RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA"

Transkripsi

1 RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA OLEH MAIVA LINDA H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 RINGKASAN MAIVA LINDA. Responsifitas Kredit Investasi Terhadap Variabel Makroekonomi dan Perbankan Pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa (dibimbing oleh ANNY RATNAWATI). Sektor perbankan tanah air pada saat ini masih berusaha bangkit dan membenahi diri akibat krisis ekonomi Kompleksitas permasalahan yang dihadapi perbankan pada saat itu juga turut mengubah portofolio perbankan. Penempatan dana pada SBI meningkat tajam. Sebaliknya, penyaluran kredit kian terpuruk. Lambatnya pertumbuhan kredit disinyalir akibat kalangan perbankan dan debitur masih mempertimbangkan faktor risiko. Di samping itu, penyaluran kredit juga terkait dengan kondisi internal perbankan itu sendiri yang tercermin melalui kinerja. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan kredit, terdapat salah satu jenis kredit yang disalurkan oleh bank yang mempunyai signifikansi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, yakni kredit investasi. Namun, dalam kurun waktu belakangan ini dominasi kredit konsumsi justru lebih tinggi dibandingkan dengan kredit investasi yang bersifat produktif dan hal ini tentu saja membuat kegiatan perekonomian tidak sehat karena pergerakan perekonomian pada sektor riil menjadi terhambat. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak dipacu oleh investasi yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari variabel makroekonomi (meliputi suku bunga SBI dan indeks Industrial Production) dan perbankan (meliputi suku bunga kredit investasi, DPK, dan NPL) serta respon kredit investasi terhadap berbagai variabel tersebut pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan Non Devisa dengan metode Vector Error Correction Model (VECM), dengan terlebih dahulu melihat kinerja bank tersebut dari segi rentabilitas, yakni Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE). Kemudian akan dilakukan perbandingan deskriptif keterkaitan antara kredit investasi dengan realisasi investasi, serta bagaimana share kredit investasi terhadap pertumbuhan produksi Indonesia. Periode penelitian adalah sejak 2001:1 hingga 2006:12. Pemilihan tiga kelompok bank tersebut dikarenakan penulis ingin membandingkan dan mengetahui apakah terdapat perbedaan respon kredit investasi pada bank milik pemerintah dan swasta (kelompok bank dari segi kepemilikan), mengingat tiga kelompok bank tersebut juga memiliki karakteristik yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif terdapat perbedaan kinerja masing-masing kelompok bank dari segi rentabilitas. Pada awal periode penelitian, kelompok bank yang memiliki ROA dari posisi terbesar hingga terkecil adalah BUSN Non Devisa, Bank Persero, dan BUSN Devisa. Namun, sejak pertengahan hingga akhir periode penelitian, kelompok bank yang memiliki ROA dari yang terbesar hingga terkecil adalah BUSN Devisa, Bank Persero, dan BUSN Non Devisa. Sementara, jika dilihat berdasarkan ROE, maka pada awal

3 periode penelitian, kelompok bank yang memiliki ROE dari posisi terbesar hingga terkecil adalah Bank Persero, BUSN Non Devisa, dan BUSN Devisa. Namun, sejak pertengahan periode penelitian hingga akhir periode penelitian, kelompok bank yang memiliki ROE dari yang terbesar hingga terkecil adalah BUSN Devisa, Bank Persero, dan BUSN Non Devisa. Adanya perubahan posisi menunjukkan adanya perubahan kinerja dalam memperoleh profit dari masing-masing kelompok bank. Secara garis besar, perkembangan kinerja terbaik dari segi rentabilitas ditunjukkan oleh BUSN Devisa (bahkan sampai mengungguli Bank Persero yang merupakan kompetitor terdekatnya). Di sisi lain, BUSN Non Devisa cenderung mengalami penurunan kinerja yang ditengarai akibat terbatasnya modal dan kalah saing dalam merebut pangsa pasar. Perbandingan berapa besar share kredit investasi terhadap realisasi investasi ternyata tidak dapat dilakukan. Setelah dilakukan penelitian, ternyata hal ini disebabkan oleh data realisasi investasi yang dipublikasikan sebenarnya merupakan data izin usaha tetap. Artinya, data tersebut merupakan data nilai nominal pada saat investor tersebut mendapatkan izin usaha, bukan data realisasi investasi yang sesungguhnya. Izin usaha tersebut merupakan akumulasi dari rencana investasi yang diajukan pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan kata lain, sumber pembiayaan bagi realisasi investasi yang dipublikasikan pada tahun tertentu juga merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini jelas menimbulkan ketidakcocokan (mismatch) dengan data kredit investasi tahun tertentu yang memang menjelaskan seberapa besar penyaluran kredit investasi pada tahun tersebut. Berdasarkan hasil analisis VECM, masing-masing variabel ternyata memberikan pengaruh yang berbeda bagi kredit investasi pada masing-masing bank. Hal ini menunjukkan adanya dinamisasi perilaku dalam dunia perbankan yang tergantung pada masing-masing jenis bank tersebut. Namun, terdapat kesamaan bahwa pada ketiga model yang digunakan dalam estimasi VECM tersebut terdapat kointegrasi yang signifikan bernilai negatif menuju keseimbangan jangka panjangnya. Analisis Impulse Response Function (IRF) juga menunjukkan perbedaan respon kredit investasi pada masing-masing kelompok bank terhadap variabel yang diberikan. Bank Persero ternyata kurang stabil dalam merespon shock dari residual masing-masing variabel. Hal ini dilihat dari paling lamanya kredit investasi mencapai keseimbangan akibat pengaruh shock tersebut dibandingkan dua kelompok bank lainnya. Sementara, BUSN Non Devisa paling cepat mencapai keseimbangan. Kemudian, dari analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), variabilitas kredit investasi pada Bank Persero dominan dijelaskan oleh kredit investasi itu sendiri. Sementara, pada BUSN Devisa dan BUSN Non Devisa, variabel yang dominan dalam menjelaskan variabilitas kredit investasi adalah NPL dan DPK. Kredit investasi ternyata mempunyai peranan yang signifikan terhadap pertumbuhan produksi. Share kredit investasi terhadap pertumbuhan produksi hingga kondisi stabil jangka panjangnya paling tinggi ditunjukkan oleh BUSN Non Devisa. Sementara, Bank Persero dan BUSN Devisa memberikan share dalam proporsi yang tidak jauh berbeda bagi pertumbuhan produksi. Oleh karena itu, di masa mendatang perbankan diharapkan dapat meningkatkan penyaluran kredit investasi bagi sektor riil guna meningkatkan kegiatan investasi.

4 RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA Oleh MAIVA LINDA H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Maiva Linda Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Responsifitas Kredit Investasi Terhadap Variabel Makroekonomi dan Perbankan Pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing, Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP Tanggal Kelulusan :

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2007 Maiva Linda H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Maiva Linda lahir pada tanggal 31 Desember 1984 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak terakhir dari dua bersaudara, dari pasangan Emsas dan Wirda. Penulis mengawali pendidikannya pada sekolah dasar yang bernama SD Negeri Bangka 4 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun 2003, penulis melajutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi guna meraih gelar sarjana, yakni ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Hipotesa pada Departemen Ekonomi Analisis (Eksis), dan terlibat dalam berbagai kegiatan kepanitiaan, seperti Farewell Party Asrama TPB, Economics Try Out Hipotesa, 3 rd Economics Contest FEM, Turnamen Invitasi Futsal IPB, HIPOTEX-R Hipotesa, serta Masa Perkenalan Fakultas (MPF) FEM dan Masa Perkenalan Departemen (MPD) Ilmu Ekonomi.

8 i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi yang berjudul Responsifitas Kredit Investasi Terhadap Variabel Makroekonomi dan Perbankan Pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon kredit investasi terhadap berbagai variabel yang diberikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada Bank Persero dan BUSN Devisa dan Non Devisa. Dengan segenap kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Ibu Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala saran dan bimbingannya selama proses penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir. Tanti Novianti, M.Si. selaku Komisi Pendidikan atas segala saran dan masukannya dalam proses perbaikan skripsi. 3. Mas Adrian Darmawan Lubis atas segala arahan dan bimbingannya selama proses penyusunan skripsi. 4. Segenap pihak dari Bank Indonesia, terutama Bapak Riza Haryadi dan Bapak Rahmat Fajar Hadi (Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan), Ibu Tita Damayanti (Direktorat SDM), serta Bapak Slamet Hariyanto, Bapak Hendra Bhinekas, dan Ibu Ance (Pusriset-BI) yang telah bersedia membantu dalam mengakses data dan bahan yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

9 ii 5. Ayahanda dan Ibunda tercinta, (Alm.) Emsas dan Wirda atas segala motivasi, inspirasi, dukungan semangat, kasih sayang, doa, dan perhatian tulus tak terkira yang telah menghantarkan penulis hingga ke jenjang ini. 6. Kakak dan kakak ipar, Jhon Irwan dan Mbak Yayu, serta keponakan kecil yang selalu membawa senyum dan kebahagiaan, (Alm.) Fortunata Ethania Sabrina dan Diandra Febianca. 7. Moch. Ary Priaga atas masukan, bimbingan, dan arahan selama proses penulisan skripsi. 8. Bapak Muhammad Firdaus, Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu, Mbak Yati Nuryati, Kak Fickry, dan Mas Teguh (Depkeu) atas segala saran yang diberikan. 9. Teman-teman IE angkatan 40 atas segala warna dan keceriaan selama di bangku kuliah, terutama sahabat-sahabat penulis (Windy, Achie, Pritta, Lea, Anadia, Eka, Yanti, Evi, dan Kikie), serta teman-teman IE 40 lainnya (Abang, Onye, Beby, Heny, Rico, Bety, Bunda, Bery, Giri, Aji, Asih, DP, Desy, Yogi, Heri) atas semua kebersamaan selama kuliah dan semangat dalam penulisan skripsi ini, dan juga untuk adik-adik kelas IE 41 dan IE 42 untuk dorongan semangatnya (terutama Rinda, Irwan, Riri, dan Ristia). 10. Anggie, Puji, Shilfia, Astri, Ayu, dan Nurul. Lanjutkan perjuangan temanteman! 11. Sahabatku Shindy Reviantina atas dukungan dan bantuannya selama ini. 12. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung. Akhirnya, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat dan sumbangan kecil bagi perkembangan ekonomi Indonesia serta dapat menambah khazanah pengetahuan kita. Bogor, Agustus 2007 Maiva Linda H

10 iii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup II. KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Teoritis Definisi Bank Fungsi Bank Kinerja Perbankan Perbedaan Bank Persero dan BUSN Devisa dan Non Devisa Kredit Bank Jenis-Jenis Kredit Spesifikasi Kredit Investasi Persyaratan Kredit Investasi Ketentuan Kredit Investasi Tujuan Kredit Investasi Dana Pihak Ketiga (DPK) Non Performing Loan (NPL) Suku Bunga SBI Pertumbuhan Ekonomi... 29

11 iv 2.2. Kerangka Teori Jalur Kredit dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Keseimbangan dalam Pasar Kredit Permasalahan Kredit Permasalahan Pada Sisi Permintaan Kredit Permasalahan Pada Sisi Penawaran Kredit Investasi Vector Autoregression (VAR) Vector Error Correction Model (VECM) Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Operasional Definisi Variabel Hipotesis Penelitian III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Model Persamaan dan Variabel yang Digunakan Pengujian Model Uji Stasioneritas Penentuan Lag Optimal Uji Kointegrasi Estimasi VAR/ VECM Innovation Accounting Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Kelebihan dan Kelemahan VAR IV. GAMBARAN UMUM Kredit Investasi Perbankan Perkembangan Kredit Investasi Bank Persero... 69

12 v 4.3. Perkembangan Kredit Investasi BUSN Devisa Perkembangan Kredit Investasi BUSN Non Devisa Perkembangan Variabel Makroekonomi Indeks Industrial Production Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Perkembangan Variabel Perbankan Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Perkembangan Non Performing Loan (NPL) Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi V. RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI Analisis Rasio Rentabilitas Return on Assets (ROA) Return on Equity (ROE) Kredit Investasi dan Realisasi Investasi Responsifitas Kredit Investasi Uji Stasioneritas Data Penentuan Lag Optimal Pengujian Stabilitas Sistem VAR Pengujian Kointegrasi Hasil Estimasi VECM Hasil Estimasi VECM Bank Persero Hasil Estimasi VECM BUSN Devisa Hasil Estimasi VECM BUSN Non Devisa Innovation Accounting Impulse Response Function (IRF) Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Peranan Kredit Investasi Terhadap Pertumbuhan Produksi VI. MATRIKS KESIMPULAN ANALISIS VECM KREDIT INVESTASI Matriks Estimasi VECM Matriks Impulse Response Function (IRF)

13 vi 6.3. Matriks Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 vii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1. Kinerja Bank Persero (Miliar Rp.) Kinerja BUSN Devisa (Miliar Rp.) Kinerja BUSN Non Devisa (Miliar Rp.) Kredit Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Berdasarkan Jenis Penggunaan (Miliar Rp.) Rasio Non Performing Loan Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa (Persen) Data, Satuan, dan Simbol Hasil Pengujian Akar-Akar Unit Hasil Penentuan Lag Optimal Hasil Uji Stabilitas Sistem VAR Hasil Pengujian Kointegrasi Hasil Estimasi VECM Bank Persero Hasil Estimasi VECM BUSN Devisa Hasil Estimasi VECM BUSN Non Devisa Matriks Estimasi VECM Matriks Impulse Response Function (IRF) Matriks Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

15 viii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.1. Perkembangan DPK, Total Aset, dan Kredit Bank Umum Keseimbangan Dalam Pasar Kredit Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Permintaan Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Penawaran Kurva Investasi Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan Kredit Investasi Bank Persero Perkembangan Kredit Investasi BUSN Devisa Perkembangan Kredit Investasi BUSN Non Devisa Perkembangan Indeks Industrial Production Perkembangan Suku Bunga SBI 1 Bulan Perkembangan DPK Bank Persero dan BUSN Devisa Perkembangan DPK BUSN Non Devisa Perkembangan Non Performing Loan (NPL) Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi ROA Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Trend ROA Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa ROE Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Trend ROE Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Perbandingan Antara Kredit Investasi Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa dengan Realisasi Investasi Respon Kredit Investasi Bank Persero Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi dan Perbankan Respon Kredit Investasi BUSN Devisa Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi dan Perbankan Respon Kredit Investasi BUSN Non Devisa Terhadap Guncangan Variabel Makroekonomi dan Perbankan

16 ix 5.9. FEVD Kredit Investasi Bank Persero FEVD Kredit Investasi BUSN Devisa FEVD Kredit Investasi BUSN Non Devisa Respon indeks IP Terhadap Kredit Investasi Bank Persero Respon indeks IP Terhadap Kredit Investasi BUSN Devisa Respon indeks IP Terhadap Kredit Investasi BUSN Non Devisa

17 x DAFTAR LAMPIRAN Halaman LAMPIRAN DAFTAR NAMA BANK LAMPIRAN ANALISIS VECM BANK PERSERO Lampiran 1. Uji Akar Unit Lampiran 2. Penentuan Lag Optimal Lampiran 3. Uji Stabilitas Sistem VAR Pada Lag Optimal Lampiran 4. Uji Kointegrasi Lampiran 5. Estimasi VECM Lampiran 6. Analisis Impulse Response Function (IRF) Lampiran 7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Lampiran 8. Respon Pertumbuhan Produksi Terhadap Kredit Investasi BUSN DEVISA Lampiran 1. Uji Akar Unit Lampiran 2. Penentuan Lag Optimal Lampiran 3. Uji Stabilitas Sistem VAR Pada Lag Optimal Lampiran 4. Uji Kointegrasi Lampiran 5. Estimasi VECM Lampiran 6. Analisis Impulse Response Function (IRF) Lampiran 7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Lampiran 8. Respon Pertumbuhan Produksi Terhadap Kredit Investasi BUSN NON DEVISA Lampiran 1. Uji Akar Unit Lampiran 2. Penentuan Lag Optimal Lampiran 3. Uji Stabilitas Sistem VAR Pada Lag Optimal Lampiran 4. Uji Kointegrasi Lampiran 5. Estimasi VECM Lampiran 6. Analisis Impulse Response Function (IRF) Lampiran 7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Lampiran 8. Respon Pertumbuhan Produksi Terhadap Kredit Investasi

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perbankan tanah air pada saat ini masih berusaha bangkit dan membenahi diri akibat krisis ekonomi Salah satu permasalahan utama perbankan saat itu adalah masalah likuiditas. Banyak bank yang akhirnya terpaksa dilikuidasi oleh pemerintah akibat pengelolaan likuiditas yang buruk. Hal ini di antaranya ditandai dengan tingginya jumlah kredit bermasalah, dan berimplikasi pada ketidakmampuan bank dalam memenuhi penarikan dana dari nasabahnya. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat luas terhadap perbankan nasional. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi perbankan juga turut mengubah portofolio perbankan. Penempatan dana pada SBI meningkat tajam. Sebaliknya, penyaluran kredit kian terpuruk. Secara umum, pada tahun 2006 (Gambar 1.1.) kinerja perbankan nasional mulai membaik, yang ditunjukkan oleh kenaikan aset, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan kredit (Aviliani, 2006). Peningkatan aset perbankan secara impresif menunjukkan peran perbankan yang kian meningkat secara signifikan. Fungsi intermediasi perbankan juga terus membaik terlihat dari peningkatan rasio LDR nasional dan peningkatan kredit secara umum yang diberikan. LDR nasional mengalami peningkatan (menjadi 61%), meski belum memadai seperti yang diharapkan (di atas 80%). Dana perbankan berupa deposito berjangka (time deposit) masih mendominasi struktur DPK, seiring dengan tingginya suku bunga deposito berjangka dibandingkan simpanan yang lain (tabungan dan giro).

19 2 2,000,000 Miliar Rupiah 1,500,000 1,000, , DPK 888, ,106 1,127,937 1,287,102 Total Aset 1,213,518 1,272,081 1,469,827 1,693,850 Kredit 440, , , ,297 Sumber : Bank Indonesia 2006, diolah Gambar 1.1. Perkembangan DPK, Total Aset, dan Kredit Bank Umum Pertumbuhan kredit pada tahun 2006 sebesar 13,89 persen sesuai dengan target Bank Indonesia pada kisaran persen (meski target ini telah direvisi sebanyak empat kali karena target awal Bank Indonesia adalah 20-22%). Lambatnya pertumbuhan kredit ini diperkirakan karena kalangan perbankan dan debitur masih mempertimbangkan faktor risiko. Pertumbuhan kredit tidak hanya dipengaruhi oleh keinginan perbankan untuk melakukan intermediasi, tetapi juga dipengaruhi oleh permintaan dari sektor riil (Wijaya, 2006). Dalam kaitannya dengan pertumbuhan kredit, terdapat salah satu jenis kredit yang disalurkan oleh bank yang mempunyai signifikansi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, yakni kredit investasi. Namun, beberapa tahun terakhir ini (tepatnya sejak tahun 2003) dominasi kredit konsumsi justru lebih tinggi dibandingkan dengan kredit investasi dan hal ini tentu saja membuat kegiatan perekonomian tidak sehat karena pergerakan perekonomian pada sektor riil menjadi terhambat. Akibatnya, pertumbuhan

20 3 ekonomi tidak dipacu oleh investasi yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran. Sebagai contoh, pada tahun 2006 kredit konsumsi yang disalurkan oleh Bank Umum mencapai Rp miliar, sedangkan kredit investasi hanya sebesar Rp miliar. Peningkatan kredit konsumsi dibandingkan dengan kredit investasi diantaranya disebabkan oleh perilaku bank yang cenderung menyukai pemberian kredit konsumsi karena risikonya lebih rendah daripada penyaluran kredit investasi yang bersifat produktif (Kuncoro, 2004). Hal ini semakin diperkuat dengan keadaan yang menunjukkan bahwa kinerja sektor riil belum menunjukkan peningkatan secara optimal. Di sisi lain, permintaan terhadap kredit konsumsi dari masyarakat juga tergolong tinggi. Hal ini tidak terlepas dari perilaku masyarakat yang cenderung konsumtif (dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih didorong oleh konsumsi rumah tangga). Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa persetujuan pemberian kredit baru bagi kredit investasi tergolong paling rendah dibandingkan dua jenis kredit lainnya (kredit modal kerja dan kredit konsumsi). Pada triwulan II-2006, persetujuan kredit baru untuk kredit investasi hanya 2,4 persen. Sementara, pada triwulan III jumlahnya tampak mengalami peningkatan, yakni 6,7 persen karena kondisi makroekonomi yang semakin mendukung. Kinerja dari suatu bank juga akan berpengaruh terhadap kredit yang disalurkan (termasuk kredit investasi). Jika dispesifikasikan menurut kelompok bank sesuai ruang lingkup analisis, maka kinerja Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa dapat dilihat pada Tabel 1.1., Tabel 1.2., dan Tabel 1.3.

21 4 Tabel 1.1. Kinerja Bank Persero (Miliar Rp.) Indikator CAR (%) - Modal (Capital) - ATMR (Risk Weighted Assets) Rentabilitas (Profitability) - ROA (%) - BOPO (%) Likuiditas (Liquidity) Aktiva terhadap Pasiva- Likuid (%) LDR (%) - Kredit - DPK Sumber : Bank Indonesia, 2006 Des , ,99 104,07 26, Des , ,00 98,43 34, Des , ,67 92,07 41, Des , ,46 75,73 2,92 49, Des , ,54 95,17 2,56 51, Des , ,22 97,05 3,17 59, Berdasarkan analisis rasio solvabilitas (dalam hal ini dengan menggunakan indikator CAR), maka sepanjang periode penelitian tampak bahwa CAR Bank Persero selalu berfluktuasi, meskipun pada akhir periode penelitian tampak bahwa CAR mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya (2005) hingga mencapai 21,2 persen pada tahun Fluktuasi CAR ini tidak terlepas dari peningkatan proporsi ATMR yang lebih besar dari peningkatan modalnya. Rasio rentabilitas menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 terjadi penurunan dari kelompok bank ini dalam meraih profit yang ditandai dengan turunnya ROA setelah mencapai puncaknya pada tahun 2004 sebesar 3,46 persen. Selanjutnya, dari segi likuiditas, kegiatan intermediasi perbankan menunjukkan tendensitas yang meningkat dari periode ke periode yang ditunjukkan oleh peningkatan rasio LDR dan konsistensi peningkatan penyaluran kredit setiap tahunnya. Berbeda halnya dengan BUSN Devisa (Tabel 1.2.), meskipun sempat terjadi penurunan CAR pada tahun 2003 akibat peningkatan ATMR yang lebih

22 5 besar dibandingkan peningkatan modalnya, tetapi pada tahun 2006 rasio kecukupan modal kelompok bank ini akhirnya mulai mengalami perbaikan, yakni peningkatan CAR mencapai 2,92 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perolehan profit juga meningkat di tahun 2006 yang ditandai dengan peningkatan ROA ke posisi 2,35 persen. Begitu pula halnya dengan efisiensi pengelolaan dana yang kian membaik hingga rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) berada pada posisi 82,53 persen pada tahun Secara garis besar, setiap tahunnya kegiatan intermediasi semakin meningkat yang ditunjukkan dengan peningkatan rasio LDR. Namun, tahun 2006 LDR BUSN Devisa turun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini karena peningkatan yang cukup besar dari perolehan DPK dibandingkan tahun 2005 (38,61%) tidak disertai dengan peningkatan yang setara dari penyaluran kredit (13,57%). Tabel 1.2. Kinerja BUSN Devisa (Miliar Rp.) Indikator CAR (%) - Modal (Capital) - ATMR (Risk Weighted Assets) Rentabilitas (Profitability) - ROA (%) - BOPO (%) Likuiditas (Liquidity) Aktiva terhadap Pasiva- Likuid (%) LDR (%) - Kredit - DPK Sumber : Bank Indonesia, 2006 Des , ,23 95,59 29, Des , ,98 97,00 34, Des , ,16 86,62 40, Des , ,09 78,25 2,06 46, Des , ,17 88,31 2,20 73, Des , ,35 82,53 2,92 60, Jika diperhatikan dari Tabel 1.3., tampak bahwa CAR BUSN Non Devisa cenderung berfluktuasi dari periode ke periode, dan menempati posisi ketiga

23 6 dibandingkan dua kelompok bank sebelumnya (hal ini karena BUSN Non Devisa merupakan kelompok bank skala kecil dengan permodalan yang rendah). Perolehan profit berdasarkan rasio ROA pun cenderung tidak sustain dari periode ke periode, tetapi pada tahun 2006 tampak ROA mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya hingga ke posisi 2,08 persen. Namun, jika dibandingkan dengan dua kelompok bank sebelumnya, ternyata LDR BUSN Non Devisa paling tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa fungsi intermediasi paling baik ditunjukkan oleh kelompok bank ini karena sebagian besar dana dari masyarakat yang diperoleh disalurkan bagi kegiatan kredit. Tabel 1.3. Kinerja BUSN Non Devisa (Miliar Rp.) Indikator CAR (%) - Modal (Capital) - ATMR (Risk Weighted Assets) Rentabilitas (Profitability) - ROA (%) - BOPO (%) Likuiditas (Liquidity) Aktiva terhadap Pasiva- Likuid (%) LDR (%) - Kredit - DPK Sumber : Bank Indonesia, 2006 Des , ,97 91,65 59, Des , ,17 90,27 59, Des , ,95 95,33 62, Des , ,79 83,94 1,78 68, Des , ,96 97,48 1,54 82, Des , ,08 92,25 2,49 78, Perumusan Masalah Keinginan Bank Indonesia agar penyaluran kredit investasi semakin meningkat belum juga terwujud. Pada tahun 2006, pertumbuhan kredit investasi Bank Umum hanya sebesar 12,51 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2005 sebesar 13,2 persen (Bank Indonesia, 2006). Sementara itu,

24 7 turunnya gairah investasi tidak hanya disebabkan oleh tingginya biaya investasi karena tingginya suku bunga kredit, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dalam semester pertama 2006 (Zetha dan Tambunan, 2006). Rusak dan tidak kondusifnya infrastruktur jalan raya di banyak tempat menunda para investor untuk segera menanamkan modalnya untuk suatu kegiatan produksi. Realisasi penanaman modal domestik periode Januari-November 2006 bahkan mengalami penurunan sebesar 37,1 persen terhadap periode yang sama tahun 2005 (Zetha dan Tambunan, 2006). Tabel 1.4. Kredit Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Berdasarkan Jenis Penggunaan (Miliar Rp.) Jenis Penggunaan (Type of Use) Bank Persero - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi Des Des Des Des Des Des BUSN Devisa - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi BUSN Non Devisa - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi Sumber : Bank Indonesia, Berdasarkan Tabel 1.4., perkembangan kredit yang disalurkan oleh Bank Persero sejak tahun 2001 didominasi oleh kredit modal kerja. Kredit investasi menempati posisi kedua hingga tahun 2004, tetapi mulai tahun 2005 terjadi pergeseran posisi antara kredit investasi dan kredit konsumsi. Penyaluran kredit investasi mulai menempati posisi ketiga. Hal ini terus berlangsung hingga tahun 2006 dimana kredit investasi yang disalurkan hanya Rp miliar. Sementara,

25 8 kredit konsumsi menunjukkan trend yang semakin meningkat. Peningkatan terbesar kredit konsumsi terjadi pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun 2004, yakni sebesar Rp miliar. Adapun pangsa masing-masing jenis kredit pada Bank Persero tahun 2006, yakni KMK sebesar 51,64 persen, kredit investasi sebesar 21,86 persen, dan kredit konsumsi sebesar 26,5 persen dari keseluruhan kredit yang disalurkan. Pada tahun 2006, pertumbuhan kredit investasi terbilang rendah, yakni sebesar 2,47 persen. Hal serupa juga terjadi pada BUSN Devisa. Kredit yang menempati posisi utama adalah kredit modal kerja, dan terjadi pula pergeseran antara kredit investasi dengan kredit konsumsi. Hanya saja, pergeseran yang terjadi lebih cepat dibandingkan Bank Persero, yakni pada tahun Meskipun demikian, pada tahun 2006 kredit investasi BUSN Devisa tumbuh cukup signifikan sebesar 17,08 persen dengan pangsa sebesar 21,47 persen (sementara pangsa KMK dan kredit konsumsi pada tahun yang sama masing-masing sebesar 52,65% dan 25,87%). Pada BUSN Non Devisa, kredit yang disalurkan didominasi oleh kredit konsumsi (kecuali pada Desember 2003 dimana kredit modal kerja lebih besar daripada kredit konsumsi). Kredit investasi yang disalurkan oleh kelompok bank ini sangat kecil dibandingkan dengan dua kelompok bank sebelumnya. Pada tahun 2006, kredit investasi hanya sebesar Rp miliar atau dengan pangsa hanya sebesar 9,6 persen (sedangkan pada tahun yang sama pangsa KMK dan kredit konsumsi masing-masing sebesar 41,13% dan 49,27%). Proporsi penyaluran kredit investasi kurang dari seperlima kredit konsumsi (proporsi yang sangat tidak berimbang). Pertumbuhan kredit investasi pun -14,29 persen pada tahun 2006.

26 9 Perlu diketahui pula, bahwa kredit investasi yang disalurkan juga erat kaitannya dengan kemampuan bank tersebut dalam mengelola kredit yang bermasalah. Hal ini ditunjukkan oleh rasio NPL bank tersebut. Semakin rendah rasio NPL, maka semakin baik kinerja bank tersebut dalam mengaplikasikan kredit berkualitas lancar kepada masyarakat. Tabel 1.5. Rasio Non Performing Loan Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa (Persen) Jenis Bank Umum Des Des Des Des Des Des Bank Persero 7,27 6,03 7,31 5,88 14,75 10,70 BUSN Devisa 10,33 5,83 5,52 2,96 3,22 3,69 BUSN Non Devisa 4,26 3,96 3,62 4,05 4,34 3,11 Sumber : Bank Indonesia, 2006 Berdasarkan Tabel 1.5. diketahui bahwa sepanjang periode penelitian, NPL Bank Persero berada pada kisaran 5-15 persen (cenderung mengalami peningkatan NPL pada akhir periode penelitian, bahkan mencapai angka tertinggi 14,75 persen pada tahun 2005). Sementara itu, rasio NPL BUSN Devisa dan Non Devisa tampak lebih baik dan stabil dibandingkan Bank Persero. Meskipun sempat menembus angka sepuluh persen pada tahun 2001, tetapi BUSN Devisa tampak lebih konsisten dalam meminimalisir kredit bermasalahnya. Pada tahun 2006, rasio NPL tercatat sebesar 3,69 persen. Secara keseluruhan, upaya meminimalisir kredit bermasalah paling baik ditunjukkan oleh BUSN Non Devisa. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2006, BUSN Non Devisa berhasil menjaga posisi rasio NPL untuk berada di bawah lima persen. Bahkan, rasio NPL pada tahun 2006 lebih baik dibandingkan tahun 2005, yakni 3,11 persen.

27 10 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, fenomena rendahnya kredit investasi sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi dapat menurunkan gairah investasi yang pada akhirnya memiliki implikasi terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Menurut Bank Indonesia (2006), pada triwulan pertama 2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,8 persen. Pertumbuhan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama tahun 2005, yakni 6,25 persen. Namun, perlu diketahui bahwa pertumbuhan yang cukup tinggi pada masa tersebut tidak didukung dengan perbaikan fundamental ekonomi, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas karena tidak diikuti dengan perbaikan di sektor riil. Salah satu penyebab hal ini adalah rendahnya minat masyarakat berinvestasi terkait dengan pesimistis pasar terhadap prospek bisnis di Indonesia (Sugema, et. al., 2005). Kemudian, pada triwulan kedua 2006, pertumbuhan ekonomi turun drastis, yakni sebesar 5,08 persen. Pada triwulan ke-tiga 2006, pertumbuhan ekonomi sedikit mengalami peningkatan, yakni sebesar 5,52 persen. Tetapi, perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini, pertumbuhan ekonomi hanya akan dispesifikasikan pada pertumbuhan produksi. Produksi sektor industri merupakan bagian dari sektor ekonomi yang salah satu sumber pembiayaannya terlibat secara langsung dengan kredit perbankan. Semakin baiknya kinerja sektor produksi akan memudahkan perbankan untuk mengevaluasi rencana proyek investasi yang diajukan sehingga kredit investasi yang disalurkan pun akan meningkat dan diharapkan dengan semakin tingginya pertumbuhan produksi dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara agregat.

28 11 Beberapa bukti kongkrit yang dipaparkan di atas memberikan sedikit wacana mengenai kondisi penyaluran kredit investasi yang rendah dari Bank Persero, BUSN Devisa, serta BUSN Non Devisa, serta implikasinya secara luas terhadap perekonomian secara agregat. Kondisi seperti ini jelas dapat menghambat pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Jika perbankan nasional tidak segera merangsang pertumbuhan dan menstimulus kredit investasi, maka intermediasi perbankan dan kebangkitan sektor produksi tidak tumbuh secara optimal. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa dalam kaitannya dengan kesehatan bank (indikator ROA dan ROE)? 2. Bagaimana kaitan antara penyaluran kredit investasi Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa dengan realisasi investasi? 3. Bagaimana pengaruh hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara kredit investasi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa? Faktorfaktor tersebut, yakni suku bunga SBI, suku bunga kredit investasi, pertumbuhan produksi (dengan menggunakan indeks Industrial Production), Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Non Performing Loan (NPL). 4. Bagaimana peranan kredit investasi Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa terhadap pertumbuhan produksi Indonesia?

29 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis kinerja Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa dalam kaitannya dengan indikator kesehatan bank (dalam penelitian ini digunakan indikator ROA dan ROE). 2. Menganalisis penyaluran kredit investasi Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa yang kemudian akan dibandingkan dengan realisasi investasi. 3. Menganalisis pengaruh hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara kredit investasi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yakni suku bunga SBI, suku bunga kredit investasi, indeks Industrial Production, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Non Performing Loan (NPL) pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa. 4. Menganalisis peranan kredit investasi Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa terhadap pertumbuhan produksi Indonesia Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan antara suku bunga SBI, suku bunga kredit investasi, indeks Industrial Production, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Non Performing Loan (NPL) dengan perilaku kredit investasi dalam jangka pendek dan jangka panjang yang disalurkan oleh kedua kelompok bank tersebut.

30 13 2. Sebagai bahan referensi bagi pembuat kebijakan moneter, terutama Bank Indonesia untuk membuat kebijakan terbaik guna menstimulus penyaluran kredit investasi di Indonesia (mengingat peranan kredit investasi yang krusial sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha), serta rujukan bagi dunia perbankan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan sumber dana dalam kaitannya dengan fungsi intermediasi perbankan serta kemampuan preventif terhadap perubahan berbagai faktor yang dianalisis dalam penelitian ini sehingga penyaluran kredit investasi kepada masyarakat tidak terhambat. 3. Sebagai bahan referensi bagi pembaca dan informasi bagi peneliti lainnya untuk penelitian lebih lanjut. 4. Sebagai sarana pembelajaran bagi penulis dalam memahami lebih lanjut dan mendalam mengenai kondisi perbankan, serta sarana dalam mengaplikasikan ilmu yang dimiliki Ruang Lingkup Dalam menganalisis perilaku kredit investasi yang disalurkan perbankan, maka penelitian ini hanya difokuskan pada dua jenis bank umum menurut kelompok bank, yakni Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN). BUSN meliputi BUSN Devisa dan BUSN Non Devisa. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni data suku bunga SBI, suku bunga kredit investasi, indeks Industrial Production, Dana Pihak Ketiga (DPK), Non Performing Loan (NPL), dan kredit investasi dibatasi dalam periode penelitian, yakni dari periode 2001:01 hingga 2006:12.

31 14 II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis Definisi Bank Dalam pengertian yang sederhana, bank merupakan lembaga intermediasi keuangan yang menyalurkan dana dari masyarakat yang kelebihan dana (excess of fund) kepada masyarakat yang kekurangan dana (lack of fund). Sementara, berdasarkan istilah menurut Mishkin (2001), bank merupakan institusi finansial yang menerima deposito dan membuat pinjaman, serta merupakan lembaga intermediasi keuangan terbesar dalam suatu perekonomian yang sering diakses atau diinteraksi oleh sebagian besar masyarakat. Definisi lain dari bank seperti yang diungkapkan oleh Stuart dalam Dendawijaya (2000), bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral. Sementara, pengertian bank berdasarkan PSAK (Standar Akuntansi Keuangan) Nomor 31 adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran (Febryani dan Zulfadin, 2003). Adapun definisi bank yang dapat diberlakukan di Indonesia adalah sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan merupakan perubahan atas Undang-Undang

32 15 Nomor 7 Tahun 1992 (Arthesa dan Handiman, 2006). Berdasarkan Undang- Undang tersebut, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian, berdasarkan beberapa definisi mengenai bank yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya semua definisi memiliki pengertian yang sama, bahwa bank merupakan sebuah badan yang mempunyai tugas utama untuk melakukan penghimpunan dana dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat Fungsi Bank Fungsi utama perbankan nasional menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat dengan asas dan tujuan perbankan nasional yang terkait dengan fungsi mobilisasi dana masyarakat sebagai berikut (Bank Indonesia Yogyakarta, 2004): 1. Asas perbankan nasional adalah demokrasi ekonomi dengan prinsip kehatihatian. 2. Tujuan perbankan nasional adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.

33 Kinerja Perbankan Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam Febryani dan Zulfadin (2003), kinerja perusahaan dapat diukur dengan menganalisa dan mengevaluasi laporan keuangan. Dalam konteks perbankan, kinerja merupakan cerminan dari kemampuan sebuah bank dalam mengelola dan mengalokasikan dananya. Seperti yang telah diketahui, bahwa pasca krisis ekonomi kinerja perbankan nasional terpuruk. Meskipun pasca rekapitalisasi kinerja perbankan mulai mengalami peningkatan, tetapi ternyata pada tahun 2004 hingga kuartal tiga tahun 2005 kinerja perbankan mengalami kemunduran (Sugema, et al., 2006). Menurut Sugema, et al. (2006), perbankan dalam hal ini didera dari dua sisi, yakni funding dan lending. Dari sisi funding, terdapat beberapa hal yang menyebabkan melemahnya kinerja perbankan, yakni meningkatnya cost of fund yang disebabkan oleh naiknya suku bunga, meningkatnya currency risk, serta meningkatnya proporsi dana mahal. Sementara, dari sisi lending, melemahnya kinerja perbankan adalah akibat terjadinya peningkatan Non Performing Loan (NPL) dan melambatnya pertumbuhan kredit. Hal-hal tersebut akan berdampak pada pengurangan margin perbankan dan peningkatan biaya operasional yang pada gilirannya dapat menurunkan profitabilitas. Dalam menganalisis kinerja perbankan, terdapat tiga poin penting yang perlu diperhatikan (Dendawijaya, 2000), yakni : 1. Analisis Rasio Likuiditas Analisis ini merupakan analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban

34 17 yang sudah jatuh tempo. Adapun beberapa rasio likuiditas yang sering digunakan dalam menilai kinerja suatu bank diantaranya adalah Cash Ratio, Reserve Requirement, Loan to Deposit Ratio (LDR), Loan to Asset Ratio, serta rasio kewajiban bersih call money. 2. Analisis Rasio Rentabilitas Analisis Rasio Rentabilitas bank merupakan alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Di samping itu, rasio-rasio dalam kategori ini dapat juga digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank. Analisis Rasio Rentabilitas ini antara lain mencakup Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), rasio biaya operasional, dan Net Profit Margin. 3. Analisis Rasio Solvabilitas Analisis ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jika terjadi likuidasi bank. Selain itu, rasio ini juga digunakan untuk mengetahui perbandingan antara volume (jumlah) dana yang diperoleh dari berbagai utang (baik jangka pendek maupun jangka panjang), serta sumber-sumber lain di luar modal bank sendiri dengan volume penanaman dana tersebut pada berbagai jenis aktiva yang dimiliki oleh bank. Beberapa rasio yang termasuk ke dalam kategori ini, antara lain adalah Capital Adequacy Ratio (CAR), Debt to Equity Ratio, dan Long Term Debt to Assets Ratio.

35 Perbedaan Bank Persero dan BUSN (Devisa dan Non Devisa) Berdasarkan kelompok bank, maka Bank Umum diantaranya terbagi atas dua kelompok bank, yakni Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN). BUSN itu sendiri dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kegiatan usahanya, yakni BUSN Devisa dan BUSN Non Devisa. Bank Persero menurut Wikipedia (2007) adalah bank yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sementara Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) merupakan bank yang sahamnya dimiliki oleh pihak swasta. Perbedaan antara Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan Non Devisa menurut Febryani dan Zulfadin (2003) adalah bahwa BUSN Devisa merupakan bank yang dapat mengadakan transaksi internasional, seperti ekspor dan impor, jual beli valuta asing, dan sebagainya. Sedangkan BUSN Non Devisa merupakan bank yang tidak dapat melakukan transaksi internasional, atau dengan kata lain hanya dapat melakukan transaksi dalam negeri saja Kredit Bank Sektor kredit ternyata masih menempati porsi terbesar dari pendapatan total yang diterima oleh hampir semua bank di Indonesia (Arthesa dan Handiman, 2006). Secara umum, kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Statistik Perbankan Indonesia, 2006).

36 19 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menegaskan bahwa Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas kredit yang sehat (Bank Indonesia Yogyakarta, 2004). Oleh karena itu, agar pemberian kredit dapat dilakukan secara konsisten berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat, maka setiap bank diwajibkan membuat suatu kebijakan perkreditan secara tertulis yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari (Kuncoro dalam Bank Indonesia Yogyakarta, 2004). Aturan pemberian kredit tersebut paling tidak memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut: a. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan b. Organisasi dan manajemen perkreditan c. Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit d. Dokumentasi dari administrasi kredit e. Pengawasan kredit f. Penyelesaian kredit bermasalah Jenis-Jenis Kredit Kredit yang disalurkan oleh Bank Umum berdasarkan jenis penggunaannya terbagi dalam tiga jenis, yakni Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit), Kredit Investasi (Investments Credit), dan Kredit Konsumsi (Consumption Credit). Jika diagregasi, maka pada umumnya, kredit dikelompokkan berdasarkan penggunaannya, keperluan produksinya, jangka

37 20 waktunya, serta cara penggunaannya (Arthesa dan Handiman, 2006). Namun, dalam ruang lingkup penelitian ini, tinjauan teoritis hanya dibatasi pada pengelompokkan kredit berdasarkan penggunaannya dan keperluan produksinya. Berdasarkan penggunaannya, maka kredit dibedakan menjadi dua jenis, yakni (Arthesa dan Handiman, 2006) : 1. Kredit Konsumtif Kredit ini merupakan kredit yang ditujukan kepada nasabah yang memerlukan dana untuk kebutuhan konsumsi, misalnya untuk pembelian rumah, kendaraan, serta barang-barang konsumtif lainnya. Kredit ini disebut juga dengan personal loan karena pada umumnya diberikan ke perorangan untuk memenuhi kebutuhan perorangan. Kredit Konsumsi (Consumption Credit) yang disalurkan oleh Bank Umum termasuk ke dalam jenis ini. 2. Kredit Produktif Merupakan jenis kredit yang digunakan untuk keperluan produksi atau usaha. Dengan kata lain, kredit ini digunakan oleh nasabah sebagai dana bagi perputaran usaha yang diharapkan dapat menghasilkan keuntungan di kemudian hari. Contohnya, adalah Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit) dan Kredit Investasi (Investments Credit) yang disalurkan oleh Bank Umum. Sementara, menurut Arthesa dan Handiman (2006) berdasarkan keperluan produksinya, kredit dibagi menjadi dua jenis, yakni :

38 21 1. Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit) Jenis kredit ini merupakan kredit yang ditujukan kepada nasabah yang mengalami kekurangan modal kerja untuk pengembangan usahanya. Dalam konteks ini, modal kerja adalah sejumlah dana yang tertanam atau terikat pada aktiva lancar yang dibutuhkan dalam pengoperasian perusahaan. Sementara, aktiva lancar adalah uang tunai dan aktiva lain (seperti surat berharga, piutang, dan persediaan barang) yang dapat dicairkan dalam waktu kurang dari satu tahun. 2. Kredit Investasi (Investments Credit) Merupakan jenis kredit yang ditujukan kepada nasabah yang membutuhkan barang modal untuk pertumbuhan usahanya. Barang modal ini diantaranya adalah pembelian tanah, bangunan tempat usaha, kendaraan, dan aktiva tetap lainnya. Jenis kredit ini pada umumnya merupakan kredit jangka menengah hingga jangka panjang. Definisi lain dari Kredit Investasi adalah kredit jangka menengah atau jangka panjang yang bertujuan untuk pembelian barang modal dan jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi, perluasan, proyek penempatan kembali, dan atau pembuatan proyek baru (Departemen Keuangan, 2007). Sementara, Kredit Investasi menurut Bank NISP (2007) adalah kredit yang ditujukan untuk membiayai kebutuhan dunia usaha dalam pengadaan atau pembelian aktiva tetap, yaitu alat atau sarana yang tidak habis dipakai dalam satu siklus usaha. Misalnya, pembelian mesin, pembangunan sarana produksi atau pembelian aktiva tetap produktif lainnya.

39 22 Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik benang merah mengenai definisi Kredit Investasi. Bahwa pada dasarnya, Kredit Investasi merupakan kredit yang diberikan kepada nasabah yang bertujuan untuk pembelian aktiva tetap, serta memiliki jangka waktu menengah hingga jangka panjang Spesifikasi Kredit Investasi Adapun beberapa spesifikasi dari Kredit Investasi seperti yang dikemukakan oleh Bank Rakyat Indonesia (2007) adalah sebagai berikut : 1. Jangka waktu atau jatuh tempo kredit relatif panjang, yakni lebih dari 1 tahun. 2. Kegunaan untuk investasi. 3. Repayment dilakukan secara installment (angsuran). 4. Periode angsuran dalam kurun waktu bulanan, triwulanan, atau semesteran. 5. Kemungkinan adanya grace period (masa tenggang) Persyaratan Kredit Investasi Secara umum, persyaratan memperoleh kredit investasi adalah sebagai berikut (Simorangkir, 2004) : 1. Feasibility Report Feasibility report dibuat oleh biro konsultan bagi setiap permohonan kredit investasi di atas Rp. 60 juta. Biro konsultan tersebut harus ditunjuk oleh bank (bukan pemohon kredit) atas dasar sebuah surat perjanjian kerja yang disertai terms of reference. Feasibility report harus lebih banyak menekankan pada

40 23 aspek-aspek teknis, marketing, serta financial prospect dari proyek yang akan dibiayai. 2. Laporan Akuntan Laporan akuntan merupakan salah satu syarat persetujuan untuk kredit investasi di atas Rp. 75 juta. Pemohon kredit diwajibkan menunjuk suatu kantor akuntan terdaftar yang memiliki izin usaha dengan melampirkan surat perjanjian kerja serta terms of reference. Laporan akuntan harus dibuat dan disampaikan kepada bank setiap tahun, setidak-tidaknya selama kredit berlangsung. 3. Jaminan Kredit Investasi Jaminan kredit investasi berupa barang-barang atau kekayaan perusahaan, termasuk barang-barang yang dibiayai oleh kredit investasi tersebut. Barang jaminan tersebut harus sempurna cara pengikatannya dan diasuransikan kepada perusahaan asuransi yang terpercaya Ketentuan Kredit Investasi Terdapat beberapa ketentuan dari kredit investasi yang membedakannya dari jenis kredit lain yang disalurkan oleh Bank Umum. Beberapa ketentuan itu adalah sebagai berikut (Bank Rakyat Indonesia, 2007) : 1. Debitur mempunyai proyek atau rencana investasi yang layak dibiayai. 2. Debitur mempunyai izin-izin usaha, misalnya SIUP, TDP, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan yang ada.

41 24 3. Maksimum pembiayaan oleh bank adalah sebesar 65 % dan minimum besarnya self financing adalah sebesar 35 %. 4. Penarikan kredit harus dilakukan sesuai dengan jadwal penarikan yang telah disetujui (berdasarkan prestasi proyek). 5. Rencana angsuran ditetapkan atas dasar cash flow yang telah disusun sebelumnya. 6. Pelunasan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan (jatuh tempo) Tujuan Kredit Investasi Simorangkir (2004) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tujuan dari kredit investasi, yakni sebagai berikut : 1. Memberikan kemudahan cash flow pada nasabah sehingga dapat lebih leluasa dalam mengelola usahanya atau mengembangkan tingkat penjualan. 2. Memberikan jangka waktu kredit yang cukup panjang. 3. Memberikan kemungkinan diterapkannya suatu grace period dan angsurannya Dana Pihak Ketiga (DPK) DPK yang mencerminkan dana-dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (Dendawijaya, 2000). Hal ini dikarenakan DPK tersebut bisa mencapai persen dari seluruh dana yang dikelola oleh bank. Komposisi DPK terdiri dari giro, tabungan, dan deposito. Menurut Simorangkir (2004), giro merupakan

42 25 simpanan pihak ketiga pada suatu bank yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek, kartu ATM, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan (seperti bilyet giro). Tabungan adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu. Selanjutnya, deposito adalah simpanan milik pihak ketiga dalam rupiah yang penarikannya dilakukan setelah jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara bank dengan si penyimpan (deposan). Jika jangka waktu deposito tersebut telah habis, maka deposan dapat menarik deposito tersebut atau memperpanjang deposito dengan suatu periode yang diinginkan. Dalam melihat kinerja suatu bank berdasarkan fungsi intermediasinya, DPK sangat erat kaitannya dengan Loan to Deposit Ratio (LDR). Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah perbandingan jumlah pinjaman yang diberikan terhadap simpanan masyarakat. Bank Indonesia menentukan tingkat likuiditas yang baik terletak pada interval LDR yang bernilai antara %. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (2006), persamaan LDR adalah sebagai berikut : dimana : Kredit Loan To Deposit Ratio (LDR) = 100% DanaPihakKetiga (2.1) Kredit, terdiri dari total kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk antar Bank) Dana Pihak Ketiga (DPK), terdiri dari dana masyarakat yang mencakup giro, tabungan, dan deposito (tidak termasuk antar Bank)

43 26 Dalam kaitannya dengan LDR, terdapat conflict of interest antara likuiditas dan profitabilitas yang dialami bank manakala mengelola likuiditas (Arthesa dan Handiman, 2006). Di satu sisi, sebagian bank sangat menjaga posisi likuiditasnya dengan cara memperbesar cadangan kas. Tetapi, hal ini justru akan mengakibatkan banyak dana menganggur (idle funds), sehingga profit yang diraih tidak optimal. Di sisi lain, sebagian bank bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang optimal dengan cara aktif memutar dana cadangan untuk keperluan bisnis atau usaha, sehingga posisi likuiditas menurun, bahkan jika mobilitas dana ini terlalu aktif bisa saja suatu ketika bank tersebut memiliki likuiditas di bawah batas minimum yang ditentukan Non Performing Loan (NPL) Penyaluran kredit dari sisi penawaran salah satunya dipengaruhi oleh rasio dari Non Performing Loan (NPL). Semakin tinggi rasio NPL, mengindikasikan bahwa tingginya jumlah kredit bermasalah dari suatu bank. Karena itu, dalam kondisi NPL yang tinggi tersebut, perbankan lebih cenderung untuk melakukan konsolidasi internal guna memperbaiki kualitas aset yang dimiliki daripada menyalurkan kredit (Agung, et al., 2001). Adapun persamaan rasio NPL sesuai dengan yang terdapat pada Statistik Perbankan Indonesia (2006), adalah sebagai berikut : Rasio NPL=(Kredit dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet) (2.2) Total Kredit

44 27 dimana : Kredit Kurang Lancar merupakan kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya telah mengalami penundaan selama tiga bulan dari waktu yang telah dijanjikan Kredit Diragukan merupakan kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya telah mengalami penundaan selama enam bulan atau dua kali lipat dari jadwal yang telah dijanjikan Kredit Macet merupakan kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunganya telah mengalami penundaan selama lebih dari satu tahun sejak jatuh tempo menurut jadwal yang telah dijanjikan Total Kredit merupakan jumlah keseluruhan kredit yang disalurkan Argumen yang menyatakan bahwa NPL merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam penyaluran kredit juga dikemukakan oleh Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna (2006), bahwa kredit yang diberikan oleh perbankan highly sensitive terhadap rasio NPL. Lebih jauh lagi, dikatakan pula bahwa kredit perbankan distimulasi oleh pereduksian dalam biaya operasional, yang mengimplikasikan bahwa bank yang memiliki biaya operasional lebih rendah, ternyata memiliki pertumbuhan kredit yang lebih tinggi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bank for International Settlement (BIS), ternyata rasio NPL Indonesia pada tahun 2004 sebesar 1,8 persen (merupakan persentase dari total aset bank komersial), lebih rendah dibandingkan periode pasca krisis tahun 1999 sebesar 6,6 persen (Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna, 2006).

45 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Suku bunga SBI yang merupakan instrumen moneter adalah suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai insentif bagi pemegang sertifikat. Setelah berlakunya Inflation Targeting Framework (ITF), maka respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) satu bulan hasil lelang Operasi Pasar Terbuka (OPT) berada di sekitar BI Rate (Bank Indonesia, 2006). Jadi, dengan kata lain, setelah berlakunya ITF suku bunga SBI tenor satu bulan disebut juga dengan BI Rate. Penyaluran kredit dipengaruhi oleh suku bunga kredit dari sisi permintaan maupun penawaran. Sementara, suku bunga kredit mengacu pada pergerakan suku bunga SBI dan biasanya berkorelasi positif. Sebagai contoh, kenaikan BI Rate kemudian akan diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit, meskipun tidak secara langsung melainkan secara gradual. Tingginya suku bunga kredit menyebabkan beban pelaku dunia usaha semakin berat. Misalnya, pada saat BI Rate berada pada level 12.25% pada November 2005, suku bunga kredit mencapai 16-17% (Harian Ekonomi Neraca, 2005), akibatnya pengusaha sektor riil enggan mengajukan kredit ke perbankan mengingat begitu tingginya suku bunga yang harus mereka bayarkan kelak. Otomatis hal ini akan menurunkan kredit yang diminta oleh masyarakat dan menghambat mekanisme penyaluran kredit.

46 Pertumbuhan Ekonomi Salah satu data makroekonomi yang seringkali dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian adalah Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) (Mankiw, 2003). Adapun jenis GDP yang biasanya digunakan secara luas untuk mengukur aktivitas ekonomi adalah GDP Riil (Bernanke dan Gertler, 1995). GDP Riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah output berubah, tetapi harga dibiarkan konstan. Pertumbuhan ekonomi itu sendiri menurut Simon Kuznets merupakan kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya, dimana kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro dan Smith, 2003). Menurut Harmanta dan Ekananda (2005), pertumbuhan ekonomi ditengarai memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Teori pertumbuhan ekonomi modern diawali dengan model Harrod-Domar (Hossain dan Chowdury, 1998). Model ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi ( g y ) dalam kondisi steady state sama dengan produktivitas kapital (σ ) dikalikan dengan tingkat tabungan atau investasi (s). Jika dituliskan dalam bentuk persamaan, maka model Harrod-Domar adalah sebagai berikut : g y = σ s (2.3)

47 30 Model tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa jika produktivitas kapital dianggap konstan, maka dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi secara langsung berhubungan dengan tingkat tabungan atau investasi. Dengan kata lain, investasi merupakan stimulus langsung bagi pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Salah satu channel investasi adalah melalui bank lending channel, dimana salah satunya yakni penyaluran kredit investasi oleh perbankan. Karena itu, pertumbuhan ekonomi dan kredit investasi secara implisit berhubungan erat. Di negara maju, apabila suatu penelitian menggunakan data bulanan, maka pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu bulanan dinilai lebih representatif jika menggunakan indeks Industrial Production dibandingkan GDP Riil. Penggunaan variabel indeks Industrial Production memang belum seluas penggunaan variabel GDP Riil dalam sebuah penelitian, tetapi penelitian dalam kurun waktu belakangan ini mulai menggunakan variabel indeks Industrial Production untuk mencerminkan pertumbuhan ekonomi bulanan, seperti studi yang dilakukan oleh Besimi, Pugh, dan Adnett (2006), serta Cifter dan Ozun (2007). Dengan demikian, indeks Industrial Production digunakan sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi (output). Namun, karena penelitian ini merupakan penelitian di Indonesia yang notabene bukan merupakan negara maju, maka plot pergerakan Industrial Production dari periode ke periode tidak sama dengan pergerakan GDP Riil. Karena itu, selanjutnya dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi direpresentasikan secara spesifik pada pertumbuhan produksi. Pertumbuhan produksi dalam penelitian ini ditengarai memiliki korelasi yang positif dengan kredit investasi sebagai salah satu sumber pembiayaan sektor produksi.

48 Kerangka Teori Jalur Kredit dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Mekanisme transmisi dari kebijakan moneter terbagi menjadi tiga jalur utama, yakni jalur suku bunga (traditional interest-rate effects), jalur harga aset (other asset price channels), dan jalur kredit (credit view) (Mishkin, 2001). Jalur suku bunga merupakan pandangan tradisional Keynesian yang menyatakan bahwa suku bunga mempunyai efek yang signifikan terhadap belanja konsumen dan investasi melalui biaya modal. Pandangan tradisional Keynesian ini dikenal dengan structural model, yakni mendeskripsikan bahwa kegiatan perekonomian dapat digambarkan melalui serangkaian urutan tertentu (ordering) yang menjelaskan bagaimana perilaku perusahaan dan konsumen dalam berbagai sektor perekonomian (Mishkin, 2001). Namun, Bernanke dan Gertler (1995) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat jalur lain yang ternyata lebih baik dalam menstimulus mekanisme transmisi kebijakan moneter, yakni jalur kredit. Bernanke dan Gertler (1995) mengemukakan bahwa jalur kredit ini terbagi menjadi dua jenis, yakni bank lending channel dan balance sheet channel. Bank lending channel sebenarnya didasarkan pada analisis bahwa bank memegang peranan penting dalam sistem finansial. Dengan kata lain, bank lending channel lebih menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kredit karena kondisi keuangan bank, khususnya pada sisi aset (Warjiyo, 2004). Namun, selain sisi aset, sisi liabilities juga merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit. Liabilities ini terkait pada loanable fund (dana yang dapat dipinjamkan oleh pihak bank) akibat pengaruh kebijakan

49 32 moneter tertentu dari Bank Sentral (kebijakan ekspansif maupun kebijakan kontraktif). Di samping itu, channel ini mengisyaratkan bahwa beberapa kelompok debitur merupakan bank-dependent dan Bank Sentral memiliki kemampuan untuk mempengaruhi bank loans (pinjaman dari bank) melalui kebijakan moneter (Peek dan Rosengren, 1995). Karena banyak debitur yang tergantung pada bank loans untuk membiayai berbagai aktivitasnya, maka semakin meningkatnya bank loans ini akan mengakibatkan pembelanjaan untuk investasi (juga belanja konsumen) akan ikut meningkat (Mishkin, 2001). Secara sistematis, efek kebijakan moneter dalam hal ini adalah sebagai berikut : M bank deposits bank loans I Y Misalnya, terjadi ekspansi moneter yang akan meningkatkan jumlah uang yang beredar, maka hal ini akan menyebabkan bank deposits meningkat. Peningkatan ini akan diikuti dengan peningkatan bank loans karena banyak orang yang tergerak untuk melakukan ekspansi usaha. Akibatnya, investasi akan meningkat, dan pada akhirnya output yang dihasilkan dan pendapatan pun akan meningkat Keseimbangan dalam Pasar Kredit Keseimbangan dalam pasar kredit menggambarkan hubungan antara suku bunga kredit dengan kuantitas kredit. Sumbu X menggambarkan kuantitas kredit (L), sementara sumbu Y menggambarkan suku bunga kredit (r). Permintaan dan penawaran kredit dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Permintaan kredit diantaranya dipengaruhi oleh aktivitas investasi, kondisi keuangan debitur, suku bunga kredit, serta risiko berusaha (Agung, et al., 2001). Di samping itu,

50 33 permintaan kredit juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, spread suku bunga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar, dan inflasi (Harmanta dan Ekananda, 2005). Di sisi lain, penawaran kredit diantaranya dipengaruhi oleh aset perbankan, rasio Non Performing Loan (NPL), modal perbankan, serta kesediaan loanable funds (Agung et al., 2001). Sementara, Harmanta dan Ekananda (2005) mengemukakan bahwa suku bunga kredit dan suku bunga SBI ikut mempengaruhi penawaran kredit. Jika jumlah permintaan kredit sama dengan jumlah penawaran kredit, maka akan tercipta kondisi keseimbangan. Keseimbangan itu dapat dilihat pada Gambar 2.1., dimana keseimbangan pasar kredit pada gambar tersebut ditunjukkan oleh titik E. Suku Bunga Kredit (r) r 0 E L 0 Kuantitas Kredit (L) Gambar 2.1. Keseimbangan Dalam Pasar Kredit Permasalahan Kredit Adapun permasalahan kredit diantaranya adalah credit booming (peningkatan permintaan kredit dari masyarakat) dan credit crunch (fenomena

51 34 penurunan supply kredit yang disebabkan oleh keengganan bank untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat). Dengan kata lain, gangguan pada kredit dapat berasal dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran. Gangguan pada kedua sisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya aktivitas dalam pasar kredit, yang pada akhirnya dapat menghambat mekanisme transmisi kebijakan moneter Permasalahan Pada Sisi Permintaan Kredit Dalam pembahasan mengenai permasalahan pada sisi permintaan kredit, maka diambil contoh kasus penurunan kredit. Pada umumnya, penurunan kredit dari sisi permintaan terjadi pada masa resesi, yang ditandai dengan lemahnya aktivitas investasi. Menurut Agung, et al. (2001), gangguan pada sisi permintaan dapat berupa menurunnya kualitas debitur yang diantaranya tercermin dari melemahnya kondisi neraca (balance sheet) perusahaan, misalnya akibat krisis ekonomi. Hal ini mengakibatkan leverage perusahaan meningkat yang tercermin dari tingginya debt to equity ratio. Dalam kondisi seperti ini, maka otomatis perusahaan akan mengurangi permintaan kredit kepada bank karena perusahaan lebih memilih untuk membenahi masalah struktural tersebut, yakni dengan melakukan penyesuaian terhadap debt to equity ratio. Di samping itu, tingginya suku bunga kredit yang memberatkan debitur untuk melakukan pembayaran kembali, serta meningkatnya risiko berusaha merupakan contoh gangguan lain pada sisi permintaan kredit. Sementara, Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna (2006) juga mengungkapkan bahwa penurunan kredit bisa disebabkan oleh semakin terdiversifikasinya sumber pembiayaan dunia usaha yang tidak lagi

52 35 bertumpu secara total pada kredit perbankan. Alternatif sumber pembiayaan ini antara lain melalui pasar modal dan obligasi. Gambar 2.2. di bawah ini menjelaskan skema pergeseran permintaan kredit berupa turunnya permintaan kredit. Dengan asumsi bahwa penawaran kredit adalah konstan, maka pergeseran kurva permintaan kredit (dari D ke D 1) akibat melemahnya aktivitas perekonomian akan mengakibatkan turunnya suku bunga kredit yang berimplikasi pada menurunnya sejumlah persyaratan kredit, seperti jumlah agunan dan jangka waktu. Jika penurunan kredit tersebut didorong oleh faktor-faktor struktural ekonomi (seperti penyesuaian yang dilakukan perusahaan terhadap debt to equity rasio seperti yang telah dikemukakan di atas), maka pergeseran kurva permintaan kredit juga diikuti dengan semakin curamnya kurva permintaan (dari D ke D 2 ). Hal ini menunjukkan bahwa permintaan kredit menjadi kurang responsif (inelastis) terhadap perubahan suku bunga kredit. Suku Bunga Kredit S (k, n, z) r r 1 D 2 D 1 D (y, x) Sumber : Agung, et al., 2001 L 1 L Kuantitas Kredit Gambar 2.2. Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Permintaan

53 Permasalahan Pada Sisi Penawaran Kredit Seperti halnya pembahasan mengenai permasalahan pada sisi permintaan kredit, permasalahan pada sisi penawaran kredit yang dibahas adalah kasus penurunan penawaran kredit. Gangguan pada sisi penawaran dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal (Agung, et al., 2001). Faktor internal dapat berupa rendahnya kualitas aset perbankan, tingginya rasio Non Performing Loans (NPLs), serta menurunnya modal perbankan (keterbatasan modal) yang diukur dengan menggunakan indikator Capital Adequacy Ratio (CAR). Sedangkan faktor eksternal, diantaranya adalah menurunnya tingkat kelayakan kredit (creditworthiness) dari nasabah kredit akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan. Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna (2006) juga mengemukakan bahwa fluktuasi kredit dari sisi penawaran juga dipengaruhi oleh perubahan dalam kapasitas perbankan dan keinginan untuk menyalurkan kredit (willingness to lend). Salah satu hal yang berkaitan erat dengan willingness to lend dari suatu bank adalah biaya operasional bank. Tingginya biaya operasional mengindikasikan adanya ketidakefisienan yang signifikan dari sistem perbankan yang bersangkutan dan mengakibatkan terjadinya struktur suku bunga pinjaman yang rigid. Akibatnya, hal ini dapat mengurangi aksessibilitas dari debitur berkualitas baik kepada bank tersebut. Skema pergeseran penawaran kredit berupa turunnya penawaran kredit diperlihatkan pada Gambar 2.3. Penurunan penawaran kredit (dari S ke S 1 ) mengakibatkan meningkatnya suku bunga kredit dan semakin ketatnya persyaratan kredit. Akan tetapi, keengganan bank untuk menyalurkan kredit

54 37 seringkali tidak diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit, melainkan dalam bentuk pengurangan kuantitas kredit (non-price credit rationing). Alasannya adalah karena risiko kredit dunia usaha yang meningkat, serta kurangnya informasi mengenai debitur, membuat bank tidak dapat membedakan kualitas debitur sehingga pada akhirnya bank cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Di samping itu, bank memiliki anggapan bahwa hanya debitur yang memiliki kualitas buruk (risiko usaha tinggi) saja yang bersedia membayar suku bunga kredit yang tinggi. Non-price credit rationing ini akibatnya menggeser kurva penawaran ke kiri ( S 2 ) dan menjadi vertikal, yang berarti bahwa kurva penawaran kredit sama sekali tidak responsif atau sensitif terhadap perubahan suku bunga kredit. Perlu diketahui bahwa Non-price credit rationing ini terjadi di Indonesia, terutama pasca krisis (sesuai dengan penelitian Agung, et al. pada tahun 2001). Suku Bunga Kredit S 2 S 1 S (k, n, z) r 2 r D (y, x) L 2 L Kuantitas Kredit Sumber : Agung, et al., 2001 Gambar 2.3. Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Penawaran

55 Investasi Menurut Kunarjo (2003), investasi merupakan penanaman modal dalam suatu usaha yang diharapkan dapat mendatangkan tambahan pendapatan. Sementara, Pass dan Lowes (1994) mengemukakan bahwa investasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni investasi berupa pembelian surat-surat berharga, seperti saham dan obligasi, serta investasi dalam bentuk pembelian atau penambahan sejumlah aktiva tetap. Dalam kaitannya dengan kredit investasi, maka konteks investasi dalam penelitian ini berupa investasi yang bertujuan untuk pembelian barang-barang modal atau barang-barang yang bersifat tahan lama, misalnya investasi dengan melakukan pembelian tanah, mesin, dan sebagainya. Menurut Mankiw (2003), jenis investasi seperti ini dinamakan pula investasi tetap bisnis, dan merupakan bagian terbesar dari pengeluaran investasi. Model standar dari investasi tetap bisnis disebut sebagai model investasi neoklasik yang mengkaji manfaat dan biaya bagi perusahaan untuk memiliki barang-barang modal. Model ini menunjukkan bagaimana tingkat investasi dikaitkan dengan produk marjinal modal, tingkat bunga, dan aturan perpajakan yang mempengaruhi perusahaan. Investasi berhubungan negatif dengan tingkat bunga riil. Hal ini karena tingkat bunga merupakan biaya pinjaman untuk mendanai proyek-proyek investasi, sehingga jika tingkat bunga meningkat, maka akan mengurangi minat investor (dunia usaha) untuk berinvestasi mengingat bertambah besarnya beban bunga pinjaman yang harus mereka bayarkan kelak I = I(r) (2.4)

56 39 Tingkat bunga, r r 2 r 1 Sumber : Mankiw, 2003 I ( r 2 ) I r ) Investasi, I ( 1 Gambar 2.4. Kurva Investasi Seperti yang telah dikemukakan diatas, hubungan antara tingkat bunga dengan investasi ditunjukkan oleh slope kurva investasi yang negatif. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa kenaikan tingkat bunga dari r 1 ke r 2 mengakibatkan investasi mengalami penurunan dari I r ) ke I r ). Peningkatan suku bunga ini diantaranya terjadi karena tingginya inflasi. ( 1 ( Vector Autoregression (VAR) Pada tahun 1980, Christopher Sims memperkenalkan sebuah macroeconometric framework yang menjanjikan, yakni Vector Autoregression (VAR). Stock dan Watson (2001) memaparkan bahwa jika sebelumnya univariate autoregression merupakan sebuah persamaan tunggal (single-equation) dengan model linier variabel tunggal (single-variable linear model), dimana nilai sekarang dari masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lag-nya sendiri, maka VAR merupakan sebuah n-persamaan (n-equation) dengan n-variabel (n-

57 40 variable), dimana masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lag-nya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (current and past values). Dengan demikian, dalam konteks ekonometrika modern VAR termasuk ke dalam multivariate time series analysis (Firdaus, 2006). VAR menyediakan cara yang sistematis untuk menangkap perubahan yang dinamis dalam multiple time series, serta memiliki pendekatan yang kredibel dan mudah untuk dipahami bagi pendeskripsian data, forecasting (peramalan), inferensi struktural, serta analisis kebijakan (Stock dan Watson, 2001). Menurut Arsana (2005), adapun alat analisa yang disediakan oleh VAR bagi deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan dilakukan melalui empat macam penggunaannya, yakni Forecasting, Impulse Response Function (IRF), Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), dan Granger Causality Test. Forecasting merupakan ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel. Sementara, Impulse Response Function (IRF) adalah melacak respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) merupakan prediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Sedangkan, Granger Causality Test bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab-akibat antar variabel. Seperti halnya model ekonometrika lainnya, VAR juga meliputi serangkaian proses spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan dalam model

58 41 (Arsana, 2005). Sedangkan identifikasi model adalah melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan estimasi model. Dalam proses identifikasi akan dijumpai beberapa kondisi. Kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang dimiliki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi. Sementara, kondisi exactly identified atau just identified akan tercapai jika jumlah informasi dan jumlah parameter yang diestimasi sama. Kemudian, jika jumlah informasi kurang dari jumlah parameter yang diestimasi akan menciptakan keadaan yang disebut underidentified. Proses estimasi hanya dapat dilakukan dalam keadaan overidentified dan exactly identified atau just identified. Enders (2004) mengemukakan bahwa bentuk sistem VAR standar (reduced-form) yang digunakan secara luas atau umum pada saat ini berasal dari bentuk sistem VAR primitif yang memiliki sejumlah kelemahan. Adapun bentuk sederhana dari sistem VAR yang primitif ditunjukkan oleh sistem bivariate sederhana sebagai berikut : y t = b10 b12zt + γ 11 yt 1 + γ 12 zt 1 + ε yt (2.5) z t = b20 b21 yt + γ 21 yt 1 + γ 22 zt 1 + ε zt (2.6) Kedua persamaan di atas menunjukkan bahwa y t dan z t saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, b12 merupakan efek serentak (contemporaneous effect) dari perubahan z t terhadap y t dan γ 12 merupakan efek dari perubahan z t 1 terhadap y t. Oleh karena itu, maka persamaan (2.5) dan (2.6) bukanlah persamaan dalam bentuk reduced-form karena y t memiliki efek serentak terhadap z t dan z t memiliki efek serentak terhadap y t.

59 42 Namun, dari bentuk persamaan primitif di atas dapat diperoleh bentuk transformasi VAR ke dalam bentuk standar (reduced-form). Adapun persamaan umum VAR adalah sebagai berikut (Enders, 2004): y A A y A y A y + e t = o + 1 t t p t p t (2.7) dimana : y = vektor berukuran ( n 1) yang berisikan n variabel yang terdapat dalam t o sebuah model VAR A = vektor intersep berukuran ( n 1) A = matriks koefisien/ parameter berukuran ( n n) untuk setiap i =1,2,...,p i e = vektor error berukuran ( n 1) t Model VAR dalam bentuk standar di atas jika dituliskan dalam bentuk persaman bivariate adalah sebagai berikut : yt = a10 + a11 yt 1 + a12 zt 1 + e1 t (2.8) zt = a20 + a21 yt 1 + a22 zt 1 + e2t (2.9) atau dalam bentuk notasi matriks VAR adalah sebagai berikut : yt a = zt a a + a a a yt zt 1 1 e + e 1t 2t (2.10) Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi (Arsana, 2005). Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi

60 43 restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang. Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut (Nuryati, Siregar, dan Ratnawati, 2006) : Δy t k 1 t 1 + ΓixΔy t i + i= 1 = μ + μ t +Π y ε (2.11) 0x 1x x t dimana : y t = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian μ 0x = vektor intercept μ = vektor koefisien regresi 1x t = time trend Π x = α x β dimana β mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang y t 1 = variabel in-level Γ ix = matriks koefisien regresi k 1 = ordo VECM dari VAR ε t = error term Penelitian Terdahulu Penelitian ini tidak merujuk penelitian terdahulu yang membahas secara spesifik mengenai kredit investasi, mengingat sejauh penelusuran penulis belum

61 44 adanya penelitian yang spesifik membahas mengenai kredit investasi. Karena itu, dalam penelitian ini penulis merujuk penelitian lain yang membahas kredit secara agregat. Penelitian mengenai kredit dilakukan oleh Agung, et al. (2001), yang menganalisa fenomena credit crunch di Indonesia pasca krisis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat fenomena penurunan kredit yang terjadi di Indonesia pasca krisis apakah lebih disebabkan dari sisi penawaran (keengganan bank dalam menyalurkan kredit) ataukah dari sisi permintaan (rendahnya permintaan dari debitur akibat perekonomian yang kurang prospektif dan konsolidasi internal perusahaan). Penelitian ini menggunakan kajian empiris secara makro dan mikro. Dalam kajian empiris secara makro dengan estimasi Maximum Likelihood, penawaran kredit ditentukan oleh kapasitas kredit, suku bunga kredit, rasio modal bank terhadap aset yang merupakan proxy dari CAR, dan NPL. Di sisi lain, permintaan kredit ditentukan oleh GDP riil dan suku bunga kredit. Sementara itu, kajian empiris secara mikro menggunakan data individual perbankan (panel data). Secara umum, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa melambatnya kredit yang disalurkan perbankan lebih disebabkan oleh faktor-faktor penawaran (hipotesa credit crunch). Hal ini terutama diakibatkan persoalan permodalan yang dihadapi bank setelah terjdinya krisis, tingginya NPL, tingginya risiko kredit dunia usaha, dan kurangnya informasi mengenai debitur yang potensial. Harmanta dan Ekananda (2005) juga meneliti mengenai kredit dengan tujuan serta metode estimasi yang hampir sama dengan Agung, et al. (2001). Penelitian ini mengasumsikan bahwa permintaan kredit tidak selalu sama dengan penawaran kredit (adanya disekuilibrium). Hasil empiris menunjukkan bahwa

62 45 penurunan penyaluran kredit menunjukkan perilaku yang berbeda dalam dua periode. Pertama, periode 1997/1998 (pada saat krisis dan beberapa bulan pasca krisis) ditandai dengan excess demand, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit yang terjadi pada periode tersebut lebih disebabkan oleh melemahnya penawaran kredit (credit crunch). Krisis yang terjadi mengakibatkan lambatnya pertumbuhan DPK yang pada gilirannya menurunkan lending capacity bank sehingga mengurangi kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Kedua, periode pasca krisis tahun 1999 hingga 2003 (akhir periode penelitian) ditandai dengan excess supply, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit yang terjadi pada periode tersebut ternyata lebih disebabkan oleh masih lemahnya permintaan kredit. Hal ini merupakan konsekuensi dari lemahnya sisi permintaan akibat rendahnya prospek investasi akibat belum pulihnya kondisi perekonomian. Penelitian lain tentang kredit juga mengungkapkan bahwa sumber pembiayaan terbesar dari perusahaan-perusahaan pada negara berkembang di Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia) adalah melalui kredit perbankan (Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna, 2006). Karena itu, bank masih memegang peranan yang sangat penting sebagai supplier dana tersebut, mengingat masih rendahnya diversifikasi sumber pembiayaan pada negara-negara berkembang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa di Indonesia, terjadi penurunan jumlah business credit yang disalurkan. Pada tahun 1999, jumlah business credit yang disalurkan mencapai enam puluh persen (persentase dari total kredit domestik Bank Komersial), sementara pada tahun 2004 jumlahnya mengalami penurunan menjadi hanya 37 persen dari total kredit domestik Bank Komersial.

63 46 Sementara itu, dalam kaitannya mengenai kinerja bank, Febryani dan Zulfadin (2003) dalam penelitiannya mengenai perbedaan kinerja antara Bank Devisa dan Bank Non Devisa di Indonesia periode 2000 hingga 2001 mengemukakan bahwa pada tahun 2000 tidak terdapat perbedaan kinerja antara Bank Devisa dan Bank Non Devisa jika dilihat dari ROA, ROE dan LDR (analisis kinerja dari segi rentabilitas dan likuiditas). Hal ini kemungkinan terjadi karena Bank Devisa tidak secara maksimal memanfaatkan peluang memperoleh laba dari transaksi yang menggunakan mata uang asing. Faktor lain adalah besarnya kredit macet yang dimiliki oleh Bank Devisa akibat tingkat suku bunga bank yang meningkat tajam. Pada tahun 2001 masih terlihat tidak adanya perbedaan kinerja antara Bank Devisa dan Bank Non Devisa jika dilihat dari ROA dan ROE, tetapi jika dilihat dari LDR menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja yang cukup signifikan antara Bank Devisa dan Bank Non Devisa. Namun, tidak dijelaskan kategori bank mana yang memiliki kinerja dari segi likuiditas yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan produksi (rujukan penelitian terdahulu lebih secara agregat pada pertumbuhan ekonomi), penelitian ini juga merujuk studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit. Penelitian dalam negeri diantaranya dilakukan oleh Lina (2005) dan Inggrid (2006). Lina (2005) menganalisis tentang efektivitas jalur kredit sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter periode Penelitian menggunakan model VAR. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa respon output, kredit, dan suku bunga kredit terhadap inovasi suku bunga JIBOR dan base money secara statistik

64 47 tidak berbeda dari nol, sehingga ditarik kesimpulan bahwa kebijakan moneter melalui jalur kredit tidak bekerja dalam perekonomian pada periode tersebut. Sebaliknya, Inggrid (2006) mengemukakan bahwa pada periode penelitian (1992:2 hingga 2004:4) terdapat keterkaitan yang positif antara output dengan sektor keuangan (dalam hal ini perbankan, yang diwakili dengan variabel kredit kepada sektor swasta dan spread suku bunga pinjaman dan simpanan). Analisis ekonometri dengan VECM mendukung hipotesis signifikansi peranan sektor keuangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, melalui kenaikan ketersediaan kredit, baik dari segi volume maupun harga Kerangka Pemikiran Operasional Pertumbuhan produksi sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini diukur dengan indeks Industrial Production. Indeks Industrial Production yang mengukur kinerja produksi sektor industri diantaranya dipengaruhi oleh kestabilan kondisi makroekonomi, seperti stabilnya nilai tukar dan terjaganya tingkat inflasi. Jika Rupiah cenderung stabil (apresiasi), dan tingkat inflasi cenderung persisten di bawah perkiraan otoritas moneter, maka indeks Industrial Production pun akan meningkat (terutama sektor industri yang tergantung pada bahan baku impor). Dengan meningkatnya indeks Industrial Production, maka pertumbuhan produksi akan mengalami peningkatan, dan diharapkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pun akan mengalami perbaikan. Pertumbuhan produksi yang semakin tinggi akan meningkatkan minat masyarakat untuk menyimpan uangnya pada bank disamping kegiatan konsumsi

65 48 (di sisi lain juga meningkatkan permohonan kredit pada bank untuk ekspansi usaha). Hal ini akan meningkatkan akumulasi dana bank yang berasal dari masyarakat atau disebut juga dengan Dana Pihak Ketiga (DPK). Sebagai lembaga intermediasi keuangan, selayaknya bank menyalurkan dana masyarakat tersebut kembali kepada masyarakat lain yang membutuhkan dana (lack of fund). Bank yang aktif memutar dananya kepada masyarakat dinilai memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) yang tinggi. Di samping menyalurkan dananya kepada masyarakat, bank juga menaruh kelebihan likuiditasnya pada instrumen moneter, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pasca krisis dan pasca rekapitalisasi perbankan, terdapat kecenderungan perilaku bank-bank yang ada di Indonesia untuk menempatkan sebagian besar dananya pada SBI (idle funds). Hal ini jelas menghambat fungsi intermediasi perbankan karena penempatan dana pada SBI bukanlah core business bank, melainkan lebih menyerupai aktivitas mutual fund. Perubahan portofolio perbankan ini diantaranya disebabkan masih tingginya risiko dunia usaha (sektor rill) dan lambatnya proses restrukturisasi perusahaan sebagai debitur bank tersebut. Meskipun demikian, eksistensi kredit sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi tetap dirasakan penting, terutama kredit investasi yang diharapkan dapat menstimulus kegiatan investasi yang nantinya dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas (misalnya penyerapan tenaga kerja). Kredit pada bank terbagi menjadi dua macam, yakni kredit konsumsi, dan kredit produktif. Kredit produktif terbagi menjadi dua macam, yakni kredit investasi dan kredit modal kerja (KMK). Dalam kaitannya dengan kredit produktif, maka sasaran debitur bank tersebut

66 49 terbagi menjadi dua kelompok, yaitu debitur UMKM serta debitur korporasi. Perbedaan diantara keduanya yakni pada pemberian plafon kredit yang disalurkan oleh bank tersebut, dimana debitur UMKM jelas memperoleh plafon kredit yang lebih rendah dibandingkan debitur korporasi. Penelitian akan difokuskan pada kredit investasi yang disalurkan pada debitur korporasi. Salah satu faktor yang langsung mempengaruhi kredit investasi tersebut adalah suku bunga kredit investasi. Pergerakan dan pembentukan suku bunga kredit investasi salah satunya dipengaruhi oleh suku bunga SBI yang dijadikan oleh perbankan sebagai acuan. Meskipun demikian, terdapat faktor-faktor lain yang dipertimbangkan bank dalam menentukan suku bunga kreditnya, diantaranya kekuatan supply-demand kredit investasi itu sendiri di pasar, dan sejumlah biaya bank (seperti cost of fund, cost of money, loanable fund, dan borrowing fund). Namun, penelitian hanya akan dibatasi pada faktor suku bunga SBI yang mempengaruhi suku bunga kredit investasi. Kredit investasi juga dipengaruhi oleh faktor demand (seperti tingkat inflasi), tetapi penelitian dibatasi dengan tidak menyentuh sisi demand kredit investasi. Di samping faktor demand (fokus pada sisi debitur), berbagai variabel perbankan lain (merupakan faktor supply kredit) juga berpengaruh terhadap kredit yang disalurkan. Dalam penelitian, faktor supply yang akan digunakan adalah variabel Non Performing Loan (NPL) dengan alasan bahwa jika misalnya NPL suatu bank meningkat, maka mengakibatkan semakin buruknya Kualitas Aktiva Produktif (KAP) yang berimplikasi pada turunnya kemampuan bank tersebut dalam menghasilkan laba. Ditambah lagi, bank harus

67 50 membentuk cadangan penyisihan yang lebih besar bagi kredit bermasalah tersebut. Hal ini jelas akan menghambat ekspansi kredit. Keseluruhan penjabaran di atas terangkum dalam Kerangka Pemikiran Operasional yang disajikan dalam Gambar 2.5. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kredit investasi pada Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan Non Devisa dibatasi hanya pada variabel indeks Industrial Production, DPK, suku bunga SBI 1 bulan, suku bunga kredit investasi, dan NPL (kecuali pada BUSN Non Devisa). Tiga jenis bank tersebut dipilih sebagai perbandingan perilaku kredit investasi pada bank milik pemerintah dan swasta yang diyakini memiliki perilaku berbeda mengingat dinamisasi yang ada pada dunia perbankan. Keterkaitan serta hubungan jangka pendek dan jangka panjang diantara faktor-faktor tersebut dianalisis dengan model VAR-VECM. Pembatasan penggunaan variabel karena masing-masing variabel dianggap telah representatif dalam menjelaskan kondisi makroekonomi dan perbankan dengan karakteristik dan sifatnya yang berbeda-beda. Pembatasan tersebut juga didasarkan pada alasan penggunaan model VAR-VECM, dimana dalam model VAR-VECM, yang diutamakan bukanlah penggunaan semakin banyaknya jumlah variabel dalam sebuah model, tetapi lebih baik menggunakan sejumlah variabel tertentu yang dimasukkan dalam model dengan penekanan bahwa variabel tersebut representatif dengan topik penelitian dan teori ekonomi.

68 51 Suku Bunga SBI Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Indeks Industrial Production Kredit Konsumsi SBI (sebagai idle fund) Kredit (sektor riil) Kredit Produktif KMK Debitur Korporasi UMKM Faktor Demand Kredit SKI Kredit Investasi Faktor Supply Kredit : NPL Investasi Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Operasional Keterangan : : Alur variabel : Dipengaruhi oleh : Terdiri dari : Variabel yang : Ruang lingkup penelitian digunakan

69 Definisi Variabel Adapun beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kredit Investasi (KI), merupakan kredit jangka menengah hingga panjang yang disalurkan oleh bank kepada debitur untuk pembelian sejumlah aktiva tetap, dalam satuan miliar rupiah. 2. Suku bunga SBI (SBI), merupakan suku bunga sebagai instrumen moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dalam satuan persen. 3. Suku bunga kredit investasi (SKI), merupakan suku bunga yang ditetapkan oleh bank kepada debitur sebagai suku bunga pinjaman bagi debitur dan insentif bagi bank atas penyaluran kredit investasi, dalam satuan persen. 4. Indeks Industrial Production (IP), merupakan sebuah indeks yang mencerminkan total produksi yang dihasilkan oleh industri pengolahan besar dan sedang. Indeks Industrial Production merupakan hasil pengolahan dari Survei Industri Besar dan Sedang Bulanan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). 5. Dana Pihak Ketiga (DPK), merupakan sumber dana yang dimiliki oleh bank yang berasal dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito, dalam satuan miliar rupiah. 6. Non Performing Loan (NPL), merupakan rasio perbandingan antara kredit dalam kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total kredit, dalam satuan persen.

70 Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu yang membahas mengenai kredit investasi serta variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang berlaku sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kredit investasi, maka dapat diberikan hipotesis (kesimpulan sementara) dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Adapun hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perubahan suku bunga SBI akan berpengaruh negatif terhadap kredit investasi. 2. Perubahan suku bunga kredit investasi akan berpengaruh negatif terhadap kredit investasi. 3. Perubahan indeks Industrial Production (IP) akan berpengaruh positif terhadap kredit investasi. 4. Perubahan Dana Pihak Ketiga (DPK) akan berpengaruh positif terhadap kredit investasi. 5. Perubahan Non Performing Loan (NPL) akan berpengaruh negatif terhadap kredit investasi.

71 54 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data deret waktu bulanan dari periode Januari 2001 hingga Desember Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dalam bentuk riil. Selain itu, variabel DPK, indeks Industrial Production, dan kredit investasi dibuat dalam bentuk logaritma natural (ln) untuk mempermudah pengolahan data dalam penelitian. Bank yang menjadi sumber penelitian adalah bank umum, yang dikategorikan dalam kelompok bank menurut kepemilikan, yakni Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan Non Devisa. Sumber data berasal dari Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia (DPIP-BI), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), serta beberapa bahan dan sumber pustaka lain, seperti jurnal, artikel koran, dan internet. Alat analisis yang digunakan adalah software EViews 4.1. dan Microsoft Excel. Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Data, Satuan, dan Simbol No. Variabel Satuan Simbol 1. Kredit Investasi Miliar Rupiah Ln_KI 2. Suku Bunga SBI Persen SBI 3. Suku Bunga Kredit Investasi Persen SKI 4. Indeks Industrial Production - Ln_IP 5. Dana Pihak Ketiga Miliar Rupiah Ln_DPK 6. Non Performing Loan Persen NPL Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

72 55 Pada beberapa penelitian, variabel indeks Industrial Production digunakan sebagai variabel pertumbuhan ekonomi (melihat pertumbuhan output) yang biasanya diukur dengan GDP Riil. Penggunaan variabel ini didasarkan atas pertimbangan bahwa indeks Industrial Production memiliki jumlah sampel yang lebih besar, yakni dalam periode bulanan dibandingkan penggunaan GDP (periode triwulanan) karena interpolasi pada data GDP akan memberikan hasil yang kurang baik pada analisis VAR-VECM. Penggunaan indeks Industrial Production dinilai representatif dan sesuai dengan studi yang pernah dilakukan oleh Besimi, Pugh, dan Adnett (2006), serta Cifter dan Ozun (2007). Perlu diketahui bahwa pada negara maju indeks Industrial Production bisa dikatakan merepresentasikan pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan produksi terbilang pesat dan dinilai tepat mewakili pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (ada korelasi pada plot data triwulanan-nya). Sementara, Indonesia ternyata memiliki plot pergerakan Industrial Production yang tidak sama dengan pergerakan GDP Riil. Karena itu, indeks Industrial Production dalam penelitian ini menggambarkan pertumbuhan produksi (sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi) Metode Analisis Dalam menjelaskan deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka digunakan model Vector Autoregression (VAR) apabila data stasioner pada level. Tetapi, jika data tidak stasioner pada level, dan terdapat hubungan kointegrasi maka model VAR harus dikombinasikan dengan model Vector Error Correction Model (VECM).

73 Model Persamaan dan Variabel yang Digunakan Model persamaan bagi Bank Persero dan BUSN Devisa menggunakan enam variabel seperti yang terlihat dalam Tabel 3.1. Tetapi, model persamaan bagi BUSN Non Devisa hanya menggunakan lima variabel (tanpa variabel NPL). Alasannya adalah karena jika variabel NPL dimasukkan dalam model, maka model bersifat statis. Hal ini disinyalir akibat kondisi NPL BUSN Non Devisa yang cenderung stabil selama periode penelitian. Adapun model persamaan VAR dalam bentuk matriks yang digunakan dalam penelitian untuk melihat pengaruh berbagai macam faktor terhadap kredit investasi pada Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa (kecuali pada BUSN Non Devisa tanpa menggunakan variabel NPL) adalah sebagai berikut (asumsi, dimisalkan lag = 1) : Ln _ KI t α SBI t α SKI t α = Ln _ IPt α Ln _ DPK t α NPLt α α 11α 12α13α14α15α16 Ln _ KI t 1 α 21α 22α 23α 24α 25α 26 SBI t 1 α 31α 32α 33α 34α 35α 36 SKI t 1 + α 41α 42α 43α 44α 45α 46 Ln _ IPt 1 α 51α 52α 53α 54α 55α 56 Ln _ DPK t α 61α 62α 63α 64α 65α 66 NPLt 1 1 ε 1 ε 2 ε 3 + ε 4 ε 5 ε 6 Jika persamaan dalam bentuk matriks di atas dibuat dalam bentuk persamaan biasa, maka bentuk umum dari persamaan tersebut bagi Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa (kecuali pada BUSN Non Devisa tanpa menggunakan variabel NPL) adalah sebagai berikut : Ln _ KI t = α r r r r i0 + ωisbit i + Γi SKIt i + ΦiLn _ IPt i + ΩiLn _ DPKt i + i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 r i = 1 λ i NPL t i + ε it (3.1)

74 57 SBI SKI t t = α = α r r r r i0 + Ψi Ln _ KI t i + Γi SKI t i + Φ i Ln _ IPt i + Ω i Ln _ DPK t i + i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 r λ i NPL t i + ε it (3.2) i= 1 r r r r i0 + Ψi Ln _ KI t i + ωisbi t i + Φ i Ln _ IPt i + Ω i Ln _ DPK t i + i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 t r i= 1 Ln _ IP = α r i= 1 λ i NPL t i + ε it (3.3) r r r r i0 + Ψi Ln _ KI t i + ωisbi t i + Γi SKI t i + Ω i Ln _ DPK t i + i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 λ NPL i ε it (3.4) + t i Ln _ DPK t = α r r r r i0 + Ψi Ln _ KI t i + ωisbi t i + Γi SKI t i + Φ i Ln _ IPt i + i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 r i= 1 λ i NPL t (3.5) i + ε it NPL t = α r r r r i 0 + Ψi Ln _ KI t i + ω i SBI t i + Γi SKI t i + Φ i Ln _ IPt i + i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 r i= 1 Ωi Ln _ DPK t ε (3.6) i + it dimana : Ln_ KI = kredit investasi t SBI t SKI t Ln_ IP t = suku bunga SBI = suku bunga kredit investasi = indeks Industrial Production Ln_ DPK t = Dana Pihak Ketiga

75 58 NPL t = Non Performing Loan α i0 = konstanta Ψ, ω, Γ, Φ, Ω,λ = masing - masing merupakan parameter Ln_KI, SBI, SKI, Ln_IP, Ln_DPK, NPL ε it = error i r = panjang lag (ordo) (i = 1,2,3, ) = lag optimal Masing-masing persamaan tersebut menunjukkan keterkaitan antara variabel satu dengan lainnya. Sehingga, VAR merupakan metode analisis yang relevan untuk menganalisa keterkaitan dan pengaruh masing-masing variabel dalam tiap persamaan. Jika terdapat kointegrasi dalam model, maka model VAR tersebut dikombinasikan dengan model VECM. Adapun persamaan VECM dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (asumsi, dimisalkan lag = 1) : dimana : ΔLn _ KI t α ΔSBI t α ΔSKI t α = ΔLn _ IPt α ΔLn _ DPK t α ΔNPLt α Δ = Perubahan masing-masing variabel α 11α 12α13α14α15α16 ΔLn _ KI t 1 α 21α 22α 23α 24α 25α 26 ΔSBI t 1 α 31α 32α 33α 34α 35α 36 ΔSKI t 1 + α 41α 42α 43α 44α 45α 46 ΔLn _ IPt 1 α 51α 52α 53α 54α 55α 56 ΔLn _ DPK t α 61α 62α 63α 64α 65α 66 ΔNPLt 1 δ = Adjustment atau penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang 1 ε 1 ε 2 ε 3 δ ε 4 ε 5 ε 6

76 Pengujian Model Dalam menganalisis hubungan di antara variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan model VAR, maka terdapat sejumlah langkah sistematis yang dilakukan, yakni uji stasioneritas, penentuan lag optimal, uji kointegrasi, serta estimasi VAR atau VECM (jika kelak terdapat hubungan kointegrasi). Setelah dilakukan serangkaian pengujian pada model, maka dilakukanlah innovation accounting pada penelitian berupa analisis Impulse Response Function (IRF), serta analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Uji Stasioneritas Mengidentifikasi kestasioneritasan data merupakan hal pertama yang penting untuk dilakukan sebelum melakukan pengolahan data untuk menghindari masalah spurious regression. Data yang stasioner berarti bahwa data tersebut memiliki rata-rata, standar deviasi atau varians, serta covarians yang konstan untuk setiap observasi. Hal ini dapat terlihat pada pola data yang konstan dari waktu ke waktu, artinya tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Pengujian stasioneritas ini dilakukan bagi setiap variabel yang digunakan dalam persamaan. Terdapat beberapa cara untuk melihat kestasioneritasan data, diantaranya adalah dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) test dan Phillips-Perron (PP) test. Metode yang umumnya digunakan adalah ADF test, sedangkan PP test biasanya digunakan jika terdapat structural break pada data. Structural break merupakan

77 60 patahan pada pergerakan data yang umumnya terjadi sebagai akibat dari kejadian luar biasa dalam suatu perekonomian, misalnya krisis ekonomi, sehingga data berfluktuasi dengan tajam. Dickey dan Fuller (1979) dalam Enders (2004) mengemukakan bahwa terdapat tiga persamaan regresi yang berbeda yang digunakan untuk menguji akar unit, yakni : ΔY = γ 1 + ε (3.7) t Y t t ΔY ΔY = β + + t 1 γy t 1 ε t (3.8) t = β 1 + β 2t + γy t 1 + ε t (3.9) Persamaan (3.7) merupakan model random walk. Sementara, persamaan (3.8) merupakan model dengan tambahan intersep, dan persamaan (3.9) merupakan model dengan intersep dan trend. Studi yang dilakukan oleh Dickey dan Fuller (1979) dalam Enders (2004) menjelaskan bahwa tingkat kritis bagi γ = 0 tergantung pada bentuk (form) regresi dan pada ukuran sampel. Berdasarkan persamaan (3.7) di atas, maka dapat dibuat hipotesis, yakni H o : γ = 0 (tidak stasioner), dan H 1 : γ < 0 (stasioner). Artinya, jika H 0 ditolak, maka berarti data stasioner, begitu pula sebaliknya. Namun, perlu diperhatikan bahwa model-model di atas mengasumsikan bahwa ε t tidak berkorelasi. Karena itu, Dickey-Fuller mengembangkan pengujian akar unit di atas dengan sebutan Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. Adapun formulasinya adalah sebagai berikut : ΔY t m 1 + β 2t + γyt 1 + α i ΔYt 1 + ε t i= 1 = β (3.10)

78 61 di mana : m = panjang lag yang digunakan Persamaan (3.10) merupakan model dengan intersep dan trend. Sementara, model tanpa intersep dan trend, serta model dengan intersep dapat dilihat pada persamaan berikut : ΔY t m t 1 + α i ΔYt 1 + ε t i= 1 = γ Y (3.11) ΔY t m 1 + γyt 1 + α i ΔYt 1 + ε t i= 1 = β (3.12) Uji stasioneritas pada penelitian ini adalah menggunakan ADF test. Jika ADF test statistic lebih kecil secara aktual/ riil daripada test critical values, hal ini mengindikasikan bahwa data stasioner. Perlu diketahui, bahwa data time series umumnya tidak stasioner pada level. Menurut Arsana (2005), apabila data pada penelitian dengan menggunakan model VAR stasioner pada level, maka digunakanlah VAR level. Namun, jika data ternyata tidak stasioner pada level dan tidak memiliki hubungan kointegrasi, maka estimasi VAR dapat dilakukan dalam bentuk difference (VAR difference). Sementara, jika data tidak stasioner pada level, tetapi memiliki hubungan kointegrasi atau terkointegrasi, maka digunakanlah VECM Penentuan Lag Optimal Dalam ilmu ekonomi, ketergantungan suatu variabel terhadap variabel lainnya jarang bersifat seketika (Gujarati, 2003). Seringkali, suatu variabel bereaksi terhadap variabel lainnya dengan suatu selang waktu (lag). Karena itulah, dalam model VAR penentuan lag optimal merupakan hal yang penting. Tahap

79 62 awal dalam penentuan lag optimal adalah penentuan panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Pemeriksaan stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik Auto Regression (AR) polinomialnya (Arsana, 2005). Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan seluruhnya terletak di dalam unit circle. Setelah diperoleh lag yang maksimum, maka tahap selanjutnya adalah penentuan lag yang optimal dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Beberapa kriteria informasi tersebut antara lain adalah Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Jika misalnya kriteria informasi yang digunakan adalah AIC, maka selang optimal yang dipilih adalah yang memiliki nilai AIC minimum. Pengujian stabilitas sistem VAR juga dilakukan sekali lagi setelah diperoleh lag optimal. Pengujian stabilitas yang kedua ini sangat penting agar analisis IRF dan FEVD bersifat valid. Dalam penelitian ini, pemilihan lag optimal dilakukan dengan pemilihan AIC terkecil (minimum). Adapun formulasi AIC adalah sebagai berikut : dimana : 2 ε t = jumlah residual kuadrat N = jumlah sampel 2 [ / N ] + 2k N AIC = log ε t / (3.13) k = jumlah variabel

80 63 Bentuk pendekatan lain yang umumnya sering digunakan sebagai ukuran kebaikan model adalah pemilihan SC terkecil (minimum). Formulasi SC adalah sebagai berikut : SC = AIC( q) + ( q / T )(logt 1) (3.14) dimana : q = jumlah variabel T = jumlah observasi Uji Kointegrasi Kointegrasi merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Secara teoritis, merupakan hal yang cukup memungkinkan bahwa hubungan non linier jangka panjang berada di antara sekumpulan variabel yang terintegrasi (Enders, 2004). Dengan kata lain, kointegrasi dapat diartikan sebagai suatu hubungan ekuilibrium jangka panjang antara variabel-variabel yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara variabelvariabel tersebut dapat menjadi stasioner. Misalnya, X t dan Y t masing-masing merupakan variabel yang tidak stasioner, tetapi Z t = X λy merupakan time t t series yang stasioner. Pada kondisi seperti ini, X t dan Y t dapat dikatakan berkointegrasi, dan λ merupakan parameter kointegrasi, dimana λ dapat diestimasi dengan Ordinary Least Square (OLS) melalui regresi X t pada Y t (Nachrowi dan Usman, 2006). Adanya hubungan kointegrasi dalam suatu persamaan merupakan indikasi awal dari spesifikasi VECM. Dalam penelitian ini, uji kointegrasi

81 64 dilakukan dengan pendekatan Johansen (Johansen Trace Statistic test) menggunakan lag optimal sesuai dengan pengujian sebelumnya. Jika trace statistic lebih besar dari critical values secara aktual/ riil, maka hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kointegrasi dalam persamaan tersebut. Adapun jumlah kointegrasi yang terdapat dalam sebuah sistem persamaan dinamakan rank kointegrasi Estimasi VAR/ VECM Jika persamaan tidak menunjukkan adanya hubungan kointegrasi, maka estimasi dilakukan dengan model VAR. Namun, jika terdapat persamaan yang terkointegrasi, maka estimasi dilakukan dengan model VECM. Dengan menggunakan estimasi VECM, maka kita dapat mengetahui hubungan jangka jangka panjang antar variabel. Melalui perbandingan t-statistic pada variabel yang terdapat dalam penelitian pada tingkat kritis yang digunakan, maka dapat diketahui variabel apa saja yang signifikan terhadap variabel endogen utama yang diamati, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang Innovation Accounting Analisis Impulse Response Function (IRF) Firdaus (2006) mengemukakan bahwa shock yang diberikan pada suatu variabel tidak hanya secara langsung mempengaruhi variabel tersebut, tetapi juga ditransmisikan kepada seluruh variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis (lag) dalam sistem VAR. Impulse Response Function (IRF) menunjukkan

82 65 pengaruh shock atau inovasi suatu variabel terhadap variabel lainnya, serta periode (berapa lama) pengaruh yang ditimbulkan tersebut. Dengan kata lain, IRF dapat menunjukkan bagaimana variabel endogen bereaksi dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi dari pergerakan dalam suatu persamaan karena shock (guncangan) dari variabel tertentu dibandingkan dengan shock terhadap variabel yang lainnya (Enders, 2004). Stock dan Watson (2001) juga menambahkan bahwa forecast error decomposition adalah seperti parsial 2 R untuk memprediksi error dengan cara memprediksi horizonnya (periode). Dengan kata lain, FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masing-masing variabel terhadap shock yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Di samping itu, FEVD juga menyediakan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing random innovation (guncangan acak) dalam mempengaruhi variabel-variabel dalam sistem VAR (Firdaus, 2006) Kelebihan dan Kelemahan VAR Model VAR sebagai alat analisis memiliki sejumlah kelebihan yang membuatnya digunakan secara luas oleh dunia ekonomi dan ekonometrika. Namun demikian, VAR juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun beberapa

83 66 kelebihan dari model VAR, menurut Nachrowi dan Usman (2006), adalah sebagai berikut : 1. Model VAR merupakan model yang sederhana sehingga tidak perlu dibedakan mana variabel yang endogen dan mana variabel yang eksogen. Hal ini dikarenakan semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen. 2. Cara estimasi model VAR dapat dikatakan relatif mudah, yaitu dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) pada setiap persamaan secara terpisah. 3. Peramalan (forecasting) dengan menggunakan model VAR pada beberapa hal lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model persamaan simultan yang lebih kompleks. Sementara itu, Laksani dalam Jong (2005) mengemukakan beberapa kelebihan lain dari model VAR, yakni : 1. VAR mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariate), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan tersebut. Hubungan yang terdeteksi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. 2. Uji VAR yang bersifat multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Karena bekerja berdasarkan data, VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan semu (spurious variable endogenty dan exogenty) di dalam model ekonometri konvensional

84 67 terutama pada persamaan simultan, sehingga dapat menghindari penafsiran yang salah. 4. Dengan teknik VAR, variabel yang terpilih hanya variabel yang relevan untuk disinkronisasi dengan teori yang ada. Di samping memiliki sejumlah kelebihan, menurut Nachrowi dan Usman (2006), VAR juga memiliki beberapa kelemahan, yakni : 1. Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karena itu, model tersebut sering disebut sebagai model yang tidak struktural. 2. Meskipun VAR dapat digunakan untuk analisis kebijakan, tetapi hal ini bukan yang utama, mengingat tujuan utama dari model VAR adalah untuk peramalan (forecasting). Karena itu, analisis/ implikasi kebijakan berdasarkan model VAR kurang sesuai karena VAR tidak mempermasalahkan perbedaan variabel eksogen dan endogen (Laksani dalam Jong, 2005). 3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat menimbulkan permasalahan. Misalnya, terdapat tiga buah variabel eksogen dengan masing-masing lag sebanyak delapan buah. Maka, pengestimasian yang dilakukan paling sedikit sebanyak 24 parameter. Oleh karena itu, dibutuhkan data atau pengamatan yang relatif banyak. 4. Seluruh variabel dalam VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner, maka harus ditransformasi terlebih dahulu. 5. Tidak mudah dalam menginterpretasikan koefisien yang diperoleh berdasarkan model VAR.

85 68 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kredit Investasi Perbankan Pertumbuhan kredit investasi secara keseluruhan dalam kurun waktu lima tahun terakhir makin tertinggal dibandingkan kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Keterpurukan kredit investasi ini dikarenakan belum pulihnya kinerja sektor riil pasca krisis dan kehati-hatian pihak perbankan dalam menyalurkan kreditnya untuk memenuhi peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan penetapan batas CAR minimum dan NPL maksimum. Tingginya risiko pada sektor riil menyebabkan bank lebih memilih untuk menyalurkan kelebihan likuiditasnya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, perilaku ini mengakibatkan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan dengan baik karena dana yang diterima dari masyarakat (Dana Pihak Ketiga) tidak disalurkan kembali kepada masyarakat dan menjadi dana yang menganggur (idle fund) pada SBI. Secara keseluruhan, pada tahun 2005, pertumbuhan kredit investasi hanya sebesar 13,2 persen. Hal ini menunjukkan perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahun 2004 yang mencapai 25,6 persen. Bahkan, pada Juni 2005 ketika persetujuan kredit perbankan nasional tumbuh 27,58 persen, kredit investasi justru memberikan angka pertumbuhan yang negatif, yakni -18,58 persen (sementara, kredit konsumsi tumbuh 60,44 persen dan kredit modal kerja tumbuh sebesar 26,17 persen). Di samping itu, juga tercatat bahwa dari periode Desember 2000 hingga Desember 2005, total kredit investasi perbankan tumbuh sebesar 102 persen atau hanya meningkat sebesar Rp. 67,19 triliun menjadi Rp. 132,46 triliun

86 69 dalam kurun waktu lima tahun. Pada periode yang sama, pertumbuhan kredit konsumsi empat kali lipat dari kredit investasi, yakni 414 persen, dan kredit modal kerja mengalami pertumbuhan sebesar 114 persen. Kredit investasi juga menunjukkan trend penurunan hingga semester pertama tahun Turunnya kredit investasi pada tahun 2006 ini ditengarai akibat masih tingginya tingkat suku bunga SBI dan suku bunga kredit investasi, serta lemahnya permintaan sektor riil karena semakin meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh sektor riil akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Oktober 2005 lalu. Di samping itu, kalangan perbankan juga masih mempertimbangkan faktor keamanan investasi sebagai salah satu syarat pengucuran kredit investasi Perkembangan Kredit Investasi Bank Persero Perkembangan kredit investasi Bank Persero secara umum pada periode Januari 2001 hingga Desember 2006 pada Gambar 4.1. memperlihatkan kenaikan secara gradual. Kredit investasi Bank Persero pada tahun 2001 tampak sedikit berfluktuatif. Hal ini tidak terlepas dari belum stabilnya kondisi makroekonomi secara keseluruhan pasca krisis. Pada Januari 2001, jumlah kredit investasi Bank Persero adalah sebesar Rp miliar, sedangkan pada Desember 2006 jumlah kredit investasi Bank Persero telah mencapai Rp miliar. Pertumbuhan kredit investasi terbesar terjadi pada tahun 2004, dengan pertumbuhan sebesar 19,47 persen. Setelah mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi pada tahun 2004, pertumbuhan kredit investasi pada tahun-tahun berikutnya semakin berkurang. Pertumbuhan kredit investasi pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing adalah

87 70 sebesar 3,54 persen dan 2,47 persen. Pertumbuhan pada tahun 2006 merupakan pertumbuhan terendah. Data per Desember 2006 mengungkapkan pertumbuhan kredit investasi Bank Persero yang tercatat 2,47 persen hanya meningkatkan kredit investasi sebesar Rp miliar dari posisi Desember 2005 sebesar Rp miliar. Sejak periode penelitian tahun 2001, Bank Persero konsisten untuk memberikan kredit investasi pada sektor agrobisnis, terbukti dari jumlah kredit investasi yang disalurkan pada sektor ini sejak tahun 2001 selalu berada di atas lima triliun rupiah. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan penyaluran kredit investasi pada sektor properti, dimana hal ini juga tidak terlepas dari komitmen salah satu Bank Persero untuk memberikan proporsi kredit terbesar pada bidang pertanian. Pada tahun 2006, jumlah kredit investasi yang disalurkan pada sektor agrobisnis adalah Rp miliar, sedangkan kredit investasi untuk sektor properti adalah Rp miliar. Sisanya, disalurkan untuk sektor lainnya, seperti sektor perindustrian, konstruksi, serta komunikasi. Miliar Rp. 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah Periode May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Gambar 4.1. Perkembangan Kredit Investasi Bank Persero Kredit Investasi Bank Persero

88 71 Berkurangnya laju pertumbuhan kredit investasi ditinjau dari sisi makroekonomi mencerminkan naiknya tingkat risiko dan biaya investasi. Namun demikian, performa bank yang bersangkutan juga ikut mempengaruhi penyaluran kredit. Tingginya tingkat kompetisi, terutama dengan BUSN Devisa dan Bank Asing membuat pertumbuhan kredit investasi Bank Persero mengalami penurunan. Permasalahan lain yang dihadapi bank terkait dengan penyaluran kredit investasi ini adalah kekhawatiran terjadi mismatch, mengingat sumber dana perbankan rata-rata jangka pendek sedangkan kredit investasi memiliki masa tenggang waktu yang panjang, sekitar lima hingga sepuluh tahun. Dengan kata lain, kredit investasi tidak bersifat quick yielding (cepat mendatangkan hasil) Perkembangan Kredit Investasi BUSN Devisa Kredit investasi pada BUSN Devisa memperlihatkan trend yang semakin meningkat secara signifikan selama periode Januari 2001 hingga Desember 2006 seperti yang terlihat pada Gambar 4.2. di bawah ini. Meskipun kredit investasi pada BUSN Devisa merupakan jenis kredit dengan proporsi penyaluran terendah, tetapi peningkatan jumlah kredit investasi yang disalurkan tampak jelas dari periode ke periode. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada Juni 2001, yakni sebesar Rp miliar dari posisi Mei 2001 sehingga kredit investasi pada Juni 2001 berjumlah Rp miliar. Namun, belum stabilnya kondisi makroekonomi yang ditandai dengan kurang kondusifnya iklim investasi pada saat itu pada akhirnya membuat penurunan yang cukup tajam pula pada kredit investasi beberapa bulan berikutnya, dimana kredit investasi pada Oktober 2001

89 72 sebesar Rp miliar turun sebesar Rp miliar ke posisi Rp miliar pada November Pertumbuhan kredit investasi terbesar yang dialami oleh BUSN Devisa adalah pada tahun 2004, dengan pertumbuhan sebesar 32,01 persen. Sementara, pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2006, yakni hanya sebesar 17,08 persen. Meskipun pertumbuhan kredit investasi terendah terjadi pada tahun 2006, perlu diketahui bahwa pada tahun ini ternyata terjadi persaingan yang cukup ketat antara BUSN Devisa dan Bank Persero dalam meraih pangsa pasar. Jika hingga semester pertama 2006 Bank Persero merupakan bank yang paling banyak menyalurkan kredit investasi dibandingkan BUSN Devisa, maka sejak semester kedua 2006 (Juli 2006) BUSN Devisa menduduki peringkat utama dalam penyaluran kredit investasi. Bahkan, pada Desember 2006 jumlah kredit investasi BUSN Devisa adalah sebesar Rp miliar, semakin jauh melampaui kredit investasi Bank Persero, yakni sebesar Rp miliar. Miliar Rupiah 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah Periode May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Gambar 4.2. Perkembangan Kredit Investasi BUSN Devisa Jan-06 May-06 Sep-06 Kredit Investasi BUSN Devisa

90 73 Berbeda halnya dengan Bank Persero yang lebih memfokuskan penyaluran kredit investasinya pada sektor agrobisnis, BUSN Devisa justru lebih banyak menyalurkan kredit investasinya pada sektor properti. Pada tahun 2006, kredit investasi yang disalurkan ke sektor properti adalah sebesar Rp miliar, sementara bagi sektor agribisnis adalah sebesar Rp miliar. Sisanya, disalurkan ke sektor lainnya, misalnya, sektor perdagangan, perindustrian, dan pertambangan. Besarnya share kredit investasi BUSN Devisa bagi sektor properti disamping disebabkan oleh adanya salah satu bank devisa yang memang memfokuskan kegiatan usahanya bagi sektor tersebut, juga karena belakangan ini makin banyak bank devisa lainnya yang juga mengincar sektor properti. Selain prospek usaha sektor properti yang dinilai baik pada saat ini, juga karena banyaknya permintaan debitur akan kredit sektor properti. Keberhasilan BUSN Devisa dalam ekspansi kredit terutama karena semakin membaiknya kondisi makroekonomi pada semester kedua Perbaikan ini ditandai dengan turunnya tingkat suku bunga SBI karena tingkat inflasi yang lebih rendah dari perkiraan, serta ekspektasi ke depan bahwa inflasi tahun 2006 akan berada dalam kisaran target 8±1%. Kondisi tersebut membuat pihak bank semakin yakin bahwa Bank Indonesia akan melanjutkan kebijakan penurunan suku bunganya. Kesesuaian ekspektasi bank dengan kebijakan moneter Bank Indonesia, didukung dengan stabilnya nilai tukar rupiah menjadi alasan terus meningkatnya kredit investasi. Di samping itu, ekspansi kredit BUSN Devisa yang meningkat dibandingkan Bank Persero juga disinyalir karena tingkat pelayanan BUSN Devisa yang lebih baik dibandingkan Bank Persero, sehingga

91 74 menumbuhkan kepercayaan yang lebih besar dari pihak debitur. Melalui inovasi pada layanan dan produk jasa keuangan, BUSN Devisa dinilai dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan menguntungkan masyarakat. Kemudahan, inovasi produk, serta nilai lebih membuat image bank swasta menjadi lebih baik dan dapat dipercaya sehingga menarik minat debitur untuk mengajukan kreditnya pada bank ini dibandingkan Bank Persero Perkembangan Kredit Investasi BUSN Non Devisa Secara umum, perkembangan kredit investasi BUSN Non Devisa pada periode Januari 2001 hingga Desember 2006 tampak lebih fluktuatif dibandingkan kedua kelompok bank lainnya seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal itu tampak pada Gambar 4.3. di bawah ini. Pada Januari 2001, jumlah kredit investasi BUSN Non Devisa adalah sebesar Rp miliar, kemudian pada Desember 2006 jumlah kredit investasi BUSN Non Devisa berada pada posisi Rp miliar. Jika diperhatikan, maka peningkatan jumlah kredit investasi yang terjadi selama kurun waktu enam tahun sangat kecil sekali. Namun, ini semua tidak terlepas dari pergerakan jumlah kredit yang disalurkan yang memang cenderung berfluktuasi. Fluktuasi yang tampak dari periode ke periode salah satunya diperkirakan akibat rentannya BUSN Non Devisa terhadap kecukupan modal. Masih banyak BUSN Non Devisa merupakan bank skala kecil dengan modal yang terbatas. Keterbatasan modal tentu saja berpengaruh terhadap jumlah kredit yang disalurkan. Pertumbuhan kredit investasi terbesar terjadi pada tahun 2003, dengan pertumbuhan sebesar 55,46 persen. Data per Desember 2003 menunjukkan

92 75 pertumbuhan kredit investasi BUSN Non Devisa yang terbilang signifikan sebesar 55,46 persen meningkatkan kredit investasi sebesar Rp. 625 miliar menjadi Rp miliar dari posisi Desember 2002, yakni Rp miliar. Pertumbuhan yang besar ini merupakan peningkatan kinerja BUSN Non Devisa yang baik mengingat pertumbuhan kredit investasi tahun sebelumnya (tahun 2002) merupakan pertumbuhan yang negatif, yakni -17,01 persen (pertumbuhan ini juga merupakan pertumbuhan kredit investasi terendah selama periode penelitian). Pertumbuhan kredit investasi tahun 2004 dan 2005 masing-masing adalah sebesar 3,54 persen dan 18,08 persen. Pelambatan pertumbuhan kredit pada tahun 2004 dan 2005 ini di samping akibat kondisi permodalan BUSN Non Devisa yang terbatas, juga terkait kondisi makroekonomi yang kurang stabil (seperti peningkatan suku bunga serta meningkatnya laju inflasi) sehingga meningkatkan ketidakpastian dan risiko pada penyaluran kredit investasi. Hal ini berlanjut hingga tahun 2006, dimana pada tahun 2006 kredit investasi menunjukkan pertumbuhan negatif, yakni sebesar -14,29 persen. Miliar Rupiah 2,500 2,000 1,500 1, Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah Periode May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Kredit Investasi BUSN Non Devisa Gambar 4.3. Perkembangan Kredit Investasi BUSN Non Devisa

93 76 Kredit investasi yang disalurkan BUSN Non Devisa sepanjang periode penelitian lebih banyak disalurkan ke sektor agrobisnis dibandingkan sektor properti, tetapi pada tahun 2006 jumlahnya mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2006, jumlah kredit investasi bagi sektor agrobisnis hanya sembilan belas miliar rupiah, sedangkan bagi sektor properti hanya sepuluh miliar rupiah. Sisanya, yang mencapai Rp miliar disalurkan ke sektor lainnya. Tampak bahwa tahun 2006, fokus kredit investasi pada BUSN Non Devisa beralih ke sektor lain, tidak lagi pada sektor agrobisnis dan properti Perkembangan Variabel Makroekonomi Indeks Industrial Production Secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dijelaskan melalui indeks Industrial Production (dengan harga konstan tahun 2000) selama periode Januari 2001 hingga Desember 2006 seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.4. menunjukkan pergerakan yang fluktuatif. Pada Desember 2001 dan Desember 2002, indeks berada pada posisi 82,27 dan 87,42. Indeks ini terbilang rendah karena pada periode tersebut sedang dibangun kembali tatanan perekonomian pasca krisis. Namun, keadaan perlahan-lahan tampak mulai membaik yang ditunjukkan dengan nilai indeks sebesar 116,92 dan 120,81 pada Desember 2003 dan Desember Pada tahun 2006, laju pertumbuhan indeks Industrial Production tercatat sebesar 10,79 persen. Laju pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2003 dengan pertumbuhan sebesar 33,75 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2005 dengan pertumbuhan -7,59 persen.

94 77 Meningkatnya harga minyak dunia yang turut andil dalam meningkatkan harga BBM dalam negeri disinyalir merupakan penyebab utama turunnya laju pertumbuhan tersebut. Biaya produksi perusahaan meningkat akibat naiknya harga bahan bakar tersebut, sehingga berimbas pada penurunan hasil produksi. Kemudian, keadaan tersebut juga membuat Rupiah melemah dalam waktu yang nyaris bersamaan hingga kembali menembus angka Rp /US $. Indeks Jan-01 May-01 Sumber : BPS ( ), diolah Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Periode Indeks Industrial Production May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Gambar 4.4. Perkembangan Indeks Industrial Production Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Pergerakan suku bunga SBI akan mempengaruhi suku bunga perbankan, termasuk suku bunga kredit. Sebagai contoh, peningkatan suku bunga SBI pada umumnya akan direspon oleh bank dengan meningkatkan suku bunga dana atau simpanan, seperti giro, deposito, dan tabungan. Sebab, jika tidak dinaikkan, maka nasabah akan pindah ke bank lain atau dengan kata lain bank tersebut akan kehilangan pangsa pasarnya. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan biaya

95 78 dana (cost of fund) dari bank tersebut. Agar laba bank tidak tergerus/ marjin semakin berkurang, maka cara yang paling sederhana biasanya bank akan meningkatkan suku bunga kreditnya. Meskipun demikian, ada pula bank yang tidak lantas menaikkan suku bunga kreditnya, bahkan sebaliknya justru menurunkannya. Kondisi ini dapat dijumpai pada bank yang memiliki efisiensi usaha tinggi dan kegiatan penyaluran kredit yang semakin meningkat. Pergerakan suku bunga SBI tenor 1 bulan dapat dilihat pada Gambar 4.5. di bawah ini. Pada tahun 2001, terdapat kecenderungan suku bunga SBI yang meningkat tiap bulannya, dan mencapai puncaknya pada Desember 2001 dimana suku bunga SBI berada pada level 17,62 persen. Angka ini juga merupakan nilai suku bunga SBI tertinggi selama periode penelitian hingga Desember Tingginya suku bunga SBI terjadi sebagai akibat belum stabilnya kondisi makroekonomi pasca krisis, yang salah satunya ditandai dengan tingkat inflasi yang tinggi. Sejak Januari 2002, suku bunga SBI berfluktuatif dengan tendensitas trend yang menurun, dan akhirnya berhasil menembus angka satu digit pada Juni 2003, yakni pada level 9,53 persen. Meskipun suku bunga SBI mengalami penurunan, tetapi tidak mengurangi minat perbankan untuk menyalurkan likuiditasnya pada instrumen moneter ini mengingat masih tingginya risiko penyaluran kredit kepada sektor riil yang dirasakan perbankan. Pada tahun 2006, bank-bank swasta merupakan pembeli utama dan terbesar lelang SBI. Sebagai contoh, pada September 2002 ketika suku bunga SBI 1 bulan berada pada level 13,22 persen, BUSN Devisa diketahui menguasai SBI sebesar 53,74 persen, dan BUSN Non Devisa sebesar 2,57 persen dari outstanding SBI sebesar Rp. 89,01

96 79 triliun. Sementara, Bank Persero merupakan jenis bank kedua terbesar setelah BUSN yang menyalurkan likuiditasnya pada instrumen moneter tersebut Persen Jan-01 Periode Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Gambar 4.5. Perkembangan Suku Bunga SBI 1 Bulan Suku Bunga SBI 1 Bulan Kondisi penurunan tingkat suku bunga SBI ini terus berlangsung hingga bergerak stabil pada kisaran tujuh persen pada tahun 2004 dengan titik terendah SBI pada level 7,32 persen pada Mei Hal ini terjadi karena inflasi semakin rendah dan membaiknya kondisi perekonomian. Namun, suku bunga SBI kembali mencapai angka dua digit pada September 2005, yakni pada level sepuluh persen. Hal ini disebabkan respon perekonomian terhadap kecenderungan meningkatnya harga minyak dunia, dan berimbas pada kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah pada Oktober 2005 yang mengakibatkan tingkat harga domestik menjadi tidak stabil. Sejak saat itu, BI kembali meningkatkan suku bunga SBI karena perkiraan inflasi secara persisten cenderung bergerak ke arah atas atau telah berada di atas kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Sementara, faktor eksternal berupa The Fed Fund Rate atau suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) juga ikut mempengaruhi pergerakan suku bunga SBI. Sep-06

97 80 Kenaikan The Fed Fund Rate yang terus dilakukan oleh The Fed hingga semester pertama 2006 juga memaksa BI untuk ikut berhati-hati menjaga stabilitas suku bunga SBI. Hal ini dilakukan guna mempertahankan interest rate differential antara BI Rate dan suku bunga The Fed tetap terjaga dalam kondisi yang relevan bagi iklim investasi. Namun, membaiknya kembali kondisi perekonomian pada semester kedua 2006 dengan tingkat inflasi yang kembali terkendali mengakibatkan suku bunga SBI mulai mengalami penurunan hingga berada pada level 9,75 persen pada Desember Perkembangan Variabel Perbankan Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Struktur permodalan perbankan pada umumnya masih didominasi oleh dana jangka pendek (seperti tabungan dan deposito jangka waktu tiga bulan), sehingga penyaluran kredit investasi yang bersifat jangka panjang menjadi terhambat. Perkembangan DPK Bank Persero dan BUSN Devisa menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda selama periode penelitian, sedangkan BUSN Non Devisa cenderung berfluktuasi dengan tendensitas trend yang meningkat. Secara umum, perkembangan DPK akan mengalami peningkatan dalam kondisi makroekonomi yang cenderung stabil, dan sebaliknya mengalami penurunan dalam kondisi instabilitas. Pada Januari 2001, DPK yang berhasil dihimpun Bank Persero adalah sebesar Rp miliar dan telah mencapai Rp miliar pada Desember Selama periode penelitian, komposisi DPK Bank Persero mulai dari yang memberikan kontribusi terbesar hingga terkecil adalah deposito,

98 81 tabungan, dan giro. Pada Desember 2006, komposisi deposito terhadap total DPK adalah sebesar 43,2 persen atau secara nominal sebesar Rp miliar. Sementara, komposisi tabungan terhadap total DPK yakni 33,42 persen atau Rp miliar. Giro yang merupakan proporsi terkecil dari DPK memberikan kontribusi sebesar 23,38 persen atau sebesar Rp miliar. Pertumbuhan DPK Bank Persero pada tahun 2006 adalah sebesar 11,36 persen. DPK Bank Persero DPK BUSN Devisa Miliar Rupiah 600, , , , , ,000 0 Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah Periode May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Gambar 4.6. Perkembangan DPK Bank Persero dan BUSN Devisa BUSN Devisa juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda dari Bank Persero. Pada Desember 2006, deposito juga menempati urutan pertama dalam komposisi DPK yang berjumlah Rp miliar, yakni memberikan kontribusi sebesar 53,27 persen atau Rp miliar. Posisi kedua juga sama halnya dengan Bank Persero ditempati oleh tabungan dengan kontribusi sebesar 26,91 persen atau sebesar Rp miliar. Komposisi terkecil dalam DPK adalah giro dengan kontribusi sebesar 19,82 persen atau sebesar Rp miliar. Jika diperhatikan, maka dominasi deposito terhadap total DPK lebih besar pada BUSN Devisa dibandingkan Bank Persero. Adapun pertumbuhan DPK

99 82 BUSN Devisa tahun 2006, yakni sebesar 13,49 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK Bank Persero. Miliar Rupiah 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah DPK BUSN Non Devisa Periode May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Gambar 4.7. Perkembangan DPK BUSN Non Devisa Jumlah DPK BUSN Non Devisa seperti yang terlihat pada Gambar 4.7. memang tidak sebesar Bank Persero dan BUSN Devisa, mengingat skala permodalan dan aktivitas bank ini yang terbatas. Pada Januari 2001, DPK BUSN Non Devisa berjumlah Rp miliar dan pada Desember 2006 telah berjumlah Rp miliar. Seperti halnya Bank Persero dan BUSN Devisa, komposisi DPK BUSN Non Devisa mulai dari yang memberikan kontribusi terbesar hingga terkecil adalah deposito, tabungan, dan giro. Namun, komposisi deposito tampak sangat mendominasi DPK pada BUSN Non Devisa ini. Pada Desember 2006, kontribusi deposito terhadap DPK adalah 82,85 persen atau sebesar Rp miliar. Selanjutnya, kontribusi tabungan adalah sebesar 9,74 persen atau sebesar Rp miliar. Terakhir, giro berkontribusi hanya sebesar 7,41 persen atau Rp miliar. Pertumbuhan DPK terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 19,61 persen, dimana keadaan ini membalikkan kondisi

100 83 pertumbuhan DPK terendah yang terjadi pada tahun 2005 yang mencatat pertumbuhan negatif, yakni -7,06 persen Perkembangan Non Performing Loan (NPL) Pada tahun 2001, NPL Bank Persero berfluktuasi dengan rata-rata NPL sebesar 13,11 persen. BUSN Devisa juga memiliki rata-rata NPL yang tidak jauh berbeda dari Bank Persero pada periode yang sama, yakni 13,31 persen. Sementara, BUSN Non Devisa merupakan kelompok bank yang memiliki NPL terendah pada periode ini, dengan rata-rata NPL sebesar 5,57 persen. Pada tahun 2002, terlihat pada Gambar 4.8. bahwa baik NPL Bank Persero maupun NPL BUSN Devisa mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok bank tersebut mengalami perbaikan kinerja dalam mengelola dan meminimalisir kredit bermasalahnya. Meskipun demikian, pada periode ini NPL BUSN Devisa terlihat lebih besar daripada NPL Bank Persero dengan rata-rata NPL sebesar 9,99 persen, sedangkan rata-rata NPL Bank Persero adalah sebesar 8,69 persen. Sementara, NPL BUSN Non Devisa tetap stabil dengan rata-rata 4,32 persen pada periode yang sama. Namun, kondisi ini berubah sejak tahun NPL Bank Persero menunjukkan pergerakan yang semakin berfluktuatif dengan tendensitas yang semakin meningkat. Di sisi lain, BUSN Devisa justru tampak semakin berhasil dalam membenahi NPL-nya hingga Desember 2006, dengan titik terendah NPL sebesar 2,69 persen pada Maret Perlu diketahui pula bahwa selama periode penelitian, BUSN Non Devisa merupakan kelompok bank yang paling konsisten

101 84 dalam menjaga NPL-nya. Hal ini dapat terlihat dari kondisi NPL BUSN Non Devisa yang paling stabil dibandingkan dua kelompok bank lainnya dengan ratarata NPL selama periode penelitian adalah sebesar 4,58 persen. Relatif rendahnya NPL BUSN Devisa dan BUSN Non Devisa salah satunya diakibatkan karena bank-bank swasta lebih fleksibel dalam menyelesaikan masalah NPL tersebut, yakni dengan cara hair cut (pemotongan utang, baik pokok maupun bunga utang). Persen Jan-01 May-01 NPL Bank Persero NPL BUSN Devisa NPL BUSN Non Devisa Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Jan-04 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah Periode May-04 Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Gambar 4.8. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) Semakin meningkatnya NPL Bank Persero disinyalir karena Bank Persero cenderung kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kreditnya. Bentuk kecerobohan ini antara lain, Bank Persero memberikan kredit secara berlebihan atau menggelembungkan plafon kreditnya. Sementara, di sisi lain Bank Persero juga tidak semudah bank-bank swasta bisa menyelesaikan masalah NPL dengan cara hair cut karena terbentur oleh sejumlah Undang- Undang. Pada periode November 2003 hingga November 2004, nilai NPL Bank Persero bertambah sekitar satu triliun rupiah atau meningkat sebesar 7,25 persen menjadi Rp. 15,69 triliun. Sementara, pada periode yang sama, NPL BUSN

102 85 Devisa justru mengalami penurunan hampir setengah triliun rupiah atau menurun sebesar 6,16 persen menjadi Rp. 7,29 triliun. Sedangkan, BUSN Non Devisa memiliki trend yang sama dengan Bank Persero, dimana NPL kelompok bank ini mengalami peningkatan, tetapi hanya sebesar Rp. 137 miliar menjadi Rp. 595 miliar. Lonjakan NPL Bank Persero terbesar terjadi pada Mei 2005 yang meningkat sebesar 5,22 persen dari bulan sebelumnya ke posisi 11,4 persen. NPL ini juga ditengarai dapat mengalami peningkatan dalam kondisi suku bunga SBI yang tinggi. Hal ini dikarenakan situasi tersebut akan mengakibatkan suku bunga pinjaman/ kredit bank meningkat pula. Sementara, suku bunga kredit yang tinggi diperkirakan hanya akan mampu diserap oleh debitur yang berkualitas buruk (risiko usaha tinggi), sehingga meningkatkan NPL dari bank yang bersangkutan. Dengan kondisi demikian, maka pada tahun 2006, hanya kelompok BUSN Devisa dan BUSN Non Devisa saja yang mampu menjaga NPL gross tidak lebih dari lima persen sesuai ketentuan Bank Indonesia. Sementara, NPL Bank Persero ratarata masih berada pada kisaran angka dua digit Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi Bank Indonesia tidak mempunyai wewenang dan otoritas untuk menetapkan berapa besar suku bunga kredit (termasuk suku bunga kredit investasi) bagi setiap bank, meskipun Bank Indonesia ingin meningkatkan penyaluran kredit investasi bagi masyarakat. Karena, pada dasarnya suku bunga kredit terbentuk melalui mekanisme pasar (kekuatan demand-supply kredit), dan

103 86 tergantung dari kebijakan tiap-tiap bank. Gambar 4.9. memperlihatkan pergerakan yang beriringan dari suku bunga kredit investasi Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa periode Januari 2001 hingga Desember Pergerakan yang beriringan ini menunjukkan persaingan dari ketiga kelompok bank tersebut dalam meraih pangsa pasar. Sejak Januari 2001 hingga April 2005, suku bunga kredit investasi tertinggi adalah milik BUSN Non Devisa yang berada pada kisaran rata-rata 17,65 persen dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan antara persen. Dalam periode yang sama, BUSN Devisa menempati posisi kedua tertinggi dengan kisaran suku bunga yang berfluktuatif pada persen dan rata-rata suku bunga sebesar 16,48 persen. Sementara, Bank Persero menawarkan suku bunga kredit investasi yang terendah kepada debitur dalam periode yang sama, dengan posisi suku bunga pada kisaran persen dan rata-rata sebesar 15,01 persen. Persen Jan-01 May-01 Sep-01 Jan-02 May-02 Sep-02 Jan-03 May-03 Sep-03 Sumber : Bank Indonesia ( ), diolah Suku Bunga Kredit Investasi Bank Persero Suku Bunga Kredit Investasi BUSN Devisa Suku Bunga Kredit Investasi BUSN Non Devisa Jan-04 May-04 Periode Sep-04 Jan-05 May-05 Sep-05 Jan-06 May-06 Sep-06 Gambar 4.9. Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi

RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA

RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN PERBANKAN PADA BANK PERSERO DAN BANK UMUM SWASTA NASIONAL DEVISA DAN NON DEVISA OLEH MAIVA LINDA H14103049 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) DAN KINERJA BANK TERHADAP LABA PERBANKAN OLEH LIA AMALIA H

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) DAN KINERJA BANK TERHADAP LABA PERBANKAN OLEH LIA AMALIA H ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) DAN KINERJA BANK TERHADAP LABA PERBANKAN OLEH LIA AMALIA H14102098 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN GIRO WAJIB MINIMUM, JUMLAH UANG BEREDAR, KREDIT DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN GIRO WAJIB MINIMUM, JUMLAH UANG BEREDAR, KREDIT DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN GIRO WAJIB MINIMUM, JUMLAH UANG BEREDAR, KREDIT DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI OLEH RATNA VIDYANI H14102077 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan bank dalam kegiatan perekonomian sangat fundamental, setiap

BAB I PENDAHULUAN. Peranan bank dalam kegiatan perekonomian sangat fundamental, setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Peranan bank dalam kegiatan perekonomian sangat fundamental, setiap aktivitas ekonomi memerlukan jasa perbankan untuk memudahkan transaksi keuangan. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk menbiayai, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang ini, pertumbuhan dan perkembangan perekonomian suatu negara tergantung pada lembaga keuangannya. Lembaga keuangan terutama perbankan berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perbankan memiliki peranan yang sangat strategis dalam menunjang berjalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional mengingat fungsinya sebagai lembaga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi. Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi. Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah 1 A. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Di negara seperti Indonesia, bank memegang peranan penting dalam pembangunan karena bukan hanya sebagai sumber pembiayaan untuk kredit investasi kecil,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 9 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan kebijakan pemerintah dalam bidang perbankan antara lain adalah paket deregulasi Tahun 1983, paket kebijakan 27 Oktober 1988, paket kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut UU No.10 tahun 1998 : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

Lebih terperinci

ANALISIS BANK LENDING CHANNEL DALAM TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH DESY ANDRIYANI H

ANALISIS BANK LENDING CHANNEL DALAM TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH DESY ANDRIYANI H ANALISIS BANK LENDING CHANNEL DALAM TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH DESY ANDRIYANI H14103010 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Nopirin, 2009:34). Kelangkaan dana yang dimiliki dunia perbankan memicu

BAB 1 PENDAHULUAN. (Nopirin, 2009:34). Kelangkaan dana yang dimiliki dunia perbankan memicu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang terus berkelanjutan. Pada akhir tahun 1997, suku bunga untuk jangka waktu bulanan di Bank

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ekonomi ke arah peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan pada umumnya ditandai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan pada umumnya ditandai dengan kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keberhasilan perusahaan pada umumnya ditandai dengan kemampuan manajemen melihat kemungkinan dan kesempatan di masa yang akan datang, baik jangka pendek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini, tidak pernah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini, tidak pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini, tidak pernah luput dari permasalahan ekonomi. Dengan situasi yang cepat berubah, masyarakat memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak

BAB I PENDAHULUAN. perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis yang berkembang dengan pesat sehingga sangat diperlukan sumber-sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis yang berkembang dengan pesat sehingga sangat diperlukan sumber-sumber 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin majunya perkembangan perekonomian saat ini semakin banyak pula bisnis yang berkembang dengan pesat sehingga sangat diperlukan sumber-sumber dana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pembiayaan perekonomian suatu Negara membutuhkan suatu institusi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pembiayaan perekonomian suatu Negara membutuhkan suatu institusi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembiayaan perekonomian suatu Negara membutuhkan suatu institusi yang dapat berperan dalam mendukung kegiatan perekonomian salah satunya adalah Dunia perbankan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006).

PENDAHULUAN. memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006). PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuatan sistem perbankan merupakan persyaratan penting untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006). Bank adalah bagian utama dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga keuangan digolongkan ke dalam dua golongan besar menurut Kasmir (2012), yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006).

PENDAHULUAN. memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006). PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuatan sistem perbankan merupakan persyaratan penting untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006). Bank adalah bagian utama dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berkembanya perbankan Indonesia dapat dilihat dari jumlah bank yang

BAB I PENDAHULUAN. Berkembanya perbankan Indonesia dapat dilihat dari jumlah bank yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembanya perbankan Indonesia dapat dilihat dari jumlah bank yang semakin meningkat tiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat telah kembali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak perekonomian yang mempengaruhi seluruh aspek masyarakat. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang dan meminjamkan uang.

BAB I PENDAHULUAN. dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang dan meminjamkan uang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang dan meminjamkan uang. Sedangkan menurut undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan atau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup. kepada masyarakat yang kekurangan dana (Abdullah, 2005:17).

BAB I PENDAHULUAN. dan atau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup. kepada masyarakat yang kekurangan dana (Abdullah, 2005:17). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Riyadi : 2006) (Kasmir : 2011)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Riyadi : 2006) (Kasmir : 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, bertugas menghimpun dana (Funding) dari masyarakat, menyalurkan dana (Lending)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Perbankan sebagai lembaga intermediasi cukup penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Peran Perbankan sebagai lembaga intermediasi cukup penting dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran Perbankan sebagai lembaga intermediasi cukup penting dalam perekonomian. Bila sistem perbankan sehat maka perekonomian negara akan dapat tumbuh dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ekonomi dunia kini menjadi salah satu isu utama dalam perkembangan dunia memasuki abad ke-21. Krisis ekonomi yang kembali melanda negara-negara di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 27 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter dan

BAB I PENDAHULUAN. 27 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter dan perbankan. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi perusahaan. Termasuk didalamnya adalah perusahaan-perusahaan pada sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keberadaan sektor perbankan sebagai subsistem dalam perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keberadaan sektor perbankan sebagai subsistem dalam perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sektor perbankan sebagai subsistem dalam perekonomian suatu negara memiliki peranan cukup penting, bahkan dalam kehidupan masyarakat modern sehari-hari sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat -giatnya melaksanakan pembangunan segala bidang kehidupan, salah satunya adalah di bidang perekonomian.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Tingkat Kesehatan Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004, tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kualitatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian dan Fungsi Kredit Menurut Dahlan Siamat (2005 : 349), kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi sebagai financial intermediary atau perantara pihak yang kelebihan dana

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi sebagai financial intermediary atau perantara pihak yang kelebihan dana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, perbankan sebagai lembaga keuangan memiliki peran besar dalam menggerakkan roda perekonomian suatu negara, bank telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian. Begitu penting perannya sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan "nyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain yang ditopang oleh bank tersebut. Fungsi bank sebagai perantara (financial

BAB I PENDAHULUAN. lain yang ditopang oleh bank tersebut. Fungsi bank sebagai perantara (financial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya, sektor riil memperoleh bantuan pembiayaan dari lembaga keuangan bank untuk menunjang proses bisnisnya. Dana tersebut akan membantu berlangsungnya proses

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. Bank merupakan sebuah lembaga keuangan (financial institution) yang

Bab I. Pendahuluan. Bank merupakan sebuah lembaga keuangan (financial institution) yang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bank merupakan sebuah lembaga keuangan (financial institution) yang menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang kelebihan dana (surplus unit)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan adalah salah satu lembaga keuangan yang memiliki peranan dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang berjalannya roda perekonomian mengingat fungsinya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menunjang berjalannya roda perekonomian mengingat fungsinya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perbankan mempunyai peran yang sangat vital dalam pencapaian tujuan nasional yang berkaitan dalam peningkatan dan pemerataan taraf hidup masyarakat serta

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan merupakan salah satu hal yang krusial dalam masyarakat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan merupakan salah satu hal yang krusial dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem keuangan merupakan salah satu hal yang krusial dalam masyarakat modern. Sistem pembayaran dan intermediasi hanya dapat terlaksana bila ada sistem keuangan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDASI BANK TAHUN 1997 OLEH WIRDA NABILA HI

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDASI BANK TAHUN 1997 OLEH WIRDA NABILA HI ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDASI BANK TAHUN 1997 OLEH WIRDA NABILA HI4102091 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN WIRDA NABILA.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang ekonomi secara global ini, menyebabkan berkembangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang ekonomi secara global ini, menyebabkan berkembangnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam bidang ekonomi secara global ini, menyebabkan berkembangnya sistem perekonomian yang lebih terbuka antara negara satu dengan negara yang lain. Perekonomian

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KESEHATAN BANK SEBELUM DAN SETELAH ARSITEKTUR PERBANKKAN INDONESIA

ANALISIS KINERJA KESEHATAN BANK SEBELUM DAN SETELAH ARSITEKTUR PERBANKKAN INDONESIA ANALISIS KINERJA KESEHATAN BANK SEBELUM DAN SETELAH ARSITEKTUR PERBANKKAN INDONESIA Hesti Hastuti Dr. Imam Subaweh SE., Ak., MM Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Penawaran Uang Bank mempunyai fungsi sebagai lembaga perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Bank dalam

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI KINERJA DAN KAJIAN BANK LENDING CHANNEL PADA BANK X OLEH RISKI DWIJAYANTI H

STUDI EVALUASI KINERJA DAN KAJIAN BANK LENDING CHANNEL PADA BANK X OLEH RISKI DWIJAYANTI H STUDI EVALUASI KINERJA DAN KAJIAN BANK LENDING CHANNEL PADA BANK X OLEH RISKI DWIJAYANTI H14103084 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN RISKI DWIJAYANTI.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA 1 ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA Oleh GILMAN PRADANA NUGRAHA H14103024 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAN JANGKA PENDEK H DEPARTEMEN MEN. Oleh :

DAN JANGKA PENDEK H DEPARTEMEN MEN. Oleh : ANALISIS KAUSALIT TAS ANTARA INVESTASI PORTOFOLIO DAN PERKEMBANGAN INDEKS HARGAA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DALAM JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG DI INDONESIA Oleh : MOCHAMMAD AKBAR H14104054 DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa bank lainnya. Perbankan juga

BAB I PENDAHULUAN. dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa bank lainnya. Perbankan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan keuangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsinya sebagai lembaga intermediasi, penyelenggara transaksi

BAB I PENDAHULUAN. fungsinya sebagai lembaga intermediasi, penyelenggara transaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perbankan memiliki peranan yang sangat strategis dalam menunjang berjalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional mengingat fungsinya sebagai lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadikan rakyat Indonesia yang lebih sejahtera. Pembangunan dalam sektor

BAB I PENDAHULUAN. menjadikan rakyat Indonesia yang lebih sejahtera. Pembangunan dalam sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional menjadi salah satu fokus utama pemerintah untuk menjadikan rakyat Indonesia yang lebih sejahtera. Pembangunan dalam sektor ekonomi menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian. Begitu penting perannya sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan "nyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

BAB I PENDAHULUAN. kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia telah mengalami perkembangan ekonomi yang sangat cepat. Perkembangan tersebut tidak lepas dari peran bank sebagai lembaga keuangan yang mengatur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perkembangan yang sangat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perkembangan yang sangat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi perbankan di Indonesia saat ini memang sangat baik, dimana terjadi perkembangan yang sangat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. taraf hidup rakyat banyak. Perbankan sendiri merupakan perantara keuangan

BAB I PENDAHULUAN. taraf hidup rakyat banyak. Perbankan sendiri merupakan perantara keuangan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Fungsi utama perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana dan atau kedua-duanya

BAB I PENDAHULUAN. hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana dan atau kedua-duanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur perbankan suatu negara dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor ekonomi dan faktor hukum dan peraturan yang berlaku dalam negara yang bersangkutan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiata usahanya. Banyak

BAB II LANDASAN TEORI. kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiata usahanya. Banyak BAB II LANDASAN TEORI A. Bank 1. Pengertian Bank Perbankan adalah sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiata usahanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika Bank Muamalat pertama kali berdiri dan beroperasi tahun Lalu. banking system, yakni sistem konvensional dan syariah.

BAB I PENDAHULUAN. ketika Bank Muamalat pertama kali berdiri dan beroperasi tahun Lalu. banking system, yakni sistem konvensional dan syariah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bisnis perbankan syariah di Indonesia sedang mengalami perkembangan. Seperti diketahui, perbankan syariah di Indonesia mulai muncul pada tahun 1991 ketika Bank

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesejahteraaan masyarakat. Proses tersebut melibatkan banyak pihak dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. kesejahteraaan masyarakat. Proses tersebut melibatkan banyak pihak dimana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi suatu negara merupakan syarat untuk mencapai kesejahteraaan masyarakat. Proses tersebut melibatkan banyak pihak dimana pihak yang satu dengan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia perbankan yang sangat pesat disertai dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia perbankan yang sangat pesat disertai dengan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia perbankan yang sangat pesat disertai dengan tingkat komplektisitas yang tinggi dapat mempengaruhi kinerja suatu bank. Komplektisitas yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sektor perbankan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sektor perbankan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sektor perbankan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi dalam sebuah negara. Bank memegang peranan penting dalam menyeimbangkan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H14102081 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di PT. Bank Sahabat Sampoerna karena pada tanggal 9 Mei

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di PT. Bank Sahabat Sampoerna karena pada tanggal 9 Mei BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Penelitian dilakukan di PT. Bank Sahabat Sampoerna karena pada tanggal 9 Mei 2011 merupakan tonggak sejarah dimana secara resmi PT Sampoerna Investama

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH NERACA PERDAGANGAN DAN CAPITAL INFLOW TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA OLEH PRIMA ANDRIANI H

ANALISIS PENGARUH NERACA PERDAGANGAN DAN CAPITAL INFLOW TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA OLEH PRIMA ANDRIANI H ANALISIS PENGARUH NERACA PERDAGANGAN DAN CAPITAL INFLOW TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA OLEH PRIMA ANDRIANI H14104090 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari sektor perbankan. Dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari sektor perbankan. Dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari sektor perbankan. Dunia perbankan memegang peranan penting dalam pertumbuhan stabilitas ekonomi. Hal ini dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun triliun menjadi Rp triliun hingga akhir tahun.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun triliun menjadi Rp triliun hingga akhir tahun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan laba perbankan akan tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun 2014 yang pertumbuhannya hanya 5%. Secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis Tinjauan teoritis ini sangat diperlukan untuk mendukung permasalahan yang diungkapkan dalam ulasan penelitian. Studi kepustakaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia memiliki peranan cukup penting. Hal ini dikarenakan sektor

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia memiliki peranan cukup penting. Hal ini dikarenakan sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi sangat bergantung pada keberadaan sektor perbankan yang berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peranan penting dalam perekonomian di setiap negara, merupakan sebuah alat yang dapat mempengaruhi suatu pergerakan pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PROMOSI BANK TERHADAP PENGHIMPUNAN TABUNGAN DAN DEPOSITO (Studi Kasus Sepuluh Bank Terbaik Berdasarkan Aset Tahun 2005)

ANALISIS PENGARUH PROMOSI BANK TERHADAP PENGHIMPUNAN TABUNGAN DAN DEPOSITO (Studi Kasus Sepuluh Bank Terbaik Berdasarkan Aset Tahun 2005) ANALISIS PENGARUH PROMOSI BANK TERHADAP PENGHIMPUNAN TABUNGAN DAN DEPOSITO (Studi Kasus Sepuluh Bank Terbaik Berdasarkan Aset Tahun 2005) OLEH LAMBOK SIRINGORINGO H14102102 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. prinsip bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing). Sebagai bagian dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. prinsip bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing). Sebagai bagian dari sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat berperan dalam bidang perekonomian suatu Negara, khususnya di bidang pembiayaan perekonomian. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya ialah kredit melalui perbankan. penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha. Bank

BAB I PENDAHULUAN. satunya ialah kredit melalui perbankan. penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha. Bank BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian suatu negara didukung oleh adanya suntikan dana dari pihak pemerintah baik melalui Lembaga Keuangan Bank (selanjutnya disingkat menjadi LKB) ataupun Lembaga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Perbankan Indonesia. kategori bank, diantaranya adalah Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Perbankan Indonesia. kategori bank, diantaranya adalah Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum 4.1.1. Gambaran Umum Perbankan Indonesia Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank di Indonesia dibedakan menjadi enam kategori bank, diantaranya adalah Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapisan masyarakat. Secara umum, bank memiliki fungsi utama. lembaga intermediasi, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. lapisan masyarakat. Secara umum, bank memiliki fungsi utama. lembaga intermediasi, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan perusahaan jasa yang menyediakan jasa bagi seluruh lapisan masyarakat. Secara umum, bank memiliki fungsi utama sebagai lembaga intermediasi, yaitu menghimpun

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTARA INDEKS SAHAM SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA DAN INDEKS SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX (JII) DI INDONESIA

ANALISIS KETERKAITAN ANTARA INDEKS SAHAM SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA DAN INDEKS SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX (JII) DI INDONESIA ANALISIS KETERKAITAN ANTARA INDEKS SAHAM SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA DAN INDEKS SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX (JII) DI INDONESIA OLEH Zainul Abidin H14103065 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembengkakan nilai dan pembayaran hutang luar negeri, melonjaknya non performing

BAB I PENDAHULUAN. pembengkakan nilai dan pembayaran hutang luar negeri, melonjaknya non performing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, peranan perbankan sebagai fungsi intermediary yaitu menghimpun dan menyalurkan kembali dana dirasakan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keemasan yang puncaknya ditandai dengan keberhasilan beberapa bank besar

BAB I PENDAHULUAN. keemasan yang puncaknya ditandai dengan keberhasilan beberapa bank besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang menyebabkan merosotnya nilai rupiah hingga terjadinya krisis keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dalam bentuk simpanan giro, tabungan,

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dalam bentuk simpanan giro, tabungan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bank merupakan suatu lembaga yang aktivitasnya menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sebuah kontribusi nyata dari sektor perbankan. Sesungguhnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sebuah kontribusi nyata dari sektor perbankan. Sesungguhnya dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong ke dalam negara yang mengalami perkembangan dan pembangunan ekonomi yang cukup pesat. Perkembangan dan pembangunan ekonomi disuatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, bertugas menghimpun dana (Funding) dari masyarakat, menyalurkan dana (Lending)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Fundamental Teori fundamental adalah teori yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Teori ini menitikberatkan pada rasio finansial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah di dunia perbankan adalah kegiatan funding (Kasmir, 2008:

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah di dunia perbankan adalah kegiatan funding (Kasmir, 2008: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan. Aktivitas perbankan yang pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi sebagai financial intermediary atau perantara pihak yang kelebihan dana dengan pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Bank Pengertian bank menurut Bank Indonesia dan menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 9 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan mengenai pengaruh faktor suku bunga kredit, dana pihak ketiga, nilai tukar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu mengembangkan dan memajukan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu mengembangkan dan memajukan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perbankan merupakan sasaran pembangunan ekonomi, dimana perbankan diharapkan mampu mengembangkan dan memajukan perekonomian di Indonesia. Hal tersebut menandakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui dana perbankan atau potensi

I. PENDAHULUAN. sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui dana perbankan atau potensi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kehidupan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta peran penting sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peran strategis tersebut terutama disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peran strategis tersebut terutama disebabkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tinjauan Mengenai Bank Bank merupakan salah satu sarana yang memiliki peran strategis dalam usaha meningkatkan

Lebih terperinci

STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H

STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H14103001 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 STABILITAS MONETER PADA SISTEM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. Seperti telah

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. Seperti telah BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Bank merupakan perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan. Seperti telah ditegaskan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anggraini Pudji Lestari (2010) dengan topik Pengaruh rasio Likuiditas, Kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anggraini Pudji Lestari (2010) dengan topik Pengaruh rasio Likuiditas, Kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini menggunakan dua peneliti terdahulu sebagai rujukan. Rujukan yang pertama menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini Pudji

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tidak didukung oleh peran perbankan dalam membangun negaranya.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tidak didukung oleh peran perbankan dalam membangun negaranya. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia perbankan merupakan kunci perekonomian suatu negara, baik itu negara yang sedang berkembang maupun negara yang telah maju. Bank mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA BANK

ANALISIS KINERJA BANK ANALISIS LAPORAN KEU. PERBANKAN KARTIKA SARI. UniversitasGunadarma. ANALISIS KINERJA BANK TUJUAN MATERI : 1. Menjelaskan pengertian analisis rasio likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas. 2. Menyebutkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. meningkatnya pertanggung jawaban publik oleh perusahaan, maka konsep

BAB II LANDASAN TEORI. meningkatnya pertanggung jawaban publik oleh perusahaan, maka konsep 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Enterprise (Enterprise Theory) Menurut Sofyan Safri (2007:73), sejalan dengan kemajuan sosial dan meningkatnya pertanggung jawaban publik oleh perusahaan, maka konsep teoritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat berperan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat berperan dalam bidang perekonomian suatu negara, khususnya dalam bidang pembiayaan perekonomian. Menurut UU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Bank Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 pengertian

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN 2.1 Sektor Perbankan 2.1.1 Pengertian Bank Menurut Undang-Undang Negara Republik Indoneisa Nomor 10 tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan yaitu badan usaha yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dengan ditandai adanya krisis global di Amerika Serikat, pada tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dengan ditandai adanya krisis global di Amerika Serikat, pada tahun 2008 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dengan ditandai adanya krisis global di Amerika Serikat, pada tahun 2008 perbankan Indonesia mulai terkena dampaknya dari krisi global tersebut. Dampak langsung

Lebih terperinci