VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI"

Transkripsi

1 $&# VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI Pengakuan kembali nagari sebagai pemerintahan terendah, membuat nagari berada pada kondisi yang dilematis. Nagari menerima intervensi pemerintah yang menempatkan nagari sebagai bagian dari birokrasi negara. Di sisi lain proses ini mengurangi otonomi nagari karena membuat nagari secara substansial berbentuk desa, dan mengurangi ciri utama dari pemerintahan nagari format lama, atau tradisi masyarakat Minang yaitu kepemimpinan kolektif. Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Kuatnya tuntutan untuk menghidupkan kembali bentuk asli pemerintahan lokal di Sumatera Barat telah mendorong Pemerintah Provinsi untuk mengakomodasikan keinginan tersebut dengan menerbitkan berbagai peraturan daerah guna menghidupkan kembali pemerintahan nagari. Namun di sisi lain, terbukti bahwa untuk menghidupkan kembali pemerintahan nagari tidak mudah karena setiap perubahan berpotensi untuk memicu konflik yang dapat menjadi hambatan dalam pemerintahan nagari. 6.1 Transformasi Nagari: Perubahan yang Tidak Diharapkan Perubahan sosial pada dasarnya merupakan sesuatu yang normal. Seperti yang diungkapkan oleh Lauer (2003), perubahan sosial adalah normal dan berkelanjutan, tetapi menurut arah yang berbeda diberbagai tingkat kehidupan sosial denga berbagai tingkat kecepatan. Masalahnya arah perubahan tidak selalu sesuai dengan dengan apa yang direncanakan atau diharapkan oleh para perencana perubahan (change agent). Kasus di Nagari IV Koto Palembayan ini membuktikan, bahwa transformasi desa ke nagari, selain menimbulkan perubahan yang diharapkan, ternyata juga menghasilkan perubahan yang tidak diharapkan (unintended change). Perubahan sosial yang diharapkan dengan menghidupkan kembali bentuk asli dari sistem pemerinahan lokal yang terendah tampaknya juga berbuah perubahan yang tidak diharapkan. Terbentuknya lembaga-lembaga baru dalam nagari yang diharapkan menjadi wadah dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dalam kenyataannya belum dapat bekerja secara optimal karena semua kegiatan masih berdasarkan program

2 $&$ dari atas meskipun telah menggunakan nama daerah seperti Goro Badunsanak (gotong royong bersaudara) yang dilakukan oleh LPMN. Keinginan untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan aksi sosial berdasarkan adat istiadat di tingkat nagari tampaknya masih jauh dari kenyataan. Dalam kenyataannya, pemerintahan nagari belum menemukan format yang tepat bagaimana menjalankan pemerintahan yang dapat menggabungkan kedua hal tersebut. Euphoria atas kebijakan untuk menghidupkan kembali identitas masyarakat Minang dengan mengakui bentuk asli pemerintahan tradisonal mereka telah berubah menjadi kebingungan untuk mewujudkan bagaimana bentuk nagari yang sesungguhnya. Pemerintah melalui berbagai peraturan masih tetap mengintervensi nagari. Dalam rentang waktu enam tahun (sejak tahun 2001 hingga 2007) Pemerintah Kabupaten Agam telah mengeluarkan dua peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan pemerintahan nagari 2 dan tidak tertutup kemungkinan peraturan yang sekarang akan kembali mengalami perubahan. Pergantian peraturan dalam waktu yang tidak lama itu seolah-olah memberi kesan bahwa pemerintah sedang menerapkan trial and error untuk mencari bentuk yang tepat. Di tingkat nagari sendiri, aparat pemerintahan nagari dengan sumber daya manusia yang sangat terbatas harus segera merespon setiap perubahan peraturan yang datang dari atas (pemerintah supra nagari). Meskipun Undang-undang No. 32 tahun 2004 memungkinkan untuk munculnya bentuk sistem pemerintahan terendah sesuai dengan bentuk yang diinginkan masyarakat berdasarkan tradisi mereka, namun pemerintaha nagari saat ini meskipun telah berbeda di banding pemerintahan desa sebelum diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, namun dari struktur pemerintahannya sama saja dengan pemerintahan desa sekarang (berdasarkan UU No. 22 tahun 1999). Dalam hal ini penyeragaman bentuk pemerintahan terendah tetap terjadi, sejauh ini yang dimungkinkan untuk berbeda adalah nama dan keterlibatan unsur adat saja. Rincian perbandingan desa dan nagari dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini: 2 Pemerintah Kabupaten Agam tahun 2001 mengeluarkan Perda No 31/2001 dan menggantinya dengan Perda No 12 dan 13 tahun 2007 yang mengatur tentang pelaksanan pemerintahan nagari

3 $&% Tabel 16. Perbandingan Antara Desa dan Nagari No Perbandingan Desa (sekarang) 1 Struktur Pemerintahan 2 Sistem pemilihan pemimpin 3 Model kepemimpinan Terdiri dari: 1 BPD 2 Kepala Desa dan perangkat Desa Pemilihan Kepala desa Legal-rasional Nagari (sekarang) Terdiri dari: 1 Bamus Nagari 2 Wali Nagari dan perangkat Nagari Pemiihan wali nagari Legal-rasional 4 Unsur legislatif Wakil masyarakat Wakil unsur dalam masyarakat 5 Unsur adat Tidak ada Sebagai salah satu unsur dalam Bamus (badan legislatif) 6 Sumber keuangan DAUD dan sumber lainnya DAUN dan sumber lainnya Sumber: diolah dari data primer Perbandingan desa dan nagari saat ini pada Tabel 16 dapat di jelaskan sebagai berikut ini: 1. Desa dipimpin oleh Kepala desa yang dipilih secara lansung oleh masyarakat desa. Hal ini sama seperti yang terjadi di Nagari IV Koto Palembayan. Wali nagari sebagai pemimpin nagari dipilih oleh penduduk nagari. Wali nagari tidak harus berasal dari kelompok genealogis bahkan saat ini yang menjadi wali nagari di Nagari IV Koto Palembayan berasal dari golongan individu. Jadi kedua pemimpin baik wali nagari maupun kepala desa, sama-sama bersifat legal-rasional dan berperan sebagai eksekutif. 2. Lembaga yang memainkan peran legislasi di desa bernama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pembentukannya ditetapkan melalui peraturan daerah kabupaten. Di Nagari IV Koto Palembayan, fungsi legislasi dijalankan oleh lembaga Bamus (sama dengan BPD). Perbedaan keduanya adalah, jika anggota BPD mewakili masyarakat (bukan mewakili kelompok/golongan tertentu), maka anggota Bamus mewakili unsur yang ada dalam nagari yang telah ditetapkan yaitu unsur ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kandung dan pemuda. Berbeda

4 $&& dengan desa, unsur adat memiliki wakilnya dalam struktur pemerintahan nagari. 3. Pembagian peran berdasarkan fungsi eksekutif dan legislatif ini tidak ada dalam struktur asli pemerintahan nagari. Kembali ke nagari masih dalam bentuk fisik saja, namun institusi-institusi asli belum lagi memainkan fungsi sebagaimana mestinya. 4. KAN sebagai lembaga yang mewadahi unsur tradisional, namun lembaga ini berada di luar pemerintahan nagari (non struktural), ini sekaligus memberikan gambaran bahwa tetap terjadi pemisahan urusan adat dan urusan kedinasan. Ini juga menunjukan pergeseran nagari yang awalnya merupakan kesatuan genealogis-teritorial menjadi hanya sebagai kesatuan territorial saja. 5. Sistem pembagian dana dari pusat, untuk desa bernama Dana Alokasi Umum Desa (DAUD) untuk nagari bernama Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN). Jumlah nagari di Kecamatan Palembayan saat ini ada enam nagari, jumlah ini tentu saja sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah desa sebelumnya. Untuk nagari IV Koto Palembayan saja awalnya terdiri dari lima desa. Jika ditinjau dari dana pembangunan desa (bandes) dulu, kembali ke nagari tentu saja sangat merugikan. Hal ini seperti yang dikeluhkan oleh beberapa orang tineliti seperti yang dikatakan Sum.Kt.S dan Rus.St.M, bahwa jika ditinjau dari dana alokasi umum nagari (DAUN) yang diterima masih sedikit jika dibandingkan dengan dana Bandes. Meskipun jumlah nominal DAUN lebih besar namun itu jika dibagi untuk jorong yang ada (sebanyak 7 jorong) maka akan tidak memadai/sangat sedikit. Sementara dana Bandes walaupun jumlahnya lebih sedikit namun keenam desa yang terdapat di Nagari IV Koto Palembayan masingmasing mendapatkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Warman (2008), Pemerintah pusat menerapkan sistem pembagian bantuan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan desa melalui dana alokasi umum desa (DAUD) atau di Sumatera Barat disebut dengan dana alokasi umum nagari (DAUN). Penentuan besarnya dana yang akan diturunkan ke provinsiprovinsi juga didasarkan kepada jumlah

5 $&' pemerintahan desa (nagari), sehingga daerah yang pemerintahan desanya (nagari) sedikit akan rugi. Persoalan ini kembali dirasakan oleh Pemda Sumatera Barat sejak kembali ke nagari. Pemda mengeluh minimnya DAUN yang bisa ditarik ke Sumatera Barat karena jumlah pemerintahan nagari sedikit, pada hal wilayah dan jumlah penduduk yang akan dibangun sangat luas. Kondisi ini pulalah yang mendorong Pemda Sumatera Barat merasa perlu merevisi bahkan mengganti Perda Nagari No. 9/2000, di samping juga menyesuaikan dengan penggantian UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun Pola Dan Arah Perubahan Perubahan sosial yang terjadi dalam pemerintahan nagari secara umum dapat disimpulkan berlangsung dengan mengikut pola siklus karena terdapat beberapa hal yang kembali berulang. Menurut Harper (1989), model siklus menggambarkan keadaan suatu sistem yang senantiasa berubah, namun dalam jangka waktu tertentu akan kembali pada keadaan semula (repetitif). Model ini dapat digunakan untuk menjelaskan dinamika perubahan sosial masyarakat dalam waktu tertentu, karena dalam jangka panjang, model ini juga menunjukan perubahan seperti garis lurus. Hal-hal yang mendukung pendapat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sebelum Belanda menguasai Sumatera Barat, sistem pemerintahan dalam nagari dikuasai oleh kelompok genealogis dengan tipe otoritas tradisional. 2. Intervensi Pemerintah Belanda ke dalam pemerintahan nagari tidak dilakukan dengan cara menghapuskan nagari tapi dengan cara tetap mempertahankan kekuasaan kelompok genealogis namun melakukan reorganisasi dalam pemerintahan nagari sehingga pemimpin dalam nagari memainkan peran ganda, ke dalam untuk memimpin masyarakatnya dan ke luar sebagai perpanjangan tangan Belanda. 3. Setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama, terjadi persaingan antara kelompok genealogis dengan kelompok individu dalam pemerintahan nagari, tipe kekuasaan perpaduan antara tradisional dan legal-rasional. Pemimpin dalam nagari (wali nagari) tetap memainkan peran ganda.

6 $&( 4. Zaman Orde Baru, penetrasi pemerintah sangat besar dalam pemerintahan nagari yang telah terpecah ke bentuk pemerintahan desa. Tipe kekuasaan adalah legal-rasional, kelompok genealogis tersingkir dan kekuasaan berada ditangan kelompok individu dengan sistem pemerintahan bersifat sentralistik. 5. Setelah dikeluarkannya UU No. 22/1999 pemerintahan nagari kembali dihidupkan. Kelompok genealogis berusaha untuk mendapatkan kembali kekuasaannya, intervensi pemerintah dalam pemerintahan nagari masih sangat besar, sejauh ini kelompok individu masih menguasai sistem pemerintahan nagari. Ada gerakan ke arah revitalisasi fungsi kelompok genealogis. 6. Badan Musyawarah Nagari yang ada saat ini bukanlah lembaga yang benar-benar baru, lembaga ini sebenarnya juga pernah dimunculkan pada tahun 1959, bedanya jika saat ini hanya berisi lima unsur masyarakat, dulunya anggota Bamus sebanyak 10 orang yang terdiri dari wakil golongan: adat, agama, front nasional, lembaga sosial desa, wanita tani atau nelayan, buruh, pemuda dan veteran atau angkatan 45. Dari kesepuluh golongan tersebut, saat ini hanya dipertahankan tiga yaitu golongan adat (ninik mamak, cadiak pandai dan alim ulama), golongan wanita (bundo kanduang) dan golongan pemuda. Sepanjang sejarah nagari, telah terjadi pergumulan perebutan kekuasaan di tingkat nagari antara kelompok individu dan kelompok genealogis. Pada saat ini, perebutan tersebut untuk sementara dimenangkan oleh kelompok individu. Berdasarkan kajian yang dibuat oleh Kemal (2009), kelompok genealogis telah sejak lama memperjuangkan dominasi mereka (dalam pemerintahan nagari). Catatan yang mendukung hal tersebut antara lain adalah: 1. Pada tahun 1954 para niniak mamak, cerdik pandai dan alim ulama mengajukan tuntutan kepada pemerintah supaya mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa anggota-anggota dari DPRN hanya berisi dari golongan orang nan ampek jinih. Ini menggambarkan bahwa kelompok individu tidak diinginkan untuk terlibat dalam pemerintahan nagari.

7 $& 2. Menuntut dimasukannya mata pelajaran mengenai adat istiadat Minangkabau untuk diadakan di sekolah-sekolah, tuntutan ini terjadi pada tahun Meskipun pada masa pemerintahan orde baru kurikulum ini sempat menghilang namun sejak zaman reformasi mata pelajaran adat istiadat Minangkabau kembali di ajarkan di bangku sekolah. 3. Tahun 1957, mengaktifkan kembali kerapatan-kerapatan adat. 4. Pada tahun 1957 juga ada gerakan untuk memobilisasi gerakan massa yang diikuti para penghulu, ninik mamak, cerdik pandai dan seluruh pemangku adat se-sumatera Barat, yang bertempat di Bukittinggi. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk mengembalikan adat yang kawi, yang tak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Saat ini perjuangan tersebut sedikit banyak telah membuahkan hasil. Pemerintah kembali merangkul tokoh-tokoh adat dan unsur-unsur tradisional. Telah terbuka pintu bagi kelompok genealogis untuk berperan melalui lembagalembaga kemasyarakatan yang ada dalam nagari. Aksi sosial inilah yang sebenarnya diharapkan tumbuh dan bersinergi dengan kebijakan pemerintah di tingkat nagari. Sinergi tersebut saat ini memang belum terwujud secara optimal. Salah satu penyebabnya karena pemerintahan nagari saat ini masih dalam proses transisi antara keinginan untuk melepaskan diri dari bentuk nagari lama dan upaya untuk mengadopsi cara-cara baru berdasarkan aturan formal yang modern dalam mewujudkan bentuk nagari yang ideal. Menurut Warman K (2009), suatu sinergi dapat terjadi jika: (1) ada interaksi antar bagian-bagian terkait berbentuk kerjasama bukan kompetisi apalagi konflik; (2) terjadi penggabungan 2 (dua) bagian atau lebih; (3) ada tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh bagian-bagian yang digabungkan itu; (4) penggabungan tersebut mampu menghasilkan lebih dari pada hasil kerja bagian-bagian secara terpisah. Ke depan, kelompok individu diperkirakan akan tetap mendominasi organisasi pemerintahan nagari. Sebagai bagian dari sebuah birokrasi modern maka pemerintah nagari nantinya tentu akan diisi oleh orang-orang berdasarkan kompetensi tertentu bukan berdasarkan otoritas tradisional. Seperti yang dikatakan Webber (dalam Sztompka, 1994), kehidupan sosial dan organisasi

8 $& sosial cenderung menuju rasionalisasi yang mengutamakan pertimbangan instrumental, menekanan efisiensi, menjauhkan diri dari emosi dan tradisi serta impersonalitas managemen. Hal ini dijelaskan pula oleh Nurhadiantomo (1986), bahwa birokrasi adalah suatu sistem untuk mengatur jalannya pemerintahan. Ciri yang menonjol dalam birokrasi adalah adanya hirarki jabatan-jabatan, pemisahan urusan pribadi dengan jabatan, yang diatur menurut perundang-undangan. Karena itu bentuk ideal dari birokrasi adalah objektif, rasional, netral dengan mekanisme kerja yang efisien dan efektif. 6.3 Potensi Konflik Dalam Pemerintahan Nagari Kasus peralihan dari desa ke nagari menyebabkan perubahan baik perubahan struktur pemerintahan dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat maupun perubahan kewenangan, fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam pemerintahan nagari. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan oleh para perencana perubahan, dalam hal ini pemerintah. Pemerintah pusat dan Pemda Propinsi Sumatera Barat berperan sebagai regulator yang mengeluarkan undang-undang dan peraturan yang mengatur pelaksanaan pemerintahan desa/nagari, sedangkan Pemda Kabupaten Agam selain sebagai regulator, juga sebagai inisiator yang menginisiasikan berubahan kepada nagari. Pada saat pemerintahan nagari kembali dihidupkan, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur pembentukan lembaga-lembaga baru dalam nagari (agar dapat menjadi wadah bagi masyarakat guna berperan aktif untuk mewujudkan otonomi nagari), ternyata masih belum seperti yang diharapkan. Perubahan yang terjadi dalam nagari justru mengandung berbagai potensi konflik. Jika situasi tersebut tidak segera diantisipasi dan dikelola, maka akan menjadi hambatan dalam mewujudkan nagari yang otonom karena konflik dapat melemahkan struktur nagari. Berikut ini adalah berbagai kondisi yang mengandung potensi konflik dalam nagari Dualisme Kelembagaan Dalam Nagari. Saat ini dalam pemerintahan nagari masih terdapat dualisme kelembagaan. Yaitu kelembagaan yang menangani urusan adat dan kelembagaan yang menngani urusan pemerintahan. Urusan adat menjadi tanggung jawab lembaga KAN dan urusan administrasi pemerintahan menjadi wewenang pemerintah nagari. KAN

9 $&! berada di luar struktur pemerintahan. Kondisi ini tidak berbeda dengan pemerintahan desa yang memisahkan pemerintahan nagari dari unsur adat. Seperti yang diungkapkan oleh Warman (2009), nagari yang pada masa pemerintahan desa hanya sebagai kesatuan masyarakat hukum kembali berkedudukan sebagai pemerintahan terendah. Perda No. 13 Tahun 1983 dicabut dan harta kekayaan nagari termasuk ulayat nagari dikembalikan penguasaannya kepada pemerintahan nagari, tetapi keberadaan KAN sebagai lembaga adat dalam nagari tetap dipertahankan bahkan diakui dan diatur dalam peraturan daerah. Jadi, kebijakan kembali ke nagari secara umum ingin menggabungkan kondisi nagari sebelum pelaksanaan pemerintahan desa dengan kondisi nagari pada masa pemerintahan desa. Oleh karena itu, dualisme kelembagaan yang terdapat pada masa pemerintahan desa belum sepenuhnya dapat dihapuskan dengan mengembalikannya kekondisi bernagari sebelum pelaksanaan pemerintahan desa. Pada saat nagari dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan desa, lembaga dalam nagari juga ikut mengalami perubahan. Dan ketika desa bertransformasi ke bentuk nagari, lembaga pemerintahan desa juga mengalami transformasi. Namun dalam kenyataannya secara substansial ada yang tidak berubah. Hal itu dapat dilihat pada gambar berikut ini. Pemerintahan Nagari Adat + Pemerintahan Kelembagaan Lembaga Adat (KAN) Desa Lembaga Pemerintah (formal) Pemerintahan Nagari Bamus Nagari KAN = Pemimpin dari tiap tiap suku/kaum Wali Nagari Gambar 11. Transformasi lembaga pemerintahan nagari

10 $&" Dari desa ke nagari, lembaga adat dan pemerintahan tetap terpisah, ini bukanlah pemerintahan nagari yang pada dasarnya merupakan kesatuan teritorial genealogis. Keadaan ini tampaknya baru di sadari oleh kalangan akademisi, namun secara tidak lansung dari wawancara yang dilakukan baik kepada aparat pemerintahan di tingkat kabupaten, kecamatan hingga pemuka adat di Nagari IV Koto Palembayan, terungkap secara tidak lansung bahwa mereka menghendaki pemerintahan kembali ke kelompok genealogis. Mereka menyampaikan satu harapan bahwa kembali ke nagari adalah momentum untuk memfungsikan kembali ninik mamak (kelompok genealogis) dan menghidupkan kembali adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pakar hukum adat dari Universitas Andalas, menyatakan bahwa dulunya pemerintahan nagari sama dengan pemerintahan adat dimana kekuasaan berada di tangan ninik mamak, pemerintahan dijalankan oleh satu lembaga yaitu Lembaga Kerapatan Nagari. Lembaga ini memainkan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Ini yang kemudian pada zaman desa dipisahkan adat dijalankan oleh lembaga KAN dan pemerintahan dijalankan oleh pemerintah desa dan perangkatnya. Pada saat ini KAN masih dipisahkan dari pemerintahan nagari. Jika ingin menghidupkan nagari seperti dulu seharusnya lembaga adat dan lembaga pemerintahan dilebur dalam satu kelembagaan artinya kembalikan pemerintahan ketangan KAN, jika lembaga KAN masih berada di luar struktur pemerintahan nagari, maka hal ini tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan desa yang hanya merupakan kesatuan teritorial saja. Dualisme kelembagaan dalam nagari dapat berpotensi menimbulkan konflik jika keadaan ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi kelompok genealogis untuk berpartisipasi dalam membangun nagari. Sesuai dengan pendapat Eko S (2007) yang menyatakan bahwa, sebagai unit pemerintahan otonom, setiap nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat yang berfungsi sekaligus sebagai badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di dalam Kerapatan Adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan secara musyawarah mufakat melaksanakan pemilihan Wali Nagari, melakukan peradilan atas

11 $'# anggotanya dan menetapkan peraturan demi kepentingan anak nagari. Suasana demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat, baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum adat. Namun demikian sejauh ini telah mulai ada gerakan untuk memfungsikan kembali ninik mamak atau kelompok genealogis dalam setiap program. Pemerintah Nagari IV Koto Palembayan telah mulai merangkul kembali kelompok genealogis ini dengan mengikutsertakan mereka di berbagai kegiatan. Ninik mamak kembali difungsikan sebagai wakil dari kaum atau suku. Namun tampaknya usaha ini masih akan memerlukan waktu yang panjang karena terkendala oleh sumberdaya manusia dari ninik mamak tersebut, sebagaimana yang diakui oleh salah seorang tokoh masyarakat yaitu Dt. AS yang mengatakan bahwa Terdapat sebagian ninik mamak yang tidak mengerti apa-apa bahkan kemenakannya lebih pintar dari mamaknya karena pendidikan formal yang ditempuhnya lebih tinggi dari si mamak, bagaimana ninik mamak ini akan mewakili mereka. Saya menganjurkan agar pemerintah nagari bekerja sama dengan KAN untuk merumuskan sebuah peraturan pauh-pauh adat yang memberikan pedoman bagi ninik mamak. Karena pada zaman desa dulu memang mereka sudah sangat tersingkirkan sehingga agak sulit untuk memfungsikannya kembali sebagaimana mestinya di samping itu hak dari ninik mamak ini tidak jelas. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik antara wali nagari dengan para ninik mamak, terlebih lagi wali nagari IV Koto Palembayan yang sekarang bukan berasal dari kelompok genealogis. Jika hal ini terjadi, maka dengan menggunakan teori fungsionalisme konflik, konflik antara wali nagari dan kelompok genealogis ini, akan dapat melemahkan pemerintah nagari (negatif fungsional). Dalam kasus ini ninik mamak mempunyai potensi untuk menggagalkan setiap program pemerintah nagari (wali nagari) karena secara de facto ninik mamak adalah pemimpin di kaumnya yang meskipun posisinya tidak sekuat dulu, namun masih sangat dihargai oleh anggota kaumnya. Dengan kata lain, jika sebuah program tidak mendapat dukungan dari para nini mamak, maka mereka dapat menggunakan pengaruhnya untuk menghimbau anggota kaumnya supaya tidak mendukung program tersebut.

12 $'$ Meskipun dualisme kelembagaan dalam nagari adalah buah dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah supra nagari, namun kemungkinan konflik antara wali nagari dengan para ninik mamak dapat dicegah apa bila wali nagari dapat bekerjasama atau berkoordinasi dengan ninik mamak dalam hal ini KAN, dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan kewenangan wali nagari yang berkaitan dengan upaya mendukung kelangsungan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Jika wali nagari dan KAN bisa bekerja sama dengan baik, maka ninik mamak dapat menggunakan pengaruhnya sebagai pemimpin kaum untuk menggerakan partisipasi warga untuk mendukung setiap kebijakan atau program pemerintah nagari. Ini dapat memperkuat pemerintahan nagari (positif fungsional) Tumpang Tindih dan Ketidakjelasan Peran Lembaga-lembaga dalam Nagari. Diawal pembentukan pemerintahan nagari, terdapat banyak lembaga baru yang dibentuk, namun dengan tugas dan fungsi yang tidak jelas. Sebagian besar lembaga tersebut hilang dengan sendirinya seperti lembaga MUNA. Lembaga yang masih tetap dipertahankan namun tidak berfungsi dengan baik yaitu LPMN, PPN. Adapun lembaga yang tugas dan fungsinya tumpang tindih adalah Bundo Kandung dan PKK. Kedua lembaga ini diisi oleh orang-orang yang sama. Kritik yang dilontarkan oleh Sjofyan Thalib tahun 2002 karena banyaknya lembaga baru dalam nagari sehingga menimbulkan tumpang tindih peran diantara lembaga tersebut, ternyata, meskipun hal ini telah dicoba untuk diperbaiki melalui perubahan peraturan dari Perda Kabupaten Agam No. 31/2001 menjadi Perda No 12/2007, tumpang tindih tugas dan fungsi masih tetap terjadi. Lembaga-lembaga seperti PPN dan Linmas dan masih ada satu lembaga lain binaan polisi yaitu Lembaga Polmas (Polisi Masyarakat), ketiganya mempunyai tugas yang hampir sama yaitu bidang keamanan dan penertiban masyarakat dan juga sama-sama tidak berperan secara optimal sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga halnya lembaga PKK dan Bundo Kanduang, kedua lembaga ini memiliki program yang sama saja dengan anggota yang juga sama. Sepertinya lembaga-lembaga yang ada tidak lagi tumbuh sesuai dengan kebutuhan, namun hanya memenuhi peraturan yang ada. Pemerintah supra nagari

13 $'% tidak benar-benar memberikan ruang bagi nagari untuk membentuk sendiri lembaga yang mereka perlukan. Ini menunjukan masih besarnya intervensi pemerintah terhadap nagari. Tumpang tindih tugas dan fungsi ini berpotensi menimbulkan konflik karena masing masing dapat melemparkan tanggung jawabnya. Misalnya jika salah seorang anggota masyarakat melanggar ketentuan dalam peraturan nagari siapa yang wajib menanganinya? Apakah anggota PPN, Polmas atau Linmas karena menurut peraturan ketiga lembaga itu mempunyai kewajiban untuk menangani pelanggaran peraturan oleh warga dalam nagari. Jika kemudian masing-masing anggota dari ketiga lembaga tersebut saling menyangka bahwa hal itu telah di tangani oleh salah seorang dari mereka, sehingga akhirnya tidak satupun yang bergerak, siap yang paling bertanggung jawab mengenai hal ini? Potensi konflik akibat tumpang tindih tugas dan fungsi lembaga dalam nagari ini dapat memperlemah struktur (negatif fungsional) karena akan ada kemungkinan saling lempar tanggung jawab diantara unsur dalam nagari. Ini tentu saja harus segera dibenahi oleh pemerintah nagari. Langkah pertama pemerintah nagari sebaiknya mengeluarkan perna yang mengatur pembagian tugas yang jelas antara masing-masing lembaga selanjutnya mengadakan pertemuan rutin guna menanamkan pemahaman masing-masing unsur akan tugasnya berdasarkan peraturan. Jika masing masing pihak dapat mengerti dan mampu menjalankan fungsinya, maka ini akan memperkuat pemerintahan nagari (positif fungsional) Perubahan Peraturan. Reorganisasi lembaga-lembaga dalam nagari dilaksanakan seiring dengan perubahan-perubahan peraturan daerah yang berlaku. Saat proses penanaman pemahaman mengenai pemerintahan nagari saat ini kepada orang-orang yang terlibat dalam lembaga-lembaga nagari masih berjalan dan belum mencapai hasil yang seperti diharapkan karena masih terdapat simpang-siur pemahaman bagaimana sebaiknya pemerintahan nagari dilaksanakan, kembali perubahan peraturan terjadi. Ketika Perda Kabupaten Agam No. 31/2001 diterapkan, Nagari IV Koto Palembayan sebagai nagari pertama yang kembali dibentuk segera membuat lembaga-lembaga baru. Ketika lembaga-lembaga tersebut belum lagi bisa bekerja secara optimal karena daerah ini masih dalam proses transisi,

14 $'& pemerintah kembali mengeluarkan perda yang menghendaki perubahan lembagalembaga dalam nagari. Salah satu lembaga yang mengalami perubahan adalah lembaga BPRN menjadi Bamus. Pembentukan Bamus ini dilaksanakan secara tergesa-gesa oleh pemerintah nagari. Pada waktu pemilihan anggota Bamus Nagari IV Koto Palembayan, saat itu hanya dihadiri oleh 26 perserta rapat, termasuk perangkat nagari proses ini sebenarnya menimbulkan pro dan kontra, karena banyak yang tidak mengetahui proses pemilihan ini. Karena hanya melibatkan segelintir orang, maka pemilihan anggota Bamus ini menimbulkan ketidak puasan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam pemilihan anggota Bamus ini sebaiknya pemerintah nagari memberitahukan kepada setiap jorong agar mengirimkan wakil-wakilnya dari unsur yang telah ditetapkan yaitu niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama, bundo kanduang dan pemuda, untuk diajukan menjadi anggota Bamus. Jadi meskipun anggota Bamus tidak merupakan wakil jorong tapi wakil dari unsur yang telah disebutkan tadi, namun karena pada tiap-tiap jorong kelima unsur ada, maka tentu pemerintah nagari harus mengikutsertakan mereka dalam proses pemilihan. Sementara yang terjadi, dengan alasan desakan dari atas (Pemerintah Kabupaten Agam) untuk segera membentuk Bamus Nagari, maka pemerintah nagari saat itu hanya mengundang tokoh-tokoh tertentu yang tempat tinggalnya berdekatan atau mudah dijumpai, bahkan pada saat pemilihan tersebut terdapat tokoh yang tidak hadir namun terpilih sebagai anggota Bamus. Proses ini kemudian menuai protes dari berbagai pihak. Seperti Jorong Lambeh, adalah jorong yang sama sekali tidak mempunyai satupun tokoh yang hadir pada saat rapat pemilihan aggota Bamus. Meskipun mereka memprotes pemilihan tersebut, namun pihak pemerintah nagari waktu itu beralasan bahwa waktunya sangat mendesak untuk segera dibentuk Lembaga Bamus, sehingga undangan hanya disebarkan kebeberapa tokoh saja. Perubahan lembaga dari BPRN ke Bamus menuai kekecewaan dari beberapa tokoh masyarakat. BPRN dianggap lebih baik, karena keanggotaan dalam BPRN diisi oleh wakil tiap-tiap jorong, sehingga masyarakat masingmasing jorong tahu jika ada aspirasi atau masalah yang akan disampaikan, mereka dapat menyampaikan melalui wakilnya yang ada di BPRN. Saat ini keanggotaan

15 $'' Bamus lebih sedikit karena hanya terdiri dari perwakilan unsur-unsur yang telah ditetapkan yaitu unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda semuanya berjumlah 9, sementara anggota DPRN dulu sebanyak 19 orang. Penentuan jumlah anggota Bamus Nagari menurut Perda Kabupaten Agam No 12 tahun 2007 adalah sebagai berikut: 1. Untuk nagari berpenduduk sampai dengan 2000 jiwa sebanyak 5 orang 2. Untuk nagari berpenduduk jiwa sebanyak 7 orang 3. Untuk nagari berpenduduk jiwa sebanyak 9 orang 4. Untuk nagari berpenduduk 7001 atau lebih sebanyak 11 orang Angggota-anggota Bamus yang bukan dari wakil tiap-tiap jorong, maka pemerintah nagari saat itu sebagai fasilitator pemilihan angota Bamus tidak merasa wajib memberitahukannya ke pada masing-masing jorong sehingga terkesan yang diundang untuk pemilihan anggota hanya tokoh-tokoh masyarakat disekitar Jorong Pasar saja (kantor nagari berada di Jorong Pasar Palembayan) meskipun undangan memang telah memenuhi syarat karena telah berisikan lima unsur yang ada dalam masyarakat. Seperti penuturan salah seorang anggota Bamus Bapak Rus.St.M Ketika perangkat nagari memberikan undangan ke kantor camat untuk pemilihan anggota Bamus (kebetulan beliau juga bekerja di kantor camat) saya menanyakan mengapa saya dan Pak In (yang juga bekerja di kantor camat) selaku putra asli Nagari IV Koto Palembayan tidak diundang? Akhirnya sekretaris wali nagari waktu itu Pak Fred, membuat undangan tambahan untuk kami berdua. Ketika pemilihan dilansungkan di kantor nagari saya dikelompokan ke dalam unsur cadiak pandai namun tidak terpilih. Dari unsur pemuda sebenarnya yang terpilih adalah Saudara Sum.Kt.S, namun karena waktu itu umurnya belum memenuhi syarat akhirnya ditunjuklah saya sebagai wakil dari unsur pemuda. Karena kesibukan saya sebagai pegawai negeri rasanya saya akan mengundurkan diri saja karena tidak optimal bekerja sebagai anggota Bamus. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada salah seorang perangkat nagari yang pada waktu itu ikut menjadi salah seorang fasilitator pembentukan anggota Bamus, ia menjawab bahwa saat itu ada desakan dari pemerintah daerah kabupaten untuk segera membentuk lembaga Bamus sesuai dengan peraturan baru. Oleh karena itu karena wilayah Nagari IV Koto palembayan ini sangat luas dan sulit dijangkau, maka wali nagari saat itu berinisiatif untuk mengundang orang-orang yang mungkin dijumpai dan tempat tinggalnya di sekitar kantor wali

16 $'( nagari saja. Alasannya yang penting adalah telah memenuhi syarat berupa lima unsur yaitu harus ada ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kanduang dan tokoh pemuda Ketidaksiapan Menerima Perubahan Penerapan birokrasi modern hingga ketingkat nagari ini menimbulkan berbagai perubahan dalam struktur pemerintahan di tingkat nagari. Birokrasi modern menghendaki/menuntut adanya organisasi/lembaga tertentu yang sengaja dibentuk untuk melaksanakan tugas yang sebelumnya tidak dikenal oleh pemerintah nagari secara tradisional. Keberadaan organisasi atau lembaga ini memunculkan fungsi-fungsi baru dalam masyarakat. Birokrasi modern juga menuntut penyesuaian masyarakat dengan sistem yang formal, rasional, efisien dan bisa juga bersifat impersonal yang mana sifat-sifat ini sebelumnya tidak/kurang berkembang ditengah masyarakat yang tradisonal dengan pola-pola hubungan yang bersifat personal. Perubahan lain yang ditimbulkan adalah perubahan pada kriteria pemilihan pemimpin yang harus memenuhi syarat tertentu salah satunya syarat pendidikan formal hingga jenjang tertentu. Ini menggantikan kriteria pemimpin tradisional dalam masyarakat. Perubahan berlansung lebih cepat dibanding perubahan kemampuan manajemen organisasi/lembaga untuk merespon perubahan tersebut. Pada lembaga KAN, para anggotanya yang terdiri dari ninik mamak Nan 80, sebagian mulai menyadari bahwa mereka harus berperan aktif, namun hal ini tidak terakomodir oleh KAN, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi: a. Keuangan KAN yang sangat minim. Saat ini sumber dana KAN hanya berasal dari pemerintah yaitu sebesar /bulan. Pengurus KAN tidak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban terhadap penggunaan dana ini. Tidak banyak program yang bisa dibuat oleh KAN dengan dana sebanyak itu, begitu juga dengan rapat-rapat sosialisasi kebijakan yang diambil oleh KAN sangat jarang (hampir tidak pernah dilakukan), akibatnya semua kebijakan yang mengatas namakan KAN hanya diambil oleh para pengurus KAN di nagari saja. Seperti penuturan salah seorang anggota KAN yaitu Bapak Sa.Dt.P berikut ini:

17 $' Ketua KAN dan pengurusnya hanya sibuk di kantor nagari saja, tidak pernah turun ke bawah untuk melihat permasalahan yang ada. Lembaga pemerintah dan lembaga tradisional belum bisa berjalan seiringan karena lembaga pemerintah (pemerintah nagari) disokong oleh dana yang cukup, sementara lembaga tradisional (ninik mamak/kan) belum menjalankan fungsinya dengan optimal karena kekurangan dana. Dana yang ada saja bahkan tidak cukup untuk dipakai rapat, bayangkan saja, jika ke 80 ninik mamak yang ada diundang rapat, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan minimal panitia harus menyediakan 80 bungkus nasi. Mungkin itu sebabnya KAN tidak pernah rapat untuk membahas permasalahan dalam nagari. Dulunya ninik mamak memiliki sumber keuangan sendiri yang berasal dari sawah pagadanga 3, namun seiring dengan bertambah dan berkembangnya jumlah kemenakan maka sawah tersebut diolah oleh kemenakan saja sehingga saat ini ninik mamak tidak memiliki sumber penghasilan dari kaumnya dan lebih banyak mengurusi urusan keluarganya saja (keluarga inti). b. Sumberdaya manusia yang terbatas. Tidak semua ninik mamak, karena keterbatasan SDM-nya memahami fungsinya sehingga terkesan saat ini KAN masing-masing jorong berjalan sendiri-sendiri. Kebijakan untuk melibatkan ninik mamak di satu sisi bertujuan untuk memfungsikan kelompok genealogis, namun di sisi lain membuat beberapa urusan menjadi lebih panjang. Perubahan berjalan lebih cepat dibanding kesiapan untuk menerima perubahan. Dalam hal ini ninik mamak tidak siap (tidak mampu) untuk menjalankan fungsinya sebagai mana yang diharapkan. Hal ini bisa jadi karena ninik mamak yang sekarang berasal dari kaum muda (terdapat juga orang-orang yang sudah tua tapi jumlahnya sangat sedikit) yang mereka tidak begitu paham bagaimana peran ninik mamak dulunya. Hal ini bisa dimaklumi karena lebih dari 25 tahun (pada masa pemerintahan desa) ninik mamak ini telah dikesampingkan. Begitu juga dengan kondisi lembaga-lembaga lain dalam nagari, mereka diisi oleh orang-orang yang tidak terbiasa dengan cara kerja organisasi modern, selain juga terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia dalam nagari. Sebenarnya hal ini sedikit demi sedikit dapat diatasi melalui program-program pelatihan serta sosialisasi baik oleh pemerintah nagari maupun supra nagari. Contohnya seperti pembinaan tertib administrasi yang dilakukan oleh aparat kecamatan kepada Pemerintah Nagari IV Koto Palembayan, hasilnya saat ini menurut salah seorang aparat kecamatan, admistrasi di Nagari IV Koto Palembayan ini sudah lebih baik dan telah mengikuti ketentuan. Tentu saja 3 sawah atau ladang yang diolah/dikerjakan oleh kemenakan dan sebagian hasilnya diserahkan kepada ninik mamak.

18 $' ketersediaan biaya yang cukup menjadi penentu bagi keberhasilan program sosialisasi ini Munculnya Sentimen Kesukuan Sebagai mana diakui oleh aparat Pemerintahan Kabupaten Agam, salah satu dampak dari kembali kenagari adalah menguatnya rasa kesukuan (wawancara dengan Bapak Is dan Del. Hal ini berdampak pada timbulnya sentimen kesukuan. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan konflik antara pendatang dan penduduk asli. Seperti pengakuan dari mantan kepala desa Pasar Palembayan, bahwa berdasarkan peraturan seharusnya kepala desa yang tertua dalam wilayah nagari tersebut lansung diangkat menjadi pejabat sementara wali nagari, kebetulan dialah yang tertua diantara kepala desa yang ada saat itu, namun karena ia merupakan pendatang, maka warga tidak menginginkannya menjadi wali nagari sementara. Begitu juga ketika wali nagari kedua tidak bisa lagi menjalankan tugasnya karena sakit, maka sesuai dengan ketentuan, sekretaris wali nagari lansung menjadi pejabat sementara wali nagari. Karena sekretaris wali nagari tersebut juga adalah seorang pendatang, maka bermunculanlah suara-suara sumbang yang menginginkannya segara mundur. Konflik yang menyangkut sentimen kesukuan sejauh ini tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Hal ini bisa jadi karena tidak banyak pendatang yang bekerja di kantor wali nagari atau yang bekerja mengurus kepentingan publik di samping itu jumlah pendatang juga tidak banyak. Selain itu juga terdapat kemungkinan bahwa konflik ini bersifat laten yang artinya jika suatu saat timbul sebab yang dapat menyulut pertikaian antara pendatang dan penduduk asli, maka sentimen kesukuan ini akan menjadi faktor pendorong munculnya konflik terbuka. Munculnya sentimen kesukuan, disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bentuk nagari saat ini. Ini dapat dipahami karena selain sosialisasi yang masih kurang, juga disebabkan bahwa secara psikologis kata nagari sendiri sebenarnya telah memiliki makna tersendiri yang telah disepakati. Ketika kata ini kembali digunakan maka orang-orang akan mengingatnya sebagai mana nagari asli dulu yaitu sebuah wilayah dengan sistem pemerintahan tertentu yang tidak memberikan ruang kepada pendatang untuk menjadi pemimpin. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bernagari penduduk asli memiliki status

19 $'! sosial yang lebih tinggi dibanding pendatang karena mereka merasa nenek moyangnyalah yang dulu telah menemukan/membuka daerah tersebut, sementara pendatang adalah orang yang menumpang di tanah tersebut. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika sebagian orang merasa tidak senang jika ada pendatang yang menjadi pemimpin dalam nagari Konflik Kepentingan Perubahan struktur pemerintahan akibat transformasi dari desa ke nagari, berdampak pada perubahan politik lokal di tingkat nagari. Konflik kepentingan ini bisa melibatkan individu maupun kelompok yang terdiri dari individu-individu yang terikat oleh suatu kepentingan. Dijadikannya nagari sebagai kesatuan administrasi terendah telah membuat nagari menjadi arena politik perebutan kekuasaan. Perebutan diantara kelompok strategis (elit lokal) menurut Evers dan Tilman (1992), tidak hanya berbentuk harta benda melainkan juga kekuasaan, prestise, ilmu pengetahuan dan juga keagamaan. Untuk Nagari IV Koto Palembayan kekuasaan dan prestise menjadi motif utama yang diperebutkan. Sebagai nagari pertama di Kabupaten Agam yang kembali dihidupkan, di sini terdapat berbagai konflik kepentingan. Pemerintah Kabupaten merasa perlu untuk memuluskan rencana ini sehingga bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Sementara itu pihak Kecamatan juga tidak mau disalahkan jika proses kembali ke nagari yang pertama ini gagal. Oleh karena itu pihak kecamatan dalam mensosialisasikan rencana kembali ke nagari hanya mengundang tokoh-tokoh yang danggap sejalan dan dianggap dapat bekerja sama. Berikut penuturan dari salah seorang tokoh masyarakat yaitu Bapak As, yang menjadi sekretaris pertama dalam pemerintahan nagari dan juga sekaligus anggota KAN: Nagari IV Koto Palembayan ini merupakan nagari pertama yang kembali dihidupkan di Kabupaten Agam. Proses pembentukan nagari terlalu tergesa-gesa (seolah-olah dipaksakan), pada hari penunjukan wali nagari sementara, lansung pula terbentuk lembaga MUNA, MAMAS, BPRN. Meskipun banyak suara suara yang menyatakan ketidak puasan terhadap proses pembentukan nagari ada namun itu hanya sebatas di lapau (warung) saja sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap pemerintah nagari. Yang mengherankan saya selaku sekretaris ditunjuk oleh ninik mamak bukannya oleh Wali Nagari, ini merupakan kejanggalan. Menurut Bapak As, tidak ada sosialisasi untuk kembali ke nagari, mungkin ada (dua kali)

20 $'" tapi yang diundang hanyalah tokoh-tokoh tertentu. Jadi ada kesan Wali Nagari seolah-olah sudah terbentuk sebelum nagari terbentuk. Saya pernah diundang menghadiri rapat, pada saat itu para tokoh yang pernah diundang sebelumnya telah memegang perda No. 31 tahun 2001 sementara yang lain tidak tau, jadi mereka seolah-olah memaksakan, bahwa pembentukan nagari ini adalah sesuai dengan perda. Pada masa proses peralihan ini Ninik mamak seolah-olah menjadi perpanjangan tangan dari wali nagari (disuruh-suruh) pada hal menurut aturannya KAN sebenarnya adalah mitra bagi wali nagari. Sampai ketika saya menghadiri seminar yang diadakaan oleh LKAAM Sumbar di Padang. Ternyata nagari ideal yang mereka jelaskan tidak seperti yang diterapkan di IV Koto Palembayan. Maka saya kemudian menemui ketua LKAAM dan mengusulkan agar LKAAM Sumbar memberikan utusan guna mensosialisasikan bagaimana nagari yang sekarang seharusnya di jalankan di IV Koto Palembayan, karena menurut saya Nagari IV Koto Palembayan saat itu dijalankan semaunya saja oleh Wali Nagari yang pertama. Awalnya rencana ini mendapatkan respon positif dari wali nagari, namun terdapat suara-suara sumbang yang mengatakan seolah-olah saya menyuruh para ninik mamak untuk belajar adat lagi, sehingga pertemuan dengan LKAAM Sumbar dibatalkan. Oleh karena itu saya melihat bahwa Wali Nagari I sepertinya memerintah semaunya saja dan tidak mau mengetahui bagaimana seharusnya nagari itu dijalankan, oleh karena itu saya mengundurkan diri dari jabatan Sekretaris Wali Nagari. Menurut pendapat saya, seolah-olah dengan kembali ke nagari pemerintah nagari dapat berbuat semaunya saja. Selain itu para ninik mamak dalam nagari juga merasa berkepentingan untuk menegakan kembali dominasi mereka dalam nagari sebagai mana nagari dulu dengan mendudukan salah satu wakil mereka dalam pemerintah nagari yaitu sebagai wali nagari, meskipun berdasarkan peraturan tidak harus seperti itu. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya Wali Nagari IV Koto Palembayan yang pertama merupakan seorang ninik mamak, meskipun seharusnya yang menjadi pejabat sementara wali nagari adalah kepala desa yang tertua. Potensi konflik karena rasa kesukuan ini bisa di kategorikan konflik yang tidak realistis karena beranjak dari hal-hal yang tidak rasional Sengketa Tapal Batas Antar Nagari Pengakuan nagari menjadi wilayah administratif terendah menghendaki adanya batas-batas yang jelas antar nagari. Hal ini mengandung potensi konflik karena secara tradisional nagari mempunyai batas tidak tertulis yang hanya diturunkan dari generasi ke generasi melalui langgam tambo secara lisan. Ditambah lagi dengan adanya perda yang memberikan wewenang ke pada nagari

21 $(# untuk mengatur kekayaan nagari (baik tanah, hutan, dan lain-lain) ini juga memicu sengketa tanah antara nagari. Seperti yang terjadi antara Nagari IV Koto Palembayan kususnya ninik mamak Nan 14 di Jorong Koto Tinggi dengan Nagari III koto Silungkang khususnya dengan Ninik Mamak Nan 16. Pada masa pemerintahan desa semua sumber daya alam berada di bawah pengaturan pemerintah pusat. Sengketa merebak setelah adanya kajian menyatakan bahwa di lahan tersebut ternyata mengandung batu bara selain juga disana terdapat sarang burung walet. Dengan kembali ke nagari, maka pemerintah nagari mempunyai wewenang untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain guna mengolah sumberdaya tersebut. Ninik Mamak Nan 14 di Jorong Koto Tinggi, Nagari IV Koto Palembayan mengklaim bahwa itu adalah tanah ulayat mereka, hal yang sama juga dilakukan oleh Ninik Mamak Nan 16 dari Nagari III Koto Silungkang. Berikut ini sebagian langgam tambo yang menggambarkan batas kedua ulayat: Langgam tambo dari Ninik Mamak Nan 16 Jorong Silungkang Nagari III Koto Palembayan: Yang manjadi tapal batas jorong Silungkang Kanagarian III Koto Silungkang dengan Jorong Koto tinggi Kenagarian IV Koto Palembayan, mulai dari puncak dama rumpuik manurun ka anak aia Koto Tinggi manyubarang dan mandaki taruih ka Bancah Barutiang, di Bancah Barutiang saparo Silungkang dan saparo Koto Tinggi dan taruih manuju tulang Pamatang Panjang dan manuju bateh Agam jo Pasaman Timur di tapi Batang Sianok Karuah. Dihiliakan Batang Sianok karuah menuju patamuan Sianok Karuah Jo Batang alahan Panjang. (Mulai dari puncak Dama Rumpuik (nama sebuah bukit) terus ke anak sungai Koto Tinggi hingga ke seberang, terus mendaki ke Bancah Barutiang, di daerah ini separo daerah Silungkang dan separonya lagi daerah Koto Tinggi dan menuju batas daerah Agam dan Pasaman Timur yaitu di tepi Sungai Sianok Karuah. Hingga ke hilir sungai Siano Karuah sampai kepertemuan sungai Sianok Karuah dengan Sungai Alahan Panjang)

22 $($ Bandingkan dengan sebagian langgam tambo yang berasal dari Ninik Nan 14 Jorong Koto Tinggi Kenagarian IV Koto Palembayan: Lantak supadan atau tapal batas ulayat Ninik Mamak Nan 14 Jorong Koto Tinggi dengan Jorong Silungkang Nagari III Koto Silungkang Sebelah Selatan: dari Balai Kamih manuju ka Hulu Tambang tahantak ka Lubuak Gadang Hilia. Dari Lubuak Gadang Hilia taruih manuju kabatang Lubuak Gadang, di Hilia Batang Lubuak Gadang sampai ka patamuan Batang Lubuak Gadang jo anak aia Tambang Boco itulah nan manjadi batas ulayat Niniak Mamak Nan 14 jorong Koto Tinggi dengan ulayat Niniak Mamak Nan 16 jorong Tantaman. Sebelah Barat: dari patamuan Batang aia Lubuak Gadang jo anak aia Tambang Boco, di hiliakan sampai ka Batang Masang itulah nan banamo Sungai Balik, nan manjadi batas ulayat Ninik mamak nan 14 joronh Koto Tinggi dengan ulayat Ninik Mamak Nan 16 jorong Silungkang. Dari patamuan Sungai Balik jo Batang Masang, dimudiakan sampai Batang Sianok jo Batang Aia Kumpulan, itulah nan banamo batang Masang. (Sebelah Selatan: dari Balai Kamih menuju ke hulu tambang hingga ke hilir Lubuak Gadang (nama sungai). Dari hilir Lubuak Gadang terus ke sungai Lubuak Gadang, di sebelah hilir sungai Lubuak Gadang sampai ke pertemuan antara sungai Lubuak Gadang dengan anak sungai Tambang Boco itulah yang menjadi batas ulayat Ninik Mamak Nan 14 jorong Koto Tinggi dengan jorong ulaya Ninik Mama Nan 16 jorong Tantaman (Nagari III Koto Silungkang)) (Sebelah Barat: dari pertemuan antara suangi Batang Gadang dengan anak sungai Tambang Boco, terus ke hilir sampai ke Batang Masang (nama sungai) itulah yang bernama Sungai Balik, yang menjadi batas ulayat Ninik Mamak Nan 16 jorong Silungkang (nagari III Koto Silungkang). Dari pertemuan antara Sungai Balik dengan Batang Masang, terus ke hulu sampai ke Batang Sianok (nama sungai) dengan Batang Aia Kumpulan (nama sungai), tempat itu bernama Batang masang (nama sungai)) Lahan yang disengketakan tersebut bernama Dama Rampah yang merupakan batas di sebelah Selatan Jorong Koto Tinggi. Saat ini lahan tersebut

23 $(% secara administratif berada di wilayah Jorong Koto Tinggi. Dari keterangan di atas di ketahui bahwa Jorong Koto Tinggi mengakui bahwa batas ulayat mereka dengan Jorong Silungkang adalah Sungai Balik dan Batang Masang (nama sungai). Sementara menurut warga Silungkang kedua sungai tersebut masih termasuk ulayat mereka, batasnya adalah tempat yang bernama Bancah Baruntiang (bukit). Menurut Ninik Mamak Nan 16 di Nagari III koto Silungkang, mereka mau berdamai jika tanah yang disengketakan tersebut dibagi dua. Hal ini tidak diterima oleh Ninik mamak Nan 14 dari Nagari IV Koto Palembayan karena mereka merasa benar bahwa keseluruhan lahan yang disengketakan itu adalah milik kaum mereka. Meskipun sengketa telah ditangani dengan melibatkan pemerintah Kecamatan dan KAN dari kedua nagari, sengketa tersebut sampai saat ini belum terselesaikan. Berikut ini adalah kronologis sengketa tanah antara jorong Koto Tinggi di Nagari IV Koto Palembayan dengan Jorong Silungkang di Nagari III Koto Silungkang yang terdapat pada lampiran Surat Pernyataan yang dibuat oleh Dt.M (ketua adat Ninik Mamak Nan 14, Jorong Koto Tinggi) a. Pada Hari Sabtu, 24 Mei 2008, masyarakat Jorong Silungkang sebanyak sekitar 100 orang sekitar jam WIB memasuki wilayah Jorong Koto Tinggi dengan alasan survey lokasi di Rimbo Baluka Laweh dan Rimbo Padang Koto Tuo. Menurut mereka kedatangan tersebut dilatarbelakangi karena adanya informasi dari masyarakat Silungkang yang menyatakan bahwa masyarakat Jorong Koto Tinggi telah banyak yang menggarap hingga ke wilayah Silungkang. Namun dari hasil survey, melalui wali jorong Silungkang yaitu Romi Okta Fendra yang didampingi oleh Ninik Mamak Nan 16 Jorong Silungkang, Nagari III Koto Silungkang, ia mengatakan kepada wali jorong Koto Tinggi, bahwa lahan atau wilayah mereka tidak ada yang tergarap oleh masyarakat jorong Koto Tinggi. b. Pada tanggal 28 Mei 2008, sekitar 125 orang masyarakat Silungkang menggarap lahan yang awalnya sudah dirintis oleh masyarakat Koto Tinggi. Setelah mendapat teguran, mereka menggeser lahannya sejauh 300 meter dari tempat tersebut. Selanjutnya tanggal 4 Juni 2008 diadakan

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memakai sistem pemerintahan lokal selain pemerintahan desa yang banyak dipakai oleh berbagai daerah

Lebih terperinci

ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV

ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok dalam suatu ikatan genealogis dan teritorial yang otonom dengan pemerintahan kolektif berdasarkan hukum adat dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002 Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI Menimbang : a. bahwa modal dasar pembangunan Nagari yang tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT Menimbang: PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT a. bahwa berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari Orde Lama, Orde Baru sampai kepada reformasi seperti yang kita jalani pada saat sekarang ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang sentralistik, dimana segala bentuk keputusan dan kebijakan yang ada

BAB I PENDAHULUAN. negara yang sentralistik, dimana segala bentuk keputusan dan kebijakan yang ada BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mengalami berbagai macam bentuk sistem pemeritahan. Sebelum reformasi bergulir, Indonesia adalah sebuah negara yang sentralistik,

Lebih terperinci

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA SKRIPSI PELAKSANAAN KEWENANGAN BADAN MUSYAWARATAN NAGARI (BAMUS) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NAGARI PADA NAGARI KOTO MALINTANG KECAMATAN TANJUNG RAYA KABUPATEN AGAM Program Kekhususan HUKUM TATA

Lebih terperinci

Dilema Dalam Transformasi Desa Ke Nagari :

Dilema Dalam Transformasi Desa Ke Nagari : ISSN : 1978-4333, Vol. 03, No. 02 1 Dilema Dalam Transformasi Ke : Studi Kasus di Kenagarian IV Koto Palembayan, Provinsi Sumatera Barat Nuraini Budi Astuti, Lala M. Kolopaking, dan Nurmala K. Pandjaitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut

I. PENDAHULUAN. Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari kaum penjajah adalah cita-cita untuk dapat mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia.Provinsi Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang: a. bahwa nagari sebagai kesatuan

Lebih terperinci

MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH. Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc.

MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH. Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc. MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc. Minangkabau merupakan salah satu diantara suku bangsa yang menempati wilayah bagian tengah

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN BAB IV SIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan penutup dalam kajian penelitian ini. Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan hasil penelitian tentang Modal Sosial dan Otonomi Desa dalam Pemerintahan Nagari

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Sebagai sebuah bentuk kehidupan dalam masyarakat, organisasi atau lembaga pemerintahan nagari telah mengalami banyak perubahan, mulai dari perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, oleh karenanya manusia tidak bisa terlepas dari tanah. Tanah sangat dibutuhkan oleh setiap

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI NURAINI BUDI ASTUTI

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI NURAINI BUDI ASTUTI TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI (Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat) Oleh : NURAINI BUDI ASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambaha

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambaha PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PELESTARIAN ADAT BUDAYA DALAM HIDUP BERNAGARI DI KOTA PADANG Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192

PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192 PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192 PERATURAN NAGARI SIMARASOK NOMOR 01 TAHUN 2002 TENTANG TERITORIAL DAN ULAYAT NAGARI SIMARASOK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192

PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192 PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192 PERATURAN NAGARI SIMARASOK NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN MEKANISME KERJA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT Menimbang : a. bahwa perubahan paradigma

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI

PEMERINTAHAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI PEMERINTAHAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI KESATUAN NAGARI SITUJUAH GADANG NOMOR : 01/NSG/2002 Tentang PERUBAHAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. organisasi yang memerlukan manajemen yang baik. Maka mau tidak mau

TINJAUAN PUSTAKA. organisasi yang memerlukan manajemen yang baik. Maka mau tidak mau 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengawasan Pengawasan merupakan unsur esensial demi kelangsungan dan pertumbuhan serta keselamatan organisasi bersangkutan. Negara, pemerintah daerah adalah organisasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAMPAR NOMOR : 12 TAHUN1999 TENTANG HAK TANAH ULAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI II KAMPAR Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 4 TAHUN 2008 T E N T A N G NAGARI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 4 TAHUN 2008 T E N T A N G NAGARI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 4 TAHUN 2008 T E N T A N G NAGARI PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2008 Nomor 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat pedesaan. Namun masih banyak wilayah pedesaan yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat pedesaan. Namun masih banyak wilayah pedesaan yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Upaya pembangunan pedesaan telah dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan programprogram. Upaya-upaya itu

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

WALI NAGARI TARATAK TINGGI KABUPATEN DHARMASRAYA PERATURAN NAGARI TARATAK TINGGI NOMOR 8 TAHUN 2017 T E N T A N G PUNGUTAN NAGARI

WALI NAGARI TARATAK TINGGI KABUPATEN DHARMASRAYA PERATURAN NAGARI TARATAK TINGGI NOMOR 8 TAHUN 2017 T E N T A N G PUNGUTAN NAGARI WALI NAGARI TARATAK TINGGI KABUPATEN DHARMASRAYA PERATURAN NAGARI TARATAK TINGGI NOMOR 8 TAHUN 2017 T E N T A N G PUNGUTAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI NAGARI TARATAK TINGGI, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 =================================================================

LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 ================================================================= LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 ================================================================= PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK (PERDA) NOMOR : 10 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 56 TAHUN 2011 T E N T A N G

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 56 TAHUN 2011 T E N T A N G BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 56 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN NAGARI TERATAK TEMPATIH IV KOTO MUDIEK DI KECAMATAN BATANG KAPAS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 ================================================================= PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 10 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 Undang-undang Nomor 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nagari dalam sejarah dan perkembangannnya merupakan suatu wilayah Pemerintahan terendah. Pengakuan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terdapat pada Pasal

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN

BUPATI PESISIR SELATAN BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 19 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN NAGARI PULAU KARAM AMPANG PULAI DI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat di negara Indonesia terdiri dari berbagai etnis, suku, adat dan budaya.

Lebih terperinci

Sementara faktor ekonomi-politik adalah faktor yang mempengaruhi tejadiya konnik tanah yang datang dari luar sistem masyarakat nagari Simawang.

Sementara faktor ekonomi-politik adalah faktor yang mempengaruhi tejadiya konnik tanah yang datang dari luar sistem masyarakat nagari Simawang. RXNGKASAN ZULKARh'ARV HARUN (95106lSPD) : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik Tanah di Minangkabau : Studi Kasus di Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar (dibawah bimbingan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2008 No. Urut : 06 LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari SKRIPSI Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari Di Nagari III Koto Aur Malintang Timur,Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum ditentukan oleh luasnya tanah yang dimiliki.1. Minangkabau sampai saat ini adalah manggadai. Di Minangkabau sendiri

BAB I PENDAHULUAN. kaum ditentukan oleh luasnya tanah yang dimiliki.1. Minangkabau sampai saat ini adalah manggadai. Di Minangkabau sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut adat Minangkabau, tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak berpunya di bumi Minangkabau. Tanah tersebut bisa dikuasai oleh suatu kaum sebagai hak ulayat,

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA. Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H.

EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA. Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H. EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, a. bahwa dalam

Lebih terperinci

HASIL WAWANCARA. 4. Hari/Tanggal : Selasa/ 11 September Politik sedang mengadakan riset mengenai tugas dan fungsi Wali Nagari

HASIL WAWANCARA. 4. Hari/Tanggal : Selasa/ 11 September Politik sedang mengadakan riset mengenai tugas dan fungsi Wali Nagari 1. Identitas informan 1. Nama : Fajri Kirana 2. enis Kelamin : Laki-Laki 3. abatan : Wali Nagari 4. Hari/anggal : Selasa/ 11 September 2012 : Pak, saya mahasiswa universitas Lampung dari fakultas Ilmu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN NAGARI BUKIT BUAL DI KECAMATAN KOTO VII DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN NAGARI BUKIT BUAL DI KECAMATAN KOTO VII DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN NAGARI BUKIT BUAL DI KECAMATAN KOTO VII DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM Oleh: Donny Setiawan * Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG, Menimbang a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN ! III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat. Kenagarian ini termasuk ke dalam tipe ke-2 yaitu satu nagari yang terpecah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 827 Tahun : 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI

PEMERINTAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI PEMERINTAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 02/SG/2002 TENTANG PEMUNGUTAN UANG LEGES Dengan rahmat Allah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 5 TAHUN 2006 SERI : D NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kecamatan Canduang 1. Kondisi Geografis Kecamatan Canduang merupakan salah satu dari beberapa kecamatan di Kabupaten Agam. Dimana wilayah ini ditetapkan menjadi

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa lembaga adat yang berkembang dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 112 TAHUN 2011 T E N T A N G

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 112 TAHUN 2011 T E N T A N G BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 112 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN NAGARI DURIAN SERIBU DI KECAMATAN LUNANG SILAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA BPD DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA (Suatu studi kasus di desa Nogosari Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember) Oleh : Kaskojo Adi Tujuan umum negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1

Lebih terperinci

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG SALINAN WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMILIHAN RUKUN TETANGGA DAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN/ATAU PENGGABUNGAN KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN/ATAU PENGGABUNGAN KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN/ATAU PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH KECAMATAN LUBUK ALUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH KECAMATAN LUBUK ALUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH KECAMATAN LUBUK ALUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN 1. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman terletak di antara 100º 21 00 Bujur Timur atau 0º

Lebih terperinci

PERATURAN NAGARI SUNGAI KAMUYANG NOMOR : 01 TAHUN 2003 TENTANG PEMANFAATAN TANAH ULAYAT NAGARI

PERATURAN NAGARI SUNGAI KAMUYANG NOMOR : 01 TAHUN 2003 TENTANG PEMANFAATAN TANAH ULAYAT NAGARI PERATURAN NAGARI SUNGAI KAMUYANG NOMOR : 01 TAHUN 2003 TENTANG PEMANFAATAN TANAH ULAYAT NAGARI DENGAN RAHMAT ALLAH TUHAN YANG MAHA KUASA WALI NAGARI SUNGAI KAMUYANG Menimbang : a. bahwa salah satu aset

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia merupakan Negara

Lebih terperinci

Pedoman Wawancara Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Anggota Bamus Nagari Atau Kerapatan Adat Nagari Tabel.1 Pertanyaan tentang UU no 6 tahun 2014

Pedoman Wawancara Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Anggota Bamus Nagari Atau Kerapatan Adat Nagari Tabel.1 Pertanyaan tentang UU no 6 tahun 2014 LAMPIRAN Pedoman Wawancara Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Anggota Bamus Nagari Atau Kerapatan Adat Nagari Tabel.1 Pertanyaan tentang UU no 6 tahun 2014 Pertanyaan 1. Bagaimana Tanggapan Bapak sendiri

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN KELURAHAN SERTA PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli PROBLEMATIK LEMBAGA PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DI PASAMAN, SUMATERA BARAT 1) Oleh : Bakhdal Kasim 2) dan Darmawan Aji 2) ABSTRAK Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

PERATURAN DESA KIARASARI NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA KIARASARI

PERATURAN DESA KIARASARI NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA KIARASARI PERATURAN DESA KIARASARI NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA KIARASARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA KIARASARI Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pemberdayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. kecamatan (Widjaya, HAW 2008: 164). Secara administratif desa berada di

I. PENDAHULUAN. sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. kecamatan (Widjaya, HAW 2008: 164). Secara administratif desa berada di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kampung atau desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO Salinan PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOJONEGORO, Menimbang Mengingat : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Desa, sebagai wilayah pemukiman penduduk yang mempunyai pemerintahan sendiri pertama kali ditemukan di daerah-daerah pesisir Pulau Jawa oleh bangsa Belanda. Padanan untuk desa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu keputusan politik, pemerintahan atau kenegaraan. sebagai proses atau upaya penciptaan dari (1) lembaga -lembaga yang

I. PENDAHULUAN. suatu keputusan politik, pemerintahan atau kenegaraan. sebagai proses atau upaya penciptaan dari (1) lembaga -lembaga yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca rezim orde baru tumbang disetiap kehidupan bangsa Indonesia hampir seluruhnya membicarakan dan mendiskusikan serta menjunjung tinggi demokrasi terutama pada nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang memberikan keleluasaan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 94

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk

Lebih terperinci

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA BANDA ACEH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintah

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN

BUPATI PESISIR SELATAN BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN RANAH AMPEK HULU TAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESISIR SELATAN, Menimbang : a. bahwa untuk mengakomodasi

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 1. Letak Geografis Nagari Cingkariang merupakan salah satu nagari di Kecamatan banuhampu. Secara geografis terletak diantara dua gunung, yakni gunung merapi dan gunung

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 6 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa negara mengakui dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peran Menurut Abdulsyani (1994) peran atau peranan adalah apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya. Peran merupakan suatu

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192

PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192 PEMERINTAH KABUPATEN AGAM KECAMATAN BASO NAGARI SIMARASOK Alamat : Anak Ala Jorong Simarasok Kode pos 26192 PERATURAN NAGARI SIMARASOK NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN PENYIMPANAN DAN PENGELUARAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN BARAT, Menimban: a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa kerjasama

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JENEPONTO Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN

BUPATI PESISIR SELATAN BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN BUPATI PESISIR SELATAN NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN NAGARI (BAMUS NAGARI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESISIR SELATAN

Lebih terperinci