan mekanisme self-assessment). Diatur pula ketentuan bahwa dokumen SAKO hanya diberikan atas kayu olahan yang diproduksi dari kayu bulat yang berasal dari penebangan yang sah. Namun, pengusaha industri diberi keleluasaan untuk dapat mengeluarkan sendiri dokumen SAKO tersebut. Sehingga, sah atau tidaknya kayu yang ditebang tidak dapat dijamin keakuratannya. 1 Dalam konteks mengurangi birokrasi dan efisiensi waktu dan biaya, mekanisme self-assessment tersebut bernilai positif, namun menjadi kontraproduktif jika dalam kenyataannya ketentuan-ketentuan tersebut justru hanya membuka kesempatan 1 Sebenarnya ketentuan bahwa industri pengolahan kayu juga harus terlibat dalam usaha perlindungan hutan telah diatur dalam PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Artinya, pengusaha industri pengolahan kayu juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap perlindungan hutan. Namun, sanksi yang ditetapkan dalam PP tersebut menjadi lemah dengan adanya hak pengusaha industri pengolahan kayu untuk menerbitkan sendiri dokumen angkutan legal melalui mekanisme selfassessment. 12

18 bagi pengusaha IPKH untuk memanipulasi dokumen SAKO. Selama kurun waktu enam tahun mekanisme self-assessment tersebut diterapkan, fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar IPKH yang tidak didukung atau terkait dengan HPH telah menyalahgunakan kepercayaan pemerintah dengan melakukan manipulasi penerbitan SAKO secara self-assesment. Sehingga, pada tahun 1996 Menteri Kehutanan menerbitkan Kepmenhut No. 590/Kpts-II/1996 yang mengatur ketentuan mengenai penerbitan dokumen SAKO secara official assessment untuk IPKH yang tidak didukung HPH. Berdasarkan ketentuan tersebut, seluruh penerbitan dokumen SAKO untuk IPKH yang tidak didukung HPH dilakukan secara official assessment oleh Pejabat Kehutanan yang ditunjuk oleh Kakanwil Kehutanan Propinsi. Pemegang izin IPKH juga diwajibkan melampirkan DKO (Daftar Kayu Olahan) untuk dapat diperiksa dan disahkan. Sebagai tindak lanjut dari Kepmenhut tersebut, Dirjen Pengusahaan Hutan menetapkan nama-nama perusahaan IPKH yang tidak didukung/terkait dengan HPH. Kebijakan tata usaha kayu disempurnakan lagi melalui Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 tentang Tata Usaha Hasil Hutan 2, yang merupakan peraturan pelaksana PP No. 6 Tahun Kepmenhut tersebut diterbitkan untuk melakukan penertiban peredaran hasil hutan, kayu rakyat/hasil hutan yang dibudidayakan, dan kayu hasil perkebunan. Secara rinci Kepmenhut tersebut mengatur ketentuan pelaksanaan tata usaha kayu olahan dan pelaksanaan tata usaha ekspor kayu olahan. Kepmenhut tersebut mengatur bahwa pemegang izin IPKH diwajibkan melaporkan dokumen surat angkutan resmi setiap menerima kayu bulat, bahan baku serpih dan atau limbah pembalakan dan mengangkut kayu olahan, berupa Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) yang dilampirkan dengan Daftar Kayu Bulat (DKB), SAKO yang dilampirkan dengan DKO, dan Laporan Mutasi Kayu (LMK). Pada tahun 2000, dalam rangka penertiban peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui instrumen tata usaha kayu, Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) diberlakukan sebagai pengganti Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) dan Surat Angkutan Kayu Olahan (SAKO), yang diatur melalui Kepmenhut No. 132/Kpts-II/2000. Kepmenhut ini mengatur ketentuan bahwa dokumen angkutan resmi untuk peredaran dan pemasaran hasil hutan dari sektor hulu hingga sektor hilir kehutanan dilakukan oleh petugas kehutanan yang ditunjuk, bukan lagi melalui mekanisme selfassessment. Sebagai peraturan pelaksana PP No. 34 Tahun 2002, Kepmenhut No. 126/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan diterbitkan untuk memberikan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha di bidang kehutanan sehingga penatausahaan hasil hutan berjalan dengan tertib dan lancar, dan agar kelestarian hutan, pendapatan negara, dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Obyek penatausahaan hasil hutan terdiri dari semua jenis hasil hutan yang berasal dari hutan negara, hutan hak/rakyat, hasil olahan dari industri primer hasil hutan dan industri pengolahan kayu lanjutan (wood working), serta hasil hutan lelang. 2 Terbitnya Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 ini sekaligus mencabut ketentuan dalam Kepmenhut No. 402/Kpts-IV/1990 jo Kepmenhut No. 525/Kpts-II/1991 jo Kepmenhut No. 532/Kpts-IV/1995. Artinya, Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 mencabut ketentuan tata usaha kayu rezim Orde Baru, termasuk mekanisme self-assessment TATA USAHA EKSPOR KAYU OLAHAN Dalam kaitannya dengan ketentuan pelaksanaan tata usaha ekspor kayu olahan, Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 mengatur 13

19 bahwa eksportir produsen maupun non produsen kayu olahan dapat melakukan ekspor kayu olahan, dengan syarat harus melaporkan jumlah rencana dan realisasi ekspor kayu olahan per tahunnya. Artinya, pemerintah membuka kesempatan yang sama bagi eksportir produsen ataupun bukan untuk melakukan ekpor kayu olahan, meskipun berpotensi mengurangi nilai keuntungan pengusaha industri. Pada tahun 2001, pemerintah melarang ekspor kayu bulat dan atau bahan baku serpih, yang diatur melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Menteri Kehutanan No. 1132/Kpts-II/2001 dan No. 292/MPP/Kep/10/2001. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan suplai bahan baku bagi industri dalam negeri, sehingga dapat mendorong upaya peningkatan nilai tambah (value added) industri pengolahan kayu dalam negeri. Artinya, melalui kebijakan tersebut diharapkan Indonesia tidak lagi hanya mengekspor kayu bulat dan atau bahan baku serpih. Namun, fakta menunjukkan bahwa ketika bahan baku industri berlimpah demikian, tidak juga mampu meningkatkan penerimaan negara. 3 Justru, yang terjadi adalah pemborosan penggunaan bahan baku (lihat kotak ilustrasi berikut). Bahkan, penebangan liar dan penyelundupan kayu secara ilegal ke luar negeri marak terjadi. 4 3 Nilai akumulatif penerimaan negara dari sektor hulu kehutanan (HPH/HTI) selama periode hanya sebesar Rp11,8 triliun atau hanya rata-rata 1,47% per tahun terhadap nilai Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN. Artinya, sebesar 98,5% Penerimaan Dalam Negeri sangat didominasi oleh sektor-sektor ekonomi lainnya. 4 Selama 38 tahun ( ), secara akumulatif hutan alam Indonesia telah dieksploitasi sumber daya kayunya sekitar 750 juta m 3. Bahkan, selama 23 tahun, hutan alam Indonesia dieksploitasi sebanyak rata-rata lebih dari 25 juta m 3 /tahun. Angka tersebut belum termasuk eksploitasi kayu dari praktik illegal logging yang dilakukan di hutan alam produksi dan kawasan hutan lindung. 14

