2 KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH (ICRC) Didirikan oleh lima warga negara Swiss pada tahun 1863 yaitu (Henry Dunant, Guillaume-Henri Dufour, Gustave

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH (ICRC) Didirikan oleh lima warga negara Swiss pada tahun 1863 yaitu (Henry Dunant, Guillaume-Henri Dufour, Gustave"

Transkripsi

1 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Menjawab Pertanyaan Anda COVER_Hukum Humaniter DR.indd 1 2/28/2011 6:01:50 AM

2 2 KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH (ICRC) Didirikan oleh lima warga negara Swiss pada tahun 1863 yaitu (Henry Dunant, Guillaume-Henri Dufour, Gustave Moynier, Louis Appia, dan Thêodore Maunoir), ICRC merupakan cikal bakal Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. ICRC adalah lembaga kemanusiaan yang tidak memihak, netral, dan mandiri lahir karena terjadinya perang lebih dari 130 tahun yang lalu merupakan organisasi yang unik memperoleh mandatnya dari masyarakat internasional bertindak sebagai penengah yang netral antara pihak-pihak yang berperang dalam kapasitasnya sebagai promotor dan pemelihara Hukum Humaniter Internasional berupaya melindungi dan menolong para korban konflik bersenjata, gangguan dalam negeri, dan situasi kekerasan dalam negeri lainnya. ICRC bekerja aktif di sekitar 80 negara dan mempunyai kurang lebih karyawan (data 2010). ICRC dan Gerakan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Perhimpunanperhimpunan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Nasional, bersamasama dengan Federasi Internasional Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah/Bulan Sabit Merah, bergabung membentuk Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Gerakan). Sebagai kebiasaan, perwakilan dari organisasi-organisasi tersebut bertemu setiap empat tahun sekali dengan perwakilan dari Negaranegara peserta Konvensi-konvensi Jenewa dalam sebuah Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Landasan kegiatan ICRC Selama konflik bersenjata internasional, ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 (lihat Pertanyaan 4). Perjanjianperjanjian ini memberikan hak kepada ICRC untuk menyelenggarakan kegiatan tertentu seperti memberikan pertolongan kepada personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam, mengunjungi tawanan perang (prisoners of war), memberikan bantuan kepada penduduk sipil dan, secara umum, memastikan agar orang-orang yang dilindungi oleh Hukum Humaniter diperlakukan sesuai dengan hukum tersebut. Selama konflik bersenjata non-internasional, ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II 1977 (lihat indeks). Pasal 3 tersebut juga mengakui hak ICRC untuk menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang berperang, yaitu melakukan aksi pemberian bantuan dan mengunjungi orangorang yang ditahan sehubungan dengan konflik. Dalam situasi kekerasan yang belum setara dengan konflik bersenjata (yaitu gangguan dalam negeri dan situasi kekerasan dalam negeri lainnya), ICRC melakukan kegiatannya berdasarkan Pasal 5 Anggaran Dasar Gerakan, yang memberi ICRC hak untuk melakukan prakarsa kemanusiaan. Hak tersebut juga bisa digunakan dalam konflik bersenjata internasional dan noninternasional. Semua pasal dan instrumen hukum tadi bersama-sama merupakan mandat yang diberikan kepada ICRC oleh masyarakat internasional, yaitu Negara-negara. MISI Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri, yang misinya sematamata bersifat kemanusiaan, yaitu melindungi kehidupan dan martabat para korban konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan lainnya, dan memberi mereka bantuan. ICRC juga berusaha untuk mencegah penderitaan dengan mempromosikan dan memperkuat hukum humaniter dan prinsipprinsip kemanusiaan universal. Didirikan pada tahun 1863, ICRC merupakan cikal bakal dari Konvensi-konvensi Jenewa dan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. ICRC mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan internasional yang dilakukan oleh Gerakan dalam konflik-konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan lainnya. International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix 1202 Geneva, Switzerland T F icrc.gva@icrc.org Original: English Oktober 2002 ICRC Delegasi Indonesia Jl. Iskandarsyah I / 14 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan12160 Telp. : / Fax. : dja_djakarta@icrc.org Versi: Bahasa Indonesia Februari 2008 COVER_Hukum Humaniter DR.indd 2 2/28/2011 6:01:50 AM

3 RINGKASAN PERTANYAAN Apa itu Hukum Humaniter Internasional? Apa saja aturan-aturan dasar dalam Hukum Humaniter Internasional? Bagaimana asal-usul Hukum Humaniter Internasional? Perjanjian-perjanjian internasional apa saja yang membentuk Hukum Humaniter Internasional? Siapa saja yang terikat oleh Konvensi-konvensi Jenewa? Apa itu jus ad bellum dan jus in bello? Dalam situasi apa Hukum Humaniter berlaku? Untuk siapa hukum ini ditujukan dan siapa yang dilindunginya? Apakah Hukum Humaniter berlaku bagi konflik "jenis baru"? Bagaimana Hukum Humaniter beradaptasi dengan perkembangan baru dan apa peran ICRC dalam proses tersebut? Apa yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter mengenai bantuan material bagi korban konflik bersenjata? Apa yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter mengenai pemulihan hubungan keluarga? Seperti apa ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur penggunaan lambang? Bagaimana Hukum Humaniter melindungi pengungsi eksternal dan pengungsi internal? Langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mengimplementasikan Hukum Humaniter? Apa peran ICRC dalam memastikan penghormatan terhadap Hukum Humaniter? Bagaimana penjahat perang dituntut berdasarkan Hukum Humaniter? Apa perbedaan antara Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia? Apakah Hukum Humaniter berlaku bagi operasi penjagaan perdamaian dan operasi penegakan perdamaian yang dilaksanakan oleh atau di bawah perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)? Apa yang dikatakan Hukum Humaniter mengenai terorisme? Indeks Bibliografi _Hukum Humaniter DR.indd 3 2/28/2011 5:58:12 AM

4 4 Peduli bagi semua korban luka di medan pertempuran 1 APA ITU HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan bagian terbesar pada Hukum Internasional Publik (lihat halaman berikut). HHI terdiri dari aturan-aturan yang pada masa konflik bersenjata berupaya untuk melindungi orang-orang yang tidak, atau tidak lagi, ambil bagian dalam peperangan dan untuk membatasi cara dan sarana berperang yang digunakan. Lebih tepatnya, yang dimaksud oleh ICRC dengan "HHI yang berlaku pada masa konflik bersenjata" adalah aturan-aturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun noninternasional. Demi alasan kemanusiaan, aturan-aturan tersebut membatasi hak pihakpihak yang terlibat konflik dalam hal pemilihan cara dan sarana berperang dan melindungi orang-orang serta benda-benda yang terkena, atau berkemungkinan terkena, dampak konflik (lihat Pertanyaan 3, 6, dan 17, yang memberikan informasi tambahan yang berguna). Jenewa dan Den Haag HHI, yang juga dikenal dengan nama Hukum Konflik Bersenjata atau Hukum Perang (lihat Terminologi di halaman berikut), mempunyai dua cabang: Hukum Jenewa, yang disusun untuk melindungi personil militer yang tidak lagi ambil bagian dalam pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil; Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihakpihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan-batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh. Nama masing-masing cabang HHI tersebut diambil dari nama kota di mana cabang yang bersangkutan untuk pertama kalinya dikodifikasi. Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977, yang mengkombinasikan kedua cabang HHI tersebut, perbedaan antara keduanya sekarang hanya bernilai historis dan didaktik. Siapa melawan siapa? Konflik bersenjata internasional (international armed conflict) adalah pertempuran antara angkatan bersenjata dari setidak-tidaknya dua Negara (perlu dicatat bahwa perang kemerdekaan nasional telah diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional). Konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) adalah pertempuran di wilayah sebuah Negara yang terjadi antara angkatan bersenjata reguler Negara yang bersangkutan dan kelompok bersenjata terindentifikasi atau antara kelompok-kelompok bersenjata. Untuk bisa digolongkan sebagai konflik bersenjata non-internasional, pertempuran tersebut harus mencapai tingkat intensitas tertentu dan berlangsung untuk jangka waktu tertentu. Gangguan dalam negeri (internal disturbance) ialah situasi yang ditandai dengan adanya gangguan serius terhadap ketertiban dalam negeri sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan kekerasan yang bukan merupakan konflik bersenjata (misalnya: huru hara, perkelahian antar faksi, atau pergolakan melawan pihak penguasa). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 4 2/28/2011 5:58:13 AM

5 Grotious dan Hukum Bangsa-Bangsa Dalam bahasa percakapan masa kini, Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations) sama artinya dengan "Hukum Internasional Publik" atau "Hukum Internasional," yang merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan antar-negara dan hubungan antara Negara dan anggota-anggota masyarakat internasional lainnya. Grotius (lihat indeks), seorang ahli hukum dan diplomat, adalah bapak Hukum Bangsa-Bangsa. Setelah terjadinya gerakan Reformasi, yang memecah belah gereja Kristen di Eropa, dia berpandangan bahwa hukum bukan lagi ungkapan keadilan ilahi melainkan hasil penalaran manusia dan bahwa hukum tidak lagi mendahului aksi melainkan timbul karena adanya aksi. Dengan demikian, muncul kebutuhan untuk mencari sebuah prinsip pemersatu lain bagi hubungan internasional. Hukum Bangsa-Bangsalah yang kemudian dijadikan prinsip tersebut. Dalam bukunya De jure belli ac pacis (Hukum tentang Perang dan Damai), Grotius menyusun sebuah daftar aturan yang sekarang menjadi salah satu landasan yang paling kokoh bagi Hukum Perang. Terminologi Istilah seperti Hukum Humaniter Internasional, Hukum Konflik Bersenjata, dan Hukum Perang bisa dianggap berpadanan satu dengan yang lain. Organisasi-organisasi internasional, universitas-universitas, dan bahkan Negara-negara cenderung memakai istilah Hukum Humaniter Internasional (atau Hukum Humaniter) sedangkan dua istilah yang lain lebih sering digunakan oleh angkatan bersenjata. Hukum Pengungsi Hukum HAM Hukum yang mengatur penyelesaian konflik secara damai Hukum Humaniter Internasional Hukum Kelautan Hukum yang mengatur hubungan diplomatik Hukum Lingkungan Hukum yang mengatur ruang angkasa Hukum yang mengatur tanggung jawab Negara Hukum yang mengatur organisasi internasional Hukum yang mengatur hubungan ekonomi NB: Bagan ini bukan upaya untuk mengklasifikasikan atau memperingkat berbagai cabang yang ada pada Hukum Internasional Publik. Bagan tersebut hanya menyebutkan beberapa dari cabang yang terkenal _Hukum Humaniter DR.indd 5 2/28/2011 5:58:13 AM

6 6 Thomas Pizer/ICRC "... begitu mereka meletakkan senjata, mereka bukan lagi musuh atau agen dari musuh. Mereka kembali menjadi orang biasa. Tidak lagi dibenarkan secara hukum membunuh mereka." 2 APA SAJA ATURAN-ATURAN DASAR DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? Pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan agar dapat menyelamatkan penduduk sipil dan harta benda sipil. Penduduk sipil secara keseluruhan maupun secara individual tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan terhadap objek militer. Orang yang tidak ikut serta, atau tidak dapat lagi ikut serta, dalam peperangan berhak dihormati kehidupannya dan keutuhan jiwa dan raganya. Orang-orang seperti ini harus dilindungi dalam segala keadaan dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Dilarang membunuh atau melukai musuh yang sudah menyerah atau yang sudah tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran. Pihak yang terlibat konflik maupun para anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai hak yang tak terbatas untuk memilih sarana dan cara berperang. Dilarang menggunakan senjata atau cara berperang yang berkemungkinan menimbulkan kerugian yang tidak perlu atau penderitaan yang berlebihan. Korban yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak terlibat konflik yang menguasai mereka. Personil medis dan bangunan, sarana transportasi, serta peralatan medis harus diselamatkan. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda pembeda yang menunjukkan bahwa orang dan objek yang mengenakan tanda tersebut harus dihormati. Kombatan yang tertangkap dan orang sipil yang berada di bawah kekuasaan pihak lawan berhak memperoleh penghormatan atas kehidupan, martabat, dan hak-hak pribadi mereka serta keyakinan politik, keyakinan agama, dan keyakinan-keyakinan lain mereka. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun pembalasan. Mereka berhak untuk bertukar berita dengan keluarga dan untuk menerima bantuan. Mereka harus memperoleh jaminan-jaminan dasar di bidang peradilan. Aturan-aturan ini, yang disusun oleh ICRC, merupakan intisari HHI. Aturan-aturan tersebut tidak memiliki kekuatan sebagai sebuah instrumen hukum dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku. Aturan-aturan tersebut disusun untuk memperlancar proses mempromosikan HHI (lihat indeks). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 6 2/28/2011 5:58:13 AM

7 IMAJI, Guntur/ICRC Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Seperti Grotius (lihat hal. 5 dan indeks), banyak ahli hukum dan ahli filsafat yang tertarik pada bidang peraturan konflik jauh sebelum Konvensi Jenewa yang pertama Tahun 1984 diadopsi dan dikembangkan. Pada abad 18, Jean-Jaques Rousseau memberikan sumbangan besar dengan merumuskan prinsip berikut ini menyangkut perkembangan perang antarnegara: "Perang bukanlah suatu hubungan antara orang dan orang melainkan hubungan antara Negara dan Negara, di mana individu saling bermusuhan hanya karena kebetulan, bukan sebagai manusia ataupun sebagai warga negara melainkan sebagai prajurit ( ). Karena tujuan perang adalah menghancurkan negara lawan, adalah absah membunuh prajurit lawan selama mereka membawa senjata; tetapi begitu mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh ataupun agen musuh melainkan kembali menjadi orang biasa sehingga tidak absah membunuh mereka." Pada tahun 1899, Fyodor Martens merumuskan prinsip berikut ini untuk hal-hal yang belum diatur dalam Hukum Humaniter: "( ) orang sipil dan kombatan tetap berada di bawah perlindungan dan kewenangan prinsip-prinsip Hukum Internasional yang berasal dari kebiasaan yang sudah mapan, dari prinsip-prinsip kemanusiaan, dan dari suara hati nurani publik." Prinsip di atas, yang dikenal dengan nama klausula Martens, dianggap sebagai bagian standar Hukum Kebiasaan ketika prinsip tersebut diintegrasikan ke dalam Pasal 1(2) Protokol Tambahan I Thn (lihat indeks). Kalau Rousseau dan Martens merumuskan prinsip-prinsip kemanusiaan, maka para penyusun Deklarasi St. Petersburg (lihat Pertanyaan 4) merumuskan, secara implisit maupun secara eksplisit, prinsip pembedaan (distinction), prinsip kepentingan militer (military necessity), dan prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (prevention of unnecessary suffering) sebagai berikut: "mempertimbangkan ( ): Bahwa satu-satunya tujuan yang absah untuk dicapai oleh Negara selama berlangsungnya perang ialah melemahkan angkatan bersenjata pihak musuh; Bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, cukuplah jika sebanyak mungkin prajurit berhasil dilumpuhkan; Bahwa pencapaian tujuan tersebut akan berlebihan dengan penggunaan senjata yang memperburuk penderitaan orang-orang yang sudah tidak berdaya atau membawa kematian tak terelakkan bagi mereka, yang sebenarnya tidak perlu." Protokol-protokol Tambahan 1977 mempertegas dan sekaligus menjabarkan prinsip-prinsip tersebut, terutama prinsip pembedaan: "( ) Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan, karena itu, harus mengarahkan operasinya hanya pada sasaran-sasaran militer." (Ps. 48 Protokol I; lihat juga Ps. 3 Protokol II). Akhirnya, prinsip proporsionalitas, yang mendasari ketiga prinsip di atas, berupaya menyeimbangkan dua kepentingan yang bertolak belakang, kepentingan yang satu didasarkan pada pertimbangan kebutuhan militer dan kepentingan yang satunya lagi didasarkan pada kebutuhan kemanusiaan, bilamana hak-hak atau laranganlarangannya tidak bersifat mutlak (lihat juga hal. 9) _Hukum Humaniter DR.indd 7 2/28/2011 5:58:15 AM

8 8 Elchin Mamedov/ICRC...untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah 3 BAGAIMANA ASAL-USUL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain seperti tercantum di bawah ini: Hukum apa yang mengatur konflik bersenjata sebelum lahirnya Hukum Humaniter yang ada sekarang ini? Pada awalnya ada sejumlah aturan tak tertulis, yang didasarkan pada kebiasaan, yang mengatur konflik bersenjata. Kemudian perjanjian-perjanjian internasional bilateral (kartel), yang disusun dengan tingkat kerincian berbeda-beda, secara berangsur-angsur mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang berperang kadang kala meratifikasi kartel semacam ini setelah peperangannya berakhir. Ada juga peraturan yang dikeluarkan oleh Negara bagi pasukannya (lihat Kode Lieber di halaman berikut). Dengan demikian, hukum yang saat itu berlaku dalam konflik bersenjata bersifat terbatas baik dari segi waktu maupun dari segi ruang. Maksudnya, hukum tersebut berlaku hanya untuk satu pertempuran atau satu konflik tertentu saja. Aturannya juga berubah-ubah, tergantung pada masa, tempat, moral, dan peradaban yang ada pada saat itu. Siapakah para perintis Hukum Humaniter yang ada sekarang ini? Ada dua orang yang memainkan peran esensial dalam pembentukan HHI yang kita kenal sekarang ini: Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour (lihat hal. 2). Dunant merumuskan gagasannya dalam bukunya berjudul "Kenangan dari Solferino" (A Memory of Solferino), yang terbit pada tahun Jenderal Dufour, didorong oleh pengalamannya sendiri dalam perang, menggunakan seluruh waktunya untuk memberikan dukungan moril secara aktif bagi pembentukan HHI, terutama dengan memimpin Konferensi Diplomatik Dunant: "Pada kesempatan-kesempatan istimewa tertentu, misalnya ketika para pendekar seni perang dari berbagai kebangsaan bertemu ( ), mungkin akan bermanfaat jika mereka dapat menggunakan konggres seperti ini untuk merumuskan suatu prinsip internasional tertentu yang disetujui oleh sebuah Konvensi dan memiliki sifat tidak dapat diganggu gugat dan yang, bilamana telah disetujui dan diratifikasi, dapat menjadi landasan bagi berdirinya perhimpunan bantuan bagi prajurit yang terluka di negaranegara Eropa." Dufour (kepada Dunant): "Kita perlu mengerti, melalui contoh-contoh gamblang seperti yang Anda laporkan itu, kesedihan dan penderitaan seperti apa yang ada di balik kebesaran medan pertempuran." HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 8 2/28/2011 5:58:17 AM

9 Bagaimana gagasan tersebut menjadi kenyataan? Pemerintah Swiss, atas desakan kelima pendiri ICRC (lihat hal. 2), mengadakan Konferensi Diplomatik 1864, yang dihadiri oleh 16 Negara yang kemudian mengadopsi Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata Yang Terluka di Medan Pertempuran Darat. Pembaharuan apa yang dihasilkan oleh Konvensi tersebut? Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar bagi Hukum Humaniter moderen. Konvensi ini terutama ditandai dengan hal-hal berikut: aturan tertulis tetap yang mempunyai lingkup universal untuk melindungi korban konflik; sifat multilateral, yaitu terbuka untuk semua Negara; kewajiban untuk memberikan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan yang sakit; penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis dan sarana transportasi serta peralatan medis dengan menggunakan sebuah lambang (yaitu palang merah di atas dasar putih). Hukum Humaniter sebelum dikodifikasi Keliru jika kita mengklaim bahwa pendirian Palang Merah pada tahun 1863 dan pengadopsian Konvensi Jenewa yang pertama pada tahun 1864 merupakan titik awal HHI seperti yang kita kenal dewasa ini. Karena tak ada satu pun masyarakat yang tidak mempunyai perangkat aturan sendiri, maka belum pernah ada perang yang tidak mempunyai aturan, yang jelas ataupun yang samar-samar, menyangkut kapan perang itu dimulai atau diakhiri dan bagaimana perang itu harus dilaksanakan. "Secara keseluruhan, praktik perang bangsa-bangsa primitif menggambarkan berbagai aturan internasional tentang perang sebagaimana yang kita kenal dewasa ini: aturan mengenai pembedaan jenis musuh; aturan mengenai keadaan, formalitas, dan kewenangan yang diperlukan untuk memulai dan mengakhiri perang; aturan yang memberikan batasan-batasan mengenai jumlah prajurit, waktu, tempat, dan cara bagi pelaksanaan perang; dan bahkan aturan yang melarang perang sama sekali." (Quincy Wright) Hukum-hukum perang yang paling tua diproklamirkan oleh bangsa-bangsa besar beberapa milenium sebelum jaman moderen ini. "Saya membuat hukum ini untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah." (Hammurabi, Raja Babylon) Banyak naskah kuno seperti Mahabharata, Alkitab, dan Al- Quran memuat aturan yang menganjurkan penghormatan terhadap musuh. Sebagai contoh, Viqayet sebuah naskah yang ditulis menjelang berakhirnya abad ke-13, yaitu pada puncak kejayaan bangsa Arab memerintah Spanyol memuat sebuah peraturan hukum yang sesungguhnya tentang perang. Karena itu, Konvensi Jenewa 1864, yang berbentuk perjanjian internasional multilateral, merupakan kodifikasi dan penguatan terhadap berbagai hukum dan kebiasaan perang yang kuno, sepotong-sepotong, dan terpencar-pencar, yang mengatur perlindungan bagi prajurit yang terluka maupun orang yang merawatnya (lihat halaman berikut). Kode Lieber (Lieber Code) Dari permulaan adanya perang hingga lahirnya Hukum Humaniter moderen, lebih dari 500 kartel, aturan perilaku, perjanjian, dan naskah tertulis lainnya yang mengatur peperangan berhasil dicatat. Salah satunya adalah Kode Lieber (lihat indeks), yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena kode tersebut menandai usaha pertama yang pernah dilakukan orang untuk mengkodifikasi berbagai hukum dan kebiasaan perang yang sudah ada. Namun, tidak seperti Konvensi Jenewa yang pertama (yang diadopsi satu tahun sesudahnya), Kode Lieber tidak berstatus traktat (perjanjian internasional) karena kode tersebut ditujukan hanya bagi para prajurit Union yang bertempur dalam Perang Saudara di Amerika _Hukum Humaniter DR.indd 9 2/28/2011 5:58:20 AM

10 10 ICRC Keluarga-keluarga yang dideportasi dari perkampungan Yahudi di Warsawa selama Perang Dunia Kedua 4 PERJANJIAN-PERJANJIAN APA SAJA YANG MEMBENTUK HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL? Diawali dalam bentuk Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, Hukum Humaniter yang ada sekarang ini merupakan hasil pengembangan secara bertahap, yang sering kali dilakukan setelah terjadinya peristiwa yang membuat pengembangan baru terhadap hukum tersebut sangat dibutuhkan, untuk memenuhi semakin meningkatnya kebutuhan akan bantuan kemanusiaan sebagai akibat terjadinya perkembangan di bidang persenjataan dan timbulnya jenis-jenis konflik yang baru. Berikut ini adalah perjanjianperjanjian internasional (traktat-traktat) utama yang membentuk HHI, yang disajikan sesuai urutan kronologis pengadopsian: 1864 Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka di Medan Pertempuran Darat 1868 Deklarasi St. Petersburg (pelarangan penggunaan proyektil-proyektil tertentu pada waktu perang) 1899 Konvensi-konvensi Den Haag, yang menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang di darat dan menyesuaikan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1864 terhadap peperangan laut Peninjauan kembali dan pengembangan Konvensi Jenewa Peninjauan kembali Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan pengadopsian Konvensi-konvensi Baru 1925 Protokol Jenewa tentang larangan penggunaan gas cekik, gas racun, dan gas-gas lainnya dan penggunaan metode perang bakteri 1929 Dua Konvensi Jenewa: Peninjuan kembali dan pengembangan Konvensi Jenewa 1906 Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang (baru) 1949 Empat Konvensi Jenewa I. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan yang sakit di medan pertempuran darat II. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka, yang sakit, dan yang kapalnya karam di medan pertempuran laut III.Perlakuan terhadap tawanan perang IV.Perlindungan terhadap penduduk sipil pada masa perang (baru) 1954 Konvensi Den Haag mengenai perlindungan terhadap benda-benda budaya pada waktu konflik bersenjata 1972 Konvensi tentang larangan atas pengembangan, pembuatan, dan penimbunan senjata bakteri (biologi) dan senjata racun dan tentang pemusnahannya 1977 Dua Protokol Tambahan untuk keempat Konvensi Jenewa 1949, yang memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata internasional (Protokol I) dan konflik bersenjata non-internasional (Protokol II) 1980 Konvensi tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan senjatasenjata konvensional tertentu yang dapat dianggap berpotensi menimbulkan luka yang berlebihan atau memberikan efek tidak pandang bulu (Certain Conventional Weapons Convention/CCW), yang termasuk: Protokol (I) tentang fragmen (pecahan logam) yang tidak dapat dideteksi Protokol (II) tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan ranjau darat, booby trap, dan alatalat lain HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 10 2/28/2011 5:58:24 AM

11 Protokol (III) tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan senjata pembakar 1993 Konvensi tentang larangan atas pengembangan, pembuatan, penimbunan, dan penggunaan senjata kimia dan tentang pemusnahannya 1995 Protokol tentang senjata laser yang membutakan (Protokol IV [baru] untuk Konvensi 1980) 1996 Revisi Protokol tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan ranjau, booby trap, dan alat-alat lain (Protokol II [hasil revisi) untuk Konvensi 1980) 1997 Konvensi tentang larangan atas penggunaan, penyimpanan, pembuatan, dan pengiriman ranjau darat antipersonil dan tentang pemusnahannya 1998 Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) 1999 Protokol untuk Konvensi 1954 tentang benda-benda budaya 2000 Protokol Opsional untuk Konvensi Hakhak Anak, menyangkut keterlibatan anak dalam konflik bersenjata 2001 Amandemen Pasal 1 Konvensi Senjata-senjata Konvensional Tertentu (CCW) Didorong oleh peristiwa Daftar di atas menunjukkan dengan jelas bahwa sejumlah konflik bersenjata tertentu membawa dampak langsung terhadap perkembangan HHI. Misalnya: Perang Dunia Pertama ( ) menjadi saksi penggunaan cara-cara berperang yang, walaupun bukan baru sama sekali, berlangsung pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Cara-cara berperang ini antara lain adalah: gas racun, pemboman udara yang pertama kali, dan penangkapan ratusan ribu tawanan perang. Perjanjian internasional 1925 dan 1929 di atas menanggapi perkembangan baru tersebut. Perang Dunia Kedua ( ) menewaskan penduduk sipil dan personil militer dalam jumlah yang seimbang, padahal rasionya 1 : 10 dalam Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1949, masyarakat internasional bereaksi terhadap angka-angka jumlah korban yang tragis itu, terlebih terhadap dampak mengerikan yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi-konvensi yang saat itu berlaku dan mengadopsi sebuah instrumen baru: Konvensi Jenewa Keempat untuk perlindungan penduduk sipil. Kemudian, pada tahun 1977, Protokol-protokol Tambahan diadopsi sebagai tanggapan terhadap dampak kemanusiaan dari berbagai perang kemerdekaan nasional, suatu hal yang hanya dicakup sebagian saja oleh Konvensi-konvensi Jenewa Asal-usul Konvensi-konvensi Jenewa 1949 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menandai sebuah kemajuan pesat dalam perkembangan HHI. Namun, setelah dekolonisasi, Negaranegara yang baru terbentuk tidak bersedia terikat oleh seperangkat aturan yang penyusunannya tidak melibatkan mereka itu. Apalagi, aturan-aturan perjanjian internasional yang mengatur perilaku peperangan (the conduct of hostilities) tersebut tidak mengalami perkembangan baru semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Den Haag pada tahun Karena merevisi Konvensikonvensi Jenewa dikhawatirkan akan membahayakan sebagian dari kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1949 tersebut, maka diputuskan untuk memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata dengan mengadopsi naskah baru dalam bentuk Protokol tambahan bagi Konvensikonvensi Jenewa tersebut (lihat Pertanyaan 9) Asal-usul Protokol-protokol Tambahan 1977 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menandai sebuah kemajuan pesat dalam perkembangan HHI. Namun, setelah dekolonisasi, Negaranegara yang baru terbentuk tidak bersedia terikat oleh seperangkat aturan yang penyusunannya tidak melibatkan mereka itu. Apalagi, aturan-aturan perjanjian internasional yang mengatur perilaku peperangan tersebut tidak mengalami perkembangan baru semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Den Haag pada tahun Karena merevisi Konvensi-konvensi Jenewa dikhawatirkan akan membahayakan sebagian dari kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1949 tersebut, maka diputuskan untuk memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata dengan mengadopsi naskah baru dalam bentuk Protokol tambahan bagi Konvensikonvensi Jenewa tersebut (lihat Pertanyaan 9) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahan 1977 terdiri dari hampir 600 pasal dan merupakan instrumeninstrumen utama HHI _Hukum Humaniter DR.indd 11 2/28/2011 5:58:25 AM

12 12...bekerja untuk pemahaman dan penyebarluasan pengetahuan tentang hukum humaniter internasional... 5 SIAPA SAJA YANG TERIKAT OLEH KONVENSI - KONVENSI JENEWA? Hanya Negara yang bisa menjadi peserta perjanjian internasional. Dengan demikian, hanya Negara yang bisa menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokolprotokol Tambahannya. Walaupun demikian, semua pihak yang terlibat konflik bersenjata, baik itu Negara ataupun aktor bukan Negara, terikat oleh HHI. Pada akhir tahun 1953, hampir semua Negara di dunia tepatnya 191 Negara telah menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa. Fakta bahwa konvensi-konvensi tersebut termasuk salah satu perjanjian internasional yang diterima oleh sebagian besar Negara membuktikan kesemestaannya/keuniversalannya. Dalam hal Protokol-protokol Tambahannya, 161 Negara telah menjadi peserta Protokol 1 sedangkan 156 Negara telah menjadi peserta Protokol II. Penandatanganan, ratifikasi, aksesi, reservasi, suksesi Perjanjian multilateral antara Negara-negara, misalnya Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya, memerlukan dua macam prodedur: a) penandatanganan yang diikuti dengan ratifikasi Walaupun penandatanganan tidak mengikat Negara, tindakan tersebut mewajibkannya untuk berperilaku dengan cara yang menganggap penting arti isi perjanjian internasional yang bersangkutan bilamana Negara penandatangan kemudian meratifikasinya dan berjanji dengan serius untuk menghormatinya. b) aksesi Aksesi adalah tindakan untuk menyatakan setuju terikat oleh sebuah perjanjian internasional yang dilakukan oleh Negara yang pada saat pengadopsian perjanjian internasional tersebut tidak ikut menandatanganinya. Aksesi mempunyai implikasi yang sama seperti ratifikasi. c) suksesi Sebuah Negara merdeka yang baru terbentuk dapat mengungkapkan keinginannya, melalui deklarasi suksesi, untuk tetap terikat oleh sebuah perjanjian internasional yang sudah berlaku di wilayahnya sebelum kemerdekaan. Negara yang bersangkutan juga boleh membuat deklarasi akan memberlakukan perjanjian yang bersangkutan untuk sementara waktu sambil mempelajari isinya sebelum melakukan aksesi atau suksesi. d) reservasi Dalam konteks prosedur-prosedur di atas, dan dengan syarat-syarat tertentu, sebuah Negara boleh membuat reservasi dengan tujuan membuang atau mengubah efek hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu yang ada pada perjanjian internasional yang bersangkutan. Syarat utamanya ialah bahwa reservasi tersebut tidak bertentangan dengan unsur-unsur substantif yang esensial yang ada pada perjanjian yang bersangkutan. Yang terakhir, gerakan kemerdekaan nasional yang dicakup oleh Ps. 1, alinea 4, Protokol I boleh berjanji untuk memberlakukan Konvensikonvensi Jenewa dan Protokol I dengan mengikuti prosedur khusus sebagaimana ditetapkan dalam Ps. 96, alinea 3, Protokol I. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 12 2/28/2011 5:58:26 AM

13 Didier Bregnard/ICRC Siapakah yang bertugas menyebarluaskan pengetahuan mengenai Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokolnya? Negaralah yang mempunyai kewajiban hukum untuk menyebarluaskan pengetahuan akan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokolnya: "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk, pada waktu damai maupun pada waktu perang, menyebarluaskan teks Konvensi ini seluas-luasnya di wilayah negara masing-masing dan, khususnya, untuk memasukkan studi tentangnya dalam programprogram pendidikan militer dan, bilamana mungkin, dalam program-program pendidikan sipil, agar prinsip-prinsip Konvensi ini dapat dikenal oleh seluruh penduduk, khususnya oleh angkatan bersenjata, personil medis, dan rohaniwan." (Ps. 47 KJ I, Ps. 48 KJ II, Ps. 127 KJ III, dan Ps. 144 KJ IV) "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk, pada waktu damai maupun pada waktu konflik bersenjata, menyebarluaskan teks Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini seluas-luasnya di wilayah negara masing-masing dan, khususnya, untuk memasukkan studi tentangnya dalam program-program pendidikan militer dan mendorong studi tentangnya di kalangan penduduk sipil, agar instrumen-instrumen hukum ini dapat dikenal oleh angkatan bersenjata dan penduduk sipil." (Ps. 83, Protokol I) "Protokol ini disebarluaskan seluas-luasnya." (Ps. 19, Protokol II) ICRC dan tugas penyebarluasan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, adalah tugas ICRC untuk: "( ) mengupayakan pemahaman dan penyebarluasan (diseminasi) pengetahuan tentang HHI yang berlaku dalam konflik bersenjata dan mempersiapkan pengembangan hukum tersebut" [Ps. 5(2)(g)] "( ) [memelihara hubungan yang erat dengan Perhimpunanperhimpunan Nasional] ( ) dalam hal-hal yang menjadi kepedulian bersama, misalnya penyiapan aksi pada masa konflik bersenjata, penghormatan, pengembangan, dan peratifikasian Konvensi-konvensi Jenewa, dan penyebarluasan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan HHI." [Ps. 5(4)(a)] _Hukum Humaniter DR.indd 13 2/28/2011 5:58:30 AM

14 14 Jus in bello: melindungi dan membantu korban-korban konflik bersenjata. 6 Tujuan HHI ialah untuk membatasi penderitaan yang timbul akibat perang dengan cara melindungi dan membantu korban semaksimal mungkin. Karena itu, hukum tersebut menyikapi realitas konflik tanpa mempersoalkan alasan ataupun legalitas bagi penggunaan kekuatan yang sedang berlangsung. HHI hanya mengatur aspek-aspek konflik yang berkaitan dengan kepedulian kemanusiaan. HHI-lah yang dimaksud dengan jus in bello (hukum dalam perang). Ketentuan-ketentuan yang ada pada hukum tersebut berlaku bagi pihakpihak yang berperang, tanpa mempedulikan apa sebenarnya alasan bagi konflik yang bersangkutan dan apakah perjuangan yang dilakukan oleh masing-masing pihak benar atau tidak. Dalam hal konflik bersenjata internasional, kadang sulit menentukan Negara mana yang bersalah telah melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (lihat Pertanyaan 18). Penerapan HHI tidak mengharuskan dilakukannya pengecaman terhadap pihak yang bersalah, karena hal itu justru akan menimbulkan perdebatan sehingga menghambat pelaksanaan HHI sendiri. Masing-masing pihak yang berperang akan mengklaim telah menjadi korban agresi. Apalagi, tujuan HHI ialah melindungi korban dan hak-hak fundamental yang dimilikinya, dari pihak manapun korban berasal. Karena itu, jus in bello harus tetap berdiri sendiri terpisah dari jus ad bellum atau jus contra bellum (hukum penggunaan kekuatan atau hukum pencegahan perang). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 14 2/28/2011 5:58:34 AM

15 Pelayanan Diseminasi dan Konsultasi Sebelum berakhirnya Perang Dunia Pertama, penggunaan kekuatan bersenjata tidak dianggap sebagai tindakan ilegal tetapi dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan perbedaan. Pada tahun 1919 diadopsi Perjanjian Liga Bangsa-bangsa (the Covenant of the League of Nations) dan, pada tahun 1928, diadopsi Traktat Paris (atau Pakta Briand-Kellogg) dalam rangka melarang peperangan. Pengadopsian Piagam PBB pada tahun 1945 mengukuhkan tren tersebut. "Dalam hubungan internasionalnya, anggota PBB menahan diri dari mengancam akan menggunakan kekuatan ataupun dari menggunakan kekuatan ( )." Halvor Fossum Lauritzen/ICRC Namun, bilamana sebuah Negara atau sekelompok Negara diserang oleh sebuah atau sekelompok Negara lain, Piagam PBB menjunjung tinggi hak Negara-negara untuk membela diri baik secara individual ataupun secara kolektif. Dewan Keamanan PBB, dengan mengacu pada Bab VII Piagam tersebut sebagai landasan (lihat Pertanyaan 18), dapat memutuskan untuk menggunakan kekuatan secara kolektif. Penggunaan kekuatan secara kolektif ini dapat berupa: tindakan pemaksaan (coercive measures) terhadap Negara yang membahayakan keamanan internasional, dengan tujuan memulihkan perdamaian; tindakan pemeliharaan perdamaian dalam bentuk misi pengamat atau misi pemeliharaan perdamaian. Sebuah contoh lain dapat diketemukan dalam kerangka hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Dalam resolusi 2105 (XX) yang diadopsi pada tahun 1965, Majelis Umum PBB "mengakui keabsahan perjuangan yang dikobarkan oleh bangsa-bangsa terjajah untuk melaksanakan hak mereka atas penentuan nasib sendiri dan atas kemerdekaan ( )." (Lihat hal. 16.) _Hukum Humaniter DR.indd 15 2/28/2011 5:58:34 AM

16 16 Ursula Meissner/ICRC Perlindungan bagi personil medis... 7 DALAM SITUASI APA HUKUM HUMANITER BERLAKU? UNTUK SIAPA HUKUM INI DITUJUKAN DAN SIAPA YANG DILINDUNGI? HHI berlaku dalam dua situasi. Dengan kata lain, HHI menyediakan dua sistem perlindungan: a) Konflik bersenjata internasional (lihat hal. 5) Dalam situasi ini, Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I berlaku. HHI pada dasarnya ditujukan untuk pihakpihak yang terlibat konflik internasional dan melindungi setiap orang atau kategori orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat aktif dalam peperangan, yaitu: personil militer yang terluka atau sakit di medan pertempuran darat, dan anggota dinas medis angkatan bersenjata; personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam dalam pertempuran laut, dan anggota dinas medis angkatan laut; tawanan perang; penduduk sipil, misalnya: - warga negara asing di wilayah negara yang terlibat konflik, termasuk pengungsi; - orang sipil di wilayah pendudukan; - tahanan sipil dan internir; - personil medis dan rohaniwan atau satuan pertahanan sipil (perlindungan massa). Perang kemerdekaan nasional, sebagaimana didefinisikan dalam Ps. 1 Protokol I, diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional (lihat hal. 12). b) Konflik bersenjata non-internasional (lihat hal. 5) Selama berlangsungnya konflik bersenjata non-internasional, Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa dan Protokol II berlaku. Perlu dicatat bahwa syarat-syarat bagi pemberlakuan Protokol II lebih ketat daripada yang ditetapkan dalam Pasal 3 tersebut (lihat Pertanyaan 19). Dalam situasi konflik bersenjata non-internasional, HHI ditujukan bagi angkatan bersenjata, yang reguler maupun yang bukan reguler, yang ikut serta dalam konflik tersebut dan melindungi setiap orang atau kategori orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat aktif dalam peperangan, misalnya: prajurit yang terluka atau sakit; orang yang dicabut kebebasannya (ditawan/ditahan) akibat konflik; penduduk sipil; personil medis dan personil keagamaan (rohaniwan). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 16 2/28/2011 5:58:35 AM

17 Thierry Gassmann/ICRC (Contact Press Images)/ICRC Bjorn Fjertoft/ICRC...orang yang dicabut kebebasannya...orang sipil...kombatan yang sakit atau terluka. HHI dan konflik bersenjata non-internasional Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa dianggap sebagai sebuah perjanjian internasional mini (lihat Pertanyaan 19). Ditambah dengan ketentuan-ketentuan Protokol II pun, perangkat aturan mengenai konflik bersenjata noninternasional tetap belum lengkap dibandingkan dengan perangkat aturan tentang konflik bersenjata internasional (lihat halaman sebalik). Memang sulit memperkuat sistem perlindungan tersebut dalam konflik bersenjata non-internasional karena adanya prinsip kedaulatan Negara. Hukum apa yang berlaku untuk gangguan dalam negeri dan situasi-situasi kekerasan dalam negeri lainnya? HHI tidak berlaku pada situasi kekerasan yang intensitasnya lebih rendah daripada konflik bersenjata. Kasus-kasus jenis ini diatur oleh ketentuan Hukum HAM (lihat Pertanyaan 17) dan peraturan perundangan nasional yang berlaku. Aturan-aturan yang termuat dalam Pasal 3 dianggap sebagai hukum kebiasaan dan merupakan standar minimum yang tidak pernah boleh diabaikan oleh pihak yang terlibat konflik _Hukum Humaniter DR.indd 17 2/28/2011 5:58:37 AM

18 18 Bahkan dalam konflik anarkis, aturan kemanusiaan harus berlaku. 8 APAKAH HUKUM HUMANITER BERLAKU BAGI KONFLIK JENIS BARU? Ada banyak pembicaraan dewasa ini tentang adanya konflik-konflik "jenis baru." Istilah ini mencakup berbagai jenis konflik bersenjata: konflik-konflik yang dikenal sebagai konflik "anarkis" dan konflik-konflik lain di mana identitas kelompok menjadi titik fokus. Terminologi tersebut digunakan secara agak bebas. Konflik "anarkis," yang kemunculannya tak diragukan lagi merupakan akibat berakhirnya Perang Dingin, sering kali ditandai oleh melemahnya atau runtuhnya struktur Negara secara sebagian atau bahkan secara total. Dalam situasi seperti ini, kelompokkelompok bersenjata memanfaatkan vakum politik yang ada dalam upaya mereka merebut kekuasaan. Namun, konflik jenis ini terutama ditandai oleh melemahnya atau runtuhnya rantai komando di dalam kelompok-kelompok bersenjata yang bersangkutan. Konflik-konflik yang bertujuan untuk menegaskan identitas kelompok sering kali mencoba meniadakan lawannya melalui cara "pembersihan etnik" (ethnic cleansing). Pembersihan etnik ialah tindakan memindahkan penduduk secara paksa atau bahkan tindakan membasmi penduduk. Di bawah pengaruh propaganda, kekerasan, dan kebencian yang semakin hari semakin membesar, konflik jenis ini memperkuat 'perasaan kelompok' dengan merugikan identitas nasional yang ada, karena 'perasaan kelompok' semacam itu meniadakan kemungkinan koeksistensi dengan kelompok-kelompok lain. HHI juga berlaku bagi konflik "anarkis" dan konflik yang terkait dengan "identitas kelompok" semacam itu, di mana penduduk sipil pada khususnya terpapar pada kekerasan. Pasal 3 Ketentuan Yang Sama (lihat halaman berikut) mengharuskan semua kelompok bersenjata, baik yang sedang terlibat pemberontakan maupun yang tidak, untuk menghormati individu-individu yang sudah meletakkan senjata serta mereka-mereka yang tidak terlibat dalam peperangan, misalnya orang sipil. Oleh karena itu, bukan karena melemahnya atau tidak adanya struktur Negaralah yang menyebabkan terjadinya vakum hukum menyangkut HHI. Justru, dalam keadaan seperti itulah HHI berlaku sepenuhnya sebagai dirinya sendiri. Memang, aturan-aturan Hukum Humaniter lebih sulit diterapkan dalam jenis-jenis konflik semacam itu. Tiadanya disiplin di antara pihak-pihak yang bertikai, dipersenjatainya penduduk sipil, masuknya senjata membanjiri wilayah yang bersangkutan, dan semakin samarnya perbedaan antara kombatan HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 18 2/28/2011 5:58:40 AM

19 dan orang sipil, semuanya ini sering kali menyebabkan konfrontasi yang bersangkutan menjadi sangat brutal sehingga ruang bagi penegakan aturan hukum menjadi sempit. Sebagai akibatnya, dalam situasi semacam itulah diperlukan upaya bersungguh-sungguh untuk membuat orang sadar akan Hukum Humaniter. Walaupun meningkatnya kesadaran akan Hukum Humaniter tidak akan memecahkan masalah mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik, hal tersebut dapat mengurangi konsekuensi yang mematikan dari konflik yang bersangkutan. Pasal 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa 1949: sebuah traktat mini Bilamana terjadi konflik bersenjata non-internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Negara Peserta Konvensikonvensi Jenewa, masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik tersebut wajib menerapkan sekurang-kurangnya ketentuanketentuan berikut: 1) Orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam peperangan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata dan anggota angkatan bersenjata yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran karena sakit, luka-luka, atau ditahan atau karena alasan-alasan lain harus diperlakukan secara manusiawi dalam segala keadaan, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria-kriteria lain yang serupa. Untuk tujuan tersebut, tindakan-tindakan berikut ini dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas di segala waktu dan dalam segala keadaan: a) tindakan kekerasan terhadap jiwa dan raga, terutama pembunuhan dalam segala jenisnya, pengudungan (mutilasi), perlakuan kejam, dan penyiksaan; b) penyanderaan; c) pelecehan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; d) penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman mati tanpa didahului oleh pembacaan keputusan oleh pengadilan reguler yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab. 2) Yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan kemanusiaan yang tidak memihak, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC), dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat konflik harus berusaha lebih lanjut untuk memberlakukan, dengan perjanjian-perjanjian khusus, semua atau sebagian dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Konvensi ini. Penerapan ketentuan-ketentuan tersebut tidak mempengaruhi status hukum pihak-pihak yang terlibat konflik. (Lihat hal. 16 dan 17.) _Hukum Humaniter DR.indd 19 2/28/2011 5:58:45 AM

20 20 Perjanjian Ottawa melarang penggunaan ranjau darat 9 BAGAIMANA HUKUM HUMANITER BERADAPTASI DENGAN PERKEMBANGAN BARU DAN APA PERAN ICRC DALAM PROSES TERSEBUT? HHI dikembangkan oleh Negara-negara melalui proses kodifikasi atau melalui praktik Negara (State practice). Kedua proses ini biasanya tumpang tindih. Praktik yang meluas oleh Negara-negara dapat mengkristal menjadi Hukum Internasional Kebiasaan. Praktik oleh Negara jugalah, yang kadang-kadang digabungkan dengan kegiatan LSM (lembaga swadaya masyarakat), yang dapat memicu pengkodifikasian Hukum Internasional (HI). Kodifikasi dapat menggunakan bentukbentuk traktat (perjanjian internasional) seperti konvensi, kovenan, protokol, atau pakta. Sebagai contoh, sejumlah Negara telah mengesahkan peraturan perundangan nasional yang secara implisit maupun eksplisit melarang penggunaan ranjau darat antipersonil. Namun, praktik pengesahan peraturan perundangan nasional semacam itu pada waktu itu belum meluas sehingga Hukum Kebiasaan mengenai larangan penggunaan ranjau darat antipersonil tersebut tidak terbentuk. Kemudian, pada tahun 1997, sebuah konferensi diadakan untuk menyusun sebuah konvensi khusus sehingga penggunaan, penimbunan, pembuatan serta transportasi ranjau antipersonil menjadi dilarang bagi semua Negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. Peran ICRC dalam pengembangan Hukum Humaniter adalah: memonitor perubahan-perubahan sifat konflik bersenjata; mengadakan konsultasi dalam rangka memastikan terciptanya kemungkinan untuk mencapai kesepakatan atas aturan-aturan baru; mempersiapkan rancangan peraturan untuk disampaikan pada konferensi diplomatik. Kedua Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa merupakan contoh mengenai bagaimana Hukum Humaniter dibuat, dari saat timbulnya gagasan hingga saat pengadopsian: berdasarkan rancangan peraturan yang dipersiapkan pada tahun 1956, yang kemudian menjadi resolusi yang diadopsi oleh dua Konferensi Internasional Palang Merah pada tahun 1960 and oleh Konferensi HAM Internasional di Teheran pada tahun 1968, ICRC mempelajari kemungkinan membuat suplemen bagi Konvensi-konvensi Jenewa 1949; pada tahun 1969, ICRC mengajukan gagasan penyusunan suplemen tersebut pada Konferensi Internasional Palang Merah ke-21 di Istambul. Para peserta konferensi ini, termasuk Negaranegara Peserta Konvensi-konvensi Jenewa, memberi mandat kepada ICRC untuk melaksanakan gagasan tersebut, dan para ahli hukum ICRC segera memulai kegiatan persiapan; dari tahun 1971 hingga 1974, ICRC mengadakan konsultasi dengan pemerintah-pemerintah maupun dengan Gerakan. Laporan kemajuan diberikan secara teratur kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB); pada tahun 1973, Konferensi Internasional Palang Merah ke- 22, yang diadakan di Teheran, mempelajari rancangan suplemen tersebut dan sepenuhnya mendukungnya; pada bulan Februari 1974, Pemerintah Swiss sebagai penyimpan (depository) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyelenggarakan Konferensi Diplomatik di Jenewa dalam rangka meneguhkan dan menyusun Hukum Humaniter Internasional yang berlaku pada konflik bersenjata. Konferensi ini terdiri dari empat sesi yang secara keseluruhan berakhir pada bulan Juni 1977; pada sesi terakhir Konferensi tersebut, sebanyak 102 pasal Protokol I and 28 pasal Protokol II diadopsi oleh para wakil berkuasa penuh dari sebanyak 102 Negara yang diwakili dalam Konferensi tersebut. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 20 2/28/2011 5:58:49 AM

21 ICRC sebagai promotor Hukum Humaniter Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (lihat hal. 13), salah satu tugas ICRC ialah mempersiapkan perkembangan yang bisa dilakukan terhadap HHI. Dengan demikian, ICRC adalah promotor HHI. Beberapa perkembangan terbaru (lihat juga Pertanyaan 4) Protokol tentang senjata laser yang membutakan, yang diadopsi pada Konferensi Diplomatik di Wina pada bulan Oktober 1995, melarang penggunaan dan pemindahan senjata laser, yang salah satu fungsi tempur utamanya ialah menimbulkan kebutaan permanen. Protokol ini juga mengharuskan Negara untuk mengambil segala tindakan pencegahan yang diperlukan, termasuk pelatihan angkatan bersenjata, untuk mencegah terjadinya kebutaan permanen sebagai akibat dari penggunaan yang sah atas sistem laser yang demikian. Dalam hal ranjau, lingkup pemberlakuan Protokol II Konvensi 1980 tersebut (lihat hal. 10) diperluas dengan diadopsinya versi amandemen Protokol tentang larangan atau pembatasan atas penggunaan ranjau, booby traps, and alat-alat lainnya di Jenewa pada tanggal 3 Mei Konvensi tentang larangan atas penggunaan, penimbunan, pembuatan, dan pengangkutan ranjau antipersonil dan tentang pemusnahannya, yang ditandatangani oleh 121 negara di Ottawa pada tanggal 3-4 Desember 1997, mutlak melarang ranjau antipersonil. Konvensi ini juga mengatur tentang pembersihan ranjau dan pemberian bantuan kepada korban ranjau. Perjanjian-perjanjian HHI yang mengandung aturan yang berlaku bagi perlindungan lingkungan antara lain adalah Pasal 56 Protokol Tambahan I dan Konvensi 10 Desember 1976 tentang larangan penggunaan teknik-teknik modifikasi lingkungan untuk tujuan militer atau tujuan perang. Namun, Perang Teluk 1991 menunjukkan bahwa aturan-aturan tersebut kurang dipahami dan kadang-kadang kurang rinci. Karena itu, pada tahun 1994, dengan dorongan dari Majelis Umum PBB dan dengan bantuan dari pakar-pakar di bidang itu, ICRC membuat rancangan Pedoman bagi penyusunan buku pegangan militer dan instruksi militer menyangkut perlindungan terhadap lingkungan hidup di masa konflik bersenjata. Perkembangan terbaru lainnya ialah Buku Pegangan San Remo (the San Remo Manual) tentang hukum internasional yang berlaku pada konflik bersenjata di laut. Pentingnya penyusunan buku pegangan tersebut, yang dilakukan oleh Institut Internasional Hukum Humaniter (the International Institute of Humanitarian Law) dengan dukungan dari ICRC, diakui oleh pemerintahpemerintah melalui resolusi yang diadopsi oleh Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26, yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun Walaupun Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya tidak secara tegas melarang penggunaan senjata nuklir, prinsip-prinsip dan aturan-aturan HHI (lihat hal. 7) tetap berlaku dalam kasus ini. Prinsip-prinsip dan aturan-aturan ini antara lain mengharuskan pihak-pihak yang berperang untuk setiap saat membedakan antara kombatan dan non-kombatan dan melarang penggunaan senjata yang bisa menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Penerapan prinsip-prinsip dan aturan-aturan ini terhadap senjata nuklir ditegaskan kembali oleh Pengadilan Internasional (the International Court of Justice) di Den Haag pada tahun Sebuah perkembangan lebih lanjut ialah pengadopsian Statuta Pengadilan Pidana Internasional (the International Criminal Court) pada tanggal 17 Juli Statuta tersebut merupakan langkah penting dalam upaya mengurangi impunitas (kelolosan dari jerat hukum) dan memastikan meningkatnya penghormatan terhadap Hukum Humaniter. Pengadilan yang baru ini akan mempunyai kewenangan hukum atas kejahatan perang yang dilakukan dalam konflik bersenjata internasional maupun dalam konflik bersenjata non-internasional. Walaupun HHI telah menjadi dasar kewajiban untuk menuntut penjahat perang, pengadilan yang baru ini memperkuat perangkat hukum yang telah ada. Perkembangan terbaru menyangkut HHI berkenaan dengan sarana perang. Pada bulan Desember 2001, lingkup Konvensi PBB 1980 tentang larangan dan pembatasan atas penggunaan senjata-senjata konvensional tertentu diperluas. Sebelumnya, Konvensi tersebut hanya mencakup situasi konflik bersenjata internasional, tetapi Konferensi Kaji Ulang Kedua mengamendasi Pasal 1 dengan mengikutsertakan situasi konflik bersenjata non-internasional _Hukum Humaniter DR.indd 21 2/28/2011 5:58:53 AM

22 22 Korban perang punya hak untuk menerima bantuan yang mutlak mereka perlukan untuk bertahan hidup 10 APA YANG DITETAPKAN OLEH HUKUM HUMANITER MENGENAI BANTUAN MATERIAL BAGI PARA KORBAN KONFLIK BERSENJATA? Negara-negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa mengakui hak para korban konflik bersenjata untuk memperoleh bantuan yang mutlak mereka perlukan untuk bertahan hidup. Hak tersebut kemudian dikembangkan lebih jauh dengan pengadopsian Protokol-protokol Tambahan Dalam sebuah konflik bersenjata internasional, hak untuk memperoleh bantuan meliputi terutama: jalur bebas untuk pengiriman barangbarang tertentu yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil (Pasal 23 Konvensi Jenewa IV, yang disusun untuk menangani masalah blokade); kewajiban bagi Penguasa Pendudukan untuk menjamin tersedianya barangbarang kebutuhan pokok (esensial) bagi penduduk di wilayah yang didudukinya (Pasal 55 Konvensi Jenewa IV); bilamana persediaan barang-barang semacam itu dari mereka sendiri tidak memadai, Penguasa Pendudukan harus menyetujui penyediaan bantuan kemanusiaan (relief) oleh sumber-sumber luar (Pasal 59 Konvensi Jenewa IV). Protokol I (Ps. 69 dan 70) memperkuat perangkat aturan yang diadopsi pada tahun 1949 tersebut. Sebagai contoh, sebuah Negara dalam keadaan perang harus bersedia menerima skema pemberian bantuan kemanusiaan bersifat tidak memihak yang dilaksanakan tanpa diskriminasi bagi penduduk di wilayahnya, setelah skema tersebut disepakati oleh pihak-pihak terkait. Bilamana kondisikondisi sebagaimana disebutkan di atas memang ada, keliru jika skema bantuan kemanusiaan semacam itu ditolak karena pemberian bantuan semacam itu tidak dianggap oleh HHI sebagai tindakan campur tangan terhadap konflik bersenjata itu sendiri ataupun sebagai tindakan permusuhan. Dalam konflik bersenjata non-internasional, Protokol II (Ps. 18) menetapkan antara lain bahwa jika penduduk sipil mengalami penderitaan berlebihan karena tiadanya barang-barang yang mutlak mereka perlukan bagi kelangsungan hidup mereka, maka tindakan pemberian bantuan yang sepenuhnya bersifat kemanusiaan dan tidak memihak dan yang dilaksanakan tanpa diskriminasi harus dilakukan, setelah disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai (lihat hal. 19). Dewasa ini telah diakui secara umum bahwa Negara harus mengizinkan dilaksanakannya operasi pemberian bantuan kemanusiaan semacam itu. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 22 2/28/2011 5:58:57 AM

23 ICRC dan hak untuk memberikan bantuan ICRC pada setiap kasus mempunyai hak prakarsa (lihat hal. 2) yang memungkinkannya menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, terutama dengan tujuan memberikan bantuan kepada para korban. Pelayanan bantuan ICRC (yang berupa kegiatan pemberian bantuan darurat atau kegiatan pemberian bantuan lainnya) bukan merupakan campur tangan terhadap urusan dalam negeri sebuah Negara, karena pelayanan bantuan ICRC ditetapkan dalam HHI. Hukum Humaniter dan hak untuk mengintervensi atas dasar kemanusiaan. Sejauh sebuah "hak atau bahkan kewajiban untuk melakukan intervensi" menjadi setara dengan pembenaran dilakukannya intervensi bersenjata demi alasan-alasan kemanusiaan, maka masalah semacam itu bukanlah untuk Hukum Humaniter melainkan untuk Hukum yang mengatur legalitas penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional, yaitu jus ad bellum (lihat Pertanyaan 6 dan 18). Bilamana terdapat intervensi bersenjata yang dilakukan demi alasan kemanusiaan, maka ICRC sesuai dengan mandatnya (lihat indeks) harus memastikan agar pihak-pihak yang terlibat dalam intervensi tersebut mematuhi aturan-aturan yang relevan dari HHI. Selain itu, ICRC juga harus berupaya memberikan bantuan bagi para korban konflik yang bersangkutan. ICRC tidak mendukung ataupun menentang "hak untuk melakukan intervensi" tersebut. Berdasarkan pengalaman ICRC sendiri, masalah tersebut adalah masalah politis dan ICRC tidak mungkin terlibat di dalamnya tanpa membahayakan kegiatan kemanusiaannya sendiri _Hukum Humaniter DR.indd 23 2/28/2011 5:58:59 AM

24 24 Anggota-anggota keluarga yang terpisah akibat konflik harus dipersatukan kembali. 11 APA YANG DITETAPKAN OLEH HUKUM HUMANITER MENGENAI PEMULIHAN HUBUNGAN KELUARGA? Sebagai akibat konflik bersenjata, tawanan perang dan internir sipil terpisah dari orangorang yang mereka cintai, keluarga menjadi tercerai berai, dan sejumlah orang hilang. Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol I berisi sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan kepada para korban tersebut. Ketentuan-ketentuan ini berlaku dalam konflik bersenjata internasional dan memberikan wewenang kepada ICRC untuk melaksanakan tugastugas berikut ini: 1) Menyampaikan berita keluarga dan informasi lainnya (Ps. 25 Konvensi Jenewa IV). Tugas ini mencakup antara lain; menerima dan mencatat kartu penawanan tawanan perang (prisoner-of-war capture card) dan kartu penahanan internir sipil (civilian internment card) serta mengirimkan salinan kartu-kartu ini kepada pihak keluarga tawanan perang/internir sipil; menyampaikan surat antara orang yang dicabut kebebasannya dan keluarganya; menyampaikan berita keluarga (Berita Palang Merah) antara anggota keluarga yang terpisah apabila jaringan pos biasa tidak dapat berfungsi dengan baik; menerima dan menyampaikan berita kematian. Secara lebih umum, Badan Pencarian Pusat (Central Tracing Agency) ICRC berperan sebagai penengah antara pihak-pihak yang terlibat konflik atau, lebih tepatnya, antara biro informasi nasional masing-masing (lihat halaman sebalik) untuk menyampaikan informasi tentang orangorang yang dilindungi HHI. 2) Mencari tahu tentang keberadaan orang yang hilang (Ps. 33 Protokol I dan Ps. 26 Konvensi Jenewa IV). 3) Mempertemukan kembali keluarga yang terpisah (lihat halaman berikut, Ps. 74 Protokol I dan Ps. 26 Konvensi Jenewa IV). ICRC untuk pertama kalinya melakukan pekerjaan semacam ini ketika berlangsung perang Prancis-Prussia pada tahun Dengan bertindak sebagai penengah, badan pencarian (tracing agency) ICRC mulai melakukan kegiatan untuk memulihkan hubungan antara tawanan perang dan keluarganya, dimulai dengan pertukaran daftar korban luka antara pihakpihak yang berperang. Sejak saat itu, Badan Pencarian Pusat ICRC telah banyak mengembangkan kegiatan-kegiatannya. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 24 2/28/2011 5:59:01 AM

25 Richard Fradin/ICRCRichar Marwan Naam/ICRC Biro Informasi Nasional Konvensi Jenewa III (Ps. 122) menyatakan bahwa pada saat pecah perang, setiap pihak yang netral maupun pihak yang berperang yang di wilayahnya terdapat warga negara dari pihak musuh harus mendirikan sebuah biro informasi resmi bagi para tawanan perang di sana. Setiap pihak yang berperang harus memberikan kepada biro informasi yang telah didirikannya itu informasi mengenai semua tawanan perang yang telah ditangkap oleh angkatan bersenjatanya serta data rinci mengenai identitas para tawanan perang ini supaya keluarga terdekatnya dapat diberi tahu sesegera mungkin. Apabila tidak ada biro semacam itu, sebagaimana yang sering terjadi dalam situasi konflik, ICRC sendiri melakukan usaha untuk mengumpulkan informasi tentang orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi-konvensi Jenewa. Badan Pusat Pencarian (Central Tracing Agency) "Sebuah Badan Informasi Tawanan Perang Pusat harus didirikan di sebuah negara netral. Apabila ICRC menganggap perlu, ICRC harus mengusulkan diselenggarakannya Badan semacam itu kepada Pihak-pihak Penguasa yang terkait. Fungsi Badan semacam itu ialah mengumpulkan semua informasi yang dapat diperoleh melalui saluran-saluran resmi ataupun saluransaluran swasta mengenai para tawanan perang dan mengirimkan informasi ini secepat mungkin ke negara asal para tawanan perang itu atau kepada Pihak Penguasa yang menjadi gantungan mereka ( )." (Ps 123 Konvensi Jenewa III) Keluarga yang terpisah "Setiap Pihak yang terlibat konflik harus memfasilitasi pencarian informasi yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang terpisah sebagai akibat perang yang bersangkutan, dengan maksud memulihkan kontak antara satu sama lain dan, bilamana mungkin, mempertemukan mereka ( )." (Ps. 26 Konvensi Jenewa IV) _Hukum Humaniter DR.indd 25 2/28/2011 5:59:05 AM

26 26 tanda yang melindungi 12 SEPERTI APA KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM HUMANITER YANG MENGATUR PENGGUNAAN LAMBANG? Konvensi-konvensi Jenewa menyebutkan tiga lambang: palang merah, bulan sabit merah, serta singa dan matahari merah, walaupun sekarang ini hanya dua lambang yang pertama sajalah yang dipakai. Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokolprotokol tambahannya berisi sejumlah ketentuan mengenai lambang-lambang tersebut. Ketentuan-ketentuan ini mengatur antara lain: penggunaan, ukuran, tujuan, dan penempatan lambang yang bersangkutan; orang-orang dan bendabenda yang dilindunginya; siapa yang dapat memakainya; penghormatan seperti apa yang harus diberikan terhadap lambang tersebut; dan sanksi/hukuman seperti apa yang harus diberikan untuk penggunaan keliru atas lambang tersebut (lihat halaman berikut). Dalam masa konflik bersenjata, lambanglambang tadi bisa digunakan sebagai alat perlindungan hanya oleh: Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang secara resmi diakui dan diizinkan oleh pemerintahnya untuk memberikan bantuan kepada dinas medis angkatan bersenjata; Perhimpunan Nasional boleh menggunakan lambang tersebut untuk tujuan perlindungan hanya bagi personil dan peralatan medis yang dipakai membantu dinas medis resmi pada masa perang, dengan ketentuan bahwa personil dan peralatan tersebut melaksanakan fungsi-fungsi yang sama, dan bukan fungsi lain, dan bahwa mereka tunduk pada hukum dan peraturan militer; rumah sakit sipil dan sarana medis lain yang diakui oleh pemerintah dan diizinkan untuk memajang lambang untuk tujuan perlindungan (pos pertolongan pertama, ambulans, dll.); badan-badan bantuan kemanusiaan sukarela lain yang tunduk pada persyaratan yang sama seperti Perhimpunan Nasional. Badan-badan ini harus memiliki pengakuan dan izin dari pemerintahnya; boleh menggunakan lambang tersebut hanya bagi personil dan peralatan yang memang dipakai semata-mata untuk pemberian pelayanan medis, dan harus tunduk pada hukum dan peraturan militer. HHI juga menetapkan bahwa setiap Negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan menghukum penggunaan keliru atas lambang tersebut dalam masa perang maupun dalam masa damai serta memberlakukan undang-undang mengenai perlindungan bagi lambang tersebut. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 26 2/28/2011 5:59:09 AM

27 Ursula Meissn Thierry Gassman Penggunaan lambang Penggunaan lambang tersebut sebagai tanda perlindungan merupakan perwujudan nyata dari perlindungan yang diberikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa bagi personil, unit, dan transportasi medis. Penggunaan lambang tersebut sebagai tanda pengenal di masa perang ataupun di masa damai menunjukkan bahwa orang atau benda yang bersangkutan mempunyai hubungan dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. ICRC berhak untuk setiap saat menggunakan lambang tersebut baik sebagai tanda perlindungan maupun sebagai tanda pengenal. Penggunaan keliru atas lambang Setiap penggunaan yang tidak secara tegas diizinkan oleh HHI merupakan penggunaan keliru atas lambang tersebut. Ada tiga jenis penggunaan keliru: peniruan (imitation), yaitu penggunaan tanda tertentu yang bentuk dan/atau warnanya sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan kerancuan dengan lambang yang telah ditetapkan oleh HHI tersebut; pembajakan (usurpation), yaitu penggunaan lambang tersebut oleh badan atau perorangan yang tidak berhak menggunakannya (misalnya: perusahaan komersial, apotik, dokter swasta, LSM, perorangan, dan lain sebagainya); bilamana orang yang berhak menggunakan lambang tersebut menggunakannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh HHI, hal tersebut juga merupakan penyalahgunaan lambang; tipu muslihat licik (perfidy), yaitu penggunaan lambang tersebut pada waktu konflik dengan tujuan melindungi kombatan atau perlengkapan militer; penggunaan secara tipu daya licik atas lambang tersebut, dalam konflik bersenjata internasional ataupun konflik bersenjata non-internasional, merupakan kejahatan perang. Penggunaan keliru atas lambang tersebut sebagai tanda perlindungan di masa perang membahayakan sistem perlindungan yang diatur dalam HHI. Penggunaan keliru atas lambang tersebut sebagai tanda pengenal merusak citranya di mata publik sehingga mengurangi kekuatan perlindungannya pada waktu perang. Negara-negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa telah berjanji untuk memberlakukan langkah-langkah pidana dalam rangka mencegah dan menindak penggunaan keliru atas lambang tersebut di masa perang maupun di masa damai _Hukum Humaniter DR.indd 27 2/28/2011 5:59:14 AM

28 28 Willem Smit/ICRC Penghormatan terhadap Hukum Humaniter mencegah terjadinya perpindahan penduduk secara paksa 13 BAGAIMANA HUKUM HUMANITER MELINDUNGI PENGUNGSI EKSTERNAL DAN PENGUNGSI INTERNAL? Pengungsi eksternal (refugees) adalah pengungsi yang meninggalkan negaranya sedangkan pengungsi internal (internally displaced person atau IDP) adalah pengungsi yang belum meninggalkan wilayah negaranya. Sumber perlindungan terpenting bagi pengungsi eksternal ialah Hukum Pengungsi (Refugee Law) (lihat halaman berikut) dan mandat Kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi Eksternal (UNHCR / United Nations High Commissioner for Refugees). Apabila mereka berada di dalam sebuah Negara yang terlibat konflik bersenjata, pengungsi eksternal juga dilindungi oleh HHI. Selain perlindungan umum sebagaimana yang diberikan oleh HHI kepada penduduk sipil, pengungsi eksternal juga memperoleh perlindungan khusus berdasarkan Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan I. Perlindungan khusus ini mengakui kerentanan pengungsi eksternal sebagai orang asing yang berada di tangan salah satu pihak yang terlibat konflik dan ketiadaan perlindungan dari Negara asal mereka. Pengungsi internal dilindungi oleh berbagai perangkat hukum, terutama hukum nasional dan hukum HAM dan, apabila mereka berada di Negara yang sedang mengalami konflik bersenjata, mereka juga dilindungi oleh HHI. Apabila pengungsi internal berada di sebuah Negara yang terlibat konflik bersenjata, mereka dianggap sebagai penduduk sipil asalkan mereka tidak ambil bagian secara aktif dalam peperangan yang ada. Dengan demikian, mereka berhak memperoleh perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil. Apabila dihormati, perangkat-perangkat hukum tersebut sangat membantu mencegah terjadinya pengungsian, karena sering kali pelanggaran terhadap perangkat-perangkat hukum tersebutlah yang menyebabkan terjadinya pengungsian. Sebagai tambahan, HHI secara tegas melarang pemaksaan terhadap penduduk sipil untuk meninggalkan tempat tinggal mereka kecuali bilamana keselamatan mereka terancam atau ada alasan-alasan militer yang sangat penting yang mengharuskan penduduk sipil untuk mengungsi. Setelah mengungsi, pengungsi internal dilindungi dari dampak konflik bersenjata oleh aturan-aturan umum yang mengatur perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi penduduk sipil seperti yang dijelaskan di atas. Apabila dihormati, ketentuan-ketentuan umum Hukum Humaniter yang mengatur perlindungan bagi penduduk sipil dapat mencegah terjadinya pengungsian. Apabila pengungsian tetap terjadi, ketentuan-ketentuan tersebut dapat memberikan perlindungan selama orang-orang yang bersangkutan menjadi pengungsi. Secara khusus perlu disebutkan ketentuan-ketentuan berikut ini, yaitu ketentuan-ketentuan yang melarang: penyerangan terhadap penduduk sipil atau objek-objek sipil atau penyerangan yang membabi buta; penggunaan metode membuat penduduk sipil kelaparan dan penghancuran objekobjek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup mereka; pemberian hukuman kolektif yang seringkali berbentuk penghancuran pemukiman. Ada juga sejumlah ketentuan yang mengharuskan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk memperbolehkan pengiriman bantuan kemanusiaan menjangkau penduduk sipil yang membutuhkan. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 28 2/28/2011 5:59:18 AM

29 Boris Heger/ICRC Definisi pengungsi eksternal (refugee) Menurut Pasal 1 Konvensi PBB 1951 tentang Status Pengungsi Eksternal, istilah refugee (pengungsi eksternal) berlaku bagi setiap orang "yang karena memiliki ketakutan yang cukup beralasan bahwa dia akan dianiaya atas dasar ras, agama, kebangsaan, atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau aliran politik tertentu, berada di luar wilayah negara kebangsaannya itu dan tidak dapat menerima perlindungan dari negara kebangsaannya itu atau, disebabkan oleh ketakutannya itu, tidak bersedia menerima perlindungan semacam itu" atau setiap orang "yang karena tidak memiliki kewarganegaraan dan berada di luar wilayah negara yang biasa ditinggalinya sebagai akibat kejadian-kejadian semacam itu, tidak dapat kembali ke negara tersebut atau, disebabkan oleh ketakutan semacam itu, tidak bersedia kembali ke negara tersebut." Konvensi OAU (Organisasi Persatuan Afrika) 1969 mengenai masalah-masalah pengungsi eksternal di Afrika dan Deklarasi Cartagena 1984 mengenai pengungsi eksternal memperluas definisi tersebut dengan memasukkan orang yang melarikan diri dari peristiwa yang secara serius mengacaukan ketertiban umum, misalnya konflik bersenjata dan situasi gangguan _Hukum Humaniter DR.indd 29 2/28/2011 5:59:21 AM

30 30 Priska Spoerri/ICRC Menyebarluaskan pengetahuan tentang Hukum Humaniter 14 LANGKAH-LANGKAH APA YANG DAPAT DIAMBIL UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN HUKUM HUMANITER? Langkah-langkah implementasi berikut ini harus dilaksanakan. Langkah pencegahan (preventif), yang didasarkan pada kewajiban Negara untuk tunduk pada Hukum Humaniter, yaitu antara lain: menyebarluaskan pengetahuan tentang HHI; melatih personil berkualifikasi untuk memfasilitasi pelaksanaan HHI dan pengangkatan penasihat hukum di lingkungan angkatan bersenjata; mengadopsi peraturan perundangan untuk memastikan kepatuhan terhadap HHI; menerjemahkan naskah Konvensikonvensi Jenewa. Langkah untuk memantau kepatuhan terhadap HHI selama berlangsungnya konflik, yaitu antara lain: tindakan oleh "Otoritas Pelindung" (protecting power), yaitu pihak ketiga yang netral yang ditunjuk oleh kedua pihak yang terlibat konflik atau oleh penggantinya; tindakan oleh ICRC (lihat Pertanyaan 15). Langkah penindakan (represi), yang didasarkan pada kewajiban pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mencegah dan menghentikan segala bentuk pelanggaran, yaitu antara lain: kewajiban bagi pengadilan nasional untuk menindak pelanggaran berat (grave breaches) yang dianggap sebagai kejahatan perang (mengenai pengadilan internasional, lihat Pertanyaan 16); pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban disipliner dari atasan dan kewajiban komandan untuk menindak dan melaporkan pelanggaran; bantuan timbal balik antar-negara menyangkut masalah-masalah kejahatan pidana. Selain bersifat melekat pada setiap ketentuan hukum yang relevan, langkahlangkah represi tersebut juga berperan sebagai penangkal. Ada sejumlah langkah implementasi lain, yang meliputi pencegahan, pengendalian, maupun penindakan (dua yang terakhir, yaitu pengendalian dan penindakan, didasarkan terutama pada kewajiban Negara untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Humaniter). Langkahlangkah implementasi lain ini antara lain adalah sebagai berikut: prosedur penyelidikan; Komisi Pencari Fakta Internasional; prosedur pemeriksaan mengenai penerapan dan penafsiran ketentuanketentuan hukum; kerja sama dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa. Upaya diplomatik dan tekanan dari media dan opini publik juga sangat membantu memastikan implementasi HHI. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 30 2/28/2011 5:59:24 AM

31 Ketentuan hukum mengenai implementasi HHI NB: Untuk pasal-pasal mengenai promosi pengetahuan tentang Konvensikonvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya, lihat hal. 13. "Pihak-pihak Peserta Agung" harus berusaha ( ) di masa damai ( ) untuk melatih personil yang berkualifikasi agar mereka dapat memfasilitasi pelaksanaan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini ( )." (Ps. 6, Protokol I) "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji akan menghormati dan menjamin penghormatan atas Konvensi ini dalam segala keadaan." (Pasal 1 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Pada setiap saat Pihak-pihak Peserta Agung harus, dan selama berlangsungnya konflik Pihak-pihak yang terlibat konflik harus, menjamin tersedianya penasihat hukum, bilamana diperlukan, untuk memberikan pertimbangan/advis kepada para komandan militer pada jajaran pangkat yang tepat mengenai penerapan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini dan mengenai instruksi yang tepat yang perlu diberikan kepada angkatan bersenjata menyangkut pokok masalah tersebut." (Ps. 82, Protokol I) "Apabila peraturan perundangan mereka belum memadai, Pihak-pihak Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan menindak setiap penyalahgunaan tandatanda pembeda ( )." (Ps. 45, Konvensi Jenewa II) "Pihak-pihak Peserta Agung harus saling mengkomunikasikan melalui Dewan Federal Swiss (the Swiss Federal Council) dan, selama berlangsungnya peperangan, melalui Otoritas Pelindung (Protecting Powers) terjemahan resmi Konvensi ini maupun terjemahan resmi peraturan perundangan yang mungkin akan mereka adopsi untuk menjamin penerapan Konvensi ini." (Ps. 48/49/128/145 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Pihak-pihak Peserta Agung berjanji akan memberlakukan setiap peraturan perundangan yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang efektif kepada orang-orang yang melakukan, atau yang memerintahkan dilakukannya, salah satu dari pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi ini ( ). Setiap Pihak Peserta Agung berkewajiban mencari orang-orang yang diduga telah melakukan, atau telah memerintahkan dilakukannya, pelanggaran-pelanggaran berat semacam itu dan harus membawa orang-orang semacam itu ke hadapan pengadilannya sendiri, apapun kebangsaan orang yang bersangkutan." (Ps. 49/50/129/146 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama dan pengawasan dari Otoritas Pelindung (Protecting Powers), yang tugasnya memang mengamankan kepentingan Pihak-pihak yang terlibat konflik. Untuk maksud tersebut, Otoritas Pelindung boleh mengangkat, selain staf diplomatik dan staf konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari antara warga negara mereka sendiri atau dari antara warga negara negara netral lainnya. (Ps. 8, KJ I, II, III; dan Ps. 9 KJ IV) "Pihak Peserta Agung setiap saat boleh setuju untuk mempercayakan pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ada pada Otoritas Pelindung kepada sebuah organisasi internasional yang ketidakberpihakan dan keefektifannya sepenuhnya terjamin, berdasarkan Konvensi ini ( ). Jika perlindungan tidak dapat diatur seperti itu, maka Otoritas Penahan (the Detaining Power) harus meminta atau harus menyetujui, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal ini, penawaran jasa dari sebuah organisasi kemanusiaan, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC), untuk melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiaan yang berdasarkan Konvensi ini harus diselenggarakan oleh Otoritas Pelindung." (Ps. 10, KJ I, II, III; dan Ps. 11, KJ IV) "Atas permintaan salah satu Pihak Peserta Agung atau lebih, dan atas persetujuan mayoritas Pihak Peserta Agung, pihak yang penyimpan Protokol ini (the depository of this Protocol) harus menyelenggarakan pertemuan Pihak-pihak Peserta Agung untuk membicarakan masalahmasalah umum menyangkut pelaksanaan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol ini." (Ps. 7, Protokol I) "Ketentuan-ketentuan Konvensi ini bukan penghalang bagi kegiatan kemanusiaan yang mungkin diupayakan oleh Komite Internasional Palang Merah atau oleh organisasi kemanusiaan lainnya yang juga bersifat tidak memihak, atas persetujuan Pihak-pihak yang terlibat konflik, untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada korban luka, korban sakit, personil medis, dan personil keagamaan." (Ps. 9/9/9/10 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa) "Dalam situasi pelanggaran serius (serious violations) terhadap Konvensikonvensi Jenewa atau terhadap Protokol ini, Pihak-pihak Peserta Agung harus berusaha mengambil tindakan, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, dengan bekerja sama dengan Perserikatan Bangsabangsa (PBB) dan dengan cara yang sesuai dengan Piagam PBB." (Ps. 89, Protokol I) "Pihak-pihak Peserta Agung harus memberikan bantuan sebesarbesarnya kepada satu sama lain sehubungan dengan proses pengadilan pidana menyangkut pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi-konvensi Jenewa atau terhadap Prototol ini ( ). Bilamana keadaan mengizinkan, Pihak-pihak Peserta Agung harus bekerja sama dalam masalah ekstradisi ( )" (Ps. 88, Protokol I) "Sebuah Komisi Pencari Fakta Internasional ( ) yang terdiri dari 15 anggota yang moralnya tinggi dan ketidakmemihakannya telah diakui harus dibentuk ( ). Komisi ini harus memiliki kompetensi untuk (i) menyelidiki setiap fakta yang diduga merupakan pelanggaran berat sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan oleh Protokol ini atau yang diduga merupakan pelanggaran serius lainnya terhadap Konvensi-konvensi Jenewa atau terhadap Protokol ini ( )." (Ps. 90, Protokol I) _Hukum Humaniter DR.indd 31 2/28/2011 5:59:25 AM

32 32 ICRC mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata akan kewajiban mereka untuk mengizinkan penyelenggaraan registrasi dan repatriasi bagi tawanan perang. 15 APA PERAN ICRC DALAM MEMASTIKAN PENGHORMATAN TERHADAP HUKUM HUMANITER? Sebagai promotor dan pemelihara HHI, ICRC harus mendorong penghormatan terhadap hukum tersebut. ICRC melakukan hal itu dengan menyebarluaskan pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter dan dengan mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik akan kewajiban-kewajiban mereka. Pelayanan Diseminasi dan Konsultasi Karena ketidaktahuan terhadap HHI merupakan hambatan bagi implementasinya, ICRC mengingatkan Negara-negara bahwa mereka telah berjanji untuk membuat ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter diketahui. ICRC juga mengambil tindakan sendiri untuk membuat ketentuanketentuan Hukum Humaniter diketahui (lihat hal. 13). Lebih lanjut, ICRC mengingatkan Negara-negara bahwa mereka harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan agar HHI dihormati dengan cara dilaksanakan secara efektif. ICRC melakukan hal ini terutama melalui Pelayanan Konsultasinya menyangkut Hukum Humaniter, yaitu pelayanan yang memberikan panduan teknis kepada Negara-negara dan membantu para pemimpinnya untuk mengadopsi peraturan pelaksanaan tingkat nasional. Mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik akan kewajiban-kewajiban mereka Berdasarkan kesimpulan yang dibuatnya dari kegiatan perlindungan dan bantuannya, ICRC menyampaikan laporan secara rahasia (konfidensial) kepada pihak berwenang terkait bilamana terjadi pelanggaran atas HHI. Apabila pelanggarannya serius dan berulang dan dapat dipastikan telah terjadi, ICRC mempunyai hak untuk menyampaikan pendiriannya secara terbuka. Namun, ICRC menyampaikan pendirian secara terbuka hanya bilamana ICRC beranggapan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan kepentingan orang-orang yang terkena dampak atau terancam oleh pelanggaran yang bersangkutan. Karena itu, tindakan menyampaikan pendirian secara terbuka ini tetap merupakan tindakan perkecualian. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 32 2/28/2011 5:59:25 AM

33 ICRC sebagai pemelihara HHI HHI memberikan mandat kepada ICRC untuk memastikan bahwa aturan-aturan Hukum Humaniter dihormati. "Wakil-wakil atau utusan-utusan dari Otoritas Pelindung diizinkan mengunjungi semua tempat di mana terdapat tawanan perang, terutama tempat-tempat penginterniran, penjara-penjara, dan tempat-tempat kerja ( )" Dan juga: "Para utusan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mempunyai hak prerogatif tersebut." (Ps. 126, KJ III) NB: Pasal 143 Konvensi Jenewa IV berisi ketentuan-ketentuan serupa menyangkut internir sipil. Anggaran Dasar Gerakan menetapkan bahwa salah satu peran ICRC adalah: "menjalankan tugas-tugas yang berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa dibebankan kepadanya, bekerja demi terlaksananya secara benar Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata, dan memperhatikan pengaduanpengaduan yang didasarkan pada dugaan pelanggaran atas hukum tersebut." [Ps. 5(2)(c)] _Hukum Humaniter DR.indd 33 2/28/2011 5:59:29 AM

34 34 menyerang penduduk sipil dan harta benda mereka adalah kejahatan perang 16 BAGAIMANA PENJAHAT PERANG DITUNTUT BERDASARKAN HUKUM HUMANITER? HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 34 2/28/2011 5:59:33 AM

35 Pada saat sebuah Negara menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa, Negara yang bersangkutan berjanji akan memberlakukan peraturan perundangan yang diperlukan untuk menghukum orang-orang yang bersalah atas pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi-konvensi tersebut. Negara yang bersangkutan juga terikat untuk melakukan penuntutan hukum, melalui sistem peradilannya sendiri, terhadap setiap orang yang disangka telah melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi-konvensi tersebut atau untuk menyerahkan orang yang bersangkutan kepada Negara lain untuk diadili. Dengan kata lain, para pelaku pelanggaran berat, yaitu penjahat perang, harus dituntut secara hukum kapanpun dan di manapun, dan Negara-negara bertanggung jawab memastikan agar penuntutan hukum tersebut terlaksana. Secara umum, hukum pidana sebuah Negara hanya dapat diterapkan pada kejahatan yang dilakukan di wilayahnya atau oleh warganya. HHI melangkah lebih jauh, yaitu dengan mengharuskan Negara-negara untuk mencari dan menghukum setiap orang yang telah melakukan pelanggaran berat, apapun kewarganegaraannya dan di manapun pelanggaran tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini penting untuk menjamin bahwa pelanggaran berat ditindak secara efektif. Penuntutan hukum semacam itu boleh dilakukan oleh pengadilan nasional Negara yang bersangkutan atau Negara lain ataupun oleh sebuah otoritas internasional. Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia dan untuk Rwanda dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB, masing-masing pada tahun 1993 dan 1994, untuk mengadili orang-orang yang dituduh telah melakukan kejahatan perang selama berlangsungnya konflik di negara-negara tersebut. Mengapa HHI tidak selalu dihormati dan pelanggaran tidak selalu ditindak? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan berbagai cara. Sebagian berpendapat bahwa ketidaktahuan tentang HHI merupakan penyebab terbesar. Sebagian lagi berpendapat bahwa hakikat perang itu sendirilah yang memang menghendaki terjadinya hal semacam itu atau bahwa hal semacam itu terjadi karena Hukum Internasional yang berarti termasuk HHI tidak disertai dengan sebuah sistem terpusat yang efektif untuk memberlakukan sanksi disebabkan oleh, antara lain, struktur masyarakat internasional yang ada pada saat ini. Apapun penyebabnya, hukum tetap dilanggar dan kejahatan tetap dilakukan baik dalam situasi konflik maupun di masa damai, baik yang berlaku adalah yurisdiksi nasional ataupun yurisdiksi internasional. Apa itu kejahatan perang? Kejahatan perang selama ini dipahami sebagai pelanggaran serius atas HHI yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata internasional atau non-internasional. Beberapa naskah hukum mencantumkan definisi tentang kejahatan perang, yaitu: Statuta Mahkamah Militer Internasional (the International Military Tribunal) yang didirikan di Nuremberg, Jerman, sesudah Perang Dunia II; Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya; Statuta dan yurisprudensi (case law) Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia dan untuk Rwanda (the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda); dan Statuta Pengadilan Pidana Internasional (the International Criminal Court atau ICC). Berbagai definisi tentang kejahatan perang juga terdapat dalam peraturan perundangan dan yurisprudensi berbagai negara. Penting dicatat bahwa sebuah tindakan tunggal pun bisa merupakan kejahatan perang. Tindakan-tindakan berikut ini termasuk dalam tindakan-tindakan yang dicakup oleh definisi kejahatan perang: pembunuhan sengaja terhadap orang yang dilindungi (misalnya kombatan yang terluka atau yang sakit, tawanan perang, orang sipil); penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi terhadap orang yang dilindungi; Namun, menyerah begitu saja dan menghentikan segala tindakan yang mengusahakan penghormatan lebih besar terhadap HHI justru lebih jelek. Itulah sebabnya, sambil menunggu sistem pemberian sanksi yang lebih efektif, pelanggaran harus terus dikutuk dan tindakan harus terus diambil untuk mencegah dan menghukumnya. Karena itu, penindakan terhadap kejahatan perang melalui proses pidana harus dipandang sebagai salah satu cara melaksanakan Hukum Humaniter, di tingkat nasional ataupun di tingkat internasional. Akhirnya, masyarakat internasional telah membentuk sebuah Pengadilan Pidana Internasional yang permanen, yang memiliki kompetensi untuk mengadili kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang hebat pada orang yang dilindungi atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatannya; menyerang penduduk sipil; deportasi atau pemindahan penduduk secara melawan hukum; menggunakan senjata atau cara berperang yang dilarang; menggunakan lambang pembeda palang merah atau bulan sabit merah atau tanda-tanda perlindungan lainnya secara tidak semestinya; membunuh atau melukai, dengan tipu daya licik, orang dari bangsa atau angkatan bersenjata yang sedang berperang; penjarahan barang-barang milik publik atau milik pribadi. Perlu dicatat bahwa Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia sudah mengakui bahwa definisi kejahatan perang dalam Hukum Internasional Kebiasaan juga mencakup pelanggaranpelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata non-internasional. Statuta Pengadilan Pidana Internasional permanen dan Statuta Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda juga memasukkan pelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik bersenjata non-internasional ke dalam daftar kejahatan perang masing-masing _Hukum Humaniter DR.indd 35 2/28/2011 5:59:35 AM

