I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 sampai

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 sampai sekarang telah menyadarkan bangsa Indonesia betapa rapuhnya fundamental ekonomi negara termasuk ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan yang rentan pasca krisis terutama dialami pada tingkat mikro yaitu rumah tangga. Sedangkan pada tingkat makro ketersediaan pangan nasional untuk dikonsumsi telah mencukupi sesuai standar yang direkomendasikan. lumlah kalori dan protein yang tersedia untuk dikonsumsi oleh penduduk Indonesia selama lima tahun terakhir dari tahun 1999 sampai 2003 telah melebihi standar kecukupan kalori berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi ke VI (1998), yaitu sebesar 2550 kkal/oranglhari untuk kalori dan 55 gram/oranglhari untuk protein. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir tersebut sebenamya ketersediaan kalori dan protein mengalami penurunan yakni sebesar 0.85 persen untuk ketersediaan kalori dan 3.22 persen untuk ketersediaan protein seperti terlihat pada Gambar 1 dan 2. Ket: pertumbuhan 0.85% Sumber: Statistik Indonesia 2004 Gambar 1. Perkembangan Ketersediaan Kalori per Kapita per Hari,

2 2 Graml bar! t t Ket: pertumbuhan % Sumber: Statistik Indonesia 2004 Gambar 2. Perkembangan Ketersediaan Protein Per kapita per Hari, t Pada tingkat rumah tangga dampak krisis sangat terasa pada semua masyarakat baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat perdesaan. Dari sisi konsumsi, data SUSENAS menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia pasca krisis tabun 1999 dan 2002 masih lebih rendah dibandingkan sebelum krisis tahun Konsumsi energi penduduk Indonesia dari tahun 1993 sampai tahun 2002 masih belum dapat mencukupi sesuai standar yang direkomendasikan yaitu 2200 kkal/oranglhari untuk kalori (Widyakarya Pangan dan Gizi ke VI, 1998). Pada Gambar 3 ter1ihat bahwa penduduk perkotaan mengkonsumsi energi yang lebih rendah dibandingkan dengan penduduk perdesaan dan sebaliknya mengkonsumsi protein lebih tinggi dibandingkan penduduk perdesaan (Gambar 4).

3 ~ S 1900 : ~ ~ ~~ ~ % Tahun ~Kota -Desa... Kota+Desa ~Standar Sumber: SUSENAS 1993, 1996, 1999,2002 Gambar 3. Perkembangan Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi, so l.jo-- ;: l... (,.'! ~ ~ ~ ~ ~ Tabun ~Kota _Desa... Kota+Desa ~Standar Sumber: SUSENAS 1993, 1996, 1999, 2002 Gambar 4. Perkembangan Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Protein,)

4 4 Proporsi penduduk Indonesia yang rawan pangan yaitu yang mengkonsumsi kurang dari 80 persen AKG (angka kecukupan gizi) atau 1760 kkavkapitalhari pada tahun 2002 sebesar 15.7 persen atau sekitar 31.5 juta jiwa sedangkan proporsi penduduk yang sangat rawan pangan yaitu penduduk yang mengkonsumsi kurang dari 70 persen AKG atau 1540 kkavkapitalhari pada tahun 2002 sebesar 6 persen atau sekitar 12.6 juta jiwa seperti terlihat pada Gambar 5. kkal/kap/harl '} Tahu!) ~% Pdd Rawan Pangan.% Pdd sangat Rawan Pangan I!J% Pdd Miskin Ket: Penduduk rawan pangan: Penduduk yang mengkollsumsi kurang 80 persen AKG atau 1760 kkallkapitalhari Penduduk sangat rawan pangan: Penduduk yang mengkonsumsi kurang dar; 70 persen AKG atau J 540 kka/lkapita/hari Sumber: Susenas, BPS (diolah) Gambar 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Rawan Pangan, Departemen Kesehatan mencatat sebanyak 12 juta balita dan anak sekolah yang menderita masalah gizi kurang. Khusus untuk balita, 3 juta di antaranya mengalami gizi kurang dan 1.3 juta balita mengalami gizi buruk. Dua hingga empat dari sepuluh balita menderita gizi kurang di 72 persen kabupaten di Indonesia. Sedangkan untuk usia produktif yang mengalami masalah gizi kurang sebanyak 30 juta orang (Departemen Kesehatan, 2004).

5 5 Jika dilihat dari uraian di atas tampak bahwa Indonesia belum mampu mewujudkan ketahanan pangan dalam arti memenuhi pangan bagi setiap rumah tangga yang tercennin dati tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau seperti yang diarnanatkan dalam Undang Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Indonesia juga belum memenuhi kornitmennya sebagai salah satu negara penandatangan World Food Summit 1996 yang menegaskan komitmen setiap anggotanya untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap individu. Pemenuhan pangan bagi setiap rumah tangga merupakan suatu keharusan dan menjadi tanggung jawab pemetintah dan rnasyarakat untuk mewujudkannya. Ada tiga alas an yang mendasari pentingnya pemenuhan pangan, yaitu: (1) pemenuhan pangan merupakan hak asasi bagi setiap insan manusia, (2) kualitas pangan yang dikonsumsi berkontribusi terhadap upaya pembentukan kualitas manusia yang berkualitas, dan (3) ketahanan pangan bagi setiap rurnah tangga merupakan prasyarat utama terwujudnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Walaupun upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan telah lama dilakukan oleh Indonesia akan tetapi pemenuhan pangan bagi setiap rumah tangga di masa sekarang dan masa mendatang akan menemui banyak kesulitan baik dari sisi internal yaitu permintaan maupun penyediaan pangan domestik serta dari SISI eksternal yaitu dampak globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. lumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah mengisyaratkan betapa besamya jumlah pangan yang dibutuhkan setiap tahun ditambah lagi dengan adanya perubahan tuntutan akan kualitas pangan, keamanan, dan keragaman.

6 6 Apabila kemampuan penyediaan pangan masih pada tingkat yang ada saat ini, maka pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk diperkirakan sebesar 236 juta jiwa dapat dipastikan pemenuhan pangan Indonesia sangat tergantung pada impor. Penyediaan pangan dalam negeri menghadapi berbagai kendala yang sangat kompleks yang bersumber dari sumberdaya alam, infrastruktur, maoajemen, institusi, sumber daya manusia, dan pilihan kebijakan di bidang pangan. Kendala tersebut antara lain: (1) kapasitas produksi pangan nasional yang semakin berkurang, (2) devisa untuk impor pangan semakin terbatas, (3) kurang berfungsinya kelembagaan pangan masyarakat dalarn bentuk lumbung pangan desa dan belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil-hasil pangan masyarakat sebagai penyangga kestabilan harga, (4) prasarana distribusi darat antar pulau yang diperlukan untuk menjangkau seluruh wilayah konsumen belum memadai, (5) kebijakan pangan yang selama ini terfokus pada beras yang berdampak pada upaya-upaya penggalian dan pemanfaatan potensi sumbersumber pangan karbohidrat lain, dan (6) terbatasnya prasarana dan saraoa yang memfasilitasi akses masyarakat pada infonnasi teknologi, permodalan, dan pemasaran hasil menyebabkan kesulitan upaya peningkatan produktivitas (Dewan Bimas Ketahanan Pangan, 200 I). Dari sisi eksternal, postsi Indonesia yang saat ini sedang memasuki era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia semakin tidak menentu. Sebelum meratifikasi kesepakatan dalam petjanjian WTO, posisi negara berkembang tennasuk Indonesia sangat tidak seimbang dibandingkan dengan negara maju. Walaupun kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara maju tersebut lebih banyak dan lebih cepat namun masih dirasakan tidak signifikan untuk

7 7 mewujudkan sistem perdagangan internasional yang lebih adi1. Sehingga dampak globalisasi yang diharapkan dapat membuka peluang ekspor bagi produk pertanian Indonesia temyata jauh dari harapan. Babkan sebaliknya g]obalisasi akan menambah persaingan di pasar domestik karena Indonesia diperhitungkan sebagai target pasar bagi negara lain terutama negara maju. Strategi yang ditempuh oleh negara maju dalam produksi pangan adalah menciptakan ketergantungan negara berkembang terhadap suplai pangan yang berasal dari impor. Hal ini dilakukan rnelalui: (1) menghasilkan produk pangan murah dengan pemberian subsidi, (2) melanjutkan liberalisasi perdagangan sehingga impor semakin menyaingi produksi dalam negen di negara pengimpor, dan (3) memberikan kemudahan pembiayaan impor melalui kredit ekspor (Dillon, 2001). Melalui intervensi International Monetary of Fund (1M F), kebijakan importasi hasil pertanian Indonesia berada pada posisi yang sangat liberal dibandingkan dengan negara maju sekalipun. Penerapan tarif barrier melalui tarif bea rnasuk produk pangan ditetapkan jauh di bawah tingkatan yang mengikat di WTO dan hampir tidak ada penerapan hambatan teknis (non tarif barrier) yang berarti. Hal ini berarti Indonesia membiarkan produk pangan berkompetisi dengan produk pangan negara maju yang sarat dengan subsidi. Selama liberalisasi perdagangan diimplementasikan beberapa tahun terakhir, terlihat pergeseran pola produksi pangan. Suplai pangan bergeser dari negara berkembang ke negara maju. [mpor pangan dari negara berkernbang tennasuk Indonesia semakin meningkat. Risiko dari perdagangan global untuk pangan adalah: (1) suplai pangan domestik suatu negara sering tidak menentu, (2) harga

8 8 pangan di pasar dunia kurang stabil, dan (3) merusak pola pertukaran barang di pasar dunia yaitu harga rendah untuk barang pertanian yang diekspor dan harga tinggi untuk pangan yang diirnpor misalnya pangan olahan, jika kebijakan yang diambil tidak tepat (Sawit, 2001). Secara umum Amerika Serikat sangat beruntung dengan adanya krisis ekonomi yang teijadi di beberapa negara Asia karena masyarakatnya mendapatkan harga barang impor yang murah serta produksi dan tenaga keijanya tidak terganggu (Harrigan J, 2000) Perumusan Masalab Kegiatan pembangunan pertanian dan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan makroekonomi. Berbagai kebijakan makroekonomi di masa lalu dinilai belum sepenuhnya mendukung pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, seperti: (1) kebijakan nilai tukar rupiah yang distorsif (over value) dinilai telah menghambat daya saing sektor pertanian, (2) kebijakan penetapan suku bunga yang ringgi (dalam rangka meraih arus masuk modal asing) telah pula rnenurunkan profitabilitas dan keunggulan kornperatif pertanian, dan (3) kebijakan fiskal (tarif, pajak ekspor) yang banyak merugikan sektor pertanian. Dalam konteks pemulihan ekonomi dan kelangsungan pembangunan nasional arah kebijakan makroekonomi tidak secara langsung ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Namun demikian berbagai kebijakan makroekonomi yang diambil oleh pemerintah baik jangka pendek maupun jangka menengah secara tidak langsung ann berdampak pada pembangunan pertanian dan ketahanan pangan.

9 9 Pemulihan ekonomi jangka pendek ditempuh dengan tiga langkah: (1) kebijakan makroekonomi (fiskal dan moneter) diarahkan untuk menjamin stabilitas dan mendorong bergulimya ekonomi, (2) mempercepat restrukturisasi perbankan dan dunia usaha, dan (3) memulihkan kepercayaan pasar. Disamping itu dalam jangka menengah pemerintah telah menetapkan tujuh kebijakan utama di bidang ekonomi dalam rangka kelangsungan pembangunan nasional yaitu: (1) kebijakan makroekonomi, (2) memperkuat kelembagaan dan me mperluas partisipasi masyarakat, (3) mewujudkan MBN yang berkesinambungan, (4) desentralisasi fiskal, (5) mengendalikan utang luar negen swasta, (6) operasi perbankan nasional yang sehat dan efisien, dan (7) pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Secara umum kebijakan makroekonomi baik kebijakan moneter maupun fiskal sangat responsif terhadap perturnbuhan pembangunan pertanian dan pemantapan ketahanan pangan. Peubah moneter yang paling responsif adalah nilai tukar valuta asing, kredit perbankan, dan suku bunga bank. Sedangkan di sektor fiskai yang berpengaruh antara lain adalah pengeluaran pemerintah dan pajak. Pernantapan ketahanan pangan akan mengalami percepatan bila kebijakan makroekonorni baik jangka pendek maupun jangka panjang seperti diuraikan di atas terkait dengan kebijakan mikroekonomi dan kebijakan regional. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development) serta terwujudnya ketahanan pangan yang kokoh lebih bermakna dari sekedar pertumbuhan pertanian yang ditunjukkan oleh angka-angka produksi yang meningkat tapi kemiskinan petani terns berianjut atau tingkat kesejahteraan petaninya statis dari tahun ke tahun.

10 10 Berdasarkan Ufalan tersebut diatas maka dapat diuraikan permasalahan da1am penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keterkaitan antara kebijakan makroekonomi terhadap faktorfaktor yang menentukan ketahanan pangan di tingkat mikro. 2. Bagaimana dampak dari kebijakan makroekonomi tersebut mempengaruhi kelompok masyarakat yang rawan pangan. Pola pikir dari permasalahan di atas dirangkum dalam Gambar 6. KEBIJAKAN MAKROEKONOMI A. FISKAL Pengeluaran pemerintah Pajak Investasi pemerintah B. Moneter Perm intaanipe nawaran uang Suku bunga Nilai tukar KETAHANANPANGANDI TINGKAT MlKRO A. Penawaran Pangan Produksi Stok Ekspor Impor B. Distribusi (harga) C. Konsumsi Pangan DAMPAK TERHADAP KELOMPOK MASYARAKATRAWANPANGAN A. Prevalensi Anak Kurang Gizi B. Vmur Harapan Hidup Gambar 6. Kerangka Pikir Penelitian

11 II 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pennasalahan, maka peneiitian ini secara umum bertujuan mernpelajari darnpak kebijakan makro ekonorni terhadap ketahanan pangan, dengan tujuan khusus sebagai berikut : 1. Membangun model ekonometrika yang mengintegrasikan aspek rnakro dan mikro ekonomi Indonesia yang berdampak terhadap ketahanan pangan 2. Menganaiisis dampak kebijakan makroekonomi terhadap ketahanan pangan nasional. 3. Menganalisis berbagai alternatif kebijakan yang strategis pada rnasa yang akan datang mempengaruhi kelompok masyarakat yang rawan pangan Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan masukan khususnya kepada pernerintah dalam rangka merumuskan berbagai alternatif kebijakan yang perlu dilakukan terkait dengan aspek makro dan mikro ekonomi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data dasar bagi penelitian lebih lanjut di bidang ketahanan pangan Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai berbagai keterbatasan antara lain: (1) komoditi yang dikaji dalam penelitian tni hanya delapan kejompok pangan, (2) agregasi wilayah hanya dilakukan pada wilayah Jawa dan Luar Jawa, (3) bel urn mernasukkan dampak liberalisasi perdagangan, dan (4) indikator ketahanan pangan hanya umur harapan hidup dan prevalensi anak kurang gizi.