20 Ilustrasi. Pada periode , over-supply produksi kayu hutan alam mencapai 220% per tahun dengan ekspor kayu bulat hutan alam sebagai andalan. Periode , tingkat over-supply produksi kayu hutan alam mulai menurun, menjadi rata-rata sebesar 141% per tahun, di mana pada periode , ekspor log hutan alam masih dilakukan. Periode , hutan alam hanya mampu menyediakan rata-rata 88% per tahun dari total konsumsi kayu bulat legal industri kayu. Pada periode , larangan ekspor kayu bulat hutan alam diberlakukan yang kemudian kran ekspor kayu bulat hutan alam tersebut dibuka lagi pada periode Periode , kontribusi suplai kayu dari hutan alam diturunkan secara regulatif oleh pemerintah, yang hanya rata-rata sebesar 20% per tahun terhadap total konsumsi kayu bulat legal untuk industri kayu. Kebijakan tersebut diikuti oleh larangan ekspor kayu bulat hutan alam (lihat Grafik). Tren Kontribusi Produksi Log Hutan Alam terhadap Total Konsumsi Log Legal Industri Kayu Periode Persentase (%) Sumber: Analisis Greenomics Indonesia (2004) PP No. 34 Tahun 2002 secara tegas mengatur bahwa industri primer hasil hutan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan dan untuk penggunaan bahan baku secara efisien. Ditegaskan pula bahwa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan, harus diperhatikan kemampuan daya dukung hutan secara lestari. Terkait dengan upaya untuk mendukung kegiatan ekspor, pada Desember 2002 Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Pembentukan Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Pembentukan BRIK tersebut antara lain sebagai suatu upaya kesepahaman dan aksi bersama antara pelaku usaha industri kehutanan dengan instansi terkait untuk mewujudkan kelestarian hutan, penyediaan bahan baku industri kehutanan yang berkelanjutan. SKB tersebut mengatur bahwa industri primer hasil hutan kayu yang diizinkan melakukan ekspor hanya industri yang merupakan produsen. Untuk melakukan ekspor tersebut, pemegang izin industri primer hasil hutan kayu diwajibkan melampirkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), bukti eksportir yang terdaftar di Depperindag berupa Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK), rekomendasi dari BRIK, dan surat-surat kelengkapan ekspor lainnya. Ketentuan prasyarat yang menarik di sini adalah disebutkan bahwa dokumen SKSHH hanya dapat diberikan jika pemegang izin telah menyusun Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI). Artinya, penyusunan RPBBI merupakan syarat pengajuan permohonan dokumen SKSHH. 15

21 4.2. PEMENUHAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI Terkait dengan keberlanjutan sumber daya alam hutan sebagai penghasil kayu bulat untuk pemenuhan bahan baku IPKH, pada tahun 1996 diterbitkan Kepmenhut No. 594/Kpts-II/1996 yang mengatur ketentuan bahwa pemenuhan bahan baku IPKH perlu disesuaikan dengan daya dukung sumber daya alam hutan. Pertimbangan diterbitkannya Kepmenhut tersebut adalah bahwa sumber daya alam hutan sebagai penghasil kayu bulat untuk pemenuhan bahan baku IPKH perlu dikelola secara lestari, dan pemenuhan bahan baku IPKH perlu disesuaikan dengan daya dukung sumber daya alam hutan untuk menjamin kelestarian sumber daya alam hutan tersebut. Kepmenhut tersebut mengatur bahwa pemegang IPKH diwajibkan menyusun Rencana Pemenuhan Bahan baku Industri (RPBI) setiap tahunnya, yang didasarkan pada kapasitas izin industri yang dimiliki dan bahan baku dari hasil penebangan yang sah. Pemegang izin IPKH juga diwajibkan membuat laporan realisasi pemenuhan bahan baku IPKH secara berkala setiap bulannya. Melalui Kepmenhut itu pula, kapasitas produksi industri dan pemenuhan bahan baku secara sah mulai diatur. Kepmenhut tersebut mengatur bahwa persetujuan RPBI bagi industri berkapasitas izin di atas m³ per tahun merupakan wewenang Dirjen Pengusahaan Hutan, sementara persetujuan RPBI bagi industri berkapasitas izin sampai dengan m³ per tahun merupakan wewenang Kakanwil Kehutanan Propinsi (sekarang Kepala Dinas Kehutanan Propinsi). Pengusaha industri diwajibkan membuat realisasi bahan baku yang terpenuhi serta dilakukan pengecekan terhadap RPBI yang telah disahkan. Jika terdapat revisi RPBI, maka revisi tersebut juga harus mendapatkan persetujuan secara sah. Kewajiban penyusunan RPBI serta laporan realisasinya tersebut idealnya dapat memberikan perbandingan antara kebutuhan bahan baku industri tersebut dan kemampuan pengusaha IPKH memenuhinya secara aktual. Kapasitas produksi masing-masing industri seharusnya hanya diberikan berdasarkan kemampuan pemenuhan bahan baku oleh pengusaha industri tersebut dengan memperhatikan aspek pengelolaan hutan dan kemampuan daya dukung hutan secara lestari. Namun dalam praktiknya, dokumen RPBI tersebut sering hanya dijadikan dokumen formalitas saja. Kemampuan pemenuhan bahan baku secara legal jauh di bawah target dalam RPBI, sehingga pengusaha industri pengolahan kayu menerima bahan baku kayu dari sumber lain yang tidak sah demi memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Belum lagi, banyak pengusaha industri pengolahan kayu yang sengaja membeli kayu ilegal dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan kayu legal. Setelah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diterbitkan, kapasitas produksi industri pengolahan kayu diamanatkan untuk dibatasi secara optimal. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, sehingga kapasitas produksi industri pengolahan kayu tidak mendorong permintaan bahan baku yang melebihi kapasitas suplai dari pengusahaan hutan secara lestari. Dalam Penjelasan UU No. 41 Tahun 1999, secara jelas disebutkan bahwa upaya pengolahan hasil hutan tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Orientasi pembangunan kehutanan sejak diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002, lebih banyak diarahkan pada upaya konservasi sumber daya hutan dan penyelamatan industri pengolahan kayu yang mengalami kelangkaan sumber bahan baku. 16

22 Pemerintah juga telah menetapkan jatah produksi hasil hutan kayu dari hutan alam sebagai upaya konservasi dan pengurangan atas tekanan sumber daya hutan, meskipun kebijakan tersebut dianggap kurang memihak pada industri pengolahan kayu. Pada tahun 2003 Menteri Kehutanan mengeluarkan Kepmenhut No. 326/Kpts- II/2003 yang mengatur ketentuan bahwa pemohon izin industri primer hasil hutan kayu diwajibkan untuk melengkapi jaminan pasokan bahan baku kayu yang berkelanjutan dan menyusun rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI). Pertimbangan dikeluarkannya Kepmenhut tersebut adalah perlunya menyesuaikan jaminan pasokan bahan baku yang berkelanjutan bagi industri primer hasil hutan kayu dengan daya dukung sumber daya hutan, dalam rangka menjamin kelestarian hutan tersebut. Kepmenhut ini sekaligus mencabut Kepmenhut No. 594/Kpts-II/1996 tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Hulu. Pemohon izin usaha industri primer hasil hutan kayu diwajibkan menyusun dan melampirkan buku jaminan pasokan bahan baku yang berkelanjutan dalam proposal pendirian izin usaha industri primer hasil hutan kayu, dengan mempertimbangkan bahan baku dari sumber atau asal usul yang sah, jenis produk industri, dan kapasitas izin dan kapasitas terpasang industri primer hasil hutan kayu untuk masing-masing jenis produk. Sumber bahan baku yang sah tersebut dapat berasal dari hutan alam, hutan tanaman, dan hutan hak atau hutan rakyat. Di samping itu, juga terdapat sumber bahan baku sebagai pendukung, yang dapat berasal dari hasil pemanfaatan kayu peremajaan tanaman perkebunan, impor, dan hasil lelang dari hasil hutan sitaan, temuan dan atau rampasan. Pemegang izin usaha industri primer hasil hutan kayu juga wajib menyusun buku usulan RPBBI yang memuat resume jaminan pasokan bahan baku, jenis industri, kapasitas izin, dan kapasitas terpasang. Buku usulan RPBBI tersebut disusun berdasarkan: Buku jaminan pasokan bahan baku berkelanjutan Potensi hutan alam yang berpedoman pada pemanfaatan hutan secara lestari Potensi hutan tanaman Penetapan kuota tebangan tahunan dan jatah produksi tahunan Kapasitas izin industri primer hasil hutan. Kepmenhut No. 326/Kpts-II/2003 mengatur ketentuan bahwa usulan RPBBI perlu dilengkapi dengan dokumen pendukung jaminan bahan baku berupa: Kontrak jual beli bahan baku dengan pengelola sumber bahan baku, baik dari hutan negara maupun hutan hak Jika bahan baku berasal dari IUPHHK atau IUPHHBK tahun sebelumnya, agar dilengkapi dengan copy keputusan RKT (rencana kerja tahunan) atau BKT (bagan kerja tahunan) tahun sebelumnya dan dilengkapi dengan Berita Acara Pemeriksaan stock opname selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum RPBBI diajukan. Jika bahan baku berasal dari IUPHHK pada hutan alam tahun berjalan perlu dilengkapi dengan penetapan kuota tebangan tahunan dan atau jatah produksi tahunan yang didasarkan LHC tebang tahun berjalan dari Dinas Kabupaten/Kota, dan untuk bahan baku yang berasal dari tahun sebelumnya agar dilengkapi dengan Berita Acara Pemeriksaan stock opname. Jika bahan baku berasal dari izin sah lainnya (ISL), perlu dilengkapi dengan copy keputusan ISL, yaitu IPK dari areal penggunaan lain (APL), ijin usaha pemanfaatan kayu dari penggunaan kawasan hutan dan atau dari areal yang diubah statusnya (peruntukan) dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan 17

23 Jika bahan baku berasal dari areal hutan hak atau dari bukan kawasan hutan (perkebunan), perlu diketahui oleh Dinas Kabupaten/Kota asal bahan baku tersebut Jika bahan baku berasal dari lelang tahun sebelumnya, perlu dilengkapi surat bukti peserta lelang dan pemenang lelang yang dikuatkan dengan hasil risalah lelang dari Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara setempat Jika bahan baku berasal dari impor, perlu dilengkapi perjanjian kontrak impor untuk tahun berjalan yang dilegalisir oleh pimpinan industri primer hasil hutan dan atau bukti pemasukan bahan baku impor tahun sebelumnya yang diketahui Kepala Dinas Propinsi setempat. Karakteristik penting dalam Kepmenhut No. 326/Kpts-II/2003 tersebut antara lain dibukanya peluang impor sebagai alternatif pemenuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu. Artinya, untuk meningkatkan daya saing, bahan baku kayu bagi industri primer hasil hutan kayu dapat pula berasal dari impor, di samping kondisi hutan alam yang terus menurun kemampuannya mensuplai bahan baku bagi industri pengolahan kayu. Impor bahan baku bagi kegiatan industri pengolahan kayu sebenarnya telah dilakukan pula pada masa Orde Baru, meskipun hanya terbatas pada impor fancy wood secara individual perusahaan industri. Sedangkan impor yang dimaksud di sini adalah impor untuk memenuhi bahan baku kayu bulat yang tidak dapat lagi dimanfaatkan dari hutan alam produksi. Selain membuka peluang impor bahan baku bagi industri pengolahan kayu, dalam rangka menghasilkan produk bernilai tinggi dan efisiensi bahan baku, pada tahun 2003 pemerintah mengambil langkah percepatan hutan tanaman dan rekayasa mesin untuk industri primer hasil hutan kayu yang mampu menghasilkan hasil hutan kayu olahan bernilai tinggi. Rekayasa mesin yang dilakukan adalah mengganti mesin-mesin lama yang tidak efisien dengan mesin-mesin baru yang lebih efisien, atau tetap menggunakan mesin-mesin lama dengan melakukan modifikasi mesin. Khusus untuk pemegang izin usaha industri pulp dan kertas, PP No. 34 Tahun 2002 mewajibkan untuk membangun hutan tanaman, di samping juga membuka peluang untuk melakukan impor bahan baku pulp dan kertas. Kebijakan perlunya pengusaha industri menyusun RPBBI dan buku jaminan pasokan bahan baku yang berkelanjutan memberikan dampak positif terhadap upaya menyeleksi industri-industri yang mampu melaksanakan kegiatannya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumber daya hutan. Diharapkan hanya pengusaha industri yang memiliki jaminan sumber bahan baku yang sah yang akan diberikan izin industri pengolahan kayu, dan hal ini juga merupakan perwujudan upaya rasionalisasi kapasitas produksi industri pengolahan kayu. Semangat desentralisasi juga tertuang dalam Kepmenhut No. 326/Kpts-II/2003, yakni diberikannya kewenangan kepada Gubernur untuk menyetujui dan mengesahkan usulan RPBBI untuk industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan m 3 per tahun. Kepmenhut tersebut mengatur bahwa Gubernur berwenang untuk menyetujui dan mengesahkan usulan RPBBI tersebut dengan pertimbangan teknis dari Kadishut Kabupaten/Kota dan Kadishut Propinsi. Sedangkan untuk industri primer hasil hutan dengan kapasitas di atas m 3 per tahun, kewenangan pengesahan usulan RPBBI berada pada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dengan memperhatikan pertimbangan dari Kadishut Propinsi. Terkait dengan pengawasan dan pembinaan terhadap industri primer hasil hutan kayu, PP No. 34 Tahun 2002 dan Kepmenhut sebagai peraturan pelaksana PP tersebut mengatur bahwa pemegang izin usaha industri primer hasil hutan kayu wajib melaporkan secara 18

