BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun Skripsi tersebut menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap pendidikan di sekolah. Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut, Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di 11

2 12 kalangan mahasiswa, turut mengharumkan almamater Universitas Sebelas Maret Surakarta lewat karya-karyanya, mampu mewarnai dunia seni peran, serta ikut mengayakan wawasan kesusastraan di dunia pendidikan. Kedua, Perkembangan Kelompok Teater Gidag Gidig di Surakarta pada tahun Skripsi itu ditulis oleh Fitri Hadi Wiyanti, mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun Analisis ini mendeskripsikan latar belakang kemunculan Teater Gidag Gidig dalam seni pertunjukan, aktivitas Teater Gidag Gidig di Surakarta, dan bagaimana kontribusi Teater Gidag Gidig bagi masyarakat Surakarta. Simpulan dari penelitian ini adalah: Teater Gidag Gidig memiliki kepedulian terhadap keadaan negeri. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, kerusakan moral, hancurnya lingkungan hidup, serta kebohongan para politisi. Segala aktivitas Teater Gidag Gidig bertujuan agar masyarakat juga mampu membaca semua persoalan di sekitarnya. Teater Gidag Gidig menggunakan konsep teater modern yang dikemas dalam teater tradisi menjadikan mereka lebih dekat dengan masyarakat. Kontribusi Teater Gidag Gidig besar nilainya dalam kancah seni pertunjukan, menjadi wahana kritis, aspiratif dan menambah variasi potensi dan kreativitas seni budaya Indonesia. Ketiga, Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia Disertasi itu ditulis oleh Achmad Syaeful Anwar, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sejarah Universitas Indonesia tahun Analisis ini mendeskripsikan perkembangan Teater Kontemporer Indonesia dalam rentang waktu

3 13 Simpulan dari disertasi ini adalah: diungkapnya suatu kesimpulan peran-peran dari setiap kelompok teater kontemporer terutama dari Bengkel Teater pimpinan Rendra, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, dan Teater Koma pimpian N. Riantiarno. Uraian di atas menggambarkan bahwa di dalam penelitian berjudul Perkembangan dan Aliran Teater Kelompok Kerja Teater TESA , memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut karena penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan perkembangan dan aliran teater sedangkan penelitian-penelitian tersebut meneliti aspek nilai pendidikan, kontribusi bagi masyarakat dan peran-peran dari setiap kelompok teater. 2. Landasan Teori a. Teater Teater didefinisikan serupa oleh banyak pakar. Soemanto (2001: 8) mengatakan, Teater berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa teater sebagai sebuah pertunjukkan yang melibatkan unsur pelaku dan penonton. Pendapat tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riantiarno (2003:7). Teater berasal dari kata theatron (bahasa Yunani/Greek). Untuk memperjelas pengertian teater di atas, Riantiarno menambahkan beberapa pengertian teater sebagai berikut: (1) teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar penonton; (2) teater bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru

4 14 panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas/peristiwanya); dan (3) teater adalah semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka. Teater memang tidak bisa dilepaskan dari drama. Bahkan kedua istilah tersebut dipandang membingungkan karena kemiripan di antara keduanya yang sulit dipilah. Menurut Satoto (2000: 6) jika seni drama itu sedang diproses untuk dipentaskan, proses demikian adalah proses teater. Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti yang lebih luas yakni meliputi: proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik. Perbedaan drama dan teater dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Play (lakon), performance (pertunjukan); (b) Script (naskah), production (produksi); (c) Text (teks), staging (pemanggungan); (d) Author (pengarang), direction (sutradara); (4) Creation (kreasi), interpretation (interpretasi); (f) Theory (teori), practice (praktek). Berdasarkan perbandingan tersebut, Satoto (2000: 6-7) menjelaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Seni drama lebih merupakan lakon yang belum dipentaskan, (b) Skrips atau naskah lakon yang belum diproduksikan, (c) Teks yang belum dipanggungkan, (d) hasil kreasi pengarang yang masih harus ditafsirkan untuk merebut makna, (e) teori yang harus dipraktekkan atau diaplikasikan Lebih jelasnya Tarigan (1993: 73) menjelaskan deskripsi tentang teater dan drama dengan mengungkapkan perbedaan-perbedaan diantara keduanya, sebagai berikut:

5 15 a. Drama sebagai repertoir atau text play adalah hasil sastra milik pribadi, yaitu penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni kolektif. b. Text play masih memerlukan pembaca soliter, sedangkan teater memerlukan penonton kolektif, dan faktor penonton ini sangat penting. c. Text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat dipanggungkan sebagai teater, menjadi seni kolektif. d. Text play adalah bacaan sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan. Senada dengan penjelasan di atas, Harymawan (1986: 2) juga memisahkan definisi antara teater dan darama sebagai berikut: a. Dalam arti luas: Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludrug, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, sulapan, akrobatik, dan sebagainya. b. Dalam arti sempit: Drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media: percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian. Menurut Rahmanto dan Endah Peni Adji (2007: ) drama muncul terlebih dahulu dibandingan teater. Drama digambarkan sebagai peristiwa pertunjukan dalam upacara-upacara pemujaan terhadap dewa. Dalam upacara pemujaan tersebut, terjadi peningkatan secara kuantitas. Semakin hari pengikutnya semakin banyak sehingga

6 16 membentuk lingkaran yang mengelilingi tempat pemujaan tersebut. Lingkaran tersebut lalu disebut sebagai teater atau theatron. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa drama merupakan perbuatan yang dapat ditonton, sedangkan teater adalah tempat untuk menonton perbuatan yang dapat ditonton. Drama dan teater merupakan dua hal yang serupa dengan sedikit perbedaan. Persamaannya terletak pada makna sebuah pertunjukan di atas panggung yang merepresentasikan suatu kejadian dalam kehidupan nyata. Sementara perbedaannya hanyalah sudut pandang dari masing-masing orang dalam memaknai kedua istilah tersebut yang berbeda-beda. Di dalam drama ada teater dan di dalam teater ada drama. Dengan demikian, suatu pertunjukan akan disebut pertunjukan teater apabila ada drama di dalamnya (Dewojati, 2012:16). b. Aliran-aliran Teater Teater memiliki aliran yang sudah berkembang sejak lama. Aliran dalam teater biasanya mengacu pada bentuk dan gagasan yang diusung dalam teater itu sendiri. Aliran memberi pengaruh terhadap hasil karya sebuah kelompok teater. Achmad Syaeful Anwar berpendapat sebagai berikut: Lahirnya aliran-aliran atau gaya (syle/idiom) dalam teater pada dasarnya sejajar dengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan Nouveau Realisme (Realisme Baru) tahun 1960-an maka hal ini terjadi pula pada teater, sehingga dengan demikian ideologi aliran dalam seni lukis memberi pengaruh pula pada teater. Melihat permasalahan mengenai hadirnya aliran atau gaya yang pengertiannya mencakup: mengacu kepada pengertian karya seni individual atau kelompok, yang dihasilkan oleh periode tertentu, kebudayaan tertentu, atau kawasan regional tertentu (Anwar, 2012:59-60)

7 17 Aliran-aliran tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Aliran Klasik Ciri-ciri aliran klasik adalah: (1) tunduk pada hukum trilogi Aristoteles dalam hal kesatuan tempat, waktu, dan gerak, (2) acting-nya bergaya deklamasi, (3) drama lirik lebih banyak ditulis, (4) irama permainan lamban, banyak diselingi dengan monolog, dan bersifat statis, dan (5) materi cerita bergaya Romawi dan Yunani (Waluyo, 2006:58). 2) Aliran Romantik Dalam drama romantik, trilogi Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-ciri aliran ini adalah: (1) isinya bersifat fantastis dan tidak logis, (2) menggunakan bahasa yang mengikuti kaidah tata bahasa, (3) aspek visual ditonjolkan dengan segala perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yang gemerlapan, (4) actingnya sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan, (5) lakonnya biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokohnya sentimental, dan (6) bentuk drama bersifat bebas, artinya bukannya drama lirik seperti pada aliran klasik (Waluyo, 2006:59). 3) Aliran Realisme Realisme pada umumnya adalah aliran seni yang berusaha mencapai ilusi atas penggambaran kenyataan (Harymawan, 1986:84). Yang digambarkan bukannya hal-hal yang berlebihan dan sentimental seperti aliran romantik. Ada dua macam aliran realisme, yaitu: Pertama, realisme sosial (realisme murni), dalam drama dilukiskan kepincangan sosial, penderitaan, dan ketidakadilan untuk maksud

8 18 mengadakan protes sosal. Aliran realisme sosial berbeda dengan aliran naturalisme karena sifatnya optimis, aliran naturalisme bersifat pesimis. Ciri-ciri aliran realisme sosial adalah: (1) pemeran utama biasanya rakyat jelata, misalnya buruh, tani, orang gelandangan, dan sebagainya, (2) acting-nya bersifat wajar seperti dalam kehidupan sehari-hari, (3) aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebih-lebihan, hiasan panggung, pakaian, rias, dan sebagainya tidak berlebihan dan disesuaikan dengan realitas kehidupan sehari-hari, (4) cerita diambil dari kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dengan lebih mengutamakan konflik sosial karena perbedaan sosial. Kedua, realisme psikologis, dalam realisme psikologis yang ditekankan bukan dalam hal kenyataan sosial, tetapi dalam hal kenyataan psikologis para pelakunya. Adapun ciri-ciri realisme psikologis adalah: (1) lebih menekankan diri kepada penonjolan aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh atau lakon, (2) setting-nya bersifat wajar dengan intonasi yang tepat, (3) suasana digambarkan dengan pelambangan (simbolis), dan (4) sutradara mementingkan pembinaan konflik psikologis, disebutkan juga sutradara psikolog, artinya menitikberatkan aspek psikologis daripada dandanan yang bersifat fisik (Waluyo, 2006: 59-60). Ciri lain yang menonjol dari teater realisme ialah sifatnya yang sangat sastrawi (literer) (Anwar, 2012: 61). 4) Aliran Surealisme Surealisme merupakan kebalikan dari realisme. Realisme mengganggap teater sebagai kenyataan sedangkan surealisme mengganggap teater sebagai ketidaknyataan (mimpi). Seperti pendapat Achmad Syaeful Anwar sebagai berikut:

9 19 Dadaisme melahirkan gerakan Surealisme yang berkembang dalam dekade 20-an. Bagi kaum surealis kebenaran sejati hanya didapat dalam alam ketidaksadaran manusia. Sumber kebenaran itu baru muncul secara bebas dalam mimpi. Situasi mimpi ini merupakan saat-saat pengungkapan kebenaran manusia, karena pada waktu itulah bawah sadar membuat struktur terhadap kenyataan sehari-hari, dengan demikian kebenaran hanya dapat diperoleh kalau manusia melepaskan diri dari belenggu rasio dan menghanyutkan diri bersama bawah sadar dalam kondisi mimpi. Baik Dada maupun Surealis berpandangan bahwa dunia ini irrasional dan mereka mengekspresikan irrasionalitas itu dalam karya-karya seni mereka. Surealisme ditujukan untuk mengekspresikan emosi, perasaan, mitologi, alegori melalui fisik bukan verbal yang berhubungan dengan alam bawah sadar atau mimpi sehingga surealisme akan menjadikan mimpi menjadi nyata. 5) Aliran Ekspresionisme Aliran ekspresionisme menonjolkan curahan pikiran atau perasaan pengarang. Ciricirinya adalah: (1) adanya gerak kolektif, (2) banyak dipengaruhi psikoanalisis Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan menggambar ekspresi jiwa pengarang atau sutradara, (3) pergantian adegan bersifat cepat, (4) penggunaan pentas bersifat ekstrim, dan (5) fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film. (Waluyo, 2006: 60). 6) Aliran Naturalisme Naturalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari realisme. Perbedaannya dengan realisme adalah bahwa dalam naturalisme kenyataan yang digambarkan diusahakan mungkin mendekati kenyataan alam (natural). Tidak mengherankan jika dalam menggambarkan pohon-pohon, di panggung benar-benar ditampilkan pohon yang hidup. Penampilan panggung sejauh mungkin harus mendekati alam,

10 20 dan bukan tiruan alam. Dalam realisme, penggunaan lukisan untuk mewakili pemandangan alam dapat dibenarkan. Dalam unsur artistik dan teknis juga diusahakan agar mendekati kenyataan secara ilmiah. Dalam hal tata rias, misalnya sutradara akan merias pemain sedapat mungkin mendekati alam. Kumis, jambang, dan bulu-bulu dada, misalnya tidak cukup dihitamkan dengan alat penghitam, tetapi benar-benar merekatkan rambut ke kumis, jambang, dan dada. Demikian pula halnya dengan tata busana (Waluyo, 2006: 60-61). 7) Aliran Eksistensialisme Dalam aliran eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan eksistensinya, akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan oleh aktor atau aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin melukiskan manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya demikian seringkali dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma, atau murni psikologis. Dalam kesadaran akan keberadaanya, seseorang kemudian menghendaki kebebasan yang mutlak, yaitu kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam kehidupan bermasyarakat secara normal sulit kita jumpai. Kita dapat menghayati kebebasan rohaniah dan jasmaniah lebih longgar, bahkan mungkin dapat dikatakan mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan bukan sekedar kegelandangannya itu yang penting, akan tetapi kemandirian sukmanya itulah yang penting. Kemandirian itu menjadi ciri eksistensi diri yang menghendaki bentuk kebebasan yang setinggi-tingginya. Oleh karena sang tokoh bicara seenaknya

11 21 sendiri, meloncat dari satu masalah ke masalah lain yang seolah tanpa logika yang runtut, berceloteh secara santai tentang hal-hal yang secara pribadi dipandangnya penting sekaligus kehilangan konteks dengan konteks pembicaraan dengan lawan bicaranya (Waluyo, 2006: 61-62). 8) Aliran Absurdisme Menurut Cahyaningrum (2012: 72) seperti aliran-aliran dalam kesenian yang lain, drama dan teater absurd muncul karena ketidakpuasan terhadap aliran-aliran yang sudah ada sebelumnya. Absurd berarti tidak rasional, tidak dapat diterima akal, menyimpang dari kebenaran atau logika umum. Soemanto (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:73) menyebutkan bahwa, secara leksikal, absurd berarti ketiadaan keselarasan, yang menunjuk ketiadaan tidak harmonis. Ciri-ciri lakon dan teater absurd biasanya menampakkan gejala dialog antar tokoh yang melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas, penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non-verbal (Cahyaningrum, 2012:74). Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Lakon dan teater absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada perilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Lebih lanjut, Soemanto (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:74) juga berpendapat bahwa walaupun lakon absurd tetap ditulis dalam bentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari sketsa dramatiknya.

12 22 9) Aliran Simbolisme Menurut Cahyaningrum (2012: 71) aliran simbolisme adalah kesenian yang lahir sebagai reaksi terhadap realisme. Aliran kesenian ini dapat mengungkapkan sesuatu tidak secara terang-terangan. Lebih lanjut, Kazanuddin (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) bahwa ekspresinya diungkapkan dengan simbol-simbol tertentu. Simbolisme sebagai sebuah aliran mempercayai sebuah intuisi sebagai perangkat untuk dapat memahami kenyataan yang tidak dipahami secara logika. Menurut kaum simbolisme, kenyataan tidak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran tidak mungkin pula diungkapkan secara logis. Hasanuddin (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) menambahkan bahwa kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi harus diungkapkan lewat simbol-simbol. c. Unsur-unsur Teater Teater merupakan seni pertunjukan sangat kompleks yang di dalamnya terjadi penggabungan antara beberapa unsur. Menurut Soediro Satoto (2012:2) unsur-unsur bersifat organik., Artinya, sesuatu yang harus ada atau dilaksanakan. Unsur-unsur saling berhubungan membentuk satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Sapardi Djoko Damono (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:2) mengemukakan bahwa drama mempunyai 3 unsur yang sangat penting yakni unsur teks drama, unsur pementasan, dan unsur penonton. Unsur pelaku sebagai unsur utama ditopang dengan unsur benda, suara, dan ruang sebagai penopangnya dan dijalin oleh sebuah cerita sehingga terwujudlah sajian dalam bentuk seni pertunjukan. Semua unsur ini tidak dapat dilepaskan salah satu karena akan menciderai nilai pertunjukan dalam teater sendiri.

13 23 Unsur pelaku di dalam pertunjukan drama ada beberapa macam. Di sana ada pemain, sutradara, kru panggung, bahkan penonton. Ada pula unsur penopang yang berupa panggung, tata busana, musik, tata cahaya, dan tata rias. Kedua unsur tersebut dirangkai oleh cerita dan bersama-sama membangun cerita sehingga terjadilah sebuah pertunjukan teater secara lengkap, yaitu sebuah pertunjukan yang menceritakan kehidupan manusia di atas panggung yang diperankan oleh pelaku dengan berbagai unsur penunjangnya dan disaksikan oleh penonton. Untuk memperjelas dan mempertegas pendapat tersebut, ada baiknya diuraikan satu per satu unsur secara terpisah. Namun, perlu kiranya diuraikan definisi teater yang berkaitan dengan hal tersebut. Teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya seni suara, bunyi, dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa unsur-unsur teater yaitu (1) tubuh atau manusia sebagai unsur utama (pemeran/pelaku/pemain); (2) gerak sebagai unsur penunjang; (3) suara sebagai unsur penunjang (kata); (4) bunyi sebagai unsur penunjang (bunyi benda, efek, dan musik); (5) rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, rias, kostum, dan properti); dan (6) lakon sebagai unsur penjalin (cerita, noncerita, fiksi, dan narasi). Menurut Hasanuddin W.S. (2009: 171) unsur-unsur drama dalam kaitannya dengan seni pertunjukan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1) unsur utama, terdiri dari sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton, serta (2) sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum (busana), tata rias, pencahayaan, serta tata suara dan ilustrasi musik.

14 24 Melalui pernyataan diatas dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam proses berteater, yaitu manusia sebagai unsur utama, benda sebagai unsur penunjang, dan lakon sebagai unsur penjalin. Berikut unsur-unsur teater tersebut: 1) Pemain Istilah pemain dalam teater dan film biasa disebut aktor (actor) jika laki-laki dan aktris (actris) jika perempuan. Istilah lain ialah pelaku (karena melakukan peran tokoh lakon), dan pemeran (karena memerankan watak peran) (Satoto, 2000: 79-80). Pemain mempunyai kedudukan untuk mentransformasikan cerita di atas panggung, pemain harus mampu menghidupkan tokoh dalam cerita lakon menjadi sosok yang nyata. Di dalam teater, perwujudan tokoh tersebut biasa disebut dengan karakter. Harymawan (1986: 25) menyebut karakter sebagai tokoh yang hidup, bukan mati. Di dalam menghidupkan karakter ini, tokoh dibekali dengan sifat-sifat karakteristik yang tiga dimensional, yaitu (a) dimensi fisiologis, yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya; (b) dimensi sosiologis, berupa status sosial, pekerjaan atau jabatan, pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup dan agama, aktivitas sosial, bangsa atau suku, dan sebagainya; dan (c) dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan yang meliputi mentalitas, temperamen, serta IQ atau kecerdasan. Dimensi-dimensi tersebut diperlukan juga dalam pemilihan pemain atau yang dikenal dengan istilah casting. Dalam hal ini, seorang sutradara tentu sangat mempertimbangkan ketiga dimensi tersebut. Tujuannya adalah mendapatkan pemain yang sesuai dengan kebutuhan cerita atau naskah didasarkan pada penafsiran sutradara.

15 25 Aktor dan aktris sangat berperan penting dalam pementasan teater. Waluyo (2006: 36) menjelaskan pemilihan aktor dan aktris biasanya disebut casting, yaitu sebagai berikut: a) Casting by ability; pemilihan peran berdasar kecakapan atau kemahiran yang sama atau mendekati peran yang dibawakan. Kecerdasan seseorang memegang peranan penting dalam membawakan peran yang sulit dan dialognya panjang. Tokoh utama suatu lakon di samping persyaratan fisik dan psikologis, juga dituntut memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, sehingga daya hafal dan daya tanggap yang cukup cepat. b) Casting to Type; pemilihan pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik si pemain. Tokoh tua dibawakan oleh orang tua, tokoh pedagang dibawakan oleh orang yang berjiwa dagang, dan sebagainya. c) Anti Type Casting; pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan ciri fisik yang dibawakan. Sering pula disebut educational casting karena bermaksud mendidik seseorang memerankan watak dan tokoh yang berlawanan dengan wataknya sendiri dan ciri fisiknya sendiri. d) Casting to Emotional Temperament; adalah pemilihan pemeran berdasarkan observasi kehidupan pribadi calon pemeran. Mereka yang mempunyai banyak kecocokan dengan peran yang dibawakan dalam hal emosi dan temperamennya, akan terpilih membawakan tokoh itu. Pengalaman masa lalu dalam hal emosi akan memudahkan pemeran tersebut dalam menghayati dan menampilkan dirinya sesuai dengan

16 26 tuntutan. Temperamen yang cocok juga akan membantu proses penghayatan diri peran yang dibawakan. e) Therapeutic Casting; adalah pemilihan pemeran dengan maksud untuk penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis dalam diri seseorang. Biasanya watak dan temperamen pemeran bertentangan dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya, orang yang selalu ragu-ragu, harus berperan sebagai orang yang tegas, cepat memutuskan sesuatu. Seorang yang curang, memerankan tokoh yang jujur atau penjahat berperan sebagai polisi. Jika kelainan jiwa cukup serius, maka bimbingan khusus sutradara akan membantu proses therapeutic. Untuk dapat memilih pemeran dengan tepat, maka hendaknya pelatih drama membuat daftar yang berisi inventarisasi watak pelaku yang harus dibawakan, baik secara psikologi, fisiologis maupun sosiologis. Watak pelaku harus dirumuskan secara jelas. Sebab hanya dengan begitu, dapat dipilih pemeran lakon dengan lebih cepat. 2) Sutradara Sutradara adalah tokoh sentral dalam sebuah pertunjukan teater. Sutradara merupakan orang yang bertugas mengkoordinasikan segala anasir pertunjukan dari awal sampai akhir. Meskipun peranannya sangat vital, sutradara tergolong hal baru dalam dunia seni pertunjukan. Sutradara baru dikenal bahkan pada sekitar 200 tahun yang lalu. Seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan pementasan. Menurut Harymawan dalam (Waluyo, 2006: 102) menyatakan bahwa sutradara adalah karyawan teater yang bertugas mengkoordinasikan segala

17 27 anasir teater, dengan paham, kecakapan, serta daya imajinasi yang inteligen guna menghasilkan pertunjukan yang berhasil. Sutradara berhubungan dengan produser (yang membiayai pementasan), manajer (pemimpin tata laksana), dan stage manager (yang mengatur panggung dan seluruh perlengkapannya). Menurut Harymawan (1986: 64) kedudukan sutradara berdiri ditengahtengah segitiga, bertindak sebagai pusat kesatuan kekuatan, juga sebagai koordinator bagi prestasi-prestasi kreatif aktor dan para teknisi. Akhirnya sutradara harus menjadi seorang seniman yang berarti. Sutradara digambarkan seperti berikut: PENGARANG SUTRADARA AKTOR PENDESAIN Bagan 1 Segitiga penyutradaraan PENONTON Berdasarkan sejarah kemunculan dan perkembangannya, ada dua teori dalam penyutradaraan, yaitu Teori Gordon Craig dan Teori Laissez Faire (Harymawan, 1986:64-65). Teori Gordon Craig melukiskan bahwa teater merupakan seni, maka ia harus mengekspresikan kepribadian si seniman. Kalau pemahat mengekspresikan diri lewat batu dan kayu, pelukis lewat kanvas dan cat maka sutradara mengejawantahkan idenya lewat aktor dan aktris. Dengan demikian, sutradara berlaku sebagai seorang diktator dalam pementasan.teori Laissez Faire merupakan kebalikannya. Teori ini menyebutkan bahwa tugas sutradara hanya membantu aktor

18 28 dan aktris mengekspresikan dirinya dalam lakon, seorang supervisor yang membiarkan aktor dan aktris bebas mengembangkan konsepsi individualnya agar melaksanakan peranan sebaik-baiknya. Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Maka, Harymawan pun menyebut bahwa sutradara yang baik atau ideal adalah sutradara yang sekaligus menjadi interpretator dan kreator. Sementara itu, cara penyutradaraan yang baik adalah perkawinan antara kedua teori di atas. 3) Tata panggung Dalam teater, tata panggung sering disebut dengan istilah scenery. Dalam istilah lain, sering dipakai pula istilah set panggung, setting panggung, atau dekorasi. Harymawan (1993: 108) mendefinisikan dekorasi (scenery) sebagai pemandangan latar belakang (background) tempat memainkan lakon. Pengertian tersebut meliputi pula peletakan perabot (properti) dan komposisi panggung. Menurut Herman J. Waluyo (2006: 148) dalam pentas diperlukan latar belakang suasana yang mendukung keadaan di pentas. Latar belakang itu harus bermakna. Latar belakang itu lazim disebut scenery, yaitu latar belakang di mana pentas diadakan untuk mempertunjukkan lakon. Scenery meliputi segala macam hiasan dan lukisan yang melingkupi daerah permainan. Menurut sifatnya scenery ada dua macam, yaitu sebagai berikut. 1. Draperies, berupa kain polos, border, teaser, dan grand drapery. 2. Scenery terlukis, dekor tradisional yang dilukisi. Menurut konstruksinya, scenery dibagi tiga, yaitu sebagai berikut.

19 29 a) Flat, berupa dekorasi yang berbingkai-bingkai kayu, ditutup kain dan dicat. b) Drops, berupa dekorasi tidak berbingkai, digantung pada bagian belakang panggung. c) Plastic pieces, berupa lukisan objek yang tiga dimensional, misalnya pintu, jendela, pohon, tungku api, dan sebagainya. Menurut struktur settingnya, ada dua scenery, yaitu sebagai berikut. 1. Drop dan wing setting, berupa susunan vertikal (berdiri tegak). 2. Box setting, berupa struktur horisontal. Dalam drop, wing setting, dan box setting, terdapat beberapa catatan. a) Jika kedua sisi pentas terbuka, sehingga pemain keluar masuk melalui wing, setting yang demikian disebut drop and wing setting, sedangkan jika sisi lain tertutup, sehingga pemain masuk atau keluar melalui opening khusus, disebut box setting. b) Terminator, yaitu wing paling depan, yang bersifat statis, tak dapat diputar dan biasanya diberi gambar isi cerita. Teaser dan terminator merupakan bingkai kedua untuk memperkecil panggung yang asli. c) Drapery, berguna untuk menghias pentas. d) Drop, yaitu tirai paling belakang. Ada semacam drop yang disebut cyclodrama. e) Foot, berguna untuk penempatan footlight. f) Curtain line, berada di belakang teaser.

20 30 Ada hubungan antara scenery dan dekorasi. Fungsi dekorasi adalah untuk memberikan latar belakang. Dekorasi dapat berwujud scenery, tetapi sering hanya melatarbelakangi. Berdasarkan tempat mewujudkannya, ada dua macam dekor, yaitu seperti berikut. 1. Interior setting, jika lakon dipentaskan di dalam rumah. 2. Exterior setting, jika lakon dipentaskan terjadi pada alam terbuka. Klasifikasi dekor didasarkan atas aliran-aliran kesenian yang dianut oleh penulis drama, atau sutradara, atau dekorator (bila dia diberi wewenang). a) Naturalisme, yaitu melukiskan dekor sebagai imitasi (tiruan) alam. Tata pentas sebagian besar menggunakan alam, baik atau jelek dilukiskan apa adanya (menggotong tumbuh-tumbuhan ke pentas). b) Realisme, yaitu penggambaran dekor alam sesungguhnya atau bahkan penggunaan alam. Alam hanya dipakai sebagai bahannya saja, pementasannya di panggung (pohon mawar dipasang dipanggung). c) Impresionisme, yaitu bentuk tolak pada pars pro toto, yaitu melukiskan sebagian untuk menggambarkan keseluruhan. Alam dekor dilukiskan hal yang paling karakteristik, untuk mewakili keseluruhan suasana lakon, dan juru dekor bebas menggunakan gagasannya sendiri, karena dalam aliran ini ia bebas dari konvensi teater. d) Ekspresionisme, berusaha mengekspresikan ungkapan batin. Juru dekorasi bebas menggungkapkan kehendaknya sesuai dengan tafsiran terhadap lakon. Jiwa dan perasaan dekorator pegang peranan penting.

21 31 e) Simbolisme, berusaha mempetakan, melalui bentuk seni rupa sesuatu pengertian baik yang terdapat dalam benda itu sendiri atau di luar benda itu. Dekorasi penuh dengan simbol yang sesuai dengan haikat lakon yang dipentaskan. Riantiarno (2003: 68) memberikan pemilahan yang jelas antara set/dekor, set property, hand property, dan properti. Menurutnya, set/dekor adalah bagian benda/gambar di panggung yang sifatnya permanen, misalnya rumah. Set property yaitu isi dari rumah itu, kursi, meja, lemari, dan sebagainya. Hand property adalah properti yang dibawa oleh pemain. Sedangkan properti adalah pelengkap dari set property. Tata panggung adalah pengelolaan unsur kebendaan yang ada di panggung. Penataan yang dilakukan harus mematuhi prosedur kerja yang telah digariskan. Sebagaimana pemain, penata panggung pun harus mempelajari naskah terlebih dahulu sebelum menata atau mendekor panggung. Dari naskah yang dibaca, penata panggung menggambar, mengkomunikasikan dengan sutradara, pemain, dan kru panggung lainnya, lalu merealisasikan ide dan gagasannya tersebut. Fungsi utama set panggung adalah sebagai penunjang bagi terciptanya tempat, waktu, dan keadaan/suasana (Riantiarno, 2003: 63). Tata panggung yang baik adalah yang mampu merepresentasikan tempat, ruang, waktu, dan suasana dalam adegan di panggung serta menjadi bagian yang menyatu dari sebuah pementasan. Dengan demikian, pemahaman dan penafsiran terhadap naskah menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang penata panggung.

22 32 Secara khusus, unsur-unsur di atas panggung ditata sedemikian rupa sehingga bisa memberikan gambaran lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan semangat lakon, periode sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan musim ketika lakon dilangsungkan. Perlu diketahui pula jenis-jenis panggung yang biasa digunakan dalam pertunjukan teater karena hal ini berpengaruh terhadap kerja penata panggung. Ada beberapa jenis panggung, tetapi oleh Riantiarno (2003: 64-65) hanya disebutkan dua saja, yaitu panggung prosenium dan panggung arena. Panggung prosenium adalah panggung yang hanya dapat dilihat penonton dari satu sisi saja, yaitu dari depan. Panggung arena adalah panggung yang dikelilingi penonton sehingga setiap sudut bisa dilihat oleh penonton. Eko Santosa, dkk. (2009: 391) menambahkan jenis panggung trust selain dua jenis panggung sebelumnya. Panggung trust hampir mirip dengan panggung prosenium tetapi dua pertiga bagian panggung menjorok ke penonton sehingga sisi kanan dan kiri panggung bisa ditempati penonton. Panggung jenis ini biasa dinamai pula dengan panggung jenis tapal kuda. Berdasarkan jenis-jenis panggung yang ada, penata panggung harus memperhitungkan perspektif penonton. Set tidak boleh mengganggu pandangan penonton dari sisi manapun. Penataan set harus memperhitungkan besar panggung, arena bermain, dan sebagainya. Intinya, tugas tata panggung hanya mendukung jalannya pementasan, memberikan ilustrasi, dan tidak berdiri sendiri sebagai cabang kesenian lain.

23 33 4) Tata cahaya Tata cahaya berfungsi menerangi panggung, memberi suasana, memberi bentuk, dan memisahkan antara panggung dengan penonton. Atas fungsinya sebagai penerang panggung, dapat dikatakan bahwa cahaya merupakan unsur terpenting dalam pementasan teater. Tugas seorang penata cahaya sama dengan penata panggung, yaitu mendukung permainan di panggung, memberikan ilustrasi dan suasana panggung, serta menjadi bagian yang menyatu dengan permainan di panggung. Tata cahaya mempunyai fungsi atau tujuan dalam pementasan teater. Herman J. Waluyo menerangkan tujuan tata cahaya dapat dinyatakan sebagai berikut. a) Penerangan terhadap pentas dan aktor. Dengan fungsi ini, pentas dengan segala isinya dapat terlihat jelas oleh penonton. Penerangan juga dapat mengandung arti penyinar. Artinya menyoroti bagian-bagian yang ditonjolkan, sehingga lebih tampak jelas, sesuai dengan tuntutan dramatik lakon. b) Memberikan efek alamiah dari waktu, seperti jam, musim, cuaca, dan suasana. c) Membantu melukis dekor (scenery) dalam menambah nilai warna hingga terdapat efek sinar dan bayangan. d) Melambangkan maksud dengan memperkuat kejiwaannya. Dalam hal ini, efek tata warna sangat penting kedudukannya. e) Tata lampu juga dapat mengekspresikan mood dan atmosphere dari lakon, guna mengungkapkan gaya dan tema lakon.

24 34 f) Tata lampu juga mampu memberikan variasi-variasi, sehingga adeganadegan tidak statis. Misalnya, dengan lampu dapat dicapai efek tiga dimensi, dan dapat diciptakan komposisi yang aneka ragam dalam pentas. Dalam tata cahaya, lampu yang digunakan sebagai penerangan dapat diklasifikasikan sesuai fungsinya. Menurut Herman J. Waluyo (2006:144) fungsi dari tata cahaya, maka lampu dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut. a) Lampu primer, yaitu sumber sinar yang langsung menerangi benda atau objek lainnya, dan mengakibatkan timbulnya bayangan. b) Lampu sekunder, yaitu lampu yang bertugas menetralisir bayangan yang timbul oleh lampu primer. Penempatannya sedemikian rupa, sehingga bayangan yang menggangu visualisasi terhadap lakon, dapat dinetralkan. Jenis lampu sekunder ini juga dipertimbangkan fungsi lainnya, yaitu untuk menghidupkan panggung beserta dekorasinya. c) Lampu untuk latar belakang, yaitu lampu khusus untuk menerangi cyclodrama. Untuk pentas, biasanya digunakan 3 ways lightning system, sedangkan untuk akhir pentas, digunakan ways lightning system. 5) Tata suara Tata suara dalam hal ini berupa instrumen yang mengiringi sebuah pertunjukan teater. Wujudnya bisa berupa musik, efek suara, dan juga seperangkat teknologi yang dikembangkan untuk menghasilkan bunyi. Fungsinya sama dengan tata artistik yang lain yaitu memberi suasana dalam pertunjukan teater. Musik dapat menjadi bagian lakon, tetapi yang terbanyak adalah sebagai ilustrasi, baik sebagai

25 35 pembuka seluruh lakon, pembuka adegan, memberi efek pada lakon, maupun sebagai penutup lakon (Waluyo, 2006:153). Herman J. Waluyo menjelaskan fungsi yang diharapkan dari tata musik dirumuskan sebagai berikut: (1) memberikan ilustrasi yang memperindah; (2) memberikan latar belakang; (3) memberikan warna psikologis; (4) memberi tekanan kepada nada dasar drama; (5) membantu dalam penanjakan lakon, penonjolan, dan progresi; (6) memberi tekanan pada keaduan yang mendesak; dan (7) memberikan selingan. 6) Tata busana Tata busana sendiri didefinisikan sebagai segala sandangan dan perlengkapannya (accessories) yang dikenakan di dalam pentas (Harymawan, 1986: 127). Kostum pentas meliputi semua pakaian, sepatu, pakaian kepala, dan perlengkapan-perlengkapannya. Oleh karenanya, dijelaskan bahwa busana dalam pertunjukan teater digolongkan menjadi lima bagian, yaitu (a) pakaian dasar atau foundation; (b) pakaian kaki/sepatu; (c) pakaian tubuh/body; (d) pakaian kepala/headdress; dan (e) perlengkapan-perlengkapan/ accessories. Menurut Harymawan (1986: ) agar kostum pentas mempunyai efek yang diinginkan, kostum pentas harus menunaikan beberapa fungsi tertentu: (1) membantu menghidupkan perwatakan pelaku, artinya sebelum dia berdialog, kostum sudah menunjukkan siapa dia sesungguhnya, umurnya, kebangsaannya, status sosialnya, kepribadiannya, suka dan tidak sukanya; (2) individualisasi peranan, warna dan gaya kostum dapat membedakan seorang peranan dari peranan yang lain dan dari setting serta latar belakang; (3) memberi fasilitas dan membantu gerak

26 36 pelaku, pelaku harus dapat melaksanakan laku atau stage business yang perlu bagi peranannya tanpa terintang oleh kostumnya. Kostum tidak hanya harus menjadi bantu bagi pelaku, tetapi juga harus menambah efek visual gerak, menambah indah dan menyenangkan setiap posisi yang diambil pelaku setiap saat. Herman J. Waluyo (2006: ) menjelaskan bahwa tata busana dapat diklasifikasikan sebagai berikut. a) Kostum historis, yaitu kostum yang disesuaikan dengan periode-periode spesifik dalam sejarah. b) Kostum modern, yaitu kostum yang dipakai oleh masyarakat masa kini. c) Kostum nasional, yaitu kostum dari daerah-daerah atau tempat spesifik. Dapat sekaligus kostum nasional dan historis. d) Kostum tradisional, yaitu kostum yang disesuaikan dengan karakter spesifik secara simbolis dan dengan distilir. Kostum wayang orang dapat dipandang sebagai kostum tradisional. Disamping kostum tersebut, masih ada kostum binatang, kostum tari, kostum sirkus, kostum fantastis, dan sebagainya. 7) Tata rias Tata rias adalah seni menggunakan bahan kosmetika untuk menciptakan wajah peran sesuai dengan tuntutan lakon (Waluyo, 2006:137). Tata rias hampir sama dengan tata busana karena memiliki fungsi yang sama. Dengan rias, pemain dapat diubah menjadi karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pertunjukan teater. Tata rias berkaitan erat dengan tata busana. Keduanya akan selalu

27 37 berunding untuk memperoleh karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pertunjukan. Harymawan (1986: 135) menjelaskan kegunaan rias dalam teater sebagai berikut: (a) merias tubuh manusia, artinya mengubah yang alamiah (nature) menjadi yang budaya (culture) dengan prinsip mendapatkan daya guna yang tepat; (b) mengatasi efek tata lampu yang kuat; dan (c) membuat wajah dan kepala sesuai dengan peranan yang dikehendaki. Sementara Riantiarno (2003: 72) memberikan penjelasan yang lebih sederhana tentang manfaat tata rias yaitu untuk memperjelas wajah dan ketokohan pemain. Dengan balutan busana dan riasan yang sesuai dengan karakter tokoh, dipadukan dengan teknik bermain dan penjiwaan yang memadai, jadilah sebuah akting di atas panggung. Herman J. Waluyo (2006: 138) menerangkan bahwa berdasarkan jenis rias, tata rias dapat diklasifikasikan menjadi delapan jenis rias, yaitu sebagai berikut. a) Rias jenis, yaitu rias yang mengubah peran. Misalnya peran laki-laki diubah menjadi peran wanita yang memerlukan rias di berbagai bagian tubuh. b) Rias bangsa, yaitu rias yang mengubah kebangsaan seseorang, misalnya orang Jawa harus berperan sebagai Belanda, yang ciri-ciri fisiknya berbeda. c) Rias usia, yaitu rias yang mengubah usia seseorang. Misalnya, orang muda yang berperan sebagai orangtua atau sebaliknya. Anatomi pelbagai umur perlu dipelajari untuk merias wajah dan urat atau kulit secara cermat dan tepat.

28 38 d) Rias tokoh, yaitu rias yang membentuk tokoh tertentu yang sudah memiliki ciri fisik yang harus ditiru. Misalnya seorang pemuda biasa harus berperan sebagai Superman, Gatotkaca, atau penjahat. e) Rias watak, yaitu rias sesuai dengan watak peran. Tokoh sombong, penjahat, pelacur, dan sebagainya membutuhkan rias watak yang cukup jelas, untuk meyakinkan perananya secara fisik. f) Rias temporal, yaitu rias yang dibedakan karena waktu atau saat tertentu. Misalnya rias sehabis mandi, bangun tidur, pesta, piknik, sekolah, dan sebagainya. g) Rias aksen, yaitu rias yang hanya memberikan tekanan kepada pelaku yang mempunyai anasir sama dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya pemuda tampan dengan ras, watak, dan usia yang sama. Fungsi rias hanya untuk memberi tekanan saja. h) Rias lokal, yaitu rias yang ditentukan oleh tempat atau hal yang menimpa peran saat itu. Misalnya rias di penjara, petani, di pasar, dan sebagainya. 8) Cerita atau lakon Unsur terpenting dari teater adalah cerita atau lakon. Unsur ini merupakan jawaban dari semua pertanyaan tentang unsur-unsur yang lain. Melalui cerita inilah sutradara memilih pemain, pemain memainkan perannya, kru artistik mendesain, dikombinasikan, lalu disajikan di hadapan penonton. Semua komponen dalam teater akan dipadukan dan disatukan melalui naskah atau cerita. Kedelapan unsur yang telah disebutkan di atas sebenarnya dapat diringkas menjadi tiga unsur saja, yaitu pelaku atau manusia sebagai unsur utama, artistik

29 39 sebagai unsur penunjang, dan cerita sebagai unsur penjalin. Unsur utama meliputi sutradara dan pemain. Artistik meliputi tata panggung, tata cahaya, tata busana, tata rias, dan tata suara. Sementara itu, cerita tetap berdiri sendiri sebagai unsur penjalin di antara semua unsur yang ada. B. Kerangka Berpikir Teater TESA merupakan salah satu kelompok teater kampus yang berada di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak tahun Peneliti mengkaji dari sisi perkembangan historis Teater TESA untuk mengetahui dinamika dan perubahan bentuk penggarapan di Teater TESA selama periode Tahap akhir dari penelitian ini adalah mengkaji aliran teater yang diterapkan setiap sutradara pada pementasan teater di Teater TESA selama periode Dengan melibatkan unsur-unsur teater yang menjalin kesatuan dan keutuhan dramatik yang meliputi pemain, sutradara, tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata busana, tata rias, dan cerita atau lakon akan ditemukan suatu bentuk aliran teater pada penggarapan tertentu. Melalui pengkajian aliran teater tersebut dapat ditemukan pola penggarapan Teater TESA secara jelas dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, hasil kajian aliran teater yang dilihat dari segi perkembangan historis dapat digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap perubahan-perubahan aliran teater dalam penggarapan pentas di Teater TESA selama periode Untuk memudahkan penggambaran terkait kerangka berpikir dalam penelitian ini, maka dapat disederhanakan melalui bagan berikut:

30 40 Teater TESA Universitas Sebelas Maret Surakarta Perkembangan Teater TESA Aliran teater Teater TESA Analisis Simpulan Bagan 2 Kerangka Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Drama adalah salah satu bentuk sastra yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

Lebih terperinci

BAB III TATA DEKORASI. STANDAR KOMPETENSI : Mahasiswa mampu memahami Unsur-unsur Tata Dekorasi (Scenery)

BAB III TATA DEKORASI. STANDAR KOMPETENSI : Mahasiswa mampu memahami Unsur-unsur Tata Dekorasi (Scenery) BAB III TATA DEKORASI STANDAR KOMPETENSI : Mahasiswa mampu memahami Unsur-unsur Tata Dekorasi (Scenery) KOMPETENSI DASAR : Menyebutkan pengertian Dekorasi Menyebutkan Tujuan dan Fungsi Dekorasi Menyebutkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Yang Relevan Sebelumnya Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Terhadap pentas drama Drakula intelek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Banyak sumber mengatakan bahwa teater berasal dari bahasa Yunani

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Banyak sumber mengatakan bahwa teater berasal dari bahasa Yunani BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Teater Banyak sumber mengatakan bahwa teater berasal dari bahasa Yunani theatron yang artinya tempat pertunjukan. Pengertian tersebut berasal dari sejarah munculnya

Lebih terperinci

MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel

MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel Yudiaryani PENDAHULUAN Unsur yang paling mendasar dari naskah adalah pikiran termasuk di dalamnya gagasan-gagasan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni yang kolektif, pertunjukan drama memiliki proses kreatifitas yang bertujuan agar dapat memberikan

Lebih terperinci

MAPEL SENI BUDAYA TEATER K13

MAPEL SENI BUDAYA TEATER K13 DOKUMEN NEGARA 1 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2017/2018 MAPEL SENI BUDAYA TEATER K13 Paket 4 P... DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT 2017 SENI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan 1 BAB I DEFINISI OPERASIONAL A. LATAR BELAKANG MASALAH Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan karya yang dapat menyentuh jiwa spiritual manusia, karya seni merupakan suatu

Lebih terperinci

B. Unsur-unsur pembangun drama Unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur dalam cerpen, novel, maupun roman. Dialog menjadi ciri formal drama

B. Unsur-unsur pembangun drama Unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur dalam cerpen, novel, maupun roman. Dialog menjadi ciri formal drama DRAMA A. Definisi Drama Kata drama berasal dari kata dramoi (Yunani), yang berarti menirukan. Aristoteles menjelaskan bahwa drama adalah tiruan manusia dalam gerak-gerik. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan

Lebih terperinci

BAB IV KOMPOSISI PENTAS. STANDAR KOMPETENSI : Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui hakikat Komposisi Pentas

BAB IV KOMPOSISI PENTAS. STANDAR KOMPETENSI : Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui hakikat Komposisi Pentas BAB IV KOMPOSISI PENTAS STANDAR KOMPETENSI : Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui hakikat Komposisi Pentas KOMPETENSI DASAR: Menyebutkan pengertian komposisi Menjelaskan Aspek-aspek motif Komposisi

Lebih terperinci

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KARYA SENI PERTUNJUKAN KARNAVAL TATA BUSANA TEATER. Oleh: Budi Arianto, S.Pd., M.A. NIP

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KARYA SENI PERTUNJUKAN KARNAVAL TATA BUSANA TEATER. Oleh: Budi Arianto, S.Pd., M.A. NIP LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KARYA SENI PERTUNJUKAN KARNAVAL TATA BUSANA TEATER Oleh: Budi Arianto, S.Pd., M.A. NIP 197201232005011001 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA 2014 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra pada dasarnya adalah seni bahasa. Perbedaan seni sastra dengan cabang seni-seni yang lain terletak pada mediumnya yaitu bahasa. Seni lukis menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 10 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang struktural sastra dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dilakukan untuk melihat keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan

KATA PENGANTAR. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. Wb. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan rahmatnya kita bisa membuat makalah ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini bermanfaat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Sandiwara Radio Profesor. Dr. Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa dalam Bahasa Indonesia terdapat istilah sandiwara. Sandiwara diambil dari bahasa jawa sandi dan warah

Lebih terperinci

MODUL SENI BUDAYA SEKOLAH MENENGAH KEJURUN SENI TEATER

MODUL SENI BUDAYA SEKOLAH MENENGAH KEJURUN SENI TEATER Noor Aidawati, M. Pd MODUL SENI BUDAYA SEKOLAH MENENGAH KEJURUN SENI TEATER Modul ini berisi tentang latar belakang munculnya istilah teater sampai dengan penyebaran teater ke seluruh dunia. Teater di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain (Sumardjo, 1992:

Lebih terperinci

BAB VII TATA RIAS. STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa dapat memahami hakikat Tata Rias

BAB VII TATA RIAS. STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa dapat memahami hakikat Tata Rias BAB VII TATA RIAS STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa dapat memahami hakikat Tata Rias KOMPETENSI DASAR: Menyebutkan pengertian Tata Rias Menyebutkan Tujuan dan fungsi tata rias Menyebutkan bahan dan Perlengkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA DISUSUN OLEH Komang Kembar Dana Disusun oleh : Komang Kembar Dana 1 MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA STANDAR KOMPETENSI Mengapresiasi karya seni teater KOMPETENSI DASAR Menunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zaman/waktu. Baik itu seni bahasa atau sastra, seni gerak (acting), seni rias

BAB I PENDAHULUAN. zaman/waktu. Baik itu seni bahasa atau sastra, seni gerak (acting), seni rias BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kesenian. Dan kesenian itu sendiri tidak pernah mati dan menghilang atau pun habis termakan zaman/waktu. Baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun yang lalu sudah dikenal dan diterapkan khususnya oleh kaum

BAB I PENDAHULUAN. tahun yang lalu sudah dikenal dan diterapkan khususnya oleh kaum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rias wajah bukan merupakan suatu hal baru, karena sejak ribuan tahun yang lalu sudah dikenal dan diterapkan khususnya oleh kaum wanita, dimana setiap bangsa

Lebih terperinci

SOAL UAS SENI BUDAYA KLS XI TH Kegiatan seseorang atau sekelompok dalam upaya mempertunjukan suatu hasil karya atau produknya kepada

SOAL UAS SENI BUDAYA KLS XI TH Kegiatan seseorang atau sekelompok dalam upaya mempertunjukan suatu hasil karya atau produknya kepada SOAL UAS SENI BUDAYA KLS XI TH 2016 2017 1 Kegiatan seseorang atau sekelompok dalam upaya mempertunjukan suatu hasil karya atau produknya kepada orang laindan secara terorganisir dinamakan a katalog b

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil cipta yang mengungkapkan pribadi manusia berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang

Lebih terperinci

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

ARTIKEL TENTANG SENI TARI NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

TATA ARTISTIK DALAM PERTUNJUKAN (Stage Manager, Tata Rias, Tata Kostum, Tata Lampu, dan Dekorasi)

TATA ARTISTIK DALAM PERTUNJUKAN (Stage Manager, Tata Rias, Tata Kostum, Tata Lampu, dan Dekorasi) TATA ARTISTIK DALAM PERTUNJUKAN (Stage Manager, Tata Rias, Tata Kostum, Tata Lampu, dan Dekorasi) Memenuhi tugas kelompok Matakuliah Apresiasi Drama Dibina oleh Muh. Fatoni Rohman, S.Pd. Oleh: Dwi Oktavyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain, seorang aktor harus menampilkan atau. mempertunjukan tingkah laku yang bukan dirinya sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain, seorang aktor harus menampilkan atau. mempertunjukan tingkah laku yang bukan dirinya sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membawakan peran atau akting dapat diartikan menampilkan atau mempertunjukan tingkah laku terutama diatas pentas. Berbuat seolaholah, berpura pura menjadi seseorang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fotografi merupakan teknik yang digunakan untuk mengabadikan momen penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena melalui sebuah foto kenangan demi kenangan dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Menyikapi Kompetensi Dasar tentang Drama pada Kurikulum 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN Menyikapi Kompetensi Dasar tentang Drama pada Kurikulum 2013 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dibahas lima hal sesuai dengan hasil penelitian. Lima hal tersebut yaitu 1) pembahasan terhadap upaya menyikapi kompetensi dasar tentang drama pada kurikulum 2013,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, suatu metode analisis dengan penguraian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Tari juga merupakan ekspresi jiwa

Lebih terperinci

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES A.Pengertian Drama atau Bermain Peran Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan bentuk lain (prosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. drama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu part text, artinya yang ditulis dalam teks

BAB I PENDAHULUAN. drama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu part text, artinya yang ditulis dalam teks 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah drama adalah kesatuan teks yang membuat kisah. Naskah atau teks drama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu part text, artinya yang ditulis dalam teks hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sarana bagi seorang pengarang untuk menyampaikan suatu pemikiran atau gagasan berdasarkan problem-problem sosial yang terjadi di lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. pertunjukan yang mewakili kesukaan pada lagu-lagu lama, memilih naskah

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. pertunjukan yang mewakili kesukaan pada lagu-lagu lama, memilih naskah BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Tiga Dara adalah proses kerja teater kolektif yang melibatkan banyak unsur dalam berbagai tahapan didalamnya. Mulai dari aplikasi ide pertunjukan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Drama Kata drama berasal dari bahasa Greek, tegasnya dan kata kerja Dran yang berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan,

Lebih terperinci

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL 2.1. Seni dan Tari 2.1.1. Pengertian Seni Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 915) didefinisikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan kehadiran orang lain. Tanpa kehadiran orang lain ia merasa kurang

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan kehadiran orang lain. Tanpa kehadiran orang lain ia merasa kurang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, secara langsung maupun tidak langsung membutuhkan kehadiran orang lain. Tanpa kehadiran orang lain ia merasa kurang berarti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penelitian ini mengambil judul Perancangan Buku Referensi Karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penelitian ini mengambil judul Perancangan Buku Referensi Karakteristik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini mengambil judul Perancangan Buku Referensi Karakteristik Tata Rias Tari Surabaya Dengan Teknik Fotografi Sebagai Sarana Informasi Masyarakat

Lebih terperinci

MAPEL SENI BUDAYA TEATER K13

MAPEL SENI BUDAYA TEATER K13 DOKUMEN NEGARA 1 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2017/2018 MAPEL SENI BUDAYA TEATER K13 Paket 3 P... DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT 2017 MAPEL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

Pengembangan Model Pembelajaran Proses Kreatif Berteater

Pengembangan Model Pembelajaran Proses Kreatif Berteater MENDIDIK : Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran Pengembangan Model Pembelajaran Proses Kreatif Berteater Volume 3, No. 2, Oktober 2017: Page 109-119 P-ISSN: (Studi 2443-1435 Pengembangan E-ISSN: 2528-4290

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian yang dilakukan oleh Maimun Ladiku (2008) Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kesenian yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kesenian yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesenian yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah masuknya budaya barat yang ikut mempengaruhi perubahan serta perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permainan modern seperti game on line dan play station. Dongeng dapat

BAB I PENDAHULUAN. permainan modern seperti game on line dan play station. Dongeng dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seni budaya merupakan salah satu warisan dari leluhur atau nenek moyang yang menjadi keanekaragaman suatu tradisi dan dimiliki oleh suatu daerah. Seiring dengan berkembangnya

Lebih terperinci

Munandar dalam Satriani (2011, hlm. 2) bahwa Kreativitas merupakan

Munandar dalam Satriani (2011, hlm. 2) bahwa Kreativitas merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) kesenian diubah menjadi seni budaya, sesuai kurikulum itu pula mata pelajaran seni budaya mencakup

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas

Lebih terperinci

BAB VI TATA SUARA. STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa mampu memahami hakikat Tata Suara dalam sebuah pertunjukan.

BAB VI TATA SUARA. STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa mampu memahami hakikat Tata Suara dalam sebuah pertunjukan. BAB VI TATA SUARA STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa mampu memahami hakikat Tata Suara dalam sebuah pertunjukan. KOMPETENSI DASAR : Menyebutkan pengertian Tata Suara Menyebutkan Tujuan dan Fungsi Tata Suara

Lebih terperinci

Manajemen Produksi Pertunjukan Studi Kasus: Pementasan

Manajemen Produksi Pertunjukan Studi Kasus: Pementasan Manajemen Produksi Pertunjukan Studi Kasus: Pementasan Oleh: Eko Santosa Salah satu faktor pendukung yang sangat penting dalam proses penciptaan teater adalah manajemen. Dalam teater bahasan manajemen

Lebih terperinci

INDIKATOR ESENSIAL Menjelaskan karakteristik peserta. didik yang berkaitan dengan aspek fisik,

INDIKATOR ESENSIAL Menjelaskan karakteristik peserta. didik yang berkaitan dengan aspek fisik, NO KOMPETENSI UTAMA KOMPETENSI INTI 1 Pedagogik 1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 2. Menguasai teori belajar dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Drama sebagai salah satu bagian dari pembelajaran sastra memiliki peranan penting dalam membentuk watak peserta didik yang berkarakter. Peranan penting

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Payung, 06 Juni Penyusun,

KATA PENGANTAR. Payung, 06 Juni Penyusun, KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Segala puji bagi Allah yang telah menolong hamba-nya menyelesaikan tugas ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN RENCANA PROGRAM PENGAJARAN (RPP)

LAMPIRAN RENCANA PROGRAM PENGAJARAN (RPP) LAMPIRAN RENCANA PROGRAM PENGAJARAN (RPP) Judul Mata Kuliah : Pengetahuan Teater No/ Kode/ SKS Diskripsi Singkat Penyusun : MKK 05101 / 3 SKS : Pemahaman seputar pengetahuan dasar teater seperti asal mula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drama merupakan karya sastra yang dalam penulisan teksnya berisikan dialog-dialog dan isinya membentangkan sebuah alur. Seperti fiksi, drama berpusat pada satu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Karya penyutradaraan Beauty and The Beast ini menjadi sebuah proses

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Karya penyutradaraan Beauty and The Beast ini menjadi sebuah proses BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Karya penyutradaraan Beauty and The Beast ini menjadi sebuah proses kreatif yang memberi banyak pelajaran. Bagaimana cara kerja seni drama musikal dan penyutradaraannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi merupakan tempat tinggal seluruh makhluk di dunia. Makhluk hidup di bumi memiliki berbagai macam bentuk dan jenis yang dipengaruhi oleh tempat tinggal masing-masing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin berkembang pesat dengan adanya sarana media pendidikan dan hiburan yang lebih banyak menggunakan media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain itu, karya sastra memberikan manfaat kepada pengarang dan pembaca

BAB I PENDAHULUAN. Selain itu, karya sastra memberikan manfaat kepada pengarang dan pembaca BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu kreativitas manusia yang dijadikan sebagai sarana berekspresi yang di dalamnya mengandung unsur kehidupan dan keindahan. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Teater hadir karena adanya cerita yang dapat diangkat dari. fenomena kehidupan yang terjadi lalu dituangkan kedalam cerita yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Teater hadir karena adanya cerita yang dapat diangkat dari. fenomena kehidupan yang terjadi lalu dituangkan kedalam cerita yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teater hadir karena adanya cerita yang dapat diangkat dari fenomena kehidupan yang terjadi lalu dituangkan kedalam cerita yang berbentuk naskah. Aktor adalah media penyampaian

Lebih terperinci

Kemampuan Menulis Naskah Drama oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Kabupaten Muaro Jambi

Kemampuan Menulis Naskah Drama oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Kabupaten Muaro Jambi Kemampuan Menulis Naskah Drama oleh Siswa Kelas VIII SMP Negeri 12 Kabupaten Muaro Jambi Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan menulis naskah drama berdasarkan unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pengarang dan psikologi isi hatinya, yang diiringi dengan daya

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pengarang dan psikologi isi hatinya, yang diiringi dengan daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil perpaduan estetis antara keadaan lingkungan pengarang dan psikologi isi hatinya, yang diiringi dengan daya kreativitas yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyutradaraan merupakan hal yang berhubungan dengan proses yang dilakukan dari awal hingga tampilnya sebuah pementasan diatas panggung. Menurut Kamus Besar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Drama merupakan karya yang memiliki dua dimensi karakter (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah The theatre berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron yang berarti seing place atau tempat menyaksikan atau tempat dimana aktor mementaskan lakon dan orangorang

Lebih terperinci

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK 48. KOMPETENSI INTI DAN SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK KELAS: X A. SENI RUPA 3. memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dari generasi ke generasi yang semakin modern ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dari generasi ke generasi yang semakin modern ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dari generasi ke generasi yang semakin modern ini banyak kebudayaan yang sudah mulai ditinggalkan, baik kebudayaan daerah dan luar negeri. Karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam kebudayaannya. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna yang dianyam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan

I. PENDAHULUAN. Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Keahlian itu sangat ditekankan pada arah dan tujuan pembentukan emosional. Seseorang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

BAB III TEORI PENUNJANG

BAB III TEORI PENUNJANG BAB III TEORI PENUNJANG 3.1. Pengertian Panggung Panggung adalah tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan dimana interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan penonton.di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB VIII TATA BUSANA. STANDAR KOMPETENSI: Mampu memahami Hakikat Tata Busana

BAB VIII TATA BUSANA. STANDAR KOMPETENSI: Mampu memahami Hakikat Tata Busana BAB VIII TATA BUSANA STANDAR KOMPETENSI: Mampu memahami Hakikat Tata Busana KOPETENSI DASAR: Menyebutkan pengertian Busana Menyebutkan Tujuan dan Fungsi Busana Menyebutkan perlengkapan Busana Menyebutkan

Lebih terperinci

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Surabaya, Arif Hidajad, S. Sn., M. Pd.

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Surabaya, Arif Hidajad, S. Sn., M. Pd. TEKNIK PENYUTRADARAAN PADA NASKAH DRAMA HANYA SATU KALI KARYA HOLWORTHY HALL & ROBERT MIDDLEMASS SADURAN SITOR SITUMORANG SUTRADARA ILHAM AULIA Ilham Aulia 09020134206 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sendratasik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Teori 1. Kedudukan Pembelajaran Mengidentifikasi Konflik Teks Drama dengan Menggunakan Metode Numbered Head Together dalam Kurikulum 2013 Mata Pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film.

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya media penyampaian suatu cerita sejak Tahun 70-an, film mulai banyak mengambil inspirasi atau karya- karya sastra yang telah ada sebelumnya.

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA. Kata Kunci : Metode Bermain Peran dan Pemeranan Drama

PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA. Kata Kunci : Metode Bermain Peran dan Pemeranan Drama PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA R. ArnisFahmiasih 1 ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah kemampuan pembelajaran sastra dalam memerankan drama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif manusia dalam kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra seni kreatif menggunakan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH Hetty Purnamasari FKIP Universitas Dr. Soetomo Surabaya hettypurnamasari@unitomo.ac.id Abstrak: Pendidikan di Indonesia saat ini menghadapi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

SILABUS. Kegiatan Pembelajaran Teknik

SILABUS. Kegiatan Pembelajaran Teknik SILABUS Sekolah Kelas/ Semester Mata Pelajaran Standar : SMP : VIII (Delapan)/ 1 (Satu) : SENI BUDAYA : SENI RUPA 1. Mengapresiasi karya seni rupa 1.1 Mengidentifikasi jenis karya seni rupa terapan Sejarah

Lebih terperinci

KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI. Mata Pelajaran

KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI. Mata Pelajaran KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI Mata Pelajaran KESENIAN SEKOLAH MENENGAH ATAS dan MADRASAH ALIYAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Jakarta, Tahun 2003 Katalog dalam Terbitan Indonesia. Pusat Kurikulum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci