BAB 4. ANALISA DAN BAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4. ANALISA DAN BAHASAN"

Transkripsi

1 BAB 4. ANALISA DAN BAHASAN 4.1 Analisa Rencana Kebutuhan Ruang Analisa rencana kebutuhan ruang dibuat dengan menentukan jenis-jenis ruang beserta luasannya, dengan mengacu kepada ketetapan standar. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jenis Kebutuhan Ruang Asrama No Nama Ruangan Sifat Pemakai Ukuran Standar Material 1 Single Bedroom Pribadi 1 9 m 2 Flooring: linoleum/vinyl composition tile Wall: gypsum/masonry 2 Double Bedroom Pribadi 2 6 m 2 /orang Ceiling: gypsum board Flooring: linoleum/vinyl composition tile Wall: gypsum/masonry Ceiling: gypsum board Flooring: linoleum/vinyl composition tile/rubber 3 Koridor Umum ~ ~ Wall: gypsum/masonry Ceiling: acoustical panel/gypsum board Add: Exit Sign 4 Kamar Mandi Bersama Umum 5 Shower: 1 m 2 /orang Flooring: keramik 15

2 16 No Nama Ruangan Sifat Pemakai Ukuran Standar Toilet: 1,25 m 2 /orang 1 pasang bilik shower & Toilet/10 kamar Material Wall: glazed concrete masonry/structural glazed facing tile/ceramic tile wainscot Ceiling: fiberglass plastic grid 5 Lounge/Ruang Berkumpul Umum 50 1 m 2 /orang 6 Lobby/Entrance Umum 20 1 m 2 /orang 1 pasang washer 7 Laundry Umum 8 & dryer/25 kamar Add: floor drain F/W/C: sama dengan bedroom Add: stop kontak, outlet telepon/tv/internet F/W/C: sama dengan bedroom Add: stop kontak, outlet telepon/tv/internet F/W/C: sama dengan kamar mandi umum Dimensi washer & dryer: 0,75 m x 0,75 m Add: floor drain, utility sinks 8 Parkir Sepeda Motor Pribadi 150 3,3 m 2 /sepeda motor Flooring: concrete/masonry Wall: concrete Sumber: College and University Residence Hall Design Guidelines, American Restroom Association

3 Analisa Rencana Jumlah Penghuni Berhubungan dengan aspek finansial bangunan yakni jumlah ruangan yang akan disewakan, perlu diketahui jumlah penghuni berdasarkan ketersediaan lahan. Diketahui bahwa KDB bangunan adalah 2050 m 2, dengan asumsi 75% akan digunakan untuk keperluan sewa, dan luas ruang tidur untuk 1 orang adalah 12,5 m 2. Maka didapatlah rencana perkiraan penghuni= (2050 x 75%)/12,5 = 123 jiwa 4.3 Analisa Rencana Kebutuhan Ruang Berdasarkan Jumlah Penghuni Tabel 4.2 Rencana Luas Ruangan Asrama No Jenis Ruangan Ukuran Ruang Jumlah Ruang Total Luasan 1 Single Bedroom 9 m m 2 2 Kamar Mandi Bersama 24 m m 2 3 Laundry 24 m m 2 4 Lounge 1 m 2 x 123 = 123 m m 2 5 Lobby/Entrance 123 m m 2 Luasan Total (dengan 20% sirkulasi) 1854 m 2 Gambar 4.1 Rencana Hubungan Ruang 4.4 Analisa Tapak Lokasi tapak beralamat pada Jl. Anggrek, Kebon Jeruk. Jakarta Barat Memiliki luasan lahan sebesar 4100 m 2, peruntukan sebagai wisma susun, dengan jumlah lantai yang diizikan adalah empat lantai, KDB=50%, dan KLB=2. Secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 4.2

4 18 Gambar 4.2 Gambaran Lokasi Tidak ada akses langsung dari jalan raya, sehingga untuk mencapai lokasi baik menggunakan kendaraan atau berjalan kaki harus melewati area parkir kampus Binus, sebagaimana yang dijelaskan pada Gambar 4.3. Mahasiswa kampus dapat mencapai lokasi melalui area kantin dan gedung parkir (poin 1), dan pencapaian dari jalan raya dapat langsung melalui area parkir terbuka. Gambar 4.3 Analisa Pencapaian

5 19 Gambar 4.4 Suasana Lokasi Pada Gambar 4.4 merupakan gambaran suasana lokasi tapak. Secara spesifik pada poin No.1 di arah barat laut terdapat pembangunan proyek yang belum rampung, berdasarkan data LRK proyek tersebut adalah bangunan dengan jumlah maksimal lantai sebanyak 25 lantai. Pada poin No. 2 Merupakan akses menuju lokasi lahan yang dapat dicapai melalui tembusan dari area kantin Kampus Anggrek maupun area parkir. Pada poin No. 3 adalah suasana lahan, yang merupakan tanah kosong. Dan pada poin No. 4 terlihat akses jalan raya menuju lokasi. Lokasi lahan memiliki data latitude dan longitude sebagai berikut: Selatan dan Timur. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui secara umum pergerakan jalur matahari pada lokasi lahan. Jalur matahari katulistiwa saat

6 20 matahari melintas tepat diatas lokasi lahan, adalah pada bulan Maret dan Oktober. Jalur matahari Utara terjadi selama 6 bulan sejak April hingga September. Jalur matahari selatan terjadi hanya selama 4 bulan, yakni pada bulan November, Desember, Januari, Februari. Berdasarkan data tersebut pembayangan terbanyak akan terjadi pada sisi selatan lahan. Gambar 4.5 Gambaran Pergerakan Matahari 4.5 Analisa Base Plan Gubahan Massa Base plan atau rencana gubahan massa awal dibuat untuk mengetahui gambaran wujud bangunan berdasarkan kondisi tapak dan keadaan lingkungan sekitar. Yang pertama dilakukan adalah membuat gubahan massa sesuai dengan peraturan IMB, ditujukan untuk menciptakan gubahan massa yang sesuai dengan peruntukan lahan baik dari segi luasan lantai hingga ketinggian. Gubahan massa bangunan yang didapat berdasarkan peraturan IMB kemudian dapat dijadikan titik berangkan dalam merancang bangunan secara keseluruhan. Bentukan yang telah didapat kemudian dianalisa dengan meninjau aspek lingkungan sekitar, seperti orientasi, arah matahari, dsb Base Plan Bangunan Berdasarkan Peraturan IMB Dengan mengacu pada peraturan IMB, hal yang pertama dilakukan dalam membuat base plan bangunan adalah menentukan area lahan yang akan dibangun.

7 21 Kemudian menentukan batas garis sempadan bangunan (GSB), tepatnya menarik garis imajiner sejauh lima meter kedalam area lahan. Dengan ditetapkannya GSB, maka diketahuilah area lahan yang boleh dibangun. Gubahan massa selanjutnya akan dibangun dalam batasan GSB, tidak lebih. Gambar 4.6 Area Lahan Yang Akan Dibangun Gambar 4.7 Penjelasan Garis Sempadan Bangunan

8 22 Setelah menetapkan GSB, didapatkanlah area lahan sebesar 2850 m 2. Dengan mengacu pada ketetapan jumlah lantai yang diizinkan sebanyak empat lantai, dibuatlah gubahan massa sesuai dengan ukuran lahan GSB dan tingkatan lantai. Gubahan massa ini belum memasukkan aspek peraturan IMB berupa Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Gambar 4.8 Gubahan Massa Awal Setelah menemukan bentuk gubahan massa awal, dimasukkanlah aspek SEP (sky exposure plane) pada gubahan massa tersebut. Aspek SEP dibuat dengan menarik bidang imajiner sejauh lima m keluar area lahan bangunan, dengan sudut kemiringan 60 0 kedalam bangunan. SEP yang didapat akan memotong gubahan massa bangunan, sehingga pembangunan bangunan selanjutnya haruslah mundur dari sudut kemiringan SEP tersebut. SEP diterapkan pada massa bangunan sejak awal ditujukan sebagai batasan ketika membuat gubahan massa. Sehingga dalam proses merancang gubahan massa selanjutnya, akan dapat dengan mudah diketahui bidang bangunan mana saja yang harus mengalami setback mundur dari garis SEP. dengan jarak mundur sesuai dengan derajat kemiringan yang telah ditentukan.

9 23 Dengan menerapkan aspek SEP pada bangunan, didapatkanlah bidang miring SEP yang dimulai pada ketinggian dua lantai dari permukaan tanah. Sehingga gubahan massa pada lantai tiga dan empat harus lah mundur menjauhi bidang miring SEP tersebut. Gambar 4.9 Bidang Imajiner SEP Gambar 4.10 Bidang Miring SEP

10 24 Gambar 4.11 Massa Bangunan Setelah Dipotong Bidang SEP Gambar 4.12 Tujuan Penerapan SEP Didapatkanlah bentukan massa awal bangunan yang telah dilengkapi dengan aspek SEP. Hanya saja gubahan massa awal ini belum memenuhi peraturan IMB berupa Koefisien Dasar Bangunan, yakni luasan lantai dasar yang diizinkan untuk dibangun. Melalui perhitungan KDB akan didapat luas lantai dasar bangunan maksimal (LBD).

11 25 Menghitung luas lantai dasar bangunan maksimal (LBD) berdasarkan keseluruhan luas tanah (LT). Dapat dilakukan menggunakan rumus LBD=LT x KDB LBD=4100 x 50% = 2050 m 2. Luasan lantai dasar gubahan massa awal adalah seluas 2850 m 2, akan dikurangi hingga menjadi 2050 m 2 dengan cara melakukan scaling atau penskalaan. Scaling dilakukan menggunakan software komputer SketchUp, dengan tujuan menyesuaikan ukuran model gubahan massa yang telah dibuat agar sesuai dengan luasan lantai dasar yang diinginkan. Gambar 4.13 Massa Bangunan Sesuai KDB Berdasarkan luasan dasar maksimal, yang dilakukan berikutnya adalah menghitung luasan bangunan secara keseluruhan. Dapat dihitung menggunakan rumus Luas Bangunan Keseluruhan=KLB x LT Luas Bangunan Keseluruhan= 2 x 4100 = 8200 m 2. Dengan didasari perhitungan luas bangunan keseluruhan, dapat dibuat rencana luasan lantai bangunan. Dikarenakan tinggi bangunan yang diizinkan adalah 4 lantai, penulis merencanakan untuk menyamakan luasan masing-masing lantai. Dengan perhitungan Luas Bangunan Keseluruhan/jumlah lantai 8200/4= 2050 m 2. Didapatilah luasan tiap lantai bangunan seluas 2050 m 2, khusus untuk lantai tiga dan empat sesuai dengan setback oleh SEP maka akan dilakukan penyesuaian luasan lantai.

12 26 Gambar 4.14 Pengaplikasian Setback Sesuai SEP Sesuai perhitungan LBD dan aspek SEP, dapat diketahui setback lantai tiga dan empat yang kemudian akan menentukan luasan kedua lantai tersebut. Berdasarkan kemiringan SEP, lantai tiga harus mengalami setback sejauh 1,5 m dan lantai empat sejauh empat 4 m. Sehingga didapat luasan untuk lantai tiga dan empat adalah 1757 m 2 dan 1282 m 2, sedangkan untuk dua lantai pertama memiliki luas 2050 m 2. Dengan demikian luasan total lantai bangunan yang didapat adalah 7139 m Base Plan Bangunan Berdasarkan Analisa Pencahayaan Dalam pembahasan berikutnya, analisa gubahan massa dicapai melalui simulasi terhadap lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitar bangunan sangat berpengaruh, sehingga rancangan bentuk bangunan haruslah sesuai. Analisa yang pertama yakni analisa pembayangan. Ditujukan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi pembayangan pada jalur pergerakan matahari pada lintang yang berbeda. Simulasi dilakukan pada tiga bulan berbeda yang mewakili pergerakan jalur matahari (matahari utara, katulistiwa, dan selatan). Berdasarkan simulasi tersebut didapatkanlah data sebagai berikut:

13 27 Gambar 4.15 Analisa Pembayangan Bulan Desember Jalur Matahari Selatan. Daerah barat dan utara bangunan memiliki tingkat pembayangan yang cukup tinggi, khususnya pada saat sore hari. Kondisi ini terjadi selama kurun waktu 4 bulan (November, Desember, Januari, Februari).

14 28 Gambar 4.16 Analisa Pembayangan Bulan Maret/September Jalur Matahari Katulistiwa. Bulan Maret dan September, jalur matahari tepat berada diatas bangunan. Sehingga pembayangan yang terjadi umumnya hanya pada bagian timur dan barat bangunan. Sisi barat pembayangan terjadi saat pagi hari, dan sisi timur pembayangan terjadi saat sore hari. Sisi utara dan selatan tidak terjadi pembayangan.

15 29 Gambar 4.17 Analisa Pembayangan Bulan Juni Jalur Matahari Utara. Daerah utara bangunan secara teori memiliki tingkat pembayangan terendah, karena pergerakan matahari pada posisi utara yang relatif lama, yakni dalam kurun 5 bulan (April-Agustus). Tetapi dengan kondisi lahan yang pada sisi barat laut direncanakan akan didirikan bangunan high rise, maka pembayangan yang dihasilkan oleh bangunan tersebut akan sangat terasa pada lokasi. Hal ini menyebabkan keseluruhan sisi bangunan mengalami pembayangan pada waktu yang berbeda.

16 30 Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan dapat diketahui sisi-sisi bangunan yang mengalami pembayangan, pada jam dan bulan yang berbeda. Hanya saja secara spesifik tingkat kegelapan yang diterima akibat pembayangan belum dapat diketahui. Untuk itu dilakukanlah simulasi untuk mengukur tingkat pencahayaan alami yang diterima bangunan pada tiap sisinya, sesuai dengan kondisi pembayangan yang berbeda. Ditujukan untuk mengetahui pengaruh pembayangan terhadap intensitas cahaya alami, akankah pembayangan tersebut membuat tiap ruangan menjadi gelap total, atau masih dalam batas kenyamanan visual penghuni. Simulasi pencahayaan dilakukan pada rentang waktu dan bulan yang sama dengan simulasi pembayangan. Dilakukan pada tiga jam berbeda dalam satu hari yakni pukul sembilan pagi, satu siang, dan lima sore. Dalam kurun tiga bulan berbeda yang masing-masing mewakili ketiga jalur pergerakan matahari. Gambar 4.18 Denah Sederhana Untuk memulai simulasi pencahayaan, dibuatlah denah sederhana pada luasan lantai bangunan yang telah didapat. Pembuatan denah sederhana ini bertujuan untuk mengetahui pembagian ruang-ruang kamar pada bangunan, dan ruang-ruang mana saja yang mendapat akses pencahayaan alami beserta tingkatan cahaya yang diterima. Analisa pencahayaan dilakukan pada beberapa sisi bangunan (barat, timur, utara, selatan, barat daya, dan barat laut), dengan modul ruangan berukuran 4.5 x 2,5 m seluas 10 m 2. Tiap ruangan memiliki bukaan berupa jendela dengan ukuran 0.6 x 1.5 m. Analisa pencahyaan dilakukan dengan mengacu pada standar kenyamanan visual seperti yang terlihat pada Tabel. 4.3.

17 31 Illuminance (lux) Tabel 4.3 Standar Kenyamanan Visual Kegiatan Area 100 Penglihatan biasa Koridor 150 Pekerjaan detil Loading bay 200 Ruang yg lama dihuni Entrance halls, ruang makan 300 Pekerjaan visual yg mudah Perpustakaan, sports halls 500 Pekerjaan visual yg cukup rumit Kantor, dapur, laboratorium 750 Pekerjaan visual rumit Ruang gambar 1000 Pekerjaan visual sangat rumit Perakitan elektronik, pekerjaan lukis 1500 Pekerjaan visual sangat amat rumit Pekerjaan yg memerlukan ketelitian 2000 Pekerjaan visual luar biasa rumit Perakitan, inspeksi kain Sumber: CIBSE Code for Lighting Dengan mengacu pada tabel tersebut, didapati bahwa standar tingkat pencahayaan yang ingin dicapai adalah sebesar 500 lux, berdasarkan rentang lux dan fungsi ruang kamar yang juga sebagai ruang belajar. Berikut adalah simulasi pencahayaan pada tiap sisi bangunan. Gambar 4.19 Pencahayaan Sisi Barat Tabel 4.4 Analisa Pencahayaan Sisi Barat Barat Bulan Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux

18 32 Barat Bulan Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Desember Terendah:50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 500 lux Tingkat pencahayaan pada sisi barat bangunan terendah terjadi pada pagi hari, dan tertinggi pada saat siang hingga sore hari. Secara umum pencahayaan tertinggi terjadi pada bulan Desember. Rata-rata dalam satu hari tingkat pencahayaan berkisar antara 350 lux hingga 550 lux, masih dalam rentang standar kenyamanan visual. Hanya saja pada saat siang hari, terdapat beberapa titik pada ruangan yang tersinari cahaya matahari secara langsung dengan tingkat pencahayaan sebesar 950 lux. Nilai tersebut tergolong di atas rentang standar kenyamanan visual, walau demikian pencahayaan tersebut hanya terjadi pada beberapa titik saja tidak keseluruhan ruangan. Sehingga secara umum ruangan masih tergolong nyaman secara visual. Gambar 4.20 Pencahayaan Sisi Timur

19 33 Tabel 4.5 Analisa Pencahayaan Sisi Timur Timur Bulan Maret Terendah:250 lux Rata-Rata: 600 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Juni Terendah:250 lux Rata-Rata: 600 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Desember Terendah:250 lux Rata-Rata: 600 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Tingkat pencahayaan pada sisi timur bangunan tertinggi terjadi pada pagi hari, dan terendah pada saat siang hingga sore hari. Secara umum pencahayaan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Rata-rata dalam satu hari tingkat pencahayaan berkisar antara 450 lux hingga 600 lux, masih dalam rentang standar kenyamanan visual. Pada pagi hari terdapat paparan cahaya matahari secara langsung, yang membuat terjadinya beberapa titik silai sebesar 950 lux. Hal ini terjadi pada ketiga rentang bulan. Gambar 4.21 Pencahayaan Sisi Utara

20 34 Tabel 4.6 Analisa Pencahayaan Sisi Utara Utara Bulan Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 550 lux Rata-Rata: 300 lux Juni Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 250 lux Rata-Rata: 650 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Desember Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Tingkat pencahayaan pada sisi utara bangunan tertinggi terjadi pada siang hari, dan terendah pada saat pagi dan sore hari. Secara umum pencahayaan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Rata-rata dalam satu hari tingkat pencahayaan berkisar antara 300 lux hingga 650 lux, masih dalam rentang standar kenyamanan visual. Pada bulan Juni saja saat pagi hari dan siang hari terdapat paparan cahaya matahari secara langsung, yang membuat terjadinya beberapa titik silau sebesar 950 lux. Gambar 4.22 Pencahayaan Sisi Selatan

21 35 Tabel 4.7 Analisa Pencahayaan Sisi Selatan Selatan Bulan Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Desember Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 500 lux Tingkat pencahayaan pada sisi selatan bangunan secara keseluruhan stabil sejak pagi hari hingga sore hari. Dengan nilai pencahayaan rata-rata dalam rentang 400 lux hingga 500 lux. Terkecuali pada bulan Desember, pencahayaan stabil sejak pagi hingga sore dengan nilai 500 lux hingga 550 lux. Cukup tinggi dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya yakni Maret dan Juni. Paparan cahaya matahari secara langsung hanya terjadi pada bulan Desember, mulai saat pagi hingga sore hari sebesar 950 lux. Gambar 4.23 Pencahayaan Sisi Barat Laut

22 36 Tabel 4.8 Analisa Pencahayaan Barat Laut Selatan Bulan Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah: 50 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Desember Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 500 lux Tingkat pencahayaan pada barat laut bangunan pada bulan Maret dan Juni cenderung rendah pada saat pagi hari sebanyak 350 lux dan tinggi saat siang hingga sore hari sebanyak 450 lux hingga 550 lux. Pada bulan Desember tingkatan cahaya menjadi stabil saat pagi hingga sore dengan rata-rata 350 lux. Secara keseluruhan memiliki tingkat pencahayaan tinggi pada jalur matahari khatulistiwa (Maret) dan Utara (Juni). Gambar 4.24 Pencahayaan Sisi Barat Daya

23 37 Tabel 4.9 Analisa Pencahayaan Barat Daya Selatan Bulan Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Desember Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Rata-Rata: 550 lux Tingkat pencahayaan pada barat daya bangunan tertinggi pada saat sore hari di bulan Maret, dan siang hingga sore hari di bulan Desember sebanyak 550 lux. Secara keseluruhan hasil simulasi pencahayaang masing-masing sisi bangunan pada bulan yang berbeda dapat disimpulkan dalam bentuk grafik. Seperti yang terlihat pada gambar-gambar berikut: Grafik Pencahayaan Bulan Maret/September Lux :00 13:00 17:00 0 Barat Timur Utara Selatan Barat Laut Barat Daya Gambar 4.25 Grafik Pencahayaan Bulan Maret/September

24 38 Pada Bulan Maret/September, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah sisi timur dengan rata-rata intensitas lux per hari sebesar 516 lux. Sedangkan untuk sisi dengan pencahayaan terendah adalah sisi barat laut dengan rata-rata intensitas lux sebesar 366 lux. Grafik Pencahayaan Bulan Juni Lux Barat Timur Utara Selatan Barat Laut Barat Daya 9:00 13:00 17:00 Gambar 4.26 Grafik Pencahayaan Bulan Juni Pada Bulan Juni, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah sisi utara dengan rata-rata intensitas lux per hari sebesar 550 lux. Sedangkan untuk sisi dengan pencahayaan terendah adalah sisi barat laut dan barat daya, dengan ratarata intensitas lux sebesar 416 lux. Grafik Pencahayaan Bulan Desember Lux :00 13:00 17:00 0 Barat Timur Utara Selatan Barat Laut Barat Daya Gambar 4.27 Grafik Pencahayaan Bulan Desember

25 39 Pada Bulan Desember, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah barat daya dengan rata-rata intensitas lux per hari sebesar 550 lux. Sedangkan untuk sisi dengan pencahayaan terendah adalah sisi utara, dengan rata-rata intensitas lux sebesar 400 lux. Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan mengenai intensitas pencahayaan pada masing-masing sisi bangunan pada rentang bulan yang berbeda. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.10 di bawah. Tahap berikutnya yang akan dilakukan adalah melakukan analisa terhadap kesimpulan simulasi tersebut, yakni menentukan sisi mana saja yang tergolong sesuai dengan tingkat pencahayaan yang ingin dicapai. Bila terdapat sisi yang memiliki tingkat pencahayaan tidak sesuai dengan target, baik itu lebih tinggi maupun lebih rendah, maka perlu dilakukan penggubahan ukuran jendela agar cahaya yang diterima ruangan dapat sesuai dengan target. Sisi Tabel 4.10 Tabel Kesimpulan Simulasi Pencahayaan Ukuran Rata-Rata Kondisi Bukaan Pencahayaan Matahari Kantilever Jendela Kondisi Terburuk Barat 0.9 m lux Juni Timur 0.9 m lux Desember Utara 0.9 m lux Sunny sky Tidak Desember Selatan 0.9 m lux (best) Ada Maret Barat 0.9 m lux Maret Laut Barat Daya 0.9 m lux Juni Sesuai dengan tabel di atas, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah sisi timur dengan rata-rata sebesar 521 lux. Sisi dengan tingkat pencahayaan terendah adalah sisi barat laut dengan rata-rata sebesar 430 lux. Sisi lainnya seperti utara, selatan, dan barat laut berkisar antara lux. Simulasi tersebut dilakukan pada kondisi cuaca terbaik (sunny sky) dengan asumsi permukaan bangunan rata tanpa kantilever. Untuk mendapatkan ukuran jendela yang optimal untuk tiap sisi bangunan, dilakukan simulasi berikutnya pada keadaan cuaca terburuk. Dengan tujuan dalam kondisi terburuk pun (paling mendung), saat siang hari bukaan jendela tetap dapat memberikan pencahayaan yang sesuai standar sehingga penggunaan lampu tidak diperlukan.

26 40 Dengan demikian dilakukanlah simulasi serupa dengan simulasi sebelumnya. Melalui simulasi sebelumnya, dapat diketahui dalam tiga bulan berbeda kapan saja kondisi terburuk tiap sisi bangunan (rentang lux paling rendah). Hal ini akan dijadikan titik berangkat untuk simulasi selanjutnya, yakni mensimulasikan bulan kondisi sisi terburuk ditambah dengan parameter lain seperti kondisi cahaya terburuk cloudy sky dan penambahan kantilever pada jendela. Tabel 4.11 Tabel Kesimpulan Simulasi Pencahayaan Lanjutan Sisi Ukuran Bukaan Rata-Rata Pencahayaan Kondisi Matahari Kantilever Jendela Kondisi Terburuk Barat 0.9 m lux Juni Timur 0.9 m lux Desember Utara 0.9 m lux Cloudy Ada Desember Selatan 0.9 m lux sky Maret Barat 0.9 m lux (worst) Maret Laut Barat Daya 0.9 m lux Juni Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan mengandalkan bukaan jendela sebesar 0.9 m 2, pencahayaan pada tiap sisi bangunan cenderung rendah. Rentang pencahayaan berkisar antara 250 hingga 350 lux. Mengingat simulasi dilakukan pada kondisi terburuk masing-masing sisi dengan keadaan cloudy sky dan penambahan kantilever pada jendela, hal ini membuat ruangan menjadi lebih gelap. Dengan keadaan seperti itu dapat disimpulkan bahwa jendela dengan bukaan 0.9 m 2 tidak cukup optimal sebagai sumber pencahayaan ruangan. Bukaan jendela dengan ukuran 0.9 m 2 tergolong optimal hanya pada saat kondisi langit terbaik berupa sunny sky, dan tidak adanya kantilever pada jendela. Hal tersebut meningkatkan jumlah cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Hanya saja pada saat kondisi langit yang kurang baik seperti pada simulasi tabel 4.11, ruangan dengan bukaan jendela sebesar 0.9 m 2 cenderung memiliki lux yang rendah. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar 4.28 dibawah.

27 41 Gambar 4.28 Contoh Kondisi Sisi Utara Pada Gambar 4.28 di atas memperlihatkan keadaan ruangan sisi utara dengan bukaan jendela sebesar 0.9 m 2. Pada poin 1, kondisi langit terbaik berupa sunny sky dan jendela tanpa kantilever, jumlah rata-rata lux pada ruangan tersebut adalah 450 lux. Sedangkan pada poin 2, kondisi langit terburuk berupa cloudy sky dan penambahan kantilever, menurunkan jumlah cahaya menjadi 300 lux. Dikarenakan tiap sisi pada kondisi tertentu memiliki kebutuhan pencahayaan yang berbeda, maka ukuran bukaan tidak dapat disamakan. Dengan mengacu pada simulasi pencahayaan pada kondisi terburuk, dibuat lah simulasi berikutnya untuk menentukan ukuran bukaan jendela yang tepat untuk masingmasing sisi bangunan. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 4.12, simulasi

28 42 dilakukan pada tiap sisi bangunan pada kondisi terburuk, dengan rentang waktu pukul 09.00, 13.00, dan Tabel 4.12 Tabel Kesimpulan Simulasi Pencahayaan Lanjutan Sisi Ukuran Bukaan Rata-Rata Pencahayaan Kondisi Matahari Kantilever Jendela Kondisi Terburuk Barat 1.2 m lux Juni Timur 1.2 m lux Desember Utara lux Cloudy Ada Desember m 2 sky Selatan 1.5 m 550 lux (worst) Maret Barat 2 m lux Maret Laut Barat Daya 1.2 m lux Juni Barat Timur Utara Selatan Barat Laut Barat Daya Ukuran Lama Ukuran Baru Gambar 4.29 Grafik Perbandingan Ukuran Jendela Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, didapatkan ukuran bukaan jendela untuk tiap-tiap sisi bangunan pada kondisi cuaca terburuk. Pada kondisi terburuk dengan ukuran bukaan jendela yang baru, ruangan akan tetap mendapat pencahayaan dengan rentang lux. Sehingga walau dalam keadaan mendung pun, pada saat siang hari ruangan tidak perlu mengandalkan penggunaan lampu.

29 Base Plan Bangunan Berdasarkan Kebutuhan Ruang & Struktur Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa tiap sisi bangunan akan mendapatkan akses pencahayaan matahari. Dengan kondisi tapak yang ada dan pembayangan yang dihasilkan, secara kesuluruhan tiap sisi bangunan tetap mendapat pencahayaan yang masih tergolong dalam rentang kenyamanan visual. Hanya saja sisi bangunan yang mendapat akses pencahayaan adalah sisi terluar bangunan yang menghadap ke arah luar. Berdasarkan rancangan denah sederhana yang telah dibuat, terdapat deret ruangan di bagian dalam bangunan yang tidak mendapat akses pencahayaan sama sekali. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.30 dibawah ini (area berwarna abu-abu). Dikarenakan deret ruang tersebut tidak memiliki bukaan sama sekali, maka dapat dikatakan bahwa tingkat pencahayaan pada ruang-ruang tersebut adalah 0 lux. Pencahayaan pada deret ruang tersebut harus dicapai dengan mengandalkan penggunaan lampu setiap saat. Dengan keadaan seperti ini diketahui bahwa base plan gubahan massa yang dicapai, belum lah tergolong sebagai bentuk bangunan optimal. Dikarenakan tidak dapat menyediakan akses pencahayaan alami bagi seluruh ruang dalam bangunan. Gambar 4.30 Ruangan Yg Tidak Mendapat Cahaya Alami Untuk mengatasi permasalahan ini, dilakukan penggubahan bentuk massa bangunan selanjutnya. Ruang-ruang yang berada pada sisi terluar bangunan mampu mendapatkan akses pencahayaan alami melalui arah horizontal. Sedangkan untuk ruang bagian dalam bangunan, arah horizontal tidak memungkinkan untuk menerima cahaya alami. Dengan demikian pilihan selanjutnya adalah melalui arah vertikal, yakni dengan menciptakan bukaan pada

30 44 bangunan yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam bangunan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan void. Gambar 4.31 Gubahan Massa Saat Ini Gambar 4.32 Penambahan Void

31 45 Gubahan massa saat ini telah memiliki luasan sesuai dengan perhitungan KDB. Penambahan void tentunya akan mengurangi luasan lantai bangunan, karena terdapat sejumlah luasan lantai yang dihilangkan untuk membuat void. Melalui Gambar 4.32 dapat terlihat penambahan void pada bagian tengah bangunan, kemudian luasan lantai yang terpakai untuk void didistribusikan ke sisa bagian bangunan agar luasan lantai tetap seluas 2050 m 2. Void yang telah dibuat dicapai dengan melakukan extrude pada modul bangunan. Hal tersebut belum cukup efektif, karena terdapat bagian void yang terlalu sempit seperti pada Gambar Mengingat jarak sisi bangunan yang saling berhadapan adalah 12 m (A-Z Persyaratan Teknis Bangunan, 2013). Tak hanya itu, ukuran void dianggap terlalu besar dan menghabiskan area sewa yang cukup banyak. Maka dibuatlah gubahan massa selanjutnya dengan membuat pembagian area void, seperti yang terlihat pada Gambar 4.34 dibawah. Gambar 4.33 Analisa Ukuran Void

32 46 Gambar 4.34 Pembagian Void Pembagian void pada gubahan massa bangunan ditujukan agar deret ruangan bagian dalam bangunan asrama bisa mendapatkan akses pencahayaan alami, sebagaimana dengan deret ruangan pada sisi bangunan terluar. Gambar 4.35 Denah Dengan Void Setelah mendapatkan bukaan void seperti yang terlihat pada gambar di atas, perlu dilakukan selanjutnya adalah simulasi pembayangan. Simulasi pembayangan dilakukan untuk mengetahui tingkat pembayangan yang terjadi terhadap gubahan massa baru, khususnya pada sisi-sisi bangunan di area void.

33 47 Simulasi dilakukan dengan menghitung akumulasi pembayangan yang terjadi pada rentang waktu pukul hingga 17.00, pada tiga bulan yang berbeda. Seperti simulasi sebelumnya, ketiga bulan yang berbeda ditetapkan untuk mewakili perbedaan pergerakan jalur matahari. Berdasarkan simulasi yang dilakukan, bagian void bangunan secara umum cenderung gelap akibat pembayangan. Dengan tingkat pembayangan paling tinggi terjadi pada bulan Juni, seperti yang terlihat pada gambar 4.36 di bawah ini Gambar 4.36 Analisa Pembayangan

34 48 Dengan tujuan untuk meningkatkan akses cahaya alami yang masuk melalui void, untuk itu proses gubahan massa selanjutnya akan dilakukan dengan menerapkan sistem hirarki bangunan. Gambar 4.37 Sistem Hirarki 1 Sistem hirarki bangunan yang dimaksud adalah, penentuan titik posisi tertinggi pada bangunan. Ketika suatu bagian pada bangunan ditetapkan sebagai titik tertinggi, maka keseluruhan massa bangunan yang mengelilingi titik tersebut akan dianggap memiliki hirarki yang lebih rendah. Pada kasus penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 4.37 di atas. Pada gambar tersebut terlihat sistem hirarki bangunan, yang dicapai dengan menerapkan aspek SEP. diakarenakan adanya garis miring SEP, maka pembangunan massa bangunan harus terjadi setback. Setback ini lah yang memperlihatkan hirarki bangunan. Dapat terlihat bahwa hirarki tertinggi bangunan ini adalah bagian tengah, sehingga bentuk massa bangunan tercipta seolah berbentuk berundak. Semakin jauh dari titik tengah, maka semakin rendah. Berhubungan dengan upaya untuk meningkatkan cahaya alami yang masuk melalui void, maka dilakukan pemindahan titik hirarki bangunan. Titik hirarki tertinggi bangunan digeser ke sisi barat bangunan. Sehingga posisi titik

35 49 hirarki kini berada pada bagian tengah sisi barat. Dengan penempatan titik hirarki baru ini, maka keseluruhan bentuk massa bangunan akan mengikuti. Gambar 4.38 Sistem Hirarki 2 Gambar 4.39 Perbedaan Cahaya Masuk Pada Kedua Hirarki Pemilihan pemindahan titik hirarki ke sisi barat, ditujukan untuk memperbanyak cahaya alami dari sisi timur untuk masuk ke void bangunan. Hal

36 50 ini didasarkan pada analisa pembayangan dan pencahayaan yang telah dibahas sebelumnya. Untuk mengetahui perbedaan yang dihasilkan dengan melakukan penggubahan massa pada area void, dilakukanlah simulasi pencahayaan. Ditujukan untuk mengukur intensitas cahaya yang jatuh pada permukaan sisi dalam void. Berdasarkan simulasi pembayangan pada Gambar 4.34, simulasi dilakukan pada saat pembayangan tertinggi yakni bulan Juni, pada waktu pukul dan (maksimalisasi pencahayaan matahari timur). Gambar 4.40 Simulasi Pencahayaan Pada Permukaan Void Lux :00 11:00 13:00 15:00 0 Bentuk Lama Bentuk Baru Gambar 4.41 Grafik Perbedaan Intensitas Cahaya

37 51 Melalui simulasi tersebut diketahui bahwa penggubahan bentukan massa baru seperti pada Gambar 4.37, dapat meningkatkan intensitas cahaya matahari pada permukaan void dibandingkan dengan gubahan massa lama. Gambar 4.42 Penambahan Akses Masuk Gubahan massa yang didapat kini masih tergolong sebagai bangunan massive, tanpa adanya akses masuk menuju area-area bangunan khususnya area void. Dengan itu, dibuatlah akses masuk yang memotong gubahan massa bangunan, sehingga pencapaian menuju kedua area void dapat dilakukan. Seperti yang terlihat pada Gambar Selain tidak adanya akses pencapaian masuk ke dalam bangunan, permasalahan lain yang ditemui adalah kemungkinan koridor bagian dalam bangunan menjadi gelap total dikarenakan tidak adanya akses pencahayaan pada koridor. Penerapan void mampu memberikan pencahayaan pada ruangan-ruangan bagian dalam bangunan, tetapi tidak bagi koridor. Walaupun secara umum koridor adalah ruang bangunan yang sedikit tingkat pemakaiannya dan tidak memerlukan penerangan yang tinggi, tetapi aspek pencahyaan pada koridor tetap harus menjadi perhatian. Dengan demikian diperlukan area bukaan tambahan, guna memberikan akses pencahayaan yang merata pada koridor. Penambahan area bukaan perlu

38 52 memperhatikan aspek pembagian kebutuhan ruang, untuk menentukan bagian mana saja yang dapat difungsikan sebagai bukaan. Pada kajian sebelumnya pada subbab 4.1 hingga 4.3 adalah pembahasan mengenai perhitungan luasan dan kebutuhan ruang. Pembahasan tersebut barulah secara dasar dan sederhana, untuk mengetahui perkiraan luasan dan kebutuhan ruang yang diperlukan. Karena saat ini telah tercipta gubahan massa baru sesuai analisa base plan, maka yang dilakukan selanjutnya ada melakukan perhitungan luasan dan kebutuhan ruang sesuai dengan gubahan massa yang telah dicapai. Berikut pada Tabel 4.13 adalah perhitungan luas ruangan minimum bangunan berdasarkan kebutuhan pengguna sebanyak 200 orang. Penentuan jumlah pengguna didasarkan pada standar oleh Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan, terlihat pada Tabel Kepadatan penduduk tinggi adalah pada maksimal 400 jiwa/ha. Menyesuaikan dengan batas ukuran lahan yakni maksimal 0.5 ha, maka disimpulkan bahwa penghuni pada kawasan bangunan tidak melebihi 200 jiwa. Tabel 4.13 Rencana Luas Ruangan Gubahan Massa No Jenis Ruangan Ukuran Ruang Jumlah Ruang Total Luasan 1 Single Bedroom 12.5 m 2 (berdasarkan modul m 2 5x2,5 m & minimal ukuran 9 m 2 ) 2 Kamar Mandi Bersama 24 m m 2 3 Laundry 24 m m 2 4 Lounge 1 m 2 x 200 = 200 m m 2 5 Lobby/Entrance 1 m 2 x 200 orang m 2 Luasan Total 4344 m 2 Tabel 4.14 Standar Kepadatan Penduduk Klasifikasi Kepadatan Kawasan Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat Kepadatan <150 jiwa/ha jiwa/ha >400 jiwa/ha jiwa/ha Sumber: SNI

39 53 Berikut adalah data mengenai gubahan massa yang telah didapat (belum termasuk parkir): Tabel 4.15 Luasan Lantai Gubahan Massa Luasan Lantai Lantai Luas Lantai m 2 Lantai m 2 Lantai m 2 Lantai m 2 Total 5359 m 2 Ruang Terpakai: 75% x 5359 = 4019 m 2 Sirkulasi: 25% x 5359 = 1339 m 2 Ruang Terpakai Sewa: 75% x 4019 = 3014 m 2 Ruang Terpakai Penunjang: 25% x 4019 = 1000 m 2 Gambar 4.43 Bubble Diagram 1 Berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang yang telah didapat, dibuatlah rencana zoning seperti pada gambar bubble diagram di atas. Dengan memperhatikan jumlah ruangan yang diperlukan dan bentuk gubahan massa yang massive, penulis berasumsi akan menjadi kurang efisien bila ruang-ruang penting dan berukuran besar seperti entrance dan lounge dipusatkan pada satu area tersendiri. Terlebih lagi dengan banyaknya jumlah unit kamar yang tersedia, akses menuju entrance dan lounge tentunya akan menjadi sangat jauh.

40 54 Dengan demikian, penulis melakukan pembagian zoning ruangan dengan tujuan tiap-tiap ruangan dapat terbagi rata. Gambar 4.44 Bubble Diagram 2 Dengan pembagian zoning tersebut, dapat dibuat pula pembagian bentuk bangunan. Dicapai dengan membagi-bagi bentuk bangunan berdasarkan modul, seperti yang terlihat pada gambar di bawah. Dengan terbaginya bangunan berdasarkan beberapa modul, terdapat jarak antar modul bangunan. Jarak antar bangunan ini akan difungsikan sebagai connecting berupa area entrance/lobby dan pencapaian (akses tangga). Jarak antar bangunan ini pun akan berfungsi sebagai bukaan-bukaan untuk memungkinkan akses pencahayaan masuk ke dalam koridor. Gambar 4.45 Denah Pembagian Modul Bangunan

41 55 Gambar 4.46 Bangunan Dengan Pembagian Modul Gambar 4.47 Fungsi Jarak Antar Bangunan Dengan demikian pada tahap ini, tercipta rencana bentuk bangunan yang telah sesuai dengan aspek luasan dan kebutuhan ruang. Tercipta pula area-area yang dapat difungsikan sebagai area bukaan, untuk menanggulangi permasalahan koridor yang gelap. Secara spesifik mengenai permasalahan pencahayaan pada koridor, dibuatlah simulasi pencahayaan untuk mengetahui seberapa besar peran bukaan tersebut.

42 56 Gambar 4.48 Simulasi Pencahayaan Area Void Simulasi dilakukan pada bulan Juni (pembayangan tertinggi), pada rentang waktu pada pagi hari dan siang hari. Berdasarkan simulasi tersebut diketahui pencahayaan yang jatuh pada permukaan bidang void, memiliki tingkat yang lebih tinggi dibandingkan bentuk bangunan sebelumnya Lux Hirarki 1 Hirarki 2 Bentuk Berdasarkan Modul Gambar 4.49 Grafik Simulasi Pencahayaan 9:00 11:00 13:00 15:00

43 57 Sejauh ini telah didapatkan data-data mengenai ukuran jendela masingmasing sisi bangunan, jumlah cahaya pada permukaan void, hingga pembuatan modul denah. Hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah menrapkan data-data yang telah didapat melalui beragam simulasi, ke dalam desain bangunan secara keseluruhan. Khususnya menerapkan jendela sesuai ukuran untuk kebutuhan masing-masing sisi bangunan. Sebelum melakukan itu, perlu ditinjau kembali bentukan denah yang telah dirancang. Walaupun telah mengikuti modul, terdapat ruang-ruang yang dianggap kurang efektif seperti yang terlihat pada Gambar Untuk itu dilakukanlah penggubahan denah berdasarkan modul structural, sehingga didapatkan ukuranukuran ruang yang lebih efektif seperti pada Gambar Gambar 4.50 Ruang Tidak Efektif Pada Denah Gambar 4.51 Denah Sesuai Modul Struktur

44 58 Pada denah tersebut, peletakan furnitur pada tiap ruangan didasari pada data-data hasil simulasi. Secara inti peletakan furniture dalam ruangan mengikuti kondisi cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Mengingat ruangan tidak hanya berfungsi sebagai kamar tidur tetapi juga ruang belajar dan bekerja. Sebagai contoh pada Gambar 4.52 adalah sisi bangunan selatan. Berdasarkan simulasi pencahayaan, sisi ini secara umum mendapatkan cahaya matahari langsung yang mengarah pada bagian kiri ruangan. Maka peletakan furnitur pun disesuaikan dengan kondisi ini. Pada sisi bangunan lain dengan keadaan pencahayaan yang berbeda, maka peletakan furnitur pada masing-masing ruangan akan berbeda-beda pada tiap sisi bangunan. Gambar 4.52 Peletakan Ruang Sisi Selatan

45 59 Contoh lainnya adalah seperti pada Gambar 4.53 di bawah, yakni sisi utara bangunan. Cahaya matahari langsung yang masuk ke dalam ruangan secara umum mengarah pada bagian kanan ruangan. Dengan demikian, penempatan furnitur ruangan pun menyesuaikan dengan hal tersebut. Gambar 4.53 Peletakan Ruang Sisi Utara Untuk lebih jelasnya lagi, pada Gambar 4.54 terlihat penjelasan lebih rinci mengenai pengaruh kondisi cahaya ruangan terhadap penempatan furnitur ruangan. Kondisi cahaya pada ruangan berbeda-beda tingkat lux tergantung pada kedalaman ruang. Dengan demikian penempatan furnitur disesuaikan dengan kegunaan aktivitas furnitur tersebut pada kedalaman ruang tertentu sesuai dengan kondisi cahaya.

46 60 Gambar 4.54 Penjelasan Penempatan Furnitur Tak hanya mengenai peletakan furnitur, melalui simulasi pencahayaan pun diketahui ukuran jendela yang berbeda-beda pada tiap sisi bangunan. Sebagai contoh pada Gambar 4.55 di bawah, pada sisi utara terdapat bagian bangunan yang terhalangi bayangan gedung dan ada bagian yang tidak. Dengan demikian kebutuhan pencahayaan deret ruangan yang terhalangi bayangan dan yang tidak pun berbeda. Seperti pada gambar di bawah terlihat pada bagian yang tidak terhalangi bayangan, dengan jendela berukuran 1.5 m 2 sudah dapat memasukkan cahaya matahari sebesar rata-rata 550 lux. Namun pada bagian yang terhalangi bayangan, untuk mencapai rata-rata 550 lux, memerlukan jendela berukuran 2 m 2. Penentuan ukuran jendela didasari atas ukuran yang mampu menyediakan pencahayaan paling dekat dengan standar yang ingin dicapai, yakni 500 lux. Sebagai contoh pada gambar 4.56, jendela dengan ukuran 0,9 m 2 menghasilkan

47 61 pencahayaan yang rendah dan 4 m 2 overbright. menghasilkan pencahayaan berlebih atau Gambar 4.55 Ukuran Jendela Sesuai Kebutuhan Gambar 4.56 Bukaan Tidak Sesuai Standar Pencahayaan

48 62 Gambar 4.57 Perspektif Tampak Bangunan Gambar 4.58 Perspektif Kamar

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA DAN BAHASAN

BAB 4 ANALISA DAN BAHASAN 27 BAB 4 ANALISA DAN BAHASAN 4.1 Analisa Aspek Manusia 4.1.1. Analisa Pelaku Kegiatan Tabel 4.1 Analisa pelaku kegiatan No Pelaku Keterangan 1 Penghuni atau pemilik rumah susun Memiliki unit ataupun menyewa

Lebih terperinci

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru. BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan Beberapa hal yang menjadi dasar perencanaan dan perancangan Asrama Mahasiwa Bina Nusantara: a. Mahasiswa yang berasal dari

Lebih terperinci

Gambar 4. Blok Plan Asrama UI. Sumber : Survei. Untuk kamar AC diletakkan pada lantai 1 agar mudah dalam

Gambar 4. Blok Plan Asrama UI. Sumber : Survei. Untuk kamar AC diletakkan pada lantai 1 agar mudah dalam Gambar 4. Blok Plan Asrama UI Sumber : Survei Untuk kamar AC diletakkan pada lantai 1 agar mudah dalam perawatan atau maintenance AC tersebut. Kamar untuk yang memakai AC merupakan kamar yang paling besar

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Bentukan Dasar Bangunan Bentuk massa bangunan terdiri terdiri dari susunan kubus yang diletakan secara acak, bentukan ruang yang kotak menghemat dalam segi

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN ALAMI PADA RUMAH SUSUN DI JAKARTA TIMUR

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN ALAMI PADA RUMAH SUSUN DI JAKARTA TIMUR OPTIMALISASI PENCAHAYAAN ALAMI PADA RUMAH SUSUN DI JAKARTA TIMUR Ricky Suriyanto, Renhata Katili, Yosica Mariana Jurusan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jl. K.H. Syahdan no.9 Palmerah, Jakarta

Lebih terperinci

Rumah susun merupakan tempat tinggal vertikal yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Dengan keadaan penghuni yang seperti

Rumah susun merupakan tempat tinggal vertikal yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Dengan keadaan penghuni yang seperti 1. PENDAHULUAN Rumah susun merupakan tempat tinggal vertikal yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Dengan keadaan penghuni yang seperti itu, maka kehidupan sosialnya pun berbeda dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cahaya matahari sebagai sumber pencahayaan alami merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang sangat berlimpah di Indonesia. Sebagai negara yang melintang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PROYEK AKHIR SARJANA... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR GAMBAR... ix. DAFTAR TABEL... xiii PENDAHULUAN Data Ukuran Lahan...

DAFTAR ISI. PROYEK AKHIR SARJANA... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR GAMBAR... ix. DAFTAR TABEL... xiii PENDAHULUAN Data Ukuran Lahan... DAFTAR ISI PROYEK AKHIR SARJANA... i KATA PENGANTAR... ii LEMBAR PENGESAHAN....iv ABSTRAK... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xiii BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Masalah...

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Dasar Perencanaan dan Perancangan Arsitektur Tropis merupakan salah satu bentuk arsitektur yang dapat memahami kondisi iklim tropis beserta permasalahannya.

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Menurut Avelar et al dalam Gusmaini (2012) tentang kriteria permukiman kumuh, maka permukiman di Jl. Simprug Golf 2, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran

Lebih terperinci

BAB V. KONSEP PERENCANAAN dan PERANCANGAN. Bina Nusantara adalah sebagai berikut :

BAB V. KONSEP PERENCANAAN dan PERANCANGAN. Bina Nusantara adalah sebagai berikut : 112 BAB V KONSEP PERENCANAAN dan PERANCANGAN V.1. Konsep Perancangan Kegiatan Adapun jenis kegiatan dan sifat kegiatan yang ada di dalam asrama mahasiswa Bina Nusantara adalah sebagai berikut : Jenis Kegiatan

Lebih terperinci

BAB V KONSEP. Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki

BAB V KONSEP. Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki BAB V KONSEP 5.1 Konsep Perancangan Tapak 5.1.1 Pencapaian Pejalan Kaki Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki Sisi timur dan selatan tapak terdapat jalan utama dan sekunder, untuk memudahkan

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perancangan V.1.1 Konsep Manusia Pelaku Kegiatan No. Pelaku 1. Penghuni/Pemilik Rumah Susun 2. Pengunjung Rumah Susun 3. Pengunjung Pasar Tradisional

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN BAB V KONSEP PERANCANGAN V.1. Konsep Perancangan Makro V.1.1. Konsep Manusia Pelaku kegiatan di dalam apartemen adalah: 1. Penyewa meliputi : o Kelompok orang yang menyewa unit hunian pada apartemen yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Sumber : diakses tanggal 2 Oktober 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Sumber :  diakses tanggal 2 Oktober 2015 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang pertumbuhan kotanya cenderung pesat. Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi pusat dari berbagai kegiatan dibidang

Lebih terperinci

Minggu 5 ANALISA TAPAK CAKUPAN ISI

Minggu 5 ANALISA TAPAK CAKUPAN ISI 1 Minggu 5 ANALISA TAPAK CAKUPAN ISI Membuat analisa pada tapak, mencakup orientasi matahari, lingkungan, sirkulasi dan entrance, kontur. Analisa Zoning, mencakup zona public, semi public dan private serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengembangan perkotaan dalam sektor pusat bisnis dan hunian makin pesat,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengembangan perkotaan dalam sektor pusat bisnis dan hunian makin pesat, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan perkotaan dalam sektor pusat bisnis dan hunian makin pesat, semua developer berlomba-lomba untuk mengembangkan kawasan tertentu menjadi kawasan superblok

Lebih terperinci

BAB V KONSEP. V.1 Konsep Perencanaan dan Perancangan. Konsep desain untuk fungsi M al dan Apartemen ini mencoba menampung kegiatankegiatan

BAB V KONSEP. V.1 Konsep Perencanaan dan Perancangan. Konsep desain untuk fungsi M al dan Apartemen ini mencoba menampung kegiatankegiatan BAB V KONSEP V.1 Konsep Perencanaan dan Perancangan Konsep desain untuk fungsi M al dan Apartemen ini mencoba menampung kegiatankegiatan yang terjadi di sekitar tapak, khusunya jalur pejalan kaki dan kegiatan

Lebih terperinci

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA Tataguna Lahan Aktivitas Pendukung Bentuk & Massa Bangunan Linkage System Ruang Terbuka Kota Tata Informasi Preservasi & Konservasi Bentuk dan tatanan massa bangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi manusia di Jakarta,

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi manusia di Jakarta, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi manusia di Jakarta, ketersediaan tempat tinggal menjadi perhatian utama bagi semua pihak bagi pemerintah maupun

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Dasar Perencanaan dan Perancangan - Luas lahan : 30.400,28 m² - KDB 20% : 20% x 30.400,28 m² = 6.080,06 m² - KLB 0,8 : 0,8 x 30.400,28 m² = 24.320,22 m² -

Lebih terperinci

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa BAB VII RENCANA 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa 7.1.1 Tahapan Pembangunan Rusunawa Agar perencanaan rumah susun berjalan dengan baik, maka harus disusun tahapan pembangunan yang baik pula, dimulai dari

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Data Proyek Gambar 5.1 RUTRK Tapak Luas Lahan : 10.150 m 2 KDB : 20% x 10.150 m 2 = 2.030 m 2 KLB : 2,5 x 10.150 m 2

Lebih terperinci

OPTIMASI KINERJA PENCAHAYAAN ALAMI UNTUK EFISIENSI ENERGI PADA RUMAH SUSUN DENGAN KONFIGURASI TOWER DI DENPASAR

OPTIMASI KINERJA PENCAHAYAAN ALAMI UNTUK EFISIENSI ENERGI PADA RUMAH SUSUN DENGAN KONFIGURASI TOWER DI DENPASAR OPTIMASI KINERJA PENCAHAYAAN ALAMI UNTUK EFISIENSI ENERGI PADA RUMAH SUSUN DENGAN KONFIGURASI TOWER DI DENPASAR Studi Kasus : Rumah Susun Dinas Kepolisian Daerah Bali LATAR BELAKANG Krisis energi Isu Global

Lebih terperinci

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PENGEMBANGAN ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PENGEMBANGAN ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PENGEMBANGAN ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO 6.1 Program Dasar Perencanaan Dalam perencanaannya, asrama ini merupakan tempat tinggal sementara bagi mahasiswa

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Peraturan pada tapak Lokasi Tapak : Jl. Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur Luas Lahan : 18.751,5 m 2 KDB : 40 % Luas

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perancangan Konsep dasar perancangan meliputi pembahasan mengenai pemanfaatan penghawaan dan pencahayaan alami pada City Hotel yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Konsep Lingkungan Perletakkan massa bangunan apartemen yang memperhatikan view yang ada, view yang tercipta kearah barat dan utara. Permasalahan yang ada di

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERANCANGAN

BAB IV ANALISA PERANCANGAN BAB IV 4.1 Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya. 4.1.1 Analisa Pelaku

Lebih terperinci

BAB IV: TINJAUAN KHUSUS PROYEK

BAB IV: TINJAUAN KHUSUS PROYEK BAB IV: TINJAUAN KHUSUS PROYEK 4.1. Profil Proyek Perencanaan Hotel Wisma NH berada di jalan Mapala Raya no. 27 kota Makasar dengan pemilik proyek PT Buanareksa Binaperkasa. Di atas tanah seluas 1200 m2

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PROYEK

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PROYEK BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PROYEK 3.1 Lokasi Proyek 3.1.1 Umum Berdasarkan observasi, KAK dan studi literatur dari internet buku naskah akademis detail tata ruang kota Jakarta Barat. - Proyek : Student

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis 185 BAB VI HASIL PERANCANGAN Bab enam ini akan menjelaskan tentang desain akhir perancangan apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis tapak dan objek. 6.1 Tata Massa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1. Pengertian Tema 3.1.1. Green Architecture (Arsitektur Hijau) Banyak orang memiliki pemahaman berbeda-beda tentang Green Architecture, ada yang beranggapan besaran volume bangunan

Lebih terperinci

RUMAH SUSUN DAN PASAR DI JAKARTA BARAT KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TEMA: ARSITEKTUR HEMAT ENERGI. TUGAS AKHIR Semester Genap Tahun 2009/2010

RUMAH SUSUN DAN PASAR DI JAKARTA BARAT KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TEMA: ARSITEKTUR HEMAT ENERGI. TUGAS AKHIR Semester Genap Tahun 2009/2010 RUMAH SUSUN DAN PASAR DI JAKARTA BARAT KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TEMA: ARSITEKTUR HEMAT ENERGI TUGAS AKHIR Semester Genap Tahun 2009/2010 Disusun Oleh : Nama : Teddy Tanoto Nim : 0800787214 JURUSAN

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. V. 1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan. mengenai isu krisis energi dan pemanasan global.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. V. 1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan. mengenai isu krisis energi dan pemanasan global. BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V. 1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan Konsep dasar perancangan kostel ini yaitu untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi mahasiswa Binus University, khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI II. 1. TINJAUAN UMUM II. 1. 1. Pengertian Apartemen Tempat tinggal, (terdiri atas kamar duduk, kamar tidur, kamar mandi, dapur, dsb) yang berada pada satu lantai bangunan

Lebih terperinci

BAB VI KONSEP RANCANGAN

BAB VI KONSEP RANCANGAN BAB VI KONSEP RANCANGAN Lingkup perancangan: Batasan yang diambil pada kasus ini berupa perancangan arsitektur komplek Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh meliputi fasilitas terapi, rawat inap, fasilitas

Lebih terperinci

KUESIONER. Fasilitas yang diperlukan untuk asrama (boleh pilih lebih dari satu) a. Kantin. e. Laundry b. Warnet. f. Mini Market c.

KUESIONER. Fasilitas yang diperlukan untuk asrama (boleh pilih lebih dari satu) a. Kantin. e. Laundry b. Warnet. f. Mini Market c. KUESIONER Angkatan : Jurusan : Jenis Kelamin : L / P Kota Asal : Tempat tinggal selama kuliah: a. Kost b. Orang tua / rumah sendiri c. Saudara Seandainya di BiNus terdapat asrama mahasiswa, apakah Anda

Lebih terperinci

APARTEMEN MENENGAH DI KAWASAN CENGKARENG DENGAN PENDEKATAN DESAIN PENCAHAYAAN ALAMI PADA BUKAAN JENDELA

APARTEMEN MENENGAH DI KAWASAN CENGKARENG DENGAN PENDEKATAN DESAIN PENCAHAYAAN ALAMI PADA BUKAAN JENDELA APARTEMEN MENENGAH DI KAWASAN CENGKARENG DENGAN PENDEKATAN DESAIN PENCAHAYAAN ALAMI PADA BUKAAN JENDELA Augusta Chistopher, Sigit Wijaksono, Susilo Kusdiwanggo Universitas Bina Nusantara, Jakarta Chrizzt_13@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. menyelesaikan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini jenis data yang. penyinaran cahaya matahari yang didapatkan.

BAB 3 METODE PENELITIAN. menyelesaikan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini jenis data yang. penyinaran cahaya matahari yang didapatkan. BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuanitatif yang akan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer

Lebih terperinci

BAB IV PENENTUAN INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI

BAB IV PENENTUAN INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI BAB IV PENENTUAN INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI Petunjuk Teknis RTRW Kota Cimahi merupakan penjelasan lebih lanjut dari RTRW Kota Cimahi. Beberapa ketentuan yang belum diatur dan ketentuan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil dari uraian bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pasar Gembrong Cipinang Besar perlu diremajakan. Hal ini dikarenakan kualitas fisik dan aktivitas

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN DAN PERENCANAAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN DAN PERENCANAAN BAB V KONSEP PERANCANGAN DAN PERENCANAAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan Untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar dalam suatu perguruan tinggi dibutuhkan suatu suasana dan lingkungan yng mendukung.

Lebih terperinci

BAB VI KLASIFIKASI KONSEP DAN APLIKASI RANCANGAN. dirancang berangkat dari permasalahan kualitas ruang pendidikan yang semakin

BAB VI KLASIFIKASI KONSEP DAN APLIKASI RANCANGAN. dirancang berangkat dari permasalahan kualitas ruang pendidikan yang semakin BAB VI KLASIFIKASI KONSEP DAN APLIKASI RANCANGAN Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bagi Anak Putus Sekolah Di Sidoarjo dirancang berangkat dari permasalahan kualitas ruang pendidikan yang semakin menurun.

Lebih terperinci

BAB III : DATA DAN ANALISA

BAB III : DATA DAN ANALISA BAB III : DATA DAN ANALISA 3.1. Data Fisik dan Non Fisik Gambar 29. Lokasi Tapak 1. Data Teknis Lokasi : Area Masjid UMB, JL. Meruya Selatan Luas lahan : 5.803 m 2 Koefisien Dasar Bangunan : 60 % x 5.803

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Topik dan Tema Proyek Hotel Kapsul ini menggunakan pendekatan sustainable design sebagai dasar perencanaan dan perancangan.

Lebih terperinci

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Dasar Perencanaan dan Perancangan Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building Rumah Susun dan Pasar ini adalah adanya kebutuhan hunian

Lebih terperinci

Evaluasi Kualitas Pencahayan Alami Pada Rumah Susun Sebelum dan Setelah Mengalami Perubahan Denah Ruang Dalam

Evaluasi Kualitas Pencahayan Alami Pada Rumah Susun Sebelum dan Setelah Mengalami Perubahan Denah Ruang Dalam Jurnal Reka Karsa Jurusan Teknik Arsitektur Itenas No. 1 Vol. 4 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional [Februari 2016] Evaluasi Kualitas Pencahayan Alami Pada Rumah Susun Sebelum dan Setelah Mengalami

Lebih terperinci

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Ada beberapa fasilitas fisik di kamar tidur 1 yang belum ergonomis, yaitu tempat tidur ukuran double, meja rias, kursi rias dan console table. 2. Fasilitas

Lebih terperinci

Kegiatan ini dilakukan penghuni apartemen

Kegiatan ini dilakukan penghuni apartemen BAB 4 ANALISIS DATA 4.1 Analisis Aspek Manusia Analisa yang dilakukan pada aspek ini membahas kegiatan penghuni apartemen, staf pengelola dan karyawan apartemen, serta tamu yang datang di apartemen. Analisa

Lebih terperinci

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB III: DATA DAN ANALISA BAB III: DATA DAN ANALISA 3.1. Data Fisik dan Non Fisik 2.1.1. Data Fisik Lokasi Luas Lahan Kategori Proyek Pemilik RTH Sifat Proyek KLB KDB RTH Ketinggian Maks Fasilitas : Jl. Stasiun Lama No. 1 Kelurahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Gambaran Umum Proyek Judul Proyek : Rumah Susun Bersubsidi Tema : Green Architecture Lokasi : Jl. Tol Lingkar Luar atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) Kel. Cengkareng Timur -

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Simpulan dalam laporan ini berupa konsep perencanaan dan perancangan yang merupakan hasil analisa pada bab sebelumnya. Pemikiran yang melandasi proyek kawasan transit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian Kuantitatif dengan cara observasi simulasi, dimana di dalam penelitian akan dilakukan pengamatan, pengukuran,

Lebih terperinci

FORM INSPEKSI. f. Issue Lingkungan : Air/ Udara/ Bunyi/ Keterangan : g. Analisis Resiko : Banjir/ Kebakaran/ Longsor/ Keamanan/

FORM INSPEKSI. f. Issue Lingkungan : Air/ Udara/ Bunyi/ Keterangan : g. Analisis Resiko : Banjir/ Kebakaran/ Longsor/ Keamanan/ FORM INSPEKSI Nama Pemberi Tugas : Tujuan Penilaian : Dasar Penilaian : Tanggal Penilaian : Tanggal Inspeksi : Nama Penilai/Surveyor : DAERAH SEKITAR PROPERTI YANG DINILAI 1 DATA LINGKUNGAN a. Karakteristik

Lebih terperinci

BAB V METODOLOGI DAN ALAT PENGUKURAN

BAB V METODOLOGI DAN ALAT PENGUKURAN BAB V METODOLOGI DAN ALAT PENGUKURAN A. Pengukuran Kenyamanan Termal 1. Titik Ukur Untuk pengukuran temperatur dan kelembaban udara, maka disiapkan denah untuk menentukan titik dimana kita akan melakukan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berikut ini adalah diagram konsep adaptif yang akan diterapkan pada SOHO :

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berikut ini adalah diagram konsep adaptif yang akan diterapkan pada SOHO : BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Konsep Adaptif pada SOHO Berikut ini adalah diagram konsep adaptif yang akan diterapkan pada SOHO : Gambar 5.1 Diagram Konsep Adaptif pada SOHO Sumber: Data Olahan Pribadi,

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. kendaraan dan manusia akan direncanakan seperti pada gambar dibawah ini.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. kendaraan dan manusia akan direncanakan seperti pada gambar dibawah ini. BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Konsep Perancangan Tapak 5.1.1 Pintu Masuk Kendaraan dan Manusia Dari analisa yang telah dibahas pada bab sebelumnya pintu masuk kendaraan dan manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan dan permintaan hunian di

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan dan permintaan hunian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan dan permintaan hunian di Jakarta,sehingga Pemerintah sekarang ini tidak mampu menyediakan hunian secara semuanya. Adanya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. UCAPAN TERIMAKASIH... ii. ABSTRAK... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. UCAPAN TERIMAKASIH... ii. ABSTRAK... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI LEMBAR PENGERAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL...... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. RINI SUGIARTI, S.Ars Gambar 10. Denah Dan Ukuran Bangunan Eksisting (Sumber : Data Penulis, 2017)

BAB III ANALISIS. RINI SUGIARTI, S.Ars Gambar 10. Denah Dan Ukuran Bangunan Eksisting (Sumber : Data Penulis, 2017) BAB III ANALISIS BAB III ANALISIS 3.1 ANALISIS BATAS DAN BENTUK TAPAK 3.1.1 Desain Eksisting Lahan dengan luas netto 445,5 m² seluruhnya di gunakan sebagai perancangan bangunan Rumah Kost tanpa Lahan Parkir.

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perancangan V.1.1 Kebutuhan Luas Ruangan Gedung Asrama Putri Ruang Standart Sumber Kapasitas Jumlah Luas (m 2 ) Unit 2 orang 12,25 m 2 / kmr Asumsi

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN

BAB VI HASIL PERANCANGAN 1 BAB VI HASIL PERANCANGAN 6.1 Site Plan Akses masuk ke site ini melalui jalan utama. Jalan utama tersebut berasal dari arah Cicaheum Bandung. Jalur mobil/ kendaraan di dalam bangunan dibuat satu arah

Lebih terperinci

BAB V KONSEP. perencanaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta Barat ini adalah. Konsep Fungsional Rusun terdiri dari : unit hunian dan unit penunjang.

BAB V KONSEP. perencanaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta Barat ini adalah. Konsep Fungsional Rusun terdiri dari : unit hunian dan unit penunjang. BAB V KONSEP V. 1. KONSEP DASAR PERENCANAAN Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di awal, maka konsep dasar perencanaan Rumah Susun Sederhana di Jakarta Barat ini adalah. Menciptakan sebuah ruang

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Simpulan dalam laporan ini berupa konsep perencanaan dan perancangan yang merupakan hasil analisa pada bab sebelumnya. Pemikiran yang melandasi proyek kantor yang

Lebih terperinci

HASIL PERANCANGAN ... BAB IV. 4.1 Deskripsi Umum Projek

HASIL PERANCANGAN ... BAB IV. 4.1 Deskripsi Umum Projek BAB IV HASIL PERANCANGAN 4.1 Deskripsi Umum Projek Tema yang dibahas dalam perancangan ini adalah Reborn, merupakan bagian dari kehidupan atau perjalanan yang tampak dari kacang hijau, pada saat itu kita

Lebih terperinci

sekitarnya serta ketersediaannya yang belum optimal (pada perbatasan tertentu tidak terdapat elemen gate). d. Elemen nodes dan landmark yang

sekitarnya serta ketersediaannya yang belum optimal (pada perbatasan tertentu tidak terdapat elemen gate). d. Elemen nodes dan landmark yang BAB 5 KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian secara subyektif (oleh peneliti) dan obyektif (pendapat responden) maka elemen identitas fisik yang membentuk dan memperkuat karakter (ciri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. seperti pencapaian lokasi hingga lingkungan yang memadai.

BAB IV ANALISA. seperti pencapaian lokasi hingga lingkungan yang memadai. BAB IV ANALISA IV.1. ANALISA ASPEK LINGKUNGAN IV.1.1. Analisis Pemilihan Tapak Penentuan tapak dilakukan melalui perbandingan 2 tapak yang dipilih sebagai alternatif dalam memperoleh tapak dengan kriteria-kriteria

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Konsep Perencanaan dan Perancangan Topik dan Tema Proyek Hotel Kapsul ini memiliki pendekatan Sustainable Design yang secara lebih fokus menitik beratkan kepada

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. V.1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. V.1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan Gambar 5.1 Lokasi Proyek Luas total perancangan Luas bangunan : 26976 m 2 Luas tapak : 7700 m 2 KDB 60% : 4620 m 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perancangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perancangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perancangan Sebagian besar manusia menghabiskan lima puluh persen dari hidup mereka dengan melakukan berbagai kegiatan di dalam lingkungan indoor. (Sundstrom dalam

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. aktivitas sehari-hari. mengurangi kerusakan lingkungan.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. aktivitas sehari-hari. mengurangi kerusakan lingkungan. BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Konsep Umum Perancangan V.1.1. Dasar Perancangan Rusun dan pasar di Jakarta Barat merupakan bangunan yang bersifat sosial dan komersial dimana bangunan nantinya

Lebih terperinci

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB III: DATA DAN ANALISA BAB III: DATA DAN ANALISA 3.1. Data Fisik dan Non Fisik 1.1.1. Data Non Fisik Sebagai stasiun yang berdekatan dengan terminal bus dalam dan luar kota, jalur Busway, pusat ekonomi dan pemukiman penduduk,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN CATATAN DOSEN PEMBIMBING HALAMAN PENGANTAR PERNYATAAN ABSTRAK DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN CATATAN DOSEN PEMBIMBING HALAMAN PENGANTAR PERNYATAAN ABSTRAK DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN CATATAN DOSEN PEMBIMBING HALAMAN PENGANTAR PERNYATAAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL i ii iii v vi viii xi xiv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan pertanyaan penelitian yaitu: mengetahui karakteristik

Lebih terperinci

RUMAH SUSUN DAN PASAR DI JAKARTA BARAT

RUMAH SUSUN DAN PASAR DI JAKARTA BARAT RUMAH SUSUN DAN PASAR DI JAKARTA BARAT KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TUGAS AKHIR Semester Genap Tahun 2008-2009 Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Menempuh Ujian Tugas Akhir Jurusan Arsitektur Fakultas

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN BAB V KONSEP PERENCANAAN 5.1. Dasar Perencanaan Dalam perencanaan rumah susun bersubsidi kriteria utama yang diterapkan adalah : Dapat mencapai kenyamanan di dalam ruang bangunan yang berada pada iklim

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Pencahayaan alami sangat penting dan berguna bagi kesehatan manusia tidak terkecuali lansia yang tingkat daya tahan tubuhnya lebih cepat menurun dibandingkan orang

Lebih terperinci

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. Perancangan Pusat Pemasaran Mebel di Kota Pasuruan ini menggunakan

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. Perancangan Pusat Pemasaran Mebel di Kota Pasuruan ini menggunakan BAB 6 HASIL PERANCANGAN Perancangan Pusat Pemasaran Mebel di Kota Pasuruan ini menggunakan konsep High-Tech Of Wood. Konsep High-Tech Of Wood ini memiliki pengertian konsep perancangan yang mengedepankan

Lebih terperinci

BAB V PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KAMPUS II PONDOK PESANTREN MODERN FUTUHIYYAH DI MRANGGEN

BAB V PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KAMPUS II PONDOK PESANTREN MODERN FUTUHIYYAH DI MRANGGEN BAB V PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KAMPUS II PONDOK PESANTREN MODERN FUTUHIYYAH DI MRANGGEN 5.1. Program Dasar perencanaan Program dasar perencanaan pada kampus II Pondok Pesantren Futuhiyyah terdiri

Lebih terperinci

RENCANA TAPAK. Gambar 5.1 Rencana tapak

RENCANA TAPAK. Gambar 5.1 Rencana tapak BB V HSIL RNCNGN Luas lahan rumah susun ini adalah ±1.3 ha dengan luas bangunan ±8500 m². seperempat dari luas bangunan ditujukan untuk fasilitas umum dan sosial yang dapat mewadahi kebutuhan penghuni

Lebih terperinci

Pengaruh Desain Fasade Bangunan terhadap Distribusi Pencahayaan Alami pada Gedung Menara Phinisi UNM

Pengaruh Desain Fasade Bangunan terhadap Distribusi Pencahayaan Alami pada Gedung Menara Phinisi UNM TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Pengaruh Desain Fasade Bangunan terhadap Distribusi Pencahayaan Alami pada Gedung Menara Phinisi UNM Syavir Latif (1), Nurul Jamala (2), Syahriana (3) (1) Lab.Perancangan, Studio

Lebih terperinci

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB III: DATA DAN ANALISA BAB III: DATA DAN ANALISA 3.1. Data Fisik dan Non Fisik 1. Pemilik, Jenis dan pelayanan Rumah Sakit a. Pemilik : Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta b. Nama Rumah Sakit : RS Jakarta Selatan c. Kelas

Lebih terperinci

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA JAKARTA. : Asrama Mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara ABSTRAK

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA JAKARTA. : Asrama Mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara ABSTRAK JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA JAKARTA Nama Judul : Hendrick Chandra : Asrama Mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara ABSTRAK Kota Jakarta pada saat ini merupakan kota tujuan

Lebih terperinci

DESAIN INTEGRATIF DALAM PERENCANAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA

DESAIN INTEGRATIF DALAM PERENCANAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA KONSEP PELATIHAN PERENCANA BETON PRACETAK JAKARTA, 24 NOVEMBER 2014 DESAIN INTEGRATIF DALAM PERENCANAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA ARS. RONALD L TAMBUN, IAI IKATAN ARSITEK INDONESIA PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN

Lebih terperinci

PENGUKURAN INTENSITAS PENCAHAYAAN PERTEMUAN KE 5 MIRTA DWI RAHMAH, S.KM,. M.KKK. PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PENGUKURAN INTENSITAS PENCAHAYAAN PERTEMUAN KE 5 MIRTA DWI RAHMAH, S.KM,. M.KKK. PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PENGUKURAN INTENSITAS PENCAHAYAAN PERTEMUAN KE 5 MIRTA DWI RAHMAH, S.KM,. M.KKK. PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN PERMASALAHAN Intensitas penerangan yang kurang dapat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Tujuan penyusunan paper tugas akhir ini adalah sebagai syarat untuk kelulusan

KATA PENGANTAR. Tujuan penyusunan paper tugas akhir ini adalah sebagai syarat untuk kelulusan KATA PENGANTAR Tujuan penyusunan paper tugas akhir ini adalah sebagai syarat untuk kelulusan program S1 jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara, dengan telah selesainya penyusunan paper tugas akhir

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Lembar pengesahan Abstrak Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... vii Daftar Lampiran...

DAFTAR ISI. Lembar pengesahan Abstrak Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... vii Daftar Lampiran... DAFTAR ISI Lembar pengesahan Abstrak Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... vii Daftar Lampiran... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah... 1 1.2. Identifikasi

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. yang mampu mengakomodasi kebutuhan dari penghuninya secara baik.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. yang mampu mengakomodasi kebutuhan dari penghuninya secara baik. BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan Pemikiran yang melandasi perancangan dari bangunan kostel ini adalah adanya kebutuhan akan hunian khususnya kos-kosan bertaraf

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Berikut adalah tabel program kebutuhan ruang pada proyek Sekolah Menengah Terpadu:

BAB IV ANALISIS. Berikut adalah tabel program kebutuhan ruang pada proyek Sekolah Menengah Terpadu: BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Fungsional 4.1.1. Analisis Organisasi Ruang Pengorganisasian ruang-ruang pada proyek ini dikelompokkan berdasarkan fungsi ruangnya. Ruang-ruang dengan fungsi yang sama sedapat

Lebih terperinci

SEKOLAH MENENGAH TUNANETRA BANDUNG

SEKOLAH MENENGAH TUNANETRA BANDUNG V. KONSEP PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam merancang sebuah sekolah mengengah luar biasa tunanetra ialah dengan cara membuat skenario perancangan pada desain yang

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan Bentuk Massa Bangunan Berdasar Analisa Angin, Matahari dan Beban

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan Bentuk Massa Bangunan Berdasar Analisa Angin, Matahari dan Beban BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.1.1 Bentuk Massa Bangunan Berdasar Analisa Angin, Matahari dan Beban Pendinginan Gambar 58. Massa bangunan berdasar analisa angin dan matahari Gambar 59. Massa

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour BAB VI HASIL PERANCANGAN 6.1 Dasar Perancangan Hasil perancangan Sekolah Dasar Islam Khusus Anak Cacat Fisik di Malang memiliki dasar konsep dari beberapa penggambaran atau abstraksi yang terdapat pada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY 81 BAB V KESIMPULAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Keterkaitan Konsep dengan Tema dan Topik Konsep dasar pada perancangan ini yaitu penggunaan isu tentang Sustainable architecture atau Environmental

Lebih terperinci

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB III: DATA DAN ANALISA BAB III: DATA DAN ANALISA 3.1. Data Fisik dan Non Fisik 3.1.1. Data Fisik Dalam perencanaan dan perancangan RSUD Jakarta Selatan harus memperhatikan beberapa macam kondisi fisik wilayah secara spesifik

Lebih terperinci

5.1.1 Perubahan pada denah Perubahan pada struktur dan penutup atap D Interior dan exterior ruangan

5.1.1 Perubahan pada denah Perubahan pada struktur dan penutup atap D Interior dan exterior ruangan DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i LEMBAR PENGESAHAN...ii KATA PENGANTAR...iii ABSTRAKSI...v DAFTAR ISI...vi DAFTAR GAMBAR...x DAFTAR TABEL...xi BAB I 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 LATAR BELAKANG... 1 1.1.1 Isu Gempa

Lebih terperinci

BAB V KONSEP V.1 Konsep dasar Perencanaan dan Perancangan

BAB V KONSEP V.1 Konsep dasar Perencanaan dan Perancangan BAB V KONSEP V.1 Konsep dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Sistem modular adalah metoda pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan material atau komponen pabrikasi yang dibuat di luar lokasi proyek

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan sesama mahasiswa. tinggal sementara yang aman dan nyaman. keberlanjutan sumber daya alam.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan sesama mahasiswa. tinggal sementara yang aman dan nyaman. keberlanjutan sumber daya alam. BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1. Konsep Umum Perancangan V.1.1. Dasar Perancangan Asrama Mahasiswa Binus University merupakan bangunan hunian yang bersifat sosial, edukatif dan tidak komersial.

Lebih terperinci

BAB V KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA BERTINGKAT TINGGI

BAB V KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA BERTINGKAT TINGGI BAB V KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA BERTINGKAT TINGGI 5.1. Konsep Pengolahan Lahan Rusuna Bertingkat Tinggi 5.1.1. Skenario Pengolahan Lahan Gambar 5.1. Skenario pengolahan

Lebih terperinci