36 36 Didier Bregnard/ICRC anak-anak juga punya hak 17 APA PERBEDAAN ANTARA HUKUM HUMANITER DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA? Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional (selanjutnya disebut sebagai Hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya berusaha untuk melindungi kehidupan, kesehatan, dan martabat individu walaupun dari sudut yang berbeda. Hukum Humaniter berlaku dalam situasi konflik bersenjata (lihat Pertanyaan 7) sedangkan Hukum HAM, atau setidaknya sebagian darinya, melindungi individu pada setiap saat, baik di masa perang maupun di masa damai. Namun, beberapa perjanjian HAM memperbolehkan pemerintah untuk mengabaikan hak-hak tertentu dalam situasi darurat umum sedangkan pengabaian hak semacam itu sama sekali tidak diperbolehkan oleh HHI karena HHI disusun untuk situasi-situasi darurat yang disebut sebagai konflik bersenjata. HHI ditujukan untuk melindungi orangorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat dalam peperangan. Aturan-aturan yang terkandung dalam HHI membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada semua pihak yang terlibat konflik. Hukum HAM, yang dirancang terutama untuk masa damai, berlaku bagi setiap orang. Tujuan utamanya ialah untuk melindungi individu dari perilaku yang semena-mena oleh pemerintahnya sendiri. Hukum HAM tidak berhubungan dengan perilaku peperangan. Kewajiban untuk melaksanakan HHI dan Hukum HAM terletak pertama-tama dan terutama di tangan Negara. HHI mewajibkan Negara untuk mengambil langkah-langkah praktis dan langkahlangkah hukum seperti memberlakukan peraturan perundang-undangan pidana dan menyebarluaskan HHI. Demikian pula, Negara terikat oleh Hukum HAM untuk meyelaraskan hukum nasional dengan kewajiban-kewajiban internasional. HHI menetapkan sejumlah mekanisme tertentu yang membantu pelaksanaan hukum tersebut. Perlu dicatat bahwa Negara diharuskan untuk memastikan agar HHI juga dihormati oleh Negara lain. Terdapat juga ketentuan agar dibentuk prosedur penyelidikan, mekanisme Otoritas Pelindung, dan Komisi Pencari Fakta Internasional. Selain itu, ICRC diberi peran kunci untuk menjamin penghormatan terhadap aturan-aturan Hukum Humaniter. Mekanisme-mekanisme pelaksanaan Hukum HAM sangat kompleks. Berbeda dengan HHI, mekanisme-mekanisme pelaksanaan Hukum HAM mencakup antara lain sistem-sistem regional. Badan-badan pengawas (supervisory bodies) pelaksanaan Hukum HAM, misalnya Komisi HAM PBB, didasarkan pada Piagam PBB atau pada ketentuan yang ada dalam traktat-traktat tertentu (misalnya: Komite HAM, yang didasarkan pada Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Komisi HAM PBB beserta subkomisisubkomisinya sudah mengembangkan mekanisme "pelapor khusus" (special rapporteurs) dan sejumlah kelompok kerja, yang tugasnya ialah memantau dan melaporkan situasi HAM per negara ataupun per topik. HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 36 2/28/2011 5:59:36 AM

37 Enam dari perjanjian HAM yang utama juga berisi ketentuan mengenai pembentukan komite-komite (misalnya Komite HAM) yang terdiri dari ahli-ahli independen yang bertugas memantau pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut. Beberapa perjanjian regional (Eropa dan Amerika) juga membentuk pengadilan HAM. Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM (UNHCHR) memainkan peran kunci dalam keseluruhan kegiatan perlindungan dan peningkatan HAM. Peran UNHCHR ialah meningkatkan keefektifan upaya HAM PBB serta membangun kapasitas nasional, regional, dan internasional untuk mempromosikan dan melindungi HAM dan untuk menyebarluaskan naskah-naskah dan informasi HAM. Instrumen-instrumen HAM BInstrumen HAM yang sekarang berlaku ada banyak, yang antara lain adalah: a)instrumen universal Deklarasi HAM, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948 Konvensi 1948 tentang Pencegahan Kejahatan Genosida dan Penghukumannya Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik Perjanjian Internasional 1966 tentang Hak-Hak Sosial dan Ekonomi Konvensi 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan Konvensi 1984 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Konvensi 1989 tentang Hak-hak Anak b)instrumen regional Konvensi Eropa 1950 tentang HAM Konvensi Amerika 1969 tentang HAM Piagam Afrika 1981 tentang HAM dan Hak Asasi Bangsa-Bangsa (the African Charter of Human and Peoples' Rights 1981) HAM "Inti" Instrumen-instrumen HAM internasional mengandung sejumlah klausula yang mengizinkan Negara yang sedang menghadapi ancaman publik yang serius untuk menangguhkan hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalam instrumen-instrumen tersebut. Namun, masing-masing instrumen ini membuat perkecualian untuk sejumlah hak asasi manusia tertentu, yang harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak boleh sekalipun diabaikan, apapun perjanjiannya. Hak-hak yang tidak boleh diabaikan tersebut antara lain adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa (prohibition of torture), hak untuk tidak dihukum secara tidak manusiawi (prohibition of inhuman punishment), hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba (prohibition of slavery and servitude), dan hak atas prinsip legalitas dan ketidakberlakusurutan hukum. Hak-hak fundamental yang wajib dihormati oleh Negara dalam segala keadaan, pun dalam situasi konflik dan gangguan, ini dikenal sebagai HAM inti. Karena Hukum Humaniter berlaku pada situasi luar biasa yang merupakan konflik bersenjata, isi Hukum HAM yang harus dihormati oleh Negara dalam segala keadaan (yaitu HAM inti) cenderung bertemu dengan jaminan-jaminan fundamental dan jaminanjaminan hukum yang ditetapkan oleh Hukum Humaniter, misalnya larangan penyiksaan, larangan eksekusi sumir, dan lain sebagainya (lihat hal. 21; Ps. 75, Protokol I; dan Ps. 6, Protokol II) _Hukum Humaniter DR.indd 37 2/28/2011 5:59:42 AM

38 38 18 Anggota operasi perdamaian harus mengetahui dan menerapkan Hukum Humaniter APAKAH HUKUM HUMANITER BERLAKU PADA OPERASI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN OPERASI PENEGAKAN PERDAMAIAN YANG DILAKSANAKAN OLEH ATAU DI BAWAH PERLINDUNGAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)? Dalam situasi konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, anggota satuan militer yang ikut serta dalam operasi perdamaian harus menghormati Hukum Humaniter sewaktu mereka aktif terlibat dalam konfrontasi bersenjata menghadapi salah satu pihak yang terlibat dalam konflik itu. Bilamana mereka tidak terlibat dalam konfrontasi semacam itu, mereka dianggap sebagai orang sipil, selama situasi konflik bersenjatanya belum berubah. Untuk setiap kontingen, Hukum Humaniter berlaku menurut kewajiban internasional yang dimiliki oleh masingmasing Negara penyumbang pasukan. Negara yang menyediakan pasukan untuk operasi seperti itu harus memastikan bahwa satuan yang mereka kirim mengetahui aturan-aturan Hukum Humaniter. Bahwa Hukum Humaniter harus diterapkan oleh pasukan yang melaksanakan operasi di bawah perintah PBB ditegaskan dalam Buletin Sekretariat Jenderal PBB edisi 6 Agustus 1999, yang diterbitkan untuk menandai ulang tahun ke-50 pengadopsian Konvensi-konvensi Jenewa Dengan judul "Observance by United Nations forces of international humanitarian law" (Kepatuhan Pasukan PBB terhadap Hukum Humaniter Internasional), buletin tersebut menyajikan sebuah daftar berisi prinsip-prinsip dan aturan-aturan fundamental dari Hukum Humaniter. Prinsipprinsip ini berlaku sebagai ketentuan minimum bagi pasukan PBB kapanpun mereka terlibat sebagai kombatan dalam sebuah aksi penegakan aksi penegakan (enforcement action) atau bilamana mereka bertindak untuk membela diri selama berlangsungnya operasi pemeliharaan perdamaian. Prinsip-prinsip tersebut berlaku sejauh terjadi pertempuran bersenjata dan selama berlangsungnya pertempuran bersenjata. Kewajiban pasukan PBB untuk menghormati prinsip-prinsip dan aturan-aturan fundamental tersebut juga telah dimasukkan ke dalam perjanjian-perjanjian terbaru yang dibuat antara PBB dan negara-negara yang di wilayahnya dikerahkan pasukan PBB. Perbedaan dan definisi Tujuan operasi pemeliharaan perdamaian (peace-keeping operation) ialah untuk memastikan penghormatan terhadap gencatan senjata dan garis demarkasi dan untuk menuntaskan perjanjian penarikan pasukan. Dalam beberapa tahun terakhir, lingkup operasi semacam itu telah diperluas hingga mencakup tugas-tugas lain, seperti pengawasan pemilihan umum (pemilu), pengiriman bantuan kemanusiaan, dan pendampingan proses rekonsiliasi nasional. Penggunaan kekuatan hanya diperbolehkan dalam kasus pembelaan diri yang sah. Operasi semacam ini dilakukan dengan persetujuan pihak-pihak yang berada di lapangan. Di lain pihak, operasi penegakan perdamaian (peace-enforcement operation), yang tercakup dalam Bab VII Piagam PBB, dilaksanakan oleh pasukan PBB atau oleh Negara, sekelompok Negara, atau organisasi regional, atas undangan Negara yang bersangkutan atau atas izin Majelis Umum PBB. Pasukan ini diberi misi tempur dan diberi izin untuk melakukan tindakan-tindakan pemaksaan (coercive measures) dalam rangka melaksanakan mandatnya. Persetujuan dari pihak-pihak yang berada di lapangan tidak selalu diperlukan. Namun, pembedaan antara kedua jenis operasi tadi telah menjadi semakin kurang jelas akhir-akhir ini. Selain itu, sebuah istilah baru juga telah mulai digunakan, yaitu operasi dukungan perdamaian (peace-support operation). HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 03-42_Hukum Humaniter DR.indd 38 2/28/2011 5:59:45 AM

39 ICRC Aksi yang menyebarkan teror... APA YANG DIKATAKAN HUKUM HUMANITER MENGENAI TERORISME? 19 Tindakan terorisme bisa terjadi pada masa konflik bersenjata ataupun pada masa damai. Karena HHI hanya berlaku dalam situasi konflik bersenjata, hukum ini tidak mengatur tindakan terorisme yang dilakukan pada masa damai. Keharusan untuk membedakan antara orang sipil dan kombatan dan larangan untuk menyerang orang sipil atau melakukan penyerangan yang membabi buta merupakan bagian inti pada HHI. Selain larangan tegas terhadap segala tindakan yang bertujuan menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil [Ps. 51(2) Protokol I dan Ps. 13(2) Protokol II], HHI juga melarang tindakan-tindakan berikut ini, yang bisa dianggap sebagai tindakan terorisme, yaitu: penyerangan terhadap penduduk sipil dan objek-objek sipil [Ps. 51(2) dan Ps. 52 Protokol I; Ps. 13 Protokol II) penyerangan secara membabi buta [Ps. 51(4) Protokol I) penyerangan terhadap tempat ibadah [Ps. 53 Protokol I; Ps. 16 Protokol II] penyerangan terhadap bangunan dan instalasi yang mengandung tenaga berbahaya [Ps. 56 Protokol I; Ps. 15 Protokol II] penyanderaan [Ps. 75 Protokol I; Ps. 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa; Ps. 4(2)(b) Protokol II) pembunuhan terhadap orang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat dalam peperangan [Ps. 75 Protokol I; Ps. 3 Ketentuan Yang Sama pada keempat Konvensi Jenewa; Ps. 4(2)(a) Protokol II). Selain melarang tindakan-tindakan tadi, HHI juga berisi sejumlah ketentuan yang memberikan kewajiban untuk menindak pelanggaran atas larangan-larangan tersebut dan sejumlah ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan kewajiban tersebut. Kewajiban untuk menindak pelanggaran tersebut jauh lebih maju dibandingkan dengan kewajiban manapun yang saat ini ada di bawah konvensikonvensi internasional mengenai pencegahan terorisme dan penghukumannya _Hukum Humaniter DR.indd 39 2/28/2011 5:59:48 AM

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional A. Sejarah Gerakan Perang Solferino Pada tanggal 24 Juni 1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional PMI dan Gerakan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Internasional GERAKAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL SEJARAH Pertempuran Solferino 1858 HENRY DUNANT-Menolong korban UN SOUVENIR DE SOLFERINO

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 13. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 13. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA Lembar Fakta No. 13 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PENDAHULUAN Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa.

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958 R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958 2 R-111 Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

ETIKA PERANG. Oleh Dewi Triwahyuni

ETIKA PERANG. Oleh Dewi Triwahyuni ETIKA PERANG Oleh Dewi Triwahyuni 1 DOKTRIN IUS AD BELLUM (War as a Necessary Evil) Merupakan sebuah doktrin yang diciptakan sebagai prinsip-prinsip utama dalam berperang Dalam hal konflik bersenjata internasional,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah

Lebih terperinci

BAB II INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC)

BAB II INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) BAB II INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) Bab II akan menjelaskan tentang sejarah terbentuknya ICRC, pembentukan lambang, misi dan mandat yang diberikan masyarakat Internasional, status hukum,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA. Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA. Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE USE, STOCKPILING, PRODUCTION AND TRANSFER OF ANTI-PERSONNEL MINES AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Mukadimah Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017 PERAN KOMITE PALANG MERAH INTERNASIONAL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949 1 Oleh: Cut N.C. Albuchari 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak korban Perang. Konflik bersenjata di Suriah diawali dengan adanya pemberontakan

Lebih terperinci

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA MUKADIMAH Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan

Lebih terperinci

Pengantar Prinsip Kemanusiaan

Pengantar Prinsip Kemanusiaan Pengantar Prinsip Kemanusiaan TUJUAN PEMBELAJARAN Mengenal Prinsip-prinsip Kemanusiaan Memahami berbagai jenis standar dan akuntabilitas dalam tanggap darurat Dari Mana Prinsip-prinsip Kemanusiaan Berasal?

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK 1 K 182 - Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak 2 Pengantar

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Diambil dan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan diaksesi oleh resolusi Mahkamah Umum 2200A (XXI) pada 16 Desember 1966, berlaku

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional hak-hak asasi manusia;

BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional hak-hak asasi manusia; BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA A. Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat: 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 2 K-173 Konvensi Perlindungan Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha), 1992 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) KOMNAS PEREMPUAN KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Mengenal

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci