BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan penyakit ginekologik yang progresif, dengan ciri ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium pada peritoneum pelvis dan jaringan ekstrauterin lainnya. Kelainan ini erat kaitannya dengan kejadian nyeri pelvik dan infertilitas Angka kejadian (insidens) endometriosis sekitar 3-18% perempuan usia reproduktif, tetapi angka sebenarnya tidak diketahui secara pasti, karena prosedur diagnosis baku emas yaitu konfirmasi pembedahan yang diikuti pembuktian secara histopatologi sering tidak dilakukan, sehingga dapat mengakibatkan luputnya penasahan penyakit. 1-9 Insidens endometriosis meningkat dari tahun ke tahun, menurut Endometriosis Research Centre, endometriosis ditemukan pada lebih dari tujuh juta perempuan termasuk remaja di Amerika Serikat (dua kali lipat jumlah penderita Alzheimer dan tujuh kali lipat penderita penyakit Parkinson). Berdasarkan angka perkiraan (prevalens) penyakit endometriosis di dunia sebesar 10%, maka lebih dari 70 juta perempuan di dunia (10%) menderita endometriosis. 5 Perempuan pada usia 25 sampai dengan 29 tahun sering didiagnosis endometriosis untuk pertama kalinya, pada umumnya terlambat diketahui, karena mereka datang setelah mengeluh tidak atau belum mempunyai anak (infertilitas). 2,4 Endometriosis ditemukan pada 4,1% perempuan tanpa keluhan dan gejala, yang diketahui secara kebetulan ketika mengalami tindakan laparoskopi untuk sterilisasi. Pada perempuan dengan keluhan infertilitas ditemukan angka kejadian endometriosis saat pemeriksaan laparoskopi sekitar 20% dengan rentang sekitar 2-78%, 1-4, sedangkan pada perempuan yang mengeluh nyeri pelvik, endometriosis didiagnosis sekitar 24% dengan rentang 4-78%, 1-5 Insidens endometriosis di Indonesia diperoleh dari beberapa rumah sakit, antara lain: RSUD Dr. Soetomo pada kelompok infertilitas tahun sebesar 37,2%, RS Dr. Moewardi tahun 2000 sebesar 13,6%, dan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo pada kelompok infertilitas mencapai 69,5%. 9 Bila diproyeksikan prevalens endometriosis di dunia, yaitu sebesar 10%, maka diperkirakan jumlah penderita endometriosis di Indonesia hingga kini lebih dari 11 juta orang (dengan perkiraan jumlah penduduk Indonesia sebesar 220 juta orang). 5

2 2 Gejala penyakit beragam, dapat tampil tanpa gejala, minimal, atau berat. Pada pemeriksaan fisis jarang ditemukan kelainan pada lokasi penyakit. Kecurigaan akan adanya lesi timbul pada penemuan massa noduler, nyeri pada ligamen uterosakral, nyeri adneksa, dan adanya massa kistik yang disebut endometrioma. 1-3 Hingga kini diagnosis pasti endometriosis ditegakkan dengan cara diagnosis baku emas, yaitu tindakan pembedahan ringan (laparoskopi), untuk mengenal dan mencari lesi, melakukan penderajatan (staging), diakhiri biopsi dengan ketepatan hasil histopatologi sebesar 67% The American Society for Reproductive Medicine membuat skema stadium berdasarkan jumlah, lokasi lesi, dan perlekatan yang terlihat saat pembedahan. Stadium 1-4 yaitu minimal, mild, moderate, dan severe berguna untuk menentukan prognosis fungsi reproduksi selanjutnya. Penderajatan selain berguna untuk diagnosis juga untuk pemantauan respons pengobatan (pengamatan lanjut). 1-9 Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG), pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT scan), pencitraan resonansi magnetik (MRI), dan pemeriksaan karsinoantigen-125 (CA-125) merupakan cara diagnostik yang nir-invasif tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah. 1-7,14-15 Bermacam teori terjadinya penyakit ini sudah dikemukakan sejak lama dan teori penyusukan (implantasi) Sampson banyak dipakai mendasari konsep patogenesis saat ini. 4 Penyusukan sel-sel endometrium diduga karena cacat (defek) sistem imun dan aberasi molekul intrinsik, sehingga jaringan endometrium mampu menyusuk pada jaringan yang tidak seharusnya Tabibzadeh dkk pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa peluruhan haid (menstrual shedding) penderita endometriosis disertai oleh disorganisasi distribusi protein spesifik desmoplakin I/II, E-kaderin, dan katenin. Tampilan (ekspresi) aberan dari matrix metalloproteinase, Bcl-2, beberapa sitokin (IL-6, RANTES), aromatase, defisiensi 17-βhidroksisteroid dehidrogenase jenis 2, faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor/egf), dan resistensi terhadap kerja protektif progesteron merupakan kelainan molekuler yang diduga terjadi pada endometriosis. 19 PGE 2 dan sitokin yang dikeluarkan ketika haid akan memicu aktivitas aromatase dengan meningkatkan kadar camp pada sel stroma endometriosis, sehingga dihasilkan estrogen secara lokal yang akan mempertahankan pertumbuhan jaringan endometriosis. Selanjutnya jaringan endometrium ektopik tersebut tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh estrogen. 19

3 3 Pertumbuhan endometriosis menimbulkan perlekatan organ genitalia interna juga dengan jaringan sekitarnya, sehingga berdampak nyeri pelvik kronik dan infertilitas. Pada peristiwa ini diduga ion ferri yang terkandung dalam darah haid merangsang produksi senyawa radikal bebas berlebihan sehingga terjadi kerusakan sel dan berakhir dengan pembentukan jaringan fibrotik. 4 Pengelolaan endometriosis hingga kini adalah kombinasi antara terapi pembedahan dan medikamentosa, dengan angka kekambuhan (rekurens) yang cukup tinggi yaitu lebih dari 75% pascahenti obat 4,21. Dari uraian terdahulu jelas bahwa endometriosis merupakan penyakit yang banyak bermasalah, mulai dari etiopatogenesisnya (diduga multifaktorial), manifestasi klinisnya, hingga cara diagnostik dan terapi yang invasif dan berisiko Sebagian besar masyarakat kita dengan berbagai alasan menolak untuk melakukan pemeriksaan diagnosis baku emas. Prosedur pembedahan walaupun ringan tetap dianggap tindakan yang menakutkan, menyakitkan, berisiko, dan memerlukan biaya besar. Akibatnya akan banyak kasus endometriosis yang terlantar atau tidak dapat dikelola dengan baik karena luput didiagnosis, sementara penyakit akan berkembang terus, sehingga pada akhirnya berdampak memburuknya penyakit, seperti nyeri pelvik kronik, distorsi organ, dan infertilitas. Memahami kenyataan ini muncul pertanyaan apakah tidak ada cara diagnostik lain yang mungkin tidak invasif (nir-invasif) dengan biaya lebih terjangkau, aman, tapi cukup tepat (akurat)? Sebenarnya banyak pemeriksaan nir-invasif lainnya yang ada hingga saat ini seperti USG, CT-scan, MRI, dan pemeriksaan CA-125, tetapi cara-cara tersebut masih kurang kepekaannya dan baru bermanfaat pada kasus yang sudah berat. Bertitik tolak dari konsep patogenesis yang berkembang hingga saat ini, penulis tertarik untuk mencari cara diagnostik lain yang nir-invasif dengan biaya lebih terjangkau tapi cukup akurat, yaitu dengan menasah (deteksi) protein-protein yang ditampilkan oleh endometrium eutopik penderita endometriosis yang pada hakikatnya sudah mempunyai cacat molekuler. Pada umumnya para peneliti menggunakan spesimen biopsi jaringan, walaupun beberapa peneliti melaporkan bahwa tampilan berlebihan protein aberan tersebut dapat ditasah baik pada endometrium eutopik, ektopik, cairan peritoneum, dan darah haid. Hasil penelitian di beberapa senter ditemukan tampilan berlebihan protein dan gen aberan dengan data persentase yang menyatakan kekuatan tampilannya, baik pada endometrium eutopik maupun ektopik. Tetapi belum ada satupun yang menyatakan secara tegas bahwa

4 4 tampilan protein aberan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis penyakit, misalnya ditentukan titik potongnya (cut off point- nya), walaupun telah banyak peneliti melaporkan perbedaan tampilan protein antara endometrium penderita endometriosis dibandingkan dengan perempuan normal. Perbedaan ini diduga kuat karena adanya polimorfisme gen protein yang mengalami tampilan aberan tersebut. Protein aberan yang menarik penulis untuk diteliti adalah protein BCL- 2 yang mengatur apoptosis sel dan matriks metaloproteinase (MMPs) yang berperan pada proses penyusukan sel ke jaringan tubuh Aberasi tampilan yang mengakibatkan hadirnya sel endometrium yang mampu hidup lebih lama (viabel) dan MMP-9 yang menjadikan sel endometrium memiliki daya invasi ke jaringan merupakan faktor yang penting pada awal pembentukan lesi endometriosis. Pola manifestasi klinis tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gen. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian beberapa peneliti di dunia yang meneliti tampilan protein pada etnik yang berbeda; bahwa tampilan polimorfisme gen yang diduga kuat menyebabkan produksi berlebihan protein BCL- 2 dan MMPs ternyata hasilnya berbeda pula untuk masing-masing pusat penelitian/etnik 15-18,22 Hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti polimorfisme gen yang mempengaruhi tampilan aberan protein BCL- 2 dan MMPs pada perempuan penderita endometriosis di Indonesia. Berdasarkan sifat penyakit yang terwariskan secara poligenik (polygenicalyinherited deseases) dengan etiologi berganda dan kompleks, penulis tertarik untuk mencari adakah hubungan pola manifestasi klinis yang didapat pada perempuan Indonesia yaitu karakteristik penderita, derajat penyakit berikut hasil histopatologinya dengan tampilan protein-protein BCL- 2, MMPs, sekaligus analisis polimorfisme gen pembawa kode genetiknya. Temuan-temuan tersebut akan dibuat skoring guna dijadikan alat untuk mendiagnosis penyakit. Pada akhirnya bila cara ini mempunyai nilai sensitivitas dan speifisitas yang tinggi, maka ditemukan cara baru yang nir-invasif, terjangkau, aman, dan akurat menggantikan cara diagnosis baku emas yang invasif dan sulit diterima oleh kebanyakan penderita dengan hanya melihat karakteristik penyakit saja tanpa melakukan pemeriksaan yang invasif bahkan mungkin tidak melakukan pemeriksaan laboratorium lagi, setidaknya berlaku untuk perempuan Indonesia. Adapun kunci tema sentral permasalahan, diuraikan sebagai berikut:

5 5 Endometriosis merupakan penyakit dengan etiopatogenesis yang belum jelas, diduga penyebabnya kompleks (multifaktorial), berawal dari regurgitasi darah haid yang berisi sel-sel endometrium mampu hidup (viabel) ke rongga abdomen. Dengan didasari kelainan imunologi lokal dan cacat molekuler, sel-sel yang mampu hidup tersebut menyusuk dan tumbuh pada organ-organ pelvik dan sekitarnya, sehingga menyebabkan perlekatan organ reproduksi dengan organ sekitarnya, menghasilkan penyimpangan (distorsi) anatomi, nyeri pelvik kronik, dan infertilitas. Cara mendiagnosis penyakit yang digunakan saat ini belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat kita, karena cara tersebut bersifat invasif, berisiko dan tidak terjangkau, sehingga penyakit luput didiagnosis dan berkembang menjadi lebih berat Penasahan protein aberan BCl- 2 yang berperan dalam apoptosis sel, MMP-9 yang berperan dalam daya invasi sel dan polimorfisme gen pada darah haid diharapkan dapat dipakai sebagai petanda dalam mendiagnosis endometriosis, karena berperan penting pada awal terjadinya penyakit. Mengembangkan alat diagnosis baru dengan menghubungkan manifestasi klinis yaitu karakteristik penderita, hasil histopatologi dan derajat penyakit dengan tampilan protein BCL- 2 dan MMP-.9, sekaligus polimorfisme gen pembawa kode genetiknya pada darah haid diharapkan dapat dipakai untuk mendiagnosis penyakit dengan cara nir-invasif, kurang berisiko, terjangkau tapi akurat, yaitu dengan membuat skoring. Temuan ini memberi peluang untuk mengembangkan cara diagnosis dini, pengelolaan, maupun pencegahan penyakit. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas, khususnya setelah mengkaji tema sentral permasalahan terpikirkan hal-hal spesifik yang perlu dipertanyakan dalam kaitannya dengan masalah utama yang dihadapi, yaitu: 1. Apakah tampilan berlebihan protein BCL- 2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis berhubungan dengan polimorfisme gen tersebut? 2. Apakah ada hubungan antara tampilan berlebihan BCL- 2, MMP-9 pada darah haid dan manifestasi klinis penyakit endometriosis? 3. Apakah tampilan berlebihan dari BCL- 2, MMP-9 pada darah haid dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis? 4. Apakah polimorfisme gen BCL- 2 dan MMP-9 pada darah haid dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis?

6 6 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud Penelitian Apabila tampilan protein BCL- 2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis berhubungan dengan polimorfisme gen protein tersebut, maka dapat ditemukan cara lain untuk mendiagnosis endometriosis. Apabila ada hubungan antara tampilan berlebihan BCl- 2 dan MMP-9 darah haid dan manifestasi klinis, maka sebagian patogenesis penyakit akan terungkap. Apabila tampilan berlebihan BCl- 2 dan MMP-9 darah haid berhubungan dengan polimorfisme gen protein tersebut, maka tampilan BCl- 2 dan MMP-9 dapat dipakai untuk menunjang diagnosis. Apabila tampilan polimorfisme gen BCL- 2 dan MMP-9 darah haid berhubungan dengan polimorfisme gen protein tersebut, maka tampilan polimorfisme gen BCl- 2 dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis Tujuan Penelitian Sebagaimana dirumuskan dalam identifikasi masalah, maka kegiatan operasional penelitian ini dinyatakan sebagai berikut: Tujuan umum Menganalisis tampilan protein BCL -2 dan MMP-9 serta menghubungkannya dengan polimorfisme gen yang membawa kode genetik protein tersebut dalam darah haid perempuan penderita endometriosis Tujuan Khusus Mengukur ekspresi protein BCL- 2 dan MMP-9 pada darah haid perempuan penderita endometriosis Menganalisis polimorfisme gen BCL- 2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis Menghubungkan antara tampilan protein BCL- 2 dan MMP-9 darah haid dengan manifestasi klinis penderita endometriosis Menentukan nilai diagnostik temuan tampilan BCL- 2 dan MMP-9 darah haid dalam penasahan endometriosis.

7 7 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi pengembangan di bidang: Ilmiah 1) Dapat memberikan sumbangan informasi untuk memantapkan pemahaman patogenesis terjadinya endometriosis dengan membuktikan adakah gambaran ekspresi protein BCL- 2 dan matriks metaloproteinase didukung oleh polimorfisme gennya pada darah haid perempuan penderita endometriosis di Indonesia. Kalau ternyata benar, maka dapat memberikan gambaran awal etiopatogenesis penyakit pada perempuan Indonesia yang diharapkan akan diikuti oleh penelitian-penelitian lanjutan untuk mengungkap lebih lanjut etiopatogenesis sebenarnya. 2) Dapat menggugah minat untuk melanjutkan penelitian lainnya dengan menelaah kebenaran etiopatogenesis lebih lanjut dan membuktikan kekeliruan hasil penelitian ini Praktis 1) Ditemukan cara lain untuk menegakkan diagnosis endometriosis yang relatif terjangkau dan tidak invasif, berisiko kecil, namun cukup akurat. 2) Menemukan salah satu cara pencegahan untuk mencegah atau menghambat perkembangan penyakit sejak dini, karena diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan cara yang tidak invasif sehingga dapat dilakukan pada setiap perempuan dan remaja yang belum menikah. 3) Ditemukan cara untuk penapisan massal penyakit, penurunan kejadian, dan dampak buruk penyakit.

8 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Definisi dan Insidens Endometriosis Endometriosis adalah penyakit ginekologik dengan ciri ditemukannya endometrium normal (baik kelenjar maupun stroma) di lokasi yang tidak normal selain uterus. Jaringan ini memiliki reseptor steroid yang sama seperti endometrium normal dan sanggup merespons suasana hormonal normal secara siklik. Perdarahan internal secara mikroskopik, respons inflamatorik, neovaskularisasi, dan fibrosis merupakan akibat klinis dari penyakit ini. 7 Penderita secara khas mengalami penyusukan (implantasi) endometrium ektopik terutama pada pelvis dan menimbulkan dismenore berat, nyeri pelvik kronik, dan infertilitas. Penyusukan pada tempat yang tidak lazim akan memberikan gejala yang tak lazim pula, seperti hemoptisis dan kejang katamenial. Tempat yang tersering bagi lesi endometriosis adalah rongga (kavum) peritoneum; selain itu dapat pula ditemukan pada rongga pleura, hati, ginjal, otot gluteus, dan kandung kemih. Endometriosis jarang ditemukan pada pria. 4-7 Angka kejadian (insidens) belum dapat ditentukan secara pasti, karena prosedur diagnosis baku emas yang diakhiri pembuktian secara histopatologi sering tidak dilakukan karena berbagai alasan. Endometriosis sering ditemukan pada prosedur pembedahan dengan indikasi lain. 4-7 Pada insidens populasi perempuan secara umum diperkirakan 3-18%; angka ini diperoleh dari perempuan fertil yang menjalani tindakan sterilisasi. Insidens tersebut meningkat 60% pada perempuan dismenore yang dinilai secara pembedahan dan 30% pada perempuan infertil. Perempuan dengan nyeri pelvik kronik, 45% memperlihatkan endometriosis ketika dilakukan laparoskopi dan hanya 25% pelvisnya normal. 7 Insidens endometriosis meningkat dari 12% pada perempuan usia tahun menjadi 45% pada perempuan usia tahun. Insidens ini tidak jelas dipengaruhi ras. Endometriosis juga dapat ditemukan pada pria yang menjalani pengobatan estrogen. Sebagian besar penyakit ditemukan pada perempuan dengan poros hipotalamus-hipofisisovarium yang aktif. Perempuan dalam masa prepubertas bukan merupakan kelompok berisiko, meski endometriosis ditemukan pula pada perempuan usia muda tidak lama setelah menars. 5-6

9 9 Tabel 2.1 Insidens endometriosis berbagai sumber Sumber Insidens populasi (%) Amerika Peneliti Houston 3 Inssidens % 16 India >10 5 Dodge (Hawaii) 3 18 Jepang Moen (Norwergia) 9 13,6 Jerman Dilip Kumar Pal (India) Inggris Miyazawa 3 Asia 2x Kaukasia WHO RS Dr. Moewardi 10 13, Epidemiologi Vigano dkk mempelajari 100 artikel yang telah dipublikasikan yang memuat epidemiologi endometriosis. 4 Mereka mendapatkan temuan bahwa nulipara dan menoragi dengan siklus haid yang pendek (polimenore) merupakan faktor risiko yang konsisten dibandingkan faktor risiko lain. Faktor lain yang kurang konsisten mendukung terjadinya penyakit, yaitu: usia, status sosial, ras, penggunaan pil kontrasepsi, riwayat endometriosis pada keluarga, perokok, alkoholisme, diet kopi dan lemak jenuh yang berlebihan, body mass index (BMI), dioksin, hormonal, penyakit imunitas seperti artritis reumatoid, SLE, hipotiroid, hipertiroid, sklerosis multipel, dan limfoma non hodgkin Pandangan Terkini Patogenesis Endometriosis Teori Sampson (teori yang banyak dianut para peneliti hingga sekarang) menyatakan bahwa endometriosis terjadi karena penyusukan sel-sel endometrium ke peritoneum. Keadaan ini disebabkan oleh regurgitasi darah haid melalui tuba Faloppii. Regurgitasi darah haid pada hakikatnya terjadi pada semua perempuan, tetapi ternyata tidak semua perempuan menderita endometriosis. Diduga ada cacat imunologis lokal pada peritoneum yang menyebabkan sel endometrium yang mampu-hidup menyusuk dan bertumbuh pada peritoneum. 1-7 Hingga kini telah banyak diungkap melalui penelitian tentang mekanisme untuk menjelaskan terjadinya endometriosis. Respons autoimun akan meningkatkan kehadiran sel-t dan sel-b, pengaktifan makrofag, penimbunan imunoglobulin dan komplemen. Selanjutnya tampilan antigen leukosit manusia (human leucocyte anti-gen/hla) akan meningkat, dan molekul perekat (adesi) bertambah. Enzim proteolitik matriks

10 10 metaloproteinase berperan dalam penyusukan epitel endometrium ke peritoneum. Enzimenzim terkait radikal bebas (free radical-related enzymes) juga meningkat, antara lain sintetase oksida nitrat (nitric oxide synthase), dismutase superoksida (superoxide dismutase), dan peroksidase glutation (glutathione peroxidase). Akibatnya, beberapa sitokin disekresikan dari sel-sel imun dan makrofag, termasuk IL-1 dan IL-2. Sitokin ini akan merangsang pengeluaran siklooksigenase tipe-2 (cyclooxygenase type-2/cox-2) dan prostaglandin. 2,4,16 Pada hewan (primata) dan manusia, endometriosis cenderung bersifat genetik. Penyakit ini sering ditemukan pada pasangan kembar monozigotik dan dizigotik serta memperlihatkan usia awitan yang sama pada saudara perempuan bukan kembar. Prevalens endometriosis relatif terjadi 6-7 kali lebih besar pada turunan tingkat pertama dari perempuan penderita endometriosis dibandingkan seluruh populasi. Temuan ini memperlihatkan bahwa endometriosis bersifat genetik dan bahwa pemudah (predisposisi) penyakit ini menurun sebagai terbawa genetik kompleks (complex genetic trait), yaitu fenotip merupakan pencerminan interaksi antara gen alel varian yang dicurigai dan faktor lingkungan. Gen yang diduga merupakan pemudah perkembangan endometriosis melibatkan beberapa gen pengatur langsung proses molekuler yang mengendalikan ketahanan (survival) penglepasan sel endometrium, perlekatan dan invasi ke permukaan peritoneum, proliferasi, neovaskularisasi, dan/atau respons peradangan. Endometrium eutopik perempuan penderita endometriosis memperlihatkan tampilan abnormal dari produk gen yang berpaut (relevan) dengan penyakit ini. Temuan ini menunjukkan bahwa endometrium perempuan penderita penyakit ini memiliki kelainan gen yang abnormal yang bertindak sebagai pemudah terjadinya penyusukan ektopik dan perkembangan penyakit. 3,4,15-20,22 Sel endometrium eutopik penderita endometriosis bersifat resisten terhadap apoptosis, suatu proses normal bagi pengaturan fisiologis gen kompleks yang memprogramkan kematian sel yang ikut serta dalam penglepasan jaringan endometrium dan penggantiannya selama fase sekresi dan fase haid dari suatu siklus haid. Endometrium ektopik lebih resisten terhadap apoptosis; dalam hal ini ikut terlibat, BCL- 2 /Bax, suatu golongan protein dan fas-fas ligand expression system yang mengatur apoptosis. Resistensi apoptosis akan meningkatkan ketahanan hidup sel endometrium yang masuk ke rongga peritoneum dan dapat menjelaskan mengapa endometrium ektopik resisten terhadap

11 11 penyigian dan bersihan imun terperantarai-makrofag (macrophage-mediated immune surveillance and clearance) Abnormalitas pola tampilan molekul adesi sel pada endometrium eutopik telah diketahui dan terlibat pada penyusukan sel endometrium ke peritoneum, tetapi kejadiannya belum jelas. Matriks metaloproteinase merupakan enzim yang berperan dalam degradasi matriks ekstraselular dan membantu proses peluruhan endometrium dan perangsangan pertumbuhan baru oleh estrogen. Tampilan matriks metaloproteinase meningkat pada fase dini siklus dan ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal matriks metaloproteinase dihubungkan dengan proses perusakan (destruksi) dan penyusupan (invasi) penyakit. Pada perempuan penderita endometriosis tampilan enzim ini pada fase sekresi resisten terhadap penekanan progesteron. Tampilan matriks metaloproteinase yang menetap (persisten) terhadap peluruhan endometrium akan menyebabkan potensi invasif endometrium yang beregurgitasi, dan ini akan memudahkan penyusupan pada permukaan peritoneum dan proliferasi selanjutnya Endometriosis dihubungkan dengan perubahan yang diperantarai sel dan imunitas humoral. Diduga bahwa kegagalan respons imunitas pada regurgitasi darah haid merupakan faktor penyebab berkembangnya penyakit. Cairan peritoneum perempuan endometriosis mengandung jumlah sel imun yang meningkat, tetapi diduga kejadian ini bekerja lebih pada perkembangan penyakit ketimbang mencegah penyakit. Kelainan imunitas yang merupakan akibat dari kelainan tersebut belum jelas diketahui, tetapi keberadaannya berperan penting pada patogenesis penyakit Makrofag merupakan unsur penting dalam respons imun bawaan dan merupakan bagian dari sistem imun nir-spesifik antigen dan tidak ikut berperan dalam memori imunologik. Makrofag mempertahankan tubuh dengan cara mengenal, memfagositosis dan merusak mikroorganisme, dan juga dipersiapkan sebagai petugas pembersih dalam membantu membersihkan sel-sel mati dan kotoran (debris). Makrofag menghasilkan bermacam-macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim, dan prostaglandin yang membantu memperantarai fungsi sambil merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel lainnya. Makrofag merupakan komponen normal dalam cairan peritoneum dan beberapa aktivitasnya akan meningkat pada pasien endometriosis. Bertentangan dengan aktivitas pembersih yang akan menghilangkan sel-sel endometrium ektopik pada perempuan endometriosis, pengaktifan makrofag peritoneal dan monosit yang beredar dapat merangsang pertumbuhan penyakit dengan cara mensekresikan faktor pertumbuhan dan

12 12 sitokin. Kedua zat yang terakhir ini akan merangsang proliferasi endometrium ektopik dan menghambat fungsinya sebagai pembersih Sel-sel pembunuh alami atau sel-sel NK (natural killer cells) merupakan komponen penting lainnya dari sistem imun bawaan dan mempunyai dua fungsi. Sel-sel NK memiliki reseptor-reseptor untuk imunoglobulin-g (IgG) dan mampu membunuh sel yang terikat oleh IgG; ini disebut sebagai proses sitotoksisitas selular bergantung-antibodi (antibodydependent cellular cytotoxicity). Sel-sel NK mempunyai kemampuan membunuh sel dan memiliki reseptor untuk melumpuhkan kemampuan tersebut, yang bilamana digunakan akan langsung menghambat aktivitas sitotoksin. Penurunan aktivitas sitotoksin yang terjadi akan lebih menyatakan bahwa perempuan tersebut menderita penyakit yang berat. Salah satu dari mekanisme yang bertanggung jawab memperlihatkan tampilan berlebihan reseptor inhibitorik pembunuh (killer inhbitory receptors) pada sel-sel NK perifer dan peritoneal perempuan penderita endometriosis. Limfosit memperantarai respons imun yang diperlukan sel limfosit-b matang di sumsum tulang dan sekresi imunoglobulin antibodi spesifik-antigen (antigen-sepecific antibodies) yang secara langsung melawan mikroorganisme ekstraselular. Sel-sel limfosit-t membantu sel-sel limfosit-b membentuk antibodi dan melenyapkan mikroorganisme patogen intraselular dengan mengaktifkan makrofag dan membunuh virus penginfeksi atau sel ganas. Ada dua jenis sel limfosit-t, yaitu sel sitotoksik atau supresor (berperan pada respons imun selular) dan sel-sel T-helper (berperan dalam respons imun humoral). Jumlah kedua jenis sel-t ini meningkat di dalam cairan peritoneum dan stroma endometrium ektopik Sitokin dan faktor pertumbuhan adalah keluarga besar dari protein dan glikoprotein yang dapat larut yang disekresi oleh leukosit dan sel lainnya ke lingkungan ekstraselular dan mereka beraksi pada sel sama (autokrin) atau sel tetangganya (parakrin), berperan sebagai messengers di antara dan di luar sistem imun dalam meregulasi kemotaksis, mitosis, angiogenesis, dan diferensiasi. Sementara itu kegagalan respons imun selular mungkin menghasilkan pembersihan yang tidak efektif dari sel endometrium yang mengalami refluks. Sitokin dan faktor pertumbuhan menyebabkan implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik dengan cara memfasilitasi perlekatan pada permukaan peritoneum, proliferasi, dan angiogenesis Interleukin-1 dan sitokin terlibat pada respons imun dan inflamasi dan disekresi oleh monosit yang diaktifasi, makrofag, limfosit T dan B, dan natural killer cells. Interleukin-1 dapat diidentifikasi pada cairan peritoneum penderita endometriosis dan

13 13 peningkatan ekspresi reseptor interleukin-1 pada sel stroma endometriosis Interleukin- 1 dapat meningkatkan pertumbuhan endometriosis dengan merangsang penglepasan faktor angiogenik (vascular endothelial growth factor, interleukin-6, interleukin-8) dan dengan cara membantu sel endometrium memasuki rongga peritoneum untuk mengeluarkan immunosurveillance dengan menginduksi penglepasan bentuk solubel dari intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dari sel endometriotik yang berperan sebagai tempat pengenalan sistem imun pada natural killer cell dan sel imun lainnya Interleukin-8 adalah sitokin angiogenik yang kuat yang diproduksi sel mesotelial, makrofag, endometrium, dan sel lainnya. Kadar interleukin-8 cairan peritoneum pada perempuan penderita endometriosis ada hubungannya dengan berat penyakit. Interleukin-8 diekspresi peda lesi endometriotik dan diup-regulated oleh interleukin-1. Interleukin-8 menstimulasi adesi sel stroma endometrium ke protein matriks ekstraselular, aktivitas matriks metaloproteinase, dan proliferasi sel stroma endometrium dalam cara ketergantungan dosis yang seluruhnya akan membantu peningkatan implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik. 63 Monocyte chemotactic protein-1 dan RANTES (regulated on activation normal T- cell expressed and secreted) adalah dua sitokin chemoattractant yang diperlukan makrofag dalam rongga peritoneum. Keduanya disekresi oleh bermacam-macam leukosit, sel mesotelial dan endometrium, dan produksi keduanya meningkat pada endometrium ektopik. Pada perempuan dengan endometriosis, konsentrasi sitokin ini pada cairan peritoneum meningkat dan ada hubungannya dengan beratnya penyakit. Interleukin-1 melakukan up-regulated ekspresi monocyte chemotactic protein-1 pada sel epitel endometrium ektopik pada perempuan penderita endometriosis dan pada biakan sel endometrial ektopik, yang aksi selanjutnya distimulasi oleh estrogen. Produksi RANTES oleh implan endometriotik distimulasi oleh sitokin cairan peritoneum lainnya. 61 Tumor necrosis factor-α (TNF-α) adalah sitokin inflamasi yang diproduksi oleh limfosit yang diaktivasi, makrofag, dan natural killer cells, serta di antara sel lainnya. TNF-α diekspresi oleh sel epitel endometrial eutopik dan diup-regulated oleh interleukin- 1. Konsentrasinya pada cairan peritoneum meningkat pada perempuan dengan endometriosis dan ada hubungannya dengan stadium dari penyakit. Pada observasi, TNF-α meningkatkan perlekatan sel stroma pada sel mesotel biakan, menunjukkan bahwa TNF-α mungkin memfasilitasi perlekatan endometrium ektopik ke peritoneum perempuan penderita endometriosis. 65-7

14 14 Untuk implantasi dan pertumbuhan, endometrium ektopik harus memantapkan suplai darah. Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah mediator penting angiogenesis lokal yang diproduksi monosit dan makrofag. Faktor pertumbuhan ini menstimulasi proliferasi sel endotel vaskular dan juga berperan sebagai chemoattractant untuk monosit. VEGF terutama diproduksi pada kelenjar endometrium dan diup-regulated oleh beberapa faktor termasuk estrogen dan interleukin-1 (Gambar 7). Konsentrasi VEGF cairan peritoneum meningkat di-ekspresikan pada lesi endometriotik, lebih-lebih pada lesi aktif berwarna merah daripada yang inaktif yaitu pada implan powder-burn Kerentanan genetik Faktor lingkungan Dismenore Endometrium Regurgitasi darah haid Perubahan imunologis Oksitosin Endotelin Noradrenalin Vasopresin Aliran darah menurun & hipoksia Aktivasi makrofag Sitokin dan faktor pertumbuhan Fibrosis Proliferasi Angiogenesis VEGF Gambar 2. 1 Skema patogenesis endometriosis Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis dipengaruhi estrogen dan sekarang mulai dipahami secara mendasar tempat produksi dan metabolisme estrogen, dihubungkan dengan bagaimana estrogen mendorong terjadinya endometriosis. Aromatase, enzim yang mengubah androgen menjadi estrogen ditampilkan secara abnormal di endometrium

15 15 eutopik perempuan penderita endometriosis sedang dan berat; perempuan tanpa penyakit ini tidak mempunyai aktivitas enzim ini. Perempuan penderita endometriosis mungkin mempunyai gen abnormal yang membantu perkembangan produksi lokal estrogen. Endometrioma dan lesi peritoneal memperlihatkan aktivitas aromatase yang sangat tinggi dibandingkan endometrium eutopik, faktor transkripsi yang merangsang aromatase yakni faktor steroidogenik-1 (SF-1), ternyata tampil berlebihan di jaringan endometriosis dan menghambat enzim yang kurang tertampilkan (underexpressed), sehingga menyebabkan aktivitas aromatase menjadi abnormal dan menyebabkan sintesis lokal estrogen. Estrogen juga merangsang produksi cyclooxygenase type-2 (COX-2) yang memproduksi prostaglandin (PG)E 2, perangsang (stimulator) kuat bagi pembentukan aromatase pada jaringan endometriosis, dengan demikian terjadi umpan balik positif menyebabkan produksi lokal estrogen berlangsung terus. Saling pengubahan (interkonversi) estron dan estradiol karena kerja 17-βhidroksisteroid dehidrogenase (17β-HSD) yang mempunyai dua bentuk; tipe-1 mengubah estron menjadi estradiol (estrogen terkuat) dan tipe-2 (disandi oleh gen yang berbeda) mengkatalisasikan reaksi sebaliknya. Pada endometrium eutopik normal, progesteron memicu aktivitas 17β-HSD tipe-2 pada epitel kelenjar; enzim yang ditampilkan tinggi pada kelenjar endometrium. Pada jaringan endometriosis, 17β-HSD tipe-1 ditampilkan normal, tetapi 17β-HSD tipe-2 tidak ditampilkan di kedua jaringan. Progesteron tidak memicu aktivitas 17β-HSD tipe-2 pada susukan endometriosis karena tampilan reseptor progesteron (PR) juga abnormal. Telah dikenali dua isoform PR yang berbeda, yaitu PR-A dan PR-B. Progesteron beraksi pada gen sasaran yang secara primer diperantarai oleh PR- B; PR-A bekerja sebagai penekan (represor) fungsi PR-B. Pada endometrium normal ditampilkan kedua PR-A dan PR-B, sedangkan pada jaringan endometriosis hanya ditampilkan PR-A, tanpa PR-B. Dengan demikian, jaringan endometriosis memperlihatkan sejumlah abnormalitas molekuler yang terkait dengan produksi dan metabolisme estrogen. Aktivitas abnormal aromatase dirangsang lebih jauh oleh estrogen lokal yang dipicu oleh produksi PGE 2, tampilan normal 17β-HSD tipe-1 dan tidak ada aktivitas 17β-HSD tipe-2, karena tampilan PR-B tidak terjadi bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi lokal estrogen yang akan memantapkan pertumbuhan penyakit. 2,4,64-70

16 16 Adrenal P450 aromatase A Endometriosis PGE 2 COX2 Jaringan perifer E1 AA Ovarium E2 Sitokin & faktor pertumbuha n Gambar 2.2 Peran PGE 2 terhadap produksi E 2 PGE 2 EP 2 -R Korepresor 1 camp ENDOMETRIUM NORMAL DNA Inhibitor 1 Inhibitor 2 Binding Site Binding Site 1 2 PGE 2 EP 2 -R Korepresor 2 TATA camp Gen P450arom DNA Stimulator 1 Binding Site 1 Koaktifator 1 Stimulator 2 Binding Site 2 Koaktifator 2 TATA ENDOMETRIOSIS transkripsi Gen P450arom Gambar 2.3 Regulasi dari CYP 19 ekspresi gen (aromatase P450) melalui promoter ovarian-type pada stroma endometrium normal dan endometriosis

17 ini Perubahan konsentrasi superoxide dismutase (SOD) dan ROS diduga mengawali 17 Saat ini, spesies oksigen reaktif (ROS: reactive oxygen species) diketahui berperan pula pada beberapa kejadian penyakit organ reproduksi, antara lain endometriosis. Stres oksidatif terjadi bila terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan kapasitas scavenging antioksidan pada sistem reproduksi. Spesies oksigen reaktif (ROS) dan radikal bebas diimplikasikan pada banyak kelainan pada manusia. Superoxide anion radical (O 2- ), hydrogen peroxide (H 2 O 2 ), dan hydroxyl radical (OH + ) merupakan tipe ROS yang terbanyak. Ketika keseimbangan antara ROS dan antioksidan menunjukkan ROS yang berlebihan, stres oksidatif terjadi. Walaupun ROS toksik terhadap sel manusia, ROS diproduksi normal oleh tubuh melalui metabolisme oksigen. Sebagai tambahan beberapa jenis sel mempunyai sifat mekanisme untuk memproduksi ROS untuk tujuan tertentu misalnya leukosit dan spermatozoa. 70 Pada umumnya sel mengekspresikan gen yang memproduksi protein yang berfungsi penting untuk fungsi dan kelangsungan hidup sel. Oleh karena itu adanya gen yang mengekspresikan antioksidan pada sel sistem reproduksi menunjukkan adanya upaya menyeimbangkan prooksidan/antioksidan yang dihasilkan dalam lingkungan sel dan stres oksidatif memainkan peran dalam memfungsikan sel-sel penglepasan endometrium pada fase sekretori akhir. Peningkatan konsentrasi lipid peroksidase (LPO) dan penurunan konsentrasi SOD dilaporkan pada endometrium manusia pada fase sekretori akhir. 74 Walau bagaimanapun juga konsentrasi LPO pada endometrium kehamilan dini ternyata sama dengan pada fase mid-secretory. Spesies oksigen reaktif mungkin mempunyai kontribusi pada penglepasan endometrium dengan cara meningkatkan produksi PGF Penelitian terkini dengan mekanisme molekuler dari peluruhan endometrium memperlihatkan bahwa estrogen dan progesteron withdrawal menyebabkan menurunnya aktivitas SOD dan menyebabkan meningkatnya konsentrasi ROS. Spesies oksigen reaktif mengaktivasi NF-KB yang selanjutnya akan menstimulasi ekspresi COX-2 dan meningkatkan produksi PGF 2. PGF 2 berperan dalam proses peluruhan endometrium. 74 Target ROS adalah makromolekul sel, antara lain lipid, protein, dan asam nukleat, menyebabkan kerusakan peroksidatif. Luasnya kerusakan ini tergantung kerentanan makromolekul terhadap ROS (ikatan karbon ganda paling rentan) dan tergantung tersedianya ROS di lingkungannya. Adanya ion-ion metal seperti zat besi diduga akan

18 18 menambah kerusakan sel yang terjadi. Namun metal binding protein mencegah ion metalik ini untuk terlibat dalam reaksi ikatan peroksidase. 79 Pada rongga peritoneum, ROS mungkin dihasilkan oleh sel darah merah, makrofag, sel endometrium, dan kotoran dari darah haid yang mengalami refluks. 82 Makrofag peritoneum sampai saat ini diimplikasikan pada patologi endometriosis. Aktivasi makrofag pada pasien dengan endometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas scavenger receptor/scrs. 79 Makrofag yang aktif mungkin responssibel untuk meningkatkan produksi ROS pada pasien endometriosis. 79 Sebagai tambahan, konsentrasi substansi yang telah dimodifikasi dan teroksidasi pada cairan peritoneum dan jaringan endometrium ektopik cenderung tinggi, yang akan mendukung teori bawa ROS berperan pada patologi endometriosis. 79 Pasien dengan endometriosis dilaporkan mengalami peningkatan antibodi terhadap protein yang telah dimodifiksi dan teroksidasi. Ekspresi enzim antioksidan yang defensif seperi SOD dan glutation peroksidase terjadi pada jaringan endometrium pasien endometriosis. Protein BCl- 2 Apoptosis berperan penting dalam mempertahankan homeostasis dan fungsi normal sel dengan mencegah pertumbuhan berlebihan atau membuang sel-sel yang tidak berfungsi. Protein BCL- 2 dan keluarga Fas/FasL telah banyak dipelajari pada jaringan endometrium dan endometriosis manusia. BCl diekspresi oleh sel glandular dan stroma endometrium saat fase proliferasi awal dan mencapai puncaknya pada fase proliferasi akhir, selanjutnya menurun saat fase sekresi akhir dan menstruasi. 46 Jaringan miometrium memperlihatkan imunoreaktivitas BCL- 2 yang konsisten sepanjang siklus menstruasi. 47 Rogers dkk melaporkan bahwa terjadi ekspresi siklik BCL- 2 yang tidak dapat berlangsung lama setelah pemberian levonorgestrel. Anti-apoptotik BCL- 2 banyak diekspresikan pada lapisan basal, sedangkan reseptor Fas dan caspase-3 banyak diekspresikan pada lapisan endometrium. 78 Lain halnya pada lapisan fungsional yang secara siklik tumbuh, berdiferensiasi dan meluruh, apoptosis tampak meningkat. Menurut Otsuki dkk, protein c- jun dan Sp-3 mungkin merupakan protein yang berperan untuk memproduksi BCL Bax adalah anggota keluarga BCL- 2 yang meningkatkan kerentanan apoptosis sel dengan cara melawan efek BCL- 2 melalui interaksi heterodimer. 78 Anggota keluarga lain dari protein BCL- 2 adalah BCL-x, yang diduga dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap

19 19 apoptosis. 47 BCL-x terdiri dari 2 bentuk, yaitu BCL-x berantai pendek dan berantai panjang. Keduanya mempunyai fungsi yang berlawanan, yaitu BCL-x berantai panjang menyebabkan resistensi terhadap apoptotik sel seperti halnya BCL- 2, sedangkan BCL-x berantai pendek adalah sebaliknya. Protein BAK (antagonis homolog BCL- 2 ) merupakan anggota keluarga pro-apoptotik lainnya yang berfungsi mempercepat apoptosis. 37 Endometrium eutopik penderita endometriosis secara fundamental dilaporkan berbeda dengan endometrium perempuan tanpa endometriosis. 34 Perbedaan ini diduga memberi kontribusi terhadap pembentukan jaringan endometriosis, karena regurgitasi sel-sel yang viabel ke dalam rongga peritoneum. Pada gen BCL- 2 penderita endometriosis terjadi polimorfisme yang mengakibatkan perubahan asam amino alanin pada posisi 43 menjadi treonin (Ala 43 Thr). Protein Matriks Metaloproteinase Matriks metaloproteinase adalah suatu enzim proteolitik seng yang highly homologous yang responssibel untuk degradasi komponen matriks ekstraselular seperti kolagen, proteoglikan, fibronektin, dan laminin. 76 Matriks metaloproteinase (MMPs) dan inhibitor jaringan dari metaloproteinase (TIMPs) berperan penting dalam degradasi matriks ekstraselular dan komponen membran dasar. 77 Aktivitas proteolitik MMPs diduga berperan pada salah satu teori patogenesis endometriosis, yaitu memudahkan sel viabel tertanam dan menginvasi peritoneum. 77 Bermacam-macam jenis MMPs dan molekul adesi sel tampaknya berperan penting pada pengaturan proses invasi sel pada endometriosis. Penelitian tentang ekspresi gen lesi endometriosis peritoneum jumlahnya masih terbatas. Salah satu penelitian mengumpulkan 63 jaringan endometriosis dari 35 penderita, yang terdiri dari 43 lesi berpigmen, sebanyak 20 lesi tidak berpigmen. Ekspresi gen E-kaderin, katenin α dan β, MMP-2, MMP-9, dan matriks metaloproteinase membraneus jenis-1 atau (MTI)-MMP pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan endometrium eutopik 12 perempuan normal. Ekspresi mrna MMP-2, MMP-9, dan (MTI)-MMP pada lesi yang berpigmen secara bermakna lebih tinggi daripada kelompok kontrol (p<0,05), sedangkan mrna E-kaderin, katenin α dan β pada jaringan endometriosis tidak disupresi. Ternyata ada hubungan yang erat antara ekspresi gen MMP-2 atau (MTI)-MMP dan E-kaderin, katenin α dan β pada 63 jaringan endometriosis yang diperiksa (p<0,01). Meningkatnya ekspresi MTI-MMP ternyata berhubungan erat dengan aktivitas pro-mmp-2 pada beberapa jenis kanker

20 20 Keseimbangan antara inhibitor dan MMPs adalah penting karena invasi tergantung rasio MMP dan TIMP dalam memelihara homeostasis dan integritas dari matriks ekstraselular. 82 Endometrium ektopik mempunyai kapasitas besar untuk memproduksi MMP-2 dan MMP-1 yang berkorelasi dengan aktivitas jaringan endometrium. 83 Konsentrasi dari TIMP- 1 secara signifikan berada pada konsentrasi yang rendah di dalam cairan peritoneum dan serum penderita endometriosis. 84 Endometrium yang ektopik dan eutopik penderita endometriosis mempunyai ekspresi yang lebih besar MMP-9, aktivator urokinase plasminogen, dan mempunyai ekspresi TIMP-3 dan plasminogen activator inhibitor-1 mrna yang lebih kecil daripada endometrium pasien normal. 77,85-86 Pada gen MMP-9 terdapat polimorfisme pada daerah promoter yang berperan pada proses transkripsi. Polimorfisme genetik Polimorfisme genetik adalah gen pembawa kode genetik untuk suatu protein yang mengalami perubahan pada daerah yang berperan pada proses tampilan proteinnya. Polimorfisme genetik merupakan kejadian pada populasi dua atau lebih alel pada lokus yang frekuensinya lebih dari yang ditetapkan oleh mutasi. Polimorfisme merupakan perbedaan genetik yang mengakibatkan variasi pada suatu spesies. Secara praktis sulit untuk mengetahui berapa frekuensi dari alel yang dapat disebabkan oleh mutasi, jadi definisi operasional dari polimorfisme yang sering digunakan adalah: polimorfisme dikatakan akan terjadi jika alel paling banyak pada suatu lokus memiliki frekuensi kurang dari 99%. Polimorfisme bisa terjadi pada setiap tempat, khususnya pada regio non-coding DNA. Semua polimorfisme akhirnya memperlihatkan perubahan dari sekuen DNA yang dapat ditunjukkan melalui teknologi DNA. Perubahan sifat protein, enzim, antigen dan fisis yang abnormal, semuanya dapat menunjukkan adanya polimorfisme. Pada gen BCL- 2 terdapat polimorfisme yang menyebabkan perubahan asam amino alanin pada posisi 43 menjadi treonin (Ala 43 Thr), sedangkan pada gen MMP9 terdapat polimorfisme pada daerah promoter yang berperan pada proses transkripsi. Kepentingan klinis polimorfisme Kebanyakan polimorfisme tidak memperlihatkan fenotipe klinis. Tanpa menghiraukan apakah efek klinis terjadi, polimorfisme berguna sebagai petanda genetik. Selain itu polimorfisme berguna untuk menentukan kelainan genetik, blood typing, dan tissue typing.

21 Diagnosis Endometriosis Untuk menegakkan diagnosis endometriosis, pada anamnesis ditemukan riwayat nulipara dan siklus menstruasi yang pendek dengan lama haid lebih dari delapan hari. Nyeri timbul beberapa hari sebelum haid dan berkurang sampai 1-2 hari menstruasi. Mungkin ditemukan keluhan deep dyspareunia yang memberat pada fase premenstrual. Tidak jarang pula dilaporkan keluhan pergerakan usus yang terasa nyeri, diare, atau hematoschezia yang berhubungan dengan menstruasi pada endometriosis kolon. Disuria, nyeri panggul atau hematuria pada endometriosis ureter dan vesika urinaria. Adakalanya pasien mengeluh nyeri siklik yang berhubungan dengan ekspansi massa pada jaringan parut pada bekas operasi pelvik. Kadang-kadang ditemukan hemoptisis pada endometriosis paru, kejang katamenial pada endometriosis otak, dan perdarahan umbilikal pada endometriosis umbilikus. Obstruksi parsial atau komplit acapkali terjadi pada perlekatan atau pada lesi endometriosis sirkumferensial. Ketika produk yang berasal dari penglepasan siklik terperangkap pada pembentukan kista, terbentuklah apa yang disebut endometrioma, yang bisa terjadi di mana-mana tetapi yang paling sering terjadi pada kedua ovarium. Massa endometrioma terasa nyeri dan bila mengalami ruptur memerlukan pembedahan akut. Pada perempuan yang mempunyai genetik/familial mempunyai risiko 10 kali lipat menderita endometriosis dibandingkan perempuan tanpa riwayat familiar. Pada penelitian besar kasus, rata-rata onset nyeri siklik maupun nonsiklik terjadi 2,9 tahun setelah menars. Kebanyakan penderita kemungkinan menggambarkan rasa nyeri seperti terbakar, terjepit, nyeri tumpul, atau perasaan berat, sedangkan pada kasus dengan perlekatan lebih sering melaporkan rasa nyeri seperti ditusuk benda tajam, seperti ditarik, terasa mual, atau ditekan hebat. Sekitar 10% pasien tidak mengeluh dismenore; tetapi mengeluh nyeri pada pergerakan usus, perdarahan abnormal, kembung, pre-menstrual syndrome (PMS), kelelahan, sakit kepala, dan infeksi jamur kronik. Lebih kurang 25% pasien dengan perlekatan dilaporkan mengeluh sakit siklik. Kebanyakan pasien dengan perlekatan mengeluh nyeri tanpa ada hubungannya dengan pergerakan usus, nyeri bertambah pada saat berputar dan meregang, sebaliknya nyeri berkurang ketika tubuh berbaring datar dan menekuk. Kedua grup merasakan nyeri yang bertambah saat lari, aerobik, dan bersepeda. 5-7 Banyak pasien dewasa mangeluh dismenore berat dan nyeri pelvik kronik. Setiap menghadapi gejala yang persisten, klinisi sebaiknya mempertimbangkan untuk mencari endometriosis. Gejala tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit, disfungsi yang

22 22 signifikan dapat timbul dengan lesi minimal, sebaliknya endometriosis berat kadangkadang asimtomatik. Gejala biasanya berhubungan erat dengan lokasi lesi dan organ yang terkena. Respons minimal terhadap pemberian antiprostaglandin dan pil kontrasepsi. Pada pemeriksaan fisis jarang ditemukan kelainan pada lokasi kelainan. Kecurigaan akan adanya lesi timbul pada penemuan massa nodular dan nyeri pada ligamen uterosakaral, rasa nyeri daerah adneksa, dan atau rasa sakit pada adneksa. Diagnosis banding antara lain apendisitis, dismenore, perlekatan daerah pelvik, serositis, kista fungsional atau neoplastik, kista ovarium, PID, dan kelainan uterus. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang berguna untuk menegakkan diagnosis endometriosis. Cancer antigen 125 (CA-125) mungkin dapat meningkat pada kasus yang berat, tapi jarang meningkat pada kasus ringan dan sedang. USG, CT scan, dan MRI berguna pada kasus berat, misalnya pada pembentukan kista atau distorsi anatomi yang berat. IVP dan pemeriksaan kolon diindikasikan bila terjadi kelainan yang meliputi organ ekstragenital. Visualisasi langsung jaringan endometrium merupakan metode diagnosis definitif. Pada saat ini prosedur pilihan adalah laparoskopi yaitu pembedahan invasif yang minimal. Laparotomi juga dapat disebut metoda diagnosis, yang biasanya dilakukan pada penderita dengan nyeri pelvik. Pada sepuluh tahun terakhir ini wawasan baru mengenai lesi endometriosis telah disimpulkan sebagai hasil gabungan penampilan lesi melalui pemeriksaan laparoskopi, biopsi mikro, dan hasil pencitraan mikroskop elektron Umumnya lesi endometriosis dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu lesi yang tidak terlihat/halus (subtle lesions), gun shot lesions, dan lesi dengan infiltrasi dalam (deep infiltrating lesions). Lesi yang tidak terlihat merupakan vesikel kecil yang berpigmen atau tidak mengandung pigmen. Secara histologi atau pemeriksaan mikroskop elektron, lesi berbentuk polypoid atau cystically dilated endometriotic glands, mempunyai area permukaan yang kecil (<0,05 cm 2 ) dengan kedalaman infiltrasi ke peritoneum <2 mm. Lesi biasanya mengandung pigmen, walaupun terdapat pula yang tidak mengandung pigmen yang pada saat laparoskopi sering tidak terlihat. Bentuk ini diduga merupakan fokus awal penyakit yang berasal dari implantasi sel endometrium segar yang viabel. Gun-shot implants mempunyai area permukaan yang luas 1-5 cm 2 dengan kedalaman penetrasi <4 mm. Lesi berpigmen dan biasanya mengandung jaringan fibrotik, mudah dikenal pada permukaan peritoneum dan disebut powder burn atau fibrotic lesions. 10,11

23 23 Diagnosis endometriosis secara tradisional ditegakkan bila ditemukan powdwer burn lesion. Jansen telah memperlihatkan bahwa beberapa lesi dinyatakan sebagai endometriosis secara pemeriksaan histologi, disebut pula non-classical endometriosis atau endometriosis atipikal. Sampson menggunakan istilah red purple and blueberries, dan bleb-like pada pasien adolesens. Sedangkan menurut Martin diagnosis endometriosis meningkat setelah diketahui banyak variasi bentuk dari penyakit ini. Pada tahun 1986 dipakai lima tipe endometriosis atipikal, yang kemudian pada tahun 1987 dipakai 20 deskripsi yang berbeda untuk mengidentifikasi endometriosis atipikal. Secara kuantitatif didokumentasi Goldstein sekitar 20% endometriosis ptechial dan bleb-like pada pasien adolesens. Sedangkan menurut Martin diagnosis endometriosis meningkat setelah diketahui banyak variasi bentuk dari penyakit ini. 10 Pada pemeriksaan histologi ditemukan jaringan kelenjar dan stroma endometrium pada biopsi spesimen yang ditemukan di luar uterus. Kadang-kadang penemuan fibrosis dengan makrofag yang bermuatan hemosiderin dapat dianggap menunjang diagnosis The American Society for Reproductive Medicine membuat skema penderajatan berdasarkan jumlah, lokasi lesi, dan perlekatan yang terlihat saat pembedahan. Derajat 1-4, yaitu minimal, mild, moderate, dan severe, berguna untuk menentukan prognosis fungsi reproduksi, pemantauan respons terapi, dan menetukan follow-up selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang umum terjadi yang ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar rongga uterus dan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Kehamilan Ektopik Terganggu Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi diluar rongga uteri. Lokasi tersering

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr.

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan ginekologi.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Endometriosis Endometriosis merupakan penyakit yang terjadi pada masa belasan tahun sampai mencapai usia menopause, yang berarti dapat diderita sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik. adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal:

BAB I PENDAHULUAN. Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik. adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal: peritoneum panggul, ovarium

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. yang berasal dari implantasi endometriosis dan pertumbuhan jaringan. endometrium yang mencapai rongga peritoneal.

BAB I. Pendahuluan. yang berasal dari implantasi endometriosis dan pertumbuhan jaringan. endometrium yang mencapai rongga peritoneal. BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Penelitian. Endometriosis merupakan penyakit yang timbul pada 10% wanita reproduktif dan memiliki gejala nyeri pelvis, dismenorea, dan infertilitas. 1 Endometriosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Tumor jinak pelvik Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Definisi Massa pelvik merupakan kelainan tumor pada organ pelvic yang dapat bersifat jinak maupun ganas Tumor jinak pelvik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tumor ganas ovarium adalah penyebab kematian akibat tumor ginekologi yang menduduki urutan ke empat di Amerika Serikat. (1-10) Laporan statistik kanker Amerika Serikat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan pada usus besar dan rektum. Gangguan replikasi DNA di dalam sel-sel usus yang diakibatkan oleh inflamasi kronik dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. 1 Pada saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

PENGARUH DIOXIN TERHADAP ENDOMETRIOSIS Oleh : Dr Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG(K)

PENGARUH DIOXIN TERHADAP ENDOMETRIOSIS Oleh : Dr Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG(K) PENGARUH DIOXIN TERHADAP ENDOMETRIOSIS Oleh : Dr Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG(K) Abstrak Endometriosis adalah masalah ginekologi yang sering ditemui, namun penyebab pastinya belum diketahui. Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker endometrium adalah kanker paling sering pada saluran genitalia wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia setelah payudara,

Lebih terperinci

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Apakah kanker rahim itu? Kanker ini dimulai di rahim, organ-organ kembar yang memproduksi telur wanita dan sumber utama dari hormon estrogen dan progesteron

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Infertilitas dalam arti klinis didefinisikan sebagai Ketidakmampuan seseorang atau pasangan untuk menghasilkan konsepsi setelah satu tahun melakukan hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka merupakan salah satu faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dismenore adalah nyeri menstruasi seperti kram pada perut bagian bawah yang terjadi saat menstruasi atau dua hari sebelum menstruasi dan berakhir dalam 72 jam. Terkadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di Indonesia. Jumlah usia lanjut di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan merupakan penyebab kematian kedua pada wanita setelah kanker

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau tumor prostat jinak, menjadi masalah bagi kebanyakan kaum pria yang berusia di atas 50 tahun. BPH pada pria muncul tanpa ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang IMUNOLOGI TUMOR INNATE IMMUNITY CELLULAR HUMORAL PHAGOCYTES NK CELLS COMPLEMENT CYTOKINES PHAGOCYTOSIS

Lebih terperinci

Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya:

Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya: ASKEP CA OVARIUM A. Pengertian Kanker Indung telur atau Kanker ovarium adalah tumor ganas pada ovarium (indung telur) yang paling sering ditemukan pada wanita berusia 50 70 tahun. Kanker ovarium bisa menyebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

Ovarian Cysts: A Review

Ovarian Cysts: A Review Ovarian Cysts: A Review Cheryl Horlen, BCPS University of the Incarnate Word Feik School San Antonio, Texas 7/20/2010 US Pharm. 2010;35(7):HS-5-HS-8 Kista ovarium adalah penyebab umum dari prosedur bedah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 adalah insiden kardiovaskuler yang didasari oleh proses aterosklerosis. Peningkatan Agregasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik atau buruknya pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (maternal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari 14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini

BAB I PENDAHULUAN. endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Endometriosis merupakan suatu keadaaan ditemukannya jaringan endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini dideskripsikan sejak 1860 dan menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kista ovarium merupakan salah satu bentuk penyakit repoduksi yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kista ovarium merupakan salah satu bentuk penyakit repoduksi yang banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kista ovarium merupakan salah satu bentuk penyakit repoduksi yang banyak menyerang wanita. Kista atau tumor merupakan bentuk gangguan yang bisa dikatakan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulkus lambung merupakan masalah pencernaan yang sering ditemukan di masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi penduduk dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum terjadinya persalinan. KPD merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah kondisi berlebihnya berat badan akibat banyaknya lemak pada tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), di sekitar organ tubuh,

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL

SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan yang berarti apabila istri saja sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka pasangan ini tidak diperiksa.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived

Lebih terperinci

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36 vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR SINGKATAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan infertilitas. Sampel merupakan pasien rawat inap yang telah menjalani perawatan pada Januari 2012-Juli 2013. Data

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kanker ovarium berada pada urutan keempat dari seluruh kanker yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kanker ovarium berada pada urutan keempat dari seluruh kanker yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium berada pada urutan keempat dari seluruh kanker yang menyebabkan kematian pada wanita di Amerika Serikat (Xu et al. 2012). Menurut Green (2016), kanker

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara bermakna setelah 2 minggu (Harper, 2005). 75% di antaranya berada di Asia, Afrika (20%), dan Amerika Latin (5%).

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara bermakna setelah 2 minggu (Harper, 2005). 75% di antaranya berada di Asia, Afrika (20%), dan Amerika Latin (5%). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) merupakan masalah penting dalam dunia kedokteran, karena PJT dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas neonatal. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap makhluk hidup pasti melakukan aktivitas fisik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh karena adanya kontraksi otot

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Autisme adalah gangguan perkembangan yang biasanya didiagnosis awal pada masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada interaksi sosial,

Lebih terperinci

Gangguan Hormon Pada wanita

Gangguan Hormon Pada wanita Gangguan Hormon Pada wanita Kehidupan reproduksi dan tubuh wanita dipengaruhi hormon. Hormon ini memiliki fungsi yang berbeda-beda. Ada tiga hormon panting yang dimiliki wanita, yaitu estrogen, progesteron,

Lebih terperinci