Wulan Ariana Lestari, Heri Tjandrasari, Wahyu Andrianto. Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Wulan Ariana Lestari, Heri Tjandrasari, Wahyu Andrianto. Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi"

Transkripsi

1 Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Pembuatan dan Pemasangan Gigi Tiruan Cekat Pada Tukang Gigi Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Wulan Ariana Lestari, Heri Tjandrasari, Wahyu Andrianto Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi wulan.ariana@yahoo.com Abstrak Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi. Dengan meninjau mengenai tanggung jawab tukang gigi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Undang- Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, dan Peraturan Menteri Kesehatan terkait pekerjaan tukang gigi, serta upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang dirugikan akibat komplikasi pasca perawatan pada tukang gigi. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan desain penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menyarankan dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh dinas kesehatan terkait serta pentingnya dilakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak terjebak pada dilema perawatan yang tidak sesuai standar. Kata kunci: perlindungan konsumen, tukang gigi, gigi tiruan cekat. Law Protection For Consumer Making and Installation Services of Permanent Denture By Dental Worker According to the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 and the Health Act No. 36 of 2009 Abstract This thesis discusses about legal protection for consumers services making and installation of permanent denture by dental worker. With the review of the responsibilities of salesman in the Consumer Protection Act No. 8 of 1999, the Health Act Number 36 of 2009, and the regulation of the Minister of health related dental worker. Research conducted is normative legal research in descriptive research. The results of this research suggest that the education to society about dental health is important and also dental worker need to controlled by the Department of health. Keywords: consumers protection, dental worker, denture.

2 Pendahuluan Gigi tiruan merupakan teknologi di bidang kedokteran gigi yang berfungsi untuk mengembalikan fungsi gigi yang disebabkan karena kehilangan gigi. Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh adanya karies atau gigi berlubang, penyakit periodontal (penyakit gusi seperti gusi bengkak), penyakit sistemik (seperti pada penderita Diabetes Melitus), faktor fisiologis (misalnya, gigi hilang karena usia lanjut) ataupun trauma pada gigi (seperti serangan pada wajah ketika berolahraga). 1 Jika kehilangan gigi tidak diatasi, maka akan berdampak pada terganggunya fungsi mengunyah, berbicara, dan estetik seseorang. Dahulu sebelum lembaga kedokteran gigi ada, kebutuhan tenaga kesehatan gigi (dokter gigi) didatangkan langsung dari Eropa (Belanda). Namun, pada saat itu jumlah dokter gigi dari Eropa yang dapat bekerja dan mau bekerja di Hindia Belanda sangat terbatas. Itupun sebagian besar hanya untuk melayani kalangan Eropa yang bermukim di Indonesia. Jika orang-orang pribumi menderita penyakit gigi, maka mereka memanfaatkan jasa dukun, tukang gigi, atau tabib dengan pengobatan tradisional dan sebagian lainnya membiarkan penyakit gigi yang dialaminya untuk sembuh dengan sendirinya. Pada saat itu, masyarakat menganggap bahwa sakit gigi bukanlah sakit yang dapat menimbulkan kematian dan kebersihan gigi bukanlah hal penting yang harus dilakukan sepanjang gigi masih bisa untuk mengunyah makanan dengan baik. 2 Pada zaman tersebut, hal yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut merupakan adat dan kebiasaan. Pelayanan yang ada biasanya seperti mengunyah sirih, melapisi gigi dengan emas atau logam, dan pemotongan gigi atau pangur. 3 Namun sekarang, di saat jumlah dokter gigi yang teregistrasi sudah sampai orang, 4 masih banyak dijumpai jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan yang bukan dilakukan oleh dokter gigi. Contohnya adalah jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan oleh ahli gigi pinggir jalan yang sebenarnya adalah tukang gigi. Pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh secara turun temurun menjadi landasan mayoritas tukang gigi berani membuka praktik secara mandiri. 1 Ardyan Gilang Ramadhan, Serba- Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, (Jakarta: Bukuné, 2010), hlm Bimo Rintoko, Sejarah Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia, fkg08.web.unair.ac.id/artikel_detail Umum- SEJARAH%20PENDIDIKAN%20KEDOKTERAN% 20GIGI%20DI%20INDONESIA%20.html, diunduh tanggal 14 Mei 2014 pukul WIB. 3 R.Hartono, Etika dan Prostetik Muthakhir Kedokteran Gigi, (Jakarta: EGC, 1994), hlm Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Tentang PDGI, us, diunduh 1 Mei 2014 pukul WIB.

3 Berdasarkan wawancara Penulis dengan seorang tukang gigi di wilayah Jakarta Timur, izin yang diperoleh tukang gigi dalam menjalankan pekerjaannya bukanlah dari Pemerintah, melainkan dari suatu perkumpulan tukang gigi yang diberi nama Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (Astagiri). Menurut seorang tukang gigi di Jakarta, untuk memperoleh izin membuka praktik tukang gigi cukup mudah, yakni hanya dengan mendaftarkan diri saja kepada Astagiri. Setelah itu, surat izin pun sudah dapat diperoleh tukang gigi yang bersangkutan. Terkait dengan perizinan tukang gigi, Kementerian Kesehatan tidak mengeluarkan izin baru bagi tukang gigi sejak 6 (enam) bulan setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/69 (untuk selanjutnya disebut dengan Permenkes nomor 53 tahun 1969) Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi. Pasal 2 Permenkes nomor 53 tahun 1969 menyatakan bahwa semua tukang gigi harus mendaftarkan diri pada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan setelah peraturan ini dikeluarkan. Artinya, semua tukang gigi harus mendaftarkan diri pada Menteri Kesehatan agar dapat menjalankan pekerjaan sebagai tukang gigi yakni selambat-lambatnya pada Maret Di luar jangka waktu tersebut, maka tidak ada izin baru bagi tukang gigi. Kemudian, keluarlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 (untuk selanjutnya disebut Permenkes nomor 339 tahun 1989) Tentang Pekerjaan Tukang Gigi yang menjadikan tidak berlakunya Permenkes nomor 53 tahun Inti dari Permenkes nomor 339 tahun 1989 adalah pembaruan izin bagi tukang gigi dan pembatasan kewenangan tukang gigi menjadi membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian atau penuh tanpa menutup sisa akar gigi. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan melakukan evaluasi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/ 2011 (untuk selanjutnya disebut Permenkes nomor 1871 tahun 2011) tentang Pencabutan Permenkes nomor 339 tahun 1989 dengan tujuan melindungi masyarakat dari kelalaian tukang gigi. Alasan diundangkannya Permenkes nomor 1871 tahun 2011 adalah pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukan merupakan kewenangan tukang gigi. Pasal 2 ayat (1) Permenkes nomor 1871 tahun 2011 menyatakan bahwa tukang gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang gigi sampai berlakunya Peraturan ini (Maret 2012) dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan

4 dan tidak dapat diperpanjang kembali. 5 Jika tukang gigi tidak mengindahkan aturan dalam Permenkes nomor 1871 tahun 2011, maka akan terancam dengan sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp (seratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun Tidak lama setelah diundangkannya Permenkes nomor 1871 tahun 2011, muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang Perubahan Permenkes nomor 1871 tahun Alasan diundangkannya Permenkes nomor 026 tahun 2012 adalah pemberlakukan Permenkes nomor 1871 tahun 2011 membutuhkan persiapan dalam pelaksanaannya sehingga perpanjangan waktu pemberlakukan Permenkes nomor 1871 tahun 2011 perlu diperbarui. Dengan demikian, tukang gigi hanya boleh melakukan pekerjaannya sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam Permenkes nomor 1871 tahun 2011 sampai 30 September 2012 atau sampai habis masa berlaku izin 6 tukang gigi yang bersangkutan. 7 Namun, pada tahun 2012, muncul putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-X/2012 yang memutuskan bahwa tukang gigi yang memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana diatur dalam Permenkes nomor 53 tahun 1969 tidak akan terkena ancaman pidana dalam Pasal 73 ayat (2) jo Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran sepanjang ia menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan peraturan perundangundangan bagi tukang gigi. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009? 5 Kementerian Kesehatan (b), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Pasal 2 ayat (1). 6 Izin yang dimaksud merupakan izin yang diberikan kepada tukang gigi oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 53/DPK/I/K/69. 7 Kementerian Kesehatan (c), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Pasal I.

5 2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban tukang gigi atas tindakannya yang mengakibatkan komplikasi penyakit yang dialami konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat? Tujuan umum dari dilakukannya penelitian ini adalah agar konsumen mengetahui hak yang dimiliki konsumen dan terhindar dari perbuatan pelaku usaha yang merugikan konsumen. Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui mengenai: 1. Perlindungan hukum konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun Pertanggungjawaban tukang gigi kepada konsumen atas tindakannya yang mengakibatkan komplikasi penyakit yang dialami konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat. Tinjauan Teoritis Penerima Jasa Pembuatan dan Pemasangan Gigi Tiruan Cekat Pada Tukang Gigi Sebagai Konsumen UUPK tidak menyebutkan secara tegas penerima jasa pemasangan gigi tiruan termasuk pengertian konsumen. Maka itu, untuk dapat dikatakan sebagai konsumen, penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat harus memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka 2 UUPK yang mendefinisikan konsumen sebagai berikut: Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Jika kita uraikan pengertian konsumen tersebut maka akan diperoleh unsur-unsurnya, yakni: 1) Orang. Subyek hukum yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang (individu alamiah) yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Dalam hal ini, pemakai barang dan/atau jasa tukang gigi adalah individu alamiah yang memanfaatkan jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat dari tukang gigi. 2) Pemakai.

6 Kata pemakai menekankan bahwa konsumen yang diatur dalam UUPK adalah konsumen akhir (ultimate consumer). 8 Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam hal ini, konsumen tukang gigi merupakan pemakai gigi tiruan cekat yang dibuatkan oleh tukang gigi dan juga pemanfaat jasa tukang gigi dalam hal pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat. 3) Barang dan/atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untukdiperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 9 Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap pelayanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 10 Dalam hal ini, penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan menerima suatu barang yakni gigi tiruan yang berasal dari hasil transaksi dengan tukang gigi dimana ada proses pemberian jasa pemasangan gigi tiruan cekat yang dilakukan oleh tukang gigi. 4) Yang tersedia dalam masyarakat. Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Tetapi, dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat ini sudah tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembangan perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunan selesai dibangun. Dalam hal jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan, gigi tiruan merupakan barang yang menjadi obyek jual beli antara konsumen tukang gigi dan tukang gigi yang bersangkutan. Ketika gigi tiruan dipasangkan dalam rongga mulut konsumen tukang gigi tersebut artinya barang tersebut sudah tersedia baginya. Berdasarkan keterangan dari salah satu tukang gigi yang penulis wawancarai, biasanya tukang gigi dapat langsung menbuatkan dan memasangkan gigi tiruan cekat pada 8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.1, (Jakarta:PT Grasindo, 2000), hlm Indonesia (3), Undang- Undang Perlindungan Konsumen, op.cit, Pasal 1 butir Ibid., Pasal 1 butir 5.

7 konsumennya dalam satu kali kunjungan. Namun, untuk satu set gigi tiruan lepasan biasanya dilakukan pemesananan terlebih dahulu sebelum dipasangkan dalam rongga mulut konsumennya. 11 5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi konsumen mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan yang tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga diperuntukkan bagi orang di luar diri sendiri dan keluarga, bahkan makhluk hidup lain. Terkait dengan penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan, termasuk dalam pemanfaat jasa untuk kepentingan diri sendiri karena peruntukkan gigi tiruan yang dipakainya memang untuk dirinya sendiri (bersifat individual), yakni gigi tiruan tersebut dicetak berdasarkan ukuran dan bentuk gigi konsumennya. 6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan. Hal tersebut lebih mempertegas lagi pengertian konsumen dalam UUPK, yaitu konsumen akhir. 12 Dalam hal penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan, gigi tiruan cekat yang dipasangkan dalam rongga mulut konsumen tukang gigi merupakan barang yang tidak untuk diperdagangkan kepada orang lain karena peruntukkannya yang bersifat individual bagi sang pemakai karena gigi tiruan tersebut tercetak sesuai dengan bentuk dan ukuran konsumennya. Dengan demikian, penerima jasa pemasangan gigi tiruan merupakan konsumen bagi tukang gigi karena memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka 2 UUPK. Tukang Gigi Sebagai Pelaku Usaha Untuk dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, tukang gigi harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 3 UUPK memberikan definisi pelaku usaha yang berbunyi: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan 11 Wawancara dengan seorang tukang gigi (SA) di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Wawancara dilakukan pada 2 Mei 2014 pukul WIB. 12 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, op.cit., hlm. 4.

8 usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Berikut penjabaran unsur dalam Pasal 1 angka 3 UUPK: 1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Subjek hukum yang diatur dalam UUPK dapat berupa orang perseorangan atau badan usaha. Dalam hal ini, tukang gigi tergolong dalam subjek orang perseorangan karena melakukan kegiatan usahanya secara mandiri. Contohnya, dalam papan jasa sebuah praktik tukang gigi bertuliskan Tukang Gigi (Z), memiliki maksud bahwa (Z) adalah tukang gigi yang akan menangani pembuatan dan pemasangan gigi tiruan konsumennya. 2. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Pelaku usaha yang diatur dalam UUPK merupakan pelaku usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Dari hasil pengamatan Penulis, tukang gigi sering dijumpai membuka praktiknya di pinggir jalan, khususnya di wilayah Jakarta. Dengan demikian, praktik tukang gigi didirikan dan berkedudukan atau melakukan melakukan kegiatan usaha di wilayah hukum negara Republik Indonesia. 3. Sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. UUPK mengatur bahwa usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan usaha, harus dilakukan secara sendiri ataupun bersama-sama. Dalam hal ini, tukang gigi melakukan kegitaan usahanya secara sendiri karena praktik tukang gigi bukanlah badan usaha. Selain itu, tukang gigi juga mendapatkan imbalan yang biasanya berupa uang dari konsumennya sebagai hasil dari barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumennya sebagai bentuk menyelenggarakan kegiatan dalam bidang ekonomi. Berdasarkan wawancara Penulis dengan seorang tukang gigi di Jakarta, berawal dari pengetahuan yang diajarkan sanak saudaranya, tukang gigi biasanya langsung membuka praktik secara mandiri di depan rumahnya. Namun, di Jakarta terdapat perkumpulan tukang gigi yang diberi nama Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (Astagiri) di mana untuk menjadi anggota

9 Astagiri harus mendaftarkan diri sebagai tukang gigi. Kemudian, tukang gigi yang bersangkutan akan mendapatkan izin dari Astagiri untuk berpraktik sebagai tukang gigi. 13 Dengan demikian, tukang gigi dapat dikatakan sebagai pelaku usaha karena memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka 3 UUPK. Hak-Hak Konsumen Hak konsumen menurut ketentuan UUPK, antara lain: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk. Misalnya, konsumen membeli suplemen makanan dengan tujuan meningkatkan stamina, bukan menambah keluhan penyakit akibat suplemen kadaluarsa. 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini pula konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen (baik barang maupun jasa), atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain, maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi. Selain itu, konsumen juga diberi hak untuk mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu 13 Wawancara dengan seorang tukang gigi (SA) di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Wawancara dilakukan pada 2 Mei 2014 pukul WIB.

10 barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/atau jasa yang diperolehnya. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan atau sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah mengenai manfaat atau kegunaan produk; efek samping atas penggunaan produk; tanggal kadaluwarsa; serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklaniklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan menguntungkan baik konsumen maupun produsen. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun

11 secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk dengan menempuh jalur hukum. 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk. Dengan pendidikan konsumen, diharapkan konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, misalnya setiap orang mendapatkan layanan jasa rumah sakit tanpa dibedakan berdasarkan suku, agama, maupun ras. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materil, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

12 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 14 Yang termasuk dalam hak ini yakni, misalnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 15 Dari kesembilan butir hak konsumen di atas dapat dilihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diperjualbelikan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen, maka konsumen diberi hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan maka konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi hingga ganti rugi. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang alat pengumpul datanya adalah studi dokumen dan wawancara. Dengan demikian, peneliti berusaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bahan kepustakaan mengenai hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan, disamping itu juga menggunakan pendapat para ahli yang tersebar dalam berbagai buku dan bahan lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas: 1. Bahan hukum primer Penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan pada tukang gigi seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/69 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang 14 Indonesia (3), Undang- Undang Perlindungan Konsumen, op.cit., Pasal Ahmadi Miru, Prinsip- Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 111.

13 Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi. 2. Bahan hukum sekunder Penulis menggunakan bahan-bahan yang akan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku, artikel, skripsi, serta data-data lainnya yang mendukung penyusunan skripsi ini. Penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku mengenai hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan, seperti buku Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar karya AZ Nasution, buku Prinsip- Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia karya Ahmadi Miru, dan Bab- Bab Hukum Kesehatan karya Verbogt dan F. Tengker. 3. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, atau disebut juga bahan penunjang dalam penelitian ini. Penulis menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai pedoman penulisan. Adapun data yang digunakan sebagai penunjang dalam pembahasan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan wawancara kepada narasumber yang merupakan ahli dalam bidang kedokteran gigi. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala. 16 Penulis akan menjabarkan data yang diperoleh di lapangan seperti hasil wawancara dengan tukang gigi terkait pekerjaannya dan hasil wawancara dengan konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi yang kemudian akan penulis pergunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif, yakni metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori- 16 Sri Mamudji, et.al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

14 teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. 17 Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan atas setiap data yang didapatkan. Kemudian, hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk pemaparan yang bersifat deskriptif. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Pembahasan penelitian merupakan jawaban atas masalah yang dirumuskan pada awal penelitian. Hasil Penelitian Hasil penelitian dari skripsi ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hak-hak bagi konsumen, baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang- Undang Kesehatan, diterapkan dalam hal perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi serta pertanggungjawaban dari pihak tukang gigi atas kerugian yang dialami konsumennya. Pembahasan Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 40/PUU-X/2012, seorang saksi ahli, drg. Andreas Adyatmaka, MSc mengungkapkan pekerjaan menyimpang yang dilakukan oleh tukang gigi. Pada kasus yang ditanganinya, pasien (sebut saja A) datang kepada Ahli dalam keadaan sakit gigi yang luar biasa. Pasien mengatakan sakit semua, tetapi tidak tahu di mana sakitnya. Kemudian, Ahli mencoba melihat gigi pasien (A) dan ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Terdapat gigi tiruan cekat yang dipasang dengan bahan self-curing acrylic (bahan akrilik yang dapat mengeras melalui suhu ruang) dan bocor. 2. Ketika dilakukan foto rontgen, gigi-gigi itu disambung dengan kawat. Kemudian, di atas kawat itu ditaruh akrilik dan di atas akrilik dipasang gigi. 3. Terjadi kebocoran yang menyebabakan pulpitis (radang) yang sangat sakit. 4. Terjadi resorpsi akar (degradasi atau penguraian akar). 17 Ibid., hlm. 5.

15 Setelah mendiagnosis pasien (A), Ahli menawarkan kepada pasien (A) agar gigi tersebut dibongkar dan pasien (A) menyetujuinya. Setelah dibongkar, ditemukan potongan dari bahan self-curing acrylic, ada kawatnya, ada gigi, banyak karang giginya, kotoran gigi, dan bau busuk. Pasien (A) mengatakan kepada ahli bahwa pada waktu gigi tiruan cekat dipasang langsung bagus, langsung enak, dan meminta kepada tukang gigi (X) supaya memasangkan gigi tiruan untuk istrinya. Namun, setelah 2 (dua) tahun, pasien (A) dan istrinya tersebut merasakan sakit yang luar biasa. Berikut Analisisnya. Pasal 4 UUPK Pasal 4 huruf (a) UUPK yang menyatakan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. 18 Sakit gigi yang dialami (A) dapat tergolong sebagai bentuk ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam pemakaian gigi tiruan cekat buatan tukang gigi (X). Pemasangan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi dapat membahayakan konsumen tukang gigi yang bersangkutan karena banyak tukang gigi yang melakukan pemasangan gigi tiruan cekat pada sisa akar gigi asli untuk tipe gigi tiruan mahkota (crown) dan pada gigi yang berada di sebelah gigi yang hilang untuk tipe gigi tiruan jembatan (bridge). Tindakan ini dapat menyebabkan penumpukan plak (karang gigi) sehingga menimbulkan iritasi pada jaringan lunak, bau mulut, hingga kematian gigi yang bersangkutan dan kerusakan tulang rahang. Terkait dengan kasus ini, tukang gigi (X) telah melanggar hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf (a) UUPK karena (A) harus mengalami rasa sakit gigi yang luar biasa akibat kesalahan penanganan yang dilakukan oleh tukang gigi (X). Pasal 7 huruf (a) UUPK Pasal 7 huruf (a) UUPK menyatakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya, yaitu beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 19 Dalam kasus dikatakan bahwa tukang gigi (X) melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada (A) yang merupakan tindakan melampaui kewenangan tukang gigi sebagaimana telah diatur dalam dalam Pasal 7 Permenkes nomor 339 tahun Kewenangan tersebut yakni membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik, sebagian atau penuh dan 18 Indonesia (3),Undang- Undang Perlindungan Konsumen, op.cit, Pasal 4 huruf (a). 19 Indonesia (3),Undang- Undang Perlindungan Konsumen, op.cit, Pasal 7 huruf (a).

16 memasang gigi tiruan lepasan tanpa menutupi sisa akar gigi. 20 Sedangkan tukang gigi (X) telah melakukan tindakan di luar kewenangan tersebut, maka hal ini menjadi bukti bahwa tukang gigi (X) tidak memiliki itikad baik dalam melakukan pekerjaannya yang tidak sesuai dengan kewenangan dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, tukang gigi (X) telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (a) UUPK yang merupakan wujud itikad tidak baik terhadap (A). Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. 21 Dengan adanya aturan dalam Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan, maka setiap orang dilindungi haknya untuk sehat. Pasal 94 Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Artinya Undang-Undang Kesehatan mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi setiap orang melalui pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Atas dasar itulah, maka keluarlah Permenkes nomor 1871 tahun 2011 di mana dalam bagian pertimbangannya menyatakan bahwa pelayan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukanlah merupakan tukang gigi. Melalui Permenkes 1871 tahun 2011, tukang gigi boleh melakukan pekerjaannya hanya Maret Kemudian, setelah dikeluarkannya Permenkes 1871 tahun 2011, keluarlah Permenkes 026 tahun 2012 di mana tukang gigi mendapatkan perpanjangan waktu dalam melakukan pekerjaannya sampai 30 September Dengan demikian, dengan adanya Undang-Undang Kesehatan sesungguhnya telah ada perlindungan hukum bagi masyarakat. Terkait dengan pertanggung jawaban bagi tukang gigi untuk mengganti kerugian terhadap konsumen tukang gigi, UUPK telah mengakomodasi pilihan penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK. 22 Dalam hal ini, gugatan yang dapat diajukan kepada tukang gigi (X) adalah gugatan Perbuatan Melawan 20 Kementerian Kesehatan (a), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/ V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Pasal Indonesia (2), Undang- Undang Kesehatan, op.cit., Pasal Indonesia(3), Undang- Undang Perlindungan Konsumen, op.cit. Pasal 45 ayat (1).

17 Hukum melalui Pengadilan. Hal ini dikarenakan putusan pengadilan memiliki daya eksekusi sehingga pemenuhan ganti rugi sebagai pertanggungjawaban pelaku usaha dapat ditegakkan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk melawan hukum atau tidak, maka terdapat 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi, yakni adanya perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kerugian, adanya kesalahan, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Pasal 1365 KUH Perdata Untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk melawan hukum atau tidak, maka terdapat 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi, unsur-unsur tersebut adalah: 1. Adanya suatu perbuatan Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (dilakukan secara pasif). 23 Dalam kasus ini, tukang gigi (X) melakukan suatu perbuatan kesengajaan dengan melakukan penanganan yang salah dalam pemasangan gigi tiruan cekat kepada (A) yang berakibat pada kerugian yang dialami oleh (A) setelah dipasangkan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi (X). Dengan demikian unsur perbuatan bagi tukang gigi (X) dalam kasus ini terpenuhi. 2. Perbuatan tersebut melawan hukum Perbuatan pada unsur pertama dikatakan memenuhi unsur kedua yaitu melawan hukum apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain. b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. c. Bertentangan dengan kesusilaan. d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian (patiha) Rosa Agustina, dkk. Hukum Perikatan (Law of Obligations),Ed. 1, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm Ibid, hlm. 9.

18 Unsur-unsur di atas bersifat alternatif, artinya suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum dengan dipenuhinya salah satu unsur dari melawan hukum. Berikut penjabarannya terkait dengan kasus tukang gigi (X) dan Saudari (A). Putusan 40/PUU-X/2012 diputuskan pada tahun 2012, artinya kasus pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat sebagaimana diungkapkan oleh Drg. Andreas Adyatmaka terjadi sebelum tahun 2012 dan pasien (A) datang kepada ahli setelah 2 (dua) tahun memakai gigi tiruan cekat buatan tukang gigi (X). Dengan demikian, tukang gigi (X) terikat dengan aturan mengenai pekerjaan tukang gigi sebagaimana diatur dalam Permenkes nomor 339 tahun Pasal 7 Permenkes nomor 339 tahun 1989 menyatakan bahwa kewenangan tukang gigi hanya sebatas membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik (sebagian atau penuh) dan memasang gigi tiruan lepasan tanpa menutup sisa akar gigi. 25 Sedangkan pada kasus ini, tukang gigi (X) telah membuat gigi tiruan cekat dan memasangkan gigi tiruan cekat kepada (A). Dengan demikian, tukang gigi (X) melanggar kewenangan yang telah diberikan Permenkes nomor 339 tahun 1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Selain itu, aturan mengenai larangan bagi tukang gigi juga diatur dalam Pasal 9 huruf (b) Permenkes nomor 339 tahun 1989 yang salah satunya menyatakan bahwa tukang gigi dilarang melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat atau mahkota atau tumpatan tuang dan sejenisnya. 26 Terkait dengan kasus ini, dikatakan bahwa ketika dilakukan foto rontgen, gigi-gigi itu disambung dengan kawat. Kemudian, di atas kawat itu ditaruh acrylic dan di atas acrylic dipasang gigi. Dengan demikian, gigi tiruan yang dibuat oleh tukang gigi (X) adalah gigi tiruan cekat. Maka, tukang gigi (X) telah melanggar ketentuan dalam Pasal 9 huruf (b) Permenkes nomor 339 tahun Adanya kesalahan dari pelaku Unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan unsur melawan hukum, unsur ini menekankan pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana perbuatan (yang meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi akibat perbuatannya yang salah. 27 Unsur 25 Kementerian Kesehatan (a), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, op.cit., Pasal Ibid., Pasal 9 huruf (b). 27 Ibid., hlm. 10.

19 kesalahan dalam kasus ini yakni pada tindakan tukang gigi yang telah menimbulkan kerugian kesehatan bagi (A) akibat pemasangan gigi tiruan cekat yang di luar standar keilmuan prostodonsia. 4. Ada kerugian bagi korban Adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum dapat dipergunakan. Dalam kasus ini, (A) harus menanggung rasa sakit yang luar biasa akibat pemasangan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi (X). Kerugian ini termasuk dalam kerugian immateril. Sementara itu, (A) juga harus menanggung kerugian materil yakni biaya pemasangan gigi tiruan yang dibayarkan kepada tukang gigi (X). 5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat yang harus dipenuhi dari suatu perbuatan melawan hukum. Hubungan kausal yang terjadi yakni tindakan pemasangan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi yang tidak sesuai dengan standar prosedur keilmuan prostodonti dan di luar batas kewenangan yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 339 tahun 1989 menjadi sebab dari kerugian yang dialami oleh (A), yakni timbulnya rasa sakit yang luar biasa. Dengan demikian, tindakan tukang gigi dalam kasus ini memenuhi unsur Perbuatan Melawan Hukum dan dapat dimintai pertanggungjawabannya. Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran Terhadap pertanggungjawaban pidana juga dapat dituntut kepada tukang gigi (X) karena telah melanggar Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran yaitu larangan menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. 28 Oleh karena pelanggaran itu, maka sanksi yang dapat diterima pelaku usaha yang dalam hal ini adalah tukang gigi sebagaimana Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran nyatakan bahwa pelanggaran Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran dapat dipidana dengan pidana penjara 28 Indonesia (1), Undang- Undang Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No.116 Tahun 2004, TLN No.4431, Pasal 73 ayat (2).

20 paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp (seratus lima puluh juta rupiah). 29 Kesimpulan 1. Perlindungan hukum bagi konsumen, khusunya konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi, sesungguhnya telah diakomodir dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan. 2. Pertanggungjawaban tukang gigi dalam memberikan ganti rugi kepada konsumennya yakni dapat ditempuh melalui gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri. Saran 1. Pembinaan tukang gigi dapat dilakukan oleh dinas kesehatan. Kemudian, dilakukan pengawasan rutin terhadap tukang gigi agar tidak bertindak di luar batas kewenangannya 2. Edukasi mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang teregistrasi kepada masyarakat perlu dilakukan melalui berbagai media cetak maupun elektronik agar masyarakat tahu dampak yang mungkin akan timbul jika memanfaatkan jasa yang tidak teregistrasi untuk melakukan tindakan di bidang kesehatan. 3. Mewajibkan tukang gigi menempelkan aturan terkait tukang gigi, seperti Permenkes nomor 53 tahun 1969, Permenkes 339 tahun 1989, Permenkes 1871 tahun 2011, dan Permenkes 026 tahun Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang ingin menggunakan jasa tukang gigi tahu bahwa sesungguhnya tukang gigi tersebut tidak boleh melakukan hal-hal di luar kewenangannya. 29 Ibid., Pasal 78.

21 Daftar Referensi Agustina, Rosa. et.al. Hukum Perikatan (Law of Obligations). Ed. 1. Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Ardyan Gilang Ramadhan, Serba-Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, (Jakarta: Bukuné, 2010), hlm. 85. Hartono, R. Etika dan Prostetik Muthakhir Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC, Indonesia. Undang Undang Tentang Praktik Kedokteran. UU No. 29 Tahun LN No.116 Tahun TLN No Kementerian Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/ V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Mamudji, Sri. et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Ed. 1. cet. 2. Jakarta: Rajawali Pers, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Tentang PDGI, us, diunduh 1 Mei 2014 pukul WIB. Rintoko, Bimo. Sejarah Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia. fkg08.web.unair.ac.id/artikel_detail umum- SEJARAH%20PENDIDIKAN%20KEDOKTERAN%20GIGI%20DI%20INDONESI A%20.html. Diunduh tanggal 14 Mei 2014 pukul WIB. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. cet. 1. Jakarta: PT Grasindo, 2000.

I. PENDAHULUAN. Pada Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa setiap

I. PENDAHULUAN. Pada Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa setiap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb). BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Konsumen 2.1.1. Pengertian Konsumen Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan konsumen adalah pemakai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 40/PUU-X/2012 Tentang Larangan Melakukan Praktek Yang Tidak Memiliki Surat Ijin Praktek Dokter atau Dokter Gigi I. PEMOHON H. Hamdani Prayogo.....

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA Oleh Gek Ega Prabandini I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This study, entitled "Effects Against

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KASUS VAKSIN PALSU DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG Oleh: Ophi Khopiatuziadah * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016 Kejahatan yang dilakukan para tersangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hak dan Kewajiban Konsumen 1. Pengertian Konsumen Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer itu

Lebih terperinci

Regulasi Pangan di Indonesia

Regulasi Pangan di Indonesia Regulasi Pangan di Indonesia TPPHP Mas ud Effendi Pendahuluan (1) Pangan adalah hak asasi setiap rakyat Indonesia karena pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen 1. Pengertian Konsumen Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). 15 Pengertian tersebut secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility atau liability, sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu vereentwoodelijk atau

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN 1 PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN oleh Gusti Ayu Sri Agung Arimas I Nengah Suharta Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Pasal 1 (3) dari Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA Bab ini merupakan inti dalam tulisan ini yang menengahkan tentang upaya perlindungan hukum bagi konsumen rumah makan kamang jaya, pembinaan dan pengawasan Pemerintah Daerah dan instansi terkait terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Ada dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian pengangkut. Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS

BAB III TINJAUAN TEORITIS BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Sosial 1. Hukum Kesehatan Kesehatan merupakan hak asasi manusia, artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses pelayanan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen Pengertian konsumen menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebelum berlakunya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam BAB V PENUTUP A. Simpulan Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam keseluruhan bab yang sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perlindungan terhadap pasien dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. 1 PERLINDUNGAN KONSUMEN setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dan perkembangan perekonomian khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Konsumen 1. Konsep Perlindungan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah: a. tempat berlindung; b. perbuatan (hal dan sebagainya)

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani maupun kesehatan jasmani. Terkait kesehatan jasmani merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. rohani maupun kesehatan jasmani. Terkait kesehatan jasmani merupakan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang membutuhkan kesehatan baik kesehatan rohani maupun kesehatan jasmani. Terkait kesehatan jasmani merupakan suatu hal yang sangat berharga.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam 21 BAB III TINJAUAN UMUM A. Tinjuan Umum Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen 1. Latar belakang Perlindungan Konsumen Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki kewajiban untuk beritikad baik di dalam melakukan atau menjalankan usahanya sebagaimana diatur dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai informasi yang jelas pada kemasan produknya. Pada kemasan produk makanan import biasanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan ekonomi yang semakin cepat memberikan hasil produksi yang sangat bervariatif, dari produksi barang maupun jasa yang dapat dikonsumsi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah. Mayoritas konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen makanan, jadi

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah. Mayoritas konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen makanan, jadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh Anak Agung Gede Adinanta Anak Agung Istri Ari Atu Dewi Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, 2001, hal.vii-viii.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, 2001, hal.vii-viii. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan zaman yang menyebabkan kebutuhan masyarakat akan kecepatan atas akses infomasi dan telekomunikasi semakin tinggi. Perkembangan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Al-Qishthu Volume 13, Nomor 2 2015 185 ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Pitriani Dosen Jurusan Syari ah

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

KONSEP Etika PRODUKSI DAN Lingkungan HIDUP ANDRI HELMI M, SE., MM.

KONSEP Etika PRODUKSI DAN Lingkungan HIDUP ANDRI HELMI M, SE., MM. KONSEP Etika PRODUKSI DAN Lingkungan HIDUP ANDRI HELMI. Pengertian Produksi ETBIS-ANDRI HELMI 1. Produksi yang menghasilkan barang dan jasa baru sehingga dapat menambah jumlah, mengubah bentuk, atau memperbesar

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT PRODUK MAKANAN KADALUARSA

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT PRODUK MAKANAN KADALUARSA TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT PRODUK MAKANAN KADALUARSA Oleh Anak Agung Ayu Manik Pratiwiningrat I Wayan Wiryawan Dewa Gde Rudy Program Kekhususan Hukum Bisnis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal.

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA A. Hak Dan Kewajiban Konsumen 1. Hak-Hak Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah : 1. Hak atas kenyamanan,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TERKAIT PRODUK KOSMETIK YANG MENYEBABKAN KETERGANTUNGAN DI BPOM PROVINSI BALI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TERKAIT PRODUK KOSMETIK YANG MENYEBABKAN KETERGANTUNGAN DI BPOM PROVINSI BALI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TERKAIT PRODUK KOSMETIK YANG MENYEBABKAN KETERGANTUNGAN DI BPOM PROVINSI BALI Oleh : Ni Made Dyah Nanda Widyaswari Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum Bisnis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawat gigi atau behel (bahasa Inggris: dental braces) adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kawat gigi atau behel (bahasa Inggris: dental braces) adalah salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawat gigi atau behel (bahasa Inggris: dental braces) adalah salah satu alat yang digunakan untuk meratakan dan merapikan gigi. 3 Menurut jenisnya, bracket (bagian

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI

Lebih terperinci

HAK-HAK KONSUMEN DALAM PEREDARAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

HAK-HAK KONSUMEN DALAM PEREDARAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN HAK-HAK KONSUMEN DALAM PEREDARAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh I Kadek Surya Tamanbali I Wayan Sutaradjaya Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan aktivitas masyarakat banyak menyebabkan perubahan dalam berbagai bidang di antaranya ekonomi, sosial, pembangunan, dan lain-lain. Kondisi ini menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan, untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. keadilan, untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia dihadapkan pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah pembangunan manusia yang seutuhnya. Seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan, untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

vii DAFTAR WAWANCARA

vii DAFTAR WAWANCARA vii DAFTAR WAWANCARA 1. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan pasien apabila hak-haknya dilanggar? Pasien dapat mengajukan gugatan kepada rumah sakit dan/atau pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi dapat memperluas ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi dapat memperluas ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional yang menghasilkan berbagai variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi dapat memperluas

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan

BAB I PENDAHULUAN. yang menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keinginan manusia untuk tampil cantik dan sempurna khususnya wanita merupakan suatu hal yang wajar. Untuk mencapai tujuannya, banyak wanita yang menghabiskan uangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan aktivitas perdagangan memperluas cara berkomunikasi dan berinteraksi antara pelaku usaha dengan konsumen. Globalisasi dan perdagangan bebas sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 55 Barangsiapa dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA Oleh A.A.Bintang Evitayuni Purnama Putri Edward Thomas Lamury Hadjon Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Konsumen memerlukan barang dan jasa dari pelaku usaha guna memenuhi keperluannya. Sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman dewasa ini membuat masyarakat menginginkan segala sesuatu secara praktis, dalam arti globalisasi telah mempengaruhi gaya hidup dan kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk menyimpan dan meminjam uang. Namun, pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE Oleh Made Indah Puspita Adiwati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper, entitled 'Rights and Obligations

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 178 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan yang sehat. Tujuan dari disampaikannya iklan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. persaingan yang sehat. Tujuan dari disampaikannya iklan tersebut adalah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Untuk memasarkan produknya, pelaku usaha pada umumnya membuat promosi tentang barang dan / atau jasa yang akan diperdagangkan ke masyarakat melalui sarana media

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Wahyu Simon Tampubolon, SH, MH Dosen Tetap STIH Labuhanbatu e-mail : Wahyu.tampubolon@yahoo.com ABSTRAK Konsumen

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN PELAYANAN KESEHATAN NON MEDIS TUKANG GIGI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN PELAYANAN KESEHATAN NON MEDIS TUKANG GIGI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN PELAYANAN KESEHATAN NON MEDIS TUKANG GIGI ABSTRACT Oleh : Yohanna Feryna I Gusti Ayu Puspawati Dewa Gde Rudy Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pertumbuhan industri barang dan jasa yang semakin modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya kebutuhan dalam jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak. memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan Pasal 34 ayat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak. memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan Pasal 34 ayat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN KEMASAN TANPA TANGGAL KADALUARSA

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN KEMASAN TANPA TANGGAL KADALUARSA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN KEMASAN TANPA TANGGAL KADALUARSA oleh: I Gede Eggy Bintang Pratama I Ketut Sudjana Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM 2.1 Konsumen. 2.1.1. Pengertian Konsumen. Pengertian Konsumen di Amerika Serikat dan MEE, kata Konsumen yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dari rokok yang disebut rokok elektrik atau nama lainnya adalah vapor yang

BAB I PENDAHULUAN. baru dari rokok yang disebut rokok elektrik atau nama lainnya adalah vapor yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, terutama di Kota Yogyakarta rokok bukan lagi berupa benda asing untuk dikonsumsi, melainkan telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsinya.

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4 BAB 4 Perselisihan dan Pemutusan Hubungan Kerja 1. Perselisihan dan Pemutusan Hubungan Kerja Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau kaidah kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang

BAB I PENDAHULUAN. atau kaidah kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN

BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN 2005 A. Analisis Implementasi Hak Keamanan Konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi makhluk hidup di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi makhluk hidup di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi makhluk hidup di samping udara, tanah dan cahaya. Makhluk hidup khususnya manusia tidak akan mampu bertahan tanpa

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Dwi Afni Maileni Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Batam Abstrak Perlindungan konsumen

Lebih terperinci

persaingan ketat dan bervariasinya produk yang ditawarkan, akhirnya menempatkan konsumen sebagai subyek yang memiliki banyak pilihan. Menghadapi reali

persaingan ketat dan bervariasinya produk yang ditawarkan, akhirnya menempatkan konsumen sebagai subyek yang memiliki banyak pilihan. Menghadapi reali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat dan kemajuan teknologi telah menimbulkan perubahan cepat pada produk-produk kosmetik, sehingga banyak berdiri industri-industri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penting untuk dapat mempengaruhi pola perdagangan. Kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. penting untuk dapat mempengaruhi pola perdagangan. Kemampuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pesat dan majunya teknologi internet mempermudah untuk mengakses informasi apapun yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya informasi produk. Adanya kemudahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum. Karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum. Karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumen memiliki resiko yang lebih besar dari pada pelaku usaha, hal ini disebabkan posisi tawar konsumen yang lemah. Konsumen harus dilindungi oleh hukum. Karena salah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.97, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Teknis Gigi. Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN TEKNISI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. 1 Hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. 1 Hal ini dapat dilihat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat, dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN.  hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dalam era globalisasi ini semakin menuntut tiap negara untuk meningkatkan kualitas keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka agar

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGATURAN POHON PADA RUANG BEBAS SALURAN UDARA TEGANGAN MENENGAH (SUTM), SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA KLINIK, IZIN USAHA RUMAH BERSALIN, DAN IZIN USAHA LABORATORIUM KLINIK SWASTA

Lebih terperinci