BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sudut pandang politik, sosial, dan ekonomi, walaupun sering juga dikaitkan

Transkripsi

1 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian berkaitan dengan cara melihat faktor pendorong (determinan) terhadap tingkat korupsi terbagi menjadi 3 jenis tema besar, yaitu dilihat dari sudut pandang politik, sosial, dan ekonomi, walaupun sering juga dikaitkan dengan ilmu antropologi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya. Penelitian ini termasuk ke dalam tema melihat determinan terhadap tingkat korupsi dari sudut pandang ekonomi. Berdasarkan hasil analisis penelitian menggunakan regresi model Tobit dengan sampel 14 daerah perkotaan Indonesia (2004, 2006, 2008, dan 2010). Dapat diambil kesimpulan bahwa faktor ekonomi (variabel independen) yang memiliki kecenderungan dalam memberikan determinasi terhadap peningkatan tingkat korupsi adalah pertumbuhan ekonomi riil (GROWTH), belanja pemerintah (LNGOVEX), dan tingkat pengangguran terbuka (EMPLOY). Sementara faktor ekonomi IPM sebalikya, karena naiknya nilai IPM akan memberikan determinasi terhadap naiknya nilai (IPK). Selanjutnya faktor ekonomi inflasi (INF) dan penerimaan pajak daerah (LNTAX) hasil penelitian secara statistik menunjukkankan kedua variabel tersebut bukan merupakan determinan terhadap tingkat korupsi. Faktor ekonomi pertumbuhan ekonomi riil secara logika dapat ditandai dengan kultur yang terjadi di kota-kota negara berkembang. Bahwa pertumbuhan akan memicu banyak aliran dana masuk (ceteris paribus) sebagai celah 107

2 melakukan korupsi, meningkatnya proyek percepatan pertumbuhan khususnya dalam bidang infrastruktur, dan kemungkinan produk kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan yang direkayasa dalam proses konsep perburuan rente. Kemudian belanja pemerintah tampak seperti realitas yang terjadi saat ini. Anggaran belanja pemerintah banyak dipercayai telah dikorupsi sejak awal perencanaan penganggaran karena ada kesepakatan dan kejahatan berencana oleh oknum birokrat maupun swasta yang terlibat. Sementara celah kesempatan dapat terbuka pada saat terjadi tender, atau saat pelaksanaan suatu program dan kegiatan dengan berbagai manipulasi. Variabel pengangguran terbuka walaupun perlu dibuktikan penelitian lebih lanjut, penelitian sebelumnya menyebut bahwa temuan ini dapat dikaitkan kasus berbagai suap khususnya untuk mendapatkan pekerjaan seperti halnya penerimaan CPNS. Pada sisi yang lain hal ini dapat dikaitkan dengan adanya potensi programprogram yang dapat mendorong penggunaan anggaran besar untuk mengurangi pengangguran namun tidak tepat sasaran. Hal tersebut mungkin saja disebabkan karena dicidrai oleh korupsi pada tingkat birokrat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah satu-satunya faktor ekonomi yang berkecenderungan memberikan determinasi terhadap penurunan (perbaikan) tingkat korupsi. Seiring meningkatnya kualitas manusia di Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya tren nilai IPM membuat masyarakat lebih kritis dan banyak menuntut pemeritah dan swasta agar lebih transparan dalam berbagai sikulus-siklus aliran dana khususnya yang berkaitan dengan kebijakan. Selain itu, cerminan lain juga terlihat dari munculnya berbagai gerakan pengawal pemerintah 108

3 dari berbagai LSM, masyarakat yang berkecimpung sebagai akademisi, serta demokrasi yang terus mengalami perbaikan seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu naiknya IPM juga memicu meningkatnya aplikasi teknologi dalam menanggulangi korupsi seperti adanya program e-budgeting dan aplikasi teknologi yang berkaitan dengan transparansi pemerintah terhadap masyarakat. Selanjutnya berkaitan dengan variabel inflasi. Rasanya terlalu prematur bila menganggap inflasi akan langsung memicu naik atau turunya tingkat korupsi. Walaupun variabel ini merupakan salah satu indikator makro dalam RAPBN maupun RAPBD yang memicu adanya peningkatan anggaran dengan asumsi inflasi dalam satu tahun (berpotensi terjadi mark up). Sulit dibayangkan dengan fluktuasi inflasi yang terjadi setiap bulan akan diikuti naik dan turunnya tingkat korupsi di daerah perkotaan. Oleh karena itu, cukup rasional bila variabel ini bukan merupakan determinan terhadap tingkat korupsi. Pajak yang juga bukan merupakan determinan terhadap korupsi juga cukup logis. Sebab mungkin saja variabel ini kurang spesifik ataupun secara fenomenogis lebih tepat bila dikaitkan dengan penerimaan pajak pada tingkat pusat yang jumlah uangnya besar. Alternatif lain penggunan metode penelitian dengan metode kualitatif yang mendalam mungkin bisa saja mampu lebih menguak fenomena pajak dan korupsi yang terjadi di Indonesia. 5.2 Implikasi Berdasarkan pemaparan kesimpulan dalam penelitian ini, dirumusakan implikasi kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah kedepannya khususnya dalam 109

4 mencegah dan mengurangi tingkat korupsi yang terjadi. Tentu harapannya dapat diterapkan bukan hanya di kota saja namun juga kabupaten. 1. Pemanfaatan teknologi seperti e-budgeting, e-procurement, pengaduan online, dan mungkin aplikasi lain yang mungkin mendukung pencegahan dan pengurangan korupsi harus dapat dilakukan serentak di seluruh daerah (kota dan kabupaten). 2. Informasi pengukuran tingkat korupsi selama ini masih hanya berfokus di daerah perkotaan. Ada baiknya kabupaten-kabupaten besar dan strategis seharusnya juga dilakukan survei mengenai seberapa besar tingkat korupsinya, dan dilakukan secara rutin kedepannya. Tentu peranannya bukan hanya sekedar mengukur kinerja atau transparansi daerah saja, melainkan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian emperis semacam ini. 3. Hasil penelitian menunjukkan 3 variabel faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah daerah, dan pengangguran) merupakan determinan dalam meningkatkan korupsi. Jika dikaitan ketiganya semua berhubungan dengan anggaran pemerintah, baik untuk memacu pertumbuhan, impelementasi belanja pemerintah, dan juga mengurangi pengangguran. Untuk itu perlu dirumuskan dengan matang yang diikuti dengan kontrol tinggi oleh masyarakat agar mampu meminimalisasi potensi korupsi yang terjadi 4. Selama ini KPK dianggap sebagai lembaga sementara (ad hoc) yang hanya berpusat di Jakarta dengan sumber daya yang terbilamg terbatas. Jika harus memantau/memberantas korupsi pada tingkat daerah, provinsi, dan pusat tentu sangat kualahan. Namun karena adanya KPK hingga saat ini masih sangat 110

5 dibutuhkan oleh masyarakat, kedepannya wacana KPK ada di cabang-cabang daerah perlu diiplementasikan agar membantu memberikan kinerja yang lebih maksimal dalam pemberantasan korupsi. 5.3 Keterbatasan Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan keterbatasan, diantaranya sebagai berikut. 1. Analisis dengan model regresi Tobit hanya menggambarkan tingkat kecenderungan atau probabilitas pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen, dengan asumsi data yang tersensor. 2. Penelitian ini terbilang cukup berani, karena selama ini belum banyak yang menggunakan model regresi tobit, dengan data sampel observasi yang terbatas (14 kota). Kemudian penelitian ini juga masih menggunakan periode waktu 2 tahunan sebanyak 4 periode (2004, 2006, 2008, dan 2010) yang menjadi keterbatasan data dalam penelitian ini. 3. Variabel-variabel ekonomi tentunya masih banyak alternatif yang dapat digunakan. Namun dalam penelitian ini hanya memilih 6 variabel dengan 4 variabel dianggap memiliki determinasi terhadap tingkat korupsi (pertumbuhan ekonomi, IPM, belanja pemerintah, dan pengangguran) serta 2 (dua) diantaranya tidak memiliki determinasi (inflasi dan penerimaan pajak daerah). 4. Karena penelitian ini termasuk berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Maksudnya penelitian ini menggunakan sampel perkotaan, sementara penelitian sebelumnya menggunakan data negara di Dunia. Dalam beberapa analisis mungkin banyak perdebatan dan perlu diskusi lebih lanjut. 111

6 5.4 Saran Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut. 1. Sangat diperlukan komitmen, perencanaan, sinergitas, dan kerjasama antara berbagai elemen masyarakat dan pemerintah terkait dalam menanggulangi dan memberantas korupsi seperti; KPK, kepolisian, jaksa, LSM, akademisi, masyarakat, dan lainnya untuk mendukung Indonesia yang transparan, jujur, dan adil. 2. Diperlukan survei lanjutan berkaitan dengan data tingkat korupsi yang seharusnya tidak hanya di kota saja namun juga di tingkat kabupaten (menambah jumlah daerah survei). Apalagi selama ini survei hanya terjadi 5 kali dan dilakukan bukan oleh pemerintah melainkan TII (terjadi pada 2004, 2006, 2008, 2010, dan 2015). Sebab akan membawa manfaat sebagai bentuk melihat gambaran korupsi di daerah, keperluan penelitian, dan bahan perumusan kebijakan. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan analisis determinan faktor ekonomi terhadap tingkat korupsi di daerah perkotaan dengan metode dan pendekatan penelitian yang lain. 4. Penggunaan variabel ekonomi untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan misalnya dengan menggunakan variabel-variabel seperti: PDRB per kapita, investasi dalam negeri, hutang pemerintah, dan lain sebagainya. 112