BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus (DM) a. Definisi dan Diagnosis DM Tipe 2 Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Pada DM tipe 2 terjadi karena defek progresif pada sekresi insulin sehingga terjadi resistensi insulin (Grant et al, 2015). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa: polyuria, polydipsia, dan penurunan beratbadan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Rudianto et al, 2011). Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, jika gejala klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah. Ketiga, dengan TTGO (tes toleransi glukosa oral) dimana kadar gula plasma 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa oral) 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pemeriksaan HbA1c ( 6,5 %) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis 1

2 2 DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik (Grant et al, 2015; Rudianto et al, 2011). b. Kriteria Pengendalian DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 2.1 (Rudianto et al, 2011) Tabel 2.1. Kriteria pengendalian DM (Rudianto et al, 2011) Parameter Risiko KV (-) Risiko KV (+) IMT (kg/m2) 18,5 - <23 18,5 - <23 Tekanan darah sistolik (mmhg) <130 <130 Tekanan darah diastolik (mmhg) <80 <80 Glukosa darah puasa (mg/dl) <100 <100 Glukosa darah 2 jam PP (mg/dl) <140 <140 HbA1c (%) <7 <7 Kolesterol LDL (mg/dl) <100 <70 Kolesterol HDL (mg/dl) Pria > 40 Wanita > 50 Trigliserid (mg/dl) <150 <150 KV, kardiovaskular; IMT, indeks massa tubuh; PP, post prandial. Pria > 40 Wanita > Fibrilasi Atrium a. Definisi Fibrilasi Atrium Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikel dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga memperburuk fungsi mekanik. Fibrilasi atrium merupakan gangguan irama jantung tersering, yang makin meningkat prevalensinya dengan usia (Fuster et al, 2011).

3 3 b. Faktor Risiko Fibrilasi Atrium Berbagai faktor risiko klinis, parameter elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi,dan penanda biokimia berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Faktor risiko klinis meliputi: peningkatan usia, hipertensi, diabetes, infark miokardium, penyakit jantung katup, obstructive sleep apnea, bedah jantung paru, konsumsi alkohol, peningkatan tekanan nadi, riwayat keluarga, variasi genetik, obesitas, merokok, hipertiroid, gagal jantung, dan latihan fisik. Faktor risiko fibrilasi atrium dilihat dari elektrokardiografi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Faktor risiko fibrilasi atrium dilihat dari ekokardiografi berupa: dilatasi atrium kiri, penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri. Penanda biokimiawi fibrilasi atrium meliputi: BNP (B-type natriuretic peptide) dan CRP (C-reactive protein) (January et al, 2014). 3. Hubungan DM dan Fibrilasi Atrium a. Insiden dan Prognosis Fibrilasi Atrium pada DM DM merupakan salah satu penyakit yang paling sering menyertai pada pasien dengan fibrilasi atrium (Murphy et al, 2007). Berdasarkan survei pada pasien rawat inap, fibrilasi atrium terjadi pada 14,9% pasien DM versus 10,3% pasien hipertensi tanpa DM. DM sudah ditetapkan sebagai faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium selama beberapa dekade. Pada awal tahun 1990an, penelitian Framingham mengindikasikan DM sebagai faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium dengan OR 1,4 untuk lakilaki dan 1,6 untuk wanita setelah diikuti selama 38 tahun (Sun and Hu, 2009). Berbagai penelitian juga menunjukkan DM dengan kontrol glikemik yang jelek berkaitan dengan kejadian fibrilasi atrium onset baru (Dublin et al, 2010; Aksnes et al, 2008; Watanabe et al, 2008). Adanya DM pada pasien hipertensi meningkatkan risiko fibrilasi atrium secara bermakna namun peningkatan ini menjadi tidak bermakna setelah disesuaikan dengan faktor resistensi insulin, sehingga resistensi insulin

4 4 yang mendasari mekanisme peningkatan risiko fibrilasi atrium (Ostgren et al, 2004). Selain itu, terdapat hubungan linear antara insiden fibrilasi atrium dengan kadar HbA1c pada individu dengan dan tanpa diabetes (Goudis et al, 2015; Dublin et al, 2010). Setiap kenaikan sebesar 1% pada kadar HbA1C, risiko fibrilasi atrium meningkat 5% pada individu tanpa DM dan 13% pada individu DM (Huxley et al, 2012). Pada analisis retrospektif pada penelitian VALUE, pasien dengan diabetes onset baru memiliki kejadian fibrilasi onset baru secara signifikan (HR 1,49, 95% CI 1,14-1,94, p=0,0031) dibanding pasien non diabetes (Nakou et al, 2012). Penelitian meta analisis terbaru mengindikasikan DM berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium sebesar 40% jika dibandingkan dengan pasien nun diabetes dan setelah disesuaikan berbagai faktor risiko, risiko relatif fibrilasi atrium pada pasien diabetes adalah 1,24 (Goudis et al, 2015). Tidak diragukan lagi, diabetes dan fibrilasi atrium saling terkait erat, seperti halnya dengan hipertensi, aterosklerosis, dan obesitas (Zhang et al, 2014). Penelitian ADVANCE menunjukkan peningkatan sebesar 61% (p < 0,001) pada semua penyebab mortalitas pada pasien DM dengan fibrilasi atrium dibandingkan dengan yang tanpa fibrilasi atrium yang diikuti selama 4,3 tahun. Selain itu, pasien DM dengan fibrilasi atrium memiliki peningkatan signifikan terhadap kematian kardiovaskular, risiko stroke dan gagal jantung jika dibandingkan dengan pasien DM tanpa fibrilasi atrium (Lin et al, 2013). b. Patofisiologi Fibrilasi Atrium pada DM Patofisiologi DM terhadap kejadian fibrilasi atrium meliputi perubahan bentuk/remodeling sistem otonom, elektrik, elektromekanik, anatomi, stress oksidatif, perubahan bentuk koneksin, dan fluktuasi gula darah (Gambar 2.1) (Goudis et al, 2015). Berbagai bentuk remodeling atrium mencetuskan terjadinya fibrilasi atrium melalui mekanisme dasar aritmia pada gambar 2.2. Baik

5 5 cetusan ektopik cepat dan reentri dapat mencetuskan fibrilasi atrium (Nattel et al, 2008). Cetusan ektopik merupakan mekanisme fokal dari fibrilasi atrium dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu. Reentri merupakan suatu tipe aritmia di mana terjadi eksitasi miokard yang kontinu dan bergerak berputar mengelilingi daerah yang tidak dapat dieksitasi (Yuniadi et al, 2014). Mekanisme reentri memerlukan substrat yang cocok dan pencetus yang bekerja pada substrat untuk inisiasi reentri. Aktivitas ektopik juga dapat menjadi pencetus untuk induksi reentri. Perubahan bentuk/remodeling atrium berpotensi memfasilitasi aktivitas ektopik dan reentri melalui berbagai mekanisme (Nattel et al, 2008). Gambar 2.1. Patofisiologi DM terhadap terjadinya fibrilasi atrium (Goudis et al, 2015)

6 6 Gambar 2.2. Peranan remodeling atrium terhadap mekanisme fibrilasi atrium (Nattel et al, 2008) b.1. Perubahan bentuk sistem otonom Hiperglikemia berperan penting dalam patogenesis neuropati otonom jantung melalui gangguan perfusi darah ke persarafan dan aktivasi metabolisme selular (Goudis et al, 2015). Gangguan fungsi sistem otonom pada pasien diabetes disebabkan oleh pembentukan advanced glycation end products, peningkatan stres oksidatif, peningkatan produksi radikal bebas, aktivasi poliol, aktivasi jalur protein kinase C dan kerusakan neuronal terkait gen akibat hiperglikemia (Lin et al, 2013). Pada model tikus diabetes yang diinjeksi dengann streptozotosin mengindikasikan bahwa stimulasi simpatis meningkatkan insiden fibrilasi atrium pada tikus diabetes namun tidak pada kontrol (p<0,01) (Goudis et al, 2015). Stimulasi simpatis memendekkan periode refrakter efektif secara signifikan pada sel atrium di kedua kelompok hewan coba, namun heterogenitas periode refrakter efektif atrial meningkat pada tikus diabetes saja. Hal ini mengindikasikan stimulasi saraf adrenergik jantung pada individu diabetes dapat menyebabkan fibrilasi atrium. Heterogenitas inervasi simpatis meningkat pada pasien diabetes, yang menunjukkan adanya remodeling otonom dapat

7 7 meningkatkan kepekaan fibrilasi atrium pada kelompok ini (Otake et al, 2009). b.2. Perubahan bentuk anatomi atrium Peningkatan fibrosis atrium dan dilatasi atrium merupakan bentuk utama pada remodeling struktur atrium pada fibrilasi atrium (Saito et al, 2014). Berdasarkan penelitian Liu et al (2012), DM meningkatkan fibrosis terkait protein TGFβ1 pada atrium kelinci diabetes yang diinduksi aloksan. Kaskade TGFβ1 mungkin yang paling berperan dalam proses ini, dimana terjadi ketidakseimbangan antara peningkatan kolagen dan deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan akibat peningkatan ekspresi TGFβ1. Pada pemeriksaan western blotting menunjukkan peningkatan TGFβ1 pada jaringan atrium kiri kelinci diabetes berkorelasi positif dengan fibrosis atrium. Fibrosis dapat memicu aritmogenesis atrium melalui beberapa mekanisme (Gambar 2.3). Pertama, jaringan fibrosis dapat memisahkan serabut-serabut otot atrium secara longitudinal (Gambar 2.3.A), sehingga membentuk hambatan fisik untuk konduksi. Hambatan konduksi tipe ini membentuk gangguan konduksi lokal dan blok yang memicu reentri. Kedua, fibrosis dikaitkan dengan proliferasi fibroblas dan diferensiasinya menjadi fenotif miofibroblas, meningkatkan kecenderungan interaksi fibroblas-kardiomiosit yang erat. Interaksi antara kardiomiosit dan fibroblas via cell-coupling connexin hemichannels menyebabkan fibroblas (dimana tidak bisa dirangsang namun bisa menghantarkan arus) bekerja sebagai penurun tegangan listrik untuk bioelektrik kardiomiosit (Gambar 2.3.B). Hal ini mengakibatkan perlambatan konduksi, depolarisasi potensial istirahat pada kardiomiosit, variasi efek pada durasi potensial aksi, dan induksi spontan depolarisasi fase-4. Depolarisasi spontan menyebabkan ektopik fokal dan perlambatan baik konduksi maupun durasi potensial aksi sehingga memudahkan induksi dan

8 8 berkembangnya reentri. Sebagai tambahan interaksi langsung listrik, fibroblas dapat mempengaruhi bioelektrik kardiomiosit dengan mensekresi substansi aktif secara biologis yang menyebabkan efek parakrin. Interaksi fibroblas-kardiomiosit dalam mencetuskan aritmogenesis tergantung dari jumlah fibroblas, ukurannya, dan (untuk interaksi elektrik) perluasan sambungan elektrik antara kedua tipe sel tersebut (Andrade et al, 2014). Gambar 2.3. Mekanisme fibrosis dalam memicu fibrilasi atrium (Andrade et al, 2014) Disfungsi ventrikel kiri, yang meningkatkan tekanan atrium kiri, merupakan faktor risiko lain terjadinya fibrilasi atrium (Rosenberg and Manning, 2012). Pada penelitian Saito et al (2014) menunjukkan sinyal profibrotik meningkat tidak hanya di atrium kiri namun juga di ventrikel kiri. Fungsi diastolik ventrikel kiri terganggu dan area fibrosis pada ventrikel kiri lebih luas. Disfungsi diastolik ventrikel kiri meningkatkan risiko fibrilasi atrium melalui berbagai mekanisme berikut: (i) peningkatan afterload atrium; (ii) peningkatan regangan atrium; (iii) peningkatan tekanan dinding atrium sehingga mengakibatkan dilatasi atrium.

9 9 b.3. Perubahan bentuk sistem elektrik dan elektromekanik jantung Bentuk utama remodeling elektrik atrium meliputi pemendekan periode refrakter efektif atrium, peningkatan dispersi AERP, dan hilangnya frekuensi adaptasi (Goudis et al, 2015). Penelitian Watanabe et al (2012) menunjukan perbedaan elektrofisiologi atrium pada pasien DM dibanding dengan individu sehat. Pertama, kepekaan terjadinya takikardi atrium meningkat. Kedua, perlambatan konduksi dan heterogenitasnya meningkat. Ketiga, durasi potensial aksi lebih lama dan dispersi spasial yang meningkat. Keempat, terjadi pemendekan durasi potensial aksi jika pacing cycle length diturunkan. Kelima, durasi potensial aksi alternan lebih sering terjadi pada pasien diabetes dibanding individu sehat. b.4. Stres oksidatif Berbagai penelitian juga telah membuktikan produksi ROS (reactive oxygen species) dan stres oksidatif meningkat pada jantung dengan DM. Stres oksidatif juga berperan dalam pemicu dan perkembangan fibrilasi atrium (Goudis et al, 2015). Stres oksidatif dapat berperan penting dalam terjadinya remodeling struktur atrium diabetes melalui aktivasi sistem AGEs/RAGE dengan peningkatan regulasi CTGF (connective tissue growth factor) (Zhang et al, 2014). b.5. Perubahan bentuk connexin Perubahan bentuk pada gap junction tampaknya berperan signifikan pada substrat fibrilasi atrium terkait hiperglikemia (Mitasikova et al, 2009). Diabetes dapat mengubah ekspresi dan distribusi koneksin yang menyebabkan perubahan bentuk struktur atrium dan abnormalitas konduksi pada fibrilasi atrium (Igarashi et al, 2012).

10 10 b.6. Fluktuasi glikemik Telah banyak diteliti bahwa inisiasi fibrilasi atrium pada diabetes cenderung akibat fluktuasi kadar glukosa dibanding kondisi hiperglikemi itu sendiri (Goudis et al, 2015). Menurut Saito et al (2014), fluktuasi glukosa meningkatkan insiden fibrilasi atrium karena memicu fibrosis jantung pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin. Peningkatan kadar ROS yang disebabkan oleh peningkatan ekspresi NADPH oksidase dan thioredoxin-interacting protein (Txnip) dapat menjadi mekanisme yang melatarbelakangi fibrosis akibat fluktuasi glukosa. b.7. Inflamasi Penelitian mengindikasikan inflamasi mungkin berperan dalam pencetusan, berkembangnya dan menetapnya fibrilasi atrium (Sun and Hu, 2009). Patofisiologi inisiasi fibrilasi atrium yang dipicu oleh inflamasi secara langsung atau adanya kondisi inflamasi sistemik yang memicu menetapnya fibrilasi atrium lebih lanjut masih belum jelas. Kedua mekanisme tersebut saling berkaitan dan mengindikasikan bahwa inflamasi tidak hanya respon terhadap proses aritmia yang terjadi namun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aritmia tersebut. Aktivasi atrium cepat telah terbukti memicu akumulasi kalsium dengan miosit atrium sehingga terjadi kelebihan beban kalsium dan pada beberapa kasus menginisiasi apoptosis pada miosit atrium. Kerusakan miokardium atrium dapat memicu respon inflamasi derajat rendah dan menjadi bagian dalam proses remodeling struktur dengan peningkatan persistensi fibrilasi atrium (Engelmann and Svendsen, 2005). Alternatif lainnya, adanya kondisi inflamasi sistemik (DM) akan meningkatkan C-reactive protein/crp sirkulasi sehingga menjadi predisposisi pasien mencetuskan fokus atrium dan berkembang menjadi fibrilasi atrium. CRP dapat memiliki peranan secara langsung

11 11 sebagai mediator inflamasi lokal karena ikatan ligand dan kemampuannya mengaktivasi jalur komplemen klasik. Aktivasi komplemen atrium lokal dan kerusakan jaringan lebih lanjut makin meningkatkan inflamasi sistemik dan lokal. Selain itu, CRP berikatan dengan fosfokolin, mengenali komponen fosfolipid pada sel yang rusak dan patogen asing lainnya yang mendasari terjadinya disfungsi membran dengan mencegah pertukaran ion natrium dengan kalsium pada vesikel sarkolema sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Berbagai mekanisme tersebut dapat melatarbelakangi hubungan antara peningkatan penanda inflamasi dengan terjadinya fibrilasi atrium (Engelmann and Svendsen, 2005). 4. Pemeriksaan Prediktor Fibrilasi Atrium dengan Ekokardiografi Kepekaan terhadap terjadinya fibrilasi atrium berkaitan dengan kondisi atrium dengan sirkuit reentri multipel sehingga menghasilkan perlambatan konduksi intra atrium (Bissinger et al, 2011). Pemeriksaan ekokardiografi menggunakan pencitraan doppler jaringan atrium (interval elektromekanik atrium/pa-tdi) berkorelasi erat dengan waktu konduksi interatrium total. Pada penelitian Weijs et al (2011) menunjukkan pemanjangan PA-TDI (P wave to A wave-tissue Doppler Imaging) merupakan prediktor paling penting pada fibrilasi atrium onset baru. Pemanjangan interval PA-TDI juga berkaitan dengan rekurensi fibrilasi atrium setelah ablasi kateter. Pemeriksaan interval PA-TDI telah terbukti sebagai prediktor fibrilasi atrium setelah operasi atau fibrilasi atrium onset baru pada berbagai penelitian (Tabel 2.2) (Yuasa and Imoto, 2016). Interval PA-TDI didefinisikan sebagai waktu interval dari inisiasi gelombang P pada elektrokardiografi yang terekam pada alat ekokardiografi (lead II) sampai puncak gelombang A pada gambaran dopler jaringan atrium (Gambar 2.4), yang diukur dari 3 kali siklus jantung dan dirata-rata (Yuasa and Imoto, 2016). Selain itu, terdapat berbagai parameter ekokardiografi terkait interval PA-TDI seperti peningkatan dimensi atrium kiri, peningkatan

12 12 diameter aorta, regurgitasi katup aorta, regurgitasi katup mitral dan pemanjangan waktu deselerasi gelombang E berkaitan dengan pemanjangan interval PA-TDI (Weijs et al, 2011). Tabel 2.2. Prediksi kejadian fibrilasi atrium dengan pengukuran interval PA- TDI (Modifikasi Yuasa and Imoto, 2016). Jml pasien Durasi PA-TDI (milidetik) FA (%)/ non-fa FA Non-FA Cut-off (AUC) De Vos et al FA onset baru 15(6)/ ±25 150±20 * 165(0,74) (2009) Antoni et al FA onset baru 38(6)/ ±29 109±16 ᵼ 127(0,84) (2010) setelah IMA Den Uijl et al Kekambuhan 74(35)/ ±20 124±23 ᵼ -(0,765) (2011) setelah ablasi FA Fujiwara et al FA setelah 35(40)/53 156±20 128±15 ᵵ 141(0,85) (2014) operasi jantung Takahashi et FA setelah 41(65)/22 155±19 137±13 147(0,80) al (2014) operasi jantung Takahashi et al (2015) FA setelah operasi jantung 44(60)/29 159±22 141±20 ᵼ 159(0,74) *P=0,001; ᵼ P<0,001; ᵵ P=0,0001; P<0,01; FA, fibrilasi atrium; IMA, infark miokard akut; AUC, area under curve Gambar 2.4. Pengukuran interval PA-TDI (Yuasa and Imoto, 2016)

13 13 B. Beberapa Penelitian yang Relevan Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering terjadi yang berkaitan dengan peningkatan morbiditas, penurunan status fungsional dan kualitas hidup, serta peningkatan mortalitas akibat perubahan hemodinamik, ketidaksinkronan atrioventrikel, disfungsi mekanik atrium dan ventrikel, maupun komplikasi tromboemboli (Andrade et al, 2014). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemanjangan waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Berikut ini beberapa penelitian yang menggunakan waktu konduksi interatrium total. 1. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan insiden fibrilasi atrium a. Henmi et al (2015) menyatakan bahwa waktu konduksi interatrium total merupakan faktor risiko bebas terjadinya fibrilasi atrium onset baru setelah ablasi flutter atrium tanpa riwayat fibrilasi atrium (OR 13,3; 95% CI ; p=0.0255). Pengukuran ini akurat dalam memprediksi fibrilasi atrium (AUC=0.70). Titik potong optimal waktu konduksi interatrium total dalam prediksi fibrilasi atrium adalah 120 milidetik, dengan sensitivitas dan spesifitas b. Fujiwara et al (2014) menyatakan bahwa waktu konduksi interatrium total, yang diukur dengan dopler ekokardiografi (PA-TDI) merupakan prediktor kejadian fibrilasi atrium setelah operasi bedah pintas koroner off-pump dimana pada analisis multivariat menunjukkan durasi PA-TDI (OR 1.11; 95% CI ; p<0.001) dan indeks volume atrium kiri (OR 1.11; 95% CI ; p=0.01). Pengukuran PA-TDI ini lebih dapat dipercaya dibandingkan pengukuran indeks volume atrium kiri dalam mengukur waktu konduksi interatrium total dengan AUC=0.85, sensitivitas 74.3%, spesifitas 86.8%. c. Vos et al (2009) juga menyatakan PA-TDI berhubungan dengan fibrilasi atrium onset baru (OR = 1.375; 95% CI ; p=0.027). Insiden fibrilasi atrium dalam 2 tahun sebesar 33% pada pasien dengan interval

14 14 PA-TDI >190 milidetik versus 0% pada pasien dengan interval PA-TDI < 130 milidetik. 2. Waktu konduksi interatrium total memanjang pada pasien diabetes mellitus a. Kato et al (2006) melakukan pengukuran waktu konduksi interatrium dari apendik atrium kanan sampai kiri dengan pemeriksaan elektrofisiologi dan melaporkan peningkatan waktu konduksi interatrium yang bermakna pada atrium diabetik tikus dibandingkan kontrol (p<0.01 dibanding kontrol). b. Liu et al (2012) melakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan histologi pada kelinci dan didapatkan hasil bahwa waktu konduksi interatrium total memanjang secara bermakna pada kelompok diabetik dibandingkan kontrol (37.91±6.81 versus 27.43±1.63 milidetik, p<0.01) dan dispersi periode refrakter efektif atrium meningkat pada kelompok diabetik dibandingkan kontrol (30.37±8.33 versus 14.70±5.16 mili detik, p<0.01). 3. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan inflamasi pada pasien DM Bakirci et al (2015) menemukan bahwa waktu konduksi interatrium total sebagai prediktor fibrilasi atrium memanjang secara bermakna pada individu DM tipe 2 dibanding individu sehat (131.7 ± 23.6 versus ± 21.3, p<0.001). Waktu konduksi interatrium total berkorelasi positif dengan kadar hscrp (r=0.197, p=0.024), rasio neutrophil limfosit (r=0.311, p<0.001) dan ketebalan tunika intima media karotis (r=0.364, p<0.001). Hal ini mengindikasikan bahwa aterosklerosis subklinis dan inflamasi berhubungan secara bebas dengan waktu konduksi interatrium total. Oleh karena itu, aterosklerosis subklinis dan inflamasi dapat menjadi mekanisme terjadinya pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Pemanjangan waktu konduksi interatrium total dapat merupakan penanda awal keterlibatan jantung subklinis pada pasien DM tipe 2 yang belum terbukti secara klinis memiliki penyakit kardiovaskular.

15 15 C. Kerangka Pikir Keterangan: 1 : mengaktivasi 2 : variabel yang diperiksa IL-6 Ang II AT-1 ROS AGE CRP : Interleukin-6 : Angiotensin II : Angiotensin type 1 : Reactive oxygen species : Advanced glycation end products : C-reactive protein hscrp TGF-β TNF-α : High sensitive C-reactive protein : Tranforming Growth Factor Beta : Tumor necrosis factor alfa

16 16 Keterangan bagan kerangka berpikir Telah diketahui bahwa hiperglikemia mengambil peranan utama dalam patogenesis komplikasi DM. Peningkatan glukosa darah dan sitoplasma mengakibatkan terjadinya stres oksidatif yang akan mengaktivasi beberapa elemen lain yang pada perkembangannya dapat menyebabkan remodeling jantung (Saito et al, 2014; Zhang et al, 2014). Stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia akan mengaktivasi jalur AGE, angiotensin II maupun meningkatkan ROS. Aktivasi AGE akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsional protein pada matrik ekstraseluler berupa deposisi kolagen I dan III. Pada intraseluler, AGE juga dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik (RAGE), yang akan mengaktivasi kaskade proinflamasi TGFβ (Verrotti et al, 2014). Angiotensin II bekerja dengan berikatan reseptornya. Ikatan dengan reseptor angiotensin tipe I akan menginduksi sintesis TGFβ yang menstimulasi aktivitas fibroblas. Ekspresi berlebihan pada TGFβ pada jantung dapat menyebabkan fibrosis selektif pada atrium (Nattel et al, 2008). Fibrosis pada atrium akan mengakibatkan perlambatan waktu konduksi interatrium total secara langsung dengan menjadi penghalang konduksi secara longitudinal pada serabut otot jantung (Andrade et al, 2014). Selain itu, fibrosis mengakibatkan perlambatan waktu konduksi interatrium akibat dilatasi atrium, pemanjangan durasi potensial aksi dan pemendekan periode refrakter (Andrade et al, 2014; Nattel et al, 2008). Fibrosis dapat menjadi substrat timbulnya fibrilasi atrium (Iwasaki et al, 2011) ROS memfasilitasi terjadinya apoptosis dan inflamasi. ROS stimulasi ekspresi TNF-α yang merupakan promotor apoptosis, demikian juga TNF-α juga akan meningkatkan produksi ROS dalam mitokondria, yang akan menciptakan lingkaran setan yang akan menyebabkan produksi ROS dan stress oksidatif makin meningkat (Saito et al, 2014). Apoptosis menginduksi terjadinya remodeling jantung, baik disfungsi otonom jantung dan gangguan fungsi connexin. Disfungsi otonom berupa aktivasi adrenergik jantung dimana terdapat inervasi simpatis heterogen yang dapat mencetuskan fokus ektopik atrium sehingga terjadi fibrilasi

17 17 atrium. Fokus ektopik juga berperan menyebabkan fibrilasi atrium dengan bekerja pada substrat reentri yang sesuai (Goudis et al, 2015; Nattel et al, 2008). Di sisi lain, adanya inflamasi sistemik akan meningkatkan kadar IL-6 yang akan stimulasi produksi CRP di hati (Yap, 2009). Peningkatan kadar CRP yang dapat menjadi predisposisi timbulnya fibrilasi atrium karena dapat menimbulkan fokus ektopik di atrium (Madrid, 2006). D. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hscrp pada pasien DM tipe Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan status kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2.

18 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) dan penyakit kardiovaskular sering tampak sebagai dua sisi koin. DM dianggap ekuivalen dengan penyakit jantung koroner (Maqri and Fava,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian terdiri dari 17 pasien DM tipe 2 dengan HbA1C < 7% (rerata usia 63,12 ± 9,38 tahun; 22,7%

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2016 di Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta. B. Jenis Penelitian

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi insulin,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu kelompok berbagai macam kelainan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. 14 Gejala khasnya adalah poliuri, polifagi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard akut (IMA) dan merupakan salah satu faktor risiko kematian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penyakit kardiovaskular yang meningkat setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju (Adrogue and Madias, 2007). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 adalah suatu kelompok kondisi metabolik yang heterogen dan kompleks ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah akibat kerusakan kerja insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya. Pasien dengan diabetes mellitus risiko menderita penyakit kardiovaskular meningkat menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia dalam dekade terakhir (2000-2011). Penyakit ini menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2). 53 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronik, progresif dengan hiperglikemia sebagai tanda utama karena

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2010 menjadi 7.7 % pada tahun 2030 ( Deshpande et al., 2008 ; Ramachandran et

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2010 menjadi 7.7 % pada tahun 2030 ( Deshpande et al., 2008 ; Ramachandran et BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global pada saat ini. Prevalensi global diabetes pada orang dewasa diperkirakan meningkat dari 6,4 % pada tahun 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokard disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012.

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, banyak penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup yang buruk dan tidak teratur. Salah satunya adalah diabetes melitus. Menurut data WHO tahun 2014, 347 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World health organization ( WHO ) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes mellitus ( DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millenium ketiga ini, termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 : PEMBAHASAN. 1.1 Hubungan Hiperurisemia Dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kecamatan Pauh Kota Padang tahun 2016

BAB 1 : PEMBAHASAN. 1.1 Hubungan Hiperurisemia Dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kecamatan Pauh Kota Padang tahun 2016 BAB 1 : PEMBAHASAN 1.1 Hubungan Hiperurisemia Dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kecamatan Pauh Kota Padang tahun 2016 Berdasarkan tabel 4.3dapat dilihat bahwa terdapat 27 pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK) HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK) DI POLIKLINIK JANTUNG RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokardium akut didefinisikan sebagai kematian jaringan miokardium

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokardium akut didefinisikan sebagai kematian jaringan miokardium BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infark miokardium akut didefinisikan sebagai kematian jaringan miokardium dikarenakan iskemia berkepanjangan yang dapat ditegakkan diagnosisnya dari gejala, abnormalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya populasi kematian usia produktif di banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Menurut ADA (2010) DM merupakan penyakit metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat gangguan pada sekresi

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP 3.1 KERANGKA TEORI klasifikasi : Angina pektoris tak stabil (APTS) Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu akibat terjadinya penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh koroner. Penyumbatan atau penyempitan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30 % kematian diseluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokardium disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) memperkirakan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi pada tahun 2030 jumlah penyandang diabetes mellitus di dunia mencapai 388 juta dan di Indonesia mencapai sekitar 21,3 juta.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat meningkatkan dengan cepat prevalensi komplikasi kronis pada lansia. Hal ini disebabkan kondisi hiperglikemia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular yang terdiri dari penyakit jantung dan stroke merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian terjadi di negara berkembang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang bersamaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak terhadap pergeseran epidemiologi penyakit. Kecenderungan penyakit bergeser dari penyakit dominasi penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat Sindrom metabolik, juga dikenal sebagai sindrom resistensi insulin atau sindrom X, merupakan istilah yang biasa digunakan

Lebih terperinci

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang BAB I 1.1 Latar Belakang Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal dengan aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan. Hal ini mengakibatkan atrium bekerja terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu sindroma klinis berupa sekumpulan gejala khas iskemik miokardia yang berhubungan dengan adanya

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Hiperglikemia menurut definisi berdasarkan kriteria diabetes melitus yang dikeluarkan oleh International Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes (ISPAD) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Masyarakat telah mengetahui bahwa kebiasaan. berolah raga adalah cara yang efektif untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Masyarakat telah mengetahui bahwa kebiasaan. berolah raga adalah cara yang efektif untuk menjaga BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masyarakat telah mengetahui bahwa kebiasaan berolah raga adalah cara yang efektif untuk menjaga kesehatan. Gerak tubuh yang pasif dapat meningkatkan faktor risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya penggunaan glukosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal faringitis turut

BAB I PENDAHULUAN. individu. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal faringitis turut BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral. Stenosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hiperglikemia merupakan manifestasi penyakit diabetes mellitus (DM). Pada saat ini prevalensinya makin meningkat di negara maju. Penyakit ini menempati peringkat empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis akibat kelainan struktural maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). Prevalensi gagal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, diabetes melitus merupakan permasalahan yang harus diperhatikan karena jumlahnya yang terus bertambah. Di Indonesia, jumlah penduduk dengan diabetes melitus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM.

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. 73 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Uji pendahuluan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak etanol daun salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. Agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolisme dari karbohidrat, protein dan lemak yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat tidak terbentuknya insulin oleh sel-β pankreas atau

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini 61 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 44 subyek pasien pasca stroke iskemik dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun

BAB I PENDAHULUAN. akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi

Lebih terperinci

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes merupakan kondisi kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gagal jantung hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia(jessup dan Brozena, 2013). Prevalensi gagal jantung masih cukup tinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan di bidang perekonomian sebagai dampak dari pembangunan menyebabkan perubahan gaya hidup seluruh etnis masyarakat dunia. Perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karena lemak tidak larut dalam air, maka cara pengangkutannya didalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Karena lemak tidak larut dalam air, maka cara pengangkutannya didalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apolipoprotein atau apoprotein dikenal sebagai gugus protein pada lipoprotein. 1 Fungsi apolipoprotein ini adalah mentransport lemak ke dalam darah. Karena lemak tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis gangguan metabolisme yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia), sebagai akibat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia. Diperkirakan 17,5 juta orang meninggal dunia karena penyakit ini. Dan 7,4 juta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi ini terjadi perubahan struktur katup mitral yang menyebabkan gangguan pembukaan, sehingga aliran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gagal jantung merupakan kegawatdarutan pediatrik dimana jantung tidak mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. Gagal jantung merupakan kegawatdarutan pediatrik dimana jantung tidak mampu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Gagal jantung merupakan kegawatdarutan pediatrik dimana jantung tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, yang ditandai dengan disfungsi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan sebagai kondisi dimana muncul gejala-gejala khas iskemik miokard dan kenaikan segmen ST pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat modern cenderung hidup dengan tingkat stres tinggi karena kesibukan dan tuntutan menciptakan kinerja prima agar dapat bersaing di era globalisasi, sehingga

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER ABSTRAK PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2010 Shiela Stefani, 2011 Pembimbing 1 Pembimbing

Lebih terperinci