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.35/Menhut-II/2008 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.35/Menhut-II/2008 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.35/Menhut-II/2008 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN Menimbang Mengingat MENTERI KEHUTANAN, : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

this file is downloaded from

this file is downloaded from - 53 - (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 89 (1) Berdasarkan penetapan areal kerja hutan desa sebagaimana

Lebih terperinci

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 2 No.1 (2001) pp. 45 54 SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Triyono Puspitojati RINGKASAN Sistem pemantauan produksi dan peredaran

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.17/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2009 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2009 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2009 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN DALAM ACARA PEMBEKALAN PETUGAS PEGAWAI PADA DINAS KEHUTANAN PROVINSI DAN BALAI PEMANTAUAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIFITAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA Menimbang Mengingat : a. bahwa terhentinya eksport kayu

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI Draf tanggal 25-26 Agustus 2014 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Penjelasan Umum pada

Lebih terperinci

Lampiran I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.24/Menhut-II/2009 TANGGAL : 1 April 2009

Lampiran I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.24/Menhut-II/2009 TANGGAL : 1 April 2009 Lampiran I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.24/Menhut-II/2009 TANGGAL : 1 April 2009 Format Surat Permohonan Nomor :.., Lampiran : Perihal : Pendaftaran ulang IUI-PHHK Kepada Yth....*) di... Dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MPP/KEP/1/2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MPP/KEP/1/2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN KEPUTUSAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/MPP/KEP/1/2003 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK INDUSTRI KEHUTANAN Menimbang : a. Bahwa Produk Industri Kehutanan merupakan salah satu komoditas penghasil devisa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. 1. bahwa berdasarkan pasal 17 ayat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. No.142, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izi

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izi No. 1228, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Izin Usaha. Industri Primer. Hasil Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN USAHA

Lebih terperinci

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment An Opportunity of Illegal Log Distribution on Administration of Self Assessment Oleh/By: Hendro Prahasto Setiasih Irawanti Abstrak

Lebih terperinci

Form. Surat Keputusan Pembaharuan IUI

Form. Surat Keputusan Pembaharuan IUI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.70/Menhut-II/2006 TANGGAL : 6 Nopember 2006 TENTANG : Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 300/Kpts-II/2003 tentang

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.16/Menhut-II/2007 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.16/Menhut-II/2007 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU - PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.16/Menhut-II/2007 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 115 ayat

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN, MEMUTUSKAN :

MENTERI KEHUTANAN, MEMUTUSKAN : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6884/Kpts-II/2002 TANGGAL 12 JULI 2002 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA EVALUASI TERHADAP INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman

Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman Kertas Kerja No. 06 Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman September 2004 Joint Secretariat: Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 126/KPTS-II/2003 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. KEHUTANAN. Industri. Bahan Baku. Hasil Hutan Kayu. Pemenuhan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. KEHUTANAN. Industri. Bahan Baku. Hasil Hutan Kayu. Pemenuhan. No.187, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. KEHUTANAN. Industri. Bahan Baku. Hasil Hutan Kayu. Pemenuhan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 43/Menhut-II/2009 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU - 1 - PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 300/Kpts-II/2003 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 300/Kpts-II/2003 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 300/Kpts-II/2003 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU MENTERI KEHUTANAN, a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 46 Keputusan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF ATAS PELANGGARAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN, IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DAN IZIN USAHA INDUSTRI

Lebih terperinci

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf No. 133, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENLH-KEHUTANAN. Pemanfaatan Kayu. Izin. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : P.55/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : P.55/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.55/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI Draf tanggal 7-8 Juli 2014 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.38/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2016 TENTANG PERSETUJUAN PEMBUATAN DAN/ATAU PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P. 9/Menhut-II/2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.35/MENHUT-II/2008 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU DENGAN KAPASITAS PRODUKSI SAMPAI DENGAN DUA RIBU METER KUBIK PER-TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 35/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI EKSPOR PRODUK KAYU ULIN OLAHAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 35/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI EKSPOR PRODUK KAYU ULIN OLAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 35/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI EKSPOR PRODUK KAYU ULIN OLAHAN (PROKALINO) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N :

M E M U T U S K A N : MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6884 /KPTS-II/2002 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA EVALUASI TERHADAP INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU Menimbang : MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PELELANGAN KAYU TEMUAN DAN KAYU SITAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat (8)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PADA HUTAN RAKYAT/HUTAN MILIK/TANAH MILIK, AREAL TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20

Lebih terperinci

2 Pada Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dima

2 Pada Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dima BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1268, 2014 KEMENHUT. Kayu. Pemanfaatan. Izin. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.62/Menhut-II/TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 43/Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 43/Menhut-II/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 43/Menhut-II/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.16/MENHUT-II/2007 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.20/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA OPERASI (KSO) PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA OPERASI (KSO) PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA OPERASI (KSO) PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.9/Menhut-II/2012 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.9/Menhut-II/2012 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU 2012, No.270 28 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.9/Menhut-II/2012 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU FORMAT BUKU RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Pengantar

Warta Kebijakan. Pengantar Warta Kebijakan No. 13, Maret 2004 C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Pengantar Dibandingkan dengan pendahulunya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka upaya pengendalian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA I. PENDAHULUAN Sumberdaya yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU KEPADA CV. SINAR ZIPOK DI KABUPATEN BOALEMO PROVINSI GORONTALO GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa dengan Keputusan

Lebih terperinci

this file is downloaded from

this file is downloaded from MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA th file Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 128/Kpts-II/2003 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN, PEMBAYARAN DAN PENYETORAN DANA REBOISASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan buku ini kami ucapkan terima kasih.

KATA PENGANTAR. Kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan buku ini kami ucapkan terima kasih. KATA PENGANTAR Buku Statistik Direktorat Jenderal Bina Produksi Tahun 2008 merupakan lanjutan dari Buku Statistik Direktorat Jenderal Bina Produksi 2007 dan dimaksudkan untuk memberikan publikasi data

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN HASIL BUKAN KAYU

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN HASIL BUKAN KAYU GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN HASIL BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG KEWAJIBAN PEMEGANG IJIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENYEDIAKAN DAN MENJUAL SEBAGIAN HASIL PRODUKSINYA UNTUK KEPERLUAN MASYARAKAT MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN Oleh: Epi Syahadat & Apul Sianturi 1) ABSTRAK Permasalahan dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan masih belum terselesaikan dengan baik hingga

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI

Lebih terperinci

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1247, 2015 KEMEN LH-HK. Hasil. Hutan Kayu. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.42/Menlhk-Setjen/2015

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 184 TAHUN 2004 T E N T A N G STANDAR PEMBERIAN KOMPENSASI BAGI MASYARAKAT ADAT ATAS KAYU YANG DIPUNGUT PADA AREAL HAK ULAYAT DI PROVINSI

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG TATACARA, PERSYARATAN, PENILAIAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN PADA AREAL IPK DI PROVINSI PAPUA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 169 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU KEPADA PT. VICTORY CEMERLANG INDONESIA WOOD INDUSTRY UNIT V DI KAMPUNG NIMBONTONG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG PERIZINAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG PERIZINAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 12 TAHUN 2001 TENTANG PERIZINAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2009 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PEREDARAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PEREDARAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PEREDARAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa hutan adalah merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PEMBERIAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PEMBERIAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PEMBERIAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat (Nawir dan Santoso,

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2012, 2014 KEMENDAG. Ekspor. Industri. Kehutanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97/M-DAG/PER/12/2014 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 31 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci