VARIASI DIURNAL CUACA EKSTREM SELAMA PERIODE INTENSIVE OBSERVATIONAL PERIOD (IOP) 2015 (STUDI KASUS : BOGOR JAWA BARAT) DWI RAHMAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIASI DIURNAL CUACA EKSTREM SELAMA PERIODE INTENSIVE OBSERVATIONAL PERIOD (IOP) 2015 (STUDI KASUS : BOGOR JAWA BARAT) DWI RAHMAWATI"

Transkripsi

1 VARIASI DIURNAL CUACA EKSTREM SELAMA PERIODE INTENSIVE OBSERVATIONAL PERIOD (IOP) 2015 (STUDI KASUS : BOGOR JAWA BARAT) DWI RAHMAWATI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Variasi Diurnal Cuaca Ekstrem Selama Periode Intensive Observational Period (IOP) 2015 (Studi Kasus: Bogor Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Dwi Rahmawati NIM G

4 ii

5 iii ABSTRAK DWI RAHMAWATI. Variasi Diurnal Cuaca Ekstrem Selama Periode Intensive Observational Period (IOP) 2015 (Studi Kasus: Bogor Jawa Barat). Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan RENI SULISTYOWATI. Hujan lebat, badai, kekeringan, dan puting beliung merupakan fenomena cuaca ekstrim yang pernah terjadi di Indonesia. Hujan ekstrem adalah fenomena cuaca yang sering dibahas karena dapat menyebabkan kerugian dalam berbagai jenis aspek kehidupan. Proses terjadinya hujan ekstrem dapat dianalisis menggunakan kondisi atmosfer wilayah setempat dengan melakukan pengamatan udara atas. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan variasi diurnal cuaca ekstrem selama Intensive Observational Period (IOP) tahun 2015, menentukan parameter RAOB yang paling berpengaruh terhadap pembentukan hujan ekstrem, dan menjelaskan hubungan hujan di Bogor dengan banjir di DKI Jakarta. Data yang digunakan adalah Data Rawinsonde selama IOP 2015 di Bogor dari tanggal 1 sampai dengan 19 Februari 2015 dengan waktu pengamatan 00, 06, 12, 18 UTC dan Data Curah Hujan (AWS) perjam dari Stasiun BMKG Dramaga dan Citeko, Bogor. Parameter kondisi atmosfer yang perlu dikaji secara intensif untuk melakukan prediksi jangka pendek meliputi ketinggian tropopouse dengan kontribusi sebesar 50%, ketinggian puncak awan dilihat dari tinggi LFCEL dan CCLEL berturut-turut sebesar 67% dan 50%, tebal awan sebesar 67%, stabilitas atmosfer dilihat dari nilai Lifted Index (LI) dan K-Index (KI), serta besarnya kecepatan parsel udara naik ke atas (Mvv) masing-masing sebesar 83%. Kondisi angin juga mempengaruhi terjadinya hujan di suatu daerah. Saat terjadi hujan, arah angin di atmosfer bawah (dari permukaan sampai level 500 mb) tidak teratur, sedangkan saat tidak terjadi hujan arah angin di atmosfer bawah teratur. Hasil analisis menunjukkan bahwa selama IOP 2015 kondisi atmosfer tidak ekstrem, tetapi ada dua hari yaitu tanggal 9 dan 18 Februari yang cukup mendukung terjadinya hujan lebat skala lokal (setempat). Banjir besar yang terjadi di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya pada periode IOP disebabkan oleh curah hujan ekstrem lokal di DKI Jakarta dan bukan banjir kiriman dari Bogor. Kata kunci : cuaca ekstrem, kondisi atmosfer, variasi diurnal, rawinsonde, IOP

6 iv ABSTRACT DWI RAHMAWATI. The Diurnal Variation Extreme Weather Intensive Observational Period (IOP) in 2015 (Case Study: Bogor, West Java). Supervised by YON SUGIARTO and RENI SULISTYOWATI. Heavy rains, storms, droughts, and cyclones are the weather extreme phenomenon that has ever happened in Indonesia. An extreme rain is the weather phenomenon that is often discussed because it can damage of various kinds of aspects in life. The occurrence of extreme rain can be analyzed using the atmospheric conditions of the local area to conduct upper aerial surveillance. The purposes of this study are to explain the diurnal variation of extreme weather during the Intensive Observational Period (IOP) in 2015, to determine the parameters of RAOB that most influence on the formation of extreme rain, and to explain the relationship between rain in Bogor and the flood in Jakarta. The data that is used for this study are the Rawinsonde Data during IOP 2015 in Bogor from 1 until February 19, 2015 with the observation time of 00, 06, 12, 18 UTC and also rainfall data (AWS) perhour from BMKG Dramaga and Citeko Stations, Bogor. Parameter of atmospheric conditions that need to be studied intensively to predict the short term are the height tropopouse with a contribution of 50%, the height of cloud tops seen from the high LFCEL and CCLEL respectively by 67% and 50%, a thick cloud of 67%, atmospheric stability seen of the value Lifted Index (LI) and the K-Index (KI) and the magnitude of the speed of air parcels rise to the top (MVV), each for 83%. Wind conditions also affect the occurrence of rain in the area. When it rains, the wind direction in the lower atmosphere (from the surface to 500 mb level) is irregular, whereas when there is no rain in the lower atmosphere wind direction is regular. The analysis showed that during IOP 2015 atmospheric conditions are not extreme but there are two days, on 9 and 18 February sufficiently support heavy rains local scale. Major floods in Jakarta and surrounding areas in the period due to the extreme rainfall locally in Jakarta and it is not flood from Bogor. Keywords: extreme weather, atmospheric conditions, diurnal variation, rawinsonde, IOP

7 VARIASI DIURNAL CUACA EKSTREM SELAMA PERIODE INTENSIVE OBSERVATIONAL PERIOD (IOP) 2015 (STUDI KASUS : BOGOR JAWA BARAT) DWI RAHMAWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Science pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

8

9 iii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt karena atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah cuaca ekstrem, dengan judul Variasi Diurnal Cuaca Ekstrem Selama Periode Intensif Observational Period (IOP) 2015 (Studi Kasus: Bogor Jawa Barat). Terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Yon Sugiarto, S.Si, M.Si, dan Ibu Dr. Reni Sulistyowati, S.Si, M.Si, selaku pembimbing skripsi dan penguji yang banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan proposal penelitian ini. 2. Kantor Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, yang telah mengizinkan penulis menggunakan data Rawinsonde selama Periode Intensive Observational Period (IOP) Kantor Pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Kemayoran (Layanan Satu Atap dan Bagian Prediksi Cuaca) yang telah membantu dalam pembuatan peta sebaran curah hujan Jabodetabek selama Periode Intensive Observational Period (IOP) Keluarga besar D. Soedjitno terutama Ibu, Bapak, Mas Arie, Mbah Puteri, Mbah Kakung yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materiil sampai saat ini. 5. Kak Anita Aprillia, S.Si, selaku editor skripsi, sahabat bermain, dan tempat diskusi dalam segala hal. 6. Seluruh teman-teman dan sahabat GFM 49, kakak dan adik kelas GFM, sahabat Lingkaran Cinta, Kostan Wisma Andaleb 2, Group Mr. Yon Squad, BEM TPB 49 Kabinet Inspirasi, BEM FMIPA Kabinet Nitrogen, BEM KM IPB 2016 Kabinet Ayo Gerak, CCG, Rumah MIPA, GDA 49, IGTF Bangli 2015 atas persaudaraan, kasih sayang, kebersamaan, dan pembelajaran serta dukungannya. 7. Pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah memberikan balasan-nya. Skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu mohon saran dan kritikannya demi perbaikan ke depannya. Semoga proposal penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lainnya. Bogor, Januari 2017 Dwi Rahmawati

10 iv DAFTAR ISI DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR v DAFTAR LAMPIRAN v PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Parameter Cuaca 3 Tinjauan Umum Daerah Kajian 7 Program Rawinsonde Observation Program (RAOB) 9 METODE 14 Waktu dan Tempat 14 Alat dan Bahan 15 Prosedur Analisis Data 15 HASIL DAN PEMBAHASAN 17 Kondisi Umum Bogor Selama Intensive Observational Period (IOP) 17 Perbandingan Kondisi Waktu Hari Hujan dengan Waktu Hari Tidak Hujan 30 SIMPULAN DAN SARAN 35 Simpulan 35 Saran 36 DAFTAR PUSTAKA 36 LAMPIRAN 40 RIWAYAT HIDUP 46

11 v DAFTAR TABEL 1. Kriteria intensitas curah hujan di wilayah Indonesia 3 2. Ketidakstabilan atmosfer berdasarkan nilai CAPE Skala kandungan embun (moisture content) berdasarkan nilai TPW Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI Peluang massa udara thunderstorm berdasarkan nilai KI Kecepatan maksimum naiknya parsel udara berdasarkan nilai Mvv Daftar data yang digunakan dalam penelitian Perbandingan kondisi atmosfer saat hari hujan, hari tidak hujan dan kondisi ekstrem (sample) Perbandingan kondisi atmosfer sebelum hari hujan tanggal 8, 9 dan 18,19 Februari Peluang kontribusi parameter RAOB terhadap pembentukan hujan 33 DAFTAR GAMBAR 1. Kondisi atmosfer stabil 4 2. Kondisi atmosfer tidak stabil mutlak 5 3. Kondisi atmosfer tidak stabil bersyarat 5 4. Penjelasan LFC, LCL dan CAPE pada Aerological Diagram Peta lokasi stasiun BMKG Dramaga, Bogor dan stasiun BMKG Citeko, Bogor (Google Earth) Pola time series curah hujan (AWS) di Citeko dan Dramaga selama IOP Variasi diurnal curah hujan (AWS) di Citeko selama IOP 2015 Variasi diurnal curah hujan (AWS) di Dramaga selama IOP Rata-rata variasi diurnal curah hujan (AWS) di Citeko dan Dramaga selama IOP Pola time series tinggi tropopouse Pola time series puncak awan dilihat dari CCLEL dan LFCEL serta pola variasi diurnal puncak awan dari CCLEL dan LFCEL Pola time series level konvektif bebas (LFC), dasar awan konvektif (CCL), tinggi dasar awan (LCL), pola variasi diurnal LFC, CCL dan LCL Pola time series indeks stabilitas atmosfer (LI), peluang massa udara thunderstorm (KI), energi yang tersedia untuk pengangkatan massaudara (CAPE), pola variasi diurnal LI, KI, CAPE Pola time series kecepatan parsel udara bergerak naik (Mvv), pola variasi diurnal kecepatan parsel udara bergerak naik (Mvv) 27

12 vi 14. Pola time series kandungan uap air di udara (TPW), pola variasi diurnal kandungan uap air di udara (TPW) Profil sebaran angin saat hujan dan tidak hujan Peta sebaran hujan wilayah Jabodetabek tanggal 8-9 Februari 2015 dan tanggal 9-10 Februari Peta sebaran hujan wilayah Jabodetabek tanggal Februari 2015 dan tanggal Februari DAFTAR LAMPIRAN 1. Diagram alir prosedur penelitian Parameter keluaran software RAOB Data rata-rata variasi diurnal curah hujan (AWS) di Citeko selama IOP Data rata-rata variasi diurnal curah hujan (AWS) di Dramaga selama IOP Tampilan software RAOB saat kondisi hari hujan Tampilan software RAOB saat kondisi hari tidak hujan Proses diurnal cycle Jabodetabek 45

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Cuaca ekstrem adalah fenomena cuaca yang mempunyai potensi menimbulkan bencana, menghancurkan tatanan kehidupan sosial, atau yang menimbulkan korban jiwa manusia. Fenomena cuaca ekstrem seperti hujan ektrem, badai, kekeringan, puting beliung, merupakan fenomena cuaca yang pernah terjadi di Indonesia. Hujan ekstrem atau hujan badai (thunderstorm) merupakan kejadian hujan yang terjadi relatif spontan tanpa bergantung pada kondisi musim yang terjadi. Hujan ekstrem umumnya terjadi dalam waktu yang relatif singkat (2-3 jam), dengan jumlah curah hujan yang cukup tinggi pada periode tersebut. Salah satu akibat dari hujan ekstrem adalah terjadinya banjir besar di DKI Jakarta tanggal 9 Februari Harahap (2015) melaporkan terdapat 21 kelurahan yang terkena banjir. Jumlah ini meningkat dibanding hari sebelumnya yang merendam 19 kelurahan. Swarinoto (2015) menyebutkan bahwa banjir di wilayah DKI Jakarta tersebut disebabkan adanya curah hujan yang tinggi. Khusus untuk wilayah Jabodetabek, kejadian hujan ekstrem umumnya lebih bersifat local dan tidak merata. Banyak opini yang berpendapat bahwa setiap kejadian banjir yang terjadi di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya merupakan banjir kiriman dari daerah Bogor. Hal ini harus didukung oleh analisis kondisi atmosfer wilayah setempat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait cuaca ekstrem di Jabodetabek khususnya Bogor dan DKI Jakarta selama periode IOP serta sekaligus membuktikan apakah benar banjir besar yang sering melanda DKI Jakarta dan sekitarnya merupakan banjir kiriman dari Bogor. Kondisi atmosfer dapat dianalisis dengan melakukan pengamatan udara atas menggunakan pilot balon, radiosonde, rawinsonde (radiosonde yang mengamati parameter angin), radar dan satelit (Miller & Thompson 1979; Hsu 1988). Alat yang biasanya digunakan untuk melakukan pengamatan adalah radiosonde atau rawinsonde.

14 2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan variasi diurnal cuaca ekstrem selama Intensive Observational Period (IOP) tahun Menentukan parameter Rawinsonde Observation Program (RAOB) yang paling berpengaruh terhadap pembentukan hujan ekstrem. 3. Menjelaskan hubungan hujan di Bogor dengan banjir di DKI Jakarta selama Intensive Observational Period (IOP) tahun Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat melakukan prediksi terhadap kejadian cuaca ekstrem dengan periode singkat, sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh fenomena ini dapat diminimalisir. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini yaitu mengetahui variasi diurnal cuaca ekstrem selama Intensive Observational Period (IOP) tahun 2015 melalui analisis keluaran Software Rawinsonde Observation Program (RAOB) pada empat waktu yang berbeda yaitu 00 UTC, 06 UTC, 12 UTC, dan 18 UTC dengan membandingkan kondisi waktu hari hujan dan waktu hari tidak hujan. TINJAUAN PUSTAKA Cuaca ekstrem adalah kondisi cuaca yang sangat jarang terjadi, mengandung resiko bencana, dan parameter yang diukur nilainya sangat besar atau sangat kecil (misalnya pada curah hujan dan temperatur). Contoh, temperatur di Bandung biasanya sekitar C, dan jika suatu malam suhunya mencapai -2 C hingga terjadi salju, atau tiba-tiba di siang hari suhunya mencapai 37 C, maka kondisi tersebut dapat dikatakan cuaca ekstrem. Hujan lebat terjadi karena besarnya dan banyaknya awan konvektif yang tumbuh di langit Indonesia. Letak Indonesia berada di garis ekuator, hal ini menyebabkan Indonesia menerima banyak radiasi matahari dengan waktu yang lama sehingga terjadi pemanasan yang sangat intensif. Jumlah penguapan yang besar menjadikan awan konvektif sangat mudah untuk tumbuh. Jadi, hujan lebat

15 3 adalah kejadian normal di negara Indonesia. Hujan tersebut dapat dikatakan dalam cuaca ekstrem atau tidak, tergantung pengukuran curah hujan yang dilakukan di wilayah observasi. Hasil pengukuran tersebut diamati dan dibandingkan dengan data curah hujan yang biasa terjadi (meteo.itb.ac.id). Parameter Cuaca Curah Hujan Syarat-syarat terjadinya hujan yaitu adanya kenaikan massa udara (turbulensi, konvergensi, konveksi, dan orografi) yang mengandung uap air, kemudian menjadi dingin dan terkondensasi. Proses kondensasi adalah fase di mana uap air pada fase gas akan berubah menjadi air. Besarnya kelembaban udara akan berbanding lurus dengan laju pertumbuhan awan, akan tetapi kondisi kelembaban udara yang tinggi, belum tentu mengakibatkan pertumbuhan awan. Hal ini disebabkan proses pembentukan awan memerlukan kondisi udara yang jenuh. Faktor lain yang penting dalam pertumbuhan awan adalah jenis dan ukuran aerosol yang tersedia di atmosfer (Tjasyono 2004). Aerosol memiliki peranan sebagai inti kondensasi awan. Inti kondensasi awan mempercepat udara menjadi jenuh dan mempercepat pembentukan awan. Butir-butir air yang kecil makin membesar karena proses kondensasi yang terus berlangsung dan saling menyatu antar partikel air lainnya selama terbawa oleh udara yang bersirkulasi naik turun (turbulen), sampai ukurannya cukup besar. Adanya pengaruh gaya gravitasi mengakibatkan butir-butir air ini jatuh sebagai hujan (Giyarto 2013). Ada beberapa kriteria dalam penentuan tingkat intensitas curah hujan di wilayah Indonesia sebagai berikut: Tabel 1 Kriteria intensitas curah hujan di wilayah Indonesia Kategori Ringan Sedang Lebat Sangat Lebat Sumber: (data.bmkg.go.id) Keterangan 1-5 mm/jam atau 5-20 mm/hari 5-10 mm/jam atau mm/hari mm/jam atau mm/hari >20 mm/jam atau >100 mm/hari Stabilitas Atmosfer Stabilitas atmosfer adalah kondisi yang menunjukkan kecenderungan parsel udara bergerak naik atau turun. Stabilitas atmosfer berkaitan dengan sifat fisis atmosfer yang mengandung perhitungan termodinamika atmosfer serta keberadaan uap air di atmosfer. Faktor utama stabilitas atmosfer adalah

16 4 hubungan suhu dengan ketinggian. Tingkat di mana suhu bervariasi terhadap ketinggian disebut laju surut. Laju surut mempunyai pengaruh yang signifikan pada gerak vertikal udara. Mekanisme udara dipindahkan secara vertikal terikat pada konsep laju surut adiabatik (Fritz 2003). Stabilitas atmosfer memungkinkan untuk mengetahui kecenderungan gerakan vertikal dari suatu massa udara di atmosfer. Perbedaan-perbedaan kecil dalam gerakan vertikal tersebut dapat memprakirakan pembentukan awan-awan konvektif, hujan atau pun wilayah bertekanan rendah (Pawitan 1989). Kondisi udara tidak stabil memungkinkan terbentuknya awan khususnya awan vertikal dan biasanya menimbulkan cuaca buruk. Sebaliknya kondisi udara stabil akan menimbulkan cuaca yang cerah (Prawirowardoyo 1996). Ahrens dalam "Essential of Meteorology menjelaskan tingkat stabilitas atmosfer yaitu dengan cara membandingkan laju penurunan lingkungan (γ) dengan laju penurunan adiabatik kering (γd) dan adiabatik jenuh (γs). Berdasarkan penjelasan tersebut diperoleh 3 keadaan yaitu 1. γd > γs > γ, Keadan Stabil Mutlak Gambar 1 Kondisi atmosfer stabil Sumber: ( Kondisi udara stabil terjadi jika suhu parsel udara lebih dingin dibandingkan suhu lingkungannya. Kondisi ini menyebabkan parsel udara menjadi lebih berat sehingga tidak dapat bergerak naik secara vertikal. Jika dipaksa naik oleh faktor lain, maka parsel udara tersebut akan mengembang secara horizontal. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk akan melebar berupa lapisan awan tipis, sehingga jenis awan yang terbentuk pada kondisi atmosfer stabil adalah cirrostratus, altostratus, nimbostratus, atau stratus.

17 5 2. γ > γd > γs, Keadaan Tidak Stabil Mutlak Gambar 2 Kondisi atmosfer tidak stabil mutlak Sumber: ( Kondisi udara tidak stabil terjadi jika suhu parsel udara lebih panas dibandingkan suhu lingkungannya. Kondisi ini menyebabkan parsel udara menjadi lebih ringan sehingga dapat bergerak naik secara vertikal. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk akan menjulang tebal ke atas, sehingga jenis awan yang terbentuk pada kondisi atmosfer tidak stabil adalah jenis awan comulus, comulonimbus (Cb). 3. γd > γ > γs, Keadaan Tidak Stabil Bersyarat Gambar 3. Kondisi atmosfer tidak stabil bersyarat Sumber: ( Kondisi udara tidak stabil bersyarat terjadi jika laju penurunan suhu lingkungan lebih besar dibandingkan laju adiabatik kering tetapi lebih kecil dari adiabatik jenuh. Artinya, pada lapisan ini stabil untuk udara tidak jenuh tetapi tidak stabil untuk udara jenuh. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk ada dua jenis yaitu horizontal dan menjulang tebal ke atas, sehingga jenis awan yang terbentuk pada kondisi atmosfer tidak stabil adalah jenis awan cirrostratus, altostratus, nimbostratus, atau stratus dan awan jenis comulus, comulonimbus (Cb).

18 6 Kelembaban Udara Kelembaban udara relatif atau relative humidity (U) adalah perbandingan (dalam persen) antara tekanan uap yang teramati dengan tekanan uap jenuh (untuk kondisi air atau cair) pada suhu dan tekanan udara yang sama. Secara umum relative humidity (RH) merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan jumlah uap air yang ada di udara dan dinyatakan dalam persen dari jumlah uap air maksimum dalam kondisi jenuh. Data kelembaban udara relatif yang selalu diamati dan dilaporkan pada sandi sinoptik merupakan hasil perhitungan suhu termometer bola kering dan basah (Fadholi 2012). Kelembaban udara dapat dinyatakan dalam beberapa cara antara lain mixing ratio, kelembaban mutlak, kelembaban relatif, kelembaban spesifik, suhu titik embun, dan tekanan uap air. Ketika kelembaban udara tinggi maka kandungan uap air di udara banyak atau dapat dikatakan sudah mendekati kondisi jenuh. Semakin besar kandungan uap air di udara maka potensi terbentuknya butir-butir air akibat adanya pengembunan uap air tersebut juga semakin besar sehingga potensi terbentuknya awan dan hujan akan semakin besar pula (Rohmawati 2009). Pengangkatan Massa Udara Pengangkatan masa udara ada dua macam yaitu pengangkatan udara secara mekanik dan termal. Pengangkatan masa udara secara mekanik merupakan pengangkatan masa udara karena paksaan misalnya adanya halangan berupa gunung, biasanya disebut pengangkatan orografik. Pengangkatan secara termal merupakan pengangkatan massa udara karena adanya pemanasan di permukaan. Pemanasan terhadap permukaan akan menyebabkan kondisi atmosfer tidak stabil dan terjadi pengangkatan massa udara ke atas, biasanya disebut pengangkatan konvektif. Pengangkatan udara secara konvektif ini merupakan pengangkatan yang umum terjadi. Pengangkatan massa udara ini berperan dalam membawa parsel udara naik sehingga dapat membentuk awan jenis cumuli (Rohmawati 2009). Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan aliran udara yang bergerak secara horizontal. Arah angin ditunjukkan dengan arah asal angin bukan arah tujuan angin. Arah angin dinyatakan dalam derajat atau langsung, misalnya utara, barat, timur, dan seterusnya. Biasanya angin yang mengindikasikan musim hujan di Indonesia bagian selatan ekuator adalah angin muson barat atau barat daya. Kecepatan angin merupakan salah satu unsur angin yang biasanya dianalisis. Satuan yang digunakan biasanya meter per sekon (m/s) atau knot. Menurut Aldrian (2000) kecepatan angin akan mempengaruhi pembentukan awan konvektif, jika kecepatan anginnya tinggi maka akan menghalangi pembentukan awan konvektif sedangkan jika kecepatan anginnya rendah maka

19 7 akan menyebabkan terjadinya gangguan lokal. Selain itu, angin berperan dalam memindahkan awan dari tempat pembentukannya, sehingga terkadang hujan tidak jatuh di tempat pembentukan awannya melainkan di tempat lain. Tinjauan Umum Daerah Kajian Wilayah Bogor 1) Kecamatan Dramaga Kondisi Geografis Kecamatan Dramaga terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah Ha. Sebagaian tanahnya yaitu seluas 972 Ha digunakan untuk sawah, 1145 Ha lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 Ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga mempunyai batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah Selatan dengan Kecamatan Tamansari atau Ciomas, sebelah Barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah Timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Jarak Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 180 km, dan dari ibukota negara Indonesia 60 km. Kecamatan Darmaga terdiri dari 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT, dan Kepala Keluarga (damandiri.or.id). Kondisi Klimatologis Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor termasuk dalam iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan curah hujan tahunan mm/tahun. Suhu rata-rata 20º-30ºC, dengan rata-rata tahunan 25ºC, kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah dengan rata-rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146 mm/bulan (profilbogorkab 2012). Kecamatan Dramaga terletak di dekat kaki Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango sehingga sering terjadi hujan orografis. Hujan orografis ini terjadi di sisi atas angin pegunungan dan disebabkan oleh gerakan udara lembab dari Laut Jawa yang membawa banyak uap air masuk ke pedalaman berskala besar yang melintasi pegunungan, lalu naik secara orografis di wilayah Bogor sehingga uap air langsung terhalang oleh Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango sehingga uap air tersebut terkondensasi dan menjadi hujan. Kelembaban udara tidak ada karena pengangkatan orografis, meninggalkan udara yang lebih kering di sisi bawah angin yang menurun dan menghangatkan serta menjadi tempat pengamatan bayangan hujan (profilbogorkab 2012).

20 8 2) Kecamatan Cisarua Kondisi Geografis Secara geografis, Kecamatan Cisarua terletak di Selatan wilayah Bogor pada LS dan BB. Secara administratif Kecamatan Cisarua terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan, 32 dusun, 73 RW, dan 260 RT, dengan luas wilayah 6.373,62 Ha. Batas wilayah kerja Kecamatan Cisarua yaitu sebelah utara Kecamatan Megamendung, sebelah selatan adalah Kabupaten Cianjur, sebelah barat Kecamatan Megamendung, dan sbelah timur adalah Kabupaten Cianjur. Berdasarkan karakteristik wilayah, Kecamatan Cisarua termasuk ke dalam kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncar) yang dilalui Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Huku yang merupakan wilayah khusus dalam penanganan dan dalam pengembangannya. Kecamatan Cisarua merupakan wilayah pertanian, perkebunan, pariwisata, dan daerah penyangga kawasan hutan lindung (kecamatancisarua.bogorkab.go.id). Kondisi Klimatologis Secara klimatologi, wilayah Kecamatan Citeko termasuk dalam iklim tropis sangat basah. Berdasarkan data Stasiun Citeko suhu di kecamatan Citeko antara 16 C-27 C dan rata-rata 21 C. Suhu udara tertinggi 27 C terjadi pada bulan Oktober dan terendah 16 C pada bulan Agustus. Kelembaban udara rata-rata 84% dan kelembaban maksimum terjadi pada bulan Oktober. Kecepatan angin rata-rata 1,9 m/detik, dengan kecepatan minimum 1,2 m/detik. Besarnya evapotranspirasi tahunan mm dengan rata-rata bulanan sebesar 43 mm. Bulan basah berlangsung pada bulan Maret sampai dengan Oktober, dan bulan kering terjadi pada bulan Nopember sampai dengan Pebruari. Wilayah Citeko memiliki curah hujan yang tinggi dengan bulan basah lebih besar daripada bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi di wilayah Tugu Utara (Gunung Mas) sebesar mm/tahun, dan terendah di wilayah Katulampa (wilayah Ciawi dan sekitarnya) mm/tahun, sedangkan wilayah tengah (Megamendung dan sekitarnya) curah hujannya menengah antara mm/tahun. Rata-rata curah hujan bulanan tinggi berlangsung antara bulan Oktober sampai dengan April. Curah hujan menurun dan terendah pada bulan Juli dan Agustus (konservasidasciliwung.files). Wilayah DKI Jakarta Kondisi Geografis Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6 o 12 Lintang Selatan dan 106 o 48 Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata tujuh meter di atas permukaan laut. Berdasarkan SK Gubernur

21 9 Nomor 171 tahun 2007, luas wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah 7.639,83 km², dengan luas daratan 662,33 km² (termasuk 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu) dan luas lautan 6.977,5 km 2. Dalam struktur wilayah administrasi, Jakarta mengalami pemekaran wilayah pada tahun 2001 yakni dari lima kotamadya menjadi satu kabupaten administrasi dan lima kota administrasi. Wilayah Administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima wilayah kota Administrasi dan satu Kabupaten Administrasi, yakni kota Jakarta Selatan dengan luas daratan 141,27 km 2, Jakarta Timur dengan luas daratan 188,03 km 2, Jakarta Pusat dengan luas daratan 48,13 km 2, Jakarta Barat dengan luas daratan 129,54 km 2 dan Jakarta Utara dengan luas daratan 146,66 km 2, serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas daratan 8,70 km 2 (eprints.undip.ac.id). Kondisi Klimatologis DKI Jakarta beriklim tropis, dengan karakteristik musim penghujan rata-rata pada bulan Oktober hingga Maret dan musim kemarau pada bulan April hingga September. Cuaca di kawasan Jakarta dipengaruhi oleh angin laut dan darat yang bertiup secara bergantian antara siang dan malam. Suhu udara harian rata-rata di daerah pantai umumnya relatif tidak berubah, baik pada siang maupun malam hari. DKI Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 33 C-34, C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 24 C-25 C pada malam hari. Perbedaan suhu antara musim hujan dan musim kemarau relatif kecil. Hal tersebut dikarenakan perubahan suhu udara di kawasan Jakarta tidak dipengaruhi oleh musim, melainkan oleh perbedaan ketinggian wilayah. Menurut data BPS DKI Jakarta curah hujan sepanjang tahun 2013 sebesar mm/tahun, dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73%-78% dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 m/s-2,5 m/s (jakarta.go.id). Program Rawinsonde Observation Program (RAOB) Rawinsonde Observation Program (RAOB) dapat digunakan untuk melakukan analisis kondisi atmosfer. Program ini mampu menampilkan puluhan indeks atmosfer, menganalisis sounding serta membuat berbagai diagram sounding. RAOB telah digunakan dalam berbagai penelitian antara lain oleh Witsaman, Kim dan Lee, Nordstrom, Brothers dan lainnya. Witsaman (2005) meakukan penelitian tentang penggunaan data sinoptik udara atas untuk memperbaiki prediksi cuaca. Kim dan Lee (2006) melakukan studi Mesoscale Convective System (MCs) dengan hujan lebat di Semenanjung Korea. Nordstrom (2007) melakukan investigasi karakteristik termodinamika

22 10 dihubungkan dengan tornado siklon tropis. Brothers (2008) melakukan prediksi konveksi pada musim panas di sebelah barat Dakota Utara. Hasil keluaran yang ditampilkan oleh program RAOB salah satunya berupa diagram. Diagram yang ditampilkan oleh program RAOB ada tiga jenis yaitu diagram skew-t/log-p, emagram, dan tephigram. Diagram yang digunakan dalam penelitian ini adalah skew-t/log-p karena memberikan hasil terbaik pada lapisan sounding dari permukaan sampai level 100 mb. Selain itu menurut Haby (2006h) diagram tersebut bisa menaksir ketidakstabilan atmosfer, melihat unsur cuaca tiap lapisan di atmosfer dan menentukan karakter cuaca buruk. Terdapat beberapa parameter keluaran program RAOB 5.7 yang terkait dengan analisis kondisi atmosfer. Lebih lanjut akan dijelaskan di bawah ini. TROP [v] (Tropouse Level atau Ketinggian Tropopouse) Tropopause merupakan lapisan pembatas antara troposfer atas dengan stratosfer bawah. Tropopause mempunyai ketinggian yang bervariasi, di sekitar ekuator tingginya mencapai 16 km sedangkan di sekitar kutub tingginya hanya 8 km. Tropopause dicirikan dengan tidak adanya penurunan maupun kenaikan suhu udara (isotermal). Semakin tinggi tropopause menandakan semakin tinggi puncak awan yang bisa dicapai. Ketika puncak awan tinggi maka potensi volume awan lebih besar dan potensi hujan juga semakin besar. CCL (Convective Condensation Level) CCL merupakan level atau ketinggian parsel udara naik secara adiabatik jika mendapat pemanasan yang cukup dari bawah sampai mulai berkondensasi. Menurut Haby (2006a), level ini biasanya digunakan untuk mengidentifikasi ketinggian dasar awan bentuk cumuli. LFC (Level of Free Convection) LFC merupakan level parsel udara yang dapat bergerak sendiri tanpa bantuan energi dari luar. Level ini merupakan batas bawah dari daerah CAPE atau Convective Available Potential Energy di troposfer. Pada level ini suhu parsel sama dengan suhu lingkungan. LFC dapat digunakan dalam memprediksi kemungkinan konveksi (Haby 2006d; Subarna & Satiatli 2006).

23 11 Gambar 4 Penjelasan LFC, LCL, EL dan CAPE pada Aerological Diagram EL (Equilibrium Level) EL digunakan untuk mengidentifikasi puncak awan konvektif khususnya thunderstorm. Level ini merupakan batas atas daerah CAPE di atmosfer. Menurut Haby (2006b) EL di definisikan dalam dua cara LFCEL (EL yang dimulai dari LFC) dan CCLEL (EL yang dimulai dari CCL). LCL (Lifting Condensation Level) LCL adalah level parsel udara yang menjadi jenuh setelah mengalami pengangkatan secara adiabatik kering. Pengangkatan parsel udara ini disebabkan oleh adanya pengangkatan secara mekanik (topografi, konvergen, dan front). Berdasarkan Wallace dan Hobbs (1977) pada saat LCL nilai Relative Humidity adalah 100%. CAPE (Convective Available Potential Energy) CAPE merupakan jumlah energi yang dimiliki oleh suatu parsel udara jika diangkat secara vertikal pada jarak tertentu di atmosfer. CAPE juga dapat menggambarkan adanya bouyancy positif dari parsel udara. Nilai CAPE digunakan sebagai indeks stabilitas atmosfer karena dengan meningkatnya nilai CAPE umumnya dapat menyebabkan konveksi semakin kuat (Fadholi 2012). CAPE adalah area di mana suhu parsel udara lebih panas dari pada lingkungannya. Area tersebut menunjukkan jumlah energi yang tersedia oleh parsel udara untuk bergerak naik ke atas. CAPE dinyatakan dalam satuan (J/Kg). Berikut adalah formula untuk mengetahui nilai CAPE secara manual : CAPE = ( ) dengan Zn = Ketinggian lapisan LFCEL, Zf = Ketinggian lapisan LFC, Tv parcel = Virtual temperature parsel udara, Tv env = Virtual temperature lingkungan, g = Gaya gravitasi bumi (9.8 m/s2).

24 12 Tabel 2 Ketidakstabilan atmosfer berdasarkan nilai CAPE (NWSFO 2008) No. Nilai CAPE Ketidakstabilan atmosfer 1 <1000 Lemah Sedang 3 >2500 Kuat TPW ( Total Precipitable Water) Total Precipitable Water (TPW) adalah jumlah kandungan massa uap air dalam kolom udara yang bisa diendapkan atau turun sebagai presipitasi jika semua uap air tersebut mengembun. Haby (2006f) menyatakan babwa semakin tinggi suhu titik embun maka semakin besar juga nilai TPW. Menurut Syaifullah (1998) nilai TPW menggambarkan potensi uap air yang bisa menjadi awan-awan potensial. Tabel 3 Skala kandungan embun (moisture content) berdasarkan nilai TPW (Haby 2006f) No. Nilai TPW Kandungan Embun (mm) (Moisture Content) 1 <12.7 Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 5 >50.8 Sangat Tinggi LI (Lifted Index) LI adalah perbedaan suhu parsel udara yang bergerak naik secara adiabatik dengan suhu lingkungannya yang terjadi pada tekanan udara 500 mb di atmosfer, dan nilai ini menjelaskan stabilitas troposfer bawah. Nilai LI mengindikasikan potensi terjadinya thunderstorm (NWSFO 2008). Lifted Indeks (LI) dihitung dari perbedaan antara suhu observasi pada lapisan 500 mb dan suhu parsel udara yang diangkat dari lapisan dekat permukaan sampai lapisan 500 mb. Semakin tidak stabil suatu lingkungan, maka semakin negatif nilai LI. Berikut adalah formula untuk mengetahui nilai LI secara manual LI = T 500 Tp 500 dengan T = temperatur lingkungan, Tp = temperatur parsel (terangkat dari permukaan sampai 500 mb).

25 13 Tabel 4 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI (Haby 2006f) No. Nilai LI Stabilitas Atmosfer 1 Nilai positif Stabil 2 0 sampai -4 Tidak stabil marginal 3-4 sampai -7 Tidak stabil kuat 4 <= -8 Tidak stabil ekstrem KI (K-Index) Haby (2006c) menyatakan bahwa indeks ini bisa digunakan sebagai penduga gerak konvektif massa udara. K Indeks (KI) merupakan indeks yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses konvektif dan hujan deras. KI menghitung distribusi vertikal dari kelembaban dan suhu. Untuk menentukan KI tidak harus menggunakan diagram Skew-T. Perhitungannnya cukup sederhana, dihitung dari suhu pada lapisan 850, 700 dan 500 mb dan dewpoint pada lapisan 850 dan 700 mb. Semakin tinggi kelembaban dan semakin besar perbedaan suhu antara lapisan mb, maka semakin besar nilai KI dan potensi terjadinya konveksi. Berikut adalah formula untuk mengetahui nilai KI secara manual: KI = T T Td 850 (T 700 Td 700 ) dengan T 500, T 700, T 850 = suhu udara di lapisan 500, 700, dan 850 mb dan Td 700, Td 850= suhu parsel di lapisan 500 mb (diangkat dari permukaan). Tabel 5 Peluang massa udara thunderstorm berdasarkan nilai KI (NWSFO 2008) No. Nilai KI Peluang Massa Udara Thunderstorm 1 < 15 Mendekati 0% < 20% % % % % 7 >40 >90% Mvv (Maximum Vertical Velocity) Mvv merupakan nilai yang menunjukkan besarnya kecepatan naik maksimum parsel udara. Semakin tinggi nilai Mvv maka semakin besar pembentukan awannya.

26 14 Tabel 6 Kecepatan maksimum naiknya parsel udara berdasarkan nilai Mvv (Haby 2006g) No. Nilai Mvv Kecepatan Maksimum Naiknya Parsel Udara 1 < 40 Biasa Kuat Sangat kuat 4 > 81 Ekstrem Parameter-parameter tersebut mewakili kondisi yang dibutuhkan agar terjadi hujan yaitu kondisi atmosfer tidak stabil, kondisi uap air di udara yang tinggi, pengangkatan massa udara yang intensif,. Ketidakstabilan atmosfer dapat dilihat dari CAPE, LI, KI, dan LCL. Kondisi uap air dapat dilihat dari TPW. Sedangkan pengangkatan massa udara dapat dilihat dari Mvv (Gaffin & Hortz 2006; Kim & Lee 2006; Brothers 2008; Choir & Zakir 2008). METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dengan mengambil daerah kajian Bogor dan DKI Jakarta. Periode kajian adalah dari tanggal 1 sampai dengan 19 Februari Pengambilan dan pengolahan data dilakukan pada bulan Februari-Agustus 2016 di Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong, Tangerang Selatan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Thamrin, Jakarta Pusat serta Laboratorium Agrometeorologi, Institut Pertanian Bogor. Gambar 5 Peta lokasi stasiun BMKG Dramaga, Bogor dan stasiun BMKG Citeko, Bogor (Google Earth)

27 15 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software RAOB (Rawinsonde Observation Program) versi 5.7, Microsoft Office Excel, Microsoft Office Word. Data yang digunakan untuk analisis kondisi atmosfer di Kota Bogor adalah data rawinsonde hasil dari pengamatan yang dilakukan oleh BPPT. Perincian data yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 7 Daftar data yang digunakan dalam penelitian No. Nama Data Sumber 1. Data Rawinsonde selama IOP 2015 wilayah Kantor Pusat BPPT Bogor dari tanggal 1 sampai dengan 19 Serpong, Tangerang Februari Titik pengamatan 00, 06, 12, Selatan dan BPPT 18 UTC Thamrin, Jakarta Pusat 2. Data curah hujan (AWS) perdetik wilayah Bogor dari tanggal 1 sampai dengan 19 Februari 2015 BMKG Dramaga, dan BMKG Citeko, Bogor Prosedur Analisis Data Analisis Pola Time Series Curah Hujan di Kota Bogor Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pola curah hujan; pola curah hujan perjam, variasi diurnal curah hujan dan rata-rata variasi diurnal curah hujan di Citeko dan Dramaga selama IOP. Data yang digunakan adalah data curah hujan Automatic weather station (AWS) dari stasiun BMKG Dramaga dan stasiun BMKG Citeko, Bogor. Metode yang digunakan adalah rata-rata aritmatika. Analisis Data Rawinsonde dengan Software RAOB Data yang digunakan untuk analisis ini adalah data rawinsonde BPPT dengan beberapa titik selama IOP. Parameter cuaca yang digunakan untuk analisis di antaranya kecepatan angin, tekanan, suhu, kelembaban udara dan ketinggian tempat. Selanjutnya parameter-parameter tersebuat diolah menggunakan Software RAOB sehingga menghasilkan parameter-parameter baru keluaran RAOB yang akan dianalisis untuk mengetahui kondisi atmosfer atas. Ekstraksi parameter atmosfer dilakukan dengan menggunakan software RAOB dengan inputan data rawinsonde. Setelah itu, hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam Microsoft Office Excel serta dianalisis dengan Microsoft Office Excel.

28 16 Analisis Cuaca Ekstrem Berdasarkan Parameter Keluaran RAOB Data rawinsonde yang digunakan dalam analisis ini adalah data rawinsonde Citeko pada pukul WIB. Hal ini dikarenakan pada jam tersebut mulai terjadinya konveksi yang hebat. Selain itu, hasil analisis kondisi atmosfer pada pukul WIB cukup relevan digunakan untuk mewakili kondisi atmosfer saat terjadi hujan maupun tidak terjadi hujan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan analisis yang akan dilakukan. Selanjutnya menganalisis perbandingan antara hari hujan dan hari tidak hujan selama periode IOP 2015 berdasarkan parameter keluaran RAOB. Pada tahap ini dilakukan analisis kondisi atmosfer sebelum hujan tanggal 8 dan 9 Februari 2015 (5, 6, 7 Februari) serta tanggal 18 dan 19 Februari 2015 (15, 16, 17 Februari). Pengamatan kondisi atmosfer dilakukan selama tiga hari sebelum hari hujan dikarenakan untuk sampai terjadinya hujan diperlukan proses yang cukup panjang mulai dari pemanasan, penguapan, pembentukan uap air hingga pembentukan awan sampai turunnya hujan. Penentuan parameter yang dominan terhadap pembentukan hujan yaitu dengan cara melihat kategori warna tiap-tiap parameter dari keenam waktu (5, 6, 7 dan 15, 16, 17 Februari 2015). Kategori warna ini didasarkan pada nilai dan kriteria yang telah ditentukan dari masing-masing parameter RAOB. Selanjutnya mencari peluang parameter RAOB terhadap pembentukan hujan. Peluang ini dicari dengan melihat proporsi kategori warna dari keenam hari tersebut. Parameter yang paling berpengaruh terhadap kondisi hujan ekstrem adalah jika parameter tersebut memiliki peluang lebih dari sama dengan 50%. Penentuan kategori warna sebagai berikut : Keterangan warna [untuk semua parameter RAOB kecuali Lifting Index (LI)]: ekstrem sedang sangat tinggi tinggi rendah sangat rendah Keterangan warna [ khusus parameter Lifting Index (LI)]: tidak stabil ekstrem tidak stabil kuat tidak stabil marginal Stabil Sebaran Curah Hujan di Jabodetabek Selama Periode IOP Data yang digunakan untuk analisis ini adalah data sebaran curah hujan Jabodetabek dari BMKG pada tanggal 8, 9, 10, 17, 18 dan 19 Februari 2015 yang ditampilkan dalam peta isohyet sebaran curah hujan Jabodetabek. Analisis ini untuk menjelaskan hubungan antara hujan di Bogor dengan banjir di DKI

29 17 Jakarta sekaligus membuktikan apakah benar banjir besar yang sering melanda DKI Jakarta dan sekitarnya merupakan banjir kiriman dari Bogor. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Bogor Selama IOP Wilayah Bogor berdasarkan World Meteorological Organization (1983) mempunyai tipe curah hujan monsun. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember-Februari sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli-Agustus. Bulan Oktober-Februari terjadi pemanasan yang intensif di belahan bumi selatan. Pemanasan yang intensif tersebut menyebabkan belahan bumi selatan mempunyai tekanan udara rendah. Sementara itu di belahan bumi utara pemanasannya kurang intensif sehingga tekanan udaranya lebih tinggi dibandingkan di belahan bumi selatan, akibatnya terjadi hembusan angin dari daerah tekanan tinggi ke tekanan rendah. Gambar 6 Pola time series curah hujan (AWS) di Citeko dan Dramaga selama IOP 2015 Pada saat IOP, terdapat hari hujan dan hari tidak hujan. Beberapa hari hujan memiliki intensitas lebih dari 15 mm/jam. Karakteristik hujan di Dramaga dan Citeko sangat bervariasi. Berdasarkan Gambar 6, intensitas serta peluang curah hujan tinggi sebelum tanggal 9 Februari banyak terjadi di daerah Dramaga (warna merah) sedangkan setelah tanggal 9 sampai tanggal 18 Februari curah hujan tinggi banyak terdapat di daerah Citeko, Cisarua. Curah hujan tertinggi terjadi di daerah Citeko pada tanggal 18 Februari 2015 dengan curah hujan lebih dari 40 mm/jam dan tergolong ke dalam curah hujan lebat. Curah hujan tinggi banyak terjadi di daerah Citeko karena daerah ini merupakan daerah kawasan

30 18 puncak yang sangat tinggi dan kandungan uap airnya juga tinggi. Hampir setiap siang sampai sore terjadi hujan di daerah ini. (a) (b) Gambar 7 Variasi diurnal curah hujan (AWS) di Citeko selama IOP 2015 (a) Variasi diurnal curah hujan (AWS) di Dramaga selama IOP 2015 (b) Gambar 8 Rata-rata variasi diurnal curah hujan (AWS) di Citeko dan Dramaga selama IOP 2015

31 19 Berdasarkan Gambar 8, rata-rata variasi diurnal curah hujan di Citeko dan Dramaga, dapat dilihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi banyak terjadi pada selang pukul Pada umumnya, pola hujan ekstrem di wilayah Jabodetabek bersifat lokal dan lebih banyak terjadi pada siang dan sore hari. Konveksi yang kuat pada siang hari dan pengaruh siklus diurnal (angin laut dan darat) menyebabkan hujan ekstrem lebih banyak terjadi di daerah pedalaman (inland), terutama daerah pegunungan seperti Bogor dibandingkan daerah pesisir seperti Jakarta. Angin laut dari Laut Jawa yang membawa banyak uap air masuk ke pedalaman dan naik secara orografis di wilayah Bogor karena memasuki daerah pegunungan. Ketika uap air akan naik, langsung terhalang oleh Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango sehingga uap air tersebut terkondensasi dan menjadi hujan. Pola Harian Kondisi Atmosfer Gambar 9 Pola time series tinggi tropopouse Berdasarkan Gambar 5 di atas, tinggi tropopouse selama IOP berkisar antara m MSL sampai m MSL. Rata-rata tinggi tropopouse pada pukul WIB adalah m MSL, pukul WIB m MSL, pukul WIB m MSL dan pada pukul WIB m MSL. Pola time series tinggi tropopouse mempunyai dua puncak tertinggi yakni pada siang hari dan pada malam hari. Hal ini disebabkan karena pada siang hari terjadi pemanasan yang intensif sehingga udara akan terangkat naik pada level yang lebih tinggi, sedangkan pada sore hari tinggi tropopouse sedikit menurun dan pada malam hari tinggi tropopouse kembali naik, hal ini dikarenakan terkadang proses konveksi juga terjadi pada malam hari dengan menggunakan energi simpanan yang didapat saat terjadi pemanasan di siang hari. Semakin tinggi tropopause menandakan semakin tinggi puncak awan yang bisa dicapai. Ketika puncak awan tinggi maka potensi volume awan lebih besar dan potensi hujan juga semakin besar.

32 20 (a) (b) m MSL Time (WIB) CCLEL LFCEL (c) Gambar 10 Pola time series puncak awan dilihat dari CCL EL (a) dan LFC EL (b) serta pola variasi diurnal puncak awan dari CCL EL dan LFC EL (c)

33 21 Berdasarkan (Gambar 10 a) tinggi CCL EL berada di selang antara 2000 m MSL dan m MSL. Pada pukul WIB rata-rata tinggi CCL EL adalah 4628 m MSL, pukul WIB 7596 m MSL, pukul WIB 4288 m MSL dan pada pukul WIB 3977 mmsl. Berdasarkan (Gambar 10 b) tinggi LFC EL berada di selang antara 2000 m MSL dan m MSL. Pada pukul WIB rata-rata tinggi LFC EL adalah 3708 m MSL, pukul WIB m MSL, pukul WIB 5255 m MSL dan pada pukul WIB 5156 m MSL. Berdasarkan (Gambar 10 c) pola variasi CCL EL dan LFC EL berbentuk bukit dengan puncak tertinggi pukul WIB. Artinya, tebal awan maksimum terjadi saat siang hari karena pada siang hari terjadi pemanasan yang intensif sehingga penguapan sangat meningkat sehingga terbentuklah awan dengan ketebalan tinggi. Tinggi puncak awan jika dilihat dari CCL EL dan LFC EL terlihat bahwa sebelum hari hujan nilai CCL EL dan LFC EL lebih tinggi daripada sebelum hari tidak hujan. Artinya, potensi terjadinya curah hujan tinggi ketika ketebalan awan tinggi, karena saat ketebalan awan tinggi kandungan uap air juga tinggi. (a) (b)

34 22 (c) m MSL LFC CCL LCL Time (WIB) (d) Gambar 11 Pola time series level konvektif bebas (LFC) (a), dasar awan konvektif (CCL) (b), tinggi dasar awan (LCL) (c), pola variasi diurnal LFC, CCL dan LCL (d) Berdasarkan (Gambar 11 a) tinggi konvektif bebas (LFC) berada di selang antara 1000 m MSL sampai dengan 5500 m MSL. Pada pukul WIB rata-rata tinggi LFC adalah 2363 m MSL, pukul WIB 1174 m MSL, pukul WIB 1801 m MSL dan pada pukul WIB 2856 m MSL. Berdasarkan (Gambar 11 d) pola variasi diurnal LFC dapat dilihat bahwa nilai LFC maksimum terjadi pada pagi hari dan malam menjelang dini hari sedangkan LFC minimum terjadi pada siang hari. Hal tersebut dikarenakan, pada siang hari saat pemanasan intensif suhu parsel udara panas, ketika mencapai titik jenuh jarak yang ditempuh untuk mencapai titik konvektif bebas lebih dekat jika diukur dari level saat parsel udara jenuh. Oleh sebab itu tinggi level konvektif bebas saat siang hari sangat minimum. Pola time series level konvektif bebas (LFC) (Gambar 11 a) sesuai dengan pola time series dasar awan konvektif menunjukkan bahwa sebelum hari hujan tinggi LFC lebih rendah

35 daripada sebelum hari tidak hujan. Artinya, potensi terjadinya curah hujan tinggi ketika level konvektif bebas rendah. Berdasarkan (Gambar 11 b) tinggi titik kondensasi awan konvektif (CCL) berada di selang antara 1500 m MSL sampai dengan 3500 m MSL. Pada pukul WIB rata-rata tinggi CCL adalah 1945 m MSL, pukul WIB 1624 m MSL, pukul WIB 1847 m MSL dan pada pukul WIB 1970 m MSL. Secara umum, ketinggian titik kondensasi selama IOP adalah hampir sama yaitu sekitar 1808 m MSL. Berdasarkan (Gambar 11 d) pola variasi diurnal CCL dapat dilihat bahwa nilai CCL maksimum terjadi pada pagi hari dan malam menjelang dini hari sedangkan CCL minimum terjadi pada siang hari. Hal tersebut dikarenakan, pada siang hari terjadi pemanasan intensif sehingga suhu konvektif menurun, dan saat kondisi ini suhu permukaan cukup tinggi sehingga suhu yang harus dicapai oleh permukaan agar terjadi konveksi (suhu konvektif) harus rendah. Jika suhu konvektif rendah maka selisih antara suhu permukaan dengan suhu titik embun kecil. Akibatnya parsel udara hanya perlu diangkat dengan jarak yang dekat agar menjadi jenuh. Pola time series level kondensasi (CCL) (Gambar 11 b) menunjukkan bahwa sebelum hari hujan tinggi CCL lebih rendah daripada sebelum hari tidak hujan, akan tetapi secara umum tinggi level kondensasi selama IOP hampir sama baik sebelum hari hujan maupun hari tidak hujan. Berdasarkan (Gambar 11 c) tinggi titik udara mulai jenuh (LCL) atau yang biasa disebut tinggi dasar awan berada di selang antara 900 m MSL sampai dengan 1500 m MSL. Pada pukul WIB rata-rata tinggi LCL adalah 1058 m MSL, pukul WIB 1175 m MSL, pukul WIB 958 m MSL dan pada pukul WIB 984 m MSL. Secara umum, ketinggian titik jenuh selama IOP adalah hampir sama yaitu sekitar 1018 m MSL. Berdasarkan (gambar 11 d) pola variasi diurnal LCL dapat dilihat bahwa nilai LCL maksimum terjadi saat siang hari sedangkan CCL minimum terjadi pada malam hari, tetapi perbedaannya sangat kecil. Hal tersebut dikarenakan, pada siang hari saat terjadi pemanasan intensif suhu permukaan menjadi tinggi. Suhu permukaan tinggi ini menyebabkan selisih dengan suhu titik embun menjadi besar. Akibatnya parsel udara perlu diangkat dalam jarak yang jauh agar menjadi jenuh. Oleh karena itu, pada siang hari dasar awan menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Garbell (1947). Pola time series tinggi titik jenuh (LCL) (Gambar 11 c) menunjukkan bahwa sebelum hari hujan tinggi LCL lebih rendah daripada sebelum hari tidak hujan. Hal tersebut dikarenakan, semakin rendah tinggi dasar awan makan potensi terjadinya hujan juga semakin besar karena kemungkinan besar air yang jatuh tidak ada yang menguap kembali dan karena jaraknya yang dekat dengan bumi maka air hujan tersebut langsung jatuh ke bumi. Secara umum tinggi titik jenuh (dasar awan) selama IOP hampir sama baik sebelum hari hujan maupun hari tidak hujan. 23

36 24 (a) (b) 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5-2,0 (c) Time (WIB) (d) LI

37 25 36,0 35,5 35,0 34,5 34,0 33, Time (WIB) (e) KI J / Kg Time (WIB) CAPE (f) Gambar 12 Pola time series indeks stabilitas atmosfer (LI) (a), peluang masa udara thunderstorm (KI) (b), energi yang tersedia untuk pengangkatan massa udara (CAPE) (c), pola variasi diurnal LI (d), KI (e), CAPE (f) Berdasarkan (Gambar 12 a) pola time series indeks stabilitas atmosfer (LI) berada di selang antara -4 sampai dengan 5. Pada pukul WIB ratarata indeks stabilitas atmosfer adalah 0.4, pukul WIB -0.6, pukul WIB -1.5 dan pada pukul WIB Rata-rata indeks stabilitas atmosfer selama IOP adalah sebesar -1.1 artinya berdasarkan Haby (2006f) kondisi atmosfer pada saat IOP adalah tidak stabil marginal. Berdasarkan (Gambar 12 d) pola variasi diurnal LI dapat dilihat bahwa nilai LI tidak stabil maksimum terjadi saat siang sampai sore hari. Berdasarkan Ahrens dalam "Essential of Meteorology hal tersebut dikarenakan pada siang hari suhu parsel udara lebih panas dibandingkan suhu lingkungannya. Kondisi ini menyebabkan parsel udara menjadi lebih ringan sehingga dapat bergerak naik secara vertikal. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk akan menjulang tebal ke atas, sehingga jenis awan yang terbentuk pada kondisi atmosfer tidak stabil adalah jenis awan comulus.

38 26 Sebaliknya, pola variasi diurnal LI stabil maksimum terjadi saat malam sampai pagi hari. Hal tersebut dikarenakan pada malam sampai pagi hari suhu parsel udara lebih dingin dibandingkan suhu lingkungannya. Kondisi ini menyebabkan parsel udara menjadi lebih berat sehingga tidak dapat bergerak naik secara vertikal. Jika dipaksa naik oleh faktor lain, maka parsel udara tersebut akan mengembang secara horizontal. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk akan melebar berupa lapisan awan tipis, sehingga jenis awan yang terbentuk pada kondisi atmosfer stabil adalah cirrostratus, altostratus, nimbostratus, atau stratus. Pola time series LI berdasarkan (Gambar 12 a) dapat dilihat bahwa sebelum hari hujan kondisi atmosfer tidak stabil (-) daripada sebelum hari tidak hujan. Sebelum hari tidak hujan kondisi atmosfer relatif lebih stabil (+). Berdasarkan (Gambar 12 b) pola peluang massa udara thunderstorm (KI) berada di selang antara 22 sampai dengan 40. Pada pukul WIB ratarata peluang massa udara thunderstorm adalah 35, pukul WIB 35, pukul WIB 36 dan pada pukul WIB 35. Rata-rata peluang massa udara thunderstorm selama IOP adalah sebesar 35 artinya berdasarkan NWSFO (2008) peluang massa udara thunderstorm pada saat IOP sebesar 80%. Berdasarkan (Gambar 12 e) pola variasi diurnal KI dapat dilihat bahwa nilai KI maksimum terjadi saat siang hari. Hal tersebut dikarenakan pada siang hari pemanasan sangat intensif, kondisi ini menyebabkan parsel udara menjadi lebih ringan sehingga dapat bergerak naik secara vertikal yang menyebabkan terjadinya konveksi yang besar juga. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk akan menjulang tebal ke atas. Jenis awan ini adalah awan cumulus yang sangat berpotensi terjadinya badai thunderstorm. Selain itu pada siang hari terjadi pemanasan intensif, massa udara di dekat permukaan mengalami pengangkatan yang cukup intensif sehingga akan terjadi konveksi yang besar juga. Saat kondisi ini suhu parsel udara awal tinggi dan ketika naik sampai lapisan 500 mb suhunya masih tinggi. Saat berada di lapisan 500 mb suhu parsel udara mempunyai perbedaan yang besar dengan suhu lingkungannya. Pola time series KI berdasarkan (Gambar 12 b) dapat dilihat bahwa sebelum hari hujan nilai KI lebih tinggi daripada sebelum hari tidak hujan. Berdasarkan (Gambar 12 c) pola jumlah energi yang dimiliki oleh sebuah parsel udara (CAPE) berada di selang antara 0 sampai dengan 2500 J/Kg. Pada pukul WIB rata-rata nilai CAPE adalah 25 J/Kg, pukul WIB 1010 J/Kg, pukul WIB 296 J/Kg dan pada pukul WIB 2 J/Kg. Ratarata nilai CAPE selama IOP adalah sebesar 141 J/Kg. Berdasarkan (Gambar 12 f) pola variasi diurnal CAPE dapat dilihat bahwa nilai CAPE maksimum terjadi saat siang hari tepatnya pada pukul WIB dengan nilai rata-rata CAPE sebesar 1010 J/Kg. Hal tersebut dikarenakan pada siang hari kondisi atmosfer tidak stabil di mana suhu parsel udara lebih tinggi daripada suhu lingkungannya,

39 27 sehingga jumlah energi yang tersedia oleh parsel udara untuk bergerak naik ke atas semakin besar. Selain itu, pada siang hari jarak dari titik konveksi bebas dengan puncak dasar awan juga semakin besar akibatnya energi yang tersedia untuk pengangkatan massa udara juga akan semakin besar. Peningkatan nilai CAPE umumnya menyebabkan konveksi semakin kuat. Sumber lain menunjukkan bahwa jika nilai CAPE berkisarn 1779 J/kg 2521 J/kg akan menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas sangat lebat. Berdasarkan NWSFO (2008) CAPE juga dapat mengindikasikan bahwa atmosfer dalam kondisi tidak stabil. Nilai rata-rata CAPE pada siang hari selama periode IOP mengindikasikan bahwa atmosfer dalam keadaan tidak stabil sedang. Pola time series CAPE berdasarkan (Gambar 12 c) dapat dilihat bahwa sebelum hari hujan nilai CAPE lebih tinggi daripada sebelum hari tidak hujan, tetapi ada beberapa kondisi di mana sebelum terjadinya hujan nilai CAPE nya 0 J/Kg. Ketiga parameter di atas (LI, KI, dan CAPE) dapat digunakan sebagai indikator kestabilan atmosfer (Gaffin dan Hortz 2006). CAPE menjelaskan ketidakstabilan di atmosfer sedangkan LI menjelaskan ketidakstabilan atmosfer pada level 500 mb (Itturioz et al 2007). KI selain menjelaskan peluang massa udara thunderstorm juga dapat menjelaskan potensi konveksi (Haby 200c). (a) 45 Mvv Waktu (WIB) 24 (b) Gambar 13 Pola time series kecepatan parsel udara bergerak naik (Mvv) (a), pola variasi diurnal kecepatan parsel udara bergerak naik (Mvv) (b) Mvv (m/s)

40 28 Berdasarkan (Gambar 13 a) pola kecepatan naik maksimum parsel udara (Mvv) berada di selang antara 1 sampai dengan 70 m/s. Pada pukul WIB rata-rata kecepatan naik maksimum parsel udara adalah 4 m/s, pukul WIB 42 m/s, pukul WIB 15 m/s dan pada pukul WIB 1 m/s. Ratarata kecepatan naik maksimum parsel udara selama IOP adalah sebesar 9 m/s, artinya berdasarkan Haby (2006g) kecepatan naik maksimum parsel udara pada saat IOP adalah tergolong biasa kecuali pada siang hari yang tergolong kuat. Berdasarkan (Gambar 13 b) pola variasi diurnal Mvv dapat dilihat bahwa nilai Mvv maksimum terjadi saat siang hari sekitar pukul WIB. Hal tersebut dikarenakan pada siang hari pemanasan sangat intensif, kondisi ini menyebabkan parsel udara menjadi lebih ringan sehingga dengan cepat bergerak naik secara vertikal yang menyebabkan terjadinya konveksi yang besar juga. Saat kondisi kondensasi tercapai, maka awan yang terbentuk akan menjulang tebal ke atas. Jenis awan ini adalah awan cumulus yang sangat berpotensi terjadinya badai thunderstorm. Pola time series Mvv berdasarkan (Gambar 13 a) dapat dilihat bahwa sebelum hari hujan nilai Mvv lebih tinggi daripada sebelum hari tidak hujan, artinya potensi terjadinya curah hujan tinggi ketika sebelumnya terjadi pengangkatan parsel udara yang tinggi pula. TPW (mm) (a) Time (WIB) TPW (b) Gambar 14 Pola time series kandungan uap air di udara (TPW) (a), pola variasi diurnal kandungan uap air di udara (TPW) (b)

41 29 Berdasarkan (Gambar 14 a) pola kandungan uap air di udara (TPW) berada di selang antara 30 sampai dengan 47 mm. Pada pukul WIB ratarata kandungan uap air di udara adalah 39 mm, pukul WIB 41 mm, pukul WIB 43 m/s dan pada pukul WIB 42 mm. Rata-rata kandungan uap air di udara selama IOP adalah sebesar 42 mm artinya berdasarkan Haby (2006f) kandungan uap air di udara pada saat IOP adalah tergolong sedang. Berdasarkan (Gambar 14 b) pola variasi diurnal TPW dapat dilihat bahwa nilai TPW maksimum terjadi saat siang hari sekitar pukul WIB. Hal tersebut dikarenakan pada siang hari pemanasan sangat intensif, sehingga menyebabkan terjadinya evaporasi dan transpirasi yang sangat tinggi. Kondisi ini dapat menambah kandungan uap air di udara, semakin tinggi kandungan uap airnya maka udara akan semakin mendekati jenuh. Pola time series TPW berdasarkan (Gambar 14 a) dapat dilihat bahwa sebelum hari hujan nilai TPW lebih tinggi daripada sebelum hari tidak hujan, artinya potensi terjadinya curah hujan tinggi ketika sebelumnya kandungan uap air juga tinggi. Secara umum, kanduangan uap air selama IOP hampir merata dan tergolong kondisi sedang baik sebelum hari hujan maupun hari tidak hujan. Berdasarkan time series curah hujan di Citeko dan Dramaga terlihat bahwa ada hari hujan dan hari tidak hujan. Hal ini menandakan bahwa kanduangan uap air selama IOP walaupun tergolong sedang dan merata, tetapi ada uap air yang terbentuk menjadi awan hujan dan ada yang tidak terbentuk awan hujan. Kondisi yang telah dijelaskan tersebut merupakan penjelasan kondisi pada siang hari sedangkan penjelasan kondisi pada malam hari secara garis besar adalah sebaliknya. Akan tetapi ada beberapa kondisi pengecualian seperti tinggi tropopouse dan potensi konveksi di mana masih mempunyai nilai yang tinggi pada malam hari. Gambar 15 Profil sebaran angin saat hujan (a) dan tidak hujan (b)

42 30 Selain kondisi atmosfer, kondisi angin juga mempengaruhi terjadinya hujan di suatu daerah. Saat terjadi hujan arah angin di atmosfer bawah (dari permukaan sampai level 500 hpa) tidak teratur atau tidak satu arah sedangkan saat tidak terjadi hujan arah angin di atmosfer bawah teratur atau satu arah. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi yang cukup besar di atmosfer bawah karena adanya pemanasan yang intensif serta kondisi atmosfer yang tidak stabil saat hari hujan dan terjadi sebaliknya saat hari tidak hujan. Peran angin digambarkan sebagai kondisi atmosfer di suatu tempat mendukung untuk terjadinya hujan. Jika kecepatan angin kecil maka peluang terjadinya hujan semakin besar, akan tetapi jika kondisi atmosfer mendukung terjadinya hujan sedangkan kecepatan angin di daerah tersebut tinggi maka awan tidak dapat terbentuk atau awan yang sudah terbentuk akan diuraikan ke daerah lain sehingga potensi terjadinya hujan di daerah tersebut semakin kecil. Perbandingan Kondisi Waktu Hari Hujan dengan Waktu Hari Tidak Hujan Tahap analisis ini dilakukan dengan menggunakan data rawinsonde Citeko, Bogor pada pukul WIB. Hal ini dikarenakan pada pukul WIB mulai terjadinya konveksi yang kuat. Radiasi matahari maksimum dalam sehari biasanya terjadi pada pukul WIB sehingga pemanasan terhadap bumi (dataran dan lautan) akan terjadi pada jam-jam tersebut. Ada jeda antara waktu radiasi maksimum dengan pemanasan bumi maksimum disebut time lag, biasanya sekitar satu atau dua jam. Ketika pemanasan maksimum maka potensi terjadinya konveksi juga besar. Oleh karena itu, penggunaan data rawinsonde Citeko pukul WIB digunakan untuk mewakili kondisi cuaca dalam satu hari. Selain itu, hasil analisis kondisi atmosfer saat terjadi hujan dengan tidak terjadi hujan di empat waktu menunjukkan bahwa pada pukul WIB kondisi atmosfer cukup relevan dengan kondisi yang dibutuhkan agar terjadi atau tidak terjadi hujan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan analisis yang akan dilakukan. Selama IOP, terjadi curah hujan tinggi sebanyak 2 kali yaitu pada tanggal 9 dan 18 Februari 2015 dengan curah hujan tertinggi pada tanggal 18 sebanyak 42 mm h -1. Curah hujan di dua waktu tersebut berpotensi terjadinya curah hujan ekstrem. Untuk membuktikan apakah kedua hari tersebut tergolong hari hujan dengan kondisi ekstrem atau hanya kondisi lebat dengan skala lokal maka akan dilihat dari parameter RAOB dengan syarat yang telah ditentukan.

43 31 Tabel 8 Perbandingan kondisi atmosfer saat hari hujan, hari tidak hujan dan kondisi ekstrem (sample) Keterangan warna [untuk semua parameter RAOB kecuali Lifting Index (LI)]: ekstrem sedang sangat tinggi tinggi rendah sangat rendah Keterangan warna [ khusus parameter Lifting Index (LI)]: tidak stabil ekstrem tidak stabil kuat tidak stabil marginal Stabil Tabel 9 Perbandingan kondisi atmosfer sebelum hari hujan tanggal 8, 9 Februari 2015, dan 18, 19 Februari 2015

44 32 Berdasarkan hasil pengamatan terhadap Tabel 8 diperoleh suatu penyederhanaan analisis untuk memudahkan dalam penentuan parameter RAOB yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan hujan ekstrem. Hasil penyederhanaan analisis tersebut terlihat di dalam Tabel 9 yaitu kondisi atmosfer sebelum hujan tanggal 8 dan 9 Februari 2015 serta tanggal 18 dan 19 Februari Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa pengamatan kondisi atmosfer dilakukan selama tiga hari sebelum hari hujan (time lag). Hal tersebut dikarenakan, untuk sampai terjadinya hujan diperlukan proses yang cukup panjang mulai dari pemanasan, penguapan, pembentukan uap air hingga pembentukan awan sampai turunnya hujan. Berdasarkan Tabel 9, pengamatan hari hujan tanggal 8 dan 9 dilakukan mulai tanggal 5, 6, 7, Februari 2015, sedangkan hari hujan tanggal 18 dan 19 mulai tanggal 15, 16, 17 Februari Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa ada beberapa parameter RAOB yang berpengaruh dominan terhadap pembentukan hujan tetapi ada yang tidak berpengaruh signifikan terhadap pembentukan hujan. Bagian kotak yang bergaris tebal menandakan bahwa parameter tersebut berpengaruh dominan terhadap pembentukan hujan. Berdasarkan pengamatan, terlihat bahwa ada beberapa parameter yang berpengaruh sesuai dengan teori ada yang tidak sesuai dengan teori. Misalkan, pada tanggal 5,6,7 tinggi puncak awan dilihat dari (LFCEL dan CCLEL) tergolong tinggi (ditandai dengan warna kuning dan orange) kondisi ini sesuai dengan teori bahwa semakin tinggi puncak awan, kanduangan uap airnya semakin banyak sehingga potensi terjadinya hujan juga semakin besar. Sebaliknya, ada beberapa kondisi di mana tidak sesuai dengan teori misalkan, pada tanggal 15 dan 16. Kondisi Level Free Convection (LFC) dan Lifting Condensation Level (LCL) berturut-turut pada tanggal 15 dan 16 ekstrem dan sangat tinggi (ditandai dengan warna merah dan orange). Kondisi tersebut sangat berkebalikan dengan teori dan tidak sesuai menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati (2009). Kondisi atmosfer dilihat dari tinggi LFC dan LCL agar dapat menghasilkan hujan maka nilai dari kedua parameter tersebut seharusnya sekecil mungkin. Berdasarkan pengamatan terhadap Tabel 9 di atas, hujan pada tanggal 8, 9 dan 18, 19 Februari 2015 belum tergolong ke dalam curah hujan ekstrem. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa syarat kondisi atmosfer yang tidak terpenuhi. Kondisi ekstrem yang diharapkan adalah ketinggian tropopouse, puncak awan (LFCEL dan CCLEL), tebal awan (LFCEL LCL), energi yang tersedia untuk pengangkatan massa udara (CAPE), penduga potensi konveksi (KI), kecepatan pengangkatan maksimum parsel udara (Mvv), dan kandungan uap air (TPW), mempunyai nilai yang setinggi mungkin. Sedangkan kondisi lain yang diharapkan adalah ketinggian dasar awan (LCL dan CCL), level konveksi bebas (LFC), dan indeks kestabilan atmosfer (LI) mempunyai nilai serendah mungkin. Secara umum, pada tanggal 8, 9 dan 18, 19 Februari 2015 kondisi atmosfer

45 33 belum dapat dikatakan ekstrem tetapi cukup mendukung terjadinya hujan lebat skala lokal (setempat). Tabel 10 Peluang kontribusi parameter RAOB terhadap pembentukan hujan Parameter RAOB Peluang Parameter RAOB terhadap Pembentukan Hujan Pengambilan Keputusan (X >= 50%) TROP 3/6 = 50 % v CCLEL 4/6 = 67 % v LFCEL 3/6 = 50 % v LFC 0% - CCL 2/6 = 33 % - LCL 0% - TPW 0% - LI 5/6 = 83 % v KI 5/6 = 83 % v CAPE 1/6 = 17 % - Mvv 5/6 = 83 % v LFCEL - LCL 4/6 = 67 % v Penentuan parameter yang dominan terhadap pembentukan hujan yaitu dengan cara melihat kategori warna tiap-tiap parameter dari keenam waktu (5,6,7 dan 15,16,17 Februari 2015). Penentuan kategori warna yang memenuhi syarat untuk ketinggian tropopouse, ketinggian puncak awan (LFCEL dan CCLEL), tebal awan (LFCEL LCL), K-Index (KI) besarnya kecepatan parsel udara naik ke atas (Mvv), jumah air yang berpotensi menjadi hujan (TPW) dan energi yang tersedia untuk pengangkatan udara (CAPE) adalah warna kuning (tinggi), orange (sangat tinggi) atau merah (ekstrem). Sebaliknya, penentuan kategori warna untuk ketinggian dasar awan (LCL atau CCL), dan level konvektif bebas (LFC), adalah warna biru (rendah) atau ungu (sangat rendah). Khusus untuk penentuan kategori warna pada parameter Lifting Index (LI) yaitu warna merah (tidak stabil ekstrem), orange ( tidak stabil kuat), dan kuning (tidak stabil marginal ). Tabel 10 memberikan gambaran bahwa parameter kondisi atmosfer yang perlu dikaji secara intensif untuk melakukan prediksi jangka pendek adalah ketinggian tropopouse sebesar 50 %, ketinggian puncak awan dilihat dari tinggi LFCEL dan CCLEL berturut-turut sebesar 67 % dan 50%, tebal awan (LFCEL LCL) sebesar 67 %, stabilitas atmosfer dilihat dari nilai Lifted Index (LI) dan K-Index (KI) serta besernya kecepatan parsel udara naik ke atas (Mvv) masing masing sebesar 83 %. Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, curah hujan tertinggi selama bulan Februari 2015 tercatat pada tanggal 18 Februari sedangkan banjir besar yang terjadi di Jakarta selama bulan Februari 2015

46 34 terjadi pada tanggal 9-10 Februari Oleh karena hasil penelitian ini menunjukkan kondisi tersebut, maka perlu analisis dan kajian kondisi DKI Jakarta pada saat terjadinya banjir pada tanggal 9-10 Februari (a) (b) Gambar 16 Peta sebaran hujan JABODETABOK tanggal 8-9 Februari 2015 (a) dan tanggal 9-10 Februari 2015 (b) (Sumber : BMKG) (a) (b) Gambar 17 Peta sebaran hujan JABODETABOK tanggal Februari 2015 (a) dan tanggal Februari 2015 (b) (Sumber : BMKG) Berdasarkan peta sebaran hujan wilayah Jabodetabek dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dapat dilihat bahwa pada tanggal 8 Februari 2015, sehari sebelum terjadinya banjir, intensitas curah hujan di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya sangat tinggi (diilustrasikan oleh warna jingga), sedangkan daerah Bogor dan sekitarnya hanya hujan ringan (diilustrasikan warna hijau toska). Tanggal 9-10 Februari 2015 intensitas curah hujan di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya sangat tinggi melebihi curah hujan

47 35 tanggal 8 Februari 2015 (diilustrasikan oleh warna merah dan biru kegelapan). Daerah cakupan sebaran curah hujan tanggal 9-10 Februari ini juga sangat luas dibandingkan cakupan daerah sebaran curah hujan tanggal 8 Februari Daerah cakupannya sampai ke daerah tetangga seperti Tangerang, Bekasi dan sebagian daerah Bogor. Pada tanggal Februari 2015, intensitas curah hujan di daerah Jakarta dan sekitarnya tergolong sedang (diilustrasikan warna hijau muda sampai hijau daun), sedangkan daerah Bogor dan sekitarnya hanya hujan ringan (diilustrasikan oleh warna hijau toska). Tanggal Februari 2015 intensitas curah hujan di daerah Jakarta dan sekitarnya tergolong lebat sampai sedang tetapi tidak sampai melebihi curah hujan tanggal 9-10 Februari Daerah cakupan sebaran curah hujan lebat ini tidak seluas cakupan daerah sebaran curah hujan tanggal 9-10 Februari Daerah cakupan curah hujan pada tanggal Februari fokus di dua titik yaitu, daerah Jakarta Utara dan daerah Bogor bagian Dramaga. Puncak curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 9-10 Februari 2015 yang berada di daerah sekitar Jakarta dengan curah hujan lebih dari 100 mm/hari atau lebih dari 20 mm/jam. Peta sebaran curah hujan di atas menunjukkan bahwa hujan lebat yang sering terjadi di wilayah Bogor, tidak selalu menjadi penyebab banjir di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya. Banjir besar yang sering terjadi hampir setiap tahun di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya kemungkinan akibat adanya curah hujan ekstrem lokal di DKI Jakarta dan bukan banjir kiriman dari Bogor. Hujan ekstrem memang kontributor terbesar dalam penyebab banjir, namun banjir terjadi tidak hanya karena intensitas curah hujan yang tinggi tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhinya seperti tersumbatnya aliran sungai karena sampah, tata kota yang kurang baik, dan sebagainya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Selama Intensive Observational Period (IOP) 2015, terdapat beberapa hari hujan dan beberapa hari tidak hujan. Beberapa hari hujan memiliki intensitas lebih dari 15 mm/jam. Intensitas curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 18 Februari 2015 dengan curah hujan lebih dari 40 mm/jam dan tergolong ke dalam kategori curah hujan lebat. Curah hujan dengan intensitas tinggi banyak terjadi pada selang pukul WIB. Pola hujan ekstrem di wilayah DKI Jakarta dan Bogor bersifat lokal dan lebih banyak terjadi pada siang dan sore hari.

48 36 Kondisi atmosfer saat hari hujan dengan hari tidak hujan berbeda. Saat hari hujan tinggi tropopouse, puncak awan, tebal awan, peluang massa udara thunderstorm (KI), jumlah air yang berpotensi menjadi hujan (TPW), energi yang tersedia untuk pengangkatan udara (CAPE) dan kecepatan maksimum parsel udara bergerak naik (Mvv) lebih tinggi dibandingkan hari tidak hujan. Sedangkan tinggi dasar awan, level konvektif bebas (LFC), dan indeks kestabilan atmosfer (LI) saat hari hujan lebih rendah daripada hari tidak hujan. Parameter kondisi atmosfer yang perlu dikaji secara intensif untuk melakukan prediksi jangka pendek adalah ketinggian tropopouse, ketinggian puncak awan, tebal awan, stabilitas atmosfer dilihat dari nilai Lifted Index (LI) dan K-Index (KI) serta besernya kecepatan parsel udara naik ke atas (Mvv). Kondisi angin juga mempengaruhi terjadinya hujan di suatu daerah. Saat terjadi hujan arah angin di atmosfer bawah (dari permukaan sampai level 500 mb) tidak teratur atau tidak searah sedangkan saat tidak terjadi hujan arah angin di atmosfer bawah teratur atau searah. Selama IOP 2015 kondisi atmosfer tidak ekstrem, tetapi terdapat dua hari yaitu tanggal 9 dan 18 Februari 2015 yang cukup mendukung terjadinya hujan lebat skala lokal (setempat). Banjir besar yang sering terjadi hampir setiap tahun di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya kemungkinan akibat adanya curah hujan ekstrem lokal di DKI Jakarta dan bukan banjir kiriman dari Bogor. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, banjir besar yang sering terjadi hampir setiap tahun di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya kemungkinan akibat adanya curah hujan ekstrem lokal di DKI Jakarta dan bukan banjir kiriman dari Bogor. Penelitian ini hanya menggunakan data singkat selama IOP (skala temporal yang singkat). Perlu kajian dengan durasi yang lebih lama dan dengan data pembanding dari kejadian banjir tahun-tahun sebelumnya untuk memperkuat hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aldrian E Pola hujan rata-rata bulanan wilayah Indonesia: tinjauan hasil kontur data penakar dengan resolusi ECHAM T-42. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 1: [BMKG] Kriteria intensitas curah hujan di Indonesia menurut BMKG. [diunduh 2016 Dec 1]. Tersedia pada: cuaca%20ekstrim%20dan%20iklim%20tahun% pdf.

49 Brothers DA Forecasting summertime convection in western north dakota using RAOB. [diunduh 2016 Dec 1]. Tersedia pada: Choir NU, Zakir A Kajian indeks stabilitas udara model KMA di wilayah Indonesia bulan April dan Mei [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: [Climate4life] Stabilitas atmosfer, penentu ketebalan awan. [diunduh 2016 Dec 1]. Tersedia pada: [Kecamatan Cisarua]. Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. [diunduh 2016 Dec 6]. Tersedia pada: [Damandiri]. Kondisi Geografi Kecamatan Darmaga. [diunduh 2016 Dec 1]. Tersediapada: pdf. Doswell III CA A diagnostic study of three heavy precipitation episodes in the western mediterranean region. Weather and Forcasting [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: doswell/malorca_papers/diagnostic_final.html. Doswell III CA Severe convective storms on overview. The American Meteorological Society [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: [eprints.undip]. DKI Jakarta. [diunduh 2016 Dec 6]. Tersedia pada: AB_3.pdf. Fadholi A Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail). SIMETRI, Jurnal Ilmu Fisika Indonesia. [diunduh 2015 Oct 21]. Tersedia pada: 1(2). Fritz BK Measurement and Analysis of Atmospheric Stability in Two Texas Regions ASAE/NAAA Technical Session, 37th Annual National Agricultural Aviation Association Convention. Gaffin DM, Hortz DG Precipitation and flashflood climatology of WMO morristwn hydrological service area.[diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: H. Asnani, R. Syech, A. Ardhitama. Analisa Unsur Cuaca Udara dengan Energi Potensial dari Aktivitas Konveksi. [skripsi]. Riau (ID): Unversitas Riau. [diunduh 2016 Dec 4]. Tersedia pada: 37

50 38 RYA%20ILMIAH%20HANI%20ASNANI%20HARAHAP.pdf?sequen ce=1. Haby J. 2006a. Skew-T: a look at CCL. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006b. Skew-T: a look at EL. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006c. Skew-T: a look at KI. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006d. Skew-T: a look at LFC. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006e. Skew-T: a look at LI. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006f. Skew-T: a look at PW. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006g. Skew-T: a look at storm UVV. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006h. Skew-T: a look at basics. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Haby J. 2006i. What is the convective temperature. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: Harahap Diguyur Hujan Deras, Jakarta Dilanda Banjir Besar. [komunikasi singkat]. [diunduh 2016 Dec 26]. Tersedia pada: Hsu SA Coastal Meteorology. California: Academic Press Inc. [Jakarta]. Geografis Jakarta. [diunduh 2016 Dec 6]. Tersedia pada: Tz0I. [Jakarta.bps]. Data Curah Hujan Bulanan DKI Jakarta [diunduh 2016 Dec 26]. Tersedia pada: Kadarsah Tiga pola curah hujan Indonesia. [diunduh 2016 Feb 11]. Tersediapada: Kim HW, Lee DK An observational study of mesoscale convective systems with Peninsula. Weather and Forcasting. [diunduh 2016 Feb 11].Tersediapada: 6).pdf. [Konservasidasciliwung.files]. BAB IV Keadaan Umum Das Ciliwung Hulu - Konservasi DAS Ciliwung [diunduh 2016 Dec 26]. Tersedia pada:

51 Lundstedt W A method to forecast to wintertime instability and non lake effect snow squalls across nothern new England. [diunduh 2016 Feb 11]. Tersedia pada: [meteo.itb]. Meteorologi ITB. [diunduh 2016 Dec 8]. Tersedia pada : Miller A, Thompson JC Elements of Meteorology Third Edition. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company dan A Bell dan Howell Company. [NNWSFO] National Weather Service Forecast Office Atmospheric stability indices. [diunduh 2016 Feb 11]. Tersedia pada : [NOAA-NWS] National Oceanic and Atmosferic Administration-National Weather Srvice Basic heavy rain/flash flood concepts. [2016 Feb 11] Tersedia pada : Pawitan H Termodinamika Atmosfer, Pusat Antar Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Pawitan H. 2003a. Teknik prakiraan dan sistem peringatan curah hujan dan banjir. Jurnal Sains Dirgantara. Prawirowardoyo S Meteorologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung (ID): ITB Press. [Profilbogorkab]. Gambaran Umum Kabupaten Bogor. [diunduh 2016 Dec 1]. Tersedia pada : Rohmawati FY Analisis kondisi atmosfer pada kejadian banjir menggunakan dara rawinsonde (studi kasus: Kabupatem Bojonegoro) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Subarna D, Satiadi D Variasi dari energi potensial konvektif (CAPE)dan perubahan iklim di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia. LAPAN, Bandung, [2006 Nov 9]. Bandung (ID). LAPAN. Hlm Swarinoto Hujan lebat dan banjir masih ancam Jakarta. [komunikasi singkat].[diunduh 2016 Dec 26] Tersedia pada : banjir Syaifullah D Hubungan antara indeks-indeks data rawinsonde deng.an peluang pertumbuhan awan dan hujan. Jurnal IPTEK Iklim dan Cuaca 02 : Tjasyono B Klimatologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung (ID): ITB Press. Wallace JM, Hobbs PV Atmospheric Science an Introductory Survey. New York : Academic Press. 39

52 40 Lampiran 1 Diagram alir prosedur penelitian

53 41 Lampiran 2 Parameter keluaran Software Rawinsonde Observation Program (RAOB) selama IOP 2015 Parameter RAOB TROP CCLEL LFCEL LFC CCL LCL TPW LI KI Tc CAPE Mvv 4-Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb

54 42 Lampiran 3 Data rata-rata variasi diurnal curah hujan (AWS) di Citeko selama IOP 2015

55 Lampiran 4 Data rata-rata variasi diurnal curah hujan (AWS) di Dramaga selama IOP

56 44 Lampiran 5 Tampilan software RAOB saat kondisi hari hujan Lampiran 6 Tampilan software RAOB saat hari tidak hujan

57 Lampiran 7 Proses diurnal cycle Jabodetabek 45

ANALISIS PROFIL CAPE (CONVECTIVE AVAILABLE POTENTIAL ENERGY) RADIOMETER SELAMA KEGIATAN INTENSIVE OBSERVATION PERIOD (IOP) DI DRAMAGA BOGOR

ANALISIS PROFIL CAPE (CONVECTIVE AVAILABLE POTENTIAL ENERGY) RADIOMETER SELAMA KEGIATAN INTENSIVE OBSERVATION PERIOD (IOP) DI DRAMAGA BOGOR Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.17 No.2, 2016: 83-89 83 ANALISIS PROFIL CAPE (CONVECTIVE AVAILABLE POTENTIAL ENERGY) RADIOMETER SELAMA KEGIATAN INTENSIVE OBSERVATION PERIOD (IOP) DI DRAMAGA

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Salah satu masalah dalam memahami atmosfer adalah kita harus melihat atmosfer dalam tiga dimensi, kebanyakan alat bantu dalam analisis meteorologi hanya memilki dua

Lebih terperinci

KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN SATELIT TRMM, SATELIT MT-SAT DAN DATA REANALISIS (Studi Kasus Banjir di Tanjungpandan)

KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN SATELIT TRMM, SATELIT MT-SAT DAN DATA REANALISIS (Studi Kasus Banjir di Tanjungpandan) KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN SATELIT TRMM, SATELIT MT-SAT DAN DATA REANALISIS (Studi Kasus Banjir di Tanjungpandan) Qoriana Maulani 1, Jakarta 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan

Lebih terperinci

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. Sebagian besar Wilayah Jawa Timur sudah mulai memasuki musim kemarau pada bulan Mei 2014. Termasuk wilayah Sidoarjo dan

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cuaca merupakan faktor yang sangat penting untuk diamati karena parameternya berlangsung dinamis secara terus menerus.selain itu juga cuaca merupakan faktor lingkungan

Lebih terperinci

KAJIAN INDEKS STABILITAS ATMOSFER TERHADAP KEJADIAN HUJAN LEBAT DI WILAYAH MAKASSAR (STUDI KASUS BULAN DESEMBER )

KAJIAN INDEKS STABILITAS ATMOSFER TERHADAP KEJADIAN HUJAN LEBAT DI WILAYAH MAKASSAR (STUDI KASUS BULAN DESEMBER ) KAJIAN INDEKS STABILITAS ATMOSFER TERHADAP KEJADIAN HUJAN LEBAT DI WILAYAH MAKASSAR (STUDI KASUS BULAN DESEMBER 2013 2014) Faqih Nurrohman*, Bayong Tjasyono Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Lebih terperinci

Pembentukan Hujan 1 KLIMATOLOGI

Pembentukan Hujan 1 KLIMATOLOGI Pembentukan Hujan 1 1. Pengukuran dan analisis data hujan 2. Sebaran curah hujan menurut ruang dan waktu 3. Distribusi curah hujan dan penyebaran awan 4. Fenomena iklim (ENSO dan siklon tropis) KLIMATOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten

Lebih terperinci

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB.

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB. 6 menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB. 3.4. Pengolahan Data Proses pengolahan data diawali dengan menginput data kedalam software RAOB. Data hasil RAOB

Lebih terperinci

ANALISIS PROFIL VERTIKAL SUHU DAN ANGIN SELAMA SIKLON TROPIS BAKUNG DI BEBERAPA STASIUN METEOROLOGI INDONESIA

ANALISIS PROFIL VERTIKAL SUHU DAN ANGIN SELAMA SIKLON TROPIS BAKUNG DI BEBERAPA STASIUN METEOROLOGI INDONESIA ANALISIS PROFIL VERTIKAL SUHU DAN ANGIN SELAMA SIKLON TROPIS BAKUNG DI BEBERAPA STASIUN METEOROLOGI INDONESIA Yunita 1,2 Achmad Zakir 1,2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

Analisa Data Radiosonde untuk Mengetahui Potensi Kejadian Badai Guntur di Bandar Udara El Tari Kupang

Analisa Data Radiosonde untuk Mengetahui Potensi Kejadian Badai Guntur di Bandar Udara El Tari Kupang Analisa Data Radiosonde untuk Mengetahui Potensi Kejadian Badai Guntur di Bandar Udara El Tari Kupang Meilani 1, Abdul Wahid 2, Bernandus 2 1 Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknik Undana, Kupang 2 Dosen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA STASIUN EKSTRIM METEOROLOGI TERKAIT

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262 Website : http://www.staklimpondoketung.net Jln. Raya Kodam Bintaro No.

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI KEJADIAN

Lebih terperinci

POTENSI PARAMETER KELUARAN RAOB (RAWINSONDE OBSERVATION PROGRAMS) SEBAGAI INDIKATOR KUNCI DALAM ANALISIS CURAH HUJAN ASEP FERDIANSYAH

POTENSI PARAMETER KELUARAN RAOB (RAWINSONDE OBSERVATION PROGRAMS) SEBAGAI INDIKATOR KUNCI DALAM ANALISIS CURAH HUJAN ASEP FERDIANSYAH POTENSI PARAMETER KELUARAN RAOB (RAWINSONDE OBSERVATION PROGRAMS) SEBAGAI INDIKATOR KUNCI DALAM ANALISIS CURAH HUJAN ASEP FERDIANSYAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015)

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015) ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015) Nabilatul Fikroh Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tengerang Selatan Email : Riannanabila@gmail.com

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Studi Kasus Tanggal 29 Desember 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Studi Kasus Tanggal 29 Desember 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Studi Kasus Tanggal 29 Desember 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Bandar Lampung Email : adi.bmkgsorong7@gmail.com

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS HUJAN STASIUN SEDANG METEOROLOGI &

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG(WATERSPOUT) DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU (Studi Kasus Tanggal 23 Oktober 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG(WATERSPOUT) DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU (Studi Kasus Tanggal 23 Oktober 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG(WATERSPOUT) DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU (Studi Kasus Tanggal 23 Oktober 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Lampung

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN LEBAT KEJADIAN BANJIR BOJONEGORO 9 FEBRUARI 2016 MENGGUNAKAN CITRA SATELIT HIMAWARI 8

ANALISIS HUJAN LEBAT KEJADIAN BANJIR BOJONEGORO 9 FEBRUARI 2016 MENGGUNAKAN CITRA SATELIT HIMAWARI 8 Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor ANALISIS HUJAN LEBAT KEJADIAN BANJIR BOJONEGORO 9 FEBRUARI 2016 MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah

Lebih terperinci

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8668989, Fax. 031 8675342, 8673119 E-mail : meteojud@gmail.com,

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG DI DESA BRAJAASRI KEC.WAY JEPARA KABUPATEN LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 14 Nopember 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG DI DESA BRAJAASRI KEC.WAY JEPARA KABUPATEN LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 14 Nopember 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI PUTING BELIUNG DI DESA BRAJAASRI KEC.WAY JEPARA KABUPATEN LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 14 Nopember 2017) Adi Saputra Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

Analisis Pola Distribusi Unsur-Unsur Cuaca di Lapisan Atas Atmosfer pada Bulan Januari dan Agustus di Manado

Analisis Pola Distribusi Unsur-Unsur Cuaca di Lapisan Atas Atmosfer pada Bulan Januari dan Agustus di Manado JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 3 (1) 20-24 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Analisis Pola Distribusi Unsur-Unsur Cuaca di Lapisan Atas Atmosfer pada Bulan Januari dan Agustus

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI SERUI TANGGAL 10 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISIS KEJADIAN CUACA

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 Diagram alir penelitian. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer 4.1.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer Harian Faktor yang menyebabkan pergerakan vertikal udara antara lain

Lebih terperinci

PEMODELAN TLCL DAN TcCL UNTUK KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN METODA SKEW-T PLOTTING Toni Samiaji Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN

PEMODELAN TLCL DAN TcCL UNTUK KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN METODA SKEW-T PLOTTING Toni Samiaji Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN PEMODELAN TLCL DAN TcCL UNTUK KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN METODA SKEW-T PLOTTING Toni Samiaji Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN ABSTRACT Simple model has been made to predict temperature

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI KOTA MATARAM DAN KABUPATEN LOMBOK BARAT TANGGAL JUNI 2017

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI KOTA MATARAM DAN KABUPATEN LOMBOK BARAT TANGGAL JUNI 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I LOMBOK BARAT NTB Jl. TGH. Ibrahim Khalidy Telp.(0370)674134, Fax.(0370)674135, Kediri-Lobar, NTB 83362 Website : http://iklim.ntb.bmkg.go.id

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017) https://www.balipost.com

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017) https://www.balipost.com ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017) https://www.balipost.com www.news.detik.com STASIUN KLIMATOLOGI KELAS II JEMBRANA - BALI JUNI 2017 ANALISIS KLIMATOLOGI

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI 2017 BADAN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, DAN GEOFISIKA S.Tr STASIUN PMG METEOROLOGI Pelaksana Lanjutan NABIRE Stasiun

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTREM HUJAN ES DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS TANGGAL 26 JULI 2015 DAN 12 SEPTEMBER 2016)

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTREM HUJAN ES DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS TANGGAL 26 JULI 2015 DAN 12 SEPTEMBER 2016) Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTREM HUJAN ES DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS TANGGAL

Lebih terperinci

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN KENCANG DI KECAMATAN UNDAAN KABUPATEN KUDUS BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA TANGGAL 13 MARET 2017 STASIUN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, NABIRE S.Tr PMG Pelaksana Lanjutan

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI DUSUN WAYARENG DESA MULYOSARI KEC.BUMI AGUNG KAB. LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 18 Februari 2018)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI DUSUN WAYARENG DESA MULYOSARI KEC.BUMI AGUNG KAB. LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 18 Februari 2018) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI DUSUN WAYARENG DESA MULYOSARI KEC.BUMI AGUNG KAB. LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Tanggal 18 Februari 2018) Adi Saputra Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA EKSTRIM STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BMKG Bandara H.AS. Hanandjoeddin Tanjungpandan 33413 Telp. : 07199222015 Email: stamettdn@yahoo.com IDENTIFIKASI CUACA TERKAIT

Lebih terperinci

Analisis Hujan Lebat pada tanggal 7 Mei 2016 di Pekanbaru

Analisis Hujan Lebat pada tanggal 7 Mei 2016 di Pekanbaru BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI PEKANBARU Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru Riau, Kode Pos 28284 Telepon. (0761)73701 674791 Fax. (0761)73701 email: bmkgpku@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN HUJAN LEBAT DI AMBON TANGGAL 29 JULI 2016

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN HUJAN LEBAT DI AMBON TANGGAL 29 JULI 2016 Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN HUJAN LEBAT DI AMBON TANGGAL 29

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara KTSP & K-13 Kelas Geografi ATMOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kelembapan udara. 2. Memahami curah hujan dan kondisi

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI RADIN INTEN II BANDAR LAMPUNG Jl. Alamsyah Ratu Prawira Negara Km.28 Branti 35362 Telp. (0721)7697093 Fax. (0721) 7697242 e-mail : bmglampung@yahoo.co.id

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KAJIAN METEOROLOGI SAAT PENYIMPANGAN HUJAN HARIAN DI AMBON PADA BULAN JULI 2014

KAJIAN METEOROLOGI SAAT PENYIMPANGAN HUJAN HARIAN DI AMBON PADA BULAN JULI 2014 KAJIAN METEOROLOGI SAAT PENYIMPANGAN HUJAN HARIAN DI AMBON PADA BULAN JULI 2014 Ruth Christie M, Jakarta Email : ruthchristiee@gmail.com Abstrak Daerah Maluku merupakan bagian dari kepulauan negara maritim

Lebih terperinci

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016 TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016 I. PENDAHULUAN Merdeka.com - Bencana banjir bandang dan tanah longsor dilaporkan terjadi di kawasan wisata Air

Lebih terperinci

LAPORAN KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI WILAYAH DKI DAN TANGERANG TANGGAL 15 MARET 2009

LAPORAN KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI WILAYAH DKI DAN TANGERANG TANGGAL 15 MARET 2009 LAPORAN KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI WILAYAH DKI DAN TANGERANG TANGGAL 15 MARET 2009 1 PENDAHULUAN Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan Informasi Prakiraan Musim Kemarau Tahun

Lebih terperinci

KONDISI ATMOSFER KETIKA SEBARAN ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DI SEKITAR STASIUN METEOROLOGI KUALANAMU

KONDISI ATMOSFER KETIKA SEBARAN ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DI SEKITAR STASIUN METEOROLOGI KUALANAMU KONDISI ATMOSFER KETIKA SEBARAN ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DI SEKITAR STASIUN METEOROLOGI KUALANAMU Cristine Widya S *1, Wahyu Subektyo 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2 Badan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI RADIN INTEN II BANDAR LAMPUNG Jl. Alamsyah Ratu Prawira Negara Km.28 Branti 35362 Telp. (0721)7697093 Fax. (0721) 7697242 e-mail : bmglampung@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA EKSTRIM ANGIN KENCANG (22 Knot)

Lebih terperinci

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8668989, Fax. 031 8675342, 8673119 E-mail : meteojud@gmail.com,

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA EKSTRIM DI BANDAR LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal Maret 2018)

ANALISIS CUACA EKSTRIM DI BANDAR LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal Maret 2018) ANALISIS CUACA EKSTRIM DI BANDAR LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal 04-05 Maret 2018) Adi Saputra Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Bandar Lampung Email : adi.bmkgsorong7@gmail.com ABSTRAK Cuaca Ektrim

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA EKSTRIM TERKAIT KEJADIAN HUJAN LEBAT DAN BANJIR DI PULAU BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA - BELITUNG TANGGAL 11 MARET 2018

ANALISIS CUACA EKSTRIM TERKAIT KEJADIAN HUJAN LEBAT DAN BANJIR DI PULAU BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA - BELITUNG TANGGAL 11 MARET 2018 BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH II STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG Bandar Udara Depati Amir Bangka, PangkalPinang 33171

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016 ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016 Eka Suci Puspita W. (1) Yudha Nugraha (2) Stasiun Meteorologi Klas

Lebih terperinci

BMKG BMKG I. INFORMASI KEJADIAN

BMKG BMKG I. INFORMASI KEJADIAN BMKG BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH II CIPUTAT JL. H.Abdulgani No. 05, Kampung Bulak, Cempakaputih, Ciputat Timur, Po. Box: 39/15412

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ATMOSFER TERKAIT HUJAN LEBAT DI WILAYAH PALANGKA RAYA (Studi Kasus Tanggal 11 November 2015)

ANALISIS KONDISI ATMOSFER TERKAIT HUJAN LEBAT DI WILAYAH PALANGKA RAYA (Studi Kasus Tanggal 11 November 2015) Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor ANALISIS KONDISI ATMOSFER TERKAIT HUJAN LEBAT DI WILAYAH PALANGKA RAYA (Studi

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA I. INFORMASI KEJADIAN LOKASI TANGGAL DAMPAK Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara 02 November 2017 jam 23.50

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI RADIN INTEN II BANDAR LAMPUNG Jl. Alamsyah Ratu Prawira Negara Km.28 Branti 35362 Telp. (0721)7697093 Fax. (0721) 7697242 e-mail : bmglampung@yahoo.co.id

Lebih terperinci

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat 1 Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat Diyas Dwi Erdinno NPT. 13.10.2291 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika,

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Bandar Lampung

Lebih terperinci

KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DESEMBER 2007 SAMPAI JANUARI 2008 DI KABUPATEN BOJONEGORO

KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DESEMBER 2007 SAMPAI JANUARI 2008 DI KABUPATEN BOJONEGORO KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DESEMBER 2007 SAMPAI JANUARI 2008 DI KABUPATEN BOJONEGORO ATMOSPHERIC CONDITIONS ON THE OCCURRENCE OF FLOODS ON DECEMBER 2007 UNTIL JANUARY 2008 IN THE DISTRICT BOJONEGORO

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN Alamat : Bandar Udara Syamsudin Noor Banjarmasin Telp. (0511) 4705198, Fax. (0511) 4705098 ANALISIS KEJADIAN ANGIN

Lebih terperinci

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Variasi Suhu Udara Harian Bagaimana Suhu Lingkungan Diatur? Data Suhu Udara Suhu Udara dan Rasa Nyaman Pengukuran Suhu Udara Variasi Suhu Udara

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN Oleh Nur Fitriyani, S.Tr Iwan Munandar S.Tr Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Aji

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016 ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH. 78.2 mm) DI LOMBOK TENGAH TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016 I. INFORMASI HUJAN EKSTREM LOKASI STASIUN METEOROLOGI SELAPARANG BIL TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016 (Curah

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI KECAMATAN KRUI SELATAN KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal 11 Oktober 2017)

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI KECAMATAN KRUI SELATAN KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal 11 Oktober 2017) ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI KECAMATAN KRUI SELATAN KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal 11 Oktober 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Bandar

Lebih terperinci

Kajian Curah Hujan untuk Pemutahiran Tipe Iklim Beberapa Wilayah di Kalimantan Tengah

Kajian Curah Hujan untuk Pemutahiran Tipe Iklim Beberapa Wilayah di Kalimantan Tengah MITL Media Ilmiah Teknik Lingkungan Volume 1, Nomor 2, Agustus 2016 Artikel Hasil Penelitian, Hal. 9-17 Kajian Curah Hujan untuk Pemutahiran Tipe Iklim Beberapa Wilayah di Kalimantan Tengah Sari Marlina

Lebih terperinci

Pengaruh Angin Dan Kelembapan Atmosfer Lapisan Atas Terhadap Lapisan Permukaan Di Manado

Pengaruh Angin Dan Kelembapan Atmosfer Lapisan Atas Terhadap Lapisan Permukaan Di Manado JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 3 (1) 58-63 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Pengaruh Angin Dan Kelembapan Atmosfer Lapisan Atas Terhadap Lapisan Permukaan Di Manado Farid Mufti

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI RADIN INTEN II BANDAR LAMPUNG Jl. Alamsyah Ratu Prawira Negara Km.28 Branti 35362 Telp. (0721)7697093 Fax. (0721) 7697242 e-mail : bmglampung@yahoo.co.id

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM (BANJIR) DI KEC.NGARAS KABUPATEN PESISIR BARAT (study kasus tgl 09 Nopember 2017)

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM (BANJIR) DI KEC.NGARAS KABUPATEN PESISIR BARAT (study kasus tgl 09 Nopember 2017) ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM (BANJIR) DI KEC.NGARAS KABUPATEN PESISIR BARAT (study kasus tgl 09 Nopember 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Bandar Lampung Email

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016 ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016 Eka Suci Puspita W. (1) Herlan Widayana (2) Stasiun Meteorologi Klas II Minangkabau

Lebih terperinci

Cuaca Ekstrim ( Extreme Weather ) Badai Tornado di Amerika Serikat Oleh : Bhian Rangga JR NIM K P. Geografi FKIP UNS

Cuaca Ekstrim ( Extreme Weather ) Badai Tornado di Amerika Serikat Oleh : Bhian Rangga JR NIM K P. Geografi FKIP UNS Cuaca Ekstrim ( Extreme Weather ) Badai Tornado di Amerika Serikat Oleh : Bhian Rangga JR NIM K 5410012 P. Geografi FKIP UNS A. PENDAHULUAN Pada tahun 2000 sampai saat ini, sejumlah bencana di suatu daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI SUKABUMI TANGGAL 03 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI SUKABUMI TANGGAL 03 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI SUKABUMI TANGGAL 03 JUNI 2017 BADAN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, DAN GEOFISIKA S.Tr STASIUN PMG METEOROLOGI Pelaksana Lanjutan NABIRE Stasiun

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Abstrak

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Abstrak ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Levi Ratnasari 1, Arditho Bramandika Putra 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi

Lebih terperinci