TINJAUAN PUSTAKA. Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut. kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut. kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut Pada akhir-akhir ini daerah gambut telah mendapat perhatian yang cukup besar, baik dari segi perluasan lahan untuk pertanian, pemukiman maupun perkembangan kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belurn terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Asian Wetland Bureau dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ; 1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis pohon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum sampai tegakan campuran, 3) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai perakaran yang khas, dan 5) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam. Ekosistem gambut menopang berbagai kehidupan plasma nutfah penting bagi berbagai keperluan budidaya tanaman pangan, perikanan peternakan dan pengembangan bioteknologi. Pada saat ini daerah garnbut memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat tradisional untuk berbagai keperluan, antara lain menjadi daerah perburuan ikan dan berbagai margasatwa yang memberikan sumber makanan dan sumber kehidupan yang penting bagi masyarakat (Haeruman, 1987). Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15%-20% dan tanah organik

2 yang mengandung bahan organik berkisar antara 20%-25% bahkan kadang-kadang 90% mengandung bahan organik (Buckrnan dan Brady, 1982). Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1993). Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60% bahan organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik yang dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1993). Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam Rusmarkan et al., (1988) dalam Suhardjo (1993) yaitu : 1. Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air tinggi benvarna kuning sarnpai pucat. 2. Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih tinggi mengandung serabut dengan berat jenis antara 0, Kadar air banyak dan berwarna coklat muda sampai coklat tua. 3. Sapic yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi dengan warna hitam dan coklat kelam. Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar

3 tergolong ke dalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975). Risalah Hutan Rawa Gambut Hutan rawa gambut merupakan tipe hutan formasi klimatis (climatic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah bertipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak diantara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1994) hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1-20 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujar, (miskin hara oligotropik) dengan jenis tanah organosol. Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai timur. Di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke selatan dan ke timur sepanjang pantai selatan sampai bagian hilir barito. Disamping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Irian jaya. Tegakan hutan rawa gambut ini selalu hijau dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini adalah

4 Alstonia spp, Eugenea spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma sp, Alstonia sp, Cratoxylon arborescens, Jackia ornata, Payena sp, Gonystylus bancanus, Dactylocladus stenostachys, Tristania maingayi dan Palaquium alternifolium (Soerianegara, 1994). Pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo, 1975). Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu Dactylocladus stenostachys). Nyatoh (Palaquium spp), durian hutan (Durio sp), kempas (Kompassia malaccensis) dan jenis-jenis lain pada umumnya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia spp), pelawan (Tristania spp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophylum spp), mendarah (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyros spp). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis Xilopia malayana, an&-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp, Pandanus spp, Salaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Rawa Gambut 1. Komposisi Penyebaran hutan rawa gambut di Indonesia terdapat di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku (Istomo, 1992).

5 Beberapa daerah di Sumatera misalnya, dapat dijurnpai zone-zone mulai dari pinggir ke arah pusat gambut yaitu : 1. Hutan merapung 2. Hutan pada gambut tipis (ketebalan gambut kurang dari 0.5 meter) 3. Hutan pada gambut tebal, terdiri dari sub zone-zone berikut : Hutan dengan tumbuhan bawah yang lebat, terutama jenis palma (Licuala spinosa, Zalacca sp, serta beberapa jenis rotan) Hutan lebat High forest dengan pohon berbatang kecil bercampur dengan pohonpohon yang pertumbuhannya kerdil. Hutan cebollhutan tianglpadang nunput, didominasi oleh Tristania maingayi, di pusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal Tristania obovata dan Ploiarium alternifolium lebih dominan. Di sini terdapat Nepenthes ampullaria sebagai liana (Istorno, 1992) Kekayaan jenis pohon berdiameter lebih dari 15 cm di dalam hutan rawa gambut yang terdapat di Kalimantan rata-rata 45 jenis per 0.5 ha (MacKinnon et al., 1996), sedangkan jumlah jenis untuk seluruh Indonesia rata-rata 39 jenis per 0.5 ha. 2. Struktur Vegetasi Pengertian struktur vegetasi dapat berlainan tergantung kepada tujuan penggunaan istilah tersebut. Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) menyatakan struktur vegetasi adalah organisme dalam ruang dan individu-individu yang

6 membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen primer seperti bentuk hidup, stratifikasi dan penutupan tajuk. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah yaitu : struktur tegakan vertikal dan horizontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan Husch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horizontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan. Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya pohon-pohon dengan tinggi > 4,5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam gambaran. Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986). Daniel et al. (1987) dalam Ibie (1997) mengemukakan bahwa struktur tegakan menunjukan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan dimiliki oleh tegakan semua urnur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk "J" terbalik. Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (I) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal,

7 (3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun, dan lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto, 1981). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih mengarah ke struktur tegakan horisontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar, frekuensi dan kerapatan pohon. Penyebaran Pohon dan Tempat Tumbuh Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat tiang berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada fase pohon tersebut beradaptasi dengan lingkungannya. Permudaan alam adalah pengadaan tegakan baru dalam peremajaan hutan secara alami, tanpa dilakukan campur tangan manusia. Permudaan alam terdiri dari (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993) : (1) Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0,3 meter sampai 1,5 meter. (2) Permudaan tingkat pancang adalah perrnudaan yang berukuran tinggi lebih dari 1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm. (3) Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter cm.

8 Proses permudaan alam pada hutan yang masih utuh belum banyak diteliti, berbagai jenis pohon masing-masing memerlukan keadaan lingkungan yang berbeda (Manan, 1978). Berbagai masalah pelaksanaan regenerasi alam hutan tropika basah (Richard, 1964) antara lain : (1) Umur rata-rata berbagai jenis pohon dalam berbagai lapisan (strata) hutan sebelum mati secara alami. (2) Struktur dan penyebaran kelas umur jenis pohon yang berkuasa (domhan). (3) Riap pertumbuhan pohon tersebut pada berbagai stadia atau fase mulai dari semai, pancang, tiang, pohon muda dan pohon tua. (4) Kematian alami yang terbesar pada umur tertentu yang disebabkan persaingan tumbuh. (5) Kemungkinan terjadinya perubahan susunan jenis pohon di hutan tropika basah. Pertumbuhan dan perkembangan perrnudaan pada dasarnya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, sesuai dengan karakteristik dan tingkat keberadaan tegakan hutan. Proses permudaan tersebut berlangsung secara alami. Permudaan alam merupakan salah satu aspek ekologi hutan yang cukup besar peranannya terhadap pembentukan struktur tegakan hutan, karena akan menentukan tingkat pertumbuhan dan perkembangan tegakannya sesuai dengan perubahan dimensi ruang dan waktu pada komunitas atau vegetasi hutan yang bersangkutan (Whitmore, 1975). Untuk menjamin tersedianya tegakan dalam jumlah dan kualitas pada hutan alam yang diusahakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia

9 (TPTI). Keberadaan perrnudaan alam merupakan peremajaan hutan secara alami yang sangat penting dalam penyediaan tegakan baru bagi rotasi tebang berikutnya. Permudaan dianggap cukup apabila memenuhi persyaratan (Wyatt dan Smith, 1963) sebagai berikut : (a) Terdapat paling sedikit 40% cadangan permudaan semai jenis komersial atau 400 petak ukur per 0,4 ha. (b) Terdapat paling sedikit 60% cadangan permudaan pancang jenis komersial atau 96 petak ukur per 0,4 ha. (c) Terdapat paling sedikit 75% cadangan perrnudaan tiang jenis komersial atau 30 petak ukur per 0,4 ha. Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu ekosistem akan membentuk sistem msi tertentu (Poole, 1974). Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari ekologi dan merupakan sifat dasar dari suatu oraganisme. Bentuk sebaran organisme mengikuti 3 pola yaitu pola acak (random), berkelompok (agregat) dan teratur (uniform). Pola penyebaran secara acak disebabkan oleh keseragaman faktor lingkungan dan atau pola tingka. laku yang tidak selektif, sedangkan penyebaran tidak acak disebabkan oleh pembatas &&tor-faktor lmgkungan (Ludwig& Reynold, 1988). Dengan demikian tumbuhan mempunyai toleransi yang sangat nyata dengan ha1 tempat tumbuh dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominasinya. Jenis tumbuhan yang dominan merupakan jenis yang telah rnampu menyesuaikan diri

10 terhadap pengaruh faktor lingkungan yang ada pada habitatnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984). Dominasi sesuatu j enis terhadap j enis-j enis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan berdasarkan besaran (Soerianegara, 1994) sebagai berikut : (a) Banyaknya individu dan kerapatan (b) Persen penutup tajuk dan luas bidang dasar (basal area) (c) Volume iomassa (4 B' (e) Index nilai penting (importance value index) Setiap individu tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi lingkungan tertentu, dimana agar dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu pada urnumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam kehadiran dan ha1 kelimpahan. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi di dalam lingkungan yang ditempati. Nilai indeks penting relatif tersebut merupakan suatu pendekatan nilai penguasaan ekologis suatu jenis terhadap lingkungan komunitasnya. Besarnya nilai tersebut dapat berdasarkan satu atau lebih dari nilai- nilai fiekuensi kerapatan, luas bidang dasar batang ataupun luas penutupan tajuknya (Whittaker, 1975). Menurut Ludwig dan Reynold (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran organisme antara lain ; 1) Vectorial factor, 2) Reproductive factor, 3) Social factor, 4) Coactive factor, dan 5) Tochas factor. Dijelaskan bahwa

11 vectorial factor yaitu faktor-faktor lingkungan, reproductive factor seperti regenerasi dan coactive factor misal persaingan adalah merupakan faktor-faktor yang banyak mempengaruhi penyebaran vegetasi. Selain itu Leigh (1982) memperkenalkan teori penyebaran pohon sebagai berikut : > Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang disuatu daerah karena telah melalui persaingan. P Suatu jenis dapat tumbuh karena jenis yang berbeda menempati habitat yang berbeda. > Suatu jenis dapat berkembang karena perbedaan tanggapan setiap jenis terhadap pembukaan tajuk. P Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang karena terjadi perbedaan tanggapan dari faktor-faktor reproduksi pohon terhadap perubahan lingkungan. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984), perbedaan jenis tanah, sifat-sifat serta keadaannya seringkali mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan, menyebabkan terjadinya vegetasi yang berlainan serta mempengaruhi kesuburan dan produktivitas hutan. Sementara itu Loucks et al. (1981) mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi komposisi vegetasi yaitu : 1) status hara dan kadar air tanah, dan 2) dinamika vegetasi. Uraian lebih spesifik mengenai hubungan antara tanah rawa garnbut dengan vegetasinya dikemukakan Driessen dan Rochimah (1976) dan Brooks (1988) yaitu perbedaan jenis gambut (ombrogenous dan topogenous) menyebabkan terjadinya perbedaan vegetasi. Diuraikan juga bahwa perubahan vegetasi berkolerasi dengan

12 sifat-sifat fisik rawa gambut dan merupakan petunjuk penting dalam penilaian tanah rawa gambut. Wyatt-Smith (1963) menggambarkan perbedaan komposisi dan struktw hutan rawa gambut dibandingkan hutan dataran rendah lainnya sebagai berikut : 1. Hanya sedikit pohon besar dan bernilai ekonomi. 2. Jumlah jenis terbatas, terutama dilihat dari sudut pohon yang bernilai ekonomi. 3. Jumlah pohon besarha sedikit 4. Pada umumnya bentuk tajuk hutan rawa gambut lebih rendah, lebih kecil dan lebih seragam 5. Banyak tedapat permudaan pancang dan tiang tetapi lebih sedikit pohon berdiameter besar yang bernilai ekonomi. Model hubungan antara pola penyebaran jenis pohon dan faktor lingkungannya banyak tergantung dari peubah yang diamati. Menwut Loucks et a1, (1981), model hubungan antara dominasi pohon dengan kondisi tanah dan faktor lingkungan berbeda-beda. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara pola penyebaran hutan rawa gambut terhadap perbedaan kondisi tanah rawa gambut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan model regresi. Dominasi dan Struktur Pohon Richards (1964) dan Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dalarn Ibie (1997) memakai istilah dominasi komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik suatu tipe

13 hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk assosiasi dan konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis). Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu komoditas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Struktur vegetasi meliputi tiga aspek (Kersaw, 1964) yaitu struktur vertikal (yaitu stratifikasi kedalam lapisan-lapisan tajuk), struktur horizontal (yaitu distribusi ruang areal populasi dan individu-individu) dan kelimpahan (yaitu kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas). Lebih lanjut Kersaw (1964) mengatakan berdasarkan tingkatannya membagi struktur vegetasi menjadi lima aspek yaitu : fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur tegakan. Kelima tingkatan tersebut tergabung ke dalam satu susunan yang bertingkat, dalam ha1 ini tingkat pertama termasuk ke dalam tingkat kedua, tingkat kedua ke dalam tingkat ketiga dan seterusnya. Jadi kelima konsep struktur vegetasi tersebut hanya menggambarkan perbedaan tingkatan secara mum, dengan tingkat pertama paling umum dan tingkat kelima paling rinci.

14 Studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu metode deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis (Michon, 1993). Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang berbeda-beda seperti adanya pohon semak belukar, rurnput atau tumbuhan lain yang membentuk lapisan. Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi, dibedakan menjadi tiga golongan (Halle, et a1 1978), yaitu : (1) Pohon masa mendatang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemarnpuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan. (2) Pohon masa kini (tree ofpresent ), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominadmenentukan dalam stratifikasi saat ini. (3) Pohon masa lampau (tree of past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati. Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974), tipe asosiasi suatu unit vegetasi tersusun dari sejumlah jenis tertentu dari semua jenis yang dijumpai. Tipe asosiasi biasanya sangat luas dengan kondisi habitat yang beragam dari suatu formasi

15 hutan yang dicirikan oleh kesamaan fisiognomi, struktur ekologi dan komposisi jenis vegetasi. Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama. Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1976) menjelaskan dalam rangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu, Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi (vertikal dan horisontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1966). Kershaw (1964) dalam Muller Dombois dan Ellenberg (1974) membagi komponen struktur vegetasi dalam 3 komponen : 1) struktur vertikal yaitu strtifikasi ke dalam lapisan, 2) struktur horisontal yaitu penyebaran populasi dan individu, dan 3) struktur yang terkuantifikasi yaitu kelimpahan jenis dalam komunitas. Selain itu

16 Smith (1980) membagi struktur komunitas dalam 3 komponen yaitu : 1) struktur fisik yaitu struktur vertikal, horisontal dan ekotone, 2) komposisi jenis dan 3) niche. Interaksi dalam suatu komunitas tercerrnin dari struktur dan komposisi vegetasi. Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang di bawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984). Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Muller Domboisan dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif. Kegunaan mengetahui struktur baik struktur vertikal maupun struktur horisontal oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurur Clutter dan Bennet (1965), struktur tegakan secara horisontal sangat berguna sebagai dasar : 1) penaksiran volume kayu per satuan luas, 2) penentuan jarak tanam, dan 3) penilaian biaya pemungutan hasil hutan, Soerianegara dan Indrawan (1984), menambahkan struktur vegetasi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal (stratifikasi vertikal) sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya yaitu toleransi suatu jenis terhadap cahaya matahari (Smith, 1980).

17 Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi strafifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika ke dalam 5 lapisan sebagi berikut : 1. Lapisan A ; lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi pohon 30 m ke atas. 2. Lapisan B ; secara urnum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara meter. 3. Lapisan C ; tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 4-20 m. 4. Lapisan D ; lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m. 5. Lapisan E ; lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang dari 1 m. Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dan Richards (1983), diagram profil hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal, tetapi diagram profil hanya bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan. Dalarn pembuatan diagram profil, peubah yang diukw adalah tinggi pohon total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Torquebiau, 1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut : 1) unit regenerasi (eco - unit), 2) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan 3) mosaik suksesi (a silvatic-unit).

18 Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan ha1 yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970). Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu : a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air) b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi) d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor di atas. Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random, (2) mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1959 ; Ludwig & Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan yang homogen (Odurn, 1973 ; Ludwig & Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990). Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa

19 terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain di dekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok. Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemarnpuan adaptasi yang sempit (Bartholomew 1958 dalam Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1978) menyatakan bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain, kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya. Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama et al., 1999). Manokaran et al. (1992) dalam Ibie (1997) mengungkapkan berdasarkan penelitian mengenai pola spasial spesies pohon di Hutan Cadangan Pasoh Peninsular Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada tofografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi. Celah KanopiJRumpang Celah kanopi (rurnpang atau gap) merupakan kejadian alam yang umum dijurnpai di hutan hujan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati,

20 patarebahnya batang atau dahan pohon oleh barbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah longsor, gempa bumi, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1986). Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa disamping diakibatkan oleh faktor angin, badai dan kilat, serangan binatang seperti serangga dan jamur dapat menyebabkan kematian pohon besar secara perlahan dan menciptakan adanya celah. SeIain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan pula gundukan atau lubang pada tanah setinggi 1-2 meter akibat terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi perrnudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut (Hartshorn, 1986 ; Whitmore, 1986). Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986 ; Whitmore, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pohon yang ada di bawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pohon sangat berkaitan erat dengan dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat

21 semai. Ketahanan dan keberadaan pohon pada tingkat semai adalah lebih besar pada celah dibandingkan kanopi tertutup (Gray dan Spies, 1996). Permudaan dalam celah adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan komunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamato, 1995). Ukuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan ( Hartshorn, 1986). Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai ukuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu ha1 penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung pernyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pohon dikemukakan oleh Armesto et al., (1986) dalam Yamamato (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti kebakaran, gempa, aliran vulkanik dan badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon turnbang meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.

KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di

KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di KEANEKARAGAMAN JENIS Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di sebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir menuju ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropika Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan. TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan dengan luas sedemikian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons)

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons) TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons) Daun Sang yang merupakan genus tanaman unik, pertama kali ditemukan di pedalaman Sumatera, Indonesia pada awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan.

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan adalah suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial tumbuhan dan satwa adalah salah satu karakteristik yang penting dalam suatu komunitas ekologi. Hal ini merupakan suatu hal yang mendasar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh tumbuhan memanjat yang berperan sangat penting bagi kehidupan. Kerapatan hutan disebabkan oleh adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan bukan hanya sekumpulan individu pohon, tetapi sebagai masyarakat tumbuhan yang kompleks, terdiri atas pepohonan, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, dan hewan.

Lebih terperinci

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. SUKSESI SUKSESI EKOLOGI AUTEKOLOGI SYNEKOLOGI Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. Synekologi adalah ilmu yang mempelajari struktur,

Lebih terperinci

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil.

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil. Pada klasifikasi ini hutan dilihat bagaimana cara terbentuknya, apakah hutan itu berasal dari bijibijian atau dari trubusan (tunas-tunas batang atau akar) atau berasal dari keduanya. Dalam klasifikasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU Diana Sofia 1 dan Riswan 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Staf Pengajar SMAN I Unggulan (Boarding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hutan merupakan suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tumbuhan kecil lainnya seperti lumut, paku-pakuan semak belukar, dan herba. Pohon yang paling dominan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan A B I B PENDAHULUAN Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menjamin tersedianya secara lestari bahan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG),

Lebih terperinci

KEBERADAAN RAMIN (GONYSTYLUS BANCANUS (MIQ.) KURZ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AMBAWANG KECIL KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA

KEBERADAAN RAMIN (GONYSTYLUS BANCANUS (MIQ.) KURZ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AMBAWANG KECIL KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA KEBERADAAN RAMIN (GONYSTYLUS BANCANUS (MIQ.) KURZ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AMBAWANG KECIL KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA Ramin Existence (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) In The Area Of Protected

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff.

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff. 3 TINJAUAN PUSTAKA Tristaniopsis merguensis Griff. 1) Nomenklatur dan Nama lokal. T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812 dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge

TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge 7 TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge Dalam terminologi lansekap ekologi edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan patch ataupun matriks yang berbeda. Thomas et. Al (1979), mendefinisikan edge (daerah

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mengenai Pendugaan Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total berat kering bahan-bahan organik hidup yang terdapat di atas dan juga di bawah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci