PEMBELAJARAN DARI PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT BERBASIS MASYARAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBELAJARAN DARI PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT BERBASIS MASYARAKAT"

Transkripsi

1 i Volume - 2

2 PEMBELAJARAN DARI PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT BERBASIS MASYARAKAT Volume - 2 Kerjasama : Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam SATKER REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (COREMAP II) TAHUN 2006 Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2006 PT. BINA MARINA NUSANTARA (Konsultan Kelautan dan Perikanan) Kantor: Gedung Sarana Pengembangan Usaha Lt.8, Jl. Angkasa Blok B-9 Kav 6 Kota Baru, Bandar Kemayoran, Jakarta Telp. (021) , Fax. (021) , binamarina@cbn.net.id iii

3 Kata Pengantar Buku ini dibuat merupakan salah satu seri dari sepuluh buku panduan pembelanjaran mandiri dalam pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat yang diterbitkan oleh COREMAP II. Memang penerapan pengelolaan berbasis masyarakat menjadi pendekatan yang dirintis sejak akhir tahun 1990-an dan menjadi penting salahsatunya diterapkan pada pengelolaan terumbu karang. Penerapan pengelolaan pada terumbu karang ini membutuhkan pengenalan, pemahaman dan pendalaman terumbu karang itu sendiri terutama manfaat dan fungsi ekosistem terumbu karang itu sendiri termasuk ekosistem yang terkait dengannya. Sudah banyak yang menyebutkan bahwa dari ekosistem terumbu karang bisa menjadikan tulang punggung ekonomi di wilayah pesisir. Nilai ekonomi langsung dari ikan hias laut di Indonesia yang berasal dari terumbu karang bisa mencapai US$ 32 juta/tahun. Selain itu nilai ekonomi dari terumbu karang yang non konsumtif bisa berupa kegiatan pariwisata, pelindung pantai, dan keragaman hayati. Ada yang memperkirakan bahwa nilai keragaman hayati terumbu karang Indonesia mencapai US$ 7,8 juta, sedangkan total nilai ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US$ 466 juta (nilai bersih) sampai dengan US$ 567 juta (nilai kotor). Namun demikian, ancaman terhadap sumberdaya terumbu karang juga selalu menghadang di hadapan kita yang bisa menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya tersebut. Keberhasilan penerapan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat dan yang tiada lain juga tergantung pada kemampuan para penggerak, fasilitator di daerah dalam upaya meningkatkan partisipasi tersebut. Pembuatan buku ini ditujukan untuk memberikan bahan yang menjadikan pengguna terutama para fasilitator di daerah agar bisa lebih mudah mengenali dan manfaat ekosistem iv

4 terumbu karang dan sekaligus semoga menjadi bahan pembelajaran selanjutnya secara mandiri yang bermanfaat bagi motivasi penggerak partisipasi masyarakat di daerahnya. Buku ini berisi terutama terkait dengan pendalaman pemahaman ekosistem terumbu karang terutama pengenalan manfaat dan fungsi ekositem dan strategi pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Konsep, kajian, teknik rehabilitasi dan langkah-langkah dalam pengelolaan ini menjadi hal-hal yang dicoba diangkat dalam buku ini. Disadari bahwa panduan pengenalan manfaat dan fungsi ekosistem termasuk langkah-langkahnya agar tujuan menjadi tercapai, bukan satu-satunya cara dalam upaya meningkatkan tingkat pengetahuan, kesadaran, pemahaman terhadap ekosistem terumbu karang. Demikian juga penerapan buku ini akan tergantung sekali pada kondisi lokal yang ada. Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak sehingga buku ini bisa diterbitkan pada waktunya, terutama kepada para fasilitator dan pertugas yang ada di garis terdepan di daerah yang telah memberikan pengkayaan pada langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengenalkan ekosistem terumbu karang ini. Jakarta, Desember Penyusun. v

5 SAMBUTAN DIRJEN KP3K Pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan menuntut kesinambungan upaya dan konsistensi sistem kebijakan, serta mensyaratkan kemampuan sumberdaya manusia sebagai pengelola dan ketersediaan informasi yang memadai sebagai dasar pengambilan keputusan. Peran manusia, terutama masyarakat pesisir sebagai pengguna dan pengelola sumberdaya alam pesisir dan laut, menjadi sentral dalam proses pengelolaan sumberdaya terumbu karang. Namun, pada kenyataannya, pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya terumbu karang selain memiliki beragam kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam tersebut memiliki kapasitas yang sangat bervariasi. Ada ketidakseimbangan kemampuan dalam pengetahuan secara formal yang memadai di antara pemangku kepentingan. Rendahnya sebagian besar kapasitas pemangku kepentingan sumberdaya terumbu karang, memicu ketidakseimbangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dengan demikian, pembelajaran yang terus menerus bagi mereka merupakan hal yang sangat diperlukan dalam meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan sumberdaya terumbu karang. Namun demikian, tingginya kebutuhan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan terbatasnya dana yang ada menyebabkan proses pembelajaran yang sangat diperlukan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut timpang. Sehubungan dengan itu, maka dirasakan penting untuk menyusun Paket Buku Panduan (Self Learning Material Pack) untuk pembelajaran mandiri pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (Community-Based Management CBM). Hal ini karena salah satu pendekatan bagi pembelajaran masyarakat yang paling efektif dan menjangkau lokasi terpencil adalah melalui media buku. Media buku dapat membawa pesan jauh lebih banyak dan luas dibandingkan media lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan informasi untuk seluruh tingkatan para pemangku kepentingan dengan menyediakan berbagai pilihan. Selain itu, kegiatan pengembangan Buku Panduan ini ditujukan untuk memberikan informasi mengenai berbagai strategi pengelolaan sumberdaya terumbu karang dari vi

6 sudut pandang masyarakat nelayan, para manajer sumberdaya dan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang lingkungan. Materi Paket Buku Panduan merupakan pembelajaran dari pengalamanpengalaman pelaksanaan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat di Indonesia maupun di luar negeri. Paket Buku Panduan terdiri atas 11(sebelas) judul sebagai berikut: (1) Panduan penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) (2) Pengenalan Manfaat dan Fungsi Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait, serta Kondisi Terumbu Karang di Indonesia (3) Pembelajaran dari Program Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat (4) Panduan Pengambilan Data dengan Metode RRA dan PRA. (5) Panduan Penyusunan Peraturan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut (6) Panduan Pengorganisasian Masyarakat (7) Panduan Mata Pencaharian Alternatif (8) Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (9) Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat (10)Panduan Pembuatan Daerah Perlindungan Laut, dan (11)Panduan Pengelolaan Pondok Informasi (Info Center). Seluruh Paket Buku Panduan tersebut diharapkan dapat memberi manfaat bagi seluruh pihak, terutama masyarakat pesisir, para Terakhir, kami mengucapkan terima kasih kepada ketua dan seluruh anggota Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga seluruh paket buku panduan dapat diselesaikan dengan baik. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan dalam penyusunan paket buku panduan ini. Jakarta, Nopember 2006 Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil vii

7 Sekapur Sirih Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada semua pihak yang telah menyumbangkan pikiran dan tenaga sehingga penyusunan Paket Buku Panduan (Self Learning Material Pack) untuk pembelajaran mandiri pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (Community-Based Management CBM) dapat diselesaikan dengan baik. Paket Buku Panduan ini dapat diselesaikan karena kerja keras Tim Penyusun dan berkat kontribusi yang diberikan oleh Tim COREMAP II di Jakarta serta Tim COREMAP Daerah dan para fasilitator dan motivator desa di lokasi-lokasi CORMAP II di 7 (tujuh) kabupaten, yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Buton, Kabupaten Selayar, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Sikka, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Biak. Kontribusi yang sangat berharga berupa dukungan kesekretariatan dan logistik disediakan oleh PT Bina Marina Nusantara. Penyusun viii

8 Glosari / Daftar Istilah BPD : Badan Perwakilan Desa DTA : daerah tangkapan air degaradasi sumberdaya : menurunnya kualitas/mutu sumberdaya alam deplisi sumberdaya alam: menurunnya jumlah sumberdaya alam DPL-BM : Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Desa : Tingkat pemerintahan yang paling bawah yang dikepalai oleh Kepala Desa; di Papua disebut Kampung dan dikepalai oleh Kepala Kampung eksploitasi : pengambilan sumberdaya alam untuk dimanfaatkan eksplorasi : Info Center : Information Center atau Pusat Informasi legal baseline : landasan hukum Kecamatan : Administrasi pemerintahan di atas tingkat desa, dikepalai oleh Camat; di Papua disebut Distrik dan dikepalai oleh Kepala Distrik KPTK : Kelompok Pengawasan Terumbu Karang konservasi : pengawetan MCS : Monitoring, Controlling, and Survaillance atau Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian MPA : Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau dalam Bahasa Inggris Marine Protected Area over-fishing : penangkapan ikan secara berlebih yang dapat berakibat pada kepunahkan sumberdaya ikan Perdes : Peraturan Desa Pokmas : Kelompok Masyarakat PokWasMas : Kelompok Pengawasan Masyarakat stakeholders : pemangku kepentingan, (para) pihak-pihak terkait ix

9 Daftar Isi PENGANTAR... SEKAPUR SIRIH... DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN... DAFTAR ISI... BAB 1. PENDAHULUAN Mengapa Perlu Buku Pembelajaran dari Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat? Mengapa Perlu Buku Panduan? Buku Panduan untuk Siapa? Bagaimana Menggunakan Buku Panduan?... 3 BAB 2. DASAR TEORI Konsep Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya dalam Pembangunan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat... 9 a. Definisi Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut BM... 9 b. Proses Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut BM c. Lingkup Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut BM Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Melalui Pengelolaan Bersama (Co-Management) a. Arti pengelolaan bersama? b. Dimana pengelolaan bersama perlu dikembangkan? c. Strategi Kelembagaan (siapa sebaiknya yang mengelola dan bagaimana caranya?) x

10 d. Strategi Teknis (cara pengelolaan yang bagaimana yang sebaiknya digunakan?) e. Strategi Adaptif (monitoring dan perbaikan sumberdaya alam).. 18 BAB 3. PENERAPAN PENGELOLAAN BERBASIS MASYARAKAT DAN PENGELOLAAN BERSAMA Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat di Desa Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak Sasi di Pulau Saparua Revitalisasi Hak Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Lombok Timur BAB 4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT a. Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusan yang Inklusif, Transparan, dan Didukung oleh Pengetahuan Ilmiah b. Kerangka Hukum yang Memadai c. Kesejahteraan Komunitas Pesisir d. Penutupan Proyek Secara Tepat DAFTRA PUSTAKA xi

11 BAB 1 Pendahuluan 1. Mengapa Perlu Buku Pembelajaran dari Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat? Di Indonesia saat ini, sangat diperlukan kehadiran buku pembelajaran dari pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Mengapa? Selama sekitar dua dasawarsa terakhir, telah dilakukan beberapa upaya untuk mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di beberapa lokasi di Indonesia. Pada saat ini, penerapan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat sedang diperluas di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Agar perluasan penerapan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat ini berjalan lebih efektif dan efisien, maka maka kehadiran buku pembelajaran dari pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat akan sangat dirasakan manfaatnya. Dengan kehadiran buku pembelajaran ini diharapkan kesalahankesalahan yang dibuat di tempat lama tidak akan terulang di tempat-tempat yang baru. 2. Mengapa Perlu Buku Panduan? Tujuan penyusunan paket panduan pembelajaran mandiri (self learning material pack) mengenai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat (Community-Based Management CBM) ini adalah: 1

12 a. Menyediakan konsep buku panduan (handbook) pembelajaran mandiri masyarakat untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat; b. Membuat buku panduan (handbook) sebagai bahan pembelajaran mandiri masyarakat tentang CBM yang mudah dipelajari dan dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat di lokasi COREMAP; c. Memberikan materi sebagai bekal pengetahuan dan informasi yang benar tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya alam laut secara lestari, khususnya terumbu karang dan ekositem terkait Sasaran yang diinginkan dari penyusunan konsep pembuatan paket panduan pembelajaran mandiri (self learning material pack) mengenai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat (Community- Based Management CBM) ini adalah tersedianya buku panduan bagi pembelajaran mandiri pengelolaan berbasis masyarakat yang terdiri dan tema-tema di bawah ini: 1). Pengenalan Manfaat dan Fungsi Ekosistem Terumbu Karang dan ekosistem terkait, serta kondisi terumbu karang di Indonesia 2). Pembelajaran dan program-program pengelolaan sumberdaya laut berbasis masyarakat 3). Panduan Pengambilan Data dengan metode Rural Rapid Appraisal dan Participatory Rural Appraisal 4). Panduan Penyusunan Regulasi Tingkat Desa 5). Panduan Pengorganisasian Masyarakat 6). Panduan Mata Pencaharian Alternatif 7). Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan yang Ramah dan Tidak Ramah Lingkungan 2

13 8). Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat 9). Panduan Penyusunan Daerah Perlindungan Laut 10).Panduan Pengelolaan Info Center, dan lain lain 3. Buku Panduan untuk Siapa? Target utama Seri Buku Pembelajaran Mandiri adalah para Fasilitator COREMAP II yang berada di tingkat kabupaten dan desa, yang kebanyakan adalah lulusan perguruan tinggi (Diploma 3) dan para Motivator Desa yang berasal dari desa-desa lokasi, yang kebanyakan lulusan SMP dan SMA. Motivator Desa merupakan kader pengelola terumbu karang di desa-desa di 7 (tujuh) Kabupaten COREMAP II di Indonesia Timur. 4. Bagaimana Menggunakan Buku Panduan? Buku ini ditulis secara khusus bagi pembaca target utama sebagai acuan dalam penyuluhan dan pelatihan mengenai sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Karenanya, informasi yang tersaji dalam buku 3

14 ini bersifat ringkas dan dasar. Pihak-pihak yang memerlukan informasi dan pengetahuan yang lebih dalam dapat membaca buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Buku pembelajaran dari pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat ini dibagi menjadi tiga komponen utama. Yang pertama adalah teori dasar mengenai pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan pengelolaan secara bersama. Yang kedua adalah contohcontoh penerapan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan sistem pengelolaan secara bersama di Indonesia. Yang terakhir adalah kunci utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan sistem pengelolaan secara bersama. Diharapkan Buku Panduan ini akan memberi manfaat kepada semua fasilitator dan motivator desa serta masyarkat desa pada umumnya dalam upaya membuat Perdes tentang DPL. 4

15 BAB 2 Dasar Teori Kiranya perlu dijelaskan di sini mengapa Buku ini memuat dua sistem pengelolaan sekaligus, padahal secara teoritis keduanya merupakan dua sistem yang berbeda, yakni: sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan sistem pengelolaan bersama. Memang, kedua sistem ini secara teoritis merupakan dua sistem pengelolaan yang berbeda. Pada sistem pengelolaan berbasis masyarakat, masyarakat memiliki kewenangan dan tanggung-jawab penuh. Pada sistem pengelolaan bersama, kewenangan dan tanggung-jawab dibagi secara besama. Namun, pada kenyataan di lapangan kedua sistem pengelolaan ini lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan. Perbedaan yang mencolok antara keduanya justru hanya berada pada proses yang dilaluinya. Proses pembentukan pengelolaan berbasis masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada masyarat, sedangkan proses pembentukan pengelolaan bersama difasilitasi oleh pemerintah. Dengan alasan-alasan tersebut di atas, dan kenyataan bahwa telah banyak dikembangkan di Indonesia system pengelolaan berbasis masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah, maka pemuatan dua sistem pengelolaan dalam Buku ini dipandang masuk akal dan memberi manfaat yang banyak. 1. Konsep Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya dalam Pembangunan Sumberdaya Alam Laut: Salah satu sumberdaya alam laut yang terkenal paling produktif yaitu wilayah pesisir. Rakyat Indonesia yang menggantungkan hidupnya terhadap wilayah pesisir ada sekitar 140 juta orang atau sekitar 60% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. 5

16 Wilayah Pesisir yaitu wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan instrusi laut, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-propses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerahdaerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan Beberapa ekosistem utama wilayah pesisir sebagai sumberdaya alam laut antara lain: (i) terumbu karang, (ii) hutan mangrove, (iii) padang lamun, (iv) estuaria, (v) pantai berpasir dan berbatu, (vi) pulau-pulau kecil. Agar sumberdaya alam pesisir tersebut terhindar dari ancaman kerusakan dan penurunan kualitas sumberdaya maka diperlukan suatu pengelolaan yang salah satunya membuat suatu kebijakan dan seperangkat aturan. Suatu pendekatan tertentu diperlukan agar aturanaturan tersebut disepakati untuk dijalankan. Pengelolaan sumberdaya alam pada pembangunan terpusat (sentralisrik). Pada waktu sebelum tahun 1999, strategi pengelolaan sumberdaya alam masih dilakukan secara top-down dimana alokasi tanggung jawab terhadap sumberdaya alam dibebankan pada dinas-dinas terkait secara sektoral yang merupakan kepanjangan wewenang dari pemerintah sentralistik. Sistem pengelolaan yang sentralistik tidaklah efektif dalam pengelolaan sumberdaya pada suatu tatanan yang berkelanjutan sehingga banyak aturan-aturan yang dibuat sering tidak dijalankan dan bila dijalankan banyak anggota masyarakat yang tidak memperdulikan aturan tersebut yang dicirikan dengan terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang tidak bertanggung jawab atau pencurian yang akhirnya mengancam penurunan kualitas sumberdaya. Hal ini dianggap suatu kegagalan dalam menjalankan strategi pengelolaan yang terpusat dan yang hanya mengandalkan pada pemerintah saja dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut. 6

17 Kegagalan pendekatan pengelolaan ini diakibatkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat secara langsung yang sangat bergantung pada sumberdaya tersebut. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Era Otonomi Daerah (Bottom Up, Terpadu, Pengelolaan Secara Tradisional, Berbasis Masyarakat) Pada akhir tahun 1999 pemerintah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu UU No 22/1999 yang membawa pada sistem pemerintahan dari terpusat ke otonomi daerah. Wewenang dan kekuasaan pemerintah dengan rakyat sudah berada di tangan pemerintah daerah. Dengan demikian, Indonesia mempunyai lingkungan hukum dan adat kebiasaan untuk melakukan pengelolaan berbasis masyarakat. Hal ini didukung pula oleh keterlibatan Indonesia dalam Agenda 21 hasil konperensi tingkat tinggi bumi pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro yang merekomendasikan desentralisasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebagai pengelolaan yang bottom-up, terpadu, desentralistik dan partisipatif dilakukan untuk menangani isu-isu yang mempengaruhi lingkungan sumberdaya melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat. Berbasis masyarakat berarti pengguna sumberdaya utama (masyarakat) haruslah menjadi pengelola sumberdaya mereka, sehingga rasa kepemilikan dan tangung jawab mereka terhadap sumberdaya mereka sendiri menjadi dikembangkan. Dalam pendekatan pengelolaan ini, masyarakat mempertegas haknya dan memperoleh akses yang benar dan kontrol dalam pengelolaan sumberdaya mereka sendiri. Dalam menjalankan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat ini berarti juga dilakukan pengelolaan bersama antara pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dan masing-masing mempunyai peran dalam proses pengelolaan tersebut..praktek pengelolaan tradisional yang ada di masyarakat 7

18 diidentifikasi dan dikembangkan untuk dipadukan ke dalam perencanaan pengelolaan ini. Contoh pengelolaan berbasis masyarakat yang berhasil dikenal di beberapa daerah di Indonesia seperti di beberapa desa pesisir di Minahasa, dan pengelolaan Mangrove di Sinjai Sulawesi Selatan. Pengelolaan sumberdaya tradisional yang murni dari masyarakat sudah berlangsung secara turun temurun seperti Sassi di Maluku, Mane e di Talaud dan Labuang di Talise, Minahasa. Pengelolaan Sumberdaya Secara Terpadu Pengelolaan sumberdaya terpadu yaitu suatu proses dinamis dan berkelanjutan yang menyatukan pemerintah dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan pengelolaan, serta kepentingan sektoral dan masyarakat umum dalam menyiapkan dan melaksanakan suatu rencana terpadu untuk perlindungan dan pengembangan sumberdaya dan ekosistem alam laut. Terpadu dalam pengelolaan sumberdaya alam laut berarti pula terpadu antarsektor, terpadu antar pemerintahan, terpadu ruang, terpadu pengetahuan-ilmu dan terpadu internasional. Tujuan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut terpadu yaitu untuk pencapaian suatu tingkat pembangunan yang berkesinambungan wilayah laut dan pesisir, mengurangi ancaman kerusakan sumberdaya dari bencana alam, menjaga kelangsungan proses ekologis utama, sistem pendukung mahluk hidup dan keanekaragaman biologis di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya ini bertujuan pula untuk pengembangan ekonomi dan ketahanan pangan, perlindungan kesehatan masyarakat, pencegahan konflik, demokrasi partisipatoris, dan perlindungan kelestarian lingkungan melalui pengelolaan pesisir dan air. Program pengelolaan terpadu yang berhasil dilakukan yaitu program yang menggunakan pendekatan strategis dan perlahan-lahan memadukan isu dan lembaga, dan yang mempertimbangkan keseimbangan antara kapasitas kemampuan lembaga serta sumberdaya yang ada dan kompleks atauysulitnya program pengelolaan terapadu. Program dimulai dengan 8

19 memilih sejumlah isu prioritas yang kecil, praktis, dan dapat dicapai dalam waktu singkat. Isu lain yang lebih kompleks astau sulit ditangani kemudian setelah tertimba berbagai pengalaman pelaksanaannya. Tahapan Siklus Pengelolaan Sumberdaya Terpadu Proses pengelolaan sumberdaya mengikuti serangkaian tahap atau langkah yang berbentuk siklus kebijakan, yang dimulai dengan: (i) identifikasi isu, (2) persiapan program, (3) penerimaan atau persetujuan program dan pendanaannya, (4) pelaksanaan dan (5) pemantauan dan evaluasi.. (GAMBAR SIKLUS KEBIJAKAN PENGELOLAAN) Masing-masing langkah dalam proses ini saling terkait dan mendukung, namun mekanisme proses dari suatu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung pada kebutuhan dan kondisi setempat. Satu siklus pengelolaan ini, yakni sampai pada tahapan pemantauan dan evaluasi disebut sebagai satu generasi pengelolaan sumberdaya yang dapat berlangsung selama 2 6 tahun. 2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat a. Definisi Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat Di dalam konteks penata-kelolaan sumber-daya alam (SDA) pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau Community-Based Management (CBM) dapat didefinsikan sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam di mana masyarakat memegang wewenang dan tanggung-jawab untuk mengelola sumberdaya alam di kawasan tertentu. Pengelolaan sumberdaya alam berbasi masyarakat atau CBM menganut premis atau keyakinan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan tertentu akan menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila dilakukan sendiri oleh masyarakat yang berada paling dekat jaraknya dari sumberdaya alam tersebut dan yang kelansungan hajat hidupnya tergantung pada kelestarian sumberdaya alam tersebut. 9

20 Masyarakat dalam definisi CBM seperti di atas adalah komunitas atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama, sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang berada di kawasan tertentu. Kelompok masyarakat ini pada kenyataannya saling bekerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya alam di sekitar mereka. Mereka hidup bersama di lokasi yang sama dan saling membantu. Namun, pada dasarnya mereka sebenarnya saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya alam, walaupun boleh jadi mereka tidak menyadari bahwa mereka saling berkompetisi. Mereka dikatakan pada dasarnya berkompetisi karena pemanfaatan sumberdaya alam, katakanlah ikan, oleh seseorang secara berlebihan akan mengganggu atau merugikan anggota kelompok yang lain, dan sebaliknya. Saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ala mini mengakibatkan terjadinya kegagalan pengelolaan sumberdaya alam berupa deplesi dan degradasi (berkurang dan rusaknya) sumberdaya alam yang pada akhirnya akan berujung pada kemiskinan masyarakat. Oleh karena itu, agar kompetisi berjalan secara lebih berkeadilan, maka perlu diciptakan aturan-aturan main yang memastikan kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut secara lebih merata atau adil. Walaupun berkompetisi, masyarakat juga bekerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya alam karena mereka memiliki kepentingan bersama dalam memenuhi hajat dihup secara berkomunitas atau berkelompok. Oleh karena itu, mereka pasti memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumbedaya alam secara berhasil guna dan berdaya guna. Keinginan masyarakat yang kadangkala saling bertentangan, dan berkompetisi mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah merupakan salah satu sifat alamiah masyarakat. Hal demikian justru menguatkan alasan perlunya dikembangkan suatu bentuk atau mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang dapat mengatasi konflik secara adil di 10

21 antara mereka. Kelompok masyarkat hendaknya diberi keleluasaan dan difasilitasi dalam upaya mereka mengembangkan suatu mekanisme sumberdaya alam yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan oleh mereka sindiri. b. Proses Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat Oleh karena selama Pembangunan Jangka Panjang Indonesia di masa lalu pengelolaan sumberdaya alam banyak diambil alih oleh Negara, maka penerapan konsep CBM pada saat ini meliputi pula pemberian kewenangan dan tanggung jawab oleh Negara kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengabil keputusan untuk menentukan aturan-aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut dan menjaga tingkat kesejahteraan hidup mereka dan generasi berikutnya. Dari sisi kehadirannya, proses pembentukan atau pelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut berbasis Masyarakat dapat ditempuh melalui tiga cara, sebagai berikut (Nikujuluw 2002). Pemerintah beserta masyarakat mengakui parktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam laut yang selama ini dilakukan masyarakat secara turun-temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selama ini. Pemerintah dan masyarakat menghidupkan kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam laut. Adat dan budaya tersebut barangkali telah hilang atau tidak digunakan lagi karena berubahnya zaman dan waktu. Meski demikian, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa adat dan budaya itu perlu dihidupkan lagi karena ternyata hilangnya adat dan budaya tersebut tidak membuat masyarakat makin sejahtera dan bahagia. Pemerintah memberikan sepenuhnya tanggung jawab dan wewenang pengelolaan sumberdaya alam laut kepada masyarakat. 11

22 c. Lingkup Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat Seberapa luas lingkup atau cakupan geografis pengelolaan sumberdaya alam alut berbasis masyarakat? Luasan cakupan geografis pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat tentunya tergantung pada cakupan dari batasan masyarakat itu sendiri. Masyarakat dapat didefinisikan berdasarkan pada kesamaan adapt-istiadat (masyarakat Bajo, dll.), status social atau mata pencaharian (petani, nelayan, dst.), wilayah adamintratif (dusun, desa, kecamatan, dst.), atau wilayah geografis tertentu (Teluk Bintuni, Teluk Balikpapan, dst.). Besar kecilnya lingkup atau cakupan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya alam laut tentunya akan mempengaruhi tingkat kesulitannya. 3. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Melalui Pengelolaan Bersama (Co-Management) a. Arti pengelolaan bersama? Pendekatan pengelolaan bersama semakin sering digunakan untuk pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan bersama merupakan suatu pengaturan kemitraan antara pelaku kunci dalam pengelolaan sumberdaya alam yaitu masyarakat lokal dan pemerintah. Selain itu berbagai LSM, proyek-proyek pengembangan atau badan-badan lain bisa saja berperan dalam pengelolaan. Bantuan teknis dan pendanaan dapat ditopang/dianggarkan oleh lembaga/instansi pemerintah, perguruan tinggi, swasta, ataupun lewat swadaya dan usaha masyarakat/desa. Pengelolaan bersama menggunakan kemampuan dan minat nelayan, pembudidaya lokal, dan masyarakatnya yang dikombinasikan dengan kemampuan pemerintah dalam menyediakan perangkat hukum yang memungkinkan atau bantuan lainnya. Hubungan ideal kemitraan tersebut tergantung pada kapasitas berbagai pelaku lokal dan sifat alami sumberdaya alam yang dikelola. 12

23 Pengelolaan bersama yang efektif akan selalu membutuhkan kelompok pengelola yang lebih luas cakupan wilayahnya di luar wilayah lokal. Misalnya pada tingkat kecamatan, kabupaten bahkan lintas kabupaten. Pengelolan wilayah pesisir yang terintegrasi merupakan pengelolaan yang membutuhkan kelembagaan yang lebih kompleks. b. Dimana pengelolaan bersama perlu dikembangkan? Pengelolaan bersama diterapkan bila secara hukum diakui oleh pemerintah dan masyarakat lokal. Bila ada hak kepemilikan desa terhadap areal sumberdaya alam yang dikelola. Pengelolaan bersama mudah dilakukan di areal yang sumberdayanya terletak dalam batas wilayah administratif satu desa. Pada wilayah yang lebih dari satu desa bahkan areal yang lebih luas dari itu, diperlukan upaya yang lebih besar padahal strategi serta pelaksanaan pengelolaan harus dilakukan secara sederhana. Di tempat-tempat yang masyarakat lokalnya menyetujui adanya masalahmasalah dalam sumberdaya alam mereka, dan di tempat yang masyarakat atau kelompok penggunanya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut. Di tempat yang masyarakatnya memiliki organisasi yang kuat (misalnya kelompok pengelola tingkat desa) atau pemimpin yang terampil dan dihormati. Lebih mudah dilaksanakan di desa yang lebih kecil dibanding desa yang lebih besar. Selain itu pengelolaaan bersama lebih mungkin berhasil di desa yang memiliki adat kebiasaan, pandangan dan/atau agama yang sama. Pengelolaan bersama akan lebih sulit dilaksanakan di desa yang mempunyai banyak perselisihan dan masyarakat yang selalu saling bersitegang. 13

24 c. Strategi Kelembagaan (siapa sebaiknya yang mengelola dan bagaimana caranya?) Strategi kelembagaan menentukan siapa yang harus terlibat dalam proses pengelolaan, dan bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dan bertindak. Lembaga diartikan sebagai aturan main. praktek pelaksanaan dasar, kegiatan rutin, cara-cara sederhana atau kebiasaaan atau cara yang biasa dipakai selama ini. Proses pengelolaan bersama hendaknya meliputi semua pelaku yang (i) bergantung pada sumberdaya, (ii) yang dapat mempengaruhi keberhasilan prakarsa pengelolaan bersama. Pengelolaan bersama yang efektif mungkin membutuhkan partisipasi wakil-wakil, sebagian atau seluruh kelompok utama baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan propinsi. (misal: nelayan, pembudidaya dan keluarganya, pengolah, pedagang, operator perahu, petani dan buruh tani, dinas perikanan, peneliti dan ilmuwan, adminstrator pemerintah lokal, organisasi kepemimpinan desa tradisional, LSM, Dinas penyuluhan dan instansi terkait lainnya, lembaga penegak hukum) Tidak semua pelaku pemanfaat sumberdaya harus terlibat penuh dalam pengelolaan bersama. Mitra kunci perlu mengetahui siapa pelaku pemanfaat sumberdaya lain dan bagaimana mereka dapat dipengaruhi oleh cara-cara pengelolaan. Begitu potensi pelaku pemanfaat sumberdaya diketahui, maka tingkat partisipasi yang paling layak bisa ditangani. Empat keterlibatan yang potensial yang bisa digunakan yaitu: (i) Pemberitahuan: mereka yang tidak langsung dipengaruhi cara pengelolaan tetapi mempunyai minat walau sedikit terhadap sumberdaya perlu diberi informasi setiap perubahan dalam pengelolaan. (ii) Konsultasi: Mereka yang dapat dipengaruhi oleh pengelolaan walau tak terlibat langsung dalam pengelolaan harus dikonsultasi agar mereka peduli sepenuhnya apa yang terjadi dan merasakan kepentingannya diperhatikan.(iii) Mitra: Mereka yang kerjasamanya penting bagi keberhasilan pengelolaan bersama dalam konsultasi, kerjasama dengan pelaku pemanfaat sumberdaya dalam melaksanakan dan memonitor proses pengelolaan bersama.(iv) Pemilik: 14

25 mereka yang mengawasi proses pengelolaan bersama. Tergantung pada keadaan mereka bisa badan pemerintah yang mempromosikan pengelolaan bersama, atau kelompok pelaku pemanfaat sumberdaya yang secara langsung memperoleh manfaat dari proses pengelolaan. Struktur kelembagaan bisa bersifat hirarhi atau terpisah. Struktur bersifat hirarhi memungkinkan anggota masyarakat berperanserta di tingkat lokal, sedangkan aparat pemerintah atau pelaku lainnya di tingkat regional yang lebih tinggi atau di tingkat nasional sekalipun. Struktur terpisah memungkinkan areal sumberdaya alam dibagi dalam unit-unit pengelolaan, masing-masing dengan daerah pemanfaatan sumberdaya dan anggota masyarakat yang terkait. Dibuat beberapa sub unit pengelolaan sebagai satuan terkecil di suatu desa dengan sejumlah area pemanfaatan sumberdaya dalam wilayah kewenangannya. Desa ini dipilih berdasarkan penaksiran peranserta desanya dan tidak dipilih secara langsung oleh ahli dari luar. Di tiap sub unit pengelolaan harus diketahui pelaku langsung dan tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian diketahui keterlibatan terhadap pengelolaan dari berbagai kelembagaan, perorangan, masyarakat lokal, serta biaya dan manfaat dari masing-masing keterlibatan tersebut. Berdasarkan masalah, isu, kemungkinan pemecahannya harus dimusyawarahkan dengan tokoh kunci pelaku sehingga dapat diwujudkan struktur kelembagaan yang efektif untuk pengeloalan bersama. Hal ini akan tergantung dari kapasitas pelaku (manusia dan dana, kemampuan dan motivasi yang dibutuhkan untuk berperanserta). Bila masyarakat lokal kurang mampu dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan, dukungan dan bantuan terhadap hal ini diperlukan! Struktur kelembagaan bisa mencakup kelompok pengelola di tingkat desa dan kelompok pengelolaan bersama di tingkat kecamatan atau kabupaten. Anggota kelompok penghelola perlu ditentukan dengan jelas dan dapat diganti bila ada pelaku baru. Peran dan hubungan antar kelompok harus jelas dan disetujui. 15

26 Pemimpin dipilih yang tinggi komitmennya terhadap pengelolaan bersama. Dia harus mampu dan kuat bernegosiasi, memecahkan masalah dan tampil baik di masyarakat. Dia mewakili kepentingan pelaku dan dipercaya oleh kelompok yang diwakilinya. Tiap kelompok pengelola harus dilengkapi kekuatan hukum (pemda kabupaten/propinsi) atau perundang-undangan yang diakui dalam (i) memilih tujuan pengelolaan, (ii) membatasi akses ke wilayah pengelolaan, (iii) melaksanakan teknis pengelolaan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kelompok pengelola tingkat desa harus berpartisipasi dalam memilih cara pengelolaan lokal, menegakkan pelaksanaan dan sanksi bagi setiap pelanggar, serta memonitor dampak dari strategi pengelolaan dan membimbing penerapannya. Kelompok pengelola yang lebih luas (kecamatan/kabupaten) harus berpartisipasi dalam perencanaan pengelolaan, misal mengontrol pencegahan pencemaran, mendorong cara pengelolaan, menginformasikan ke kelompok pengelola tingkat desa tentang dampak sektor lain terhadap pemanfaatan sumberdaya yang ada, mengalihtukarkan pengalaman antar berbagai kelompok pengelolaa desa. Komunikasi antar berbagai pelaku menjadi prioritas utama. Informasi yang penting diantaranya setiap perubahan strategi pengelolaan, antisipasi dampak pengelolaan terhadap manfaat bagi masyarakat, dampak nyata yang akan terjadi. Mekanisme pelaksanaan peraturan dan penyelesaian konflik harus ditetapkan untuk mendorong diterimanya aturan-aturan pengelolaan yang diusulkan. Sanksi terhadap pelanggar aturan tergantung pada berat dan jumlahnya pelanggaran. Aturan harus dilaksanakan, dan sanksi diterapkan. Bila pengelolaan mencakup masalah dana, suatu sistem swadana perlu diciptakan. Rencana Pengelolaan harus disiapkan setelah berkonsultasi dengan pada pelaku dan disosialisasikan secara luas. Rencana mencakup tujuan 16

27 pengelolaan, cara-cara yang akan dilakukan, mekanisme umpan balik untuk memonitor kinerja dan tanggung jawab masing-masing mitra pengelolaan bersama. d. Strategi Teknis (cara pengelolaan yang bagaimana yang sebaiknya digunakan?) Cara-cara pengelolaan yang bisa dilakukan bisa berdasarkan (i) pewilayahan (zonasi), (ii) penutupan pemanfaatan sumberdaya secara periodik, (iii) pembatasan hasil pemanfaatan, (iv) pembatasan alat yang digunakan dalam memanfaatan sumberdaya, (v) pembatasan dampak yang bisa terjadi dari cara pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan Pemilihan aturan pengelolaan yang akan digunakan harus berdasarkan kajian sederhana karakteristik sumberdaya alam lokal yang ada. Kajian ini menggabungkan pengetahuan masyarakat lokal dan pengetahuan ilmiah instansi pemerintah. Kajian harus menghasilkan pemahaman tentang lingkungan, sumberdaya alam yang ada, dan praktek pemanfaatan sumberdaya alam sehingga bisa menentukan cara pengelolaan yang dipilih. Pertimbangkan kesulitan yang akan dihadapi masyarakat lokal dalam menjalankan atura pengelolaan. Ide-ide awal untuk pengaturan pengelolaan secara teknis bisa dibuat dari hasil diskusi misalnya sebagai berikut: - Apakah stok sumberdaya alam relatif stabil atau menurun (berkurang stoknya atau terasa lebih sulit didapatkan, atau bahkan akan habis/ punah?). Pengelolaan bisa bermanfaat bila jelas masalah yang dihadapi untuk ditanggulangi. - Stok sumberdaya yang mana yang menurun? Dimana terjadinya? Bagaimana dampaknya bisa dikurangi? - Bagaimana stok sumberdaya yang sudah dilindungi? Di bagian badan air mana stok sumberdaya bisa bertahan hidup? Bagian badan air ini biasanya baik untuk dijadikan kawasan suaka. - Bagaimana alat-alat yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya saling berinteraksi atau bersaing satu sama lain? Alat mana yang 17

28 dilakukan bersamaan baik dalam waktu dan musim yang sama? - Dapatkan suatu cara pengelolaan yang bisa dimonitor dan dilaksanakan secara efektif dengan sumberdaya dan keterampilan yang ada? Pengelolaan lokal harus memilih cara pengelolaan yang paling sederhana, dan menangguhkan rencana pengelolaan yang lebih ambisius untuk dilaksanakan di masa datang. e. Strategi Adaptif (monitoring dan perbaikan sumberdaya alam) Peraturan pengelolaan secara awal dibuat berdasarkan strategi teknik dasar sebagai hasil musyawarah pelaku pemanfaat dan hasil pengkajian sumberdaya alam sebelumnya. Pengelolaan adaptif digunakan untuk memeriksa apakah keseluruhan strategi (teknis dan kelembagaan) mencapai manfaat yang sesuai dengan yang diinginkan? Sehubungan dengan itu peraturan awal perlu dibuat secara luwes, disesuaikan dengan berjalannya waktu dan tergantung pada dampak yang dicapai. Pengelolaan adaptif dilakukan dengan tetap selalu menerima pendapatpendapat baru tentang pengelolaan dan memodifikasi aturan-aturan berdasarkan pengamatan dan pengalaman tentang pemanfaatan sumberdaya alam lokal dan di desa-desa sekitarnya. Dalam jangka panjang, pengelolaan adaptif analitik dengan pengumpulan data dan analisis yang lebih dalam bisa diwujudkan. Namun demikian, apakah pendekatan ini akan menghasilkan pengetahuan yang lebih baik mengenai sistem dan pengelolaan sumberdaya alam itu? Proses belajar secara adaptif bisa dilakukan dalam dua tingkat pengelolaan. Pertama, di tingkat desa dapat dipelajari pengalaman sesuai waktu pengelolaan diterapkan, dengan membandingkan hasil-hasil cara pengelolaan setiap tahun. Pengelola tradisional biasanya sudah melakukan hal seperti ini. Kedua, di tingkat kecamatan bisa membandingkan dampak pengelolaan antar desa. Pengelolaan adaptif yang efektif bisa dicapai dengan kerjasama yang erat antar komite lokal (desa) dan di tingkat kecamatan atau bahkan tingkat kabupaten. Dalam kemitraan ini, kelompok pengelola lokal bisa lebih 18

29 memahami situasi lokal, sedangkan kelompok pengelola kecamatan atau kabupaten mampu membuat perbandingan antar strategi di berbagai desa dan memahami efek dampak eksternal terhadap sumberdaya alam. Pengelolaan adaptif analitik formal dapat dilakukan dengan cara-cara berikut: - Pelaku kuci pemanfaat sumberdaya alam harus bersama-sama memilih dan menentukan tujuan pengelolaan. Target harus ditetapkan dengan jelas apa yang ingin dicapai dan dituangkan dalam Rencana Pengelolaan. - Keberhasilan pengelolaan harus dapat diukur dengan beberapa cara. Sistem monitoring yang sederhana harus dibuat untuk membuat indikator dampak pemanfaatan yang ada. - Pelaku pemanfaatan sumberdaya lokal harus didorong untuk berpartisipasi dalam sistem monitoring. Mereka akan aktif berpartisipasi bila dilibatkan pula dalam perencanaan pengelolaan. - Baik input maupuin output pemanfaatan sumberdaya harus dimonitor. Input perlu diukur untuk menjelaskan dampak yang terjadi. Output yang akan dimonitor yang mencerminkan tujuan pembangunan secara lokal harus diwujudkan dengan metoda partisipasi. - Input yang dimonitor bisa mencakup cara pengelolaan (misal suaka, pembatasan waktu atau alat, pengaturan dampak), jumlah aktifitas pemanfaatan, adanya masalah lingkungan dan kefektifan kelembagaan pengelola. Di tingkat output, keberhasilan strategi dan cara pengelolaan sebaiknya dikaji setiap tahun. - Cara pengelolaan adaptif sebaiknya secara awal diterapkan pada satu atau sejumlah kecil subunit pemanfaatan sumbedaya di tingkat lokal (desa), untuk memperoleh pengalaman dari proses-proses partisipasi dan pengelolaan bersama. Tergantung hasilnya, pengelolaan bersama ini bisa diintroduksikan ke unit pemanfaatan yang lebih luas. 19

30 Langkah-Langkah Membangun Pengelolaan Bersama: a Pemilihan unit pengelolaan bersama tingkat desa Suatu unit pengelolaan bersama tingkat desa harus memiliki: (i) bagian kawasan yang jelas yang akan dikelola, dan (ii) anggota kelompok masyarakat lokal dan pelaku pemanfaat lainnya terhadap sumberdaya alam yang mampu dan mau berpartisipasi.. Proses pemilihan dapat dilakukan melalui langkahlangkah berikut: Identifikasi kawasan dimana bila dilakukan pengelolaan akan menghasilkan manfaat yang paling besar. Kawasan ini selayaknya mencakup sumberdaya alam yang penting, yang diperkirakan kualitasnya menurun akibat pemanfaatan yang berlebih atau yang merugikan. Berdasarkan peta yang ada dan wawancara dengan penduduk, identifikasi desa-desa yang memiliki kawasan pemanfaatan sumberdaya alam sendiri yang seluruhnya berada dalam wilayah adminitrasi desa tersebut. Pengelolaan akan lebih mudah di desa dengan anggota masyarakat yang homogen dan kesepakatan pengelolaan mudah dicapai. Adakan diskusi dengan penduduk desa terpilih guna menentukan desa mana yang mampu dan/atau mau mengelola sumberdaya alamnya sendiri dengan ciri-ciri berikut: - Apakah penduduk desa percaya bahwa ada masalah pemanfataan sumberdaya alam yang dapat dipecahkan melalui peningkatan pengelolaan lokal? - Apakah desa secara aktif telah mengelola sumberdaya alamnya? Bila ya, bagaimana caranya? Bila pengelolaan dianggap berhasil, pengakuan hukum oleh pemerintah diperlukan. - Apakah mata pencaharian penduduk sangat tergantung pada sumberdaya alam termaksud (pendapatan, kesempatan kerja)? Mata pencaharian lain dari penduduk dan berapa jumlahnya? - Apakah desa memiliki kepemimpinan yang kuat dan menghargai aparat yang berwenang? Apakah telah ada badan pengelola atau pemimpin yang terampil yang mampu berperan dalam pengelolaan bersama? 20

31 - Apakah desa berukuran besar atau kecil? (berapa rumahtangganya?) Desa yang kecil mungkin lebih mudah mengelola sumberdayanya. - Apakah penduduk desa memiliki adat, kepercayaan atau agama yang sama? Di desa yang penduduknya sering konflik akan sulit menerima cara pengelolaan yang baru. Pelajari bila ada LSM yang berorientasi pada pembangunan desa yang beroperasi di desa bersangkutan. Organisasi ini bisa membantu memimpin pertemuan, membentuk konsensus dan memecahkan konflik. Pelajari pula kemungkinan keberadaan pemangku kepentingan lainnya seperti Pemerintah Desa, Badan Perwakilan Desa, Kelompok Pengelola, Kelompok Swadaya Masyarakat, Tokoh Masyarakat, Swasta, Lembaga/Institusi Pemerintah unatk mendapatkan kesepakatan mekanisme pengelolaan. Tanyakan kepada penduduk apakah mereka bersedia bekerjasama dalam melaksanakan pengelolaan bersama sumberdaya alam? b. Pembentukan Kemampuan Untuk Pengelolaan Bersama Adakan pelatihan kepada kelompok atau anggota institusi lokal yang terbentuk pada aspek-aspek pengelolaan bersama, landasan hukum, pelaku pemanfaat sumberdaya, siapa yang harus terlibat dalam pengelolaan, identifikasi ketrampilan dan kemampuan pelaku, dlsb. Perkaya pengetahuan melalui pendidikan tentang lingkungan hidup, keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan, ekologi sumberdaya, cara pengelolaan teknis, dan adaptif. c. Kegiatan kelompok pengelola di tiap unit pengelolaan bersama di tingkat desa Mengidentifikasi pelaku pemanfaat sumberdaya alam laut, masalah yang dihadapi dan tujuan pengelolaan (Identifikasi isu pengelolaan) Mengkaji pemanfaatan sumberdaya alam laut secara lokal Membuat rencana pengelolaan termasuk persetujuan dan pendanaan Melaksanakan rencana pengelolaan (tahap implementasi) Memonitor dampak dan adaptasi rencana pengelolaan. 21

32 d. Pengelolaan di tingkat Kecamatan, Kabupaten, dalam Pengelolaan Terintegrasi Wilayah Pesisir Mempromosikan dan mengkoordinasikan cara pengelolaan di unit-unit desa Mewakili kepentingan sumberdaya yang dikelola dengan sektor lain dalam rangka interaksinya. Memberikan kontribusi pada proses belajar yang adaptif dan menyebarluaskan hasil pembelajaran ke berbagai kelompok sasaran dengan program penjangkauan (outreach) Membangun Komitmen Kemandirian dan Keberlanjutan Secara ringkas, langkah-langkah dalam membangun pengelolaan bersama tersebut di atas seperti dimuat dalam tabel berikut: Langkah-langkah (1) Pemilihan unit pengelolaan bersama tingkat desa (2) Pembentukan kemampuan untuk pengelolaan bersama (3) Melakukan kegiatan di tiap unit pengelolaan bersama di tingkat desa (4) Pengelolaan di tingkat Kecamatan, Kabupaten, dalam Pengelolaan Terintegrasi Wilayah Pesisir Hasil Desa yang terpilih berdasarkan keberadaan dan isu sumberdaya alam, wilayah administrasi, penduduknya mampu dan mau terlibat dalam pengelolaan Kelompok atau anggota institusi lokal yang memahami dan trampil dalam pengelolaan bersama Teridentifikasi isu pengelolaan, pelaku pemanfaat, terbentuk rencana dan terlaksananya hingga monitoring pengelolaan Pengelolaan yang sinergis antar unit dan peningkatan pengetahuan serta ketrampilan pengelolaan 22

33 BAB 3 Penerapan Pengelolaan berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Bersama Sebagai ilustrasi penerapan nyata di Indonesia dari konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat, di bawah disajikan 3 (tiga) contoh kasus di lokasi yang berbeda-beda. Contoh pertama adalah pengelolaan 3 (tiga) buah Daerah Perlindungan Laut (DPL) di 4 (empat) desa di Provinsi Sulawesi Utara. Penembangan ketiga DPL tersebut difasilitasi oleh Proyek Pesisir. Pemilihan contoh ini didasarkan pada kenyataan bahwa ketiga DPL tersebut merupakan DPL pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fasilitasi pemerintah dan menghasilkan capaian yang memuaskan. Hal ini terbukti bahwa berdasarkan pengalaman di 4 (empat) desa tersebut telah dikembangkan puluhan DPL baru di desa-desa lain di Provinsi Sulawesi Utara, bahkan di provinsi-provinsi lain, dan telah disusun dan disebarluaskan panduan pembuatan DPL yang pertama di Indonesia. Contoh kedua adalah penyelenggaraan Sasi di Pulau Saparua, Maluku, yang diambil dari Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Nikijuluw 2002) dengan penyesuaian seperlunya. Contoh ini dipilih karena merupakan contoh yang sangat sesuai dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat secara murni, tanpa fasilitasi dari pihak pemerintah Contoh ketiga adalah revitalisasi hak tradisional yang merupakan adat-istiadat di Pulau Lombok (Awig-Awig) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Lombok Timur yang diambil dari Buku Narasi Menuju Harmonisasi 23

34 Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Patlis at. all., eds., 2005). Contoh ini dipilih karena sangat sesuai untuk menggambarkan proses pengembangan sistem pengelolaan bersama, yang sekaligus mengadopsi memformakan nilai-nilai adat yang terkandung dalam Awig-Awig. Sebenarnya telah dikembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut di tempat-tempat lain di Indonesia, namun karena keterbatasan tempat, maka tidak dapat ditampilkan pada buku ini. 1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat di Desa Blongko, Talise, dan Bentenan- Tumbak Latar Belakang Pengembangan system pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di Desa-desa Blongko, Talise, Bentenan dan Tumbak di Provinsi Sulawesi Utara berawal pada tahun Pada tahun tersebut, Proyek Pesisir (Coastal Resources management Project CRMP), yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan United States Agency for International Development (USAID) memulai upaya untuk mengembangkan system pengelolaan sumberdaya alam laut di desa-desa tersebut di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dengan mengadaptasi model-model pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat (Community-Based Coastal Resources Management CB-CRM) dari Filipina dan kawasan-kawasan dunia lainnya. Proses Pengenalkan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di empat lokasi tersebut (Blongko, Tilise, Bentenan dan Tumbak) didahului dengan melakukan studi awal mengenai kondisi ekologis dan sosio-ekonomi di desa-desa di Kabupaten Minahasa. Kemudian, para fasilitator lapangan yang sudah terlatih bekerja di desa-desa lokasi untuk mensosialisasikan permasalahan-permasalahan ekosistem wilayah pesisir dan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ketrampilan. 24

35 Pelatihan ketrampilan yang diadakan meliputi pelatihan fasilitasi (untuk memperkenalkan konsep partisipasi publik dalam pengambilan keputusan), penilaian (assessment) dan pemantauan (monitoring) sumberdaya alam laut, serta pengembangan kapasitas kelembagaan di tingkat desa. Para Fasilitator lapangan juga memfasilitasi koordinasi pengelolaan sumberdaya alam laut antara masyakat desa dengan aparat terkait di tingkat kabupaten dan provinsi. Salah satu kunci sukses pengembangan system pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di desa-desa tersebut adalah dikembangkannya komunikasi dan pertukaran informasi antar para pemangku kepentingan (stakeholders), baik secara horizontal maupun vertikal secara intensif. Hal demikian sangat penting dalam menyatukan visi dan misi dalam pengelolaan sumberdaya alam laut yang menjadi milik mereka sindiri. Kegiatan lain yang dilakukan di desa-desa tersebut termasuk memberikan bantuan dana (block grants) kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti menyusun profil sumberdaya wilayah pesisir desa, menyusun rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan membuat daerah perlindungan laut desa serta penyusunan peraturan desa yang mengaturnya. Hasil Penerapan system pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di desa-desa Blongko, Tilise, Bentenan dan Tumbak telah menghasilkan sejumlah produk berharga yang meliputi: profil desa, rencana pengelolaan, keputusan dan atau peraturan desa, contoh-contoh praktek pengelolaan terbaik (best management practices), dan beberapa buku panduan (panduan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat, panduan pembentukan dan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, panduan pembersihan bintan laut berduri). 25

36 Sebagai tindak lanjut dari percontohan di desa-desa tersebut, maka konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat diperluas penerapannya di banyak desa di Provinsi Sulawesi Utara. Sampai saat ini, konsep pengelolaan sumberdaya alam laut sudah diadopsi oleh sekitar 30 (tiga puluh) desa di Provinsi Selawesi Utara. DPL di Desa Blongko, Sulawesi Utara DPL di Desa Talise, Sulawesi Utara 2. Sasi di Pulau Saparua Di pedesaan Pulau Saparua, Maluku, pemanfaatan sumberdaya laut pesisir dan hutan umumnya dikelola dengan sistem yang disebut sasi. Kata sasi sebenarnya berasal dari kata saksi yang mengandung makna menyaksikan seseorang berbuat salah, yaitu melanggar kesepakatan adat tentang 26

37 Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat di Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak Variabel Desa Blongko Desa Talise Desa Bentenan-Tumbak Tujuan Melindungi sumberdaya alam laut, terutama terumbu karang dan mangrove Melestarikan ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat desa Melindungi sumberdaya alam laut, terutama terumbu karang Melestarikan ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat desa Melindungi sumberdaya alam laut, terutama terumbu karang dan pantai Melestarikan ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat desa Kaedah Pelakasanaan Superstruktur Organisasi Peraturan Desa mengatur apa yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan DPL Kelompok Pengelola melakukan perencanaan, mengatur dan menjaga pelestarian serta pemanfaatan DPL, dan melakukan pengawasan Aturan pengelolaan kawasan Daerah Perlindungan Laut disusun secara tertulis dengan dalam Peraturan Desa Pemerintah Desa bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pembina pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kelompok Pengelola memegang tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian Peraturan Desa mengatur apa yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan DPL Kelompok Pengelola melakukan perencanaan, mengatur dan menjaga pelestarian serta pemanfaatan DPL, dan melakukan pengawasan Aturan pengelolaan kawasan Perlindungan Laut disusun secara tertulis dengan dalam Peraturan Desa Pemerintah Desa bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pembina pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kelompok Pengelola memegang tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian Peraturan Desa mengatur apa yang diperbolehkan dan dilarang di wilayah peisir dan laut, termasuk DPL, kawasan wisata bahari, jalur transportasi laut, dan daerah perlindungan pantai Kelompok Pengelola melakukan perencanaan, pengawasan, monitoring, kegiatan pelestarian dan pemeliharaan tanda batas dan papan informasi, pengusahaan dan pengelolaan dana Aturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut disusun secara tertulis dengan dalam Peraturan Desa Pemerintah Desa bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pembina pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kelompok Pengelola memegang tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian 27

38 pemanfaatan sumberdaya laut dan hutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis sasi adalah suatu sistem atau kelembagaan yang mengatur masyarakat desa untuk tidak menangkap ikan di daerah dan waktu tertentu. Tujuan adanya larangan ini supaya ikan dapat berkembang biak, tumbuh mencapai ukuran tertentu, tetap tersedia hingga dapat ditangkap dan dikonsumsi pada waktu yang lama. Selain itu, tujuan lainnya adalah agar sumberdaya ikan tetap lestari dan tetap dapat dimanfaatkan di kemudan hari oleh generasi yang akan datang. Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu, masyarakat desa tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu tertentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan pengankapan ika ini dikenal dengan nama tutup sasi. Sementara itu, periode musim pengkapan ikan ini dikenal dengan nama buka sasi. Uraian tentang pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat sasi di tiga desa, yaitu Nolloth, Peperu, dan Sirisori di Pulau Saparua dapat dilihat pada tabel di bawah. Selain bekaitan dengan penutupan musim dan daerah penangkapan ikan, sasi juga menyangkut hak eksklusif penangkapan ikan oleh masyarakat desa. Dengan adanya hak eksklusif ini, orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Di beberapa desa, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang desa sejauh mereka mau menggunakan alat tangkap ikan yang serupa dengan yang digunakan masyarakat setempat, menggunakan alat tanggkap ikan yang tidak merusak lingkungan dan sumberdaya ikan, serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan. Kawasan hak eksklusif ini dikenal dengan nama petuanang desa, suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritoral desa, biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk, atau selat. Uang yang harus dibayar orang luar untuk mendapatkan hak penangkapan ikan di daerah petuanang sering disebut ngase. Jumlah ngase sangat 28

39 bervariasi menurut desa. Umumnya, sekitar 10% dari nilai ikan yang ditangkap. Ngase dikumpulkan Pemerintah Desa sebagai bagian dari pendapatan desa. Selain ngase, orang luar desa diwajibkan membagi sebagian ikannya kepada pemimpin desa dan masyarakat lainnya yang kebetulan ada di sekitar petuanang. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat Sasi di Tiga Desa di Saparua Variabel Desa Nolloth Desa Paperu Desa Sirisori Tujuan Melindungi tradisi Meningkatkan pendapatan desa Kaedah Pelakasanaan Superstruktur Organisasi Dilarang mengambil lola, batulaga, tiram, akar bahar Penangkapan ikan pada saat musim buka sasi Daerah sasi adalah perairan depan desa hingga kedalaman air 25 m Buka sasi dilaksanakan Pemerintah Desa Aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa Aturan dilaksanakan Pemerintah Desa Pengawasan pelaksanaan aturan oleh polisi desa (kewang) Melindungi tradisi Meningkatkan pendapatan desa Melindungi lingkungan Dilarang menangkap semua jenis ikan pada musim tutup sasi Alat tangkap ikan pada saat musim buka sasi adalah jala, bagan tancap, dan pancing tangan Daerah sasi adalah perairan depan desa Buka sasi dilaksanakan Pemerintah Desa Hak memanfaatkan ada pada pemenang lelang Aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa Aturan dilaksanakan Pemerintah Desa Pengawasan pelaksanaan aturan oleh polisi desa (kewang) Meningkatkan pendapatan desa Mencegah sumberdaya dimanfaatkan orang lain Dilarang mengambil lola, teripang, dan caping-caping Penangkapan diizinkan jika buka sasi Daerah sasi adalah perairan sepanjang desa Buka sasi dilaksanakan Pemerintah Desa Hak memanfaatkan ada pada pemenang lelang Aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa Aturan dilaksanakan Pemerintah Desa Pengawasan pelaksanaan aturan oleh polisi desa (kewang) 29

40 Pemimpin dan masyarakat desa bersama-sama menentukan jenis alat tangkap ikan yang boleh digunakan. Penggunaan dinamit, bom, dan racun untuk menangkap ikan dilarang. Hal ini disebabkan masyarakat desa benarbenar telah memahami bahwa pengakapan ikan dengan cara ini dapat merusak lingkungan dan membunuh semua jenis dan ukuran ikan. Selain itu, penggunaan bom dan dinamit juga sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa nelayan. 3. Revitalisasi Hak Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Lombok Timur Latar Belakang Proses revitalisasi hak tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di kabupaten Lombok Timur dipicu oleh terjadinya konflik anatara nelayan tradisional dengan nelayan modern yang menggunakan alat tangkap mini purse seine. Penggunakan alat tangkap mini purse seine di tahun 1979 terus-menerus meninbulkan perselisihan, karena alat tangkap mini purse seine beroperasi di jalur I yang diperuntukkan beroperasinya alat tangkap tradisional. Konflik tersebut memuncak pada bulan Maret 1993 karena kapal purse seine baru yang lebih besar ukurannya memasuki daerah penangkapan nelayan tradiseonal, sehingga nelayan tradisional menggelar demonstrasi dan merusak Balai Desa Tanjung Luar. Karena masalah ini belum diselesaikan dengan tuntas, maka pada tahun 1994 nelayan tradisional dari desa Tanjung Luar melakukan demonstrasi ke DPRD Kabupaten Lombok Timur. Dalam masalah ini Dinas Perikanan kabupaten Lombok Timur ditugaskanl untuk dapat menyelesaikan masah tersebut. Melalui proses dialog antara nelayan tradisional dan nelayan mini purse seine yang difasiliatsi Dinas Perikanan Kabuupaten Lombok Timur, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa petikaian ini agar diselesaikan melalui pembuatan awig-awig dalam bentuk hukum adat yang memuat larangan- 30

41 larangan bagi nelayan mini purse seine untuk beroperasi pada Jalur I beserta sanksi-sanksinya, selanjutnya ketentuan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis dan merupakan Peraturan Desa (Perdes) yang ditetapkan pada tanggal 14 Nopember Kebijakan dan kelembagaan tersebut berkembang dengan baik sampai saat ini. Selaku pengawal dalam penegakan awig-awig pada tahun 1999 dibentuk Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) yang merupakan wadah kelembagaan masyarakat dengan model pendekatan baru, yaitu suatu bentuk kelembagaan ko-manajemen yang dikelola oleh masyarakat pesisir sendiri. Legalisasi Awig-Awig Proses revitalisai awig-awig pengelolaan sumberdaya perikaan dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: (1) sosialisasi rencana penyusunan awig-awig dilakukan baik secara lisan maupun tulisan; (2) proses penyusunan awigawig, yang merupakan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan, dikelola oleh Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) tingkat kawasan dengan mengadakan rapat-rapat umum, dan mensosialisasikan keputusan hasil rapat kepada anggota masyarakat meliputi pemasangan poster di tempat-tempat umum; (3) legalisasi rancangan awig-awig yang telah disepakati sebagai awigawig kawasan melalui penandantangan awig-awig tersebut oleh semua ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) terkait, dalam rapat pleno kawasan yang dihadiri oleh Kepala Desa, serta perwakilan dari desa-desa yang terlibat; dan (4) sosialisasi awig-awig yang telah disahkan dilakukan secara tertulis dengan pembuatan dan pemasanan poster-poster di papan-papan pengumuman. Penguatan Kelembagaan Hak Tradisional Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pemegang mandat pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di dalam wilayah sepertiga dari 12 mil laut berkewajiban untuk membuat kebijakan pengelolaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan semua kelompok kepentingan (stakeholders). 31

42 Dalam pembuatan kebijakan tersebut, peran serta semua kelompok masyarakat dalam semua proses perencanaan dan pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan hal yang esensial. Untuk mengakomodasi peran serta masyarakat, maka telah dikembangkan kelembagaan di Kabupaten Lombok Timur berupa 5 KPPL di tingkat kawasan dan 21 KPPL di tingkat desa. KPPL merupakan lembaga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penyusunan rencana dan pelaksaan rencana pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Selain itu, telah pula dibentuk lembaga partisipasi di tingkat kabupaten berupa Komite Kelautan dan Perikanan Kabupten (KKPK), yang berperan sebagai fasilitator untuk semua stakeholders perikanan, dan untuk memberikan saran dan rekomnedasi kepada Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten. Pada awalnya, strategi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pada KPPL di tingkat desa, namun dalam prkembangannya berubah menjadi strategi pengelolaan berbasis pada KPPL di tingkat kawasan. KPPL desa berfungsi untuk menjembatani antara KPPL kawasan dengan Kantor Desa. KPPL kawasan mendapat mandat dari Dinas Kelautan dan Perikanan untuk membuat rencana pengelolaan dan melaksanakannya, termsuk memberikan sanksi bagai pelanggarnya. Baik pengurus KPPL desa maupun KPPL kawasan keduanya ditetapkan dalam surat keputusan Kepala Dinas Kealutan dan Perikanan Kabupten Lombok Timur. Perencanaan dan Implementasi Awig-Awig Kawasan Perikanan Proses pembentukan suaka perikanan dilakukan dengan cara partisipatif. Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pemegang mandat pengelolaan wilayah laut hingga 4 mil laut, mendelegasikan sebagian kewenangannya dalam pembentukan kawasan suaka perikanan kepada kelompok masyarakat melalui Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) pada kawasan tertentu. Dengan pendelegasian kewenangann ini, KPPL dan masyarakat menentukan 32

43 sendiri lokasi yang akan dijadikan kawasan suaka perikanan dan menjalin kerjasama dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan suaka perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan lebih banyak perperan dalam memberikan arahan kebijakan dan rekomendasi teknis dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana pengelolaan kawasan suaka perikanan. Dengan melalui proses partisipatif tersebut di atas, pada tahun 2001 di Kabupaten Lombok Timur terbentuk tiga kawasan suaka perikanan, yaitu: (1) Suaka perikanan Sapak Kokok di Teluk Ekas; (2) Suaka perikanan Gili Rango di Teluk Serewe; dan (3) Suaka perikanan Gusoh Sandak di Teluk Jukung. Kawasan suaka perikanan Sapak Kokok dan Gusoh Sundak meliputi ekosistem mangrove dan padang lamun. Setiap kawasan suaka perikanan dibagi menjadi zona inti dan zona penyangga. Baik di dalam zona inti maupun zona penyangaga, semua kegiatan eksploitasi dilarang. Di zona inti juga dilarang kegiatan non-eksploitatif serperti bersampan dan budidaya kegiatan tersebut diperbolehkan hanya di zona penyangga. Penetapan ketiga lokasi tersebut sebagai kawasan suaka perikanan dan penetapan aturan-aturan pengelolaannya dibuat dalam bentuk kesepakatan masyarakat (awig-awig) di semua kawasan. Karena itu, dokumen rencana pengelolaan kawasn suaka perikanan disahkan secara tertulis yang ditandatangani oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) dari semua desa yang terlibat. KPPL kawasan bertanggung jawab atas pelaksanaan rencana pengelolaan. Evaluasi setelah setahun pembentukan menunjukkan hasil posisif seperti di bawah. Untuk dapat melihat manfaat utama suaka perikanan secara nyata, tentunya memerlukan waktu yang relatif lama. Produktivitas kerja dan pendapatan masyarakat meningkat, walaupun peningkatan ini belum tentu merupakan dampak langsung dari pembetukan suaka perikanan; 33

44 Hampir semua responden mempunyai sikap mendukung dibentuknya kawasan suaka perikanan, namun mereka mengharapkan agar kawasn suaka perikanan tidak mencakup kawasan terlalu luas, sehingga masih cukup kawasan laut untuk budidaya dan penangkapan ikan; Tidak ada laporan pelanggaran awig-awig kawasan suaka perikanan. Hal ini menunjukkan adanya ketaatan yang tinggi dari masyarakat terhadap larangan eksploitsi di kawasan suaka; Perubahan kelimpahan sumberdaya ikan belum tampak di dalam kawasan suaka perikanan, kecuali kepiting bakau yang menunjukkan jumlah dan ukurannya lebih besar di dalam kawasan suaka prikanan dibandingkan dengan di luar kawasan suaka, khususnya pada kawasan suaka perikanan Gili Rango. Sedangkan dari seri data berurutan dari tahun 1998 s/d 2002 mengenai frekuensi pengeboman ikan seperti terihat pada tabel berikut, dapat diarik kesimpulan bahwa frekuensi pengeboman ikan menurun sangat signifikan. Hal demikian menunjukkan adanya kesadaran masyarakat terhadadap perlindungan sumberdaya pesisir dan laut di tiga kawasan teluk tersebut. Tahun Teluk Ekas Teluk Serewe Teluk Jukung ,

45 BAB 4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dan Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut 1. Faktor Penentu Keberhasilan PBM Oleh karena tumbuh dan berkembang dari tingkat komunitas, maka Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) atau Community-Based Management (CBM) sangat dipengaruhi sifat-sifat lokal yang spesifik terdapat pada suatu kumunitas, yang mungkin tidak terdapat pada komunitas lain. Dapat dikatakan bahwa PBM di suatu tempat memiliki keunikan yang tidak ditemukan sama persis pada tempat yang berbeda. Oleh karena itu, faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan PBM sulit untuk digeneralisasikan. Keberhasilan atau kegagalan penerapan PBM di suatu tempat atau komunitas tidak musti akan terjadi pada tempat atau komunitas yang lain. Dari berbagai studi dari pengalaman empiris tentang PBM, hanya dapat ditarik pembelajaran mengenai beberapa faktor saja yang diperkirakan memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan atau kegagalan PBM, di antaranya adalah sebagai berikut (Nikijuluw 2002). a. Tertulisnya Aturan Tertulisnya aturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam laut sangat menentukan keberhasilan PBM, termasuk pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Tertulisnya aturan hukum mendatangkan beberapa keuntungan. Pertama, penegakan aturan akan lebih mudah dilakukan. Kedua, sosialisasi aturan hukum kepada seluruh masyarakat di desa, 35

46 bahkan kepada masyarkat di desa-desa tetangga, akan jauh lebih mudah dilakukan. Ketiga, aturan hukum yang tertulis akan lebih terjaga dan berkelanjutan dari generasi ke generasi berikutnya. b. Teknologi Terknologi yang dipakai untuk mengambil sumberdaya alam laut, seperti penangkapan ikan, menentukan keberhasilan PBM. Pelaksanaan PBM seperti sasi di Maluku dapat mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi karena penggunaan teknologi penangkapan ikan diatur sangat ketat. Masyarakat lokal hanya menggunakan alat-alat yang sangat ramah lingkungan. Demikian juga masyarakat dari desa lain tidak diperkenankan untuk menggunakan alat-alat yang merusak lingkungan, yang akan berakibat pada gejala overfishing atau penangkapan ikan secara berlebih (menipiskan atau memunahkan persediaan sumberdaya ikan). c. Pembangunan Industri Perikanan Industri perikanan yang tumbuh sangat pesat baik dalam skala usaha maupun teknologi penangkapannya sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan PBM yang dikelola dalam skala kecil dan menggunakan teknologi penangkapan yang pada umumnya bersifat tradisional. Keberadaan dan keberlanjutan PBM menjadi terdesak dan terancam oleh perkembangan industri perikanan yang sangat cepat. Hal demikian menimbulkan konflik pemanfaatan antara nelayan lokal dengan nelayan dari luar wilayah. d. Perdagangan dan Harga Perdagangan komoditas hasil laut juga berkembang sangat pesat baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional. Untuk komoditaskomoditas tertentu harganya dapat melambung beberapa kali lipat. Hal demikian mendorong banyak orang untuk mengeksploitsi komoditas tersebut semata-mata karena alasan ekonomi tanpa memperhatikan akibatakibat ekologis. Hal demikian sangat mempengaruhi keberlanjutan PBM. 36

47 2. Faktor Mempengaruhi Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam laut secara umum, telah dilakukan sejumlah studi yang khusus mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam laut secara terpadu. Dari studi-studi tersebut, dapat ditarik sejumlah faktor penting yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dan keberlanjutan (sustainability) pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu. Pada paragrafparagraf di bawah disajikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlajutan program pembangunan pesisir dan laut yang dihimpun dari laporan-laporan penelitian tentang faktor-faktor keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Penelitian di Indonesia dilakukan di Sulawesi Utara (Taman Nasional Bunaken) dan di Jawa Tengah (Segara Anakan). Hasil penelitian di dua lokasi ini terdokumentasi dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Edisi Khusus, No. 1, Kasus lain di Indonesia adalah hasil evaluasi the Coastal Resouce Management Project (CRMP) yang dilaksanakan di propinsipropinsi Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kasus di luar negeri diambil dari Cincin-Sain dan Knecht yang merangkum pengalaman pelaksanakan program pengelolaan pesisir dan lautan terpadu di 58 negara di dunia. Di bawah dipaparkan beberapa temuan tersebut (juga lihat Darajati et. al. 2004). a. Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusan yang Inklusif, Transparan, dan Didukung oleh Pengetahuan Ilmiah Peran-serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun secara bersama-sama, berperan sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Pollnac et al. (2003). Perlu dimengerti bahwa peran-serta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi 37

48 dipengaruhi oleh beberapa hal. Pada umumnya, para pemangku kepentingan bersedia untuk berperan-serta apabila mereka melihat: (a) manfaat yang tampaknya akan mereka diperoleh (perceived benefits); (b) pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan; dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Karena para pemangku kepentingan berperan-serta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan demikian mereka merasa memiliki proyek tersebut. Dengan proses seperti itu, bisa dipastikan bahwa proyek yang disepakati bersama akan lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Juga, peran-serta dalam perencanaan dan pengelolaan proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu berdampak positif terhadap peningkatan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program (Christie 2003). Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konstituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konsevasionis) berpotensi untuk senantiasa memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkahlangkah proaktif. Ketidakpuasan satu atau lebih konstituen, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak dapat mengakibatkan terancamnya keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada. Peran-serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir, baik secara individu atau secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peran-serta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian program pengelolaan 38

49 wilayah pesisir terpadu dengan kondisi lokal terbukti berdampak pada keberlanjutan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri oleh masyarakat pesisir setelah proyek seselai. SIKLUS PROSES PELAKSANAAN ICM Ingin berhasilkah Anda? Ikutsertakan semua pihak terkait dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan Lakukanlah proses dengan transparan/terbuka Beri peluang semua pihak untuk berperan-serta secara aktif dan tidak tertekan Manfaatkan informasi ilmiah libatkan pakar terkait Pemanfaatan informasi ilmiah, yang diperoleh melalui riset dan pengalaman empiris, dalam seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu juga sangat berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan suatu program. Informasi ilmiah sangat diperlukan untuk membantu memahami permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan untuk memberi arah terhadap pengelolaan wilayah pesisir terpadu, karena begitu kompleksnya permasalahan yang ada di wilayah ini. Kaitan antara faktor-faktor fisik dan geologi, lingkungan hidup, sumber daya 39

50 alam, dan faktor sosial-ekonomi masyarakat pesisir merupakan hubungan yang sangat kompleks yang memerlukan penjelasan ilmiah dari ilmu-ilmu yang terkait (Cincin-Sain dan Knecht 1998). Sebagai contoh, oleh karena uniknya kondisi wilayah pesisir maka telah berkembang secara pesat cabang ilmu tersendiri yang bernama Coastal Engineering. Tanpa dukungan informasi ilmiah, sulit untuk dapat memahami penyebab-penyebab mendasar yang mengakibatkan timbulnya permasalahan-permasalahan di wilayah pesisir dan mencari solusinya. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan seperti diuraikan di atas merupakan parameter berkelanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai berikut (Bengen 2003): (a) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (b) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (c) didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan; (d) keterlibatan aktif stakeholder; (e) memiliki rencana dan program yang jelas; (f) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat; dan (g) memanfaatkan informasi ilmiah. b. Kerangka Hukum yang Memadai Begitu pentingnya kerangka hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, Patlis (2003) mengatakan perhaps no field more than the management of coastal resources requires a well functioning legal system for its success. Lebih lanjut ia mangatakan bahwa keberlanjutan P2T terhalangi oleh systemic issues yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundangan (statutory drafting) serta interpretasi dan pemecahan masalah (interpretation and resolution) dalam sistem hukum, terlepas dari penerapan dan penegakan hukum yang sering dijadikan sebagai alasan kegagalan. 40

51 Hukum hendaknya dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk program pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara berkelanjutan. Oleh karena itu, kerangka hukum perlu mendapat perhatian dalam keseluruhan proses penyelenggaraan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu dari awal hingga akhir. Apa yang dikatakan Patlis di atas telah diupayakan pelaksanaannya di tiga lokasi di Sulawesi Utara (Blongko, Talise, Bentenan- Tumbak) oleh the Coastal Resources Management Project. Program P2T di tiga lokasi tersebut dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai mulai dari tingkat desa (Perdes), tingkat kabupaten (Perda Kabupaten), dan tingkat propinsi (Perda Propinsi), yang kesemuanya disusun secara transparan dan partisipatif. Perda Kabupaten Minahasa telah menetapkan sebesar prosentasi tertentu dari APBD-nya untuk dialokasikan di Kabupaten Minahasa setiap tahunnya. Untuk keberlanjutan sarana pelayanan masyarakat dan infrastruktur yang dikembangkan di lokasi-lokasi COREMAP II hendaknya diupayakan untuk menyusun Peraturan Desa di masing-masing lokasi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan (operasionalisasi dan pemeliharaan) dari sarana pelayanan sosial masyarakat dan infrastruktur yang dikembangkan. Peraturan Desa yang dimaksud tidak harus khusus mengenai pengelolaan sarana pelayanan sosial masyarakat dan infrastruktur, tetapi dapat merupakan Peraturan Desa yang lebih luas yand di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan khusus mengenai pengelolaan sarana pelayanan sosial masyarakat dan infrastruktur. Peraturan Desa hendaknya disusun melalui proses seperti diuraikan di atas, yaitu proses yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah. Agar proses penyusunan Peraturan Desa dapat berjalan dengan baik, maka proses tersebut perlu difasilitasi oleh fasilitator yang profesional yang banyak memanfaatkan waktunya tinggal di desa bersama-sama masyarakat yang difasilitasinya. 41

52 Pusat Provinsi Kabupaten/ Kota Tingkat Desa Kerangka Hukum Di tingkat nasional, seharusnya ada Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu saat ini RUU sedang dibahas di DPR Upayakan penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di tingkat provinsi dan kabupaten/kota Buatlah Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut atau Daerah Perlindungan Laut Tegakkan sanksi sosial secara ketat Ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan sarana pelayanan sosial masyarakat dan infrastruktur yang dikembangkan hendaknya meliputi beberapa hal, diantaranya: (a) pelaksana atau penanggung-jawab, (b) tugas pokok dan fungsi, dan (c) sumber dana. Untuk pelaksana atau penanggungjawab bisa saja menggunakan lembaga yang sudah ada, seperti Lembaga Pengelola Sumber daya Terumbu Karang, atau membentuk lembaga baru apabila memang diperlukan. Tugas pokok dan fungsi dari lembaga ini terkait dengan pengelolaan sarana pelayanan sosial masyarakat dan infrastruktur hendaknya dibahas secara memadai oleh masyarakat dengan bantuan fasilitator. Dana untuk keperluan pengelolaan hendaknya dapat dihimpun dari sumber-sumber yang lebih luas, termasuk dari swadaya masyarakat, kas desa (apabila ada), APBD, dan COREMAP II untuk tahap-tahap awal. c. Kesejahteraan Komunitas Pesisir Hasil studi di dua lokasi (Pulau Naim dan Pulau Bunaken di Propinsi Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan program pembangunan di Pulau Naim lebih baik daripada di Pulau Bunaken. Salah satu kemungkinan kuat penyebabnya adalah bahwa penduduk Pulau Naim 42

53 Kemiskinan Nelayan Kemiskinan dapat mendorong nelayan untuk berbuat kerusakan lingkungan Bila miskin harta, bantulah mereka dengan mencari mata pencaharian alternatif, membuat DPL, menyediakan sarana dan prasaran pelayanan sosial dan infrastuktur Bila mereka miskin hatinya, kayakan mereka dengan meningkatkan akhlaknya secara ekonomi memilik penghasilan yang relatif mencukupi untuk keluarga, dibandingkan dengan penduduk di Pulau Bunaken (Christie 2003). Secara logika memang sulit untuk mengharapkan masyarakat yang serba kekurangan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya mengoptimalkan tingkat keberlanjutan suatu program pembangunan. Oleh karena itu, kiranya tepat apabila di lokasi-lokasi COREMAP II juga dikembangkan program mata pencaharian alternatif (MPA). d. Penutupan Proyek Secara Tepat Satu faktor yang tampak kecil namun penting dan sering terlupakan oleh para penyelenggara program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah cara penutupan suatu program atau proyek. Hanson mengatakan the ability to wind down activities is about as important as the capacity to start new initiatives in a project that seeks to Penyelesaian suatu proyek harus benar-benar memperhatikan keberlanjutan dari apa-apa yang telah dicapai oleh proyek. Apabila tidak, bisa jadi suatu proyek yang telah dianggap sangat berhasil, baik dalam pengertian ekologi maupun sosial-ekonomi, akan 43

54 berhenti seperti pasar malam, tidak meninggalkan dampak yang berlanjut. Agar sarana pelayanan sosial masyarakat dan infrastruktur yang dikembangkan dapat dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan, maka upacara serah terima proyek dari Pemerintah kepada masyarakat nelayan perlu dikemas sebaik mungkin untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat mengenai kewajiban mereka terhadap pengelolaan (operasionalisasi dan pemeliharaan) sarana sosial dan infrastruktur yang telah dikembangkan bersama dan untuk kepentingan mereka. Serah Terima Proyek Pada waktu penutupan dan penyerahan proyek, pastikan hal-hal berikut telah terjadi: DPL dan komponen proyek lainnya telah selesai dibuat dan berfungsi Perdes yang mengatur pengelolaan DPL telah disahkan dan ditegakkan Semua organisasi/lembaga di tingkat desa terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut telah berfungsi dan dikuatkan kelembagaannya Masyarakat telah ditingkatkan ketrampilan dan pengetahuannya untuk berpartisipasi Terdapat sumber-dana dan sumber-daya yang memadai untuk melanjutkan kegiatan di tingkat desa Terjalin kemitraan antara organisasi/ lembaga di desa dengan lembaga lain termasuk LSM dan perguruan tinggi. 44

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT i Volume - 2 DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT Volume - 2 Kerjasama : Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam SATKER REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (COREMAP

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB. Pendahuluan A. LATAR BELAKANG

BAB. Pendahuluan A. LATAR BELAKANG BAB 1 Pendahuluan A. LATAR BELAKANG Dalam suatu tata kelola sumberdaya alam, pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) yang sering disebut sebagai Community- Based Management CBM untuk selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI SECARA PARTISIPATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Nama Unit Pelaksana : Direktorat Kelautan dan Perikanan Email :ningsih@bappenas.go.id Abstrak Wilayah pesisir dan laut Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

PANDUAN PEMBELAJARAN MANDIRI PENGORGANISASIAN MASYARAKAT

PANDUAN PEMBELAJARAN MANDIRI PENGORGANISASIAN MASYARAKAT i Volume - 1 PANDUAN PEMBELAJARAN MANDIRI PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Volume - 1 Kerjasama : Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam SATKER REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR TERPADU BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN BUPATI KABUPATEN SIKKA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 1 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 2 3 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Abstrak Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,

Lebih terperinci

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Suatu pemikiran dikaitkan dengan pembangunan daerah di Kepulauan Spermonde Makassar, 30 Agustus 2006 MATSUI Kazuhisa Institute of Developing Economies, JETRO

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu)

INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu) INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu) Oleh: YUDI WAHYUDIN Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL-IPB) PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG POLA KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta BUKU RENCANA BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG 8.1 PERAN SERTA MASYARAKAT Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

POLA PENGEMBANGAN ENERGI PERDESAAN DENGAN SWADAYA MASYARAKAT

POLA PENGEMBANGAN ENERGI PERDESAAN DENGAN SWADAYA MASYARAKAT Latar Belakang POLA PENGEMBANGAN ENERGI PERDESAAN DENGAN SWADAYA MASYARAKAT 1. Sekitar 60 70 % penduduk Indonesia tinggal di daerah perdesaan, maka Pembangunan Perdesaan harus mendapat prioritas yang tinggi

Lebih terperinci

BAGIAN I. PENDAHULUAN

BAGIAN I. PENDAHULUAN BAGIAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kegiatan di sektor ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah. Selama ini keberadaan industri ketenagalistrikan telah memberikan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR.

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR. PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR. (dok/antara) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menganggap program

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya 6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN 5.. Rencana Program dan Kegiatan Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PUSKESMAS ABCD BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PUSKESMAS ABCD BAB I PENDAHULUAN PEDOMAN PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PUSKESMAS ABCD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG [- BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG P embangunan sektor Peternakan, Perikanan dan Kelautan yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Garut dalam kurun waktu tahun 2009 s/d 2013 telah memberikan

Lebih terperinci

Rencana Strategis (RENSTRA)

Rencana Strategis (RENSTRA) Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN TAHUN 2014 Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN 5.1. Rencana Program dan Kegiatan Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci