ANALISIS PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG NAZORI DJAZULI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG NAZORI DJAZULI"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG NAZORI DJAZULI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Surimi dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2009 Nazori Djazuli NRP C

3 ABSTRACT NAZORI DJAZULI. Study on the Development of Surimi Processing Industry through Utilization of Shrimp Trawl By-Catch. Supervised by MITA WAHYUNI, DANIEL R. MONINTJA and ARI PURBAYANTO. Fishing business of shrimp trawl in Arafura Sea produces by-catch with average ratios of 1 : 12 between main target catch and by-catch. The main constraints of by-catch utilization is the scattered fishing vessels operated in Arafura Sea with limited space of fish hold which prioritized mainly for shrimp, the lower economic value as well as unavailability of suitable processing technology lead to discarding of the majority of by-catch into the sea. The objectives of this research are to analyze the availability of raw material for developing processing surimi industy; modification of surimi processing technology from mixture of fish species by cut-off surimi production method followed by assessment quality of surimi; to analyze the feasibility of surimi industry; to develop business concept of surimi industry using shrimp trawl by-catch; and to analyze policy of development surimi processing industry in West Papua Province. The research was carried out using survey and laboratory analysis methods. Survey was done in Pulau Moro-Riau on Januari 2007, Pekalongan Central Java on February 2007 and Sorong West Papua on March 2007, while laboratory experiment was done in BBPMHP Muara Baru, Jakarta in April and May The result showed that the availability of by-catch was 318 ton/day or about 399,000 ton/year of which 34.25% or 136,685 ton/year fish species were suitable as raw material for surimi or equivalent to 43,739 ton surimi per year. Result of analysis cut-off technology showed that frozen minced fish could be stored for 5 weeks at temperature -18 o C on the vessels which constantly produced good surimi (folding test of A, teeth-cutting test of 7, and gel strength of > 500 g/cm 2 ). Analysis of business feasibility towards A Enterprise which applied semi modern surimi industry in Pulau Moro- Riau and B Enterprise which applied modern surimi industry in Pekalongan Central Java showed that surimi industry was visible to develop with positive Net Present Value (NPV), of Rp ,- and Rp ,-. Internal Rate of Return (IRR) Value of 49.28% and 56.11% which was higher than Bank Interest. Payback Period (PP) was 25 months and 22 months. Profitability Index (PI) was higher than 1 of which 2.43 and Net Benefit Cost (B/C) Ratio was 1.89 and 1.58 for PT. A and PT. B, respectively. It is concluded that the development of processing surimi industry is feasible to develop in Papua Barat province with available raw material of 128,000 ton/year. Development of surimi processing industry in Sorong West Papua will give positive NPV of Rp ,- and Rp ,-, PI value of 2.06 and 2.08, IRR value of 41.74% and 42.15%, Payback Period (PP) of 29 months, B/C Ratio of 1.94 an 1.45 for semi modern and modern industry respectively. Key word : by catch, low economic fish, minced fish, surimi, quality of surimi, business feasibility.

4 RINGKASAN NAZORI DJAZULI. Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang. Dibawah bimbingan MITA WAHYUNI, DANIEL R. MONINTJA dan ARI PURBAYANTO. Usaha penangkapan udang di Laut Arafura menghasilkan hasil tangkapan sampingan/hts (by-catch) dengan rata-rata rasio 1 : 12 antara tangkapan udang dan HTS. Permasalahan utama dalam pemanfaatan HTS diantaranya adalah: 1) wilayah operasi kapal pukat udang umumnya tersebar di wilayah perairan Arafura, 2) kapal pukat udang mempunyai target spesies tangkapan udang dengan volume palka kapal yang terbatas, 3) rendahnya nilai ekonomis, 4) belum ditemukannya teknologi pengolahan yang tepat, serta 5) kendala pengelolaan HTS berakibat HTS yang terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan dibuang ke laut. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengembangan industri surimi dalam pemanfataan by-catch pukat udang di Provinsi Papua. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Mengkaji ketersediaan bahan baku di kawasan Laut Arafura dalam pengembangan industri surimi, (2) Mengkaji tentang teknologi terputus pengolahan surimi dengan menggunakan campuran jenis ikan by-catch pukat udang yang dominan serta analisis mutu surimi yang dihasilkan, (3) Menganalisis kelayakan usaha pengolahan industri surimi di Pekalongan Jawa Tengah dan Pulau Moro Riau, (4) Menyusun konsep pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch pukat udang, (5) Menganalisis kebijakan pengembangan industri surimi di Sorong Papua Barat. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan eksperimen laboratorium. Survei dilakukan di 3 lokasi, yaitu: Pulau Moro-Riau pada bulan Januari 2007, Pekalongan-Jawa Tengah pada bulan Februari 2007 dan Sorong-Papua Barat pada bulan Maret Eksperimen laboratorium dilakukan di Balai Besar Pengendalian dan Pengolahan Hasil Perikanan (BBP2HP) Muara Baru-Jakarta pada bulan April dan Mei Hasil analisis terhadap ketersediaan bahan baku terlihat bahwa tersedia HTS sebanyak sebanyak ton/tahun. Dalam pemanfaatannya, hasil tangkap sampingan tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 kategori kelaikan pemanfaatan berdasarkan jenis ikan, yaitu jenis ikan ekonomis penting seperti kakap merah, kerapu, bawal, kembung, layur dan tenggiri secara ekonomis dimanfaatkan dalam bentuk utuh atau fillet beku yang jumlahnya diperkirakan mencapai 10,96%; jenis ikan non ekonomis yang tidak laik untuk surimi seperti ikan peperek, cucut, lemuru, bulu ayam dan lain-lain sejumlah 54,79% dan untuk dijadikan ikan asin dan tepung ikan. jenis ikan yang laik untuk dimanfaatkan sebagai surimi, antara lain ikan beloso, gulama, biji nangka dan kurisi berjumlah 34,25% sehingga akan tersedia bahan baku surimi rata-rata sebesar ton per tahun atau setara dengan surimi ton per tahun (rendemen 32%). Berdasarkan data hasil penelitian terlihat bahwa masing-masing jenis ikan demersal non ekonomis hasil tangkap sampingan pukat udang yang digunakan dalam penelitian ini memiliki sifat fisik surimi yang sangat baik dan memiliki nilai gel strength yang bervariasi. Ikan pisang-pisang memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 615,72 g/cm 2 sedangkan nilai tertinggi dimiliki ikan swanggi dan lencam dengan nilai sebesar 1163,51 g/cm 2 dan 1118,45 g/cm 2. Perbedaan nilai gel strength pada berbagai jenis ikan disebabkan oleh perbedaan ikatan silang pada MHC (Myosin Heavy Chain) masing-masing ikan. Nilai uji lipat dan uji gigit berbanding lurus dengan gel strength pada masing-masing jenis ikan. Nilai uji lipat masing-masing ikan rata-rata AA dan hanya 3 jenis ikan yang memiliki nilai A yaitu ikan kurisi, biji nangka dan pisang-pisang. Setelah dilakukan pencampuran dengan 2 perlakuan

5 yang berbeda yaitu perlakuan I merupakan campuran beberapa jenis ikan demersal HTS dengan rasio perbandingan ikan adalah 1 : 1, sedangkan komposisi perlakuan II berdasarkan pada persentase jumlah tangkapan, terlihat bahwa surimi ikan campuran tetap menghasilkan mutu yang sangat bagus, hal ini terlihat dari gel strength yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan. Perlakuan I memiliki nilai sebesar 775,32 g/cm 2 sedangkan perlakuan II memiliki nilai lebih tinggi yaitu sebesar 918,70 g/cm 2 dan berdasarkan pengujian secara subyektif, nilai uji lipat masing-masing AA. Dari hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan surimi hasil campuran 1 : 1 dengan kualitas AA maka kapal harus mencapai daratan maksimal 2 minggu setelah minced disimpan beku sedangkan apabila mencapai daratan pada minggu ke-3 dan ke-4 akan dihasilkan surimi dengan mutu A sedangkan dengan pencampuran berdasarkan presentase hasil tangkapan hingga minggu ke 5 tetap memiliki kualitas AA. Penempatan meatbone separator di kapal sangat diperlukan untuk memisahkan antara daging dan kulit serta tulang ikan hingga dihasilkan lumatan daging, selain itu diperlukan juga kapal pengangkut untuk membawa minced fish beku ke darat untuk selanjutnya diolah menjadi surimi, mengingat keterbatasan palka dan lamanya hari operasi penangkapan. Berdasarkan analisis kelayakan finansial, usaha pengolahan surimi sangat layak dikembangkan baik untuk skala usaha semi moderen seperti halnya PT. A di Pulau Moro Riau dan PT. B untuk skala moderen di Pekalongan Jawa Tengah. Hasil analisis kelayakan finansial menunjukkan Net Present Value (NPV) untuk PT. A sebesar Rp ,- sedangkan PT. B sebesar Rp ,-. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 49,28% dan 56,11%. Payback Periode (PP) memerlukan waktu 25 dan 22 bulan. Profitability Index (PI) sebesar 2,43 dan 2,78. Net Benefit Cost (B/C) Ratio sebesar 1,89 dan 1,58. Industri pengolahan surimi sangat layak dikembangkan di Sorong - Papua Barat, sumber bahan baku yang tersedia dari hasil tangkapan sampingan (by-catch) pukat udang diperkirakan mencapai 318 ton/hari dengan harga yang berkisar Rp per kg. Hasil analisis kelayakan finansial terhadap pengembangan industri pengolahan surimi di Sorong, baik dalam skala semi moderen maupun moderen menunjukkan bahwa nilai NPV positif, untuk skala industri semi moderen sebesar Rp dan Rp untuk skala moderen. IRR sebesar 41,74 % dan 42,15 %. Payback Period (PP) memerlukan waktu selama 29 bulan. Profitability Index (PI) sebesar 2,06 dan 2,08. Net Benefit Cost (B/C) Ratio sebesar 1,94 dan 1,45. Adapun alternatif strategi yang dihasilkan adalah diversifikasi surimi (SO), peningkatan infrastuktur dan ketrampilan SDM (WO), clean technology (ST) dan pemberdayaan masyarakat dan efisiensi serta efektivitas usaha (WT). Urutan prioritas strategi/kebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan infrastruktur dan keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot 0,128. Berdasarkan analisis terhadap prioritas strategi atau kebijakan yang akan direkomendasikan dalam pengembangan industri, urutan prioritas strategi/kebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan infrastruktur dan keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot 0,128.

6 Diversifikasi surimi sebagai strategi utama yang diprioritaskan dalam mengembangkan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang di Provinsi Papua Barat, mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa ikan by-catch pukat udang tersebut perlu diolah agar tidak lagi dibuang ke laut dengan percuma tetapi dapat dijadikan suatu produk yang lebih bermanfaat. Inftrastruktur yang masih kurang dalam mendukung pencapaian diversifikasi surimi maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal dengan tujuan agar dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Provinsi Papua Barat dan berdampak pada efisiensi dan efektivitas usaha yakni meminimalkan biaya tenaga kerja. Efisiensi dan efektivitas usaha sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi mengingat bahwa surimi merupakan komoditas ekspor. Strategi sebagai prioritas terakhir adalah clean technology karena dalam pengolahan surimi, tidak semua bagian ikan akan dimanfaatkan namun hanya dimanfaatkan (diambil) pada bagian daging, sehingga akan menyisakan bagian tulang, duri dan kulit ikan. Oleh karena itu, melalui clean technology, ikan-ikan tidak utuh (hancur) dan bagian tulang ikan yang tidak dapat diolah menjadi surimi dapat diolah lebih lanjut, salah satunya yakni dijadikan bahan baku pembuatan tepung ikan. Dukungan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan HTS di Laut Arafura perlu diatur dalam regulasi yang lebih spesifik, sehingga HTS pukat udang yang terbuang dapat segera dimanfaatkan. Pemanfaatan HTS pukat udang harus melibatkan semua unsur pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, industri penangkapan, industri pengolahan, transportasi serta pemasaran, sehingga diperlukan regulasi pemerintah untuk mendukung pemanfaatan HTS. Regulasi yang spesifik mengatur setidaknya setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang diikuti kebijakan atau aturan pelaksanaan di bawahnya. Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pemanfaatan HTS harus ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang secara lebih spesifik mengatur dan menjadi pedoman pelaksanaan dalam pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura. Ruang lingkup regulasi harus mencakup pengaturan semua aspek yang terkait pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura, yang meliputi: (1) Penanganan dan pengelolaan HTS di atas kapal, (2) Transportasi ke pangkalan pendaratan, (3) Wilayah pengembangan industri pengolahan, (4) Pengembangan sarana, prasarana dan infrastruktur pendukung industri pengolahan, pengangkutan dan transportasi/pemasaran serta (5) Fasilitas pajak dan kemudahan investasi. Kata Kunci : hasil tangkapan samping/hts, ikan ekonomis rendah, minced fish, surimi, mutu surimi, kelayakan usaha

7 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 ANALISIS PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG NAZORI DJAZULI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

9 LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi : Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang Nama Mahasiswa : Nazori Djazuli Nomor Pokok : C Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Mita Wahyuni, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Anggota Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 21 Desember 2009 Tanggal Lulus :

10 Penguji luar komisi Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir.H.R.M. Aman Wirakartakusumah, M.Sc 2. Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si Penguji luar komisi Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Martani Huseini 2. Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto

11 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat serta hidayah Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian program pendidikan Strata 3 dengan judul Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Sesuai dengan judulnya, disertasi ini diharapkan dapat memberikan salah satu alternatif bagi kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan industri surimi di Propinsi Papua Barat sehingga hasil tangkapan samping/ by-catch pukat udang dapat dimanfaatkan dengan optimal. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir. Mita Wahyuni, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada istri Rachmatia dan anak-anak tercinta (Yoga dan Sari), atas dukungan dan doa. Kepada seluruh staf Direktorat Standardisasi dan Akreditasi Direktorat Jenderal P2HP dan Bagian Program Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap khususnya Yeni, Sukma dan Saiful, atas segala bantuan dan kerjasamanya penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu baik langsung atau tidak langsung. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna dan masih harus ditindak lanjuti dengan penelitian-penelitian lanjutan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat baik bagi insan akademis, para pengambil kebijakan dan investor industri pengolahan serta bagi mereka yang membacanya. Bogor, Desember 2009 Nazori Djazuli i

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 13 Agustus 1956 dari pasangan RM. Djanim dan Siti Zubaidah. Pendidikan dari Akademi Usaha Perikanan (Sekolah Tinggi Perikanan) dan melanjutkan Strata 1 pada Fakultas Perikanan di Universitas Pattimura. Strata 2 ditempuh di University of The Philiphines, Philipine. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor (S3) pada Program Studi Teknlogi KelautanProgram Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan IPB. Pengalaman kerja penulis yaitu : Kepala Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, tahun ; Kepala Sub Direktorat Pengendalian Mutu pada Direktorat Mutu dan Pengolahan Hasil, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun ; Kepala Bagian Program pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun ; Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Usaha pada Direktorat Pengembangan Usaha Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun ; Direktur Standardisasi dan Akreditasi, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2007 sampai sekarang. Selama bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, pernah mendapatkan Piagam Penghargaan Satya Lencana Wirakarya tahun 1998 dan Satya Lencana Karyasatya Dua Puluh Tahun tahun 2007 dari Presiden Republik Indonesia. Karya berkaitan dengan disertasi, diantaranya telah diterbitkan dalam Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia dengan judul Analisis Finansial Pengolahan Surimi dengan Skala modern dan Semi modern, Volume XI Nomor 1 Tahun 2009 dan Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi dalam Pemanfaatan By-catch Pukat udang di Laut Arafura, Volume XII Nomor 2 Tahun ii

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN ix DAFTAR ISTILAH.... x 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Perumusan Masalah Kerangka Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Surimi Pengertian surimi dan penggunaannya Sifat-sifat surimi Bahan utama surimi Industri Pengolahan Surimi Penanganan bahan baku Sortasi Pemfilletan Pemisahan daging ikan Pembilasan (leaching) Pengepresan Penyaringan Pencampuran bahan tambahan Pengepakan dan pembekuan Rendemen surimi Sumber Bahan Baku Hasil Tangkap Sampingan ( By-catch ) Alat Tangkap Pukat Udang Pengelolaan By-catch Pemasaran Surimi Teori Sistem Sistem Penunjang Keputusan Proses Hirarki Analitik Analisis Kelayakan Finansial Konsep Strategi METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Responden Pengumpulan Data Analisis Data. 56 iii

14 4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI 4.1 Pendahuluan Metode Penelitian Pengumpulan data Analisis data Hasil Penelitian Hasil tangkapan utama Hasil tangkap sampingan Pembahasan ANALISIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI 5.1 Pendahuluan Metode Penelitian Pengumpulan data Analisis data Hasil Penelitian Pembahasan ANALISIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Metode Penelitian Pengumpulan data Analisis data Hasil Penelitian Pembahasan ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7.1 Pendahuluan Metode Penelitian Pengumpulan data Analisis data Hasil Penelitian Indentifikasi komponen SWOT Penentuan alternatif strategi Pembahasan Analisis prioritas faktor Analisis prioritas subfaktor Analisis dan rekomendasi prioritas strategi/kebijakan PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa jenis ikan Kelompok ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua Jenis dan jumlah ikan dari hasil tangkapan pukat ikan/hauling 31 4 Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura Hasil penangkapan udang dan HTS (kg) di Laut Arafura oleh kapal trawl yang berbasis di Sorong Volume impor surimi beberapa negara tahun (Ton) Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty Data rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun Perbandingan rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun Produksi ikan dan jumlah armada di Papua Barat periode tahun Spesifikasi kapal dan alat tangkap pukat udang dari perusahaan penangkapan yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat Jenis dan persentase by-cacth serta alternatif pemanfaatan Komposisi rasio perbandingan ikan Nilai mutu uji lipat Nilai mutu uji gigit Rendemen surimi beberapa jenis HTS Data hasil pengujian parameter uji fisik surimi bahan baku Komposisi proksimat bahan baku beberapa jenis ikan HTS 76 v

16 19 Komposisi proksimat surimi selama penyimpanan beku Sifat fisik dan kimia surimi dari bahan baku minced ikan campuran selama penyimpanan beku Net present value (NPV) pada PT. A dan B Selama 10 Tahun Internal rate of return (IRR) pada PT. A dan B selama 10 Tahun Kriteria kelayakan finansial industri surimi di Sorong, Papua Barat Nilai indeks acak matriks berordo 1 15 dengan contoh vi

17 DAFTAR ISTILAH ABK AHP AKFE API Armada ASEAN Ashi BBP2HP DBU BED BEP Biaya Tetap Biaya Variabel By-catch B/C ratio CCRF Cybernetic DSS EDP Effectiveness ES Fish Jelly Fishing ground Fragile Fully exploited Gelstrength GST Anak buah kapal Analytical Hierarchy Process (hirarki proses analisis) Alfa Kurnia Fish Enterprise Alat pereduksi ikan Kelompok kapal perikanan dalam satu kesatuan system operasi penangkapan Association of South East Asian Nation Gejala terbentuknya gel yang terjadi setelah melewati zona suhu suwari dan modori Balai Besar Pengujian dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan Dwi Bina Utama By-catch Excluder Device, yaitu alat yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan yang masuk ke dalam kantong Break Even Point, suatu keadaan dimana dalam suatu operasi, perusahaan tidak mendapatkan untung maupun rugi (impas) Biaya yang dalam periode tertentu jumlahnya tetap dan tidak tergantung pada jumlah produksi Biaya produksi yang jumlahnya berubah sesuai dengan jumlah produksi yang dihasilkan Hasil tangkap sampingan Ratio benefit dan cost, angka perbandingan antara present value total bersih dari hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih Code of Conduct for Responsible Fisheries berorientasi pada tujuan Decision support system Electronic data processing prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan Expert system Produk olahan yang menggunakan bahan baku surimi Daerah penangkapan ikan Kondisi dimana gel tidak elastis Kondisi sumber daya perikanan dimana produksi tahun terakhir mendekati atau sekitar nilai hasil tangkapan maksimum lestari Kekuatan gel General System Theory, yaitu sistem yang didefinisikan sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan vii

18 Holistic Fishingbase HTS IMPD Interface IRR JBT Kapal carrier KM Leaching tank Meatbone separator Minced fish MIS Modori MSY MT NOOA NPV Otter board Over exploited PP PI PLG PTM Refiner Rotary sieve cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem Pangkalan pendaratan Hasil tangkap sampingan Irian Marine Product Development Interaksi antar subsistem yang terjadi karena luaran dari subsistem dapat menjadi salah satu masukan bagi subsistem yang lain Internal rate of return, suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi kegiatan Jumlah tangkapan yang diperbolehkankapan maksimum lestari Kapal pengangkut/pembawa Kapal Motor Tanki tempat pencucian minced fish untuk membuang protein larut dalam air, darah dan kotoran lainnya Alat pemisah daging ikan dari tulang dan duri Hancuran daging ikan Management information system Gejala degradasi gel yang terjadi pada suhu kurang dari o C, dimana gel menjadi tidak elastis lagi Maximum sustainable yield (hasil tangkapan maksimum lestari) Motor Tempel National Oceanic and Atmospheric Administration (United State of America) Net present value, perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan) dengan nilai sekarang biaya Alat untuk membuka mulut jaring yang dilengkapi dengan pelampung pada bagian atas mulut jaring Kondisi sumber daya perikanan dimana produksi tahun terakhir sudah melebih hasil tang Payback Period, jumlah periode (tahun) yang diperlukan untuk mengembalikan (menutup) ongkos investasi awal dengan tingkat pengembalian tertentu Profitability Index, perbandingan antara nilai sekarang dari kas masuk dengankas keluar Protein larut garam Perahu Tanpa Motor Alat yang digunakan menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang masih terdapat dalam minced fish Alat yang digunakan untuk mengurangi kadar air minced fish pada proses pengolahan surimi yang berbentuk silider berlubang yang berputar viii

19 RSW Screw press Refrigerated sea water Alat pengepres minced fish yang terdiri dari screw yang berputar dan screen yang berbentuk silinder Silent cutter SPK Stakeholder Suwari System approach SWOT TED Tekstur analyzer USA Water soluble component WHC WIFI WPP ZEEI Alat yang digunakan untuk mencampur adonan dengan bahan-bahan tambahan Sistem penunjang keputusan Pihak-pihak yang terkait dengan pengambilan keputusan Gejala terbentuknya gel yang terjadi pada suhu kurang dari 50 o C, dimana sol perlahan berubah menjadi gel yang elastis pendekatan sistem Suatu bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriftif (memberikan gambaran) Turtle Excluder Device, yaitu alat pereduksi ikan yang dipasang pada pukat udang yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl Alat untuk mengukur kekuatan gel United State of America Zat/bahan yang larut dalam air Water holding capacity (daya ikat air) West Irian Fishing Industries Wilayah Pengelolaan Perikanan Zona ekonomi ekslusif Indonesia x

20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi semi moderen yang ada saat ini Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi moderen yang ada saat ini Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi semi moderen di Sorong Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi moderen di Sorong Analisis prioritas komponen kekuatan terhadap strategi Analisis prioritas komponen kelemahan terhadap strategi Analisis prioritas komponen ancaman terhadap strategi Analisis prioritas komponen peluang terhadap strategi x

21 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari pulau dengan garis pantai sepanjang km. Sekitar tiga per empat dari wilayah Indonesia adalah perairan dengan potensi sumberdaya ikan yang melimpah, baik dari sisi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari (MSY, maximum sustainable yield) sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta to per tahun. Potensi sumber daya ikan tersebut, apabila dikelompokkan berdasarkan jenis ikan terdiri dari pelagis besar 1,05 juta ton, pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, udang 0,08 juta ton, cumi-cumi 0,03 juta ton, dan ikan karang 0,08 juta ton (DJPT 2004). Produksi perikanan laut, saat ini hampir mendekati titik jenuh. Dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) sebesar 80 % dari potensi lestari (5,01 juta ton), maka dengan produksi perikanan laut sebesar 4,4 juta ton, perikanan laut telah di eksplotasi sebesar 70,29 % (DKP 2007). Perairan Indonesia bagian timur merupakan wilayah yang memiliki potensi perikanan yang sangat besar, terutama dalam jumlah dan jenis. Perairan tersebut diantaranya meliputi perairan Papua Barat yang merupakan wilayah penangkapan udang yang diusahakan secara komersial untuk kepentingan ekspor dengan menggunakan alat tangkap pukat udang. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 85 tahun 1982, mengijinkan pengoperasian alat tangkap pukat udang yang dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan atau BED (by-catch excluder device) dan hanya diperkenankan beroperasi di wilayah timur Indonesia, dalam hal ini di Laut Arafura dan sekitarnya. Luas Laut Arafura sekitar km 2 merupakan wilayah perairan potensial penangkapan udang dengan luas intensif daerah penangkapan sekitar km2. Perairan ini memiliki kedalaman berkisar antara 5-60 m atau ratarata 30 m dengan hasil tangkapan utama udang yang lebih dari 17 spesies udang penaid dan lebih dari 30 jenis ikan hasil tangkap sampingan (HTS) yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan tangkapan utamanya (Sadhotomo et 1

22 al. 2003). Di Laut Arafura terdapat 502 armada pukat udang yang melakukan penangkapan dengan alat tangkap pukat udang dan diperkirakan HTS yang hasil tangkapan yang melimpah ini umumnya dibuang ke laut karena tidak tertampung di dalam palka dan hanya sebagian kecil dari jenis ikan-ikan ekonomis yang dimanfaatkan oleh awak kapal. Potensi ikan hasil tangkap sampingan di Laut Arafura dari armada penangkapan udang yang memiliki izin operasi diperkirakan sebesar ton per tahun (Purbayanto et al. 2004). Sentra perikanan di sekitar Laut Arafura meliputi Merauke, Mimika, Kaimana dan Sorong namun pengelolaan industri perikanan pukat udang di wilayah ini didominasi oleh 4 perusahaan besar yang berpangkalan di Sorong (Papua Barat), yaitu PT. Alfa Kurnia Fish Enterprise (AKFE), PT. Dwi Bina Utama (DBU), PT. Irian Marine Product Development (IMPD) dan PT. West Irian Fishing Industries (WIFI). Hasil tangkap sampingan (by-catch) adalah ikan yang ikut tertangkap dalam suatu operasi penangkapan namun bukan merupakan target utama dari operasi tersebut. Pada usaha penangkapan pukat udang, hasil tangkap sampingan yaitu berbagai jenis ikan demersal yang pada umumnya kurang memiliki nilai ekonomis penting sehingga seringkali tidak dibawa ke pelabuhan untuk didaratkan. Menurut Pauly dan Neal (1985), masalah utama penangkapan udang secara komersial di Asia Tenggara adalah banyaknya ikan demersal yang tertangkap. Sebagian besar ikan-ikan demersal tersebut tidak termanfaatkan dengan baik karena secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga sebagian besar dibuang kembali ke laut. Letelay dan Malawat (1995) menyatakan HTS yang dibuang kembali ke laut dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun dan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen. Menurut Widodo (1998) jumlah ikan HTS bervariasi antara 8 13 kali hasil tangkapan udang dan 65 persen dari HTS dibuang ke laut dan sisanya dimanfaatkan untuk konsumsi segar dan dikeringkan (ikan asin). Mangunsong dan Djazuli (2001) menyatakan bahwa jumlah ikan HTS dapat mencapai ton setiap tahun. Kecenderungan hasil tangkap sampingan belum termanfaatkan antara lain disebabkan adanya kebijakan dari setiap manajemen industri penangkapan pukat udang bahwa yang menjadi target dari suatu operasi penangkapan adalah udang sehingga penanganannya harus diutamakan sedangkan ikan hasil tangkap 2

23 sampingan khususnya jenis non ekonomis sebagian besar dibuang kembali ke laut karena tidak tersedia waktu dan tenaga untuk menanganinya. Selain itu, biaya pengangkutan yang mahal dan tidak sebanding dengan nilai ekonomis yang dihasilkan, serta kurangnya industri pengolahan yang menampung dan memanfaatkan ikan HTS yang dekat dengan daerah penangkapan. Kendala lain yang dihadapi dalam rangka pemanfaatan HTS adalah HTS yang dihasilkan terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan yang kurang memiliki nilai ekonomis sehingga diperlukan industri pengolahan dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan HTS, diperlukan adanya suatu upaya/alternatif solusi yang ditujukan untuk mengurangi kendala yang ada, seperti pengurangan volume dan berat hasil tangkapan yang disimpan dalam palka, pemanfaatan kapal angkut ikan (kapal carrier), dilakukan penelitian mengenai teknologi pengolahan HTS ikan serta mencari langkah dalam upaya efisiensi produksi agar hasil olahan HTS ikan memiliki daya saing untuk skala ekspor. Hasil yang diharapkan adalah produk hasil olahan HTS ikan yang dapat diterima oleh konsumen dan memberikan nilai tambah secara ekonomis. Ketersediaan bahan baku HTS yang selama ini belum termanfaatkan, mendorong perlu dikembangkannya teknologi pengolahan surimi dengan teknologi terputus sebagai upaya memberikan solusi terhadap beberapa kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan HTS. Hingga saat ini, sebagian kecil ikan HTS ekonomis yang didaratkan dipasarkan untuk konsumsi lokal atau diekspor dalam bentuk utuh beku, sedangkan untuk ikan non ekonomis diolah menjadi bahan baku tepung ikan. Hal ini antara lain karena belum adanya kesiapan industri pengolahan di darat untuk pemanfaatan HTS non ekonomis dengan jenis dan ukuran yang sangat beragam tersebut, baik dalam hal teknologi maupun jenis olahan yang sesuai sehingga dapat memberikan nilai tambah terhadap bahan baku (Latelay dan Malawat 1995). Berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) FAO/WHO, bahwa setiap negara harus memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya ikan dan produksi ikan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan kebijakan/strategi pembangunan perikanan dalam bidang pasca panen 3

24 dan teknologi pengolahan melalui peningkatan mutu dan pengembangan produk bernilai tambah yang mencakup beberapa hal sebagai berikut : (1) Mengurangi penyusutan (losses) yang sekaligus meningkatkan nilai dan pemanfaatannya; (2) Mengoptimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan (ikan non ekonomis, hasil tangkap sampingan dan hasil samping proses industri) melalui pengembangan produk bernilai tambah. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan ikan-ikan hasil tangkapan di Indonesia dan sekaligus sesuai dengan yang diamanatkan CCRF-FAO, maka salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan surimi dan produk lanjutannya. Menurut Okada (1992), surimi adalah suatu lumatan daging ikan yang telah mengalami proses leaching, penambahan bahan anti dehidrasi dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai elastisitas (kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku produk fish jelly dengan daya simpan yang panjang. Produk surimi sangat tepat untuk pemanfaatan produksi perikanan, dikarenakan keterkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: (1) Jenis ikan di wilayah tropis terdiri dari berbagai jenis (spesies), namun untuk setiap jenis mempunyai populasi sedikit. (2) Hampir semua jenis dan ukuran ikan dapat dibuat surimi atau minced. (3) Surimi dapat disimpan dalam jangka panjang sebagai bahan baku produk fish jelly. (4) Surimi dan minced dapat diolah lebih lanjut dalam berbagai bentuk sesuai keinginan. (5) Surimi, dan produk fish jelly dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan, bagi pengolah, gizi bagi masyarakat dan devisa bagi negara. Negara Thailand, Malaysia dan Singapura, memiliki industri surimi yang berkembang dengan pesat melalui pemanfaatan ikan non ekonomis (Gapindo 2000), sedangkan di Indonesia hanya terdapat 5 (lima) industri surimi dengan kapasitas produksi 3 5 ton per hari, dan 90 persen dari produksi adalah untuk diekspor (Budiyanto dan Djazuli 2003). Pekalongan Jawa Tengah dan Pulau Moro Riau merupakan dua wilayah di Indonesia yang terdapat usaha pengolahan surimi dengan skala usaha 4

25 yang berbeda yang dapat dijadikan sampel dalam menganalisis kelayakan usaha. Pengolahan surimi di Pekalongan digolongkan dalam usaha moderen sedangkan pengolahan surimi di Pulau Moro digolongkan dalam semi moderen yang dapat dijadikan acuan guna mendapatkan gambaran besarnya investasi dan biaya yang harus dikeluarkan dalam membangun usaha pengolahan surimi. Berdasarkan hasil analisis tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan bagi analisis kelayakan usaha pengolahan surimi di Sorong, Papua Barat dalam memanfaatkan ikan hasil tangkap sampingan dari area penangkapan Laut Arafura. 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengkaji pengembangan industri surimi dalam pemanfataan by-catch pukat udang, dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis ketersediaan HTS di Laut Arafura sebagai bahan baku industri surimi (2) Menganalisis tentang teknologi terputus pengolahan surimi dengan menggunakan campuran jenis ikan by-catch pukat udang yang dominan serta analisis mutu surimi yang dihasilkan. (3) Menganalisis kelayakan usaha pengolahan industri surimi di Pekalongan Jawa Tengah dan Pulau Moro Riau dan asumsi kelayakan usaha pengolahan surimi di Sorong Papua Barat. (4) Menganalisis kebijakan pengembangan industri surimi di Sorong Papua Barat. (5) Menyusun konsep pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch pukat udang. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menyusun konsep dan strategi kebijakan pemanfaatan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku industri surimi serta analisis finansial pengembangan usaha pengolahan surimi di Sorong, Papua Barat. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 5

26 (1) Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya mencari solusi permasalahan tingginya potensi hasil tangkap sampingan non ekonomis yang sebagian besar dibuang kembali ke laut (2) Pengusaha dan investor mengenai ketersediaan bahan baku HTS pukat udang serta analisis kelayakan usaha pengembangan industri pengolahan surimi dengan metode terputus di Provinsi Papua Barat sehingga dapat dijadikan model dalam pengembangan industri pengolahan surimi. (3) Pemerintah Provinsi Papua dalam pengelolaan sumberdaya ikan sebagai solusi dari permasalahan hasil tangkap sampingan yang selama ini tidak termanfaatkan, yang merupakan bagian dari pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. (4) Sebagai masukan kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali kebijakan dan peraturan yang mengatur tentang hasil tangkap sampingan pukat udang sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. (5) Membuka peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan gizi dengan berkembangnya industri pengolahan surimi. (6) Penelitian selanjutnya guna pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi pengolahan hasil perikanan. 1.4 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis atau dugaan-dugaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bahan baku hasil tangkap sampingan industri pukat udang di Laut Arafura cukup untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surimi (2) Teknologi pengolahan surimi metode terputus, yaitu pengolahan minced fish di atas kapal dan dilanjutkan dengan pengolahan surimi di darat dapat menghasilkan surimi dengan mutu yang sangat baik. (3) Usaha pengolahan surimi di Pekalongan Jawa Tengah dan Pulau Moro Riau layak secara finansial (keuangan) (4) Konsep pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch pukat udang dengan mengelola HTS secara ekonomis secara ekonomis dengan 6

27 melakukan kerjasama antara pengusaha penangkapan dan pengolahan dapat dilaksanakan dan menguntungkan. (5) Strategi kebijakan pengembangan industri surimi di Sorong Papua Barat dapat dilakukan dengan pengolahan HTS menjadi surimi yang disertai dengan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan infrastruktur. 1.5 Perumusan Masalah Industri penangkapan pukat udang menghasilkan tangkapan utama berupa udang dan tangkapan sampingan berupa ikan dengan spesies yang beragam. Hasil tangkap sampingan diperkirakan memiliki volume yang lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan utama dengan estimasi rasio udang dan ikan 1 : Pemanfaatan HTS menghadapi beberapa kendala seperti daerah operasi kapalkapal pukat di Indonesia tersebar di beberapa wilayah di perairan Indonesia bagian timur. Kendala tersebut diperburuk lagi dengan keterbatasan volume palka kapal yang dikhususkan untuk menyimpan tangkapan udang. Selain itu, pengangkutan HTS ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) atau ke darat memerlukan biaya yang cukup besar sedangkan ikan yang dibawa kurang mempunyai nilai ekonomis (low economic return) sehingga sebagian besar HTS dibuang kembali ke laut. Kendala lain yang dihadapi dalam rangka pemanfaatan HTS adalah HTS yang dihasilkan terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan yang yang beragam dan kurang memiliki nilai ekonomis sehingga diperlukan industri pengolahan dalam pemanfaatannya. Jenis dan ukuran ikan yang beragam dan kurang memiliki nilai ekonomis dan jumlah yang besar tidak memberikan keuntungan yang menjanjikan bagi pengusaha, menjadi permasalahan tersendiri dalam mencari teknologi yang tepat dalam pemanfaatan HTS (Marpaung 2006). Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan HTS, diperlukan adanya suatu upaya/alternatif solusi yang ditujukan untuk mengurangi kendala yang ada, seperti pengurangan volume dan berat hasil tangkapan yang disimpan dalam palka, pemanfaatan kapal angkut ikan (kapal carrier), dilakukan penelitian mengenai teknologi pengolahan HTS ikan serta mencari langkah dalam upaya efisiensi produksi agar hasil olahan HTS ikan memiliki daya saing untuk skala ekspor. Hasil yang diharapkan adalah produk hasil olahan HTS ikan yang dapat diterima 7

28 oleh konsumen dan memberikan nilai tambah secara ekonomis. Ketersediaan bahan baku HTS yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, mendorong perlu dikembangkannya teknologi pengolahan surimi dengan teknologi terputus sebagai upaya memberikan solusi terhadap beberapa kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan HTS. Analisis kelayakan usaha pengolahan surimi perlu dilakukan guna mendapatkan gambaran besarnya investasi dan biaya yang harus dikeluarkan dalam membangun usaha pengolahan serta besarnya manfaat yang dapat diperoleh oleh stakeholder dari usaha pengolahan surimi tersebut. Analisis kelayakan finansial usaha pengolahan surimi dilakukan terhadap usaha pengolahan surimi yang sudah ada saat ini, untuk mendapatkan gambaran besarnya biaya yang telah dikeluarkan dan dibandingkan dengan besarnya mnafaat yang telah diperoleh serta gambaran biaya-manfaat di masa akan datang. Berdasarkan penjelasan pemasalahan di atas, maka perlu dicari solusi bagaimana strategi dan cara untuk mengumpulkan hasil tangkap sampingan (HTS) tersebut secara efektif dan efisien serta teknologi pengolahan surimi yang tepat untuk HTS dan menghasilkan produk surimi yang baik dengan segala keterbatasan/infrastuktur khususnya di wilayah Provinsi Papua Barat. Pemilihan lokasi Provinsi Papua Barat didasarkan atas beroperasinya kapal dengan alat tangkap pukat udang dalam jumlah banyak, sehingga memiliki kemungkinan menghasilkan HTS dalam jumlah besar. 1.6 Kerangka Pemikiran Kerangka penelitian yang terdiri atas input, proses dan output secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1. Input merupakan usaha penangkapan pukat udang di Laut Arafura. Kegiatan usaha penangkapan tersebut menghasilkan ikan sebagai hasil tangkap sampingan. Hingga saat ini hasil tangkap sampingan belum dimanfaatkan secara optimal, hal ini disebabkan adanya berbagai permasalahan yang dihadapi baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, permasalahan yang dihadapi adalah keterbatasan volume palka kapal yang hanya dikhususkan untuk menyimpan hasil tangkapan udang, kondisi kapal yang tersebar sehingga kesulitan untuk mengumpulkan bahan baku, HTS/by-catch 8

29 memiliki nilai ekonomis yang sangat rendah apabila dibawa ke darat serta kebijakan dari pihak manajemen perusahaan penangkapan udang yang tidak memperbolehkan by-catch dibawa ke darat. Permasalahan eksternal yang dihadapi adalah kebijakan pemerintah yang belum mengatur tentang pemanfaatan by-catch. Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian yang mencari solusi dan upaya mengoptimalkan pemanfaatan by-catch melalui beberapa analisis, yaitu analisis ketersediaan bahan baku, analisis teknologi pengolahan surimi dengan memanfaatkan campuran jenis ikan by-catch pukat udang, analisis kelayakan usaha pengolahan industri surimi dan analisis kebijakan dalam menyusun konsep pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch. Ketersediaan bahan baku yang dikaji adalah data perusahaan penangkapan pukat udang, jumlah kapal yang beroperasi di Laut Arafura serta jumlah hasil tangkapan utama untuk mengetahui total by-catch yang dihasilkan dengan perbandingan antara udang dan by-catch sebesar 1: 12 (Purbayanto et al dan Widodo 1998). Teknologi pengolahan surimi dilakukan dengan mencampur ikan-ikan HTS dan menggunakan teknologi pengolahan terputus, yaitu pengolahan yang dilakukan di atas kapal terbatas hanya pada proses menghasilkan lumatan daging ikan (minced fish) beku sedangkan pengolahan lanjutan hingga menjadi surimi dilakukan setelah minced fish sampai di darat. Analisis laboratorium terhadap mutu surimi, meliputi analisis kimia yang terdiri dari protein larut garam (PLG) dan Water Holding Capacity (WHC) dan fisik untuk menguji gel strength yang terdiri dari uji lipat, uji gigit dan menggunakan tekstur meter (g/cm 2 ). Analisa kelayakan finansial dilakukan terhadap Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Index (PI) serta Net B/C serta Break Even Point (BEP). Penyusunan konsep pengembangan industri surimi dilakukan dengan analisis kebijakan menggunakan analisis SWOT dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Output atau keluaran dari penelitian mengenai pemanfaatan HTS adalah rekomendasi strategi kebijakan terhadap pengembangan industri pengolah surimi yaitu data ketersediaan bahan baku untuk mensuplai industri pengolahan surimi, teknologi pengolahan surimi dengan metode terputus dan analisa surimi dalam pemanfaatan by-catch. 9

30 Usaha penangkapan pukat udang di Laut Arafura Hasil tangkap sampingan (HTS) EKSTERNAL Kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan HTS belum mendukung Permasalahan pemanfaatan HTS pukat udang INTERNAL 1. Palka terbatas 2. Kapal tersebar 3. Low economic return 4. Kebijakan perusahaan terhadap HTS Analisis Analisis Ketersediaan HTS sebagai bahan baku industri surimi aku Analisis Teknologi Pengolahan Surimi Analisis Kelayakan Finansial : (NPV, IRR, PP, PI, B/C Ratio) Analisis Kebijakan : 1. SWOT 2. AHP Tersedia bahan baku HTS Teknologi Terputus Industri surimi layak dikembangkan Strategi Pengembangan REKOMENDASI STRATEGI KEBIJAKAN INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH Keterangan : : input : proses : output Gambar 1 Kerangka penelitian. 10

31 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Surimi Surimi merupakan konsentrat dari protein myofibrilar yang diperoleh dari daging ikan. Sifat-sifat utamanya adalah membentuk gel yang elastis dan kuat melalui perlakuan panas. Selain itu, disamping sebagai bahan gel, sifat-sifat protein surimi yang baik yaitu sebagai bahan pengikat, dan bahan pengemulsi. Oleh karena itu, surimi terutama digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi seafood analog (Suzuki 1981) Pengertian surimi dan penggunaannya Menurut Okada (1992), surimi merupakan istilah Jepang yang menunjukkan pasta dari gilingan daging ikan yang dibentuk selama proses pembuatan kamaboko yakni suatu produk tradisional Jepang berbasis surimi. Saat daging ikan dipisahkan dari kulit dan duri secara mekanis dinamakan hancuran daging ikan yang merupakan bahan awal untuk produksi surimi. Apabila hancuran daging ikan dicuci dengan air, untuk menghilangkan lemak dan komponenkomponen larut air, ini akan dihasilkan surimi. Surimi merupakan konsentrat dari protein miofibrilar ikan dan mempunyai kemampuan dan pembentukan gel, pengikatan air, pengikatan lemak dan sifat-sifat fungsional dibandingkan hancuran daging ikan. Perkembangan produk baru yang berbasis surimi yaitu produk analog seperti analog daging, analog kepiting dan surimi kering. Surimi beku adalah daging ikan yang dihaluskan yang telah dicuci dengan air, dicampur dengan gula dan polifosfat, dan kemudian dibekukan. Selanjutnya dari surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan diantaranya adalah baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya, yang spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Menurut Ramirez et al. (1999), surimi adalah konsentrat protein miofibrilar yang bermutu tinggi yang diperoleh dari otot ikan. Aplikasi dari protein surimi terutama karena sifatsifat yang lebih baik sebagai bahan pengikat, gel dan pengemulsi, dibandingkan protein tanaman yang saat ini digunakan dalam analog daging. Surimi terutama 11

32 digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi produk analog, sedangkan surimi yang dikeringbekukan berfungsi sebagai bahan pengemulsi pada produk sosis. Menurut Suzuki (1981), terdapat 3 (tiga) tipe surimi yaitu : (1) Mu-en Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat, tanpa penambahan garam dan telah mengalami pembekuan; (2) Ka-en Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan, yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan fosfat dan telah mengalami proses pembekuan; (3) Na-ma Surimi yaitu surimi yang tidak mengalami pembekuan. Surimi komersial mempunyai kadar air 75 persen, protein 18 persen, lemak kurang dari 0,5 persen dan bahan-bahan lain 6,5 persen (Park et al. 1996). Komposisi proksimat surimi dari beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa jenis ikan Surimi Beku Bahan dari ikan nila merah (Oreochromis nilotica)* Bahan dari ikan fat sleeper (Dormitator maculatus)* Bahan dari ikan Layang (Decopterus sp)** Bahan dari ikan Marlin (Makaira sp)** Keterangan: * : Ramirez et al., 1999 ** : BPPMHP 2004 Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) 78 0,42 15,1 0, ,35 18,1 0,57 82,36 0,58 12,18 3,82 81,66 0,53 11,82 3, Sifat-sifat surimi Ramirez et al. (2002), mengatakan bahwa salah satu sifat surimi adalah membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Gel yang fleksibel dan elastis tersebut terbentuk jika Surimi dicampur dengan garam, yang melalui proses pelumatan akan terbentuk sol, dan dengan pembentukan dan pemanasan akan terbentuk gel (Roussel dan Cheftel 1988). Gelasi dari protein larut garam 12

33 selama proses dengan panas terutama berperan pada stablisasi lemak dan air, pengikatan hancuran daging ikan, kemudian membentuk kembali produk (McCord et al. 1998). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel adalah bahan baku, kekuatan ion, ph, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan (Lan et al. 1995). Penggunaan garam pada proses pembentukan gel yaitu sebagai bahan pelarut myofibril. Untuk kosentrasi kurang dari 2 persen miofobril tidak dapat terlarut, sementara pada konsentrasi lebih dari 12 persen myofibril terhidrasi yang disebabkan efek salting-out dari garam. Untuk konsentrasi 2-3 persen merupakan penggunaan yang umum pada beberapa spesies ikan dan jenis produk, karena pada kisaran yang lebih tinggi akan memberikan rasa asin (Tan et al. 1988; Shimizu dan Toyohara 1994). Gelasi termal dari otot ikan terjadi dalam tiga tahapan proses yaitu: (1) disosiasi dari struktur myofibril oleh kelarutan protein dengan adanya garam; (2) terbukanya sabagian struktur protein yang disebabkan perlakuan panas; (3) agregasi dari protein yang terbuka melalui ikatan kovalen dan non kovalen untuk membentuk jaringan tiga dimensi (Stone and Stanley 1992 yang diacu dalam Benjakul et al. 2001). Perubahan dari sol menjadi gel tersebut melewati tiga tahap proses, yaitu suwari, modori, dan ashi. Suwari (setting) terjadi pada suhu kurang dari 50 C, merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan-lahan berubah menjadi gel yang elastis (Tan et al. 1988; Roussel dan Cheftel 1988). Fenomena ini menurut Ramirez et al. (2002), berkaitan dengan endogenous calciumdependent transglutaminase. Mexican flounder tidak menunjukan fenomena setting ini; yang kemungkinan disebabkan rendahnya level kalsium akibat tahap pencucian pada saat proses pembuatan surimi (Ramirez et al. 2002). Modori merupakan gejala degradasi gel, dimana gel menjadi tidak elastis dan fragile. Modori berarti kembali yaitu kembali ke tekstur awal daging ikan. Gejala modori biasanya terjadi pada suhu C (Roussel dan Cheftel 1990; Ramirez et al. 2002). Gejala modori bervariasi tergantung kondisi biologi yaitu kesegaran, umur, lokasi penangkapan dan musim. Ou et al. (2000), menemukan bahwa pada suhu 40 C terjadi gejala modori pada surimi dari paddle fish 13

34 (Polydon spathula), dimana degradasi miosin tersebut dapat dikurangi dengan menambahkan plasma sapi. Pada pembentukan gel surimi dari sardin, gejala modori terjadi pada pemanasan pada suhu C (Alvarez et al. 1999). Gejala modori tersebut berkaitan dengan adanya aktivasi dengan panas terhadap protein otot, terutama cathepsin (Ramirez et al. 2002), cathepsin-cysteine proteinase (An et al. 1996); dan serine-proteinase (Cao et al. 2000). Ramirez et al. (2002), menemukan bahwa ekstrak biji legume mengandung protease inhibitir yang spesifik terhadap serine-proteinase, yang dapat menghambat aktivitas proteolitik pada gel surimi dari Mexican flounder dan Atlantic croacker, sehingga mengurangi hidrolisis miosin dan aktin. Oleh karena itu, kisaran suhu tersebut harus dilewati agar gel yang mulai terbentuk pada tahap setting tidak mengalami kerusakan atau degradasi. Gel ashi terbentuk setelah melewati dua zone suhu tersebut. Oleh karena itu jika sol dipertahankan dalam waktu yang cukup lama pada zona suhu terjadinya gel suwari atau dengan cepat melewati zona suhu terjadinya gel modori, akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Tan et al. (1988), melakukan prinsip pemanasan dua tahap yaitu setting pada suhu 40 C selama 20 menit dilanjutkan dengan pemanasan pada 90 C selama 20 menit; dimana pada pemanasan 90 C bertujuan untuk pemasakan dan sterilisasi. Ou et al. (2000), menemukan bahwa maksimum kekuatan gel dapat dicapai dengan pre-inkubasi pada 70 C diikuti dengan pemasakan pada 90 C. Gel surimi yang terbentuk dapat diuji kekuatan gelnya dengan tekstur analyzer, atau diuji dengan Texture Profile Analysis atau secara subyektif dapat dilakukan dengan melakukan uji lipat dan uji gigit. Selain itu juga ditentukan dari warna yang menunjukan derajat putih, yang secara obyektif dapat diukur dengan Whitenessmeter atau Chromameter. Menurut Tan et al. (1988), surimi komersial yang bermutu baik mempunyai nilai uji lipat AA dan masih dapat diterima jika mempunyai nilai uji gigit

35 2.1.3 Bahan utama surimi Bahan utama yang digunakan pada pembuatan surimi adalah daging ikan, sehingga perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan ikan segar sebagai bahan baku surimi. Awalnya surimi diolah dari ikan Alaska Pollack yang merupakan sumber bahan baku terbesar di Jepang dan mempunyai sifat fungsional yang baik (Suzuki 1981; Tan et al. 1988; Okada 1992). Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meskipun begitu, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan mempunyai kemampuan pembentukan gel yang bagus yang akan memberikan hasil surimi yang lebih baik. Miyake et al. (1985), menyatakan bahwa surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai kemampuan membentuk gel, rasa dan penampakan yang baik. Umumnya ikan berdaging putih mempunyai kemampuan membentuk gel yang lebih baik dibandingkan dengan ikan berdaging merah. Ikan marlin dan mackerel mempunyai kemampuan pembentukan gel baik. Ikan air tawar biasanya mempunyai kemampuan pembentukan gel yang kurang baik, demikian juga udang dan keong (Shimizu dan Toyohara 1994). Ikan berdaging merah seperti sardin dan bonito biasanya mempunyai gel yang kurang baik (Yu 1993). Untuk mendapatkan tekstur gel yang baik, ikan sardin yang pada saat mati mempunyai ph 5,6 5,8 perlu ditingkatkan menjadi ph 6,4 8,4 (Roussel dan Cheftel 1990). Jenis ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi harus mempunyai nilai kesegaran yang tinggi, sebab tidak mungkin akan diperoleh mutu yang baik dari ikan yang tidak segar (Tan et al. 1988). Dengan berbagai alternatif jenis yang digunakan tersebut maka dimungkinkan untuk mencampur berbagai spesies ikan yang berbeda untuk mendapatkan sifat-sifat yang baik (Suzuki 1981; Shimizu dan Toyohara 1994). 2.2 Industri Pengolahan Surimi Sejak dimulainya industri surimi beku di Jepang tahun 1960, penelitian, teknologi pengolahan dan peralatan mulai dikembangkan (Noguchi 1984). Teknologi pengolahan surimi yang saat ini paling banyak digunakan oleh industri 15

36 adalah teknologi dengan metode rotary rinser/screw press. Secara umum alir proses pengolahan surimi terdiri dari persiapan bahan baku, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan kadar air (pengepresan), penapisan (straining), penambahan bahan tambahan dan pembekuan (Gambar 2). Skema proses pengolahan dan peralatan yang digunakan pada industri surimi beku dijelaskan pada Gambar Penanganan bahan baku Selain jenis, kesegaran bahan baku merupakan hal penting dalam proses pengolahan surimi. Surimi dengan mutu tinggi tidak akan dihasilkan bila digunakan bahan baku yang kurang segar, meskipun diolah dengan teknologi tinggi (Uno dan Nakamura 1958). Selain itu, protein ikan (aktin dan miosin) masih tinggi sehingga kemampuan mengikat air pun tinggi. Pada umumnya, ikan di kapal trawl memiliki kesegaran yang sangat tinggi (ditangani < 24 jam setelah ditangkap), yang dapat diolah menjadi surimi dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku yang digunakan di kapal pengumpul atau di industri surimi di darat karena telah mengalami penyimpanan beberapa hari setelah penangkapan. Untuk kapal pengolah dapat dengan mudah berpindah tempat dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya, maka kebutuhan bahan baku dapat diatur sesuai dengan kapasitas produksi sehingga ikan yang digunakan selalu dalam kondisi sangat segar, karena ikan langsung diolah tidak lebih dari 12 jam setelah ditangkap (Lee 1986). Jika ikan tidak langsung diolah maka harus disimpan pada suhu di bawah 5 o C. Untuk penanganan ikan di atas kapal, refrigerated sea water (RSW) merupakan metode penyimpanan ikan yang sangat baik untuk mempertahankan mutu bahan baku surimi karena metode ini mampu mendinginkan ikan secara cepat dengan distribusi suhu yang merata dan tidak merusak ikan. Namun metode ini disarankan tidak lebih dari 2 hari karena garam yang terkandung dalam larutan akan masuk ke dalam daging ikan dan menyebabkan denaturasi protein (Lee 1986), sehingga perlu adanya pengawasan terhadap suhu dan waktu penyimpanan. 16

37 PROSES TUJUAN METODE IKAN SEGAR SEMI MODERN MODERN Pencucian Cuci dalam air es Mendinginkan ikan Rotary fish washer Rotary fish washer Penyiangan Membuang kepala dan isi perut Pisau Mesin Cuci dalam air es Menghilangkan sisik dan darah Rotary fish washer Rotary fish washer Pemisahan daging Memisahkan daging dari tulang, duri dan kulit Meat-bone separator Meat-bone separator HANCURAN / LUMATAN DAGING (MINCED MEAT) Leaching Air es (1 : 4) + 0,3% garam (2 kali) Menghilangkan protein larut air, darah, lemak dan bau Tanki leaching Tanki leaching Pengepresan Membuang air Membuang air cucian Rotary sieve Rotary sieve Mengepres Mengatur kadar air kelebihan air Sampai 80-82% Hidraulic press Screw press LUMATAN DAGING YANG TELAH DICUCI (LEACHED MEAT) Straining Menghilangkan sisa kulit, duri dan sisik Strainer Pencampuran 3-5% gula halus 0,2% poliposfat Mengurangi freezedenaturation dan meningkatkan WHC Mixer silent cutter Pengepakan Dalam plastik PE Pengemasan Manual Filling machine Pembekuan - 30 o C Suhu pusat 20 o C dalam waktu 4-6 jam Contact/air blast freezer SURIMI BEKU Kotak karton (18 o C 20 o C) Mengurangi dehidrasi selama penyimpanan beku Cold storage Gambar 2 Alir proses pengolahan surimi beku (Tan et al. 1988). 17

38 Gambar 3 Skema proses pengolahan pada industri surimi (Lee 1986). 18

39 Untuk penyimpanan jangka pendek, penyimpanan cukup di dalam peti berinsulasi. Dengan menyusun ikan secara berlapis dengan hancuran es sampai penuh dengan perbandingan antara ikan dan es adalah 1 : 3. Dengan cara seperti ini suhu ikan dapat dipertahankan rendah (sekitar 0 o C) dan kesegaran ikan dapat dipertahankan hingga beberapa hari. Dalam mengolah surimi, diperlukan daging ikan yang bermutu tinggi, karena itu segala cara yang ditempuh harus selalu disertai upaya mempertahankan mutu daging ikan. Dalam hal ini penggunaan suhu rendah merupakan suatu yang mutlak diperlukan, baik selama penyiangan, pembilasan, pelumatan hingga pengemasan Sortasi Penanganan awal untuk ikan hasil tangkapan di kapal adalah memisahkan tangkapan utama dari jenis ikan lainnya. Bila bahan baku digunakan untuk surimi, sebaiknya pemisahan ikan dilakukan juga berdasarkan ukuran, sehingga bila diolah secara mekanis kecepatan mesin dan rendemen fillet dapat ditingkatkan. Sortasi juga dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan mesin sortir. Jika kulit ikan tidak dibuang, harus dilakukan pembuangan sisik untuk mencegah terjadinya akumulasi dan penyumbatan pada mesin pemisah daging (meatbone separator) pada proses selanjutnya. Pencucian dan pembuangan sisik dilakukan secara simultan, menggunakan alat dengan sistem rotary (berputar) (Toyoda et al. 1992) Pemfilletan Pada tahap pemfilletan, dilakukan juga proses pemotongan kepala, pembuangan insang dan tulang. Penyiangan dilakukan dengan hati-hati agar isi perut tidak mencemari daging. Pemotongan kepala berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas (rendemen) surimi, jika pemotongan terlalu ke depan maka isi perut masih tersisa dan menyebabkan mudah terjadi kemunduran mutu, tetapi jika pemotongan terlalu ke belakang maka rendemen yang dihasilkan akan kecil. Isi perut ikan harus 19

40 dibuang seluruhnya, karena banyak mengandung lemak dan enzim protease serta menjadi sumber bakteri yang dapat dengan cepat menurunkan mutu ikan yang mengakibatkan turunnya kemampuan pembentukan gel surimi (Suzuki 1981). Selain itu,isi perut ikan akan berpengaruh terhadap penampakan produk karena mengakibatkan warna surimi dan produk olahannya menjadi gelap. Pemfilletan dapat dilakukan secara manual atau mekanis. Apabila ikan yang diolah dalam jumlah besar, jenis dan ukuran sama, penggunaan mesin penyiangan (gutting machine) akan lebih efisien. Namun apabila jumlah ikan sedikit, ukuran ikan tidak seragam atau dikerjakan dalam skala kecil, penyiangan secara manual lebih sesuai. Ukuran, musim dan kondisi biologis ikan (bertelur atau tidak) sangat menentukan rendemen yang dihasilkan, namun yang paling penting adalah cara atau proses pengolahannya (Toyoda et al. 1992) Pemisahan daging ikan Pemisahan daging adalah kegiatan memisahkan daging ikan dari tulang, sirip dan kulit. Pemisahan daging dilakukan dengan menggunakan meat-bone separator (Gambar 4). Dengan alat ini, ikan akan terpisah dari kulitnya. Prinsipnya, ikan dipres di antara silinder logam yang berlubang dan berputar. Ikan yang telah disiangi dan dicuci bersih, diletakkan di antara sabuk (conveyor belt) dan silinder berlubang yang berputar dengan kedua sisi yang bergerak berlawanan arah sehingga ikan akan terjepit diantara keduanya. Daging ikan akan masuk ke dalam silinder melalui lubang sedangkan bagian tulang dan kulit mengikuti arah perputaran conveyor belt dan jatuh ke tempat pembuangan. Daging yang masuk ke dalam silinder dan telah terpisah dari kulit, tulang dan duri disebut daging lumat (minced fish). Selama proses pemisahan suhu ikan harus dipertahankan tetap rendah, demikian juga alat yang digunakan. Diameter lubang silinder berpengaruh terhadap proses leaching dewatering, rendemen dan mutu surimi. Besarnya diameter lubang berkisar antara 4 7 mm disesuaikan dengan ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Untuk meningkatkan kapasitas produksi dan rendemen, digunakan lubang silinder yang lebih besar namun tetap disesuaikan dengan kekuatan alat. 20

41 Bila digunakan ikan berkulit, penempatan ikan di alat sangat penting. Bagian daging diletakkan menghadap silinder sehingga kulit tidak menghalangi masuknya daging ke silinder. Gambar 4 Meat-bone separator Pembilasan (leaching) Daging ikan lumat yang keluar dari alat pemisah daging biasanya berwarna gelap karena mengandung sisa darah, lemak dan kotoran lainnya. Pembilasan dengan air dingin merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan surimi. Pembilasan daging ikan lumat dilakukan untuk mengeluarkan garam organik, protein larut air (water soluble protein), pigmen, bakteri, produk yang tidak dapat dihancurkan/terurai, dan mereduksi kadar lemak. Pembilasan daging ikan lumat juga melarutkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel. Secara umum dilakukan dengan air dingin, diikuti dengan 21

42 pengepresan (Grantham 1981). Larutnya protein sarkoplasma akan meningkatkan konsentrasi protein miofibril, yang berperan sangat penting dalam pembentukan gel. (Noguchi 1982). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas leaching dan mutu surimi, adalah : 1) Frekuensi dan waktu leaching Frekuensi dan waktu leaching dipengaruhi oleh jenis, komposisi dan kesegaran ikan. Pada umumnya, komponen-komponen yang mudah larut dapat dengan mudah terbuang pada pembilasan pertama, tetapi diperlukan waktu tertentu untuk melarutkan water soluble component dari daging ikan. Ekstraksi water soluble component daging ikan terjadi pada saat pembilasan yang disertai dengan pengadukan dan dipengaruhi oleh waktu serta perbandingan antara air dan minced fish. Waktu optimal pencucian antara 9 12 menit, jumlah protein yang terlarut meningkat nyata seiring dengan bertambahnya waktu pembilasan, namun berhenti setelah waktu tersebut (Lee 1986). Jika waktu pembilasan terlalu panjang, minced akan menyerap banyak air sehingga akan mempersulit proses pengepresan. Meskipun waktu leaching bervariasi tergantung dengan kesegaran bahan baku, suhu air dan ukuran partikel daging ikan, tetapi menit merupakan waktu yang disarankan untuk industri surimi (Toyoda et al. 1992). Pada umumnya, gelstrength akan meningkat dengan peningkatan frekwensi pembilasan, terutama pada pencucian ke dua, namun dengan 2 kali pembilasan belum mampu menghilangkan bau dan memudarkan warna daging ikan dengan sempurna (Lee 1986). 2) Kualitas air Air adalah faktor yang paling penting pada proses leaching. Faktor penting dalam efektivitas proses leaching adalah konsentrasi larutan garam, ph dan suhu. 3) Kekuatan ion/konsentrasi garam anorganik Kekuatan ion pada larutan leaching menyebabkan daging ikan cenderung mengembang. Kekuatan ion larutan leaching yang lebih besar memudahkan pengeluaran air dari daging ikan. Oleh karena itu, sangat sulit mengeluarkan air 22

43 dari daging yang telah mengembang, akibatnya kandungan air pada surimi menjadi tinggi. Faktor penting yang terkait dengan kualitas air pada industri surimi adalah level garam anorganik. Level garam anorganik yang tinggi, khususnya Ca 2+ dan Mg 2+ akan mengganggu kemampuan pembentukan gel surimi, yang menyebabkan terjadinya denaturasi actomiosin selama penyimpanan. 4) ph ph larutan leaching berdampak terhadap water retention selama proses leaching (Tokunaga dan Nishioka 1988; Lee 1986) dan water binding properties serta kemampuan pembentukan gel (Shimizu et al. 1994). ph produk akhir sangat tergantung dari ph bahan baku. Pembentukan gel optimal pada daging ikan berkisar antara 6,5 7,0 sedangkan pada kondisi asam, protein miofibril cenderung tidak stabil (Shimizu dan Toyohara 1994). Pada ikan berdaging merah, segera setelah ikan mati ph daging akan turun hingga 5,7 6,0 sehingga diperlukan perlakuan alkali (natrium bicarbonat) pada saat leaching untuk mengatur ph daging ikan. 5) Suhu Suhu pencucian harus tetap dijaga antara 3 10 o C untuk mencegah terjadinya denaturasi protein dan perkembangbiakan mikroorganisme. Selain itu, fungsi protein akan menurun dengan cepat bila terjadi peningkatan suhu dan protein miofibril akan kehilangan kemampuan pembentukan gel. Pada awal dikembangkannya surimi, proses leaching dilakukan dengan sistem batch dengan penambahan sejumlah air, kemudian minced fish diaduk dan dibiarkan beberapa saat. Selanjutnya, endapan yang dihasilkan disaring. Proses leaching dengan teknologi modern menggunakan sistem berkelanjutan, yang terdiri dari leaching tank dan rotary screen (Gambar 5). Leaching tank dilengkapi dengan pengaduk yang secara terus menerus dan secara otomatis berputar selama proses leaching. Minced fish yang telah dicuci selanjutnya disaring menggunakan rotary screen sebelum menuju proses leaching selanjutnya. Proses leaching dilakukan beberapa kali sesuai yang diperlukan. 23

44 Gambar 5 Rotary screen/sieve. Keuntungan perlakuan leaching adalah (1) melarutkan protein larut air yang menganggu pembentukan gel sehingga kemampuan pembentukan gel menjadi meningkat (2) memperbaiki warna dan penampakan (3) menghilangkan bau yang tidak diinginkan (4) produk akhir mempunyai rasa tawar sehingga memungkinkan untuk memberikan rasa sesuai yang diinginkan (Tan et al. 1988) Pengepresan Proses pengurangan kadar air terakhir merupakan kegiatan pengepresan yang menggunakan alat screw press (Gambar 6). Pengepresan bertujuan untuk mengurangi kadar air setelah pembilasan karena pada pengolahan surimi diperlukan air yang cukup banyak selama proses pembilasan untuk melarutkan kotoran, pigmen dan protein larut air. Setelah proses refining, kadar air produk rata-rata sebesar 90% dan akan berkurang hingga 80 84% setelah pengepresan. Screw press yang terdiri dari screw yang berputar dan screen yang berbentuk silinder. 24

45 Kemampuan pengepresan screw press ditentukan dari ukuran lubang pada screen. Semakin besar lubang maka semakin besar kemampuan pengepresan tetapi kemungkinan daging keluar bersamaan dengan air juga besar. Ukuran lubang yang biasa digunakan adalah 0,5 1,0 mm pada bagian inlet dan 1,0 2,0 mm pada outlet. Gambar 6 Screw press Penyaringan Tahap penyaringan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang masih tertinggal. Proses ini biasanya dilakukan setelah pencucian dengan menggunakan alat strainer, dimana lumatan daging ikan ditekan melalui alat yang mempunyai filter dengan ukuran mesh 1 3 mm. Lumatan daging yang telah dicuci dimasukkan ke dalam mesin, daging akan keluar melalui lubang dengan tekanan dari rotor. Daging yang putih dan lembut akan keluar dari bagian depan refiner, sedangkan bagian-bagian ikan seperti jaringan ikat, kulit, duri dan sisik yang tidak dapat keluar dari lubang tetapi melalui bagian ujung strainer (Gambar 7). 25

46 Gambar 7 Strainer (Toyoda et al., 1992) Pencampuran bahan tambahan Pencampuran adalah proses penambahan dan mencampur bahan-bahan krioprotektan, yaitu polifosfat, sorbitol dan gula untuk menstabilkan protein dan mencegah denaturasi selama penyimpanan beku. Penambahan gula berkisar 3 5%, sorbitol sebesar 4 5 % dan polifosfat sebesar 0,2 0,3 %. Penambahan cryoprotectant mampu meningkatkan tingkat N-aktomiosis dari 350 mg% menjadi 520 mg% (Lanier 1992). Dengan penambahan cryoprotectant, surimi belum mengalami kehilangan mutu yang berarti selama penyimpanan 3 6 bulan. Polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain dinatrium phosfat (disodium monophosphate), natrium hexametaphosphat dan natrium tripolifosfat (sodium tripoliphosphate). Fungsi polifosfat pada surimi adalah untuk memperbaiki daya ikat air (water binding ability) dan memberikan pasta yang lembut pada produk olahan surimi. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter hingga didapatkan adonan yang benar-benar homogen (Gambar 8) Pengepakan dan pembekuan Setelah dicampur dengan bahan tambahan, surimi dikemas dalam plastik hingga berbentuk blok kemudian dibekukan dengan sistem pembekuan cepat 26

47 hingga suhu produk mencapai 30 o C. Untuk kebutuhan industri, biasanya blok surimi berukuran 10 kg/blok. Gambar 8 Silent cutter. Setelah beku, surimi dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam gudang beku. Surimi dapat bertahan hingga satu tahun bila disimpan pada suhu yang cukup baik (maksimal 20 o C), tanpa banyak mengalami perubahan sifat fungsional. Fluktuasi suhu yang terjadi selama penyimpanan dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel pada surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992). Pembekuan dapat mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi produk dari kerusakan selama penyimpanan dalam jangka waktu lama (Sikorsi dan Pan 1994). Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan terhadap nilai protein produk (Desrosier 1988) Rendemen surimi Rendemen surimi sangat bervariasi tergantung dari jenis ikan, ukuran, musim dan jenis teknologi yang digunakan, namun untuk memperoleh rendemen yang tinggi diperlukan pengawasan pada tahap pemfilletan dan pemisahan daging dari tulang dan duri. Proses pemfilletan hanya direkomendasikan untuk ikan-ikan yang berukuran besar, sedangkan untuk yang berukuran kecil hanya diperlukan pemotongan kepala dan pembuangan insang. 27

48 2.3 Sumber Bahan Baku Menurut Okada (1992), bahan baku mince dan surimi dapat digunakan dari berbagai jenis ikan, namun secara umum surimi di peroleh dari jenis ikan demersal. Menurut Eong et al. (2003), saat ini penggunaan ikan pelagis sebagai bahan baku surimi sudah mulai dikembangkan mengingat potensi ikan tersebut yang melimpah dan rendah pemanfaatannya. Tan et al. (1988) mengemukakan bahwa surimi dapat dibuat dari spesies ikan tropis yang merupakan hasil sampingan trawl yaitu ikan kurisi (Nemipterus sp), ikan mata besar (Priacanthus sp), ikan alu-alu (Sphypaena sp), ikan gulamah (Argyrosomus amoyensis), ikan pisang-pisang (Caesio sp), ikan dorab (Chirocentrus dorab), ikan beloso (Saurida sp), ikan kaca piring (Pentaprion longimanus), ikan merah (Lutjanus sp). Surimi itoyori yang diproduksi di Thailand terutama terbuat dari jenis ikan kurisi, cod, beloso, alu-alu, conger eel, wolf herring, gulamah, jewfish, dan hiu. Beberapa jenis ikan di Indonesia yang menunjukkan kemampuan gel yang baik adalah ikan cunang-cunang (Congresox talabon), ikan manyung (Arius thalassinus), ikan pisang-pisang (Caesio chrysozonus), ikan ekor kuning (Caesio sp), ikan kurisi (Nemipterus sp), ikan gulamah (Pseudociena amoyensis), ikan nila merah (Oreochromis sp), dan ikan gabus (Ophiocephalus sp) (Istihastuti et al. 1997). Demikian juga dengan ikan mujair dan ikan cucut sudah dicoba sebagai bahan baku pengolahan surimi. Perairan Arafura dan sebagian Maluku merupakan salah satu daerah penangkapan udang dan ikan yang potensial dengan basis operasional kapal penangkapan terdapat di Sorong, Ambon, Tual dan Benjina. Beberapa tahun terakhir ini, basis penangkapan ikan berkembang ke daerah Merauke, Kendari dan Bitung. Armada kapal yang beroperasional di wilayah laut Arafura sebanyak buah pukat udang dengan operasional penangkapan hari untuk sekali trip. Untuk pukat ikan (fish net) beroperasional di ZEEI laut Arafura sebanyak 766 buah dengan operasional penangkapan 15 hari dan hari untuk sekali trip (Sumiono 2000). Komposisi rata-rata tangkapan ikan dari pukat ikan terdiri dari ikan demersal sebanyak 38,45 persen, ikan rucah (trash fishes) 31,53 persen, ikan 28

49 pelagis 8,63 persen, udang 8,11 persen, cumi-cumi 2,06 persen, rajungan 4,59 persen dan lainnya 6,63 persen (Sumiono 2000). Di ZEE selatan Papua didominasi oleh famili kakap 20,53 persen, gulamah 15,86 persen dan beloso 10,26 persen (Budiharjo et al. 1993). Untuk penangkapan udang di laut Arafura didominasi udang jerbung (white shrimp) 45,4 persen, udang dogol (endeavour shrimp) 27,9 persen, udang windu (tiger shrimp) 22,8 persen dan udang krosok (mix shrimp) 17,1 persen (Sugianto 1998). Berdasarkan data produksi perikanan tahun 2000, ikan-ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua sebesar ton yang didominasi oleh ikan pelagis yang dikarenakan penangkapan ikan disekitar pantai didominasi oleh alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, jaring, bagan apung, pancing tonda dan sero. Namun bila dilihat dari penangkapan di Laut Arafura dan ZEEI Laut Arafura ikan-ikan yang tertangkap didominasi ikan demersal (Tabel 2 dan Tabel 3). Usaha penangkapan udang selalu memberikan hasil tangkap sampingan (HTS) yang volumenya jauh lebih besar dari hasil udangnya. Persentase HTS bervariasi menurut daerah penangkapan dan waktu. Menurus Allops (1981) di daerah tropis rata-rata rasio HTS terhadap udang berkisar 10:1. Sumiono (2002) menyatakan rasio udang dan ikan HTS pada penangkapan di laut Arafura adalah 1 : 12 dengan sebagian besar berupa ikan demersal. Naamin dan Sumiono (1983) menyebutkan banyaknya HTS di Laut Arafura diperkirakan mencapai 80 persen dari hasil tangkapan atau rata-rata 19 kali lebih besar dari hasil tangkapan udang. Menurut Widodo (1998) menyatakan ikan HTS bervariasi antara 8 13 kali hasil tangkapan udang dengan estimasi produksi udang laut sebesar ton per tahun. Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura dapat dilihat pada Tabel 4. 29

50 Tabel 2 Kelompok ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua Jenis ikan Jumlah (ton) Persentase (%) Pelagis Nomei Paperek Ekor kuning Layang Selar Tatengek Daun bambu/talang-talang Sunglir Ikan terbang Julung-julung Teri Tembang Japuh Lemuru Kembung Tuna Cakalang Tongkol Tenggiri Demersal Ikan sebelah Ikan lidah Manyung Beloso Biji Nangka/Kuniran Bambangan Karapu Lencam Kakap Kurisi Swangi Gulamah/Tiga Waja Cucut Pari Bawal Alu-alu Kuwe Kuro/Senangin Layur ,12 0,21 0,96 2,78 3,27 0,25 0,42 0,38 0,75 1,8 2,36 2,13 0,66 0,75 3,24 7,96 16,00 3,36 2,20 Jumlah , ,03 0,04 1,99 1,08 0,45 1,56 1,26 1,06 4,06 1,09 0,25 1,45 1,66 0,33 1,32 0,39 1,19 1,88 0,72 Jumlah ,72 Ikan lain ,13 Jumlah total Keterangan : Data diolah dari produksi perikanan laut

51 Tabel 3 Jenis dan jumlah ikan dari hasil tangkapan pukat ikan/hauling Jenis ikan Jumlah (kg) Persentase (%) 1.Kakap (Lutjanus sp) 2.Sebelah (Psettodes sp) 3.Biji Nangka (Openeus sp) 4.Selar Kuning (Selaroides sp) 5.Terubuk (Hilsa sp) 6.Alu-alu (Sphyraena sp) 7.Bawal (Formio dan Pampus) 8.Mata besar (Scolopsis sp) 9.Kakap (Lates calcarifer) 10. Kembung (Rastrelliger sp) 11. Bambangan (Lutjanus sp) 12. Ikan buntal (Lagocephalus sp) 13. Beloso (Saurida sp) 14. Lemuru (Sardinella sp) 15. Nomei (Harpodon sp) 16. Peperek (Leiognathus sp) 17. Kurisi (Nemiptherus sp) 18. Pisang-pisang (Caesio chrysozonus) 19. Ketang-ketang (Drepane sp) 20. Bulu Ayam (Thryssa sp) 21. Cendro (Triacanthus sp) 22. Layur (Trichiurus sp) 23. Swangi (Priacanthustayenus) 24. Japuh (Dusumieria sp) 25. Trompet (Fistularia sp) 26. Tenggiri (Scomberomorus sp) 27. Ekor kuning (Anthias sp) 28. Lencam (Lethrinus sp) 29. Pinjalo (Pristipomoides sp) 30. Gulamah (Argyrosomus amoyensis sp) 31. Tiga waja (Johnius dussumieri) 32. Baronang (Siganus sp) 33. Kerong-kerong (Therapon sp) 34. Gerot-gerot (Pomadasys sp) 17,5 28 9,8 18, ,5 24, ,4 25, , , ,6 14,7 5,6 27,3 5, , , ,1 17,5 26,6 0,89 1,43 0,50 0,93 0,72 4,47 1,25 0,72 1,14 1,28 1,07 0,79 16,09 0,61 0,72 50,05 1,07 0,72 1,00 0,75 0,29 1,39 0,28 0,72 0,35 1,43 0,93 1,073 0,88 0,72 1,79 0,82 0,89 1,36 Jumlah 1957,9 100 Sumber : Sumiono (2002) 31

52 Tabel 4 Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura Tahun Rasio HTS : Udang Wilayah Sumber :1 13:1 9:1 12: :1 8:1 24:1 29:1 13:1 11:1 8:1 13:1 12:1 Laut arafura Sele, Bintuni Dolak Bintuni Kaimana Aru Aru Sele Kaimana Laut Arafura Aru Kaimana Aru Aru Widodo (1991) Iskandar et al. (1993) Badrudin dan Karyana (1993) Widodo (1997) Suharyanto (1997) Sumiono et al. (2000) Latelay dan Malawat (1995), ikan HTS yang dibuang kembali ke laut dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun, sedangkan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen, dengan pemanfaatannya dalam bentuk produk beku (untuk ikan ekonomis) dan tepung ikan (fish meal) untuk ikan non ekonomis (Tabel 5). Tabel 5 Hasil penangkapan udang dan HTS (kg) di Laut Arafura oleh kapal trawl yang berbasis di Sorong Tahun Produksi Produksi HTS Produksi Udang Di Manfaatkan Di Buang Jumlah Lain-lain Hasil Tangkap Sampingan ( By-catch ) Dalam bahasa Indonesia, by-catch diartikan sebagai hasil tangkap sampingan (HTS). Dalam FAO Technical Paper 470 (2005) dan Eayrs (2005), selain by-catch digunakan juga istilah target catch, incidental catch, discards dan trash fish. Eayrs (2005) mendefinisikan sebagai berikut : 1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya 32

53 organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut. Hasil tangkap sampingan yang terangkat ke atas kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded). 2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkap sampingan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau mati. Buangan ini tidak termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum disimpan di dalam ruang pendingin. 3) Trash fish, adalah jenis ikan yang berukuran kecil dan binatang lainnya yang dibuang kembali ke laut karena tidak memiliki nilai ekonomis. FAO Fisheries technical Paper 470 (2005), mendefinisikan : 1) Target catch, adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau atau berbagai spesies yang merupakan sasaran utama kegiatan penangkapan. 2) Incidental catch, adalah hasil tangkap sampingan yang dimanfaatkan 3) Trash fish, adalah hasil tangkap sampingan yang tidak dimanfaatkan dan dibuang kembali ke laut. Trash fish merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis yang sangat rendah. 5) By-catch, adalah semua hasil tangkapan yang bukan menjadi target operasi (discarded catch ditambah incidental catch). 2.5 Alat Tangkap Pukat Udang Trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri dari atas dua lembar sayap (wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (codend). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan, hal ini dilakukan agar ikan maupun udang yang menjadi tujuan operasi masuk dan terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa 1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertical maupun secara horisontal digunakan otter board dan pelampung di bagian atas mulut jaring. 33

54 Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan Barus (1988) diidefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device (BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan yang masuk ke dalam kantong. Pada prinsipnya, pukat udang terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali panarik (warp), bridle line dan BED (Gambar 9). Penjelasan masing-masing alat adalah sebagai berikut : (1) Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masingmasing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada kantong, sedangkan yang terbesar pada bagian sayap. Badan jaring adalah bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baitting dan belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baitting adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bagian bawah dan baitting di bagian atas. 1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri. Masing masing bagian tersebut terdari dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian kedua bagian tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah. Pada tali ris atas dipasang pelampung (float) agar sayap bagian atas terangkat pada saat jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan belly. 2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan. Kantong ini memiliki ukuran mata jaring kecil yang bertujuan agar ikan yang telah tertangkap tidak lepas dan agar lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak. 34

55 (2) Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope). Tali ris atas adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayan tersebut. Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Pada tali ris bagian bawah ditempatkan pemberat (sinker). (3) Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat adalah untuk membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal. Pelampung menarik atau mengangkat tali ris atas, sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus. (4) Otter board, fungsi dari otter board adalah untuk membuka mulut jaring secara horizontal. Bentuk otter board bermacam-macam dan yang banyak digunakan adalah tipe rectanguler. (5) Tali penarik (wrap), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali penarik ini biasanya terbuat dari serta-serta baja yang berbentuk cabled yarn. Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan tegangan yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus. (6) Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring. Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu, juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang. (7) Alat pereduksi ikan (API), API merupakan alat yang wajib dipasang pada pukat udang yang biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehingga disebut turtle excluder devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA- USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukan, alat ini telah mengalami perubahan konstruksi secara terus menerus. Sekarang ini, TED yang direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai performansi lebih baik di dalam mereduksi hasil tangkap sampingan dibanding yang diperkenalkan sebelumnya. Hasil penelitian penggunaan TED 35

56 di Laut Arafura yang dilakukan oleh Monintja dan Sudjastani (1985) membuktikan bahwa penggunaan pukat udang dapat meloloskan 42,5% hasil tangkapan samping yang biasanya tertangkap dengan trawl dan pukat udang memiliki kemampuan yang sama dengan trawl biasa dalam penangkapan udang. Gambar 10 (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini banyak dipasang pada pukat udang. Sumber : NOAA Library Centre (2004) Gambar 9 (a) Turtle Excluder Device. (b) By-catch Excluder Ddevice. (b) (a) Sumber : Eayrs (2005) (c) Gambar 10 (a) Pukat udang sedang hauling. (b) Hasil tangkap sampingan. (c) Proses pemisahan 36

57 2.6 Pengelolaan By-catch Hasil tangkap sampingan telah menjadi permasalahan dan isu perikanan penting dunia sejak tahun 1990-an, hal ini karena peningkatan jumlah hasil tangkap sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan dunia. Secara umum diketahui hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan hasil tangkap sampingan. Industri penangkapan dengan alat tangkap pukat udang memberikan kontribusi hasil tangkap sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Menurut Allops (1981), hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan. Untuk dapat mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkap sampingan secara ekonomis, maka pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerjasama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkap sampingan menjadi produk yang laku di pasar dengan harga kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kepedulian dan intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkap sampingan melalui peraturan atau kemudahan-kemudahan yang diperlukan. Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 7, merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan, 2) ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdya, 3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan turunnya keanekaragaman hayati, serta 37

58 4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai biologinya. CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan pelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik dideseminasikan kepada masyarakat. 2.7 Pemasaran Surimi Perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, yakni surimi digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular di negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya. Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish jelly products) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi komoditas internasional (Gapindo 2000). Total produksi surimi dunia diperkirakan antara ,2 juta ton per tahun. Negara produsen surimi terbesar di dunia adalah Jepang, tetapi Amerika Serikat dan Thailand juga mempunyai sejarah sebagai produsen surimi. Pada tahun 2005, produksi surimi Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang, yakni mencapai ton, sedangkan produksi surimi Jepang sebesar ton (FAO 2007). Amerika Serikat adalah negara pengekspor surimi yang terbesar di dunia, yang menguasai hampir 35% pasar surimi dunia (FAO 2007). Produsen surimi terbesar di Asia Tenggara adalah Thailand, dengan jumlah produksi sebesar ton per tahun, yang hasilnya 90 persen diekspor ke Jepang, Eropa, Amerika dan 10 persen dikirim ke Malaysia dan Singapura (Gapindo 1999). Pada beberata tahun terakhir ini muncul negara-negara lain yang menjadi produsen surimi seperti China, Vietnam, India, Malaysia dan Indonesia. 38

59 Uni Eropa (UE) merupakan pasar dunia surimi dan produk olahan berbahan dasar surimi terbesar kedua setelah Jepang. Perancis dan Spanyol merupakan konsumen utama surimi terbesar di Eropa, dengan konsumsi masingmasing dan ton per tahun (FAO 2007). Maraknya permintaan, telah memaksa Uni Eropa untuk mengimpor surimi dari negara Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan dan lainnya. Volume impor dunia surimi pada tahun 2005 mencapai ton, dengan negara importir terbesar adalah Jepang kemudian diikuti Uni Eropa, Rusia, China dan USA, seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Volume impor surimi beberapa negara tahun (Ton) NEGARA Uni Eropa Jepang Korea Selatan Rusia China USA Kanada Lain-lain Total Sumber : Giraud dan Chateau (2007) Dalam perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, dimana surimi digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular di negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya. Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish jelly product) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi komoditas internasional. Di Indonesia baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu) buah. Produksi rata-rata perhari 3 5 ton atau ton per tahun, dimana produksinya 90 persen untuk ekspor dan 10 persen domestik. Industri pengolahan produk-produk fish jelly seperti di Jakarta, pada umumnya merupakan industri sampingan pengolahan ikan dengan produksi 5 ton per bulan dan 39

60 beberapa industri skala rumah tangga dengan produksi sebesar 1 2 ton per bulan yang seluruh produksinya dipasarkan untuk domestik (Budiyanto dan Djazuli 2003). Surimi belum banyak dikembangkan di Indonesia meskipun sumber bahan baku yang dimiliki sangat melimpah, namun produk olahan lanjutan surimi (surimi based-products) sangat memasyarakat, antara lain mpek-mpek, bakso, otak-otak dan produk lainnya. Sementara itu, unit pengolahan ikan yang memproduksi surimi masih terbatas, antara lain di Jawa Timur, Pulau Moro Riau, Jakarta, Pekalongan Jawa Tengah dan Jambi. 2.8 Teori Sistem Sistem didefinisikan ke dalam dua bagian kelompok pendekatan yaitu pendekatan yang menekankan pada prosedurnya dan menekankan pada komponen atau elemen. Melalui pendekatan pada prosedur, maka sistem merupakan jaringan kerja dari prosedur yang terkait untuk melakukan kegiatan dalam mencapai sasaran dan yang telah ditentukan. Pendekatan secara komponen mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Menurut Wetherbe (1988) sistem didefinisikan sebagai sekumpulan entinitas atau komponen yang saling berhubungan dengan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan. Menurut Eriyatno (1999), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Falsafah kesisteman diperlukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang semakin kompleks sehingga diperoleh solusi yang komprehensif. Tahun 1968, Bertalanffy mempekenalkan pemikirannya tentang General System Theory (GST) yang mendefinisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. Sudut pandang inilah berkembang metode sintesis dan teknik sistem yang bersifat holistik (Pressman 1992). Dalam pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suau kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem 40

61 (system approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 1999). Dalam logika sistem (sistemologi) terdapat rangkaian proses transformasi yang mengolah masukan menjadi luaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Subsistem adalah suatu elemen atau komponen fungsional suatu sistem yang berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tinggi, sedangkan elemen adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah. Masing-masing subsistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar subsistem (disebut juga interface) terjadi karena luaran dari subsistem dapat menjadi salah satu masukan bagi subsistem yang lain. Apabila interface antar subsistem terganggu akan menyebabkan proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu pula, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bias dari tujuan yang ingin dicapai (Wetherbe 1988). Dengan mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem, maka pengkajian suatu permasalahan sebaiknya memenuhi karakteristik: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam merekayasa solusi permasalahan, yaitu (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan. 2.9 Sistem Penunjang Keputusan Akhir abad ke-20, telah dikembangkan usaha manajerial untuk memisahkan informasi dari keinginan dan harapan institusional dan personal. Usaha ini didukung oleh falsafah bahwa dasar pengambilan keputusan adalah 41

62 transformasi informasi menjadi usulan alternatif. Apabila informasi dikembangkan secara teratur dan sistematik maka akan meningkatkan efektivitas proses pengambilan keputusan. Prosse pengambilan keputusan semakin efektif, digunakan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer untuk pengolahan data elektronik. Pendekatan proses tersebut telah melahirkan sistem berbasis komputer, antara lain: Electronic Data Processing (EDP) dan Management Information System (MIS). Perkembangan tersebut kemudian mendorong lahirnya Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support System (DSS) dan Expert System (ES). EDP adalah sistem yang digunakan untuk tingkat operasional yang memfokuskan pada penanganan data. MIS adalah sistem yang dapat menghasilkan informasi untuk digunakan oleh manajemen tingkat menengah untuk melaksanakan fungsi pengendalian. DSS merupakan sistem yang menghasilkan alternatif keputusan bagi manajemen tingkat atas untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan ES adalah sistem yang memberikan satu keputusan untuk masalah yang sangat spesifik bagi manajemen tingkat atas (Leigh dan Doherty 1986). Menurut Turban (1993), DSS merupakan suatu sistem informasi berbasis komputer (Computer Based infromation System) yang interaktif, fleksibel, dan mudah diadaptasikan dengan menggunakan basis data dan basisi model, serta persepsi pengguna dan pengambilan keputusan. Minch dan Burns yang dikutip oleh Eriyatno (1999) menyatakan bahwa terminologi DSS adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagi pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik DSS adalah: 1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambilan keputusan. 2) Adanya dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda. 3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen dan kecerdasan buatan. 4) Mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. 42

63 DSS dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci dari elemen-elemen sistem, sehingga dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. DSS dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada peningkatan efektivitas (akurasi, kualitas dan kecepatan) pengambilan keputusan dari pada efisiensinya (Eriyatno 1999). Landasan utama dalam pengembangan DSS untuk model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model dan (3) data (Gambar 11). Masing-masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem Manajemen Dialog merupakan program yang mengelola tampilan layar yang menerima masukan dari pengguna dan mengirim iuran ke pengguna atau semacam user interface. Sistem Manajemen Basis Data berfungsi sebagai penyimpanan dan pengolahan informasi dan data. Sistem Manajemen Basis Model merupakan paket program yang berisi perhitungan finansial statistik, model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang memiliki kemampuan analitik (Turban 1993; Eriyatno 1999). Data Model Sistem Manajemen basis Data Sistem Manajemen Basis Model Sistem Pengolahan Problematik Sistem Pengolahan Dialog Pengguna Gambar 11 Struktur dasar sistem penunjang keputusan. Sistem Pengolahan Problematik adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga subsistem lain dalam bentuk baku. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya jaminan keterkaitan antar subsistem (Eriyatno 43

64 1999). Menurut Keen and Morton (1978), kelayakan penerapan DSS dalam suatu manajemen harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu adanya basis data, adanya keterbatasan waktu, adanya manipulasi dan komputasi, serta pentingnya pengembangan alternatif dan memilih solusi berdasarkan akal sehat. ES memiliki komponen inferencia yang berbeda dengan DSS, karena adanya perbedaan luaran yang dihasilkan. DSS mengahsilkan keputusan yang masih perlu mendapatkan pertimbangan keahlian dari pengguna, sedangkan ES bertujuan membuat keputusan tanpa adanya pertimbangan keahlian dari pengguna (Wetherbe 1988). Kemampuan lebih dari ES disebabkan adanya komponen knowledge base yang dimasukan ke dalam sistem berupa fakta dan aturan-aturan yang diperoleh dari ahli, dan program inference engine yang berfungsi untuk memformulasikan kesimpulan Proses Hirarki Analitik Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini digunakan dalam memodelkan masalah dan pendapat, dimana permasalahannya telah benar-benar dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty 1980). AHP yang disampaikan oleh Saaty (1980) sebagai pengkajian terhadap kondisi nyata tanpa melalui proses penyederhanaan, tetapi mempertahankan model yang kompleks seperti semula. Untuk itu masalah nyata yang kompleks dan tidak terstruktur perlu dilakukan penyusunan beberapa bagian komponen atau perubahan pada struktur bangunan secara hirarki. Hirarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hirarki antar komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), kemudian ke suatu sub tujuan (sub objective), kemudian faktor-faktor pendorong (forces) yang mempengaruhi sub tujuan tersebut, serta pelaku (actors) yang memberikan dorongan, selanjutnya ke 44

65 tujuan-tujuan pelaku aktor, kebijakan, strategi. Hasil dari strategi tersebut selanjutnya timbul pertanyaan yang berkaitan dengan hirarki ini, bagaimana dan berapa besar suatu faktor individu dari tingkat yang lebih rendah pada hirarki itu mempengaruhi faktor puncak, yaitu tujuan utama, karena pengaruh ini tidak akan seragam bagi semua faktor dan untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap intensitasnya, atau sering disebut dengan menyusun prioritas (Fewidarto 1996). Teknik analisis AHP digunakan untuk menemukan pemecahan masalah yang bersifat strategis dengan prinsip kerja yaitu decomposition, comparative judgment, síntesis of priority dan logical consistency. (1) Decomposition (Dekomposisi), merupakan pemecahan permasalahan yang utuh menjadi beberapa bagian komponennya. Untuk mendapatkan hasil kajian yang teliti diperlukan proses penyusunan komponen pada beberapa tingkatan/hirarki. Tahapan ini mendefinisikan persoalan dengan membagi persoalan tersebut menjadi beberapa unsur. Pembagian dilakukan sampai ke tingkat yang tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi, sehingga akan didapat beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara terstruktur. Proses tersebut dinamakan hirarki karena memiliki lima tingkatan yaitu fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif. (2) Comparative Judgment (Perbandingan Komparasi), merupakan penilaian terhadap masalah berdasarkan kepentingan relatif 2 (dua) komponen pada tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian tersebut, merupakan faktor penting dari PHA karena akan berpengaruh terhadap prioritas komponen. Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matrix pairwise comparasion. Elemen-elemen pada suatu tingkatan tertentu dinilai kepentingan relatif terhadap elemen lainnya, yang mengacu pada elemen yang dibandingkan dengan jalan meminta pendapat dari pakar. Penilaian dilakukan dengan komparasi berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lain pada setiap tingkatan hirarki secara berpasangan, akhirnya dapat dinilai antar dua elemen secara kuantitaif, yang disajikan dalam matriks komparasi berpasangan. 45

66 (3) Síntesis of Priority, merupakan penentuan peringkat beberapa komponen berdasarkan penilaian kepentingan relatif. Penentuan peringkat dilakukan berdasarkan nilai eigen vector pada setiap matrix pairwise comparasion untuk mendapatkan local priority. Untuk mendapatkan global priority harus dilakukan síntesis terhadap local priority. Proses pengurutan berdasarkan kepentingan relatif melalui prosedur síntesis dinamakan priority setting. (4) Logical Consistency, merupakan proses untuk menjamin semua komponen dikelompokkan secara logis dan dilakukan prioritas secara konsisten sesuai kriteria yang logis. Konsistensi memiliki dua makna, pertama bermakna bahwa obyek serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek yang didasarkan kriteria tertentu. Apabila penilaian tidak konsisten, maka proses diulang untuk memperoleh penilaian yang tepat. AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik sebagaimana yang terjadi dalam kondisi nyata dalam usaha mencapai konsensus. Semua problema sistem ini tidak dapat dipecahkan melalui komponen yang terukur seperti keadaan ya dan tidak (1 dan 0). Karena ada kondisi perbedaan kepentingan. AHP mencoba memecahkan masalah dengan cara membandingkan masukan secara berpasangan berdasarkan skala yang dapat membedakan setiap pendapat serta mempunyai keteraturan dalam nilai skala komparasi Saaty : 1 sampai dengan 9 yang ditunjukkan pada Tabel 7. Saaty (1993) telah membuktikan bahwa nilai skala komparasi 1 sampai dengan 9 merupakan pengambilan keputusan individual yang baik dalam pendekatan suistem dengan pertimbangan ketelitian yang ditunjukkan pada nilai RMS (Root Means Square) dan MAD (Mean Absolute Deviation). Tabel 7 Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty Nilai Keterangan 1 Sama pentingnya 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih penting 9 Mutlak lebih penting 2,4,6,8 Jika terjadi keraguan jawaban antara 2 nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala

67 Dalam analisis menggunakan AHP dilakukan melalui beberapa proses yakni sebagai berikut: (1) Matriks pendapat individu Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan, sehingga membentuk matriks segi. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigen vector dan untuk mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value. (2) Matriks pendapat gabungan Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang eleven matriknya gij berasal dari rataan geometrik atau geometric means elemen matriks pendapat individu aij yang rasio konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. (3) Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven keputusan pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal adalah 1) perkalian baris 2) perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen 3) perhitungan nilai eigen maksimum 4) perhitungan indeks konsistensi dan 5) perhitungan rasio konsistensi. (4) Pengolahan vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap eleven pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama (ultimate goal). 47

68 (5) Revisi pendapat Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi pendapat cukup tinggi, dan dianggap konsistensi jika mempunyai nilai sama dengan 0.1, sedangkan nilai akurasi data ditunjukkan dengan nilai RMS dari baris dan perbandingan nilai bobot baris terhadap kolom Analisis Kelayakan Finansial Kelayakan adalah penelitian yang dilakukan secara mendalam untuk menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan non finansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kelayakan juga diartikan akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankan usaha, tetapi juga bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat luas. Aspek-aspek yang dinilai dalam studi kelayakan bisnis meliputi aspek hukum, aspek pasar dan pemasaran, aspek finansial, aspek teknis/operasional, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial serta aspek dampak lingkungan. Dalam penelitian ini kriteria kelayakan secara khusus ditekankan pada aspek finansial. Analisis kelayakan finansial didasarkan pada analisis keuangan yang dihitung berdasarkan harga riil dari apa yang sebenarnya terjadi. Dalam tahap ini akan dianalisis biaya dan manfaat kegiatan agroindustri perikanan laut. Analisis keuangan merupakan suatu penilaian terhadap kinerja perusahaan pada waktu yang lalu dan prospeknya pada masa yang akan datang. Melalui analisis keuangan diharapkan dapat ditemukan kekuatan dan kelemahan perusahaan dengan menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan (financial statement). Analisis keuangan ini diperlukan berbagai pihak seperti para pemegang saham atau investor, kreditur dan para manajer karena melalui hasil analisis keuangan ini mereka akan mengetahui posisi perusahaan yang bersangkutan dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam satu kelompok 48

69 industri. Evaluasi aspek keuangan rencana investasi mencakup hal hal sebagai berikut: 1) Penyusunan anggaran investasi yaitu jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun dan mengoperasikan kegiatan (proyek) 2) Struktur dan sumber pembiayaan proyek yang akan dibangun 3) Kemampuan proyek menghasilkan keuntungan 4) Analisis break even point Menurut Awat (1999) dari aspek keuangan, suatu usul investasi akan dinilai menguntungkan atau tidak tergantung pada berbagai metode kriteria investasi seperti Payback Period (PP), Accounting Rate of Return (ARR), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Profitability Index (PI). Menurut Sutojo (2000) jika metode evaluasi profitabilitas proyek dikaitkan dengan nilai uang (the time value of money) maka diperoleh dua macam metode yakni metode konvensional dan metode discount cashflow. Metode konvensional mempergunakan dua macam tolak ukur yaitu Payback Period (PP) dan Accounting Rate of Return (ARR). Sedangkan metode discount cashflow dipergunakan tiga macam tolok ukur yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Profitability Index (PI). Penjelasan secara rinci mengenai beberapa metode investasi dapat dilihat sebagai berikut: (1) Net present value (NPV) Menurut Sutojo (2000), NPV adalah selisih antara nilai saat ini (present value) dari seluruh cash flow tahunan yang diterima investor selama umur ekonomis proyek dengan nilai (anggaran) investasi proyek. Nilai bersih sekarang (NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan) dengan nilai sekarang biaya. Apabila NPV bertanda positif menunjukkan bahwa investasi menguntungkan sehingga layak, karena (1) investasi awal telah kembali (2) biaya modal telah diperoleh dan (3) menerima penghasilan dari kelebihan (1) dan (2). Sebaliknya apabila NPV negatif maka investasi harus ditolak. Sementara apabila NPV sama dengan nol, maka keputusan dapat menerima atau menolak investasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya. 49

70 (2) Internal Rate of Return (IRR) IRR dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek. Dengan perkataan lain, IRR adalah nilai discount rate sosial yang membuat NPV proyek sama dengan nol (Djamin, 1993). Menurut Husnan (1998), analisis investasi dengan NPV lebih baik karena pada metode IRR terdapat beberapa kelemahan, yaitu: 1) Tidak memungkinkan untuk menghitung IRR yang tingkat bunganya berbeda setiap tahun 2) Terdapat kemungkinan diperoleh hasil lebih dari satu, apabila arus kas berubah-ubah tandanya 3) Metode IRR akan mengakibatkan kesalahan pengambilan keputusan apabila proyek bersifat mutually exclusive. (3) Payback Period (PP) Menurut Awat (1999) metode PP ini menunjukkan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal yang digunakan pada investasi awal (initial invesment). Banyak orang menggunakan PP sebagai tolok ukur dalam penentuan risiko suatu proyek. Hal ini disebabkan karena selama masih berada dalam PP berarti perusahaan belum mampu mengembalikan investasi yang ditanamkan dalam proyek. Semakin lama PP maka semakin tinggi risiko usaha yang ditanggung. (4) Profitability Index (PI) Profitability index (PI) merupakan perbandingan antara nilai akumulasi Present Value (PV) dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan suatu usaha. PI juga merupakan perbandingan antara nilai sekarang penerimaanpenerimaan bersih di masa akan datang dengan nilai investasi. Hal ini ditujukan untuk menilai risiko yang dihadapi dalam menjalankan suatu usaha. 50

71 (5) Nisbah Bersih Manfaat dan Biaya (Net B/C) Net B/C adalah angka perbandingan antara present value total bersih dari hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih. Selain analisis investasi, perlu dilakukan analisis perhitungan Break Even Point (BEP) yakni keadaan suatu usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi. Dengan kata lain, suatu usaha dikatakan impas jika jumlah pendapatan sama dengan jumlah biaya atau apabila laba kontribusi hanya dapat digunakan untuk menutup biaya tetap saja. Analisis impas adalah suatu cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu usaha tidak menderita rugi tetapi juga belum memperoleh laba (Mulyadi 1993). Di samping itu, terdapat dua cara untuk menentukan titik impas yaitu dengan pendekatan teknik persamaan dan pendekatan grafis Konsep Strategi Menurut Allison dan Kaye (2005), strategi didefinisikan sebagai prioritas atau arah keseluruhan yang luas yang diambil oleh organisasi. Strategi merupakan pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi atau mencapai kondisi masa depan yang dinginkan (Tripomo dan Udan 2005). Rumusan strategi yang baik akan memberikan gambaran pola tindakan utama dan pola keputusan yang dipilih untuk mewujudkan tujuan organisasi. Apabila strategi telah ditetapkan, selanjutnya disusun rencana (plan), seperangkat kebijakan (policies), tahapan-tahapan pencapaian, organisasi dan personalia yang mengisinya, anggaran dan program aksi. Wheelen dan Hunger (2006) menyatakan bahwa manajemen strategi adalah sekumpulan keputusan dan tindakan manajerial yang akan menentukan kinerja jangka panjang dalam suatu organisasi. Manajemen strategi yang berkembang saat ini merupakan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi dalam bentuk keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu organisasi. Selain definisi strategi yang bersifat umum, terdapat definisi secara khusus seperti yang dikemukakan oleh Hamel dan Prahaland (1995) yang mendefinisikan strategi yang terjemahannya adalah bahwa strategi merupakan tindakan yang 51

72 bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Oleh karena itu, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti. Tahapan perumusan strategi tidak lepas dari pengertian tentang manajemen strategik. David (2001) menyatakan bahwa manajemen strategik adalah seni dan ilmu untuk formulasi-implementasi dan evaluasi keputusankeputusan yang bersifat lintas fungsional agar organisasi dapat mencapai tujuannya. Kerangka manajemen strategik menyeluruh digambarkan dalam tiga tahapan seperti pada Gambar 12, yang meliputi identifikasi lingkungan (internaleksternal), perumusan/formulasi strategi (visi, misi dan tujuan), implementasi strategi (program, budget dan proyek), serta monitoring dan evaluasi. Umpan Balik Melaksanakan Audit eksternal Mengembangkan visi & misi Audit eksternal Melaksanakan Audit internal Menetapkan tujuan jangka panjang Membuat, mengevaluasi dan memilih strategi Membuat kebijakan dan tujuan tahunan Pengalokasian sumber daya Mengukur dan mengevaluasi kinerja Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi strategi Gambar 12 Kerangka manajemen strategik. Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, mengembangkan strategi-strategi alternatif dan memilih strategi untuk pelaksanaan. Implementasi 52

73 strategi memerlukan suatu perangkat untuk menetapkan tujuan tahunan, merencanakan kebijakan memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi strategi yang diformulasikan dapat dilaksanakan; implementasi strategi termasuk mengembangkan budaya pendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif, mengarahkan kembali usaha-usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dan menghubungkan kompensasi karyawan dengan kinerja organisasi. Evaluasi strategi adalah tahap akhir pada manajemen strategi. Tiga aktivitas penting untuk mengevaluasi strategi adalah me-review faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar penerapan strategi, mengukur kinerja dan mengambil tindakan perbaikan. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan jaminan untuk kesuksesan hari esok. Allison dan Kaye (2005) menyatakan perencanaan strategik setiap organisasi berbeda tergantung pada besar dan kompleksitas organisasi lingkup maupun peubah-peubah yang digunakan. Namun demikian perencanaan strategik memiliki kesamaan sebagai upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan menyadari terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Proses perencanaan strategik yang berhasil selalu memiliki pertanyaan dan jawaban sebagai berikut : (1) Dimana kita sekarang? (2) Dimana kita ingin berada di masa mendatang? (3) Bagaimana kita mengukur kemajuan? (4) Bagaimana kita mencapai sasaran dan tujuan? dan (5) Bagaimana kita menelusuri kemajuan (Gazpers 2004). 53

74 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian analisis pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan bycatch pukat udang dilakukan di beberapa daerah yakni di Provinsi Papua Barat khususnya di Kota Sorong, Pulau Moro Kepulauan Riau, Pekalongan Jawa Tengah, Muara Baru - Jakarta. Penelitian yang dilakukan di Provinsi Papua Barat dilaksanakan pada bulan Mei Tahun Pemilihan Kota Sorong sebagai lokasi penelitian dikarenakan Kota Sorong memiliki prospek pengembangan surimi yang didukung oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Kota Sorong merupakan salah satu pelabuhan pangkalan (fishing-base) kapal-kapal pukat udang dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan daerah lainnya (2) Kota Sorong memiliki keuntungan dari segi geografi yakni memiliki kedekatan dengan fishing ground penangkapan ikan yakni Laut Arafura Adapun Pulau Moro Kepulauan Riau, dijadikan sebagai salah satu lokasi penelitian dikarenakan di Pulau Moro terdapat perusahaan pengolahan surimi, demikian pula dengan Pekalongan Jawa Tengah, sedangkan Muara Baru Jakarta dijadikan lokasi penelitian untuk teknologi pengolahan surimi dari ikan campuran. Waktu pelaksanaan penelitian di Pulau Moro adalah pada bulan Januari Tahun 2007, Pekalongan pada bulan Februari Tahun 2007, di Sorong Papua Barat pada akhir bulan Maret 2007 dan di Muara Baru pada bulan April dan Mei Tahun Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar Responden Responden penelitian merupakan para stakeholder usaha penangkapan ikan, usaha pengolahan surimi dan para pengambil kebijakan di bidang penangkapan ikan dan pengolahan surimi. Responden untuk menganalisis ketersediaan bahan baku surimi terdiri dari pemilik ataupun manajer penangkapan pada perusahaan penangkapan ikan yang memiliki fishing-based di Sorong-Papua Barat. Sedangkan untuk menganalisis kelayakan usaha pengolahan surimi berjumlah 2 (dua) unit pengolahan, yaitu di Pekalongan Jawa Tengah dan Pulau Moro Kepulauan Riau. Responden untuk analisis kebijakan pengolahan surimi adalah 54

75 para pengambil kebijakan baik di pemerintahan maupun di sektor swasta serta pakar/ahli di bidang penangkapan ikan dan pengolahan surimi. Gambar 13 Peta lokasi penelitian. 3.3 Pengumpulan Data Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yakni pemilik ataupun manajer pada perusahaan penangkapan ikan dan pengolahan surimi serta beberapa awak kapal (ABK). Data sekunder berupa data produksi penangkapan ikan dan data produksi yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Data mengenai teknologi pengolahan surimi menggunakan ikan campuran diperoleh dari hasil analisis laboratorium di BBP2HP Muara Baru Jakarta. 55

76 3.4 Analisis Data Analisis data baik primer maupun sekunder dilakukan baik secara deskriftif maupun dengan menggunakan alat analisis tertentu yakni sebagai berikut: (1) Analisis ketersediaan bahan baku, dilakukan secara deskriptif yakni menggambarkan adanya keragaan armada pukat udang di Provinsi Papua Barat meliputi spesifikasi kapal dan alat tangkap, daerah tangkapan serta waktu (lama) penangkapan dilakukan. Selain itu, juga digambarkan mengenai hasil tangkapan utama dan sampingan, rasio tangkapan dan jenis-jenis ikan hasil tangkapan. (2) Analisis mutu surimi, dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap surimi campuran beberapa jenis ikan HTS, yaitu terdiri dari : ikan bambangan (Lutjanus sp), gulamah (Argyrosomus amoyensis), kurisi (Nemiptherus nematophorus), beloso (Saurida tumbil), lencam (Lethrinus sp), biji nangka (Openeus sp), pisang-pisang (Caesio crysozonus) dan swanggi (Holocentridae sp), dengan metode pencampuran yang dibedakan menjadi 2 perlakuan. Teknologi pengolahan yang digunakan adalah metode terputus, yaitu : pengolahan minced fish beku dilakukan di atas kapal dan dilanjutkan dengan pengolahan surimi setelah sampai di darat. Analisis mutu surimi dilakukan untuk melihat perubahan sifat fisik dan kimia selama penyimpanan beku, antara lain gelstrength, uji lipat, uji gigit, protein larut garam (PLG) dan WHC (3) Analisis kelayakan finansial, dilakukan dengan beberapa metode kelayakan yakni (a) Payback Period (PB) adalah jumlah periode atau tahun yang diperlukan untuk mengembalikan investasi awal yang diterima, (b) Net Present Value (NPV) merupakan metode untuk memperhitungkan perubahan nilai uang antara nilai saat ini dari keuntungan dengan nilai saat ini dari biaya yang dikeluarkan, (c) Internal Rate of Return (IRR) merupakan metode untuk menghitung tingkat bunga yang disyaratkan agar nilai saat ini dari pemasukan kas diharapkan sama dengan modal awal yang dikeluarkan, (d) Profitability Index (PI) dan B/C Ration pada dasarnya memiliki kesamaan dengan NPV namun berbeda dalam perhintungan yakni PI menggunakan perbandingan rasio antara nilai saat ini dari kas masuk dengan nilai saat ini dari kas yang keluar dan (e) Break Even Point (BEP) yang merupakan suatu titik atau kondisi dimana pendapatan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan ditambah dengan laba. 56

77 (4) Analisis kebijakan, dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) alat analisis yakni analisis (a) SWOT (Stregths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang merupakan suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam suatu proyek atau bisnis, dengan melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dan mengidentifikasi factor internal dan eksternal baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, dan (b) AHP (Analyitical Hierarchy Process) yang merupakan kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas permasalahan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan ke dalalm suatu susunan hirarki dan mensistesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variable mana yang memiliki prioritas paling tinggi. Selanjutnya kedua alat analisis tersebut dipadukan dengan cara yakni hasil dari analisis SWOT selanjutnya dimanfaatkan untuk analisis AHP. 57

78 4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI 4.1 Pendahuluan Usaha penangkapan ikan khususnya penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pukat udang dengan target utama adalah udang (udang putih dan jerbung) beberapa dilakukan di Laut Arafura. Namun demikian, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun 2007 bahwa status pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura menggambarkan bahwa untuk komoditi penaid, sudah tidak memiliki peluang. Hal ini selaras dengan hasil tangkapan udang dari kapal-kapal pukat udang yang memiliki kecenderungan menurun dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Selain mengalami penurunan dalam hal jumlah, juga mengalami penurunan dalam hal ukuran udang yang semakin mengecil. Selain menangkap udang sebagai hasil tangkapan utama, kapal pukat udang juga menangkap ikan demersal dan pelagis kecil seperti ikan kakap, sebelah, biji nangka, kurisi, layur, peperek dan berbagai jenis ikan lainnya sebagai hasil tangkap sampingan (by-catch). Hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang hingga saat ini umumnya dimanfaatkan dalam jumlah kecil yakni dimanfaatkan oleh ABK kapal untuk keperluan konsumsi baik selama operasi penangkapan maupun untuk dibawa pulang. Selain itu pemanfataan by-catch juga sangat terbatas pada jenis ikan tertentu yang memiliki nilai ekonomis penting, sedangkan ikan-ikan lainnya umumnya dibuang kembali ke laut. Hal ini merupakan peluang bagi industri surimi dengan memanfaatkan (by-catch) sebagai bahan baku industri pengolahan surimi. Ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan sangat diperlukan bagi industri surimi mengingat peluang pasar surimi yang sangat besar baik pasar domestik maupun untuk keperluan ekspor. Surimi merupakan bahan baku dalam pembuatan berbagai produk olahan lanjutan seperti sosis, nuget, bakso dan produk hasil perikanan lainnya, oleh karena itu, perlu dilakukannya analisis ketersediaan bahan baku surimi yang bersumber dari pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan bahan baku surimi secara kuantitatif mencakup ketersediaan saat ini dan yang akan datang. 58

79 4.2 Metode Penelitian Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara (interview) terhadap stakeholder terkait dengan usaha penangkapan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. Acuan dalam wawancara tersebut adalah kuesioner dengan substansi pertanyaan mengenai hal-hal sebagai berikut: 1) Identifikasi kapal dan alat tangkap, meliputi nama kapal, ukuran kapal dan alat tangkap serta alat bantu penangkapan ikan 2) Hasil dan produksi penangkapan, meliputi wilayah penangkapan, jumlah trip per tahun, produksi per trip, jenis hasil tangkapan utama, jenis hasil tangkap sampingan serta rasio hasil tangkapan 3) Pengolahan hasil tangkap sampingan selama ini, meliputi alasan dan kendala pengelolaan 4) Alternatif pengumpulan hasil tangkap sampingan untuk surimi yakni dalambentuk ikan utuh, minced atau bentuk kedua-duanya yang diangkut dengan menggunakan kapal angkut (carrier). Responden yang diwawancarai adalah pemilik kapal/manajer penangkapan/nakhoda kapal penangkapan udang di Sorong yang merupakan perusahaan besar yang memiliki armada penangkapan pukat udang. Penentuan hasil tangkapan udang menggunakan data dari 21 kapal yang mewakili 5 perusahaan penangkapan udang di Sorong dengan kisaran ukuran GT Analisis data Analisis data dilakukan secara deskriptif yakni menggambarkan adanya keragaan armada pukat udang di Provinsi Papua Barat meliputi spesifikasi kapal dan alat tangkap, daerah tangkapan serta waktu (lama) penangkapan dilakukan. Selain itu, juga digambarkan mengenai hasil tangkapan utama dan sampingan, rasio tangkapan dan jenis-jenis ikan hasil tangkapan. 59

80 4.3 Hasil Penelitian Hasil tangkapan utama Target utama dalam operasi penangkapan di Laut Arafura adalah udang jerbung atau banana shrimp (Penaeus merguensis) dan udang windu (Penaeus monodon), selain itu ada beberapa spesies udang dogol atau endeavour shrimp (Metapenaeus spp) dengan harga jual berkisar antara Rp hingga Rp per kg. Produksi udang di Arafura sepanjang tahun sangat bervariasi dengan jumlah rata-rata ton per tahun. (Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006). Sementara itu, armada pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat berjumlah 102 unit. Dalam 1 trip, masingmasing unit melakukan operasi selama 51 hari dan hauling 301 kali dan menghasilkan tangkapan seperti pada Tabel 8. Tabel 8 Data rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun 2006 No Periode Hauling Hasil Tangkapan (kg) Utama Sampingan Dimanfaatkan Total 1 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Minggu V Minggu VI Minggu VII hari Sumber : Perusahaan penangkapan udang yang berpangkalan di Sorong (diolah) Perbandingan antara hasil tangkapan utama dengan sampingan dalam 1 (satu) trip operasi penangkapan, persentase udang yang diperoleh yang dibandingkan dengan jumlah keseluruhan hasil tangkapan adalah hanya sebesar 8 persen. Jumlah ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan sampingan yakni sebesar 92 persen per trip (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah hasil tangkapan sampingan selalu lebih besar daripada jumlah hasil tangkapan utama. Produksi perikanan di Provinsi Papua Barat pada periode mengalami peningkatan sebesar 83,15 persen. Demikian pula dengan jumlah armada mengalami peningkatan sebesar 101,7 persen untuk perahu tanpa motor, persen untuk motor tempel 60

81 dan 127,19 persen untuk kapal motor (Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2006) seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 9 Perbandingan rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun 2006 No Periode Pemanfaatan Hasil Tangkapan Utama Sampingan Rasio Dimanfaatkan 1 Minggu I 9% 91% 1 : % 2 Minggu II 7% 93% 1 : % 3 Minggu III 10% 90% 1 : % 4 Minggu IV 10% 90% 1 : % 5 Minggu V 7% 93% 1 : % 6 Minggu VI 5% 95% 1 : % 7 Minggu VII 8% 92% 1 : % 51 hari 8% 92% 1 : % Sumber : Perusahaan penangkapan udang yang berpangkalan di Sorong (diolah) Saat ini, usaha perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan yang dikhususkan di Provinsi Papua Barat dilakukan oleh 12 perusahaan yang didominasi oleh beberapa perusahaan besar yakni PT Alfa Kurnia Fish Enterprise (AKFE), PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development (IMPD) dan PT West Irian Fishing Industries (WIFI). Adapun keragaan armada penangkapan pukat udang di Sorong Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 10 Produksi ikan dan jumlah armada di Papua Barat periode tahun Tahun Produksi Ikan (Ton) Jumlah Armada (Unit) PTM MT KM Total ,909 2,388 1,052 22, ,526 3,616 1,763 33, ,528 3,656 1,925 34, ,541 3,736 1,938 34, ,960 3,859 1,093 36, ,607 4,035 2,031 38, ,280 4,258 2,238 42, ,140 4,380 2,390 44,910 Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2006) Keterangan : PTM : Perahu Tanpa Motor (< 5GT) MT : Motor Tempel (< 5 GT) KM : Kapal Motor (> GT) 61

82 Secara spesifik, identitas beberapa kapal yang tercantum pada Tabel 11 yang mewakili tiaptiap perusahaan. Tabel 11 Spesifikasi kapal dan alat tangkap pukat udang dari perusahaan penangkapan yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat No 1 Perusahaan PT. Irian Marine Product Develoment Identifikasi Kapal Na ma Ukuran Alat Tangkap Alat Bantu KM. Aman No. 6 2 PT. Dwi Bina Utama KM. Binama 3 4 PT. Alfa Kurnia Fish Enterprise PT. West Irian Fishing Industries Hasil tangkap sampingan KM. Kurnia No. 2 KM. Udang No x 6.90 x 2.95 m x 6.50 x 3.0 m x 7.20 x 3.20 m x 7.52 x 8.15 m Pukat Udang (Hp 24 m, Gp 27 m) Pukat Udang (Hp 18 m, Gp 21.6 m) Pukat Udang Pukat Udang (Gr 32 m) Otter Board Otter Board, Wire Rope, Winch, TED Test Net, Otter Board, TED, TEST/Main Winch Try Net, Winch Selain udang, terdapat pula berbagai jenis ikan lainnya yang ikut terjaring oleh kapal penangkap pukat udang yang bukan merupakan tangkapan utama. Berdasarkan data perusahaan, diperoleh informasi bahwa jenis-jenis ikan hasil tangkap sampingan antara lain kuro, petek, layur, tiga waja, kuniran, layang, sebelah, lidah, bawal, swanggi, kembung dan gulamah (Tabel 11). Ikan-ikan tersebut dihargai di pasaran berkisar antara Rp per kg hingga Rp per kg. Adapun jenis ikan dan komposisi dari hasil tangkap sampingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 14. Gerot-gerot ( Pomadasys sp) Lidah ( Cygnoglosus sp) Tiga waja (Johnius dussumieri) Gulamah (Argyrosomus amoyensis) Beloso (Saurida tumbil) Biji nangka (Openeus sp) Lencam (Lethrinus sp) Kurisi (Nemiptherus nematophorus) Gambar 14 Beberapa jenis ikan hasil tangkap sampingan kapal pukat udang (Welly 2008). 62

83 Tabel 12 Jenis dan persentase by-catch serta alternatif pemanfaatan Jenis ikan Persentase Alternatif No pemanfaatan 1 Kakap (Lutjanus sp) 2,03 2. Bawal (Formio dan Pampus) 1,25 3. Kembung (Rastrelliger sp) 1,28 4. Ketang-ketang (Drepane sp) 2,31 Utuh dan olahan 5. Layur (Trichiurus sp) 1,38 lainnya 6. Tenggiri (Scomberomorus sp) Baronang (Siganus sp) *) 1,28 Jumlah 10,96 8. Gulamah (Argyrosomus amoyensis) 3,65 9. Sebelah (Psettodes sp) 1, Biji Nangka (Openeus sp) 1, Terubuk (Hilsa sp) *) 0, Alu-alu (Sphyraena sp) 0, Bambangan (Lutjanus sp) 4, Beloso (Saurida sp) 4,4 15. Kurisi (Nemiptherus sp) 1,6 16. Pisang-pisang (Caesio chrysozonus) 1,46 Surimi 17. Cendro (Triacanthus sp) 0, Lencam (Lethrinus sp) 3, Tiga Waja (Johnius dussumieri) 5, Kerong-kerong (Therapon sp) 0, Swangi (Priacanthus tayenus) 1, Gerot-gerot (Pomadasys sp) 1, Mata besar (Scolopsis sp) 0, Krisi (Pentapodus sp) 0, Ekor kuning (Anthias sp) 0,73 Jumlah 34, Selar Kuning (Selaroides sp) 0, Ikan buntal (Lagocephalus sp) 0, Lemuru (Sardinella sp) 0, Nomei (Harpodon sp) 0, Peperek (Leiognathus sp) 49,65 Tepung ikan dan 31. Bulu Ayam (Thryssa sp) 0,65 olahan lainnya 32. Japuh (Dusumieria sp) 0, Trompet (Fistularia sp) 0, Pinjalo (Pristipomoides sp) 0,88 Jumlah 54,79 Jumlah Total Sumber : Sumiono (2000) diolah *) Perlu diverifikasi ulang 63

84 Dalam pemanfaatannya, hasil tangkap sampingan tersebut dapat dikatagorikan menjadi 3 katagori kelaikan pemanfaatan berdasarkan jenis ikan, yaitu jenis ikan ekonomis penting seperti kakap merah, kerapu, bawal, kembung, layur dan tenggiri secara ekonomis dimanfaatkan dalam bentuk utuh atau fillet beku yang jumlahnya diperkirakan mencapai 10,96%; jenis ikan yang laik untuk dimanfaatkan sebagai surimi, antara lain ikan beloso, gulama, biji nangka, kurisi, dll berjumlah 34,25% dan jenis ikan non ekonomis yang tidak laik untuk surimi seperti ikan peperek, lemuru, bulu ayam dan lain-lain sejumlah 54,79% untuk dijadikan ikan asin dan tepung ikan. Rasio tangkapan utama dan sampingan bervariasi menurut daerah penangkapan dan waktu. Allops (1981) menyatakan bahwa di daerah tropis rata-rata rasio HTS terhadap udang berkisar 10:1. Menurut Widodo (1998), HTS bervariasi antara 8 13 kali hasil tangkapan udang. Hasil survey (Tabel 9) menunjukkan rasio udang dan by-catch adalah 1 : 12, hal ini sesuai dengan Sumiono (2000) yang menyebutkan rasio udang dan HTS pada penangkapan di laut Arafura adalah 1 : 12 dengan sebagian besar berupa ikan demersal, hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Badrudin (2004) di Laut Arafura menyebutkan bahwa rasio udang dan HTS adalah 1 : 12. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap (2006), dengan mengunakan rasio 1 : 12 terlihat bahwa sepanjang tahun 2002 sampai dengan 2006 akan tersedia HTS yang dapat digunakan sebagai bahan baku surimi rata-rata sebesar ton per tahun (Gambar 15). GRAFIK HASIL TANGKAPAN UDANG LAUT DAN PERKIRAAN "BY CATCH" DI INDONESIA TIMUR (ARAFURA) TAHUN PRODUKSI (Ton/Tahun) Sumber : Produksi (Tahun) Udang Laut (Ton) By Catch (Ton) Data Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun (diolah) Gambar 15 Grafik hasil tangkapan udang dan perkiraan by-catch di Indonesia Timur (Arafura) tahun

85 4.4 Pembahasan Usaha perikanan tangkap di Provinsi Papua Barat yang dilakukan oleh 12 perusahaan seperti PT Alfa Kurnia Fish Enterprise (AKFE), PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development (IMPD) dan PT West Irian Fishing Industries (WIFI) pada umumnya mengoperasikan kapal pukat udang dengan target tangkapan utama adalah udang. Kapal pukat udang tersebut umumnya beroperasi di Laut Arafura dan berpangkalan di Sorong, Papua Barat. Adapun jumlah kapal pukat udang yang berpangkalan di Sorong dan beroperasi di Laut Arafura adalah sebanyak 102 unit armada, sedangkan jumlah kapal pukat udang yang beroperasi di LautArafura secara keseluruhan adalah sebanyak 502 unit armada. Kapal-kapal pukat udang yang ada rata-rata berukuran antara 91 GT hingga 303 GT, dengan kekuatan mesin berkisar antara 425 PK hingga 1200 PK. Kapal-kapal tersebut melakukan penangkapan di Laut Arafura, Samudera Pasifik, Laut Timor (ZEEI), Perairan Irian Barat serta di Teluk Cenderawasih, seperti yang terlihat pada Gambar 16. Daerah penangkapan tersebut telah sesuai dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) kapal-kapal tersebut. Gambar 16 Wilayah pengelolaan perikanan kapal penangkapan pukat udang. Kapal-kapal pukat udang dalam melakukan operasi 1 (satu) trip atau selama 51 hari, melakukan hauling sebanyak 301 kali dengan jumlah hasil tangkapan untuk setiap hauling rata-rata sebesar 46,05 kg, sehingga diperoleh total tangkapan utama berupa udang banana sebesar kg atau 13,86 ton per trip (Tabel 8). Hasil tangkapan tersebut relatif sama 65

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI

4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI 4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI 4.1 Pendahuluan Usaha penangkapan ikan khususnya penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pukat udang dengan target utama adalah udang (udang putih dan jerbung)

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7.1 Pendahuluan Surimi pada dasarnya adalah daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit dan duri serta telah dibersihkan dari lemak, merupakan bahan baku

Lebih terperinci

Lampiran 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat

Lampiran 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat Lampiran 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat NO NAMA PERUSAHAAN KAPAL GT PK HARI OPERASI DAERAH TANGKAPAN WPP 1 ALFA KURNIA FISH ENTERPRISE, PT. KURNIA

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

THE FEASIBILITY ANALYSIS OF SEINE NET THE MOORING AT PORT OF BELAWAN NORTH SUMATRA PROVINCE

THE FEASIBILITY ANALYSIS OF SEINE NET THE MOORING AT PORT OF BELAWAN NORTH SUMATRA PROVINCE 1 THE FEASIBILITY ANALYSIS OF SEINE NET THE MOORING AT PORT OF BELAWAN NORTH SUMATRA PROVINCE By Esra Gerdalena 1), Zulkarnaini 2) and Hendrik 2) Email: esragerdalena23@gmail.com 1) Students of the Faculty

Lebih terperinci

MODIFIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG DI LAUT ARAFURA. Abstract

MODIFIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG DI LAUT ARAFURA. Abstract MODIFIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH PUKAT UDANG DI LAUT ARAFURA Modification Technology of Surimi Processing through Utilization By-Catch of Shrimp Net in Arafura Sea Nazori

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu subsektor pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah Indonesia terdiri atas perairan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal Ismail, Indradi 1, Dian Wijayanto 2, Taufik Yulianto 3 dan Suroto 4 Staf Pengajar

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 ANALISIS HASIL TANGKAPAN ALAT PENANGKAPAN JARING INSANG SATU LEMBAR (GILLNET) DAN TIGA LEMBAR (TRAMMEL NET) DI PERAIRAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI IKHWANUL CHAIR NAWAR 090302056 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial bertujuan untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan dalam perencanaan suatu industri melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan mempergunakan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Bangka Selatan dilakukan selama 6 bulan dari Bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010. Pengambilan data dilakukan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA FISHING FLEET PRODUCTIVITY AND POTENTIAL PRODUCTION OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA ABSTRAK Purwanto Anggota Komisi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tangkapan sampingan (bycatch) menjadi masalah ketika bycatch yang dikembalikan ke laut (discarded) tidak semuanya dalam keadaan hidup atau berpeluang baik untuk

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ' ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Maju Bersama, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

VII. RENCANA KEUANGAN

VII. RENCANA KEUANGAN VII. RENCANA KEUANGAN Rencana keuangan bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Untuk melakukan

Lebih terperinci

II. KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN II. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori yang digunakan dalam penelitian. Teori-teori ini berkaitan erat dengan permasalahan yang ada

Lebih terperinci

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28 Jurnal perikanan dan kelautan 17,2 (2012): 28-35 ANALISIS USAHA ALAT TANGKAP GILLNET di PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. A. Pengolahan Ikan

II. LANDASAN TEORI. A. Pengolahan Ikan II. LANDASAN TEORI A. Pengolahan Ikan Pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan, sehingga mampu disimpan lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan sebagai bahan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN PERLUASAN USAHA PEMASOK IKAN HIAS AIR TAWAR Budi Fish Farm Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Oleh: DWIASIH AGUSTIKA A

ANALISIS KELAYAKAN PERLUASAN USAHA PEMASOK IKAN HIAS AIR TAWAR Budi Fish Farm Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Oleh: DWIASIH AGUSTIKA A ANALISIS KELAYAKAN PERLUASAN USAHA PEMASOK IKAN HIAS AIR TAWAR Budi Fish Farm Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor Oleh: DWIASIH AGUSTIKA A 14105665 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 HALAMAN PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes Oleh: Muh. Ali Arsyad * dan Tasir Diterima: 0 Desember 008; Disetujui:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan milik Bapak Sarno yang bertempat di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Definisi Proyek Menurut Kadariah et al. (1999) proyek merupakan suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari   ABSTRAK EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU Oleh T Ersti Yulika Sari Email: nonnysaleh2010@hotmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui usaha perikanan tangkap yang layak untuk

Lebih terperinci

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Hasil tangkapan di PPS Belawan idistribusikan dengan dua cara. Cara pertama adalah hasil tangkapan dari jalur laut didaratkan di PPS Belawan didistribusikan

Lebih terperinci

ANALISA KELAYAKAN BISNIS PT. SUCOFINDO UNIT PELAYANAN DONDANG. Sahdiannor, LCA. Robin Jonathan, Suyatin ABSTRACT

ANALISA KELAYAKAN BISNIS PT. SUCOFINDO UNIT PELAYANAN DONDANG. Sahdiannor, LCA. Robin Jonathan, Suyatin ABSTRACT ANALISA KELAYAKAN BISNIS PT. SUCOFINDO UNIT PELAYANAN DONDANG Sahdiannor, LCA. Robin Jonathan, Suyatin Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Indonesia. ABSTRACT SAHDIANNOR,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT 36 IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT Wilayah utara Jawa Barat merupakan penghasil ikan laut tangkapan dengan jumlah terbanyak di Propinsi Jawa Barat. Pada tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI. Oleh :

PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI. Oleh : PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI Oleh : PRAPTI AKHIRININGSIH NPM : 0533010001 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemasok utama kakao dunia dengan persentase 13,6% (BPS, 2011). Menurut

I. PENDAHULUAN. pemasok utama kakao dunia dengan persentase 13,6% (BPS, 2011). Menurut I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama kakao

Lebih terperinci

Makalah Analisis Bisnis dan Studi Kelayakan Usaha

Makalah Analisis Bisnis dan Studi Kelayakan Usaha Makalah Analisis Bisnis dan Studi Kelayakan Usaha ANALISIS BISNIS DAN STUDI KELAYAKAN USAHA MAKALAH ARTI PENTING DAN ANALISIS DALAM STUDI KELAYAKAN BISNIS OLEH ALI SUDIRMAN KELAS REGULER 3 SEMESTER 5 KATA

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

Feasibility Analysis of Patin Fish Business (Pangasius Sutchi) In Sipungguk Village Pond Salo Sub District Regency of Kampar Riau Province

Feasibility Analysis of Patin Fish Business (Pangasius Sutchi) In Sipungguk Village Pond Salo Sub District Regency of Kampar Riau Province Feasibility Analysis of Patin Fish Business (Pangasius Sutchi) In Sipungguk Village Pond Salo Sub District Regency of Kampar Riau Province By Muhammad Syafii 1), Darwis 2), Hazmi Arief 2) Faculty of Fisheries

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh di kawasan sentra nelayan dan pelabuhan perikanan yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),

Lebih terperinci

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian oleh Dwi Susianto pada tahun 2012 dengan judul Travel AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2016 di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Bahan

Lebih terperinci

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI SURIMI IKAN AIR TAWAR DAN PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT KABUPATEN BOGOR Oleh : Heru Sumaryanto Joko Santoso Pudji Muljono Chairita

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG Oleh : FIRMAN SANTOSO C54104054 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Gula merah tebu merupakan komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula. Gula merah tebu dapat menjadi pilihan bagi rumah tangga maupun industri

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Agrifarm, yang terletak di desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Tempat penelitian dan pengambilan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Blanakan, Kabupaten Subang. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi daging ayam dinilai masih kurang. Berkenaan dengan hal itu, maka

BAB I PENDAHULUAN. produksi daging ayam dinilai masih kurang. Berkenaan dengan hal itu, maka 1 BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Peluang usaha di bidang peternakan ayam pada saat ini terbilang cukup baik, karena kebutuhan akan daging ayam setiap tahunnya meningkat, sementara produksi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH PRODUK KERUPUK BERBAHAN BAKU IKAN DAN UDANG (Studi Kasus Di Perusahaan Sri Tanjung Kabupaten Indramayu)

ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH PRODUK KERUPUK BERBAHAN BAKU IKAN DAN UDANG (Studi Kasus Di Perusahaan Sri Tanjung Kabupaten Indramayu) Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. VIII No. 2 /Desember 2017 (118-125) ANALISIS USAHA DAN NILAI TAMBAH PRODUK KERUPUK BERBAHAN BAKU IKAN DAN UDANG (Studi Kasus Di Perusahaan Sri Tanjung Kabupaten Indramayu)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. METODE PENELITIAN Nilai tambah yang tinggi yang diperoleh melalui pengolahan cokelat menjadi berbagai produk cokelat, seperti cokelat batangan merupakan suatu peluang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014.

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. II. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Tempat Pengambilan sampel harga pokok produksi kopi luwak dilakukan di usaha agroindustri

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Analisis Kelayakan Usaha Analisis Kelayakan Usaha atau disebut juga feasibility study adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada akhirnya setelah penulis melakukan penelitian langsung ke perusahaan serta melakukan perhitungan untuk masing-masing rumus dan mencari serta mengumpulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Terkait penulisan skripsi ini, ada beberapa penulis terdahulu yang telah melakukan penelitian yang membahas berbagai persoalan mengenai analisis kelayakan usaha. Adapun skripsi

Lebih terperinci

PEMBUATAN SAUS KUPANG MERAH (Musculita senhausia) DENGAN PERLAKUAN KONSENTRASI ASAM SITRAT DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI

PEMBUATAN SAUS KUPANG MERAH (Musculita senhausia) DENGAN PERLAKUAN KONSENTRASI ASAM SITRAT DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI PEMBUATAN SAUS KUPANG MERAH (Musculita senhausia) DENGAN PERLAKUAN KONSENTRASI ASAM SITRAT DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI Oleh : Fitri Meidianasari NPM. 0633010006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI USAHATANI PEMBIBITAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SLEMAN TESIS

ANALISIS INVESTASI USAHATANI PEMBIBITAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SLEMAN TESIS ANALISIS INVESTASI USAHATANI PEMBIBITAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SLEMAN TESIS untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Ilmu Peternakan Kelompok Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian

Lebih terperinci