BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, membutuhkan pembangunan untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI 1945) 1. Pembangunan nasional sudah seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada pembangunan secara fisik, namun pembangunan nasional harus dilakukan secara menyeluruh ke berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terkait dengan pelaksana pembangunan nasional, dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NKRI 1945 amandemen ke-empat memberikan hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Makna yang terkandung dalam kalimat tersebut adalah negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil 1 Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan hidup, dan Otonomi Daerah, diakses pada 6 Juli 2014 pukul WIB

2 2 dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. 2 Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NKRI 1945 amandemen ke empat disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Berdasarkan ketentuan tersebut, terkait dengan lingkungan hidup, maka terlihat bahwa pembangunan yang diselenggarakan di Indonesia memiliki salah satu prinsip yakni pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 Angka 3 (UUPPLH) yaitu: Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial ekonomi ke dalam strategi pembanguan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan Artinya, dalam melaksanakan proses pembangunan Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pembangunan secara terintegrasi antar-aspek kehidupan terkait (lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi). Aktivitas pembangunan tentu saja memerlukan lahan dan ruang sebagai tempat untuk menampung kegiatan tersebut 3 Aktivitas 2 Juniarso Ridwan, Achmad Sodik, 2013, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, hlm 19 3 Ibid hlm 20

3 3 pembangunan, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam, merupakan peristiwa fisik yang terjadi di lingkungan tersebut yang sedikit banyak merubah rona lingkungan awal menjadi rona lingkungan baru dan mengakibatkan adanya perubahan kesinambungan lingkungan. Jika pembangunan tersebut tidak dilakukan secara benar dan terintegrasi antar sektor terkait, maka sangat dimungkinkan adanya efek negatif berupa kemerosotan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. Padahal daya dukung lingkungan merupakan faktor terpenting dalam menunjang kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Efek negatif tersebut justru berkebalikan dengan tujuan pembangunan itu sendiri, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Melihat kondisi tersebut, pembangunan di Indonesia, khususnya di beberapa wilayah perkotaan tertentu, harus memiliki suatu perencanaan atau konsep tata ruang, yang dulu sering disebut dengan masterplan, di mana konsep tersebut sebagai arahan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan, sehingga masalah-masalah yang akan timbul yang diakibatkan dari hasil pembangunan akan dapat diminimalisir. 4 Penataan ruang merupakan serangkaian prosedur yang diikuti secara konsisten sebagai satu kesatuan, yaitu kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 5 Pemerintah selaku pelaku utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang, mempunyai berbagai instrumen atau alat 4 Ibid. hlm 21 5 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

4 4 pengendalian. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), instrumen pengendali tersebut adalah peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. 6 Kegiatan pemanfaatan ruang pada dasarnya adalah upaya memadukan berbagai pelaksanaan rencana pembangunan sosial ekonomi dan fisik ke dalam tindakan pemanfaatan ruang secara terkendali untuk dapat menghindari kerugian eksternal dan sesuai dengan kebutuhan ke depan dan aspirasi masyarakat. Pengendalian pemanfataan ruang adalah upaya mewujudkan tertib tata ruang. 7 Tertib tata ruang diukur berdasarkan kesesuaian dengan kondisi yang diinginkan oleh suatu rencana pembangunan dan kesesuaian suatu kegiatan pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku baik nasional maupun daerah. 8 Kegiatan pengendalian tersebut juga berdasarkan pada prinsip-prinsip pendekatan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (legalistic approach) dengan menerapkan pendekatan yang lebih luwes dimana prinsip keberlanjutan (suistainability) merupakan acuan utama. 9 6 Korlena, Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Indonesia, diakses pada 2 September 2014 pukul WIB 7 Pasal 1 Angka 15 UUPR 8 Mengacu pada skema pola pengendalian pemanfaatan ruang (Sjofjan Bakar, Tak Hanya Koordinasi tapi juga Pengawasan,Buletin Tataruang, September-Oktober 2012, BKPRN, hlm 18Oktober 2012, BKPRN, hlm 18) 9 RTRW Kabupaten Puncak Jaya , 2012, Bab 7. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Lampiran RTRW Kabupaten Puncak Jaya , Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya, hlm 7-1, diakses

5 5 Pengendalian pemanfataan ruang dilakukan melaui penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan diinsentif, dan pengenaan sanksi. 10 Kegiatan pengendalian tersebut dapat digolongkan menjadi : 1. Kegiatan pencegahan (preventif) : penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif; 2. Kegiatan penanggulangan (represif) : pemberian disinsentif dan pemberian sanksi. Salah satu instrumen penting dalam pemanfaatan ruang adalah pemberian perizinan pemanfaatan ruang. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Sebagai salah satu bentuk pengendalian berupa pencegahan, maka kegiatan perizinan tersebut dilakukan sebelum berjalannya suatu kegiatan pemanfaatan ruang. Bentuk dari instrumen perizinan tersebut adalah izin pemilikan dan penggunaan tanah (IPPT), izin lokasi, izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan, dan izin lingkungan. 11 Ada beberapa permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang yang selama ini kerap terjadi. Dalam pemanfaatan ruang, para pelaku pembangunan (Pemerintahan, Swasta, Masyarakat) sering kurang memperhatikan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan. Selain itu, RTRW yang telah disusun sendiri memang kurang atau %20Ketentuan%20Pengendalian%20Pemanfaatan%20Ruang.pdf, pada 7 September 2014 pukul WIB. 10 Pasal 35 UUPR 11 Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Bandung, hlm.119

6 6 belum mempertimbangan aspek-aspek pelaksanaan pemanfaatan ruang. Masalah juga terjadi karena masih ada kelemahan dalam mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang seperti pada penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. 12 Dalam penelitian ini, Penulis akan lebih membahas terkait dengan upaya pengendalian pemanfaatan ruang melalui salah satu instrumen perizinan berupa izin membangun bangunan (IMB). Bangunan Gedung merupakan salah satu bagian penting dalam suatu pembangunan, hal ini dikarenakan bangunan gedung merupakan tempat melakukan kegiatan penunjang pembangunan. Terkait dengan penggunaan ruang, pada pertimbangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung (Perda Bangunan Gedung) menyebutkan diperlukannya pengaturan bangunan gedung adalah bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang yang perlu untuk dikendalikan supaya dapat terwujud bangunan gedung yang fungsional, andal yang menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan bagi pengguna serta selaras dengan lingkungannya. Di Indonesia setiap daerah memiliki prioritas pembangunan masingmasing yang didasarkan pada potensi terbesar yang dimiliki oleh daerah tersebut. Kota Yogyakarta, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Yogyakarta Tahun (Perda 12 Sjofjan Bakar, 2012, Tak Hanya Koordinasi, Tapi juga Pengawasan, Buletin Tataruang, September-Oktober, 2012, hlm 18

7 7 RPJPD), memiliki prioritas pembangunan yang bertumpu pada beberapa sektor yakni sektor pariwisata, pendidikan, dan jasa. Hal tersebut terlihat pada visi pembangunan Kota Yogyakarta Tahun yaitu Menjadikan Daerah Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan. Untuk mewujudkan visi tersebut maka strategi kebijakan yang ditempuh pemerintah DIY diarahkan dan diprioritaskan menuju sembilan bidang strategis dan bidang pariwisata menjadi prioritas kedua setelah bidang pendidikan. Dipilihnya bidang pariwisata menjadi salah satu prioritas pembangunan dikarenakan citra Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan sektor pariwisata cukup memberikan pemasukan yang signifikan bagi keuangan daerah. Berdasarkan data Distribusi Produk Domestik bruto menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2012, lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran memiliki Distribusi Produk Domestik bruto paling besar dengan jumlah sebesar kurang lebih 25,34%. 13 Kota Yogyakarta sebagai ibukota dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pusat dari kegiatan kepariwisataan. Faktor lokasi kota yang strategis dekat dengan tempat-tempat kepentingan kepariwisataan, kekayaan budaya Kota Yogyakarta yang masih tergolong lestari, kehidupan masyarakat lokal yang masih cukup kental memegang tradisi lokal Jawa, dan 13 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, 2013, Kota Yogyakarta dalam Angka 2013, BPS Kota Yogyakarta, Yogyakarta, hlm 364.

8 8 juga suasana nyaman merupakan nilai jual bagi kota ini. Sehingga, banyak jumlah wisatawan yang tergolong banyak datang ke Kota Yogyakarta. Jumlah kunjungan wisatawan dapat diukur dengan pendekatan jumlah tamu yang menginap di hotel-hotel atau berdasarkan catatan jumlah pengunjung dari setiap kawasan tujuan wisata dan event pariwisata. 14 Perkembangan pariwisata di Kota Yogyakarta pada tahun-tahun terakhir ini terakhir menunjukkan trend yang meningkat. 15 Hal yang perlu dipahami adalah pariwisata merupakan industri yang digerakkan oleh permintaan atau dihidupi oleh wisatawan dan suplainya disediakan dan ditentukan oleh kegiatan sektoral terutama hotel, akomodasi, restoran, transportasi, komunikasi, jasa-jasa dan lainnya. Indikator perkembangan kepariwisataan di suatu wilayah dapat dilihat dari jumlah sarana dan prasarana (akomodasi), jumlah kunjungan wisata baik domestik maupun mancanegara, tingkat penghunian kamar hotel maupun rata-rata lama menginap tamu hotel. 16 Jumlah kunjungan wisatawan di kota Yogyakarta rata-rata sebesar orang per tahun, dengan rata-rata perkembangan jumlah wisatawan sebesar 10,7%. 17 Pada tahun 2013 data BPS mencatat ada orang wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta Badan Pusat Statistik, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2013, diakses Yogyakarta, 0Istimewa%20Yogyakarta%202013/HTML/files/assets/basic-html/page64.html, pada 13 Oktober 2014 pukul WIB 15 Ibid 16 Badan Pusat Statistik, Loc.Cit 17 Vidya D.A Aliandi, Herniwati R.H, 2013, Pengaruh Jumlah Wisatawan, Jumlah Hotel dan Tingkat Hunian Hotel Terhadap Penerimaan Pajak Hotel (Studi Kasus Pada Kota Yogyakarta), Diponegoro Journal Of Economics, Volume 2 Nomor 4, hlm 4 18 Badan Pusat Statistik, Loc.Cit

9 9 Konsekuensi yang timbul dari perkembangan wisata di Kota Yogyakarta adalah meningkatnya kebutuhan akomodasi penginapan atau hotel di Kota Yogyakarta. Kebutuhan akomodasi ini dipenuhi melalui pertambahan jumlah kamar melalui pembangunan atau pengembangan gedung hotel atau akomodasi penginapan lain. Terkait dengan perhotelan, banyak gedung-gedung baru yang kemudian dibangun di Kota Yogyakarta dan diperuntukkan untuk perhotelan. Hal ini terlihat pada peningkatan jumlah hotel di Kota Yogyakarta mulai tahun 2007 hingga tahun Pada tahun 2011 tercatat ada 368 hotel, tahun 2012 ada 386 hotel dan terakhir data tahun 2013 mencatat ada 400 hotel, baik hotel berbintang maupun nonbintang. 19 Selain adanya permintaan atas hotel atau penginapan yang cukup tinggi, faktor lain juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan hotel di Kota Yogyakarta adalah adanya sistem perizinan yang cukup mudah di Kota Yogyakarta. Adanya sistem perizinan yang mudah tersebut menarik para investor untuk menanamkan investasi berupa hotel di Kota Yogyakarta. Pertumbuhan pembangunan gedung baru perhotelan tersebut diharapkan dapat memberikan efek positif bagi Kota Yogyakarta yaitu berupa peningkatan Pemasukan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi IMB dan lapangan pekerjaan. PAD digunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daerah itu sendiri, maka dengan adanya peningkatan PAD, diharapkan pembangunan daerah dapat dilaksanakan lebih maksimal guna 19 Badan Pusat Statistik, Loc.Cit

10 10 menyejahterakan masyarakat Kota Yogyakarta. Bidang pariwisata di Kota Yogyakarta merupakan sumber PAD yang penting, mengingat kondisi Kota Yogyakarta memiliki sumber daya alam yang sedikit. Adanya lapangan kerja baru juga diharapkan dapat menyerap tenaga kerja di wilayah ini secara maksimal sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Namun, di samping efek positif atas perkembangan pariwisata terdapat efek negatif yang patut dipertimbangkan. Efek-efek negatif yang dikhawatirkan muncul adalah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan RTRW yang telah ditentukan, munculnya ekses ke lingkungan atas pembangunan dan operasional gedung perhotelan pada lingkungan dan masyarakat sosial sekitar lokasi hotel. Sebagai contoh pada tahun 2014, terdapat indikasi adanya pemakaian sumur bor oleh salah satu hotel di kawasan Jalan Kusumanegara yang membuat debit air sumur dangkal warga sekitar lokasi hotel menyusut. 20 Kasus lainnya yang kerap terjadi adalah adanya beberapa gedung hotel yang tidak memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai kriteria peraturan yang berlaku, lahan parkir hotel yang tidak memadai sehingga terkadang kendaraan pengunjung hotel meluber ke badan jalan, dan lain sebagainya. Selain itu, adanya pembangunan gedung baru hotel yang dilakukan dalam waktu yang cukup cepat juga akan berpengaruh pada kualitas gedung. 21 Kota Yogyakarta merupakan kota yang memiliki potensi bencana alam, gempa bumi dan banjir lahar dingin, membuat 20 Merujuk pada kasus Fave Hotel di Jalan Kusumanegara, sumber diakses pada 13 Oktober Berdasarkan hasil pengamatan Penulis pada pembangunan gedung baru Hotel CD di Jl. AM. Sangaji pada September-Desember 2014

11 11 pembangunan gedung baru perhotelan di Kota Yogyakarta harus dilakukan secara ketat sesuai aturan yang berlaku untuk meminimalisasi risiko bencana alam. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengontrol atau mencegah efek negatif dari pembangunan gedung baru perhotelan di Kota Yogyakarta adalah dengan penataan ruang, terutama terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun (Perda RTRW) terdapat aturan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian Pemanfaatan Ruang terdiri dari pengaturan terkait zonasi, perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta pemberian sanksi. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen perizinan diatur pada Perda RTRW Pasal Perizinan dalam hal ini adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan dikeluarkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. 22 Perihal pihak pelaksana perizinan pada pengendalian pemanfaatan ruang diatur pada Pasal 109 Perda RTRW yaitu Walikota Kota Yogyakarta yang dilaksanakan melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berwenang. Pada Pasal 108 Perda 22 Pasal 107 ayat (1) Perda RTRW

12 12 RTRW disebutkan jenis-jenis perizinan yang dikenakan pada kegiatan dan di Daerah yaitu : 1. perizinan pemanfaatan ruang; 2. perizinan peningkatan pemanfaatan ruang; 3. perizinan mendirikan bangunan; 4. perizinan gangguan; 5. perizinan teknis operasional. Di Kota Yogyakarta, instrumen Izin Membangun Bangunan Gedung (IMB) yang diatur dalam Perda Bangunan Gedung merupakan perwujudan perizinan membangun bangunan. Pada Pasal 1 angka (18) Perda Bangunan Gedung mendefinisikan IMB sebagai perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis tertentu. Perizinan IMB ditujukan untuk menjaga kualitas gedung yang dibangun di Kota Yogyakarta supaya menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan selaras dengan lingkungan. 23 Selain ketentuan pengendalian yang tercantum pada Perda RTRW dan Perda Bangunan Gedung yang di dalamnya terdapat pengaturan IMB tersebut, pada Oktober 2013 terbit Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Peraturan Walikota ini diterbitkan karena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta dirasa sudah 23 Konsideran Perda Bangunan Gedung

13 13 jenuh dan ada beberapa alasan ekonomi, sosial, dan politik yang melatarbelakangi. Peraturan tersebut kurang lebihnya mengatur tentang penghentian sementara (moratorium) pemberian IMB pada pembangunan gedung baru perhotelan selama tiga tahun (terhitung sejak 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2016). Sehingga Peraturan Walikota ini sering disebut sebagai Perwal Moratorium IMB Hotel. Hingga tanggal 31 Desember 2014 tercatat 106 potensi permohonan pengajuan izin pembangunan gedung baru untuk perhotelan yang sudah masuk ke Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Jumlah tersebut terdiri dari 85 permohonan merupakan permohonan yang pada akhir tahun 2013 baru masuk ke Dinas Perizinan dan 21 permohonan merupakan permohonan yang diajukan sudah sejak lama. 24 Atas izin pembangunan gedung perhotelan yang sudah masuk sebelum tanggal moratorium tersebut, proses perizinannya masih dapat dilanjutkan untuk dipertimbangkan. Walaupun sudah terdapat Peraturan Daerah yang mengatur terkait pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Yogyakarta melalui instrumen perizinan berupa IMB yang berlaku bagi pembangunan gedung baru perhotelan, baik untuk hotel baru atau hotel lama yang ingin menambah gedung baru, untuk namun masih ada kekhawatiran terhadap ekses lingkungan terkait kegiatan pemanfaatan ruang tersebut. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut, kemudian melatarbelakangi Penulis untuk 24 Tribun News Online, Kota Yogya Sudah Berikan Izin 11 Pembangunan Hotel Baru ditulis pada 14 Januari 2014, diakses pada 16 Juli 2014 pukul WIB

14 14 melakukan penelitian hukum tentang Upaya Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Instrumen Izin Membangun Bangunan (IMB) Pada Pembangunan Gedung Baru Perhotelan. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana upaya Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen Izin Membangun Bangunan (IMB) pada pembangunan gedung baru yang diperuntukkan untuk perhotelan? 2. Kendala apakah yang dihadapi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen Izin Membangun Bangunan (IMB) pada pembangunan gedung baru yang diperuntukkan untuk perhotelan? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui upaya Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen Izin Membangun Bangunan (IMB) pada pembangunan gedung baru perhotelan di Kota Yogyakarta; 2. Mengetahui kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen Izin Membangun Bangunan (IMB) pada pembangunan gedung baru perhotelan di Kota Yogyakarta. D. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan pengamatan dan sepengetahuan penulis hingga Penulisan Hukum ini dibuat, belum ada penelitian untuk penulisan hukum atau karya tulis

15 15 ilmiah sejenis yang membahas permasalahan sama dengan penulisan hukum ini. Adapun penulisan hukum atau karya ilmiah lain yang memiliki kemiripan bahasan dengan sebagian unsur yang pada penulisan hukum, yaitu pembangunan berkelanjutan, perizinan lingkungan hidup, pengendalian pemanfaatan ruang, IMB, dan pembangunan hotel, ini diantaranya adalah : 1. Skripsi, dengan judul Pelaksanan Perizinan Pembangunan Perumahan untuk Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kabupaten Sleman yang ditulis oleh Dyah Ayu Maruti, Fakultas Hukum UGM, pada tahun Pada penulisan hukum tersebut membahas tentang pelaksanan perizinan pembangunan perumahan untuk pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten Sleman secara menyuluruh, dimulai dari proses Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT), Izin Lingkungan Hidup, Site Plan, hingga Izin Membangun Bangunan (IMB). Kemiripan dengan penulisan hukum yang dilakukan Penulis adalah terkait pada upaya pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen perizinan oleh suatu Pemerintah Daerah. Adapun hal yang membedakan adalah terkait subyek penelitian, pada penelitian Penulis, subyek penelitian adalah Pemerintah Kota Yogyakarta. Selain itu, cakupan jenis perizinan yang dibahas, pada penelitian Penulis lebih sempit, hanya satu jenis izin yaitu IMB. 2. Skripsi dengan judul Penegakan Ijin Membangun Bangun Bangunan (IMBB) oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. yang ditulis oleh Hari Sarjana Saputra pada tahun Penulisan hukum tersebut membahas

16 16 tentang pelaksanaan, kendala pelaksanaan dan solusi atas kendala tersebut pada penegakan hukum atas Ijin Membangun Bangun Bangunan (IMBB) oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Hal yang membedakan antara penulisan hukum tersebut dengan penulisan hukum ini adalah dasar hukum pengaturan perizinan membangun bangunan. Pada Penulisan hukum ini, Penulis mendasarkan pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung, sedangkan pada Skripsi tersebut menggunakan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1988 Tentang Ijin Membangun Bangun Bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun Bangunan. 3. Thesis, dengan judul Kajian pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat Kasus: Pertambangan Tanpa Izin, yang ditulis oleh Nofitri Agustin (Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Fakultas Teknik UGM) pada tahun Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi, menjelaskan dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan tanpa izin, menjelaskan efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pengendalian tersebut. Dari penelitian tersebut terdapat kesamaan yaitu kedua penelitian ini mengkaji terkait pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah. Sedangkan hal yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

17 17 Penulis lakukan adalah pada obyek penelitian yaitu terkait dengan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang berupa Izin Membangun Bangunan (IMB) gedung perhotelan di Kota Yogyakarta, sedangkan pada Thesis tersebut adalah terkait dengan perizinan pertambangan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penelitian untuk penulisan hukum mengenai Upaya Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Instrumen Izin Membangun Bangunan Pada Pembangunan Gedung Baru Perhotelan belum pernah dilaksanakan. E. KEGUNAAN PENELITIAN 1. Secara akademis a. Memperoleh data akurat di lapangan guna menjadi dasar penulisan hukum; b. Hasil penelitian yang mendasari penulisan hukum ini diharapkan dapat membantu perkembangan ilmu hukum secara umum dan hukum lingkungan terutama terkait bidang penataan ruang dan perizinan lingkungan hidup. 2. Secara praktis a. Bagi Pemerintah Sebagai alternatif bahan masukan dalam hal kebijakan tataruang yang baik supaya Pemerintah dapat melaksanakan kewajiban dalam pemenuhan hak lingkungan hidup yang baik bagi masyarakat dan lingkungan secara maksimal. b. Bagi Masyarakat

18 18 Sebagai salah satu sumber informasi terkait dengan penataan ruang, terutama tentang IMB, di Kota Yogyakarta.

19 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selain Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selain Kabupaten 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selain Kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo. Kota Yogyakarta

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya BAB III Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya Potensi pariwisata di Indonesia sangat tinggi, dari Aceh hingga Papua dengan semua macam obyek pariwisata, industri pariwisata Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang melanda Indonesia membawa dampak yang luar biasa, sehingga meruntuhkan fundamental ekonomi negara dan jatuhnya penguasa pada tahun 1998.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, Menimbang : a. bahwa kondisi wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kota pariwisata dan kota pelajar dengan unsur budaya yang melekat, dan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kota pariwisata dan kota pelajar dengan unsur budaya yang melekat, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dewasa ini merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemajuan pembangunan yang pesat. Yogyakarta dikenal sebagai kota pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 2 Undang Undang Nomor 32 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 2 Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pemerintah pusat telah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri melalui otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari migas, pajak, non pajak. Dana yang berasal dari rakyat dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari migas, pajak, non pajak. Dana yang berasal dari rakyat dengan jalan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ada beberapa sumber dana yang dapat diperoleh pemerintah yaitu yang berasal dari migas, pajak, non pajak. Dana yang berasal dari rakyat dengan jalan melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2013 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2013 2028 Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengaruh penerimaan

BAB V PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengaruh penerimaan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengaruh penerimaan Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung selama tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah di Indonesia memperoleh hak untuk melakukan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah di Indonesia memperoleh hak untuk melakukan otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap daerah di Indonesia memperoleh hak untuk melakukan otonomi daerah dengan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2012011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah tujuan wisata di kawasan Provinsi NTB dan merupakan daerah yang diberikan hak otonomi untuk mengelola daerahnya sendiri baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus berkembang baik dalam segi kehidupan masyarakatnya maupun segi tata ruangnya. Kota Yogyakarta pernah

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Pemberlakuan undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, undang - undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

BAB I. Pendahuluan. Pemberlakuan undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, undang - undang Nomor 33 tahun 2004 tentang BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pemberlakuan undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undang - undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2017-2027 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

BAB I PENDAHULUAN. yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian yang unik dibandingkan dengan propinsi lain di mana pilar-pilar

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian yang unik dibandingkan dengan propinsi lain di mana pilar-pilar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki karakteristik struktur perekonomian yang unik dibandingkan dengan propinsi lain di mana pilar-pilar ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya bagi kesehjateraan manusia yakni pembangunan tersebut. Adapun tujuan nasional

BAB I PENDAHULUAN. daya bagi kesehjateraan manusia yakni pembangunan tersebut. Adapun tujuan nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu cara dalam mensejahterakan hidup manusia pada suatu daerah tertentu dan ekonomi diterapkan sebagai bentuk pengurusan terhadap sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia.Pengelolaan dan pengembangan pariwisata harus dilanjutkan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia.Pengelolaan dan pengembangan pariwisata harus dilanjutkan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.Pengelolaan dan pengembangan pariwisata harus dilanjutkan dan ditingkatkan karena sektor pariwisata

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyalahgunaan perizinan..., Mumtazah, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyalahgunaan perizinan..., Mumtazah, FH UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Bangunan gedung merupakan buah karya manusia yang dibuat untuk menunjang kebutuhan hidup manusia, baik sebagai tempat bekerja, usaha, pendidikan, sarana

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan dinamika dan tuntutan perubahan di segala bidang, maka untuk mengantisipasi kesalahan masa lalu, maka dibuatlah UU No: 22 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG: MATERI 1. Pengertian tata ruang 2. Latar belakang penataan ruang 3. Definisi dan Tujuan penataan ruang 4. Substansi UU PenataanRuang 5. Dasar Kebijakan penataan ruang 6. Hal hal pokok yang diatur dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN TERKAIT PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BANGUNAN APARTEMEN MENARA SOEKARNO HATTA KOTA MALANG

PEDOMAN PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN TERKAIT PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BANGUNAN APARTEMEN MENARA SOEKARNO HATTA KOTA MALANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN TERKAIT PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BANGUNAN APARTEMEN MENARA SOEKARNO HATTA KOTA MALANG (Studi Implementasi Pasal 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG

STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

- Dasar Hukum Peraturan Daerah ini adalah: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999; Undang-Undang

- Dasar Hukum Peraturan Daerah ini adalah: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999; Undang-Undang PENANAMAN MODAL WAKATOBI 2014 PERDA NO. 1, LD 2014/NO. 1: 26 HLM. PERDA KABUPATEN WAKATOBI TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WAKATOBI ABSTRAK : - bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Muta ali (2012) menjelaskan bahwa pengembangan wilayah adalah salah satu upaya pemanfaatan sumberdaya wilayah untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya demi kemakmuran rakyat

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

HOTEL RESORT DI DAGO GIRI, BANDUNG

HOTEL RESORT DI DAGO GIRI, BANDUNG I.1 LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Dalam kurun lima tahun terakhir pertumbuhan perekonomian kota Bandung terus terdongkrak naik. Penyebab kondisi yang tengah dialami kota Bandung tidak hanya karena saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan perekonomian nasional maupun daerah. Seperti yang dituangkan dalam konsep Masterplan Percepatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN 2012-2032 1. PENJELASAN UMUM Lahirnya Undang-Undang Penataan Ruang nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Bratahkusuma dan Solihin, 2001:1). Menurut Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. (Bratahkusuma dan Solihin, 2001:1). Menurut Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Repulik Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah, hal ini terlihat dengan diberikannya keleluasaan kepada kepala

Lebih terperinci

BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007

BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 18 BAB II PENATAAN RUANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 A. Definisi Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Dengan diundangkannya UUPA itu, berarti sejak saat itu telah memiliki

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala daerah dan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala daerah dan BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang disampaikan pada waktu pemilihan kepala daerah (pilkada).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan dan pertumbuhan perekonomian Kota Yogyakarta yang semakin baik menjadikan Kota Yogyakarta sebagai kota yang memiliki daya tarik bagi para pencari kerja.

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN 46 BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Profil Dinas Perhubungan 1. Sejarah Dinas Perhubungan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom baru yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tangerang Provinsi Banten berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara yang berkembang yang saat ini sedang giatgiatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara yang berkembang yang saat ini sedang giatgiatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang berkembang yang saat ini sedang giatgiatnya melakukan pembangunan di desa maupun di kota. Pembangunan yang dilakukan merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan suatu penerimaan yang rutin, maka pemerintah menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan suatu penerimaan yang rutin, maka pemerintah menempatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan hal yang penting bagi suatu negara yang terus menerus berkembang. Dalam peningkatan dan pembangunan nasional pemerintah memerlukan suatu penerimaan

Lebih terperinci

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas ~ 51 ~ PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN 2015-2035 I. UMUM 1. Ruang Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sedikit mirip dengan negara serikat/federal 1. Namun terdapat perbedaanperbedaan

BAB I PENDAHULUAN. yang sedikit mirip dengan negara serikat/federal 1. Namun terdapat perbedaanperbedaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara kesatuan yang menerapkan otonomi kepada daerah atau desentralisasi yang sedikit mirip dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupkan salah satu sektor penting dalam pembangunan nasional. Peranan pariwisata di Indonesia sangat dirasakan manfaatnya, karena pembangunan dalam sektor

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.101 2016 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Pemanfaatan disini bukan berarti

BAB I PENDAHULUAN. potensi keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Pemanfaatan disini bukan berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak potensi dan sumber daya alam yang belum dikembangkan secara maksimal, termasuk didalamnya terdapat sektor pariwisata. Untuk lebih memantapkan

Lebih terperinci

Aspek-aspek minimal yang harus tercantum dalam Perda Kumuh

Aspek-aspek minimal yang harus tercantum dalam Perda Kumuh Aspek-aspek minimal yang harus tercantum dalam Perda Kumuh No Aspek-aspek minimal Perda 1. Ketentuan Umum; Muatan 1. Daerah adalah Kabupaten/Kota... 2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN 2014-2029 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUBANG, Menimbang : a. bahwa tenaga listrik sangat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016-2035 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Bahal Edison Naiborhu, MT. Direktur Penataan Ruang Daerah Wilayah II Jakarta, 14 November 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Pendahuluan Outline Permasalahan

Lebih terperinci

SUMBANGAN PIHAK KETIGA PERDA KABUPATEN KONAWE SELATAN NO. 2 TAHUN

SUMBANGAN PIHAK KETIGA PERDA KABUPATEN KONAWE SELATAN NO. 2 TAHUN SUMBANGAN PIHAK KETIGA PERDA KABUPATEN KONAWE SELATAN NO. 2 TAHUN PERATURAN DAERAH TENTANG PENERIMAN SUMBANGAN PIHAK KETIGA KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN KONAWE SELATAN ABSTRAK : Bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, dalam

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lahan permukiman, jalan, industri dan lainnya. 1. hukum pertanahan Indonesia, negara berperan sebagai satu-satunya

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lahan permukiman, jalan, industri dan lainnya. 1. hukum pertanahan Indonesia, negara berperan sebagai satu-satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin meningkatnya jumlah penduduk berarti jumlah kebutuhan menjadi lebih besar, salah satunya kebutuhan pada lahan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermatapencaharian

Lebih terperinci

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG KEPARIWISATAAN DI KOTA BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1997, Tambahan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPD 3.1.1 Permasalahan Infrastruktur Jalan dan Sumber Daya Air Beberapa permasalahan

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5883 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 101). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU KOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG CIPTA KARYA DAN TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BATU KOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG CIPTA KARYA DAN TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian disingkat dengan UUD 1945 bahwa Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sering dikaitkan dalam perkembangan ekonomi suatu negara dengan tujuan sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu bangsa,

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, Kota Medan tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kota metropolitan baru di Indonesia, serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dibanyak daerah di Indonesia, dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

HOTEL RESORT DI PARANGTRITIS

HOTEL RESORT DI PARANGTRITIS LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR ( L P 3 A ) HOTEL RESORT DI PARANGTRITIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Disusun Oleh: Nama : Lina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa terbesar di bawah minyak dan gas bumi, batu bara, minyak

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa terbesar di bawah minyak dan gas bumi, batu bara, minyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan sektor yang sangat strategis dan memiliki trend kontribusi positif terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Menurut data BPS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada jaman modern ini pariwisata telah berubah menjadi sebuah industri yang menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO (United Nations World

Lebih terperinci