FENOMENOLOGY OTONOMI KHUSUS PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Pendekatan Kualitatif Asymetrical Fiscal Decentralization Theory)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FENOMENOLOGY OTONOMI KHUSUS PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Pendekatan Kualitatif Asymetrical Fiscal Decentralization Theory)"

Transkripsi

1 FENOMENOLOGY OTONOMI KHUSUS PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Pendekatan Kualitatif Asymetrical Fiscal Decentralization Theory) Sucipto ( Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda ) Muhammad Kadafi ( Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda ) ABSTRAK SUCIPTO dan MUHAMMAD KADAFI : Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena latar belakang tuntutan otonomi khusus dan mengapa fenomena tersebut melatarbelakangi tuntutan otonomi khusus. Peneliti menggunakan alat analisis fenomenologi. Metode fenomenologi berangkat pada pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang nampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu. Tahapan yang dilakukan adalah (pertama) menentukan latar belakang tuntutan otonomi khusus, (kedua) pemahaman pemaknaan informan, (ketiga) analisis dengan kajian teori. Informan penelitian ini terdiri dari wakil eksekutif, legislative, akademisi dan masyarakat umum yang mengetahui konteks penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan : Pertama, Kekhususan Kalimantan Timur yang menjadi dasar tuntutan otsus adalah : (1) Kalimantan Timur sebagai daerah penghasil sumber daya alam, (2) Rusaknya lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, (3) Luas wilayah Kalimantan Timur dan kurangnya infrastruktur, (4) Kalimantan Timur sebagai daerah perbatasan dengan Negara tetangga, (5) Kaltim sebagai pintu gerbang Kalimantan dan perubahan konsep pembangunan Indonesia baru. Kedua, Perbedaan Aceh dengan Kalimantan Timur terlihat pada lima kekhususan hak keuangan, sedangkan perbedaan Papua dengan Kalimantan Timur terlihat empat kekhususan. Ketiga, Tuntutan otonomi khusus lebih tepat jika diatas namakan oleh rakyat kaltim diluar pemerintah provinsi, keterwakilan lembaga swadaya masyarakat, keterwakilan profesi, akademisi, bupati dan walikota, legislative kota dan kabupaten, pemerintahan desa pemerintah kabupaten dan kota. Keempat Harapan masyarakat kepada pemerintah dapat disimpulkan (1) Tuntutan otonomi khusus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, (2) Otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2001 telah memberikan dampak yang lebih baik terutama berkaitan dengan pelayanan dibidang kesehatan dan pendidikan walaupun masih pada batasan yang standar, (3) Masyarakat berharap tuntutan otonomi khusus dapat dengan segera membangun infrastruktur yang saat ini belum terselesaikan, (4) Masyarakat berharap koordinasi antara SKPD dan antar pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan pemerintah provinsi, (5) Belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah harus lebih memperhatikan skala prioritas. Keyword : Otonomi Khusus, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Asymmetrical Fiscal Decentralization JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016: Riset / 3259

2 PENDAHULUAN Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang digunakan untuk pencapaian tujuan yaitu kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan dengan menempatkan pembangunan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya dengan tujuan membuat kebijakan fiskal daerah sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah dasar hukum formal penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kedua undang-undang ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan penyelenggaraan Pempus kepada pemerintah daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pempus kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah. Tugas Perbantuan adalah penugasan dari Pempus kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Implementasinya terdapat otonomi khusus untuk provinsi tertentu seperti Aceh, Papua, Jakarta, dan status istimewa bagi Yogyakarta. Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang memunculkan terjadinya kecemburuan pada daerah lain yang mempunyai karakteristik sumber daya alam yang besar seperti Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Pola pengaturan yang tidak sebanding dalam keuangan publik disebut sebagai asymmetrical decentralization, asymmetrical devolution atau asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical intergovernmental arrangements (Wehner : 2000). Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur selama kurang lebih 8 bulan terakhir menuntut pemerintah pusat untuk memberikan otonomi khusus dengan alasan provinsi yang kaya sumber daya alam belum menikmati kekayaannya (Kumbang : 2015). Faktanya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur setiap tahunnya adalah salah satu provinsi yang tertinggi mendapatkan dana transfer (dana perimbangan) dari pemerintah pusat. Dana transfer tersebut memberikan kontribusi yang besar pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kalimantan Timur. Kondisi ini tidak sejalan dengan realiasasi penyerapan anggaran. Berita Diskominfo Kaltim bahwa penyerapan anggaran Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk tahun 2012 sebesar 85%, tahun 2013 sebesar 91%, dan tahun 2014 sebesar 92 %, tahun. Walaupun terjadi peningkatan penyerapan anggaran selama tiga tahun terakhir, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang sangat besar ini menunjukkan lemahnya perencanaan program dan impelementasi anggaran di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Rumusan Masalah Berdasarkan latar di atas rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut : 1. Fenomena apa yang melatarbelakangi tuntutan otonomi khusus di Pemerintah Provinsi Kalimantan timur? 2. Mengapa fenomena tersebut melatarbelakangi tuntutan otonomi khusus di Pemerintah Provinsi Kalimantan timur? TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu tentang otonomi daerah telah banyak dilakukan, tetapi pendekatan penelitian sebagian besar menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian tentang otonomi khusus sangat sedikit dilakukan dan sama halnya dengan penelitian tentang otonomi daerah, sebagian besar pendekatan penelitian yang dilakukan adalah dengan pendekatan kuantitatif. Wahner (2000) meneliti tentang Asymetrical Devolution Development Southern Africa, Wahner menjelaskan bahwa sejarah dan latar belakang implementasi kebijakan otonomi khusus dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat. Konflik yang muncul didalamnya, akhirnya membuat kebijakan otonomi khusus dipilih sebagai solusi. Kausar (2006) menjelaskan hal yang sama, bahwa kebijakan penerapan otonomi khusus yang diberlakukan pada daerah Papua dan Papua Barat berdasarkan konsep desentralisasi asimetris. Penerapan desentralisasi fiskal di Papua dan Papua Barat tidak simetris dibanding daerah lainnya. Kedua provinsi diberikan kewenangan khusus dalam mengelola sumber daya alam dan memperhatikan kepentingan masyarakat adat. Kebijakan tersebut diambil untuk menampung perbedaan yang mencolok kedua daerah tersebut dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Sehingga kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi gejolak politik yang timbul terhadap penentangan pemerintah pusat. Riset / 3260 JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016:

3 Penerapan desentralisasi asimetris, untuk kasus diluar terjadi di Pemerintah Pusat Spanyol yang mengatur tingkat otonomi yang berbeda pada pemerintah daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibandingan daerah lainnya. Kondisi ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis. Penerapan desentralisasi asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol (McGuire, 2002). Penerimaan dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur menjadi katalisator kemampuan APBD dalam membiayai investasi publik. Investasi publik melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik, jaringan, pendidikan dan kesehatan secara langsung akan membentuk sumber daya manusia yang berkulitas. Pendidikan tidak sekedar membentuk tenaga ahli dan terampil melainkan juga untuk menciptakan national character building. Langkah ini merupakan landasan terciptanya masyarakat yang sejahtera (Christy dan Adi, 2009). Temuan Christy dan Adi (2009) didukung oleh penelitian Sumardjoko (2014) meneliti tentang pengaruh penerimaan dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh seginifikan positif terhadap belanja modal APBD Provinsi Papua Dan Provinsi Papua Barat periode tahun Hal ini membuktikan dana otonomi khusus mampu berperan mendorong pembangunan dan penyediaan infrastruktur daerah Papua dan Papua Barat. Harapannya dapat mengurangi keterisolasian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam batas tertentu mengingat kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat kedua daerah tersebut lebih unik dibanding daerah lainnya. Hasil lain penelitian ini membuktikan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia yang berarti secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun terlihat angka urutan indeks pembangunan manusia wilayah Papua dan Papua Barat masih pada posisi urutan bawah dibandingkan dengan daerah lainnya. Hasil lain dari penelitian ini adalah belanja modal berperan sebagai variabel intervening dalam memberikan pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia, dengan nilai koefsien dari pengaruh langsung masih lebih besar dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Desentralisasi Fiskal Negara memainkan peranan penting dalam perekonomian. Peranan tersebut antara lain mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar kehidupan masyarakat pada tingkat yang layak. Depkeu RI (2004) menegaskan bahwa dengan melihat berbagai kelemahan mekanisme pasar, fungsi negara dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Fungsi Alokasi, yaitu fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana komposisi barang publik ditetapkan. 2. Fungsi Distribusi, yaitu penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin pemerataan dan keadilan. 3. Fungsi Stabilisasi, yaitu penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilisasi ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan dan kepala yang dipilih oleh rakyat, serta adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Sidik, 2002). Faktor-faktor yang menjadi pendorong desentralisasi di berbagai negara berkembang disebabkan oleh: pertama, tanda-tanda adanya disintegrasi bangsa, sehingga dengan desentralisasi sebagai jalan untuk mempersatukan negara (Lewis, 2005). Kedua, latar belakang pengalaman negara dan peranannya dalam globalisasi dunia. Ketiga, kemunduran dalam pembangunan ekonomi. Keempat, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan sebagai respon terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Tadjoedin dkk. (2001) menegaskan bahwa dengan desentralisasi diharapkan akan meningkatkan kemampuan daerah untuk mencapai suatu standar nasional minimum (A Minimum National Standard) dalam bidang kesejahteraan masyarakat yang merupakan suatu komitmen nasional yang ditetapkan dan disepakati bersama. JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016: Riset / 3261

4 Desentralisasi mempunyai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi, dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial ekonomi. Sidik (2002) menyatakan secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization), Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization), Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization), dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi fiskal sebagai perwujudan peralihan kewenangan memungut pajak dan belanja serta pemberian grants kepada level pemerintah yang lebih rendah telah menjadi tema penting dalam banyak negara saat ini (Fjeldstad, 2001). Gagasan dari desentralisasi fiskal telah menjadi trend di seluruh dunia. Di sebagian besar negara-negara Eropa belanja pemerintah lokal semakin meningkat. Pada sisi lain peningkatan pajak lokal tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Kondisi ini menjadi sebuah sinyal bahwa otonomi keuangan daerah tidak mungkin menjadi jaminan sepanjang pemerintah daerah bergantung sangat kuat terhadap grants (Friedrich et al., 2004; Chaparro et al., 2004). Enemuo (2000) dalam Fjeldstad (2001) menyatakan bahwa desentralisasi dalam negara demokratis akan menghasilkan kesesuaian yang lebih baik terhadap permintaan dan penawaran barang publik. Menjadi semakin dekat kepada masyarakat, otoritas lokal dapat lebih mudah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menyuplai bentuk dan tingkatan pelayanan publik. Pada sisi lain Prud homme (1995) mengingatkan bahwa jika pemerintah daerah mengambil kebijakan pada distribusi pendapatan dengan mengenakan pajak yang tinggi atas kekayaan dan memberikan keuntungan yang tinggi pada orang miskin. Ini akan berdampak pada orang kaya akan cenderung untuk memilih daerah yang mengenakan pajak yang rendah. Orang miskin akan berpindah dari area yang cenderung menawarkan keuntungan yang kecil. Kasus di Indonesia, dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah. Perubahan tersebut terutama dalam bidang administrasi pemerintah dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, yang dalam banyak literatur keuangan publik disebut intergovernmental fiscal relation. Sedangkan konteks Indonesia dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 disebut dengan perimbangan keuangan. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah atau secara spesifik dikenal dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Sedangkan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Yani (2002) menjelaskan bahwa prinsip dasar yang diatur dalam perimbangan keuangan yaitu pembangunan daerah, ini merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Terkait dengan kewenangan dan tanggung jawab daerah ini, maka kesiapan daerah yang didukung oleh kesiapan sumber daya manusia dan perangkat kelembagaan yang berkualitas dan representatif menjadi suatu keharusan. Konsep Transfer Pusat ke Daerah Transfer dana antar pemerintah (intergovernmental grants) adalah suatu kekhususan dan instrumen kebijakan penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Transfer dana antar pemerintah ini menjadi pokok permasalahan pada banyak diskusi secara teoritis maupun empiris. Dasar pemikiran ekonomi untuk grants antar pemerintah dibangun dari tiga kekurangan yaitu: pertama, keberadaan dari manfaat program dari pemerintah ke satu pemerintah lain. Kedua, ketidakseimbangan fiskal. Ketiga, kebutuhan yang tidak ditemui dari pemerintah daerah yang mempunyai pendapatan yang rendah (Lalvani, 2002). Bentuk grants dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, transfer tanpa syarat (unconditional grants, general purpose grants, block grants), yaitu transfer yang digunakan sesuai dengan keinginan penerima. Kedua, transfer dengan syarat (conditional grants, categorical grants, spesifik Riset / 3262 JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016:

5 purpose grants), yaitu transfer yang menempatkan berbagai pembatasan atas penggunaan oleh penerima (Depkeu, 2004). Peran dana transfer dari pusat sangatlah penting bagi pemerintah untuk menjaga atau menjamin tercapainya efisiensi dan terciptanya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Simanjuntak dalam Sidik dkk., 2002). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi keuangan dan ekonomi daerah cenderung tidak merata, sehingga perlu peran pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan antar daerah dan menjaga kesehatan keuangan pemerintah daerah. Simanjuntak dalam Sidik dkk. (2002) menyatakan bahwa transfer dana dari pusat ke daerah sangatlah dibutuhkan oleh daerah. Ini dengan alasan yaitu: pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama. Pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kedua, untuk mengatasi ketimpangan fiskal horizontal. Kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki sumber daya alam atau tidak. Tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dibandingkan dengan kapasitas fiskal (fiscal capasity) dapat menimbulkan kesenjangan (gap) fiskal yang seharusnya ditutupi dengan transfer dana dari pusat. Dua poin tersebut juga dinyatakan dalam Friedrich et al. (2004). Ketiga, kewajiban untuk menjaga standar pelayanan minimum di setiap daerah agar daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit dapat mencapai standar pelayanan tersebut. Keempat, untuk mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects). Pemerintah pusat perlu untuk memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik di daerah dapat terpenuhi. Kelima, tujuan stabilisasi pemerintah pusat. Transfer dana dapat ditingkatkan oleh pemerintah ketika aktivitas perekonomian sedang lesu, sebaliknya manakala perekonomian booming transfer dana ke daerah dikurangi. Secara garis besar transfer (grants) pemerintah pusat ke pemerintah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan yang bersifat umum dan khusus (Simanjuntak dalam Sidik dkk., 2002). Di era otonomi daerah transfer (grants) tersebut dalam wujud dana perimbangan yang terdiri dari: pertama, Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) serta penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Kedua, Dana Alokasi Umum (DAU). Ketiga, Dana Alokasi Khusus (DAK). METODE PENELITIAN Tahapan-Tahapan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Menentukan informan (responden) yang memahami konteks penelitian, yang terdiri dari perwakilan eksekutif, legislatif, akademisi dan masyarakat umum. 2. Melakukan wawancara mendalam dengan informan untuk mengetahui latar belakang tuntutan otonomi khusus Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. 3. Melakukan pemahaman pemaknaan informan terhadap latar belakang tuntutan otonomi khusus. 4. Melakukan analisis pemahaman pemaknaan informan dengan teori assimmetrycal fiscal decentralization. 5. Menyimpulkan hasil analisis pemahaman pemaknaan informan dari eksekutif, legislatif, akademisi dan masyarakat umum. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Samarinda, dimana informan yang akan diwawancarai di DPRD Provinsi, di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan di Perguruan Tinggi serta masyarakat umum. Lokasi penelitian juga akan meluas jika informan yang memahami konteks penelitian berada pada kabupaten dan kota lain. Peubah yang diamati atau diukur Analisa dilakukan terhadap pemahaman pemaknaan informan terkait dengan terhadap latar belakang tuntutan otonomi khusus dan pemahaman pemaknaan informan dibalik latar belakang tuntutan otonomi khusus. Model yang digunakan Pendekatan Kualitatif yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai latar belakang tuntutan otonomi khusus dan di balik tuntutan tersebut. Bogdan dan Tailor dalam Sukidin (2002) menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau suatu organisasi tertentu JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016: Riset / 3263

6 dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik. Rancangan Penelitian Menentukan informan (responden) yang memahami konteks penelitian, yang terdiri dari perwakilan eksekutif, legislatif, akademisi dan masyarakat Melakukan wawancara mendalam dengan informan untuk mengetahui latar belakang tuntutan otonomi khusus Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Melakukan pemahaman pemaknaan informan terhadap latar belakang tuntutan otonomi khusus dan dibalik latar belakang tuntutan tersebut. Melakukan analisis pemahaman pemaknaan informan dengan teori assimmetrycal fiscal decentralization 2. Observasi Teknik ini digunakan untuk mengamati skrip wawancara, guna melihat keterhubungan dan kesesuaian jawaban informan, pemaknaan pemahaman informan, dan lain-lainnya. 3. Dokumentasi Teknik ini digunakan untuk mempelajari buku, jurnal dan artikel ilmiah, paper yang berkaitan dengan teori assimmetrycal fiscal decentralization. Alat Analisis Alat analisis yang digunakan oleh peneliti adalah fenomenologi. Metode fenomenologi berangkat pada pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang nampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu (Campbell, 1994 dalam Sukidin, 2002). Berbeda dengan pendekatan positivisme yang mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat obyektif atas gejala yang nampak pada permukaan, sehingga metodologi ini cenderung melihat dimensi fenomena hanya pada kulitnya saja, belum mampu memahami makna di balik gejala yang tampak tersebut. A. Penentuan B. Latar Belakang Tuntutan Otonomi Pemahaman Pemaknaan Informan Menyimpulkan hasil analisis pemahaman pemaknaan informan dari eksekutif, legislatif, akademisi dan masyarakat umum Analisis Dengan Kajian Teori Gambar 1 Sistematika Analisis Membuat laporan hasil penelitian dan ringkasan untuk publikasi ilmiah Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data untuk memahami fenomenology latar belakang tuntutan otonomi khusus dan mengapa fenomena tersebut melatarbelakangi tuntutan otonomi khusus. dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Wawancara Teknik ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan informan yang memahami konteks penelitian dari pemerintahan provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Akademisi dari perguruan tinggi, dan masyarakat umum. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting tentang fenomena otonomi khusus Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur : 1. Kekhususan Kalimantan Timur yang menjadi dasar tuntutan otonomi khusus adalah sebagai berikut : a. Kalimantan Timur sebagai daerah penghasil sumber daya alam, tapi tidak sebanding dengan dana perimbangan berupa bagi hasil sumber daya alam yang diberikan pemerintah pusat. Riset / 3264 JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016:

7 b. Rusaknya lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berdampak secara fisik dan sosial bagi masyarakat. c. Luas wilayah Kalimantan Timur dan kurangnya infrastruktur. d. Kalimantan Timur sebagai daerah perbatasan dengan Negara tetangga dan memiliki banyak daerah terpencil. e. Kaltim sebagai pintu gerbang Kalimantan. Pemerintah pusat diminta untuk merubah konsep pembangunan Indonesia baru yang lebih memperhatikan pembangunan di luar pulau jawa. 2. Perbedaan Aceh dengan Kalimantan Timur terlihat pada lima kekhususan hak keuangan, sedangkan perbedaan Papua dengan Kalimantan Timur terlihat empat kekhususan. 3. Tuntutan otonomi khusus lebih tepat jika diatas namakan oleh rakyat kaltim diluar pemerintah provinsi, keterwakilan lembaga swadaya masyarakat, keterwakilan profesi, akademisi, bupati dan walikota, legislative kota dan kabupaten, termasuk pemerintahan desa adalah pihak yang tepat untuk melakukan tuntutan otonomi khusus. Terutama dukungan pemerintah kabupaten dan kota yang menerima amanat desentralisasi oleh UU No. 32 Tahun 2004, sebagai pemerintah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik. 4. Harapan masyarakat kepada pemerintah dapat disimpulkan : a. Tuntutan otonomi khusus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. b. Otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2001 telah memberikan dampak yang lebih baik terutama berkaitan dengan pelayanan dibidang kesehatan dan pendidikan walaupun masih pada batasan yang standar. c. Masyarakat berharap tuntutan otonomi khusus dapat dengan segera membangun infrastruktur yang saat ini belum terselesaikan dikarenakan keterbatasan dana. d. Masyarakat berharap koordinasi antara SKPD dan antar pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan pemerintah provinsi harus lebih optimal lagi, sehingga belanja yang dilakukan oleh pemerintah dapat efisien dan efektif. e. Belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah harus lebih memperhatikan skala prioritas, mana kebutuhan yang lebih urgen harus didahulukan, sedangkan kebutuhan yang tidak urgen dapat ditunda untuk dibiayai. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian fenomena otonomi khusus Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, saran-saran yang peneliti dapat berikan adalah sebagai berikut : 1. Kekhususan Kalimantan Timur untuk menuntut otonomi khusus memiliki dasar yang cukup kuat, pendekatan politis haruslah dilakukan untuk memperoleh otsus. 2. Tuntutan otonomi khusus seharusnya diatas namakan oleh rakyat kaltim diluar pemerintah provinsi, keterwakilan lembaga swadaya masyarakat, keterwakilan profesi, akademisi, bupati dan walikota, legislative kota dan kabupaten, termasuk pemerintahan desa. 3. Tuntutan otonomi khusus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. masyarakat berharap koordinasi antara SKPD dan antar pemerintah daerah harus lebih optimal lagi, sehingga belanja yang dilakukan oleh pemerintah dapat efisien dan efektif. Hal lainnya adalah belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah harus lebih memperhatikan skala prioritas, mana kebutuhan yang lebih urgen harus didahulukan, sedangkan kebutuhan yang tidak urgen dapat ditunda untuk dibelanjakan. DAFTAR PUSTAKA Chaparro, J.C., Smart, M., Zapata, J. G Intergovernmental Transfer and Municipal Finance in Columbia, ITP Paper Christy, A., Adi Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. Konferensi Nasional UKWMS, Surabaya. Departemen Keuangan RI Dasar-Dasar Keuangan Publik. LPKPAP-BPK, Jakarta. Diskominfo Kaltim Rusmadi Akui Terjadi Kemajuan Penyerapan Anggaran 5 Tahun Terakhir. Didownload tanggal 18 april 2015 Fjeldstad, O.H Intergovernmental Fiscal Realtion in Developing Countries. Working Paper No. 11. Friedrich, P., Kaltschuetz, A., Nam, C.W Significance and Determination of Fees For Municipal Finance. Working Paper No Joachim Wehner Asymetrical Devolution, Development Souhthern Africa. Vol 17 : No. 2 Juni JPP-UGM Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi. JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016: Riset / 3265

8 Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. JPP-UGM Desentralisasi Asimetris yang Mensejahterakan: Aceh dan Papua. Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Kadafi, Muhammad Permasalahan Keuangan Negara dan Daerah. Jurnal Eksis, Vol.8 No.2. Kausar Perjalanan Desentralisasi Di Indonesia. Lemhanas. Kumbang, Benny H. Awang Faroek Ishak Gubernur Kaltim, Otsus Kaltim Untuk Indonesia. Didownload tanggal 22 april 2015 Lalvani, M The Flypaper Effect: Evidence From India, Public Budgeting and Finance, Vol 22 : No. 3. Lewis, B.D Indonesian Local Goverment Spending, Taxing and Saving: An Explanation of Pre-and Post-decentralization Fiscal Outcome. Asian Economics Jurnal, Vol 19 : No 3. McGuire Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric Transition to Democracy. University of Illinois, Chicago. No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Prud homme, R The Dangers of Fiscal Decentralization. The World Bank Research Observer, Vol 10 : No. 2. Sidik, M., Kebijakan, Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Makalah Seminar Nasional Menciptakan Good Governance Demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Yogyakarta 20 April 2002 Sidik, M., Simanjuntak, R., Mahi, B.R., Brodjonegoro, B Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Kompas. Jakarta. Sukidin, S Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Insan Cendekia. Surabaya. Sumardjoko, Imam Pengaruh Penerimaan Dana Otonomi Khusus Terhadap Ideks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat Dengan Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening. Proceding Simposium Nasional Akuntansi di Lombok. Tadjoedin, M.H., Suharyo, W.I, Mishra, S Aspirasi terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia. Working Paper No. 1. Yani, A Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kaho, J. R Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Yogyakarta, Polgov JPP Fisipol UGM. Riset / 3266 JURNAL EKSIS Vol.12 No.1, April 2016:

ADA APA DENGAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

ADA APA DENGAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA ADA APA DENGAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA Muhammad Kadafi (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian teoritis terhadap implementasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah, Dalam UU tersebut perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota pada tahun 2012. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah mulai berlangsung. Setidaknya hal tersebut diindikasikan dengan terbentuknya pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah sebagai bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa termasuk reformasi pengelolaan pemerintahan di daerah, oleh pemerintah pusat telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daearh merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

INUNG ISMI SETYOWATI B

INUNG ISMI SETYOWATI B PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia ntuk melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru. Keinginan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia mulai memasuki babak baru dalam kehidupan bermasyarakatnya. Setelah lengsernya Presiden Soeharto dan rezim orde barunya yang bersifat otoriter

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan pasca-orde baru, pemerintah pusat tetap memainkan peranan penting dalam mendukung pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan untuk mengelola dan mengembangkan sendiri urusan rumah tangga suatu daerah dengan harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan negara yang di kelola oleh pemerintah daerah menganut sistem otonomi daerah yang telah di tetapkan oleh MPR NO XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan absolut (absolute poverty) merupakan salah satu masalah ekonomi utama yang dihadapi sebagian besar pemerintahan di dunia. Data World Bank pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tata kelola yang diselenggarakan pemerintahan secara baik dalam suatu Negara merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Pemerintah wajib menerapkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Reformasi yang bergulir tahun 1998 di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, kondisi pemerintahan cenderung dinamis. Bermunculan terobosan baru dalam pola pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Termasuk

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas sudah menjadi kewajiban yang harus

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah terjadi pada tahun 1998 yang lalu telah berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menempuh babak baru dalam kehidupan masyarakatnya dengan adanya reformasi yang telah membawa perubahan segnifikan terhadap pola kehidupan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah memberikan wewenang penuh untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan berkat di satu sisi, namun disisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi sistem pemerintahan telah dilaksanakan secara efektif di Indonesia sejak 1 Januari 2001. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat menjadi APBD adalah suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota Bandung merupakan ibu kota Jawa Barat, tentunya Kota Bandung merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat maka sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintahan sentralistis yang dijalankan sebelum masa reformasi telah melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang berlimpah di daerah banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya flypaper effect pada

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya flypaper effect pada BAB I PENDAHULUAN Bab I ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan penelitian. A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk 31 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan tuntutan daerah yang sudah lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan diselenggarakan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.

Lebih terperinci