OPTIMASI PEMANFAATAN WISATA BAHARI BAGI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS MITIGASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI PEMANFAATAN WISATA BAHARI BAGI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS MITIGASI"

Transkripsi

1 OPTIMASI PEMANFAATAN WISATA BAHARI BAGI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS MITIGASI (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat) SADIKIN AMIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Sadikin Amir NIM C xxviii

3 xxiii ABSTRACT SADIKIN AMIR. Mitigation-Based Optimization for Coastal Tourism in Small Island (Case of Gili Matra Lombok Utara District, West Nusa Tenggara Province). Under supervision of FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G.BENGEN, and MENNOFATRIA BOER. The increasing tourism activities magnified by uncontrolled land use patterns have caused coastal ecosystem degradation in Gili Matra. A research on evaluation of land use patterns and optimization of coastal tourism based on a mitigation approach has been done in the area. Research results showed that size of area including in a very suitable category for diving activity were ha; ha for snorkeling activity; and ha for beach tourism. Based on carrying capacity analysis, the area could support maximum 286 tourists per day or tourists annually. Mitigation approach in optimization indicated that the maximum tourist number in the area can only be reached if all aspects of carrying capacity namely ecological, economics, social and institutional aspect are well considered. Optimization of coastal tourism consisted sustainability of coastal ecotourism resources, increasing economic condition of local communities, and increasing of tourist visits in Gili Indah areas. Furthermore, the optimization can be attained by integrating the four aspects of management through applying the following two strategies: (a) integration of coral reef conservation, betterment in coastal tourism products prices policy, diversification of coastal tourism activities, increasing in local community participation, and adequate supporting infrastructure availability, and (b) optimization of attractive coastal tourism either for areas which were suitable with Gili Indah potential, and for the areas which had potential to be alternative for coastal tourism in relation to the existence of coral reef ecosystem, optimization of unmanaged cultural tourisms, and maintaining existing coastal tourism in Gili Indah. Key words: coastal tourism, carrying capacity, optimization, mitigation

4 RINGKASAN SADIKIN AMIR. Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G.BENGEN, MENNOFATRIA BOER. Di Propinsi Nusa Tenggara Barat terdapat suatu kawasan pulau-pulau kecil yaitu kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan atau disebut juga Gili Indah, yang salah satu pemanfaatannya adalah sebagai daerah tujuan wisata. Sebagai kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah, maka berbagai aktifitas wisata berkembang di kawasan ini. Kegiatan wisata tersebut antara lain ; Selam (Diving), Renang (swimming), Snorkling, Selancar (surfing), Berjemur (sun Bathing), Memancing (fishing), dan Sunset. Seluruh kegiatan wisata tersebut ditunjang oleh berbagai fasilitas yaitu hotel, bungalow/cottage, restauran, rumah makan, glass bottom boat, pasar seni, perahu penumpang, dan tempat hiburan. Sejak tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan investor mulai masuk dan membangun fasilitas wisata yang lebih bagus dan modern seperti hotel, bungalow, café, restaurant dan fasilitas wisata lainnya. Hal ini tentu saja berdampak terhadap lingkungan disekitarnya dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan. Perkembangan aktifitas wisata bahari di kawasan TWAL Gili Indah telah menimbulkan berbagai dampak antara lain adanya kecenderungan sumberdaya laut dan pesisir semakin terdegradasi. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung berbagai pemanfaatan kawasan Gili Indah berbasis mitigasi serta mengoptimasi pengelolaan wisata bahari berbasis mitigasi di Kawasan Gili Indah. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Propinsi Nusa Tenggara Barat dan waktu penelitian dilaksanakan selama empat bulan pada tahun Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan yang meliputi data hasil kondisi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan masyarakat. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kajian terhadap laporan-laporan hasil penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah, peraturan daerah, data dari instansi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik sumberdaya di TWAL Gili Indah. Karakteristik sumberdaya yang dideskripsikan tersebut yakni kondisi geografis dan administrasi, kondisi terumbu karang, ikan dan pantai, karakteristik usaha wisata bahari, perkembangan kunjungan wisatawan, karakteristik sosial budaya dan kelembagaan pendukung kegiatan wisata bahari. Kegiatan wisata bahari yang akan dikembangkan dan dikelola hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya serta persyaratan sumberdaya dan lingkungan (ekologis) yang sesuai dengan obyek wisata. Proses penyusunan kesesuaian lingkungan pulau-pulau kecil untuk suatu kegiatan pemanfaatan dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktorfaktor penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan menggunakan alat (tools) xxviii

5 xxiii berupa Sistim Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak Arc View. Daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalis jumlah maksimum wisatawan yang melakukan kegiatan wisata bahari di dalam suatu kawasan tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Analisis sosial dan kelembagaan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda analisis deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Penentuan tingkat optimal dari pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Gili Indah dianalisis menggunakan pendekatan sistem dinamik yang dibangun dengan bantuan perangkat lunak Stella versi Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kesesuaian untuk wisata selam untuk kategori sangat sesuai seluas 216,79 hektar atau sekitar 36,98 persen dari luas keseluruhan lokasi yang sesuai (586,28 ha). Daya dukung pemanfaatan baik untuk selam, snorkeling maupun wisata pantai yang termasuk kategori sangat sesuai dapat menampung wisatawan sebanyak 286 orang perhari yang lokasi tersebar di kawasan Gili Indah. Untuk wisata selam sebanyak 86 orang, untuk wisata snorkeling daya dukung pemanfaatannya sekitar 152 orang dan untuk wisata pantai sebanyak 48 orang perhari. Hasil analisis optimasi keempat aspek daya dukung menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan keempat aspek daya dukung, maksimum wisatawan yang masuk ke kawasan wisata bahari kawasan Gili Indah yakni 286 orang per hari ( orang per tahun). Kata Kunci : Optimasi, Wisata Bahari, Daya Dukung, Mitigasi

6 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB xxviii

7 xxiii OPTIMASI PEMANFAATAN WISATA BAHARI BAGI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS MITIGASI (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat) SADIKIN AMIR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji pada Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Ahmad Fahrudin, M.Si. (Staf Pengajar FPIK IPB) Dr. Ir. Isdradjatd Setyobudiandi, M.Sc. (Staf Pengajar FPIK IPB) Penguji pada Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc (Staf Pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB) Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc. (Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan) xxviii

9 xxiii Judul Disertasi : Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat) Nama NIM Program Studi : Sadikin Amir : : C Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Anggota Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 13 Januari 2012 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah dan kekuatan, sehingga disertasi dengan judul Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat) ini dapat diselesaikan. Disertasi ini ditujukan sebagai salah satu syarat dalam proses Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian disertasi ini merupakan arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu dihaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Rektor Universitas Mataram dan Bapak Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang telah memberikan kesempatan melanjutkan kuliah program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. masing-masing sebagai pembimbing anggota, yang telah banyak membantu dan mengarahkan penyelesaian disertasi ini. 3. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan tahun Secara khusus dihaturkan terima kasih kepada kedua orang tua Bapak Amir (Almarhum) dan Ibu Oentari (Almarhumah), yang telah melahirkan, membesarkan dan membimbing penulis selama masa hidup beliau berdua. Demikianlah kepada Istriku Dyah Kartika Purwandari anak-anakku yang tercinta Lintang Anggraini Kusumadewi dan Dito Rahadyan Pratama, yang dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan kerelaan mendorong penulis menyelesaikan sekolah ini. 5. Berbagai pihak yang telah membantu selama dalam proses penelitian di Gili Indah khususnya masyarakat di Gili Indah, demikian pula terhadap berbagai instansi dan lembaga yang telah memberikan data penunjang sebagai bahan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan pengembangan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya bagi pengembangan wisata bahari pulau-pulau kecil. Bogor, Januari 2012 Penulis xxviii

11 xxiii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 2 April 1964 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Amir (Almarhum) dan Ibu Oentari (Almarhumah). Penulis menikah dengan Dyah kartika Purwandari dan dikaruniai dua orang anak yaitu Lintang Anggraini Kusumadewi dan Dito rahadyan Pratama. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah di Sekolah Pascasarjana UNHAS. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Mataram sejak tahun Berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan penulis lakukan selama ini, antara lain pembinaan masyarakat sekitar hutan, masyarakat pesisir dan masyarakat marginal lainnya. Selama sekolah di IPB, penulis pernah menjadi Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB periode 2007/2008. Dua artikel ilmiah yang berkaitan dengan disertasi ini sedang dalam proses penerbitan pada jurnal ilmiah Agrisains Universitas Tadulako dan jurnal ilmiah Mutiara Universitas Muslim Indonesia.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xxiv DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN.. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Ruang Lingkup Studi... xxv xxvi TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan Wisata Bahari di Kawasan Konservasi Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Kawasan Konservasi Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Bahari Pulau-Pulau Kecil Kriteria Umum Pemanfaatan Untuk Pariwisata Parameter Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Bahari Daya Dukung Wisata Bahari Daya Dukung Ekologis Daya Dukung Fisik Daya Dukung Sosial Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Pengembangan Wisata Bahari Implementasi Kebijakan dan Pengelolaan Wisata Bahari Model Kebelanjutan Pengelolaan Wisata Bahari Pendekatan Sistem Dinamik Mitigasi METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Penelitian Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Bahari Analisis Daya Dukung Fisik Wisata Bahari Analisis Ekonomi Sosial Budaya dan Kelembagaan Analisis Dinamik Pengelolaan Wisata Bahari xxviii

13 xxiii 4 KEADAAN UMUM KAWASAN WISATA GILI INDAH 4.1 Kondisi Fisik Lingkungan 4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Fasilitas Usaha Pariwisata 4.4 Keadaan Wisatawan. 4.5 Kelembagaan 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kesesuaian Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Selam Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Snorkling Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Pantai 5.2 Analisis Daya Dukung Daya Dukung Ekologi Daya Dukung Ekonomi Daya Dukung Sosial Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari di Gili Indah Struktur Model Basis Model Pengelolaan Wisata Bahari Skenario Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah Skenario Gabungan Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah Implikasi Kebijakan dalam Keberlanjutan Pengelolaan Wisata Bahari... 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran. DAFTAR PUSTAKA. LAMPIRAN

14 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil Jenis Data Biofisik Jenis Data Sosial Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Selam Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Pantai Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Snorkling Potensi Maksimum Wisatawan per Unit Area per Kategori Wisata Waktu yang Dibutuhkan untuk setiap Kegiatan Wisata Standar Kebutuhan Ruang Fasilitas Pariwisata Bahari Keadaan Pendidikan di Gili Indah Jumlah Penduduk di Desa Gili Indah Mata Pencaharian Penduduk di Gili Indah Fasilitas Usaha Pariwisata Jumlah dan asal wisatawan Hasil Analisis Kesesuaian untuk Pemanfaatan Wisata Selam Hasil Analisis Kesesuaian untuk Pemanfaatan Wisata Snorkeling Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan wisata pantai Hasil analisis daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan Nilai atribut basis model pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah Nilai atribut skenario pesimis pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah Nilai atribut skenario optimis pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah 127 xxviii

15 xxiii Gambar DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pikir Penelitian Ekowisata sebagai suatu Strategi Wisata dan Pembangunan Berkelanjutan Lokasi Penelitian Peta Letak Geografis dan Batas Kawasan Peta Kedalaman Perairan Kawasan Gili Indah Peta Sebaran Arus Perairan Kawasan Gili Indah Peta Sebaran Salinitas Perairan Kawasan Gili Indah Peta Sebaran ph Perairan Kawasan Gili Indah Peta Sebaran Kecerahan Perairan Kawasan Gili Indah Peta Sebaran Suhu Perairan Kawasan Gili Indah Peta Sebaran Substrat Dasar Perairan Kawasan Gili Indah Peta Tutupan Lahan di Kawasan Gili Indah Peta Lokasi Wisata Kawasan Gili Indah Peta Kesesuaian Wisata selam di Kawasan Gili Indah Peta Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Snorkeling di Gili Indah Peta kesesuaian kawasan untuk wisata pantai di Gili Indah Struktur basis model dinamik pengelolaan wisata bahari Gili Indah Basis model pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah Skenario Pesimis Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah Skenario Optimis Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah Pertumbuhan Wisatawan pada Berbagai Skenario Pertumbuhan Terumbu Karang pada Berbagai Skenario Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat pada Berbagai Skenario.. 132

16 Lampiran DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Pengukuran dan Pengamatan Lapang di Kawasan Gili Indah Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung di Kawasan Gili Indah Basis Model Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Gili Indah Optimis Model Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Gili Indah Pesimis Model Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Gili Indah Gambar Lokasi Penelitian xxviii

17 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Propinsi Nusa Tenggara Barat terdapat suatu kawasan pulau-pulau kecil yaitu kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan atau disebut juga Gili Indah, yang salah satu pemanfaatannya adalah sebagai daerah tujuan wisata. Kawasan Gili Indah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal 16 Februari 1993 selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dengan luas sekitar hektar. Penentuan status TWAL tersebut adalah berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi laut yang memiliki keanekaragaman biota laut dan lingkungan yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Pada tanggal 4 maret 2009 telah dilakukan serah terima pengelolaan Kawasan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan Berita acara serah terima No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan No. BA.108/MEN.KP/III/2009. Selanjutnya berdasarkan Kepmen DKP No. 67/MEN/2009 tanggal 5 September 2009 kawasan Gili Indah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan nasional. Sebagai kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah, maka berbagai aktifitas wisata berkembang di kawasan ini. Kegiatan wisata tersebut antara lain ; Selam (Diving), Renang (swimming), Snorkling, Selancar (surfing), Berjemur (sun Bathing), Memancing (fishing), dan Sunset. Seluruh kegiatan wisata tersebut ditunjang oleh berbagai fasilitas yaitu hotel, bungalow/cottage, restauran, rumah makan, glass bottom boat, pasar seni, perahu penumpang, dan tempat hiburan. Berbagai aktivitas yang terkait dengan pariwisata bahari tersebut telah menimbulkan dampak yang berimplikasi pada terjadinya perubahan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan, baik yang bersifat positif (konstruktif) maupun yang negatif (destruktif). Kunjungan wisatawan, baik wisatawan asing maupun nusantara, ke kawasan Gili Indah dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup berarti, pada tahun 2004 sebanyak wisatawan kemudian meningkat dengan sangat drastis pada tahun 2009 menjadi wisatawan. Artinya dalam

18 2 kurun waktu lima tahun terjadi peningkatan kunjungan wisatawan sebanyak 172,44% atau sekitar 34,48% pertahun. Kondisi ini tentu sangat berpotensi mempengaruhi ekosistem pesisir dan laut yang berada di kawasan Gili Indah. Dampak lain dari semakin bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan adalah membuat kawasan ini mengalami pencemaran lingkungan, terutama masalah sampah. Kurangnya kesadaran masyarakat dan pengunjung/wisatawan serta kurangnya dana dalam penanganan masalah sampah ini membuat penanganannya belum bisa diatasi sampai dengan sekarang ini. Pada umumnya sampah yang ada disekitar TWAL Gili Indah merupakan sampah plastik dan bekas minuman kaleng dan sejenisnya, jika sampah ini tidak dikelola dengan baik, maka akan berakibat pencemaran disekitar perairan yang pada gilirannya akan mengganggu ekosistem di Gili Indah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem di kawasan Gili Indah cenderung mengalami degradasi akibat meningkatnya jumlah wisatawan dari waktu ke waktu dan meningkatnya pembangunan sarana pariwisata. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat daya dukung kawasan tersebut sangat terbatas, sehingga diperlukan upaya untuk mengoptimalkan penggunaan kawasan agar tercipta pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan di kawasan tersebut. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mengembangkan konsep mitigasi dalam pemanfaaan dan pengembangan kawasan wisata tersebut Perumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian Sejak tahun tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan investor mulai masuk dan membangun fasilitas wisata yang lebih bagus dan modern seperti hotel, bungalow, café, restaurant dan fasilitas wisata lainnya. Hal ini tentu saja berdampak terhadap lingkungan disekitarnya dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan. Perkembangan aktifitas wisata bahari di kawasan TWAL Gili Indah telah menimbulkan berbagai dampak antara lain adanya kecenderungan sumberdaya laut dan pesisir semakin terdegradasi. Dahulu masyarakat melakukan penangkapan ikan dengan cara destruktif yaitu menggunakan bom, potassium dan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan (jaring muroami). Tentu saja hal ini berdampak terhadap kondisi

19 3 lingkungan dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan terutama rusaknya ekosistem terumbu karang. Dalam kurun waktu sekitar 30 tahun terjadi perubahan drastis pada kondisi lingkungan di TWAL Gili Indah terutama pada ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang ada di sekitarnya. Berdasarkan hasil kegiatan inventarisasi kerusakan terumbu karang yang dilakukan oleh team dari kantor Balai KSDA NTB, digambarkan bahwa terumbu karang diwilayah TWAL Gili Indah cukup bervariasi. Di kedalaman 10 meter, hampir 100% terumbu karang mempunyai kondisi yang jelek, sedangkan di kedalaman 3 5 meter, terumbu karang yang termasuk kategori baik sekitar 16%. Masalah lain yang terjadi di Kawasan Gili Indah adalah tidak sinkronnya kebijakan pengelolaan antara kawasan laut dan darat. Seperti diketahui bahwa kawasan lautnya dikelola oleh Balai KSDA NTB yang merupakan unit dari Departemen Kehutanan RI yang telah diserahkan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, sedangkan daratnya dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara. Implikasinya adalah pengembangan pengelolaan kawasan darat dan laut terkesan jalan sendiri-sendiri bahkan cenderung tumpah tindih pengelolaannya. Hal ini menimbulkan masalah ketidak terpaduan pengelolaan kawasan, padahal kawasan darat sangat mempengaruhi ekosistem perairan sekitarnya. Apalagi aktifitas berbagai sarana wisata seperti hotel dan restauran serta aktifitas penduduk (sekitar jiwa) sangat berpotensi memberi dampak pada kawasan perairan sekitarnya. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan pada masa yang akan datang, ekosistem di kawasan Gili Indah menjadi terdegradasi secara signifikan yang pada gilirannya akan mengganggu keberlanjutan (sustainability) kawasan tersebut. Keberadaan kegiatan wisata bahari di kawasan Gili Indah juga berdampak terhadap masyarakat sekitar, berupa kesempatan berusaha dan peningkatan taraf hidup serta yang menyangkut aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat. Aktifitas wisatawan terutama wisatawan asing, telah memberikan dampak terhadap pola kehidupan masyarakat, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Sehingga keberadaan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat sekitar kawasan wisata. Salah satu

20 4 upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan aspek-aspek mitigasi dalam pengelolaan kawasan wisata bahari tersebut. Mitigasi sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif diperlukan untuk lebih mendukung upaya-upaya optimalisasi dari pemanfaatan kawasan Gili Indah untuk kegiatan wisata bahari. Memperhatikan berbagai degradasi ekosistem di kawasan TWAL Gili Indah di atas, maka perlu suatu kajian optimasi pemanfaatan wisata bahari bagi pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi dengan memperhatikan dimensi ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat di kawasan tersebut. Sehingga akan diperoleh suatu konsep pengelolaan kawasan TWAL Gili Indah yang optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka beberapa permasalahan pokok di kawasan wisata bahari Gili Indah adalah Perkembangan aktifitas wisata bahari, termasuk pemanfaatan lain, cenderung membuat ekosistem di kawasan Gili Indah mengalami degradasi. Disamping itu belum ada suatu konsep pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi dan terpadu antara kawasan pesisir dan daratan. Pengembangan yang ada masih parsial dengan hanya memperhatikan kawasan pesisir atau daratan saja dan belum terintegrasi menjadi satu kesatuan pengelolaan. Kebijakan pengelolaan antara kawasan pesisir dan darat masih parsial dimana kawasan lautnya dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan daratnya dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara. Dalam pengelolaan kawasan Gili Indah belum mempertimbangkan dimensi ekologi, sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan secara terpadu dalam pengembangannya. Sejalan dengan hal tersebut di atas, optimasi pengelolaan wisata bahari pulau-pulau kecil yang berbasis mitigasi belum diterapkan di kawasan tersebut. Sehingga diperlukan suatu strategi pengelolaan wisata bahari yang berkelanjutan di Kawasan wisata bahari Gili Indah (gambar 1) Tujuan dan Kegunaan : Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung berbagai pemanfaatan kawasan Gili Indah berbasis mitigasi.

21 5 b. Mengoptimasi pengelolaan wisata bahari berbasis mitigasi di Kawasan Gili Indah. KAWASAN GILI INDAH Integrasi antara Darat dan laut Potensi Sumberdaya Alam : Ekosistem terumbu Karang Ekosistem pantai Sumberdaya ikan dan non ikan Sumberdaya lahan darat Kegiatan : Pariwisata Perikanan Pemukiman Pertanian Potensi Sosial Ekonomi dan Budaya : Tenaga Kerja Pendidikan dan keterampilan Pasar Wisata Infrastruktur Kearifan Lokal (Awiq-awiq) Permasalahan Dimensi Ekologi : Degradasi Ekosistem Terumbu Karang Mangrove Pencemaran perairan Sedimentasi Dimensi Ekonomi : Peningkatan Kesempatan kerja dan pendapatan Diversifikasi usaha Peralihan kepemilikan lahan ke investor Dimensi Sosial Budaya : Perubahan sosial dan budaya Konflik kepentingan Interaksi masyarakat dan wisatawan Sikap dan Persepsi Masy. Dimensi Kelembagaan : Kewenangan Pemerintah Kab. Lombok Utara dan DKP NTB Kearifan Lokal (Awiqawiq) Analisis Mitigasi Analisis Daya Dukung Analisis Pemanfaatan dan Peruntukan Kawasan Optimasi Pemanfaatan Wisata bahari Berbasis Mitigasi Analisis Kesesuaian Analisis Sosial Ekonomi Budaya dan Kelembagaan Strategi Pengelolaan Wisata Bahari Berkelanjutan di TWAL Gili Indah Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

22 6 Adapun kegunaannya adalah untuk menghasilkan suatu konsep dan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil khususnya pada pengelolaan wisata bahari yang berkelanjutan yang berbasis mitigasi dan sebagai bahan pertimbangan pada berbagai pihak terkait (stakeholders) dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan TWAL Gili Indah yang berkelanjutan. 1.4 Ruang Lingkup Studi Ruang lingkup rencana penelitian ini adalah: 1. Melakukan evaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan dalam pengelolaan wisata bahari dengan serangkaian analisis tentang kondisi faktual dan karakter sumberdaya alamnya, analisis pemanfaatan dan peruntukan kawasan, analisis kesesuaian dan daya dukung, serta analisis sosial ekonomi budaya dan kelembagaan pada setiap dimensi kajian. 2. Mengkaji optimasi pengelolaan TWAL Gili Indah berdasarkan konsep wisata bahari dengan mengintegrasikan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan yang berbasis mitigasi. 3. Mem Membuat strategi pengelolaan wisata bahari yang berbasis mitigasi dengan model dinamik untuk memperoleh suatu strategi pengelolaan wisata bahari yang berkelanjutan di TWAL Gili Indah.

23 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari Salah satu pemanfaatan pulau kecil yang berpotensi dikembangkan adalah pemanfaatan untuk pariwisata. Agar ekosistem pulau-pulau kecil dapat terjaga ekosistemnya sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, maka dikembangkan pula konsep ekowisata. Ekowisata sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun l990 oleh organisasi The ecotourism Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat ( Lingberg dan Hawkins l993, dalam Yulianda 2007). Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu pada pemanfaatan wisata. Menurut Meta (2002) dalam Yulianda (2007), bahwa ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Berdasarkan paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata massal (mass tourism), yaitu yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam. Saat ini bentuk wisata bergerak menjadi pariwisata baru (Baldwin dan Brodess 1993), yaitu wisatawan yang lebih moderen, berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tunggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli. Usaha pengembangannya wajib memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang diartikan sebagai konsisten dengan nilainilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Ekowisata (eco-tourism) disebutkan di UU Nomor 9 tahun 1990 pasal 16 sebagai kelompok-kelompok obyek dan daya tarik wisata, yang diperkuat oleh perpu No. 18 tahun 1994, sebagai perjalanan untuk

24 8 menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata alam. Berbagai pendapat tentang ekowisata adalah lebih menekankan pada faktor daerah alami, sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi (termasuk pendidikan lingkungan) dan meningkatkan kesejateraan penduduk (ekonomi) setempat (Brandon, 1996). Ziffer (1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, pada faktor etnis (Hudman and Donald, 1989). Silver (1997) memberikan batasan-batasan berikut: (1) Menginginkan pengalaman asli, (2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial, (3) Tak ada rencana perjalanan yang ketat, (4) Tantangan fisik dan mental, (5) Interaksi dengan budaya dan penduduk setempat, (6) Toleran pada ketidaknyamanan, (7) Bersikap aktif dan terlibat, (8) Lebih suka petualangan daripada pengalaman. Choy et al. (1996) memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu: lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, keberlanjutan dan manajemen. Ecoturism Research Group (1996) membatasi tentang wisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan : (1) mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, (2) meningkatkan kesadaran lingkungan, (3) bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, (3) menyumbang langsung pada keberkelanjutan. Ekowisata tidak setara dengan wisata alam oleh karena tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus (Goodwin 1997; Wyasa 2001). Menurut The Ecotourism Society (TES), ecotourism adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal (Sørensen et al., 2002). Wood (2002) mendefinisikan ecotourism sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi wisata alam yang dirumuskan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Yulianda, 2007). Meta (2002), ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk

25 9 menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata bahari dengan kesan penuh makna bukan semata-mata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan tetapi juga diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk melestarikan wilayah pesisir dan dimasa kini dan masa yang akan datang. Jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, diving, pancing. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai, piknik menikmati atmosfer laut (Nurisyah, 1998). Konsep wisata bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. META (2002) merumuskan tujuh prinsip utama pengelolaan ekowisata bahari berkelanjutan, yaitu : 1. Partisipasi masyarakat lokal; ekotourism harus memberikan manfaat ekologi, social dan ekonomi langsung kepada masyarakat. 2. Proteksi lingkungan; ecotourism bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relative belum tercemar atau terganggu 3. Pendekatan keseimbangan; sub prinsipnya meliputi maksimum profit, bagaimana ekotourism memberikan manfaat, comitment industri pariwisata dan lainnya. 4. Pendidikan dan pengalaman; ekotourism harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki 5. Pendekatan kolaboratif; ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang. 6. Tanggungjawab pasar; diperlukan interdependent kegiatan, demand supply side dan lain sebagainya.

26 10 7. Kontinuitas manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan Pariwisata diartikan sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain (Agenda 21, 1992). Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya. Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam, budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah perairan dan pulau di Indonesia (Gunawan, 1997). Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata di tahun 1999 dengan penerimaan US $455 Milyar seluruh dunia. Apabila kondisi tetap stabil, pada tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan meningkat mencapai 937 juta orang. Di Indonesia pariwisata merupakan penghasil devisa nomor tiga setelah minyak dan produk tekstil, Ini berarti sektor pariwisata mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian. Menurut data dari Departemen Pariwisata Seni dan Budaya perkembangan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia sejak lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001 jumlah wisatawan sebanyak orang dan terus menurun sampai tahun 2003 sebanyak wisatawan. Namun pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi orang kemudian turun lagi menjadi orang pada tahun Target dari pembangunan pariwisata pada tahun 2006 adalah dapat menghasilkan devisa US $ 5,5 juta dengan jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 5,5 juta orang, serta dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak 900 ribu pekerja. Untuk mengelola kegiatan kepariwisataan dan pembangunan kepariwasataan, berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, diantaranya dinyatakan bahwa penyelenggaraan pariwisata

27 11 bertujuan untuk: memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta mendorong pendayagunaan produksi nasional. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) juga telah dijelaskan bahwa pembangunan pariwisata perlu ditingkatkan untuk memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan penerimaan devisa serta memperkenalkan alam dan kebudayaan Indonesia. Perlu pula diambil langkahlangkah dan peraturan yang lebih terarah berdasarkan kebijaksanaan terpadu. Pendekatan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada gambar berikut. Pembangunan Lingkungan Memelihara ekologi Ekowisata Kepuasan wisatawan Masyarakat lokal Pembangunan Ekonomi Pembangunan Sosial Gambar 2. Ekowisata sebagai suatu Strategi Wisata dan Pembangunan Berkelanjutan (France, 1997 dalam Beeler, 2000) Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggung jawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, dengan menerapkan prinsip-prinsip, layak secara ekonomi (economically feasible) dan lingkungan (environmentally vi-able). cinema secara

28 12 social (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (technologically appropriate). Saling keterkaitan yang dijelaskan pada Gambar dapat diuraikan sebagai berikut (France, 1997 dalam Beeler, 2000): (1) menunjukkan sejumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu lingkungan alami. Agen perjalanan biasanya elit lokal atau multinasional, dimana profit usaha wisata rasanya sulit masuk ke masyarakat lokal. (2) Biasanya wisma tamu skala kecil setempat memberikan kenyamanan di bawah standar dalam. Pemukiman penduduk lokal biasanya memperoleh manfaat langsung dari dampak lingkungan yang buruk. (3) Banyak usaha wisata mempekerjakan penduduk lokal sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled labor). Secara ekonomi dapat memberikan manfaat abgi masyarakat, akan tetapi selalu dengan dampak lingkungan yang tinggi. (4) Titik keseimbangan yang memungkinkan antara ketiga aspek yang secara lokal dapat dikelola dan manfaatnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pernbangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumber daya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetik tercapai, dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati. Prinsip pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan kepariwisataan nasional. Pada hakekatnya pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berlandaskan pada agama dan budaya lokal, dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak ulayat masyarakat di sekitarnya. Pulau untuk kepentingan kepariwisataan adalah pulau dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km 2 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumber daya alam,

29 13 serta sensitif terhadap budaya masyakat lokal. Oleh karena itu pengembangan pariwisata di pulau-pulau harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004): - Prinsip Keseimbangan; Pengelolaan pariwisata dipulau-pulau kecil harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan konservasi. - Prinsip Partisipasi Masyarakat; proses pelibatan masyarakat, baik secara aktif maupun pasif, harus dimulai sejak tahap perencanaan hingga tahap pengelolaan dan pengembangan. Hal ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil tersebut. - Prinsip Konservasi; Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya). Pengembangan harus diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah ekologi serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Dalam upaya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernbangunan pariwisata, beberapa langkah dapat ditempuh, sepertl: penentuan ambang batas (carrying capacity), baik secara sosial (tourism social carrying capacity) dan ekologi (tourism ecological carrying capacity). - Prinsip Keterpaduan; Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau dan disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor. Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus disesuaikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat setempat, dinamika ekologi di pulau tersebut dan daerah sekitarnya. Disamping itu pengembangan pariwisata sebagai salah satu bagian dari pembangunan, harus disesuaikan dengan kerangka dan rencana pembangunan daerah. Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman daya tarik wisata di pulauputau kecil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, daya tarik wisata yang berbasis sumber daya alam daratan (seperti hutan, gunung, sungai, danau maupun pantai) dan sumber daya laut (seperti: terumbu karang, gua dan gunung api bawah laut). Kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya (cultural heritage) baik yang bersifat nyata (tangible) seperti situs, makam, istana,

30 14 maupun yang bersifat tidak nyata (intangible) seperti pertunjukan budaya atau tradisi budaya masyarakat. Selain kedua jenis pariwisata yang memanfaatkan langsung potensi sumber daya (alam dan budaya) diatas, juga terdapat wisata buatan yang pada intinya juga memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek dan daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, atau taman rekreasi (theme park). Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang alam, olah raga pantai, pengamatan satwa, Jelajah hutan, mendaki gunung dan lain sebagainya. Sementara kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving). selancar angin (parasalling), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air, berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan, mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan seharihari, melihat adat istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain sebagainya. Berdasarkan tujuannya kegiatan wisata dapat dibedakan menjadi wisata minat khusus dan wisata umum (rekreasi). Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk perialanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai suatu jenis objek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan dilokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Dalam wisata minat khusus, wisatawan terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan di lingkungan fisik atau komunitas yang dikunjunginya. Sementara itu kegiatan wisata umum atau kegiatan rekreasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dilaksanakan pada waktu luang secara bebas dan menyenangkan. Dalam kegiatan rekreasi tidak ada tujuan khusus yang ingin dicapai dan memang untuk bersenangsenang. Pengembangan kegiatan rekreasi saat ini diarahkan pada kegiatan rekreasi edukatif, yang juga bertujuan agar wisatawan mendapatkan tambahan pengataman atau pengetahuan yang bermanfaat.

31 15 Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus memperhatikan (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004): a) Terjaminnya keberlanjutan sumber daya pendukung pembangunan pariwisata di pulau-pulau kecil sebagai satu syarat penting bagi terciptanya manajemen pariwisata yang memadai dan handal. b) Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia. kegiatan pariwisata harus menjamin perubahan yang dapat diterima sehubungan dengan pengaruhnya terhadap sumber daya alam, keanekaragaman hayati dan kapasitas untuk mengelola berbagai dampak dan residu yang ditimbulkan. Dalam upaya mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, maka pengelolaan lingkungan di pulau-pulau kecil dilakukan dengan langkah penerapan sebagai berikut : a) Pengelolaan limbah: (1) melaksanakan pengelolaan limbah padat dan cair yang berasal dari kegiatan pariwisata agar tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, (2) Pengelolaan limbah padat dan cair dilakukan dengan menerapkan prinsip 3R yaitu Reduce (reduksi), Reuse (penggunaan kembati), dan Recycle (daur ulang), (3) Pada daerah dengan kawasan gugusan pulau, dapat menetapkan satu pulau kosong yang memungkinkan untuk tempat pengolahan limbah, sesuai kapan AMDAL. b) Air Tawar: (1) penggunaan air tawar dilakukan dengan memperhatikan konservasi air yang tersedia di pulau, serta akses masyarakat terhadap kebutuhan air tawar, (2) Dianjurkan agar mengembangkan sistem pengolahan air laut menjadi air tawar. c) Pelestarian Flora dan Fauna: Melakukan upaya menjaga dan memelihara flora, fauna serta terumbu karang, disekitar pulau dengan: (1) Pengawasan dan pengamanan sumber daya kelautan sekitar pulau dari kegiatan yang dapat merusak dan mengurangi populasinya, (2) Merencanakan dan melaksanakan program perlindungan dan pemeliharaan flora, fauna dan terumbu karang, 3) Tidak memasukkan jenis flora dan fauna yang berasal dari luar pulau tanpa

32 16 seijin instansi yang berwenang, (4) Tidak mengunakan karang, sebagai bahan bangunan untuk sarana dan prasarana di pulau. d) Pelestarian Pesisir: (1) Tidak melakukan pengerukan, reklamasi dan atau melakukan kegiatan yang dapat merubah kondisi pantai dan pola arus laut, (2) Tidak melakukan pengambilan atau pengerukan pasir baik di daratan maupun di perairan pulau, (3) Semua pembangunan di pesisir harus didasarkan pada studi AMDAL/UPL/UKL. Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus melihatkan peran aktif masyarakat sejak awal prows pengembangan pariwisata. Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism Development). Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan antara lain dengan: a) Memprioritaskan petuang kerja dan usaha bagi masyarakat lokal. b) Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat antara lain melalui program pelatihan untuk menunjang usaha par iwisata. c) Membangun hubungan kemitraan antara pengusaha dan masyarakat dalam rangka pemanfaatan hasil-hasil produk lokal. d) Mewujudkan sikap saling menghargai dan menghormati di antara pengusaha dan masyarakat. e) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menanamkan modal melalui kepemilikan saham perusahaan. Agar supaya wisata bahari dapat berkelanjutan maka produk pariwisata bahari yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik. Dengan demikian masyarakat akan peduli terhadap sumberadaya wisata karena memberikan manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan dalam kehidupannya. Cernea (1991) dalam Lindberg and Hawkins (1995) mengemukakan bahwa partisipasi lokal memberikan banyak peluang secara efektif dalam kegiatan pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran social dan bukan subjek pasif untuk mengelola sumberdaya membuat keputusan dan melakukan

33 17 control terhadap kegiatan-kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan mereka Wisata Bahari di Kawasan Konservasi Umumnya, penutupan suatu kawasan laut menjadi kawasan konservasi akan merugikan kegiatan ekonomi lainnya. Padahal, kawasan konservasi dapat juga dijadikan sebagai instrumen pengendalian kegiatan pariwisata dan kegiatan lain termasuk perikanan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Awal tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu instrumen yang didesain langsung pada pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan konservasi laut (KKL) atau marine reserve atau Marine Protected Area (MPA). Tujuannya adalah agar input dan output produksi perikanan dan wisata bahari berbasis konservasi diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah perlindungan. Banyak dukungan empiris yang menyatakan KKL akan dapat meningkatkan dan memperbaiki ekologi yang mencakup peningkatan komposisi umur dan tingkat stok yang lebih tinggi untuk perbaikan habitat. Manfaat tambahan yang diperoleh dari adanya kawasan konservasi ini adalah untuk keperluan pariwisata, pendidikan, dan konservasi biodiversitas laut (Bohnsack, 1993 dalam Sanchirico et al., 2002). Li (2000) menguraikan manfaat kawasan konservasi laut adalah sebagai biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi di wilayah sekitarnya, perlindungan pemijahan, penelitian, ekowisata, pembatasan hasil sampingan ikan-ikan juvenil dan peningkatann produktivitas perairan. Pemanfaatan suatu kawasan konservasi menjadi kawasan wisata dan kegiatan perikanan harus dapat memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Cesar (1996), hasil studi White dan Cruz Trinidad di Apo Island Philipina menunjukkan bahwa KKL mampu memberikan nilai ekonomi hampir US$ 400 ribu dari sektor wisata bahari dan perikanan. Masalah utama dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas ekologis yang dapat digunakan untuk mencapai suatu kawasan konservasi. Selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan (batas daratan dan lautan), batas administrasi (nasional, propinsi

34 18 dan kabupaten), atau biaya (lokasi yang lebih kecil akan memerlukan biaya yang kecil untuk melindungi atau mempertahankan keberadaannya. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terjadi bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Adanya zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan konservasi. Berdasarkan arah pengembangan pariwisata, kawasan PPK jenis-jenis zonasi yang umum digunakan dalam pengembangan pariwisata adalah (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004): 1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang umumnya tidak melebihi 60% luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan daya dukung lingkungan. 2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumber daya alam. Dalam zona ini kegiatan pengunjung harus dapat dikontrol dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk pengunjung kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandang, papan penunjuk dan informasi. 3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Defenisi pulau menurut UNCLOS (1982, Bab VIII pasal 121 ayat 1), bahwa pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tertinggi (IHO, 1993

35 19 dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Pulau-Pulau Kecil (PPK) adalah kumpulan pulau-pulau (gugusan pulau) yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individuial maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Berdasarkan luasnya, PPK (small island) memiliki luas daratan beserta kesatuan ekosistemnya yakni lebih kecil dari atau sama dengan km 2 (Undang-undang No. 27 Tahun 2007) km 2 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002; Brookfield 1990 dalam Dahuri, 2003) dan berpenduduk di bawah orang (Hess, 1990 dalam Bengen dan Retraubun, 2006) atau lebih kecil dari jiwa (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insulat; (2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi. Karakteristik lingkungan yang berkaitan erat dengan proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologi pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi yang spesifik (Bengen dan Retraubun, 2006). Dari segi budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan (Beller et al., 1990). Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan, kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas yakni budaya. Selanjutnya budaya terkait dengan adaptasi manusia terhadap lingkungannya melalui sistem teknologi matapencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut juga sebagai cultural core (Bengen dan Retraubun, 2006). Pulau-pulau kecil sebagai bagian dari pembangunan kelautan memiliki potensi yang sangat besar untuk dikelola dengan baik. Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insulat; (2) sumber air tawar terbatas, dimana

36 20 daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi (Bengen, 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami pulau-pulau kecil, antara lain; terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan, antara lain; kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan permukiman (Bengen, 2000). Pulau-pulau kecil mempunyai keunikan, baik fisik, geografis, sumberdaya alam maupun masyarakatnya. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang sangat rentan terhadap berbagai pengaruh eksternal dan aktivitas pembangunan, serta mempunyai keterbatasan baik sumberdaya alamnya maupun sumberdaya manusianya. Selain itu, wilayah ini memiliki keterkaitan ekologis, sosial ekonomi dan sosial budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya antara masyarakat dan integrasi kegiatan sosial ekonomi yang sudah berlangsung selama ini, akan memberikan pilihan investasi yang tepat (Dahuri, 1998). Beberapa karakteristik yang dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan ke dalam aspek lingkungan hidup dan sosial-ekonomi-budaya. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain: 1. Pulau-pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area) yang sempit, sehingga sumber air tanah yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh intrusi air laut, terkontaminasi akibat nitrifikasi dan kekeringan. 2. Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka, sehingga lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh gelombang yang berasal dari badai cyclone dan tsunami. 3. Spesies organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat endemik dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh organisme tertentu yang datang dari luas pulau.

37 21 4. Pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam terrestrial yang sangat terbatas, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun kehutanan dan pertanian. Karateristik yang berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi-budaya menurut Hein (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain adalah: memiliki infrastruktur yang terbatas, pasar domestikdan sumberdaya alam kecil sehingga iklim usahanya kurang kompetitif, kegiatan ekonomi sangat terspesialisasi, tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai tempat yang posisinya bernilai strategis dan jumlah penduduk tidak banyak dan biasanya saling mengenal satu sama lain serta terikat dengan hubungan persaudaraan. Selama ini pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan pembangunan sehingga sebagian masyarakatnya relatif hidup dalam kemiskinan. Menurut Retraubun (2000), rendahnya sentuhan pembangunan ini didasarkan atas: 1. Kebanyakan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni karena ukurannya relatif sangat kecil. 2. Kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama. 3. Kawasan ini cenderung terisolasi sehingga diperlukan investasi yang besar untuk membangun prasarana perhubungan laut. 4. Kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha. 5. Pembangunan nasional yang selama ini lebih berorientasi ke darat. Meskipun demikian, pulau-pulau kecil memiliki potensi ekonomi yang tinggi namun mempunyai karakteristik yang sangat rentan terhadap aktivitas ekonomi. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia. Daya dukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Aktivitas sosial dan ekonomi pulau-pulau kecil merupakan interaksi kawasan daratan (terrestrial) dengan lingkungan laut, sehingga hampir semua bentuk aktivitas pembangunan akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Potensi kerusakan sumberdaya alam yang sangat tinggi seperti kenaikan permukaan laut, badai tsunami, dapat dengan mudah terjadi apabila kualitas

38 22 lingkungan sudah menurun. Pendekatan ekosistem dalam penataan ruang wilayah pulau dan gugus pulau harus berdasarkan daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya dan integrasi kegiatan sosial ekonomi (Dahuri, 2003) Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas < km 2 dan mempunyai penduduk < jiwa. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 2000 km 2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km 2 dan lebar tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan km 2 beserta kesatuan ekosistemnya. Selanjutnya yang dimaksud dengan Pulau-Pulau Kecil atau Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya (DKP-RI, 2001). Towle (1979) dalam Debance (1999) menggunakan definisi pulau kecil menurut The Commonwealth Secretary yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari km 2 dan penduduk kurang dai jiwa. Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan km 2. Arahan pengelolaan PPK diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi, artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak diperkenankan, karena PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan

39 23 Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salm et al dalam Maanema 2003). Tabel 1. Kriteria Umum Untuk Penentuan Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil No Kriteria Uraian 1. Sosial a. Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL). b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi. c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi. d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL. e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi. f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal. g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya. h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan. i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan. j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi. 2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria. b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan. c. Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya.

40 24 d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat. e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata. 3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies. b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami. c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini. d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya. e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang endemik, memiliki spesies yang hampir punah. f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia. g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana. 4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies. b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL. Sumber : Bengen (2002) Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi sumberdaya, seperti penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m 3 kayu/ha/tahun. Adanya keterbatasan PPK, maka pengelolaannya berdasarkan penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu :

41 25 1) Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati, didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian, didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia. 2) Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi; kepentingan perikanan, didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. 3) Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat; kesehatan masyarakat, didasarkan pada keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; budaya, didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi; estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

42 Kawasan Konservasi Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and Clark 1982). Menurut Westmacott et al 2000, bahwa konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara : (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali, (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata. Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara metrik ton (mt)/km 2 /tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil produksi perikanan sebesar mt/km 2 /tahun sebelum ada KKL, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km 2 /tahun. Produksi KKL kembali menurun 20 mt/km 2 /tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang

43 27 yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL. Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Keanekaragaman species digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis. Keanekaragaman secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 1996). Jumlah species dan komposisi species ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002) terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu : (1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas; dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) (2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS. Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang terdapat di pulau-pulau kecil; (3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir.

44 28 (4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature Reserve/Wilderness Area (kawasan cadangan alam/hutan belantara); National Park (Taman Nasional); Natural Monument Area (Kawasan Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area (kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi manusia; Landscape/Seascape Protected Area (kawasan perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut; Managed Resources Protected Area (kawasan perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya); dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya pesisir. Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi (Agardy 1997; Barr et al dalam Bengen 2002): (1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. (2) Meningkatkan hasil perikanan; dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. (3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika. (4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

45 Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Bahari Pulau-Pulau Kecil Kriteria Umum Pemanfaatan untuk Pariwisata Keberadaan PPK yang nampaknya cukup potensial namun pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimalmungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan keterbatasan lainnya bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi yang cukup dapat diharapkan, minimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat penghuninya. Kebijakan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dampak negatif. Di satu pihak, tidak berkembangnya kawasan PPK akibat kebijakan yang terlalu protektif. Di pihak lain, rusaknya kawasan PPK akibat tekanan pemanfaatan berlebihan. Untuk itu perlu kebijakan yang berimbang, dimana usaha pemanfaatan PPK ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan masih terjaga (Bengen 2002). Terkait dengan konteks arahan pengelolaan PPK, kegiatan pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002): 1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata. 2. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. 3. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar. 4. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi pantai dan daya dukung PPK, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari. Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa kebijakan menyangkut PPK pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geo-fisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut

46 30 maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam. Kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata: 1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya; 2. Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; 3. Keunikan ekosistemnya; 4. Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan 5. Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih). Pendekatan lain bahwa wisata bahari harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut: 1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan; 2) Melindungi keanekaragaman hayati; 3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya; Di dalam pemanfaatan areal alam untuk wisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Bahkan Eplerwood (1999) yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison (2000) memberikan konsep bahwa salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk

47 31 membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal. Konsep ini lebih mudah dilaksanakan karena tidak perlu melalui mekanisme seperti layaknya sebagai suatu proyek pemerintah serta dalam keadaan tertentu segera dapat dilaksanakan upaya-upaya konservasi. Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam, sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 2001). Ekowisata tidak setara dengan wisata alam. Tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus. Secara keseluruhan ekowisata merupakan perjalanan menikmati alam berbasiskan lingkungan sehingga membuat orang memiliki ketertarikan untuk mempelajari tentang sejarah dan kultur dari wilayah yang dikunjungi, serta memberikan manfaat ekonomi dan sosial pada masyarakat setempat sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mendukung konservasi sumber daya alam melalui interpretasi dan pendidikan lingkungan. Untuk itu, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), meliputi : 1) Adanya konservasi sumber daya alam yang sedang berlangsung; 2) Tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan; 3) Tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk beluk ekosistem kawasan; 4) Tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

48 32 5) Tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumber daya alam di dalam kawasan; dan tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata Parameter Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Bahari Kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat dkk. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata bahari dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai). Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasilokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003). Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah: 1. Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995). 2. Kualitas daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak (sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas

49 33 karang dan life form (marine life) (Davis and Tisdell 1995; Davis Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler. Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus)-Diving adalah karena hasrat untuk mencari pengalaman di belantara laut, ketertarikan terhadap ekologi perairan laut, sebagai sarana olahraga yang berbeda dan spesial dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai benteng alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Luas kawasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai km 2 dengan keanekaragaman spesies terumbu karang mencapai spesies karang scleractinian (kepulauan Togean 262 spesies) dan 263 spesies ikan hias, umumnya berada di Kawasan Timur Indonesia. Selain kawasan terumbu karang, Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia (4.25 juta ha) yang mewakili 25 % dari luas mangrove dunia (75 % dari luas mangrove di Asia Tenggara). Diperkirakan dalam ekosistem ini dijumpai 202 jenis vegetasi mangrove. Areal mangrove yang luas tidak hanya berperan dalam menyediakan habitat untuk berbagai macam biota, tetapi juga menciptakan keindahan, kenyamanan, dan kesegaran lingkungan atmosfir di wilayah pesisir dan laut. Hutan mangrove sering dijadikan hutan wisata yang dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi memancing, lintas alam, dan koleksi flora

50 34 maupun fauna untuk ilmu pengetahuan (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori wisata mangrove, meliputi (Ayob 2004): 1. Apa yang diharapkan seseorang dengan berkunjung ke kawasan hutan mangrove, tergantung kepentingan dan tingkat pendidikannya. Ada yang berkepentingan melihat sejumlah dan jenis burung (migrasi dan atau menetap), melihat lebih dekat mangrove, dan bagaimana nira diambil langsung dari nipah. 2. Selain itu, beberapa pengunjung lebih suka melakukan trekking di jembatan bakau sambil mendengarkan burung berkicau, dan menggunakan boat untuk menjelajahi setiap bagian hutan mangrove, serta menikmati makanan laut yang diperoleh dari kawasan mangrove (Marine National Park Division 2001). 3. Ketebalan dan kerapatan mangrove dapat mempengaruhi sistem ekologi pada kawasan tersebut, termasuk keberadaan hewan lain seperti burung, kadal, ular, monyet, kepiting, udang dan beberapa moluska (Hutabarat dkk. 2009). Bengen dan Retraubun (2006), jenis dan pertumbuhan hutan mangrove di PPK dibatasi oleh ketersediaan air tawar, pasokan sedimen (bahan organik) dari daratan dan jenis substrat pasir, sehingga jenis mangrove yang dominan adalah dari genus Avicennia (api-api) dan Sonneratia. Obyek wisata bahari lain yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009): 1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25 o ) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir) (Wong 1991). 2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong 1991).

51 35 3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan) Daya Dukung Wisata Bahari Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Bengen dan Retraubun (2006), mendefenisikan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda sehingga perencanaan pariwisata di pulaupulau kecil secara spatial akan bermakna dan menjadi penting (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004). Pengetahuan daya dukung lahan atau lingkungan, harus memperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala apa saja yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan adalah adanya kerusakan lingkungan. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Batasan daya dukung bagi populasi manusia adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera (Tantrigama, 1998). Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993).

52 36 Daya dukung lingkungan terbagi atas dua yakni, daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Hal ini sejalan dengan Tantrigama (1998), analisis dukung difokuskan pada aspek ekologi, fisik dan lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan paremeter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi. Mengacu pada batasan-batasan konsep daya dukung sebelumnya, maka ada beberapa daya dukung yang perlu diperhatikan dalam rangka kegiatan pengelolaan PPK, selengkapnya diuraikan pada sub bab berikut Daya Dukung Ekologis Daya dukung ekologis, menurut MacLeod and Cooper (2005) dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem agar tetap lestari, baik dalam jumlah populasi maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis ekosistem tersebut. Christensen dan Pauly (1998), menyusun defenisi daya dukung berdasarkan teori Odum, yang menyatakan bahwa batas maksimum biomas yang dapat mendukung seperangkat produksi primer dan satu variabel struktur jaringan makanan yang diperoleh ketika total sistem respirasi sama dengan jumlah produksi primer dan impor detritus. Daya dukung ekologis merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu pulau. Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu/kualitas perairan (deteriorasi). Daya dukung yang terkait dengan pariwisata menunjukkan jumlah maksimum wisatawan (104 orang) yang melakukan penyelaman atau berenang tanpa merusak terumbu karang atau kehidupan laut (Tantrigama, 1998).

53 37 Jika input nutrien yang masuk dalam jumlah yang besar (melebihi kapasitas asimilasi atau daya dukung ekosistem pesisir), maka akan menimbulkan masalah eutrofikasi. Dengan masuknya limbah organik ke dalam perairan pesisir berarti akan meningkatkan jumlah biomasa bakteri. Karena bakteri merupakan komponen utama dalam salah satu rantai makanan (food chain), maka pada tingkat tertentu pembuangan limbah organik dapat meningkatkan kesuburan dan produktivitas perairan. Namun, bila laju pembuangan limbah organik lebih besar laju penguraiannya oleh bakteri, maka terjadilah akumulasi limbah organik yang menimbulkan pencemaran, sampai terjadi kondisi deoxygenation. Eksistensi nutrien yang berasal dari daratan maupun perairan laut sendiri selanjutnya akan menentukan kuantitas dan kualitas fisik dan kimia perairan di daerah pesisir, termasuk intensitas cahaya. Unsur hara yang masuk ke perairan pesisir dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan produktivitas terganggu. Konsentrasi nutrien terkait produksi primer dan pertumbuhan alga, seperti Sargassum baccularia, Dityota dan Acanthopora, kelimpahan Green algae (Fucus vesicolus dan Gracilaria spp) (Asmus, et al., 2000). Pencemaran perairan pesisir akibat meningkatnya berbagai kegiatan pemanfaatan merupakan indikator terlampauinya daya dukung perairan. Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan dapat langsung meracuni kehidupan biologis dan menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan (Sumadhiharga, 1995). Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh terhadap reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar. Proses ini merupakan penyebab terkontaminasinya sejumlah flora dan fauna di wilayah tercemar.

54 38 Pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan pariwisata, disamping dampak yang terjadi yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini, dampak negatif lanjutan lainnya dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan Daya Dukung Fisik Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (MacLeod and Cooper, 2005). Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Daya dukung fisik dapat dikaji melalui berapa besar kapasitas dan ruang yang tersedia untuk membangun infrastruktur pariwisata guna kenyamanan wisatawan (Tantrigama, 1998; MacLeod and Cooper, 2005). Pada kasus pariwisata, terlampauinya daya dukung fisik akibat meningkatnya jumlah infrastruktur (dermaga melalui reklamasi, hotel, dan lainnya) maupun pemukiman penduduk, menyebabkan hilangnya beberapa vegetasi daratan dan ekosistem perairan laut, misalnya terumbu karang, sumberdaya ikan dan non ikan. Peningkatan infrastruktur dan jumlah penduduk secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas air, akan tetapi melalui peningkatan jumlah limbah (padat dan air) (MacLeod and Cooper, 2005) Daya Dukung Sosial Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari presepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau presepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan

55 39 penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Daya dukung sosial di bidang pariwisata dipengaruhi oleh keberadaan infrastruktur wisata, attitude pengunjung (wisatawan) dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat suatu kawasan wisata (MacLeod and Cooper. 2005). Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung di pulaupulau kecil. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya manusia (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Pada kegiatan pariwisata, terlampauinya daya dukung menyebabkan dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Undang Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan menjelaskan bahwa keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan,dimana mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasionaluntuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa, sehingga diperlukan langkahlangkah pengaturan yang semakin mampu mewujudkan keterpaduan dalam kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan, serta memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta objek dan daya tarik wisata. Lebih lanjut di uraikan dalam pasal 3 dijelaskan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk (1) Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata; (2). Memupuk

56 40 rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; (3). Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; (4). Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Isu pengelolaan wilayah pesisir saat ini telah menjadi isu strategis nasional, karena tiga alasan, yaitu (a) sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dan memiliki ketergantungan dan kelangsungan hidup pada sumberdaya pesisir tersebut; (b) sebagian besar dari masyarakat pesisir merupakan kelompok masyarakat termiskin di Bumi Nusantara ini; dan (c) sumberdaya pesisisir saat ini telah mengalami tingkat eksploitasi yang tinggi dan sebagian berada pada level yang overeksploitasi serta berbagai permasalahan lain yang akan mengancam keberlanjutan sumberdaya dan kehidupan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, wilayah pesisir memiliki nilai dan arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia, lebih-lebih saat bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia paling tidak dapat dilihat dari tiga aspek, salah satunya adalah secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota (kota propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 %; dan (d) industri kelautan (termasuk coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung (Kusumastanto, 2004). Fokus utama dalam kebijakan pengembangan parawisata bahari menurut Kusumastanto (2004) adalah : a. Meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana publik yang menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara dan domestic yang akan memanfaatkan sumberdaya parawisata bahari; b. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia yang berkiprah dalam mengelola dan parawisata bahari; c. Mengembangkan system pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses yang cepat, mudah serta murah.

57 41 Pengembangan system pendataan dan informasi ini sekaligus melayani dan mendukung kegiatan promosi dan investasi di bidang parawisata bahari; d. Mengembangnkan aktivitas ekonomi non parawisata yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan parawisata bahari, misalnya industri kerajinan, perikanan, restoran, semisal sea food, dan jasa angkutan laut yang memadai sesuai standar keselamatan. e. Menciptakan iklim investasi yang kondunsif bagi kalangan investor untuk mengembangkan parawisata bahari, seperti insentif maupun disisentif; dan f. Mengermbangkan model pengelolaan parawisata bahari yang mampu menjaga kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal. Dengan demikian, berkembangnya parawisata bahari dalam suatu kawasan pesisir atau kawasan laut sekitarnya diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakat. Inilah yang nantinya akan mampu membantu upaya pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir dan penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia di tanah tumpah darahnya sendiri. Melalui pengembangan kepariwisataan diharapkan mampu untuk mendatangkan devisa bagi negara selain dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui berbagai usaha yang berkaitan dengan pengembangan kepariwisataan serta dapat memperluas dan menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu pengembangan pariwisata dapat merangsang pertumbuhan kebudayaan asli Indonesia yang tidak ada duanya, sehingga kebudayaan asli itu akan dipertahankan kelestariannya, dengan demikian kebudayaan asli itu dapat tumbuh dan berkembang. Dari segi perluasan peluang usaha dan kesempatan kerja, pengembangan pariwisata berpengaruh positif. Peluang usaha/kesempatan kerja tersebut lahir karena adanya permintaan wisatawan. Dengan demikian, kedatangan wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat tersebut untuk menjadi pengusaha hotel, wisma, homestay, restoran, warung, angkutan, pedagangan, sarana olah raga, jasa dan lain-lain. Peluang usaha tersebut akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerja dan sekaligus dapat menambahkan pendapatan untuk menunjang kehidupan rumah tangganya. Salah satu sumberdaya yang potensial adalah daerah sekitar pesisir dan pulau-pulau kecil karena memiliki kekayaan dan keragaman dalam bentuk alam,

58 42 struktur historis, adat, budaya dan berbagai sumberdaya lain yang terkait dengan pengembangan kepariwisataaan. Sehingga alam sekitar pesisir dan sekitarnya memiliki nilai atraktif dan turistik yang harus dikelola dan dikembangkan untuk kesejahteraan. Keragaman daerah pesisir dalam bentuk alam dan keterkaitannya dengan ekologi daerah pesisir dapat menarik minat wisatawan baik untuk bermain, bersantai atau sekedar menikmati pemandangan. Pariwisata bahari merupakan kegiatan rekreasi yang telah diminati oleh sekelompok sosial tertentu dalam masyarakat Indonesia maupun dunia, dan sudah dikenal sejak dari dulu. Pariwisata bahari biasanya selalu diasosiasikan dengan 3 S (sun,sea and sand), artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari,laut dan pantai berpasir putih yang bersih. Berbagai kegiatan yang umumnya dilakukan oleh para wisatawan dalam pariwisata bahari, antara lain, meliputi berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkeling, berjalan-jalan atau berlari di sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir dan bermediatasi. Jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir dan laut ada yang secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, diving dan memancing. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati atmosfer laut (Nurisyah, 2001). Konsep pariwisata bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagi kekuatan dasar yang dimiliki masing-masing daerah. Beberapa atraksi pariwisata bahari yang sekaligus merupakan potensi laut sebagai medium wisata adalah taman laut, formasi karang buatan (artificial reefs), kerangka kapal tenggelam, objek purbakala, ikan-ikan buruan dan pantai yang indah. Pelaksanaan pariwisata bahari akan berhasil apabila memenuhi komponen yang terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah, 2001). Pembangunan pariwisata mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama sebagai penghasil devisa, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan taraf hidup serta menstimulasi

59 43 sektor-sektor lainnya. Pariwisata, terutama wisata alam termasuk pariwisata bahari, diketahui merupakan alternatif yang lebih baik untuk pengembangan ekonomi masyarakat lokal dan wilayah yang tidak merusak kekayaan alam, tetapi sebaliknya memberikan apresiasi terhadap nilai-nilai dari alam kehidupan tradisional yang sering memberikan sumbangan kepada kearifan manusia. Selain itu nilai unik dan keindahannya banyak yang dapat dikombinasikan dengan nilainilai kultural yang melekat pada sumberdaya alam. Sedangkan keberadaan dari sumberdaya alami relatif tidak banyak terganggu, sehingga kelestarian sumberdaya alam di tempat ini relatif terjaga. Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah termasuk wilayah pesisir memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu Jasa-jasa pendukung kehidupan, Jasa-jasa kenyamanan, Penyedia sumberdaya alam, dan Penerima limbah 2.8. Pengembangan Wisata Bahari Penilaian daya tarik obyek wisata dilakukan agar ada prioritas penanganan pengembangan kawasan pariwisata, baik dari faktor kemampuan lahannya dalam menyediakan fasilitas wisata maupun kenampakan panorama sekitarnya juga diperhatikan. Suwantoro (1997), mengidentifikasikan ada empat kelompok faktor yang mempengaruhi penentuan pilihan daerah tujuan wisata seperti: 1. Fasilitas: akomodasi, atraksi, jalan, tanda-tanda penunjuk arah 2. Nilai estesis: pemandangan (panorama), iklim, santai/terpencil,cuaca. 3. Waktu/biaya: jarak dari tempat asal (rumah), waktu dan biaya perjalanan, harga-harga/tarif-tarif pelayanan. 4. Kualitas hidup (quality of life): keramah tamahan penduduk, bebas dari pencemaran, penampilan perkotaan. Commonwealth Coastal Action Program (1997) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata yang berkelanjutan adalah pengembangan pariwisata yang memperhatikan wilayah konservasi dan perubahan komunitas ekologi yang ditimbulkannya, meliputi perlindungan terhadap satwa liar dan menjaga kualitas

60 44 kehidupan yang ada di lingkungan tersebut untuk generasi yang akan datang. Jadi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan keramahan di sekitarnya. Pengembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan kehilangan dan penurunan mutu kawasan yang tidak diharapkan, sebagai akibatnya adalah hilangnya kawasan yang menarik bagi wisatawan. Fasilitas dan lokasi adalah faktor utama yang menyebabkan hilangnya dan penurunan mutu sumberdaya pesisir. Pemilihan lokasi yang tidak sesuai dapat menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan pemilihan pengembangan, baik sekarang maupun yang akan datang. Banyaknya dampak negatif yang terjadi akibat kesalahan dalam melakukan pendugaan terhadap karakteristik proses alami kawasan pesisir (kerusakan akibat badai dan ombak, erosi pantai dan intrusi air laut) adalah sebagai penyebab kegagalan umum perencanaan tata guna lahan, yang mengakibatkan rapuhnya ekosistem dan bahkan infrastruktur. Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar pariwisata ikut pula mempercepat pertumbuhan di wilayah pesisir. Dengan meningkatnya wisatawan di wilayah pesisir mendorong pembangunan dan percepatan tumbuhnya konstruksi di wilayah pesisir dan tumbuhnya berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Ada beberapa manfaat pembangunan pariwisata, yaitu: 1. Bidang ekonomi: (a) dapat meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung; (b) meningkatkan devisa, mempunyai peluang besar untuk mendapatkan devisa dan dapat mendukung kelanjutan pembangunan di sektor lain; (c) meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat, dengan belanja wisatawan akan meningkatkan pendapatan dan pemerataan pada masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung; (d) meningkatkan penjualan barang-barang lokal keluar; (e) menunjang pembangunan daerah, karena kunjungan wisatawan cenderung tidak terpusat di kota melainkan di pesisir, dengan demikian amat berperan dalam menunjang pembangunan daerah.

61 45 2. Bidang sosial budaya, dengan keanekaragaman sosial budaya merupakan modal dasar dari pengembangan pariwisata. Oleh karena itu harus mampu melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada. 3. Bidang lingkungan hidup, kaena pemanfaatan potensi sumberdaya alam untuk pariwisata pada dasarnya adalah lingkungan yang menarik, maka pengembangan wisata alam dan lingkungan senantiasa menghindari dampak kerusakan lingkungan hidup, melalui perencanaan yang teratur dan terarah. Pengembangan pariwisata bahari yang berwawasan lingkungan akan memberikan jaminan terhadap kelestarian dan keindahan lingkungan, terutama yang terkait dengan jenis-jenis biota dan ekosistem utama. Untuk mencapai pembangunan pariwisata bahari yang optimal dan berkelanjutan menurut Gunn (1994), adalah apabila kegiatan tersebut dapat mencapai empat aspek yaitu: 1. Mempertahankan kelestarian dan keindahan lingkungan (alam) 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tersebut 3. Menjamin kepuasan pengunjung 4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Tujuan pembangunan yang berkelanjutan adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategi sampai kepada penerapan di lapangan. Berdasarkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, pengembangan pariwisata bahari yang berkelanjutan (sustainable marine tourism) dapat diartikan sebagai pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan dengan tidak merusak kondisi sumberdaya alam pesisir yang telah ada, sehingga dapat dimanfaatkan terus menerus sampai generasi yang akan datang. Sektor kepariwisataan menunjukkan perkembangan dan kontibusi ekonomi yang cukup menarik dibandingkan dengan sektor lain di saat Indonesia menghadapi masa krisis yang berkepanjangan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak (rata-rata hari kunjungan 9.18 hari/ orang) di tahun 1998 meningkat menjadi orang dengan jumlah hari kunjungan 12.26/orang pada tahun Besarnya devisa yang diperoleh sector pariwisata pada tahun 2000 sebesar 5.75 milyar US$. Hal ini

62 46 menunjukkan bahwa kepariwisataan sangat potensial untuk dikembangkan di masa krisis. Salah satu sumberdaya wisata yang sangat potensial yakni wilayah pesisir mempunyai kekayaan dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentuk alam, struktur historic, adat, budaya dan berbagai sumberdaya yang lain yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan. Hal ini merupakan karunia dan anugerah Tuhan untuk dapat dikembangkan bagi kesejahteraan manusia. Karena sebagai mahluk yang termulia di beri kuasa untuk memanfaatkan alam serta segala isinya dengan penuh tanggung jawab. Alam dan sekitarnya dengan berbagai keragaman yang tinggi seperti wilayah pesisir mempunyai nilai atraktif dan turistik wajib dikelola dan dikembangkan bagi kesejahteraan melalui pariwisata bahari. Keragaman daerah pesisir untuk pariwisata bahari berupa bentuk alamnya dan juga keterkaitan ekologisnya dapat menarik minat wisatawan baik untuk bermain, bersantai atau sekedar menikmati pemandangan. Wisata bahari merupakan suatu bentuk wisata potensial termasuk di dalam kegiatan Clean industry. Pelaksanaan wisata bahari yang berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni terkaitnya dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Siti Nurisyah, 2001). Dengan memperhatikan komponen tersebut maka wisata bahari akan memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian masyarakat Implementasi Kebijakan dan Pengelolaan Wisata Bahari Implementasi kebijakan wisata khususnya wisata bahari belum optimal sebagai akibat dari rendahnya perhatian pemerintah pada sektor ini. Kalau kita berpijak dan merujuk pada pada arah kebijakan pengembangan parawisata bahari menurut UU No 9 Tahun 1990, maka implementasi kebijakan ekowisata ditanah air sangat jauh dari harapan misalnya persoalan penyediaan prasarana dan sarana public yang akan menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara dan domestic yang akan memanfaatkan sumberdaya parawisata bahari masih sangat kurang; ditambah lagi adanya kondisi ini juga tidak kondunsif diantaranya rasa tidak aman yang membuat parawisatawan enggang untuk berkunjung disamping itu yang paling mencekam akhir-akhir ini adalah

63 47 banyaknya kecelakaan terutama dalam dunia trasnportasi laut yang tidak memenuhi standar kelayakan keselamatan mulai dari persoalan alat transportasi yang berusia diatas 10 tahun, sumberdaya manusia yang masih rendah, sistem dan pola pelayanan yang masih berorientasi profit misalnya dengan kelebihan muatan dan lain sebaginya. Keterbatasan anggaran dan perhatian kerap dijadikan sebagai sumber masalah sebagai akibat dari rendahnya perhatian pemerintah terhadap perwisataan khususnya ekowisata bahari. Disamping itu rendahnya kualitas dan kapasitas sumber daya manusia yang berkiprah dalam mengelola dan parawisata bahari; kurangnya system pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga sulit wisatawan mendapatkan informasi dan akses yang cepat, mudah serta murah. Rendahnya system pendataan dan informasi ini sekaligus berdampak pada berkurangnya dukungan kegiatan promosi dan investasi di bidang parawisata bahari, dengan demikian aktivitas ekonomi non parawisata yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan parawisata bahari, misalnya industri kerajinan, perikanan, restoran, semisal sea food, dan jasa angkutan laut juga tidak jalan sebagaimana yang kita harapkan. Penerapan insentif dalam dunia investasi parawisata bahari seharusnya dapat mendorong pengembangan ekowisata di tabah air. Aturan insentif yang selama ini dilakukan tidak dapat menggairahkan iklim investasi karena pada taraf implemnetasi antara kebijakan dan aktualnya dilapangan justru berbeda. Kebijakan sektor parawisata kita di duga tidak dibarengi dengan kajian yang mendalam yang dimulai dari identifikasi issu sampai formulasi kebijakan, hal ini didasarkan pada implementasi kebijakan yang masih rendah. Kami yakin bahwa jika suatu kebijakan yang dihasilkan dari hasil kajian secara akademik akan memberikan hasil yang memadai, dasar yang lain kebijakan di pusat tidak dibarengi dengan terbitnya peraturan daerah yang mempu memberikan status hukum secara tegas pada daerah-daerah konservasi untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata. Kalau kita bayangkan bagaimana jika seandainya setiap tempat atau lokasi kawasan konservasi sekaligus bisa dijadikan sebagai kawasan ekowisata yang didukung dengan implementasi arah kebijakan tadi, maka dapat

64 48 dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi pusat ekowisata dunia yang mempunyai boversity yang sangat tinggi. Kalau kita lihat dari aspek pengelolaan ekowisata bahari yang merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelstarian dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yaitu mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga, maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi akan tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal ini membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar. Dengan asumsi pemerintah dan masyarakat dapat memberikan situasi yang kondunsif bagi wisatawan dan investor untuk masuk dalam sektor parawisata bahari. Pertanyaanya sekarang apakah sudah sesuai dengan proyeksi dengan hasil yang dicapai, kalau tidak ada masalah apa dan dimana kelemahannya, hal ini perlu kajian secara mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kelly (1998) mengutarakan klasifikasi bentuk wisata yang dikembangkan berdasarkan pada bentuk utama atraksi (attractions) atau daya tariknya yang kemudian ditekankan pada pemasarannya. Bentuk wisata tersebut antara lain berupa: ekowisata (ecoturism), wisata alam (nature tourism), wisata pertualangan (adventure tourism), wisata berdasarkan waktu (getaway and stay), dan wisata budaya (cultural tourism). Apalagi kawasan konservasi laut di Indonesia masih sangat besar peluang dikembangkan, luas KKL yang ideal adalah 20 30% luas total kawasan laut yang dimiliki oleh suatu kabupaten/kota, propinsi atau negara. Di Indonesia dikenal 4 macam KKL yaitu Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Marga Satwa Laut dan Suaka Alam Laut.dan pada tahun 2000 terdapat 43 KKL dengan total luas 5,7 juta ha. Sedangkan masih banyak daerah-daerah lain yang membutuhkan kawasan konservasi laut (Marine Protected Area).

65 49 Sektor kepariwisataan menunjukkan perkembangan dan kontribusi ekonomi yang cukup menarik dibandingkan dengan sektor lain disaat Indonesia menghadapi masa krisis yang berkepanjangan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak (rata-rata hari kunjungan 9.18 hari/orang) di tahun 1998 meningkat menjadi orang dengan jumlah hari kunjungan 12,26 hari/orang pada tahun 2000 sebesar 5.75 milyar US$. Hal ini menunjukkan bahwa kepariwisataan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembangunan pariwisata bahari yang optimal dan berkelanjutan dapat tercapai jika memperhatikan empat aspek, yaitu: (1) mempertahankan kelestarian dan keindahan lingkungan, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4) meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya (Gunn, 1994). Pariwisata adalah industri yang sangat penting di dunia. Hal ini terbukti dari jumlah pekerja yang bergerak di sektor ini di seluruh dunia lebih dari 10% dan memiliki 11% dari jumlah GDP dunia. Jumlah ini diprediksikan akan terus meningkat menjadi 1,6 milyar US$ di tahun (WWF International, 2001). Pembangunan pariwisata ke arah pembangunan berkelanjutan adalah hal yang paling penting dalam penanganan sektor pariwisata. Hal ini disebabkan oleh permintaan pariwisata yang terus meningkat seiring dengan peningkatan penduduk, tetapi sebaliknya kondisi alam mengalami penurunan. Agar penanganan pariwisata bisa memenuhi kebutuhan generasi mendatang, maka pengembangan pariwisata diharapkan dapat meningkat secara berkelanjutan. Hardinoto (1996), berpendapat bahwa pengembangan pariwisata bisa mengentaskan kemiskinan daerah. Hal ini dapat terjadi karena pariwisata menyangkut banyak bidang seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan lain sebagainya yang dapat dihasilkan masyarakat di daerah tujuan wisata. Perbaikan pendapatan dapat seiring dengan perbaikan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain Model Keberlanjutan Pengelolaan Wisata Bahari Pulau-Pulau Kecil Pemanfaatan sumberdaya yang ada di pulau-pulau kecil selama ini belum dirasakan optimal, sebab banyak kendala yang harus dihadapi. Kendala tersebut menyangkut jarak, transportasi yang mahal, terbatasnya diversifikasi usaha yang

66 50 berbasis sumberdaya alam, kurangnya skill sumberdaya manusia yang ada, vulnerable terhadap bencana alam ketergantungan pada daratan dan lainnya. Selain menghadapi kendala struktural dan alamiah, pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil juga harus menghadapi tekanan akibat multiple demand dari pertumbuhan penduduk, wisata, industri dan sebagainya. Pertumbuhan multiple demand dari waktu ke waktu menyebabkan kompetisi terhadap sumberdaya yang langka, seperti lahan, air menjadi semakin meningkat (Fauzi dan Anna, 2005). Konsep coastal tourism meliputi hal-hal yang terkait dengan kegiatan wisata, leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairannya (Hall, 2001). Dengan demikian perkembangan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan dan ekosistem di mana di wilayah ini banyak ditemukan pantai berpasir, terumbu karang, pulaupulau kecil hingga cagar budaya sebagai komplemen dari coastal tourism. Selain itu, dalam pengembangannya diperlukan aksesibilitas ke lokasi wisata guna mengoptimalkan potensi sumberdaya wisata dan peluang pasar wisata. Permasalahannya adalah Perkembangan coastal tourism di SEA banyak dilakukan tanpa perencanaan, sekedar untuk memenuhi permintaan turisme. Hal ini ditambah dengan perilaku rente pelaku usaha turisme, respons yang lambat dari pemerintah dan lack of enforcement walaupun peraturan dibuat. Konsekuensi dari perkembangan coastal tourism tanpa perencanaan ini bagi wilayah pesisir cukup banyak, misalnya pemanfaatan lahan pantai (beachfront land utilized), polusi perairan pesisir akibat kurang optimalnya pengolahan limbah, dredging yang menyebabkan rusaknya terumbu karang, dan lainnya. Patong (Thailand), Kuta (Indonesia) dan Batu Ferringi (Malaysia) adalah contoh unplanned development of coastal tourism (Wong, 1998). Gunn (1994), suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai kawasan wisata yang berhasil bila secara optimal dapat mempertemukan empat aspek yakni:1) mempertahankan kelestarian lingkungannya, 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, 3) menjamin kepuasan pengunjung, dan 4) meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Sistem wisata yang dibangun dapat menggunakan kerangka berpikir secara tersistem, dimana ditunjukkan hubungan

67 51 yang saling mendukung (tanda positif) dan saling bertentangan (tanda negatif) antara komponen (aspek) baik lingkungan, sosial dan ekonomi. Model Casagrandi dan Rinaldi menggunakan kerangka berpikir yang mengintegrasikan tiga aspek tersebut yakni lingkungan (environment), sosial (tourism) dan ekonomi (capital). Model ini juga merupakan suatu sistem yang saling terkait baik hubungan yang positif maupun hubungan negatif. Hubungan tersebut digunakan untuk membangun dan menganalisis model wisata yang optimal Pendekatan Sistem Dinamik Konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain atau cara pemahaman sifat dinamis dari suatu sistem yang kompleks. Sistem dinamik menurut system dynamics society adalah metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem sosial lainnya secara keseluruhan (holistik). Paradigma sistem dinamik berangkat dari cara berpikir secara sistemik yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan dalam dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikirnya manusia dalam memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu (know) terhadap realitas yang dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan memilah-milah (analisis) kemudian merangkainya (sintesa), sehingga akan dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh). Metode sistem dinamik berlandaskan pada cara pandang bahwa struktur suatu sistem (bentuk hubungan antar komponen seperti hubungan sirkular, saling bergantung, dan time delayed) adalah penentu dari sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan delay, dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Salah satu kelebihan sistem dinamik adalah kemampuannya menggambarkan tingkah laku sistem menurut waktu. Kata dinamik memiliki arti perubahan atau variasi, dan suatu sistem yang dinamik adalah sistem yang menunjukkan sifat bervariasi menurut waktu (Haaf et al. 2002). Artinya persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan menggunakan metodologi system dynamics adalah masalah yang:

68 52 1) mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu); dan 2) struktur fenomenanya mengandung paling sedikit satu struktur umpanbalik (feedback structure). Dengan demikian dapat diartikan bahwa analisis sistem dinamik adalah suatu studi tentang sistem dan atau entitas dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi atau model. Konsepsi dan model tersebut dapat digunakan sebagai landasan kebijakan, perubahan struktur, taktik dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis sistem dinamik bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem itu sendiri, sehingga didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal. Metode sistem dinamik dapat dipergunakan hampir pada semua bidang, tidak terkecuali untuk menganalisis dinamika pengembangan wilayah pesisir untuk kurun waktu tertentu. Konsep utama dinamika sistem adalah bagaimana semua elemen atau obyek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu dengan yang lainnya melalui lingkaran-lingkaran (loop-loop) feedback, dimana perubahan satu variabel akan mempengaruhi terhadap variabel lainnya dalam kurun waktu perencanaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel aslinya, demikian selanjutnya saling mempengaruhi antar variabel berlanjut sepanjang kurun waktu perencanaan. Tujuan dan metodologi sistem dinamik adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang cara kerja suatu sistem. Permasalahan dalam suatu sistem dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh luar namun dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Fokus utama dari metodologi sistem dinamik adalah pemahaman atas sistem sehingga langkah-langkah pemecahan masalah memberikan umpan balik pada pemahaman sistem Mitigasi Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

69 53 menghadapi bencana. Dalam upaya mitigasi ini maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengacu pada penataan ruang. Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Selanjutnya pada pasal 29 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah demi keberlanjutan ekosistem. Keberlanjutan yang dimaksud adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut diperlukan minimal 30 % dari luas wilayahnya yang tidak boleh dikelola atau dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya. Rahmat (2009) menyatakan bahwa upaya mitigasi fisik secara buatan dikenal dengan pendekatan hard structural ountermeasure, misalnya pembuatan breakwater (pemecah gelombang), seawall (tembok laut), rivetmen, groin, jetty, dan retrofitting (penguatan bangunan rumah). Di Indonesia tidak mudah melakukan pencegahan bencana dengan membangun tembok laut atau breakwater untuk keseluruhan pantai seperti yang dilakukan di Jepang karena biayanya sangat

70 54 mahal. Selain itu tembok laut menimbulkan masalah social karena penduduk yang tinggal di belakang bangunan merasa tidak nyaman, baik dari segi kemudahan akses maupun dari segi sikologis dimana penduduk merasa dipenjara. Upaya mitigasi fisik secara alami dilakukan misalnya dengan menanam cemara laut, waru, laut, dan mangrove. Tetapi upaya perlindungan alami ini sering terkendala dengan permasalahan kesesuaian lahan. Upaya mitigasi non fisik diantaranya dengan pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat, tata ruang, zonasi, tata guna lahan, relokasi, peraturan perundangan, AMDAL, dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management-ICZM). Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

71 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Propinsi Nusa Tenggara Barat, Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa kawasan Gili Indah merupakan kawasan wisata yang telah berkembang dan berpotensi terjadinya degradasi lingkungan. Waktu penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu pada bulan September sampai Desember tahun Gambar 3. Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan yang meliputi data hasil kondisi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan masyarakat. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kajian terhadap laporan-laporan hasil penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah, peraturan daerah, data dari instansi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat.

72 56 Obyek penelitian ini adalah obyek yang terkait dengan kegiatan wisata bahari antara lain kawasan terumbu karang, pantai, kualitas perairan, wisatawan, masyarakat, pengusaha wisata, infrastruktur penunjang, dan instansi terkait dengan pengelolaan TWAL Gili Indah. Jenis data, peralatan dan metode yang digunakan dalam pengumpulan data biofisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan, selengkapnya disajikan pada tabel berikut.. Tabel 2 : Jenis Data Biofisik No. Parameter Stasiun I... XI Baku mutu *) Alat/Metode Keterangan A. Fisika-Kimia 1. ph phmeter In situ 2. Salinitas ( o /oo) Alami Refraktometer In situ 3. Suhu ( o C) Alami Termometer Insitu 4. Kekeruhan (NTU) 5 Turbidimeter Insitu B. Biologi/Non-biologi 1. Tutupan terumbu karang (%) 2. Luasan pantai berpasir (m 2 ) - Meteran/Line Intercept In situ /Data Transect sekunder - Meteran In situ 3. Jenis ikan - - Data Sekunder C. Hidrooseanografi 1. Kecerahan (m) > 6 Secchi disk In situ 2. Pasang surut (m) - - Data Sekunder 3. Kecepatan arus - Layang-Layang Arus, In situ (cm/det) kompas dan Stopwach 4. Kedalaman air (m) - Tali penduga & meteran In situ Keterangan: *) = Baku Mutu Wisata Bahari (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004). Data sosial ekonomi dan sosial budaya diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan dan peralatan visual. Responden dalam penelitian ini meliputi kelompok pengelola wisata bahari, wisatawan asing, wisatawan lokal, masyarakat lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Aparat Desa Gili Indah dan Aparat Dusun Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, Tokoh Masyarakat di tiga gili, instansi yang terkait dengan pengelolaan pariwisata, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTB.

73 57 Tabel 3 : Jenis Data Sosial Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan No. Komponen Data Atribut 1. Karakteristik sosial dan budaya masyarakat Pemanfaatan SDA, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata bahari, persepsi dan perilaku masyarakat terhadap wisatawan, pengetahuan tentang pariwisata, jumlah dan pertumbuhan penduduk, konflik, etnis, dan nilai budaya lokal. Sumber/Metode Pengumpulan Data Sumber: Data primer dan sekunder Metode: Wawancara dan studi literatur 2. Operasional usaha wisata bahari Profil usaha wisata bahari, modal dan biaya operasional, harga produk wisata, permintaan dan penawaran produk wisata, upah & tenaga kerja, promosi, cottage/hotel, manajemen wisata, dermaga, sarana penunjang, dan peralatan wisata, keselamatan. Sumber: Data primer Metode: Wawancara pengamatan dan 3. Kelembagaan Regulasi TWAL Gili Indah, aturan adat/kelompok (awiq-awiq), lembaga ekonomi, regulasi usaha wisata, infrastruktur penunjang, dan penegakan hukum. 4. Profil Wisatawan Karakteristik personal wisatawan, perjalanan turis dan motivasi berkunjung ke wisata TWAL Gili Indah, persepsi dan perilaku wisatawan, penilaian ekonomi terhadap obyek wisata dan biaya yang dikeluarkan, penilaian terhadap pelayanan dan ketersediaan infrastruktur, dan jumlah wisatawan Sumber: Data primer dan sekunder Metode: Wawancara dan studi literatur Sumber: Data primer dan sekunder Metode: Wawancara Pada kegiatan wisata bahari, stakeholder yang terlibat meliputi penduduk lokal termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, sektor swasta dan wisatawan (Orams 1999). Mengingat populasi penduduk lokal dan wisatawan cukup besar dengan karakteristik pada setiap kumpulan beragam, maka penentuan contoh keduanya menggunakan metode stratified random sampling (Cooper and Emory 1996). Kedua kumpulan populasi tersebut selanjutnya dipilih secara purposive sampling dengan dasar pertimbangan bahwa sampel yang diambil dapat mewakali karakteristik yang beragam. Berdasarkan jumlah Kepala keluarga yang berada di Desa Gili Indah sebanyak 990 Kepala Keluarga (KK) maka diambil contoh sebanyak 99 responden yang tersebar berdasarkan kegiatan usaha yang dilakukan. Kemudian untuk tiap Gili, diambil contoh secara proporsional berdasarkan jumlah Kepala Keluarga (KK), sehingga diperoleh 42 responden di Gili Air, 16 responden di Gili

74 58 Meno dan 41 responden di Gili Trawangan. Untuk wisatawan (lokal dan asing) diambil sampel masing 20 responden tiap Gili, sehingga keseluruhan diperoleh contoh sebanyak 60 orang wisatawan. Disamping itu dilakukan pula wawancara mendalam (indepth interview) pada tokoh masyarakat dan aparat Desa/Dusun di Kawasan TWAL Gili Indah yang jumlahnya sebanyak 10 orang. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari instansi terkait dan pernah melakukan penelitian di wilayah penelitian. Pengumpulan data sekunder dimulai dengan penelusuran data citra satelit (digital) Landsat dan peta dasar guna mengidentifikasi parameter kualitas untuk satuan waktu tertentu dan posisi lokasi TWAL Gili Indah. Data citra satelit dalam penelitian ini bersumber dari Biotrof dan Bakosurtanal, sementara jenis data sekunder lainnya diperoleh dari Bappeda NTB, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pariwisata, BKSDA Provinsi NTB, dan instansi terkait lainnya Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan berbagai pendekatan untuk menganalisis aspek-aspek ekologis, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Dalam proses analisa tersebut, maka setiap komponen atau parameter yang terkait pada setiap aspek, akan mempertimbangkan dimensi mitigasi sebagai basis dari penelitian ini. Pertimbangan mitigasi yang dimaksud adalah dengan lebih memperketat setiap parameter dimensi ekologis, ekonomi, sosial dan kelembagaan agar tercipta suatu kondisi yang dapat mengurangi atau mencegah terjadi dampak yang negatif serta meningkatkan dampak positifnya Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik sumberdaya di TWAL Gili Indah. Karakteristik sumberdaya yang dideskripsikan tersebut yakni kondisi geografis dan administrasi, kondisi terumbu karang, ikan dan pantai, karakteristik usaha wisata bahari, perkembangan kunjungan wisatawan, karakteristik sosial budaya dan kelembagaan pendukung kegiatan wisata bahari. Secara spesifik, analisis kelembagaan dalam penelitian ini akan mengkaji peranan institusi (formal dan non formal) yang terkait dengan pengelolaan wisata bahari di TWAL Gili Indah. Tahapan analisis kelembagaan

75 59 wisata bahari dilakukan adalah mengidentifikasi jenis dan jumlah kelembagaan formal maupun non formal serta upaya legislasi lain yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan TWAL Gili Indah. Disamping mengidentifkasi upaya-upaya pemerintah, pengusaha wisata dan lembaga terkait dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya alam di kawasan tersebut Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Kegiatan wisata bahari yang akan dikembangkan dan dikelola hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya serta persyaratan sumberdaya dan lingkungan (ekologis) yang sesuai dengan obyek wisata (Depdagri 2009). Proses penyusunan kesesuaian lingkungan PPK untuk suatu kegiatan pemanfaatan dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktorfaktor penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan menggunakan alat (tools) berupa Sistim Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak Arc View (Wahyudi 2006). Penggunaan metode analisis SIG ditujukan untuk mengoleksi, menyimpan dan memperlihatkan informasi, meningkatkan ketepatan estimasi secara spasial dan temporal serta secara otomatis dapat mengurangi pengumpulan data lapangan (Perez et al. 2003). Nilai yang diperoleh dari analisis SIG berupa lokasi dan luasan yang sesuai dipersyaratkan menjadi bahan bagi analisis daya dukung (Bengen dan Retraubun 2006). Setelah memperoleh luasan kesesuaian secara ekologi, penentuan kesesuaian kegiatan ekowisata bahari juga mempertimbangkan keberadaan nilai budaya masyarakat lokal untuk tujuan konservasi sumberdaya wisata bahari. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi mencakup penyusunan matriks kesesuaian setiap kategori ekowisata bahari yang ada di setiap stasiun pengamatan, pembobotan dan pengharkatan, serta analisis kesesuaian setiap kategori wisata bahari. Penentuan kriteria, pemberian bobot dan skor ditentukan berdasarkan hasil studi empiris. Langkah awal yang dilakukan adalah membangun sebuah matriks kriteria kesesuaian pemanfaatan untuk mempermudah pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring) yang berisi informasi parameter, bobot, kelas

76 60 kesesuaian dan skor. Parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari didasarkan pada dua hal, yakni parameter yang terkait dengan obyek utama wisata bahari dan faktor-faktor lingkungan yang terkait dengan kelestarian obyek wisata, dan kenyamanan berwisata (Davis and Tisdell 1995). Besaran nilai bobot paramater tersebut didasarkan pada pertimbangan : parameter utama kegiatan wisata bahari yang pengaruhnya dominan mempunyai faktor pembobot tertinggi (bobot 5); parameter pendukung yang pengaruhnya relatif sama dengan parameter yang lain mempunyai faktor pembobot yang sama (bobot 3); dan parameter pendukung yang kurang dominan mempunyai faktor pembobot yang terkecil (bobot 1). Terdapat 3 kelas kesesuaian, dimana pemberian skor dari yang tertinggi (skor 5) untuk parameter yang sesuai/sangat sesuai (Kelas S1), skor 3 untuk sesuai bersyarat (Kelas S2), dan terendah (skor 1) untuk kategori tidak sesuai (Kelas S3), dan satu kelas (N) yang sangat tidak sesuai. Selanjutnya menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk ekowisata bahari dimodifikasi dari Index Overlay Model- IOM (Bonham and Carter 1994; Vinh et al. 2008), dengan formulasi sebagai berikut: n IKWB ( B j S j ) j= 1 = N max x100%... (3.1) dimana: IKWB = Indeks Kesesuaian Wisata Bahari kategori ke-i, i = 4 kategori B = bobot parameter ke-j Sj = skor setiap parameter ke-j N max = nilai maksimum bobot dikali skor per kategori wisata bahari Tabel 4. Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Selam No Parameter Bobot Kelas S1 Skor Kelas S2 Skor Kelas S3 Skor Kelas N Skor 1. Kecerahan perairan (%) 5 > < 50 1 < Tutupan kom. 5 >75 3 > <25 0 karang (%) 3. Jenis life form 3 > 12 3 < < Jenis ikan karang 3 > < 50 1 < Kecepatan arus > > > 50 0 (cm/dt) 6. Kedalaman ter > > >30 0 karang (m) Sumber: diadaptasi dari Yulianda, 2007.

77 61 Tabel 5. Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Pantai No Parameter Bobot Kelas Kelas Skor S1 S2 Skor Kelas S3 Skor Kelas N Skor 1. Kedalaman > > > 10 0 perairan (m) 2. Tipe pantai 5 Pasir putih 0 3 Pasir putih, sdkt karang 2 Pasir hitam, berkarang, sdkt terjal 1 Lumpur, berbatu, terjal 3. Lebar pantai (m) 5 > < 10 1 < Material dasar 3 Pasir 3 Karang 2 Pasir 1 Lumpur 0 perairan berpasir berlumpur 5. Kecepatan arus 3 0-0,17 3 0,17-0,34 2 0,34-0,51 1 >0,51 0 (m/dt) 6 Kemiringan 3 < > > 45 0 pantai (0) 7 Kecerahan 1 >10 3 > <2 0 perairan (m) 8. Penutupan lahan pantai 2 Belukar tinggi 0 1 Kelapa, lahan terbuka 9 Biota berbahaya 1 Tidak ada 10 Ketersediaan air tawar (jarak/km) 1 <0.5 (km) 3 Semak, belukar, savana Sumber: diadaptasi dari Yulianda, Bulu babi 2 Bulu babi, ikan pari 3 >0.5-1 (km) 1 Hutan bakau, pemukiman, pelabuhan 1 Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu 2 > >2 0 0 Tabel 6. Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Snorkling No Parameter Bobot Kelas S1 Skor Kelas S2 Skor Kelas S3 Skor Kelas N Skor 1. Kecerahan < < 50 1 < 20 0 perairan (%) 2. Tutupan 5 >75 3 > <25 0 komunitas karang (%) 3. Jenis life form 3 > 12 3 > < Jenis ikan karang 5. Kecepatan arus (cm/dt) 6. Kedalaman terumbu karang (m) 7. Lebar hamparan datar karang (m) Sumber: diadaptasi dari Yulianda, > < 30 1 < > > > > > > > > < 20 0

78 62 Selanjutnya menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk ekowisata bahari dimodifikasi dari Index Overlay Model- IOM (Bonham and Carter 1994; Vinh et al. 2008), dengan formulasi sebagai berikut: n ( B j S j ) IKWB j= 1 = N max x100% dimana: IKWB B S Nmax... (3.1) = Indeks Kesesuaian Wisata Bahari kategori ke-i, i = 4 kategori = bobot parameter ke-j = skor setiap parameter ke-j = nilai maksimum bobot dikali skor per kategori wisata bahari Kelas kesesuaian kawasan PPK dibedakan berdasarkan kisaran nilai indeks kesesuaiannya. Ketentuan untuk masing-masing kegiatan wisata bahari: S1 = Sangat sesuai, dengan nilai % S2 = Sesuai, dengan nilai 60 - < 80 % S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 35 - < 60 % N = Tidak sesuai, dengan nilai < 35 % Tahapan selanjutnya yakni basis data untuk masing-masing parameter kesesuaian kawasan wisata disusun dalam bentuk tema (layer) dalam bentuk digital yang dapat didigitasi on screen menggunakan software Arc View menjadi peta digital. Tahapannya meliputi: (1) registrasi, koordinat peta analog disamakan terlebih dahulu dengan koordinat peta yang akan didigitasi; (2) digitasi, merubah peta analog menjadi peta digital (digitasi on screen); (3) editing, memperbaiki hasil digitasi; (4) anotasi, untuk memasukkan data atribut; (5) tipologi; (6) transparansi untuk mengubah koordinat (derajat) menjadi koordinat meter UTM dan; (7) edgematching untuk mengembangkan peta jika terdiri atas beberapa lembar (Wahyudi 2006). Penggunaan perangkat lunak Er Mapper untuk merubah posisi geometri. Hasilnya berupa terklasifikasi yang dapat digitasi on screen sehingga menghasilkan peta digital yang dipakai sebagai peta tematik atau layer. Peta hasil digitasi dan peta hasil klasifikasi diintegrasikan untuk menghasilkan peta awal atau peta dasar. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan per stasiun digunakan untuk interpolasi data yaitu memasukkan setiap data parameter melalui titik-titik pengamatan menjadi suatu area (polygon) dengan menggunakan metode

79 63 Nearest Neighbour. Data dalam bentuk spasial (peta digital) inilah yang siap dipakai sebagai tematik/layer dalam analisis kesesuaian Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Bahari Daya dukung ekologi pada kegiatan wisata bahari adalah kemampuan alam untuk mentolerir kegiatan wisata yang dapat mempengaruhi keseimbangan sumberdaya dan lingkungan, serta terjaga keasliannya (misalnya kawasan konservasi). Berdasarkan defenisi tersebut, maka analisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalis jumlah maksimum wisatawan yang melakukan kegiatan wisata bahari di dalam suatu kawasan (ekosistem terumbu karang, mangrove dan pantai berpasir), tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan ini diakibatkan oleh kerusakan biofisik ekosistem secara langsung dan secara tidak langsung, misalnya melalui pencemaran (karena limbah). Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan obyek wisata (ekosistem) yang rentan terhadap kerusakan langsung dan pendekatan maksimum beban limbah. Estimasi daya dukung kawasan konservasi untuk kegiatan wisata bahari menurut Bouilon (1985) dalam Libosada Jr (1998) dan Yulianda (2007), dapat diketahui melalui persamaan: LpWt DDK = K (3.2) LtWp Dimana : DDK = Daya dukung kawasan K = Maksimum wisatawan per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu Nilai maksimum wisatawan (K) per satuan unit area (Lt) untuk setiap kategori wisata bahari disajikan pada tabel 7 berikut ini.

80 64 Tabel 7. Potensi Maksimum Wisatawan per Unit Area per Kategori Wisata Jenis Kegiatan K (orang) Unit Area (Lt) Keterangan Selam m2 Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m Snorkling m2 Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m Rekreasi Pantai 1 50 m 1 org setiap 50 m panjang pantai Sumber: WTO, 1992; diadaptasi dari Yulianda, Sementara waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata (selam, snorkeling, dan wisata pantai) yang dilakukan oleh wisatawan dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Waktu yang Dibutuhkan untuk setiap Kegiatan Wisata No Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Total waktu 1 hari Wp-(jam) Wt-(jam) 1.Selam Snorkling Rekreasi Pantai 3 6 Sumber: diadaptasi dari Yulianda, Analisis Daya Dukung Fisik Wisata Bahari World tourism organization (WTO, 1981) dalam Wong (1991) memberikan standar pembangunan resort-resort di kawasan pantai dan pulaupulau kecil guna membatasi jumlah wisatawan pada suatu kawasan. Hal ini ditujukan agar daya tarik sumberdaya di kawasan tersebut secara sosial berkelanjutan (tidak mengganggu kenyamanan masyarakat lokal). Daya dukung fisik di sini menunjukkan besaran kawasan yang dapat dipakai untuk infrastruktur/fasilitas wisata tanpa mengganggu kenyamanan penduduk setempat atau wisatawan lain. Adapun standar kebutuhan ruang fasilitas untuk wisata bahari dapat dilihat pada tabel 9. Berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan Ruang pada pasal 29 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Ruang terbuka hijau dianalogikan dengan areal terumbu karang pada ekosistem laut dan pesisir. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin

81 65 keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika. Tabel 9. Standar Kebutuhan Ruang Fasilitas Pariwisata Bahari No Uraian Satuan Keterangan 1. Kapasitas pantai M 2 /orang Jumlah orang optimum per m pantai 2. Fasilitas pantai Fasilitas kebersihan yang setara dengan 5 buah WC, 2 buah bak mandi dan 4 pancuran air untuk setiap 500 orang 4. Kepadatan penginapan tempat tidur/ha 5. Fasilitas marina Ukuran Kapasitas pelabuhan Lahan perahu/kapal wisata perahu/ha 100 perahu/ha, digunakan untuk parkir, penyimpanan dan perbaikan Sumber: WTO 1981 in Wong Berdasarkan nilai-nilai standar tersebut selanjutnya dihitung kapasitas daya tampung wisatawan (Ks) dengan menggunakan persamaan (Hoyt, 2005): K s = area yang digunakan wisatawan S tan dar Rata rata perindividu.. (3.3) Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan Analisis Ekonomi Sosial Budaya dan Kelembagaan Analisis Ekonomi Daya dukung ekonomi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pendapatan masyarakat yang melakukan kegiatan usaha wisata di kawasan wisata bahari Gili Indah, sehingga diperoleh gambaran umum tingkat ekonomi masyarakat lokal. Formula pendapatan diperoleh dari pendekatan total penerimaan

82 66 (TR) dikurangi dengan total biaya (TC) atau secara matematis dituliskan sebagai berikut : π = TR TC.. (3.4) Total penerimaan (TR) diperoleh dari rata-rata harga satuan (P) dari masingmasing usaha wisata yang dikalikan dengan jumlah usaha (Q) yang ada atau secara matematis dituliskan TR = P x Q, Sedangkan total biaya (TC) diperoleh dari rata-rata biaya yang dikeluarkan dari setiap kelompok usaha tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis daya dukung ekonomi ini didukung oleh analisis pendapatan usaha wisata sehingga akan diperoleh gambaran bagaimana daya dukung ekonomi melalui pendekatan tingkat ekonomi masyarakat dengan adanya kegiatan wisata bahari di kawasan Gili Indah Analisis Sosial Perhitungan daya dukung sosial menggunakan pendekatan Saveriades (2000), dimana bertambahnya waktu dan jumlah manusia maka kebutuhan manusia, interaksi dan kompetisi antar manusia dalam menempati ruang juga semakin meningkat, akibatnya timbul ketidaknyamanan (ketidakpuasan) antara satu manusia dengan yang lain dan menyebabkan ia merasa terganggu (unsustainable). Beberapa parameter yang diperlukan untuk menganalisis daya dukung sosial yakni persepsi masyarakat terhadap pariwisata, perasaan dan reaksi terhadap kedatangan turis, perubahan pola hidup terkait dengan pariwisata, dan persepsi turis maupun masyarakat lokal terkait dengan kenyamanan dalam berinteraksi dan melakukan kegiatan masing-masing. Metode yang digunakan dalam mengkaji daya dukung ini yakni analisis deskriptif, kesepakatan dan situatif (Saveriades 2000). Analisis sosial yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda Analisis Deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini didapat melalui wawancara langsung terhadap responden (baik wisatawan asing maupun nusantara) dan stakeholders yang terkait dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang akan digali dari stakeholders antara lain : bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekowisata bahari Gili Indah, bentuk partisipasi dari

83 67 masyarakat terhadap model pengelolaan minawisata bahari yang akan dikembangkan, identifikasi konflik pemanfaatan, sistem pengelolaan yang diinginkan, serta kemungkinan dampaknya bagi masyarakat Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan yang dilakukan dalam penelitian ini juga menggunakan metoda Analisis Deskriptif. Data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang akan digali dari stakeholders antara lain : bagaimana bentuk kelembagaan baik formal maupun non formal yang diinginkan oleh masyarakat terkait dengan model pengelolaan ekowisata bahari, identifikasi semua aturan-aturan (regulasi) yang terkait yang dapat menunjang model pengelolaan yang akan dibangun, mengkaji peranan berbagai institusi dan kelembagaan yang terkait dengan model pengelolaan yang akan dibangun Optimasi Pengelolaan Wisata Bahari Penentuan tingkat optimal dari pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Gili Indah dianalisis menggunakan pendekatan Sistem Dinamik yang dibangun dengan bantuan perangkat lunak Stella versi Konsep utama sistem dinamik adalah bagaimana semua elemen atau obyek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu dengan yang lainnya melalui lingkaran (loop) feedback, dimana perubahan satu variabel akan mempengaruhi terhadap variabel lainnya dalam kurun waktu perencanaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel aslinya, demikian selanjutnya saling mempengaruhi antar variabel berlanjut sepanjang kurun waktu perencanaan. Untuk membangun sistem pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah dilakukan pengembangan model guna mempresentasikan peubah ekologi, ekonomi, dan sosial, serta interkasi di dalamnya, sehingga ditetapkan menggunakan model simbolik yang menggunakan persamaan matematis. Secara global, model akan menggambarkan interaksi antar komponen yang bersifat timbal balik dan masingmasing komponen mempunyai gugus formula sendiri-sendiri, namun saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu.

84 68

85 69 4. KEADAAN UMUM KAWASAN WISATA GILI INDAH 4.1. Kondisi Fisik Lingkungan Letak Geografis dan Batas Kawasan. Kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan atau disebut juga Gili Indah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal 16 Februari 1993 selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dengan luas sekitar hektar. Penentuan status TWAL tersebut adalah berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi laut yang memiliki keanekaragaman biota laut dan lingkungan yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Berdasarkan pada wewenang pengelolaannya, awalnya kawasan ini berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan berita acara serah terima kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian dari Departemen Kehutanan RI kepada Departemen Kelautan dan Perikanan RI No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan No. BA.108/MEN.KP/III/2009 tertanggal 4 Maret 2009, maka pengelolaan TWAL Gili Indah diserahkan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan. TWAL Gili Indah yang luasnya sekitar hektar meliputi luas daratan 665 ha dan lautan seluas hektar. Luas daratan terdiri dari Gili Air 175 ha dengan keliling pulau sekitar 5 km, Gili Meno sekitar 150 ha dengan keliling pulau sekitar 4 km dan Gili Trawangan sekitar 340 ha dengan keliling pulau sekitar 7,5 km. Secara geografis TWAL Gili Indah terletak pada 8º 20' - 8º 23 LS dan 116º00-116º 08 BT. Secara geografis kawasan Wisata Gili Indah ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan batas-batas sebagai berikut ; sebelah Barat berbatasan dengan Selat Lombok, sebelah Utara dengan Laut Bali, sebelah Timur dengan Tanjung Sire Desa Pemenang Barat, dan sebelah Selatan dengan Teluk Kombal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

86 70 Peta Letak Geografis dan Batas Kawasan Gambar 4 : Peta Letak Geografis dan Batas Kawasan Iklim Iklim di Kawasan Pariwisata Gili Indah sama seperti di daerah Lombok lainnya, menurut Schmid dan Ferguson, didominasi tipe iklim C dan D dengan komponen angin musim sebagai angin paling dominan. Selama musim barat, angin bertiup dari arah barat laut. dengan puncak kecepatannya terjadi pada bulan Januari dan Februari dengan kecepatan 35 Knot. Pada musim timur yang berlangsung antara bulan Juni hingga September, bertiup angin dari arah timur dengan kecepatan maksimum 15 Knot. Selain angin musim, kawasan pariwisata bahari ini juga dipengaruhi oleh angin akibat cyclone di Samudera Hindia yang berkembang di wilayah antara Nusa Tenggara Barat dan Australia. Periode dengan curah hujan di atas 200 mm/bulan umumnya terjadi pada bulan Desember hingga Februari, sedangkan periode kering dengan curah hujan di bawah 10 mm/bulan terjadi sekitar bulan Agustus dan September. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu mencapai 247 mm, sedangkan terendah bulan September mencapai titik nol. Selama musim penghujan, rata-rata bulanan penyinaran matahari umumnya di bawah 60 persen, sebaliknya pada musim kemarau penyinaran matahari di atas 70 persen. Kawasan ini beriklim

87 71 tropis dengan suhu udara berkisar antara o C. Suhu udara maksimum 32 o C terjadi pada bulan November dan suhu udara minimum 20 o C terjadi pada bulan Juni Topografi dan Oseanografi Topografi Gili Air dan Gili Meno adalah datar dengan ketinggian hampir sejajar dengan permukaan laut, sedangkan Gili Trawangan pada bagian tengah ke arah utara datar dan pada bagian tengah ke arah tenggara berbukit dengan ketinggian sekitar 20 meter di atas permukaan laut. Parameter arus dalam kegiatan wisata bahari sangat penting karena pergerakan air laut yang secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan bagi penyelam dan perenang (Wong 1991). Keadaan oseanografi mempunyai pola yang sama dengan kawasan di sekitar ketiga pulau, yaitu mempunyai pantai yang pada umumnya landai, datar dan berpasir putih, dengan kedalaman perairan pantai 1-3 meter pada batas 20 meter. Kedalaman 20 meter terdapat pada jarak 40 meter dari pantai. Kisaran pasang surut mencapai sekitar tiga meter. Arah arus antara bulan Desember sampai dengan bulan April/Mei bergerak dari utara dengan kecepatan rata-rata 0,25 meter/detik, sedangkan antara bulan Juni sampai Nopember bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 0,25 meter/ detik. Gelombang tertinggi rata-rata 1 meter terjadi antara bulan Desember-Januari dengan kecepatan arus dapat mencapai sekitar 0,40 meter per detik (gambar 5 dan 6) Hidrologi Air tanah yang dimanfaatkan di kawasan Tiga Gili Indah ini adalah air tanah yang berupa resapan air hujan. Umumnya air tanah yang berkadar garam rendah berada di tengah pulau. Untuk Gili Trawangan yang daratannya lebih luas, di bagian tengahnya masih memungkinkan untuk memperoleh air tawar dengan kadar garam rendah, sedangkan di Gili Meno dan Gili Air yang luasnya lebih kecil, mempunyai persediaan air dengan kadar garam rendah lebih terbatas. Sampai saat ini kebutuhan air bersih masih merupakan masalah bagi masyarakat di ketiga gili ini. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar, masyarakat dan pengusaha akomodasi memperolehnya dengan membeli dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Menang yang berada di Bangsal, Pulau Lombok.

88 72 Gambar 5 : Peta Kedalaman Perairan Kawasan Gili Indah

89 Gambar 6 : Peta Sebaran Arus Perairan Kawasan Gili Indah 73

90 74 Air bersih tersebut dibawa setiap hari dengan perahu ke sarana pariwisata yang memesannya. Mengingat tingginya harga air tawar di ketiga gili ini, sebagian besar penduduk setempat tidak mampu memenuhi kebutuhannya terhadap air bersih, sehingga mereka pada umumnya memanfaatkan air sumur yang rasanya payau yang tersedia di kawasan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kawasan Gili Indah, pada tahun 2010 telah dibangun jaringan pipa PDAM yang berasal dari daratan sire, namun sampai sekarang belum berfungsi. Hampir seluruh stasiun pengamatan dicirikan oleh nilai parameter salinitas yang hampir sama (tidak memiliki perbedaan yang besar). Sebaran rata-rata salinitas permukaan untuk seluruh stasiun pengamatan secara umum tidak menunjukkan perubahan yang besar, yakni antara o / oo. Berdasarkan nilai pengukuran tersebut menunjukkan bahwa lokasi studi sedikit menerima limpahan air tawar dan limbah dari aktivitas antropogenik disamping karena kondisi pulau yang relative jauh dari mainland sehingga pengaruh air laut sangat dominan (gambar 7). Hasil pengukuran nilai ph selama penelitian menunjukkan kisaran nilai , ini berarti bahwa kondisi perairan di kawasan Gili Indah relatif lebih baik untuk kehidupan tumbuhan dan hewan air. Sebagaimana dikemukakan Effendi (2000), ph yang baik untuk kehidupan di laut berkisar antara dan untuk pertumbuhan biota air yakni antara 6 9 (Gambar 8). Hasil pengamatan terhadap nilai kecerahan di kawasan Gili Indah menunjukkan kisaran nilai antara 8-64% (Gambar 9). Ini menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki kondisi perairan yang relatif jernih, penetrasi cahaya matahari akan relatif lebih besar sehingga dapat meningkatkan produktifitas perairan. Kondisi oseanografi ini disebabkan karena secara geografi pengaruh daratan sangat kecil dan pergerakan massa air relatif lebih besar.

91 75 Gambar 7 : Peta Sebaran Salinitas Perairan Kawasan Gili Indah

92 76 Gambar 8 : Peta Sebaran ph Perairan Kawasan Gili Indah

93 77 Hasil pengamatan terhadap temperatur permukaan air (Gambar 10) menunjukkan kisaran 28, o C (tertinggi terjadi pada musim kemarau). Umumnya, suhu permukaan laut (SPL) pada musim barat lebih tinggi dari musim timur dengan perbedaan suhu sekitar 1 o C. Distribusi vertikal suhu di perairan Gili Indah menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu sekitar 2 o C. Berikut diperlihatkan gambar sebaran kecerahan perairan dan suhu perairan di Gili Indah Pantai Lokasi pantai yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata terdapat di ketiga pulau (Gili Trawangan, Meno, Air) dengan kondisi pantai yang landai dan ada juga yang agak curam, lebar pantainya antara 2 m sampai dengan 10 m dari puncak pasang tertinggi. Adapun panjang pantai untuk Gili Trawangan sekitar 7 km, Gili Meno sekitar 4 Km, dan Gili air sekitar 5 Km, Hampir semua bibir pantai merupakan hamparan pasir putih. Kondisi air laut tenang kecuali pada bulan Oktober sampai Maret (Angin Barat serta angin tenggara). Potensi pantai ini merupakan tempat berjemur para wisatawan dari manca negara (terutama sisi sebelah timur dari masing-masing gili). Disamping itu oleh masayarakat digunakan pula sebagai tempat bersandarnya perahu nelayan dan perahu angkutan penumpang baik yang berasal dari bangsal maupun yang berasal dari Benoa Bali Mangrove dan Tumbuhan Pantai Mangrove merupakan sumberdaya alam dengan manfaat serbaneka dan berpengaruh luas terhadap aspek ekologis dan ekonomis. Peranan penting mangrove secara ekologis maupun ekonomis antara lain penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan, pembesaran, penahan abrasi, penahan amukan taufan/badai, pencegah intrusi air laut, penyedia kayu, daun-daunan, sebagai bahan baku obat-obatan, dan sebagainya. Dari sudut ekologi bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis flora/fauna makro maupun mikro, termasuk manusia yang hidupnya tergantung pada mangrove.

94 78 Gambar 9 : Peta Sebaran Kecerahan Perairan Kawasan Gili Indah

95 Gambar 10 : Peta Sebaran Suhu Perairan Kawasan Gili Indah 79

96 80 Berdasarkan laporan BKSDA NTB (2004) Jenis mangrove yang terdapat di TWAL Gili Indah yaitu Centigi (Pemphis acidula) yang merupakan jenis yang mendominasi, sedangkan jenis-jenis lainnya adalah : Bakau (Bruguiera cylindrica), (Soneratia alba), (Avicenia alba), (Exoecaria agallocha) dan (Lumnitzera racemosa). Jenis mangrove ini tumbuh dengan ketebalan 4 20 meter berbaur dengan tumbuhan bawah seperti Achrostichum aureum dan jenis acanthus ilicifolius. Selanjutnya hasil penelitian Dahuri, dkk. (1998), jenis pohon mangrove yang dijumpai tumbuh di kawasan pariwisata bahari Tiga Gili Indah tergolong dalam 8 famili antara lain Bruguiera cylindrica, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha, Pemphis acidula, dan lainnya. Umumnya tumbuhan mangrove yang ada, tumbuh dalam rumpun yang terpisah-pisah dan berbaur dengan tanaman pantai lainnya. Di Gili Meno, selain jenis Centigi (Pemphis acidula) yang umumnya tumbuh di pantai, ditemukan juga tumbuh mangrove yang didominasi jenis Avicennia alba di sepanjang tepian danau air asin yang terdapat di kawasan pantai sebelah barat. Di Gili Trawangan, selain jenis P. acidula, mangrove ditemukan tumbuh di kawasan pantai sebelah barat, yang merupakan asosiasi jenis Avicennia alba, Bruguiera cylindrica, dan Lumnitzera racemosa yang tumbuh jarang, berbaur dengan tumbuhan pantai. Di Gili Air hanya jenis Centigi saja yang tumbuh di beberapa tempat di tepi pantai. Secara umum kondisi mangrove di Gili Meno khususnya di sekitar danau relatif masih baik. Di Gili Air, tidak ditemukan adanya jenis mangrove lainnya selain jenis Pemphis acidula,.sedangkan di Gili Trawangan tumbuhan mangrove terdapat di bagian barat laut yang letaknya cukup jauh di belakang hamparan karang. Mangrove tumbuh berbaur dengan tumbuhan pantai seperti pandan, waru laut, ketapang, cemara, pandan laut, maupun kelapa. Tumbuhan pantai di Gili Air, Meno dan Trawangan sebagian besar didominasi oleh tanaman kelapa. Jenis tumbuhan pantai lainnya yang dijumpai di wilayah studi antara lain Waru laut, Pandan laut, Ketapang), Cemara dan jenis tumbuhan darat seperti asam, nyamplung, dan jati pasir.

97 Terumbu Karang Terumbu karang memiliki produktivitas dan keaneka-ragaman yang tinggi. Fungsi ekologisnya antara lain sebagai tempat pemijahan ikan (spawning ground), pembesaran (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground). Terumbu karang juga dipandang penting karena produk yang dihasilkan seperti ikan karang, ikan hias, udang, alga, dan bahan-bahan bio-aktif. Ekosistem terumbu karang di kawasan pariwisata bahari Tiga Gili Indah, merupakan obyek wisata utama. Berdasarkan klasifikasi tipe/formasi terumbu karang, formasi yang ditemukan di kawasan tersebut termasuk terumbu karang tepi (fringing-reefs). Lebar rataan terumbu di ketiga pulau, bervariasi antara meter yang terdiri dari rataan terumbu pantai dengan dasar pasir halus sampai kasar yang didominasi oleh pertumbuhan lamun. Rataan terumbu dilanjutkan dengan rataan terumbu tengah dengan dasar pasir kasar dan pecahan karang mati yang ditumbuhi campuran antara rumput laut dan lamun (Gambar 11). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hilman (2009) diketahui bahwa kondisi terumbu karang di ketiga Gili (Gili Terawangan, Gili Meno, dan Gili Air) pada umumnya jelek. Pada kedalaman 10 meter hampir 100 % terumbi karang kondisi jelek. Sedangkan pada kedalaman 3-5 meter kondisi baik ( > 30 %). Terumbu karang di Gili Terawangan didominasi oleh karang foliose jenis Montipora dan branching dari jenis Acropora. Solihin (2008) mengungkapkan bahwa luas potensi terumbu karang yang terdapat di TWAL Gili Indah adalah ± 448,7634 ha, dengan rincian; 192,9621 ha di Gili Trawangan, 118,9508 ha di Gili Meno dan 136,8505 ha di Gili Air. Hilyana (2010) mengungkapkan rata-rata laju pertumbuhan karang pertahun sekitar 3% (0,03) dan laju degradasi karang ratarata pertahun sebesar 2% (0,02). Potensi terumbu karang perairan sekitar gili cukup baik, berupa pasir dan pecahan batu karang. Daerah yang memiliki tutupan karang-karang cukup tinggi adalah Gili Air di bagian Timur Laut, Gili Trawangan di bagian Barat dan di Gili Meno sebelah Utara. Sedangkan ikan hias laut di kawasan tersebut cukup potensial untuk didayagunakan, khususnya bagi wisata bawah air maupun obyek penelitian.

98 82 Gambar 11 : Peta Sebaran Substrat Dasar Perairan Kawasan Gili Indah

99 83 Penelitian Haerul (2001), jenis ikan karang yang ditemukan diantara 12 stasiun pengamatan di kawasan Gili Indah bervariasi dari satu tempat ketempat lain. Jumlah jenis (spesies) yang dijumpai berkisar dari 2-68 jenis dengan kepadatan ekor/300 m 2. Variasi ikan karang sangat berkaitan dengan kondisi terumbu karang yang ada. Potensi ikan karang terbesar terdapat di Gili Trawangan yaitu 68 jenis dengan kepadatan ekor/ 300m 2. Ikan hias dan ikan konsumsi yang di temukan Gili Indah ini cukup banyak. Ikan hias ditemukan sebanyak 123 jenis dalam 30 famili. Ikan-ikan ini menyebar pada lokasi-lokasi di Gili Indah. Ikan hias terbanyak ditemukan di Selatan Tenggara yaitu 63 jenis, kemudian Rinjani Slope sebanyak 69 jenis, dan Nusa Tiga Point sebanyak 58 jenis. Di Soraya Point ditemukan sebanyak 35 jenis, Tutle Point sebanyak 44 jenis, Andi Reef sebanyak 49 jenis. Pada Pedati s Reef ditemukan sebanyak 54 jenis, Air Wall 46 jenis, dan Hans Point sebanyak 53 jenis. Selain jenis ikan, Moluska dan Echinodermata (Binatang Berkulit Duri) Sesuai dengan namanya hewan ini bertubuh lunak, bentuk dan ukuran tubuh beraneka ragam. Moluska banyak dijumpai diberbagai habitat terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Jenis-jenis hewan yang tergolong dalam Phylum Moluska antara lain keong, kerang dan cumi. Moluska yang ditemukan antara lain Kima sisik (Tridacna squamosa), Lambis lambis dan Trochus niloticus. Binatang berkulit duri cukup banyak dijumpai di dasar perairan terumbu karang dan paparan pasir. Jenis-jenis hewan yang tergolong dalam kelompok ini antara lain teripang dan bulu babi. Teripang merupakan komoditi yang dapat didayagunakan sebagai makanan dari laut, demikian juga dengan bulu babi yang umumnya dimanfaatkan atau dimakan gonadnya. Jenis lainnya yang dapat dijumpai di sekitar perairan TWAL Gili Indah adalah Bintang laut biru (Linchia laevigata). Hampir disemua wilayah perairan laut TWAL Gili Indah terdapat penyu dengan jenis jenis penyu yang ada antara lain Penyu Hijau dan Penyu Sisik. Ada sebuah lokasi yang diberi nama Turtle point, dinamakan demikian karena dilokasi tersebut selalu terdapat penyu baik yang sedang mencari makan maupun beristirahat. Turtle point tersebut terdapat di sebelah Utara dari Gili Meno pada kedalaman 3 sampai dengan 40 meter. Populasi penyu yang ada di TWAL Gili

100 84 Indah diperkirakan banyak, dan dulunya ketiga pulau merupakan tempat bertelurnya penyu, namun seiring dengan perkembangan aktivitas masyarakat dan pengunjung/wisatawan, saat ini penyu-penyu jarang dijumpai bertelur lagi di ketiga pulau ini Padang Lamun dan Rumput Laut Lamun (seagrass) sering dijumpai tumbuh di perairan dekat dengan terumbu karang. Sebagai rerumputan di wilayah darat, lamun dapat tumbuh lebat dari tempat dangkal hingga meluas ke arah wilayah perairan yang lebih dalam dan masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari. Tumbuhan laut yang ditemukan di Kawasan Pariwisata Bahari Tiga Gili Indah terdiri dari 50 jenis yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok lamun (seagrass) sebanyak 9 jenis dan kelompok rumput laut ( seaweed ) sebanyak 41 jenis. Jenis lamun paling banyak ditemukan di Gili Air yaitu 9 jenis, sedangkan di Gili Meno dan Trawangan, masing-masing 4 dan 5 jenis. Hamparan lamun di Gili Air cukup luas dan merupakan hamparan yang terpadat diantara ketiga gili yaitu sekitar 27 sampai 43 persen yang didominasi oleh jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata. Berdasarkan hasil penelitian Dahuri, dkk. (1998), luas habitat padang lamun dan rumput laut di kawasan pariwisata bahari Tiga Gili Indah adalah kurang lebih mencapai 265,7452 hektar, dengan 85,0705 hektar terdapat di Gili Trawangan, 53,6056 hektar terdapat di Gili Meno, dan 127, 0691 hektar terdapat di Gili Air. Euchema dan Gracilaria merupakan jenis rumput laut yang bisa dimanfaatkan secara langsung maupun sebagai komoditi ekspor yang mempunyai tingkat kehadiran dan kelimpahan yang cukup tinggi. Saat ini kegiatan budidaya rumput laut sudah cukup banyak dilakukan di ketiga gili, terutama di Gili Meno. Metode yang digunakan adalah patok dasar yang diikatkan pada tali yang terrentang antara patok kayu dan diberi pelampung botol aqua di atas tali sebagai pelampung dan tanda.

101 Panorama Alam Hamparan pantai berpasir putih tersebar di sepanjang pantai Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan dengan kondisi air yang cukup jernih merupakan perpaduan potensi lingkungan yang dapat dikembangkan sebagai objek wisata bahari. Kegiatan wisata pantai umumnya memanfaatkan lingkungan, antara lain ketenangan dan kejernihan air laut, keindahan pasir pantai yang putih dan halus serta panorama lingkungan seperti sunset dan sunrise. Panorama alam lain yang menjadi daya tarik kuat kawasan pariwisata bahari Gili Indah adalah alam bawah laut berupa gugusan terumbu karang, jumlah dan jenis ikan karang dan ikan hias yang beraneka ragam Flora Balai KSDA NTB (2004) melaporkan bahwa tumbuhan yang terdapat di TWAL Gili Indah antara lain jenis : Sawo kecik (Manilkara kauki), Cemara laut (Casuarina sp), Akasia (Acasia auriquliformis), Asam (Tamarindus indica), Waru laut (Altingia Sp), Kesambi (Schleicera oleosa), Kelapa (Cocos nucifera), Ketapang (Terminalia catappa), dan Randu (Ceiba petandra) Fauna Laporan BKSDA NTB (2004) menyebutkan bahwa satwa yang dapat ditemui dalam TWAL Gili Indah antara lain : Dara Laut Benggala (Sterna bengalensis) Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis), Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus), Gajahan timur (Numenius madagascariensis), Gelatik Batu Kelabu (Parus Major), Seriwang asia (terpsiphoene paradisi), Biru Laut ekor Blorok (Limosa lapponica), Kacamata Wallacea (Zosterops wallacei), Cucak Kutilang (pycnonotus aurigaster), Raja udang Biru (Alcedo coerulescens), Kipasan Belang (Rhipidura javanica), Bangau Sandang Lawe (Ciconia episcopus), Kowak Malam Merah (Nycticorax caledonicus), dan Biawak (Varanus sp) Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Adminsitrasi Pemerintahan Secara administrasi pemerintahan, kawasan pariwisata bahari Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan tergabung kedalam satu wilayah desa yaitu Desa Gili

102 86 Indah dan masuk ke dalam wilayah Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Desa ini mulai diresmikan sebagai desa definitif pada bulan Desember 1996, sebelumnya Desa Gili Indah ini termasuk dalam wilayah Desa Pemenang Barat. Dalam administrasi desa, masing-masing Gili merupakan dusun tersendiri sehingga Desa Gili Indah terdiri dari tiga dusun, yaitu Dusun Gili Air, Dusun Gili Meno dan Dusun Gili Trawangan. Kantor Desa Gili Indah terletak di Dusun Gili Air, penempatan kantor desa di dusun ini atas pertimbangan bahwa asal mula keberadaan penduduk dimulai dari Dusun Gili Air ini Tata Guna Lahan Secara umum, pola pemanfaatan lahan di ketiga gili ini hampir sama. Di bagian pinggir pulau paling banyak digunakan untuk penyediaan jasa akomodasi seperti hotel melati, pondok wisata, bungalow, restoran, cafe dan warung. Selain itu, berbagai kegiatan seperti perdagangan berskala kecil, dan penyediaan jasa pariwisata seperti dive shop, travel counter, persewaan sepeda dan persewaan buku juga terpusat di sekitar pinggiran ketiga gili tersebut. Sedangkan di bagian dalam pulau merupakan pusat pemukiman penduduk setempat, selain juga untuk pusat-pusat pelayan penduduk seperti Puskesmas, sekolah dasar, mesjid dan sebagainya. Untuk areal perladangan penduduk seperti perkebunan kelapa, kebun sayur-mayur dan buah-buahan juga terletak di bagian tengah pulau. Luas wilayah daratan di kawasan Gili Indah seluas 678 ha, yang terdiri dari lahan kering seluas 210 ha dan lahan pekarangan seluas 468 ha (Gambar 12). Kondisi tanah di ketiga gili ini tidak terlalu subur. Pohon-pohon yang ada relatif kecil-kecil dan di bagian pedalaman pulau tersebut banyak ditumbuhi oleh alang-alang serta tumbuhan merambat. Di Gili Trawangan terdapat sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 20 meter dari permukaan laut. Kawasan bukit ini secara umum masih merupakan tanah kosong. Sementara itu, di Gili Meno terdapat sebuah danau air asin yang dikelilingi oleh hutan mangrove. Menurut informasi, dahulu air danau ini dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk membuat garam. Di ketiga gili ini masing-masing sudah mempunyai jalan lingkar yang mengelilingi pulau, meskipun sebagian besar masih berupa jalan tanah/pasir biasa.

103 Gambar 12 : Peta Tutupan Lahan di Kawasan Gili Indah 87

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembangunan suatu daerah. Pengembangan pariwisata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses untuk menarik wisatawan dan pengunjung lainnya (McIntosh : 4, 1972). Kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN. proses untuk menarik wisatawan dan pengunjung lainnya (McIntosh : 4, 1972). Kepariwisataan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata dapat diartikan sebagai seluruh kejadian dan hubungan yang timbul dari atraksi para wisatawan, penyalur jasa, pemerintah setempat, dan komunitas setempat

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam, struktur historik, adat budaya, dan sumber daya lain yang terkait dengan wisata.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP ATRAKSI PARIWISATA AIR DI KAWASAN GILI TRAWANGAN TUGAS AKHIR

PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP ATRAKSI PARIWISATA AIR DI KAWASAN GILI TRAWANGAN TUGAS AKHIR PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP ATRAKSI PARIWISATA AIR DI KAWASAN GILI TRAWANGAN TUGAS AKHIR Oleh : ISNURANI ANASTAZIAH L2D 001 437 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia tidak hanya dikaruniai tanah air yang memiliki keindahan alam yang melimpah, tetapi juga keindahan alam yang mempunyai daya tarik sangat mengagumkan.

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil 2.1.1. Konsep Wisata Bahari Salah satu pemanfaatan pulau kecil yang berpotensi dikembangkan adalah pemanfaatan untuk pariwisata. Agar ekosistem pulau-pulau

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi yang ada mempunyai 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Danau Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai

Lebih terperinci

SEKILAS TENTANG MATARAM DAN TAMAN NASIONAL WISATA PERAIRAN (TWP) GILI MATRA LOMBOK, JUNI 2011

SEKILAS TENTANG MATARAM DAN TAMAN NASIONAL WISATA PERAIRAN (TWP) GILI MATRA LOMBOK, JUNI 2011 SEKILAS TENTANG MATARAM DAN TAMAN NASIONAL WISATA PERAIRAN (TWP) GILI MATRA LOMBOK, JUNI 2011 Kota Mataram Kota Mataram merupakan ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat, sekaligus ibukota Pemerintah Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kepariwisataan pada umumnya diarahkan sebagai sektor potensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan daerah, memberdayakan perekonomian

Lebih terperinci

Nations Convention on the Law of the sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa

Nations Convention on the Law of the sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN PULAU BERHALA SERDANG BEDAGAI SEBAGAI KAWASAN ECO MARINE TOURISM (WISATA BAHARI BERWAWASAN LINGKUNGAN) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR Oleh : MUKHAMAD LEO L2D 004 336 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan tersebar dari pulau Sumatera sampai ke ujung timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan BAB I PENDAHULUAN Sejarah perkembangan ekowisata yang tidak lepas dari pemanfaatan kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan definisi ekowisata sebagai perjalanan ke wilayah-wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21 perhatian terhadap pariwisata sudah sangat meluas, hal ini terjadi karena pariwisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara-negara

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut yang saling berinteraksi sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT 100302084 Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000). 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000). 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Gili Indah yang terletak di wilayah perairan laut bagian barat pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu kawasan pesisir di Indonesia yang mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata dalam beberapa dekade terakhir merupakan suatu sektor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Sektor pariwisata diharapkan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi (Data Kemendagri.go.id, 2012). Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah sehingga dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.67/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL PULAU GILI AYER, GILI MENO, DAN GILI TRAWANGAN DI PROVINSI NUSA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beribu pulau dengan area pesisir yang indah, sehingga sangat berpotensi dalam pengembangan pariwisata bahari. Pariwisata

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Bab III. III. III. IV. DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 5 1.3 Tujuan Penelitian... 5 1.4 Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul,

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya berdekatan dengan tempat wisata makam raja-raja Mataram. Menurut cerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:www.google.com, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:www.google.com, 2011. BAB I PENDAHULUAN AQUARIUM BIOTA LAUT I.1. Latar Belakang Hampir 97,5% luas permukaan bumi merupakan lautan,dan sisanya adalah perairan air tawar. Sekitar 2/3 berwujud es di kutub dan 1/3 sisanya berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkiraan jumlah wisatawan internasional (inbound tourism) berdasarkan perkiraan

BAB I PENDAHULUAN. perkiraan jumlah wisatawan internasional (inbound tourism) berdasarkan perkiraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pariwisata sebagai kegiatan perekonomian telah menjadi andalan potensial dan prioritas pengembangan bagi sejumlah negara, terlebih bagi negara berkembang

Lebih terperinci

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Objek Wisata Pulau Pari merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Pulau ini berada di tengah gugusan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA

RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) KUPANG Jl. Yos Sudarso, Jurusan Bolok, Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN I.. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki perhatian cukup tinggi terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan menetapkan kebijakan pengelolaannya harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan perencana

Lebih terperinci