2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Udang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Udang"

Transkripsi

1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Udang Sumberdaya alam (natural resources) pada dasarnya mempunyai pengertian segala sesuatu yang berada di bawah atau di atas bumi, termasuk tanah itu sendiri (Suparmoko 1998). Dengan kata lain, sumberdaya alam adalah sesuatu yang masih terdapat di dalam maupun di luar bumi yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses produksi. Pengertian ini berbeda dengan barang sumberdaya (resources commodity), karena merupakan sumberdaya alam yang sudah diambil dari dalam atau di atas bumi dan siap dipergunakan atau dikombinasikan dengan faktor produksi lainnya untuk menghasilkan produk baru yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen maupun produsen. Udang merupakan bagian dari sumberdaya alam. Wilayah perairan pantai selatan Jawa memiliki potensi sumberdaya udang yang tinggi, khususnya wilayah Cilacap sebagai sentra produksi udang. Di Cilacap banyak sekali ditemukan berbagai jenis udang dengan komoditas utama adalah udang Penaeid. Udang sebagai sumberdaya hayati akuatik, meskipun bersifat dapat pulih (renewable), bukanlah berarti tidak terbatas. Sumberdaya udang perlu dikelola dengan baik sehingga tetap lestari dan bermanfaat secara ekonomi bagi nelayan. Dengan pengelolaan yang baik diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan berkontribusi bagi perekonomian daerah. Pengelolaan sumberdaya udang harus dilaksanakan secara terpadu dengan lingkungan pendukung dan sumberdaya lain yang mempengaruhinya. Menurut Kusumastanto (2002), permasalahan pada pengelolaan perikanan, antara lain meliputi masalah biologi dan masalah ekonomi. Masalah biologi seperti ancaman berkurangnya stok, dan masalah ekonomi seperti borosnya tenaga kerja dan modal. Dalam kapasitas penangkapan yang berlebih serta pendapatan yang menurun, dapat diatasi dengan sistim Individual Transferable Quota (ITQ). Namun sistim ITQ dirasakan kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia, sehingga menyarankan kepada pemerintah agar mempertimbangkan model Territorial Used Right yang dipandang lebih realistis bagi Indonesia dalam memasuki era otonomi daerah. Pengelolaan dilakukan melalui pendekatan 4

2 Community Based Management maupun Co-management, sehingga akan semakin besar kesempatan bagi nelayan lokal, untuk berpartisipasi dalam proses pengelolaan sumberdaya perikanan dan akan menguntungkan masyarakat dan generasi di masa datang. Perikanan tangkap termasuk industri primer karena memanfaatkan sumber daya ikan sebagai kekayaan alam lautan. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pengumpulan dan pengambilan sumberdaya ikan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan atau lainnya. Ikan yang menjadi tujuan penangkapan adalah ikan bersirip, udang, cumi-cumi, hewan karang, kekerangan, atau hewan sejenis moluska termasuk juga benda seperti mutiara, rumput laut dan lain-lain. Jumlah produksi hasil laut yang diambil oleh nelayan tidak boleh melebihi kapasitas produksi yang terkandung dalam potensi sumber daya setiap jenisnya. Udang Penaeid adalah termasuk jenis Decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi, sedangkan jenis-jenis Decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva. Daur hidup dari udang Penaeid dibagi menjadi dua fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai. Udang betina memijah di laut terbuka. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama (nauplius). Selanjutnya setelah 3-8 kali moulting berubah menjadi protozoea, mysis dan pasca larva. Saat pasca larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju dasar perairan. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara-muara sungai. Kemudian berubah menjadi yuwana, makan dan tumbuh di daerah asuhan 3-4 bulan menjadi udang muda, mulai berupaya ke laut dan menjadi udang dewasa kelamin, kawin dengan udang betina kemudian memijah. Yuwana banyak ditemukan di muara sungai dan biasanya pada perairan yang ada mangrovenya. Ruaya udang dikenal sebagai inshoreoffshore migration yaitu dari pantai ke tengah laut dan sebaliknya, sepanjang pantai dan secara vertikal dalam kolom air, dan setelah menetas, larva udang bergerak secara pasif dari daerah pemijahan ke arah pantai dan muara sungai, dan pada fase yuwana meninggalkan lingkungan muara sungai dan memasuki perairan pantai yang lebih dalam (Kirkegaard et al. 1970). 5

3 Menurut Munro (1968) dalam Naamin (1984 dan 1992), life cycles atau daur hidup udang jerbung terbagi menjadi dua fase yaitu fase laut dan fase muara sungai (Gambar 1) dengan tahapan sebagai berikut: 1) Udang jerbung bertelur dan menetas menjadi larva di laut. Telur udang jerbung akan menetas menjadi larva stadium nauplius menurut Teng (1971) dalam Dall et al. (1990) dalam waktu 0,48 hari dan menurut Raje dan Ranade (1972) dalam Dall et al. (1990) dalam waktu 0,88 hari serta menurut Motoh dan Buri (1979) dalam Dall et al. (1990) dalam waktu kurang dari 1 hari. 2) Larva berkembang menjadi post larva masuk ke muara sungai. Menurut Munro (1968) dalam Naamin (1984 dan 1992), perkembangan larva udang penaeid terdiri dari beberapa stadium yaitu mulai dari nauplius menjadi protozoea dan berkembang menjadi mysis dan selanjutnya menjadi post larva. Menurut Garcia dan Le Reste (1981), waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan nauplius menjadi post larva adalah selama sekitar 3 minggu, menurut Raje dan Ranade (1972) dalam Dall et al. (1990) membutuhkan waktu sekitar 13,88 hari dan menurut Motoh dan Buri (1979) dalam Dall et al. (1990) membutuhkan waktu sekitar 9,24 hari. 3) Post larva berkembang menjadi udang remaja kembali ke laut. Menurut Garcia dan Le Reste (1981) dalam Naamin (1984), udang tumbuh dari stadium post larva menjadi stadium yuana (juvenil) di muara dan membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan dan kemudian baru mulai meninggalkan lingkungan muara sungai dan memasuki perairan pantai sebagai udang muda (yuana) dan kemudian migrasi ke laut. 4) Udang remaja berkembang menjadi udang dewasa dan matang telur serta kemudian memijah di laut. Menurut Dall et al. (1990), udang muda bermigrasi ke laut yang lebih dalam, menjadi dewasa, kawin dan memijah. Waktu yang diperlukan untuk menjadi dewasa/induk sekitar 8-20 bulan. Secara singkat pertumbuhan udang adalah telur, nauplius, protozoea, mysis, post larva, yuana (juvenil), udang muda (yuana) dan udang dewasa/induk. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi udang dewasa/induk membutuhkan waktu satu sampai dua tahun. 6

4 Gambar 1 Daur hidup udang Penaeid (Farley 2002) Udang Penaeid termasuk dalam kelas Crustacea. Klasifikasi udang Penaeidae spp adalah sebagai berikut: Phylum: Arthropoda Class: Crustacea Sub class: Malacostraca Series: Eumalacostraca Superorder: Eucarida Order: Decapoda Sub Order: Natantia Section: Penaeidea Family: Penaeidae Sub Family: Penaeinae Genus: Penaeus Spesies: Penaeus merguensis Genus: Metapenaeus Spesies: - Metapenaeus endevouri - Metapenaeus ensis Habitat dan biologi udang Penaeid, benthic hidup di berbagai jenis lingkungan di dasar laut seperti di batu, lumpur, pasir dsb. Pada golongan Penaeus, proses pemijahan berlangsung di lepas pantai, dengan kedalaman antara 10 dan 80 m. Kantung sperma betina berada pada thelycum (alat kelamin yang berada pada kaki bagian belakang) yang digunakan ketika telur luruh. Setelah pembuahan, telur akan menetas dalam beberapa jam. Planktonic larvae akan dibawa oleh arus menuju pantai selama sekitar 3 minggu, dengan ukuran 6 sampai 14 mm. Perkembangan menuju dewasa akan berlangsung di air payau, mulut sungai, danau, daerah mangrove dan diakhiri dengan migrasi di lepas pantai untuk pemijahan kembali (Bianchi 1985). 7

5 Udang Penaeid adalah jenis udang yang berjenis heteroseksual. Kelamin bisa dibedakan dari luar setelah tingkat pasca larva terakhir selesai. Petasma alat kelamin jantan terletak antara pasangan pertama kaki renang, sedangkan thelycum alat kelamin betina terletak antara pasangan keempat dan kelima kaki jalan. Udang dewasa memperlihatkan perbedaan ukuran yang jelas untuk umur, karena udang betina lebih besar dari udang jantan pada umur yang sama. Udang Penaeid tidak mempunyai pasangan seks tertentu (promiscuos). Pembuahan terjadi di luar, udang betina kulitnya harus dalam keadaan lunak, sedangkan udang jantan kulitnya harus dalam keadaan keras untuk menempelkan (impregnation) kantong sperma (spermatophores). Telur yang dilepaskan oleh seekor induk udang diperkirakan sekitar telur pada setiap kali memijah (Tuma 1967). 2.2 Wilayah Pesisir Cilacap Kondisi Umum Wilayah Pesisir Cilacap Menurut Dahuri (2001), wilayah pesisir umumnya merupakan kawasan yang paling padat dihuni, serta menjadi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan pembangunan. Kawasan pesisir di dunia termasuk di Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan komplek, sehingga menjadi rusak. Di Indonesia, kerusakan wilayah pesisir terutama disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem. Padahal wilayah pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi tumpuan pembangunan nasional pada abad ke-21, oleh karena itu perlu perbaikan yang mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya alam pesisir. Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan. Wilayah perairan pantai Cilacap memiliki nilai yang amat penting, bagi pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam hayati khususnya perikanan dan nirhayati khususnya minyak bumi. Kedua sumberdaya alam dimaksud memiliki ciri pemanfaatan yang berbeda, dan berkaitan satu sama lain. Kondisi pantai Cilacap yang cukup dalam sampai ke pinggir menjadikan daerah ini cocok dikembangkan Pelabuhan Samudera dan sekaligus menjadi pusat industri. Hal tersebut memerlukan pengelolaan dan kerjasama yang baik seluruh stakeholders yang berkepentingan. 8

6 Secara ekologis kawasan perairan Cilacap didominasi oleh ekosistem mangrove seluas kurang lebih hektar. Ekosistem tersebut terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari Sungai Kaliyasa dan Laguna Segara Anakan. Laguna Segara Anakan memiliki panjang lebih kurang 12 km dengan debit aliran air m3/detik dan konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l. Debit sungai yang tinggi sangat mempengaruhi formasi vegetasi mangrove di Laguna Segara Anakan. Laguna Segara Anakan sangat berguna sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang. Laguna Segara Anakan merupakan pertemuan antara dua daerah aliran sungai (DAS) besar, yaitu DAS Citandui dan DAS Segara Anakan. Hal tersebut menyebabkan sedimentasi yang tinggi sehingga banyak sekali ditemukan sedimen lumpur carbonaceous, sehingga sangat mendukung pertumbuhan asosiasi mangrove (Waryono 2002). Kepercayaan tradisional masyarakat lokal yang berdomisili di tengah Laguna Segara Anakan meyakini bahwa merekalah yang berhak untuk menguasai sumber daya alam baik dari perairan maupun di kawasan mangrove. Masyarakat lokal tersebut mengambil keuntungan dari berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan kerang, juga memanfaatkan kulit bakau untuk bahan dasar tenun dan daun pohon mangrove untuk atap dan dinding. Jumlah penduduk di Kabupaten Cilacap mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu jiwa tahun 2004, dengan peningkatan penduduk mencapai 0,69 persen per tahun. Penduduk dengan jumlah yang besar akan berpengaruh pula terhadap kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan (Waryono 2002) Mangrove Kelestarian sumberdaya udang sangat bergantung kepada daya dukung lingkungan penunjangnya. Lingkungan penunjang sumberdaya udang adalah ekosistem wilayah pesisir yaitu mangrove, estuaria, padang lamun dan terumbu karang. Kondisi kualitas perairan yang baik dan tidak tercemar juga menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup udang Pengertian Mangrove Mangrove adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan subtropis yang didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitat pohon dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut. Hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau. 9

7 Daerah yang terdapat dalam kawasan pasang surut lingkungan tempat tumbuh mangrove mengandung substrat yang tidak stabil, dengan variasi salinitas yang tinggi dan pasang surut harian yang bersifat fluktuatif. Hal tersebut menyebabkan lahannya menjadi bersifat ekstrim dan tidak dapat dijadikan lahan bagi tumbuhan selain mangrove. Mangrove telah melalui berbagai evolusi fisiologis dan penyesuaian struktural seperti kutikula berlilin pada daun, akar nafas yang beragam dan bibit yang merupakan anakan dari mangrove. Pada akhirnya evolusi dari mangrove menciptakan habitat bersarang dan perkembangbiakan yang penting bagi banyak spesies satwa liar. Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32 Lintang Utara dan 38 Lintang Selatan sebagaimana Gambar 2. Gambar 2 Penyebaran mangrove di seluruh dunia (UNEP 2007) 10

8 Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina yaitu seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar, arang, tanin, bahan pewarna, bahan makanan, bahan obat, serta bahan baku industri, seperti pulp, rayon dan lignoselulosa. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi). Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti secara mendalam hingga diperoleh obat modern (Setyawan et al. 2002) Formasi Mangrove Menurut Setyawan et al. (2002), dalam penelitian pada wilayah perairan pantai selatan Jawa menghasilkan bahwa jumlah keseluruhan spesies mangrove komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi pada 10 muara sungai di pantai selatan Jawa lebih banyak daripada di Segara Anakan, masing-masing 29 dan 27 spesies. Spesies yang ditemukan di Segara Anakan umumnya merupakan kelompok mayor dan minor, sedang spesies dari 10 muara sungai umumnya dari kelompok tumbuhan asosiasi. Hal ini terjadi karena pengamatan di Segara Anakan dilakukan pada pusat-pusat distribusi mangrove, dimana invasi tumbuhan asosiasi masih sangat terbatas. Sebaliknya pada 10 muara sungai yang diamati, kecuali Sungai Jeruk Legi-Donan, komunitas mangrove hanya tinggal sisa-sisa (relik), dimana invasi tumbuhan pantai dan spesies asosiasi lainnya sangat tinggi. Apabila pengamatan vegetasi mangrove di Segara Anakan juga dilakukan pada area tepi vegetasi, boleh jadi jumlah spesies asosiasi yang ditemukan akan bertambah. Dalam penelitian Setyawan et al. (2002), spesies mangrove komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi yang dijumpai di 10 muara sungai secara berturut-turut sebanyak 9, 2 dan 18 spesies, sedangkan di Segara Anakan dijumpai secara berturut-turut sebanyak 13, 8, dan 6 spesies. Tumbuhan mangrove 11

9 komponen mayor yang paling sering dijumpai pada muara muara sungai di pantai selatan Jawa adalah Sonneratia alba (9 sungai), disusul Nypa fruticans (6 sungai), Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa (4 sungai). Sedangkan Avicennia marina, Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, dan Rhizophora apiculata masing-masing hanya ditemukan pada satu sungai. Sonneratia alba selaku tumbuhan pionir tampaknya memiliki pola pemencaran dan daya adaptasi lebih baik dari pada spesies lain. Tumbuhan tersebut mampu tumbuh pada lebih banyak muara sungai Fungsi dan Manfaat Mangrove Mangrove mempunyai keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan dan kesehatan. Fungsi mangrove dibedakan menjadi 5 golongan yaitu: 1) Fungsi Fisik (1) Menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut. (2) Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam hari. (3) Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru. (4) Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau, atau sebagai filter air asin menjadi air tawar. 2) Fungsi Kimia (1) Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen. (2) Sebagai penyerap karbondioksida. (3) Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di laut. 3) Fungsi Biologi (1) Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain. (2) Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika. (3) Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut. 12

10 (4) Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar. (5) Sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi udang. (6) Sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton. 4) Fungsi Ekonomi (1) Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan. (2) Penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu. (3) Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga. 5) Fungsi Wisata (1) Sebagai kawasan wisata alam pantai untuk membuat trail mangrove. (2) Sebagai sumber belajar bagi pelajar. (3) Sebagai lahan konservasi dan lahan penelitian. Dixon (1989) dalam Bengen (2001) menggambarkan manfaat hutan mangrove sebagaimana pada Gambar 3. Gambar 3 Manfaat hutan mangrove (Dixon 1989 dalam Bengen 2001) 13

11 2.3 Model Bio-ekonomi Gordon-Schaefer Model produksi hanya dapat mengetahui potensi produksi sumberdaya perikanan dan tingkat produksi maksimumnya. Model tersebut belum mampu menunjukkan potensi industri penangkapan ikan dan belum dapat menentukan tingkat pengusahaan yang maksimum bagi nelayan. Sumberdaya perikanan tangkap merupakan sumberdaya yang open access, artinya setiap orang dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu wilayah perairan tanpa adanya pembatasan. Kecenderungan ini menyebabkan tingkat upaya tangkap ikan meningkat hingga tercapai keseimbangan dimana tidak lagi diperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Dengan perkataan lain dapat dikondisikan daerah tersebut telah mengalami overfishing (Fauzy dan Anna 2005). Untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu wilayah perairan, maka konsep yang harus dikembangkan adalah konsep kepemilikan tunggal (single owner concept) yang menganggap stok sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan sebagai modal (aset) oleh pihak pemilik tunggal, yakni pemerintah daerah. Pemilik tunggal mempunyai tujuan untuk memaksimumkan keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan pada jangka panjang. Titik pada saat keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan sama dengan nol (n = 0) disebut titik open access equilibrium (keseimbangan bionomi). Model bio-ekonomi merupakan hasil penggabungan dari model biologi dan ekonomi. Biasanya model bio-ekonomi penangkapan ikan berdasarkan pada model biologi Schaefer dan model ekonomi dari Gordon. Persamaan tersebut dinamakan model Gordon-Schaefer. Asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Harga ikan (p) dan biaya marginal upaya penangkapan masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan (Fauzy dan Anna 2005). 14

12 Menurut Schaefer (1957) diacu dalam Fauzi dan Anna (2005), perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara metematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut: (dx/dt = f x) dx/dt = xr (1- x/k)... (1) dimana: x = ukuran kelimpahan biomas ikan k = daya dukung alam r = laju pertumbuhan instrinsik f (x) = fungsi pertumbuhan biomas ikan dx/dt = 1aju pertumbuhan biomas Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, maka ukuran kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomas dengan jumlah biomas yang ditangkap, sehingga secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai berikut: dx/ dt = f ( x ) h... (2) dimana : h = hasil tangkapan dan hasil tangkapan, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: h = q.e.x... (3) dimana: q = koefisien teknologi penangkapan E = tingkat upaya penangkapan (effort) Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol (dx/dt = 0), dengan asumsi koefisien teknologi sama dengan satu (q =1) maka diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomassa dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut: dx/dt = f(x) - h = 0 15

13 h = f (x) q.e.z = r.x (1 x / k) (4) sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakann dalam persamaan sebagai berikut: x = k k / re... (5) Dengan mensubsitusikan persamaan (5) ke dalam persamaaan (3), maka diperoleh hubungan fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang menggambarkan antar tingkat upaya (effort) dengan hasil tangkapan (produksi) lestarinya, sehingga secara matematis persamaannya menjadi: h = k.e (k / r)e (6) Dengan memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya penangkapan, maka persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi = TR TC... (7) = p.h c.e... (8) dimana : = keuntungan pemanfaatann sumberdaya p = harga rata-rataa hasil tangkapan c = biaya penangkapan ikan per satuan upaya TR = penerimaan total TC = biaya total penangkapan ikan Dalam kondisi open access, tingkat keseimbang gan akan tercapai padaa saat penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya = E 0A, yang menurut Gordon disebut juga sebagai "bioeconomic equilibrium of open acces fishery". Pada tingkat upaya di bawah E 0A, penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih banyak tertarik untuk meningkatkan upaya panangkapan ikannya. Pada tingkat upaya di atas E 0A biaya total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong pelaku perikanan untuk mengurangi upaya, dengan demikian hanya pada tingkat upaya E 0A, keseimbangan akan tercapai. 16

14 Gambar 4 Keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer (Fauzi dan Anna 2005) Pada Gambar 4, terlihat bahwa keuntungan maksimum akan dicapai pada tingkat upaya MEY, dimana jarak vertikal antara peneriman total dan biaya total mencapai tingkat yang paling tinggi. Tingkat MEY disebut sebagai Maximum Economic Sustainble Yield (MEY). Apabila tingkat upaya pada keseimbangan open access (E 0A ) dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat MEY, ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada keseimbangan open access, jauh lebih banyak dari pada tingkat upaya pada saat MEY, ini berarti bahwa pada keseimbangan open access telah terjadi penggunaan sumberdaya yang berlebihan, yang menurut Gordon disebut sebagai economic overfishing. Overfishing (tangkap lebih) pada hakikatnya adalah penangkapan ikan yang melebihi kapasitas stok (sumberdaya), sehingga kemampuan stok untuk memproduksi pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) menurun. Secara umum overfishing dipilah menjadi dua yaitu overfishing secara biologi (biological overfishing) yang menggunakan poin referensi maximum sustainable yield (MSY) dan overfishing secara ekonomi (economical overfishing) yang menggunakan poin referensi maximum economic sustainable yield (MEY) (Fauzy 2010). 17

15 Overfishing pada dasarnya adalah penangkapan ikan yang melebihi kapasitas daya dukung alam sebenarnya. Economical overfishing (tangkap lebih secara ekonomi) pada hakikatnya adalah situasi dimana perikanan tangkap yang semestinya mampu menghasilkan rente ekonomi yang positif, namun ternyata menghasilkan rente ekonomi yang nihil oleh karena pemanfaatan input (effort) yang berlebihan (Fauzy 2010). 2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem Informasi Geografis dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (Prahasta 2002). Peta merupakan gambaran kenampakan muka bumi pada bidang datar dengan menggunakan skala. Gambar peta merupakan gambaran kenampakan muka bumi yang diperkecil dari kenyataan sebenarnya dan digambarkan dalam bentuk simbol. Peta dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi lingkungan suatu tempat. Peta juga digunakan untuk mendapatkan luasan suatu wilayah (kawasan) misalnya kawasan hutan. Peta akan memiliki tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi apabila peta tersebut kemudian dikonversi menjadi Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan SIG, maka peta tidak hanya sekedar dipahami sebagai gambar 2 dimensi saja, tetapi peta dapat dimaksimalkan pemanfaatannya sebagai alat untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi pembangunan antar sektor, antar institusi, dan antar stakeholders. Pemasukan data ke dalam sistem informasi geografis dilakukan dengan cara digitasi dan tabulasi. Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali, dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan data. Proses manipulasi dan analisa data dilakukan interpolasi spasial dari data non-spasial menjadi data spasial, mengkaitkan data tabuler ke 18

16 data raster, tumpang susun peta yang meliputi map crossing, tumpang susun dengan bantuan matriks atau tabel dua dimensi, dan kalkulasi peta. Keluaran utama dari sistem informasi geografis adalah informasi spasial baru yang dapat disajikan dalam dua bentuk yaitu tersimpan dalam format raster dan tercetak ke hardcopy, sehingga dapat dimanfaatkan secara operasional. Perencanaan spasial atau keruangan di wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan dengan perencanaan spasial di daratan karena 1) perencanaan di daerah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah daratan maupun lautan, 2) aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai. Kedua aspek tersebut saling berinteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis seiring dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi, 3) bentang alam daerah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan. Secara praktis penerapan SIG untuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan adalah 1) Konsep pembangunan basis data, 2) Penentuan ketersediaan wilayah pesisir (Coastal Use Availability), dan 3) Penentuan wilayah pesisir untuk pengembangan (Dahuri 1997). Struktur data spasial dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu struktur data vektor dan raster. Struktur data vektor kenampakan keruangan akan dihasilkan dalam bentuk titik dan garis yang membentuk kenampakan tertentu, sedangkan struktur data raster kenampakan keruangan akan disajikan dalam bentuk konfigurasi sel-sel yang membentuk gambar (Prahasta 2002). Sistem Informasi Geografis (SIG) terdiri dari tiga bagian yang terintegrasi, yaitu 1) Geografi; dunia nyata, atau realita spasial, atauilmu bumi (geografi); 2) Informasi; data dan informasi, meliputi arti dan kegunaanya; dan 3) Sistem; teknologi komputer dan fasilitas pendukung. Dengan kata lain SIG merupakan kumpulan dari tiga aspek dalam kehidupan dunia modern kita, dan menawarkan metode baru untuk memahaminya. Informasi penutupan lahan dapat diekstrak langsung melalui proses interpretasi citra atau foto udara yang kualitasnya baik. Namun demikian, 19

17 informasi tentang penggunaan lahannya tidak dapat diketahui secara langsung.oleh karena itu diperlukan pengecekan lapang untuk mengetahui penggunaanlahan di suatu daerah. Pengecekan lapang atau disebut juga ground truth didefinisikan sebagai observasi, pengukuran, dan pengumpulaninformasi tentang kondisi aktual di lapangan dalam rangka menentukan hubungan antara data penginderaan jauh dan obyek yang diobservasi. Dengan demikian apabila ditemukan perbedaan pola atau kecenderungan yang tidak dimengerti pada data penginderaan jauh, bisa dilakukan verifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak digunakan untuk perencanaan pertanian, industri dan penggunaan lahan. Analisis terpadu terhadap penggunaan lahan, debit air, data kependudukan dan pengaruh dari masingmasing data dapat dilakukan. Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan lahan mangrove dan konversi lahan yang terjadi di pesisir Kabupaten Cilacap dengan bantuan perangkat lunak SIG ArcView dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing. Tahapan atau langkah-langkah dalam analisis spasial akan diuraikan berikut ini dengan menggunakan contoh. Data spasial yang digunakan dalam contoh ini adalah data spasial dalam format ArcView Shapefile (*.shp), dengan nama file sebagai berikut: 1) Vegetasi.shp (data spasial kondisi penutupan lahan); 2) Mangrove.shp (data spasial mangrove); 3) Sedimentasi.shp (data spasial tingkat sedimentasi); dan 4) Bangunan.shp (data spasial kondisi bangunan konversi lahan). Batas wilayah pemetaan dari data spasial pada contoh yang digunakan adalah DAS/Sub DAS Lancar. Sungai Lancar adalah sungai yangbermuara di Segara Anakan. Meskipun sungai dan sistem sungaiyang digunakan dalam contoh ini adalah riil namun data dan informasi untuk setiap kriteria/ parameter telah disesuaikan dengan maksud hanya sebagai contoh untuk mempermudah dalam menjelaskan tahapan teknis penyusunan data spasial lahan kritis. Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial lahan kritis terdiri dari 4 tahap yaitu: 1) Tumpang susun (overlay) data spasial; 2) Editing data atribut; 3) Analisis tabular; dan 4) Presentasi grafis (spasial) hasil analisis. 20

18 2.5 Metode Ishikawa Metode Ishikawa atau disebut diagram tulang ikan (fish-bone diagram) digunakan untuk mencari akar sebab dari suatu masalah. Melalui metode ini telah dicari faktor-faktor yang menjadi penyebab penurunan hasil tangkapan udang di Cilacap. Diagram ini digunakan untuk menyelidiki akibat yang jelek dan untuk mengambil tindakan guna memperbaiki penyebab dan untuk mempelajari penyebab-penyebabnya. Karena bentuk diagram tersebut seperti tulang ikan maka disebut juga diagram tulang ikan (fish-bone diagram) (Ishikawa 1989). Diagram tulang ikan disebut juga diagram sebab akibat (cause effect diagram), Bentuk gambar diagram tulang ikan adalah sebagaimana Gambar 5. Gambar 5 Diagram tulang ikan Langkah-langkah untuk menyusun diagram Ishikawa yang baik dan mendapatkan hubungan sebab akibat yang runut, maka beberapa hal perlu diperhatikan dalam rangka penyusunannya adalah: a. Nyatakan permasalahan yang merupakan akibat utama yang akan ditelusuri penyebabnya; b. Tuliskan akibat utama (masalah utama) tersebut di dalam segi-empat pada posisi kepala ikan; c. Tuliskan ke 4 faktor penyebab primer yaitu SDM, metoda, material dan mesin pada masing-masing 4 cabang utama tulang ikan (jika proses yang dianalisis adalah proses manufakturing). 21

19 d. Kembangkan tiap faktor primer tersebut ke dalam faktor penyebab sekunder. Kemudian faktor penyebab sekunder yang ditemukan dituliskan sebagai ranting pada cabang tulang ikan. e. Ulangi hal yang sama terhadap masing-masing ranting, yaitu kembangkan kemungkinan penyebab tersier dan susunlah ke dalam grafik berupa anak ranting dan seterusnya. f. Pertimbangkan untuk melakukan pemecahan ranting apabila anak ranting yang terbentuk terlalu bertumpuk. g. Periksa kembali semua penyebab yang telah dituliskan, hilangkan hal-hal yang mungkin merupakan suatu akibat (dengan demikian menjadi masalah lain), atau merupakan suatu gejala (dengan demikian menjadi tidak nyata karena tidak dapat diukur, dikontrol atau tidak spesifik). h. Ulangi pemeriksaan terhadap grafik yang diperoleh, eliminasi penyebab yang tidak dapat atau belum dapat diukur dan dikontrol atau dengan kata lain tidak dapat dilakukan perbaikan atas penyebab tersebut karena tidak spesifik. Selain itu lakukan penggantian istilah apabila ada istilah yang kurang tepat atau kurang spesifik. i. Usahakan agar penyebab-penyebab teridentifikasi yang tersisa juga merupakan proses variabel. Sehingga peningkatan dan perbaikan terhadap proses variabel tersebut akan dapat dipastikan memberikan dampak atau akibat yaitu berkurangnya masalah utama atau bahkan hilangnya masalah utama (yaitu masalah yang dituliskan pada posisi kepala tulang ikan). 2.6 Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan sumberdaya udang. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Istilah SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman). Keterangan dalam mendefinisikan SWOT diantaranya yaitu: 1) strengths: faktor internal kekuatan; 2) weaknesses: faktor internal kelemahan; 3) opportunities: faktor eksternal peluang; 4) threats: faktor eksternal ancaman (Rangkuti 1997). 22

20 Identifikasi dalam analisis SWOT merupakan bagian yang sangat penting untuk ketepatan langkah-langkah berikutnya untuk pencapaian tujuan. Analisis ini dimulai dengan menentukan apakah tujuan yang akan dicapai, dan jika ternyata tujuannya tidak tercapai dan mengarah pada tujuan yang berbeda yang tidak dikehendaki maka tahapan prosesnya diulangi. Tahapan analisis SWOT adalah, sebagai berikut: 1) Tetapkan tujuan. Mendefinisikan apa tujuan organisasi yang akan dicapai. 2) Lingkungan pemindaian. Penilaian internal SWOT organisasi, ini perlu untuk menyertakan sebuah penilaian situasi sekarang serta portofolio produk/jasa dan analisis dari siklus/produk jasa hidup. 3) Analisis strategi yang ada, ini harus memperhitungkan kondisi internal dan eksternal. 4) Isu strategis didefinisikan sebagai faktor kunci dalam pengembangan rencana perusahaan yang harus ditangani oleh organisasi. 5) Mengembangkan revisi strategi baru dimana revisi analisis isu-isu strategis bisa berarti dan diperlukan untuk mengubah tujuan. 6) Menetapkan faktor penting keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan implementasi strategi kebijakan yang baru. 7) Persiapan operasional, sumber daya, proyek rencana implementasi strategi. 8) Hasil pemantauan berupa pemetaan terhadap rencana, mengambil tindakan korektif yang dapat berarti mengubah tujuan/strategi. 2.7 Analytic Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hierarki Analisis (PHA) digunakan untuk membantu menyusun suatu prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi kriteria) (Saaty 1991). Dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan, AHP sangat membantu dalam menemukan satu yang paling sesuai dengan tujuan. Pada awal pengembangannya, yang dilakukan berdasarkan matematika dan psikologi, AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970 dan telah secara ekstensif dipelajari dan disempurnakan sejak itu. Sistem tersebut menyediakan kerangka kerja yang komprehensif dan rasional untuk penataan 23

21 masalah keputusan, sehingga dapat mewakili dan mengukur unsur-unsur, untuk elemen-elemen yang berkaitan dengan tujuan secara keseluruhan, dan untuk mengevaluasi solusi alternatif. Hal ini digunakan di seluruh dunia dalam berbagai situasi pengambilan keputusan, baik pada bidang pemerintah, bisnis, industri, kesehatan, dan pendidikan. Beberapa perusahaan menyediakan perangkat lunak komputer bahkan AHP dilakukan dalam proses untuk membantu dalam operasional kegiatan. Penggunaan AHP dilakukan pada awalnya untuk representasi keputusan mereka ke dalam hierarki lebih mudah dipahami berdasarkan sub-masalah, masing-masing yang dapat dianalisis secara independen. Unsur-unsur hierarki dapat berhubungan dengan setiap aspek dari keputusan apa pun masalah berwujud atau tidak berwujud, suatu permasalahan yang diukur atau diperkirakan secara kasar, baik atau buruknya secara langsung akan berpengaruh pada semua yang berlaku untuk keputusan yang akan dilakukan. Setelah hierarki dibangun, barulah pembuat keputusan dapat mengevaluasi berbagai elemen dengan membandingkan mereka satu sama lain dua sekaligus, sekaligus dampak terhadap elemen atas perlakuan dalam hirarki. Dalam melakukan perbandingan, para pembuat keputusan bisa menggunakan data konkret tentang unsur-unsur, atau mereka bisa menggunakan penilaian mereka tentang makna relatif unsur-unsur kepentingan yang dimiliki. Ini adalah esensi dari AHP bahwa penilaian manusia, dan bukan hanya informasi yang mendasari, dapat digunakan dalam melakukan evaluasi. AHP mengkonversi evaluasi ini untuk numerik nilai-nilai yang dapat diolah dan dibandingkan selama rentang seluruh masalah. Sebuah bobot numerik atau prioritas diturunkan untuk setiap elemen hierarki, sehingga sering dapat dibandingkan elemen dan beragam akan dibandingkan satu sama lain dalam cara yang rasional dan konsisten. Kemampuan ini membedakan AHP dari teknik pembuatan keputusan lainnya. Pada langkah akhir dari proses, prioritas numerik dihitung untuk masing-masing alternatif keputusan. Angka-angka ini merupakan kemampuan relatif alternatif untuk mencapai tujuan keputusan, sehingga mereka membiarkan pertimbangan langsung dari berbagai kursus tindakan. 24

22 Gambar 6 Diagram Proses Hierarki Analisis (PHA) Diagram di atas menunjukkan sebuah hierarki AHP sederhana pada akhir proses pengambilan keputusan. Prioritas numerik, berasal dari masukan para pembuat keputusan, disajikan untuk setiap node dalam hirarki. Dalam keputusan ini, tujuannya adalah untuk memilih suatu perihal yang paling sesuai berdasarkan empat kriteria tertentu. Kriteria yang paling penting akan dengan mudah mencapai tujuan, diikuti oleh kriteria lainnya. Faktor-faktor ini memiliki karakteristik masing-masing. Menjalankan suatu proses yang membutuhkan keputusan langsung, Analytic Hierarchy Process (AHP) sangat berguna dalam kasus dimana suatu tim atau orang yang bekerja pada masalah yang kompleks, terutama mereka dengan taruhan tinggi, yang melibatkan persepsi dan penilaian manusia, yang memiliki resolusi jangka panjang akibatnya. Faktanya analisis ini memiliki kelebihan unik ketika unsur-unsur dan karakteristik penting dalam proses pengambilan keputusan, dirasa sulit untuk mengukur atau membandingkan, atau dimana komunikasi antara anggota tim yang terhambat oleh spesialisasi yang berbeda, atau dari perspektif yang berbeda. Keputusan untuk situasi dimana AHP dapat diterapkan mencakup: 1) Pilihan - Pemilihan salah satu alternatif dari satu perangkat alternatif, biasanya dimana ada kriteria keputusan yang terlibat. 2) Peringkat - Puting satu set alternatif guna dari paling sedikit diinginkan 3) Prioritas - Menentukan kebaikan relatif dari anggota dari satu set alternatif, sebagai lawan memilih satu tunggal atau hanya peringkat mereka 4) Alokasi sumber daya - Pembagian sumber daya di antara satu set alternatif 25

23 5) Benchmarking - Membandingkan proses dalam organisasi sendiri satu dengan orang-orang dari organisasi best-of-breed lainnya 6) Manajemen mutu - Berurusan dengan aspek multidimensi kualitas dan peningkatan kualitas. Aplikasi AHP untuk situasi keputusan yang kompleks memiliki angka dalam ribuan, dan telah menghasilkan banyak hal pada masalah yang melibatkan perencanaan, alokasi sumber daya, penetapan prioritas, dan pemilihan di antara alternatif. Indikator lainnya termasuk peramalan, manajemen kualitas total, proses bisnis re-engineering, fungsi penyebaran kualitas, dan balanced scorecard. Banyak aplikasi AHP tidak pernah dilaporkan kepada masyarakat pada umumnya, karena merupakan konsumsi tingkat tinggi dalam organisasi besar di mana keamanan dan privasi pertimbangan melarang pengungkapan mereka.tetapi beberapa penggunaan AHP telah dibahas dalam literatur. Baru-baru ini telah termasuk: 1) Memutuskan bagaimana cara terbaik untuk mengurangi dampak global perubahan iklim (Fondazione Eni Enrico Mattei); 2) Mengukur keseluruhan kualitas dari sistem perangkat lunak (Microsoft Corporation); 3) Memilih peringkat Perguruan Tinggi diluar negeri (Bloomsburg University of Pennsylvania); 4) Memutuskan lokasi pembangunan pengeboran minyak lepas pantai (Cambridge University); 5) Menilai resiko dalam operasi lintas-negara pipa minyak bumi (American Society of Civil Engineers); 6) Memutuskan bagaimana cara terbaik untuk mengelola DAS (Pemerintah Kota Surabaya). AHP sering pula digunakan dalam merancang prosedur yang sangat spesifik untuk situasi tertentu, seperti rating bangunan berdasarkan makna bersejarah. AHP merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun suatu prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi criteria). Karena sifatnya yang multi kriteria, AHP cukup banyak digunakan dalam penyusunan prioritas. Sebagai contoh, untuk menyusun prioritas penelitian, pihak manajemen lembaga penelitian sering menggunakan beberapa kriteria seperti dampak penelitian, biaya, kemampuan SDM, danjuga mungkin waktu pelaksanaan. 26

24 Di samping bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu proses yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur. Kegiatan tersebut dilakukan oleh ahliahli yang representatif berkaitan dengan alternatif-alternatif yang akan disusun prioritasnya. Secara garis besar, ada tiga tahapan AHP dalam penyusunan prioritas, yaitu: 1) Dekomposisi dari masalah; 2) Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi; dan 3) Sintesis dari prioritas. 1) Dekomposisi Masalah Dalam menyusun prioritas, maka masalah penyusunan prioritas harus mampu didekomposisi menjadi tujuan (goal) dari suatu kegiatan, identifikasi pilihan-pilihan (options), dan perumusan kriteria (criteria) untuk memilih prioritas. Langkah pertama adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan prioritas. Untuk kasus pemilihan supplier, tujuan kegiatan adalah untuk memilih pemasok terbaik. Dalam kasus pemilihan riset proposal, tujuan kegiatan mungkin mencari topik/proposal penelitian yang terbaik. Setelah tujuan dapat ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan kriteria dari tujuan tersebut. Berdasarkan tujuan dan kriteria, beberapa pilihan perlu diidentifkasi. Pilihan-pilihan tersebut hendaknya merupakan pilihan-pilihan yang potensial, sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak. Untuk penyusunan prioritas penelitian, pilihan yang mungkin adalah judul/topik penelitian yang diusulkan oleh peneliti. 2) Penilaian/Pembandingan Elemen Setelah masalah terdekomposisi, maka ada dua tahap penilaian atau membandingkan antar elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria dimaksudkan untuk menentukan bobot untuk masingmasing kriteria. Di sisi lain, perbandingan antar pilihan untuk setiapkriteria dimaksudkan untuk melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria. Dengan perkataan lain, penilaian ini dimaksudkan untuk melihat seberapa penting suatu pilihan dilihat dari kriteria tertentu. 27

25 Dalam melakukan penilaian/perbandingan, Saaty mengembangkan AHP mengunakan skala dari 1/9 sampai dengan 9. Jika pilihan A dan B dianggap sama (indifferent), maka A dan B masing-masingg diberi nilai 1. Jika misalnya A lebih baik/lebih disukai dari B, maka A diberi nilai 3 dan B diberi nilai 1/3. Jika A jauh lebih disukai dengann B, maka A misalnyaa diberi nilai 7 dan B diberi nilai 1/7. Penilaian ini tidak akan digunakan dalam tulisan ini karena caraa tersebut kurang logis. Sebagaimana contoh, jika A nilainyaa 7 dan B adalah 1/7, maka perbedaan antara A dengan B hampir mendekati 700% %. Suatu alternatif penilaiann yang digunakan oleh Bourgeois (2005) yang memakai skala antara 0.1 sampai dengan 1.9 dinilai lebih logis seperti disajikan pada Tabel 1. Jika A sedikit lebih baik/disukai dari B, maka A diberi nilai 1. 3 dan B dinilai 0.7, mengindikasikan jarak sekitar 30% dari nilai 1. Jika A jauh lebih disukai oleh B, maka nilai A menjadi 1.6 dan B menjadi 0.4. Cara penilaian seperti ini akan digunakan dalam tulisan ini. Tabel 1 Skala penilaian Dengan menggunakan penilaian seperti Tabel 1, maka perbandingan antar kriteria akan menghasilkan Tabel 2. Untuk memudahkan, dalam tabel diasumsikan hanya ada empat kriteria. Pada Tabel 2 dapat dirangkum sebagai berikut: 1) c ij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j 2) c i. merupakan penjulahan nilai yang dimiliki kriteria ke i 3) c merupakan penjumlahan semua nilai ci. 4) Bobot kriteria ke i diperoleh dengan membagi nilaii ci. dengan c. 28

26 Tabel 2 Perbandingan antar kriteria Dengan menggunakan prosedur yang sama, maka dilakukan perbandingan antar pilihan (OP) untuk masing-masing kriteria. Tabel 3 berikut mengilustrasikan perbandingan antar pilihan (4 pilihan) untuk kriteria 1 (C 1 ) dengan penjelasan sebagai berikut: 1) o ij merupakan hasil penilaian/permbandingan antara pilihan i dengan k untuk kriteria ke j 2) o i. merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke i 3) merupakan penjumlahan semua nilai oi. 4) bo ij merupakan nilai pilihan ke i untuk kriteria ke j Proses penilaian antar pilihan ini terus dilakukan untuk semua kriteria. Sebagai catatan, penilaian sebaiknya dilakukan oleh ahlinya dan stakeholder utama. Biasanya, jumlah ahli bervariasi, bergantung pada ketersediaan sumberdaya. Penilaian dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing-masing ahli ataupun dengan melakukan suatuu pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian tersebut. Untuk studi kasus ini, penilaian dilakukan dengan mengumpulkan para tenaga ahli. Tabel 3 Perbandingan antar pilihan untuk kriteria C1 29

27 3) Sintesis Penilaian. Sintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP. Pada dasarnya, sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara mum, nilai suatuu pilihan adalah sebagai berikut :... (1) bop i = nilai/ bobot untuk pilihan ke i Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Untuk memudahkan, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat pilihan seperti Tabel 4 berikut. Sebagai contoh nilai prioritas/bobot pilihan 1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada ktiteria dengan nilai yang terkait dengan kriteria tersebut untuk pilihan 1 sebagai berikut: bop i = bo 11 * bc 1 + bo 12 * bc 2 + bo 13 * bc 3 + bo 14 4* bc 4...(2) Hal yang identik dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4. Dengan membandingkan nilai yang diperoleh masing-masi ing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya, dan sebaliknya. Tabel 4 Sintesa penilaian 30

MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA UDANG PENAEIDAE SPP DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH. Oleh : TRIONO PROBO PANGESTI

MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA UDANG PENAEIDAE SPP DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH. Oleh : TRIONO PROBO PANGESTI MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA UDANG PENAEIDAE SPP DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH Oleh : TRIONO PROBO PANGESTI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Udang Kabupaten Cilacap Sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Cilacap khususnya usaha perikanan tangkap udang memiliki peranan yang penting dalam perekonomian Cilacap.

Lebih terperinci

EVALUASI LUASAN KAWASAN MANGROVE UNTUK MENDUKUNG PERIKANAN UDANG DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

EVALUASI LUASAN KAWASAN MANGROVE UNTUK MENDUKUNG PERIKANAN UDANG DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No.1, Mei 2012 Hal: 35-43 EVALUASI LUASAN KAWASAN MANGROVE UNTUK MENDUKUNG PERIKANAN UDANG DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH (Evaluation of the Mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan daerah peralihan antara laut dan darat. Ekosistem mangrove memiliki gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang cukup luas dimana sebagian wilayahnya merupakan wilayah perairan. Wilayah pesisir menjadi penting karena merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan ini mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi lainnya. Keunikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 75% dari luas wilayah nasional berupa lautan. Salah satu bagian penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai, dan

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Menurut Mac Nae (1968), pada mulanya hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kawasan ahli

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci